II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1.
Sejarah dan Penyebaran Domba Lokal Ternak domba yang ada pada saat ini merupakan hasil seleksi berpuluh-
puluh tahun, dan pusat domestikasinya diperkirakan berada dekat dengan laut kaspia yang tepatnya berada didaerah Stepa Aralo-Caspian sejak masa neolitik. Peternakan domba ini kemudian berkembang ke arah timur yaitu sub-kontinen India dan Asia Tenggara, ke Barat yaitu kearah Asia Barat, Eropa dan Afrika, kemudian ke Amerika, Australia dan Kepulauan tropic Oceania (Tomaszewska et al., 1993). Pada masa kolonial Belanda, berbagai importasi ternak dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, diantaranya adalah kambing dan domba, terutama ke pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan pada saat itu dan Sumatera Barat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas domba lokal yang ada (Merkens dan Soemirat, 1926). Selain itu, kedatangan pedagang Arab ke Wilayah Nusantara memberikan kontribusi pada keragaman jenis ternak domba yang
ada, yaitu
dengan membawa domba ekor gemuk ke propinsi Sulawesi Selatan dan Pulau Madura. Demikian pula setelah masa kemerdekaan, dapat dilihat dari banyaknya importasi jenis domba pada masa Orde Baru dengan tujuan utama meningkatkan produktivitas ternak domba lokal. Bisadisebut antara lain domba yang berasal dari daerah bermusim empat seperti Merino, Suffolk, Dorset, Texel (Natasasmita dkk., 1979). Domba liar tersebar di berbagai daerah, namun terdapat spesies domba liar yang dipercaya berkontribusi menjadi domba modern, yaitu: Argali (Ovis ammon) di Asia Tengah, Urial (Ovis vignei), dan Moufflon (Ovis muimon) dari Asia Barat
8
dan Eropa (Wodzicka, dkk., 1993 dalam Nugroho, 2013). Domba modern yang ada pada saat ini adalah Ovis aries. Taksonomi domestikasi domba menurut Ensminger (2002), adalah: Kingdom : Animalia (hewan) Phylum
: Chordata (hewan bertulang belakang)
Class
: Mammalia (hewan menyusui)
Ordo
: Artiodactyla (hewan berkuku genap)
Family
: Bovidae (memamah biak)
Genus
: Ovis (domba)
Species
: Ovis aries (domba yang di domestikasi)
Menurut Johnston (1983), domba merupakan hewan mamalia yaitu hewan berdarah panas (warm blooded animal) dengan ciri fisik dan fisiologi dasar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Ciri-ciri Fisik dan Fisiologi pada Domba Dasar pada Domba Aspek Fisik dan Fisiologis Temperatur tubuh rata-rata Rata-rata jumlah denyut nadi Rata-rata jumlah pernafasan Siklus Estrus Periode Kebuntingan Litter Size Umur dewasa Kelamin a. Jantan b. Betina
Besar dan Lama 40oC 75-80 / menit 20-30 / menit 16 hari 147 hari 1-3 ekor (normal), sampai 7 ekor 7 bulan 7 bulan
Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap iklim tropis, makanan yang kualitasnya rendah, penyakit dan gangguan caplak, sumber gen yang khas, produktif dipelihara dengan biaya rendah serta dapat beranak sepanjang tahun. Domba local
9
mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi sosial, ekonomis, dan budaya serta merupakan sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia melalui persilangan antar bangsa domba lokal dengan domba impor. Selain itu, domba juga termasuk ternak penghasil daging yang sangat potensial serta mampu mengkonversikan bahan pakan berkualitas rendah menjadi produk bergizi tinggi, memiliki kemampuan reproduksi yang relative tinggi, produk sampingan berupa kulit, bulu, tulang, kotoran ternak bias digunakan sebagai bahan baku industri (Sodiq dan Abidin, 2003). Domba lokal menurut UU No. 18 Tahun 2009 adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah dikembangbiakan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang teradaptasi pada lingkungan dan atau menejemen setempat. Domba lokal merupakan salah satu jenis ternak penghasil daging di Indonesia yang memiliki keunggulan, diantaranya adalah mudah pemeliharaannya, cepat berkembang biak dan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi alam di Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang dalam pemeliharaan tidak begitu sulit, hal ini disebabkan karena ternak domba badannya relatif kecil dan cepat dewasa sehingga secara otomatis cukup menguntungkan karena dapat menghasilkan wol dan daging (Murtidjo, 1992). Indonesia memiliki dua tipe domba yang paling menonjol yaitu domba ekor tipis (DET) dan domba ekor gemuk (DEG). Asal-usul domba ini tidak diketahui secara pasti, namun diduga DET berasal dari India dan DEG berasal dari Asia Barat (Williamson dan Payne, 1993). Domba-domba lokal Indonesia diberi nama sesuai dengan daerah dan karakteristiknya, seperti domba Donggala, domba Garut, domba Kisar, Domba Ekor Gemuk, Domba Ekor Tipis Jawa dan Domba
10
Ekor Tipis Sumatera. Domba lokal mempunyai beberapa keunggulan, antara lain mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungan tropis, tidak mengenal musim kawin, bersifat prolifik, dan kebal terhadap beberapa macam penyakit dan parasit. Namun demikian, domba lokal mempunyai produktifitas yang rendah. Peningkatan produktifitas domba lokal dapat dilakukan dengan cara seleksi. Seleksi pada domba lokal dilakukan terhadap sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomis tertentu. Salah satu sifat yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah sifat pertumbuhan. 2.2.
Korelasi antara Bobot Badan dan Ukuran-Ukuran Tubuh Domba Pleiotropy adalah aksi gen-gen tertentu yang mempengaruhi ekspresi dua
sifat atau lebih sehingga menyebabkan adanya hubungan atau korelasi antara sifat sifat tertentu pada ternak (Martojo, 1990). Mulliadi (1996) melaporkan bahwa ukuran- ukuran tubuh berkorelasi positif dengan bobot badan domba Garut jantan dan betina. Tinggi pinggul, lebar dada, dalam dada, lebar pinggul, panjang kelangkang dan lebar kelangkang berkorelasi positif dengan bobot badan domba Garut jantan masing-masing sebesar 0,82; 0,79; 0,82; 0,79; 0,66; 0,79. Lingkar dada, lingkar kanon dan panjang badan memiliki korelasi positif pada domba Garut betina,masing-masing sebesar 0,80; 0,60; 0,64. Menurut Utami (2008) tinggi pundak, lebar dada dan dalam dada berkorelasi positif dengan bobot badan domba Ekor Tipis betina, masing-masing sebesar 0,51; 0,62; 0,55; sedangkan pada jantan korelasi positif ditemukan pada lebar dada dan dalam dada sebesar 0,66 dan 0,68. Prahadian (2011) melaporkan bahwa tinggi pinggul berkorelasi positif terhadap bobot badan pada jantan dan betina domba Ekor Tipis di Tawakkal Farm, masing-masing elastisitas sebesar 4,28 dan 0,42. Fourie et al.,
11
(2002) melaporkan bahwa tinggi pundak dan lingkar kanon memiliki korelasi positif dengan bobot badan domba Dorper jantan sebesar 0,59 dan 0,46. Dijelaskan lebih lanjut bahwa bobot badan berkorelasi positif terhadap skor ukuran (Hanibal, 2008). Mulliadi, (1996) menyatakan bahwa bobot badan dipengaruhi kondisi pemeliharaan dan pengaruh pemberian pakan. 2.3.
Pertumbuhan Pada awal mendefinisikan pertumbuhan seperti dikemukakan oleh Haxley
yang dikutip Butterfield (1988) adalah sebagai meningkatnya ukuran suatu organisme. Namun sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka definisi pertumbuhan cenderung lebih komplek, seperti menyangkut biologi sintesis dan beberapa unit produk biokimia. Ada beberapa aspek yang dapat mewakili definisi dari pertumbuhan, menurut Brody (1974) dalam Suparyanto (1999) pertumbuhan meliputi satu atau semua dari tiga proses biologis yanga ada diantaranya adalah (1) perbanyakan sel, (2) perbesaran sel atau perpanjangan sel dan (3) berkembangnya struktur material dasar bukan dari sel hidup. Menurut Butterfield (1988) pertumbuhan merupakan proses terjadinya perubahan ukuran tubuh dalam organisme sebelum mencapai dewasa. Perubahan ukuran meliputi perubahan bobot hidup dan komposisi tubuh termasuk pola perubahan pada komponen kimia terutama air, lemak, protein dan abu (Soeparno, 1994). Batt (1980) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ternak menyangkut dua aspek; 1) peningkatan berat badan sampai ukuran dewasa, 2) perubahan komposisi serta ukuran tubuh serta berbagai variasi fungsi fisiologis menjadi sempurna yang dikenal sebagai tumbuh kembang. Pertumbuhan mempunyai perbedaan dengan
12
perkembangan, pertumbuhan didefinisikan secara sederhana oleh Butterfield (1988) sebagai terjadinya perubahan ukuran dalam organisme sebelum mencapai dewasa. . Perubahan ukuran meliputi perubahan bobot hidup dan komposisi tubuh termasuk pola perubahan pada komponen kimia terutama air, lemak, protein dan abu (Soeparno, 1994). Sedangkan perkembangan adalah produk hasil perbedaan pertumbuhan dari masing-masing bagian dalam suatu organisme. Perbedaan pertumbuhan di setiap bagian sangat tergantung pada fungsi dari bagian tersebut (Brody, 1945 dalam Suparyanto, dkk, 2004). Proses pertumbuhan sangat penting dalam tujuan produksi dari ternak pedaging, karena dalam proses pertumbuhan termasuk diantaranya proses deposisi lemak dalam otot menjadi penting yang sangat berpengaruh secara ekonomis (Owens, dkk., 1993). Studi dalam proses pertumbuhan ternak menjadi bahan kajian dari berbagai bidang ilmu diantaranya biokimia, fisiologi, endokrinologi, genetika, nutrisi dan manajemen (Owens dkk., 1993). Pertumbuhan secara sederhana biasanya didefinisikan sebagai proses penambahan sel. Menurut Owens dkk., (1993) pertumbuhan bukan hanya pertambahan sel (hyperplasia) karena pengukuran pertumbuhan berdasarkan bobot sehingga pertumbuhan juga terdapat pembesaran sel (hipertropi) dan integrasi bahan–bahan dari lingkungan melalui pakan. Menurut Hafez (1969) pertumbuhan merupakan deskripsi
banyak fenomena biologis.
Pertumbuhan populasi
melibatkan reproduksi hewan, pertumbuhan tubuh meliputi multiplikasi sel (hiperplasia) atau peningkatan ukuran sel (hipertrofi) dan pertumbuhan sel juga melibatkan replikasi dari molekul. Terdapat dua periode yang membagi pertumbuhan, antara lain: pertumbuhan prenatal dan pertumbuhan postnatal. Pertumbuhan prenatal terjadi
13
selama 144 hingga 157 hari dari pembuahan hingga kelahiran. Sementara itu, pertumbuhan postnatal atau pertumbuhan setelah kelahiran terbagi kedalam dua periode, yaitu: pra sapih dan pasca sapih. Periode pra sapih adalah periode pertumbuhan sebelum anak domba disapih. Pada periode ini pertumbuhan domba dipengaruhi oleh feed intake dari susu induk. Sementara periode pasca sapih atau setelah penyapihan sangat dipengaruhi oleh kemampuan individu ternak untuk meningkatkan bobot badannya sendiri (Nugroho, 2013) Pertumbuhan tubuh ternak mempunyai arti yang sangat penting dalam proses produksi. Kualitas produksi daging pada ternak tergantung pada pertumbuhannya karena produksi yang tinggi dapat dicapai dengan pertumbuhan yang cepat. Pertumbuhan merupakan suatu proses yang terjadi pada setiap mahluk hidup dan dapat dimanifestasikan sebagai tambahan berat organ atau jaringan tubuh seperti otot, tulang dan lemak, urutan pertumbuhan jeringan tubuh dimulai dari jeringan saraf, kemudian tulang, otot dan terakhir lemak (Lawrence, 1980). Tillman (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan mempunyai tahap cepat dan tahap lambat. Tahap cepat terjadi sebelum dewasa kelamin dan tahap lambat terjadi pada fase awal dan saat dewasa tubuh telah tercapai. Menurut Brody (1945) dalam Mauluddin (2005), fase pertumbuhan suatu ternak mempunyai dua fase, yaitu (1) fase sebelum puber (pre pubertal) (2) fase sesudah puber sampai dewasa (post pubertal). Titik peralihan dari proses tersebut dinamakan titik infleksi. Titik tersebut mengindikasikan beberapa hal yaitu (1) titik terdapatnya pertumbuhan maksimal pada ternak (2) umur pada saat pubertas (3) titik terendah dalam mortalitas (4) titik tersebut dapat digunakan dalam determinasi geometris dalam perbandingan antar spesies (Brody,1945).
14
Hammond (1932), Berg dan Butterfield (1976) serta Bowker et al (1978) dalam Sampurna (2010) menyatakan dua gelombang arah tumbuh-kembang pada ternak, yaitu: arah anterior-posterior yang dimulai dari cranium (tengkorak) di bagian depan tubuh menuju ke belakang ke arah pinggang (loin), dan arah centripetal dimulai dari daerah kaki distalis ke arah proximal tubuh menuju bokong (pelvis) dan pinggang (loin) yang merupakan bagian tubuh yang paling akhir mencapai pertumbuhan maksimal (late maturity). Lebih lanjut Butterfield (1976) menyatakan bahwa tumbuh-kembang otot bisa juga dari paha ke arah cranial. Menurut Beattie (1990) bagian tubuh yang paling lambat tumbuh adalah bagian pinggang (loin) sedangkan yang paling awal tumbuh adalah tungkai kaki dan kepala (cranium). Haripin (2005) mendapatkan komponen daging mempunyai kecepatan pertumbuhan yang relatif sama (konstan) (b=1), trim lemak mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat (b>1) dan tulang mempunyai pertumbuhan relatif yang kecil (b<1). Pola pertumbuhan diawali dari distal kaki mengarah ke badan (proksimal). Pada bagian tungkai kaki (shin) depan menuju ke pangkal lengan (blade), dada (brisket) dan pundak (chuck), sedangkan dari tungkai kaki belakang (shank) menuju abdomen (flank),pangkal paha (rump) terus kearah pinggang (loin). Pada bagian dorsal tubuh terlihat pola pertumbuhan diawali dari arah leher dan punggung (chuck) menuju punggung (cuberoll) dan terhenti di pinggang (loin). Hal ini berindikasi jika bagian tubuh yang paling lambat bertumbuh adalah bagian pinggang (loin) sedang yang paling awal bertumbuh adalah tungkai kaki dan kepala (cranium).
15
2.4.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Domba Proses pertumbuhan seekor ternak dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan. Faktor intrinsik ternak tersebut juga berpengaruh seperti jenis kelamin, umur, dan status fisiologis, selain itu faktor ekstrinsik seperti faktor induk dan faktor acak dari lingkungan lainnya juga berpengaruh terhadap ekspresi fenotipik dari pertumbuhan (Arango dan Van Vleck, 2002). Faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan hewan antara lain spesies, jenis kelamin, umur dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Titus, 1955). Tumbuh kembang dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan, jenis kelamin, hormon, lingkungan dan manajemen (Williams, 1982; Judge, dkk, 1989 dalam Sampurna, 2010). 2.4.1. Genetik Faktor genetik yang mempengaruhi proses pertumbuhan pada seekor ternak terdiri dari gen aditif dan non aditif (Arango dan Van Vleck, 2002). Kombinasi genetik tersebut berinteraksi dengan keadaan lingkungan dan iklim, nutrisi dan manajemen. Potensi pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor bangsa, heterosis (hybrid
vigour) dan jenis kelamin. Sedangkan Davies (1982)
melaporkan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh zat-zat makanan, genetik, jenis kelamin dan hormon. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan domba yaitu, domba sebelum lepas sapih adalah genotip, bobot lahir, produksi susu induk, jumlah anak kelahiran, umur induk, jenis kelamin anak dan umur sapih (Edey, 1983).
16
2.4.2. Lingkungan Laju pertumbuhan setelah disapih ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain potensi pertumbuhan dari masing-masing individu ternak dan pakan yang tersedia (Colemerrocker et al, 1992). Menurut Ramdan (2007) bahwa peningkatan suhu dan kelembaban lingkungan dapat menyebabkan penurunan terhadap konsumsi pakan, sehingga makin tinggi suhu dan kelembaban udara pada suatu tempat cenderung menurunkan produktivitas ternak. Kay dan Housseman (1975) menyatakan bahwa hormon androgen pada hewan jantan dapat merangsang pertumbuhan sehingga hewan jantan lebih besar dibandingkan dengan hewan betina. Produktivitas terutama pertambahan bobot badan yang lambat disebabkan oleh tidak efisiennya penggunaan energi untuk pertumbuhan, karena sebagian energi tersebut banyak digunakan untuk meningkatkan aktivitas fisiologis diantaranya respirasi. Pengaruh lingkungan ternak secara langsung adalah terhadap tingkat produksi melalui metabolisme basal, konsumsi pakan, gerak laju makanan, kebutuhan pemeliharaan, reproduksi pertumbuhan dan produksi susu, sedangkan pengaruh tidak langsung berhubungan dengan kualitas dan ketersediaan pakan (Aldersen, 1999). Musim memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Di Rajasthan, India, domba yang lahir pada musim penghujan (Juli hingga Spetember) pada umur 30 hari, 18% lebih berat dibandingkan dengan domba yang lahir antara Februari dan April (Ruth, 1986). Di Senegal, variasi curah hujan tahunan mempengaruhi kualitas pasture, situasi penyakit dan perubahan manajemen (Fall, dkk, 1982; Ruth 1986)
17
2.5.
Ukuran-ukuran Tubuh Penampilan seekor hewan adalah hasil dari suatu proses pertumbuhan
yang berkesinambungan dalam seluruh hidup hewan tersebut. Setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan atau perkembangan yang berbeda-beda karena pengaruh genetik maupun lingkungan (Diwyanto, 1982). Menurut Mulliadi (1996), ukuran permukaan dan bagian tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan, karena dapat menaksir bobot badan dan karkas serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri suatu bangsa tertentu. Penggunaan ukuran-ukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran yang umum pada ternak, yaitu sifat kuantitatif untuk dapat memberikan gambaran eksterior seekor domba dan mengetahui perbedaanperbedaan dalam populasi ternak ataupun digunakan dalam seleksi. Pengaruh genetik dan lingkungan menyebabkan timbulnya keragaman pada pengamatan dalam berbagai sifat kuantitatif. Keragaman merupakan suatu sifat populasi yang sangat penting dalam pemuliaan terutama dalam seleksi. Seleksi akan efektif bila terdapat tingkat keragaman yang tinggi (Martojo, 1990). Ukuran permukaan tubuh hewan memiliki banyak kegunaan seperti untuk menaksir bobot badan dan memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas suatu bangsa (Doho, 1994). Menurut Devendra dan McLeroy (1982), ukuran tubuh dewasa pada domba lokal untuk betina adalah tinggi badan 57 cm, bobot badan 25-35 kg, sedangkan pada jantan tinggi badan mencapai 60 cm dan bobot badan 40-60 kg dengan rata-rata bobot potong 19 kg. Ukuran permukaan dan bagian tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan, karena dapat menaksir bobot badan dan karkas, serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri suatu bangsa tertentu. Bentuk dan ukuran tubuh domba dapat dideskripsikan dengan menggunakan ukuran dan
18
penilaian visual Fourie et al. (2002). Bobot badan domba juga memiliki nilai heritabilitas yang tinggi sekitar 30-35%. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan korelasi dan pendugaan bobot badan dengan panjang badan dan tinggi pundak sebagai salah satu pertimbangan dalam melakukan seleksi. 2.6.
Analisis Korelasi Analisis korelasi adalah alat statistik yang dapat digunakan untuk
mengetahui derajat hubungan linear antara satu peubah dengan peubah yang lain (Sulaiman, 2004). Umumnya analisis korelasi digunakan, dalam hubungannya dengan analisis regresi, untuk mengukur ketepatan garis regresi dalam menjelaskan (explaining) variasi nilai peubah tak bebas. Hasil dari perhitungan korelasi diinterpretasikan pada sebuah hubungan yang didasarkan pada nilai angka yang muncul. Bila peubah-peubah yang dikorelasikan lebih dari dua peubah sehingga terdapat beberapa pasang korelasi, berarti telah melakukan perhitungan korelasi antar peubah (Sulaiman, 2004). 2.7.
Analisis Regresi Hubungan sebuah peubah tak bebas dengan lebih dari satu peubah bebas
disebut regresi linier berganda. Analisis linier berganda adalah suatu metode statistik umum yang digunakan untuk meneliti hubungan antara sebuah peubah tak bebas dengan beberapa peubah bebas. Tujuan analisis regresi berganda menggunakan nilai-nilai peubah bebas untuk menduga peubah tak bebas (Sulaiman, 2004). Analisis regresi linier berganda adalah suatu teknik ketergantungan. Maka untuk menggunakannya, harus dapat membagi peubah menjadi peubah tak bebas.
19
Analisis regresi juga merupakan alat statistik yang digunakan bila peubah tak bebas dan bebas berbentuk matrik. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu peubah bebas yang berupa data nonmatrik dapat juga digunakan. Jika suatu peubah tak bebas bergantung pada lebih dari satu peubah bebas, hubungan antara kedua peubah disebut analisis regresi berganda (Sulaiman, 2004).