KAJIAN RUMPUT LAUT EUCHEMA COTONII SEBAGAI SUMBER SERAT ALTERNATIF MINUMAN CENDOL INSTAN
UBAEDILLAH
s
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : “Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan” adalah karya saya sendiri dengan pengarahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Hasil penelitian atau gambar boleh dikutip untuk kepentingan non komersial dengan menyebutkan sumbernya.
Bogor,
Februari 2008
Ubaedillah F051050031
ii
RINGKASAN
UBAEDILLAH. Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan. Dibimbing oleh USMAN AHMAD dan SANTOSO.
Serat pangan (Dietary fiber) seringkali identik dengan produk sayuran yang segar. Manfaat serat dapat diperoleh juga melalui produk olahan yang mengandung bahan dasar rumput laut. Dalam produk makanan, rumput laut seringkali digunakan sebagai alternatif bahan yang menguntungkan dan dapat meningkatkan nilai gizi. Penambahan rumput laut sebagai sumber serat akan mampu meningkatkan nilai jual es cendol yang telah dikenal masyarakat dari sisi cita rasa dan pada kandungan seratnya juga sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber serat pangan (dietary fiber) alternatif. Rumput laut Euchema cotonii yang digunakan dalam penelitian ini memiliki komposisi kimia; kadar air 96,12%, kadar lemak 1,55%, protein 20,10%, abu 6,96%, karbohidrat 71,39%, serat pangan larut 15,46%, serat pangan tak larut 38,96%, serat pangan total 54,38%, dan iodium 55,46 µg/g. Dengan demikian, rumput laut Euchema cotonii dapat digunakan sebagai sumber serat dalam cendol instan. Selain sebagai sumber serat, Euchema cotonii dapat juga digunakan sebagai sumber iodium. Komposisi rumput laut Euchema cotonii dalam cendol paling disukai pada taraf 20% (formula C). Komposisi formula C dalam 100 gram bahan cendol yaitu rumput laut 20 gram, tepung hunkwee 53,4 gram, tepung beras 26,7 gram, dan larutan daun suji 70 ml. Berdasarkan uji kesukaan, komposisi tersebut paling disukai oleh panelis sehingga diharapkan sesuai juga dengan selera konsumen. Kadar serat pangan total cendol formula B yaitu 17,40%, sedangkan serat pangan total formula C yaitu 18,68%. Jika dalam satu takaran saji cendol instan adalah sebanyak 20 gram maka jumlah serat yang dikonsumsi untuk cendol formula B adalah 3,48 gram dan untuk formula C adalah 3,74 gram. Apabila dalam satu hari diasumsikan diminum sebanyak tiga kali maka jumlah asupan serat pangannya adalah 10,44 gram per hari untuk formula B dan 11,22 gram per hari untuk formula C. Dengan mengkonsumsi cendol instan setiap hari diharapkan dapat memenuhi sebagian kebutuhan serat pangan setiap hari. Kandungan iodium cendol rumput laut formula B cukup tinggi yaitu 9,01 µg/g dan untuk formula C yaitu 9,31 µg/g. Untuk anak-anak usia 4-6 tahun membutuhkan iodium 100 µg perhari, dianjurkan untuk mengkonsumsi cendol rumput laut formula B sebanyak 11 gram per hari atau 10 gram untuk cendol formula C. Untuk orang dewasa (10-<60 tahun) dengan kebutuhan iodium 150 µg per hari, dianjurkan untuk mengkonsumsi sebanyak 17 gram cendol rumput laut formula B atau 16 gram formula C. Selain sebagai sumber serat, cendol instan ini dapat dijadikan sebagai sumber iodium untuk mencegah GAKI. Cendol rumput laut kering formula B dan formula C yang diuji dalam kondisi siap saji dinilai oleh panelis lebih baik pada parameter warna dengan warna hijau terang, sedangkan parameter aroma, rasa, dan tekstur masih kalah dibandingkan dengan cendol komersil.
iii
ABSTRACT UBAEDILLAH. Study on Seaweed Euchema cotonii as Alternatif Sources of Dietary Fiber on Instant Cendol. Under the Supervision of USMAN AHMAD and SANTOSO.
Dietary fiber have fungsional effect to human health, for example it can be used to decrease cholesteroleomic, to prevent constipation and diverticulosis,as well as to prevent degeneratif desease. Dietary fiber from seaweed (Euchema cotonii) are usually consumed as food product (processed), for instant seaweed tangkue, noodles, putu ayu, donut, and other products with seaweed added. The objectives of this research were to study the advantage of seaweed as sources of dietary fiber, to obtain the optimum composition for instant cendol, and to observe the product instant cendol. This researh was began with blending of seaweed, formulation of cendol (A, B, C, D, E, and F with 0%, 10%, 20%, 30%, 40%, and 50% seaweed respectively), freeze drying, analyze for chemical and physical characterictic of instant cendol, organoleptic analyze (hedonic and pairs). The result showed that porridge of seaweed have total dietary fiber 54,38% (db), iodium 55,46 µg/g (db). Organoleptic score significantly different for formula B on colour 7,7 and for formula C 6,65 on texture. Formula C seaweed cendol has a total dietary fiber higher than formula B and control. Total dietary fiber for formula C was 18,68%, for formula B 17,40%, and for control 15,04%. If compared with comercial cendol,colour of instant cendol showed better result than commercial one, but odour, taste, and texture were inferior than commercial one. Keywords: dietary fiber, organoleptic, formulation, cendol
iv
KAJIAN RUMPUT LAUT EUCHEMA COTONII SEBAGAI SUMBER SERAT ALTERNATIF MINUMAN CENDOL INSTAN
UBAEDILLAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
v
Judul Tesis
: Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan
Nama
: Ubaedillah
NRP
: F051050031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr. Ketua
Ir. Santoso, MPhill. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Pascapanen
Dr. Ir. Wayan Budiastra, MAgr.
Tanggal Ujian : 28 Januari 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
vi
PRAKATA Puji sukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan karya ilimiah ini. Karya ilmiah ini merupakan sebagian kecil dari nikmat dan kasih sayang-Nya yang diberikan kepada penulis. Judul yang dipilih karya ilimiah ini adalah “Kajian Rumput Laut Euchema cotonii Sebagai Sumber Serat Alternatif Minuman Cendol Instan”. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda Abdul Muttholib, Ibunda Daro’ah, Kang Toni, Aisyah, Munji, Imah yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan do’a. Ade Iis, Himah, Alif, dan Inu membuat penulis ter-support untuk menyelesaikan kuliah dan karya ilmiah ini dengan sebaik-baiknya. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Usman Ahmad, MAgr dan Ir. Santoso, Mphill yang telah bersedia memberikan bimbingan dan arahan yang sangat bermanfaat untuk pengembangan wawasan penulis Dr. Ir. Rohani Hasbullah, Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bu Rina dan Balai Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BP2HP) Jakarta atas proyek penelitian yang diberikan. Mba Yulia yang selalu memberi dukungan dari awal studi dan pendapatnya yang berarti, Pa Yaden yang selalu sabar, Pa Joko, Bu Pia, rekan-rekan seperjuangan di Teknologi Pascapanen; Tika, Eci, Nuni, Faidah, mba Dewi, Bayu, Adnan, Kemala, Eni, Deva (klito), Venty, dan Etha. Tak lupa juga penulis menghargai semua dukungan dari Dias Marchi dan rekan-rekan pengajar di SMAIPB-Soedirman, Cijantung, Neng Ima, Dul Majid, dan Dol Cebannya sebagai jalan rezeki. Dengan kerendahan hati, semoga karya ilmiah ini memberi manfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor,
Februari 2008
Ubaedillah
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Indramayu pada Tanggal 16 Agustus 1982. Anak ke lima dari sembilan bersudara dari ayahanda Abdul muttholib dan ibunda Daro’ah. Penulis merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut pertanian Bogor pada Tahun 2004. Pada Tahun 2005, penulis melanjutkan studinya di Teknologi Pascapanen, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada Tahun 2008. Selama kuliah, penulis aktif dalam kegiatan pendidikan terutama memberikan asistensi untuk mata kuliah Akuntansi, Manajemen Keuangan, Pembiayaan Perusahaan, Kewirausahaan, dan Tata Niaga di Departemen Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB. Selain itu, penulis juga mengajar Ekonomi dan Manajemen di SMU Islam PB Sudirman, Cijantung dan SMUN 5 Bogor. Selain aktif dalam bidang pendidikan, penulis juga bekerja pada Konsultan Adi Jaya, Bogor, dan membuka usaha penjualan peralatan (Dol Ceban) yang merupakan bagian dari perjuangan hidup unforgettable.
viii
DAFTAR ISI halaman Ringkasan ...................................................................................................... iii Abstract .......................................................................................................... iv Kata Pengantar ............................................................................................. vii Prakata ........................................................................................................... vii Daftara Isi ...................................................................................................... ix Daftar Tabel .................................................................................................. xi Daftar Gambar .............................................................................................. xii Daftar Lampiran ........................................................................................... xiv PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 Tujuan ............................................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4 Cendol .............................................................................................................. 4 Rumput Laut ................................................................................................... 5 Komposisi Kimia Euchema cotonii ................................................................ 7 Serat Pangan (Dietary fiber) ........................................................................... 8 Tepung Beras .................................................................................................. 11 Tepung Hunkwee ............................................................................................ 12 Pengeringan Beku (Freeze Drying) ................................................................ 14
METODE PENELITIAN ............................................................................. 17 Waktu Penelitian ............................................................................................. 17 Bahan dan Alat................................................................................................. 17 Metode Penelitian ........................................................................................... 18 Analisis Data ................................................................................................... 20 Analisis Daya Serap Air ................................................................................. 23 Sifat Kimia Cendol Rumput Laut Euchema cotonii ....................................... 24
ix
Total Mikroba ................................................................................................. 29 Uji Organoleptik ............................................................................................. 30 Analisis Ekonomi ............................................................................................ 31
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 34 Pembuatan Bubur Rumput Laut ..................................................................... 34 Formulasi Cendol Rumput Laut ..................................................................... 37 Pengeringan Beku (Freeze drying) Cendol Rumput Laut .............................. 46 Pembekuan Cendol rumput Laut .............................................................. 47 Pengeringan Cendol rumput Laut ............................................................. 49 Analisis Cendol Rumput Laut Instan .............................................................. 50 Analisis Proksimat .................................................................................... 52 Serat Pangan (dietary fiber) ...................................................................... 57 Iodium ....................................................................................................... 59 Analisis Daya Serap Air ........................................................................... 62 Analisis Mikrobiologi (Total Plate Count) ............................................... 64 Uji Organoleptik (Perbandingan Pasangan) ............................................. 65 Analisis Ekonomi ............................................................................................ 70
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 72 Simpulan ......................................................................................................... 72 Saran ............................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 74
LAMPIRAN ................................................................................................... 79
x
DAFTAR TABEL No
halaman
1. Produksi rumput laut di Indonesia Tahun 2000-2004 .............................. 1 2. Komposisi kimia Euchema cotonii .......................................................... 8 3. Komposisi kimia tepung beras ................................................................. 11 4. Kandungan gizi dan kecambah kacang hijau ........................................... 13 5. Komposisi tepung hunkwee ..................................................................... 13 6. Perbedaan metode dan mutu produk antara pengeringan beku dan pengeringan konvensional ................................................................. 16 7. Kriteria Uji Kesukaan .............................................................................. 30 8. Kriteria Uji Perbandingan Pasangan ........................................................ 31 9. Komposisi kimia Bubur Rumput Laut Euchema cotonii ......................... 36 10. Komposisi Kimia Rumput Laut Euchema cotonii Segar ......................... 37 11. Komposisi Formulasi Cendol Rumput Laut ........................................... 39 12. Komposisi Gizi Cendol Rumput Laut Kering (bk) ................................. 52 13. Kebutuhan Iodium Menurut Kelompok Umur ......................................... 61 14. Analisis Ekonomi Usaha Cendol Rumput Laut Instan ............................ 70
xi
DAFTAR GAMBAR No
halaman
1.
Klasifikasi Rumput Laut dan Hasil Produksinya .................................... 5
2.
Keterkaitan Antara Dinding Sel Tanaman dan Serat Pangan ................. 8
3.
Diagram Fase Air .................................................................................... 16
4.
Freeze Dryer Skala Laboratorium ........................................................... 17
5.
Alur Pembuatan Cendol Instant .............................................................. 21
6.
Diagram Alir Penelitian .......................................................................... 22
7.
Alur Penghilangan Bau Amis dan Pembuatan Bubur Rumput Laut ....... 23
8.
Rumput Laut Euchema cotonii Kering .................................................... 34
9.
Bubur Rumput Laut Euchemaa cotonii .................................................... 36
10. Pencetakan Cendol Rumput Laut ............................................................ 38 11. Penampilan Enam Jenis Formulasi Cendol Rumput Laut ....................... 40 12. Histogram Nilai Organoleptik Cendol Rumput Laut .............................. 40 13. Histogram Hasil Uji Warna Formula Cendol Rumput Laut ................... 41 14. Histogram Hasil Uji Aroma Formula Cendol Rumput Laut ................... 43 15. Hasil Uji Rasa Formula Cendol Rumput Laut ........................................ 44 16. Hasil Uji Tekstur Formula Cendol Rumput Laut .................................... 45 17. Cendol Rumput Laut Beku ...................................................................... 48 18. Grafik Pergerakan Fraksi Air Pengeringan Beku Buah Durian .............. 50 19. Penampakan Cendol Rumput Laut Setelah Freeze Dry .......................... 51 20. Kadar Air Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol. .. 53 21. Kadar Protein (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ........................................................................... 54 22. Kadar Lemak (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ........................................................................... 55 23. Kadar Abu (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ........................................................................... 55 24. Kadar Karbohidrat (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ........................................................................... 57 25. Kadar Serat Pangan (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ........................................................................... 58 26. Kadar Iodium (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol ........................................................................... 60
xii
27. Penampakan Rongga-Rongga Cendol Rumput Laut Kering .................. 64 28. Cendol Rumput Laut Formula B (kiri), Cendol Komersil (tengah), dan Cendol Rumput Laut Formula C (kiri) ............................................. 66 29. Hasil Uji Perbandingan Pasangan Cendol Rumput Laut Formula B ...... 67 30. Hasil Uji Perbandingan Pasangan Cendol Rumput Laut Formula C ...... 67
xiii
DAFTAR LAMPIRAN No
halaman
1. Score Sheet Cendol Rumput Laut Euchema cotonii ................................ 79 2. Lembar Isian Uji Perbandingan Pasangan ............................................... 81 3. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Warna Cendol Rumput Laut .................. 82 4. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Aroma Cendol Rumput Laut ................. 82 5. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Rasa Cendol Rumput Laut .................... 83 6. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tekstur Cendol Rumput Laut ................ 83 7. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Kadar Air Cendol Rumput Laut ............ 84 8. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Lemak Cendol Rumput Laut ................. 84 9. Analisis Ragam Protein Cendol Rumput Laut ........................................ 84 10. Analisis Ragam Abu Cendol Rumput Laut ............................................. 84 11. Analisis Ragam Karbohidrat Cendol Rumput Laut ................................ 85 12. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Serat Pangan Larut Cendol Rumput Laut ................................................................................ 85 13. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Serat Pangan tak Larut Cendol Rumput Laut ................................................................................ 85 14. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Serat Pangan Total Cendol Rumput Laut ................................................................................ 86 15. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Iodium Cendol Rumput Laut ................. 86 16. Asumsi Dasar Analisis Ekonomi Usaha Cendol Instan ........................... 87 17. Biaya Variabel Usaha Cendol Instan ....................................................... 88 18. Uraian Pemakaian Biaya Listrik .............................................................. 88 19. Biaya Tetap Usaha Cendol Instan ............................................................ 89 20. Cash Flow Usaha Cendol Instan .............................................................. 90 21. Gambar Prinsip Mesin Pengering Beku ................................................... 92
xiv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia, rumput laut secara luas dimanfaatkan dalam industri kembang gula, kosmetik, es krim, media cita rasa, roti, saus, sutera, pengalengan ikan dan daging, obat-obatan dan lainnya (Winarno, 1990). Komposisi utama rumput laut yang dapat digunakan sebagai bahan pangan adalah karbohidrat, abu, serat pangan, dan sebagian kecil lemak dan protein. Hasil penelitian Chaidir (2007) menunjukkan kadar karbohidrat pada rumput laut Euchema cotonii yang direndam dalam air tawar selama 9 jam adalah 75,36% bk, abu 18% bk, lemak 3,39% bk, protein 0,43% bk dan serat pangan total 9,62% bb. Serat pangan (dietary fiber) adalah suatau karbohidrat kompleks di dalam bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Dietary fiber merupakan komponen dari jaringan tanaman tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat tersebut banyak berasal dari dinding sel sayuran dan buah-buahan. Secara kimia dinding sel tersebut tersusun dari beberapa karbohidrat, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan nonkarbohidrat seperti polimer lignin, beberapa gumi, dan mucilage (Astawan et al., 2004). Tabel 1. Produksi Rumput Laut di Indonesia Tahun 1999-2004 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber : Biro Pusat Statistik, 2005.
Volume (ton) 133.720 212.478 223.080 231.927 397.967
Serat pangan (dietary fiber) memiliki efek fungsional yang menguntungkan bagi kesehatan manusia, diantaranya dapat menurunkan kolesterol darah, memperbaiki fungsi-fungsi pencernaan, dan mencegah berbagai penyakit degeneratif (Astawan et al., 2004). Selain serat, rumput laut juga mengandung iodium yang merupakan elemen penting dalam pencegahan penyakit gondok. Di Jepang, satu dari satu juta penduduk yang terkena penyakit gondok, sedangkan di Indonesia sebanyak 12 juta dari 160 juta penduduk yang terserang penyakit gondok (8%). Jarangnya
1
kasus gondok di Jepang mungkin disebabkan oleh kegemaran masyarakat Jepang mengkonsumsi rumput laut, terutama kombu (Laminaria aparuca) dan L. religosa. Penelitian
Hunninghake
et
al.,
(1994),
pasien
yang
menderita
hiperkolesterolemia setelah diberi serat sebanyak 20 gram/hari, total kolesterol, LDL, serta rasio LDL-HDL plasmanya menunjukkan penurunan masing-masing 6%, 8%, dan 8%. Komponen LDL merupakan kolesterol yang berpotensi menimbulkan penyakit jantung koroner. Serat pangan (dietary fiber) memberikan efek fisiologis dan metabolis karena sifatnya mampu larut dalam air, kemampuan mengikat air (water holding capacity), viskositas, kemampuan mengikat molekul organik dan inorganik, dan daya cerna atau daya fermentasinya oleh bakteri (Groff dan Gropper, 1999). Karena sifat-sifat tersebut serat pangan dapat memperlambat penurunan makanan dalam pencernaan, mengurangi pencampuran nutrisi makanan dengan enzim pencernaan dan menurunkan aktifitas enzim dalam mencerna makanan. Dietary fiber seringkali identik dengan produk sayuran yang segar. Manfaat serat dapat diperoleh juga melalui produk olahan yang mengandung bahan dasar rumput laut. Dalam produk makanan, rumput laut seringkali digunakan sebagai alternatif bahan yang menguntungkan dan dapat meningkatkan nilai gizi. Penelitian Astawan et al., (2004) menunjukkan bahwa penambahan 30% rumput laut pada kue putu ayu, 30% pada kue centik manis, 30% pada kue lumpur, dan 40% pada kue donat masih dapat diterima oleh panelis, baik dari rasa, tekstur, warna, dan aroma. Selain serat, kandungan iodium dalam rumput laut terbukti dapat meningkatkan jumlah sel neuron otak kiri anak sehingga dapat meningkatkan kemampuan belajar (kecerdasan). Selain dalam bentuk makanan, serat pangan banyak dijumpai juga dalam bentuk cair (minuman) yang banyak dijual dalam berbagai merk dengan sumber serat yang bermacam-macam. Chaidir (2007) telah melakukan penelitian terhadap minuman berserat dengan sumber serat berasal dari rumput laut. Penambahan tepung rumput laut Euchema cotonii 48,7% dalam bahan minuman berserat, dapat meningkatkan kadar serat pangan (total dietary fiber) menjadi 41,8% yang terdiri dari serat pangan larut 36,1% dan serat pangan tidak larut 5,7%, yang berarti bahwa setiap gram minuman serat mengandung 0,42 gram serat pangan total.
2
Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi serat memacu industri makanan dan minuman untuk melakukan diversifikasi produk dengan produk intinya berupa serat pangan (dietary fiber) dalam bentuk instan. Produk instan merupakan tuntutan konsumen masa kini yang dituntut serba cepat dan tidak merepotkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk diversifikasi produk minuman berserat adalah melalui produk cendol instant. Cendol rumput laut merupakan minuman yang disajikan dengan komposisi tertentu rumput laut sebagai sumber serat (dietary fiber) dilengkapi cairan pati dan gula merah. Cendol yang ada saat ini umumnya berbahan dasar dari tepung beras, tepung hunkwee, atau tepung sagu. Produk ini hampir selalu ada di seluruh Wilayah Indonesia, bahkan di Malaysia karena rasanya yang enak dan teksturnya yang lembut sehingga disukai oleh berbagai lapisan masyarakat. Penambahan rumput laut sebagai sumber serat diharapkan akan mampu meningkatkan nilai jual cendol yang dikenal masyarakat dari sisi cita rasa dan pada kandungan seratnya sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber serat pangan (dietary fiber) alternatif. 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan rumput laut sebagai sumber serat pada minuman cendol instan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menemukan komposisi optimum rumput laut Euchema cotonii dan bahan-bahan lainnya dalam pembuatan minuman berserat cendol instan dan mengkaji minuman berserat yang dihasilkan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cendol Cendol merupakan salah satu makanan tradisional dengan bahan baku berasal dari sumber lokal, diolah menurut resep setempat dan sesuai dengan selera masyarakat. Menurut Rungkat et al., (2001), pengertian pangan tradisional meliputi bahan baku dan produk pangan serta minuman yang dibuat dari bahan yang tersedia di Indonesia dan sudah dikenal dan digunakan semenjak dahulu. Berbagai jenis pangan tradisional diketahui secara empiris mempunyai khasiat terhadap kesehatan baik sebagai pencegah penyakit maupun sebagai penyembuh atau sebagai pangan fungsional. Potensi makanan tradisional digunakan sebagai pangan fungsional cukup besar karena berbagai hasil penelitian mulai menghasilkan data ilmiah mengenai khasiat makanan tradisonal, baik khasiat bahan-bahan baku maupun produk-produk jadi. Bahan-bahan baku yang telah diteliti khasitanya meliputi rempah-rempah, sayuran, buah-buahan, rumput laut, kacang-kacangan, dan sebagainya. Menurut Candraningsih (1997), cendol merupakan salah satu jenis makanan tradisonal Indonesia yang bahan baku utamanya berupa padi-padian dan kacangkacangan, yang sudah dikenal dan digemari secara luas di Indonesia. Cendol memiliki tekstur yang kenyal dan umumnya berwarna hijau. Cendol terbentuk sebagai akibat dari proses gelatinisasi pati. Dalam 100 gram cendol yang terbuat dari dari campuran tepung beras dan tepung tapioka mengandung energi 95,08 Kkal, karbohidrat 8,25 gr, protein 1,21 gr, dan lemak 6,44 gr (Anonymousa, 2001). Menurut Santoso (2000), dalam proses pembuatan cendol, tepung hunkwe atau tepung beras ditambah dengan pewarna hijau dan air, dimasak sampai kekentalan tertentu kemudian dicetak dengan cetakan cendol. Terdapat dua jenis cendol siap pakai yang ada dipasaran yaitu cendol tepung hunkwee dan cendol tepung beras. Cendol tepung hunkwee berwarna hijau terang dan kenyal, sedangkan cendol tepung beras berwarna hijau gelap dan empuk. Cendol siap pakai dijual dalam kemasan plastik dan direndam dalam air agar setiap butiran tidak lengket satu sama lainnya. Cendol pada umumnya memiliki aroma segar yang berasal dari daun suji atau daun pandan (Anonymousa, 2001).
4
2.2. Rumput Laut Rumput laut merupakan tanaman tingkat rendah yang tidak memiliki perbedaaan susunan kerangka akar, batang, dan daun. Meskipun wujudnya tampak seperti ada perbedaan, bentuk yang sesungguhnya hanya berupa thalus. Rumput laut termasuk ke dalam jenis alga. Secara umum, alga dikelompokkan dalam empat kelas yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga hijau-biru (Cyanophyceae), alga coklat (Phaecophyceae), dan alga merah (Rhodophyceae). Alga coklat dan alga merah memiliki habitat di laut dan lebih banyak dikenal sebagai rumput laut atau seaweed. Klasisfikasi rumput laut dan hasil produksinya dapat dilihat pada Gambar 1 (Winarno, 1990).
Chlorophyceae (Alga hijau)
Kelas :
Cyanophyceae (Alga hijau-biru)
Rumput laut
Phaecophyceae (Alga coklat)
Rhodophyceae (Alga merah) Genus :
Gracilaria Gelidium
Chondrus Euchema Gigartina
Furcellaria
Ascophyllum laminaria Macrocystis
Produksi :
Agar-agar Carragenan
Furcellaran
Algin (alginat)
Gambar 1. Klasifikasi Rumput Laut dan Hasil Produksinya (Winarno, 1985 dalam Winarno 1990).
5
Rumput laut tumbuh dengan menempel baik pada karang mati, atau cangkang moluska agar dapat tahan terhadap terpaan ombak. Selain memerlukan tempat menempel, rumput laut juga memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis. Sinar matahari yang masuk dan diserap tergantung kejernihan air laut. Jenis Chlorophyceae umumnya tumbuh lebih dekat dengan pantai, lebih ke tengah lagi Phaecophyceae, dan jenis Rhodophyceae hidup di laut yang lebih dalam (Indriani dan Sumiarsih, 1991). Proses fotosintesis rumput laut tidak hanya dibantu oleh sinar matahari, tetapi juga dipengaruhi oleh ketersediaan zat hara dalam air sekelilingnya. Zat hara yang ada di laut masih mencukupi untuk kehidupan rumput laut karena adanya sirkulasi yang baik, run-off dari darat, dan gerakan air. Namun demikian, hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya rumput laut adalah kondisi cemaran air laut. Rumput laut dapat meneyerap logam berat seperti Pb dan Hg yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Zat hara yang tersedia diserap melalui seluruh bagian tanaman. Selain menyediakan zat hara, gerakan air laut juga membantu memudahkan rumput laut membersihkan kotoran yang menempel, dan melangsungkan proses pertukaran CO2 dengan O2, sehingga kebutuhan oksigen dapat terpenuhi. Arus yang baik untuk pertumbuhan rumput laut adalah antara 20-40 cm/detik atau jika bergelombang tingginya tidak lebih dari 30 cm (Indriani dan Sumiarsih, 1991). Selain faktor zat hara dan sinar matahari, pertumbuhan rumput laut juga dipengaruhi oleh salinitas (kadar garam) dan temperatur. Berdasarkan salinitasnya, terdapat dua golongan rumput laut yaitu stenohalin yang dapat tumbuh dan berkembang biak pada perairan dengan kisaran salinitas yang sempit, dan euryhalin yang dapat tumbuh dan berkembang biak di perairan dengan kisaran salinitas yang luas. Temperatur yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar antara 20-28oC. Walaupun demikian, ada beberapa jenis rumput laut yang dapat hidup di luar kisaran tersebut, seperti Phorphyra, Furcellaran, Chondrus, dan Laminaria (Indriani dan Sumiarsih, 1991). Terdapat dua kelompok rumput laut yang telah menjadi komoditas budidaya bernilai ekonomi, yaitu Gracilaria spp. dan Eucheuma spp. Kedua rumpun ini telah berhasil dibudidayakan dan telah diperdagangkan secara luas karena dibutuhkan dalam jumlah besar sebagai bahan baku industri. Menurut Winarno (1990), terdapat
6
beberapa jenis rumput laut di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis sesuai dengan hasil ekstraksinya, antara lain Gracilaria Sp, Gelidium, Gelidiopsis, dan Hypnea yang merupakan rumput laut penghasil agar-agar (agarophyte), Euchema spinosum, E. cotonii, dan E. striatum merupakan rumput laut penghasil karagenan (Carragenophyt), Sargassum, Marcocystis, dan Lessonia merupakan rumput laut penghasil algin. Rumput laut jenis Euchema cotonii yang merupakan bagian dari ganggang merah, merupakan jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Euchema cotonii tumbuh di berbagai wilayah, antara lain Teluk Banten, Kepulauan Seribu, perairan Sulawesi, perairan Nusa Penida, Bali, dan perairan Pelabuhan Ratu (Atmaja et al., 1995). Atmaja et al., (1995) menambahkan, rumput laut jenis ini umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional, sebagai komoditas ekspor dan bahan baku industri penghasil karagenan. Karagenan yang dihasilkan adalah tipe kappa karagenan. Oleh karena itu jenis ini secara taknsonomi diubah namanya dari Euchema alvarezii menjadi Kappaphycus alvarezii. 2.3. Komposisi Kimia Euchema cotonii Kandungan rumput laut umumnya adalah mineral esensial (besi, iodin, aluminum, mangan, calsium, nitrogen dapat larut, phosphor, sulfur, chlor. silicon, rubidium, strontium, barium, titanium, cobalt, boron, copper, kalium, dan unsurunsur lainnya yang dapat dilacak), protein, tepung, gula dan vitamin A, B, C, D. Persentase kandungan zat-zat tersebut bervariasi tergantung dari jenisnya (Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2003). Hasil penelitian Chaidir (2007) menunjukkan bahwa air merupakan komponen yang dominan pada Euchema cotonii segar yaitu 93,1%, diikuti oleh kandungan karbohidrat 75,36% bk. Komposisi lengkap Euchema cotonii disajikan pada Tabel 2 dan disajikan pula komposisi kimia Euchema cotonii menurut Astawan et al., (2004).
7
Tabel 2. Komposisi Kimia Euchema cotonii Komponen Kadar abu Kadar lemak Kadar protein Karbohidrat Serat pangan larut Serat pangan tak larut Serat pangan total Iodium
Satuan % bk % bk % bk % bk % bb % bb % bb µg/g
Astawan et al., (2004) 2,7 2,1 4,3 90,9 30,8 52,4 83,2 -
Chaidir (2007) 18 3,39 0,43 75,36 5,75 3,87 9,62 38,94
2.4. Serat Pangan (dietary fiber) Menurut Trowell (1976), serat pangan dalam arti fisiologi yaitu polisakarida tumbuhan dan lignin yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan manusia. Sedangkan secara kimia serat pangan diartikan sebagai polisakarida bukan pati (non starch polysaccharides/NSP) dari tumbuhan dan lignin (Gallaher dan Schneeman, 1996). Definisi serat pangan berasal dari sel tanaman. Sel tanaman mengandung lebih dari 95% komponen serat pangan, yaitu selulose, hemiselulose, lignin, pektin, dan juga termasuk polisakarida bukan pati (Groff dan Gropper, 1999). Keterkaitan antara dinding sel tanaman dan serat pangan dapat diuraikan pada Gambar 2.
Komponen dinding sel tanaman
Komponen bukan dinding sel tanaman
Protein Lemak Komponen inorganik Lignin Selulosa Hemiselulosa Pektin
Gum Mucilages Algal polysaccharides Suberin Cutin
Serat pangan
Gambar 2. Keterkaitan Antara Dinding Sel Tanaman dan Serat Pangan (Groff dan Gropper, 1999). Serat pangan secara prinsip berbeda dengan serat kasar. Serat kasar adalah bagian tanaman pangan yang tersisa atau tidak dapat dihidrolisis kembali oleh larutan
8
asam sulfat (H2SO4) atau larutan natrium hidroksida (NaOH) dalam analisis proksimat bahan pangan. Kandungan tersebut belum menunjukkan kandungan serat total dalam makanan. Oleh karena larutan asam sulfat dan natrium hidroksida berkadar 1,25% masih mampu menghidrolisis komponen-komponen makanan dalam jumlah yang lebih besar. Berbeda dengan kemampuan enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan tubuh. Bila dibandingkan dengan serat pangan, nilai serat kasar lebih kecil 1/3 – 1/2 dari nilai serat pangan (Soelistijani, 2002). Dihubungkan dengan sifat kolesterolemik, terdapat tiga komponen penting yang dikandung oleh rumput laut yaitu agar, karagenan, dan asam alginat. Menurut Hallgren (1981) pengaruh fisiologis pemberian serat adalah meningkatkan berat dan volume feses, menurunkan transit time, mengikat asam empedu, menurunkan kolesterol darah dan penyerapan mineral. Studi tentang kemampuan agar, alginat, dan karagenan telah banyak dilakukan oleh para peneliti di bidang pangan dan medis. Penelitian yang dilakukan oleh Alan et al., (1976) terhadap tikus percobaan menunjukkan bahwa penambahan agar sebanyak 7% dalam ransum menurunkan kadar kolesterol dalam serum. Pada tikus kontrol (ransum tanpa penambahan serat) kadar kolesterol serum 78 mg/100 ml, sedangkan yang diberi agar 7% adalah 72 mg/100 ml. Demikian juga yang dilaporkan oleh Kelley dan Tsai (1978) pada tikus yang ditambahkan agar 5% dalam ransum, kandungan kolesterol dalam serumnya menurun. Serum tikus yang berperan sebagai kontrol mengandung kolesterol 110 mg/dl, sedangkan yang diberi perlakuan agar 5% kolesterol serumnya 108 mg/dl. Penelitian pada manusia juga telah dilakukan oleh Hunninghake et al., (1994) yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan kolesterol plasma akibat pengaruh serat pangan. Pasien yang menderita hiperkolesterolemia setelah diberi serat sebanyak 20 gram/hari ternyata total kolesterol, LDL, serta rasio LDL-HDL plasmanya mengalami penurunan masing-masing 6%, 8%, dan 8%. Mereka menyimpulkan bahwa kandungan serat dalam makanan merupakan terapi konvensional bagi penderita hiperkolesterolemia. Berdasarkan kelarutannya, serat pangan dapat dikelompokkan menjadi serat pangan larut dan tidak larut. Adapun serat larut adalah serat yang dapat terdispersi di dalam air dan bukan sebagai kelarutan kimiawi, sedangkan serat tidak larut adalah
9
serat yang tidak dapat terdispersi di dalam air (Gallaher dan Schneeman, 1996). Sifat kelarutan ini berpengaruh pada fisiologis serat pada proses-proses di dalam pencernaan dan metabolisme zat gizi. Serat larut air terdiri dari pektin, musilase, dan gum, sedangkan serat yang tidak larut air terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Soelistijani, 2002). Serat yang bersifat larut dalam air (soulble dietary fiber) memiliki peranan fisiologis penting dalam menurunkan kadar kolesterol dan glukosa serum, serta mencegah penyakit jantung dan hipertensi (Astawan, 1998 dalam Astawan, 1999). Fungsi serat pangan dalam hal ini melibatkan asam empedu (bile acid). Pasien dengan konsumsi serat yang tinggi dapat mengekskresikan asam empedu, sterol, dan lemak lebih banyak melalui feses. Serat-serat tersebut mencegah terjadinya penyerapan kembali asam empedu, kolesterol, dan lemak. Serat tidak larut (insoluble dietary fiber) merupakan bulking agent yang dapat berperan dalam pencegahan penyakit kanker usus besar, divertikulosis, konstipasi, dan hemmorhoid (Astawan, 2004). Menurut Winarno (1997), penyakit divertikulosis merupakan panyakit yang disebabkan oleh terjadinya pembengkakan keluar pada usus besar, terutama pada bagian depan (bagian ascending dan menyilang). Bagian usus besar tersebut dapat menggembung dan pecah sehingga terjadi infeksi. Hasil penelitian secara klinis diperoleh bahwa serat pangan khususnya dari serealia sangat efektif dalam menanggulangi penyakit divertikulosis. Dengan konsumsi serat yang tinggi maka feses lebih mudah menyerap air, menjadi lebih empuk, halus, dan mudah didorong keluar sehingga mengurangi kesakitan penderita penyakit ini. Menurut Soelistijani (2002), konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran sisa pencernaan karena volume feces terlalu kecil, sehingga penderita jarang buang air besar. Gangguan ini dapat dihindari dengan mengkonsumsi makanan berserat tinggi yang tidak larut air, misal selulosa dan hemiselulosa. Seratserat tersebut di dalam kolon mampu berikatan menyerap air. Keadaan ini akan menyebabkan volume feses menjadi besar dan lunak. Untuk mencegah diare, sebaiknya secara teratur mengkonsumsi serat larut air. Serat ini mudah membentuk gel sehingga memperlambat waktu transit zat-zat makanan di dalam usus. Dietary Guidelines for American menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung pati dan serat dalam jumlah tepat (20-35 gram/hari)
10
untuk menghindari kelebihan lemak jenuh, kolesterol, gula, natrium, serta membantu mengontrol berat badan. American Dietetic Association (ADA), National Center Institute, dan American Cancer Society merekomendasikan konsumsi serat antara 25 hingga 35 gram setiap hari atau 10 hingga 13 gram serat per 1000 Kcal setiap harinya untuk orang dewasa dan manula. Untuk anak-anak dan remaja (umur 2 hingga 20 tahun), ADA merekomendasikan konsumsi serat sama dengan umur (dalam tahun) ditambah 5 gram setiap hari. Sebagai contoh, anak berusia 5 tahun, maka kebutuhan seratnya adalah 10 gram per hari, sedangkan pada usia 20 tahun kebutuhan seratnya adalah 25 gram per hari (Anonymousb, 2007). 2.5. Tepung Beras Beras terdiri dari bagian kariopsis dan struktur pembungkus yaitu sekam. Bagian sekam terdiri dari 18-20% berat gabah. Kariopsis merupakan biji tunggal yang dilapisi dengan dinding ovari matang atau perikarp membentuk biji (Juliano, 1972). Tepung beras dibuat melalui tahapan seperti pembersihan bahan, pengeringan sampai kadar air 14% dan kemudian digiling kasar untuk memisahkan lembaga dan endospermnya. Hasil gilingan itu dikeringkan kembali hingga mencapai kadar air 1214%, kemudian dilakukan penggilingan halus dengan alat penggilas. Hasil gilingan tersebut selanjutnya diayak dengan pengayak bertingkat untuk mendapatkan berbagai tingkatan hasil giling, misal < 10 mesh (butir kasar), < 40 mesh (tepung kasar atau bubuk), 65-80 mesh (tepung agak halus), dan > 100 mesh (tepung halus) (Hubeis, 1984). Komposisi kimia tepung beras dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Kimia Tepung Beras per 100 Gram Komponen Kalori Protein Lemak Hidrat arang Ca P Fe Vitamin A Vitamin B Vitamin C Air
Satuan Kkal g g g mg mg mg mg mg mg %
Nilai 364,0 7,0 0,5 80,0 5,0 14,0 0,8 0,0 0,12 0,0 12,0
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1979.
11
Kandungan amilosa dan amilopektin banyak menentukan tekstur pada makanan yang banyak mengandung pati. Menurut Graham (1977), kandungan amilosa pada beras sebanyak 16-17% dari berat total dan kandungan amilopektin beras menurut Winarno (1992) sebanyak 4-5% dari berat total. Amilosa menyebabkan terbentuknya gel yang keras dan berwarna keruh setelah dimasak sedangkan amilopektin berperan penting terhadap sifat konsistensi gel dan viskositas gel sehingga menyebabkan makanan menjadi lengket (Cagampang et al., 1973). Pati tidak larut dalam air dingin, tetapi bila pati dipanaskan dalam air maka akan terjadi perubahan yang nyata pada saat mencapai suhu gelatinisasi, dimana butir-butir pati akan mengembang (Kulp, 1975). Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati mengembang dan tidak kembali lagi ke bentuk semula (irreversible). Menurut Winarno (1980) bila pemanasan diteruskan, pengembangan akan mencapai titik maksimum dan granula pati akan pecah sehingga kekentalan dari suspensi akan naik. 2.6. Tepung Hunkwee Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung hunkwee adalah biji kacang haijau. Biji kacang hiaju secara umum terbagi dalam dua bagian yaitu kulit biji, endosperm, dan lembaga. Kulit biji berfungsi untuk melindungi biji dari kekeringan, kerusakan fisik, mekanik, serangan kapang dan serangga. Endosperm merupakan biji yang mengandung cadangan makanan untuk pertumbuhan lembaga. Lembaga ini akan membesar selama pertumbuhan biji tersebut (Soeprapto dan Sutarman, 1990) Kacang hijau merupakan salah satu tanaman Leguminosae yang cukup penting karena kacang ini banyak mengandung protein, vitamin, dan mineral. Setiap 100 gram biji kacang hijau mengandung 150-400 IU (International Unit) vitamin A, dan beberapa jenis vitamin lainnya. Bila biji kacang hijau dikecambahkan, maka kecambah yang tumbuh menjadi kaya akan vitamin E (Soeprapto, 1998). Nilai gizi kacang hijau dan taoge dapat dilihat pada Tabel 4. Kadar vitamin kacang hijau tergantung pada bentuk olahannya. Dalam bentuk kecambah (taoge) kandungan vitaminnya sudah sangat berkurang dan hampir tidak
12
bersisa bila dalam bentuk tepung. Hal ini disebabkan karena vitamin yang terkandung mudah larut dalam air, terutama vitamin B1 sehingga vitamin banyak yang terbawa bersama air (Soeprapto, 1998). Tabel 4. Kandungan Gizi Biji dan Kecambah Kacang Hijau per 100 Gram (Soeprapto, 1998) Komposisi Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Besi Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Air
Satuan Kkal gr gr gr mg mg mg IU mg mg gr
Biji 345,0 22,2 1,2 62,9 125,0 320,0 6,7 157,0 0,64 6,0 10,0
Kecambah (Taoge) 23,0 2,9 0,2 4,1 29,0 69,0 0,8 10,0 0,07 15,0 92,4
Salah satu pemanfaatan kacang hijau dalam industri pangan di Indonesia yang porsinya cukup besar adalah sebagai bahan baku pabrik tepung hunkwee. Tepung hunkwee adalah pati kacang hijau yang diekstrak dengan air. Kandungan utama tepung hunkwee adalah karbohidrat (83,5%), sedangkan protein 4,5%. Komposisi kimia tepung hunkwee disajikan pada Tabel 5 (Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1979). Tabel 5. Komposisi Tepung Hunkwee (100 gram) Komposisi Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Besi Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Air Serat kasar
Satuan Kal gr gr gr mg mg mg IU mg mg gr gr
Nilai 364,0 4,5 1,0 83,5 50,0 100,0 1,0 0,0 0,0 0,0 10,0 0,0
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1979.
13
Dari kacang hijau dapat diperoleh 15,20% tepung hunkwee. Proses pembuatan tepung hunkwee secara tradisional adalah dengan cara menggiling pecah biji kacang hijau menjadi dua bagian. Bagian pertama berupa kulit luar dan bagian kedua berupa kulit halus dan dedak. Bagian kulit halus dan dedak kemudian direndam selama 3-4 jam dan dicuci dengan air. Kulit halus dan dedak digiling dalam kondisi basah, kemudian dilakukan penyaringan untuk mendapatkan larutan patinya. Larutan pati diendapkan, dicuci, dan diendapkan kembali selama 3 jam sebanyak 3 kali. Endapan berupa tepung halus digiling dan dikeringkan selama 1-2 hari, kemudian ditambah dengan vanili dan zat pewarna (Departemen Pertanian, Balai Informasi Pertanian Daerah Istimewa Aceh, 1987). 2.7. Pengeringan Beku (Freeze Drying) Pengeringan secara umum bertujuan untuk menghilangkan air atau hilangnya pelarut organik. Hilangnya air menjamin stabilitas dan pengawetan yang efektif (Voight, 1994). Dengan pengeringan beku produk akhir diharapkan memiliki karakteristik tidak keriput (bentuk tetap), bau, warna, dan cita rasa tidak berubah serta proses rehidrasi lebih cepat. Proses pengeringan pada pengeringan beku berlangsung pada saat bahan dalam kondisi beku, sehingga proses yang terjadi adalah sublimasi. Proses sublimasi terjadi pada suhu dan tekanan rendah, di bawah titik triple air. Mula-mula bahan dalam keadaan beku dimasukkan ke dalam ruang pengering yang hampa udara, panas sublimasi akan diberikan dengan menempatkan lempeng pemanas di dalam ruang pengering, dan panas akan diradiasikan dari lempeng pemanas ke permukaan (Rachdiani, 2001). Menurut Liapis dan Bruttini (1995) proses pengeringan beku berlangsung dalam tiga tahap, yaitu a) tahap pembekuan, dimana seluruh bahan didinginkan hingga menjadi beku; b) tahap pengeringan primer, dimana air dan pelarut dikeluarkan dalam keadaan beku secara sublimasi; c) tahap pengeringan sekunder, mencakup pengeluaran uap air terikat yang ada di lapisan kering. Tahap pengeringan sekunder dimulai setelah tahap pengeringan primer berakhir. Menurut Desrosier (1988) bahan pangan dengan kandungan air yang tinggi akan membeku pada suhu antara 0 0C sampai -5 0C. Selama berlangsungnya
14
pembekuan, suhu bahan tersebut relatif tetap sampai sebagian besar dari bahan pangan tersebut membeku, dan setelah beberapa waktu, suhu akan mendekati medium pembeku. Pembekuan cepat didefinisikan sebagai proses di mana suhu bahan pangan tersebut melampaui zona pembekuan kristal maksimum dalam waktu kurang dari 30 menit. Menurut teori kerusakan kristal, pertumbuhan kristal es pada umumnya merusakkan kualitas bahan pangan. Pembekuan lambat memberi kesempatan pertumbuhan kristal es yang besar. Sel-sel daging unggas, ikan, kerang, buahbuahan, dan sayuran semuanya mengandung protoplasma yang menyerupai selai. Maka untuk membuat massa yang tetap menyerupai selai, besarnya kecepatan pembekuan harus sedemikian rupa sehingga terbentuk kristal kecil yang seragam ke seluruh jaringan. Jaringan yang dibekukan dengan cepat jika dicairkan kembali maka air akan diserap kembali ke dalam jaringan ketika kristal-kristal es tersebut mencair, sedangkan pada pembekuan lambat atau kondisi suhu pembekuan yang berfluktuasi akan terbentuk kristal es yang besar sehingga sel-sel menjadi rusak dan jaringan yang dicairkan tidak dapat kembali seperti pada keadaan awal selai. Sebagian cairan yang dihasilkan dari pencairan tidak dapat diserap kembali dan nampak seperti air bebas (Desrosier, 1988). Untuk merubah fase es pada bahan menjadi fase uap diperlukan panas sebesar panas laten sublimasi, yaitu sebesar 666 kalori/gram es. Panas ini dapat diperoleh dari suhu lingkungan atau dari sumber panas yang ada di luar bahan. Secara komersial, panas untuk sublimasi pengeringan beku diperoleh dengan menempatkan lempeng pemanas di dalam ruang pengering dan uap air yang terbentuk ditarik dengan pompa vakum yang dilengkapi dengan kondensor untuk menangkap uap air proses sublimasi (Harper et al., 1962). Pergerakan fraksi air selama proses pengeringan beku akan semakin menurun. Pada tahap awal pergerakan fraksi air menurun dengan tajam dan menjelang akhir proses pengeringan gradien pergerakan fraksi air mulai melandai. Melandainya gradien pergerakan fraksi air, menunjukkan semakin sedikitnya kandungan air dalam bahan yang harus diuapkan sehingga tidak terjadi lagi penurunan massa bahan (Rachdiani, 2001).
15
Tekanan (pa)
titik kritis cair gas padat
610
titik triple
0
Suhu (0C)
Gambar 3. Diagram Fase Air (Karel, 1975 dalam Wenur, 1997). Selama proses pengeringan beku, kandungan air bahan tidak dalam fase cair sehingga dapat mencegah terjadinya perpindahan zat-zat yang larut dalam air dan memperkecil terjadinya reaksi degradasi (King, 1971). Keunggulan lain proses pengeringan beku dibandingkan dengan pengeringan konvensional dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perbedaan Metode dan Mutu Produk antara Pengeringan Beku dan Pengeringan konvensional (Tischer dan Brockman dalam Desrosier, 1988) Variabel Suhu proses Tekanan Penguapan air Produk
Bau Warna Cita rasa Rehidrasi
Stabilitas penyimpanan Biaya
Pengeringan Konvensional Pengeringan Beku 100-200 0C Cukup rendah Vakum (dibawah titik Atmosfir triple, 610 Pa) Dari permukaan bahan Sublimasi Kering padat dan Kering dan berongga mengkerut Tetap Berubah Tetap Lebih gelap Tetap Berubah dan lebih Lambat dan tidak Cepat sempurna sempurna Sangat baik Baik Rendah
Tinggi
16
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada Bulan April sampai September 2007 di Laboratorium Pengolahan Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan, Jakarta. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Kimia, Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Organoleptik Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan, Jakarta, Laboratorium Pascapanen Pertanian, Bogor, Laboratorium Pusat Antar Universitas, IPB, Bogor, dan Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, Bogor. 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut kering jenis Euchema cotonii, tepung beras, tepung hunkwee, air, daun suji (Pleomele angustifolia), dan bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk analisis di laboratorium. Alat yang digunakan yaitu cetakan cendol, saringan, freeze dryer skala laboratorium Merk Labconco Freeze Dry system, mikroskop, kamera digital Merk Canon, blender, mixer, jangka sorong, wadah, peralatan gelas, serta peralatan laboratorium untuk pengujian kimia dan organoleptik sesuai dengan parameter yang sudah ditentukan.
Gambar 4. Freeze Dryer Skala Laboratorium Merk Labconco.
17
3.3. Metode Penelitian Penelitian ini melalui beberapa tahapan yang sistematis, yaitu pembuatan bubur rumput laut termasuk didalamnya proses perendaman rumput laut yang bertujuan untuk menghilangkan bau amisnya, formulasi cendol rumput laut, pengeringan beku (freeze drying), uji organoleptik (uji kesukaan dan perbandingan pasangan), dan analisis ekonomi cendol rumput laut instant. Alur pembuatan cendol instan dapat dilihat pada Gambar 5 dan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. a. Pembuatan bubur rumput laut Euchema cotonii Sebelum rumput laut Euchema cotonii dibuat bubur, rumput laut tersebut lebih
dahulu
dilakukan
perendaman
untuk
menghilangkan
bau
amisnya.
Penghilangan bau amis pada rumput laut segar dapat dilakukan dengan merendam rumput laut selama empat hari dengan perbandingan air dan rumput laut 1 : 0.5, air perendam diganti setiap 24 jam (Astawan et al., 2004). Sedangkan untuk rumput laut kering, penghilangan bau amis dapat dilakukan dengan perendaman dalam air tawar selama 9 jam (Chaidir, 2007). Selain untuk menghilangkan bau amis, perendaman juga bertujuan untuk mendapatkan rumput laut dengan kenampakan (warna) putih dan tekstur yang tidak lembek. Rumput laut yang telah direndam selanjutnya dipotong-potong sehingga menghasilkan ukuran yang lebih kecil. Pemotongan rumput laut bertujuan untuk memudahkan dalam proses peghancuran (diblender) dan proses blender menjadi lebih singkat. Rumput laut tersebut diblender selama 3 menit. Bubur rumput laut yang telah dibuat selanjutnya dilakukan analisis proksimat (kadar air, abu, protein, dan karbohidrat), kadar serat pangan (serat pangan larut, serat pangan tidak larut, dan serat pangan total), dan Iodium. Diagram alir pembuatan bubur rumput laut dapat dilihat pada Gambar 7. b. Formulasi Cendol Rumput Laut Formulasi cendol rumput laut bertujuan untuk mendapatkan komposisi cendol yang paling baik. Cendol rumput laut dibuat dengan menambahkan bubur rumput laut ke dalam adonan formula resep, dengan konsentrasi 0% (formula A), 10% (formula B), 20% (formula C), 30% (formula D), 40% (formula E), dan 50% (formula F). Sebagai contoh, jika berat bahan adonan yang akan dibuat adalah 100
18
gram dan jumlah rumput laut yang akan ditambahkan adalah 20% maka bubur rumput laut yang akan ditambahkan adalah 20 gram dalam 100 gram bahan adonan. Bahan pewarna dalam cendol penelitian ini digunakan pewarna alami, yaitu daun suji (Pleomele angustifolia). Larutan daun suji dibuat dengan cara mencampurkan air ke dalam daun suji yang telah diblender dengan perbandingan daun suji dan air 1:5 (Anggraeni, 2002). Misalkan daun suji yang digunakan adalah 100 gram, maka air yang ditambahkan adalah 500 ml. Daun suji dan air tersebut diblender selama 3 menit, dan disaring. Hasil saringan tersebut siap digunakan sebagai bahan pewarna cendol rumput laut. c. Pengeringan Beku Cendol Rumput Laut Cendol rumput laut dari formula terpilih selanjutnya dilakukan pengeringan. Pengeringan secara umum bertujuan untuk menghilangkan air atau hilangnya pelarut organik. Hilangnya air menjamin stabilitas dan pengawetan yang efektif (Voight, 1994). Dengan pengeringan beku produk akhir diharapkan memiliki karakteristik tidak keriput (bentuk tetap), bau, warna, dan cita rasa tidak berubah serta proses rehidrasi lebih cepat. Proses pengeringan pada pengeringan beku berlangsung pada saat bahan dalam kondisi beku, sehingga proses yang terjadi adalah sublimasi. Proses sublimasi terjadi pada suhu dan tekanan rendah, di bawah titik triple air. Mula-mula bahan dalam keadaan beku dimasukkan ke dalam ruang pengering yang hampa udara, panas sublimasi akan diberikan dengan menempatkan lempeng pemanas di dalam ruang pengering, dan panas akan diradiasikan dari lempeng pemanas ke permukaan (Rachdiani, 2001). Menurut Liapis dan Bruttini (1995) proses pengeringan beku berlangsung dalam tiga tahap, yaitu a) tahap pembekuan, dimana seluruh bahan didinginkan hingga menjadi beku; b) tahap pengeringan primer, dimana air dan pelarut dikeluarkan dalam keadaan beku secara sublimasi; c) tahap pengeringan sekunder, mencakup pengeluaran uap air terikat yang ada di lapisan kering. Tahap pengeringan sekunder dimulai setelah tahap pengeringan primer berakhir.
19
Tahap pengeringan beku cendol rumput laut dapat dibagi menjadi dua proses utama yaitu pembekuan dan pengeringan. Prosedur yang dilakukan pada proses pembekuan adalah ; a. Cendol rumput laut yang telah terpilih dimasukkan ke dalam wadah contoh. b. Cendol rumput laut dan wadah contoh dibekukan pada plat pembeku yang terdapat pada alat pengering beku pada suhu -30 0C selama 8 jam. c. Proses pembekuan dihentikan sampai suhu bahan hampir seragam. Prosedur pengeringan dalam pengeringan beku yaitu ; a. Cendol rumput laut yang telah beku selanjutnya dikeringkan menggunakan freeze drier pada suhu 30 0C dengan lama pengeringan 36 jam. b. Proses pengeringan dihentikan setelah kekeringan akhir bahan hampir seragam. 3.4. Analisis Data Penelitian uji penambahan rumput laut dan uji pengeringan beku dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor yang berpengaruh pada formulasi cendol rumput laut adalah komposisi (persentase) rumput laut yang ditambahkan pada bahan cendol (0, 10, 20, 30, 40, dan 50%). Data yang didapat selanjutnya dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan. Bila ada perbedaan dilanjutkan dengan uji Less Significant Difference (LSD). Model yang digunakan adalah : Yij = µ + αi + εij Dimana : Yij
: Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i, pada ulangan ke-j
µ
: Nilai rata-rata tengah umum
αi
: Pengaruh perlakuan ke-i
εij
: Galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
20
Tepung hunkwee & tepung beras (Rasio 2:1)
Penimbangan Air daun suji (Pleomele angustifolia) Pencampuran hingga merata
Penambahan bubur rumput laut (0,10,20,30,40,50% dari formula resep) Air dimasak hingga mendidih Campuran tepung hunkwee, tepung beras, dan rumput laut dimasak ke dalam air mendidih
Pengadukan
Pencetakan
Penirisan
Pengeringan beku
Cendol instant
Gambar 5. Alur Pembuatan Cendol Rumput Laut Instant.
21
Rumput laut (RL) Euchema cotonii kering
Formula resep
Penimbangan Perendaman dalam air tawar selama 9 jam Pencampuran hingga merata Bubur RL
Penambahan bubur rumput laut (0, 10, 20, 30, 40, dan 50% dari jumlah bahan dasar)
Analisis : Kadar air Kadar abu Protein Kadar lemak Karbohidrat Kadar serat pangan Iodium
Uji Organoleptik Rasa Warna Tekstur Aroma
Pencetakan Cendol terpilih
Pengeringan beku (Freeze drying) Suhu 30oC, tekanan 5 mikron Hg
Cendol kering
Analisis Ekonomi Analisis fisika-kimia : Kadar air Kadar abu Protein Karbohidrat Iodium Kadar serat pangan (serat larut, serat tidak larut, dan serat total) Total Mikroba
Rehidrasi
Analisis : Daya serap air (DSA) Organoleptik (perbandingan pasangan)
Gambar 6. Diagram Alir Penelitian.
22
Euchema cotonii kering
Pencucian dengan air mengalir
Penirisan
Perendaman dalam air tawar selama 9 jam
Pemotongan dengan panjang 2 cm
Penghalusan selama 3 menit
Bubur Rumput Laut
Gambar 7. Alur Penghilangan Bau Amis dan Pembuatan Bubur Rumput Laut.
3.5. Analisis Daya Serap Air (DSA) (Rasper dan J.M de Man, 1980) Sebanyak 10 gram cendol direndam dalam air 100 ml. Setelah mencapai waktu optimum (seluruh bagian cendol sudah mengembang), cendol ditiriskan selama 5 menit. Cendol kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 105 0C sampai bobotnya konstan kemudian ditimbang kembali.
DSA =
[( A − B ) − (kadar air awal x bobot sampel awal )] x 100% [bobot sampel awal x (1 − kadar air sampel awal )]
Keterangan : A = Berat cendol setelah direhidrasi B = Berat cendol awal sebelum direhidrasi
23
3.6. Sifat Kimia Cendol Rumput Laut Euchema cotonii a. Kadar air (Apriyantono et al., 1989)
Kadar air diukur dengan metode oven. Sebanyak 5 gram contoh dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 16-24 jam sehingga diperoleh bobot yang konstan. Kadar air (%) =
A −B x 100% C
Keterangan : A = bobot wadah dan bahan awal (gr) B = bobot wadah setelah dikeringkan (gr) C = bobot bahan
b. Kadar abu (Apriyantono et al., 1989)
Cara penentuan kadar abu yaitu ; - cawan pengabuan dibakar dalam tanur - didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya - sampel ditimbang 3-5 gram dalam cawan - sampel pangabuan didinginkan dan ditimbang Kadar abu (%) =
Berat abu ( gr ) x 100% Berat sampel ( gr )
c. Kadar lemak (Apriyantono et al., 1989) Penentuan kadar lemak dengan metode soxhlet. Labu lemak dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam desikator. Sejumlah kecil (3-5 gram) sampel dibungkus dengan kertas saring dan diletakkan dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian kondensor diletakkan diatasnya dan labu lemak di bawahnya. Setelah pelarut dietil eter atau petroluem eter dituangkan dalam labu lemak, maka dilakukan refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun ke labuh lemak kembali berwarna jernih. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipisahkan dalam dalam oven pada suhu 105 0C. Setelah dikeringkan sampai berat konstan dan didinginkan dalam desikator, labu berisi lemak ditimbang.
24
Kadar lemak (%) =
berat lemak ( gr ) x 100% berat sampel ( gr )
d. Kadar protein (Apriyantono et al., 1989)
Analisis
kadar
protein
pada
penelitian
ini
menggunakan
metode
mikrokjeldahl. Prinsip kerjanya adalah sejumlah sampel ditimbang, lalu dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl 30 ml. Kedalammnya ditambahakan 1,9 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 20 ml H2SO4. Jika sampel lebih dari 15 mg kemudian di tambahkan 0,1 ml H2SO4 untuk setip 10 mg bahan organik. Selanjutnya sampel di didihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan jernih dan di dinginkan. Isi labu kjeldahl di pindah kan dalam alat destilasi.labu di cuci dan dibilas 1-5 kali dengan 1-2 ml air.Air cucian di masukan dalam alat destilasi kemudian di tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Erlemeyer 125 ml yang berisi 5 ml H3BO3
dan 2-4 tetes indikator di letakan di bawah kondensor. Ujung tabung
kodensor harus terendam di bawah larutan H3BO3.setelah itu di lakukan destasi sampai di peroleh kira kira 15 ml destilasi dalam erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas air dan bilasanya di tampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer di encerkan sampai 50 ml kemudian dititrasi dengan HCI 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Hal ini di lakukan terhadap blanko. Kadar protein (%) =
( A − B) x N x 14,007 x 6,25 x 100% Berat sampel
Keterangan : A
: Volume (ml) HCl untuk mentitirasi larutan dalam contoh
B
: Volume (ml) HCl larutan blanko
N
: Normalitas HCl standar yang digunakan
14,007 : Berat atom Nitrogen 6,25
: Faktor konversi protein untuk ikan
25
e. Kadar karbohidrat (by different)
Kadar karbohidrat dihitung setelah nilai kadar protein, kadar lemak, kadar abu, dan kadar air diperoleh. Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kadar karbohidrat (%) = 100% - (kadar air + kadar protein + kadar lemak + kadar abu)
f. Kadar serat pangan (Asp et al., 1983)
Contoh kering homogen diekstraksi lemaknya dengan petroleum eter selama 15 menit pada suhu kamar. Kemudian diambil 1 gram dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan 25 ml 0,1 M buffer Natrium fosfat pH 6,0 dan dicampur secara merata. Setelah itu ditambahkan 0,1 ml alfa amilase (termamyl 120 L) dan labu ditutup dengan aluminium foil, kemudian diinkubasi selama 15 menit dalam penangas air panas bergoyang pada suhu 80 0C. Selanjutnya didinginkan lalu ditambahkan 20 ml air destilata, pH diatur menjadi 1,5 dengan HCl 0,1 N dan elektroda dibersihkan dengan air. Kemudian ditambahakan pepsin 0,1 gram, ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 0
C selama 1 jam. lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6,8
dengan NaOH, elektroda dibersihkan dengan 5 ml air. Selanjutnya ditambahkan 0,1 gram pankreatin, kemudian labu ditutup dengan alumunium foil dan didinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 0C selama 1 jam, pH diatur menjadi 4,5 dengan HCl 0,1 N. Kemudian disaring dengan crucible, dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata. Serat pangan tidak larut (Residu / insoluble dietary fiber)
Residu dalam crucible dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 90% dan 2 x 10 ml aseton. Crucible dikeringkan pada suhu 105 0C sampai bobot tetap dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan pada suhu 550 0C selama kurang lebih 5 jam, serta ditimbang setelah pendinginan dalam desikator (I1). Serat pangan larut (Filtrat/soluble dietary fiber)
Volume filtrat diatur dan dicuci dengan air sampai 100 ml kemudian ditambahkan 400 ml etanol 95% dengan suhu 60 0C dan dibiarkan presipitasi selama
26
60 menit. Lalu disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang menngandung 0,5 gram celite, selanjutnya dicuci berturut dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml aseton. Setelah itu filter gelas dikeringkan dalam oven suhu 105 0C sampai beratnya konstan dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D2), dan diabukan pada suhu 550 0C selama kurang lebih 5 jam serta ditimbang setelah pendinginan dalam desikator (I2). Dilakukan juga perhitungan serat blanko dengan mengunakan prosedur seperti di atas, tetapi tidak digunakan sampel. Nilai blanko ini harus diperiksa secara berkala dan bila enzim yang digunakan berasal dari batch baru. Perhitungan : IDF (%)
=
D1 − I1 − B1 x 100% W
SDF (%)
=
D2 − I 2 − B2 x 100% W
TDF (%)
= IDF + SDF
Keterangan : W
= berat sampel (gram)
D
= berat setelah peneringan (gram)
I
= berat setelah pengabuan (gram)
B
= blanko bebas serat (gram)
g. Kadar Iodium Salah satu cara penetapan kuantitatif untuk menetapkan kadar iodium dalam bahan makanan adalah berdasarkan reduksi katalis ion Ce4+ (kuning) menjadi Ce3+ (tidak berwarna). Metode ini terdiri dari 4 bagian, yaitu pembuatan larutan pereaksi, pembuatan kurva standar, persiapan contoh, dan perhitungan kadar iodium. Pembuatan larutan pereaksi 1. Asam arsenit 0,02 N : sebanyak 0,986 gram arsen trioksida (As2O3) dilarutkan dalam 10 ml NaOH 0,5 N dalam sebuah gelas piala dan dipanaskan. Selanjutnya dimasukkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 1 liter, diencerkan dengan 850 air suling dan ditambahkan 20 ml asam klorida pekat dan 20,6 ml asam sulfat pekat, kemudian ditepatkan dengan air suling sehingga volume 1 liter.
27
2. seri ammonium sulfat 0,03 N : 48,6 ml asam sulfat pekat ditambahkan ke dalam air suling dalam labu takar 1 liter. Kemudian tambahkan 20 gram seri ammonium sulfat dan dilarutkan, volume ditepatkan hingga 1 liter. 3. larutan pengabuan : sebanyak 212 gram natrium karbonat anhydrous dan 20 gram kalium hipoklorida dilarutkan dalam 1 liter air suling. 4. larutan standar indul iodium 4 µg/ml dibuat dengan melarutkan standar kalium iodide ke dlam air suling 5. standar kerja ioduim : larutan standar iodium dipipet ke dalam tabung takar 100 ml masing-masing 1, 2, 3, dan 4 ml dan ditepatkan hingga tanda garis. Larutan ini mengandung 0,04; 0,08; 0,12; dan 0,16 µg iodium/ml. Pembuatan kurva standar Sebanyak 5 ml masing-masing larutan standar kerja iodium 0; 0,04; 0,08; 0,12; dan 0,16 µg iodium/ml dipipet ke dalam tabung pereaksi atau kuvet dan direndam dalam penangas air bersuhu 37
0
C. Setelah suhu 37
0
C tercapai,
ditambahkan dengan 0,1 ml larutan seri ammonium sulfat ke dalam tabung. Setelah 20 menit, reduksi seri ammonium kepada sero diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 420 nm. Dilakukan juga blanko tanpa sampel atau standar. Selanjutnya dibuat kurva hubungan konsentrasi (µg iodium/ml) versus serapan masing-masing larutan standar. Persiapan contoh Sebanyak 5 gram contoh (mengandung 0,04-0,08 µg iodium) ditimbang ke dalam tabung pyrex 22 x 220 mm (15 x 125 mm) dan ditambahkan larutan pembantu pengabuan 0,5 ml. Kemudian campuran tersbut dikeringkan dalam oven pada suhu 105-110 0C selama ± 2 jam. Selanjutnya tabung dipindahkan ke dalam tanur lalu suhu dinaikkan perlahan-lahan dan contoh diabukan pada suhu 500 0C selama 4 – 6 jam. Tabung didinginkan, kemudian abu dikestrak dengan menambahkan 10 ml larutan asam arsenit dan didiamkan selama ± 15 menit. Campuran diputarkan pada 200 rpm selama 20 menit dan sebanyak 5 ml supernatan dipipet ke dalam tabung reaksi atau kuvet dan direndam dalam penangas air bersuhu 37 0C. Setelah suhu 37 0
C tercapai, ditambahkan dengan pipet 1,0 ml larutan seri ammonium sulfat ke dalam
28
tabung tepat setelah 20 menit, reduksi seri kepada sero diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Perhitungan : Iodium (µg/100 gram) =
C x V x 100 B
Keterangan : C = konsentrasi larutan sampel yang terbaca dari kurva standar (µg iodium/ml). V = volume ekstrak sampel dalam ml (10 ml) B = berat sampel (gram)
3.7. Total Mikroba (Fardiaz, 1989) Sebanyak 10 g sampel dimasukkan ke dalam plastik tahan panas yang telah disterilkan yang berisi 90 ml larutan pengencer steril. Sampel tersebut kemudian dihancurkan dengan menggunakan alat stomacher selama 60 detik, dan dihasilkan sampel dengan pengenceran 1:10. Campuran dikocok, diambil 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi 9 ml larutan pengencer steril (10-2). Dengan cara yang sama diperoleh pengenceran 10-3, 10-4, dan seterusnya. Dari tiap-tiap pengenceran, dipipet secara aseptis 1 ml suspensi sampel dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Selanjutnya ditambahkan 15-20 ml medium PCA steril pada suhu 47-50oC (duplo). Setelah medium membeku, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada inkubator suhu 37oC selama 2-3 hari. Perhitungan total mikroba menggunakan metode Standar Plate Count (SPC), dengan rumus; Faktor pengenceran = pengenceran awal x pengenceran selanjutnya x Σ yang ditumbuhkan
Koloni per ml/gr = Σ koloni x
1 faktor pengenceran
29
3.8. Uji Organoleptik Uji organoleptik dilakukan terhadap cendol rumput laut yang masih basah (belum dilakukan proses pengeringan beku) dan cendol kering yang telah direhidrasi. Untuk cendol yang basah dilakukan uji kesukaan (hedonik), sedangkan untuk cendol kering dilakukan uji perbandingan berpasangan dengan produk cendol komersial.
a. Uji kesukaan (hedonik) Uji kesukaan (hedonik) meliputi parameter warna, aroma, rasa, dan tekstur. Uji kesukaan dilakukan oleh 20 orang panelis dengan menggunakan score sheet dengan skala 1-9 yang mendeskripsikan sampel cendol yang diujikan. Dalam uji ini, cendol yang disajikan dalam bentuk segar dan tidak dicampur dengan larutan gula kelapa dan larutan santan kelapa. Uji hedonik menggunakan angka 9 untuk nilai tertinggi (amat sangat suka) dan angka 1 untuk nilai terendah (amat sangat tidak suka). Kriteria penilaian uji kesukaan seperti pada Tabel 7 dan score sheet kriteria uji kesukaan dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 7. Kriteria Uji Kesukaan Skala hedonik Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
Nilai 9 7 6 5 4 3 1
b. Uji perbandingan pasangan (Rahayu, 2001) Formula terpilih selanjutnya dilakukan uji perbandingan pasangan dengan produk komersial. Pada uji perbandingan pasangan, cendol yang diuji disajikan dalam kondisi siap saji sebagaimana cendol komersil disajikan, yaitu dengan penambahan larutan gula kelapa 40 ml dan larutan santan kelapa 30 ml. Menurut Anggraeni (2002), dalam pembuatan larutan gula kelapa, perbandingan antara gula kelapa dan air yang paling baik adalah 1 : 2,5, sedangkan untuk larutan santan kelapa perbandingan yang paling baik antara santan kelapa dan air adalah 2 : 5. Panelis melakukan penilaian berdasarkan formulir isian (Lampiran 2) dengan memberikan angka berdasarkan skala kelebihan, yaitu lebih baik atau lebih buruk.
30
Angka 3 untuk penilaian sangat lebih baik, sedangkan angka -3 untuk penilaian sangat lebih buruk. Kriteria uji perbandingan berpasangan seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Kriteria Uji Perbandingan Pasangan Skala perbandingan Sangat lebih baik Lebih baik Agak lebih baik Tidak berbeda Agak lebih buruk Lebih buruk Sangat lebih buruk
Nilai 3 2 1 0 -1 -2 -3
3.9. Analisis Ekonomi Analisis ekonomi dilakukan untuk menilai kelayakan suatu usaha berdasarkan biaya-biaya yang dikkeluarkan selama proses produksi dengan jangka waktu tertentu. Dalam penelitian ini, penilaian kelayakan dititik beratkan pada kelayakan usaha cendol instan yang dikeringkan dengan mesin pengering beku (Freeze dryer) yang notabene menggunakan energi yang tinggi terutama energi listrik dalam prosesnya. Hal pertama yang harus dilakukan dalam analisis kelayakan usaha cendol instan ini adalah menggolongkan biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi. Berdasarkana perilakunya terhadap perubahan volume produksi, biaya dalam usaha cendol instan dapat digolongkan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost) (Garrison, 1997). Biaya tetap adalah jenis-jenis biaya yang selama periode kerja pengoperasian usaha tetap dan tidak tergantung pada jumlah produk yang dihasilkan, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang berubah sesuai dengan pertambahan jumlah produksi.
a. Keuntungan usaha (profit) Keuntungan usaha digunakan untuk melihat keuntungan dari suatu usaha berdasarkan perhitungan finansial. Perhitungan besarnya keuntungan diperoleh dengan persamaan : Keuntungan (π ) = TR – TC
31
Dimana : Kriteria :
TR = Total Revenue (Penerimaan total) TC = Total Cost (Biaya total) TR > TC = usaha menguntungkan TR < TC = usaha rugi TR = TC = impas
b. Benefit/cost ratio (B/C Ratio) Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil yang diperoleh dari usaha tertentu cukup menguntungkan dengan membandingkan antara penerimaan dengan biaya. Perhitungan B/C Ratio dihitung dengan persamaan :
B/C = Dimana : Kriteria :
Pj Cj
Pj = NPV dari aliran uang tunai proyek mulai pada periode t=0 Cj = NPV dari biaya yang dikeluarkan mulai pada periode t= 1 B/C > 1 = usaha menguntungkan B/C < 1 = usaha rugi B/C = 1 = usaha impas
c. Net Present Value (NPV) NPV adalah selisih harga sekarang antara penerimaan dan pengeluaran pada tingkat suku bunga tertentu. NPV merupakan salah satu metode menghitung selisih nilai sekarang investasi dengan penerimaan kas di masa yang akan datang. NPV dirumuskan dalam persamaan berikut :
NPV =
n
∑ t =1
Dimana :
Kriteria :
Bt − Ct (1 + i )t
NPV = Net Present Value Bt = Penerimaan total pada tahun ke-t Ct = Biaya total pada tahun ke-t n = umur ekonomis proyek NPV ≥ 0 = usaha layak untuk dilaksanakan NPV < 0 = usaha tidak layak dilaksanakan
d. Internal Rate of Return (IRR) Usaha cendol instan layak dilaksanakan jika dioperasikan pada tingkat suku bunga di bawah suku bunga IRR, atau dengan kata lain nilai IRR lebih tinggi dari
32
tingkat suku bunga yang berlaku. Untuk mendapatkan nilai IRR dirumuskan dengan persamaan :
IRR = i +
Dimana :
NPV’ NPV’’ i’ i’’
NPV ' (i ' − i '' ) ' '' NPV − NPV
= NPV dari ulangan i’ yang bernilai positif = NPV dari ulangan ii’ yang bernilai negatif = tingkat suku bunga yang memberikan NPV positif = tingkat suku bunga yang memberikan NPV negatif
e. Break even Point (BEP)
Break even point atau titik impas merupakan titik dimana usaha yang dijalankan tidak memperoleh keuntungan maupun kerugian. Titik impas bisa dalam satuan jumlah produk atau dalam jumlah nilai penjualan. Titik impas dirumuskan dengan persamaan (Riyanto, 1996) : FC ( P − VC ' ) FC BEP (Rp) = (1 − VC ' ' / S )
BEP (Q) =
Dimana :
BEP (Q) P VC’ VC’’ FC S
= titik impas dalam unit = harga jual per unit = biaya variabel per unit = biaya variabel total = biaya tetap total = volume penjualan
f. Pay Back Period (PBP)
Pay back periode atau waktu pengembalian investasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan seluruh investasi selama periode operasi. Pengembalian investasi dilakukan dengan pembayaran laba bersih ditambah dengan penyusutan (Madani, 2002). PBP dirumuskan sebagai berikut : PBP =
Investasi Awal x 1 tahun Penerimaan Periodik
33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pembuatan Bubur Rumput Laut
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut kering tawar jenis Euchema cotonii yang diperoleh dari petani rumput laut di Kepulauan Seribu. Rumput laut ini sebelumnya sudah mengalami perlakuan sehingga didapat rumput laut Euchema cotonii kering tawar dengan warna kuning pucat. Rumput laut ini mendapat perlakuan khusus setelah dipanen, yaitu direndam dalam air tawar selama 2-3 hari dalam bak tertutup atau air mengalir. Rumput laut dijemur di bawah sinar matahari selama 2-3 hari hingga kering. Rumput laut kering memiliki karakteristik warna kuning pucat, aroma sedikit amis, dan thallus agak keras. Rumput laut Euchema cotonii kering dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Rumput Laut Euchema cotonii Kering. Bubur rumput laut (BRL) merupakan hasil olahan dari rumput laut yang telah dihaluskan secara mekanis dengan menggunakan mesin penghalus blender sehingga memudahkan dalam proses pembuatan adonan cendol rumput laut. Bubur rumput laut memiliki beberapa keunggulan antara lain volume lebih kecil sehingga tidak membutuhkan ruang yang luas dan lebih efektif aplikasinya dalam pembuatan adonan karena ukurannya yang sudah halus dan tidak memerlukan biaya tinggi untuk pembuatannya. Selain itu, proses pembuatan bubur yang tidak menggunakan suhu tinggi diharapkan dapat mempertahankan kandungan gizinya terutama iodium yang sensitif terhadap panas. Berbeda dengan pembuatan tepung rumput laut yang berpotensi mengalami penurunan nilai gizi rumput laut tersebut sebagai akibat dari proses perlakuan yang dialaminya, terutama proses pemanasan. Muchtadi (1997)
34
menyatakan bahwa proses pengeringan bahan pangan akan merubah sifat asal bahan misalnya bentuk dan penampakan, sifat fisik serta sifat kimia, dan penurunan mutu. Sebelum dibuat bubur, rumput laut kering Euchema cotonii terlebih dahulu dilakukan pencucian dan perendaman. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan benda-benda asing yang terbawa bersama rumput laut, seperti pasir, kerikil, dan kotoran lainnya. Setelah dicuci, rumput laut Euchema cotonii dilakukan perendaman. Perendaman bertujuan untuk menghilangkan bau amis, dan menghasilkan rumput laut dengan warna putih cerah serta tekstur yang tidak lembek. Menurut Chaidir (2007), perendaman rumput laut Euchema cotonii dengan media air tawar menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan media perendam larutan tepung beras maupun larutan kaporit, baik dari bau, tekstur maupun kenampakan. Rumput laut Euchema cotonii direndam dalam air tawar selama 9 jam menghasilkan bau atau aroma yang segar dan tidak begitu amis, tekstur dengan thalus padat, kenampakan yang bersih dan agak cemerlang. Menurut Angka dan Suhartono (2000), rumput laut yang tidak berwarna (putih bersih) dapat diperoleh dengan pemucatan, yaitu dengan merendam rumput laut dalam larutan pemutih atau pemucat. Larutan pemutih atau pemucat yang dapat digunakan antara lain larutan kaporit (Ca(OCl)2) 0,25%, larutan kapur tohor (CaO) 0,50% atau Natrium hipoklorit (Na(OCl)) 0,25%. Penelitian yang dilakukan oleh Chaidir (2007) menunjukkan bahwa, beberapa jenis media dapat digunakan untuk perendaman rumput laut adalah air tawar, larutan tepung beras 5%, dan larutan kapur tohor 0,5%. Air tawar merupakan media perendam alami dan hampir tidak ada dampak yang ditimbulkan. Beberapa pigmen dalam rumput laut dapat terpecah dan larut dalam air tawar. Tepung beras dengan kandungan pati yang tinggi dapat menghilangkan bau amis dan memberikan warna yang bersih. Larutan kapur tohor 0,5% adalah bahan kimia yang dapat digunakan untuk menghilangkan pigmen warna rumput laut. Perendaman rumput laut kering Euchema cotonii dalam air tawar selama 9 jam dengan perbandingan rumput laut dan air 1:10 menghasilkan rumput laut yang bersih mengkilat dan tekstur yang padat. Hasil perendaman ini berpengaruh terhadap produk olahan yang akan dibuat. Jika rumput laut yang dihasilkan berwarna gelap
35
dan berbau amis maka warna produk olahan diserap oleh rumput laut dan dapat menimbulkan bau amis. Rumput laut Euchema cotonii yang telah direndam selanjutnya dipotongpotong dengan ukuran ± 2 cm untuk memudahkan dalam penghalusan sehingga diperoleh bubur rumput laut yang halus. Rumput laut yang telah dihaluskan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Bubur Rumput Laut Euchema cotonii. Rumput laut Euchema cotonii yang telah dihaluskan dalam bentuk bubur dilakukan analisa kandungan nutrisinya. Kadar air bubur rumput laut cukup tinggi yaitu 96,12%, kadar lemak 1,55% (bk), serat pangan total 54,38% (bk), dan kandungan iodium 55,46 µg/g (bk). Hasil lengkap analisa nutrisi bubur rumput laut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi Kimia Bubur RL Euchema cotonii (bk) Komponen Kadar lemak Kadar protein Kadar abu Kadar karbohidrat Serat pangan larut Serat pangan tak larut Serat pangan total Iodium
Satuan % % % % % % % µg/g
Jumlah 1,55 20,10 6,96 71,39 15,46 38,96 54,38 55,46
Kadar serat pangan total rumput Euchema cotonii segar hasil penelitian Ristanti (2003) dan Sihombing (2003) lebih tinggi dibandingkan hasil dalam penelitian ini. Kadar serat pangan hasil penelitian ini yaitu 54,38% sedangkan
36
menurut Ristanti (2003) 83,2% (bk) dan Sihombing (2003) 82,0% (bk). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh terdapatnya perbedaan spesies dan kondisi lingkungan tempat tumbuh rumput laut yang berbeda. Kadar iodium hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Ristanti (2003) dan Sihombing (2003). Kadar iodium hasil penelitian ini yaitu 55,46 µg/g, sedangkan menurut Ristanti dan Sihombing yaitu 51,3 µg/g dan 54,6 µg/g. Perbedaan kadar iodium menurut Ristanti dan Sihombing ini disebabkan karena perbedaan waktu perendaman. Waktu perendaman Euchema cotonii dalam penelitian Ristanti dan Sihombing adalah 24 jam, sedangkan dalam penelitian ini waktu perendaman adalah 9 jam. Selama perendaman, kadar iodium akan semakin menurun karena iodium memiliki karakteristik yang dapat larut dalam air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Trisnowo (1993) bahwa iodium larut dalam air mencapai 0,34 gram/liter pada suhu 25 0C. Komposisi rumput laut segar menurut Ristanti (2003) dan Sihombing (2003) dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Komposisi Kimia Rumput Laut Euchema cotonii Segar (bk) Komponen Kadar lemak Kadar protein Kadar abu Kadar karbohidrat Serat pangan larut Serat pangan tak larut Serat pangan total Iodium
Satuan % % % % % % % µg/g
Ristanti (2003) 2,1 4,3 2,7 90,9 30,8 52,4 83,2 51,3
Sihombing (2003) 1,5 5,4 5,1 38,8 43,2 82,0 54,6
4.2. Formulasi Cendol Rumput Laut
Formulasi cendol rumput laut merupakan tahapan penambahan bubur rumput laut dalam adonan cendol. Dalam pembuatan cendol rumput laut, adonan yang telah dimasak, dicetak dalam cetakan cendol. Untuk menghindari terjadinya pelekatan kembali antar cendol, dibawah cetakan cendol (tempat penampung) diberi air dingin sehingga cendol yang telah dicetak cepat dingin dan tidak terjadi lagi proses glatinisasi. Cendol yang telah dicetak selanjutnya dicuci dengan air agar warnanya lebih cerah (Gambar 10).
37
Faktor penting yang berpengaruh dalam pembuatan cendol ini antara lain komposisi air dan larutan daun suji (Pleomele angustifolia) yang ditambahkan dalam setiap formulasi. Jumlah air yang ditambahkan adonan cendol rumput laut berpengaruh terhadap tekstur, sedangkan jumlah larutan daun suji berpengaruh terhadap warna dan rasa.
Gambar 10. Pencetakan Cendol Rumput Laut. Komposisi bahan yang menjadi perbandingan adalah bubur rumput laut, tepung hunkwee, dan tepung beras. Komposisi penyusun cendol rumput laut yang terpilih diharapkan sebagai komposisi yang ideal sehingga daya terima cendol rumput yang dihasilkan dapat diterima konsumen atau masyarakat. Formulasi cendol rumput laut yang digunakan dalam percobaan ini antara lain bubur rumput laut, tepung hunkwee, dan tepug beras. Penambahan air daun suji dan air panas dalam pembuatan adonan berdasarkan coba-coba (trial and error) sehingga diperoleh cendol rumput laut yang baik dalam hal warna, aroma, tekstur, dan rasa. Penambahan air panas yang terlalu banyak mengakibatkan tekstur cendol yang dicetak menjadi hancur dan larut dalam air pendingin, sedangkan penambahan air daun suji berpengaruh pada kepekatan warna dan aroma. Hal yang lebih penting adalah pengaruhnya terhadap rasa. Komposisi formulasi lengkap cendol rumput laut dalam percobaan ini dapat dilihat pada Tabel 11. Penggunaan perbandingan antara tepung hunkwee dan tepung beras (2 : 1) digunakan berdasarkan data hasil peninjauan di lapangan, dimana cendol komersil diproduksi, yaitu di Desa Kedung Badak, Kabupaten Bogor. Untuk kemudahan dan efisiensi dalam pembuatan cendol rumput laut, digunakan bubur rumput laut (BRL) karena waktu pembuatan bubur rumput laut lebih cepat dan mudah dibandingkan
38
dengan pembuatan tepung rumput laut (TRL) serta tidak memerlukan biaya yang tinggi. Namun demikian, perlu dilakukan konversi sebagai alternatif jika rumput laut yang digunakan dalam pembuatan cendol adalah rumput laut dalam bentuk tepung. Penelitian yang dilakukan oleh Chaidir (2007) menunjukkan bahwa dari rumput laut Euchema cotonii yang telah dibuat bubur dan dibuat tepung rumput laut (TRL) memiliki rendemen 8,33% dengan kadar air 12,34%. Jika didasarkan asumsi bahwa dalam setiap 100 gram bubur rumput laut akan terbentuk 8,33 gram tepung rumput laut, maka penambahan bubur rumput laut pada masing-masing formula dapat dikonversikan dalam bentuk tepung rumput lautnya. Pada formula B dengan penambahan BRL 10% maka BRL dapat disubstitusi dengan TRL 0,833 gram, formula C (BRL 20%) disubstitusi dengan TRL 1,666 gram dan seterusnya. Tabel 11. Komposisi Formulasi Cendol Rumput Laut dalam 100 gr Bahan Formula A B C D E F
Bahan Padat (gr) BRL (atau TRL) T. Hunkwee 0 (0,000) 66,7 10 (0,833) 60,0 20 (1,666) 53,4 30 (2,499) 46,7 40 (3,332) 40,0 50 (4,165) 33,3
T. Beras 33.3 30.0 26.7 23.3 20.0 16.7
Bahan Cair (ml) Daun Suji Air Panas 70 550 70 540 70 510 70 470 60 440 50 400
Uji organoleptik (uji kesukaan) cendol rumput laut
Cendol rumput laut yang telah dicetak selanjutnya dilakukan uji organoleptik. Dalam penelitian ini ada empat parameter yang diukur yaitu warna, aroma, rasa, dan tekstur. Penampakan cendol rumput laut dengan penambahan rumput laut 0% (formula A), 10% (formula B), 20% (formula C), 30% (formula D), 40% (formula E), dan 50% (formula F) dapat dilihat pada Gambar 11 dan hasil uji organoleptik cendol rumput laut dapat dilihat pada histogram Gambar 12. Dari histogram Gambar 12 menunjukkan tidak ada satu formula yang unggul pada semua parameter (warna, aroma, rasa, dan tekstur). Namun demikian terdapat dua parameter yang unggul pada dua formula, yaitu parameter warna pada cendol dengan penambahan rumput laut 10% (formula B) dengan skor rata-rata 7,70 dan parameter tekstur pada cendol dengan penambahan rumput laut 20% (formula C) dengan skor rata-rata 6,65.
39
Formula A
Formula B
Formula C
Formula D
Formula E
Formula F
Gambar 11. Penampilan Enam Jenis Formulasi Cendol Rumput Laut.
9 8
nilai rata-rata
7 6
w arna
5
aroma
4
rasa tekstur
3 2 1 0 A
B
C
D
E
F
Formula
Gambar 12. Histogram Nilai Organoleptik Cendol Rumput Laut.
40
a. Warna
Warna dalam makanan sangat penting karena berpengaruh terhadap penampakan sehingga meningkatkan daya tarik dan memberi informasi yang lebih kepada konsumen tentang karakteristik makanan, terutama citarasanya (Counsell, 1991). Berdasarkan uji kesukaan yang dilakukan oleh panelis, cendol yang rumput laut yang diujikan mempunyai kisaran nilai 4,25 hingga 7,70 (Histogram Gambar 13). Warna cendol rumput laut yang paling disukai panelis adalah formula B (penambahan rumput laut 10%), dimana cendol tersebut memiliki warna hijau yang cerah dan terang. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa formulasi minuman memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna cendol rumput laut. Hal ini diperkuat dengan hasil uji lanjut yang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara cendol rumput laut formula C, D, E, dan F dengan cendol rumput laut A dan B, sedangkan cendol rumput laut formula B berbeda nyata dengan semua formula lainnya (Lampiran 3). w arna 9 7.7
8 Nilai rata-rata
7
6.6
6 5
4.25
4.65
4.8
4.75
D
E
F
4 3 2 1 0 A
B
C
Formula
Gambar 13. Histogram Hasil Uji Warna Formulasi Cendol Rumput Laut. Warna pada cendol rumput laut dipengaruhi oleh konsentrasi larutan daun suji (Pleomele angustifolia) yang ditambahkan dalam adonan. Keunggulan pewarna daun suji ini didasarkan pada sifat alaminya, bukan bahan kimia sintetis yang disinyalir dapat menimbulkan penyakit jika dikonsumsi dalam waktu yang lama. Menurut Mudjayanto (2008) pewarna makanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pewarna alami dan pewarna sintesis. Pewarna alami (contoh: daun suji, daun jambu,
41
daun jati, dan daun pandan) memiliki kelemahan warna tidak homogen dan ketersediaannya terbatas, tetapi lebih aman untuk dikonsumsi. Untuk pewarna sintesis (contoh: Rhodamin B dan Metanil yellow) warna lebih homogen dan penggunaannya efisien karena digunakan dalam jumlah kecil. Kelemahan pewarna sintesis jika terkontaminasi logam berat akan berbahaya bagi kesehatan. Sebagai contoh, Rhodamin B digunakan sebagai pewarna pada sirup, limun, es mambo, bakpau, es cendol, es kelapa, dan permen, sedangkan Metanil yellow banyak digunakan sebagai pewarna pada sirup, pisang goreng, dan manisan mangga (Direktorat Perlindungan Konsumen, 2007). Rhodamin B merupakan pewarna merah sintesis yang biasa digunakan sebagai pewarna tekstil dan kertas, sedangkan Metanil yellow merupakan pewarna kuning sintesis yang berbahaya bagi kesehatan. Kedua jenis pewarna sintesis ini banyak disalahgunakan sebagai bahan pewarna makanan. Penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen (2007) pada tikus percobaan yang diberi perlakuan Rhodamin B dan Metanil yellow menunjukkan adanya pembesaran pada organ hati, ginjal, dan limpa. Dampak yang lebih buruk ditunjukkan pada tikus percobaan yang diberi perlakuan Rhodamin B dan Metanil yellow sekaligus dapat mengakibatkan kanker. b. Aroma (flavour)
Aroma suatu produk sangat berpengaruh terhadap selera konsumen, yang berkaitan dengan indra penciuman yang menimbulkan keinginan atau hasrat untuk mengkonsumsinya. Aroma yang enak akan menggugah selera, sedangkan aroma yang tidak enak akan menurunkan selera konsumen untuk mengkonsumsi produk tersebut. Produk cendol rumput laut dalam penelitian ini memiliki aroma khas daun suji yang menyegarkan. Aroma tepung hunkwee dan tepung beras dapat ditutupi oleh aroma daun suji, sehingga aroma yang muncul hanyalah aroma daun suji. Selain untuk menutupi aroma tepung hunkwee dan tepung beras, aroma daun suji juga mampu meminimalisir aroma rumput laut yang memiliki aroma amis khas rumput laut. Hasil penilaian panelis terhadap cendol rumput laut menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu berkisar antar 5,00 hingga 6,1. Hasil penilaian panelis dapat dilihat pada Histogram Gambar 14.
42
Arom a 7
Nilai rata-rata
6
5.8
6.1 5.55
5.6
5.6 4.95
5 4 3 2 1 0 A
B
C
D
E
F
Formula
Gambar 14. Histogram Hasil Uji Aroma Formulasi Cendol Rumput Laut. Aroma cendol rumput laut yang paling disukai panelis adalah formulasi cendol dengan penambahan rumput laut 10% (formula B) sedangkan nilai terendah formulasi cendol yaitu pada penambahan rumput laut 50% (formula F). Dari hasil penilaian panelis dapat dikatakan bahwa dengan penambahan bubur rumput laut memberikan pengaruh terhadap aroma cendol, karena rumput laut memiliki aroma amis khas rumput laut. Namun demikian pengaruh tersebut tidak begitu kuat yang ditunjukkan dengan hasil analisis sidik ragamnya (Lampiran 4) Analisis sidik ragam mununjukkan bahwa aroma formula cendol rumput laut tidak berbeda nyata. Uji lanjut terhadap aroma menunjukkan formula B berbeda dengan formula F, tetapi tidak berbeda nyata dengan formula lainnya, yaitu formula A, C, D, dan E. c. Rasa
Berdasarkan uji kesukaan yang dilakukan oleh panelis, formulasi cendol rumput laut yang paling disukai adalah cendol dengan penambahan bubur rumput laut 20% dan 30% (formula C dan D) dengan skor 6,00 sedangkan formula cendol yang ditolak oleh panelis adalah cendol dengan penambahan bubur rumput laut 50% (formula F) dengan skor 4,75. Formulasi cendol dengan penambahan rumput laut 20% dan 30% (formula C dan D) memiliki rasa yang enak, dimana rasa daun suji dan rasa tepung beras dan hunkwee tidak terlalu kuat (rasa gabungan), sedangkan pada
43
formulasi cendol dengan penambahan rumput laut 50% (formula F) rasa menjadi agak pahit karena konsentrasi daun suji pada formula tersebut semakin pekat. Hasil uji rasa formulasi cendol rumput laut dapat dilihat pada Histogram Gambar 15. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa formulasi cendol rumput laut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa cendol yang dibuat (lihat Lampiran 5). Hal ini berarti bahwa rasa cendol rumput laut yang diformulasikan memiliki rasa yang hampir seragam yaitu rasa khas daun suji. Uji lanjut yang dilakukan diperoleh hasil bahwa rasa cendol dengan penambahan rumput laut 20% dan 30% (formula C dan D) berbeda dengan cendol rumput laut 50% (formula F) dan tidak berbeda nyata dengan formulasi cendol rumput laut lainnya (formula B, A, dan E). Rasa 7
Nilai rata-rata
6
5.45
5.7
6
5.95
5.25 4.75
5 4 3 2 1 0 A
B
C
D
E
F
Formula
Gambar 15. Histogram Hasil Uji Rasa Formulasi Cendol Rumput Laut. d. Tekstur
Hasil uji tekstur menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai formulasi cendol dengan penambahan rumput laut 10% dan 20% (formula B dan C) dengan skor rata-rata 6,40 dan 6,65 dan menolak formulasi cendol dengan penambahan rumput laut 50% (formula F) dengan skor rata-rata 4,00 (Gambar 16). Pada cendol formula B dan C memiliki tekstur yang sedang, tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembek, sedangkan pada cendol formula F memiliki tekstur yang cukup keras.
44
Tekstur 7
Nilai rata-rata
6
6.4
6.65
5.85
5.8 4.9
5
4
4 3 2 1 0 A
B
C
D
E
F
Formula
Gambar 16. Histogram Hasil Uji Tekstur Formulasi Cendol Rumput Laut. Tekstur cendol rumput laut dipengaruhi oleh komposisi tepung yang digunakan dalam pembuatan adonan terutama tepung beras dan tepung hunkwee. Semakin tinggi jumlah tepung beras dalam campuran tepung hunkwee dan tepung beras (adonan), tekstur yang dihasilkan semakin tidak disukai (Anggraeni, 2002). Hal ini berhubungan dengan perbedaan konsistensi gel antara tepung hunkwee dan tepung beras. Konsistensi gel dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin dalam tepung tersebut. Menurut Kay (1979), banyaknya amilosa dan amilopektin yang terkandung dalam pati kacang hijau masing-masing adalah 28,8% dan 71,2% dari berat total. Sedangkan kandungan amilosa pada beras adalah 16-17% dari berat total (Graham, 1977), dan kandungan amilopektin pada beras sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1992). Beberapa percobaan komposisi yang gagal menunjukkan bahwa komposisi tepung beras yang lebih tinggi dari pada tepung hunkwee mengakibatkan cendol yang dicetak menjadi hancur dan sebagian besar larut bersama air. Menurut Osman (1972), pembentukan gel dapat digambarkan sebagai pembentukan daerah kristal yang sempit dari molekul amilosa dan amilopektin. Semakin tinggi kandungan amilopektin maka konsistensi gel cendol akan semakin baik. Selain faktor komposisi tepung beras dan tepung hunkwee, seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa tekstur ini dipengaruhi juga oleh jumlah bahan cair yang ditambahkan dalam adonan cendol sebelum dicetak. Semakin tinggi jumlah air yang ditambahkan, adonan cendol
45
menjadi lebih encer sehingga menjadi hancur pada saat dicetak, sebaliknya jika jumlah air yang ditambahkan lebih sedikit maka adonan menjadi liat sehingga tekstur cendol yang dicetak menjadi lebih keras. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh dari formulasi terhadap tekstur cendol rumput laut yang dihasilkan. Hal ini diperkuat dengan hasil uji lanjut tekstur yang menunjukkan bahwa cendol dengan penambahan rumput laut 10% dan 20% (formula B dan C) berbeda nyata dengan cendol dengan penambahan rumput laut 40% dan 50% (formula E dan F) tetapi tidak berbeda nyata dengan formula A dan D (Lampiran 6). Batas skor penerimaan cendol rumput laut yang dapat diterima untuk penelitian lanjutan adalah 7 (suka). Cendol rumput laut dengan skor rata-rata 7 adalah terdapat pada cendol dengan penambahan rumput laut 10% (formula B) yang memiliki skor rata-rata 7,7 pada parameter warna dan cendol dengan penambahan rumput laut 20% (formula C) dengan skor rata-rata 6,65 (pembulatan ke atas menjadi 7) pada parameter tekstur. Sedangkan untuk parameter lainnya yaitu aroma dan rasa hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar formulasi, sehingga semua formulasi diasumsikan memiliki aroma dan rasa yang hampir seragam. Warna dan tekstur merupakan faktor penting dalam preferensi konsumen karena dapat meningkatkan daya tarik dan citarasa dalam minuman khususnya cendol rumput laut. Cendol rumput laut yang terpilih untuk proses pengeringan beku (penelitian lanjutan) adalah cendol dengan penambahan bubur rumput laut 10% dan 20% (formula B dan C). Menurut Winarno (1997), suatu bahan pangan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila warnanya tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. 4.3. Pengeringan Beku (Freeze drying) Cendol Rumput Laut
Pengeringan secara umum bertujuan untuk menghilangkan air atau hilangnya pelarut organik. Hilangnya air menjamin stabilitas dan pengawetan yang efektif (Voight, 1994). Dengan pengeringan beku, produk yang dikeringkan (cendol rumput laut) diharapkan memiliki karakteristik yang sama dengan produk sebelum
46
dikeringkan, yaitu tidak keriput (bentuk tetap), bau, warna, dan cita rasa tetap, serta proses rehidrasi lebih cepat. Proses pengeringan pada pengeringan beku berlangsung pada saat bahan dalam kondisi beku, sehingga proses yang terjadi adalah sublimasi. Proses sublimasi terjadi pada suhu dan tekanan rendah, di bawah titik triple air. Mula-mula bahan dalam keadaan beku dimasukkan ke dalam ruang pengering yang hampa udara, panas sublimasi akan diberikan dengan menempatkan lempeng pemanas di dalam ruang pengering, dan panas akan diradiasikan dari lempeng pemanas ke permukaan. 4.3.1. Pembekuan Cendol Rumput Laut
Cendol rumput laut yang terpilih dimasukkan ke dalam ruang pembekuan (freezer) hingga cendol menjadi beku dengan suhu -290C sampai -300C. Suhu bahan semakin menurun dengan bertambahnya waktu pembekuan. Menurut Rachdiani (2001), pada tahap awal pembekuan, gradien penurunan suhu bahan sangat besar hingga suhu bahan mendekati suhu titik beku (00C). Tahap perubahan fase cair menjadi padat terjadi pada suhu sekitar 00C hingga -50C, pada tahap ini gradien penurunan suhu berkurang. Setelah mengalami perubahan fase, gradien penurunan suhu kembali menjadi besar hingga mendekati suhu lempeng pembeku. Proses pembekuan dihentikan apabila suhu bahan sudah hampir seragam, yaitu sekitar -290C sampai -300C. Dalam percobaan ini, waktu yang dibutuhkan untuk pembekuan cendol rumput laut berkisar antara 210-240 menit. Semakin tinggi konsentrasi dan kadar air bahan waktu pembekuan cenderung semakin lama karena dibutuhkan energi yang lebih besar dalam pelepasan panas dari bahan. Kandungan air cendol yang tinggi memerlukan pelepasan jumlah panas yang besar pula untuk merubah fase air menjadi es, berupa panas laten pembekuan dan panas untuk menurunkan suhu air atau es yang terbentuk. Jika pelat pendingin dalam suhu konstan maka waktu pembekuannya akan semakin lama. Yudistira (1999) menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pembekuan pasta jahe hingga suhu akhir bahan bagian atas mencapai -290C berkisar antara 224-276 menit. Perbedaan waktu pembekuan yang dibutuhkan untuk masing-masing produk disebabkan oleh perbedaan konsentrasi dan kandungan bahan yang dibekukan, sehingga panas laten dan panas yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu air juga berbeda.
47
Waktu pembekuan cendol rumput laut dalam penelitian ini dikategorikan sebagai pembekuan lambat karena waktu yang dibutuhkan untuk membekukan bahan secara keseluruhan lebih dari 30 menit. Menurut Desrosier (1988), jika waktu yang dibutuhkan untuk membekukan suatu bahan adalah 30 menit atau kurang, maka proses pembekuan tersebut termasuk dalam pembekuan cepat, sebaliknya jika lebih dari 30 menit dapat dikatakan sebagai pembekuan lambat. Pada proses pembekuan lambat, akan terbentuk kristal-kristal es yang cukup besar dalam cendol yang dibekukan. Kristal-kristal es yang besar dapat merusak jaringan cendol sehingga berpengaruh terhadap cendol pada saat di freeze drying. Menurut Desrosier (1988), sel-sel daging unggas, ikan, kerang, buah-buahan, dan sayuran semuanya mengandung protoplasma yang menyerupai selai. Jika produk dibekukan dengan lambat atau dalam suhu yang berfluktuasi selama pembekuan, maka akan memberi kesempatan pertumbuhan kristal es. Oleh karenanya sel-sel menjadi rusak dan jaringan yang dicairkan tidak dapat kembali seperti keadaan menyerupai selai yang asli. Sebagian cairan yang dihasilkan dari pencairan tidak dapat diserap kembali dan terlihat seperti air bebas. Dalam penelitian ini, pencairan diasumsikan sama dengan proses pengambilan cairan pada saat dilakukan pengeringan beku (freeze drying) melalui proses sublimasi. Dalam proses sublimasi inilah diduga terjadinya perubahan irreversible di dalam struktur koloidal cendol rumput laut, terutama faktor kekenyalan (tekstur), warna, cita rasa, dan kehilangan zat gizi. Cendol rumput laut yang telah dibekukan dapat dilihat pada Gambar 17.
Kontrol
Formula B
Formula C
Gambar 17. Penampakan Cendol Rumput Laut Beku.
48
4.3.2. Pengeringan Cendol Rumput Laut
Pengeringan beku diperlukan tekanan mutlak yang rendah di dalam ruang pengering sehingga untuk menjaga agar tekanan dalam ruang pengering tetap rendah maka uap air yang menyublim diperangkap dengan “Cold trap” yang berupa lempeng pembeku freezer. Pada penelitian ini suhu cold trap diturunkan hingga suhu -500C, dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu tersebut adalah antara 10-15 menit. Setelah suhu cold trap mencapai suhu -500C, maka pompa vakum dinyalakan sehingga secara perlahan tekanan dalam ruang pengering menurun hingga 5 mikron Hg dalam waktu 15 menit. Proses pengeringan pada pengeringan beku berlangsung pada saat bahan dalam keadaan beku, sehingga proses yang terjadi adalah sublimasi. Sublimasi terjadi pada suhu dan tekanan yang rendah, yaitu di bawah titik triple air. Mula-mula bahan dalam keadaan beku dimasukkan ke dalam ruang pengering yang hampa udara (vacuum chamber). Dengan berlanjutnya proses pengeringan, bahan bagian dalam yang masih beku tertutup oleh bagian kering yang berpori. Melalui bagian bahan yang berpori tersebut, panas akan dikonduksikan untuk melanjutkan proses sublimasi. Uap hasil sublimasi akan keluar melalui bagian kering yang berpori tersebut. Dengan demikian, proses pengeringan beku mencakup keseimbangan antara perpindahan panas dari luar ke dalam bahan dan perpindahan massa dalam ke luar bahan yang secara bersamaan melewati lapisan yang kering tersebut. Lapisan kering bertindak sebagai isolator (penghambat pergerakan) panas dan massa (uap air), dan semakin lama lapisan kering tersebut akan semakin tebal. Penelitian yang dilakukan oleh Rachdiani (2001) dalam pengeringan beku buah durian yang menyatakan bahwa laju pengeringan akan semakin menurun dengan lamanya waktu pengeringan. Laju pengeringan dapat diukur dari pergerakan fraksi airnya. Fraksi air menurun dengan tajam pada saat awal pengeringan, dan melandai pada akhir pengeringan hingga mencapai kondisi keseimbangan (Gambar 18). Pergerakan fraksi air dalam pengeringan beku mempunyai gradien bergerak menurun dengan tajam dan menjelang akhir proses pengeringan, gradien pergerakan fraksi air mulai melandai. Hal ini menunjukkan semakin sedikitnya kandungan air
49
dalam bahan yang harus diuapkan dan pada proses akhir pengeringan, tidak terjadi lagi penurunan massa bahan (massa bahan telah mencapai keseimbangan).
fraksi air
1.00
0.50
0.00 0
2
4
6
8
10
waktu (detik) x 10.000
Gambar 18. Grafik Pergerakan Fraksi Air Pengeringan Beku Buah Durian pada Tekanan 133,3 Pa (Rachdiani, 2001). Cendol rumput laut yang telah dikeringkan selanjutnya dikemas dalam kemasan yang kedap air sehingga uap air dari lingkungan tidak terserap kembali sehingga akan mempengaruhi keseimbangan kadar airnya. Cendol rumput laut yang telah dikeringkan dapat dilihat pada Gambar 19. 4.4. Analisis Cendol Rumput Laut Kering
Cendol rumput laut yang telah kering selanjutnya diuji kandungan gizinya, terutama kadar air, serat pangan, dan iodiumnya. Kadar air merupakan faktor penting dalam penyimpanan makanan karena akan berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba dan berperan besar terhadap reaksi kimia bahan pangan, sehingga mempengaruhi daya simpan dan kelayakan untuk dikonsumsi selama penyimpanan. Kadar serat pangan dan iodium merupakan kandungan cendol rumput laut yang diharapkan manfaatnya untuk dikonsumsi. Kadar serat pangan dan iodium penting diketahui untuk memperkirakan jumlah konsumsi dalam setiap takaran saji cendol instant. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa cendol kontrol memiliki kadar air 10,89%, formula B 11,25%, dan formula C 11.51%. Hasil lengkap analisis proksimat, serat pangan, dan iodium dapat dilihat pada Tabel 12.
50
Kontrol
Formula B
Formula C Gambar 19. Penampakan Cendol Rumput Laut Setelah Freeze Drying .
51
Tabel 12. Komposisi Gizi Cendol Rumput Laut Kering (bk) Komponen Kadar lemak Kadar protein Kadar abu Kadar karbohidrat Serat pangan larut Serat pangan tak larut Serat pangan total Iodium
Satuan % % % % % % % µg/g
Kontrol 4,80a 3,10a 0,71a 91,09a 4,20b 10,84c 15,04c 7,89b
Formula B 4,20b 3,28a 0,75a 91,69a 5,18a 12,22b 17,40b 9,01a
Formula C 4,15b 3,36a 0,82a 91,67a 5,32a 13,36a 18,68a 9,31a
Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05
4.4.1. Analsis Proksimat
Analisis proksimat untuk mengetahui sifat kimia dari ketiga jenis cendol yang telah dikeringkan, yaitu cendol kontrol (rumput laut 0%), formula B (rumput laut 10%), dan formula C (rumput laut 20%). Analisis yang dilakukan meliputi kadar air, lemak, protein, abu, dan karbohidrat. a. Kadar air
Menurut Buckle et al., (1987) kadar air merupakan faktor penting dalam penyimpanan produk pangan, terutama produk olahan karena dapat menentukan daya awet bahan pangan. Hal ini berkaitan dengan sifat air yang dapat mempengaruhi sifat fisik, perubahan kimia, perubahan mikrobiologi, dan perubahan enzimatis. Perubahan-perubahan tersebut akan mempengaruhi tekstur, penampakan, aroma, dan cita rasa makanan. Hasil pengukuran kadar air cendol rumput laut instan menunjukkan bahwa cendol rumput laut formula C memiliki kadar air tertinggi, diikuti formula B, dan terendah pada cendol kontrol. Hasil pengukuran kadar air cendol rumput laut kering formula B, formula C, dan kontrol dapat dilihat pada Gambar 20. Cendol rumput laut kering formula C memiliki kadar air 11,51%, diikuti formula B 11,25%, sedangkan cendol kontrol memiliki kadar air 10,89%. Perbedaan kadar air pada cendol rumput disebabkan karena adanya tambahan rumput laut pada masing-masing formula tersebut, dimana bubur rumput laut Euchema cotonii memiliki kandungan air yang cukup tinggi yaitu 96,12% sehingga meningkatkan kadar air cendol tersebut. Air yang ada dalam bubur rumput terbagi dalam dua fraksi yaitu fraksi bebas dan fraksi terikat. Fraksi air bebas akan tersublimasi selama proses
52
pengeringan, sedangkan fraksi air terikat diduga sebagian tetap berada dalam bahan, sehingga penambahan bubur rumput laut menyebabkan kadar air cendol formula B dan formula C lebih tinggi dibandingkan dengan cendol kontrol. kadar air 12.0 11.51
11.5 11.0
11.25 10.89
10.5 10.0 kont r ol
f or mula B
f or mula C
Gambar 20. Kadar Air Cendol Rumput Laut Kering Formula B, Formula C, dan Kontrol. Kadar air cendol rumput laut formula B dan formula C masih berada dalam batas standar Nasional Indonesia (SNI) yang disamakan dengan produk mi instan yaitu SNI 01-3551-2000 dengan kadar air maksimal 14,5%. Penggunaan SNI mi instan sebagai pembanding dikarenakan karakteristik mi instan yang hampir sama dengan cendol instant, yaitu merupakan produk olahan kering dan disajikan instan. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa penambahan bubur rumput laut berpengaruh nyata terhadap kadar air cendol kering. Uji lanjut menunjukkan bahwa kadar air cendol kering formula B dan formula C tidak berbeda nyata, tetapi keduanya berbeda nyata dengan cendol kontrol (Lampiran 7). Dengan demikian penambahan rumput laut dapat meningkatkan kadar air cendol. b. Protein
Kandungan protein setiap rumput laut berbeda, tergantung dari jenis dan daerah tumbuhnya. Dalam penelitian ini, bubur rumput laut Euchema cotonii memiliki kadar protein yang cukup tinggi yaitu 20,1% sehingga diharapkan juga sebagai sumber protein cendol rumput laut tersebut selain sebagai sumber serat pangan dan iodium. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa cendol rumput laut kering formula C memiliki kandungan protein tertinggi dibandingkan dengan formula B atau kontrol. Hasil lengkap pengamatan dapat dilihat pada Gambar 21.
53
protein 3.5 3.36
3.4 3.28
3.3 3.2 3.10
3.1 3.0 kont rol
f ormula B
f ormula C
Gambar 21. Kadar Protein (bk) Cendol Rumput Laut Kering Formula B, Formula C, dan Kontrol. Kadar protein cendol tertinggi diperoleh pada formula C yaitu 3,36%, formula B, 3,10%, dan kontrol 3,10%. Hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa kadar protein cendol formula C dan formula B tidak berbeda nyata dengan kontrol (Lampiran 8). Hal ini dapat dikatakan bahwa penambahan bubur rumput laut tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan protein cendol. Rendahnya kandungan protein dalam cendol ini disebabkan proses pengolahan selama proses pencetakan cendol yang menggunakan suhu tinggi (direbus) dapat menurunkan kandungan proteinnya. Hasil penelitian Astawan et al., (2004) menunjukkan bahwa proses pembuatan mi instan dan mi kering yang berbeda menghasilkan kadar protein yang berbeda. Pada mi instan dilakukan proses penggorengan dengan suhu 150oC memiliki kadar protein 11,6% sedangkan pada mi kering dengan proses oven pada suhu
suhu yang lebih rendah yaitu 60-70oC
memiliki kadar protein 15,5%. Kadar protein cendol formula B dan formula C yang dihasilkan dalam penelitian ini masih mendekati SNI mi instan dengan bahan baku bukan terigu yaitu 4%. c. Lemak
Berdasarkan analisis sidik ragam, diketahui bahwa cendol kering formula B dan C tidak berbeda nyata, tetapi keduanya berbeda nyata dengan cendol kontrol (Lampiran 9). Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan lemak cendol formula
54
B dan formula C lebih rendah dibandingkan cendol kontrol. Kadar lemak cendol yang dianalisis dengan kisaran 4,15% sampai 4,80%. Menurut Winarno (1996) kandungan protein dan lemak pada rumput laut sangat sedikit karena sebagian besar rumput laut terdiri dari karbohidrat dalam bentuk senyawa gum yang sulit dicerna.
lemak 5.00 4.80
4.75 4.50 4.20
4.25
4.15
4.00 kont rol
f ormula B
f ormula C
Gambar 22. Kadar Lemak (bk) Cendol Rumput Laut Kering Formula B, Formula C, dan Kontrol. d. Kadar Abu
Abu merupakan ukuran dari komponen anorganik yang ada dalam suatu bahan makanan. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan bahan mineral karena adanya beberapa komponen yang hilang selama pembakaran dan penguapan atau karena adanya interaksi antar konstituen.
abu 1.2 0.9
0.71
0.75
0.82
0.6 0.3 0.0 kont r ol
f or mula B
f or mula C
Gambar 23. Kadar Abu (bk) Cendol Rumput Laut Kering Formula B, Formula C, dan Kontrol.
55
Pada penelitian ini, hasil pengukuran diketahui cendol kering formula C memiliki kadar abu paling tinggi yaitu 0,82%, formula B 0,75%, dan kontrol 0,71%. Yuliarti (1999) menyatakan bahwa penambahan rumput laut pada suatu produk dapat meningkatkan nilai kadar abunya. Semakin banyak rumput laut yang ditambahkan maka kadar abu akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan rumput laut memberikan sumbangan zat mineral yang cukup tinggi. Namun dalam penelitian ini penambahan bubur rumput laut 10% dan 20% belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kadar abu cendol rumput laut. Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa penambahan bubur rumput laut tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan abu cendol instan (Lampiran 10). Dengan demikian penambahan bubur rumput laut tidak meningkatkan kadar abu secara nyata. Hal ini mungkin disebabkan karena penambahan bubur rumput laut tidak signifikan sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan abu cendol rumput laut. Namun demikian, penambahan bubur rumput laut menunjukkan tren peningkatan kadar abu pada cendol formula B dan formula C. e. Karbohidrat
Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa penambahan bubur rumput laut tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat cendol rumput laut kering (Lampiran 11). Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar karbohidrat masing-masing bahan (tepung hunkwee dan tepung beras) sehingga dapat saling mensubstitusi kadar karbohidrat pada formula B, formula C, dan kontrol. Berdasarkan data Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1979) kandungan kabohidrat tepung hunkwee dan tepung beras cukup tinggi yaitu 83,5% dan 80,0%, sedangkan kandungan karbohidrat bubur rumput laut pada penelitian ini adalah 71,39%. Gambar 24 menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat cendol rumput laut formula B yaitu 91,69%, formula C 91,67%, dan cendol kontrol 91,09%. Penambahan bubur rumput laut tidak meningkatkan kandungan karbohidrat cendol rumput laut yang dihasilkan. Hal ini bisa disebabkan oleh tingginya kandungan karbohidrat dari tepung hunkwee dan tepung beras yang digunakan dalam adonan cendol ini, sehingga penambahan bubur rumput laut tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar karbohidrat cendol rumput laut.
56
karbohidrat 92
91.69
91.67
f or mula B
f ormula C
92 91.09
91 91 90 kont r ol
Gambar 24. Kadar Karbohidrat (bk) Cendol Rumput Laut Kering Formula B, Formula C, dan Kontrol. 4.4.2. Serat Pangan (dietary fiber)
Menurut Astawan, et al., (2004), serat Pangan (dietary fiber) adalah suatu karbohidrat kompleks di dalam bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan manusia. Serat pangan diketahui memiliki efek fungsional yang menguntungkan bagi kesehatan manusia, diantaranya dapat menurunkan kolesterol darah, memperbaiki fungsi-fungsi pencernaan dan mencegah berbagai penyakit degeneratif. Hasil analisis serat pangan (dietary fiber) cendol rumput laut diketahui bahwa penambahan bubur rumput laut sebesar 10% (formula B) dan 20% (formula C) dapat meningkatkan kadar serat pangat total. Hal ini dapat dilihat dari nilai total serat pangan pada masing-masing cendol rumput laut kering yang dihasilkan. Kadar serat pangan cendol formula C yaitu 18,68%, formula B 17,40%, dan kontrol 15,04%. Komposisi utama serat pangan (dietary fiber) cendol rumput laut kering yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah serat pangan tak larut (insoluble dietary fiber). Kadar serat pangan (dietary fiber) cendol rumput laut kering dapat dilihat pada Gambar 25. Berdasarkan Gambar 25, dapat diketahui kandungan serat pangan tak larut (insoluble dietary fiber) hampir 2,5 kali lebih tinggi dari pada serat pangan larut (soluble dietary fiber). Serat pangan tak larut (insoluble dietary fiber)
cendol
formula C yaitu 13,36%, formula B 12,22%, dan kontrol 10,84%, sedangkan
57
kandungan serat pangan larut (soluble dietary fiber) untuk formula C adalah 5,32%, formula B 5,18%, dan kontrol 4,2%.
serat pangan 23 18.68
17.4
13.36 12.22 10.84
15.04
18 13 8
5.32 5.18 4.2
3
SDF
ko ntro l
IDF
TDF
fo rmula B
fo rmula C
Gambar 25. Kadar Serat Pangan (bk) Cendol Rumput Laut Kering Formula B, Formula C, dan Kontrol. Dari hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa penambahan bubur rumput laut 10% (formula B) dan 20% (formula C) berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan serat pangan tak larut (insoluble dietary fiber) cendol rumput laut. Uji lanjut menunjukkan bahwa kandungan serat pangan tak larut formula B dan formula C tidak berbeda nyata, tetapi berbeda sangat nyata terhadap cendol kontrol. Untuk serat pangan larut (soluble dietary fiber) hasil analisis sidik ragam menunjukkan penambahan bubur rumput laut 10% (formula B) dan 20% (formula C) berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan serat pangan larut cendol rumput laut. Uji lanjut serat pangan larut menunjukkan perbedaan sangat nyata antara cendol formula C, formula B, dan kontrol (Lampiran 12 dan 13). Demikian juga dengan kandungan serat pangan totalnya, hasil analisis sidik ragam menunjukkan penambahan bubur rumput laut berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan serat pangan total cendol rumput laut. Uji lanjut diketahui penambahan bubur rumput laut 20% (formula C) berbeda sangat nyata dengan penambahan 10% (formula B) dan kontrol. Dengan demikian penambahan bubur rumput laut 10% dan 20% dapat meningkatkan kadar serat pangan kedua cendol rumput laut tersebut.
58
Saat ini kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi serat sudah semakin baik. Selain manfaat serat untuk kesehatan, sebagian masyarakat mengkonsumsi serat untuk tujuan diet (menjaga berat badan). Menurut Dietary Guidelines for American menganjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung pati dan serat dalam jumlah tepat yaitu 20 hingga 35 gram per hari untuk menghindari kelebihan lemak jenuh, kolesterol, gula, natrium, serta membantu mengontrol berat badan. American Dietetic Association (ADA), National Center Institute, dan American Cancer Society merekomendasikan konsumsi serat setiap hari antara 25 hingga 35 gram atau 10 hingga 13 gram serat per 1000 Kcal untuk orang dewasa dan manula. Untuk anak-anak dan remaja (umur 2 hingga 20 tahun), ADA merekomendasikan konsumsi serat setiap hari antara 7 hingga 25 gram (Anonymousb, 2007). Untuk memenuhi angka kecukupan tersebut, masyarakat dapat mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung serat, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Selain sayur-sayuran dan buah-buahan, makanan fungsional seperti cendol rumput laut dapat dipilih sebagai alternatif untuk mencukupi kebutuhan serat pangan tersebut. Kadar serat pangan total cendol rumput laut formula B adalah 17,4% sedangkan formula C 18,68%. Dengan demikian, setiap gram dari cendol rumput laut formula B mengandung serat pangan 0,174 gram dan untuk formula C 0,187 gram. Jika dalam satu takaran saji adalah sebanyak 20 gram maka jumlah serat yang dikonsumsi adalah 3,48 gram untuk cendol formula B dan 3,74 gram untuk cendol formula C. Apabila dalam satu hari diasumsikan diminum sebanyak tiga kali maka jumlah asupan serat pangannya adalah 10,44 gram untuk formula B dan 11,22 gram untuk formula C yang berarti bahwa dengan mengkonsumsi cendol ini dapat memenuhi hampir setengah dari kebutuhan serat pangan harian. Dengan mengkonsumsi cendol rumput laut diharapkan dapat mencukupi sebagian kebutuhan serat pangan setiap hari, sehingga dapat terhindar dari penyakir degeneratif. 4.4.3. Iodium
Kadar iodium cendol yang dihasilkan dalam penelitian ini cukup tinggi. Gambar 26 menunjukkan kadar iodium cendol rumput laut formula B, formula C, dan kontrol. Dari Gambar 26 diketahui bahwa cendol rumput laut formula C memiliki kadar iodium tertinggi yaitu 9,31 µg/g, diikuti formula B 9,01 µg/g, dan
59
kontrol 7,89 µg/g. Menurut Nurlaila et al., (1997) rumput laut dapat digunakan sebagai bahan subtitusi dalam pengembangan produk sumber iodium antara lain barupa kelompok produk makanan selingan/makanan jajanan, kelompok produk lauk-pauk, dan kelompok produk sayur-sayuran.
iodium 9.5
9.31 9.01
9.0 8.5 8.0
7.89
7.5 7.0 kont r ol
f or mula B
f or mula C
Gambar 26. Kadar Iodium (bk) Cendol Rumput Laut Formula B, Formula C, dan Kontrol. Kadar iodium cendol rumput laut formula C dan formula B ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan kadar iodium mi instan hasil penelitian Astawan et al., (2004), dengan penambahan bubur rumput laut 37% dalam adonan mi instan kadar iodium yang dihasilkan adalah 5,5 µg/g (bk). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh proses pengolahan yang berbeda terutama suhu yang digunakan selama pengolahan. Mi instan dalam penelitian tersebut diproses dengan digoreng pada suhu 150 oC sedangkan cendol rumput laut hanya proses perebusan pada suhu 100 oC sehingga pada proses pengolahan suhu yang lebih tinggi lebih banyak iodium yang hilang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hetzel (1988) bahwa kandungan iodium bahan makanan dapat hilang melalui pengolahan. Hasil penelitiannya pada ikan menunjukkan bahwa kadar iodium dapat berkurang akibat proses pengolahan, dimana
cara
menggoreng
dapat
menghilangkan
iodium
sebesar
29-35%,
memanggang atau membakar sebesar 23%, dan merebus 58-70%. Menurut Trisnowo (1992), pada media panas dimana suhu udara lebih tinggi dari 20 oC, iodium akan mudah terhidrolisis. Jadi apabila bahan pangan sumber
60
iodium diperlakukan pada media tersebut dalam waktu yang lama maka kandungan iodium akan berkurang bahkan habis selama proses pengolahan. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan bubur rumput laut berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan iodium cendol rumput laut. Dari uji lanjut diketahui cendol formula B dan formula C tidak berbeda nyata, tapi masingmasing berbeda nyata terhadap cendol kontrol. Menurut Hetzel dan Welby (1997) menyatakan bahwa dalam keadaan normal, asupan iodium harian untuk orang dewasa berkisar antara 100-150 µg per hari, dimana kebutuhan per hari sekitar 1-2 µg/kg berat badan. Berdasarkan kelompok umur, kebutuhan iodium dapat dibagi dalam beberapa kelompok. Kebutuhan iodium menurut kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini. Tabel 13. Kebutuhan Iodium Menurut Kelompok Umur Kelompok umur 0-6 bulan 7-12 bulan 1-3 tahun 4-6 tahun 7-9 tahun 10 - < 60 tahun Hamil Menyusui
Kebutuhan iodium (µg/hari) 50 70 70 100 120 150 175 200
Sumber : Widyakarya Pangan dan Gizi Nasional (1998)
Didasarkan pada Tabel 13, diketahui anak-anak usia 4-6 tahun membutuhkan iodium sebanyak 100 µg perhari. Agar angka kebutuhan gizi tersebut terpenuhi, maka pada anak-anak dianjurkan untuk mengkonsumsi cendol rumput laut formula B sebanyak 11 gram per hari atau 10 gram untuk cendol formula C. Untuk orang dewasa dengan kebutuhan iodium 150 µg per hari, dianjurkan untuk mengkonsumsi sebanyak 17 gram cendol rumput laut formula B atau 16 gram formula C. Jika dalam satu takaran saji cendol rumput laut adalah 20 gram maka untuk mencukupi kebutuhan iodium untuk anak-anak dianjurkan mengkonsumsi setengah kemasan per hari, sedangkan untuk orang dewasa maksimal satu kemasan per hari. Dengan mengkonsumsi cendol rumput laut setiap hari, diharapkan dapat mencukupi kebutuhan iodium setiap hari sehingga dapat mencegah terjadinya Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI). GAKI adalah sekumpulan gejala
61
atau kelainan yang ditimbulkan karena tubuh menderita kekurangan iodium secara terus–menerus dalam waktu yang lama yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup (manusia dan hewan) (Depkes RI, 1996). Makin banyak tingkat kekurangan iodium yang dialami makin banyak komplikasi atau kelainan yang ditimbulkannya, meliputi pembesaran kelenjar tiroid dan berbagai stadium sampai timbul bisu-tuli dan gangguan mental akibat kretinisme (Chan et al, 1988). 4.4.4. Analisis Daya Serap Air
Menurut Astawan et al., (2004), daya serap air atau rehidrasi adalah kemampuan suatu bahan pangan untuk menyerap air kembali setelah mengalami proses pengeringan. Sedangkan waktu rehidrasi didefinisikan sebagai lamanya bahan pangan tersebut untuk melakukan rehidrasi. Daya serap air cendol rumput laut ini penting diketahui sebagai bahan pertimbangan dalam rehidrasi cendol kering sebelum disajikan. Hasil analisis daya serap air diketahui cendol rumput laut kering formula C memiliki daya serap air sangat tinggi yaitu 250,5%, cendol formula B 239,3%, dan cendol kontrol 235,8%, dengan waktu rehidrasi rata-rata 3,1 menit. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa setiap 10 gram cendol kering formula C dapat menyerap air sebanyak 25,05 ml air, untuk formula B 23,93 ml air, dan untuk cendol kontrol 23,58 ml air. Dibandingkan dengan penelitian Astawan et al., (2004) tentang mi instan dan mi kering rumput laut serta penelitian Prangdimurti (1991) tentang mi kering yang disubstitusi dengan tepung singkong, daya serap air cendol rumput laut dalam penelitian ini ini lebih tinggi. Hasil penelitian Astawan et al., (2004) menunjukkan bahwa daya serap air mi instan rumput laut adalah 138,0% dan mi kering 153,7%. Penelitian Prangdimurti (1991) menunjukkan bahwa daya serap air mi kering yang disubstitusi dengan singkong antara 137,67% - 191,66%. Daya serap air cendol formula B dan formula C lebih tinggi dibandingkan dengan mi instan dan mi kering disebabkan karena metode yang digunakan dalam pengeringan cendol rumput laut adalah metode pengeringan beku (freeze drying), sedangkan pada mi instan dan mi kering digunakan metode pengeringan dengan penggorengan dan pengeringan oven. Menurut Tischer dan Brockman dalam Desrosier (1988) suatu produk yang dikeringkan dengan pengeringan beku (freeze
62
drying) mempunyai porositas lebih tinggi dibandingkan dengan metode pengeringan lainnya, dimana produk yang dihasilkan kering dan berongga. Menurut Munarso (1989), daya serap air suatu bahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain porositas dan komposisi kimia bahan. Serat pangan memiliki daya serap air yang tinggi karena memiliki ukuran polimer yang besar, struktur yang komplek dan banyak mengandung gugus hidroksil. Selain itu, komponen utama serat berupa selulosa memiliki fungsi sebagai pengikat air dan kation bahan (Sofia, 1998). Porositas cendol rumput laut dipengaruhi oleh konsentrasi awal cendol rumput laut. Semakin rendah konsentrasi bahan cendol rumput laut terutama komposisi tepung hunkwee dan tepung beras, porositas cendol semakin besar. Hal ini terjadi karena cendol rumput laut yang memiliki konsentrasi tepung rendah memiliki konsentrasi air yang lebih tinggi, sehingga es yang menyublim dari cendol rumput laut akan meninggalkan ruang kosong atau rongga yang lebih besar sehingga porositas cendol rumput laut menjadi lebih besar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Yudistira (1999) yang menyatakan bahwa konsentrasi awal jahe mempengaruhi porositas pasta jahe yang dihasilkan. Pada konsentrasi awal jahe 8,37% mempunyai porositas 0,96 sedangkan pada jahe dengan konsentrasi awal 16,65% mempunyai porositas 0,75. Selain berpengaruh terhadap porositas, konsentrasi awal bahan juga berpengaruh tidak langsung terhadap permeabilitas uap air dalam produk yang dihasilkan, dimana semakin kecil konsentrasi bahan maka porositas bahan menjadi semakin besar. Dengan demikian semakin besar porositas cendol rumput laut maka jumlah pori yang terbentuk semakin besar sehingga daya serap air juga meningkat. porositas cendol rumput laut kering dalam penelitian ini dapat dilihat dari banyaknya rongga-rongga yang terbentuk setelah dikeringkan dengan freeze drying. Phorous atau rongga-rongga cendol rumput laut kering dapat dilihat pada Gambar 27.
63
rongga
rongga
(a)
(b)
rongga
(c)
Gambar 27. Penampakan Rongga-Rongga Cendol Rumput Laut Kering Formula B (a), Formula C (b), dan Kontrol (c) (Pembesaran 200x). 4.4.5. Analisis Mikrobiologi (Total Plate Count)
Analisis mikrobiologi merupakan satu analisis kuantitatif untuk mengetahui mutu bahan pangan, yaitu dengan menghitung jumlah koloni dalam setiap gram bahan pangan. Metode yang digunakan adalah dengan angka lempeng total (Total Plate Count). Prinsip dari metode ini adalah jika mikroba hidup yang ada dalam bahan pangan ditumbuhkan pada medium agar, maka mikroba tersebut akan tumbuh dan berkembang biak membentuk koloni. Koloni inilah yang dihitung untuk memperkirakan jumlah mikroba yang tumbuh dalam bahan pangan tersebut. Hasil perhitungan angka lempeng total yang diperoleh dari cendol rumput laut untuk formula C berjumlah 7,2 x 101 unit koloni/gram dan untuk formula B 7,0 x 101 unit koloni/gram. Dibandingkan dengan SNI biskuit (SNI 01-2973-1992), angka lempeng total cendol rumput laut formula B dan formula C masih berada dibawah batas angka maksimal yaitu 1,0 x 104 unit koloni/gram. Hal ini berarti bahwa minuman cendol rumput laut ini aman untuk dikonsumsi. Dipilihnya SNI biskuit sebagai pembanding dengan alasan bahwa biskuit merupakan makanan yang dapat langsung dikonsumsi tanpa melalui proses pemanasan terlebih dahulu (seperti; direbus atau digoreng). Demikian juga dengan cendol rumput laut instan yang dikonsumsi hanya melalui proses rehidrasi pada air suhu ruang (27-30oC).
64
Kemampuan mikroorganisme untuk tumbuh dan tetap hidup merupakan hal yang penting dalam ekosisitem pangan. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme adalah ketersediaan zat gizi, waktu, suhu, kadar air, dan tersedianya oksigen (Buckle et al., 1985). Sejalan dengan pernyataan tersebut, penelitian yang telah dilakukan oleh Setyaningsih et al., (2001) tentang penyimpanan produk tangkue rumput laut yang menyatakan bahwa daya simpan produk tangkue rumput laut dipengaruhi oleh kadar air, Aw, dan waktu. Produk tangkue rumput laut tidak memenuhi batas SNI pada penyimpanan minggu ke-7 dengan total mikroba 105 unit koloni/gram. 4.4.6. Uji Organoleptik (Perbandingan Pasangan)
Industri minuman fungsional untuk kesehatan akhir-akhir ini berkembang dengan pesat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jenis minuman kesehatan yang dibuat oleh perusahaan yang memiliki tujuan untuk kesehatan, seperti minuman isotonik sebagai pengganti ion tubuh, minuman sari buah sebagai sumber vitamin, dan minuman berserat sebagai alternatif sumber serat pangan (dietary fibre) memiliki efek fungsional yang menguntungkan bagi kesehatan manusia, diantaranya dapat menurunkan kolesterol darah, memperbaiki fungsi-fungsi pencernaan, dan mencegah berbagai penyakit degeneratif (Astawan et al., 2004). Ilmuwan Jepang menyatakan, terdapat tiga fungsi dasar pangan fungsional, yaitu a) sensory (warna dan penampilannya menarik, serta citarasa yang enak), b) nutritional (bernilai gizi tinggi), dan c) physiological (memberikan pengaruh fisiologis yang menguntungkan bagi tubuh). Beberapa fungsi fisiologis yang diharapakan antara lain; pencegahan dari timbulnya penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, regulasi kondisi ritme fisik tubuh, memperlambat proses penuaan, dan penyehatan kembali atau recovery (Muchtadi, 2001). Kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi serat memacu industri makanan dan minuman untuk melakukan diversifikasi produk dengan produk intinya berupa serat pangan (dietary fiber) dalam bentuk instan. Produk instan merupakan tuntutan konsumen masa kini yang dituntut serba cepat dan tidak merepotkan. Minuman berserat yang ada di pasaran saat ini di jual dengan berbagai bentuk dan merk. Ada yang dalam bentuk serbuk yang diseduh dengan air, dan ada pula dalam bentuk serbuk yang dapat dicampur dalam minuman ataupun makanan. Banyaknya
65
minuman berserat yang ada di pasaran akan memperbanyak alternatif minuman berserat yang dapat dipilih oleh konsumen. Hal ini akan meningkatkan persaingan bagi produsen minuman berserat tersebut sehingga hanya produk yang dapat diterima oleh konsumen yang akan dikonsumsi. Cendol rumput laut instan sebagai salah satu alternatif minuman sumber serat yang sudah dikenal di seluruh Wilayah Indonesia diharapkan dapat diterima oleh konsumen, baik dari aspek manfaat maupun aspek komersilnya. Produk cendol rumput laut dan cendol komersil siap saji dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28. Cendol Rumput Laut Formula B (kiri), Cendol Komersil (tengah), dan Cendol Rumput Laut Formula C (kiri). Aspek komersial produk cendol rumput laut instan selain dari faktor kemasan dan marketing antara lain warna, aroma, rasa, dan teksturnya setelah direhidrasi. Untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap produk cendol rumput laut instan ini maka perlu dilakukan uji pembedaan sifat atau mutu produk yang dihasilkan terhadap produk komersiil sejenis. Produk cendol rumput laut instan yang dihasilkan dalam penelitian ini dibandingkan dengan produk cendol komersiil. Hasil uji yang didapat adalah respon beda, dimana respon beda yang diberikan adalah lebih tinggi atau lebih rendah. Respon yang diharapkan dalam uji perbandingan adalah lebih tinggi (skor positif) yang berarti bahwa produk cendol yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih baik untuk parameter-parameter yang diujikan. Hasil uji perbandingan pasangan cendol rumput laut instan Formula B dapat dilihat pada
66
Gambar 29, sedangkan hasil uii perbandingan pasangan cendol rumput laut Formula C dapat dilihat pada Gambar 30. a. Warna
Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa cendol rumput laut instan formula B dan formula C lebih disukai oleh panelis untuk parameter warna dengan skor rata-rata 0,15 dan 0,3. Penilaian positif yang dihasilkan dapat diartikan bahwa warna cendol rumput laut instan formula B dan formula C yang memiliki warna lebih hijau, dengan hijau daun suji lebih baik atau lebih disukai oleh panelis dari pada produk komersil yang memiliki warna hijau agak gelap.
f ormula B 0.4
0.15
0 -0.4 -0.4 -0.8 -0.7 -1.2 warna
-1.05 aroma
rasa
t ekst ur
Gambar 29. Hasil Uji Perbandingan Pasangan Cendol Rumput Laut Formula B.
f ormula C 0.4
0.3
0
-0.4
-0.25 -0.45
-0.8
-0.6 warna
aroma
rasa
t ekst ur
Gambar 30. Hasil Uji Perbandingan Pasangan Cendol Rumput Laut Formula C.
67
Berdasarkan kesukaan panelis, dapat dikatakan bahwa pewarna alami daun suji dapat dijadikan sebagai pilihan warna yang baik dari pada pewarna yang digunakan oleh produk komersil. Selain karena bersifat alami (bukan bahan kimia sintetis) juga memiliki penampakan warna yang lebih baik. Warna merupakan parameter penting dalam menentukan apakah suatu produk pangan akan dikonsumsi atau tidak. Sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna akan tampil terlebih dahulu. Menurut Winarno (1997) suatu bahan pangan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila warnanya tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. b. Aroma
Aroma dalam produk pangan sama pentingnya seperti warna yang memiliki daya sensori terutama pada indra penciuman. Kita seringkali akan tergugah selera akan suatu minuman atau makanan lainnya jika kita menghirup aroma atau bau dari makanan tersebut. Konsumen akan menerima produk makanan jika mempunyai aroma yang tidak menyimpang dari aroma normal. Menurut Winarno (1992) kecepatan timbulnya aroma sekitar 0,18 detik setelah suatu makanan atau minuman dihirup. Hasil uji perbandingan pasangan menunjukkan bahwa aroma cendol rumput laut formula B adalah -0.4 dan formula C -0.25. Yang berarti panelis menilai aroma cendol formula B dan formula C ini mendekati aroma cendol komersil. Aroma cendol formula B dan formula C tidak berbeda jauh dengan aroma cendol komersil dapat disebabkan oleh meresapnya cairan gula dan santan yang digunakan dalam uji perbandingan sesuai dengan kondisi penyajian. Gula dan pati yang meresap mampu menutupi aroma bubur rumput laut yang notabene agak berbau amis. Selain karena meresapnya cairan gula dan santan, aroma cendol rumput laut yang telah dikeringakan cenderung netral dengan sedikit aroma khas daun suji. c. Rasa
Rasa makanan atau minuman yang dikenal sehari-hari sebenarnya bukan satu tanggapan melainkan campuran dari tanggapan cicip, bau, dan trigeminal yang diramu oleh kesan-kesan lain seperti penglihatan, sentuhan, dan pendegaran
68
(Astawan et al., 2004). Daya terima panelis terhadap rasa untuk setiap makanan cendol rumput laut berbeda-beda, tergantung kepekaan indra dan kesukaannya. Hasil uji perbandingan menunjukkan bahwa rasa cendol rumput laut formula B dinilai oleh panelis agak kurang enak dibandingakan dengan produk komersial dengan skor -0,7, sedangkan formula C dinilai memiliki rasa agak netral dengan skor -0,45. Rasa dalam penilaian cendol rumput laut ini cenderung identik dengan netral karena setelah proses pengeringan, rasa daun suji agak hilang dan tertutupi oleh rasa cairan gula dan santan. Nilai negatif dari uji perbandingan dapat disebabkan karena cendol komersil masih dalam kondisi yang segar (baru dicetak) sehingga rasa yang diharapkan masih terasa kuat. d. Tekstur
Penilaian terhadap tekstur dilakukan dengan cara menilai kehalusan dan kekenyalan cendol rumput laut yang dihasilkan. Untuk menilai tekstur cendol rumput laut dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan mengunyah atau kepekaan lidah dalam menilai kehalusan cendol tersebut. Dari hasil penilaian 20 orang panelis, diketahui skor penilaian tekstur untuk cendol rumput laut formula B adalah -1,05 dan -0,6 untuk formula C. Tekstur cendol rumput laut yang dihasilkan dalam penelitian agak kurang baik, dimana hasil rehidrasi menjadi agak kasar dan kekenyalan menjadi sangat berkurang. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Tischer dan Brockman (1957) dalam Desrosier (1988) yang menyatakan bahwa pengeringan beku mengakibatkan hilangnya air melalui sublimasi, partikel menjadi kering porous, dan densitas lebih rendah dari pada bahan pangan aslinya, sehingga kekenyalan menjadi hilang. Selain itu, kandungan rumput dalam cendol juga berpengaruh terhadap tekstur yang dihasilkan. Menurut Astawan et al., (2004) faktor yang berpengaruh terhadap tekstur cookies diantaranya adalah bahan baku (tepung rumput laut, telur, dan mentega), proses pengocokan (mixing), dan pembakaran. Penambahan tepung rumput laut sangat berpengaruh nyata terhadap tekstur produk yang dihasilkan, semakin banyak tepung rumput laut yang ditambahkan semakin keras produk yang dihasilkan. Hal ini diduga karena ukuran partikel tepung rumput laut yang cukup besar dan kandungan seratnya yang tinggi.
69
4.5. Analisis Ekonomi
Analisis ekonomi usaha cendol rumput laut instan sesuai dengan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu menggunakan mesin freeze dryer dengan kapasitas yang diperbesar hingga 50 kg bahan basah. Informasi dan spesifikasi alat pengering
diperoleh
dari
perusahaan
produksi
mesin
pengering
beku
(www.mrclab.com). Analisis ekonomi diperlukan untuk memperhitungkan kelayakan usaha cendol instan dan jumlah modal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan usaha tersebut. Beberapa parameter yang digunakan dalam analisis ekonomi usaha cendol instan antara lain keuntungan (profit), nilai bersih sekarang dari cash flow (Net Present Value), tingkat suku bunga pengembalian (Internal Rate Return), rasio penerimaan dan biaya (Benefit/Cost Ratio), jangka waktu pengembalian investasi (Pay Back Period), dan titik impas (Break EventPoint). Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis ekonomi usaha cendol instan dapat dilihat pada Lampiran 16. Hasil analisis ekonomi usaha yang diproyeksikan selama 10 tahun menunjukkan bahwa usaha cendol rumput laut instan layak untuk dijalankan. Hal ini didasarkan pada nilai sekarang aliran kas (NPV) lebih besar dari nol dan tingkat suku bunga pengembalian (IRR) lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku (18%). Hasil lengkap analisis ekonomi usaha cendol rumput laut instan dapat dilihat pada Tabel 14 dan Rincian perhitungan usaha cendol rumput laut instan dapat dilihat pada Lampiran 17-20. Tabel 14. Analisis Ekonomi Usaha Cendol Rumput Laut Instan No 1 2 3 4 5 6
Parameter Net present value (NPV) Internal rate of return (IRR) B/C Ratio (BCR) Pay back period (PBP) Break even point (BEP) Break even point (BEP)
Satuan Rp % Tahun Kemasan Rp
Nilai 60.924.507 59,04 1,18 2,17 88.683 699.080.834
Standar >0 >18 >1 <5 -
Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa usaha cendol rumput laut instan mempunyai nilai NPV Rp 60.924.507,00 yang berarti bahwa selama 10 tahun usaha cendol instan akan mendapatkan keuntungan bersih dari nilai uang sekarang Rp 60.924.507,00. Nilai IRR 59,04% yang berarti bahwa tingkat suku bunga yang
70
ada saat ini masih aman untuk pengambilan kredit jika modal usaha cendol rumput laut instan ini diperoleh dari pinjaman bank, dimana asumsi tingkat suku bunga pinjaman saat ini adalah 18%. Untuk parameter B/C Ratio menunjukkan angka 1,18 yang berarti bahwa dalam setiap 1 rupiah yang digunakan dalam usaha cendol instan akan memperoleh keuntungan Rp 0,18. Parameter PBP menunjukkan nilai 2,17 tahun yang berarti bahwa investasi awal dalam usaha cendol instan dapat dikembalikan dalam jangka waktu 2 tahun 2 bulan. Parameter BEP merupakan suatu titik dimana usaha cendol rumput laut instan tidak memperoleh laba ataupun rugi. Nilai dalam BEP bisa dalam dua satuan yaitu satuan kemasan dan stuan penjualan (rupiah). Dalam satuan kemasan menunjukkan bahwa usaha cendol rumput laut instan mencapai titik impas pada penjualan 88.683 kemasan, atau Rp 699.080.834,00. Ditinjau dari parameter analisis ekonomi tersebut (NPV, IRR, BCR, PBP, dan BEP) secara umum parameter ekonomi usaha cendol instan masih berada di atas parameter standar, sehingga dapat diperoleh gambaran bahwa usaha cendol rumput laut instan dengan menggunakan mesin pengering beku (freeze dryer) layak untuk dijalankan.
71
V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1. Rumput laut Euchema cotonii memiliki komposisi kimia; kadar air 96,12%, kadar lemak 1,55%, protein 20,10%, abu 6,96%, karbohidrat 71,39%, serat pangan larut 15,46%, serat pangan tak larut 38,96%, serat pangan total 54,38%, dan iodium 55,46 µg/g. Dengan demikian, rumput laut Euchema cotonii dapat digunakan sebagai sumber serat dalam cendol instan. Selain sebagai sumber serat, Euchema cotonii dapat juga digunakan sebagai sumber iodium. 2. Komposisi rumput laut Euchema cotonii dalam cendol paling disukai adalah pada taraf 20% (formula C). Komposisi formula C dalam 100 gram bahan cendol yaitu rumput laut 20 gram, tepung hunkwee 53,4 gram, tepung beras 26,7 gram, dan larutan daun suji 70 ml. 3. Kadar serat pangan total cendol formula B (RL 10%) yaitu 17,40%, sedangkan serat pangan total formula C (RL 20%) yaitu 18,68%. Jika dalam satu takaran saji cendol instan adalah sebanyak 20 gram maka jumlah serat yang dikonsumsi untuk cendol formula B adalah 3,48 gram dan untuk formula C adalah 3,74 gram. 4. Kandungan iodium cendol rumput laut formula B yaitu 9,01 µg/g dan untuk formula C yaitu 9,31 µg/g. kandungan iodium ini tergolong tinggi sehingga dengan takaran 17 gram sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan iodium orang dewasa dalam satu hari. Dengan demikian, selain sebagai sumber serat, cendol instan ini dapat dijadikan sebagai sumber iodium untuk mencegah gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI). 5. Cendol rumput laut kering formula B dan formula C yang diuji dalam kondisi siap saji dinilai oleh panelis lebih baik pada parameter warna dengan warna hijau terang, sedangkan parameter aroma, rasa, dan tekstur masih kalah dibandingkan dengan cendol komersil. 6. Dari parameter analisis ekonomi menunjukkan bahwa usaha cendol rumput laut instan layak untuk dijalankan. Nilai parameter analisis ekonomi usaha cendol rumput laut instan tersebut antara lain NPV Rp 60.895.848,00; IRR 59,02%; BCR 1,18; PBP 2,17 tahun; dan BEP 88.692 kemasan.
72
Saran
Salah satu syarat keberhasilan produk untuk dapat diterima konsumen harus memiliki sifat organoleptik yang baik sebagaimana umumnya produk sejenis. Untuk itu, diperlukan kajian lanjutan sehingga dapat diperoleh cendol instan yang lebih baik.
73
VI. DAFTAR PUSTAKA
Alan, C.T., J. Elias, JJ. Kelley, RSC. Lin and JRK. Robson. 1976. Influence of Certain Dietary Fibers on Serum and Tissue Cholesterol Levels in Rats. J. Nutr. 106 : 118-123. Anggraeni, D. 2002. Mempelajari Daya Simpan Cendol pada Penyimpanan Suhu Kamar dan Suhu Refrigerator. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Angka, S.L. dan M.T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Cetakan Pertama, Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. IPB. Anonymousa. 2001. Cendol. Pusat Kajian Makanan Tradisional Madya. Resume. Universitas Udayana. Bali Boga. Bali. Anonymousb. Kebutuhan Serat sehari. http://www.vegeta.co.id. [16 November 2007]. AOAC. 1984. Afficial Method of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. 14th Ed. AOAC Inc, Arlington. Virginia. Apriyantono, A, D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisa Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Astawan, M. 1998. Penggunaan Serat Pangan untuk Pencegahan Berbagai Penyakit. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. Vol. III, No. 2, 41-51. Astawan, M. 1999. Perlunya Konsumsi Serat Pangan untuk Pencegahan Berbagai Penyakit Degeneratif. Manual Kuliah Pangan, Gizi, dan Kesehatan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Astawan, M., T. Wresdiyati, dan S. Koswara. 2004. Pemanfaatan Iodium dan Serat Pangan dari Rumput Lautuntuk Peningkatan Kecerdasan dan Pencegahan Penyakit Degeneratif. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Ke-11 Tahun 2003 s/d 2004. LPPM IPB. Bogor. Asp, N.G., H. Halmer, and M. Siljestrom. 1983. Rapid Enzymatic Assay of Insoluble and Soluble Dietary Fiber. J. Agric. Food Chem. 31 : 476-482. Atmaja, W.S., A. Kadi, Satari, dan R. Sulistijo. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Pulitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Balai Informasi Pertanian Aceh. 1987. Pengolahan Hasil-hasil Pertanian. Departemen Pertanian Aceh.
74
Balai Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Semarang. 1984. Stabilitas Iodat dalam Garam Konsumsi. Laporan Penelitian Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Semarang. Biro Pusat Statistik. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia. 2005. Cagampang, G.B., C.B. Perez, dan B.O. Juliano. 1973. A Gel Consistency Test for Eating Quality of Rice. J. Sci. Food Agriculture. 24:1589-1594. Candraningsih, F. 1997. Perilaku Konsumen Makanan Tradisonal Sunda (Studi Kasus di Rumah Makan Sunda Ponyo dan Bu Mimi, Kodya Bogor). Skripsi. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Chaidir, A. 2007. Kajian Rumput Laut Sebagai Sumber Serat Alternatif Untuk Minuman Berserat. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Chan, M., Javalera, and A. Rayes. 1988. A Discriptive Study abouth The General Preceptions and Behavior Related to Goiter of Females Fifteen Years old and above in Three Barangays of Ternate, Govite, Philipina. College of Public Health, University oh Philipina. Manila. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2003. Departemen Kesehatan RI. 1996. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium dan Garam Beriodium . Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Jakarta. Desrosier, N.W. 1988. The Technology of Food Preservation. Terjemahan. Muljaharjo M. 1988. UI Press. Direktorat Gizi. 1979. Daftar Komposisi Makanan. Direktorat Gizi. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Direktorat Perlindungan Konsumen. 2007. Waspadai Makanan yang Kita Konsumsi. Direktorat Perlindungan Konsumen, Direktorat Dalam Negri-Departemen Perdagangan RI. Jakarta. Gallaher, D.D., and B.O. Schneeman. 1996. Dietary Fiber. Dalam Ziegler EE dan Filer LJ (eds.). Present Knowledge in Nutrition. ed. Ke-7. ILSI Press. New York. Garrison, R.H. 1997. Akuntansi Manajemen: Konsep untuk Perencanaan, Pengendalian, dan Pengambilan Keputusan. Jilid I. Terjemahan Kusnedi. Institut teknologi Bandung. Bandung. Groff, J.L. dan S.S. Gropper. 1999. Dietary Fiber. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Thirt Edition. Wads Worth. Australia.
75
Hallgren, B.O. 1981. The Role of Dietary Fiber in Food. Problem in Nutrition Research Today. Academic Press. Switzerland. Harper, J.C., C.O. Chichester, and T.E. Roberts. 1962. Freeze Drying of Food. Dielectric Heating Applied to dehydrated Food Production. Journal of Agricultural Engineering. Hetzel, B.S. 1988. The Prevention and Control of Iodine Deficiency Disorder. ACC/SCN State of Art Series. Nutrition Policy Discussion Paper No. 3. Hetzel, B.S. dan M.L. Wellby. 1997. Iodine. Di dalam O’Dell, B.L. dan R.A. sunde (ed). Handbook of Nutritional Essential Mineral Element. Marcel Dekker Inc. New York. Hubeis, M. 1984. Pengantar Teknologi Tepung Serealia dan Biji-bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Hunninghake, D.B., V.T. Miller, J.C. LaRosa, B. Kinosian, V. Brown, WnJ. Howard, F.J. Diserio and R.R.O. Connor. 1994. Hypocholesterolemic Effect of Dietary Fiber Supplement. J. Clin. Nutr. 59 : 1050-1054. Indriani, H dan E. Smuiarsih. 1991. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta. Iriani, S, B. Riyanto, R. Suwandi, dan A. Siregar. 2001. Aspek Pengeringan dan Kemunduran Mutu Mikrobiologis Selama Penyimpanan Produk “Tangkue” dari Rumput Laut. Prosiding Seminar Nasional: Pangan Tradisonal Sebagai Basis Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Jakarta. Juliano, B.O. 1972. The Rice Caryiopsis and Its Composition. Dalam Rice Chemistry and Technology, Houston DF. (ed). American Association of Cereal Chemist. Incorporated St Paul. Minnesota. Kay, D.E. 1979. Food Legumes. Tropical Product Institute. London. King, C.J. 1971. Freeze drying of Food. CRC. The Chemical Rubber Co. ClevelandOhio. Kulp, K. 1975. Carbohydrat in Enzymes in Food Processing. G. Reed. Academic Press. New York. Liapis, A.I. and R. Brutini. 1995. Freeze drying in Handbook of Industrial Drying Vol 1. AS Mujandar (ed.). Marcel Dekker Inc. New York. Pp 309-343. Muchtadi, D. 1997. Masalah-masalah Fortifikasi Iodium dalam Penangagulangan GAKI. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
76
Muchtadi, D. 2001. Potensi Pangan Tradisional Sebagai Pangan Fungsional dan Suplemen. Prosiding Seminar Nasional: Pangan Tradisonal Sebagai Basis Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Jakarta. Mudjayanto, E.S. 2008. Tahu, Makanan Favorit yang Keamanannya Perlu Diwaspadai. Artikel. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Munarso, S.J. 1989. Produk Amilase dari Kapang A. awani varietas Kawachi pada Substrat Dedak untuk Pembuatan Tepung Beras Kaya Protein. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Nurlaila,A., R. Syukur, J. Genisa dan L. Mathius. 1997. Studi Pengembangan Menu Makanan Rakyat Kaya Iodium dengan Subtitusi Rumput Laut dan Analisa Daya Terima. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Osman, E.M. 1972. Starch and Other Polysaccharides. Di dalam RJ Paul dan H Palmer (eds.). Food Theory and Application. Jhon Willey and Sons Inc, New York. Prangdimurti, E. 1991. Fortifikasi Zat Besi pada Mie Kering yang Dibuat dari Campuran Tepung Terigu dan Tepung Singkong. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Rachdiani, I. 2001. Penentuan Laju Pengeringan Beku Buah Durian Berdasarkan Plot Data Semi Logaritmik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Rahayu, W.P. 1994. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Ristanti. 2003. Pembuatan Tepung Rumput Laut (Euchemaa cotonii) Sebagai Sumber Iodium dan Dietary Fiber. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Riyanto, B. 1996. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Cetakan Kedua. BPFE. Yogyakarta. Rungkat, F., Zakaria, dan Andarwulan N. 2001. Khasiat Berbagai Pangan Tradisional untuk Pangan Fungsional dan Suplemen. Prosiding Seminar Nasional: Pangan Tradisonal Sebagai Basis Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. Jakarta. Santoso. 2000. Masakan Khas Indonesia. CV Media Utama. Surabaya. Sihombing, A.B.H. 2003. Pemanfaatan Rumput Laut Sebagai Sumber Serat Pangan dalam Ransum untuk Menurunkan Kadar Kolesterol Darah Tikus Percobaan. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. SNI 01-3551-2000. Mi Instan. Badan Standardisasi Nasional.
77
SNI 01-2973-1992. Biskuit. Badan Standardisasi Nsional. Soelistijani, D.A. 2002. Sehat Dengan Menu Berserat. Trubus Agriwidya. Jakarta. Soeprapto dan Sutarman. 1990. Bercocok Tanam Kacang Hijau. Penebar Swadaya. Jakarta. Soeprapto, H.S. 1998. Bertanam Kacang Hijau. Penebar Swadaya. Jakarta. Sofia, I.R. 1998. Studi Sifat Fisiko Kimia, Fungsional, dan Daya Terima Tepung Bekatul Sebagai Sumber Serat Makanan dan Pemanfaatannya pada Kue Jajanan Pasar. Skripsi. Departemen GMSK. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Suryanto, B. 2002. Kajian Pengaruh Pewarnaan dan Suhu Pengeringan Beku Terhadap Bunga Anggrek Kering. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Tischer, R.G. dan Brockman, M.C. 1958. Freeze Drying Ups Quality of QM Quick Serve Rations. Food Eng. 30, 110-112. Trisnowo, L.E.J. 1993. Iodium Mikronutrial Essential. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Trowel, H.C., D.A.T. Southgate, and T.M.S. Wolever. 1976. Dietary Fiber Redefined. Lancet I. Voight. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wenur, F. 1997. Model Silindris untuk Pengkajian Proses Pengeringan Beku Udang. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Widyakarya Pangan dan Gizi Nasional VI. 1998. LIPI. Jakarta. Winarno, F.G. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F.G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Winarno, F.G. 1997. Keamanan Pangan. Naskah Akademik. IPB. Bogor. Yudistira. 1999. Analisis Karakteristik Pengeringan Beku dan Menentukan Nilai sifat Transpor Pasta Jahe (Zingiber officinale. Rosc.) Kering Beku. Thesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
78
79
[
LAMPIRAN \
79
Lampiran 1. Score Sheet Cendol Rumput Laut Euchema cotonii Nama Panelis Tanggal Jenis Produk Instruksi
: : : Cendol rumput laut : Berilah tanda √ pada pernyataan yang sesuai dengan pilihan saudara
No 1
2
Spesifikasi
Nilai
Kode Contoh
Warna Hijau sangat cerah dan bersih
9
Hijau cerah dan bersih
8
Hijau agak kurang cerah dan bersih
7
Hijau kurang cerah dan kurang bersih
6
Hijau agak pekat dan kurang bersih
5
Hijau pekat dan kurang bersih
3
Hijau sangat pekat dan tidak bersih
1
Aroma Segar, khas daun suji, dan tidak amis
9
Agak kurang segar, khas daun suji, dan
8
tidak amis Kurang segar, khas daun suji kurang dan
7
tidak amis Kurang segar, khas daun suji kurang, dan
6
agak amis Kurang segar, khas daun suji tidak ada,
5
dan agak amis Tidak segar, khas daun suji tidak ada, dan
3
agak amis Tidak segar, khas daun suji tidak ada, dan
1
amis
80
Lanjutan Lampiran 1. No 3
4
Spesifikasi
Nilai
Kode Contoh
Rasa Sangat enak
9
Enak
8
Agak enak
7
Agak kurang enak
6
Kurang enak
5
Tidak enak
3
Sangat tidak enak
1
Tekstur Kenyal, padat dan halus
9
Agak kurang kenyal, padat dan halus
8
Kurang kenyal, kurang padat dan halus
7
Kurang kenyal, kurang padat dan kurang
6
halus Tidak kenyal, kurang padat dan kurang
5
halus Tidak kenyal, tidak padat, dan kurang
3
halus Tidak kenyal, tidak padat dan tidak halus
1
81
Lampiran 2. Lembar Isian Uji Perbandingan Pasangan Nama Panelis Tanggal Jenis Produk Instruksi
: : : Cendol rumput laut : bandingkan warna, aroma, rasa, dan tekstur produk A dan B terhadap produk pembanding Z. Berilah tanda √ pada pernyataan yang sesuai dengan pilihan saudara
Warna Sangat lebih cerah Lebih cerah Agak lebih cerah Tidak berbeda Agak kurang cerah Kurang cerah Sangat kurang cerah
A
B
Aroma Sangat lebih enak Lebih enak Agak lebih enak Tidak berbeda Agak kurang enak Kurang enak Sangat kurang enak
A
B
Rasa Sangat lebih enak Lebih enak Agak lebih enak Tidak berbeda Agak kurang enak Kurang enak Sangat kurang enak
A
B
Tekstur Sangat lebih kenyal Lebih kenyal Agak lebih kenyal Tidak berbeda Agak kurang kenyal Kurang kenyal Sangat kurang kenyal
A
B
82
Lampiran 3. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Warna Cendol Rumput Laut Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 187.5416667 37.5083333 12.28 <.0001 Error 114 348.2500000 3.0548246 Corrected Total 119 535.7916667
t Grouping Mean N Formula A 7.7000 20 B B 6.6000 20 A C 4.8000 20 E C 4.7500 20 F C 4.6500 20 D C 4.2500 20 C
Lampiran 4. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Aroma Cendol Rumput Laut
Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 14.3000000 2.8600000 1.04 0.3996 Error 114 314.5000000 2.7587719 Corrected Total 119 328.8000000 t Grouping Mean N Formula A 6.1000 20 B B A 5.8000 20 A B A 5.6000 20 E B A 5.6000 20 D B A 5.5500 20 C B 4.9500 20 F
Lampiran 5. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Rasa Cendol Rumput Laut Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 22.3666667 4.4733333 1.32 0.2596 Error 114 385.6000000 3.3824561 Corrected Total 119 407.9666667
83
t Grouping Mean N Formula A 6.0000 20 D A 5.9500 20 C B A 5.7000 20 B B A 5.4500 20 A B A 5.2500 20 E B 4.7500 20 F
Lampiran 6. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Tekstur Cendol Rumput Laut
Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 97.9000000 19.5800000 5.30 0.0002 Error 114 420.9000000 3.6921053 Corrected Total 119 518.8000000
t Grouping Mean N Formula A 6.6500 20 C A 6.4000 20 B B A 5.8500 20 A B A 5.8000 20 D B C 4.9000 20 E C 4.0000 20 F
Lampiran 7. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Kadar Air Cendol Rumput Laut Source Model Error Corrected Total
DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F 2 0.58160003 0.29080002 9.69 0.0132 6 0.18000000 0.03000000 8 0.76160004
Duncan Grouping Mean N FORMULA A 11.5100 3 fc A 11.2500 3 fb B 10.8900 3 f0
84
Lampiran 8. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Lemak Cendol Rumput Laut Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 0.78500002 0.39250001 19.63 0.0023 Error 6 0.12000000 0.02000000 Corrected Total 8 0.90500003 Duncan Grouping Mean N FORMULA A 4.8000 3 f0 B 4.2000 3 fb B 4.1500 3 fc
Lampiran 9. Analisis Ragam Protein Cendol Rumput Laut Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 0.10639991 0.05319995 2.57 0.1559 Error 6 0.12400000 0.02066667 Corrected Total 8 0.23039991
Lampiran 10. Analisis Ragam Abu Cendol Rumput Laut Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 0.09259999 0.04630000 0.67 0.5479 Error 6 0.41699996 0.06949999 Corrected Total 8 0.50959996
Lampiran 11. Analisis Ragam Karbohidrat Cendol Rumput Laut Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 0.69680000 0.34840000 0.60 0.5807 Error 6 3.50840000 0.58473333 Corrected Total 8 4.20520000
Lampiran 12. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Serat Pangan Larut Cendol Rumput Laut Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 2.23439924 1.11719962 78.49 0.0001 Error 6 0.08540000 0.01423333 Corrected Total 8 2.31979924 Duncan Grouping Mean N FORMULA A 5.32000 3 fc A 5.18000 3 fb
85
B 4.20000 3 f0
Lampiran 13. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Serat Pangan tak Larut Cendol Rumput Laut Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 9.55440048 4.77720024 184.45 0.0001 Error 6 0.15539994 0.02589999 Corrected Total 8 9.70980042
Duncan Grouping Mean N FORMULA A 13.3600 3 fc B 12.2200 3 fb C 10.8400 3 f0
Lampiran 14. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Serat Pangan Total Cendol Rumput Laut Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 20.45760111 10.22880056 260.27 0.0001 Error 6 0.23580005 0.03930001 Corrected Total 8 20.69340116 Duncan Grouping Mean N FORMULA A 18.6800 3 fc B 17.4000 3 fb C 15.0400 3 f0
Lampiran 15. Analisis Ragam dan Uji Lanjut Iodium Cendol Rumput Laut Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 2 3.36079985 1.68039992 62.31 0.0001 Error 6 0.16179999 0.02696667 Corrected Total 8 3.52259984 Duncan Grouping Mean N FORMULA A 9.3100 3 fc A 9.0100 3 fb B 7.8900 3 f0
86
Lampiran 16. Asumsi Dasar Analisis Ekonomi Usaha Cendol Instan no 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Asumsi Harga yang digunakan tetap (fixed price) harga alat pengering beku (freeze dryer) kapasitas 50 kg harga freezer kapasitas 50 kg umur ekonomis Freezer dan Freeze dryer daya freeze dryer daya freezer waktu pembekuan waktu pengeringan hari kerja per bulan frekuensi produksi per bulan tingkat suku bunga harga listrik upah tenaga kerja harga bahan baku # rumput laut segar # tepung beras # tepung hunkwee # daun suji bahan tambahan # larutan gula dan santan kelapa penambahan bubur rumput laut dari bahan dasar perbandingan T hunkwee : T beras perbandingan Daun suji : air jumlah cendol basah per produksi rendemen cendol berat cendol instan per kemasan harga cendol per kemasan
23 asumsi formulasi pencetakan cendol instan
Keterangan ‐ Rp 150.000.000 Rp 1.500.000 10 tahun 15 kWh 150 watt 8 jam 30 jam 24 hari 16 kali 18% Rp 2.200/kWh Rp 15.000/HKP Rp 3.000/kg Rp 4.500/kg Rp 3.500/kg Rp 2.000/kg Rp 200/paket 20% 2 ; 1 1 ; 5 50 kg 20% 15 gram Rp 3000
87
BRL (gr) 20 1538
T hunkwee (gr) 53.4 4108
T Beras (gr) 26.7 2054
Larutan DS (ml) 70 5385
Air Panas (ml) 510 39231
Cendol Jadi (gr) 650 50000
Lampiran 17. Biaya Variabel Usaha Cendol Instan cendol basah per produksi = 50 kg cendol kering = 10 kg cendol instan/kemasan = 15 gram cendol instan/produksi = 667 kemasan frekuensi produksi/bulan = 16 kali No 1 2 3 4 5 6
Uraian bahan baku • rumput laut segar • tepung hunkwee • tepung beras • daun suji bahan tambahan • gula dan santan kelapa biaya listrik minyak tanah plastik HDPE tenaga kerja • pencetakan cendol • pengeringan beku • pengemasan Total biaya variabel (Rp)
satuan
Harga /satuan
jumlah
kg kg kg kg
1.54 4.11 2.05 1.08
paket kWh liter paket HKP HKP HKP
667 526.9 2 667 2 1 1
200.00
886,154 2,760,369 3,154,708 413,538 0
2,134,400 0 18,546,880 80,000 533,600 0 480,000 240,000 240,000 0
25,612,800 0 222,562,560 960,000 6,403,200 0 5,760,000 2,880,000 2,880,000 0
22,856,111
274,273,329
1,428,507
15,000.00 15,000.00 15,000.00
73,846 230,031 262,892 34,462 0
133,400 1,159,180 5,000 33,350 0 30,000 15,000 15,000
2,200.00 2,500.00 50.00
biaya var/thn
4,615 14,377 16,431 2,154
Biaya var/bln
total (Rp)
3,000.00 3,500.00 8,000.00 2,000.00
Lampiran 18. Uraian Pemakaian Biaya Listrik
no 1 2 3 4
Alat Freezer Freeze dryer blender pompa air
daya (watt) 200 15000 150 250
pemakaian (jam) 8 35 0.5 1
jumlah (watt) 1600 525000 75 250
88
total pemakaian/produksi (Kw) biaya listrik (Rp)
526.93 1159235
Lampiran 19. Biaya Tetap Usaha Cendol Instan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Uraian Investasi Mesin Pengering Beku • Freeze dryer kapasitas 50 kg • Freezer kapasitas 50 kg Sewa tempat Panci Ember Cetakan Cendol Kompor Pengaduk Pisau Blender Sealer Pompa air total
satuan jumlah
unit unit m2 unit unit unit unit unit unit unit unit unit
harga/satuan
1 1 50 4 3 2 2 3 2 1 1 1
150,000,000 1,500,000 100,000 50,000 25,000 30,000 40,000 5,000 15,000 130,000 70,000 300,000
umur ekonomis (th)
total 150,000,000 1,500,000 5,000,000 200,000 75,000 60,000 80,000 15,000 30,000 130,000 70,000 300,000
10 10 1 3 1 2 2 1 1 5 5 6
157,460,000
89
Lampiran 20. Cash Flow Usaha Cendol Instan Penjualan Cendol instan harga jual cendol instan/kemasan (Rp) Produksi cendol instan/bulan (kemasan) Penjualan Cendol instan/bulan (Rp) penjualan/tahun (Rp)
3,000 10,672 32,016,000 384,192,000
Cash Flow Analisis no Uraian 1 Penjualan Penjualan (PV)
2 3 4 5 6 7 8 9
0 0 0
Biaya Variabel bahan baku bahan tambahan biaya listrik minyak tanah plastik HDPE tenaga kerja Total biaya variabel Biaya variabel (PV) Biaya Tetap Mesin Pengering Beku sewa tempat panci ember cetakan cendol kompor pengaduk pisau Blender Sealer Pompa air Total biaya tetap Biaya tetap (PV) Total Biaya Total biaya (PV) Profit PV (DF 18%) NPV (DF 18%) IRR (%) B/C Ratio
1 384,192,000 325,586,441
2 384,192,000 275,920,712
3 384,192,000 233,831,112
4 384,192,000 198,161,960
5 384,192,000 167,933,864
0 0 0 0 0 0 0 0
7,214,769 25,612,800
7,214,769 25,612,800
222,562,560 960,000 6,403,200 11,520,000
7,214,769 25,612,800
222,562,560 960,000 6,403,200 11,520,000
287,079,729 243,287,906
151,500,000 5,000,000 200,000
75,000
15,000 30,000
130,000 70,000 300,000 157,340,000 120,000 157,340,000 101,695 157,340,000 287,199,729 157,340,000 243,389,601 ‐157,340,000 96,992,271 ‐157,340,000 82,196,840 60,924,507 59.04% 1.18
15,000 30,000 5,120,000 3,677,104 292,199,729 209,853,296 91,992,271 66,067,417
222,562,560 960,000 6,403,200 11,520,000
287,079,729 148,072,530
5,000,000
7,214,769 25,612,800
222,562,560 960,000 6,403,200 11,520,000
287,079,729 174,725,586
5,000,000 75,000
7,214,769 25,612,800
222,562,560 960,000 6,403,200 11,520,000
287,079,729 206,176,191
60,000 80,000
tahun
287,079,729 125,485,195
5,000,000 200,000 75,000
75,000 60,000 80,000 15,000 15,000 30,000 30,000 5,260,000 5,320,000 3,201,398 2,743,997 292,339,729 292,399,729 177,926,984 150,816,527 91,852,271 91,792,271 55,904,128 47,345,432
5,000,000 75,000 60,000 80,000 15,000 30,000
5,260,000 2,299,194 292,339,729 127,784,390 91,852,271 40,149,474
90
10 Pay back period 11 BEP (unit) 12 BEP (Rp)
2,17 tahun 88,683 699,080,834
6 384,192,000 142,316,834
7 384,192,000 120,607,486
7,214,769 25,612,800
7,214,769 25,612,800
222,562,560 960,000 6,403,200 11,520,000
5,000,000 75,000 15,000 30,000 130,000 70,000 5,320,000 1,970,696 292,399,729 108,314,082 91,792,271 34,002,752
5,000,000 5,000,000 200,000 75,000 75,000 60,000 80,000 15,000 15,000 30,000 30,000 300,000 5,760,000 5,120,000 1,808,208 1,362,115 292,839,729 292,199,729 91,929,722 77,736,279 91,352,271 91,992,271 28,677,765 24,473,455
7,214,769 25,612,800
222,562,560 960,000 6,403,200 11,520,000
287,079,729 76,374,164
10 384,192,000 73,405,440
7,214,769 25,612,800
222,562,560 960,000 6,403,200 11,520,000
287,079,729 90,121,513
9 384,192,000 86,618,419
7,214,769 25,612,800
222,562,560 960,000 6,403,200 11,520,000
287,079,729 106,343,386
Tahun 8 384,192,000 102,209,734
222,562,560 960,000 6,403,200 11,520,000
287,079,729 64,723,868
5,000,000
287,079,729 54,850,735
5,000,000 200,000 75,000
75,000 60,000 80,000 15,000 15,000 30,000 30,000 5,260,000 5,320,000 1,185,899 1,016,463 292,339,729 292,399,729 65,909,767 55,867,198 91,852,271 91,792,271 20,708,652 17,538,241
91
Lampiran 21. Gambar Prinsip Mesin Pengering Beku (Freeze drter)
Sterile room wall Vacuum gauge
Upper Compensating shell
Door
Chamber Isolation valve
Heating system
Defrost water inlet
Pump isolation valve
Pumping vacuum Refrigeration group
Drain
Sumber : www.mrclab.com
93