KARAKTER CARA HIDUP DAN PERILAKU PENCARIAN INANG PADA Cotesia nonagriae (OLLIFF) (HYMENOPTERA: BRACONIDAE), SALAH SATU ANGGOTA SPESIES PARASITOID PENGGEREK BATANG KOMPLEKS/KELOMPOK Cotesia flavipes YANG BARU DIKENALI. Kate A. Muirhead,1 Nader Sallam2 dan Andrew D Austin1* \1
Australian Center for Evolutionary Biology and Biodiversity, School of Earth & Environmental Sciences, The University of Adelaide, S.A. 5005, Australia. 2
BSES Limited, PO Box 122, Gordonvale, Qld 4865, Australia
Abstrak Cotesia nonagriae (Olliff) dari Australia, adalah parasitoid yang menyerang hama minor tebu Bathytricha truncata (Walker) (Lepidoptera; Noctuidae) yang pada awalnya disinonimkan dengan Cotesia flavipes Cameron. Namun, penelitian terbaru ternyata menunjukan bahwa parasitoid ini berbeda dengan spesies C. flavipes dan anggota spesies kompleks lainnya, berdasarkan studi rangkaian DNA, morfologi dan informasi biologi awal. Kami menguji perbedaan biologi pada spesies – spesies ini dengan mempelajari secara detail karakteristik cara hidup C. nonagriae, termasuk lama hidup parasitoid dewasa serta potensi fekunditas dan fekunditas betina dewasa. Sebagai tambahan, pengaruh tentang pembelajaran lokasi mikrohabitat dan perilaku pencarian inang juga diteliti. Lama stadia larva dan lama hidup C. nonagriae dewasa lebih lama dari spesies kompleks lainnya. Potensi fekunditas betina sama dengan C. flavipes ( ~ 200 telur); tetapi C. nonagriae mengovipisisi rata – rata lebih dari 100 telur per inang, hampir tiga kali lipat dari spesies kompleks C. flavipes lainnya (30 – 40). Kecenderungan C. nonagriae untuk meletakkan telur dalam jumlah yang banyak diduga merupakan strategi evolusi karena tingkat mortalitas yang tinggi (50 - 57%) pada saat oviposisi. Pada uji lokasi mikrohabitat, baik betina yang baru dan telah berpengalaman menunjukkan respon yang kuat pada plant host complex, dan yang telah berpengalaman lebih cepat mengenali senyawa dan tanda- tanda yang dikeluarkan inang. Kata kunci : pengendalian hayati, waktu perkembangan, fekunditas, pertahanan inang, mortalitas parasitoid, perilaku pencarian. Terjemahan dari : Life history traits and foraging behaviour of Cotesia nonagriae (Olliff) stat. rev. (Hymenoptera: Braconidae: Microgastrinae), a newly recognised member of the Cotesia flavipes species complex of stemborer parasitoids Diterbitkan oleh : Australian Journal of Entomology (2010) 49, 56 – 65 Diterjemahkan oleh : Cucu Daniati, S.P.
1|Page
PENDAHULUAN Penggerek batang dari ordo Lepidoptera adalah hama utama pada tanaman tebu dan tanaman sereal di seluruh dunia (Polaszek & Walker 1991; Overholt et al. 1997). Setiap tahunnya hasil panen berkurang karena serangan lebih dari 50 spesies penggerek batang dari famili Pyralidae, Crambidae dan Noctuidae (lihat Smith et al. 1993). Awalnya, hama – hama ini hanya menyerang beberapa tanaman rumput, biji – bijian dan cat tails, namun setelah adanya pertanian subsisten dan pertanian monokultur dalam skala besar yang menyediakan begitu banyak tanaman inang, memungkinkan bertambahnya populasi hama secara drastis. Pada saat ini penggerek batang juga menyerang tanaman pokok misalnya jagung (Zea mays L.), padi (Oryza sativa L.), sorgum (Sorghum spp.), millet (Pennisetum spp.) dan tebu (Saccharum spp.) (Smith & Wiedenmann 1997). Walaupun penggerek batang secara taksonomi tersebar dalam beberapa kelompok, tetapi mereka menunjukkan pola hidup yang mirip (Smith et al. 1993) yang membuat mereka menjadi hama yang sangat merusak. Mereka makan di dalam tanaman inang sehingga stadia larva hingga pupa tidak terlihat dari luar. Selain itu, tubuh mereka pun terlindung oleh jaringan tanaman yang secara umum sulit dijangkau oleh predator dan parasitoid (Hawkins 1993). Anggota kelompok spesies kompleks Cotesia flavipes adalah parasitoid yang paling berhasil dalam upaya pengendalian hayati penggerek batang di seluruh dunia. Endoparasitoid ini telah mengembangkan perilaku dan karakter morfologi yang menyesuaikan dengan cara hidup inangnya. Keberhasilan mereka umumnya didasarkan pada kemampuan untuk mengenali petunjuk kimia dan fisik saat mengenali habitat dan lokasi inang (Mohyuddin et al. 1981; Shami & Mohyuddin 1992; Wiedenmann et al. 1992; Potting et al. 1995; Ngi-song et al. 1996; Ngi-song & Overholt 1997; Nwanze & Nwilene 1998; Rutledge & Wiedenmann 1999; Jembere et al. 2003; Gohole et al. 2005; Obonyo et al. 2008) serta kemampuan untuk menjangkau inang di dalam lubang gerekan. Kelompok C. flavipes kompleks terdiri atas 3 spesies (C. flavipes Cameron, C. sesamiae (Cameron) dan C. chilonis Matsumura), yang bersifat polipagus dan ditemukan pada banyak spesies penggerek batang tanaman rumput – rumputan (gramineous), terutama Chilo, Sesamiae dan Diatraea (lihat Shenefelt 1972). Selain itu, keberhasilan kelompok ini dalam reproduksi dan penyesuaian dengan inang juga telah banyak dilaporkan (Wiedenmann & Smith 1997; Potting et al. 1997b; Mochiah et al. 2001; Ngi-Song et al. 1995, 1998; Alleyne & Wiedenmann 2001a; Chinwada et al. 2003; Gitau et al. 2006, 2007; Dupas et al. 2008). Di Australia, status dan keberadaan C. flavipes masih menjadi bahan perdebatan. Lebih dari 80 tahun lalu, spesies asli Australia Apanteles nonagriae Olliff disinonimkan dengan A. flavipes (Wilkinson 1929; Austin & Dangerfield 1992), yang mengindikasikan adanya C. flavipes di Australia. Baru – baru ini secara resmi spesies tersebut sudah tidak disinonimkan lagi dengan C. flavipes dan menjadi spesies tersendiri, berdasarkan molekular, morfologi dan studi biologi awal (Muirhead et al. 2006, 2008). Di Australia tidak terdapat hama penggerek batang utama (Allsopp et al. 2000) dan hanya ditemukan satu hama sporadis saja yaitu Bathytricha truncata (Walker), yang merupakan inang Cotesia nonagriae (Sallam & Allsopp 2002; Muirhead et al. 2008). Akan tetapi terdapat sejumlah hama penting yang ada di negara – negara tetangga sebelah utara Australia dan pulau – pulau di Samudera Hindia yang dapat berpotensi menyerang dan merugikan industri gula Australia (Sallam 2003). Spesies hama dari genus Chilo, Sesamiae, Scirpophaga, Maliarpha, Acigona dan Argyroploce tersebar luas di Asia Tenggara, Papua New Guinea dan Indonesia dan menyebabkan kerusakan yang parah (Sallam 2003). Sebagai contoh, serangan penggerek batang Sesamia grisescens Warren di Papua New Guinea menyebabkan kehilangan hasil gula hingga $ 8,4 M pada awal 1990an (Kuniata & Sweet 1994). Umumnya penggerek batang tersebut bersifat polipagus pada tanaman rumput – 2|Page
rumputan (Sallam 2003), sehingga apabila salah satu dari penggerek batang tersebut menyerang Australia maka akan menimbulkan keugian yang signifikan pada industri gula maupun pada usaha sereal lainnya di Australia. Cotesia nonagriae dapat menjadi agen pengendali hayati yang cukup penting, dan biologi dari spesies ini belum diketahui. Keberhasilan program pengendalian hayati tergantung pada identifikasi yang akurat dan pengetahuan mengenai biologi dari musuh alami dan hamanya (Debach & Rosen 1991; Overholt 1998). Untuk itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari biologi dan perilaku yang berkaitan dengan kemampuannya untuk menekan serangan B. truncata, dan sebagai penilaian awal potensi pemanfaatan C. nonagriae sebagai agen pengendali hayati hama penting penggerek batang apabila masuk ke Australia. Pada penelitian ini, karakteristik cara hidup C. nonagriae, seperti lama hidup parasitoid dewasa dan fekunditas betina juga diteliti. Sebagai tambahan, kami menggunakan tempat yang seperti lorong untuk melihat pengaruh pengalaman pada lokasi mikrohabitat dan perilaku pencarian parasitoid C. nonagriae. Hasil penelitian dibandingkan dengan hasil penelitian C. flavipes terbaru dan anggota spesies komplekss lainnya, dan potensi C. nonagriae sebagai agen pengendali hayati juga dibahas pada makalah ini. BAHAN DAN METODE Koloni Serangga Dua koloni C. nonagriae yang berasal dari B. truncata yang menyerang tebu dipelihara di University of Adelaide, diambil langsung dari Mackay dan Bundaberg, Queensland. Bathytricha truncata dipelihara hingga stadia pupa di dalam potongan batang tebu (Gambar 1), kemudian keturunannya yang diperbanyak di laboratorium dipelihara dengan pakan buatan mengikuti cara Onyango dan Onchieng-Odero (1994), dengan sedikit modifikasi yakni mengganti bubuk daun jagung dengan bubuk daun tebu dan secara umum prosedur perbanyakan mengikuti Songa et al. (2001) dan MacQueen (1969). Ngengat dipelihara di kandang dengan tabung kertas yang telah diberi lilin sebagai tempat untuk bertelur. Kelompok telur dipotong dari kertas kemudian dipindahkan ke dalam petridish yang telah dilapisi kapas basah untuk menjaga kelembaban. Kelompok telur yang telah “blackhead” dipindahkan ke dalam kontainer berisi pakan buatan. Larva yang akan digunakan untuk percobaan diambil dari pakan buatan pada stadia instar 4 dan kemudian diberi pakan batang tebu selama kira – kira 3 hari.
Gambar 1. Bathytricha truncata yang menyerang tanaman tebu: (a) kerusakan ‘dead heart’ pada tebu; (B) larva hama di dalam batang tebu. BSES Limited.
3|Page
Parasitoid Cotesia nonagriae diperbanyak menggunakan larva B. truncata instar 4 (empat) di dalam ruangan yang bersuhu 250C, kelembaban 60 – 70% dan potoperiod 12L:12D. Betina yang telah kawin diberi satu larva inang dengan frass larva inang yang masih baru untuk menstimulasi oviposisi. Pupa C. nonagriae dikumpulkan kemudian dipindahkan ke dalam tempat penetasan berukuran 25 X 25 X 25 cm, yang telah disediakan air dan madu untuk pakan parasitoid. Parasitoid yang keluar dari pupa dipisahkan ke dalam tabung yang tutupnya diberi lubang untuk menyediakan akses bagi parasitoid sehingga perilaku kawin dapat diamati. Karakter Cara Hidup Untuk mengetahui karakter cara hidup C. nonagriae pada inang asli B. truncata kami mengikuti cara yang dilakukan oleh Sallam et al. (2002) pada C. flavipes dan C. sesamiae; 30 larva inang instar 4 diparasit oleh parasitoid betina yang baru menetas dan telah kawin. Satu imago betina ditempatkan di dalam botol dan kemudian diberi satu larva inang untuk dioviposisi. Larva inang segera dikeluarkan setelah oviposisi pertama. Jika parasitoid tidak oviposisi dalam 5 menit, inang larva dikeluarkan dan tidak digunakan lagi untuk percobaan. Larva yang telah diparasit disimpan di dalam tabung yang berisi potongan batang tebu sampai keturunan parasitoid keluar dan membentuk pupa. Sepuluh inang yang terparasit dibedah 1 – 2 hari setelah oviposisi untuk melihat jumlah keturunan parasitoid pada masing – masing inang. Pupa yang terbentuk dari 20 inang sisanya dihitung dan ditimbang, kemudian ditempatkan dalam botol. Lama stadia pra-imago (immature) parasitoid, persentase kemunculan parasitoid dewasa, jumlah keturunan, lama hidup dan sex rasio per kelompok pupa dihitung. Tiga betina dari masing – masing keturunan (n=60) dipilih secara acak dan dibedah untuk melihat jumlah telurnya. Lama Hidup Agar perbandingannya seimbang, metode yang digunakan untuk meneliti lama hidup dan fekunditas C. nonagriae sama dengan metode yang digunakan pada studi C. flavipes oleh Potting et al. (1997a). Lama hidup imago betina dihitung pada suhu (220C, 250C, 280C dan 310C), dua kelembaban 30 – 40% RH dan 70 – 80% RH) serta yang disediakan pakan dan yang tidak. Setiap tabung plastik ditempati oleh satu betina, dengan dan tanpa madu sebagai pakan serta dengan dan tanpa lapisan agar yang menjaga kelembaban. Lama hidup 10 betina dihitung pada masing – masing perlakuan. Inkubator dijaga agar berada pada potoperiod L (cahaya) : D (gelap) 12:12 dan intensitas cahaya 600 lux. Mortalitas dihitung 2 kali sehari sampai semua parasitoid mati. Pengaruh perlakuan dianalisis menggunakan three-way ANOVAS pada JMP 7 (Statistical Discovery dari SAS) dengan tes post-hoc Tukey HSD, suhu, kelembaban dan pakan sebagai faktor utama. Oviposisi dan Fekunditas Potensi fekunditas dari masing – masing betina dihitung dengan membedah betina yang berumur 1 – 2 hari dan telah kawin (n = 60) kemudian dihitung jumlah telurnya di dalam ovari. Fekunditas yang sebenarnya dihitung dengan memberikan 2 inang pada masing – masing parasitoid betina (satu pada pagi hari dan satu lagi pada sore hari) selama 3 hari. Pemberian inang dilakukan dengan menempatkan satu ekor larva B. truncata instar 4 pada tabung kecil (15 mm X 50 mm) dengan satu parasitoid. Masing – masing parasitoid (n = 20) yang telah oviposisi ditempatkan dalam tabung plastik pada suhu 250C, kelembaban 70 -80% dan diberi madu sebagai pakan. Parasitoid yang mati oleh inang pada saat eksperimen tidak digunakan untuk analisis. Larva inang dipelihara secara 4|Page
terpisah dengan pakan buatan dan 3 – 5 hari setelah parasitasi dibedah untuk dihitung jumlah keturunan parasitoid C. nonagriae. Kelompok pupa diasumsikan sama dengan jumlah larva parasitoid, selama tidak ada telur dan/atau larva C. nonagriae yang dienkapsulasi oleh B. truncata dan tidak ada bukti adanya penyerangan pada larva. Waktu oviposisi dihitung dengan stopwatch dan periode oviposisi didefinisikan sebagai waktu lamanya opivositor parasitoid menusuk masuk ke dalam tubuh inang (setelah Potting et al. 1997a). Pengaruh Pengalaman Lokasi Mikrohabitat dan Perilaku Pencarian Inang. Percobaan lokasi mikrohabitat dilakukan pada lorong yang terbuka (160 X 65 X 65). Pencahayaan yang digunakan yaitu dengan memasang 2 buah lampu fluorescent pada setiap sisi dan 2 lampu 18 W pada setiap ujung lorong. Rata – rata kecepatan angin 22.4 cm/dtk dan suhu 24 - 250C (50 - 70% RH). Detail desain lorong yang digunakan pada percobaan ini ada pada Keller (1990). Pada setiap observasi, satu ekor betina dilepaskan dari tabung plastik (diameter 15 mm X 50 mm) dengan penutup dari kapas yang membatasi gerak parasitoid sebatas 5 mm. Tabung diposisikan 50 cm searah angin dengan tanaman percobaan dengan ketinggian setengah dari tinggi tanaman. Untuk melihat respon C. nonagriae pada tanaman tebu yang terdapat B. truncata di dalamnya, percobaan dilakukan dengan membandingkan batang tebu berdaun umur dua bulan tanpa diinfestasi inang sebagai kontrol dan batang tebu lainnya diinfestasi satu inang sebagai perlakuan. Jarak antar batang tebu sejauh 30 cm dan secara periodik kedua sumber bau ini ditukar untuk menghilangkan bias di dalam lorong. Batang yang diinfestasi penggerek batang sebelumnya dilubangi secara horizontal kemudian dimasukkan larva inang dan disimpan selama 24 jam sebelum percobaan. Selama waktu tersebut, larva membuat lubang di dalam batang dan mengeluarkan bekas gerekan di lubang masuk. Untuk menguji apakah pengalaman terhadap larva inang atau plant host complex (PHC) meningkatkan respon C. nonagriae betina terhadap bau tanaman yang terserang dan perubahan perilaku pencarian inangnya, dua kelompok percobaan dibandingkan : (1) betina baru (tanpa perlakuan) : betina berumur 1 hari yang telah kawin yang belum pernah kontak dengan inang atau produk inang (n = 20); dan (2) betina yang berumur 1 hari yang telah kawin, yang telah diberi perlakuan pra penerbangan di dalam lorong percobaan, dimana masing – masing parasitoid dibiarkan mencari inang selama 20 menit pada batang tebu yang terserang B. truncata (n=20). Betina yang telah diberi perlakuan ditangkap kembali dan dimasukkan ke dalam lorong percobaan dalam waktu 2 jam setelah perlakuan. Penerbangan laten dihitung dari pertama kali parasitoid mengangkat antenanya di tepi tabung pelepasan hingga penerbangan pertama (Keller 1990). Parameter lokasi mikrohabitat dan perilaku pencarian inang yang dicatat adalah : penerbangan laten, waktu sejak pelepasan hingga ke tanaman, lama waktu terbang, lama waktu untuk menentukan posisi inang (yaitu ketika parasitoid mengangkat bagian depan tubuhnya, terbang melawan arah angin, dan mengatur ketinggian terbang, pergerakan antena ketika ada angin (Keller 1990), waktu untuk mencari lubang masuk, waktu di dalam batang dan total lama waktu berada di tanaman. Percobaan dilakukan selama 1 jam setelah parasitoid mencapai tanaman atau ketika parasitoid meninggalkan tanaman. Setiap ulangan perlakuan batang tebu diganti. Jika parasitoid memasuki lubang gerekan, setelahnya larva inang dipindahkan dan ditempatkan ke dalam tabung yang berisi pakan buatan kemudian setelah berumur 3 hari dibedah untuk melihat apakah inang terparasit atau tidak. Apabila parasitoid tidak keluar dari lubang gerekan setelah 1 jam, batang tebu dibelah dan dilihat jika parasitoid tesebut mati. 5|Page
HASIL Karakter Cara Hidup Karakter cara hidup dan stadia perkembangan C. nonagriae berturut – turut dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 2. Jumlah seluruh telur betina adalah 196.6 (SE ± 2.4) butir dan telur yang diletakkan pada inang pertama rata – rata 111.6 (SE± 3.4). Dengan pola peletakkan telur seperti ini diduga C. nonagriae betina hanya dapat melakukan oviposisi sebanyak 2 kali. Tidak ada beda nyata antara rata – rata telur yang diletakkan dengan rata – rata jumlah pupa (P = 0.063) per oviposisi pertama. Demikian pula dengan rata – rata jumlah pupa dan rata – rata jumlah keturunan (P = 0.311), tidak ada beda nyata antara keduanya. Meski demikian, keturunan dewasa yang dapat bertahan hidup jauh lebih sedikit daripada jumlah telur yang diletakkan pada setiap inang (t = 3.318, d.f. = 34, P = 0.003), yang mengindikasikan adanya mortalitas stadia pra-dewasa (immature) pada telur, larva atau pupa. Terdapat korelasi positif (Pearson r = 0.88, P < 0.0001, r2 = 0.77) antara jumlah keturunan dengan berat pupa (Gambar 3.) yang menunjukkan bahwa keturunan yang lebih besar tidak kekurangan makanan. Total siklus hidup C. nonagriae rata – rata 24 hari, termasuk stadia telur dan larva di dalam inang selama 14 – 15 hari. Larva parasitoid keluar dari tubuh inang dan membentuk pupa berwarna putih keperakan yang biasanya diselimuti oleh bangkai inang. Lama stadia pupa adalah selama 6 – 7 hari dan dewasa 1-3 hari (tanpa pakan dan hanya disediakan air). Sex rasionya secara umum 1 : 1 (betina : jantan) (52%; SE ± 1.38, betina), parasitoid jantan menetas 2 – 6 jam sebelum betina dan kemudian langsung kawin dengan betina yang baru menetas. Tabel 1. Rata – rata jumlah telur yang diletakkan, pupa, keturunan, berat pupa, lama stadia pra-imago, sex rasio, lama hidup parasitoid dewasa, jumlah kemunculan dan potensi fekunditas C. nonagriae pada inang asli penggerek batang Bathytricha truncata (n = 18) Parameter kehidupan Cotesia nonagriae
Rata –rata (±SE)
Jumlah telur yang diletakkan
111.61 (3.49)
Jumlah pupa
99.28 (5.37)
Berat pupa (mg)
0.101 (0.01)
% kemunculan
91.97 (1.04)
Lama stadia pra-imago (hari)
21.07 (0.17)
Jumlah keturunan
91.56 (5.26)
Sex rasio (% betina/total keturunan)
52.06 (1.38)
Lama hidup (tanpa pakan) (hari)
2.92 (0.08)
Potensi fekunditas/jumlah telur
196.56 (2.38)
Lama Hidup Imago Parasitoid Lama hidup imago parasitoid betina dilihat pada 4 suhu yang berbeda, kelembaban rendah dan tinggi, serta dengan dan tanpa pakan (Gambar 4). Suhu (F = 3.35, d.f. = 3, P = 0.021), kelembaban (F = 5.10, d.f. = 1, P = 0.0254) dan ketersediaan pakan (F = 376.89, d.f. = 1, P < 0.0001) berpengaruh terhadap lama hidup betina dewasa, demikian pula dengan interaksi antara suhu * pakan (F = 11.80, d.f. = 3, P P < 0.0001), kelembaban * pakan (F = 51.11, d.f. = 3, P < 0.0001) dan suhu * kelembaban * pakan (F = 2.96, d.f. = 3, P = 0.035). Parasitoid betina paling lama bertahan hidup pada suhu 250C dan 280C, kelembaban tinggi dan dengan pakan yang tersedia. Pada kondisi seperti ini, lama hidup parasitoid adalah 8 – 14 hari. Pada semua perlakuan suhu, ketersediaan pakan pada 6|Page
lingkungan yang lembab meningkatkan lama hidup secara signifikan. Namun pengaruh yang paling besar ada pada ketersediaan pakan, parasitoid hanya mampu bertahan 1 – 3 hari tanpa pakan, dengan tidak memperhitungkan pengaruh suhu dan kelembaban (Gambar 4). Fekunditas Rata – rata waktu oviposisi C. nonagriae pada larva inang pertama adalah 5.4 detik (SE =1.76, n = 17), dengan rata – rata jumlah keturunan 111.6 (SE ± 3.4, n = 17). Terdapat korelasi positif antara lama waktu oviposisi dengan ukuran kelompok telur (r = 503 ,n = 17, P = 0.039) (Gambar 5a). Fekunditas yang sebenarnya dilihat pada jumlah total keturunan pada semua inang yang dioviposisi parasitoid adalah 194.6 (SE ± 7.04, n = 17). Semakin banyak oviposisi, ukuran kelompok telur yang diletakkan pada inang akan semakin menurun. Setelah oviposisi larva inang yang kedua, kebanyakan betina telah meletakkan seluruh telurnya atau kurang lebih 85% dari keseluruhan jumlah telur. Walaupun semua betina telah meletakkan seluruh telur mereka pada inang yang ketiga, beberapa parasitoid masih mengoviposisi inang tetapi tidak meletakkan telur. Pengaruh Pengalaman pada Lokasi Mikrohabitat dan Perilaku Pencarian Inang. Tingkat respon didefinisikan sebagai persentase betina yang diteliti yang terbang berlawanan dengan arah angin dan membuat pilihan antara batang kontrol yang tidak diserang hama dan batang yang diserang hama (Gambar 6a). Secara total, 55% parasitoid baru dan 70% parasitoid yang telah diberi perlakuan terbang ke arah sumber bau inang. Pada semua percobaan, baik betina tanpa perlakuan (P < 0.0001) maupun yang diberi perlakuan (P < 0.0001) memperlihatkan ketertarikan pada PHC dan tidak ada perbedaan respon diantar keduanya (uji Fisher’s exact, 2 ekor, P = 0.46). Respon yang kuat terhadap plant host complex ini mengindikasikan bahwa parasitoid dapat mendeteksi keberadaan inang sebelum penerbangan pertamanya. Hanya satu parasitoid tanpa perlakuan yang hinggap selama 143 detik di tanaman yang tidak terserang sebelum terbang kembali ke tanaman yang terserang penggerek batang. Proporsi waktu penentuan posisi inang sama pada tanaman yang terserang maupun yang tidak terserang, walaupun ada kecenderungan waktu untuk menentukan posisi inang ini lebih pendek pada tanaman yang terserang. Betina yang telah diberi perlakuan waktu responnya terhadap PHC lebih cepat daripada betina yang tidak diberi perlakuan (Gambar 6b); penerbangan laten pada betina yang diberi perlakuan sangat cepat (t = 4.272, d.f. = 23, P = 0.0002), juga total waktu dari pelepasan hingga mencari tanaman yang terserang (t = 4.644, d.f. = 23, P < 0.0001). Tetapi tidak ada perbedaan lama terbang pada betina yang diberi perlakuan dan yang tidak. Parasitoid yang hinggap pada PHC mendekatinya dengan pola zigzag. Setelah hinggap di tanaman yang terserang penggerek batang, parasitoid langsung berjalan naik turun mencari jejak inang. Walaupun tidak ada perbedaan total lama waktu di PHC dan di dalam batang yang signifikan antara parasitoid yang diberi perlakuan dan yang tidak, betina yang diberi perlakuan hanya memerlukan waktu yang sangat sebentar untuk mencapai lubang gerekan (t = 3.237, d.f. = 22, P = 0.004) (Gambar 6d). Hanya satu parasitoid yang tidak diberi perlakuan yang flew off dari PHC sebelum menemukan lubang gerekan. Pintu masuk lubang gerekan biasanya terdapat serbuk bekas gerekan larva. Setelah kontak dengan serbuk gerekan, betina mulai mengantena serbuk tersebut dan kemudian masuk ke lubang gerekan atau memakan serbuk lebih dulu.
7|Page
(a)
(c)
(b)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 2. Siklus hidup Cotesia nonagriae dari Mackay, Australia; (a) telur dan ovari, (b) larva umur 12 hari, (c) larva keluar dari inang asli Bathytricha truncata, (d) larva mulai membentuk pupa setelah keluar dari inang; (e) pupa, (f) parasitoid dewasa keluar dari pupa, (g) imago betina, dan (h) imago jantan
Gambar 3. Hubungan antara jumlah keturunan Cotesia nonagriae imago dan berat pupa per kelompok. Pearson r = 0.8763, 95% CI (0.6928-0. 9532). P< 0.0001, r2 = 0.7679.
8|Page
Gambar 4. Rata – rata lama hidup (±SE, n = 10) Cotesia nonagriae betina pada 4 suhu dan perlakuan percobaan yang berbeda. Hurup yang berbeda di atas garis standard error menunjukkan beda nyata antar perlakuan.
Mortalitas Parasitoid dan Perilaku Pasca-Oviposisi Sebanyak 50% betina yang tidak diberi perlakuan dan 57% yang diberi pelakuan, yang memasuki lubang gerekan mati terbunuh di dalam batang. Parasitoid yang mati tersebut umumnya tertabrak, terpukul atau tertutup muntahan larva di dalam lubang gerekan. Namun, 20% dari betina tanpa perlakuan dan 25% betina dengan perlakuan masih dapat mengoviposisi larva sebelum terbunuh (Gambar 6c). Hanya 60% betina tanpa perlakuan dan 57% betina dengan perlakuan yang dapat meloloskan diri dari serangan inang dan keluar dari lubang gerekan setelah sebelumnya memarasit larva. Lama waktu di dalam lubang gerekan bervariasi (antara 9.65 sampai 52.42 menit) pada kedua kelompok perlakuan, diduga hal ini dipengaruhi jumlah serbuk gerekan di dalam lubang (Gambar 6d). Setelah keluar, kebanyakan betina tetap berada pada tanaman sampai akhir waktu percobaan.
9|Page
Gambar 5. Hubungan antara ukuran kelompok telur dan lamanya oviposisi (detik) Cotesia nonagriae, Pearson r = 0.503, 95% CI (0.029-0.792), P < 0.039, r2 = 0.253; (b) kelompok telur yang diletakkan C. nonagriae pada setiap inangnya. Setiap betina diberi 6 inang selama 3 hari. Garis menunjukkan rata – rata jumlah ( ±SE) larva parasitoid 5-6 hari setelah parasitasi. Garis putus – putus menunjukkan persentase kumulatif fekunditas nyata. Jumlah betina pada oviposisi pertama: 1 (n = 20); 2 dan 3 (n = 20); 4 (n = 20); 5 dan 6 (n = 20).
Gambar 6. (a,b) lokasi mikrohabitat; (c,d) parameter mencari inang pada Cotesia nonagriaea betinan yang tanpa dan dengan perlakuan sebelumnya. Tanda bintang menunjukkan beda nyata antar perlakuan. Dua tanda bintang (**) menunjukkan perbedaan pada P < 0.001, dan 3 bintang (***) menunjukkan perbedaan pada P < 0.0001. PHC, plant-host complex.
10 | P a g e
PEMBAHASAN Beberapa aspek biologi C. nonagriae berbeda dengan C. flavipes dan anggota kelompok C. flavipes kompleks lainnya. Semua anggota kelompok C. flavipes kompleks bersifat proovigenik dan memiliki telur yang telah matang pada saat menetas. Jumlah telur Cotesia flavipes sekitar 150-200 yang dapat dioviposisikan dan fekunditas nyata (jumlah total keturunan yang diletakkan pada inang) kurang lebih 150 telur (Potting et al. 1997a; Sallam et al. 2002). Studi terbaru menunjukkan kesamaan potensi fekunditas dan fekunditas nyata (~ 200) pada C. nonagriae, meski demikian, spesies ini meletakkan telur rata – rata 112 pada inang pertama, sementara C. flavipes yang diintroduksi ke Afrika dan Amerika Utara, yang memarasit 3 ekor inang rata – rata peletakkan telurnya 30 – 60 butir per inang (Wiedenmann et al. 1992; Sallam et al. 2002). Pada kondisi laboratotium, ukuran kelompok telur C. nonagriae dan C. flavipes semakin menurun pada masing – masing inang sampai semua telur telah diletakkan. Diduga pada lingkungan alamiahnya, C. nonagriae tidak mengetahui potensi fekunditasnya, ini karena 50-57% dari semua betina yang memasuki lubang gerekan mati, angka ini lebih tinggi dari C. flavipes yang memarasit Chilo partellus (Swinhoe) dan Busseola fusca Fuller yakni sekitar 40% (Potting et al. 1997a; Takasu & Overholt 1997). Dengan membagi potensi fekunditas C. flavipes dengan ukuran kelompok telur optimal (rata – rata ukuran kelompok telur yang ditemukan pada inang pertama), Potting et al. (1997a) menduga bahwa jumlah inang yang diparasit hanya 3 sampai 4 inang. Berdasarkan hal tersebut, diduga C. nonagriae hanya mampu memarasit 2 ekor inang saja, yang setengah dari jumlah keseluruhan telurnya akan diletakkan pada inang pertama yang ditemui. Di alam, jumlah inang yang dapat ditemui mungkin terbatas oleh beberapa faktor seperti lama hidup parasitoid dewasa, ketersediaan dan kepadatan inang, efisiensi parasitoid dalam mencari inang, lama waktu pada inang, dan resiko kematian pada pra dan pasca oviposisi di dalam lubang gerekan. Kecenderungan C. nonagriae untuk meletakkan telur dalam jumlah banyak pada setiap inang diduga dipengaruhi faktor – faktor – faktor tersebut; meski demikian, resiko kematian yang tinggi dan pendeknya umur parasitoid diduga memengaruhi adanya strategi tersebut. Walaupun jumlah keturunan C. nonagriae yang keluar dari B. truncata lebih banyak, namun tidak ada perbedaan berat pupa dengan C. flavipes yang memarasit Sesamia calamistis (Hampson) dan C. partellus (Swinhoe) (Noctuidae) di Afrika (Sallam et al. 2002), sehingga diduga ukuran C. nonagriae lebih kecil. Selain itu, meski kelompok telur C. nonagriae lebih besar dari C. flavipes, tetapi tidak ada gejala kekurangan pakan karena berat pupa meningkat seiring dengan besarnya keturunan. Total siklus hidup C. flavipes sekitar 20 hari, sedangkan pada C. nonagriae 24 hari. Ini karena stadia larva dan pupa yang lebih lama (17 vs 21 hari), yang mungkin dipengaruhi jumlah larva dan ketersediaan pakan. Umur dewasa kedua spesies hanya 1 – 3 hari tanpa pakan (Alleyne & Wiedenmann 2001a). Pada kondisi yang kelembabannya tinggi dan pakan yang tersedia, C. flavipes mampu bertahan hidup hingga 5 – 6 hari (Potting et al. 1997a; Mbapila & Overholt 2001). Pada penelitian ini, C. nonagriae dapat bertahan hidup 2 kali lebih lama daripada C. flavipes pada kondisi lingkungan yang sama. Pada populasi C. flavipes ditemukan adanya sex rasio female-biased (Kajita & Drake 1969; Wiedenmann et al. 1992), tetapi hal ini tidak ditemukan pada C. nonagriae (52% betina) di timur Australia. Sex rasio female-biased terjadi pada C. flavipes karena adanya persaingan kawin lokal; tetapi tidak ada persaingan antar jantan saat penelitian perkawinan (Joyce et al. 2009). Pada kebanyakan parasitoid, adanya perkawinan sedarah memungkinkan tidak adanya masalah dalam menemukan pasangan (Quicke 1997). C. flavipes kawin dengan saudaranya di bawah permukaan daun setelah keluar dari kelompok pupa di dalam batang tebu (Arakiri & Ganaha 1986), sedangkan pada studi C. 11 | P a g e
nonagriae baru – baru ini, jantan keluar 2 – 6 jam sebelum betina dan langsung kawin dengan betina saudaranya yang baru keluar dari pupa (KA Muirhead pers. obs. 2006). Respon kuat betina C. nonagriae untuk mendatangi tebu mengindikasikan bahwa parasitoid menggunakan senyawa yang dikeluarkan PHC untuk mencari habitat inang. Penggunaan senyawa semikimia pada lokasi mikrohabitat inang yang luas diperlihatkan oleh banyak spesies parasitoid (misalnya Vet & Dicke 1992; Turlings et al. 1993), termasuk parasitoid C. flavipes komplekss (Mohyuddin et al. 1981; Shami & Mohyuddin 1992; Potting et al. 1995; Ngi-song et al. 1996; Ngi-song & Overholt 1997; Rutledge & Wiedenmann 1999; Jembere et al. 2003; Gohole et al. 2005). Tanaman yang dituju mengeluarkan synomones (senyawa penanda yang menguntungkan bagi yang mengeluarkan dan yang menerima) yang menarik parasitoid, dengan demikian baik tanaman maupun parasitoid sama – sama diuntungkan (Nordlund & Lewis 1976). Studi terbaru menemukan bahwa sumber atraktan utama bagi betina C. flavipes komplekss untuk mendeteksi lokasi inang adalah senyawa yang dikeluarkan oleh tanaman dan sisa – sisa larva (Wiedenmann et al. 1992; Potting et al. 1995; Ngi-song et al. 1996; Ngi-song & Overholt 1997; Nwanze & Nwilene 1998; Rutledge & Wiedenmann 1999; Jembere et al. 2003; Gohole et al. 2005; Obonyo et al. 2008). Sistem respon tanaman dikeluarkan ketika muntahan penggerek batang mengenai bagian dalam batang tanaman yaitu dengan mengeluarkan senyawa tanaman dari daun yang menarik C. flavipes betina (Dicke et al. 1990; Turlings & Tumlinson 1992; Potting et al. 1995, 1997a). Pada studi terbaru, parasitoid C. nonagriae terbang secara zigzag menuju tanaman PHC sama dengan yang dilakukan spesies braconid lainnya (Drost et al. 1986; Zanen et al. 1989; Keller 1990; Gu & Dorn 2000). Kecenderungan untuk mendekati PHC pada kedua kelompok tanpa dan dengan perlakuan menunjukkan bahwa respon ini ada secara alami dan dapat ditingkatkan melalui pengalaman. Seperti juga C. flavipes, pengawalan awal dengan inang atau jejak yang berhubungan dengan inang tidak meningkatkan responsif (kaitannya dengan jumlah) betina C. nonagriae. Namun, parasitoid yang berpengalaman diuntungkan dengan waktu respon yang cepat tehadap senyawa dan jejak yang dikeluarkan oleh inang. Peningkatan responsif parasitoid biasanya ditunjukkan ketika parasitoid yang diuji kontak langsung dengan inang dan/atau bekas jejak inang (Tumlinson et al. 1993). Misalnya pada Cotesia glomerata, respon terbang parasitoid betina pada PHC meningkat secara signifikan setelah berjalan pada daun kol yang terserang hama dan terdapat benang atau kotorannya selama 20 detik atau pernah mengoviposisi inang (Steinberg et al. 1992). Kemampuan belajar parasitoid betina menunjukkan strategi mencari inang yang efisien yang mungkin penting bagi parasitoid dengan umur pendek dan waktu mengoviposisi inang yang lama. Ketika parasitoid betina menemukan tanaman yang terserang penggerek batang, parasitoid harus mencari larva inang yang bersembunyi di dalam batang tanaman. Penanda lokal adanya inang adalah bekas – bekas gerekan (Kajita & Drake 1969; Mohyuddin et al. 1981; Shami & Mohyuddin 1992; Wiedenmann et al. 1992; Potting et al. 1995; Ngi-song et al. 1996; Ngi-song & Overholt 1997), muntahan larva (Van leerdam et al. 1985; Turlings et al. 1993; Agelopoulos & Keller 1994; Mattiacci et al. 1994; Potting et al. 1997a) dan lubang pada batang (Wiedenmann et al. 1992; Potting et al. 1997a). Studi terbaru menunjukkan bahwa C. nonagriae betina yang telah berpengalaman memiliki waktu yang lebih efisien untuk menemukan lorong penggerek batang yakni setengah dari betina yang tidak berpengalaman. Perilaku pencarian inang C. nonagriae sama dengan C. flavipes pada tanaman yang terserang penggerek batang (Takasu & Overholt 1997; Potting et al. 1997a), yang parasitoid betinanya mencari tempat masuk ke lorong penggerek pada batang tanaman tebu. Begitu parasitoid menemukan lubang masuk, parasitoid akan segera mencari inang dengan memasuki lorong gerekan. Hal ini akan 12 | P a g e
memakan waktu karena terkadang lorong tertutup oleh bekas gerekan sehingga parasitoid betina harup menyelip masuk ke lorong gerekan yang sempit (KA Muirhead pers. obs. 2006). Meski demikian, bentuk tubuh yang datar memanjang ke belakang, yang merupakan ciri khas C. nonagriae dan C. flavipes kompleks lainnya, mungkin merupakan adaptasi untuk mendukung perilaku ini (Walker 1994; Muirhead et al. 2008). Waktu yang diperlukan di dalam lorong gerekan tergantung pada posisi larva dan jumlah bekas gerekan di dalam lorong. Pada C. nonagriae, ini dibuktikan dengan tidak adanya perbedaan waktu antara kedua kelompok perlakuan. Menyerang larva inang di dalam ruang yang terbatas pada lorong gerekan tidak hanya membutuhkan waktu, tetapi juga berbahaya untuk parasitoid itu sendiri. Meskipun untuk meletakkan sekitar 100 telur pada tubuh inang hanya memerlukan waktu beberapa detik saja, namun larva penggerek batang cukup agresif dan akan mempertahankan diri dari parasitisme. Parasitoid biasanya tertabrak oleh inang di dalam lorong atau terbunuh karena pukulan atau tertutup muntahan inang. Akibatnya tingkat kematian sangat tinggi pada C. nonagriae (50 - 57%) dan C. flavipes (30 - 40%) (Potting et al. 1997a; Takasu & Overholt 1997). Takasu dan Overholt (1997) menemukan bahwa C. flavipes betina memiliki kemungkinan terbunuh lebih besar oleh penggerek batang, C. partellus, jika larva didekati dari arah kepala. Meski demikian, parasitoid yang terbunuh tetap mampu memarasit larva inang (Takasu & Overholt 1997). Hasil pada penelitian ini menunjukkan hanya 20 – 25% parasitoid terbunuh di dalam batang yang masih mampu mengoviposisi sebelum mereka mati, dan observasi terhadap serangan penggerek batang menunjukkan bahwa agresivitas inang dimulai saat parasitoid mulai mengoviposisi. Ketika ada parasitoid yang menguntungkan diintroduksi ke wilayah baru, maka akan muncul hubungan parasitoid-inang yang baru, ketika spesies inang yang cocok berada pada niche yang sama denagn spesies inang asli (Widenmann et al. 1992; Alleyne & Wiedenmann 2001b). Penggunaan musuh alami yang tidak memiliki hubungan sebelumnya dengan hama target disebut sebagai ‘novel assosiation/hubungan baru’ (Hollanen & Pimentel 1984; Wiedenmann et al. 1992; Wiedenmann & Smith 1997). Penggunaan hubungan baru ini, khususnya pada parasitoid, sangat efektif untuk mengatasi masalah hama yang tidak terkendali pada situasi tertentu (Alam et al. 1971; Hokkanen & Pimentel 1984; Macedo et al. 1984; Hokkanen 1985; Hokkanen & Pimentel 1989; Stiling 1990; Wiedenmann et al. 1992). Kasus ini terjadi pada C. flavipes yang membentuk hubungan baru dengan Diatraea saccharalis (F.) ketika diintroduksi ke Dunia Baru untuk tujuan pengendalian hayati (Simmonds 1969; Polaszek & Walker 1991; Wiedenmann et al. 1992). Walaupun studi ini tidak mengevaluasi hubungan baru pada C. nonagriae, isu penting tentang serangan hama luar ke Australia adalah host range dari spesies ini dan kemungkinan keberhasilannya memarasit spesies inang yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, yang mungkin dilakukan ke depan adalah meneliti C. nonagriae pada hama penggerek batang utama di Indonesia dan Papua New Guinea. UCAPAN TERIMA KASIH Kami ingin menyampaikan terima kasih kepada Mike Keller untuk lorong anginnya yang digunakan pada penelitian ini, dan kepada Australian Research Council (proyek LP0348703) dan BSES Limited yang mendanai proyek ini. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih pada BSES yang telah mengizinkan penggunaan Gambar 1.
13 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA Agelopoulos NG & Keller MA. 1994. Plant–natural enemy association in tritrophic system, Cotesia rubecula Pieris rapae – Brassicaceae (Cruciferae). I. Sources of infochemicals. Journal of Chemical Ecology 20 , 1725–1734. Alam MM, Bennett FD & Carl KP. 1971. Biological control of Diatraea saccharalis (F.) in Barbados by Apanteles flavipes Cam. And Lixophaga diatraeae T.T. Entomophaga 16 , 151–158. Alleyne M & Wiedenmann RN. 2001a. Encapsulation and hemocyte numbers in three lepidopteran stemborers parasitized by Cotesia flavipes-complex endoparasitoids. Entomologia Experimentalis et Applicata 100 , 279–293. Alleyne M & Wiedenmann RN. 2001b. Suitability of lepidopteran stem-borers for parasitization by novel-association endoparasitoids. Bio Control 46 , 1–23. Allsopp P, Samson P & Chandler K. 2000. Pest management. In: Manual of Canegrowing (eds DM Hogarth & PG Allsopp), pp. 291–337. Bureau of Sugar Experiment Stations, Indooroopilly, Australia. Arakaki N & Ganaha Y. 1986. Emergence pattern and mating behaviour of Apanteles flavipes (Cameron) (Hymenoptera: Braconidae). Applied Entomology and Zoology 21, 382–388. Austin AD & Dangerfield PC. 1992. Synopsis of Australasian Microgastrinae (Hymenoptera: Braconidae) with a key to genera and description of new species. Invertebrate Taxonomy 6 , 1–76. Chinwada P, Overholt WA, Omwega CO & Mueke JM. 2003. Geographic differences in host acceptance and suitability of two Cotesia sesamiae populations in Zimbabwe. Biological Control 28 , 354–359. Debach P & Rosen D. 1991. Biological Control by Natural Enemies. Cambridge University Press, New York, USA. Dicke M, Sabelis MW, Takabayashi J, Bruin J & Posthumus MA. 1990. Plant strategies of manipulating predator–prey interactions through allelochemicals: prospects for application in pest consstrol. Journal of Chemical Ecology 16 , 3091–3118. Drost YC, LewisWJ, Zanen PO & Keller MA. 1986. Beneficial arthropod behavior mediated by airborne semiochemicals. 1. Flight behavior and infuence of preflight handling of Microplitis croceipes (Cresson). Journal of Chemical Ecology 12 , 1247–1262. Dupas S, Gitau CW, Branca A, Le Rü BP & Silvain J-F. 2008. Evolution of a polydnavirus gene in relation to parasitoid-host species immune resistance. The Journal of Heredity 99 , 491–499. Gitau CW, Dupas S, Ngi-Song AJ, Mbugi JP & Schulthess F. 2006. Calyx fluid proteins of two Cotesia sesamiae (Cameron) (Hymenoptera: Braconidae) biotypes in Kenya: implications to biological control of the stem borer Busseola fusca (Fuller) (Lepidoptera: Noctuidae). Annales de la Societe Entomologique de France 42 , 433– 441. Gitau CW, Gundersen-Rindal D, Pedroni M, Mbugi PJ & Dupas S. 2007. Differential expression of the CrV1 haemocyte inactivation-associated polydnavirus gene in the African maize stem borer Busseola fusca (Fuller) parasitized by two biotypes of the endoparasitoid Cotesia sesamiae (Cameron). Journal of Insect Physiology 53 676– 684. 14 | P a g e
Gohole LS, Overholt WA, Khan ZR & Vet LEM. 2005. Close-range host searching behavior of the stemborer parasitoids Cotesia sesamiae and Dentichasmias busseolae : influence of a non-host plant Melinis minuti ora Journal of Insect Behavior 18, 149– 169. Gu H & Dorn S. 2000. Genetic variation in behavioral response to herbivore-infested plants in the parastic wasp, Cotesia glomerata (L.) (Hymenoptera: Braconidae). Journal of Insect Behavior 13 , 141– 156. Hawkins BA. 1993. Refuges, host population dynamics and genesis of parasitoid diversity. In: Hymenoptera and Biodiversity (eds J LaSalle & ID Gauld), pp. 235–256. CAB International, Wallingford, UK. Hokkanen HMT. 1985. Success in classical biological control. Critical Reviews in Plant Science 3 , 35–72. Hokkanen HMT & Pimentel D. 1984. New approaches for selecting biological control agents. Canadian Entomology 121, 829–840. Jembere B, Ngi-Song AJ & Overholt W. 2003. Olfactory responses of Cotesia flavipes (Hymenoptera: Braconidae) to target and non-target Lepidoptera and their host plants. Biological Control 28 , 360–367 Joyce AL, Bernal JS, Vinson SB & Lomeli-Flores R. 2009. Infuence of adult size on mate choice in the solitary and gregarious parasitoids, Cotesia marginiventris and Cotesia flavipes Journal of Insect Behav ior 22 , 12–28. Kajita, H. & Drake,EF.1969.Biology of Apanteles chilonis and A. flavipes (Hymenoptera: Braconidae), parasites of Chilo suppressalis Mushi 42 , 163–179. Keller MA. 1990. Responses of the parasitoid Cotesia rubecula to its host Pieris rapae in a ight tunnel. Entomologia Experimentalis et Applicata 57 , 243–249. Kuniata LS & Sweet CP. 1994. Management of Sesamia grisescens Walker (Lep.: Noctuidae), a sugar-cane borer in Papua New Guinea. Crop Protection 13 , 488– 493. Macedo N, Mendonca Filho AF, Moreno JA & Pinazza AH. 1984. Evaluation of the economic advantages of 10 years of biological control of Diatraea spp. Through Apanteles flavipes Cameron, in the state of Alagoas (Brazil). Entomology Newsletter 16 , 9–10. MacQueen A. 1969. Notes on the large moth borer, Bathytricha truncate (Walker). Proceedingsof the Queensland Society of Sugar Cane Technologists 36 , 57–65. Mattiacci L, Dicke M & Postumus MA. 1994. Induction of parasitoid attracting synomone in brussels sprouts plants by feeding Pieris Brassicae : role of mechanical damage and herbivore elicitor. Journal of Chemical Ecology 20 , 2229–2247. Mbapila JC & Overholt WA. 2001. Comparative development, longevity and population growth of exotic and native parasitoidsof lepidopteran cereal stemborers in Kenya. Bulletin of Entomological Research 91 347–353. Mochiah MB, Ngi-Song AJ, Overholt WA & Botchey M. 2001. Host suitability of four cereal stem borers (Lepidoptera: Crambidae, Noctuidae) for different geographic populations of Cotesia sesamiae (Cameron) (Hymenoptera: Braconidae) in Kenya. Biological Control 21 , 285–292.
15 | P a g e
Mohyuddin AI, Inayatullah, C & King, EG.1981. Host selection and strain occurrence in Apanteles flavipes (Cameron) (Hymenoptera: Braconidae) and its bearing on biological control of graminaceous stem-borers (Lepidoptera: Pyralidae). Bulletin of Entomological Research 71 , 575–581. Muirhead KA, Murphy NP, Sallam MN, Donnellan SC & Austin AD. 2006. Mitochondrial DNA phylogeography of the Cotesia flavipes complex of parasitic wasps (Hymenoptera: Braconidae). Annales de la Société Entomologique de France 42 , 309–318. Muirhead K, Austin, A & Sallam M. 2008. The systematics and biology of Cotesia nonagriae (Olliff) stat. rev. (Hymenoptera: Braconidae: Microgastrinae) a newly recognized members of the Cotesia flavipes species complex. Zootaxa 1846 , 35–46. Ngi-Song AJ & Overholt WA. 1997. Host location and acceptance by Cotesia flavipes Cameron and C. sesamiae (Cameron) (Hymenoptera: Braconidae), parasitoids of African gramineous stemborers: role of frass and other host cues. Biological Control 9 , 136–142. Ngi-Song AJ, Overholt WA & Ayertey JN. 1995. Suitability of African gramineous stemborers for development of Cotesia flavipes and C. sesamiae (Hymenoptera: Braconidae). Environmental Entomology 24 , 978–984. Ngi-Song AJ, Overholt WA, Njagi PGN, Dicke M, Ayertey JN & Lwande W. 1996. Volatile infochemicalsused in host and host habitat location by Cotesia flavipes Cameron and Cotesia sesamiae (Cameron) (Hymenoptera: Braconidae), larval parasitoids of stemborers on graminae. Journal of Chemical Ecology 22, 307–323. Ngi-Song AJ, Overholt WA & Stouthammer R. 1998. Suitability of Busseola fusca and Sesamia calamistis (Lepidoptera: Noctuidae) for the development of two populations of Cotesia sesamiae (Hymenoptera: Braconidae) in Kenya. Biological Control 12 , 208–214 Nordlund DA & Lewis WJ. 1976. Terminology of chemical releasing stimuli in intraspecific and interspecific interactions. Journal of Chemical Ecology 2 , 211–220. Nwanze KF & Nwilene FE. 1998. Interactionsof host plant resistance and biological control of stemborers in sorghum. Insect Science and Its Application 18, 261–266. Obonyo M, Schulthess F, Gerald J, Wanyama O, Le Ru B & Calatayud PA. 2008. Location, acceptance and suitability of lepidopteran stemborers feeding on a cultivated and wild host-plant to the endoparasitoid Cotesia flavipes Cameron (Hymenoptera: Braconidae). Biological Control 45, 36–47. Onyango, F & Ochieng-Odero J. 1994. Continuous rearing of the maize stem borer Busseola fusca on an artificial diet. Entomologia Experimentalis et Applicata 73, 139–144. Overholt WA. 1998. Biological control. In: African Cereal Stem Borers: Economic Importance, Taxonomy, Natural Enemies and Control (ed. A Polaszek), pp. 349– 362. CAB International, Wallingford, UK. Overholt WA, Ngi-Song AJ, Omwega CO et al. 1997. A review of the introduction and establishment of Cotesia flavipes Cameron in East Africa for biological control of cereal stemborers. Insect Science and Its Application 17 , 79–88. Polaszek, A. & Walker, AK.1991.The Cotesia flavipes species-complex: parasitoids of cereal stem borers in the tropics. Redia 74 , 335–341. 16 | P a g e
Potting RPJ, Vet LEM & Dicke M. 1995. Host microhabitat location by the stemborer parasitoid Cotesia flavipes : the role of herbivore volatiles and locally and systematically induced plant volatiles. Journal of Chemical Ecology 21, 525–539. Potting RPJ, Overholt WA, Danso FO & Takasu K. 1997a. Foraging behavior and life history of the stemborer parasitoid Cotesia flavipes (Hymenoptera: Braconidae). Journal of Insect Behavior 10, 13–29. Potting RPJ, Vet LEM & Overholt WA. 1997b. Geographic variation in host selection behaviour and reproductive success in the stemborer parasitoid Cotesia flavipes (Hymenoptera: Braconidae). Bulletin of Entomological Research 87, 515–524. Quicke DLJ. 1997. Parasitic Wasps . Chapman & Hall, Oxford, UK. Rutledge CE & Wiedenmann RN. 1999. Habitat preferences of three congeneric braconid parasitoids:implications for host-range testing in biological control. Biological Control 16 , 144–154. Sallam MN. 2003. A Review of Sugarcane Stemborers and Their Natural Enemies in Asia and Indian Ocean Islands: An Australian Perspective . Bureau of Sugar Experiment Stations, Gordonvale, Australia. Sallam MN & Allsopp PG. 2002. Preparedness for borer incursion into Australia. Australian Sugarcane 5 (6), 5–7. Sallam MN, Overholt WA & Kairu E. 2002. Intraspecific and interspecific competition between Cotesia flavipes and Cotesia sesamiae (Hymenoptera: Braconidae), gregarious larvalindoparasitoids of lepidopteran stemborers. Biocontrol Science and Technology 12 , 493–506. Shami, S. & Mohyuddin AI. 1992. Studies on host plant preference of Cotesia flavipes (Cameron) (Hymenoptera: Braconidae) an important parasitoid of graminaceous stalk borers. Pakistan Journal of Zoology 2 , 313–316. Shenefelt RD. 1972. Braconidae 4, Microgasterinae, Apanteles . Part 7. In: Hymenopterorum Catalogus (eds J van der Vecht & RD Shenefelt), pp. 429–668. Junk, Gravenhage, Netherlands. Simmonds FJ. 1969. Report of Work Carried out during 1969. Commonwealth Institute of Biological Control, Commonwealth Agricultural Bureaux, Farnham Royal, UK. Smith JW & Wiedenmann RN. 1997. Foraging strategies of stemborer parasities and their application to biological control. Insect Science and Its Application 17, 37–49. Smith JW, Wiedenmann RN & Overholt WA. 1993. Parasites of Lepidopteran Stemborers of Tropical Gramineous Plants. ICIPE Science Press, Nairobi, Kenya. Songa JM, Bergvinson D & Mugo S. 2001. Mass rearing of the maize stem borers Chilo partellus, Busseola fusca, Sesamia calamistis, Chilo orichalcociliellus and Eldana saccharina at KARI, Katumani. 7th Eastern and Southern Africa Regional Maize Conference, Nairobi, Kenya, 11–15 February 2001. Steinberg S, Dicke M, Vet LEM & Wanningen R. 1992. Response of the braconid parasitoid Cotesia (=Apanteles) glomerata to volatile infochemicals: effects of bioassay set-up, parasitoid age and experience and barometric flux. Entomologia Experimentalis et Applicata 63, 163–175. Stiling P. 1990. Calculating the establishment rates of parasitoids in classical biological control. American Entomology 36, 225–230. 17 | P a g e
Takasu K & Overholt WA. 1997. Aggressive behaviour of Chilo partellus (Swinhoe) larvae against the parasitoid, Cotesia flavipes Cameron Insect Science and Its Application 17 , 131–136. Tumlinson JH, Turlings TCJ & Lewis WJ. 1993. Semiochemically mediated foraging behavior in benefical parasitic insects. Archives of Insect Biochemistry and Physiology 22, 385–391. Turlings TCJ &Tumlinson JH. 1992. Systemic release of chemical signals by herbivoreinjured corn. Proceedings of the National Academy of Science of the United States of America 89, 8399–8402. Turlings TCJ, Wackers FL, Vet LEM, Lewis WJ & Tumlinson JH. 1993. Learning of hostfinding cues by hymenopterous parastioids. In: Insect Learning: Ecological and Evolutionary Perspectives (eds DR Papau & AC Lewis), pp. 51–78. Chapman and Hall, New York, USA. Van Leerdam MB, Smith JW & Fuchs TW. 1985. Frass-mediated, host finding behaviour of Cotesia flavipes, a braconid parasite of Diatraea saccharalis (Lepidoptera: Pyralidae). Annals of the Entomological Society of America 78, 647–650. Vet LEM & Dicke M. 1992. Ecology of infochemical use by natural enemies in a tritrophic context. Annual Review of Entomology 37, 141–172. Walker AK. 1994. Species of Microgastrinae (Hymenoptera: Braconidae) parasitizing lepidopterous cereal stem borers in Africa. Bulletin of Entomological Research 84, 421–434. Wiedenmann RN & Smith JW. 1997. Novel associations and importation biological control: the need for ecological and physiological equivalencies. Insect Science and Its Application 17 , 51–60. Wiedenmann RN, Smith JW & Darnell PO. 1992. Laboratory rearing and biology of the parasite Cotesia flavipes (Hymenoptera: Braconidae) using Diatraea saccharalis (Lepidoptera: Pyralidae) as a host. Environmental Entomology 21, 1160–1167. Wilkinson DS. 1929. New parasitic Hymenoptera and notes on other species. Bulletin of Entomological Research 20 , 103–114. Zanen PO, Lewis WJ, Carde RT & Mullinix BG. 1989. Beneficial arthropod behavior mediated by airborne semiochemicals. 6. Flight responses of female Microplitis croceipes (Cresson), a broconid endoparasitoid of Heliothis spp. to varying olactory stimulus conditions created with a turbulent jet. Journal of Chemical Ecology 15, 141–168.
18 | P a g e