KARAKTERISASI ABU TERBANG (FLY ASH) DAN EKSPLORASI VEGETASI FITOREMEDIATOR DI AREA LANDFILL ABU TERBANG UNTUK PENGELOLAAN RAMAH LINGKUNGAN
RITA HAYATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Abu Terbang (Fly Ash) dan Eksplorasi Vegetasi Fitoremediator di Area Landfill Abu Terbang untuk Pengelolaan Ramah Lingkungan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip atau dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2010
Rita Hayati NRP P052070281
ABSTRACT
RITA HAYATI. Characterization of Fly Ash and Exploration Vegetation Fitoremediator on Fly Ash Landfill for Environmental Friendly Management. Under supervision of SYAIFUL ANWAR and ISKANDAR. The increasing need of electricity and the decreasing availability of fosil fuel oil has increased coal based power plant development. At present in Indonesia, electricity generated from such power plant is about 30%. Combustion of coal for the generation of electricity produces solid waste such as fly ash in huge amount (7 million tons in 2008/2009). Dumped fly ash in landfill might have negative impact to environmental because fly ash contains toxic metals. In contrast fly ash contains many essensial elements for plant growth. To overcome this problem, many possible beneficial appliations of fly ash are being evaluated to minimize waste. This research was conducted to find out characteristic of fly ash and vegetation which naturally grown on fly ash landfill, and to evalute development prospective of utilization of fly ash and vegetation in the context of environmental management. Two Samples of fly ash were taken from PLTU Suralaya Cilegon Banten, i.e. electrostatic precipitator (ESP) ash and landfill ash. Roots and crowns of plants grown on landfill fly ash i.e. Passiflora foetida, Eupatorium odoratum, Chlorisbarbata, Erigeron sumatrensis and Pithecellobium dulce were sampled. Ashes were analyzed for pH, EC, organic C and element content, while plants only analyzed for metals content. The result showed not all fly ash contains toxic metals in high concentration. Vegetation which naturally grown on landfill area that potentially can be used for fitoextraction were P. foetida and Chlorisbarbata, and for fitostabilization were E. odoratum and P. dulce. According to the characteristic of the fly ash of from many area in the world it has potential to be utilization of fly ash both for agricultural and non agricultural purposes were proposed. Keywords: fly ash, utilization, bioconcentration factor, translocation factor.
RINGKASAN
RITA HAYATI. Karakterisasi Abu Terbang (Fly Ash) dan Eksplorasi Vegetasi Fitoremediator di Area Landfill Abu Terbang untuk Pengelolaan Ramah Lingkungan. Dibimbing oleh SYAIFUL ANWAR dan ISKANDAR. Perkembangan penduduk dan industri yang semakin meningkat akan berdampak terhadap peningkatan kebutuhan energi listrik. Hal ini berimplikasi pada pembangunan pembangkit tenaga listrik, baik fisik maupun peningkatan kapasitas daya terpasang. Namun meningkatnya harga minyak dan gas serta adanya tuntutan untuk penyediaan energi listrik yang stabil dan kontinuitas telah mendorong pemerintah dengan kebijakannya mengarahkan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Pembakaran batubara akan menghasilkan limbah padat berupa abu terbang yang jumlahnya melimpah. Menurut PP No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, abu terbang hasil pembakaran batubara digolongkan sebagai limbah B3. PLTU Suralaya dengan kapasitas daya terpasang 3.400 MW, membutuhkan batubara sekitar 13 juta ton per tahun, menghasilkan abu terbang sekitar 1 juta ton per tahun. Jumlahnya yang melimpah akan menyulitkan dan mahal dalam pengelolaan, sehingga pembuangan di landfill berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Oleh sebab itu maka selayaknya perlu dicari alternatif pengembangan pemanfaatannya sesuai dengan karakteristik limbah. Sehubungan dengan adanya kandungan logam berat dalam abu terbang, maka tanaman memiliki kemampuan mengakumulasi logam berat dari lingkungan tumbuhnya. Penelitian ini bertujuan: (a) menganalisis karakteristik fisika kimia utama dari abu terbang dalam hubungan untuk pengembangan pemanfaatannya, (b) mengobservasi kemampuan fitoremediasi vegetasi in-situ alami pada area landfill abu terbang, dan (c) mengevaluasi prospek pengembangan pemanfaatan abu terbang dan tanaman yang tumbuh alami di area landfill sesuai dengan karakteristiknya. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus – Oktober 2009, dengan melakukan dua objek pengamatan. Pengamatan pertama dilakukan terhadap sifat fisika kimia abu terbang yang berasal dari dua sumber, yaitu dari electrostatic precipitator (ESP) dan dari landfill. Pengamatan kedua, dilakukan terhadap tanaman yang tumbuh alami pada area landfill. Sifat fisika kimia abu terbang yang diamati adalah pH, EC, C-organik dan unsur-unsur dalam abu terbang. Hasil analisis kandungan logam beratnya dibandingkan dengan batasan yang ditetapkan dengan metode TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Prosedure) yang dikeluarkan oleh USEPA dan PP No. 85/1999 sebagai penentu karakteristik sifat racun suatu bahan. Karakteristik tanaman yang diamati meliputi kemampuannya dalam mengakumulasi logam berat yang tergambar dari nilai bioconcentration factor (BCF) dan kemampuannya dalam mentranslokasikannya ke tajuk yang tergambar dari nilai translocation factor (TF). Kedua karakterstik ini penting untuk mengetahui potensi tanaman sebagai fitoremediator, khususnya proses fitoekstraksi. Evaluasi potensi prospek pengembangan pemanfaatan abu terbang dari PLTU Suralaya dilakukan dengan menghubungkan antara
karakteristik abu terbang dalam penelitian ini dengan karakteristik abu terbang dari tempat lain dari beberapa referensi yang memuat karakteristik abu terbang yang telah dipergunakan sebagai amelioran pada bidang pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan sifat fisika kimia, abu terbang yang berasal dari ESP memiliki nilai pH yang lebih tinggi, yaitu 9,5 bila dibandingkan dengan pH abu terbang dari landfill, yaitu 6,0. Abu terbang memiliki nilai EC 1,6 dan 0,36 dSm-1 dan karbon organik yang rendah (0,16 dan 1,51%). Abu terbang mengandung beberapa hara yang diperlukan tanaman dan mengandung beberapa logam berat yang berpotensi membahayakan lingkungan. Namun demikian jika dibandingkan dengan batasan yang ditetapkan dengan metode TCLP, maka kandungan logam berat dalam abu terbang yang berasal dari PLTU Suralaya masih berada di bawah batasan TCLP USEPA maupun TCLP menurut PP. N0. 85/1999. Selain itu kandungan beberapa logam berat dalam abu terbang PLTU Suralaya juga berada di bawah kandungan logam berat dari tempat lain. Lima tanaman yang tumbuh alami pada area landfill, adalah: Passiflora foetida, Eupatorium odoratum, Chlorisbarbata, Erigeron sumatrensis dan Phitecellobium dulce. Nilai BCF > 1, hanya terdapat pada tumbuhan P. foetida untuk logam Pb (2,74); E. odoratum untuk logam Zn (2,11) dan Cu (1,43); E. sumatrensis untuk logam Zn (1,29) dan P. dulce untuk logam Pb (1,58). BCF>1 menunjukkan tanaman bersifat akumulator tinggi terhadap logam tersebut. Sebagian besar tanaman menunjukkan nilai BCF 0,1-1, artinya tanaman bersifat akumulator sedang. Tanaman E. odoratum, Chlorisbarbata dan E. sumatrensis tergolong tanaman non akumulator terhadap logam Ni, karena nilai BCF untuk logam Ni < 0,01. Selanjutnya E. odoratum dan Chlorisbarbata tergolong non akumulor terhadap logam Pb. Nilai TF >1 ditunjukkan oleh tumbuhan P. foetida untuk logam Fe (4,86), Zn (5,47), Mn (3,05), Cu (1,12) dan Ni (1,65). Pada E. odoratum nilai TF maksimum untuk logam Zn (50,14) demikian juga P. dulce hanya terdapat pada logam Zn (13,36), sedangkan pada Chlorisbarbata terdapat pada logam Zn (16,89) dan Co (1,38). Pada E. sumatrensis terdapat pada logam Zn (30,64), Mn (1,85) dan Cu (1,09). Nilai TF maksimum hanya terdapat pada tumbuhan P. foetida, E. odoratum dan Chlorisbarbata. Pada P. foetida terdapat pada logam Fe (4,86), Mn (3,05), Cu (1,12), Ni (1,65) dan Pb (0,934). Pada E. odoratum hanya terdapat pada logam Zn (50,14), sedangkan pada Chlorisbarbata terdapat pada logam Co (1,38). Nilai TF > 1, mengindikasikan bahwa proses yang dilakukan tanaman dalam meremediasi logam adalah fitoekstraksi, sebaliknya TF < 1, mengindikasikan bahwa proses yang dilakukan tanaman adalah fitostabilisasi. Nilai TF > 1 untuk kelima tanaman hanya terdapat pada logam Zn, sebaliknya kelima tanaman memiliki nilai TF < 1 untuk logam Pb. Dengan mempertimbangkan nilai BCF dan TF, maka tanaman P. foetida dan Chlorisbarbata dapat digunakan secara terintegrasi untuk proses fitoekstraksi, sedangkan E. odoratum dan P. dulce untuk proses fitostabilisasi. Berdasarkan karakteristik abu terbang dan membandingkannya dengan pengujian abu terbang pada beberapa tanaman dengan karakteristik yang berbedabeda, maka prospek pengembangan pemanfaatan abu terbang dari PLTU Suralaya sebagai amelioran untuk bidang pertanian secara umum dimungkinkan. Namun untuk pemanfaatannya pada tanaman yang dapat dimakan, aspek tingkat keamanan pangan merupakan faktor utama yang perlu diwaspadai, karena
kemungkinan terserapnya logam berat ke dalam tanaman yang dapat dimakan. Oleh sebab itu beberapa faktor perlu dipertimbangkan jika diterapkan pada produk pertanian yang dapat dimakan, yaitu: batas asupan logam berat per hari yang diperbolehkan, pengembangan pemanfaatan abu terbang lebih diutamakan pada tanaman penghasil biji dan tanaman penghasil minyak, serta penggunaan kultivar yang kemampuan akumulasi terhadap logam beratnya rendah.
Judul Tesis
Nama NRP
: Karakterisasi Abu Terbang (Fly Ash) dan Eksplorasi Vegetasi Fitoremediator di Area Landfill Abu Terbang untuk Pengelolaan Ramah Lingkungan : Rita Hayati : P052070281
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Iskandar Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo
Tanggal Ujian : 17 Februari 2010
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya atas rahmat, karunia dan hidayahNya, penulisan tesis berjudul “Karakterisasi Abu Terbang (Fly Ash) dan Eksplorasi Vegetasi Fitoremediator di Area Landfill Abu Terbang untuk Pengelolaan Ramah Lingkungan” ini dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada kesempatan ini terima kasih tak terhingga dan penghargaan setinggitingginya penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Iskandar, sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Penulis juga berterimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc atas kesediaannya sebagai Penguji Luar Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS sebagai wakil Program Studi dan sekaligus sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan masukan berharga bagi penyempurnaan tesis ini. Ucapan terimakasih disampaikan pula kepada Rektor Universitas Tanjungpura, Dekan dan Wakil dekan Fakultas Pertanian, Ketua dan Sekretaris Jurusan Ilmu Tanah atas izin yang diberikan kepada penulis untuk menempuh program Megister di IPB. Terimakasih pula kepada program PHK A-2 yang telah memberikan bantuan beasiswa kepada penulis. Secara khusus, penulis sangat berterimakasih kepada Bapak Ir. Darea, MS yang selalu memberikan dorongan, semangat, serta doa mengiringi selama studi. Terimakasih kepada Bapak Joko Mulyanto dan Bapak Cutaria dari PLTU Suralaya yang telah memberikan izin penelitian dan membantu selama di lapangan. Mba’ Esti, Rendi, Yaser, dan teman-teman lainnya di PSL yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian diucapkan terimakasih. Semoga keberhasilan dan kesuksesan senantiasa mengiringi langkah dan hari-hari sahabatku kedepan. Untuk Ibu dan ayah, penulis ingin menyampaikan hormat dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua penulis, yang senantiasa memberikan bantuan kepada penulis baik materiil maupun moril, selalu memberikan dorongan, serta selalu mendoakan penulis dengan penuh keihlasan, kesabaran serta kasih sayangnya yang tak henti-hentinya selama ini hingga penulis menyelesaikan pendidikan S2. Semoga keduanya selalu diberikan kesehatan dan dirahmati oleh Allah SWT. Terimakasih juga kepada adik-adikku tersayang Ii, Ayat, Edy dan Neni yang telah memberikan dorongan semangat dan doanya selama penulis melaksanakan studi. Terakhir, kepada suami tercinta dan kedua buah hati tersayang, permohonan maaf dan terimakasih tak terhingga penulis sampaikan atas doa, cinta, pengertian, dukungan, kesabaran dan pengorbanan yang tak ternilai diberikan dan selalu setia menunggu, mendampingi serta memberikan semangat selama penulis mengikuti program S2. Terimakasih suamiku tercinta dan kedua buah hatiku tersayang. Semoga rahmat Allah SWT dan kebahagiaan senantiasa menyertai kita sekeluarga. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2010
Rita Hayati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 26 Desember 1966 anak dari ayah H. Nawawi Masjhur dan Ibu Hj. Rusdiana. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pada 14 Februari 1993 penulis menikah dengan Iriani, pada 15 Desember 1993 dan 1 September 1995 dikaruniai ananda Novi Adintya Putra dan Septian Andika Putra. Setelah lulus dari SMA Negeri I Putussibau tahun 1985, pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Universitas Tanjungpura, Fakultas Pertanian, Jurusan Agronomi melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) dan selama empat semester memperoleh beasiwa Tunjangan Prestasi Akademik. Pada Juli 1991, penulis lulus sebagai Sarjana Pertanian. Setelah menyelesaikan pendidikan S1, sejak Oktober1991 hingga sekarang penulis bekerja sebagai dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak. Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana untuk Magister Sains di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL), Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari Program Hibah Kompetensi A-2 dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, atas bimbingan Bapak Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc dan Dr. Ir. Iskandar.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... v I.
PENDAHULUAN............................................................................. 1 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
II.
Latar Belakang ......................................................................... 1 Kerangka Pemikiran ................................................................. 2 Perumusan Masalah ................................................................. 4 Tujuan Penelitian ..................................................................... 6 Manfaat Penelitian ................................................................... 7
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 8 2.1. 2.2. 2.3. 2.4.
2.5. 2.6.
2.7. 2.8. 2.9.
Batubara dan Residu Pembakaran............................................. 8 Sifat Fisika Kimia Abu Terbang ............................................... 8 Fitoremediasi ........................................................................... 10 Respon Tanaman terhadap Logam Berat .................................. 12 2.4.1. Ekskluder Logam ........................................................... 13 2.4.2. Indikator Logam ............................................................. 13 2.4.3. Akumulator Logam ........................................................ 13 Tanaman Hiperakumulator dan Akumulator ............................. 14 Tipe-Tipe Fitoekstraksi ............................................................ 15 2.6.1. Fitoekstraksi secara Alami .............................................. 15 2.6.2. Peningkatan Fitoekstraksi ............................................... 16 Bentuk Total dan Ketersediaan Logam Berat dalam Tanah ....... 16 Serapan Tanaman terhadap Logam Berat .................................. 17 Mekanisme Akumulasi dan Translokasi Logam dalam Tanaman Akumulator atau Hiperakumulator ............................ 19 2.9.1. Arsen (As) ...................................................................... 19 2.9.2. Kadmium (Cd)................................................................ 20 2.9.3. Kromium (Cr)................................................................. 20 2.9.4. Tembaga (Cu)................................................................. 20 2.9.5. Merkuri (Hg) .................................................................. 21 2.9.6. Nikel (Ni) ....................................................................... 21 2.9.7. Timbal (Pb) .................................................................... 21 2.9.8. Seng (Zn) ....................................................................... 22
III.
METODE PENELITIAN .................................................................. 24 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 24 3.2. Bahan dan Alat Penelitian ........................................................ 24 3.3. Pelaksanaan Penelitian ............................................................. 24 3.3.1. Pengambilan Contoh Abu Terbang ................................. 24 3.3.2. Pengambilan Contoh Tumbuhan ..................................... 24 3.3.3. Analisis Fisika Kimia Abu Terbang ................................ 25 3.3.4. Analisis Logam Berat dalam Tumbuhan ......................... 25
IV.
GAMBARAN UMUM PLTU DI INDONESIA ................................ 27 4.1. Proses Produksi Listrik PLTU Suralaya .................................... 27 4.2. Komponen Produksi Listrik PLTU Suralaya ............................. 28 4.3. Perkembangan PLTU di Indonesia ........................................... 28
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................... 32 5.1. Karakteristik Fisika Kimia dari Abu Terbang ........................... 32 5.2. Karakteristik Vegetasi pada Landfill Abu Terbang ................... 40 5.2.1. Deskripsi Tumbuhan....................................................... 40 5.2.2. Akumulasi Logam dalam Tumbuhan .............................. 43 5.2.3. Bioconcentration Factor dan Translocation Factor ........ 49 5.3. Prospek Pengembangan Pemanfaatan Abu Terbang.................. 56 5.3.1. Bidang Pertanian ............................................................ 56
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 63 6.1. Kesimpulan .............................................................................. 63 6.2. Saran ........................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Proses fitoremediasi, mekanisme dan kontaminan yang dipindahkan ........ 12 2. PLTU berbahan bakar batubara di Indonesia yang telah beroperasi .......... 29 3. Rencana pembangkit listrik 10.000 MW berbahan bakar batubara di luar Jawa-Bali ...................................................................................... 30 4. Rencana pembangkit listrik 10.000 MW berbahan bakar batubara di Jawa- Bali ............................................................................................ 30 5. Hasil analisis fisika-kimia abu terbang dari PLTU Suralaya ..................... 32 6. Karakteristik fisika kimia abu terbang dari beberapa sumber (Indonesia, India dan Korea) ...................................................................................... 36 7. Karakteristik fisika kimia abu terbang dari beberapa sumber di negara Australia .................................................................................................. 37 8. Karakteristik fisika kimia abu terbang dari beberapa sumber di negara Amerika ................................................................................................... 38 9. Kisaran konsentrasi normal beberapa logam (mgkg-1) dalam tanah dan tanaman ............................................................................................. 48 10. Bioconcentration factor dari kelima species tanaman ............................... 49 11. Translocation factor dari kelima species tanaman .................................... 53
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ................................................. 4 2. Strategi respon tanaman terhadap logam berat dalam tanah ...................... 14 3. Passiflora foetida ..................................................................................... 40 4. Eupatorium odoratum .............................................................................. 41 5. Chlorisbarbata ......................................................................................... 41 6. Erigeron sumatrensis ............................................................................... 42 7. Pithecellobium dulce ................................................................................ 42 8. Akumulasi Pb dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; E.o = Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) ................................................. 43 9. Akumulasi Ni dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; E.o = Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) ................................................. 44 10. Akumulasi Co dalam Tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; E.o = Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) ................................................. 45 11. Akumulasi Fe dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; E.o = Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) ................................................. 46 12. Akumulasi Mn dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; E.o = Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) ................................................. 46 13. Akumulasi Cu dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; E.o = Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) ................................................. 47 14. Akumulasi Zn dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; E.o = Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) ................................................. 48
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Batas asupan logam yang diperbolehkan per hari ...................................... 72 2. Penggunaan abu terbang untuk beberapa produksi pertanian ..................... 73
LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Meningkatnya harga bahan bakar minyak dan gas serta adanya kebijakan diversifikasi energi, telah mendorong tumbuhnya pembangkit listrik berbahan bakar batubara.
Selain lebih murah, biaya investasinya juga dapat bersaing
dengan minyak dan gas. Oleh sebab itu sekitar 30% pembangkit listrik yang ada di Indonesia sekarang menggunakan batubara sebagai sumber energinya (Sukandarrumidi, 2006). Menurut Sugiono (2000), batubara masih menjadi bahan bakar yang paling dominan untuk pembangkit tenaga listrik di masa datang. Hal ini disebabkan batubara masih memiliki cadangan melimpah, yaitu 36,34 x 109 ton (137,2 x 109 SBM/Setara Barel Minyak), sedangkan penggunaannya masih sangat sedikit (0,24 x 109 SBM). cadangan dibagi produksi
Dengan demikian bila dilihat dari rasio
(R/P ratio), maka batubara masih mampu untuk
digunakan selama lebih dari 500 tahun. Pembakaran batubara akan menghasilkan limbah padat, diantaranya abu terbang (fly ash) yang jumlahnya 70% dari total residu yang dihasilkan (Basu et al., 2009). Pada PLTU Suralaya dengan daya terpasang 3.400 MW, jumlah konsumsi batubara per hari adalah 36.700 ton atau rata-rata 13 juta ton per tahun. Jumlah abu terbang yang dihasilkan sebesar 7% dari total konsumsi barubara, sedangkan pemanfaatannya kembali baru sekitar 40%. Oleh sebab itu diperkirakan ada akumulasi abu terbang yang harus ditumpuk di landfill sebanyak 560.000 ton per tahun. Abu terbang telah dipandang sebagai limbah padat yang bermasalah hampir di seluruh dunia, karena antara hasil dan pemanfaatannya kembali belum seimbang, sehingga sulit dalam pengelolaannya. Kenyataan ini semakin menghawatirkan karena beberapa isu yang berkembang menyebutkan bahwa abu terbang berpotensi menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, diantaranya dapat mencemari air tanah, tanah dan manusia karena kandungan logam beratnya (Haynes, 2009). Bahkan di Indonesia berdasarkan PP No. 85 Tahun 1999, abu terbang digolongkan sebagai limbah B3.
2
Sehubungan dengan adanya kandungan logam berat dalam abu terbang dan potensinya terhadap pencemaran lingkungan, maka fitoremediasi merupakan suatu teknologi yang dapat diaplikasikan untuk mengekstrak keberadaan logam berat dalam abu terbang (Barcelo dan Poschenrieder, 2003). Teknologi ini menggunakan tanaman, karena tanaman dapat memindahkan logam berat dari area yang terkontaminasi dengan cara mengakumulasi logam berat pada bagian tajuk (fitoekstraksi) atau dengan cara mengimmobilisasi logam dari tanah atau sedimen yang diakumulasi di bagian akar (fitostabilisasi) (Kidd et al., 2009). Menurut Yangun et al. (2005), pengujian terhadap kemampuan tanaman untuk melakukan fitoremediasi akan lebih baik dilakukan pada tanaman yang tumbuh alami. Tanaman yang tumbuh alami pada daerah terkontaminasi memiliki respon yang lebih baik pada kondisi stress dibandingkan dengan tanaman yang didatangkan dari tempat lain, baik daya tahan hidup, pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Sifat-sifat fisika kimia dari abu terbang terutama ditentukan oleh komposisi bahan induk batubara, kondisi selama pembakaran, tipe alat kontrol emisi dan penyimpanan serta penanganannya (Pathan et al., 2003; Basu et al., 2009). Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, setiap pembangunan yang dilakukan mutlak mencakup 3 tujuan, yaitu: tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan. Dari sisi lingkungan, dampak yang ditimbulkan selayaknya dapat dikelola sesuai dengan daya dukung lingkungan.
Sehubungan dengan hal
tersebut, maka limbah abu terbang PLTU yang jumlahnya berlimpah perlu dicarikan alternatif pengembangan pemanfaatannya sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. 1.2. Kerangka Pemikiran Pembangunan industri yang meningkat pesat mendorong peningkatan kebutuhan akan energi listrik.
Meningkatnya kebutuhan energi listrik akan
berimplikasi pada pembangunan pembangkit tenaga listrik, baik fisik maupun peningkatan kapasitas daya terpasang. Terbatasnya bahan bakar minyak dan adanya tuntutan penyediaan energi listrik yang stabil dan kontinuitas dalam hubungannya dengan kegiatan industri,
3
telah mendorong untuk tumbuhnya pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Hal ini disebabkan cadangan bahan bakar batubara yang masih melimpah. Namun di sisi lain pembakaran batubara akan menghasilkan limbah padat, diantaranya abu terbang. Persentase abu terbang yang dihasilkan berbeda-beda tergantung bahan induk batubara. PLTU Suralaya menghasilkan abu terbang sekitar 7% dari total konsumsi batubara dan ini diperkirakan ada sekitar 1.000.000 ton abu terbang yang dihasilkan setiap tahunnnya pada kapasitas daya terpasang 3.400 MW, dari jumlah ini sekitar 560.000 ton per tahun dikembalikan ke landfill. Oleh sebab itu dengan meningkatnya kapasitas daya terpasang, maka meningkatkan jumlah batubara yang digunakan dan jumlah abu terbang yang dihasilkan. Jumlah abu terbang yang dihasilkan telah menimbulkan problem yang cukup serius hampir di semua negara yang menggunakan bahan bakar batubara untuk pembangkit tenaga listrik. Hal ini dikarenakan jumlah abu tebang yang melimpah menyulitkan dalam pengelolaan. Selain itu abu terbang mengandung beberapa logam berat yang dapat berdampak negatif terhadap lingkungan. Suatu usaha untuk mengurangi kandungan logam berat dalam abu terbang dapat dilakukan dengan teknologi fitoremediasi, sedangkan untuk mengurangi jumlah abu terbang di landfill dapat dilakukan dengan mencari kemungkinan pengembangan pemanfaatan kembali limbah yang bersifat ramah lingkungan. Agar dalam aplikasinya tidak berdampak negatif terhadap lingkungan dan usaha pengurangan logam berat yang dilakukan lebih efesien, maka perlu diketahui karakteristik abu terbang dan karakteristik tanaman yang tumbuh alami pada area landfill abu terbang. Untuk lebih jelasnya kerangka berpikir dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
4
Listrik meningkat
Pembangunan
Pemenuhan energi listrik
Membutuhkan bahan bakar minyak, batubara,
Pembangunan PLTU
Cadangan minyak terbatas, kebijakan diversifikasi energi, cadangan batubara melimpah
Penggunaan batubara
Emisi CO2, NO2, SO2
Limbah padat lain : bottom ash
Limbah padat Abu terbang
Jumlah melimpah (sulit dalam pengelolaan), Mengandung logam berat (PP. No 85/1999), pH tinggi, mengandung hara bermanfaat untuk tanaman
Abu terbang
Landfill 60%
Pencemaran lingkungan
Dimanfaatkan : Non-Pertanian(40%) Pertanian (0%)
Eksplorasi Vegetasi Fitoremediator
Pengelolaan ramah lingkungan
Gambar 1.
Bagan alir kerangka pemikiran penelitian
1.3. Perumusan Masalah Abu terbang dari pembakaran batubara menyulitkan dalam pengelolaan karena jumlahnya yang berlimpah serta mengandung beberapa logam berat yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Selain itu
5
pemanfaatan kembali abu terbang masih belum maksimal.
Sebagai contoh,
sekitar 60% abu terbang dari PLTU Suralaya yang dihasilkan per tahun tidak dimanfaatkan dan masih dikembalikan ke landfill. Jika kapasitas daya terpasang ditingkatkan, maka kebutuhan batubara dan abu terbang yang dihasilkan meningkat pula, sehingga jika tidak dicarikan alternatif pemanfaatannya akan terjadi timbunan abu terbang yang berakibat berdampak terhadap lingkungan. Dalam rangka mengurangi dampak abu terbang terhadap lingkungan, maka perlu dicarikan alternatif kemungkinan pengembangan pemanfaatan lain yang lebih bersifat ramah lingkungan sesuai dengan karakteristik limbah. Realitas yang ada pemanfaatan abu terbang hanya sebatas sebagai bahan pencampur semen, conblok dan pengeras jalan. Pemanfaatan lain seperti sebagai amelioran pada bidang pertanian masih jarang dilakukan, karena adanya PP No. 85 Th 1999 yang menggolongkan abu terbang hasil pembakaran batubara sebagai limbah B3. Selayaknya jika digolongkan sebagai limbah B3 pembuangan abu terbang dilakukan sebagaimana layaknya limbah B3.
Padahal abu terbang memiliki
potensi dapat dimanfaatkan sebagai amelioran pada bidang pertanian (Lee et al., 2008; Pandey et al., 2009; Dwivedi et al., 2007). Hal ini dimungkinkan karena abu terbang mengandung hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, dan beberapa negara telah mengaplikasikannya pada bidang pertanian seperti USA, Australia, China dan India. Abu terbang yang dihasilkan memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung pada bahan induk batubara, tipe alat kontrol emisi, penyimpanan dan pengelolaannya (Pathan et al., 2003; Basu et al., 2008). Agar pengembangan pemanfaatannya aman terhadap lingkungan perlu dilihat karakteristik abu terbang yang dihasilkan dari PLTU Suralaya. Sehubungan dengan adanya kandungan logam berat dalam abu terbang, maka teknologi fitoremediasi dapat diterapkan untuk mengurangi kandungan logam berat dalam abu terbang. Namun demikian tanaman memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap lingkungan abu terbang, karena abu terbang memiliki kondisi sedikit ekstrem bagi tanaman pada umumnya, seperti pH yang sangat tinggi, kandungan bahan organik yang rendah, kandungan boron yang sangat tinggi serta adanya logam berat yang beragam yang kesemuanya dapat membatasi
6
pertumbuhan tanaman yang akan digunakan sebagai fitoremediasi.
Untuk itu
maka tanaman yang dilihat kemampuannya untuk fitoremediasi adalah tanaman yang tumbuh alami, karena tanaman yang tumbuh alami telah mampu beradaptasi pada kondisi yang stress tersebut. Walaupun tanaman yang tumbuh alami mampu beradaptasi pada lingkungan tersebut, namun tanaman memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam mengurangi kandungan logam berat.
Karakteristik kemampuan yang
berbeda-beda tersebut terutama dalam hal kemampuan mengakumulasi logam dan kemampuannya dalam mentranslokasikan logam dalam tanaman. Kemampuan tanaman mengakumulasi logam dapat menggambarkan penggolongan tanaman tersebut sebagai hiperakumulator, akumulator atau non akumulator, sedangkan kemampuannya dalam mentranslokasikan logam menggambarkan proses yang dapat dilakukan tanaman dalam mengurangi kandungan logam berat, dalam hal ini poses yang dilakukan tergolong fitoekstraksi atau fitostabilisai. Jika proses yang
diharapkan
adalah
fitoekstraksi
diperlukan
tanaman
yang
dapat
mentranslokasikan logam di tajuk lebih tinggi dari di akar. Hal ini dimaksudkan agar pemindahan logam oleh tanaman benar-benar efisien. Kedua kriteria ini penting untuk menilai potensi tanaman dan efisiensi tanaman dalam melakukan proses fitoremediasi. Oleh sebab itu perlu diketahui karakteristik tanaman yang tumbuh alami dalam mengurangi kandungan logam berat dalam abu terbang.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis karakteristik fisika kimia utama dari abu terbang dalam hubungan untuk pengembangan pemanfaatannya. 2. Mengobservasi kemampuan fitoremediasi vegetasi in situ alami pada area landfill abu terbang. 3. Mengevaluasi prospek pengembangan pemanfaatan abu terbang dan tanaman yang tumbuh alami di area landfill sesuai dengan karakteristik abu terbang dan tanaman.
7
1.5. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat digunakan untuk menyusun rencana pengelolaan pengembangan pemanfaatan abu terbang dan vegetasi yang bersifat ramah lingkungan, sekaligus dapat mengurangi jumlah limbah abu terbang di landfill.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Batubara dan Residu Pembakaran Berdasarkan pada kandungan relatif antara unsur C dan H2O, maka batubara digolongkan menjadi 5 tingkatan, yaitu : antracit, bituminus, subbituminus, lignit dan gambut. Pada antracit kandungan C relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan H2O. Pada bituminus kandungan C lebih rendah dibandingkan dengan kandungan H2O, namun kandungan C pada bituminus lebih rendah dibandingkan dengan antracit, tetapi kandungan air lebih tinggi dari antracit. Antracit adalah jenis batubara keras, mineralnya kompak sehingga mempunyai kilauan tinggi, memiliki jumlah karbon paling tinggi dan memiliki pengotor paling sedikit. Lignit juga dikenal sebagai batubara coklat, menempati tingkatan batubara paling rendah (Jala dan Goyal, 2006). Batubara tersusun dari bahan-bahan organik yang mudah terbakar bersama-sama dengan bahan-bahan anorganik yang sukar terbakar. Pembakaran batubara (antracit, bituminus, subbituminus dan lignit) akan menghasilkan limbah padat yang berasal dari fraksi yang sukar terbakar.
Limbah
padat terdiri dari
fly-ash (abu terbang) berjumlah 70%, bottom ash berjumlah 10-12%, boiler slag berjumlah 4-6% dan materi flue gas desulphurization (FGD) berjumlah 10-12% dari total padatan yang dihasilkan. Bahan FGD adalah bahan padat dari reaksi antara gas SO2 dengan kapur menghasilkan CaSO4 (Basu et al., 2009).
2.2. Sifat Fisika Kimia Abu Terbang Sifat-sifat mineralogi, fisika dan kimia dari abu terbang tergantung pada bahan induk batubara di alam, kondisi pembakaran, tipe alat kontrol emisi dan penyimpanan serta metode pengelolaannya (Jala dan Goyal, 2006; Basu et al., 2009; Pandey et al., 2009; Haynes, 2009), sehingga pembakaran batubara antracit, bituminus dan lignit akan menghasilkan abu terbang yang berbeda komposisinya. Abu terbang memiliki ukuran yang sangat halus, yaitu 0,01 – 100 µm (65-90% berukuran < 10 µm), bulk density (bobot isi) rendah (1,01- 1,43 gr cm3), luas permukaan tinggi dan tekstur ringan (silt loam), daya ikat air berkisar dari 6,1% pada tekanan 15 bar dan 13,4% pada tekanan 1/3 bar. Abu terbang dari
9
batubara bituminus umumnya lebih halus dibandingkan dengan batubara lignit. Partikel abu terbang sebagian besar berbentuk bola, sebagian berongga (cenospheres) dan lainnya terisi oleh partikel amorf dan kristal-kristal yang lebih kecil (plerospheres). Fraksi cenospheres merupakan bagian terbanyak dalam abu terbang khususnya pada fraksi yang sangat halus (Basu et al., 2009). Abu terbang tersusun dari 90-99% Si, Al, Fe, Ca, Mg, Na dan K. Karbon dan nitrogen teroksidasi membentuk gas selama pembakaran sehingga jumlahnya di dalam abu terbang dapat diabaikan (sangat kecil). Abu terbang umumnya bersifat alkalin di alam, namun pH abu terbang dapat bervariasi dari 4,5 – 12. Nilai pH abu terbang sebagian besar ditentukan oleh kandungan S dalam bahan induk batubara, tipe batubara yang digunakan selama pembakaran dan kandungan S dalam abu terbang (Haynes, 2009).
Selain hara essensial, abu terbang
mengandung beberapa logam toksik seperti Cr, Pb, Hg, As dan Cd yang membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia (Gupta et al., 2007). Berdasarkan pada kandungan silika, alumina dan besi oksida, abu terbang diklasifikasikan menjadi 2 tipe, yaitu : Klas F (kandungan kapur rendah) dan klas C (kandungan kapur tinggi) (Basu et al., 2009). Pada pembakaran dengan suhu yang lebih tinggi, batubara antracit atau bituminus akan menghasilkan abu terbang klas F, sedangkan pembakaran batubara lignit atau subbituminus menghasilkan abu terbang klas C. Kandungan alkali dan SO4 umumnya lebih tinggi pada abu terbang klas C daripada klas F (Basu et al., 2009). Abu
terbang dapat digunakan untuk tujuan pengapuran karena
mengandung CaO dan MgO. Kemampuan pengapuran atau daya netralisasi dari abu terbang mempunyai variasi yang besar tergantung pada sumber abu dan proses pelapukan. Daya netralisasi abu terbang berkorelasi negatif dengan kandungan Fe dan Si dan berkorelasi positif dengan Ca dan Mg. Daya netralisasi dari abu terbang klas C (mengandung CaO>15%) lebih besar dari daya netralisasi abu terbang klas F (mengandung CaO<10%). Oleh sebab itu meskipun abu terbang klas F menunjukkan pH yang tinggi, tetapi daya netralisasinya ketika kontak dengan tanah akan lebih rendah karena rendahnya kandungan CaO. Daya netralisasi abu terbang equivalen 20-30% CaCO3 (Haynes, 2009).
10
Kandungan boron tersedia pada abu terbang berkisar 20-60% dan dapat melebihi 250 mgkg-1.
Pada konsentrasi > 30 mgkg-1 B bersifat toksik bagi
tanaman. Berdasarkan kandungan B terlarut dalam abu terbang maka kriteria B dibagi menjadi : non-toxic (<4 mgkg-1), slightly toxic (4-10 mgkg-1), moderately toxic (11-20 mgkg-1), toxic (21-30 mgkg-1) dan highly toxic (>30 mgkg-1 ) (Haynes, 2009). Boron bersifat mobil, sehingga B akan berkurang secara bertahap sesuai waktu karena terjadi pelapukan dan pencucian (Haynes, 2009). Abu terbang memiliki sifat pozzolan. Jika bereaksi dengan kapur bebas dan air akan membentuk semen. Secara karakteristik abu terbang klas C memiliki sifat-sifat pozzolan, sementara abu terbang klas F jarang membentuk semen ketika bercampur dengan air.
Pada beberapa kasus
timbunan abu terbang klas C
berkembang membentuk semen atau lapisan yang kompak sehingga mengurangi aerasi, infiltrasi dan penetrasi akar (Jala dan Goyal, 2006).
2.3. Fitoremediasi Fitoremediasi adalah suatu teknologi penggunaan tumbuhan untuk memindahkan, menguapkan dan menstabilkan kontaminan logam berat dari dalam tanah.
Ada
beberapa
proses
dalam
fitoremediasi,
fitovolatilisasi dan fitostabilisasi (Kidd et al., 2009).
yaitu:
fitoekstraksi,
Fitoekstraksi menurut
Vassilev et al. (2002) harus mencakup 4 hal berikut ini : (1) pengelolaan tanaman pada lokasi tercemar, (2) pemindahahan logam melalui biomassa yang dipanen, (3) dilakukan perlakuan terhadap biomassa yang dipanen berikut pelenyapan biomassa sebagai limbah berbahaya, dan (4) akhirnya penghilangan logam dari biomassa yang dipanen. Fitoremediasi menurut Ghosh dan Singh (2005) terdiri dari 5 proses utama, yaitu: rizofiltrasi, fitostabilisasi, fitoekstraksi, fitovolatilisasi dan fitodegradasi seperti disajikan dalam Tabel 1. Rizofiltrasi didefinisikan sebagai penggunaan tanaman, baik tanaman darat maupun air untuk menyerap atau mengendapkan kontaminan dari sumber pencemar yang berair dengan konsentrasi kontaminan yang rendah di akar. Rizofiltrasi dapat diperlakukan untuk menahan kontaminan dari limbah industri, aliran permukaan kegiatan pertanian dan drainase asam tambang.
Proses ini
11
dapat digunakan terhadap logam-logam Pb, Cd, Cu, Ni, Zn dan Cr yang paling utama terikat di akar. Keuntungan dari proses rizofiltrasi bahwa kemungkinannya untuk diterapkan baik secara in-situ maupun secara ex-situ dan dengan menggunakan species tanaman hiperakumulator (Ghosh dan Singh, 2005).
Tabel 1. Proses fitoremediasi, mekanisme dan kontaminan yang dipindahkan No.
Proses
Mekanisme
Kontaminan
1.
Rizofiltrasi
Akumulasi rizosfer
Organik /anorganik
2.
Fitostabilisasi
Kompleksasi
Anorganik
3.
Fitoekstraksi
Hiperakumulasi atau
Anorganik
akumulasi 4.
Fitovolatilisasi
Volatilisasi melalui
Organik/anorganik
daun 5.
Fitodegradasi
Degradasi dalam
Organik
tanaman
Fitostabilisasi paling banyak digunakan untuk meremediasi tanah, sedimen atau sludge. Kemampuan akar dalam proses fitostabilisasi tergantung dari mobilitas kontaminan dan ketersediaannya di tanah. Fitostabilisasi dapat terjadi melalui penyerapan, pengendapan, kompleksasi ataupun pengurangan valensi logam. Tujuan utama penggunaan tanaman dengan proses ini adalah mengurangi jumlah perkolasi air melalui matrik tanah, yang mengakibatkan pembentukan leachate yang berbahaya dan mencegah erosi tanah dan penyebaran logam-logam toksik ke daerah lain. Kerapatan sistem perakaran akan menstabilkan tanah dan mencegah erosi. Proses ini sangat efektif untuk mengimmobilisasi dengan cepat air permukaan dan air tanah dan tidak membutuhkan pembuangan biomassa, namun kerugiannya bahwa kontaminan dapat kembali ke dalam tanah, sehingga dibutuhkan monitoring yang berkelanjutan (Kidd et al., 2009). Fitoekstraksi merupakan pendekatan yang paling baik untuk memindahkan kontaminan, terutama dari tanah dan mengisolasinya tanpa merusak struktur tanah dan kesuburan tanah. Proses ini juga dikenal dengan istilah fitoakumulasi. Faktor yang harus diperhatikan agar metode ini sesuai adalah tanaman yang digunakan
12
harus dapat mengekstrak logam dalam konsentrasi yang besar ke dalam akar, kemudian mentranslokasikannya ke tajuk dan memproduksi biomassa tanaman dalam jumlah besar. Pemindahan logam berat dapat didaur ulang kembali dari biomassa tanaman yang telah terkontaminasi. Faktor-faktor tanaman seperti laju pertumbuhan, selektifitas elemen, resisten terhadap penyakit, metode panen juga penting untuk diperhatikan. Namun pertumbuhan yang lambat, sistem perakaran yang dangkal, produksi biomassa yang kecil dan pembuangan akhir dapat menjadi pembatas penggunaan species hiperakumulator (Kidd et al., 2009). Fitovolatilisasi mencakup
penggunaan tanaman
untuk mengambil
kontaminan dari dalam tanah dan mengubahnya menjadi bentuk volatil dan kemudian mentranspirasikan ke atmosfer. Proses ini biasanya dilakukan oleh tanaman berbentuk pohon atau tanaman lain yang dapat mengambil air dan kontaminan, baik organik maupun anorganik.
Beberapa kontaminan dapat
melewati tanaman menuju ke daun untuk kemudian diuapkan ke atmosfer dalam perbandingan konsentrasi yang lebih rendah. Fitovolatilisasi biasanya digunakan untuk memindahkan merkuri. Ion merkuri ini diubah ke dalam elemen merkuri yang memiliki daya toksik kecil (Ghosh dan Singh, 2005). Fitodegradasi memutuskan kontaminan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga dapat masuk ke dalam jaringan tanaman. Tanaman memiliki enzim yang dapat memutuskan dan dapat mengubah limbah pelarut organik seperti trichloroethylene dan herbisida lainnya. Enzim tersebut adalah dehalogenase, oksigenase dan reduktase.
Rizodegradasi adalah pemutusan
senyawa organik dalam tanah melalui aktifitas mikroorganisme yang berada di rizosfer dan sebagian besar proses ini lebih lambat dari fitodegradasi.
Ragi,
jamur, bakteri dan organisme lainnya dapat mengkonsumsi dan menghancurkan bahan-bahan organik seperti minyak dan pelarut organik. Semua penggunaan teknologi fitoremediasi dapat digunakan secara simultan, tetapi kemampuan dalam mengekstrak logam tergantung pada ketersediaan logam di dalam tanah (Ghosh dan Singh, 2005). 2.4. Respon Tanaman terhadap Logam Berat Menurut Ghosh dan Singh (2005), tanaman memiliki 3 strategi dasar untuk tumbuh pada tanah yang terkontaminasi logam, yaitu:
13
2.4.1. Ekskluder logam Tanaman memiliki kemampuan dari dalam untuk mencegah masuknya logam dari luar untuk masuk ke dalam jaringan tanaman atau mempertahankan konsentrasi logam tetap rendah atau konstan di bagian dalam dibandingkan konsentrasi di luar tanaman. Tanaman biasanya membatasi penyerapan logam hanya di bagian akar. Tanaman dapat mengubah permeabilitas membrannya, mengubah kemampuan pengikatan logam terhadap dinding sel atau mengeluarkan bahan-bahan untuk mengkelat.
2.4.2. Indikator Logam Species tanaman secara aktif mengakumulasi logam dalam jaringan dan umumnya merespon peningkatan logam dalam tanah. kemampuan
toleransi
terhadap
konsentrasi
logam
Tanaman ini memiliki berlebihan
dengan
memproduksi senyawa yang dapat mengikat logam intrasellular (chelator), atau mengubah bentuk penyimpanan logam melalui penyimpanan logam pada bagian yang tidak sensitif.
2.4.3. Akumulator Logam Tanaman akumulator logam adalah tanaman yang dapat mengakumulasi logam pada bagian tanaman pada tingkat yang jauh melebihi kadar logam dalam tanah. Hiperakumulator adalah tanaman yang dapat menyerap kontaminan dalam jumlah yang tinggi dan dikonsentrasikan pada akar, tajuk atau daun. Brooks (2000) mendefinisikan tanaman hiperakumulator logam sebagai tanaman yang mengandung ≥ 0,1% (≥ 1000 mg/kg) logam Cu, Cr, Pb, Ni dan Co, mengandung ≥ 1% (≥ 10.000 mg/kg) logam Zn dan Mn dalam berat kering serta ≥ 0,01% untuk Cd dan logam-logam yang jarang lainnya. Para peneliti mengidentifikasi tanaman hiperakumulator melalui pengumpulan tanaman dari area yang tercemar, dimana kandungan logamnya lebih tinggi dari kandungan logam-logam tersebut dalam tanah pada umumnya. Ada sekitar 400 species tanaman hiperakumulator dari 22 famili yang telah diidentifikasi. Famili Brassicaceae memiliki species yang bersifat hiperakumulator paling banyak, yaitu 87 species dari 11 genus, serta
14
memiliki keberagaman logam paling besar.
Secara konsep respon tanaman
terhadap logam berat ditampilkan pada Gambar 2.
Hiperakumulator
Konsentrasi logam dalam tanaman Indikator
Ekskluder Konsentrasi logam dalam tanah Gambar 2. Strategi respon tanaman terhadap logam berat dalam tanah 2.5. Tanaman Hiperakumulator dan Akumulator Kunci efesien tidaknya fitoremediasi dalam proses fitoekstraksi yang dilaksanakan tergantung pada tumbuhan yang digunakan apakah memiliki karakteristik hiperakumulator atau akumulator. Tumbuhan hiperakumulator adalah tumbuhan yang sering ditemukan dan dapat tumbuh pada tempat tercemar serta secara alami dapat mengakumulasi logam berat dalam jumlah tinggi di bagian tajuk dibanding dengan bagian akar (Haque et al., 2008). Karakteristik utama tumbuhan hiperakumulator (Wei et al., 2008) adalah sebagai berikut : (1) kemampuan akumulasi logam tinggi (untuk As, Pb, Cu, Ni dan Co ≥ 1000 mg kg-1 berat kering, Zn dan Mn ≥ 10.000 mg kg-1, Au≥ 1 mg kg-1 dan Cd ≥ 100 mg kg-1); (2) konsentrasi logam di tajuk lebih tinggi dari akar (Translocation Factor > 1); (3)
konsentrasi
logam
di tajuk
lebih tinggi dari tanah (Enrichment
Capability/Enrichment Factor = EF > 1); dan (4) tanaman hiperakumulator mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kontaminan toksik (Tolerance Capability 10 -500 kali > dari lahan tidak tercemar).
15
Malayeri et al. (2008) mengungkapkan bahwa kemampuan tanaman untuk menyerap logam dari lingkungan tempat tumbuhnya dapat diketahui melalui ratio antara konsentrasi logam di dalam tanaman dengan konsentrasi logam di dalam tanah
yang
disebut dengan
BAC
(Biological
Absorption
Coefficient).
Pengelompokan tanaman berdasarkan kemampuannya dalam mengangkut atau menyerap logam berat dan sensitifitasnya terhadap pencemaran logam yang tinggi dibagi menjadi 4 kelompok (Malayeri et al., 2008): 1. Species tanaman yang mempunyai BAC antara 1-10 disebut tanaman akumulator tinggi. 2. Species tanaman yang mempunyai BAC antara 0,1-1 disebut tanaman akumulator sedang. 3. Species tanaman yang mempunyai BAC antara 0,01-0,1 disebut tanaman akumulator rendah. 4. Species tanaman yang mempunyai BAC < 0,01 disebut tanaman non akumulator.
2.6. Tipe-Tipe Fitoekstraksi 2.6.1. Fitoekstraksi secara alami Pada kondisi alami, tanaman tertentu telah diidentifikasi memiliki kemampuan menyerap logam berat. Sekurang-kurangnya ada 45 famili yang berfungsi
sebagai
tanaman
hiperakumulator,
diantaranya:
Brassicaceae,
Fabaceae, Euphorbiaceae, Asteraceae, Lamiaceae dan Scrophulariaceae. Diantara hiperakumulator yang paling baik adalah Thlaspi caerulescens yang mampu menyerap Zn sebanyak 26.000 mgkg-1 dan hingga 22% Cd tertukar dari lokasi terkontaminasi (Kidd et al., 2009).
Brassica juncea juga diketahui
memiliki kemampuan yang baik dalam mentransfer Pb dari akar ke tajuk, dengan nilai koefisien fitoekstraksi 1,7 dan pada konsentrasi Pb 500 mg/l, Brassica juncea tidak menunjukan toksik. Koefisien fitoekstraksi adalah perbandingan antara konsentrasi logam di tajuk dengan konsentrasi logam dalam tanah. Brassica juncea mampu memindahkan Pb 1.155 kg Pb per acre. Tanaman Pteris vitatta menunjukkan kemampuan mengakumulasi As sebanyak 14.500 mgkg-1 tanpa menunjukkan gejala toksik (Vassilev et al., 2002).
16
2.6.2. Peningkatan fitoekstraksi Adanya logam berat di dalam sel tanaman telah memicu tanaman untuk memproduksi ligan oligopeptida yang dikenal dengan phytochelatin (PCs) dan metallothionin (MTs). Peptida ini dapat mengikat logam menjadi komplek yang stabil dan selanjutnya dapat menetralisir toksik dari ion logam. PCs memiliki fungsi yang hampir sama dengan MTs (Kidd et al., 2009). Chelat dapat diisolasikan pada tanaman dan dapat memperbaiki pengambilan
logam
berat
dan
mendetoksifikasi.
Agen
chelat
seperti
ethylenediamine tetra acetic acid (EDTA) yang diaplikasikan terhadap tanah yang terkontaminasi Pb dapat meningkatkan jumlah ketersediaan Pb dalam tanah dan menyebabkan akumulasi Pb menjadi lebih besar dalam tanaman. Penambahan chelat pada tanaman yang terkontaminasi Pb (total Pb tanah 2500 mgkg-1) meningkatkan konsentrasi Pb di tajuk tanaman jagung dan kacang kapri (> 10.000 mgkg-1). Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan chelat akan mendorong pemindahan Pb dalam xilem selanjutnya meningkatkan translokasi Pb dari akar ke tajuk (Ghosh dan Singh, 2005).
2.7. Bentuk Total dan Ketersediaan Logam Berat dalam Tanah Logam berat termasuk zat pencemar karena sifatnya yang stabil dan sulit untuk diuraikan. Logam berat adalah elemen yang mempunyai berat atom antara 63,54 - 200,50 dan kerapatan jenis > 6 g cm-3 (Ghosh dan Singh, 2005), selain itu mempunyai affinitas yang tinggi terhadap asam humik, organo dan oksida liat yang diselimuti oleh bahan organik. Di dalam tanah logam berat terdiri atas berbagai bentuk, yaitu bentuk terikat pada partikel organik, bentuk tereduksi (hidroksida), karbonat, sulfida dan bentuk terlarut dalam tanah. Bentuk larut berada dalam fase koloid (ion dan chelat) dimana bentuk ini sangat membahayakan pada kehidupan organisme dan lingkungan. Kelarutan logam, baik di dalam tanah maupun air tanah, dipengaruhi oleh pH, jumlah logam, kapasitas tukar kation, kandungan bahan organik, kondisi oksidasi dari komponen mineral serta potensial redoks. Secara umum pH tanah mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap kelarutan dan retensi logam di dalam tanah dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya.
Retensi yang tinggi
17
dengan kelarutan yang rendah terjadi pada pH yang tinggi. Oleh sebab itu kation logam lebih banyak bergerak dalam kondisi asam (Lasat, 2002). Efek toksik logam berat lebih ditentukan oleh bentuknya daripada konsentrasinya (Alloway, 1995). Bentuk ion utama Cd dalam tanah adalah Cd 2+ tapi bisa juga membentuk ion kompleks seperti CdCl+, CdOH+, CdHCO3-, CdCl3-, CdCl42-, Cd(OH)3- dan Cd(OH)42-.
Cd cenderung lebih mobil dibandingkan
dengan Pb dan Zn dalam tanah sehingga lebih tersedia untuk tanaman. Jika pH menurun, maka kadar Cd akan cenderung meningkat.
Logam Zn diketahui
memiliki efek antagonistik terhadap penyerapan Cd dalam tanah, artinya adanya Zn bisa mengurangi keberadaan Cd dalam tanah (Alloway, 1995).
2.8. Serapan Tanaman terhadap Logam Berat Kadar logam berat dalam tanaman dipengaruhi oleh jangka waktu tanaman kontak dengan logam berat, kadar logam dalam tanah, marfologi dan fisiologi tanaman, umur tanaman serta jenis tanaman yang tumbuh di sekelilingnya (Oppelt, 2000). Pengikatan logam berat oleh tanaman diantaranya berlangsung melalui pembentukan senyawa kompleks. Akar tanaman secara langsung dapat menyerap logam berat yang larut, khususnya kation logam berat bebas. Logam berat dalam tanah dapat berdifusi ke permukaan akar melalui pertukaran ion dan melalui hubungan langsung antara akar dengan fraksi liat tanah. Logam berat dapat pula masuk ke dalam sistem perakaran karena adanya asam-asam organik berupa asam malat, sitrat, fumarat dan fenolat yang menyebabkan pH di sekitar perakaran menurun. Akibatnya banyak senyawa dan ion logam menjadi larut sehingga terserap oleh akar tanaman (Lasat, 2002). Selain itu asam-asam organik dapat pula berikatan dengan logam dan bergerak masuk ke dalam vakuola sel. Menurut Alloway (1995), serapan tanaman terhadap ion logam berat dalam tanah secara luas ditentukan oleh jumlah total ion logam berat dalam tanah, tapi dalam kasus ion yang teradsorpsi secara kuat, penyerapan lebih tergantung pada jumlah akar yang diproduksi tanaman. Penyerapan logam berat oleh akar tanaman bisa berbentuk proses pasif atau aktif (metabolik). Penyerapan pasif (non metabolik) merupakan difusi ion-ion dalam tanah ke dalam endodermis akar, sedangkan penyerapan aktif terjadi melawan suatu gradien konsentrasi dan
18
membutuhkan energi metabolik. Penyerapan Pb termasuk proses pasif, sedangkan penyerapan Cu, Mo, Zn termasuk proses aktif atau keduanya.
Mekanisme
penyerapan bisa beragam untuk ion-ion logam berat yang berbeda, tapi ion-ion yang diserap akar dengan mekanisme sama akan cenderung berkompetisi satu sama lain.
Perbedaan relatif
dalam penyerapan ion-ion logam berat antara
spesies-spesies tanaman dan kultivar-kultivar secara genetik dipengaruhi oleh faktor-faktor : daerah permukaan akar, KTK akar, eksudat akar dan kecepatan evapotranspirasi. Dari proses fisiologis tanaman, beberapa faktor yang mempengaruhi penyerapan logam berat adalah (Oppelt, 2000) : 1. Tipe akar. Sistem perakaran serabut memiliki akar-akar halus yang tersebar di dalam tanah, sehingga akan terjadi kontak maksimum dengan tanah karena besarnya luasan akar. 2. Kedalaman akar. Kedalaman akar berbeda untuk berbagai jenis tanaman, dipengaruhi oleh kondisi lokal diantaranya adalah : kedalaman air, kadar air tanah, srtuktur tanah, densitas tanah dan kesuburan tanah. Kedalaman efektif tanaman fitoremediasi (tidak berkayu) adalah 1-2 ft (30-60 cm). 3. Kecepatan pertumbuhan.
Kecepatan pertumbuhan secara langsung akan
mempengaruhi kecepatan remediasi.
Untuk fitoekstraksi, yang diharapkan
adalah kecepatan pertumbuhan tanaman di atas tanah. Dengan tingginya massa akar dan tingginya biomassa tanaman, maka besarnya kontaminan yang diakumulasi, traspirasi air, asimilasi dan metabolisme kontaminan atau produksi eksudat dan enzim akan meningkat. Kecepatan tumbuh yang tinggi akan memperpendek waktu yang diperlukan untuk mencapai biomassa yang tinggi. 4. Kecepatan transpirasi. Kecepatan transpirasi tanaman penting untuk teknologi fitoremediasi yang mempengaruhi pengangkutan kontaminan dan kontrol hidrolik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan transpirasi
antara lain species tanaman, umur, massa, ukuran, faktor iklim dan musim.
19
2.9. Mekanisme Akumulasi dan Translokasi Logam dalam Tanaman Akumulator atau Hiperakumulator Tanaman dalam mengakumulasi logam terdiri dari beberapa proses, yaitu: (1) pelarutan logam dalam tanah, (2) penyerapan logam ke dalam akar, (3) translokasi logam ke daun, (4) detoksifikasi logam atau khelatasi, dan (5) sekuesterasi atau volatilisasi. Mekanisme toleransi tanaman terhadap beberapa logam, sebagai berikut:
2.9.1. Arsen (As) Arsenit adalah AsO2- atau (AsIII) dan arsenat (AsO43- atau (AsV) adalah bentuk As anorganik yang dominan didapatkan pada tanaman darat.
Kedua
bentuk ini bersifat fitotoksik. Arsenat marupakan bentuk paling dominan yang didapatkan pada tanah aerob yang hampir sama dengan posfor. Arsenit dapat menyebabkan kematian sel melalui pengikatan dan menghambat enzim dari grup sulfhydryl. Contoh tanaman hiperakumulator As adalah Pteris vittata, yang dapat mengakumulasi As hingga 10.000 mgkg-1, sedangkan pada tanaman nonakumulator sudah memperlihatkan gejala
fitotoksik
pada konsentrasi 5-100
mgkg-1 As per berat kering (Kidd et al., 2009). Akumulasi As berkorelasi dengan konsentrasi posfor dari media sekitar. Kelaparan posfat mengakibatkan peningkatan pengambilan As sebesar 2,5 kali, sementara keberadaan posfat dapat mengambat akumulasi As. Pada tanaman P. vittata, arsenit lebih mudah ditranslokasikan dari akar ke tajuk daripada arsenat. Pada tingkat posfor tinggi menunjukkan berkurangnya konsentrasi As di tajuk secara signifikan (Wang et al., 2002). Untuk mengurangi sifat racun As pada tanaman, maka tanaman dapat mengubah arsenat menjadi arsenit dengan bantuan enzim reduktase atau secara non-enzim dengan menggunakan glutathion yang selanjutnya membentuk komplek arsenit-thiol (AsO2-SH). Komplek arsenit thiol ini selanjutnya disimpan di vakuola sel. Arsenit sedikit berbahaya bagi tanaman, namun lebih berbahaya bagi hewan terlebih jika masuk ke dalam rantai makanan (Wang et al., 2002).
20
2.9.2. Kadmium (Cd) Cd merupakan logam toksik dan dapat menyebabkan karsinogen. Arabidopsis halleri dan Thlaspi caerulescens merupakan tanaman hiperakmulator Cd, yang dapat menyerap 10.000 mgkg-1 Cd (Brooks, 2000). Pengambilan Cd oleh tanaman dipengaruhi ion divalen lainnya seperti Zn. Kelebihan Zn dalam media dapat mengurangi pengambilan Cd pada beberapa species tananaman. T. caerulescens memiliki kemampuan membentuk enzim antioksidan seperti katalase sehingga memiliki kemampuan untuk toleran terhadap Cd. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa Cd lebih banyak disekuesterasi di apoplast dan vakuola daun pada T. caerulescens, sedangkan menurut Cosio dan Keller (2004), 35% Cd diakumulasi di dinding sel atau apoplast pada daun T. caerulescens.
2.9.3. Kromium (Cr) Cr (III) merupakan unsur essensial untuk hewan dan tidak termasuk unsur essensial bagi tanaman. Cr (III) merupakan bentuk yang paling stabil. Bentuk Cr yang paling banyak adalah dalam bentuk Cr (0), Cr (III) dan Cr (VI). Cr (0) biasanya dihasilkan dari proses industri. Cr (VI) dianggap 1000 kali lebih toksik dari Cr (III).
Tanaman umumnya mengambil Cr dalam bentuk Cr (VI) dan
bersifat karsinogenik. Meskipun Cr (IV) yang teroksidasi relatif tidak berbahaya dari Cr (III), namun Cr (IV) dan Cr (VI) yang tercuci ke dalam air tanah dapat membahayakan kesehatan dan merusak ekosistem.
2.9.4. Tembaga (Cu) Cu merupakan unsur essensial bagi hewan dan tanaman. Kontaminasi Cu terhadap tanah dan air tanah umumnya dihasilkan dari daerah penambangan. Pada konsentrasi yang sangat tinggi, Cu dapat bersifat toksik bagi tanaman. Sebagian besar tanaman yang toleran terhadap Cu bersifat ekskluder. Salix nigra menunjukkan akumulasi yang lebih tinggi terhadap Cd dan Cu bila dibandingkan dengan species Salix lainnnya dan dari percobaan lapangan telah terbukti kemampuan species ini untuk fitoremediasi, sedangkan untuk kontaminan Cu di air,
Eichornia crassipes dapat mengakumulasi 21,62 kgha-1 Cu, dan dapat
21
berpotensi digunakan untuk fitoremediasi kontaminan Cu pada konsentrasi rendah di dalam limbah cair (Liao dan Chang, 2004).
2.9.5. Merkuri (Hg) Merkuri bersifat toksik terhadap manusia. Hg masuk ke manusia melalui konsumsi ikan.
Bentuk Hg yang paling toksik adalah organomerkuri seperti
methil-Hg dan phenil merkuri asetat, diikuti ion Hg (II) dan Hg (0). Hg (0) merupakan bentuk Hg yang sifat toksiknya kecil. Organomerkuri dan ion Hg (II) bersifat toksik bagi tanaman, tetapi tanaman yang bersifat hiperakumulator terhadap Hg belum ditemukan. Jamur Amanita muscaria bersifat hiperakumulator Hg, karena dapat mengakumulasi 96-1900 µgg-1 Hg di bagian tudung, dan dapat mengakumulasi 61-920 µgg-1 Hg di bagian tangkai. Tanaman Salix spp dapat mengakumulasi Hg dan disimpan di dinding sel akar, namun yang ditranslokasikan ke tajuk hanya 0,45-0,65% (Wang dan Greger, 2004). 2.9.6. Nikel (Ni) Ni merupakan unsur yang bersifat toksik dan menyebabkan karsinogenik pada konsentrasi tinggi. Logam As, Cd, Pb dan Ni sering ditemukan pada daerah penambangan.
Konsentrasi Ni dalam tanah dan air air tanah pada daerah
penambangan sering melebihi batas aman yang telah ditetapkan. lesbiacum
dan
Thlaspi
hiperakumulator Ni.
goesingense
adalah
tanaman
yang
Alyssum bersifat
Ada 48 species Alyssum yang ditemukan dapat
mengakumulasi 1000-30.000 µgg-1 Ni di daun. Thlaspi goesingense dilaporkan dapat mengakumulasi 9.490 mgkg-1 berat kering. (Brooks, 2000).
2.9.7. Timbal (Pb) Pb merupakan logam berat yang sangat toksik. Pb dapat masuk melalui pernafasan dan dapat mempengaruhi kesehatan terutama anak-anak. Elemen Pb tidak larut, bentuk yang paling larut dari senyawa Pb adalah Pb asetat, Pb klorida dan Pb nitrat. Pb di atmosfer berada dalam bentuk PbSO4 dan PbCO3. Meskipun beberapa tanaman bersifat ekskluder terhadap Pb seperti Thlaspi praecax, tetapi bersifat hiperakumulator terhadap Zn dan Cd (Sahi et al., 2002).
Sesbania
22
drummondii (leguminoceae) dan beberapa species Brassica dapat mengakumulasi Pb dalam jumlah yang siginifikan di akar. Tanaman S. drummondii dapat mentoleransi Pb hingga 1500 mgL-1dan mengakumulasi hingga 40 gkg-1 per berat kering di tajuk.
Tanaman Brassica juncea yang ditanam pada tanah dengan
konsentrasi Pb 645 µgg-1 menunjukkan pertumbuhan yang terhambat, namun masih dapat mengakumulasi Pb sebanyak 34500 gkg-1 pada bagian tajuk (Sahi et al., 2002). Tantangan yang paling besar dalam meremediasi Pb adalah bahwa kelarutan Pb dalam tanah sangat rendah dan diperkirakan hanya 0,1% Pb yang tersedia (Huang et al., 1997). Usaha fitoremediasi terhadap Pb dapat dilakukan dengan penggunaan pembenah tanah seperti EDTA untuk meningkatkan pengambilan Pb.
Walaupun chelat
dapat meningkatkan
kelarutan dan
pengambilan Pb, tetapi konsentrasi Pb yang ditransfer di tajuk masih rendah dibandingkan dengan konsentrasi Pb dalam tanah, sehingga dapat memicu mobilitas Pb-EDTA untuk tercuci dan mengontaminasi air tanah. Keberhasilan fitoremediasi Pb akan tergantung pada kelarutan Pb dan kemampuan mentranslokasikan ke daun (Ghosh dan Singh, 2005). 2.9.8. Seng (Zn) Zn merupakan unsur mikro essensial, tetapi pada konsentrasi tinggi bersifat toksik terhadap hewan dan tanaman. Tanaman hiperakumulator Zn yang telah teridentifikasi adalah Thlaspi caerulescens.
Tanaman ini dapat
-1
mengakumulasi Zn 25.000-30.000 µgg , dan belum menunjukkan gejala toksisitas walaupun telah mengakumulasi Zn sebanyak 40.000 µgg-1 bagian tajuk. Tanaman Arabidopsis halleri juga dapat mengakumulasi Zn pada bagian tajuknya hingga 32.000 µgg-1 (Zhao et al., 2000). Terdapat perbedaan antara tanaman hiperakumulator dan tanaman non-akumulator dalam mentransfer Zn. Tanaman hiperakumulator dan non-akumulator (Thlaspi arvense) memiliki affinitas yang sama terhadap Zn, tetapi hiperakumulator memiliki laju pengambilan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan terjadinya transpor Zn yang lebih baik ke daun pada hiperakumulator. T. caerulescens memiliki kemampuan 5 kali lebih dalam mengalirkan Zn ke dalam xilem dan 10 kali lebih dalam mentranslokasikan Zn ke tajuk dibandingkan T. arvense (Zhao et al., 2000).
23
Mekanisme detoksifikasi, khelatasi dan sekuesterasi pada tanaman bersifat spesifik species. Zn sebagian besar berikatan dengan malat dalam daun A. halleri. Meskipun malat yang merupakan asam organik paling banyak terdapat pada tajuk T. caerulescens, tetapi tidak ada pengikatan antara malat dan Zn. Malahan pada tanaman T. caerulescens, Zn paling dominan berikatan dengan histidin di akar, sekitar 30% Zn-malat diikat di dinding sel, sedangkan di xilem sebagai Zn-citrat 20%, sementara di daun Zn berikatan dengan malat, citrat dan histidin dan paling dominan Zn berikatan dengan citrat (Sarret et al., 2002). Tanaman T. caerulescens dan T. arvense sama dalam menyimpan Zn di akar, yaitu di apoplast. Hal ini mengindikasikan bahwa dinding sel tidak toleran tehadap mekanisme ini.
Pada tanaman non-akumulator, konsentrasi Zn yang
tinggi di akar disimpan di vakuola. Akumulasi Zn di vakuola akar pada tanaman non akumulator sebagai mekanisme toleransi tanaman non-akumulator, sehingga menyebabkan transpor Zn ke daun rendah. Tempat sekuestrasi Zn yang utama di daun pada T. caerulescens adalah vakuola tepatnya pada sel epidermis dan subepidermis (Frey et al., 2000), sedangkan pada A. helleri, sekuesterasi Zn terletak di vakuola sel mesofil (Kupper et al., 2000).
24
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Contoh
abu terbang
diambil dari PLTU Suralaya, Cilegon Banten.
Analisis fisika kimia abu terbang dilakukan di Laboratorim Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB, sedangkan analisis logam berat dalam abu terbang dan tanaman dilakukan di Laboratorium Terpadu, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Agustus – Oktober 2009.
3.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh abu terbang dan contoh tanaman yang tumbuh alami pada area landfill. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : oven, tanur, timbangan analitik, labu Kjeldahl, Block Digestion, corong gelas, kertas saring, pH meter, AAS (Atomic Absorption Spectrometer) untuk mengukur kandungan unsur-unsur (Si, B, Na, K, Fe, Mn, Cu, Zn, Ni, Cr, Cd, Pb, Co, dan Hg) serta alat tulis.
3.3. Pelaksanaan Penelitian 3.3.1. Pengambilan Contoh Abu Terbang Pengambilan contoh abu terbang dilakukan pada 2 sumber, yaitu langsung dari electrostatic precipitator (ESP) yang merupakan abu terbang segar dan dari landfill seluas 24 ha. Contoh abu terbang landfill diambil pada bagian permukaan dengan kedalaman 0-20 cm pada daerah sekitar akar secara komposit di tiga titik. Setiap titik diambil sebanyak 3 sub conto untuk dikompositkan menjadi 1 contoh, diaduk rata dan diambil 0,5 kg kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label selanjutnya ditentukan sifat kimia dan kadar unsur-unsurnya. 3.3.2. Pengambilan Contoh Tumbuhan Contoh tumbuhan yang tumbuh secara alami di area landfill diambil untuk mengetahui kemampuan akumulasi dan translokasi logam dalam tanaman. Contoh tumbuhan yang diambil meliputi bagian akar dan tajuk.
Contoh tumbuhan
ditempatkan dalam kertas untuk kemudian dikeringkan dalam oven selama 6 jam pada suhu 105o C, setelah itu digiling.
25
3.3.3. Analisis Fisika-Kimia Abu Terbang Analisis sifat kimia abu terbang meliputi: pH (H2O 1:2), Electrical Conductivity (EC) dan C-organik (Walkley & Black), analisis unsur total abu terbang meliputi: Si, B, Na, K, Fe, Mn, Zn, Cu, Cd, Cr, Ni, Pb, Co dan Hg (HClO4 dan HNO3 1:4). Analisis beberapa unsur dalam abu terbang digunakan untuk mengetahui kandungan unsur
yang diperlukan tumbuhan untuk
pertumbuhannya dan untuk mengetahui kandungan logam berat yang terdapat dalam abu terbang, agar diperoleh karakteristik abu terbang sehingga dapat diperkirakan kemungkinan pengembangan pemanfaatannya. Toxicity characteristic leaching procedure (TCLP) digunakan untuk menentukan jumlah logam berat yang berpotensi tercuci dari tanah dan contoh abu terbang (Pathan et al., 2003).
Menurut PP. No.85 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah B3, uji TCLP digunakan untuk menentukan sifat racun suatu bahan sebagai salah satu indikator penentu suatu bahan tergolong limbah B3. Nilai total logam berat yang diperoleh dari hasil analisis dalam penelitian ini selanjutnya dibandingkan dengan baku mutu TCLP yang dikeluarkan USEPA menurut Testa (1999 dalam Pathan et al., 2003) maupun yang dikeluarkan oleh PP. No. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. 3.3.4. Analisis Logam Berat dalam Tumbuhan Sebelum dilakukan analisis logam berat dalam tumbuhan, akar dan tajuk tanaman dipisahkan, kemudian masing-masing akar dan tajuk dianalisis kandungan total logam beratnya meliputi: Fe, Mn, Zn, Cu, Pb, Cd, Pb, Ni dan Co dengan menggunakan ekstrak HClO4 dan HNO3 (1:4) (Yangun et al., 2005), pengukuran dilakukan dengan menggunakan AAS. Selanjutnya untuk melihat kemampuan tumbuhan dalam mengakumulasi logam berat, dapat diketahui dengan menghitung nilai BCF. Nilai BCF menunjukkan perbandingan antara konsentrasi logam berat di tajuk dengan logam berat dalam abu terbang atau dalam tanah (Wei et al., 2008), sedangkan untuk mengetahui proses yang dilakukan tumbuhan dalam mengurangi logam berat dapat diketahui dengan menghitung nilai TF (Wei et al., 2008). Nilai TF menunjukkan perbandingan antara konsentrasi logam di tajuk dengan konsentrasi logam di akar. Nilai BCF dan TF yang diharapkan > 1. Nilai BCF 1-10 menunjukkan tumbuhan tergolong
26
akumulator tinggi, 0,1-1 menunjukan tergolong akumulator sedang, 0,001-0,1 menunjukkan tergolong akumulator rendah, dan < 0,01 tanaman tergolong non akumulator. Nilai TF >1, proses yang dilakukan tumbuhan dalam meremediasi logam adalah fitoekstraksi, sedangkan TF < 1, proses yang dilakukan tumbuhan dalam meremediasi logam adalah fitostabilisasi. Adapun rumus menghitung nilai bioconcentration factor (BCF) dan translocation factor (TF) :
BCF = konsentrasi logam dalam tajuk tumbuhan konsentrasi logam dalam abu terbang TF = konsentrasi logam dalam tajuk tumbuhan konsentrasi logam dalam akar tumbuhan Untuk mengevaluasi prospek pengembangan pemanfaatan abu terbang sehubungan dengan tujuan pengelolaan lingkungan dilakukan dengan cara membandingkan karakteristik abu terbang dari PLTU Suralaya dengan karakteristik abu terbang dari tempat lain dari beberapa referensi yang memuat karakteristik abu terbang yang telah dipergunakan sebagai amelioran pada bidang pertanian dan non pertanian.
27
IV. GAMBARAN UMUM PLTU DI INDONESIA
4.1. Proses Produksi Listrik PLTU Suralaya PLTU Suralaya merupakan PLTU pertama yang dibangun di Indonesia, berbahan bakar utama batubara dan merupakan PLTU terbesar di Jawa. Pembangunan PLTU Suralaya dilakukan dalam 3 tahap sebanyak 7 unit, yaitu tahun 1984, 1989 selanjutnya tahun 1997. Unit 1-4 masing-masing memiliki kapasitas daya terpasang 400 MW dan unit 5-7 masing-masing 600 MW, sehingga saat ini jumlah total kapasitas daya terpasangnya 3400 MW.
Pengoperasian
PLTU Suralaya secara komersial dapat menambah kapasitas dan keandalan dalam sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali sebagai wilayah yang banyak menggunakan energi listrik dibanding wilayah lainnya. Selain itu, dengan beroperasinya PLTU ini, juga mendukung program penganekaragaman sumber energi primer untuk pembangkit listrik sekaligus penghematan bahan bakar minyak (BBM) yang digalakkan oleh pemerintah. Proses produksi listrik menggunakan batubara sebagai bahan bakar utamanya. Panas yang dihasilkan dari pembakaan batubara, diserap oleh pipapipa penguap menjadi uap jenuh atau uap basah yang kemudian dipanaskan. Uap tersebut dialirkan ke turbin tekanan tinggi. Tenaga dari uap mendorong sudusudu turbin dan membuat turbin berputar. Batubara PLTU Suralaya berasal dari tambang batubara Bukit Asam, Sumatera Selatan dari jenis subbituminus dengan nilai kalor antara 5000-5500 Kkal/kg. Selain batubara, PLTU Suralaya juga menggunakan solar dan minyak residu sebagai bahan bakar cadangan. Hasil proses pebakaran yang terjadi menghasilkan limbah berupa abu terbang dalam perbandigan 14:1. Abu yang jatuh ke bagian bawah boiler secara periodik dikeluarkan dan dikirim ke ash valley. Gas hasil pembakaran diisap keluar dari boiler oleh induce draft fan dan dilewatkan melalui electrostatic precipitator yang menyerap 99,5% abu tebang dan debu dengan sistem elektode lalu dihembuskan ke cerobong (stack). Abu dan debu kemudian dikumpulkan dan diambil dengan alat pneumatic gravity conveyor.
28
4.2. Komponen Produksi Listrik PLTU Suralaya Adapun komponen utama PLTU Suralaya dalam menghasilkan energi listrik, yaitu: (1) Boiler, (2) Turbin uap, (3) Generator, sedangkan komponen pendukung,
yaitu:
(1)
Pulverizer,
(2)
Boiler
Feedwater
Pump
(3)
Pendingin/kondensor, (4) Transformator, (5) Electrostatic Precipitator,
(6)
Cerobong asap (Stack). Untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, PLTU Suralaya dilengkapi peralatan, antara lain: (1) Electrostatic precipitator yang merupakan alat penangkap abu sisa pembakaran dengan efesiensi 99,5%, (2) Cerobong asap setinggi 200 m dan 275 m, agar kandungan debu dan gas sisa pembakaran sampai ground level masih berada di bawah ambang batas, (3) Sewage treatment dan neutralizing basin merupakan tempat pengolahan limbah cair agar air buangan tidak mencemari lingkungan, (4) Peredam suara, (5) CW discharge cannel sepanjang 1,9 km dengan sistem saluran terbuka, (6) Pemasangan stack emmision dan (7) Penggunaan low NOx burners.
4.3. Perkembangan PLTU di Indonesia PLTU kedua yang dibangun setelah PLTU Suralaya adalah PLTU Bukit Asam (Sumatra) pada tahun 1987, dengan kapasitas 130 MW, dan pada tahun 1993 PLTU Paiton (Jawa Timur) 1 dan 2, beroperasi pula dengan kapasitas daya terpasang 400 MW, sehingga diperkirakan pada tahun 1994 kapasitas daya terpasang sudah 16% dari total daya terpasang. Saat ini ada sekitar 7 pembangkit listrik berbahan bakar batubara yang telah beroperasi, disajikan pada Tabel 2.
29
Tabel 2. PLTU berbahan bakar batubara di Indonesia yang telah beroperasi Nama PLTU Asam-Asam PLTU PT. Krakatau PLTU Paiton I
PLTU Paiton II
PLTU Suralaya
Unit Pembangkitan Paiton PLTU Lati
Lokasi Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan Cilegon, Banten Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur Cilegon, Banten
Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
Kapasitas
Jumlah Pembangkit
65 MW
2
400 MW 1230 MW
5 2
1300 MW
2
400 MW 400 MW 600 MW 800 MW
2 2 3 2
7 MW
2
Berikut keluarnya Peraturan Presiden Nomor. 71 Tahun 2006 tentang Penugasan kepada PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara, maka pemerintah merencanakan akan membangun pembangkit listrik baru dengan kapasitas terpasang berjumlah 10.000 MW dan diperkirakan tahun 2009 telah siap beroperasi. Pembangunan pembangkit listrik ini direncanakan 10 lokasi di Jawa dan Bali serta 30 lokasi di luar Jawa. Adapun rencana pembangkit listrik di luar Jawa-Bali disajikan pada Tabel 3, sedangkan rencana pembangkit listrik di Jawa-Bali disajikan pada Tabel 4.
30
Tabel 3. Rencana pembangkit listrik 10.000 MW berbahan bakar batubara di luar Jawa-Bali No.
Lokasi Pembangkit
Jumlah Unit
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
PLTU Nangroe Aceh Darussalam PLTU 1 di Sumatra Utara PLTU 2 di Sumatra Utara PLTU di Sumatra Barat PLTU 1 di Bangka Belitung PLTU 2 di Bangka Belitung PLTU 3 di Bangka Belitung PLTU 4 di Bangka Belitung PLTU 1 di Riau PLTU 2 di Riau PLTU di Kepulauan Riau PLTU di Lampung PLTU 1 di Kalimantan Barat PLTU 2 di Kalimantan Barat PLTU di Kalimantan Selatan PLTU 1 di Kalimantan Tengah PLTU 2 di Kalimantan Tengah PLTU 1 di Sulawesi Utara PLTU 2 di Sulawesi Utara PLTU di Gorontalo PLTU di Sulawesi Selatan PLTU di Sulawesi Tenggara PLTU 1 di Nusatenggara Barat PLTU 2 di Nusatenggara Barat PLTU 1 di Nusatenggara Timur PLTU 2 di Nusatengara Tmur PLTU di Maluku PLTU di Maluku Utara PLTU 1 di Papua PLTU 2 di Papua
Kelas Kapasitas (MW)
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
100-150 100-150 100-150 100-150 10 10 25 15 7 5 7 100-150 25 50 65 65 7 25 25 25 50 10 7 25 7 15 7 7 7 10
Tabel 4. Rencana pembangkit listrik 10.000 MW berbahan bakar batubara di Jawa-Bali No.
Lokasi Pembangkit
Tempat
Jumlah Unit
Kelas Kapasitas (MW)
1.
PLTU 1 di Banten
Suralaya
1
600-700
2.
PLTU 2 di Banten
Labuhan
2
300-400
3.
PLTU 3 di Banten
Lontar
3
300-400
4.
PLTU 1 di Jawa Barat
Indramayu
3
300-400
5.
PLTU 2 di Jawa Barat
Pelabuhan Ratu
3
300-400
6.
PLTU 1 di Jawa Tengah
Rembang
2
300-400
7.
PLTU 2 di Jawa Tengah
Cilacap
1
600-700
8.
PLTU 1 di Jawa Timur
Pacitan
2
300-400
9.
PLTU 2 di Jawa Timur
Paiton
1
600-700
10.
PLTU 3 di Jawa Timur
Tanjung
2
300-400
Awar Tuban
Awar-
31
Menurut Sukandarrumidi (2006), pada tahun 2003, kapasitas daya terpasang listrik berbahan bakar batubara berjumlah 12.100 MW, selanjutnya pada tahun 2008/2009 diperkirakan kapasitasnya telah mencapai 24.570 MW dan pada tahun 2020 sekitar 46.000 MW. PLTU
Suralaya
dengan
kapasitas
daya
terpasang
3400
MW,
membutuhkan batubara sekitar 13 juta ton per tahun, dengan abu terbang yang dihasilkan sekitar 7% dari total konsumsi batubara. Dengan demikian ada sekitar 1 juta ton per tahun abu terbang yang dihasilkan.
Pemanfatan kembali abu
terbang baru sekitar 40%, sehingga sebanyak 60% ditumpuk di landfill.
Jika
diumpakan kebutuhan batubara dan persentase abu terbang yang dihasilkan untuk pembangkit listrik yang lain sama dengan kebutuhan batubara yang digunakan PLTU Suralaya, jika kapasitas daya terpasang meningkat menjadi 24.570 MW dan 46.000 MW, maka abu terbang yang dihasilkan menjadi 8 dan 13 kali lebih tinggi dari abu terbang yang dihasilkan PLTU suralaya atau sekitar 7 juta ton dan 14 juta ton per tahun. Semakin meningkat jumlah pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan semakin meningkat kapasitas daya terpasang tentunya meningkatkan penggunaan batubara dan ini akan berimplikasi pada peningkatan abu terbang yang dihasilkan.
Oleh sebab itu seyogyanya dari saat ini perlu
dipikirkan kemungkinan pengembangan pemanfaatannya yang bersifat ramah lingkungan.
32
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Fisika-Kimia dari Abu Terbang Abu terbang yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari 2 sumber, yaitu: dari ESP (Electrostatic Precipitator) yang merupakan abu terbang segar dan abu terbang yang berasal dari landfill.
Hasil analisis fisika-kimia abu
ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis fisika-kimia abu terbang dari PLTU Suralaya Parameter
Abu terbang ESP
Abu terbang landfill
pH H2O EC (dSm-1 ) C-organik (%) K (ppm) Na (ppm) Fe (ppm) Zn (ppm) Mn (ppm) Cu (ppm) Cr (ppm) Cd (ppm) Pb (ppm) Hg (ppm) Ni (ppm) Co (ppm) B (ppm) Si (ppm)
9,50 1,60 0,16 89,6 1868,2 1553,5 26,6 105,0 17,1 td td 9,8 0,5 21,1 6,3 551 4334
6,00 0,36 1,51 73,2 1417,5 1543,8 23,7 97,8 16,3 td td td 0,1 16,4 6,3 310 1747
TCLP a
TCLPbb
250 25 5 1 5 0,2 20 80
50 10 5 1 5 0,2 -
td : tidak terdeteksi - : tidak tersedia a : baku mutu Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) zat pencemar dalam limbah untuk penentuan karakteristik sifat racun menurut Testa (1977 dalam Pathan et al., 2003). b : baku mutu TCLP zat pencemar dalam limbah untuk penentuan karakteristik sifat racun menurut PP No. 85 Tahun 1999.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pH abu terbang segar lebih tinggi dibandingkan pH abu terbang landfill, yaitu berturut-turut 9,5 dan 6,0. Nilai pH abu terbang pada dasarnya ditentukan oleh komposisi bahan induk batubara. Batubara dengan kandungan S tinggi akan menghasilkan abu terbang dengan pH
33
bersifat asam, sedangkan batubara dengan kandungan S rendah akan menghasilkan abu terbang dengan pH bersifat alkalin (Haynes, 2009). Nilai EC abu terbang segar (1,6 dSm-1) lebih tinggi dari nilai EC abu terbang yang berasal dari landfill (0,6 dSm-1) (Tabel 5). Tingginya nilai EC dalam abu terbang berhubungan dengan konsentrasi Ca, Fe, K atau Mg. Menurut Basu et al. (2009), garam-garam terlarut yang mempengaruhi nilai EC disebabkan oleh kation Ca2+ yang berada dalam jumlah terbesar dan SO42- dalam jumlah yang lebih kecil dari Ca2+ serta OH- dan CO32- sebagai anion pengimbang. Penurunan nilai pH dan EC di landfill diperkirakan terjadi karena adanya proses pencucian. Penelitian yang dilakukan Pathan et al. (2003), membuktikan bahwa abu terbang segar memiliki nilai EC yang lebih tinggi (1,3 dSm-1) bila dibandingkan dengan nilai EC abu terbang yang telah mengalami pencucian (abu terbang berumur 3 tahun, nilai EC=0,51 dSm-1 dan abu terbang berumur 3 bulan, nilai EC=0,59 dSm-1). Menurut Haynes (2009) proses pencucian menyebabkan berkurangnya garam-garam terlarut dan menurunkan pH.
Partikel abu terbang
yang sangat halus dan bersifat porous berkontribusi terhadap tingkat pencucian yang tinggi. Nilai pH dan EC dalam abu terbang merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam perannya sebagai pembenah tanah, karena pH berpengaruh terhadap mobilitas dan kelarutan logam essensial dan non essensial di dalam tanah, mempengaruhi aktifitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik serta penyediaan unsur hara bagi tanaman (Haynes, 2009). Nilai EC pada abu terbang dapat melebihi 13 dSm-1 (Gupta dan Sinha, 2008). Tanaman yang tumbuh pada tanah dengan nilai EC>4 dSm-1 akan terganggu pertumbuhannya. Masalah salinitas tidak akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, jika nilai EC < 1,5 dSm-1 untuk species sensitif garam/salt-sensitive, EC < 3,5 dSm-1 untuk species sensitif garam sedang/ moderately salt-sensitive, EC <6,5dSm-1 untuk species toleran garam sedang/moderately salt-tolerant species (Gupta dan Sinha, 2008). Pierzynski et al. (2004) menggolongkan salinitas menjadi 3, yaitu: rendah (EC < 1,9 dSm-1, persentase Na dapat ditukar < 10%), tinggi (3,9 < EC < 8,9 dSm1) dan toksik (EC > 8,9 dSm-1).
34
Kandungan
total boron (B) pada abu terbang yang berasal dari ESP
memiliki nilai 551 ppm, sedangkan kandungan boron abu terbang dari landfill memiliki nilai 310 ppm. Konsentrasi total dan terlarut boron mempunyai variasi yang besar tergantung pada bahan induk batubara di alam. Boron tersedia dari abu terbang dapat berkisar dari 20-60 mgkg-1 dan dapat melebihi 250 mgkg-1. Pada konsentrasi 30 mgkg-1 pelu dipertimbangkan karena sudah bersifat toksik terhadap tanaman. Toksisitas B paling sering menyebabkan depresi pertumbuhan tanaman yang ditumbuhkan pada tanah yang diameliorasi dengan abu terbang atau tumbuh langsung pada landfill abu terbang (Haynes, 2009). Hal ini disebabkan B dapat menghambat aktifitas mikroorganisme (Jala dan Goyal, 2006). Tanaman yang toleran terhadap abu terbang diindikasikan bahwa tanaman tersebut toleran terhadap boron. Berdasarkan kandungan B terlarut dalam abu terbang, B dibagi menjadi beberapa kriteria : non-toksik (<4 mgkg-1), agak toksik (4-10 mgkg-1), sedikit toksik (11-20 mgkg-1), toksik (21-30 mgkg-1) dan sangat toksik (>30 mgkg-1) (Haynes, 2009). Boron merupakan elemen yang relatif mobil. Oleh sebab itu B larut air secara bertahap akan bekurang sesuai dengan waktu karena terjadi pencucian selama penyimpanan.
Konsentrasi B dari landfill yang rendah dibandingkan
dengan konsentrasi B yang berasal dari ESP diduga kaena pencucian.
Mitrovic
et al. (2008) membuktikan dari hasil penelitiannya bahwa konsentrasi B dari abu terbang segar (410 µgg-1) berkurang menjadi 25,65 dan 19,32 µgg-1 setelah dibiarkan di landfill selama 5 dan 13 tahun. Hasil analisis konsentrasi total logam abu terbang ditampilkan pada Tabel 5. Dari analisis terlihat bahwa abu terbang mengandung beberapa unsur yang dibutuhkan tanaman dan logam-logam yang bersifat toksik seperi Co, Pb, dan Ni, sedangkan logam Cd dan Cr tidak terdeteksi. Secara keseluruhan konsentrasi total logam dalam abu terbang segar lebih tinggi dari abu landfill. Sehubungan dengan adanya unsur-unsur bersifat toksik dalam abu terbang, maka diperlukan uji toksisitas dengan metode TCLP (Testa, 1977 dalam Pathan et al., 2003). TCLP adalah suatu metode untuk menguji potensi toksik terhadap suatu material. TCLP dapat digunakan untuk menentukan jumlah trace element
35
(unsur kelumit) yang berpotensi tercuci dari tanah maupun dari abu terbang. Menurut PP No. 85 Tahun 1999 uji karakteristik abu terbang dengan TCLP dapat digunakan untuk menentukan apakah abu terbang termasuk limbah B3. Walaupun dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis TCLP, namun konsentrasi total logam abu terbang terlihat lebih rendah dari batasan nilai TCLP yang ditetapkan oleh USEPA (Testa, 1977) maupun batasan TCLP yang ditetapkan oleh PP No.85 Tahun 1999, kecuali logam Ni dalam abu terbang ESP. Hasil analisis abu terbang (pH 8,12) yang dilakukan Gupta dan Sinha (2008), menunjukkan konsentrasi Ni total dalam abu terbang 23,44 mgkg-1, konsentrasi Ni terekstrak dengan DTPA (Diethylenetriamine penta acetic acid) dalam abu terbang sebesar 3,9 mgkg-1 atau 16,81% dari konsentrasi total Ni, sedangkan dengan ekstrak sequensial sebanyak 14,4%. Berdasarkan pada hal ini maka Ni dari abu terbang ESP yang berpotensi tercuci dalam penelitian ini diperkirakan masih lebih rendah dari batasan yang ditetapkan. Oleh sebab itu berdasarkan batasan uji TCLP terhadap beberapa konsentrasi logam yang terkandung dalam abu terbang, dapat diperkirakan bahwa abu terbang yang dihasilkan dari PLTU Suralaya seyogyanya tidak termasuk dalam limbah toksik. Sejauh ini informasi karakteristik fisika kimia abu terbang yang berasal dari PLTU-PLTU di Indonesia dirasakan masih sangat terbatas, oleh sebab itu perlu pula membandingkannya dengan karakteristik abu terbang dari tempat atau negara lain yang telah dimanfaatkan sebagai amelioran pada bidang pertanian, agar diketahui sejauh mana potensi abu terbang yang ada di PLTU Suralaya dapat dievaluasi kemungkinan pengembangan pemanfaatannya pada bidang pertanian, walaupun berdasarkan uji TCLP abu terbang dari PLTU Suralaya seyogyanya tidak termasuk limbah toksik. Karakteristik fisika kimia abu tebang dari beberapa PLTU negara lain di tampilkan pada Tabel 6 sampai 8. Pada Tabel 6, 7 dan 8 terlihat bahwa secara umum abu terbang mengandung unsur yang dibutuhkan tanaman, seperti Ca, Mg, K dan P. Abu terbang juga mengandung sejumlah unsur yang tidak dibutuhkan tanaman, seperti Cd, Cr, Pb dan As dalam jumlah yang bervariasi. Penelitian yang dilakukan Pathan et al. (2003) terhadap abu terbang yang berasal dari 5 PLTU di Australia, membuktikan bahwa konsentrasi logam dalam
abu terbang
36
Tabel 6. Karakteristik fisika-kimia abu terbang dari beberapa sumber (Indonesia, India dan Korea) Sumber abu terbang Parameter 1a
2b
3c
4d
5e
6e
7e
pH EC (dSm-1) Total Nitrogen (%) Total Posfor (%) P2O 5 tersedia (ppm) C-organik (%) K- dd (ppm) Ca- dd (ppm) Mg-dd (ppm) Ca (ppm) Mg (ppm) K (ppm) Na (ppm) Fe (ppm) Zn (ppm) Mn (ppm) Cu (ppm) Cr (ppm) Cd (ppm) Pb (ppm) Hg (ppm) Ni (ppm) As (ppm) Co (ppm) Ba (ppm) Se (ppm) Ag (ppm) B (ppm)
9,50 1,60 -
8,65 7,42 0,03
10,1 -
9,60 7,61 0,02
8,68 0,30
9,31 0,20
11,50 0,20
-
0,18 -
1341
0,04 -
0,21 -
0,17 -
0,18 -
0,16 89,6 1868,20 1553,50 26,60 105 17,10 td td 9,80 0,50 21,10 6,30 551
0,94 4010,02 85,82 77,68 46,33 8,16 1,3 17,83 0,11 54,00 0,36 31,07
1,17 4150 82,00 70,14 58,60 40,25 42,30 40,10 204,00 29,00
18,1 3,28 0,60 9100 1500 17300 97,8 300 43,3 27,9 0,70 26,3 48,7 -
7,22 4,30 0,55 10200 1400 12500 32,3 200 10,6 9,78 0,11 1,43 9,13 -
3,50 5,01 0,57 10500 1900 12800 24,3 200 7,90 18,7 0,20 0,40 30,4 -
Al (ppm) Si (ppm)
4334
4852,60 5172,00
4615 5600
36300 -
29600 -
22800 -
Mo (ppm) SO3 (%)
-
-
0,16 2015 0,42 6,19 20,1 8,02 0,52 0,28 1,53 2,45 1,19 39 (B tersedia) 1100 (SiO 2 tersedia) -
33,40 -
-
-
-
td : tidak terdeteksi ; - : tidak tersedia a : Abu terbang dari electrostatic precipitator (ESP) b : Dwivedi et al. (2007) c : Lee et al. (2006) d : Gupta et al. (2006) e : Iskandar et al. (2008) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Abu terbang dari PLTU Suralaya, Banten (segar) Abu terbang dari Feroz Gandhi National Thermal Power Plants (NTPC), Unchahar, Raebareli, India (landfill) Abu terbang dari PLTU di Hadong, Korea selatan (landfill) Abu terbang dari Feroz Gandhi National Thermal Power Plants (NTPC), Unchahar, Raebareli, India (landfill) Abu terbang dari Peat Boiler (PB) Abu terbang dari Chip boiler (CB) Abu terbang dari Multi Boiler (MB)
37
Tabel 7. Karakteristik fisika-kimia abu terbang dari beberapa sumber di negara Australia Sumber abu terbang (a) Parameter
pH EC (dSm-1) Total Nitrogen (%) P2O 5 (%) P- tersedia (ppm) C-organik (%) K2O (%) MgO (%) CaO (%) Na2O (%) Fe2O 3 (%) MnO (%) SiO 2 (%) SO3 (%) Al2O 3 (%) Zn (ppm) TCLP Mn (ppm)TCLP Cu (ppm) TCLP Cr (ppm) TCLP Cd (ppm) TCLP Pb (ppm) TCLP Hg (ppm) TCLP Ni (ppm) TCLP As (ppm) TCLP Co (ppm) TCLP Ba (ppm) TCLP Se (ppm) TCLP Ag (ppm) TCLP B (ppm) TCLP
1
2
3
4
5
6
7
7,9 1,34 -
5,5 0,51 -
5,7 0,59 -
3,8 0,95 -
4,5 0,09 -
5,9 0,44 -
9,9 1,44 -
2,02 409,9 0,44 0,93 3,88 0,15 27,06 0,08 31,10 0,16 21,58 1,56 1,23 0,13 0,05 0,02 td td 0,15 0,30 0,06 0,70 0,12 td 1,25
1,95 92,5 0,56 0,55 1,39 0,04 8,77 0,01 52,10 0,03 27,02 2,40 0,16 0,07 0,03 0,00 0,00 td 0,10 0,05 0,04 0,84 0,05 td 1,39
1,87 122,6 0,62 0,61 1,24 0,06 8,28 0,04 48,49 0,04 29,63 1,27 0,42 0,12 0,05 0,01 0,00 td 0,14 0,08 0,06 0,96 0,11 Td 1,34
1,38
0,03
0,69 0,81 1,36 td 9,12 0,02 50,46 0,16 27,88 2,21 0,47 0,48 0,04 0,02 0,00 td 0,25 0,13 0,11 0,51 0,08 td 1,18
0,25 0,02 0,05 td 0,95 0,01 68,55 td 25,08 1,35 0,04 0,06 0,04 0,00 0,00 td 0,02 0,04 0,01 0,86 0,01 td 1,15
0,15 9,4 0,12 1,49 2,24 td 16,61 0,34 42,51 0,03 32,96 0,79 1,63 0,25 0,03 0,01 0,00 td 0,04 0,02 0,02 1,70 0,02 td 2,86
0,55 121,6 0,73 1,55 3,41 0,01 13,48 0,19 48,84 0,11 26,65 0,75 2,06 0,18 0,04 0,01 td td 0,03 0,14 0,02 0,95 0,04 td 1,89
- : tidak tersedia; td : tidak terdeteksi a : Pathan et al. (2003) b : Testa (1977 dalam Pathan et al., 2003) 1. Abu terbang dari PLTU Kwinana (Australia Barat) (segar)
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Abu terbang dari PLTU Kwinana umur 3 tahun (Australia Barat) Abu terbang dari PLTU Kwinana umur 3 bulan (Australia Barat) Abu terbang dari PLTU Muja (Australia Barat) (segar) Abu terbang dari PLTU Tarong (Australia Barat) (segar) Abu terbang dari PLTU Callide (Australia Barat) (segar) Abu terbang dari PLTU Gladstone (Queensland) (segar)
Baku Mutu TCLPb
250 25 5 1 5 0,2 20 5 80 100 1 5 -
38
Tabel 8. Karakteristik fisika-kimia abu terbang dari beberapa sumber di negara Amerika Sumber abu terbang (a) Parameter
pH EC (dSm-1) Total Nitrogen (%) P2O 5 (%) P- tersedia (ppm) C-organik (%) K2O (%) MgO (%) CaO (%) Na2O (%) Fe2O 3 (%) MnO (%) SiO 2 (%) SO3 (%) Al2O 3 (%) Zn (ppm) Mn (ppm) Cu (ppm) Cr (ppm) Cd (ppm) Pb (ppm) Hg (ppm) Ni (ppm) As (ppm) Co (ppm) Ba (ppm) Se (ppm) Ag (ppm) Mo (ppm)
1
2
3
11,8 9,6 0,1 0,24 6,5 1,59 0,42 26,65 4,64 194,0 58,6 65,0 Td 3,0 115,0 Td 80,0 Td td 15,0
12,0 8,4 0,7 0,49 5,4 0,52 0,18 34,98 4,40 71,1 265,0 28,5 3,7 0,9 17,5 0,7 26,9 22,1 10,4 8,0
11,9 10,1 0,2 0,77 8,6 1,31 0,53 32,00 2,35 48,4 161,0 83,2 41,7 1,2 26,0 0,6 44,6 48,3 28,9 6,6
-: tidak tersedia; td : tidak terdeteksi a : Chen dan Li (2006) b : USEPA (1993) 1. Abu terbang dari PLTU di Florida 2. Abu terbang dari PLTU di Michigan 3. Abu terbang dari PLTU di North Caroline
Baku mutu logam dalam limbah padat untuk aplikasi lahanb
2800 1500 1200 300 420 41,0 36 18
39
39
dengan uji TCLP berada di bawah batasan yang ditetapkan menurut Testa (1997 dalam Pathan et al., 2003). Oleh sebab itu berdasarkan uji TCLP tersebut, maka disimpulkan bahwa abu terbang yang berasal dari lima PLTU di Australia tersebut tergolong limbah tidak toksik, sehingga abu terbang ini disarankan dapat digunakan sebagai amelioran pada bidang pertanian. Chen dan Li (2006), menunjukkan bahwa abu terbang yang berasal dari 3 sumber PLTU di Amerika (Tabel 8) memiliki nilai pH yang sangat tinggi dan memiliki nilai konsentrasi logam berat (As, Cr, Cu, Pb, Mo, Ni, Se dan Zn berturut-turut: 48,3; 41,7; 83,2; 115,0; 15,0; 80,0; 28,9 dan 194,0 mgkg-1) yang berada di bawah baku mutu logam dalam limbah padat untuk aplikasi lahan (Cr, Cu, Mo, Ni, Pb, Se, Zn dan Cd, berturut-turut: 1200; 1500; 18; 420; 300; 36; 2800 dan 39 mgkg-1) (USEPA, 1993). Sebaliknya logam As dalam abu tebang yang diperoleh dari North Caroline memiliki nilai yang agak sedikit lebih tinggi (48,3 ppm) dari baku mutu yang ditetapkan (41,0 ppm), sementara konsentrasi Cd dan Hg berada pada konsentrasi yang sangat kecil (0,9-3,0 ppm). Karakteristik abu terbang seperti ini di Amerika dimanfaatkan sebagai alternatif pengganti kapur dan sebagai amelioran pada campuran media tanaman bunga. Demikian juga abu terbang yang berasal dari PLTU di India dan China memiliki kandungan logam berat yang berada di bawah baku mutu logam untuk limbah padat. Oleh sebab itu di India maupun China, pemanfaatan abu terbang inipun telah di anjurkan sebagai amelioran pada bidang pertanian. Iskandar et al. (2003) dari penelitiannya menunjukkan bahwa abu terbang dari 3 sumber berbeda (Peat Boiler, Chip boiler dan Multi Boiler) memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Abu terbang tersebut memiliki kandungan
logam berat agak sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan logam berat dalam abu terbang dari PLTU Suralaya. Namun demikian dalam percobaannya, penggunaan abu terbang sebagai amelioran pada lahan gambut, kadar unsur-unsur dalam filtrat dengan metode batch dan perkolat dengan leacing test tidak melebihi ambang batas mutu air untuk mengairi pertanaman (kelas II) yang terdapat dalam PP No.82 Tahun 2001. Jika dibandingkan karakteristik sifat fisika kimia abu terbang yang berasal dari PLTU Suralaya dengan abu terbang yang berasal dari PLTU negara atau
40
tempat lain tersebut, maka abu terbang dari PLTU Suralaya memiliki kandungan logam berat yang masih berada di bawah kandungan logam berat dalam abu terbang negara-negara tersebut. Sehingga abu terbang yang berasal dari PLTU Suralaya, selayaknya dapat dikembangkan pemanfaatannya sebagai amelioran pada bidang pertanian.
5.2. Karakteristik Vegetasi pada Landfill Abu Terbang 5.2.1. Deskripsi Tumbuhan Vegetasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah vegetasi yang tumbuh secara alami pada area landfill. Vegetasi tersebut adalah Eupatorium odoratum (Asteraceae), Passiflora foetida (Passifloraceae), Chloris barbata (Poaceae atau Gramineae), Erigeron sumatrensis (Poaceae) dan Pithecellobium dulce (Mimosaceae atau Legumonoceae). Passiflora foetida (Gambar 3), nama Indonesia: Rambusa, ceplukan blungsung, permot. Tumbuhan ini merupakan tanaman liar, tumbuh di dataran rendah sampai 700 m dpl dan tergolong herba atau liana. Pertumbuhan tanaman bersifat merambat dengan panjang 1,5-15 m dan tergolong species yang bersifat invasiv.
Gambar 3. Passiflora foetida
41
Eupatorium odoratum (Gambar 4), nama Indonesia: Kirinyuh, glepangan. Tumbuhan ini merupakan tanaman perdu dengan tinggi 2-6 m dan tumbuh dengan baik pada ketinggian 200-1800 m dpl.
Gambar 4. Eupatorium odoratum
Chlorisbarbata (Gambar 5), nama Indonesia: Rumput jejarongan, rumput cakar ayam. Rumput ini berumur cukup panjang dengan tinggi 0,2-0,8 m. Jenis rumput ini dapat tumbuh baik pada tempat-tempat terbuka, sangat tahan terhadap garam dan kekeringan. Suku rumput-rumputan biasanya bersifat invasiv menurut Mitrovic et al. (2008).
Gambar 5. Chlorisbarbata
42
Erigeron sumatrensis (Gambar 6), nama Indonesia: Jabung, jelanting, jangleng, kacer, jalantir.
Herba semusim, tumbuh tegak, tinggi 20-250 cm.
Tumbuh pada ketinggian 5-2.650 m dpl, habitat padang rumput.
Gambar 6. Erigeron sumatrensis
Pithecellobium dulce (Gambar 7), nama Indonesia: Asam londo. Tanaman ini termasuk tanaman berkayu yang berbentuk pohon. daunnya berbentuk kupukupu dan tumbuh baik pada daerah basah dan kering serta memiliki toleransi tinggi pada tanah-tanah dengan salinitas tinggi.
Gambar 7. Pithecellobium dulce
43
5.2.2. Akumulasi Logam dalam Tumbuhan Nilai akumulasi logam (akar dan tajuk) dari kelima species tumbuhan ditampilkan pada Gambar 8 sampai14. Akumulasi logam Pb oleh tumbuhan ditampilkan pada Gambar 8.
Diantara kelima tumbuhan terlihat P. foetida
menyerap logam Pb paling tinggi di bagian tajuk, odoratum
sedangkan tumbuhan E.
menyerap logam Pb yang sangat kecil di bagian tajuk dan akar,
sehingga tidak terdeteksi. Pada Chlorisbarbata mengakumulasi logam Pb hanya pada bagian akar, sedangkan pada bagian tajuk tidak terdeteksi. Pada P. dulce
Akumulasi Pb (ppm)
akumulasi logam Pb di akar lebih tinggi dari bagian tajuk. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Tajuk Akar
P.f
E.o
Chlo E.s Nama Tumbuhan
P.d
Gambar 8. Akumulasi Pb dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) Akumulasi logam Pb di bagian akar pada P. dulce paling tinggi di antara kelima tumbuhan dan termasuk pada kisaran toksik. Penelitian yang dilakukan oleh Gupta dan Sinha (2008) membuktikan bahwa tanaman yang tumbuh alami (Calotropis procera, Cassia tora dan Cenopodium album) pada area landfill mengakumulasi logam Pb lebih tinggi di bagian tajuk dari bagian akar, sementara yang lainnya (Sida cardifolia dan Blumea procera) mengakumulasi Pb lebih tinggi dibagian akar dibandingkan bagian tajuk. Namun akumulasi logam oleh beberapa tanaman darat lebih tinggi pada bagian akar dibandingkan dengan bagian tajuk (Dwivedi et al., 2008).
Akumulasi secara keseluruhan kelima
tumbuhan dalam penelitian ini terhadap logam Pb termasuk rendah jika dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan Dwivedi et al. (2008). Hasil
44
penelitiannya menunjukkan bahwa tanaman Eclipta alba mampu menyerap Pb sebanyak 10-135 µgg-1 dari landfill yang mengandung Pb 6,92µgg-1 (total). Akumulasi logam Ni oleh tumbuhan ditampilkan pada Gambar 9. Dari gambar ini terlihat bahwa keempat tanaman (E. odoratum, Chlorisbarbata, E. sumatrensis dan P. dulce) mengakumulasi logam Ni pada bagian akar lebih tinggi daripada bagian tajuk, sedangkan pada tanaman P. foetida akumulasi pada bagian tajuk lebih tinggi daripada akar. Akumulasi tertinggi pada bagian akar terdapat pada tanaman E. odoratum.
Diantara kelima tanaman, akumulasi logam Ni
tertinggi pada bagian tajuk terdapat pada tanaman P. foetida diikuti tanaman P. dulce. Ketiga tanaman lainnya (E. odoratum, Chlorisbarbta dan E. sumatrensis) mengakumulasi logam dominan pada bagian akar, sedangkan pada bagian tajuk sangat kecil (tidak terdeteksi).
Akumulasi Ni (ppm)
35 30 25 20
Tajuk
15
Akar
10 5 0 P.f
E.o
Chlo E.s Nama Tumbuhan
P.d
Gambar 9. Akumulasi Ni dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) Akumulasi Co oleh tumbuhan ditampilkan pada Gambar 10. Dari gambar ini terlihat akumulasi logam oleh tanaman Chlorisbarbata lebih tinggi di bagian tajuk daripada akar. Secara umum akumulasi logam Co oleh keempat tanaman lebih tinggi pada bagian akar dibandingkan tajuk. Akumulasi tumbuhan terhadap logam Co (>2 ppm) pada penelitian ini semuanya berada pada kisaran toksik bagi tanaman, baik pada akar maupun tajuk. Menurut Haque et al. (2008) kisaran normal Co dalam tanaman yaitu 0,03-2 ppm. Akumulasi tertinggi logam Co pada akar terdapat pada tumbuhan E. odoratum. Pada penelitian yang dilakukan oleh
45
Gupta dan Sinha (2008), dari lima tanaman yang tumbuh alami pada landfill diketahui hanya 2 tanaman yang menunjukkan akumulasi Co dominan pada tajuk,
Akumulasi Co (ppm)
sedangkan tiga tanaman lainnya mengakumulasi Co dominan pada akar.
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Tajuk Akar
P.f
E.o
Chlo
E.s
P.d
Nama Tumbuhan
Gambar 10. Akumulasi Co dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) Akumulasi Fe dalam tumbuhan ditampilkan pada Gambar 11. Diantara semua logam yang diserap, akumulasi Fe dalam tumbuhan paling tinggi diantara logam-logam lainnya. Dari gambar ini terlihat bahwa akumulasi logam Fe pada tumbuhann P. foetida lebih tinggi di bagian tajuk daripada akar, sedangkan pada tumbuhan E. odoratum dan P. dulce akumulasi logam Fe dalam tumbuhan lebih tinggi di akar daripada tajuk. memiliki
kemampuan
Hal ini terlihat jelas bahwa setiap tanaman
berbeda-beda
mentranslokasikannya ke tajuk.
dalam
mengakumulasi
logam
dan
Pada tanaman E. odoratum kamampuan
mentranslokasikan logam ke tajuk kecil jika dibandingkan dengan keempat species lainnya. Hal ini terlihat dari tingginya akumulasi logam di akar dibanding tajuk.
Akumulasi Fe (%)
46
0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
Tajuk Akar
P.f
E.o Chlo E. s Nama Tumbuhan
P.d
Gambar 11. Akumulasi Fe dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) Akumulasi Mn oleh tumbuhan ditampilkan pada Gambar 12. Akumulasi Mn oleh tumbuhan juga menunjukkan kemampuan yang berbeda-beda. Tumbuhan P. foetida, E. odoratum dan E. sumatrensis mengakumulasi logam di tajuk lebih tinggi daripada akar, sementara tumbuhan Chlorisbarbata dan P. dulce mengakumulasi logam pada bagian akar lebih tinggi daripada di bagian tajuk. Akumulasi logam Mn bagian tajuk tumbuhan chlorisbarbata paling rendah dibandingkan dengan tumbuhan lainnya.
Akumulasi Mn (ppm)
60 50 40 30
Tajuk
20
Akar
10 0 P.f
E.o
Chlo
E.s
P.d
Nama Tumbuhan
Gambar 12.Akumulasi Mn dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce)
47
Akumulasi Cu oleh tumbuhan ditampilkan pada Gambar 13. Tumbuhan E. odoratum, Chlorisbarbata dan P. dulce mengakumulasi logam Cu lebih tinggi di bagian akar daripada tajuk, sedangkan tumbuhan P. foetida dan E. sumatrensis mengakumulasi logam bagian tajuk lebih tinggi daripada akar. Tumbuhan E. odoratum mengakumulasi logam Cu di bagian akar lebih tinggi
Akumulasi Cu (ppm)
dibandingkan tumbuhan lain.
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Tajuk Akar
P.f
E.o
Chlo E.s Nama Tumbuhan
P.d
Gambar 13. Akumulasi Cu dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) Akumulasi Zn dalam tumbuhan ditampilkan pada Gambar 14. Kelima tumbuhan mengakumulasi logam Zn di bagian tajuk lebih dominan daripada akar. Akumulasi logam tertinggi pada bagian tajuk terdapat pada tumbuhan E. odoratum. Namun tidak terdapat akumulasi logam Zn pada bagian akar untuk tumbuhan E.
odoratum,
Chlorisbarbata dan
E.
sumatrensis.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa hampir semua logam Zn yang diserap di akar ditranslokasikan ke tajuk. Dari Gambar 8-14, terlihat kecenderungan akumulasi logam dari kelima species tumbuhan adalah
Fe>Mn>Zn>Cu>Co>Ni>Pb.
Akumulasi
kelima
species tanaman terhadap logam Mn dan Zn lebih dominan di bagian tajuk, sedangkan terhadap logam Cu, Ni, Pb dan Co akumulasi logam lebih dominan di bagian akar.
48
Akumulasi Zn (ppm)
60 50 40 30
Tajuk
20
Akar
10 0 P.f
E.o Chlo Nama Tumbuhan
E. s
P.d
Gambar 14. Akumulasi Zn dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce) Konsentrasi logam (Fe, Mn, Zn, Cu, Ni dan Pb) pada tajuk tanaman secara umum berada pada kisaran normal, sedangkan konsentrasi logam Co berada pada kisaran toksik berdasarkan kisaran normal konsentrasi logam dalam tanah dan tanaman yang direview Haque et al. (2008) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 9. Sebaliknya konsentrasi logam Cu, Ni dan Co pada akar E. odoratum dan logam Pb pada akar P. dulce berada pada kisaran toksik. Akumulasi logam tertinggi di bagian tajuk didominasi oleh tanaman E. odoratum terhadap logam Mn, Zn dan Cu. Tabel 9. Kisaran konsentrasi normal beberapa logam (mgkg-1) dalam tanah dan tanaman Logam
Cu Mo Pb Cr Zn Co As Ni a
Kisaran normal dalam Kisaran normal dalam tanah tanaman 2 - 250a 0,1 - 40 b 2 - 300a 5 - 1500a 1 - 900a 0,05 - 65b 0,1 - 40 b 2 - 750a
5 - 25c 5d 0,1 – 5c 0,2 – 5c 20 – 400c 0,03 – 2 c 0,01 – 5 c 1 – 10 c
Alloway (1995), b Bowen (1979), cReeves and Baker (2000), dLavado et al. (2001), (2001) dalam Haque et al. (2008).
e
Ma et al.
49
5.2.3. Bioconcentration Factor dan Translocation Factor Potensi tumbuhan sebagai fitoremediator khususnya pada proses fitoekstraksi dapat diduga dari nilai bioconcentration factor (BCF) dan translocation factor (TF) (Wei et al., 2008). Dari nilai BCF dapat diketahui apakah tumbuhan termasuk akumulator tinggi, sedang, rendah atau bahkan non akumulator, sedangkan dari nilai TF dapat diketahui proses yang dilakukan tanaman dalam mengurangi keberadaan logam, apakah proses fitoekstraksi atau fitostabilisasi. Nilai BCF untuk tanaman yang tumbuh di areal landfill PLTU Suralaya ditampilkan pada Tabel 10. Nilai BCF menunjukkan kemampuan tanaman mengakumulasi logam dari media tumbuh atau tanah. Nilai BCF diperoleh dari perbandingan konsentrasi logam di tajuk tumbuhan dan kadar total logam dalam tanah. Nilai BCF yang diharapkan adalah >1, artinya lebih banyak logam yang bisa dipindahkan dari dalam tanah ke tajuk. Nilai BCF > 1 menunjukkan bahwa tumbuhan termasuk akumulator tinggi (Malayeri et al., 2008). Dengan demikian jika diterapkan untuk tujuan fitoremediasi maka akan lebih efesien. Tabel 10. Bioconcentration factor dari kelima species tanaman Logam
Bioconcentration factor P. foetida
E. odoratum
Chlorisbarbata
E. sumatrensis
P. dulce
Fe
0,35
0,25
0,21
0,29
0,19
Zn
0,57
2,11
0,71
1,29
0,75
Mn
0,25
0,52
0,13
0,36
0,23
Cu
0,47
1,43
0,48
0,84
0,48
Ni
0,29
<0,01
<0,01
<0,01
0,18
Co
0,80
0,79
0,67
0,67
0,48
Pb
2,74
<0,01
<0,01
1,98
1,59
Cr
td
td
td
td
td
Cd
td
td
td
td
td
td: tidak terdeteksi Angka yang ditebalkan menunjukkan nilai BCF maksimum di antara species.
Jika dilihat pada Tabel 10, maka nilai BCF tanaman secara umum < 1. Nilai BCF > 1 hanya terdapat pada tumbuhan P. foetida untuk logam Pb (2,74),
50
E. odoratum untuk logam Zn (2,11) dan Cu (1,43), E. sumatrensis untuk logam Zn (1,29) dan P. Dulce untuk logam Pb (1,59).
Namun demikian jika
dibandingkan diantara kelima species tanaman, tanaman P. foetida dan E. odoratum memiliki nilai BCF maksimum. Nilai BCF maksimum pada P. foetida terdapat pada logam Fe (0,35), Ni (0,29), Co (0,80) dan Pb (2,74), sedangkan nilai BCF maksimum pada E.odoratum terdapat pada logam Zn (2,11), Mn (0,52) dan Cu (1,43). Menurut Malayeri et al. (2008), nilai BCF 1-10 menunjukkan bahwa tumbuhan tergolong sebagai akumulator tinggi, BCF 0,1-1 akumulator sedang, BCF 0,01 hingga 0,1 tergolong akumulator rendah dan BCF < 0,01 tergolong non akumulator.
Dengan demikian secara umum tumbuhan yang diamati dalam
penelitian ini tergolong tumbuhan akumulator sedang,
sebaliknya untuk
akumulasi terhadap logam Ni (< 0,01) oleh tanaman E. odoratum, Chlorisbarbata dan E. sumatrensis, maka ketiga tanaman ini tergolong non akumulator Ni. Demikian juga kemampuan akumulasi tumbuhan E. odoratum dan Chlorisbarbata terhadap logam Pb (< 0,01), sehingga kedua tumbuhan ini tergolong tumbuhan non akumulator terhadap logam Pb. Akumulasi logam ke dalam tanaman tergantung pada konsentrasi logam tersedia, mobilitasnya dan species tanaman yang sedang tumbuh (Gupta dan Sinha, 2008). Yanai et al. (2006), dalam laporannya membuktikan tanaman Thalspi caerulescens yang ditumbuhkan pada tanah dengan pH 5,06; EC 558 µScm-1; C-organik 1,6%; Cd total 3,40 mgkg-1; Cd tersedia 0,98 mgkg-1, mampu mengakumulasi Cd sebesar 236,1 mgkg-1 di bagian tajuk dengan nilai BCF 69,4. Hal ini membuktikan bahwa walaupun unsur dalam bentuk tersedia sangat rendah dalam tanah, tetapi dengan sifat tanaman maka tanaman dapat mengakumulasi logam Cd dalam jumlah yang besar. Demikian juga dengan Zn total 80 mgkg-1; Zn tersedia 2,3 mgkg-1, akumulasi Zn oleh tanaman Thalspi caerulescens 729 mgkg-1 di bagian tajuk dengan nilai BCF 9,1. Sebaliknya pada pH 6,89; EC 443 µScm-1; C-organik 10%; Cd total 166,54 mgkg-1; Cd tersedia 6,16 mgkg-1. Kemampuan tanaman dalam mengakumulasi Cd sebesar 1119,7 mgkg-1 di bagian tajuk sehingga memiliki nilai BCF 6,7. Pada tanah dengan kandungan Zn total 27100 mgkg-1;
Zn tersedia 377,7 mgkg-1, kemampuan tanaman dalam
51
mengakumulasi Zn sebesar 4785 mgkg-1 di bagian tajuk sehingga memiliki nilai BCF 0,18. Serapan dan akumulasi logam berat dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor tanah dan tanaman. Faktor-faktor tersebut meliputi : (1) kadar logam berat dalam larutan tanah, (2) pergerakan logam berat dari fase padatan tanah ke zona perakaran, (3) pergerakan logam berat dari permukaan ke bagian dalam akar, dan (4) translokasi logam berat dari akar ke bagian tanaman yang lain (Alloway, 1995). Mekanisme serapan logam berat oleh akar tanaman dapat terjadi secara pasif (difusi ion dalam larutan tanah ke endodermis akar) ataupun aktif (melawan gradien kadar tetapi memerlukan energi metabolit sehingga dapat terhambat oleh toksin). Pada umumnya Pb diserap secara pasif, sedangkan Cd, Cu dan Zn diserap secara aktif atau kombinasi keduanya (KabataPendias dan Pendias, 2001). Jika kadar aktif dalam media tumbuh meningkat, maka laju serapan terhadap ion logam berat Cd, Cu, Pb dan Zn mengikuti pola yang sangat berbeda sebagai berikut: (1) terjadi peningkatan dalam jaringan tanaman dalam jumlah besar atau mudah ditranslokasikan untuk
Cd dan Zn, (2) variasi kadar atau
kemudahan translokasinya terbatas untuk Cu, serta (3) translokasi dan kadarnya dalam jaringan tanaman sangat terbatas untuk Pb. Hal ini dapat diprediksi dari nilai koefesien pengalihan (ct) atau BCF menurut Wei et al. (2008), yaitu nisbah antara konsentrasi suatu logam berat dalam tajuk tanaman dengan kadar totalnya dalam tanah.
Nilai ct Cd=Zn (1-10) > Cu (0,1-10) > Pb (0,01-0,1), sehingga
diantara keempat logam berat ini Cd dan Zn lebih mudah diserap dan ditranslokasikan ke tajuk tanaman daripada Cu dan yang paling sulit adalah Pb (Verloo, 1986 dalam Sudadi, 2008). Nilai ct atau BCF Cd 1-10 dan Pb 0,01-1 artinya peningkatan 1 satuan kadar Cd dalam larutan tanah diikuti oleh peningkatan 1-10 kali lipat satuan kadar Cd dalam jaringan tanaman, sedangkan peningkatan 1 satuan kadar Pb dalam larutan tanah diikuti oleh peningkatan 0,1 sampai 1 kali lipat satuan kadar Pb dalam jaringan tanaman. Perbedaan laju serapan tersebut juga ditentukan oleh perbedaan species dan kultivar antar tanaman yang secara genetis dapat berbeda dalam hal luas permukaan, KTK dan eksudat akar serta laju evapotranspirasi. Faktor terakhir
52
menentukan aliran massa larutan tanah di rizosfer sehingga mempengaruhi pergerakan ion logam berat ke permukaan serapan akar (Alloway, 1995). Kapasitas tanaman dalam mengakumulasi logam berat bergantung pada species, kultivar, bagian tanaman dan umur atau fase fisiologisnya.
Sensitifitas
tanaman terhadap logam berat juga ditentukan oleh jenis logam beratnya (Alloway, 1995). Sebagian besar logam berat diakumulasikan tanaman di akar (Pichtel et al., 2001). Menurut Verlo (1986 dalam Sudadi, 2008), serapan logam berat oleh tanaman dikotil umumnya lebih tinggi daripada monokotil dan jaringan vegetatif mengandung Cd dan Pb dalam kadar yang lebih tinggi daripada jaringan generatif. Salah satu mekanisme tanaman dalam mentoleransi toksisitas logam berat adalah melalui fenomena selektifitas serapan ion dari media tumbuhnya (KabataPendias & Pendias, 2001).
Penurunan serapan tanaman terhadap logam berat
berkenaan dengan 3 hal, yaitu: (1) akibat penurunan kadar fraksi aktif logam berat dalam media tumbuh, atau (2) peningkatan selektifitas tanaman dalam menyerap unsur dari media tumbuh, atau (3) kombinasi keduanya (Alloway, 1995). Salah satu respon penting tanaman terhadap kontaminasi logam berat As, Cd, Cu, Hg, Pb, Se dan Zn adalah dengan segera membentuk phytochelatin. Selanjutnya phytochelatin mendetoksifikasi logam berat dengan membentuk kompleks logam-thiol di dalam cytosol yang kemudian dialihkan menembus membran tonoplast untuk disekuestrasi di dalam vakuola sel (Maier et al., 2003). Faktor terpenting kedua untuk melihat potensi tanaman sebagai fitoremediator adalah nilai translocation factor (TF). Nilai TF ditampilkan pada Tabel 11.
Nilai TF menunjukkan kemampuan tanaman dalam memindahkan
logam dari akar ke tajuk (Wei et al., 2008). Nilai TF menunjukkan perbandingan konsentrasi logam di tajuk dan konsentrasi logam di akar. Nilai TF yang diharapkan > 1 jika proses yang diharapkan adalah fitoekstraksi, artinya bahwa > 100 % logam di akar yang dapat dipindahkan ke tajuk. Nilai TF > 1 ditunjukkan oleh tanaman P. foetida untuk logam Fe (4,86), Zn (5,47), Mn (3,05), Cu (1,12), Ni (1,65). Pada E. odoratum terdapat pada logam Zn (50,14), sedangkan pada tanaman Chlorisbarbata pada logam Zn (16,89) dan Co (1,38). Pada tanaman
53
E. sumatrensis terdapat pada logam Zn (30,64), Mn (1,85) dan Cu (1,09). Untuk tanaman P. dulce hanya terdapat pada logam Zn (13,36). Nilai TF untuk logam Zn untuk kelima tanaman menunjukkan nilai TF > 1, ini artinya bahwa logam Zn lebih mudah ditranslokasikan ke tajuk. Sebaliknya nilai TF untuk logam Pb, kelima tanaman menunjukkan nilai TF < 1, ini artinya bahwa logam Pb paling lambat ditranslokasikan ke tajuk. Namun demikian nilai TF maksimum hanya terdapat pada tanaman P. foetida, E. odoratum dan Chlorisbarbata.
Pada P. foetida terdapat pada logam
Fe (4,86), Mn (3,05), Cu (1,12), Ni (1,65) dan Pb (0,94). Nilai TF maksimum pada E. odoratum hanya terdapat pada logam Zn (50,14).
Pada tanaman
Chlorisbarbata nilai TF maksimum hanya terdapat pada logam Co (1,38). TF minimum untuk logam Pb (0,01) terdapat pada tanaman P. dulce.
Tabel 11. Translocation factor dari kelima species tanaman Logam
Translocation factor P. foetida
E. odoratum
Chlorisbarbata
E. sumatrensis
P.dulce
Fe
4,86
0,09
0,96
1,09
0,53
Zn
5,47
50,14
16,89
30,64
13,36
Mn
3,05
1,70
0,46
1,85
0,71
Cu
1,12
0,50
0,46
1,09
0,45
Ni
1,65
0,01
0,01
0,01
0,48
Co
0,86
0,10
1,38
0,85
0,50
Pb
0,94
td
0,01
0,90
0,01
Cr
td
td
td
td
td
Cd
td
td
td
td
td
td : tidak terdeteksi Angka yang ditebalkan menunjukkan nilai TF maksimum.
Kedua nilai ini (BCF dan TF > 1) penting diperhatikan untuk melihat potensi tanaman sebagai fitoremediator, khususnya dengan proses fitoekstraksi (Yangun et al., 2008; Gupta dan Sinha, 2008). Pada tanaman hiperakumulator atau akumulator, nilai TF>1 digunakan untuk tujuan fitoekstraksi, sebaliknya TF<1 sebagai ekskluder (digunakan untuk tujuan fitostabilisasi) (Haque et al., 2008).
54
Pergerakan logam dari akar ke tajuk dipengaruhi oleh sifat logam, artinya setiap logam mempunyai pergerakan berbeda dari akar ke tajuk. Alloway (1995) mengklasifikasikan unsur Mn, Zn, Cd, B, dan Se sebagai unsur yang cepat pindah atau bergerak ke tajuk tanaman; Ni, Co dan Cu tergolong intermediate, Cr, Pb dan Hg tergolong logam yang paling lambat bergerak ke tajuk. Klasifikasi di atas memperkuat penelitian ini dimana TF maksimum didapatkan pada Zn dari semua tanaman yang diamati diikuti oleh Mn. Menurut Gupta dan Sinha (2008),
Zn dapat bersaing dengan ion Cd
sehingga dapat menekan pengambilan Cd oleh tanaman. Pengambilan Cd tergantung pada kandungan Zn dalam tanah, dan tanaman umumnya dapat mengambil Cd lebih banyak jika kandungan Zn rendah. Kompetisi antar Zn dan Cd juga dilaporkan oleh Green et al. (2003 dalam Kirkham 2006) yang membuktikan bahwa pengambilan Cd oleh tanaman gandum pada lahan yang tidak terkontaminasi Zn adalah tinggi dan dapat melebihi batas yang telah ditetapkan oleh FAO (Food and Agricultural Organization), yaitu 0,1 mgkg-1 Cd. Selain itu mereka mendapatkan bahwa konsentrasi Cd tidak mempengaruhi pengambilan Zn, tetapi ketika konsentrasi Zn ditingkatkan, maka ratio Cd tajuk dan akar berkurang dari 0,20 menjadi 0,03. Hasil ini mengindikasikan bahwa Zn berperan efektif mengatur pengambilan dan translokasi Cd dalam gandum. Selain sifat logam, sifat tanaman turut menentukan pergerakan logam dari akar ke tajuk.
Tanaman secara aktif memiliki mekanisme tersendiri untuk
mencegah pergerakan unsur dari akar ke tajuk dengan cara mensekuestrasi logam di bagian akar, khususnya di bagian vakuola atau dinding sel (Gupta dan Sinha, 2008). Hasil penelitiannya membuktikan dari lima tanaman yang tumbuh alami di landfill, tiga tanaman Calotropis procera, Cassia tora (polong-polongan) dan Chenopodium album (sejenis bayam) memiliki nilai TF > 1, yaitu berturut-turut 2,623; 5,578 dan 1,454. Ini artinya sebanyak berturut-turut 262%, 557% dan 154% logam Pb dapat ditranslokasikan dari akar ke tajuk tanaman Calotropis procera, Cassia tora dan Chenopodium album. Hal ini mengindikasikan walaupun logam Pb berdasarkan sifat logam termasuk logam yang lambat ditranslokasikan ke tajuk, namun dengan sifat tanaman, maka logam ini dapat dipindahkan dari akar ke ke tajuk. Pada kondisi dimana konsentrasi logam sangat
55
tinggi, maka untuk tujuan fitoremediasi seharusnya tanaman memiliki kemampuan untuk mentranslokasikan logam dari akar ke tajuk, sehingga tanaman tetap dapat melanjutkan penyerapan logam dari media.
Translokasi yang lebih
baik akan menguntungkan terhadap proses fitoekstraksi, karena tentunya akan mengurangi konsentrasi logam di akar dan selanjutnya mengurangi potensi toksik terhadap akar.
Translokasi logam dari akar ke tajuk ini adalah salah satu
mekanisme resistensi tanaman terhadap konsentrasi logam yang tinggi. Selain itu affinitas yang tinggi dari logam seperti logam Cr dan Pb dalam dinding sel akar akan menghambat perpindahan logam ke tajuk (Gupta dan Sinha, 2008). Tanaman yang memiliki nilai TF < 1 terhadap logam dapat berfungsi sebagai fitostabilisasi. Hal ini akan menghambat mobilitas logam dalam tanah dan pencucian logam ke dalam air tanah. Berdasarkan pada nilai TF<1 paling minimum, maka tanaman E. odoratum yang tumbuh di area landfill PLTU Suralaya berpotensi sebagai fitoremediator untuk tujuan fitostabilisasi terhadap logam Fe, Cu, Ni dan Co, sedangkan P. dulce untuk logam Pb (Gambar 8, 9, 10, 11, dan 13). Pada kelima tanaman yang diamati, akumulasi logam Pb lebih tinggi di akar daripada tajuk. Hal ini mengindikasikan bahwa logam Pb memiliki mobilitas yang lambat dari akar ke tajuk. Penelitian yang dilakukan oleh Haque et al. (2008) terhadap potensi tanaman Baccharis sarothroides Gray yang tumbuh pada tailing penambangan, membuktikan bahwa tanaman ini dapat memiliki niai TF > 1 untuk logam Cu, Mo, Cr dan Zn, sedangkan untuk logam Pb, Ni dan Co memiliki nilai TF < 1. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Mitrovic et al. (2008) terhadap dua jenis rumput, yaitu Festuca rubra dan Calamagrostis epigejos pada timbunan abu terbang menunjukkan bahwa nilai TF untuk logam As, Cu, Mn dan Zn pada kedua jenis rumput tersebut < 1, sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan tanaman dalam mentranslokasikan logam ke tajuk lebih kecil daripada akar. Hal ini menunjukkan bahwa rumput ini lebih sesuai sebagai fitostabilisasi. Rumput Chlorisbarbata yang diamati dalam penelitian ini memiliki nilai TF < 1 untuk logam Mn, Cu, Ni, dan Pb hampir sama dengan rumput F. rubra dan C. epigejos dalam mentranslokasikan logam ke tajuk.
56
Dengan mempertimbangkan nilai BCF dan TF, maka empat tanaman P. foetida, E. odoratum, Chlorisbarbata dan P. dulce berpotensi sebagai fitoremediator logam (fitoekstraksi dan fitostabilisasi). Khusus P foetida dan Chlorisbarbata perlu mendapat perhatian yang khusus karena tumbuhan ini bersifat invasiv yang memiliki pertumbuhan yang cepat. 5.3. Prospek Pengembangan Pemanfaatan Abu Terbang Saat ini realitas pemanfaatan abu terbang di PLTU Suralaya masih terbatas sebagai bahan tambahan ataupun sebagai substitusi semen portland pada campuran beton, conblok dan pengeras jalan. Jumlah pemanfaatan kembali ini masih cukup kecil, yaitu hanya sekitar 40% dari total abu terbang yang dihasilkan. Jika dihitung rata-rata batubara yang digunakan per tahun 13 juta ton, sedangkan abu terbang yang dihasilkan 7% dari jumlah batubara, maka ada 560.000 ton per tahun abu terbang terakumulasi di landfill dan tidak dimanfaatkan. Sebaliknya pemanfaatan untuk bidang pertanian masih jarang dilakukan. Padahal banyak peneliti telah membuktikan bahwa abu terbang dapat digunakan sebagai amelioran tanah serta sebagai sumber hara bagi tanaman dan dapat meningkatkan hasil beberapa tanaman pertanian (Iskandar et al., 2008; Lee et al., 2006). Namun sebaliknya penambahan abu terbang juga meningkatkan konsentrasi logam berat dalam tanah dan dalam tanaman (Gupta et al., 2007). Penggunaan abu terbang di bidang pertanian merupakan salah satu solusi yang diperkirakan dapat mengurangi jumlah abu terbang di landfill karena bidang pertanian berpotensi menyerap penggunaan abu terbang dalam jumlah besar.
5.3.1. Bidang pertanian Dari hasil karakterisasi terhadap abu terbang, dapat disimpulkan bahwa jumlah logam berat yang berpotensi tercuci dari abu terbang berada di bawah baku mutu TCLP, baik yang ditetapkan oleh USEPA maupun oleh PP No. 82 Tahun 1999. Berdasarkan acuan tersebut limbah abu terbang seyogyanya tidak termasuk limbah toksik. diperlukan tanaman.
Abu terbang juga mengandung beberapa hara yang
Penggunaan abu terbang sebagai pupuk untuk produksi
tanaman merupakan sesuatu yang belum umum hampir di sebagian besar negara,
57
karena walaupun mengandung beberapa elemen essensial yang dibutuhkan, tanaman juga mengandung elemen non essensial seperti As, Pb, Cd dan Se yang dapat berdampak negatif terhadap kualitas tanaman, tanah dan air tanah. Meskipun demikian, batubara diprediksi akan tetap menjadi bahan bakar yang paling dominan di masa yang akan di Indonesia. Oleh sebab diperlukan alternatif lain yang dapat menggunakan abu terbang dalam jumlah besar yang bersifat ramah lingkungan. Melihat karakteristik seperti ini maka abu terbang berpotensi untuk dikembangkan pemanfaatannya sebagai amelioran pada bidang pertanian. Beberapa peneliti telah membuktikan prospek pemanfaaan abu di bidang pertanian yang ditampilkan pada Tabel 6, 7 dan 8. Dari tabel tersebut terlihat bahwa abu memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Abu terbang yang berasal dari Feroz Gandhi National Thermal Power Plants (NTPC), India menunjukkan kandungan C-organik (0,94% dan 1,17%) lebih tinggi dari C-organik (0,16%) dari ESP PLTU Suralaya, sedangkan kandungan logam-logam (Cu, Zn, Fe, Ni, Cd, Pb, As dan Cr) bervariasi namun secara umum lebih tinggi dari kandungan logam-logam yang berasal dari PLTU Suralaya. Penelitian dengan menggunakan abu
terbang
sebagai pembenah
(amelioran) tanah terhadap 3 kultivar tanaman padi (Saryu-52, Sabha-5204 dan Pant-4) dengan percobaan pot telah dilakukan oleh Dwivedi et al. (2007). Persentase abu terbang yang digunakan, yaitu: 10, 25, 50, 75 dan 100%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa toksisitas abu terbang pada konsentrasi yang lebih tinggi (≥ 50%) dibuktikan dengan berkurangnya pigmen fotosintesis, protein dan parameter pertumbuhan, seperti tinggi tanaman, biomassa akar, berat biji dan jerami. Namun penggunaan abu terbang pada konsentrasi yang lebih rendah (1025%) meningkatkan parameter pertumbuhan tanaman. Jika dibandingkan ketiga kultivar, maka kultivar Saryu-52 dan Sabha-5204 lebih toleran terhadap abu terbang dibandingkan dengan kultivar Pant-4.
Kedua kultivar yang toleran
tersebut memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik, hasil biji yang lebih tinggi karena memiliki status hara yang lebih baik, akumulasi trace elemen yang lebih tinggi jika dibandingkan kultivar Panr-4. Pada perlakuan tersebut dari ketiga kultivar yang diamati, akumulasi logam Ni dan Cd di biji lebih rendah jika dibandingkan dengan akar dan tajuk, bahkan masih berada di bawah batas aman
58
yang ditetapkan oleh Prevention of Food Adulteration Act (Mittra et al., 2005). Logam As tidak terdeteksi di biji maupun akar dari ketiga kultivar yang diamati. Dengan demikian maka disimpulkan bahwa kedua kultivar ini berpotensi untuk ditumbuhkan pada tanah yang diameliorasi dengan abu terbang dengan dosis yang lebih rendah sebagai tambahan pupuk. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di lapangan terhadap tanaman padi dengan menggunakan abu terbang sebagai amelioran berasal dari PLTU Handong, Korea Selatan, dengan persentase abu: 0, 40, 80, 120 Mgha-1 juga telah dilakukan oleh Lee et al. (2006). Karakteristik abu terbang yang digunakan ditampilkan pada Tabel 6. Abu terbang mengandung K, Ca, Mg tertukar dan P tersedia. Jika dibandingkan maka abu terbang yang berasal dari PLTU Handong ini memiliki kandungan logam yang bervariasi dan secara umum lebih rendah dari PLTU Suralaya, hanya logam As dan Cr yang lebih tinggi.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa abu terbang dapat berfungsi sebagai sumber Si essensial untuk padi.
Menurut Rural Development Administration (RDA, 1999),
kandungan Si dalam tanah untuk padi seharusnya berkisar 130-180 mgkg-1, karena tanaman padi membutuhkan silika dalam jumlah yang tinggi, yang dapat meningkatkan resistensi terhadap patogen dan dapat meningkatkan penyerapan unsur-unsur N, P dan K (Hu dan Wang, 1995). Abu terbang juga meningkatkan P tersedia yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Akumulasi terhadap logam berat (As, Cd, Cr dan Pb) dalam biji padi tidak meningkat secara signifikan dengan penambahan abu terbang. Kandungan As dan Cd dalam biji padi < 0,1; Cr dan Pb < 0,8 dan Ni< 2,5 mgkg-1. Kandungan logam berat dalam biji padi masih berada di bawah batas aman. Hasil tertinggi biji padi terdapat pada dosis 90 Mgha-1. Kandungan boron di dalam tanah meningkat sebesar 2,2-2,6 mgkg-1 dengan meningkatnya dosis abu terbang
hingga 120 Mgha-1, tetapi gejala
toksisitas boron tidak didapatkan. Di sisi lain jumlah total Cd dalam tanah tetap harus diperhatikan. Penelitian akumulasi cadmium dalam 43 kultivar tanaman padi yang terdiri dari 20 kultivar normal dan 23 kultivar hibrid pada 2 kondisi Cd, yaitu Cd tanah rendah (1,75-1,85 mgkg-1) dan Cd tanah tinggi (75,69-77,55 mgkg-1) telah dilakukan oleh Yu et al. (2006).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada
59
kondisi Cd rendah, ada 30 kultivar yang mengakumulasi Cd di biji dibawah batas aman yang ditetapkan (0,2 mgkg-1). Pada konsentrasi Cd rendah ada 30 kultivar tanaman padi yang aman polusi (pollution-safe cultivars of rice). Namun pada kondisi Cd tinggi, tidak ada satupun kultivar yang sama mengakumulasi Cd di biji < 0,2 mgkg-1. Semua kultivar mengakumulasi Cd di biji > 0,2 mgkg-1 (akumulasi hingga 1,6 mgkg-1), sehingga tidak satupun kultivar tersebut tergolong kultivar padi yang aman polusi. Pada kondisi Cd rendah maupun pada Cd tinggi, tidak ada perbedaan konsentrasi Cd dalam biji dari kultivar hibrid dan kultivar normal. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa akumulasi Cd dalam biji padi tergantung genotip dan untuk seleksi padi yang aman polusi dimungkinkan untuk dilakukan pada level Cd tertentu. Hasil padi ada yang meningkat dan ada yang menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi Cd. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak selalu hasil yang menurun sebagai indikator telah terjadi toksisitas terhadap biji, tetapi yang paling penting adalah bagaimana mencari kultivar tanaman yang aman polusi, misalnya terhadap logam Cd yang dapat mengurangi resiko terhadap manusia dan dalam batas aman untuk dikosumsi. Penggunaan kultivar tanaman yang aman polusi dapat merupakan suatu pilihan bagi petani dalam mengurangi resiko dan mengurangi masuknya polutan ke dalam rantai makanan, khususnya pada kasus di mana kontaminasi tidak diketahui. Penelitian lain juga membuktikan bahwa hasil kubis meningkat 13-15% dengan pemberian 15% abu terbang (percobaan pot), tetapi kandungan logam berat dalam jaringan tanaman tidak meningkat dengan meningkatnya dosis abu tebang (Kim et al., 1997). Demikian juga penggunaan abu terbang pada tanaman kedelai sebanyak 90 Mgha-1 selama 3 tahun, hasil kedelai meningkat sekitar 10%, tetapi kandungan logam berat dalam biji tidak berbeda nyata dengan kontrol (Kim et al., 1994a). Penggunaan abu terbang pada tanaman padi sebanyak 40, 80 dan 120 Mgha-1 dapat meningkatkan hasil padi, tetapi kandungan logam berat Cd, Pb dan Ni di biji padi tidak meningkat (Kim et al., 1994b). Gupta et al. (2006) dalam penelitiannya tentang kandungan logam dalam biji Cicer arietinum L (kacang-kacangan) menggunakan 2 varietas, yaitu CSG8962 dan C-235 yang ditanam pada abu terbang yang telah diameliorasi dengan bermacam-macam pembenah yaitu tanah kebun, press mud (PM) dan saw dust
60
(SD) dengan persentase 10, 25 dan 50%.
Tanaman C. arietinum merupakan
tanaman yang dapat dimakan dan merupakan sumber protein. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tanaman mengakumulasi logam-logam Fe, Cu dan Zn di biji dalam jumlah yang cukup, sementara logam-logam toksik seperti Cd dan Cr dalam jumlah yang sangat kecil. Akumulasi Cr dan Cd lebih kecil pada varietas C-235 daripada varietas CSG-8962. Ameliorasi abu terbang dengan menggunakan PM meningkatkan jumlah protein dan asam amino terlarut pada kedua varietas dan merupakan amelioran yang paling unggul. Baik jumlah maupun kualitas asam amino menunjukkan respon yang lebih baik pada varietas C-235 dibandingkan dengan varietas CSG-962. Dengan demikian varietas C-235 lebih sesuai digunakan untuk pengelolaan area yang terkontaminasi abu terbang, karena mengakumulasi logam essensial dalam jumlah yang lebih banyak di biji, sedangkan logam toksik dalam jumlah yang sangat sedikit. Disimpulkan bahwa campuran abu terbang dan PM mengurangi toksisitas logam berat paling besar dibandingkan dengan campuran lainnya. Jumlah akumulasi Cr dan Cd dalam biji varietas C-235 sangat kecil, yaitu masing-masing 2,62 mgkg-1 dan < 0,002 mgkg-1 pada perlakuan 10% abu terbang + PM. Jumlah Cr dan Cd tidak berdampak negatif terhadap biji yang dimakan. Batas aman asupan Cr per hari adalah 50-200 µg per hari. Gupta et al. (2007) meneliti tanaman Phaseolus vulgaris yang ditumbuhkan pada tanah yang diameliorasi dengan abu terbang. Persentase abu terbang yang digunakan adalah 10 dan 25%. Akumulasi logam Zn, Pb dan Cd lebih tinggi pada bagian tajuk daripada akar, sedangkan logam lainnya Fe, Mn, Cu, Ni dan Co lebih tinggi pada bagian akar dibandingkan bagian tajuk dan logam Cr tidak terdeteksi baik di akar maupun di tajuk. Semakin meningkat persentase abu terbang maka semakin meningkat kandungan logam berat dalam tanaman. Akumulasi Zn dan Mn terutama pada bagian akar disebabkan karena adanya pengikatan
logam oleh grup sulphydryl yang akan mengakibatkan kecilnya
translokasi logam-logam ke bagian atas tanaman. Pemberian abu terbang 10%20% telah meningkatkan Pb (16,8-22,3 ppm) dan Cd (5,0-6,1 ppm) di bagian tajuk yang melebihi batas aman yang diperbolehkan untuk dikonsumsi di dalam tanaman (Pb = 0,3 ppm; Cd = 0,2 ppm) (FAO/WHO, 2001).
61
Penggunaan abu terbang dalam bidang pertanian tidak selalu memberikan keuntungan, namun dengan penggunaan pada konsentrasi rendah nampaknya sesuai untuk pengelolaan beberapa tanaman. Singh et al. (2008) membuktikan pengaruh penggunaan abu terbang terhadap akumulasi logam berat, pertumbuhan dan hasil tanaman Beta vulgaris. Persentase abu terbang yang digunakan 0, 5, 10, 15 dan 20%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat meningkat secara signifikan dengan meningkatnya konsentrasi abu terbang. Berdasarkan hubungan antara metal pollution index (MPI) di akar dan tajuk dengan hasil B. Vulgaris menunjukkan hubungan negatif yang signifikan. Nilai MPI diperoleh dari persamaan yang diberikan oleh Usero et al. (1997 dalam Singh et al., 2008). Dari percobaan ini didapatkan bahwa penggunaan abu terbang pada tanah pertanian sebanyak 5% tidak sesuai untuk sayuran berdaun seperti Beta vulgaris. Dengan demikian penggunaan abu terbang pada tanah pertanian untuk sayuran berdaun sebaiknya tidak direkomendasikan. Masukan dari penelitian ini akan dapat membantu menyusun rencana pemanfaatan abu terbang pada bidang pertanian, terutama jika digunakan untuk pengelolaan tanaman sayuran. Percobaan pengaruh Cd, Pb dan Cu pada tanaman penghasil minyak (Anethum graveolens L., Mentha x piperita L. dan Ocimum basilicum L.) terhadap akumulasi logam berat telah dilakukan oleh Zheljazkov et al. (2006).
Dari
penelitian ini diduga bahwa beberapa tanaman penghasil minyak dapat ditumbuhkan pada tanah dengan kandungan logam berat yang semakin meningkat sebagai alternatif tanaman yang dapat dimakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam Cd, Cu dan Pb tidak terdeteksi di dalam minyak dari ketiga species tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga species tanaman dapat ditumbuhkan pada tanah dengan Cu, Pb dan Cd yang semakin meningkat tanpa menimbulkan transfer logam ke dalam minyak dan tanpa mengubah komposisi minyak yang dapat mengganggu nilai pemasaran. Penanaman tanaman penghasil minyak pada tanah tercemar logam merupakan suatu pilihan yang sesuai, baik dari segi ekonomi maupun lingkungan. Mempertimbangkan karakteristik abu terbang di atas (Tabel 5) dan berdasarkan penelitian pengujian abu terbang pada beberapa tanaman dengan
62
karakteristik yang berbeda-beda (Tabel 6-8), maka peluang pengembangan pemanfaatan abu terbang dari PLTU Suralaya untuk bidang pertanian secara umum dimungkinkan. Namun untuk pengembangan pemanfaatan abu terbang pada tanaman pertanian yang dapat dimakan, aspek tingkat keamanan pangan merupakan faktor yang harus diwaspadai, karena terserapnya logam berat ke dalam tanaman yang dapat dimakan. Namun tentang hal ini, sejumlah peneliti membuktikan untuk mengurangi serapan kandungan logam berat dapat ditambahkan bahan organik pada media yang diameliorasi dengan abu terbang (Jain et al., 2004). Kumpiene et al. (2007), dalam laporannya menjelaskan bahwa dengan penambahan abu terbang dan bahan organik (gambut) pada tanah yang terkontaminasi Pb dan Cu terbukti Pb dan Cu yang tercuci berkurang 98,2% (Cu) dan Pb (99,9%) pada percobaan batch. Selain itu batas asupan per hari (allowable heavy
metal intake)
terhadap
logam
berat
(Lampiran 1) perlu
juga
dipertimbangkan sebagai dasar batas aman keberadaan logam berat yang diperbolehkan untuk dikonsumsi. Pemanfaatan yang agak aman dapat dilakukan pada tanaman yang menghasilkan biji (padi, kacang-kacangan), karena akumulasi logam pada biji paling kecil dibandingkan akar dan tajuk (Dwivedi et al., 2007; Gupta et al., 2006). Selain itu pemanfaatan abu terbang dapat dikembangkan untuk tanaman yang menghasilkan minyak, karena logam tidak larut dalam minyak (Zheljazkov et al., 2006). Pengujian pemanfaatan abu terbang untuk beberapa tanaman pertanian lainnnya, disarikan pada Lampiran 2.
63
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Tidak semua abu terbang tergolong dalam limbah toksik. 2. Tumbuhan in-situ pada landfill yang diteliti berpotensi sebagai fitoremediator, yaitu P. foetida dan Chlorisbarbata sebagai fitoekstraksi, sedangkan E. odoratum dan P. dulce sebagai fitostabilisasi. 3. Abu terbang masih sangat potensial untuk dikembangkan, baik untuk bidang pertanian maupun non pertanian. Untuk bidang pertanian maka kandungan logam berat harus menjadi perhatian.
6.2. Saran 1. Sesuai dengan hasil penelitian ini tidak semua abu terbang termasuk dalam limbah toksik, maka penggolongan abu terbang dari hasil pembakaran batubara sebagai limbah B3 perlu dipertimbangkan. 2. Berdasarkan hasil penelitian, vegetasi in situ berpotensi sebagai fitoremediator, maka perlu dilakukan lebih jauh eksplorasi tumbuhan yang lainnya untuk mengetahui kemampuan fitoremediasi. 3. Perlu dikembangkan lebih lanjut penelitian pemanfaatan abu terbang pada bidang pertanian.
64
DAFTAR PUSTAKA
Ajaz, S., and S. Tiyagi. 2003. Effect of different concentrations of fly-ash on the growth of cucumber plant, Cucumis sativus. Archives of Agronomy and soil Science 49:457-461. Alloway, B.J. 1995. Heavy Metals in Soils. 2th Ed. Blackie Academic & Professional. An Imprint of Chapman & Hall. Glasgow. Barcelo, J., and C. Poschenrieder. 2003. Phytoremediation: principles and perspectives. Contributions to Science 2:333-344. Basu, M., M. Pande, P.B.S. Bhadoria, and S.C. Mahapatra. 2009. Potential flyash utilization in agriculture : A global review [reviews]. Progress in Natural Science. in press. Brooks, R.R. 2000. Plants that Hyperaccumulate Heavy Metals. International. New York.
CAB
Chen, J., and Y. Li. 2006. Coal fly ash as amendment to container substrate for Spathiphyllum production. Bioresource Technology 97:1920-1926. Cheung, K.C., J.P.K. Wong, Z.Q.Zhang, J.W.C. Wong, and M.H. Wong. 2000. Revegetation of lagoon ash using the legume species Acacia auriculiformis and Leucaena leucocephala. Environmental Pollution 109:75-82. Cosio, C., and C. Keller. Hyperaccumulation of cadmium and zinc in Thlaspi caerulescens and Arabidopsis halleri at the leaf cellular level. Plant Physiol 134;716-725. Dwivedi, S., R.D. Tripathi, S. Rivastava, S. Mishra, M.K. Shukla, K.K. Tiwari, R. Singh, and U.N. Rai. 2007. Growth performance and biochemical responses of three rice (Oryza sativa L.) cultivars grown in fly-ash amended soil. Chemosphere 67:140-151. Dwivedi, S., S. Srivastava, S. Mishra, B. Dixit, A. Kumar, and R.D. Tripathi. 2008. Screening of native plants and algae growing on fly-ash affected areas near National Thermal Power Corporation, Tanda, Uttar Pradesh, India for accumulation of toxic heavy metals. Journal of Hazardous Materials 158:359-365. Frey, B., C. Keller, K. Zierold, and R. Schulin. 2000. Distribution of Zn in functionally different leaf epidermal cells of the hyperaccumulator Thlaspi caerulescens. Plant Cell Environ 23:675-687.
65
FAO/WHO. 2001. Food Additives and Contaminants. Joint Codex Alimentarius Commission. FAO/WHO Food Standards Programme. ALINORM 01/12A. Gaind, S., and A.C. Gaur. 2002. Impact of fly ash and phosphate solubilising bacteria on soybean productivity. Bioresource Technology 85:313-315. Ghosh, M., and S.P. Singh. 2005. A rewiew on phytoremediation of heavy metals and utilization of its byproducts. Applied Ecology and Environmental Research 3:1-18. Ghodrati, M., J.T. Sims, B.I. Vasilas, and S.E. Hendricks. 1995. Enhancing the benefits of fly ash as a soil amendment by pre-leaching. Soil Science 159:244-252. Gupta, D.K., R.D. Tripathi, U.N. Rai, S. Dwivedi, S. Mishra, S. Srivastava, and M. Inouhe. 2006. Changes in amino acid profile and metal content in seeds of Cicer arietinum L. (chickpea) grown under various fly-ash amendments. Chemosphere 65:939-945. Gupta, A.K. and S. Sinha. 2006. Role of Brassica juncea L Czenr (var. vaibhav) in the phytoextraction of Ni from soil amended with fly-ash: selection of extractant for metal bioavailability. Journal of Hazardous Materials 136:371378. Gupta, A.K., S. Dwivedi, S. Sinha, R.D. Tripathi, U.N. Rai, and S.N. Singh. 2007. Metal accumulation and growth performance of Phaseolus vulgaris grown in fly ash amended soil. Bioresource Tecnology 98:3404-3407. Gupta, A.K., and S. Sinha. 2008. Decontamination and/or revegation of fly-ash dikes through naturally growing plants. Journal of Hazardous Materials 153:1078-1087. Gupta, D.K., U.N. Rai, S. Sinha, R.D. Tripathi, B.D. Nautiyal, P. Rai, and M. Inouhe. 2004. Role of Rhizobium (CA-1) inoculation in increasing growth and metal accumulation in Cicer arietinum L. growing under fly-ash stress condition. Bulletin of Environmental Contamination and Toxicology 73:424431. Haynes, R.J. 2009. Reclamation and revegetation of fly ash disposal sites – challenges and research needs [reviews]. Journal of Environmental Management 90:43-53. Haque, N., J.R. Peralta-Videa, G.L. Jones, T.E. Gill, and J.L. Gardea-Torresdey. 2008. Screening the phytoremediation potential of desert broom (Baccharis sarothroides Gray) growing on mine tailings in Arizona, USA. Environmental Pollution 153:362-368.
66
Hu, D.J., and F.H. Wang. 1995. Silica nutrition of rice. Agric. Sci. Hubei 5:3336. Huang J., J. Chen, W. Berti, and S. Cunningham. 1997. Phytoremediation of lead-contaminated soils: Role of synthetic chelates in lead phytoextraction. Environ Sci Technol 31:800-805. Iskandar, Suwardi, dan E.F.R. Ramadina. 2008. Pemanfaatan bahan amelioran abu terbang pada lingkungan tanah gambut : (1) pelepasan hara makro. Jurnal Tanah Indonesia 1:1-6. Iqbal, J., and M.W. Khan. 1995. Effect of fly-ash on plant growth, yield and leaf pigment of wheat. Indian Journal of Plant Pathology 13:20-25. Jain, K., J. Singh, L.K.S. Chauhan, R.C. Murti, and S.K. Gupta. 2004. Modulation of fly-ash-induced genotoxicity in Vicia fava by vermicomposting. Ecotoxicology and Environmental Safety 59:89-94. Jala, S., and D. Goyal. 2006. Fly ash as a soil ameliorant for improving crop production- a review [reviews]. Bioresource Technology 97:1136-1147. Jambhulkar, H.P., and A.A. Juwarkar. 2009. Assessment of bioaccumulation of heavy metals by different plant species grown on fly ash dump. Ecotoxicology and Environmental Safety 72:1122-1128. Kabata- Pendias, A., and H. Pendias. 2001. Trace Elements in Soils and Plants. Ed ke-3. Boca Raton: Lewis Publ CRC Pr. Kalra, N., M.C. Jain, H.C. Joshi, R. Choudhary, R.C. Harit, B.K. Vatsa, S.K. Sharma, and V. Kumar. 1998. Fly-ash as a soil conditioner and fertilizer. Bioresource Technology 64:163-167. Kawatra, B.L., and P. Bakhetia. 2008. Consumption of heavy metal and minerals by adult women through food in sewage and tube-well irrigated area around Ludhiana City (Punjab, India). J. Hum. Ecol. 23:351-354. Khan, M.R., and Khan, M.W. 1996. The effect of fly-ash on plant growth and yield of tomato. Environmental Pollution 92:105-111. Kidd, P., J. Barcelo, M.P. Bernal, F. Navari-Izzo, C. Poschenrieder, S. Shilev, R. Clemente, and C. Monterroso. 2009. Trace element behavior at the root-soil interface : Implication in phytoremediation. Environmental and Experimental Botany. in press. Kim, B-Y., S-U. Lim, and J-H. Park. 1994a. Influence of fly ash application on content of heavy metal in the soil. I. Content change by the application rate. J. Korean Soc. Soil Sci. Fert. 27:65-71.
67
Kim, B-Y., G-B. Jung, S-U. Lim, and J-H. Park. 1994b. Influence of fly ash application on content of heavy metals in the soil. II. Content change by the successive application. J. Korean Soc. Soil Sci. Fert. 27:72-77. Kim, B-J., J-H. Back, and Y-S. Kim. 1997. Effect of fly ash on the yield of Chinese cabbage and chemical properties of soil. J. Korean Soc. Soil Sci. Fert. 30:161-167. Kirkham, M.B. 2006. Cadmium in plants on polluted soils: Effects of soil factors, hyperaccumulation, and amendments. Geoderma 137:19-32. Kumar, A., A.K. Sarkar, R.P. Singh, and V.N. Sharma. 1999. Effect of fly ash and fertilizer levels on yield and trace metal uptake by soybean and wheat crops. Journal of the Indian Society of Soil Science 47:744-748. Kumar, K.V., N. Singh, H.M. Behl, and S. Srivastava. 2008. Influence of plant growth promoting bacteria and its mutant on heavy metal toxicity in Brassica juncea grown in fly ash amended soil. Chemosphere 72:678-683. Kupper, H., E. Lombi, F.J. Zhao, and S.P. McGrath. 2000. Cellular compartmentation of cadmium and Zinc in relation to other elements in the hyperaccumumulator Arabidopsis halleri. Planta 212:75-84. Kumpiene, J., A. Lagerkvist, and C. Maurice. 2007. Stabilization of Pb and Cu contaminated soil using coal fly ash and peat. Environmental Pollution 145:365-373. Lasat, M.M. 2002. Phytoextraction of toxic metals [reviews]. Environmental Quality 31:109-120.
Journal of
Lee, H., H. S. Ha., C. H. Lee, Y. B. Lee, and P. J. Kim. 2006. Fly-ash effect on improving soil properties and rice productivity in Korean paddy soils. Bioresource Technology 97:1490-1497. Lee, S.B., Y.B. Lee, C.H. Lee, C.O. Hong, P.J. Kim, and C. Yu. 2008. Characteristics of boron accumulation by fly ash application in paddy soil. Boiresource Technology 99:5928-5932. Liao, S., and N. Chang. 2004. Heavy metal phytoremediation by water hyacinth at costructed wetlands in Taiwan. J. Aquatic Plant Manag. 42:60-68. Maier, E.A. R.D. Mathewws, J.A. McDowell, R.R. Walden, and B.A. Ahner. 2003. Environmental cadmium levels increase phytochelatin and glutathione in lettuce grown in a chelator-buffered nutrient solution. J. Environ. Qual.32:1356-1364.
68
Maleki, A., and M.A. Zarasvand. 2008. Heavy metals in selected edible vegetables and estimation of their daily intake in Sanandaj, Iran. Med. Public Health 39:335-340. Malayeri, B.E., A. Chehregani, N. Yousefi, and B. Lorestani. 2008. Identification of the hyperaccumulator plants in copper and iron mine in Iran. Pakistan Journal of Biological Sciences 11: 490-492. Mishra, M., R.K. Sahu, and R.N. Padhy. 2007. Growth, yield and elemental status of rice (Oryza sativa) grown in fly-ash amended soil. Ecotoxicology 16:271-278. Matsi, T., and V.Z. Keramidas. 1999. Fly-ash application on two acid soils and its effect on soil salinity, pH, B, P, and on ryegrass growth and composition. Enviromental Pollution 104:107-112. Mittra, B.N., S. Karmakar, D.K. Swain, and B.C. Ghosh. 2005. Fly-ash a potential source of soil amendment and a component of integrated plant nutrient supply system. Fuel 84:1447-1451. Mitrovic, M., P. Pavlovic, D. Lakusic, L. Djurdjevic, B. Stevanovic, O. Kostic, and G. Gajic. 2008. The potential of Festuca rubra and Calamagrostis epigejos for the revegetation of fly ash deposits. Science of The Total Environment 407:338-347. Oppelt, E.T. 2000. Introduction to Phytoremediation. National Risk Management Research Laboratory. U.S. Environmental Protection Agency. Pandey, V.C., P.C. Abhilash, and N. Singh. 2009. The indian perspective of utilizing fly ash in phytoremediation, phytomanagement and biomass production [reviews]. Journal of Environmental Management 90:2943-2958. Pandey, V.C., P.C. Abhilash, R.N. Upadhyay, and D.D. Tewari. 2009. Aplications of fly ash on the growth performance and translocation of toxic heavy metals within Cajanus cajan L: implicaton for save utilization of fly ash for agricultural production. Journal of Hazardous Materials. in presss. Pathan, S.M., L.A.G. Aylmore, and T.D. Colmer. 2003. Properties of several fly ash materials in relation to use as soil amendments. J. Environ. Qual. 32:687693. Pichtel, J., K. Kuroiwa, and H.T. Sawyerr. 2000. Distribution of Pb, Cd and Ba in soils and plants of two contaminated sites. Environ. Pollut.110:171-178. Pierzynski, G.M., J.L. Heitman, P.A. Kulakow, G.J. Kluitenberg, and J. Carlson. 2004. Revegetation of waste fly ash landfills in a semiarid environment. Journal of Range Management 57:312-319.
69
Rai, U.N., K. Pandey, S. Sinha, A. Singh, R. Saxena, and D.K. Gupta. 2004. Revegetating fly-ash landfills with Prosopis juliflora L.: impact of different amendments & Rhizobium inoculation. Environment International 30:293300. Rai, U.N., D.K. Gupta, M. Akhtar, and A. Pal. 2003. Performance of seed germination and growth of Vicia faba L. in fly-ash amended soil. Journal of Environmental Biology 24:9-15. Ram, L.C., N.K. Srivastava, R.C. Tripathi, S.K. Jha, A.K. Sinha, G. Singh, and V. Manoharan. 2006. Management of mine spoil for crop productivity with lignite fly ash and biological amendments. Journal of Environmental Management 79:173-187. Rautaray, S.K., B.C. Ghosh, and B.N. Mittra. 2003. Effect of fly ash, organic wastes and chemical fertilizers on yield, nutrient uptake, heavy metal content and residual fertility in a rice-mustard cropping sequence under acid lateritic soils. Bioresource Technology 90:275-283. RDA (Rural Development Administration, Korea). 1999. Fertilization standard of crop plants. National Institute of agricultural Science and Technology, RDA, Suwon p. 148 (in Korean). Sahi, S.V., N.L. Bryant, N.C. Sharma, and S.R. Singh. 2002. Characterization of a lead hperaccumulator shrub, Sesbania drummondii. Environ Sci Technol. 36:4676-4680. Sarangi, P.K., D. Mahakur, and P.C. Mishra. 2001. Soil biochemical activity and growth response of rice Oryza sativa in fly ash amended soil. Bioresource Technology 76:199-205. Scotti, A., S. Silva, and G. Botteschi. 1999. Effect of fly ash on the availability of Zn, Cu, Ni, and Cd to chicory. Agriculture, Ecosystems & Environment 72:159-163. Sarret, G., P. Saumitou-Laprade, V. Bert, O. Proux, J.L. Hazemann, A.S. Traverse, M.A. Marcus, and A. Manceau. 2002. Forms of zinc accumulated in the hyperaccumulator Arabidopsis halleri. Plant Physiol 130:1815-1826. Shende, A., A.S. Juwarkar, and S.S. Dara. 1994. Use of fly ash in reducing heavy metal toxicity to plants. Resources, Conservation and Recycling 12:221-228. Siddiqui, S., A. Ahmad, and S. Hayat. 2004. The fly ash influenced the heavy metal satus of the soil and the seeds of sunflower – a case study. Journal of Environmental Biology 25:59-63.
70
Singh, N., S.N. Singh, M. Yunus, and K.J. Ahmad. 1994. Growth response and elemental accumulation in Beta vulgaris L raised in fly-ash amended soil. Ecotoxicology 3:287-298. Singh, L.P., and Z.A. Siddiqui. 2003. Effects of fly-ash and Helminthosporium oryzae on growth and yield of three cultivars of rice. Bioresource Technology 86:73-78. Singh, A., R. J. Sharma, and S.B. Agrawal. 2008. Effects of fly ash incorporation on heavy metal accumulation, growth and yield responses of Beta vulgaris plants. Bioresource Technology 99:7200-7207. Sinha, S., and A.K. Gupta. 2005. Translocation of metals from fly-ash amended soil in the plant of Sesbania cannabina L. Ritz: effect on antioxidants. Chemosphere 61:1204-1214. Srivastava, K., A. Farooqui, K. Kulshrestha, and K.J. Ahmad. 1995. Effect of amendment soil on growthof Lactuca sativa. Journal of Environmental Biology 16:93-96. Srivastava, S., A.A. Ansari, F. Hashmi, and A. Khatoon. 2003. Effect of fly-ash on leaf traits of fenugreek (Trigonella foenum-graecum L.). Vegetos 16:7376. Sudadi, U., 2009. Inaktivasi in situ Pencemaran Kadmium dan Plumbum pada Tanah Pertanian Menggunakan Amelioran dan Pupuk pada Dosis Rasional untuk Budidaya Tanaman [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sugiyono, A. 2000. Prospek penggunaan teknologi bersih untuk pembangkit listrik dengan bahan bakar batubara di Indonesia. Jurnal Teknologi Lingkungan Vol.1.No.1.90-95. Sukandarrumidi. 2006. Batubara dan Pemanfaatannya. Gajahmada University Press. Tripathi, R.D., P. Vajvayee, N. Singh, U.N. Rai, A. Kumar, M.B. Ali, B. Kumar, and M. Yunus. 2004. Efficacy of various amendments for amelioration of fly-ash toxicity: growth performance and metal composition of Cassia siamea Lamk. Chemosphere 54:1581-1588. Tripathi, R.D., S. Dwivedi, M.K. Sukia, S. Mishra, S. Srivastava, R. Singh, U.N. Rai, and D.K. Gupta. 2008. Role of blue green algae biofertilizer ameliorating the nitrogen demand and fly-ash stress to the growth and yield of rice (Oryza sativa L.) plants. Chemosphere 70:1919-1929.
71
USEPA (United States Environmental Protection Agency). 1993. Standards for the Use or Disposal of Sewage Sludge: Final Rules 40 CFR parts 257, 403, and 503. Fed Reg. 58 (32) 9284-9415. USEPA, Washington, DC. Vassilev, A., J. Vangronsveld, and I. Yordanov. 2002. Cadmium phytoextraction: present state, biological backgrounds and research needs [reviews]. Bulg. J. Plant Physiol. 28:3-4, 68-95. Wang, J., F. Zhao, A.A. Meharg, A. Raab, J. Feldmann, and S.P. McGrath. 2002. Mechanisms of arsenic hyperaccumulation in Pteris vittata. Uptake kinetics, interactions with phosphate, and arsenic speciation. Plant Physiol 130:15521561. Wang, Y., and M. Greger. 2004. Clonal differences in mercury tolerance, accumulation, and distribution in willow. J. Environ. Qual 33:1779-1785. Wei, S., Q. Zhou, and S. Mathews. 2008. A newly found cadmium accumulatorTaraxacum mongolicum. Journal of Hazardous Materials 159:544-547. Yanai, J., F-J. Zhao, S. P. McGrath, and T. Kosaki. 2006. Effect of soil characteristics on Cd uptake by the hyperaccumulator Thlaspi caerulescens. Environmental Pollution 139:167-175. Yangun, Z., L. Yuan, C. Jianjun, C. Haiyan, Q. Li, and C. Schvartz. 2005. Hyperaccumulation of Pb, Zn and Cd in herbaceous grown on lead-zinc mining area in Yunnan, China. Environment International 31:755-762. Yu, H., J. Wang, W. Fang, J. Yuan, and Z. Yang. 2006. Cadmium accumulation in different rice cultivars and screening for pollution-safe cultivars of rice. Science of the Total Environment 370:302-309. Yunusa, I.A.M., D. Eamus, D.L. DeSilva, B.R. Murray, M.D. Burchett, G.C. Skilbeck, and C. Fleidrich. 2006. Fly-ash: an exploitable resource for management of Australian agricultural soils. Fuels 85:2337-2344. Zhao, F., E. Lombi, T. Breedon, and S.P. McGrath 2000. Zinc hyperaccumulation and cellular distribution in Arabidopsis halleri. Plant Cell Environ 23:507514. Zheljazkov, V.D., L. E. Craker, and B. Xing. 2006. Effects of Cd, Pb, and Cu on growth and essensial oil contents in dill, peppermint, and basil. Environmental and Experimental Botany 58:9-16.
72
Lampiran 1. Batas asupan logam yang diperbolehkan per hari Logam
Cd Cr Pb Cu Ni Zn Mn Fe a
Batas maksimum diperbolehkan dalam sayuran (mg kg-1) 0,2b 2,3b 0,3b 40b
Batas asupan logam untuk sayuran (µg/ hari) beberapa negara 4,6 – 30.000a
Batas asupan logam untuk sayuran (µg/ hari)
30 – 427a 0,45 – 20.000a
214d; 430e 3000d; 2200f 600f 60.000d 5500f 30.000f
: Maleki & Zarasvand (2008). : FAO/WHO (2001). d : FAO/WHO (1999 dalam Maleki and Zarasvand, 2008). e : WHO (1972 dalam Kawatra & Bakhetia, 2008). f : WHO (1989 dalam Kawatra & Bakhetia, 2008). b
60f ; 65f
73
Lampiran 2. Penggunaan abu terbang untuk produksi pertanian Tanaman Cicer arietinum L. var. c-235 & CGS-8962
Pembenah FA+Tanah, FA+PM, FA+SD
Kisaran dosis FA 10, 25, & 50%FA dicampur dengan PM, GS, & SD
Hasil Var.c-235 lebih sesuai dari lainnya untuk penanaman daerah terkontaminasi FA.
Referensi Gupta et al., 2006
Cichorium intybus
FA+Tanah, Tanah+(Zn, Cu, Ni, &Cd) FA + Tanah + (Zn, Cu, Ni & Cd)
3% FA
Pengaruh alkalinitas FA dapat digunakan untuk mengurangi akumulasi tanaman terhadap elemen yang berpotensi toksik, terutama pada tanah asam.
Scotti et al., 1999
Lycopersicum esculentum Mill. C. Pusa Ruby
FA + Tanah
10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 & 100% FA (v/v)
Nilai yang paling ekonomi dari campuran FA adalah 40%, memperbaiki hasil dan nilai pemasaran buah tomat (berat rata-rata) sebesar 81 dan 30%.
Khan dan Khan, 1996
Beta vulgaris L.
FA + Tanah
2,4 & 8% FA (w/w)
Penggunaan dalam jumlah rendah (2% FA, w/w) sesuai untuk pertumbuhan tanaman dan memperbaiki hasil (kandungan gula)
Singh et al., 1994
Brassica juncea L. var. vaibha
FA + Tanah
10,25,50,75 & 100% FA (w/w)
B. juncea dapat digunakan untuk fitoekstraksi logamlogam khususnya Ni pada tanah yang diperbaiki dengan FA.
Gupta dan Sinha, 2006
Orya sativa L.
FA + Tanah
40, 80, 120 Mg/ha
Hasil tertinggi dari beras pada 90 Mg /ha
Lee et al., 2006
74
Lanjutan lampiran 2. Tanaman Lactuca sativa L.
Pembenah FA + Tanah
Kisaran dosis FA 10, 20, 30 % FA
Hasil Penggunaan FA pada konsentrasi rendah akan merangsang pertumbuhan, produksi berat kering fotosintetik pigmen di dalam tanaman menjadi lebih baik.
Referensi Srivastava et al., 1995
Prosopis juliflora L.
FA + Tanah, FA + PM, FA + BGA, FA + FYM, FA + Rhizobium
10, 25, 50, 75 & 100% FA, 75% FA + 25% PM, 75% FA + 25 FYM, 100% FA + Rhizobium
FA yang diperbaiki dengan BGA menunjukkan pertumbuhan P. juliflora paling subur. Inokulasi dengan Rhizobium (PJ-1) yang tahan FA merangsang pertumbuhan tanaman dan terjadi translokasi logam-logam ke bagian tanaman yang sedang tumbuh pada FA 100%. Hal ini dapat menguntungkan untuk tujuan revegetasi dan fitoremediasi landfill.
Rai et al., 2004
Triticum aestivum L.
FA + Tanah
10, 25,50,75 & 100 FA (w/w)
Pertumbuhan, hasil dan pigmen daun tertinggi terdapat pada 25% FA
Iqbal and Khan, 1995
Oryza sativa
FA + Tanah
0; 1; 2,5; 5; 10 & 15 Mg/ha FA
Perbaikan terhadap sifat fisika tanah, pertumbuhan dan hasil padi pada 10 Mg/ha.
Mishra et al., 2007
75
Lanjutan lampiran 2. Tanaman Cucumis sativus
Pembenah FA + Tanah
Kisaran dosis FA 10, 25 dan 50% FA
Hasil Memperbaiki sifat fisika, kimia tanah dan pertumbuhan tanaman, produktifitas bersih, luas daun dan pigmen fotosintesis.
Referensi Ajaz dan Tiyagi, 2003
Glycine max L. cv Pusa 22
FA + Tanah
20, 40, 60 & 80 t/ha tanpa pupuk N dan P
Penggunaan FA pada 40 ton/ha bersama-sama dengan inokulan P. striata memperbaiki hasil biji kedelai dan pengambilan P oleh biji.
Gaind dan Gaur, 2002
Oryza sativa L.
FA + Tanah
0,40,80,dan 120 Mg/ha
FA berfungsi sebagai pembenah tanah yang baik untuk produksi padi tanpa tercemar B
Lee et al., 2008
3 kultivar Oryza sativa L. : Sabha-5204, Saryu-52, Pant-4
FA + Tanah
10, 25, 50, 75 & 100%
Sabha-5204 and Saryu-52 lebih sesuai daripada Pant-4 pada tanah pertanian yang diperbaiki dengan FA untuk menghasilkan tanaman yang lebih baik.
Dwivedi et al., 2007
Trigonella L.
FA + Tanah
25, 50, 75 & 100% FA
Meningkatkan ukuran pada 25% dan 50% FA.
Srivastava et al., 2003
foenum-graecum
Brassica napus
FA + Tanah
daun
Meningkatkan vigor pada awal pertumbuhan & hasil biji hingga 20%.
Yunusa et al., 2006
76
Lanjutan lampiran 2. Tanaman Phaseolus vulgaris
Pembenah FA + Tanah
Kisaran dosis FA 10, 25% FA
Hasil Perpindahan logam lebih banyak dari akar ke tajuk pada tanaman yang tumbuh di tanah yang diperbaiki dengan FA.
Referensi Gupta et al., 2007
Vicia faba
FA + Tanah
25, 50, 75 & 100% FA
Aplikasi FA dosis rendah pada tanah pertanian menguntungkan pertumbuhan tanaman.
Rai et al., 2003
Helianthus annus L.
FA + Tanah
20, 40, 60, 80 dan 100% FA
Pada biji kecuali Fe, Pb, Mn & Zn, logam lainnya (Cu, Cr, Cd, Co & Ni) meningkat hingga 40% FA, diatas 40% jumlah logam sedikit meningkat, tetapi nilainya lebih banyak berada di bawah baku mutu.
Siddiqui et al., 2004
Oryza sativa L. : Pant-4, Pant10, Pusa Basmati
FA + Tanah
20, 40, 60, 80 & 100% FA (v/v)
40% FA meningkatkan pertumbuhan & hasil meningkat lebih tinggi dibandingkan 20%. Pertumbuhan terbaik pada PusaBamati diikuti Pant-4 dan Pant-10, sementara hasil lebih tinggi pada Pant-4 diikuti Pant10 dan Pusa Basmati.
Singh dan Siddiqui, 2003
77
Lanjutan lampiran 2. Tanaman Sesbania Cannabina L.
Pembenah FA + Tanah
Kisaran dosis FA 10, 25,50 & 100% FA (w/w)
Hasil Fe diakumulasi paling tinggi, Ni paling rendah. Nilai logam di dalam tanaman berkurang dengan peningkatan FA dari 10%-50%. Nilai antioksidan yang terdapat pada semua periode dalam akar dapat melawan stress logam . Sehingga S. Cannabina dapat digunakan untuk revegetasi dan fitoremediasi dari lokasi terkontaminasi FA.
Referensi Sinha dan Gupta, 2005
Cassia siamea
FA + GS, FA + CM, FA + PM
50% FA dicampur dengan GS, CM & PM (w/w)
Pertumbuhan C. siamea dalam FA+PM adalah baik. Sehingga PM terbukti paling sesuai sebagai amelioran untuk revegetasi di landfill dan C. siamea sesuai untuk fitoremediasi dan revegetasi landfill FA karena berpotensi mengakumulasi logam tinggi.
Tripathi et al., 2004
Lolium perenne
FA + Tanah
5, 20 & 50 g FA/kg tanah
Penggunaan FA tidak melebihi 20 g/kg tanah, terbukti meningkatkan pengambilan nutrin dan biomassaa hasil.
Matsi dan Keramidas, 1999
Oryza sativa var. Meher
FA + Tanah
10; 12,5; 15; 17,5 & 20 ton/ha
Meningkatnya biomassa total tanaman dan bagian atas tanaman pada 20 ton/ha FA. Hasil biji dan jerami meningkat pada 17,5 ton/ha.
Sarangi et al., 2001
78
Lanjutan lampiran 2. Tanaman Oryza sativa var. IR 36 Arachis hypogaea var. Jl. 24
Pembenah Kontrol, FA, CF, FA + CF, FYM + CF, FA + FYM + CF, L + FYM + CF, PFS + CF FA + PFS + CF, L + PFS + CF, CR + CF FA + CR + CF
Kisaran dosis FA 10 ton/ha FA
Hasil Penggunaan 10 ton/ha FA yang dikombinasikan dengan bahan organik dan pupuk kimia meningkatkan hasil biji, polong kacang dan pengambilan nutrin padi dibandingkan dengan pupuk kimia sendiri.
Referensi Mittra et al., 2005
Glycine max L. Triticum aestivum L.
FA + Tanah, FA + Tanah + NPK
0, 4, 8 & 16% FA (0; 89,6; 179,2 & 358,4 kg dalam plot 10m2), NPK pada 50 & 100%
Hasil maksimum kedelai dan gandum didapatkan 14,7 q/ha & 12,9 q/ha pada 16% FA & 4% FA.
Kumar et al., 1999
Zea mays L.
FA + Tanah
0, 20, 40 & 40 FA berdasarkan berat
Tanah yang diperbaiki dengan FA sebelumnya dicuci dengan air setinggi 50 cm, penambahan 20 & 40% FA meningkatkan produksi berat kering jagung hingga 7% & 29%, potensi pengaruh fitotoksik dari FA dapat dikurangi dengan pencucian pada tanah yang diperbaki FA sebelum tanaman ditanam.
Ghodrati et al., 1995
90% species rumput, 10% species herba
CFA + Tanah, CFA + Tanah + OM (Gambut)
Mobilitas Cu & Pb serta ketersediaannya di dalam tanah dapat dikurangi secara efektif dengan penggunaan kombinasi FA & gambut sebagai pembenah tanah.
Kumpiene et al., 2007
Sumber bahan organik (FYM, PFS & CR) pada 30% kg N/ha Kapur 2 ton/ha
79
Lanjutan Lampiran 2. Tanaman Oryza sativa L.
Pembenah FA + Tanah
Kisaran dosis FA 0, 40, 80, 120 Mg/ha FA
Hasil FA dapat berfungsi sebagai pembenah tanah yang baik untuk produksi padi tanpa tercemar B.
Referensi Lee et al., 2008
Brassica juncea
FA + Tanah
Tanah terkontaminasi FA
Mutant dari NBRI K-28 dapat meningkatkan pertumbuhan dan mengurangi akumulasi logam dibandingkan tipe liar.
Kumar et al., 2008
Beta vulgaris L.
FA + Tanah
0, 5, 10, 15 & 20% FA
Daun-daun seperti B. Vulgaris merupakan tanaman yang tidak sesuai ditumbuhkan pada tanah yang diperbaiki dengan FA.
Singh et al., 2008
Oryza sativa L.
FA10 + Tanah + NF90 + BGA12,5 FA100 + Tanah + NF120 + BGA12,5
10 & 100 ton/ha FA; 90 & 120 kg /ha NF; 12,5 kg/ha BGA
Penggunaan secara terpadu antara FA, BGA dan NF dapat memperbaiki pertumbuhan, hasil dan komposisi mineral dari padi disamping mengurangi permintaan yang tinggi terhadap pupuk N.
Tripathi et al., 2008
Zea mays L.
FA + Tanah
0, 2,5,10, 15 & 20%
Penambahan FA efektif meningkatkan pH pada tanah masam dan selanjutnya dapat membantu mengurangi kelarutan logam dan ketersediaannnya bagi tanaman.
Shende et al., 1994
80
Lanjutan lampiran 2. Tanaman -
Pembenah LFA + mine spoil, LFA + mine spoil + lumpur
Kisaran dosis FA 0, 5, 10, 20, 50, 100 & 200 ton/ha, lumpur 10 ton/ha
Hasil Hasil maksimum ditunjukkan dengan pemberian berulang 20 ton/ha LFA dengan lumpur pada ketiga tanaman. Lumpur meningkatkan hasil 1,5-2% pada berbagai dosis LFA. Dosis optimum LFA 20 ton/ha dapat diterapkan baik pada saat penanaman maupun untuk pengulangan.
Referensi Ram et al., 2006
Oryza sativa L. dan Brassica napus var. Glauca
FA + Tanah laterit asam
-
Penggunaan secara terpadu FA, limbah organik dan pupuk kimia menguntungkan karena dapat memperbaiki hasil tanaman, pH tanah, C-organik dan ketersediaan N, P dan K.
Rautaray et al., 2003
Cajanus cajan L.
FA + Tanah
0, 25, 50 dan 100% (w/w)
Penambahan FA pada konsentrasi rendah (25%) menunjukkan hasil yang positif terhadap parameter pertumbuhan dan hasil (14,23%) bila dibandingkan dengan kontrol.
Pandey et al., 2009
Cicer arietinum L.
FA + Tanah
100% FA ( FA landfill)
Pertumbuhan dan akumulasi logam berpotensi meningkat jika di inokulasi dengan strain Rhizobium (CA-1) dibanding tan yang tdk diinokulasi. C. arietinum cocok utk revegetasi landfill FA yang defesien N.
Gupta et al., 2004
81
Lanjutan lampiran 2. Tanaman Visia fava
Pembenah FA + campuran tanah dan pupuk kandang (1:1; w/w)
Kisaran dosis FA 20, 40,60 & 80% FA (w/w)
Hasil Studi ini mengindikasikan bahwa potensi genotoxicity dari FA & keberadaan vermikompos untuk membersihkan tanah terkontaminasi logam untuk memitigasi genotoksisity atau toksisity.
Referensi Jain et al., 2004
Zea mays L. Triticum aesticum L. Brassica juncea L. Oryza sativa L.
FA + Tanah
10 ton/ha FA
Hasil biji jagung meningkat pada plot yang ditambah dengan 10 ton /ha
Kalra et al., 1998
Acacia auriculiformis Leucaena leucocephala
LA + VC + Pupuk N LA + SSC + Pupuk N LA + VC + RI + Pupuk N LA + SSC + RI + Pupuk N
70% FA
Kedua amelioran dapat memperbaiki sifat fisika abu melalui peningkatan porositas dan aerasi untuk perkembangan akar, tetapi hanya SSC yang meningkatkan nutrin (N, P, K) pada abu yang tidak subur. Kedua species terbukti dapat tumbuh pada abu yang telah diperbaiki namun A. auriculiformis yang paling baik beradaptasi.
Cheung et al., 2000
Keterangan : FA= fly ash (abu terbang) ; PM=press mud; SD=serbuk gergaji; BGA= blue green algae; FYM= pupuk kandang ayam; GS=tanah kebun; CM= pupuk kandang sapi; CF=pupuk kimia; L= kapur; PFS= sludge pabrik kertas ; CR=sisa tanaman; CFA=abu terbang batubara; NF=pupuk nitrogen; VC=vermikulit; SSC=sludge kompos; RI=inokulasi Rhizobium. LA= Lagoon ash; LFA= lime+abu terbang.