KAJIAN PENGARUH ANODE INTERLAYER CuOx TERHADAP KARAKTERISTIK KERJA DAN TRANSPOR PEMBAWA MUATAN PADA SEL SURYA HIBRID BERSTRUKTUR TERBALIK TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung
Oleh
TULUS NIM : 20210022 (Program Studi Fisika)
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2012
KAJIAN PENGARUH ANODE INTERLAYER CuOx TERHADAP KARAKTERISTIK KERJA DAN TRANSPOR PEMBAWA MUATAN PADA SEL SURYA HIBRID BERSTRUKTUR TERBALIK
Oleh
TULUS NIM : 20210022 (Program Studi Fisika)
Institut Teknologi Bandung Menyetujui Pembimbing
Bandung, 11 Juni 2012
Ttd. ___________________________
Dr. Rachmat Hidayat NIP : 196812111994031004
ABSTRAK KAJIAN PENGARUH ANODE INTERLAYER CuOx TERHADAP KARAKTERISTIK KERJA DAN TRANSPOR PEMBAWA MUATAN PADA SEL SURYA HIBRID BERSTRUKTUR TERBALIK Oleh
TULUS NIM : 20210022 (Program Studi Fisika) Penelitian ini mengkaji tentang sel surya hibrid berstruktur terbalik (inverted) berupa persambungan bulk antara P3HT (donor) dan PCBM (akseptor) dengan penggunaan lapisan CuOx (anoda) sebagai lapisan anode interlayer, menggantikan PEDOT:PSS yang sering dipakai saat ini. Lapisan CuOx ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pemblok elektron atau dengan kata lain sebagai penghantar pembawa muatan positif (hole). Lapisan CuOx dapat berbentuk CuO atau Cu2O, dimana rasionya bergantung pada proses pembuatannya. Tingkat energi pita valensi Cu2O berada sekitar -5,2 eV yang cocok sebagai lapisan transpor hole untuk sel surya hibrid berbasis P3HT. Sel surya yang dibuat mempunyai struktur ITO/ AZO/ P3HT:PCBM/ CuOx/ Ag, dimana tingkat energi pada lapisan-lapisan tersebut menghasilkan sel surya hibrid dengan struktur terbalik. Lapisan AZO dan CuOx dibuat dengan metoda sol-gel, sedangkan lapisan aktif P3HT:PCBM dibuat dengan metoda spin coating. Elektroda Ag dibuat dengan metoda evaporasi termal. Sifat - sifat fisik dari lapisan tipis CuOx dikarakterisasi dengan menggunakan spektrometer UV-vis , XPS, XRD dan AFM. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa performansi sel surya dipengaruhi oleh sifat-sifat fisika dan nanostruktur dari lapisan interlayer CuOx. Performansi sel surya yang dibuat dengan penambahan lapisan CuOx sebagai anode interlayer menunjukkan adanya peningkatan PCE dari 0,06 % menjadi 0,721 %, EQE/IPCE juga meningkat dari 12,27 % menjadi 28,25 % pada eksitasi panjang gelombang cahaya 500 nm, fotoarus (photocurrent) yang tergenerasi juga meningkat dari 0,34 mA/cm2 menjadi 0,76 mA/cm2 pada absorpsi energi 2,54 eV. Hasil karakterisasi fotoarus transien (transient photocurrent) juga menunjukkan terjadi peningkatan yang signifikan dengan penambahan lapisan interlayer CuOx. Kata kunci : sel surya hibrid berstruktur terbalik, anode interlayer, pembawa muatan positif, transpor, proses sol gel, fotoarus transien.
ii
ABSTRACT THE INVESTIGATION OF CuOx ANODE INTERLAYER EFFECT IN WORKING PERFORMANCE AND CHARGE CARRIER TRANSPORT IN HYBRID SOLAR CELLS WITH INVERTED STRUCTURE By
TULUS NIM : 20210022 (Physics Study Program)
The research was focused on hybrid solar cells with inverted structure, which constructed from bulk heterojunction using polymer blend of P3HT (donor) and PCBM (acceptor) as its active layer and CuOx (anode) thin film as anode interlayer. CuOx was used for replacing PEDOT:PSS that commonly used nowadays to serve as electron blocking or, in other words, as hole transport. The CuOx thin film is consisted of CuO and Cu2O, where the ratio seems to be dependent on the fabrication process. The valence band energy of Cu2O is about 5.2 eV, which is suitable as hole transport interlayer for P3HT based solar cells. The fabricated solar cells has ITO/AZO/P3HT:PCBM/CuOx/Ag structure, where the energy band of those layers produce an inverted structure of solar cell. AZO and CuOx thin layers were prepared by sol gel method, while P3HT:PCBM was prepared by spin coating method. Ag electrode was deposited by thermal evaporation method. The physical properties of CuOx thin films were firstly investigated in detail by UV-Vis, XPS, XRD, and AFM measurements. The solar cell performances were found to be affected by the physical properties and nanostructures of CuOx interlayer. Among the fabricated solar cells, by using the CuOx interlayer the experimental results show improvements in PCE: from 0.06% to 0.721%, EQE/IPCE at excitation wavelength of 500 nm: from 12.27% to 28.25%, and photocurrents generated at the absorption peak (2.54 eV): from 0.34 mA/cm2 to 0.76mA/cm2. In addition, it was also observed remarkable increase in its transient photocurrents spectrum in solar cells with CuOx layer. Key words: inverted hybrid solar cells, anode interlayer, hole, transport, sol gel process, transient photocurrent.
iii
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin Direktur Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.
iv
Didedikasikan Untuk Ilmu Pengetahuan dan Semua Orang Yang Membaca Tesis ini
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas ini. Kepada Ibu, Bapak dan seluruh anggota keluarga, penulis berterimakasih atas doa dan dukungannya selama ini.
Penulis sangat berterimakasih kepada Dr. Rachmat Hidayat sebagai pembimbing, atas bimbingannya selama penelitian berlangsung dan selama penulisan tesis ini. Terimakasih juga disampaikan kepada kawan-kawan peneliti laboratorium material fotonik - Fisika ITB atas kerjasamanya selama ini. Terimakasih disampaikan kepada Balai Pengkajian Teknologi Polimer – BPPT dan Kementerian RISTEK, atas penugasan belajar dan pemberian Beasiswa Program Pascasarjana yang diterima penulis selama pendidikan.
Terimakasih disampaikan kepada Prof. Masanori Ozaki, Dept. Electrical, Electronic & Information Engineering, Osaka University, Japan, dimana penulis telah diberi kesempatan untuk berkolaborasi sebagai research fellow pada 19 Agustus 2011 sampai dengan 15 November 2011 untuk melakukan riset tugas akhir ini.
Terimakasih disampaikan juga kepada Dr. Agustinus Agung Nugroho dan Dr. Maman Budiman sebagai penguji pada sidang tesis.
Akhirnya, apabila terdapat hal-hal yang kurang berkenan atau menyinggung maka penulis memohon maaf atas kesalahan tersebut, semoga tulisan ini bermanfaat kepada semua orang yang membacanya
Bandung, Juni 2012 Penulis vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK
ii
ABSTRACT
iii
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS
iv
KATA PENGANTAR
vi
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR LAMPIRAN
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR SINGKATAN
xv
DAFTAR ISTILAH TERJEMAHAN
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1
I.1 Latar Belakang
1
I.2 RumusanMasalah
6
I.3 Ruang Lingkup Kajian
6
I.4 Tujuan penelitian
7
I.5 Metoda
7
I.6 Sistematika Penulisan
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
9
II.1 Dasar – dasar semikonduktor organik
9
II.2 Sifat-sifat optik dan elektrik pada semikonduktor organik
11
II.3 Bulk heterojunction sel surya organik
14
II.4 Optimisasi pada sel surya organik
15
II.5 Sambungan logam semikonduktor
16
II.6 Konsep umum sel surya organik dan karakterisasinya
18
II.6.1 Karakteristik J-V pada kondisi tanpa cahaya
18
vii
II.6.2 Karakteristik J-V pada kondisi dengan cahaya
19
II.7 Mekanisme transpor pembawa muatan dan karakterisasi fotoarus transien (transient photocurrent)
Bab III EKSPERIMEN
20
24
III.1 Bahan-bahan
24
III.1.1 Poly(3-hexylthiophene) (P3HT)
24
III.1.2 [6,6]-phenyl-C61- butyric acid methyl ester (PCBM)
25
III.1.3 Bahan kimia dan pelarut
26
III.1.4 Substrat dan elektroda
26
III.2 Fabrikasi divais
26
III.2.1 Preparasi substrat dan etching ITO
27
III.2.2 Pembuatan lapisan tipis AZO sebagai lapisan penyangga katoda
27
III.2.3 Pembuatan lapisan aktif P3HT:PCBM
28
III.2.4 Pembuatan lapisan tipis CuOx sebagai anode interlayer
28
III.2.6 Pembuatan elektroda Ag III.3 Karakterisasi
28 29
III.3.1 Karakterisasi J-V
29
III.3.2 Karakterisasi EQE/IPCE
31
III.3.3 Pengukuran fotoarus transien
31
III.3.4 Spektroskopi UV-vis
32
III.3.5 Karakterisasi dengan difraksi sinar X (XRD)
33
III.3.6 Karakterisasi komposisi dengan X ray photoelectron spectrometer (XPS)
33
III.3.7 Karakterisasi morfologi dengan atomic force microscope (AFM)
Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN
34
35
IV.1 Konfigurasi tingkat energi pada sistem sel surya viii
35
IV.2 Sifat optik CuOx
37
IV.3 Sifat morfologi dan komposisi CuOx
37
IV.4 Karakteristik fotovoltaik divais sel surya
39
IV.5 Efek anode interlayer terhadap karakteristik divais sel surya
41
IV.6 Pengaruh waktu terhadap performansi divais sel surya
43
IV.7 Sifat morfologi nanostruktur divais sel surya
45
IV.8 Sifat fotoarus transien ( transient photocurrent) divais sel surya
46
Bab V KESIMPULAN DAN SARAN
51
V.1 Kesimpulan
51
V.2 Saran
51
DAFTAR PUSTAKA
52
LAMPIRAN
57
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A
Gambar divais sel surya
57
Lampiran B
Gambar Alat spicoating dan hotplate
58
Lampiran C
Gambar alat thermal evaporator
59
Lampiran D
Gambar alat karakterisasi solar simulation
60
Lampiran E
Gambar alat ukur AFM
61
Lampiran F
Gambar alat ukur XPS
62
Lampiran G
Gambar alat ukur XRD
63
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1
Kurva peningkatan efisiensi dari tahun ke tahun untuk masing-masing kelas sel surya
Gambar I.2
Perbedaan performansi dan harga dari berbagai modul sel fotovoltaik
Gambar I.3
1
2
Grafik levelized energy cost (LEC) untuk sel surya organik sebagai fungsi dari waktu hidup (lifetime) sel dan efisiensi berdasarkan perkiraan biaya produksi modul secara keseluruhan
Gambar II.1
Jenis ikatan dan σ pada molekul ethane
Gambar II.2
Definisi HOMO dan LUMO dalam semikonduktor
Beberapa molekul material organik semikonduktor yang dipakai dalam aplikasi sel surya
Gambar II.4
10
10
organik Gambar II.3
2
11
Proses eksiton pada quasi partikel karena proses optik
12
Gambar II.5
Fermi level splitting
13
Gambar II.6
Mekanisme transpor muatan pada sel surya organik
14
Gambar II.7
Diagram elektronik proses disosiasi eksiton
15
Gambar II.8
Struktur pita energi dan fungsi kerja pada sebelum dan sesudah persambungan
Gambar II.9
Kurva J-V pada keadaan gelap (biru) dan dengan penyinaran cahaya/ iluminasi (merah)
Gambar II.10
17
20
Ilustrasi dinamika transpor pada fotogenerasi pembawa muatan dengan pemberian tegangan listrik sebesar U
23
Gambar III.1
Struktur kimia P3HT
24
Gambar III.2
(a)Spektrum absorpsi dari [C61] PCBM (warna merah) dan
[C60] PCBM (biru) (b) Spektrum
emisi (warna biru) dan absorpsi (warna kuning) xi
dari P3HT
25
Gambar III.3
Struktur kimia PCBM
25
Gambar III.4
Struktur sel surya
27
Gambar III.5
Perbandingan spektrum energi radiasi sebagai fungsi panjang gelombang dari matahari tepat di atmosfer bumi, blackbody dan pada permukaan bumi
29
Gambar III.6
Skema pengukuran J-V
30
Gambar III.7
Skema alat ukur fotoarus transien
32
Gambar IV.1
Konfigurasi tingkat energi dari struktur sel surya
35
Gambar IV.2
Ilustrasi sketsa fotoinduksi pada transfer muatan lapisan aktif sel surya
Gambar IV.3
36
(a) Hasil karakterisasi UV-vis spectrometer lapisan CuOx (b) Analisis Eg
37
Gambar IV.4
Hasil pengukuran AFM lapisan tipis CuOx
38
Gambar IV.5
Hasil pengukuran XPS (a) spektrum Cu ( b) spektrum O
38
Gambar IV.6
Skema pembentukan Cu2O dan CuO
39
Gambar IV.7
Hasil pengukuran XRD lapisan tipis CuOx
39
Gambar IV.8
(a) Grafik absorbansi masing-masing divais (b) Grafik absorbansi lapisan aktif P3HT:PCBM
Gambar IV.9
(a)Spektrum
EQE dari divais sel surya
40 (b)
Spektrum fotoarus dari divais
41
Gambar IV.10 Karakteristik J-V divais masing-masing struktur (a) pada keadaan tanpa cahaya (dark)
(b) pada
keadaan dengan penyinaran cahaya AM 1.5 (a) Gambar IV.11 Ilustrasi
analisis
Rs
dan
Rsh
melalui
42
J-V
karakteristik sel surya (b) Ekuivalensi sel sel surya dengan sistem generator arus yang paralel dengan resistif dioda
43
Gambar IV.12 Karakteristik J-V divais dengan CuOx
sebagai
anode interlayer pada pengaruh waktu penyinaran xii
(a) skala logaritmik (b) skala linear
43
Gambar IV.13 Grafik peluruhan performasi divais dengan CuOx sebagai anode interlayer akibat waktu iluminasi
44
Gambar IV.14 Karakteristik J-V divais dengan CuOx
sebagai
anode interlayer
45
Gambar IV.15 Hasil AFM lapisan aktif blend P3HT:PCBM (a) 3 dimensi (b) 2 dimensi (gambar yang didalam menunjukkkan ketebalan lapisan Gambar IV.16 Hasil AFM untuk divais
45 ITO/AZO/P3HT-
PCBM/Ag (a) 3 dimensi (b) 2 dimensi
46
Gambar IV.17 Hasil AFM untuk divais ITO/ AZO/ P3HT:PCBM/ CuOx/Ag (a) 3 dimensi (b) 2dimensi
46
Gambar IV.18 Grafik fotoarus transien (transient photocurrent) untuk masing divais (a) pada medan listrik positif (b) medan listrik negatif Gamba IV.19
47
Jenis plot grafik logaritmik ganda untuk divais sel surya pada medan listrik positif (a) tanpa CuOx (b) dengan CuOx
49
Gambar IV.20 Jenis plot grafik logaritmik ganda untuk divais sel surya pada listrik negatif (a) tanpa CuOx (b) dengan CuOx Gambar IV.21 Grafik
49 hubungan
antara
mobilitas
pembawa
muatan dan medan listrik pada divais sel surya
xiii
50
DAFTAR TABEL
Tabel IV.1
Daftar
parameter-parameter
performansi
divais masing-masing struktur
Tabel IV.2
Daftar
parameter-parameter
42
performansi
divais dengan CuOx sebagai anode interlayer karena pengaruh waktu iluminasi
xiv
44
DAFTAR SINGKATAN
SINGKATAN
Nama
Pemakaian pertama kali pada halaman 3
DSSC
dye sensitized solar cells
PSC
polymer solar cells
3
P3HT
poly (3-hexylthiophene)
3
PCBM
[6,6]-phenyl C61-butyric acid methyl ester
3
PCE
power conversion efficiency
3
BHJ
bulk heterojunction
4
HOMO
highest occupied molecular orbital
4
LUMO
lowest unoccupied molecular orbital
4
AZO
aluminum doped zinc oxide
4
PEDOT:PSS
poly (styrene sulfonic acid) doped poly (3,4ethylenedioxythiophene)
5
EQE
external quantum efficiency
6
IPCE
inscident photon convertion efficiency
6
DOS
density of state
12
STL
state transit laying
15
STB
bonding state
15
STF
free state.
15
TCO
transparent conducting oxide
26
DPSS
diode pumped solid state
32
XPS
X-ray photoelectron spectrometer
33
XRD
X ray difractometer
33
AFM
atomic force microscope
34
w.o.
without
41
xv
DAFTAR ISTILAH TERJEMAHAN
Bahasa Inggris
Bahasa Indonesia
Interface Lifetime Transient photocurrent Transit time Bulk heterojunction Mobility Fermi level Dark Illumination Photogenerated Photoexcited Infra red Visible Drift current Diffussion current Current density Photoinduced Wavelenght Voltage
Antarmuka Waktu hidup Fotoarus transien Waktu transit Persambungan hetero bulk Mobilitas Tingkat Fermi Gelap Iluminasi Fotogenerasi Fotoeksitasi Infra merah Cahaya tampak Arus drift Arus difusi Rapat arus fotoinduksi Panjang gelombang Tegangan
xvi
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini, topik penelitian sel surya hibrid atau dikenal juga sel surya organik telah mampu menarik perhatian para peneliti karena potensinya yang unggul sebagai sumber energi alternatif (fotovoltaik). Kecuali itu teknologi storage battery sebagai pendukungnya terus berkembang secara selaras. Selain itu, proses pembuatannya juga menggunakan biaya produksi yang relatif murah, proses yang mudah dan suhu fabrikasi yang rendah [1]. Saat ini konsentrasi pengembangan sel surya organik secara umum menekankan terhadap pencapaian divais dengan efisiensi yang tinggi, stabilitas yang baik, proses produksi yang cepat, mudah dan murah [2]. Gambar I.1 menunjukan daftar efisiensi terbaik dari arah pengembangan sel surya selama sekitar dua dekade terakhir.
Gambar I.1. Kurva peningkatan efisiensi dari tahun ke tahun untuk masingmasing kelas sel surya [3].
Selain itu roadmap tentang perbedaan performansi/efisiensi dan perbandingan harga dari berbagai modul fotovoltaik baik yang organik maupun yang inorganik ditunjukkan oleh Gambar I.2.
1
Gambar I.2 Perbedaan performasi dan harga dari berbagai modul sel fotovoltaik [4,5].
Secara umum biaya yang digunakan dalam pengembangan sel surya organik relatif lebih murah namun saat ini waktu hidup (lifetime) dari divais memang masih rendah. Gambar I.3 menunjukkan sebuah analisis terhadap lifetime divais sel surya organik yang dilakukan oleh Joseph Kalowekamo dan Erin Baker, 2009.
Gambar I.3 Grafik levelized energy cost (LEC) untuk sel surya organik sebagai fungsi dari lifetime sel dan efisiensi berdasarkan perkiraan biaya produksi modul secara keseluruhan [6]. 2
Sel surya hibrid pada prinsipnya terdiri dari dua lapisan organik atau campuran dari dua bahan organik [2,7,8]. Salah satu dari lapisan tersebut berupa organic dye atau polimer semikonduktor yang berfungsi sebagai donor elektron, sementara lapisan yang lain berfungsi sebagai akseptor elektron [2]. Jika divais tersebut menggunakan organic dye maka dikenal sebagai dye sensitized solar cells (DSSC) sedangkan jika divaisnya menggunakan polimer semikonduktor sebagai donor maka disebut sebagai sel surya polimer / polymer solar cells (PSC).
Penelitian ini mengkaji tentang sifat-sifat fotovoltaik divais sel surya hibrid dengan struktur terbalik melalui karakterisasi performansinya. Karakterisasi dilakukan pada divais yang dibuat sendiri. Lapisan aktif yang digunakan pada penelitian ini adalah poly (3-hexylthiophene) (P3HT) sebagai donor dan [6,6]phenyl C61-butyric acid methyl ester (PCBM) yang merupakan derivatif fullerene sebagai akseptor. Penelitian sel surya hibrid yang sudah dikembangkan selama ini, telah melaporkan bahwa efisiensi/power conversion efficiency (PCE) yang terbaik mencapai sekitar 7,73 % untuk struktur normal [9]. Banyak metoda yang digunakan para peneliti sebagai cara untuk meningkatkan performansi dari sel surya. Sebagai contoh, dengan melakukan sintesis material baru yang mempunyai pita energi rendah dengan kemampuan menangkap foton lebih banyak, optimasi rekayasa dan pemisahan fasa dalam lapisan persambungan bulk-nya (bulk heterojunction), memodifikasi lapisan antarmuka (interface) untuk pengumpul dan transpor pembawa muatan yang lebih baik serta dengan mendisain konfigurasi sel yang baru [2]. Realisasi dari tujuan tersebut untuk satu sel tunggal menjadi sebuah tantangan yang berat.
Sebagai indikator dalam peningkatan efisiensi dari sel surya maka parameterparameter seperti short circuit current density (Jsc), open circuit voltage (Voc), fill factor (FF), series resistance (Rs) dan shunt resistance (Rsh) harus dioptimalkan. Untuk itu proses produksi foton menjadi eksiton harus meningkat. Teknik yang dikembangkan saat ini dengan menyisipkan suatu lapisan interface melalui perlakuan yang berbeda-berbeda baik pada substratnya maupun lapisan aktifnya [2]. 3
Selama ini pengembangan sel surya hibrid dilakukan dengan membuat konfigurasi normal. Konfigurasi normal yaitu struktur yang terdiri dari lapisan aktif yang merupakan persambungan bulk / bulk heterojunction (BHJ) diapit oleh lapisan oksida logam transparan (indium tin oxide/ITO) sebagai lapisan elektroda positif (anoda) dan lapisan logam dengan fungsi kerja yang lebih rendah terhadap ITO seperti logam Al sebagai lapisan negatif (katoda). Supaya terjadi efisiensi pengumpulan muatan dengan baik maka fungsi kerja dari anoda dan katoda harus disesuaikan dengan nilai dari HOMO (the highest occupied molecular orbital) lapisan donornya dan LUMO (the lowest unoccupied molecular orbital) lapisan akseptornya. Walaupun kita juga mengetahui bahwa logam dengan fungsi kerja yang rendah sebagai katoda mempunyai sifat kurang stabil karena sangat sensitif terhadap oksigen dan kelembaban yang mengakibatkan divaisnya juga tidak stabil [10,11,12].
Untuk mengatasi permasalahan diatas, alternatif pengembangan struktur sel surya hibrid dengan tujuan membuat divais yang stabil dan mempunyai waktu hidup (lifetime) yang lama maka dilakukan dengan membuat konfigurasi baru yang berstruktur terbalik (inverted), dimana indium tin oxide (ITO) sebagai katodanya sedangkan sebagai anodanya digunakan logam Ag atau Au yang mempunyai fungsi kerja lebih tinggi dari ITO [12]. Perkembangan yang lebih jauh lagi tentang kedua konfigurasi tersebut adalah penggunanaan antarmuka (interface) sebagai interlayer / lapisan penyangga (buffer layer) antara lapisan aktif dan kedua elektrodanya yang menjadi media transpor untuk pembawa muatan.
Pada penelitian ini Al doped ZnO (AZO) digunakan sebagai lapisan penyangga antara katoda dan lapisan aktif, dimana sudah dikaji dan dilaporkan oleh tim peneliti sebelumnya (Annisa, dkk., 2011) [13]. Penelitian kali ini menekankan pada penggunaan lapisan baru CuOx sebagai lapisan antarmuka antara lapisan aktif dan anoda ( anode interlayer). Lapisan CuOx dipilih karena berdasarkan metoda pembuatan dapat berupa CuO dan Cu2O. CuO mempunyai energi gap sekitar 1,7 eV sedangkan Cu2O sekitar 2,1 eV, dimana tingkatan energi dari Cu2O 4
bersesuaian dengan tingkatan energi lapisan aktifnya. Kedua lapisan tersebut dibuat dengan metoda proses sol gel. Sebelumnya Lin, dkk., 2010 [1] juga telah melakukan kajian pengaruh penggunaan CuOx sebagai anode interlayer pada sel surya organik berstruktur terbalik dengan melakukan karakterisasi J-V . Namun lapisan penyangga katoda yang digunakan adalah ZnO sebagai pemblok hole.
Kebaharuan dalam penelitian ini sebagai state of the art adalah kombinasi metoda karakterisasi J-V dan pengukuran fotoarus transien (transient photocurrent) untuk menginvestigasi proses transpor pembawa muatan dan memprediksi terjadinya rekombinasi melalui karakteristik dari waktu transit efektifnya (effective transit time) terhadap sel surya hibrid berstruktur terbalik dengan konfigurasi ITO/AZO/P3HT:PCBM/CuOx/Ag. Selama ini poly (styrene sulfonic acid) doped poly (3,4-ethylenedioxythiophene) / PEDOT:PSS yang mempunyai tingkat energi antara batas HOMO dan LUMO -5 eV dan sering dipakai sebagai anode interlayer akan digantikan dengan CuOx yang dibuat dengan metoda proses gel dan berindikasi pada efisiensi biaya yang murah. Karena harga PEDOT :PSS sangat mahal jika dibandingkan dengan proses pembuatan lapisan CuOx. Selain itu PEDOT:PSS mempunyai kelemahan dimana pada interface akan terbentuk asam, sebagai akibat fungsi waktu sehingga mengakibatkan reaksi reduksi-oksidasi pada divais. Sementara itu dengan penggunaan lapisan CuOx dimungkin lapisan tersebut bisa menjadi lapisan pelindung lapisan aktifnya dari pengaruh oksidasi. Proses pembuatan lapisan CuOx yang dilakukan juga ada perbedaan dengan yang dilaporkan oleh Lin, dkk., 2010 [1], dimana pada penelitian kali ini ada penambahan ethylene glycol pada proses pembuatan lapisan CuOx. Dalam penelitian ini semua proses fabrikasi dilakukan dengan menggunakan spincoating dan proses sol gel baik untuk lapisan aktif maupun lapisan penyangganya. Metoda ini sangat mudah dan murah jika dibandingkan dengan metoda fabrikasi lapisan tipis yang lainnya. Substrat yang digunakan pun adalah substrat gelas dengan lapisan ITO, yang harganya relatif lebih murah 5
dibandingkan dengan substrat kuarsa (quart substrate). Namun begitu untuk pelapisan Ag sebagai elektroda dilakukan dengan menggunakan metoda evaporasi termal. Ag dipilih karena pada kondisi udara terbuka fungsi kerjanya relatif lebih stabil dibandingkan dengan logam Au.
I.2 Rumusan Masalah Penelitian ini merumuskan masalah terkait karakteristik yang mempengaruhi proses transpor terhadap sel surya hibrid berstruktur terbalik (inverted) dengan menggunakan lapisan AZO sebagai lapisan penyangga antara katoda dengan lapisan aktif, dan lapisan CuOx sebagai anode interlayer yang terkait dengan halhal berikut dibawah ini. 1. Bagaimana sifat-sifat optik, struktur kristal, komposisi, morfologi dan ketebalan dari lapisan CuOx dan lapisan aktifnya? 2. Bagaimana pengaruh lapisan CuOx sebagai anode interlayer terhadap karakteristik J-V, external quantum efficiency (EQE)/ incident photon for conversion energy (IPCE) dari divais sel surya tersebut? 3. Bagaimana perbedaan mekanisme transpor pada masing – masing divais karena pengaruh adanya lapisan CuOx dibanding dengan tanpa menggunakan lapisan tersebut? 4. Bagaimana karakteristik fotoarus transiennya dan mobilitas pembawa muatannya akibat pengaruh medan listrik yang yang diberikan pada pengukuran fotoarus transien dan waktu transit efektifnya? 5. Bagaimana pengaruh waktu illuminasi terhadap karakteristik J-V sel surya? Melalui metoda pengukuran spektroskopi dan karakterisasi sel surya akan mampu menjawab dan menganalisis rumusan-rumusan tersebut diatas. I.3 Ruang Lingkup Kajian Dalam penelitian ini dibatasi pada pembuatan divais sel surya organik berstruktur terbalik (inverted) yang menggunakan lapisan CuOx sebagai anode interlayer 6
dengan metoda pembuatan menggunakan proses sol gel dan spincoating untuk menginvestigasi karakteristik J-V, sifat optik, morfologi, struktur kristal, komposisi dan ketebalan serta fotoarus transiennya pada suatu formula yang peneliti anggap akan optimum untuk performansi divais, yang akan dibahas pada bab selanjutnya. I.4 Tujuan penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan ruang lingkup dalam penelitian ini maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginvestigasi pengaruh lapisan CuOx sebagai anode interlayer terhadap karakteristik kerja dan proses transpor pembawa muatan pada sel surya hibrid berstruktur terbalik. I.5 Metoda Kebaruan
penelitian
ini
pada
metoda
yang digunakan
dalam
rangka
menginvestigasi pengaruh CuOx terhadap karakteristik kerja dan proses transpor pembawa muatan pada sel surya hibrid berstruktur terbalik yaitu dengan melakukan analisis terhadap hasil karakterik J-V dan karakteristik fotoarus transiennya (transient photocurrent). Kemudian diekstrak nilai waktu transit efektif dan mobilitasnya, sehingga perilaku waktu hidup pembawa muatan dan proses rekombinasi bisa dibandingkan antara divais yang menggunakan CuOx sebagai anode interlayer dengan divais yang tanpa menggunakan anode interlayer. Selain itu analisis terhadap literatur dan hasil penelitian sebelumnya juga menjadi referensi dalam kajian terhadap hasil penelitian saat ini. Secara umum eksperimen dilakukan untuk fabrikasi dan karakterisasi divais sesuai dengan tujuan penelitian. I.6 Sistematika Penulisan Karya tulis ini tersusun atas lima bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian dan metoda yang digunakan dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi landasan teori yang digunakan sebagai literatur dan kajian teori sebagai acuan di dalam melakukan 7
eksperimen dan analisis terhadap hasil penelitian. Bab ketiga berisi metoda eksperimen yang mencakup bahan-bahan dan alat yang digunakan, metoda sintesis atau fabrikasi serta metoda karakterisasi. Bab keempat berisi tentang hasil penelitian dan analisis terhadap hasil yang telah dicapai berdasarkan pada teori dan hipotesis yang diduga. Bab kelima berisi tentang kesimpulan terhadap hasil penelitian dan saran untuk arah penelitian ke depan.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas tentang konsep–konsep dasar semikonduktor organik, mekanisme-mekanisme yang terjadi pada persambungan hetero bulk, serta karakterisasi sel surya baik pada keadaan iluminasi maupun pada keadaan gelap (dark). Secara lebih rinci akan dijelaskan dalam sub bab–sub bab berikut ini.
II.1 Dasar–dasar semikonduktor organik Material semikonduktor organik sudah dikaji hampir 60 tahun yang lalu, namun baru 2 dekade terakhir ini dikaji lebih intensif [14]. Aplikasi dari material organik bergantung pada jenis semikonduktor yang digunakan. Pada dasarnya ada dua jenis material organik yaitu material dengan molekul kecil dan polimer. Material jenis yang pertama biasanya mempunyai struktur kristalin atau polikristalin, sehingga teori model kristalin bisa digunakan untuk menjelaskan jenis material ini. Sedangkan material jenis yang kedua secara alami bersifat amorfus. Namun secara umum bahwa sifat-sifat dari semikonduktor organik tersebut juga mempunyai tingkat-tingkat energi yang terlokalisasi menjadi ciri khas dari ikatan alami mereka. Berdasarkan dimerisasi, maka ilustrasi antara ikatan tunggal dan ikatan rangkap (
dan σ) ditunjukkan oleh Gambar II.1. Dalam sistem yang terkonjugasi murni perilaku sifat ikatan merupakan ikatan kovalen murni bukan ikatan polar murni. Pada molekul yang lain, elektron dari orbital atom
dibentuk oleh sp2 dari atom-
atom yang jauh dari inti karbonnya, dimana mereka dapat mengalami polarisasi dan akan mudah menjadi muatan yang bergerak.
9
Gambar II.1. Jenis Ikatan dan σ pada molekul ethane. (Digambar ulang dari ref. [14])
Keadaan tingkat-tingkat energi pada orbital yang terisi oleh elektron dengan ikatan tersebut diatas dibedakan menjadi dua. Orbital dengan tingkat energi yang lebih rendah disebut HOMO (the highes occupied molecular orbital) dan orbital yang tingkat energinya lebih tinggi disebut LUMO (the lowest unoccupied molecular orbital). Selisih antara tingkat HOMO dan tingkat energi LUMO merupakan energi gap pada material tersebut. Gambar II.2 merupakan diagram yang menjelaskan konsep diatas.
Gambar II.2. Definisi HOMO dan LUMO dalam semikonduktor organik. (Digambar ulang dari ref. [14])
Material organik sebagian besar terdiri dari karbon. Polimer pada umumnya dibentuk lebih dari 10 monomer. Sifat struktur makroskopik dari suatu sistem molekul (makromolekul) dipengaruhi oleh struktur kimia dan metoda deposisinya. Molekul yang kecil mempunyai kelarutan tinggi dan suhu sublimasi yang rendah 10
dibanding molekul yang lebih besar. Teknik deposisi evaporasi termal dapat diterapkan untuk molekul yang kecil, tetapi tidak bisa untuk molekul besar atau polimer. Deposisi untuk polimer biasanya dengan menggunakan metoda proses sol gel.
Gambar II.3 merupakan jenis-jenis molekul yang sering digunakan dalam fabrikasi sel surya. P3HT dalam sel surya organik berfungsi sebagai donor elektron, sedangkan sebagai akseptor elektron adalah PCBM yang merupakan makro molekul turunan dari fullerene. PEDOT:PSS sering dipakai sebagai lapisan penyangga antara anoda dengan lapisan aktifnya. P3HT, PEDOT:PSS merupakan polimer yang mempunyai sifat termal rendah bila dibandingkan dengan semikonduktor oksida logam. Sehingga dalam aplikasi proses yang dilakukan harus disesuaikan dengan temperature glass (Tg) dari masing-masing polimer tersebut.
P3HT
PEDOT:PSS
PCBM
Gambar II.3 Beberapa material organik semikonduktor yang sering dipakai dalam aplikasi sel surya.
II.2 Sifat-sifat optik dan elektrik pada semikonduktor organik Sel surya adalah divais yang melibatkan proses optik dan elektrik pada saat yang bersamaan. Ketika material semikonduktor organik menerima energi foton (teriluminasi) maka akan terjadi keadaan tereksitasi. Dalam polimer terkonjugasi, keadaan tereksitasi tersebut adalah eksiton dan polaron. Pada mulanya polaron ditemukan dari quasi partikel bermuatan pada kristal polar untuk muatan yang terikat yaitu elektron menggeser elektron lain di dekatnya dimana ada gaya tarik inti yang menyebabkan polarisasi. Polarisasi ini akan 11
menyebabkan massa efektifnya meningkat sehingga mobilitasnya akan menurun. Quasi partikel dapat diidentifikasi melalui penambahan tingkat energi sistem yang bisa dinyatakan sebagai energi gap semikonduktor tersebut. Selisih energi HOMO dan LUMO dari hasil pengukuran merupakan representasi dari energi polaron, dimana polaron tersebut bisa dianggap sebagai muatan yang bergerak.
Pada material organik biasanya eksiton terlokalisasi pada molekul dan memiliki energi ikat tertentu. Energi ikatnya ini diperkirakan besarnya antara 0,4 eV dan 0,95 eV tergantung pada jenis materialnya [14]. Gambar II.4 menunjukkan eksiton pada quasi partikel yang tergenerasi oleh eksitasi optik.
Gambar II.4 Proses eksiton pada quasi partikal karena proses optik. (Digambar ulang dari ref. [14])
Selain itu, posisi energetik dari tingkat Fermi pada semikonduktor juga menggambarkan keberadaan elektron dan hole pada kondisi equilibrium. Posisi tingkat Fermi dapat ditulis sebagai fungsi efektif density of state (DOS) yang merupakan fungsi dari pita konduksi (NC) atau pita valensi (NV) tergantung dari tipe semikonduktornya. Jika konsentrasi efektif donor (ND) dan akseptor (NA) maka energi Fermi (EF) untuk semikonduktor tipe n dapat dirumuskan oleh Persamaan II.1.
N EF EC k BT ln C ND
12
(II.1)
Untuk semikonduktor tipe p diberikan oleh Persamaan II.2.
N EF EV kBT ln V NA
(II.2)
Pada quasi Fermi (keadaan non equilibrium) maka persamaannya menjadi
dan,
N EFN EC kBT ln C nec
(II.3)
N EFP EV kBT ln V p
(II.4)
dimana nec dan p adalah konsentrasi muatan dari elektron dan hole bebas. Besarnya EFP < EF <EFN. Gambar II.5 menunjukkan tingkat energi semikonduktor tipe p ketika ada cahaya dan tidak ada cahaya.
Gambar II.5 Fermi level splitting. (Digambar ulang dari ref. [14]) Proses absorpsi foton pada material dapat dirumuskan oleh persamaan I I 0 e x dimana I adalah intensitas yang masuk sesudah melalui lapisan tipis, adalah koefisien absorpsi dan x adalah ketebalan lapisan tipisnya.
Sebagai contoh diketahui bahwa panjang difusi eksiton dalam P3HT adalah sekitar 10 nm [14] untuk ketebalan dari semua eksiton yang mampu mencapai batas. Maka dengan ketebalan ini dapat dihitung jika koefisien absorpsi diambil maksimum 1x 105 cm -1, artinya hanya 10 % dari cahaya yang dapat digunakan. 13
Penyimpanan pembawa muatan mempunyai efek terhadap perluasan Fermi level splitting yang secara efektif akan menentukan output dari open circuit voltage (VOC) [15] yang dirumuskan melalui Persamaan II.5. qVOC EFN EFP
(II.5)
dimana q adalah muatan partikel elementer.
II.3 Persambungan hetero bulk (bulk heterojunction) sel surya organik Secara konvensional sel surya inorganik merupakan pasangan ikatan Coulomb yang lemah dari suatu pembawa muatan (elektron dan hole) yang mengalami generasi karena menyerap cahaya matahari. Pada semikonduktor organik penyaringan muatan yang berlawanan lebih lemah sebagai konstanta dielektrik yang rendah. Hal ini yang memicu fotogenerasi muatan positif dan negatif dengan interaksi yang kuat. Oleh karena itu, eksiton optik primer pada material organik adalah singlet, yang mana pasangan elektron dan hole berikatan sangat kuat. Gambar II. 6 menunjukan mekanisme transpor muatan akibat difusi muatan maupun pengaruh medan listrik internal.
Gambar II.6 Mekanisme transpor muatan pada sel surya organik. (Digambar ulang dengan modifikasi dari ref. [16])
Secara umum persambungan hetero bulk (bulk heterojunction) merupakan daerah antarmuka yang tinggi dan terdiri dari kontak antara akseptor–donor secara 14
optimal. Sistem ini biasanya dibuat menggunakan pelarut yang mudah menguap pada titik equilibrium tertentu [17]. Sebagian dari polimer terkonjugasi pada keadaaan state undoped bersifat sebagai donor elektron ketika mengalami foto eksitasi (photoexcited). Idealnya eksiton yang mengalami foto eksitasi akan mengalami disosiasi, ketika eksiton yang dihasilkan dari penyerapan foton, maka pada interface akan terjadi transfer muatan. Secara diagram elektronik proses disosiasi tersebut dapat di jelaskan oleh Gambar II.7.
Gambar II.7 Diagram elektronik proses disosiasi eksiton, dimana STL adalah state transit laying, STB adalah bonding state dan STF adalah free state. (Digambar ulang dari ref. [14])
II.4 Optimisasi pada sel surya organik Secara umum dengan adanya keteraturan pada sistem material yang dibuat, baik donor maupun akseptor, dapat meningkatkan efisiensi (PCE) dari sel surya. Ada 2 hal yang menjadi target dalam pengembangan performansinya [17] yaitu: 1. kemampuannya di dalam mengorganisasi pada dirinya sendiri seperti keteraturan sistemnya dan transpor muatannya. 2.
kemampuan di dalam mengabsorpsi spektrum yang lebih luas.
Banyak metoda yang dikembangkan untuk melakukan optimisasi pada sel BHJ seperti pemilihan pelarut yang baik untuk pelarutan polimer–fullerene dan proses annealing yang sesuai untuk material tersebut, sehingga mampu mendorong 15
terbentuknya disosiasi pasangan elektron dan mampu meningkatkan transpor muatannya. Proses absorpsi pada akseptor memiliki potensi yang luas dalam meningkatkan fotoarus (photocurrent) dengan diimbangi penyerapan spektrum cahaya yang efisiensi juga pada material donornya. Perbedaan antara tingkat energi yang relatif kecil pada donor dan akseptor juga dapat meminimalisasi kehilangan energi pada saat proses transfer elektron [17].
Pada sel surya organik, tidak ada teori yang secara lengkap menjelaskan semua parameter proporsional terhadap sifat-sifatnya. Estimasi saat ini masih berdasarkan asumsi yang menunjukan bahwa sel surya polimer berpotensi [17]: 1. memiliki efisiensi quantum internal bisa mendekati 100 % dengan lebar spektrum absorbs dari 300 nm dan 600 nm 2. Fill factor mencapai 80 % 3. Eg bervariasi dengan energi ikat eksiton sebesar 0.3 eV. Efisiensi maksimum yang dapat dicapai masih lebih rendah dibanding dengan sel surya inorganik Si. Untuk mencapai PCE yang maksimum ditingkatkan dengan membuat material donor maupun akseptor baru dengan daerah penyerapan yang lebih luas, meliputi daerah cahaya UV dan tampak serta infra-merah dekat. Absorpsi intrinsik yang lebih tinggi dapat pula meningkatkan performansi sel surya organik menjadi lebih tinggi [17]. II.5 Sambungan logam semikonduktor Teori persambungan antara logam dan semikonduktor pertama kali dikembangkan oleh Mott dan Schottky pada tahun 1938 [14]. Sejak itu kajian tentang injeksi muatan dari pada logam dari semikonduktor inorganik terus berkembang pesat dan sekarang sudah banyak penjelasnya dalam berbagai literatur. Gambar II.8 menunjukkan ilustrasi stuktur pita energi sebelum dan setelah terjadi persambungan.
16
Gambar II.8 Struktur pita energi dan fungsi kerja pada sebelum dan sesudah persambungan. (Digambar ulang dari ref. [14])
Gaya ikat secara langsung ditentukan oleh fungsi kerja dari elektroda (Wfa anoda, Wfc katoda) yang berada diatas atau dibawah fungsi kerja semikonduktornya (Wfn = semikonduktor tipe n , Wfp = semikonduktor tipe p). Jika Wfa>Wfp dan Wfc<Wfn maka akan terbentuk kontak ohmik dan jika Wfa<Wfp dan Wfc>Wfn maka yang terbentuk adalah kontak pemblokiran. Elektron dari hasil fotoeksitasi yang berasal dari pita konduksi tipe n akan menemui penghalang (barrier) sebelum mencapai elektroda negatif. Keadaan yang sama juga terjadi terhadap hole pada pita valensi menuju elektroda positif. Jika yang terjadi adalah persambungan yang menghasilkan non-blocking maka persambungan tersebut dinamakan penyearah atau kontak Schottky. Konsep di atas dapat juga diaplikasikan pada persambungan antara logam dengan semikonduktor organik, tetapi harus disadari bahwa ada perbedaan kualitas antarmuka yang signifikan dibandingkan dengan sistem persambungan metal-semikonduktor inorganik di atas.
Biasanya pasangan elektroda yang dipilih adalah yang memungkinkan menghasilkan nilai Voc, fotoarus , external quantum efficiency (EQE)/ incident photon for convertion efficiency (IPCE) yang lebih tinggi, seperti ITO dan Al atau Au dan Ca. Untuk pemilihan pasangan elektroda Au dan ITO atau Ag dan ITO, jika dilihat dari fungsi kerjanya, maka struktur sel surya yang terbentuk merupakan struktur terbalik (inverted). 17
II.6 Konsep umum sel surya organik dan karakterisasinya II.6.1 Karakteristik J-V pada kondisi gelap Karakteristik sel surya dalam gelap (dark) dapat diidentikkan dengan karakteristik dioda. Ada dua macam arus pada divais semikonduktor [18], yang pertama adalah arus drift yaitu arus yang muncul karena adanya medan listrik pada lapisan aktif. Untuk semikonduktor tipe p, arus drift berikan oleh Persamaan II.6. J drift ep p E
(II.6)
dimana e adalah muatan elektron, p adalah rapat hole, µp adalah mobilitas hole dan E adalah medan listrik. Jenis arus yang kedua adalah arus difusi (diffusion current) yaitu arus yang disebabkan oleh ketidakseragam distribusi pada lapisan aktif. Pembawa muatan akan berdifusi dari daerah yang konsentrasinya tinggi menuju daerah dengan konsentrasi lebih rendah. Arus difusi dituliskan dengan Persamaan II.7. J diff eDp
dp dt
(II.7)
dimana Dp adalah koefisien difusi hole. Pada kondisi equilibrium dengan tanpa bias eksternal maka kedua arus ini saling meniadakan sehingga total arusnya menjadi nol yang digambarkan oleh Persamaan II.8.
J 0 ep p E eDp
dp 0 dt
(II.8)
Pada kasus dengan pemberian ekternal bias maka tingkat Fermi akan bergeser tergantung pada besarnya tegangan bias yang diberikan. Persamaan arus total pada sel surya dengan keaadaan tanpa cahaya maka dapat ditulis seperti Persamaan II.9. qV J J 0 exp k BT
18
1
(II.9)
dimana adalah faktor idealitas yang ditentukan dari hasil eksperimen yang diperoleh dari slope J-V pada skala logaritmik.
II.6.1 Karakteristik J-V pada kondisi dengan ada cahaya Ketika semikonduktor diberi iluminasi cahaya, maka pembawa muatan akan mengalami proses generasi. Jumlah generasi pembawa muatan sebanding dengan intensitas cahaya yang diberikan. Secara umum pasangan elektron-hole mengalami generasi setelah mengabsorpsi foton dan akan berpindah daerah lapisan muatan yang lain dimana jika mempunyai medan listrik internal yang cukup maka akan mampu memisahkan elektron dan hole. Jika terjadi pemisahan antara elektron dan hole maka akan meningkatkan jumlah pembawa muatan bebas pada lapisan aktif. Hal ini mampu menghasilkan arus pada kondisi equilibrium sebesar JL yang dirumuskan oleh Persamaan II.10.
qV J J 0 exp 1 J L k BT
(II.10)
Dimana JL diturunkan oleh Goodman dan Rose pada Persamaan II.11 dengan menggunakan asumsi bahwa rekombinasi pembawa muatan diabaikan [19,20].
(II.11)
J L qGL
Jika muatan mengalami fotogenerasi terkumpul di elektroda maka nilai JL beegantung hanya kepada laju generasi muatan (G) dan ketebalan lapisan (L). Gambar II.9 menunjukkan jenis kurva J-V pada karakteristik sel surya. Beberapa parameter yang dapat diketahui dari gambar tesebut adalah short circuit current density (JSC), open circuit voltage (VOC), fill factor dan power conversion efficiency. Kajian yang lebih mendalam tentang hal ini akan dibahas dalam bab berikutnya. Pada kondisi hubung singkat V=0, maka tingkat Fermi pada persambungan
kontak
elektroda
akan 19
menyelaraskan
dengan
pita
semikonduktornya. Pada kondisi ini maka elektron dan hole akan menuju elektroda. Pada kondisi arusnya nol, maka kondisi ini disebut sebagai kondisi VOC dimana tidak ada pembawa muatan yang dapat diperoleh dari sel surya. Persamaan yang berlaku pada kondisi ini ditunjukkan oleh Persamaan II.12.
VOC
kBT J SC ln 1 q J0
(II.12)
Karakteristiki sel surya ditunjukan kurva J-V berikut yang dapat diekstraksi parameter-parameter performasi sel suryanya.
Gambar II.9 Kurva J-V pada keadaan gelap (biru) dan dengan penyinaran cahaya/ iluminasi (merah). (Digambar ulang dari ref. [14])
II.7 Mekanisme transpor pembawa muatan dan karakterisasi fotoarus transien (transient photocurrent)
Selain proses generasi pembawa muatan pada lapisan aktif, maka mekanisme dinamika transpor pembawa muatan menuju elektroda melalui lapisan interlayer juga menjadi parameter penting pada performansi sel surya. Mekanisme dinamika transpor pembawa muatan baik oleh drift maupun difusi dituliskan dalam Persamaan II.13.
kT n ( p ) J n ( p ) n ( p ) E n ( p ) e x 20
(II.13)
Sementara itu laju densitas pembawa muatan ditunjukkan oleh Persamaan II.14. n ( p ) t
J n ( p ) x
Gca U rc
(II.14)
Dimana, Gca = laju generasi pembawa muatan (carrier generation rate) dan Urc = rekombinasi (recombination) pada material. Persamaan Poison-nya ditunjukkan oleh Persamaan II.15. E e ( p n ) x 0
(II.15)
Persamaan lifetime-nya atau waktu hidup sampai terjadinya rekombinasi pembawa muatan dapat ditentukan melalui Persamaan II.16.
exp( VOC / k BT )
(II.16)
dimana adalah konstanta yang nilainya sekitar 0.39 [15]. Pada sel surya polimerfullerene, VOC dirumuskan melalui Persamaan II.17 [21].
VOC HOMO( D) LUMO( A)
kBT (1 P) NC2 ln q PGM
(II.17)
Diamana q adalah muatan elementer, P adalah probabilitas ikatan pasangan elektron-hole menjadi muatan bebas, GM adalah laju generasi ikatan pasangan elektron-hole, adalah konstanta rekombinasi Langevin, Nc adalah densitas efektif dari tiap tingkat energi, kB adalah konstanta Boltzmann dan T adalah temperatur.
Terbentuknya pembawa muatan terjadi karena ada pemisahan eksiton menjadi elektron dan hole bebas. Pembawa muatan harus ditranspor menuju elektroda dan diharapkan tidak terjadi rekombinasi. Pada saat transfer muatan, elektron dan hole 21
masih mempunyai ikatan yang diakibatkan oleh potensial Coulomb. Dalam material dengan mobilitas yang rendah, peluang terjadinya rekombinasi akan besar. Eksiton akan berpisah menjadi pasangan elektron dan hole bebas ketika jarak disipasi pembawa muatan lebih besar daripada radius Coulomb. Pergerakan pembawa muatan ke persambungan yang lain bisa terjadi karena difusi muatan dan drift medan listrik. Berdasarkan quantum efisiensi untuk mengekstraksi pembawa muatan memerlukan waktu transit pembawa muatan ttr yang lebih kecil daripada waktu hidup pembawa muatannya [22]. Waktu transit pembawa muatan dirumuskan oleh Persamaan II.18. ttr
d tck E
(II.18)
Dimana dtck adalah ketebalan sampel, adalah mobilitas pembawa muatan dan
E adalah medan listik yang diberikan. Ketika fotoarus yang terjadi disebabkan oleh drif yang diberikan, maka hubungan antara drift distance (ldrift) dituliskan oleh persamaan II.19 berikut.
ldrift E
Dimana
(II.19)
adalah waktu hidup (lifetime) pembawa muatan. Nilai dari
menentukan jarak rerata antara pembawa muatan sebelum terjadinya rekombinasi. Nilai tersebut juga yang menghasilkan nilai batas power conversion energy (PCE) suatu divais yang disebabkan oleh proses transpor pembawa muatan dan rekombinasi [22].
Dalam karakterisasi transient photocurrent metoda untuk memperoleh waktu transit pembawa muatan dilakukan dengan metoda pengukuran time of flight (ToF). Teknik tersebut digunakan untuk mengukur transpor pembawa muatan dengan mobilitas yang rendah pada suatu semikonduktor. Gambar II.10 menunjukkan ilustrasi dinamika transpor ketika terjadi fotogenerasi pembawa muatan dengan pemberian tegangan listrik sebesar U terhadap suatu lapisan tipis pada teknik pengukuran ToF. 22
Gambar II.10 Ilustrasi dinamika transpor ketika fotogenerasi pembawa muatan dengan pemberian tegangan listrik sebesar U. (Digambar ulang dari ref. [22]).
Dalam teknik tersebut dapat diekstraksi nilai waktu transit efektif dan mobilitas pembawa muatan, dimana nilai tersebut berhubungan dengan proses fotogenerasi pada suatu material. Metoda ini secara teknis akan dibahas lebih lanjut melalui metoda pengukuran fotoarus transien (transient photocurrent) pada bab berikutnya.
23
BAB III EKSPERIMEN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metoda eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini. Dalam hal ini akan dibahas tentang bahan- bahan yang digunakan untuk eksperimen, preparasi, sintesis dan fabrikasi sampel, dan karakterisasikaraktersasi sampel dalam penelitian. Secara lebih rinci akan dijabarkan dalam penjelasan berikut.
III.1 Bahan-bahan III.1.1 Poly(3-hexylthiophene) (P3HT) Poly(3-hexylthiopene)/P3HT merupakan polimer semikonduktor mempunyai tingkat energi HOMO (the highest occupied molecular orbital) pada nilai -5,2 eV dan tingkat energi LUMO (the lowest unoccupied moleculer orbital) pada nilai 3,2 eV. Bahan ini tergolong jenis semikonduktor organik tipe p, yang bersifat sebagai donor elektron. Dalam divais sel surya, bahan ini sebagai lapisan aktif yang berfungsi sebagai donor elektron. Berat molekul dari bahan ini berkisar antara 50.000 – 150.000. Tempereture glass dari polimer P3HT ini sekitar 140 ºC. Struktur kimia dari P3HT dapat dilihat pada Gambar III.1.
Gambar III.1 Struktur Kimia P3HT
Data dari American Dye Source, Inc. (perusahan yang memproduksi P3HT dan fullerene) dapat dipakai untuk membandingkan hasil pengukuran dengan referensinya. Gambar III.2 menunjukkan spektrum emisi dan absorpsi dari P3HT dan PCBM. Gambar III.2 menunjukkan absorpsi maksimum dari P3HT tersebut
24
adalah pada panjang gelombang 436 nm. Untuk PCBM absorspsi maksimum terjadi pada 284 nm dan 341 nm.
(a)
(b)
Gambar III.2 (a) Spektra absorpsi dari [C61] PCBM (warna merah) dan [C60] PCBM (biru) (b) Spektra emisi ( warna biru) dan absorpsi (warna kuning) dari P3HT [23]. II.1.2 [6,6]-phenyl-C61- butyric acid methyl ester (PCBM) PCBM merupakan makromolekul dari turunan fullerene C60, yang mempunyai struktur tingkat energi HOMO – 6,1 eV dan LUMO - 3,7 eV. PCBM merupakan semikonduktor tipe n. Pada divais sel surya PCBM sebagai lapisan aktif yang berfungsi sebagai akseptor elektron. Tingkat solubilitas dari PCBM sekitar 35 gram/Liter. Sedangkan struktur kimia dari PCBM dapat dilihat dari Gambar III.3 berikut ini.
Gambar III.3 Struktur kimia PCBM [23].
25
III.1.3 Bahan kimia dan pelarut
Bahan-bahan kimia yang digunakan meliputi zinc acetate dyhidrat, aluminum klorida (AlCl3), natrium hidroksida (NaOH), copper acetate monohydrat. Pelarut yang dipakai meliputi 2-methoxyethanol (2MOE), diethanolamine (DEA), metanol, chlorobenzene, isopropanol (isopropil alkohol / IPA), ethylene glycol. Selain itu juga digunakan bahan-bahan untuk pelarut tambahan seperti aceton dan klroroform. III.1.4 Substrat dan elektroda Sebagai transparent conducting oxide (TCO) digunakan indium tin oxide (ITO) pada substrat gelas. Substrat gelas dipilih karena untuk efisiensi biaya. ITO merupakan oksida logam konduktif yang transparan dengan fungsi kerja sekitar – 4,7 eV. Sedangkan sebagai elektroda positif menggunakan perak (Ag) yang mempunyai fungsi kerja – 4,8 eV. Ag dipilih karena sifatnya yang lebih stabil pada kondisi udara terbuka. Dalam struktur terbalik juga bisa digunakan emas (Au) sebagai anoda. Namun sifat Au pada udara terbuka kurang stabil sehingga fungsi kerjanya menurun. III.2 Fabrikasi divais Struktur sel surya yang dibuat terdiri dari ITO/AZO/ P3HT:PC60BM/CuOx/Ag seperti ditunjukan oleh Gambar III.4. Sampel dibuat dengan metoda spin coating. Tahapan fabrikasi sebagaian dilakukan di dalam clean room terutama untuk pembuatan lapisan aktifnya dan elektrodanya, tetapi untuk lapisan penyangganya yaitu AZO dan CuOx hanya proses spincoating dan annealing yang dilakukan didalam clean room. Secara detail metoda eksperimennya dapat dijelaskan dalam sub bab berikut ini. Gambar III.4 menunjukkan struktur sel surya yang dibuat dalam penelitian ini.
26
Gambar III.4. Struktur sel surya. III.2.1 Preparasi substrat dan etching ITO Substrat gelas ITO dipotong dengan ukuran 2 x 1 cm2. Kemudiaan subtrat di etching sehingga lapisan ITO yang tersisa menjadi 2 cm x 2 mm. Etching dilakukan dengan mengunakan larutan asam klorida (HCl) pekat selama 20 menit. Kemudian larutan dinetralkan dengan NaHCO3 dan air. Setelah larutan netral substrat diambil dan dicuci dengan menggunakan air dan detergent . kemudian substrat dicuci di dalam ultrasonic bath menggunakan air, clhroroform, aceton dan isopropanol masing-masing selama 15 menit. Setelah pencucian tersebut substrat disterilisasi dari partikel-partikel tersisa menggunakan plasma OZON clean dengan rincian O2 selama 2 menit, UV selama 10 menit dan N2 selama 10 menit. III.2.2 Pembuatan lapisan tipis AZO sebagai lapisan penyangga katoda Lapisan Al doped ZnO (AZO) dengan ketebalan sekitar 40 nm dibuat dengan metoda sol gel proses, mengikuti prosedur yang dilakukan oleh tim peneliti sebelumnya [13,24]. Sampel dibuat di atas lapisan indium tin oxide (ITO) pada substrat gelas.
27
III.2.3 Pembuatan lapisan aktif P3HT:PCBM Blending antara P3HT dengan PCBM dengan rasio berat 30 mg : 25 mg dilarutkan kedalam 1 mL clhorobenzene, kemudian larutan di-stirring selama 20 jam dengan kecepatan 400 rpm pada suhu 40 ºC. Kemudian dilakukan pengadukan dengan menggunakan ultrasonic bath selama 90 menit. Setelah terlihat tercampur dengan baik, larutan di-spincoating dengan kecepatan 800 rpm diatas lapisan AZO. Kemudian sampel di-annealing pada suhu 160 ºC
selama 30 menit. Proses
annealing ini didasarkan pada hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zhao, dkk., 2009 [25] yang menunjukkan bahwa temperature glass meningkat dengan adanaya penambahan PCBM
yang berpengaruh pada
perilaku
kristalisasinya. Pearson, dkk., 2012 [26] juga melaporkan bahwa PCE sel surya dari blending P3HT:PCBM dengan 20 % PCBM pada chlorobenzene mencapai nilai tertinggi dengan perlakuan annealing anatar 150 ºC – 175 ºC. III.2.4 Pembuatan lapisan tipis CuOx sebagai anode interlayer Lapisan tipis CuOx dibuat dari 0.25 M larutan dengan rincian 0.24 gram Cu acetate monohydrat kedalam 5 mL isopropanol (IPA). Kemudian ditambahkan 0.25 mL diethanolamin (DEA) dan ethylen glycol (EG). Setelah itu ditambahkan air sebanyak 0.1 mL. Kemudian larutan di-stirring dengan kecepatan 400 rpm pada suhu 40 ºC selama 20 jam. Setelah terlarut sempurna dilakukan spincoating di atas lapisan P3HT:PCBM dengan kecepatan 2000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya sampel di-annealing pada suhu 170 ºC selama 30 menit. III.2.5 Pembuatan elektroda Ag Elektroda Ag dibuat dengan metoda evaporasi termal. Lapisan yang terbentuk mempunyai ketebalan 100 nm yang dihasilkan oleh pelapisan dengan laju pelapisan 0,5 angstrom/detik. Lapisan Ag yang dibuat menyilang dengan lapisan ITO yang luasnya sekitar 1 cm x 2 mm. Sehingga lapisan sel yang terbentuk berukuran 2 mm x 2 mm, dan untuk setiap devais dibuat 2 buah sel. Gambar devais ditunjukkkan dalam lampiran A. Proses pelapisan dilakukan pada kondisi 28
vakum 9,4 x 10-7 torr sedangkan tekanan operasi pada saat pelapisan adalah 1,8 x 10-6 torr. III.3 Karakterisasi Tahapan karakterisasi dilakukan diluar clean room, karakterisasi meliputi pengukuran optik, elektrik, morfologi, komposisi dan struktur kristal. Jenis pengukuran yang dilakukan meliputi pengukuran karakteristik J-V, EQE/IPCE, absorspsi dengan UV-vis spectrometer, atomic force microscope (AFM), X ray photoelectron spectroscopy (XPS), X ray Difractometer (XRD) dan fotoarus transien (transient photocurrent). Pengukuran dilakukan pada kondisi ambient atmosphere. III.3.1 Karakterisasi J-V Karakterisasi J-V dilakukan pada holder yang divakumkan, kutub positif dihubungan dengan elektroda Ag dan kutub negatif dihubungkan dengan elektroda ITO. Pengukuran dilakukan menggunakan unit solar simulation (Keithley 237) yang sama dengan kondisi penyinaran dibawah cahaya matahari [27]. Spektrum cahaya matahari untuk berbagai keadaan ditunjukkan oleh Gambar III.5.
Gambar III.5 Perbandingan spektrum energi radiasi matahari sebagai fungsi panjang gelombang untuk kondisi tepat diatas atmosfer bumi, blackbody, dan pada permukaan bumi [17]. 29
Unit alat ukur dihubungkan dengan komputer dan dijalankan secara otomatis menggunakan LabVIEW software. Program dirancang dengan scaning linear secara otomatis pada tegangan bias -1 volt sampai 1 volt. Sampel disinari cahaya dari lampu halogen dengan intensitas daya sebesar AM 1.5 (100 mW/cm2). Kalibrasi dilakukan menggunakan Si. Selain dengan menggunakan intensitas tersebut diatas, pengukuran juga dilakukan pada cahaya monokromatis dengan panjang gelombang yang digunakan 550 nm Selain itu pengukuran juga dilakukan pada kondisi gelap (dark). Skema karakterisasi J-V ditunjukkan oleh Gambar III.6 berikut di bawah ini.
Gambar III.6 Skema pengukuran J-V
Untuk menganalisis hasil karakterisasi, perhitungan menggunakan rumusan parameter-parameter yang ditulis dalam Persamaan III.1 dan III.2 dibawah ini. J maxVmax J SCVOC
FF
(III.1)
dan PCE
J SCVOC FF Pin
(III.2)
Dimana Jmax dan Vmax adalah arus dan tegangan pada saat daya keluarannya maksimum. Jsc dan Voc adalah rapat arus pada saat hubung singkat dan tegangan 30
pada saat rangkaian terbuka, FF adalah fill factor dan ( e ) adalah efficiency / power conversion energy (PCE), Pin adalah intensitas daya cahaya yang masuk. III.3.2 Karakterisasi EQE/IPCE External quantum efficiency (EQE)
atau insident photon change current
efficiency (IPCE) yang merupakan jumlah elektron per detik dibagi dengan jumlah foton per detik. EQE diukur pada saat kondisi hubung singkat menggunakan electrometer (Keithley 617S) yang terkopel dengan alat ukur J-V seperti sudah dijelaskan diatas. Gambar alat tersebut diatas dapat dilihat pada lampiran B. Analisis perhitungan EQE diperoleh dari Persamaan III.3 dan III.4.
EQE ( )
ne J SC n ph Pin e
(III.3)
EQE (%)
J SC 1, 240 x100 Pin (nm)
(III.4)
Dimana ne adalah jumlah fotoelektron yang mengalami generasi, nph adalah jumlah foton yang diabsorpsi. Pengukuran dilakukan dengan scaning panjang gelombang antara 300 nm sampai 800 nm.
Secara keseluruhan efisiensi sel surya adalah gabungan dari PCE x EQE x IQE, dimana IQE adalah internal quantum efficiency yang besarnya dirumuskan oleh Persamaan IV.5.
IQE
EQE 1 Rrf Ttr
(IV.5)
dimana Rrf adalah reflektansi dan Ttr adalah transmintasi
III.3.3 Pengukuran fotoarus transien (transien photocurrent)
Pengukuran fotoarus transien (transient photocurrent) dilakukan dengan menggunakan laser pulsa dengan panjang gelombang 532 nm (warna hijau). 31
Besarnya resistansi osciloscope yang digunakan adalah 50 Ω. Elektroda Ag dihubungkan dengan kabel oscilloscope dan ITO dihubungkan dengan sumber tegangan DC dengan metoda panjar maju dan mundur. Skema alat pengukuran tersebut ditunjukkan oleh Gambar III.7.
Gambar III.7 Skema alat ukur fotoarus transien Dimana DPSS adalah singkatan dari diode pumped solid state laser dan R adalah resistansi.
III.3.4 UV-vis spectroscopy
Untuk karakterisasi sifat-sifat optik material yang berupa sifat absorspsinya dilakukan pengukuran menggunakan UV- vis spectrometer (Shimadzu 3150). Prinsip pengukuran dengan alat ini berkaitan dengan proses eksitasi elektronik. Daerah radiasi berkisar pada panjang gelombang 200 nm – 400 nm, sedangkan daerah cahaya tampak (visible) berkisar antara 400 nm – 800 nm [28]. Eksitasi elektronik ini pada molekul terjadi karena ada perpindahan elektron menuju tingkat energi yang lebih tinggi. Besarnya energi dalam eksitasi elektronik ini dirumuskan oleh Persamaan III. 6. E E1 E0
(III.6)
Diman E0 adalah tingkatan energi yang lebih rendah dan E1 adalah tingkatan energi yang lebih tinggi. Pada prinsipnya ada tiga jenis tipe elektron yang
32
mengalami transisi pada molekul yaitu elektron pada ikatan tunggal (σ bonds), ikatan ganda ( π bonds) maupun pada elektron yang tidak terikat pada atom.
III.3.5 Karakterisasi dengan Difraksi Sinar X (XRD)
Pengukuran X-ray difractometer (XRD) untuk menganalisis struktur kristal dari lapisan. Prinsip kerja dari alat ini adalah jika material dikenai sinar X, maka intensitas sinar akan direfleksikan oleh kisi kristal lebih rendah dari sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-atom dalam material tersebut. Berkas sinar X yang dihamburkan tersebut ada yang saling melemahkan untuk fasa yang berbeda dan ada yang saling menguatkan untuk fasa yang sama. Berkas sinar yang menguatkan itulah yang disebut berkas difraksi. Hal ini dirumuskan dengan hukum Bragg yang dituliskan dalam Persamaan III.7.
m d sin
(III.7)
Dimana m adalah bilangan 1,2,3,……dan seterusnya , adalah panjang gelombang sinar X, d adalah jarak antar bidang kristal dan adalah sudut difraksi.
III.3.6 Karakterisasi komposisi dengan X-ray photoelectron spectrometer (XPS)
Untuk analisis komposisi dari material yang dibuat digunakan X-ray photoelectron spectrometer (XPS). Gambar alat XPS yang digunakan dalam pengukuran ini terdapat dalam lampiran D. Prinsip kerja XPS adalah teknik spektroskopi untuk mengukur komposisi elemen, formula empiris, chemical state, electronic state dari suatu elemen material. Spektrum XPS diperoleh dari interaksi iradiasi antara material dengan sinar X yang diukur secara simultan antara hubungan energi kinetik dengan jumlah elektron yang mengalir.
33
Persamaan III.8 menunjukkan hubungan antara energi sinar X yang diberikan dengan energi ikat yang dimiliki materialnya.
Ebinding E photon ( Ekinetic )
(III.8)
Dimana Ebinding adalah energi ikat elektron, Ephoton adalah energi dari sinar X, Ekinetic adalah energi elektron yang diukur dan adalah fungsi kerja dari spektrometernya. Spektrum XPS menunjukkan hubungan antara jumlah elektron yang terdeteksi dengan energi ikat dari elektron yang terdeteksi tersebut. Puncakpuncak spektrum menunjukkan hubungan antara
konfigurasi elektron dari
elektron suatu atom yaitu 1s 2s 2p 3s dan seterusnya. Jumlah elektron yang terdeteksi berhubungan secara langsung dengan jumlah elemen pada daerah pengukuran tersebut.
III.3.7 Karakterisasi morfologi dengan atomic force microscope (AFM)
Untuk mengamati morfologi permukaan lapisan dilakukan dengan menggunakan atomic force microscope /AFM (KEYENCE VN-8000). Metoda yang digunakan pada pengukuran AFM menggunakan metoda non contact mode. Prinsip dasar AFM terdiri dari sebuah cantilever dan sebuah tip (probe) yang digunakan untuk scanning suatu permukaan specimen/sampel. Metoda yang digunakan untuk pengukuran ini dapat dilakukan dengan metoda contact dan non contact. Pada metoda non contact, cantilever akan mengalami frekuensi resonansi akibat gaya Van der Waals. Dalam hal ini amplitudo dari osilasi tersebut menunjukkan suatu nilai dalam ukuran nanometer yang merupakan hasil dari scanning terhadap permukaan sampel.
34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Bab
ini
akan
menjelaskan
mengenai
hasil
eksperimen,
analisis
dan
pembahasannya. Hal-hal yang dibahas meliputi sifat-sifat fisik, nanostruktur dan hasil karakterisasi divais dengan memadukan konsep literatur dan hasil penelitian. Secara lebih rinci akan dijabarkan dalam penjelasan berikut.
IV.1 Konfigurasi tingkat energi pada sistem sel surya Struktur sel surya yang dipelajari mempunyai konfigurasi tingkat energi dengan fungsi masing masing lapisan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar IV.1.
Gelas/
Hole
Active layers
Katoda
blocking
Akseptor
Interlayer
Anoda
Donor -3.1 eV -3.2 eV
-3.7 eV -4.4 eV ITO -4.7 eV
CuOx P3HT
PCBM
Ag
AZO
-4.8 eV -5.2 eV
-5.2 eV
-6.1 eV -7.8 eV
Gambar IV.1. Konfigurasi tingkat energi dari struktur sel surya
Selain konfigurasi diatas dalam eksperimen juga dilakukan analisis perbandingan divais dengan konfigurasi yang tanpa menggunakan anode interlayer. Mekanisme yang terjadi di dalam divais sebagai sel surya dapat dijelaskan oleh Gambar IV.2.
35
Gambar IV.2 Ilustrasi sketsa fotoinduksi pada proses transfer muatan didalam lapisan aktif sel surya. (Digambar ulang dengan modifikasi dari ref. [29])
Munculnya muatan pada divais fotovoltaik diakibatkan oleh transfer fotoinduksi karena absorpsi energi cahaya matahari sebesar ћω, dimana pada reaksi ini elektron pada semikonduktor organik tipe p (P3HT) ditransfer ke semikonduktor tipe n sebagai akseptor elektron (PCBM). Pada reaksi ini terjadi pemisahan muatan membentuk kation radikal donor dan anion radikal akseptor. Reaksi tersebut dapat dijelaskan melalui Persamaan IV.1 di bawah ini. D A D A(orD) A D A
(IV.1)
Dimana D adalah donor, A adalah akseptor, D* adalah eksiton donor, A* adalah eksiton elektron, D.+ adalah kation radikal donor dan A.- adalah anion radikal akseptor. Untuk efisiensi generasi pembawa muatan, pemisahan muatan menjadi parameter yang sangat penting agar tidak terjadi rekombinasi. Peristiwa ini mengikuti prinsip termodinamika dan kinetika setelah terjadinya fotoeksiton. Proses selanjutnya setelah terjadi pemisahan muatan adalah transpor muatan menuju elektroda. Dalam penelitian ini proses transpor tersebut melalui interlayer/buffer layer baik saat menuju anoda maupun ke katoda. Dalam kasus ini CuOx sebagai media transpor hole menuju anoda (Ag) sedangkan Al doped ZnO (AZO) sebagai media transpor elektron menuju katoda (ITO).
36
IV.2 Sifat Optik CuOx Sifat optik dari lapisan CuOx dikarakterisasi dari hasil pengukuran absorpsi dengan menggunakan UV – vis spectrometer. Spektrum absorpsinya ditunjukkan oleh Gambar IV.3 (a). UV-Vis photospectra dari lapisan tipis CuOx dianalisis dengan plot grafik antara (αhν)2 versus hν berdasarkan persamaan αhν = A(hν −Eg)n/2, diamana α adalah koefisien absorpsi, A adalah kontanta (tidak tergantung dengan ν), dan n adalah eksponen yang bergantung dari aturan seleksi kuantum untuk material khusus [30,31]. Dimana nilai n = 1 untuk pita langsung dan n = 2 untuk pita tidak langsung [32]. Dari spektrum tersebut dapat dianalisis energi gapnya (Eg) dengan menggunakan metoda aproksimasi untuk semikonduktor pita langsung seperti ditunjukan Gambar IV.3(b) . Gambar tersebut menunjukkan bahwa Eg yang dihasilkan sebesar 2,05 eV. ini merupakan Eg dari Cu2O dalam lapisan tersebut. 0.0010
0.5
2
CuOx
(h)
Absorbance
0.0008
0.4 0.3 0.2
CuOx
0.0006 0.0004 0.0002
0.1 Eg = 2.05 eV
0.0000
0.0 0.0
200
400
600
800
1000
1200
0.5
1.0
1.5
2.0
h (eV)
2.5
3.0
Wavelenght (nm)
(a)
(b)
Gambar IV.3 (a) Hasil karakterisasi UV-vis spectrometer lapisan CuOx (b) analisis Eg IV.3 Sifat morfologi dan komposisi lapisan CuOx Untuk mengamati nanostruktur dari lapisan CuOx dilakukan pengukuran dengan menggunakan AFM. Hasil karakterisasi tersebut ditunjukan oleh Gambar IV.4. Ketebalan yang dihasilkan sekitar 20 nm (ditunjukkan oleh gambar yang didalam). Gambar IV.4 tersebut dengan luas scanning 10 x 10 mikron. 37
Gambar IV.4 Hasil pengukuran AFM lapisan tipis CuOx Untuk menganalisis secara elemen maka dilakukan pengukuran dengan menggunakan
XPS
(X-Ray
photoelectron
spectroscopy).
Gambar
IV.5
menunjukkan spektrum XPS dari hasil pengukuran CuOx. Dari spektrum tersebut dapat ditunjukkan oleh Gambar IV. 5(a). Dalam lapisan terbentuk Cu+ dan Cu2+ yang akan membentuk Cu2O (cuprite) dengan Eg sekitar 2,1 eV dan CuO (tenorite) yang mempunyai Eg sekitar 1,7 eV. Proses terbentuknya dua senyawa tersebut dapat dijelaskan dengan diagram seperti yang ditunjukan oleh Gambar IV.6 di bawah ini.
Intensity (a.u)
12000
Cu
10000
0 sec. 12 sec. 24 sec. 36 sec. 48 sec. 60 sec.
2p3/2 933.6
2p1/2 953.7
8000 6000 4000
12000
Intensity (a.u)
14000
0 sec. 12 sec. 24 sec. 36 sec. 48 sec. 60 sec.
O
10000 8000
1s 530.8
6000 4000
2000 2000
970
960
950
940
930
540
536
532
528
524
Binding Energy (eV)
Binding Energy (eV)
(a)
(b)
Gambar IV.5 Hasil pengukuran XPS (a) spektrum Cu ( b) spektrum O
38
Cu+
Cu+
O2-
↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓
↑
3d
4s
↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓
↑↓ ↑
↑
Cu2O
↑
Eg ~ 2.1 eV
2p
4s
3d
O2-
Cu2+
↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓
3d
↑
↑↓ ↑
CuO
↑
Eg ~ 1.7 eV
2p
4s
Gambar IV.6 Skema pembentukan Cu2O dan CuO. Selain pengukuran diatas juga dilakukan pengukuran dengan menggunakan XRD ( X ray difractometer) yang ditunjukkan oleh Gambar IV.7. Dari hasil pengukuran
tersebut diperoleh peak yang muncul disekitar 35,54º ( 1 11) dan 38,87º (111) yang secara berurutan menunjukan indeks kristal dari CuO dan Cu2O.
450
Intensity (a.u.)
400
CuOx
350 300 250
35.54 38.87
200 150 100 50 30
40
50
60 70 2 (deg.)
80
90
Gambar IV.7 Hasil pengukuran XRD lapisan tipis CuOx. IV.4 Karakteristik fotovoltaik divais sel surya
Gambar IV.8 (a) menunjukkan grafik spektra absorbansi masing-masing divais yang diukur menggunakan UV-Vis spectrometer. Sementara itu spektrum EQE/IPCE juga diukur menggunakan electrometer (Keithley 617S) dan xenon lamp melalui sebuah monokromator sebagai sumber cahaya. Absorbansi divais 39
dengan CuOx sebagai anode interlayer memiliki intensitas yang lebih tinggi dari pada yang tanpa menggunakan anode interlayer. Gambar IV.8 tersebut juga menunjukkan puncak (peak) penyerapan tertinggi terjadi pada panjang gelombang sekitar 500 nm, kemudian dikuti oleh puncak kedua dan ketiga pada panjang gelombang sekitar 554 nm dan 610 nm. Sedangkan titik batas mulai terjadi penyerapan sangat kecil pada panjang gelombang sekitar 655 nm.
Gambar IV.8 (b) menunjukkan spektrum absorpsi lapisan aktif P3HT :PCBM melalui pengukuran dengan UV-Vis spectrometer . Jika dibandingkan dengan grafik sebelumnya maka kita analisis bahwa ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini karena dipengaruhi oleh ketebalan lapisan dan banyaknya jenis lapisan yang menjadi penyerapan foton juga berbeda. Walaupun begitu tingkat absorspsi devais sel surya juga masih tinggi. Absorpsi maksimum untuk blending P3HT:PCBM terjadi pada panjang gelombang 266 nm, 336 nm dan 490 nm. 4
4.0 3.5 ITO/AZO/P3HT:PCBM ITO/AZO/P3HT:PCBM/CuOx
Absorbance
Absorbance
3 2 1
P3HT:PCBM
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5
0
0.0
300
400
500 600 700 Wavelenght (nm)
800
200
300
400
500
600
700
800
Wavelenght (nm)
(a)
(b)
Gambar IV.8 (a) Grafik absorbansi masing-masing divais (b) Grafik absorbansi lapisan aktif P3HT:PCBM. Hasil pengukuran external quantum efficiency (EQE) dari divais sel surya untuk masing-masing struktur ditunjukkan oleh Gambar IV.10 (a). Dari gambar tersebut dapat ditunjukkan bahwa pada panjang gelombang 500 nm terjadi peningkatan EQE yang mencapai sekitar 28,25 % pada divais dengan CuOx sebagai anode interlayer jika dibandingkan dengan divais yang strukturnya tanpa menggunakan anode interlayer yang besarnya hanya sekitar 12,27 %. Secara keseluruhan 40
pengaruh CuOx sebagai anode
interlayer meningkatkan nilai EQE secara
signifikan seperti yang ditunjukkan oleh Gambar IV.9 (a). Selain spektrum EQE seperti yang telah dijelaskan di atas, spektra fotoarus (photocurrent) dari masingmasing divais ditunjukkan oleh Gambar IV.9 (b).
Dari Gambar tersebut
ditunjukkan bahwa ada kesamaan (identik) antara spektrum EQE dengan spektrum fotoarusnya, dimana terjadi peningkatan fotoarus pada divais dengan struktur CuOx sebagai anode interlayer yang mencapai 0,79 mA/cm2 pada energi foton yang datang sebesar 2,57 eV, sedangkan divais tanpa menggunakan anode interlayer hanya sebesar 0,3 mA/cm2. Pada umumnya peningkatan EQE dipengaruhi oleh peningkatan absorpsi foton pada daerah visible (400 nm – 800 nm) yang terjadi pada lapisan. Diduga bahwa dengan penambahan CuOx sebagai anode interlayer di dalam divais mempunyai pengaruh terhadap tingkat absorpsi
2
28
w.o. CuOx with CuOx
24
EQE (%)
Photocurrent (mA/cm )
foton yang terjadi pada lapisan aktif P3HT:PCBM.
20 16 12 8 4 0 300
400
500 600 Wavelength (nm)
700
0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0
w.o. CuOx with CuOx
2.0
800
(a)
2.5 3.0 3.5 Energy (eV)
4.0
(b)
Gambar IV.9 (a) Spektrum EQE dari divais sel surya (b) Spektrum fotoarus dari divais sel surya.
IV.5 Pengaruh anode interlayer pada karakteristik J-V divais sel surya Gambar IV.10 (a) dan (b) menunjukkan hasil pengukuran karakterisasi J-V menggunakan alat ukur Keithley 237 dengan sumber tegangan tinggi pada kondisi gelap (dark) dan pada kondisi illuminasi cahaya matahari sebesar 100 mW/cm2 (AM 1.5). Kemudian dari hasil karakterisasi J-V tersebut diekstraksi parameterparameter fotovoltaik seperti fill factor (FF), power conversion efficiency / PCE 41
(η), Voc (open-circuit voltage), Jsc (short-circuit current density). Hasil perhitungan terhadap parameter-parameter tersebut di tunjukkan oleh Tabel IV.1.
2
Current Density (mA/cm )
2
Current Density (mA/cm )
Voltage (V)
0.3
Dark
0.2
w.o. CuOx with CuOx
0.1
Voltage (V) 0.0 -0.2 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
0 0.0
0.2
0.4
0.6
-1 -2
AM 1.5
-3 w.o. CuOx with CuOx
-4 -5
-0.1
(a)
(b)
Gambar IV.10. Karakteristik J-V divais masing-masing struktur (a) keadaan gelap (dark) (b) keadaan dengan iluminasi AM 1.5. Tabel IV.1. Daftar parameter-parameter performansi divais masing masing struktur Divais
Tanpa anode interlayer CuOx anode interlayer
Dari Gambar
Voc
Jsc
FF
PCE
(V)
(A/cm2)
(%)
(%)
0.26
0.64
36.06
0.060
0.44
4.0
40.97
0.721
IV.10 diatas dapat dianalisis bahwa untuk dengan tanpa
menggunakan anode interlayer mempunyi tahanan shunt (Rsh) yang lebih besar namun tahanan seri (Rs) dari kedua divais relatif sama. Analisis ini dapat dijelaskan dari kelandaian dan kemiringan grafik yang diilustrasikan oleh Gambar IV.11 (a) dan (b). 42
(a)
(b)
Gambar IV.11 (a) Ilustrasi analisis Rs dan Rsh melalui karakteristik J-V sel surya. (Digambar ulang dari ref. [1]) (b) Ekuivalensi sel surya dengan sistem generator arus yang paralel dengan resistif dioda. (Digambar ulang dari ref. [33]) Melalui ilustrasi Gambar IV.11 dapat diinterpretasikan bahwa pada grafik yang ditunjukkan oleh Gambar IV.10 di atas terjadi penurunan Rsh pada divais yang menggunakan CuOx sebagai anode interlayer. Hal ini bisa diinvestigasi dari morfologi nanostruktur permukaan lapisan divais yang akan dibahas pada sub bab berikutnya.
IV.6 Pengaruh waktu terhadap performansi divais sel surya Gambar IV.12 menunjukkan pengaruh waktu penyinaran terhadap performansi sel surya dengan divais CuOx
sebagai anode interlayer . Gambar IV.12 (a)
menunjukkan skala dalam logaritmik sedangkan Gambar IV.12 (b) menunjukkan skala linear.
10
-2
10
-3
6
2
Current density (mA/cm )
2
-1
Current Density (mA/cm )
10
10
10
-4
0 min. 10 min. 15 min.
-5
-1.0
-0.5
0.0 Voltage (V)
0.5
4 2
Voltage (V) -0.2
0 0.0
0.2
0.4
0.6
-2 0 min. 10 min. 15 min.
-4 -6
1.0
(a)
(b)
Gambar IV.12 Karakteristik J-V divais dengan CuOx sebagai anode interlayer pada pengaruh waktu penyinaran (a) skala logaritmik (b) skala linear. 43
Dari grafik Gambar IV12 dapat dianalisis bahwa dengan bertambahnya waktu penyinaran maka akan mengakibatkan peluruhan (decay) terhadap performasi dari sel surya yang ditunjukkan oleh Gambar IV.13. Iluminasi diberikan pada keadaan Air Mass 1.5
spectrum (AM 1.5 G) atau dengan rapat daya penyinaran
1000W/m2. 3.0
AM 1.5
Efficiency(%)
2.5
with CuOx
2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0
5 10 15 Time of illumination (min.)
Gambar IV.13 Grafik peluruhan performasi divais dengan CuOx sebagai anode interlayer akibat waktu iluminasi.
Persamaan
grafik
Gambar
IV.13
jika
di-fitting
adalah
y 264.66 {2521.39 exp( x / 283789.40)} {2256.02 exp( x / (1.50 10106 ))}
dengan R2 0.99 . Secara lebih detail nilai dari parameter-parameter performansi divais sel surya seperti yang ditunjukkan oleh Gambar IV.12 dapat diekstraksi secara lebih rinci yang ditunjukkan oleh Tabel IV.2. Tabel IV.2 Daftar parameter-parameter performansi divais dengan CuOx sebagai anode interlayer pada peluruhan akibat waktu iluminasi. Waktu Iluminasi
VOC
JSC
FF
PCE
(Menit)
(V)
(mA/cm2)
(%)
(%)
0
0,44
4,00
40,97
0,721
10
0,4
3,75
39,40
0,591
15
0,38
3,65
39,08
0,542
44
Selain pengukuran seperti pada keadaan normal (AM 1.5), juga dilakukan pengukuran pada kondisi dengan cahaya monokromatik dengan panjang gelombang 550 nm. Gambar IV.14 menunjukan grafik J-V pada keadaan dengan cahaya monokromatik 550 nm dan keadaaan AM 1.5 pada divais dengan CuOx
4
2
Current Density (mA/cm )
sebagai anode interlayer sebagai grafik pembanding.
2 Voltage (V)
-0.2
0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
-2 -4
mono 550 nm 1.5 AM.
-6
Gambar IV.14 Karakteristik J-V divais dengan CuOx sebagai anode interlayer. IV.7 Sifat morfologi nanostruktur divais sel surya
Sifat morfologi divais pada lapisan anode interlayer diukur dengan menggunakan atomic force microscope (AFM). Gambar IV.15 menunjukkan struktur morfologi lapisan aktif blend P3HT:PCBM. Dari gambar tersebut ketebalan lapisan aktif yang dihasilkan sekitar 280 nm.
(a)
(b)
Gambar IV.15 Hasil AFM lapisan aktif blend P3HT:PCBM (a) 3 dimensi (b) 2 dimensi (gambar yang didalam menunjukkkan ketebalan lapisan). 45
Untuk struktur morfologi pada lapisan antara lapisan aktif dan anoda (anode interlayer) untuk masing-masing divais ditunjukkan oleh Gambar IV.16 dengan struktur ITO/AZO/P3HT:PCBM/Ag, dan Gambar IV.17 untuk divais dengan struktur ITO/ AZO/P3HT:PCBM/CuOx/ Ag.
(a)
(b)
Gambar IV.16.Hasil AFM untuk divais ITO/AZO/P3HT-PC60BM/Ag (luas area 5x5 mikron) (a) 3 dimensi (b) 2 dimensi
(a)
(b)
Gambar IV.17.Hasil AFM untuk divais ITO/AZO/P3HT:PCBM/CuOx/Ag (luas area 5x5 mikron (a) 3 dimensi (b) 2 dimensi
IV.8 Sifat fotoarus transien ( transient photocurrent) divais sel surya Secara eksperimen teknik yang dipakai untuk mendeteksi efisiensi kuantum yaitu dengan menggunakan VOC dan FF melalui hubungannya dengan intensitas cahaya 46
yang digunakan [34,35]. Secara umum Voc akan meningkat secara logaritmik terhadap intensitas sampai titik jenuh tertentu, pada keadaan ini, Voc ditemukan mempunyai hubungan dengan peristiwa difusi dan rekombinasi pembawa muatan dari interface [35,36]. Peristiwa generasi pembawa muatan dan transpornya juga secara tidak langsung dapat dijelaskan melalui fenomena yang digambarkan oleh karakteristik divaisnya. Sifat intrinsik pada material organik dengan interface anoda dapat diinvestigasi melalui teknik pengukuran fotoarus transien (transient photocurrent) dan juga fotovoltaik transien seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya. Pada eksperimen kali ini digunakan laser pulsa dengan panjang gelombang 532 nm (warna hijau) dan osciloscope yang menggunakan hambatan sebesar 50 ohm. Elektroda Ag dihubungkan dengan kabel ke oscilloscope dan ITO dihubungkan dengan sumber tegangan DC. Sumber tegangan DC yang diberikan dengan dua metoda yaitu panjar maju (forward) dimana divais diberi medan listrik negatif dan panjar mundur (backward) dimana divais diberi medan listrik positif. Gambar IV.18(a) dan IV.18(b) menunjukkan grafik pengukuran fotoarus transien untuk masing-masing divais dengan menggunakan medan listrik -5x104 V/cm (Gambar IV.18(a)) dan 5.104 V/cm (Gambar IV.18(b)). -4
+1.5 V
-4
4.0x10
w.o. CuOx with CuOx
-4
3.0x10
-4
2.0x10
-4
1.0x10
0.0
Transient photocurrent (A)
Transient photourrent (A)
5.0x10
-3
-4
8.0x10
w.o. CuOx with CuOx
-4
6.0x10
-4
4.0x10
-4
2.0x10
-4
-1.0x10 -7 -2.0x10
-1.5 V
1.0x10
0.0
0.0
-7
2.0x10 time (s)
-7
4.0x10
0.00
-5
-5
-5
Time (s)
(a)
(b)
Gambar IV.18.Grafik fotoarus transien (transient photocurrent) untuk masing divais (a) medan listrik positif (b) meda listrik negatif 47
-4
2.50x10 5.00x10 7.50x10 1.00x10
Dari grafik tersebut diketahui bahwa fotoarus transien dan waktu transit jauh lebih besar untuk divais dengan menggunakan CuOx sebagai anode interlayer jika dibanding dengan yang tanpa anode interlayer. Hal ini diduga bahwa dengan adanya CuOx anode interlayer proses rekombinasi tidak terjadi pada lapisan aktif dan batas antar interface. Sehingga waktu hidup (lifetime) dari pembawa muatan lebih besar dan waktu untuk terjadi rekombinasi lebih lama. Jika dilakukan fitting terhadap grafik fotoarus transien pada hasil pengukuran dengan pengaruh medan positif (backward bias) maka untuk lapisan dengan CuOx anode
interlayer
persamaan
decay
dari
grafiknya
adalah
y 3.03 104 exp( x / (6.64 108 )) dengan R2 0.97 dan untuk divais yanga
tanpa menggunakan lapisan anode interlayer maka persamaannya peluruhannya adalah y 1.77 104 exp( x / (9.86 104 )) dengan R2 0.94 . Sedangkan untuk grafik fotoarus transien (transient photocurrent) dengan pengaruh medan negatif (forward bias) maka dengan melakukan fitting terhadap grafiknya diperoleh persamaan decay dari grafik tersebut adalah y 7.40 104 exp( x / (3.95 106 )) dengan R2 0.97 untuk divais dengan menggunakan lapisan CuOx anode interlayer dan untuk divais yang tanpa anode interlayer persamaannya adalah y 1.93 104 exp( x / (1.0110 7 )) dengan R2 0.98 .
Dengan menggunakan plot grafik logaritmik ganda (double logarithmic) maka grafik fotoarus transien dapat mengektrasi nilai waktu transit efektif (effective transit time) (tr) dan fotoarus transien [37]. Gambar IV.19 (a) dan (b) menunjukkan plot logaritmik ganda (double logarithmic) terhadap grafik fotoarus transien pada pemberian medan positif. Sedangkan Gambar IV.20 (a) dan (b) menunjukkan plot logaritmik ganda terhadap grafik fotoarus transien (transient photocurrent) pada pemberian medan negatif. Dari grafik tersebut menunjukkan bahwa waktu transit meningkat dengan adanya CuOx anode interlayer. Besarnya fotoarus transien (transient photocurrent) juga meningkat secara signifikan, hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh CuOx sebagai anode interlayer berperan
48
penting dalam mengumpulkan pembawa muatan ke elektroda, sehingga
Transient photocurrent (A)
Transient photocurrent (A)
menambah akumulasi kuantitas muatan di elektroda.
1.5 V 10
10
-4
tr = 61.7 ns
-5
w.o. CuOx 10
10
-3
10
-4
10
-5
10
-8
10
-7
10
-6
10
tr = 130 ns
with CuOx 10
-6
1.5 V
-6
10
-5
-8
10
-7
10
-6
10
-5
Time (s)
Time (s)
(a)
(b)
Gambar IV.19 Jenis plot grafik logaritmik ganda untuk pada medan listik positif (a) tanpa CuOx (b) dengan CuOx
Transient Photocurrent (A)
Transient Photocurrent (A)
-1.5 V 10
-4
tr = 81.6 ns
10
-5
w.o. CuOx 10
-6
-1.5 V -3
10
tr = 747.7 ns
-4
10
-5
10
with CuOx
-6
-8
10
-7
-6
10
10
-5
10
10
10
Time (s)
-6
Time (s)
(a)
10
-5
(b)
Gambar IV.20 Jenis plot grafik logaritmik ganda untuk pada medan listik negatif (a) tanpa CuOx (b) dengan CuOx Nilai mobilitas pembawa muatan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan µ=dtck2/trU dimana µ adalah mobilitas pembawa muatan, dtck adalah ketebalan lapisan aktif, tr adalah waktu transit dan U adalah tegangan listrik yang dipakai. Gambar IV.21 merupakan grafik hubungan antara mobilitas pembawa muatan dan medan listrik (E) pada divais sel surya masing-masing struktur. Metoda 49
perhitungan ini dilakukan dengan aproksimasi, dimana yang sebenarnya proses yang terjadi pada tiap lapisan sangat komplek. Walaupun begitu metoda ini bisa
Mobility (cm/Vs)
memberikan analisis tentang proses transpor pada struktur sel surya tersebut.
0.009 0.008 0.007 0.006 0.005 0.004 0.003 0.002 0.001 0.000 -6
w.o CuOx with CuOx
-4
-2
0
2
4
6
4
Electric field (10 V/cm)
Gambar IV.21 Grafik hubungan antara mobilitas pembawa muatan dan medan listrik pada divais sel surya Dari hasil pembahasan di atas secara menyeluruh maka diketahui bahwa pengaruh CuOx sebagai anode interlayer mampu meningkatkan performansi sel surya baik EQE, PCE maupun fotoarus transiennya jika dibandingkan dengan divais yang tanpa menggunakan anode interlayer. Selain itu lapisan CuOx diduga bisa menjadi pelindung lapisan aktif untuk mengisolasi dari oksidasi lingkungan luar. Hal ini cukup menarik karena secara ekonomi harga fabrikasi CuOx relatif lebih murah. Lebih lanjut proses optimasi pada sel surya hibrid berstruktur terbalik dapat dilakukan dengan melakukan kombinasi logam dan logam oksida sebagai intermediate layer untuk membentuk struktur tandem terbalik [38].
50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan Telah dilakukan kajian lapisan CuOx sebagai anode interlayer pada sel surya hibrid berstruktur terbalik yang berfungsi sebagai lapisan transpor pembawa muatan dari lapisan aktif menuju elektroda. Dengan penambahan lapisan ini, dari sampel sel surya yang telah dibuat terlihat adanya peningkatan performansi. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa PCE meningkat dari 0,06 % menjadi 0,721 %, EQE meningkat dari sekitar 12,27 % menjadi 28,5%, serta fotoarus pada panjang gelombang sekitar 500 nm meningkat dari 0.34 mA/cm2 menjadi 0.76 mA/cm2. Juga terlihat adanya peningkatan pada fotoarus transiennya. Hasil ekstraksi terhadap waktu transit efektif, memberi dugaan bahwa pengaruh penambahan lapisan CuOx juga memperpanjang waktu hidup pembawa muatan, yang mungkin disebabkan oleh berkurangnya rekombinasi muatan pada bidang antarmuka. Namun begitu, transpor pembawa muatan menuju elektroda masih mempunyai hambatan yang besar, sehingga membuat mobilitas pembawa muatan menjadi relatif kecil. Oleh karena itu, jumlah muatan yang dapat diekstraksi keluar sel relatif masih kecil. V.2 Saran Pengembangan kajian dengan tinjauan teori dan komputasi tentang pengaruh CuOx sebagai anode interlayer pada sel surya organik dengan struktur terbalik bisa dikembangkan lebih lanjut baik secara tinjauan mikroskopik maupun makroskopiknya sebagai pembanding dengan analisis secara eksperimen.
51
DAFTAR PUSTAKA [1]
Ming-Yi Lin, Chun-Yu Lee, Shu-Chia Shiu, Ing-Jye Wang, Jen-Yu Sun, Wen-Hau Wu,Yu-Hong Lin, Jing-Shun Huang, Ching-Fuh Lin, Sol–gel processed CuOx thin film as an anode interlayer for inverted polymer solar cells, Organic Electronics Journal 11 (2010) 1828–1834
[2]
F.Z. Dahou, L. Cattin, J. Garnier, J. Ouerfelli, M. Morsli, G. Louarn, A. Bouteville,A. Khellil, J.C. Bernèd,
Influence of anode roughness and
buffer layer nature on organic solar cells performance, Thin Solid Films Journal 518 (2010) 6117–6122
[3]
Displaybank Co., Ltd., Korea, Next – Generation Organic Solar Cell Technology and Market Forecast (2010)
[4]
Patrick Hearps, Dylan McConnell, Melbourne Energy Institute, Renewable Energy Technology Cost Review, Technical Paper Series,( 2011)
[5]
International Energy Agency (2010), Technology Roadmap - Solar Photovoltaic Energy, International Energy Agency. Available at: http://www.iea.org/papers/2010/pv_roadmap.pdf, Accessed 31 Jan 2011.
[6]
Joseph Kalowekamo, Erin Baker, Estimating the manufacturing cost of purely organic solar cells, Journal Solar Energy (2009)
[7]
J.Y. Kim, K. Lee, N.E. Coates, D. Moses, T.-Q. Nguyen, M. Dante, A.J. Heeger, Science 317 (2007) 222.
[8]
P. Neumans, S. Uchida, R. Forrest, Nature 425 (2003) 158.
52
[9]
H.Y. Chen, J. Hou, S. Zhang, Y. Liang, G. Yang, Y. Yang, L. Yu, Y. Wu,G. Li, Polymer solar cells with enhanced open-circuit voltage and efficiency, Nat. Photonics 3 (2009) 649.
[10]
M. Jorgensen, K. Norrman, F.C. Krebs, Stability/degradation of polymer solar cells, Sol. Energy Mater. Sol. Cells 92 (2008) 686–714.
[11]
T. Oyamada, C. Maeda, H. Sasabe, C. Adachi, Efficient electron injection mechanism in organic light-emitting diodes using an ultra thin layer of low-work-function metals, Jpn. J. Appl. Phys. 42 (2003) L1535–L1538.
[12]
Fujun
Zhang,
XiaoweiXu,
WeihuaTang,JianZhang,
ZuliangZhuo,
JianWang, JinWang, Zheng Xu, Yong sheng Wang, Recent development of the inverted configuration organic solar cells, Solar Energy Materials & Solar Cells 95 (2011) 1785–1799.ero
[13]
A. Aprilia, R. Hidayat ,V. Suendo, Herman, A. Fujii, M. Ozaki, Influences of Aluminum Concentration to The Characteristics of ZnO Transport Layer
and
its
HybridPolymer
Solar
Cell,
(2011),
http://www.aip.org/pacs/index.html n [14]
Jairo César Nolasco Montaño, Univesitat Rovira I VIRGILI, On Transport Mechnisms In Solar Cells Involving Organoc Semoconductor, DL: T.1517-2011, (2011)
[15]
Pablo P. Boix, Jon Ajuria, Roberto Pacios, and Germa Garcia-Belmonte, Carrier recombination losses in inverted polymer:fullerene solar cells with ZnO hole blockin layer from transient photovoltage and impedance spectroscopy techniques, 2011, journal of Applied Physics 109, 074514 (2011)
53
[16]
Biswajit Ray, Pradep R. Nair, Muhamad A.Alam, Annealing dependent performance of organic bulk-heterojunction solar cells: A theoretical perspective, Journal : Solar Energy Materials & Solar, (2011)
[17]
Mario Pagliaro, Giovanni palmisano, Rosaria Ciriminna, Flexible Solar Cells, (2008), ISBN 978-527-32375-3
[18]
Ishii, H. Hayashi, N. Ito, E. Washizu, Y. Sugi, K. Kimura, Y. Niwano, M. Ouchi, O. Seki, K WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA (2006), 6994
[19]
Goodman, A. M., J. Appl. Phys., 42 (1971), 2823.
[20]
Widianta Gomulya, fabrication and Characterizations of Colloidal PbS nanocrystals solar cell wit broad photoconversion spectrum extending to the near infra red region, thesis Institut Tennologi Bandung, (2011)
[21]
Renee Kroon, Martijn Lenes, Jan C. Hummelen, Paul W. M. Blom, Bert De Boer, Small Bandgap Polymers for Organic Solar Cells (Polymer Material Development in the Last 5 Years) Polymer Reviews, 48 (2008):531–582
[22]
A. Pivrikas, N. S. Sariciftci, G. Juska and R. O sterbacka, A Review of Charge Transport and Recombination in Polymer/Fullerene Organic Solar Cells, Prog. Photovolt: Res. Appl. 15 (2007), 677–696
[23]
American Dye Source, Inc. (website : www. Adsdyes.com), Canada, Conjugated Polymer for Organic Solar Cells and Sensors (2007)
[24]
W. Tang and D. C. Cameron, Aluminum-doped zinc oxide transparent conductors deposited by the sol-gel process, Thin Solid Films 238 (1994) 83-87 54
[25]
Jun Zhao,
Ann Swinnen,
Guy Van Assche, Jean Manca, Dirk
Vanderzande, and Bruno Van Mele, Phase Diagram of P3HT/PCBM Blends and Its Implication for the Stability of Morphology, J. Phys. Chem. B 113 , (2009), 1587–1591
[26]
Andrew J. Pearson,Tao Wang, Richard A. L. Jones, and David G. Lidzey, Rationalizing Phase Transitions with Thermal Annealing Temperatures for P3HT:PCBM Organic Photovoltaic Devices, American Chemical Society, dx.doi.org/10.1021/ma202063k Macromolecules 45 (2012), 1499−1508
[27]
Tetsuro Hori, Hiroki Moritou, Naoki Fukuoka, Junki Sakamoto, Akihiko Fujii and Masanori Ozaki, Photovoltaic Properties in Interpenetrating Heterojunction Organic Solar Cells Utilizing MoO3 and ZnO Charge Transport
Buffer
Layers,
Materials
3,(2010),4915-4921;
doi:10.3390/ma3114915
[28]
James W. Robinson, Eileen M. Skelly Frame, George M. Frame II, (2005), Handbook UNDERGRADUATE INSTRUMENTAL ANALYSIS, NEW YORK, ISBN 0-203-99730-1 Master e-book ISBN
[29]
Serap Gunes, Helmut Neugebauer, and Niyazi Serdar Sariciftci, Conjugated Polymer-Based Organic Solar Cells, Chem. Rev. 107 (2007), 1324-1338
[30]
S. Perkowitz, Optical Characterization of Semiconductors, Academic Press, San Diego, 1993, p. 28.
[31]
A.Y. Oral, E. Men¸M.H. Aslan , E. Basaran, The preparation of copper (II) oxide thin films and the study of their microstructures and optical properties, Materials Chemistry and Physics 83 (2004) 140–144
55
[32]
T. Maruyama, Solar Energy Mater. Solar Cells 56 (1998) 85.
[33]
Nelson, J., (2003) The Physics of Solar Cell, Imperial College Press, London.
[34]
C. M. Ramsdale, J. A. Barker, A. C. Arias, J. D. MacKenzie, R. H. Friend, and N. C. Greenham, J. Appl. Phys. 92, 4266 (2002).
[35]
Yao Yao, Xiaoyu Sun, Baofu Ding, De-Li Li, Xiaoyuan Hou, and ChangQin Wu, A combined theoretical and experimental investigation on the transient photovoltage in organic photovoltaic cells, APPLIED PHYSICS LETTERS 96, 203306 (2010)
[36]
B. P. Rand, D. P. Burk, and S. R. Forrest, Phys. Rev. B 75, 115327 (2007)
[37]
Bansi D MALHOTRA, Wataru TAKASHIMA, Shyam S PANDEY, Rahul SINGHAL, Ken ENDO, Masahiro RIKUKAWA, Keiichi KANETO, Time o Flight photocarrier mobility in Langmuir blodgett film of regioregular poly 3 (hexylthiophene), Jpn J. Appl. Phys. Vol. 38 (1999) pp 6768-6771
[38]
D.W. Zhao, S.T.Tan, L.Ke, P.Liu, A.K.K.Kyaw, X.W.Sun, G.Q.Lo, D.L.Kwong, Optimization of an inverted organic solar cell, Solar Energy Materials & Solar Cells 94 (2010) 985–991
56
LAMPIRAN A GAMBAR DIVAIS SEL SURYA YANG DIFABRIKASI
A.1 Divais sel surya
A.2 Divais sel surya dalam kotak penyimpanan
57
LAMPIRAN B GAMBAR ALAT SPINCOATING DAN HOT PLATE UNTUK FABRIKASI SAMPEL
B.1 Spincoating
B.2 Hot Plate
LAMPIRAN B
58
LAMPIRAN C GAMBAR ALAT THERMAL EVAPORATOR
59
LAMPIRAN D GAMBAR ALAT UKUR SOLAR SIMULATION UNTUK KARAKTERISASI J-V, EQE DAN SUMBER MONOKROMATIK
1.
Holder tempat sampel dan sumber lampu
2. Rangkaian alat ukur secara keseluruhan
60
LAMPIRAN E GAMBAR AFM UNTUK PENGUKURAN MORFOLOGI 1. Gambar alat ukur AFM
2. Metoda pengukuran dengan dengan non contact mode
61
LAMPIRAN F GAMBAR ALAT UKUR XPS
62
LAMPIRAN G GAMBAR ALAT UKUR XRD
63