perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN TEORITIK STATUS HUKUM TERSANGKA YANG DITERBITKAN DEPONERING OLEH JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (RUU KUHAP)
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh: PRAMANA GALIH SAPUTRA NIM. E 0007039
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN TEORITIK STATUS HUKUM TERSANGKA YANG DITERBITKAN DEPONERING OLEH JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (RUU KUHAP)
Oleh PRAMANA GALIH SAPUTRA NIM. E0007039
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 10 Oktober 2011
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Bambang Santoso, S.H., M.Hum.
Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.
NIP. 19620209 198903 1001
NIP. 198210082005011001 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN TEORITIK STATUS HUKUM TERSANGKA YANG DITERBITKAN DEPONERING OLEH JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (RUU KUHAP) Oleh PRAMANA GALIH SAPUTRA NIM. E0007039 Telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada:
1. Edy Herdyanto, S.H., M.H. NIP. 195706291985031002 KETUA
Hari
: Selasa
Tanggal
: 18 Oktober 2011
DEWAN PENGUJI : ……………………………………
2. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. NIP. 196202091989031001 SEKRETARIS
: ……………………………………
3. Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. NIP. 198210082005011001 ANGGOTA
: ……………………………………
Mengetahui Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H, M.Hum. commit to user NIP. 19570203 198503 2 001
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: PRAMANA GALIH SAPUTRA
NIM
: E0007039
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: KAJIAN
TEORITIK
STATUS
HUKUM
TERSANGKA
YANG
DITERBITKAN DEPONERING OLEH JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
DALAM
PERSPEKTIF
KITAB
UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RANCANGAN UNDANGUNDANG KITAB UNDANG-UNDANGHUKUM ACARA PIDANA (RUU KUHAP) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta,
Oktober 2011
Yang membuat pernyataan
PRAMANA GALIH SAPUTRA NIM. E0007039
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Pramana Galih Saputra, NIM. E. 0007039. 2011. KAJIAN TEORITIK STATUS HUKUM TERSANGKA YANG DITERBITKAN DEPONERING OLEH JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANGHUKUM ACARA PIDANA (RUU KUHAP). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seorang tersangka masih berstatus sebagai orang yang bersalah atau justru berstatus sebagai orang yang bebas dalam konsepsi deponering menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat perskriptif, untuk menemukan kebenaran mengenai status hukum tersangka yang diterbitkan deponering oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dalam perspektif KUHAP dan RUU KUHAP. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan/studi dokumen. Teknik analisis data yang dilaksanakan menggunakan logika deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, bahwa terhadap status tersangka yang perkaranya diterbitkan deponering dalam perspektif KUHAP dan RUU KUHAP, terdapat 2 (dua) pandangan hukum yang saling berseberangan yaitu: status hukum tersangka hilang dan status hukum tersangka masih melekat. Konsepsi penghentian penuntutan dan deponering yang diatur di dalam Pasal 77 KUHAP yang mengatur tentang penghentian penuntutan yang tidak termasuk dengan penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang merupakan wewenang Jaksa Agung. Ketentuan dalam KUHAP tersebut sangat berbeda dengan konsepsi deponering dalam Pasal 42 ayat (2) RUU KUHAP, yang berbunyi: ”Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat”. Kelebihan dari RUU KUHAP adalah semakin memperjelas mengenai pengaturan konsepsi deponering yang merupakan produk dari hukum acara pidana maka tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena terdapat pengecualian di dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Sedangkan kelemahan dari RUU KUHAP adalah mengakibatkan kewenangan yang tumpang tindih antara Jaksa Agung dan Penuntut Umum yang bertentangan dengan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa kewenangan menyampingkan perkara demi kepentingan umum adalah hanya di tangan Jaksa Agung, bukan untuk penuntut umum pada Kejaksaan Negeri maupun Kejaksaan Tinggi. Kata kunci
commit to userKUHAP : Tersangka, deponering, RUU
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Pramana Galih Saputra, NIM. E. 0007039. 2011. THEORETICAL STUDY OF THE LEGAL STATUS OF SUSPECT ISSUED DEPONERING BY THE ATTORNEY GENERAL OF THE REPUBLIC OF INDONESIA IN PERSPECTIVE OF CRIMINAL PROCEDURE CODE (KUHAP) AND DRAFT OF CRIMINAL PROCEDURE CODE (RUU KUHAP). Law Faculty of Sebelas Maret University. The research aims to conversant whethere a suspect still a guilty person or even existed as a free man in conception of the Criminal Procedure Code and The Draft of Criminal Procedure Code. This research is normative legal research that is in prescriptive manner, to discover the truth concerning the legal status of a suspect issued deponering by The Attorney General in perspective of Criminal Procedure Code and The Draft of Criminal Procedure Code. The secondary data is used in this type of data research. The usage of secondary data sources includes primary legal material and secondary legal material. Identifying the contents or literature study is technical data collecting of this research. And the technical data analysis is conducted by using the deductive logic. Based on the research result and deliberation, it may concluded that the status of suspect of his case issued deponering in perspective of the Criminal Procedure Code and the Draft of Criminal Procedure Code artifacts are two legal opinion: the legal status of suspect was gone and the legal status of suspect are still attached. Termination of prosecution and deponering conception set forth in Article 77 Criminal Procedure Code (KUHAP) which regulates the termination of prosecution that is not included with deponering for the public interest which is the authority of the Attorney General. Provisions in the Criminal Procedure Code (KUHAP) was very different with the deponering conception in Article 42 paragraph (2) Draft of Criminal Procedure Code, which reads: “Prosecutors are also authorized in the public interest and/or with a specific reason to stop the prosecution either by the terms and unconditionally”. The advantages of the Draft of Criminal Procedure Code is increasingly clear abaout the arrangements deponering conception which is the product of Criminal Prosedural Law, then no lawsuit canbe filed to the Administrative Court because there are exceptions in the Act Number 51 of 2009 about Administrative Court. While the weakness of the Draft of Criminal Procedure Code is the result overlapping authority between the Attorney General and Public Prosecutors that contrary to Article 35 letter c Act Number 16 of 2004 about Attorney of The Republic of Indonesia which states that the authority set aside matters of public interest is only for the Attorney General, not to the Public Prosecutor at the District Attorney and Supreme Attorney. Keyword : Suspect, deponering, The Draft of Criminal Procedure Code
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap” (QS. Al Insyirah: 6-8)
“Miliki keberanian untuk ikuti kata hati dan intuisi, mereka tahu apa yang
kamu inginkan, semua hal lainnya hanya nomor dua.“ (Steve Jobs) “Jangan menyerah atas impianmu. Mimpi adalah milikmu. Jangan habiskan
waktu untuk menjelaskan semua itu.“ “Aku belajar untuk menggunakan kata tidak mungkin dengan
sangat hati-hati.“ (Wernhern Von B) “Hargailah bayangan dan impianmu, karena merekalah anak jiwamu,
kerangka dasar prestasimu yang tersisa. “ (Napoleon Hill)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada:
❧
Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan tak terhingga dan skenario kehidupan yang indah sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan suri tauladan dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW.
❧
Bapak dan Ibu tercinta, Bapak Maryanto Djoko Sutrisno, S.T. dan Ibu Sudarmi, S.H. yang senantiasa mendukung kuliah, memberikan doa dan nasihat, semangat, cinta dan kasih sayang serta kerja keras yang tak ternilai harganya demi mewujudkan cita-citaku menjadi seorang Sarjana Hukum dan membuatku lebih menghargai setiap waktu dan kesempatan di dalam hidup Penulis.
❧
Kakakku tersayang Syuri Permana Putri, S.Psi. yang selalu ada untuk memberi semangat kepada Penulis.
❧
Sahabat-sahabat Penulis yang memberikan warna dalam kehidupan Penulis.
❧
Seorang hamba Allah SWT yang kelak akan menemani hidup Penulis.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis persembahkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-Nya yang telah menyertai Penulis, sehingga dapat menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “KAJIAN TEORITIK STATUS HUKUM TERSANGKA YANG DITERBITKAN DEPONERING OLEH JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANGUNDANGHUKUM ACARA PIDANA (RUU KUHAP)“. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan hukum (skripsi) ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik meteriil maupun non materiil yang diberikan oleh
berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, Penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberi dukungan, semangat, doa, saran dan kritik serta sarana dan prasarana bagi Penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta . 3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara. 4. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, masukan, arahan dan pengetahuan sehingga mempermudah Penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 5. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku Dosen Hukum Acara Pidana dan pembimbing II yang telah berbagi ilmu, mengajari penulis akan ketelitian, kesabaran sehingga dapat terselesaikanya penulisan hukum ini. commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Bapak Al. Sentot Sudarwanto, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing, memberi saran dan arahan, tempat curahan hati selama Penulis kuliah di Fakultas Hukum UNS. 7. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. dan Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. selaku dosen dan pembimbing Mootcourt Community (MCC), yang telah Penulis anggap sebagai Orang Tua, dan telah memberi banyak ilmu bagi Penulis, membimbing penulis untuk belajar membuat berkas-berkas persidangan serta proses beracara. Sebuah pengalaman dan pengetahuan yang sangat berharga, luar biasa, dan sangat berguna bagi penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum dan dalam rangka menghadapi persaingan dunia kerja. 8. Ibu Sri Lestari, S.H. M.Hum. dan Bapak Faizal Banu, S.H., M.Hum. selaku pembimbing Kegiatan Magang Mahasiswa (KMM) yang telah banyak memberi bimbingan, perhatian dan dukungan kepada peserta magang di Kejaksaan Negeri Karanganyar. 9. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberi dan membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga kepada Penulis yang dapat dijadikan bekal dalam penyelesaian skripsi ini serta menghadapi persaingan di lingkungan masyarakat luas. 10. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul, pelaksanaan seminar proposal sampai pendaftaran ujian skripsi. 11. Kedua orang tua penulis, Bapak Maryanto Djoko Sutrisno, S.T. dan Ibu Sudarmi, S.H. atas segala doa, cinta kasih, dukungan tanpa henti baik moril maupun materiil, kesabaran, dan kepercayaan yang diberikan kepada Penulis tanpa pamrih apapun, sehingga Penulis dapat menghargai setiap waktu dan kesempatan di dalam hidup. 12. Kakakku tercinta Syuri Permana Putri, S.Psi.
yang selalu ada untuk
memberi semangat. 13. Irvinna Mutiara Murni yang telah memberikan kasih sayang, cinta kasih commit to userPenulis dalam penulisan hukum dan dukungan yang penuh kepada
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(skripsi) ini. Thank you for everything, darling.. Semua akan indah pada waktunya. 14. Sahabatku Bibianus Hengky Widhi Antoro, S.H. (Mas Duta Wisata Grobogan 2011) yang telah memberikan masukan-masukan dan arahanarahan yang luar biasa dalam penulisan hukum (skripsi) ini. 15. The Genk Homo... Bibianus Hengky Widhi Antoro, S.H., Jefri Saragih, S.H., Hifni Azan dan Kristian Hari Gunawan yang selalu ada untuk Penulis dikala senang dan sedih, suka dan duka selama kuliah, beruntung sekali Penulis menemukan sahabat seperti kalian. Hal gila apa lagi yang akan kita lakukan?? Hahaha.. 16. Keluarga Besar Mootcourt Community (MCC) FH UNS, terima kasih telah berbagi petualangan bersama di kompetisi Mootcourt HAM UNPAD 2008 (Juara 1), ALSA UNAIR 2009, Mutiara Djoko Soetono UI 2010 dan ALSA UNSOED 2011. 17. Sahabat-sahabat seperjuangan di masa-masa kuliah, gak tau lagi apa yang mau diucapin selain beribu-ribu terimakasih untuk Bonita Andarini, S.H., Farida Puspitasari, S.H. dan Aditya Yogatama. 18. Wahyu Januar, S.H. yang telah berkenan meminjamkan buku-bukunya kepada Penulis sehingga penulisan hukum (skripsi) ini dapat selesai tepat waktu. 19. Keluarga Besar Paguyuban Putra-Putri Solo (PPS) terutama PPS 2010, Hanif, Rachel, Rimba, Elis, Melisa, Vinna, Cintia, Mas Roni, Viddy, Dipi, Ardian, Yudhis, Ruli, Adi Sunar, Tetri dan Naim, yang telah memberikan warna baru dalam perjalanan kehidupan Penulis. 20. Keluarga Besar Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Kota Surakarta, khususnya Dananjaya Prananditya, Rina Megawati, S,Sn., Kristian Hari Gunawan, Astri Chandra Pradipta dan Safira Rizky Amalia. 21. Keluarga Besar Pasukan Inti Smaracatur (SMA Negeri 4 Surakarta). 22. Keluarga Besar Panitia Wisuda Fakultas Hukum UNS khususnya Merlin S. Magna dan Putri Anggraini Sekarsari. commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23. Keluarga Besar Bibianus Hengky Widhi Antoro, S.H. di rumah Penumping, Pakdhe dan Budhe semua, Om Itok, Tante Arin, Mas Widhi, Mas Dito, Nino, Mas Angger, Pak Pardi dan Bu Murni yang telah memberikan tempat yang nyaman untuk menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini. 24. Temen-temen angkatan 2007, terima kasih bisa menjadi bagian dari kalian selama 4 tahun yang luar biasa ini. 25. Adik-adik tingkat angkatan 2008, 2009 dan seluruh Civitas Akademika FH UNS. 26. Semua pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu baik moril maupun materiil dalam Penulisan Hukum ini.
Mengingat keterbatasan kemampuan diri penulis, penulis sadar bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini masih jauh sempurna. Oleh karena itu adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan. Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, sehingga dapat diamalkan dalam pengembangan dan pembangunan hukum nasional dan tidak menjadi suatu karya yang sia-sia. Amin.
Surakarta,
Oktober 2011
Penulis
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL........................ ............................................................
.i
HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................
iv
ABSTRAK ....................................................................................................
v
ABSTRACT ..................................................................................................
vi
HALAMAN MOTTO ...................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................
viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................
ix
DAFTAR ISI .................................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xv
BAB I
BAB II
:
:
PENDAHULUAN ..................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................
1
B. Perumusan Masalah ..........................................................
7
C. Tujuan Penelitian ..............................................................
7
D. Manfaat Penelitian ............................................................
8
E. Metode Penelitian .............................................................
9
F. Sistematika Penulisan Hukum ..........................................
13
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................
15
A. Kerangka Teori .................................................................
13
1. Tinjauan Umum tentang Penuntutan ..........................
15
a. Pengertian Umum tentang Penuntutan .................
15
b. Asas-Asas dalam Penuntutan ...............................
17
c. Berakhirnya Proses Penuntutan ............................
23
2. Tinjauan Umum tentang Tersangka ...........................
28
a. Pengertian Tersangka ........................................... commit to user
28
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Hak-hak Tersangka yang Diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 3. Tinjauan
tentang
Konsepsi
Deponering
29
dalam
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
BAB III :
Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) .........................
32
B. Kerangka Pemikiran ...........................................................
36
PEMBAHASAN .......................................................................
37
Analisis Status Tersangka yang Perkaranya Diterbitkan Deponering dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Kitab
BAB IV :
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(RUU
KUHAP) ...................................................................................
37
PENUTUP.................................................................................
51
A. Simpulan .............................................................................
51
B. Saran ...................................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 : Skematik Kerangka Pemikiran ....................................................
36
Gambar 2 : Skematik Pembahasan Status Tersangka .....................................
37
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penolakan Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Republik Indonesia (KPK-RI) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK-RI) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) memunculkan isu hukum baru berkenaan dengan status dari orang perorang yang dikenai deponering atau penyampingan pemeriksan perkara yang sejatinya merupakan Hak Prerogratif Jaksa Agung. Bahwa menurut Jaksa Agung Basrie Arif menegaskan status deponering Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah menghapuskan status mereka sebagai tersangka. Dengan begitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah tidak perlu mempermasalahkan kehadiranya untuk mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP), meskipun anggota DPR-RI dari Komisi III justru sebaliknya menolak Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah untuk hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) tersebut. Menurut pendapat anggota Komisi III DPRRI, dengan dilakukanya penyampingan perkara (deponering) oleh Jaksa Agung atas kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah justru menjadikan status hukum keduanya tidak jelas dan status tersangka atas keduanya cenderung masih menempel, yang artinya deponering tidak menghapuskan tindak pidana yang disangkakan, namun semata mata hanya tidak meneruskan proses penuntutan. Polemik ini kemudian terus bergulir menampilkan 2 (dua) kubu pendapat, yang di satu sisi menjelaskan mengenai deponering yang artinya menyampingkan perkara demi kepentingan umum atas perkara dari yang bersangkutan. Arti kepentingan umum dalam Pasal 35 huruf c UndangNomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah kepentingan negara/bangsa dan masyarakat commit to user luas. Jadi kepentingan umum
1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
harus diartikan sebagai kepentingan di semua aspek dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dan yang menyangkut kepentingan hajat hidup masyarakat yang luas sehingga setelah perkaranya dikesampingkan orang tersebut dianggap tidak bersalah. Sementara di sisi lain pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap bersikukuh bahwa orang yang dikenai deponering adalah orang yang masih bersalah karena dianggap belum mendapat sebuah keadilan yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan dua pendapat yang terus bergulir tersebut jika tidak dikaji secara mendalam maka akan terjadi celah-celah hukum yang akan muncul dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di kemudian hari. Selain munculnya celah-celah hukum tersebut, dikemudian hari juga akan muncul stigmatisasi bahwa orang perorang yang dikenai deponering itu seakan-akan menyandang rasa bersalah seumur hidup. Padahal diketahui bahwa pada saat Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah hendak akan disidangkan mereka tetap bersedia. Berawal dari kasus inilah Penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai penyampingan perkara (deponering). Menurut Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Penerbit Djambatan, 1999 pengertian deponering diambil dari kata Deponeren yang berarti menyampingkan (perkara), mendapot, memetieskan, mendeponir. Menurut Prof. Sahetapy (TV One, 12-11-2010) mengatakan bahwa deponering merupakan kondisi penyampingan perkara karena
kepentingan
umum
(http://hukum.kompasiana.com/
2011/02/08/deponir-kasus-bibit-–-chandra-tinjauan-praksis-yuridiskepentingan-umum-etika/, diakses tanggal 11 Mei 2011, pukul 19.15 WIB). Pada penyampingan atau deponering perkara, perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini,”sengaja dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum atas alasan demi kepentingan umum. Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi kepentingan umum. Seseorangcommit yang cukup to userterbukti melakukan tindak pidana, perkaranya dideponir atau dikesampingkan dan tidak diteruskan ke siding
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itu sebabnya, asas opportunitas “bersifat diskriminatif” dan menggagahi makna persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Sebab kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan (M. Yahya Harahap, 2009:436-437). Mencermati status yang dihasilkan akibat adanya deponering, Penulis melihat ada dua akibat yang ditimbulkan karena adanya deponering yaitu : status hukum tersangka hilang dan status hukum tersangka masih melekat. Untuk itu penulis mengkategorikan ke dalam dua pendapat yang berbeda. Menurut Pengacara OC Kaligis keputusan Kejaksaan Agung melakukan deponering tidak mengubah status tersangka bagi dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chanda M. Hamzah. Kedua pimpinan KPK itu tetap saja berstatus sebagai tersangka walaupun Jaksa Agung telah menerbitkan deponering dan kasus tersebut tidak dibawa ke meja hijau. OC Kaligis mengatakan bahwa deponering merupakan bentuk pelaksanaan dari “opportuniteit beginsel” atas asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung yang diberikan undang-undang sesuai Pasal 35 huruf b UndangUndang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Menurut Kaligis, demi kepentingan umum itu adalah untuk kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas. Untuk menyampingkan perkara merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Kaligis mengutip pendapat Yusril Ihza Mahendra bahwa deponering merupakan wewenang, bukan mustahil keputusan deponering dapat digugat ke pengadilan, untuk mempertanyakan apakah dalam menjalankan tugas dan mendeponer perkara itu, maka Jaksa Agung memiliki alasan yang kuat demi kepentingan bangsa dan negara atau masyarakat luas. Kaligis mengatakan, bahwa isu rekayasa kasus Bibit Samad Rianto dan Chanda M. Hamzah hanya koruptor yang commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menginginkan untuk dihukum adalah semacam “pencucian otak” yang ditujukan kepada masyarakat, maka hal ini merupakan pembelaan di luar pengadilan. Kaligis menambahkan bahwa kasus dugaan korupsi Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah sudah lengkap (P-21) menyangkut berkas maupun saksi ahli termasuk Indiryanto Seno Adji dan Chairul Huda oleh penyidik Polri, maka sebaiknya diajukan ke meja hijau, bukan dilakukan deponering. Kaligis mempertanyakan niat untuk memberantas korupsi karena Kejaksaan Agung menginginkan dugaan koruptor terhadap Bibit Samad Rianto
dan
Chanda
M.
Hamzah
di
luar
pengadilan
(http://dharisy.blogdetik.com/kaligis-deponering-tidak-mengubah-statustersangka-bibit/, diakses tanggal 13 Agustus 2011, pukul 16.01 WIB). Sedangkan menurut Mahfud M.D. kasus Bibit Samad Rianto dan Chanda M. Hamzah sudah selesai secara hukum setelah Jaksa Agung menandatangani deponering kasus dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut. Deponering itu bersifat konstitusional dan tidak mungkin dibatalkan. Di seluruh dunia juga ada deponering sesuai asas oportunitas dan kemanfaatan dan jika Jaksa Agung sudah mengeluarkan deponering, ini berarti Bibit Samad Rianto dan Chanda M. Hamzah tidak berstatus tersangka lagi dan kasus tersebut sudah ditutup demi kepentingan umum. Wakil Jaksa Agung Darmono juga mengatakan bahwa setelah dikeluarkan deponering terhadap Bibit Samad Rianto dan Chanda M. Hamzah,
status
tersangka
sudah
hilang
(http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=17416, diakses tanggal 13 Agustus 2011, pukul 16.15 WIB) Kasus dugaan korupsi Bibit Samad Rianto dan Chanda M. Hamzah itu mencuat atas laporan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar yang merupakan atasan keduanya, jadi bukan dari laporan koruptor, sehingga harus dilakukan penyelidikan. Kemudian bagaimana pendapat para ahli dalam diskusi “diskursus” dalam hal mengkaji deponering agar memiliki efek yang lebihcommit optimum di masa yang akan datang mengakaji to user
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
juga dari aspek Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang didalamnya ternyata ada poin penting untuk ditelaah berkenaan dengan konsepsi deponering dan penghentian penuntutan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara tegas disebutkan pada Pasal 77 yang berbunyi, “Yang
dimaksud
dengan pengehentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi kewenangan Jaksa Agung”, dengan maksud bahwa
terdapat
pembedaan
antara
penghentian
penuntutan
dengan
deponering. Pembedaan tersebut tidak dapat dijumpai pada pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang mengatur tentang konsepsi deponering. Konsepsi deponering Rancangan Undang-Undang Kitab UndangUndang
Hukum
Acara
Pidana
(RUU
KUHAP)
justru
mengalami
penyederhanaan dan/atau peleburan arti dengan penghentian penuntutan. Disebutkan dalam Pasal 42 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) bahwa dengan alasan demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu seorang penuntut umum berwenang untuk menghentingan suatu penuntutan. Dalam hal ini asas oportunitas digunakan sebagai alasan untuk menghentikan suatu penuntutan dan bukan lagi digunakan untuk menyampingkan perkara. Hal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan
Republik
Indonesia,
yang
menyebutkan
bahwa
kewenangan menyampingkan perkara demi kepentingan umum adalah hanya ditangan Jaksa Agung, bukan untuk penuntut umum di setiap Kejaksaan Negeri maupun Kejaksaan Tinggi. Menurut Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan Dewan Pertimbangan Presiden, mengatakan bahwa deponering adalah pilihan terbaik agar bangsa dan negara tidak lagi tersandera oleh persoalan kasus Bibit Samad Rianto dan Chanda M. Hamzah yang begitu menyedot perhatian publik sejak akhir tahun 2009. Menurutnya deponering adalah resiko terkecil yang commit to user bisa dilakukan oleh Jaksa Agung dengan menimbang kepentingan umum serta
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyelamatan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 35 huruf c Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Untuk menemukan alasan kepentingan umum, Jaksa Agung dapat terlebih dahulu berkonsultasi dengan pihak yang berkepentingan seperti Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jimly berpendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak perlu dilibatkan karena dikhawatirkan justru memperumit keadaan dan bertambah berlarut-larut. Menurut Jimly, ia telah berdiskusi dengan banyak ahli hukum seperti Adnan Buyung Nasution, Saldi Isra, Bambang Widjojanto kesemuanya menyuarakan lebih baik dilakukan deponering (http://www.detiknews.com/read/2010/10/11/193948/1461645/158/jimlydeponering-keputusan-one-for-all-kasus-bibit-chandra?nd991103605, diakses tanggal 13 Agustus 2011, pukul 15.48 WIB) Memang harus diakui bahwa perjalanan kasus Bibit Samad Rianto dan Chanda M. Hamzah penuh dengan problematika, keanehan dan keganjilan, karena ketika masih tahap penyidikan di Kepolisian penanganan kasus tersebut sempat terseok-seok karena diserang oleh opini publik yang demikian hebat, namun pada akhirnya Kejaksaan tetap mengeluarkan formulir P-21 yang artinya berkas penyidikan dianggap lengkap. Setelah menerima pelimpahan perkara dari Kepolisian justru Kejaksaan menyatakan bahwa perkara tersebut tidak cukup bukti, sehingga tidak bisa dilanjutkan ke pengadilan dengan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) tertanggal 1 Desember 2009. Inilah yang kemudian memicu persoalan, karena SKPP menimbulkan hak untuk diajukannya praperadilan, padahal jika dari sejak awal Kejaksaan mengeluarkan deponering, maka akan tertutup
segala
kemungkinan
timbulnya
missunderstanding
terhadap
penerapan dua aturan hukum. Secara pribadi Penulis sebenarnya berempati dengan proses perkara userChanda M. Hamzah, karena jika yang melibatkan Bibit Samadcommit Riantoto dan
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
status Bibit Samad Rianto dan Chanda M. Hamzah dinaikan menjadi terdakwa, maka keduanya tidak akan bisa menyelesaikan kasus korupsi yang sedang ditangani. Berdasarkan uraian di atas, Penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian yang tertuang dalam bentuk penulisan hukum dengan judul : “KAJIAN
TEORITIK
STATUS
HUKUM
TERSANGKA
YANG
DITERBITKAN DEPONERING OLEH JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) DAN RANCANGAN UNDANGUNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (RUU KUHAP)”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, serta agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan, maka permasalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Apakah seorang tersangka masih berstatus sebagai tersangka atau justru tidak lagi berstatus sebagai tersangka lagi dalam konsepsi deponering menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)?
C. Tujuan Penelitian “Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan isu hukum yang timbul” (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 41), berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini mempunyai tujuan obyektif dan tujuan subyektif sehingga mampu mencari pemecahan isu hukum terkait. Adapun tujuan yang hendak dicapai peneliti adalah sebagai berikut : commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Tujuan Obyektif Untuk mengetahui status hukum seorang tersangka masih berstatus sebagai orang yang bersalah atau justru berstatus sebagai orang yang bebas dalam konsepsi deponering menurut ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah dan memperluas pengetahuan penulis mengenai hukum nasional dalam bidang hukum acara pidana khususnya mengenai status hukum tersangka yang perkaranya dikesampingkan oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum, dilihat dari perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan wacana dari Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). b. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh derajat sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis a. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya serta dapat dipakai sebagai acuan terhadap penulisan maupun penelitian sejenis commit to user untuk tahap berikutnya.
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang kajian teoritik status hukum tersangka yang diterbitkan deponering oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)
2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan dan menjawab permasalahan yang sedang diteliti. b. Memberikan pendalaman, pengetahuan dan pengalaman yang baru kepada penulis menganai permasalahan hukum yang dikaji, yang dapat berguna bagi penulis maupun orang lain di kemudian hari.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum secara umum dapat dikategorikan menjadi penelitian doktrinal dan penelitian non doktrinal. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian doktrinal atau disebut juga penelitian hukum normatif. Penelitian doktrinal adalah suatu penelitian hukum yang bersifat perskriptif bukan deskriptif sebagaimana ilmu sosial dan ilmu alam (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 33).
2. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat perskriptif dan terapan. Dalam penelitian hukum ini karakteristik yang digunakan yaitu ilmu hukum yang bersifat perskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat perskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai commit konsep-konsep to user keadilan, validitas aturan hukum, hukum dan norma-norma
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
hukum. Sifat perskriptif ini merupakan hal substansial yang tidak mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang obyeknya juga hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22).
3. Pendekatan Penelitian Didalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 93). Dari kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan undang-undang (statute approach) yaitu dengan menggunakan regulasi dan legislasi, yang dalam hal ini dalam penelitian ini regulasi yang digunakan sebagai acuan adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1981 No. 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) yang selanjutnya disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Loebby Loqman, 1982: 7).
4. Jenis Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. commit to user Sedangkan bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).
5. Sumber Bahan Hukum Penelitian Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder. Dalam bukunya, Penelitian Hukum, Peter Mahmud mengatakan, bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga yang yang digunakan adalah bahan hukum. dalam hal ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan hukum primer itu sendiri berupa peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Indonesia Tahun 1981 No. 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) yang selanjutnya disebut
dengan
Kitab
Undang-undang
Hukum
Acara Pidana
(KUHAP). b. Bahan hukum sekunder terdiri dari Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), buku-buku referensi, jurnaljurnal hukum yang terkait, dan media massa yang mengulas tentang deponering.
6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Karena penelitian yang penulis angkat merupakan penelitian doktrinal, maka dalam pengumpulan sumber hukumnya dilakukan dengan studi
kepustakaan/studi
dokumen.
Teknik
ini
merupakan
cara
pengumpulan sumber hukum dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7. Teknik Analisis Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan teknik analisis sumber hukum dengan logika deduktif.
Menurut Johnny Ibrahim yang mengutip pendapat
Bernard Arief Shidarta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006: 249-250). Sedangkan Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi
sebagaimana
silogisme
yang diajarkan
oleh
Aristoteles,
penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Akan tetapi di dalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak sesederhana silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 47). Jadi dapat disimpulkan bahwa logika deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus. Dalam penelitian ini, sumber hukum yang diperoleh dengan cara menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari sumber hukum yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat menjawab tentang status hukum tersangka yang diterbitkan deponering dalam perspektif KUHAP dan RUU KUHAP.
commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
F. Sistematika Penulisan Hukum Dalam Penulisan hukum (Skripsi) ini terdiri atas empat bab yang masing-masing terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Sistematika penulisan itu sendiri sebagai berikut :
BAB I
:
PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi tentang Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Manfaat
penelitian,
Metode
penelitian
serta
Sistematika penulisan. BAB II
:
TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab II dijelaskan temtang Kerangka teori, terdiri atas Tinjauan Umum tentang Penuntutan, Tinjauan Umum tentang Tersangka dan Tinjauan Umum tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Tinjauan Umum tentang Penuntutan yang memuat tentang pengertian penuntutan, asas-asas dalam
penuntutan
dan
berakhirnya
proses
penuntutan. Tinjauan Umum tentang Tersangka memuat tentang pengertian dan hak-hak tersangka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu dijelaskan pula Tinjauan Umum
tentang
Konsepsi
Deponering
dalam
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), serta Kerangka pemikiran. BAB III
:
PEMBAHASAN Dalam
bab
III
disampaikan
mengenai
hasil
penelitian pembahasan yang berisi Analisis commit dan to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Status Tersangka yang Perkaranya Diterbitkan Deponering
dalam
Perspektif
Kitab
Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) BAB IV
:
PENUTUP Dalam bab IV berisi Simpulan serta disampaikan beberapa saran.
commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Penuntutan. a. Pengertian Umum tentang Penuntutan Pada Pasal 1 butir 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tercantum definisi penuntutan, yakni penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Definisi ini mirip dengan definisi Wijono Prodjodikoro. Namun perbedaannya adalah dalam definisinya disebut dengan tegas “terdakwa” sedangkan di dalam 137 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Definisi tersebut adalah sebagai berikut: “Menuntut seoarang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan, supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa”. Dalam Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana (delik) dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Maksud dari kata “daerah hukum” ialah daearah yang sesuai dengan daerah hukum kejaksaan negeri dimana seorang jaksa atau penuntut umum itu diangkat. Jadi seorang jaksa di kejaksaan tinggi atau di kejaksaan agung hanya dapat menuntut seseorang jika ia terlebih dahulu diangkat untuk kejaksaan negri yang daerah hukumnya dilakukan delik itu. Dalam praktek, commit to user seorang jaksa yang ditempatkan di suatu kejaksaan tinggi atau di
15
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kejaksaan Agung yang akan menjadi penuntut umum suatu delik di suatu pengadilan negeri, ia diangkat terlebih dahulu (didetasir) di kejaksaan negari yang wilayah hukumnya sama dengan pengadilan negeri tersebut (Andi Hamzah, 2008: 162). Pelimpahan berkas perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dilakukan oleh jaksa yang diberikan kewenangan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk melakukan penuntutan. Berdasarkan isi dari Pasal 1 butir 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan sedangkan pengertian penuntut umum berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam persidangan. Sebelum
tahap
penuntutan,
dikenal
adanya
tahap
pra
penuntutan, yang diatur dalam Pasal 138 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Pasal tersebut secara tegas diterangkan bahwa apabila jaksa telah menerima berkas perkara dari penyidik maka segera mempelajari dan meneliti dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikannya itu sudah lengkap atau belum. Menurut ketentuan Pasal 138 ayat (2) apabila menurut penelitian Penuntut Umum ternyata berkas perkara belumlah lengkap maka penuntut umum harus mengembalikan berkas disertai petunjuk dan didalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penidik harus segera menyampaikan kembali berkas itu kepada Penuntut Umum. Setelah Penuntut Umum beranggapan bahwa penyidikan telah lengkap maka Penuntut Umum segera menentukan apakah berkas perkara pidana sudah memenuhi syarat untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan. Jika menurut Penuntut Umum hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan maka segera dibuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Akan tetapi commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
apabila Penuntut Umum berpendapat sesuai Pasal 140 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Huruf a, yaitu: a. tidak terdapat cukup bukti, b. peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran) dan c. perkara ditutup demi hukum. Maka
Penuntut
Umum
menghentikan
penuntutan
dan
menuangkan hal tersebut dalam suatu penetapan yang disebut SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penuntutan). Dalam perkara yang telah cukup bukti untuk dilimpahkan ke pengadilan maka jaksa selanjutnya menentukan apakah perkara ini diajukan dengan cara acara pemeriksaan singkat atau dengan acara pemeriksaan biasa. Setelah berkas perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan Negeri dan telah deregister serta telah mendapat nomor perkara, maka barulah Ketua pengadilan negeri akan mempelajari apakah perkara tersebut masuk dalam wewenang pengadilan yang dipimpinnya atau bukan.
b. Asas-Asas dalam Penuntutan 1) Asas Legalitas Asas legalitas dengan tegas disebut dalam konsideran Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti yang dapat dibaca pada konsideran huruf a, yang berbunyi “Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Jelaslah bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan undang-undang hukumnya berlandaskan asas legalitas. commit to user
yang asas
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “nonretroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undangundang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). Asas legalitas ini mengandung 3 (tiga) pengertian, yaitu: a)
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu perundang-undangan;
b)
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
c)
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (lex temporis delicti atau non retro aktif) (http://repository.usu.ac.id/handle/ 123456789/15237, diakses tanggal 10 Oktober 2011, pukul 19.35 WIB). Adapun para ahli hukum memberikan definisi masing-
masing tentang asas legalitas, yaitu sebagai berikut: a)
P. A. F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, merumuskan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undangundang yang telah diadakan lebih dulu” (P. A. F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, 1990: 1).
b)
Andi Hamzah, menerjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan
ketentuan
perundang-undangan
mendahuluinya” (Andi Hamzah, 2005: 41). commit to user
pidana
yang
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c)
Moeljatno, menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” (Moeljatno, 2001: 3).
d)
Oemar Seno Adji, menentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality” (Oemar Seno Adji, 1980: 21).
e)
Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions) (Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008: 12). Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana commit to user tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perbuatan
pidana
tanpa
pidana
menurut
undang-
undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang
mendahuluinya)
atau nullum
crimen
sine
lege
stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa ketentuan yang tegas).
2) Asas Oportunitas Asas oportunitas tercantum di dalam Pasal 35 c Undangundang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Pasal tersebut sebenarnya tidak menjelaskan arti dari asas opportunitas. Hanya dikatakan, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Arti dari “kepentingan umum” dijelaskan dalam penjelasan Pasal 35 butir c sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Menyampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badanbadan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Satu hal yang perlu dijelaskan ialah apa yang dimaksud dengan “demi kepentingan umum” dalam pengesampingan perkara itu, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) memberikan penjelasan sebagai berikut: “Dengan demikian kriteria “demi kepentingan umum” dalam penerapan asas oportunitas di Indonesia adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk commit to user kepentingan masyarakat.”
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut asas oportunitas yang berlaku di Indonesia, Jaksa berwenang menuntut dan tidak menuntut suatu perkara ke pengadilan, baik dengan syarat maupun tanpa syarat. The public prosecutor may decide conditionally or unconditionally to make prosecution to court or not. Jadi dalam hal ini, Penuntut Umum tidak wajib menuntut seseorang melakukan tindak pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana, tidak dituntut. A.Z. Abidin memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai: “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum” (A.Z. Abidin, 1983: 89). A.L. Melai sebagaimana dikutip A.Z. Abidin, mengatakan bahwa pekerjaan Penuntut Umum dalam hal meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas merupakan rectsvinding (penemuan hukum) yang harus dipertimbangkan masak-masak berhubung karena hukum menuntut adanya keadilan dan persamaan hukum. Yang tidak disebutkan A.L. Melai ialah, bahwa hukum yang bertujuan untuk menjamin kemanfaatan dan kedamaian. Adagium Romawi menghendaki “ius suum cuique tribuere (A.Z. Abidin, 1983: 89). Dengan asas oportunitas yang secara implisit terkandung dalam wewenang dan kedudukan Penuntut Umum, kewenangan untuk menuntut perkara tindak pidana dan pelanggaran tidak mengurangi kewenangan untuk bertindak karena jabatannya. Jika dipandang perlu melakukan commit tosesuatu user yang bertentangan dengan sifat
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tugas Penuntut Umum untuk selayaknya tidak mengadakan penuntutan. Yaitu apabila diperkirakan dengan penuntutan itu akan lebih membawa kerugian daripada keuntungan guna kepentingan umum, kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan. Hal ini menjadi titik tolak dasar serta alasan, mengapa kepada Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi dalam negara hukum Indonesia ini diberikan wewenang untuk tidak menuntut suatu perkara
ke
Pengadilan
atas
dasar
kepentingan
umum
(http://www.scribd.com/doc/52386724/ASAS-OPURTINITAS, diakses tanggal 12 Mei 2011, pukul 19.14 WIB). Pengertian kepentingan umum ini diperluas dan mencakup kepentingan hukum, karena bukan saja didasarkan atas alasanalasan hukum semata tetapi juga didasarkan atas alasan-alasan lain. Antara
lain,
alasan
kemasyarakatan,
alasan
kepentingan
keselamatan negara dan saat ini meliputi juga faktor kepentingan tercapainya pembangunan nasional. Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau
kepentingan
masyarakat
luas
(http://www.scribd.com/doc/52386724/ASAS-OPURTINITAS (diakses tanggal 12 Mei 2011, pukul 19.14 WIB). Dalam mendasarkan pertimbangan dan penilaiannya, Jaksa Agung akan melihatnya pula dari segi kepentingan masyarakat luas, terutama dari segi falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara yang mengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam hubungan sosial antara manusia pribadi dengan manusia lainnya untuk mencapai atau memperoleh kepentingannya.
Jelas bahwa kebijakan penuntutan untuk to user dan dipertanggungjawabkan pada kepentingan umumcommit dipercayakan
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi, dan adanya asas oportunitas merupakan lembaga yang dibutuhkan dalam penegakan hukum demi menjamin stabilitas dalam suatu negara hukum (http://www.scribd.com/doc/52386724/ASAS-OPURTINITAS (diakses tanggal 12 Mei 2011, pukul 19.14 WIB). Dipusatkannya kewenangan asas oportunitas di tangan Jaksa Agung adalah hal yang sangat baik sehingga asas oportunitas dapat dicegah penyalahgunaan oleh Penuntut Umum. Ini bukan berarti Jaksa/Penuntut Umum tidak mempunyai kewenangan untuk men-deponeer perkara pidana melainkan kewenangan tersebut dipusatkan pada Jaksa Agung sehingga hanya dalam hal ini betulbetul untuk kepentingan umum, kewenangan menyampingkan perkara dapat digunakan (Leden Marpaung, 2009: 196-197).
c. Berakhirnya Proses Penuntutan 1) Penghentian Penuntutan Penghentian penuntutan di atur dalam Pasal 140 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menegaskan
bahwa penuntut umum “dapat menghentikan
penuntutan” suatu perkara. Dalam arti, hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang disampaikan penyidik tidak dilimpahkan oleh penuntut umum ke sidang pengadilan. Dalam penghentian penuntutan, alasannya bukan didasarkan pada kepentingan umum melainkan semata-mata didasarkan pada alasan dan kepentingan hukum itu sendiri. Suatu perkara dapat dihentikan karena pasti memiliki alasan yang berkaitan dengan kepentingan hukum itu sendiri. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut: a) Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup, sehingga jika perkaranya diajukan di pemeriksaan commit to userkeras terdakwa akan dibebaskan sidang pengadilan, diduga
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh hakim, atas alasan kesalahan yang didakwakan tidak terbukti. Untuk menghindari keputusan pembebasan yang demikian, lebih bijaksana penuntut umum menghentikan penuntutannya. b) Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. Setelah penuntut umum
mempelajari
berkas
perkara
hasil
pemeriksaan
penyidikan, dan berkesimpulan bahwa apa yang disangkakan penyidik terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan ataupun pelanggaran, penumtut umum lebih baik menghentikan penuntutan. Sebab bagaimanapun, dakwaan yang
bukan
merupakan
tindak
pidana
kejahatan
atau
pelanggaran yang diajukan kepada sidang pengadilan, pada dasarnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontstag van rechtvervolging). c) Alasan ketiga dalam penghentian penuntutan ialah atas dasar perkara ditutup demi hukum atau set aside. Penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum adalah tindak pidana yang terdakwanya oleh hukum sendiri telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwaan dan perkara itu sendiri oleh hukum harus ditutup atau dihentikan pemeriksaannya pada semua tingkat pemeriksaan. Alasan hukum yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum, bisa didasarkan, antara lain: (1) Karena tersangka atau terdakwa meninggal dunia. Apabila terdakwa meninggal dunia, dengan sendirinya menurut hukum menutup tindakan penuntutan. Hal ini sesuai dengan asas hukum yang dianut bahwa suatu perbuatan
tindak
pidana
hanya
dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang yang melakukan sendiri tindak pidana tersebut. Dengan demikian, apabila commit to user dunia, lenyap dengan sendirinya pelaku telah meninggal
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pertanggungjawaban
atas
tindak
pidana
yang
bersangkutan. Dan pertanggungjawaban itu tidak dapat dipindahkan kepada keluarga atau ahli waris terdakwa (Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). (2) Atas alasan nebis in idem. Alasan ini menegaskan tidak boleh menuntut dan menghukum seseorang dua kali atas pelanggaran tindak pidana yang sama. Seseorang hanya boleh dihukum satu kali saja atas suatu kejahatan atau pelanggaran tindak pidana yang sama. Oleh karena itu, penuntut umum menerima berkas pemeriksaan dari penyidik, kemudian dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka adalah peristiwa pidana yang telah dituntut dan diputus oleh hakim dalam suatu sidang pengadilan dan putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika demikian halnya, penuntut umm harus menutup pemeriksaan perkara demi hukum (Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). (3) Terhadap perkara yang hendak dituntut oleh penuntut umum, ternyata telah kadaluwarsa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (M. Yahya Harahap, 2007: 437-438). Penghentian penuntutan tidak dengan sendirinya menurut hukum menghilangkan hak dan kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan kembali perkara tersebut. Penuntutan kembali perkara yang telah dihentikan bisa terjadi bilamana: a) Di kemudian hari ditemukan “alasan baru”. b) Keputusan praperadilan menetapkan penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum tidak sah menurut hukum (M. commit user Yahya Harahap, 2007: to 439).
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Penyampingan Perkara (deponering). Dalam bahasa belanda, pengertian penyampingan perkara (deponering)
adalah
voorrecht om de
sebagai
openbare
berikut:
“Deponeering is
aanklager de
zaak om
een
redenen
vangrotere algemeen belang voorrang te worden beschermd”. Penyampingan
perkara
atau
deponering adalah
hak
istimewa kejaksaan untuk menyampingkan perkara karena alasan kepentingan umum yang lebih besar yang akan dilindungi. Hak tersebut diatur dalam Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi, “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum”. Hal itu bisa dilakukan Jaksa Agung setelah menerima saran dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kemudian ditegaskan dalam penjelasan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi, “Yang dimaksud dengan pengehentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi kewenangan Jaksa Agung”. Deponering merupakan penerapan dari asas oportunitas. Seperti yang telah diketahui bahwa asas oportunitas sangat bertentangan dengan asas legalitas. Meskipun pada dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur asas legalitas, namun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri masih memberi kemungkinan mempergunakan prinsip oportunitas sebagaimana hal itu masih diakui oleh penjelasan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada deponering perkara, perkara yang bersangkutan memamng cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka sidang pengadilan. Berdasarkan fakta dan bukti yang ada, terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang telah commit dikesampingkan” to user cukup bukti ini “sengaja dan tidak dilimpahkan
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan “demi kepentingan umum”. Menurut penjelasan Pasal 32 huruf c UndangUndang Nomor 5 Tahun 1991, yang dimaksud dengan kepentingan umum
adalah
“kepentingan
kepentingan
masyarakat
bangsa luas”
dan
Negara
selanjutnya
dan/atau dikatakan
“mengenyamping perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari bahan-bahan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut (M. Yahya Harahap, 2007: 436). Maksud kewenangan
dan
pada
tujuan Jaksa
undang-undang
Agung
tersebut
memberikan adalah
untuk
menghindarkan tidak timbulnya penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas, sehingga dengan demikian satusatunya pejabat negara di negara kita yang diberi wewenang melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap Jaksa selaku Penuntut Umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi. Untuk terjaminnya kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan asas oportunitas, Jaksa Agung menuangkan dalam suatu surat penetapan/keputusan yang salinannya diberikan kepada yang dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, hal mana
dapat
dipergunakan
sebagai
alat
bukti
bagi
yang
bersangkutan. Terhadap perkara yang dikesampingkan demi kepentingan umum, penuntut umum tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap tersangka dalam perkara tersebut di kemudian hari
(http://www.scribd.com/doc/52386724/ASAS-
OPURTINITAS, diakses tanggal 12 Mei 2011, pukul 19.14 WIB). Dalam penyampingan perkara (deponering), hukum dan dan penegakan hukum dikorbankan demi kepentingan umum. user Seseorang yang commit cukup toterbukti melakukan tindak pidana,
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkaranya di-deponir atau dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itu sebabnya, asas oportunitas “bersifat diskriminatif” dan menggagahi makna persamaan di depan hukum (equality before the law). Sebab kepada orang tertentu, dengan menggunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegak hukum dikesampingkan (M. Yahya Harahap, 2007: 436-437). Mr.Wirjono Prodjodikoro dalam buku Hukum Acara Pidana di Indonesia menyatakan antara lain: ”…., bahwa ada kalanya sudah terang-benderang seorang melakukan suatu kejahatan, akan tetapi keadaan yang nyata adalah sedemikian rupa, sehingga kalau seorang itu dituntut dimuka hakim pidana, kepentingan Negara akan sangat dirugikan” (Leden Marpaung, 2009: 196). Misalnya, seorang A adalah ahli kimia dan sedang bekerja keras dalam membikin suatu bahan yang amat penting bagi pertahanan negara. Terdesak oleh keadaan rumah tangga berhubung dengan perekonomian ia terpaksa menjual beberapa barang yang ia pinjam dari dinas, misalnya beberapa kursi dan meja, agar dengan uang pendapatannya ia bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pejabat pengawas melaporkan hal penggelapan ini kepada jaksa dan terdakwa mengaku terus terang kesalahannya. Kalau si A ini terus dituntut di muka hakim pidana, ini akan berakibat, bahwa A harus memberhentikan pekerjaannya membikin bahan yang amat penting bagi pertahanan negara itu. Mungkin sekali kepentingan negara mendesak bahan penting itu selekas mungkin diselesaikan pembikinannya, sedang orang lain tidak dapat mengerjakannya. Dalam hal semacam ini penuntut umum dianggap berkuasa untuk tidak menuntut si A di muka hakim dan perkaranya dikesampingkan begitu saja (di-deponeer) (Wirjono Prodjodikoro dikutip Leden Marpaung, 2009: 196). commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Tinjauan Umum tentang Tersangka. a. Pengertian Tersangka Accurate determination of criminal suspects, who are the participants of criminal proceedings, is important both for ensuring timely exercise of procedural rights by those who are determined as criminal suspects and for the protection of the innocent against prosecution (http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-LAWS 200302005.htm, diakses tanggal 11 Oktober 2011, pukul 00.38 WIB). Tepatnya penentuan terhadap tersangka tindak pidana yang merupakan pelaku terjadinya tindak pidana adalah hal yang penting untuk memastikan waktu pelaksanaan hak prosedural oleh mereka yang ditetapkan sebagai tersangka pidana dan untuk melindungi yang tidak bersalah terhadap penuntutan. Berdasarkan Pasal 1 butir 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaaanya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, dan butir 15, terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Dari ketentuan tersebut dapatlah dijabarkan bahwa apabila seseorang diduga melakukan suatu tindak pidana kemudian dilakukan penyelidikan oleh pihak Kepolisian dan selanjutnya berkas perkara (BAP) diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum maka status orang tersebut masih sebagai “tersangka”, sedangkan apabila perkara itu telah dilimpahkan ke Pengadilan untuk diperiksa, dituntut dan diadili maka berubahlah status “tersangka” itu menjadi “terdakwa”. Tersangka merupakan orang yang diduga melakukan tindak pidana sesuai dengan bukti dan keadaan yang nyata dan fakta. Oleh karena itu orang tersebut: 1)
Harus diselidiki, disidik dan diperiksa oleh penyidik.
2)
Harus dituntut dan diperiksa di muka sidang pengadilan oleh penuntut umum dan hakim. commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3)
Jika perlu terhadap tersangka dapat dilakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan benda sesuai dengan cara yang ditentukan oleh undangundang (M. Yahya Harahap, 2007: 330). Wetboek van Strafvordering Belanda tidak membedakan istilah
tersangka dan terdakwa (tidak lagi memakai dua istilah beklaagde dan verdachte), tetapi hanya menggunakan satu istilah untuk kedua istilah tersebut, yaitu verdachte. Pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Ned. Sv. istilah “tersangka” ditafsirkan secara lebih luas dan lugas yaitu dipandang sebagai orang karena fakta-fakta atau keadaan-keadaan menunjukan patut diduga bersalah melakukan suatu tindak pidana. Bunyi Pasal 27 ayat (1) Ned. Sv. adalah sebagai berikut: “”… als verdachte wordt aangemerkt degene te wiens aanzien uit feiten of omstadig heden een redelijk vermoeden van schuld aan eenig strafbaar voorvloeit ….” (… yang dipandang sebagai tersangka ialah orang karena faktafakta atau keadaan-keadaan menunjukkan ia patut diduga bersalah melakukan suatu delik)” (Andi Hamzah, 2008: 66).
b. Hak-hak Tersangka yang Diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hal ini dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang antara lain dimuat pada penjelasan umum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana tercantum pada butir 3 huruf c yang berbunyi: commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Asas tersebut terkenal dengan asas Praduga Tak Bersalah (presumption of innocence). Jaminan ini untuk memberikan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan sampai pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Hak-hak tersangka maupun terdakwa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sebagai berikut: 1)
Hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan penyidik (vide: Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Ketentuan seperti tersebut dalam pasal ini memang dapat menahbah tekanan kepada penyidik, penuntut umum dan hakim supaya bekerja dengan sebaik-baiknya untuk menjaga jangan sampai nasib seorang tersangka atau terdakwa, apalagi yang dikenakan penahanan menjadi amat terkatung-katung, sehingga mereka itu amat dirugikan (M. Karjadi dan R. Soesilo, 1992: 55).
2)
Hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dapat dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya (vide: Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Sesuai dengan hak yang diberikan kepadanya maka tersangka pada waktu diperiksa oleh penyidik dan kemudian sebagai terdakwa di muka pengadilan mula-mula diberitahu terlebih dahulu perihal tindak pidana apakah yang dituduhkan kepadanya dengan sejelas-jelasnya, kalau perlu memakai bahas daerah atau bahasa asing yang dipahami dengan perantaraan juru bahasa yang disediakan (M. Karjadi dan R. Soesilo, 1992: 56).
3)
Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik commit to user (vide: Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4)
Hak untuk mendapatkan juru bahasa (vide: Pasal 53 ayat (1) jo. Pasal 177 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Juru bahasa yang ditunjuk untuk dibantukan itu harus orang yang betul-betul memenuhi syarat, sebab ada ketentuan misalnya bahwa dalam hal orang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara, ia juga tidak boleh menjadi juru bahasa dalam perkara itu. Selanjutnya juru bahasa tersebut harus bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan (M. Karjadi dan R. Soesilo, 1992: 57).
5)
Hak atas bantuan hukum (vide: Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Pasal ini memberikan hak kepada tersangka maupun terdakwa untuk memperoleh bantuan hukum dari penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Bantuan hukum diberikan kepada tersangka atau terdakwa dalam hal tindak pidana: a) yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih, atau b) yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih bagi orang yang tidak mampu dan tidak mempunyai penasihat hukum sendiri (Pasal 56) (M. Karjadi dan R. Soesilo, 1992: 58).
6)
Hak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya (vide: Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
3. Tinjauan tentang Konsepsi Deponering dalam Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang baru terdapat hal yang pokok yang dijadikan pertimbangan dalam perancangannya. Pertimbangan tersebut terletak pada commit to user konsideran huruf a, yang berbunyi:
perpustakaan.uns.ac.id
33 digilib.uns.ac.id
“Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hal tersebut yang kemudian menjadikan dasar pemikiran bagi pertimbangan yang selanjutnya, yaitu pada konsideran huruf b, yang berbunyi: “Bahwa untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu diupayakan pembangunan hukum nasional dalam rangka menciptakan supremasi hukum dengan mengadakan pembaruan hukum acara pidana menuju sistem peradilan pidana terpadu dengan menempatkan para penegak hukum pada fungsi, tugas dan wewenangnya”. Pertimbangan tersebut semakin menunjukkan bahwa terdapat komitmen yang kuat dari para penyusun Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) ini untuk mengadakan pembaruan di bidang hukum acara pidana di Indonesia menuju kepada sistem peradilan pidana yang lebih terpadu dengan menempatkan para aparat penegak hukum pada fungsi, tugas dan wewenangnya masing-masing dengan maksimal dan professional. Pembaruan tersebut juga dimaksudkan agar lebih memberikan kepastian hukum, memperkokoh penegakan hukum dan ketertiban hukum, serta menumbuhkan keadilan dalam masyarakat dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam Pasal 42 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), menyebutkan tentang konsepsi deponering, yaitu : “Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat”. Ketentuan tersebut kemudian selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 42 ayat (3) Rancangan Undang-Undang Hukum commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Acara Pidana (RUU KUHAP), yang menjelaskan tentang kewenangan penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan apabila : a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan; b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda; d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh puluh) tahun; dan/atau e. kerugian sudah diganti. Kemudian
pada
ayat
(4)
menyebutkan
bahwa
ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf e hanya berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Dan kemudian pada ayat (5), dalam hal penuntut umum menghentikan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penuntut umum wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Kepala Kejaksaan Tinggi setempat malalui Kepala Kejaksaan Negeri setiap bulan. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), konsepsi deponering dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang baru tersebut sangatlah berbeda. Perbedaan tersebut sangatlah mendasar, yakni pada pengertian deponering itu sendiri. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara tegas disebutkan pada Pasal 77 yang berbunyi, “Yang
dimaksud dengan
pengehentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi kewenangan Jaksa Agung”, dengan maksud bahwa terdapat pembedaan antara penghentian penuntutan dengan deponering. Pembedaan tersebut tidak dapat dijumpai pada pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara to user tentang konsepsi deponering. Pidana (RUU KUHAP) commit yang mengatur
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Konsepsi deponering dalam Rancangan Undang-Undang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) justru mengalami penyederhanaan dan/atau peleburan arti dengan penghentian penuntutan. Disebutkan dalam Pasal 42 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) bahwa dengan alasan demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu seorang penuntut umum berwenang untuk menghentingan suatu penuntutan. Dalam hal ini asas oportunitas digunakan sebagai alasan untuk menghentikan suatu penuntutan dan bukan lagi digunakan untuk menyampingkan perkara. Hal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia,
yang
menyebutkan
bahwa
kewenangan
menyampingkan perkara demi kepentingan umum adalah hanya ditangan Jaksa Agung, bukan untuk penuntut umum di setiap Kejaksaan Negeri maupun Kejaksaan Tinggi.
commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran Untuk memperjelas alur berpikir penulisan hukum (Skripsi) ini berikut digambarkan alur kerangka berpikir: Penuntutan
Asas Oportunitas
Deponering
KUHAP
JAKSA AGUNG
RUU KUHAP
STATUS TERSANGKA
Gambar. 1 Skematik Kerangka Pemikiran
commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III PEMBAHASAN
Analisis Status Tersangka yang Perkaranya Diterbitkan Deponering dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)
Mencermati kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah yang diterbitkan deponering oleh Jaksa Agung ternyata memunculkan 2 (dua) pendapat atau pandangan hukum yang saling berseberangan. Guna mempermudah pembahasan terhadap alur, berikut merupakan skematik pembahasan yang disusun oleh Penulis terhadap status hukum tersangka yang diterbitkan deponering oleh Jaksa Agung.
KASUS BIBIT - CHANDRA
DEPONERING
STATUS TERSANGKA SUDAH HAPUS SESUAI DENGAN ASAS OPORTUNITAS DAN KEMANFAATAN DEMI KEPENTINGAN UMUM
STATUS TERSANGKA MASIH ADA KARENA BELUM PERNAH DIBEBASKAN DARI PROSES PERSIDANGAN
commit to user Gambar 2. Skematik Pembahasan Status Tersangka
37
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
Berdasarkan skematik di atas, lebih jauh Penulis dapat melihat adanya 2 (dua) akibat hukum yang muncul karena adanya deponering yaitu: status hukum tersangka hilang dan status hukum tersangka masih melekat. Untuk itu Penulis mengkategorikan ke dalam dua pendapat yang berbeda tersebut. Adapun mengenai pendapat yang menyatakan bahwa status tersangka yang perkaranya diterbitkan deponering adalah orang yang dikatakan bersalah. Menurut Pengacara OC Kaligis, keputusan Kejaksaan Agung melakukan deponering tidak mengubah status tersangka bagi dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Kedua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut tetap saja menyandang status sebagai tersangka walaupun kasus tersebut tidak dibawa ke meja hijau karena Jaksa Agung telah menerbitkan deponering kasus tersebut. OC Kaligis berpendapat bahwa deponering merupakan bentuk pelaksanaan dari “opportuniteit beginsel” atau asas oportunitas yang dimiliki Jaksa Agung yang diberikan oleh undang-undang sesuai Pasal 35 huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Menurut OC Kaligis, demi kepentingan umum itu adalah untuk kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas. Namun untuk menyampingkan perkara merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. OC Kaligis mengutip pendapat Yusril Ihza Mahendra bahwa deponering merupakan wewenang, bukan mustahil keputusan deponering dapat dibatalkan, yaitu melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (http://dharisy.blogdetik.com/kaligisdeponering-tidak-mengubah-status-tersangka-bibit/, diakses tanggal 13 Agustus 2011, pukul 16.01 WIB). Pada prinsipnya lembaga deponering atau deponir diberlakukan commit user berdasarkan asas oportunitas dan to asas diskresi Jaksa Agung tanpa alasan
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
yang tidak jelas, karena tidak ada definisi yang pasti mengenai demi kepentingan umum, sehingga lembaga deponering atau deponir harus bisa diterobos demi kepentingan hukum pula. Sebagaimana pendapat beberapa hakim yang menganggap pengajuan Peninjauan Kembali oleh Penuntut Umum merupakan terobosan hukum. Beberapa alasan dapat diajukan melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah sebagai berikut: Pertama, bahwa objek sengketa pada Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (KTUN) yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata tertentu. Keputusan deponir merupakan keputusan Jaksa Agung secara administratif kenegaraan yang bersifat konkret karena berbentuk keputusan individual karena mengacu secara khusus kepada seseorang dan/atau badan hukum dan final karena hanyalah Jaksa Agung yang memiliki kewenangan tersebut. Maka dari sisi ini keputusan deponir dapat diklasifikasikan sebagai obyek sengketa. Kedua, mengacu kepada Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang menegaskan bahwa: “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini: Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan berdasarkan Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau peraturan perundang- undangan lainnya yang bersifat hukum pidana”. Lembaga deponir tidak diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya mengatur mengenai penghentian penuntutan, bukan penyampingan perkara. Sebagaimana ditegaskan di dalam commit to user Penjelasan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
(KUHAP) yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung, diatur dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pada Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terdapat kalimat, “……. atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana”. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia merupakan suatu peraturan perundangundangan yang bersifat hukum pidana? Apa yang dimaksud dengan “bersifat hukum pidana”? Sebelum dibahas lebih jauh, Penulis mencoba menjelaskan mengenai pengertian dari “bersifat hukum pidana”. Berkaitan dengan istilah “pidana”, para ahli hukum memberikan definisi yang berbeda-beda dari sisi redaksional, namun pada dasarnya memiliki kesamaan. Pidana berasal dari kata dari bahasa Belanda, yaitu straf, yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Menurut Sudarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut Sathocid Kartanegara, hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan putusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Dari uraian tersebut, maka istilah “pidana” disetarakan dengan istilah hukuman atau sanksi yang dijatuhkan kepada seseorang commit to user apa yang dimaksud dengan berdasarkan hukum pidana. Kemudian
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Hukum Pidana” itu sendiri? Menurut Pompe, bahwa yang dimaksud dengan “Hukum Pidana” adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam
dengan
suatu nestapa (pidana) barangsiapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yang menentukan syarat-syarat bagi hukum itu dan kesemuanya
aturan-aturan
untuk
mengadakan
(menjatuhi)
dan
menjalankan pidana tersebut. Dan menurut Van Hammel, bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturanaturan yang dianut oleh satu negara dalam menyelenggarakan ketertiban umum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar laranganlarangan tersebut (Moeljatno, 2000: 8). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum pidana adalah hukum yang mengatur kepentingan umum (publik). Berdasarkan
uraian
di
atas
mengenai
hubungan
keputusan deponering dengan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), serta setelah mencermati terjadinya penolakan kehadiran Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi III DPR-RI, muncul beberapa pertanyaan saat Penulis berdiskusi dengan beberapa orang rekan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah Jaksa Agung merupakan Pejabat Tata Usaha Negara? Apakah keputusan Jaksa Agung terkait deponering dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)? Jika iya, siapakah yang berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait keputusan deponering tersebut? Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lingkup peradilan di bawah naungan Mahkamah Agung. Pengaturan mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terdapat di dalam Undang-Undang commitPengadilan to user Nomor 5 Tahun 1986 tentang Tata Usaha Negara (PTUN)
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Berdasarkan ketiga undang-undang tersebut, ada beberapa definisi yang perlu diketahui terlebih dahulu. Beberapa definisi tersebut adalah: a)
Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
b)
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c)
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
d)
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan undang-undang pula, definisi mengenai
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) kemudian dibatasi sehingga tidak semua penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
dapat disengketakan atau digugat ke Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa ada 7 (tujuh) pengecualian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang tidak dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha commit to perbuatan user Negara (PTUN) yaitu: merupakan hukum perdata, merupakan
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengaturan yang bersifat umum, masih memerlukan persetujuan, dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan pidana lainnya, dikeluarkan atas hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengenai tata usaha TNI, dan keputusan KPU baik di Pusat maupun di Daerah
mengenai
hasil
Pemilu
(http://www.journal.uii.ac.id/index.php/jurnal-fakultas-hukum/article/view /1053/1786, diakses tanggal 11 Oktober 2011, pukul 00.24 WIB). Dari ketujuh pengecualian tersebut, salah satu pengecualian yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau peraturan perundang undangan lain yang bersifat hukum pidana. Sebagaimana telah diuraikan di awal, bahwa Penulis membahas mengenai
kemungkinan
mengenai deponering ke
menggugat Pengadilan
Tata
keputusan Usaha
Jaksa Negara
Agung (PTUN).
Deponering adalah salah satu kewenangan yang dimiliki Jaksa Agung untuk
menyampingkan
suatu
perkara
demi
kepentingan
umum.
Kewenangan ini berdasarkan ketentuan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung sendiri adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi pada Kejaksaan, yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan. Dalam hal ini Penulis berpendapat bahwa “Kejaksaan merupakan lembaga yang unik”. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan. Posisi Kejaksaan kemudian menjadi unik karena meskipun berstatus sebagai lembaga Pemerintahan, wewenang Kejaksaan adalah termasuk dalam bidang yudikatif. Wewenang utama Kejaksaan commit user adalah melakukan penyidikan dantopenuntutan, yang notabene merupakan
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bagian dari alur penyelesaian suatu perkara di pengadilan (kekuasaan yudikatif). Posisi yang unik ini membuat Jaksa Agung sebagai pimpinan Kejaksaan memainkan dua peranan, yaitu sebagai Pejabat Tata Usaha Negara dan juga sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman (yudisial). Jaksa Agung dapat dikatakan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara karena berdasarkan definisi dalam Undang-Undang
51 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pejabat Tata Usaha Negara adalah pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan. UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyatakan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan, sehingga Jaksa Agung dapat disebut sebagai Pejabat Tata Usaha Negara karena melaksanakan
urusan
pemerintahan.
Akibatnya
keputusan
yang
dikeluarkan Jaksa Agung juga dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu keputusan yang bersifat administratif dan keputusan yang bersifat yudisial. Keputusan yang bersifat administratif adalah ketika Jaksa Agung mengeluarkan keputusan yang termasuk dalam lingkup administrasi negara, seperti dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Jaksa. Sedangkan Keputusan Jaksa Agung yang bersifat yudisial adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung dalam hal pelaksanaan kewajiban dan wewenang Kejaksaan, seperti penyidikan, penuntutan dan juga deponering. Berdasarkan
uraian
di
atas,
Penulis
berpendapat
bahwa
deponering tidak dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena keputusan Jaksa Agung perihal penyampingan perkara demi kepentingan umum
(deponering)
merupakan
keputusan
yang
dikeluarkan untuk menjalankan wewenang Jaksa Agung di bidang yudisial, bukan di bidang administrasi negara. Jika semua keputusan Jaksa Agung dikategorikan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), maka berarti commit to user keputusan Jaksa yang menentukan berkas suatu perkara telah lengkap
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(lebih dikenal dengan istilah P-21) seharusnya juga dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini tidak sesuai dengan hukum acara pidana yang Penulis
menarik
berlaku di Indonesia. Dengan demikian
kesimpulan
bahwa
keputusan
Jaksa
Agung
perihal deponering tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena dua alasan: a)
Keputusan Jaksa Agung mengenai deponering adalah keputusan Jaksa Agung di bidang yudisial dalam hal pelaksanaan kewenangan Kejaksaan untuk melakukan atau tidak melakukan penuntutan terhadap suatu perkara pidana.
b)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 dan kemudian
diubah lagi dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 telah membatasi Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana adalah termasuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang tidak dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena merupakan keputusan yang bersifat hukum pidana. Adapun yang menyatakan bahwa status tersangka yang di deponering dinyatakan tidak bersalah. Menurut Mahfud M.D. kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah sudah selesai secara hukum setelah Jaksa Agung menandatangani dan menerbitkan deponering kasus dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu. Deponering bersifat konstitusional dan tidak mungkin dibatalkan. Ketentuan hukum beberapa negara di dunia juga terdapat deponering, yang sesuai dengan commit to user Apabila Jaksa Agung sudah asas oportunitas dan asas kemanfaatan.
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengeluarkan deponering berarti Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah tidak berstatus sebagai tersangka lagi dan kasus tersebut sudah ditutup demi kepentingan umum. Wakil Jaksa Agung Darmono juga mengatakan bahwa setelah dikeluarkan deponering terhadap Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah, status tersangka sudah hilang (http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=17416,
diakses
tanggal 13 Agustus 2011, pukul 16.15 WIB). Berdasarkan
pertimbangan
di
atas
maka
Penulis
akan
mengemukakan tentang pandangan hukum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), yaitu untuk menentukan seseorang hapus sebutan tersangka harus ada putusan pengadilan yang menyatakan bebas atau perbuatan tidak terbukti. Pendapat ini merupakan pendapat yang memedomani asas legalitas yang artinya semua kasus pidana harus diproses menurut hukum positif yang diterapkan. Dengan kebijakan hukum Jaksa Agung menerbitkan deponering terhadap kasus Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah terjadi perdebatan hangat. Dalam hal pandangan kelompok (golongan) tertentu yang mempedomani azas nullum delictum sine praevia lege poenali (semua perbuatan pidana yang ada aturan hukumnya harus diproses menurut hukum). Sedangkan pandangan publik yang mempedomani asas oportunitas yang ada dianut dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa Jaksa Agung mempunyai wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum atau menutup perkara pidana demi hukum. Kewenangan Jaksa Agung yang dapat menyampingkan perkara demi kepentingan umum dan menutup perkara demi kepentingan hukum yang diatur dalam hukum positif dinilai tidak adil dan bertentangan dengan cita-cita reformasi. Tetapi karena Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indoneisa dibuat pada masa to useradalah DPR-RI hasil Pemilu masa reformasi yang mana yangcommit menggodok
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
reformasi dan demokrasi, maka untuk itu agar kewenangan deponering tersebut tidak dapat digunakan oleh Kejaksaan. Tentu dalam hal ini DPRRI harus terlebih dahulu melakukan revisi pada Pasal 140 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dengan adanya kebijakan deponering oleh Kejaksaan (Jaksa Agung), maka perbuatan pidana Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah terhapus. Sebab dalam hal ini terjadi suatu kekuatan politik yang mewarnai kepentingan kelompok dikesampingkan kepentingan publik (solus populi supreme lex esto). Dalam terjadinya pendapat pro dan kontra tersebut antara penerapan asas legalitas dan asas oportunitas, maka publik harus mempertimbangkan tujuan hukum pidana dilahirkan supaya tidak membingungkan publik. Sebab tujuan hukum pidana jika dilihat dalam mazhab klasik, dimana hukum pidana diciptakan untuk melindungi kepentingan individu. Sedangkan dalam mazhab modern hukum pidana diciptakan untuk melindungi kepentingan publik. Serta mazhab Pancasila sebagai perwujudan yang seimbang dan serasi antara kepentingan individu dengan kepentingan publik. Tujuan kelompok penganut asas legalitas mengharapkan putusan pengadilan yang menghukum seseorang adalah merupakan suatu maksud pembalasan atas perbuatannya. Dan juga agar yang lain tidak meniru perbuatan tersebut yang mencerminkan suatu pencegahan kedepannya. Dengan demikian adanya pertimbangan mazhab Pancasila dan asas oportunitas, maka deponering dapat menghapus strafbaar feit, sebab seseorang tidak akan diproses di persidangan. Perbedaan yang mendasar didapatkan dalam Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mengenai konsepsi deponering. Konsepsi deponering dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dijelaskan secara eksplisit dalam Pasal 42 ayat (2) Rancangan commit to user Hukum Acara Pidana (RUU Undang-Undang Kitab Undang-Undang
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
KUHAP), yang berbunyi: ”Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat”. Dalam hal ini Penulis
berpendapat
bahwa
pasal
tersebut
justru
mengalami
penyederhanaan dan/atau peleburan arti antara deponering dengan penghentian penuntutan. Dalam hal ini asas oportunitas digunakan sebagai alasan untuk menghentikan suatu penuntutan dan bukan lagi digunakan untuk menyampingkan suatu perkara. Hal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia,
yang
menyebutkan
bahwa
kewenangan
menyampingkan perkara demi kepentingan umum adalah hanya ditangan Jaksa Agung, bukan untuk Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri maupun Kejaksaan Tinggi. Konsepsi pengabungan antara penghentian penuntutan dan deponering dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) merupakan suatu rencana yang akan menjadi produk dari hukum acara pidana sehingga termasuk dalam aspek pidana. Sesuai dengan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau Peraturan perundangundangan lain yang bersifat hukum pidana tidak termasuk dalam pengertian
Keputusan
Tata
Usaha
Negara.
Jadi
ketika
terjadi
penggabungan antara konsepsi penghentian penuntutan dan deponering maka itu mutlak merupakan kewenangan Kejaksaan yang termasuk dalam kewenangan pidana bukan kewenangan administratif. Dalam hal ini pejabat atau orang yang mengeluarkan keputusan commit to user mengenai konsepsi tersebut berada di bawah naungan penegak hukum,
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sedangkan sengketanya bukan termasuk dalam ranah Tata Usaha Negara (administratif) melainkan pidana. Sehingga dengan demikian sangat memperjelas silang sengkarut mengenai kewenangan Jaksa Agung dalam menyampingkan perkara demi kepentingan umum yang ternyata tidak dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena Jaksa Agung bukan merupakan Pejabat Tata Usaha Negara melainkan Pejabat yang menjalankan kekuasaan Kehakiman. Sama halnya dengan keputusan yang dikeluarkan oleh
Jaksa Agung berkenaan
dengan diterbitkannya
deponering, keputusan tersebut bukan merupakan keputusan administrasi negara melainkan keputusan yang bersifat pidana, untuk itu tidak dapat diajukan gugatan yang berkenaan dengan Tata Usaha Negara karena tidak termasuk dalam ranah Tata Usaha Negara. Setelah mencermati pro dan kontra berdasarkan pendapat para ahli di atas, Penulis dalam hal ini akan memberikan sedikit pemahaman mengenai konsepsi penghentian penuntutan dan deponering yang diatur di dalam penjelasan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: “Penghentian penuntutan yang tidak termasuk dengan penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang merupakan wewenang Jaksa Agung”. Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sangat berbeda dengan konsepsi deponering dalam Pasal 42 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang berbunyi : ”Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat”. Sesuai dengan yang telah disebutkan diatas bahwa dalam hal ini Penulis
berpendapat
bahwa
pasal
tersebut
justru
mengalami
penyederhanaan dan/atau peleburan arti antara deponering dengan penghentian penuntutan, yang menggunakan oportunitas sebagai alasan untuk menghentikan suatu penuntutan dan bukan lagi digunakan untuk menyampingkan suatu perkara. Sehinga dengan demikian terdapat commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kelebihan dan kelemahan yang terdapat di dalam Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Yang menjadi kelebihan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) adalah semakin memperjelas mengenai pengaturan konsepsi deponering yang merupakan produk dari hukum pidana dan/atau hukum acara pidana, maka tidak dapat diajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara karena terdapat pengecualian di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan kemudian diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Di satu sisi juga terdapat kelemahan yang mengakibatkan kewenangan yang tumpang tindih antara Jaksa Agung dan Penuntut Umum yang bertentangan dengan Pasal 35 huruf c UndangUndang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa kewenangan menyampingkan perkara demi kepentingan umum adalah hanya ditangan Jaksa Agung, bukan untuk penuntut umum pada Kejaksaan Negeri maupun Kejaksaan Tinggi. Dengan demikian Penulis berpendapat bahwa pasal tersebut seolah-olah memberikan ruang atau kesempatan bagi para Penuntut Umum untuk melakukan penghentian dan/atau penyampingan suatu perkara demi kepentingan umum, yang kemudian dikhawatirkan akan muncul tindakan yang sewenang-wenang dari Penuntut Umum perihal kewenangan yang diberikan kepadanya tersebut, yang pada akhirnya juga akan berpengaruh dalam penetapan status seorang tersangka, apakah masih menyangdang status tersebut atau tidak setelah perkaranya dihentikan dan/atau dikesampingkan oleh Penuntut Umum.
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hal-hal
yang telah diuraikan
di dalam bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa terhadap status tersangka yang perkaranya diterbitkan deponering dalam perspektif Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), terdapat beberapa pendapat yang memunculkan 2 (dua) pendapat atau pandangan hukum yang saling berseberangan yaitu: status hukum tersangka hilang dan status hukum tersangka masih melekat. Setelah mencermati pro dan kontra berdasarkan pendapat para ahli di atas, Penulis dalam hal ini memberikan sedikit pemahaman mengenai konsepsi penghentian penuntutan dan deponering yang diatur di dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur tentang penghentian penuntutan yang tidak termasuk dalam penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang merupakan wewenang Jaksa Agung. Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut sangat berbeda dengan konsepsi deponering dalam Pasal 42 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang berbunyi: ”Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat”. Dalam hal ini Penulis berpendapat bahwa pasal tersebut justru mengalami penyederhanaan dan/atau peleburan arti antara deponering dengan penghentian penuntutan. Dalam hal ini asas oportunitas digunakan sebagai alasan untuk menghentikan suatu penuntutan dan bukan lagi digunakan untuk menyampingkan suatu perkara. Sehinga dengan demikian commit to user
51
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terdapat kelebihan dan kelemahan di dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Kelebihan dari Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) adalah semakin memperjelas mengenai pengaturan konsepsi deponering yang merupakan produk dari hukum acara pidana maka tidak dapat diajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena terdapat pengecualian di dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yang berbunyi: “Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana”. Sedangkan kelemahan dari Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) adalah mengakibatkan kewenangan yang tumpang tindih antara Jaksa Agung dan Penuntut Umum yang bertentangan dengan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa kewenangan menyampingkan perkara demi kepentingan umum adalah hanya ditangan Jaksa Agung, bukan untuk penuntut umum pada Kejaksaan Negeri maupun Kejaksaan Tinggi. Penulis berpendapat bahwa pasal tersebut seolah-olah memberikan keleluasaan bagi para Penuntut Umum untuk menghentikan dan/atau menyampingkan suatu perkara demi kepentingan umum. Hal tersebut juga akan berpengaruh dalam penetapan status tersangka pada akhirnya, apakah masih menyangdang status tersebut atau tidak setelah perkaranya dihentikan dan/atau dikesampingkan oleh Penuntut Umum. commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Saran Berdasarkan simpulan maka, saran yang dapat disampaikan Penulis adalah sebagai berikut : 1. Konsepsi penghentian penuntutan dan deponering yang tertuang dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seharusnya perlu pengaturan yang lebih jelas sehingga tidak menimbulkan banyak penafsiran hukum yang dilakukan oleh para ahli sehingga dengan demikian tidak terdapat celah hukum lagi. 2. Perlu adanya sedikit perubahan mengenai pengaturan dalam Pasal 42 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang berbunyi: ”Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan umum dan/atau dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat” karena jika tidak diubah maka akan bertentangan dengan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia,
yang
menyebutkan
bahwa
kewenangan
menyampingkan perkara demi kepentingan umum adalah hanya ditangan Jaksa Agung, bukan untuk penuntut umum di setiap Kejaksaan Negeri maupun Kejaksaan Tinggi, sehingga pasal tersebut seolah-olah memberikan keleluasaan bagi para Penuntut Umum untuk menghentikan
dan/atau
menyampingkan
suatu
perkara
demi
kepentingan umum, yang kemudian dikhawatirkan akan muncul tindakan yang sewenang-wenang dari Penuntut Umum perihal kewenangan yang diberikan kepadanya tersebut.Sedangkan dalam, Penulis
berpendapat
bahwa
pasal
tersebut
justru
mengalami
penyederhanaan dan/atau peleburan arti antara deponering dengan penghentian penuntutan. 3. Perlu diperjelas kembali mengenai pengertian “kepentingan umum” dalam konsepsi deponering, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 commit toIndonesia user tentang Kejaksaan Republik maupun dalam Rancangan
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) agar tidak terjadi salah penafsiran dalam penerapan asas oportunitas pada saat akan menyampingkan suatu perkara. 4. Permasalahan di atas diharapkan dapat diselesaikan dalam Revisi atas Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang saat ini sedang disusun oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dalam Rancangan UndangUndang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tersebut terdapat hal baru mengenai kewenangan melakukan penyampingan perkara (deponering) yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Pengaturan mengenai deponering tersebut diatur dalam Pasal 42 ayat (2) Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA Agus Budi Susilo, Kontrol Yuridis PTUN dalam Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara di Tingkat Daerah, Jurnal Hukum Vol. 14 No. 1, http://www.journal.uii.ac.id/index.php/jurnal-fakultashukum/article/view/1053/1786 (diakses tanggal 11 Oktober 2011, pukul 00.24 WIB). Andi Hamzah. 2005. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Yarsif Watampone. ___________. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika. A.Z. Abidin. 1983. Bunga Rampai Hukum Pidana. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. http://dharisy.blogdetik.com/kaligis-deponering-tidak-mengubah-status-tersangkabibit/ (diakses tanggal 13 Agustus 2011, pukul 16.01 WIB). http://hukum.kompasiana.com/2011/02/08/deponir-kasus-bibit-–-chandratinjauan-praksis-yuridis-kepentingan-umum-etika/ (diakses tanggal 11 Mei 2011, pukul 19.15 WIB) http://www.detiknews.com/read/2010/10/11/193948/1461645/158/jimlydeponering-keputusan-one-for-all-kasus-bibit-chandra?nd991103605 (diakses tanggal 13 Agustus 2011, pukul 15.48 WIB). http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=17416 (diakses tanggal 13 Agustus 2011, pukul 16.15 WIB). Johny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi). Malang: Bayumedia Publishing. Leden Marpaung. 2009. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan) Bagian Pertama Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Liu Meixiang, Determination of The Criminal Suspect, Cass Journal of Law, http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-LAWS 200302005.htm, (diakses tanggal 11 Oktober 2011, pukul 00.38 WIB). Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta. commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
________. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Muhammad Yahya Arwiyah. Deponir Kasus Bibit-Chandra (Tinjauan PraksisYuridis-Kepentingan Umum-Etika. http://hukum.kompasiana.com/2011/02/08/deponir-kasus-bibit-–-chandratinjauan-praksis-yuridis-kepentingan-umum-etika/ (diakses tanggal 11 Mei 2011, pukul 19.15 WIB). M. Karjadi dan R. Soesilo. 1988. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar (serta Peraturan Pemerintah R.I. No.27 tahun 1983 tentang pelaksanaannya). Bogor: Politeia. M. Rasyid Ariman, Kontroversi Asas Legalitas, Jurnal Equality Vol. 11 No. 1, http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/15237 (diakses tanggal 10 Oktober 2011, pukul 19.35 WIB). M. Yahya Harahap. 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Nyoman Serikat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Oemar Seno Adji. 1980. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir. 1990. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru. Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana Tahun Anggaran 2006. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas Dalam Hukum Acara Pidana. http://www.scribd.com/doc/52386724/ASAS-OPURTINITAS (diakses tanggal 12 Mei 2011, pukul 19.14 WIB). commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara.
commit to user