KAJIAN KEBIJAKAN: KELEMBAGAAN URUSAN KESEHATAN HEWAN DI INDONESIA
RAHMI PUTRI DION
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Kebijakan: Kelembagaan Urusan Kesehatan Hewan di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2017 Rahmi Putri Dion NIM B04120043
ABSTRAK RAHMI PUTRI DION. Kajian Kebijakan: Kelembagaan Urusan Kesehatan Hewan di Indonesia. Dibimbing oleh RP AGUS LELANA dan ARDILASUNU WICAKSONO. Kajian ini membahas tentang kebijakan penyelenggaraan urusan kesehatan hewan di Indonesia. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengkaji kuatnya kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan urusan kesehatan hewan berdasarkan hasil identifikasi nama kelembagaan dan struktur organisasi yang bertanggungjawab dalam urusan kesehatan hewan di tingkat pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sebelum PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah diimplementasikan. Penyelenggaraan urusan kesehatan hewan di tingkat pusat dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia, sementara di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang memiliki nama kelembagaan dan struktur organisasi penyelenggara yang beragam. Keragaman nama kelembagaan dan struktur organisasi penyelenggara urusan kesehatan hewan ini menjadi salah satu indikator untuk melihat kuatnya kebijakan pemerintah dalam urusan kesehatan hewan. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa sebagian provinsi (41%, n= 14) dan sebagian kecil kabupaten/kota (6%, n= 31) memiliki kebijakan pemerintah yang sangat kuat dalam urusan kesehatan hewan. Sulitnya pelaksanaan otoritas veteriner sesuai dengan konsep yang terdapat dalam UU No.41 Tahun 2014 disebabkan oleh keragaman nama kelembagaan dan struktur organisasi penyelenggara urusan kesehatan hewan serta tidak adanya peraturan turunan dari UU No. 41 Tahun 2014 yang mengatur secara rinci tentang otoritas veteriner. Kata kunci: kebijakan, kelembagaan, kesehatan hewan
ABSTRACT RAHMI PUTRI DION. The Study of Policies: The Institute of Animal health in Indonesia. Supervised by RP AGUSLELANA and ARDILASUNU WICAKSONO This study was described about the institute of animal health policies in Indonesia. The purpose of this study was to review the strength of governmental policies based on the result of the identificaton from name and organizational structure of animal health at the national level, provinces, and districs/cities before the implementation of PP No. 18 Tahun 2016. The institute of animal health at the national level implemented by the Directorate of General of Livestock and Animal Health, and the Agricultural Quarantine Agency of the Indonesian Ministry of Agriculture, while at the provinces and districts/cities implemented by unit of local government that have many kinds of name and structure of organization. The difference of name and structure of organization has become one of the indicators to observe how strong the government policies about animal health. Based on studies that have been done, we knew that some provinces (41%, n=14) and few of districts/cities (6%, n=31) have a very strong governmental policies about animal health. The difficulties to implementing the veterinary authority in accordance to UU No. 41 Tahun 2014 because of the provinces and districts/cities have many kinds of name and structure of organization, and also the absence of sub- policies from UU No.41 Tahun 2014. Keywords: animal health, institute, policies
KAJIAN KEBIJAKAN: KELEMBAGAAN URUSAN KESEHATAN HEWAN DI INDONESIA
RAHMI PUTRI DION
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan kasih sayangNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kajian Kebijakan: Kelembagaan Urusan Kesehatan Hewan di Indonesia” sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat. Skripsi ini tidak dapat penulis selesaikan tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu baik secara lansung maupun tidak lansung. Dr Drh RP Agus Lelana, SpMP, MSi dan Drh Ardilasunu Wicaksono, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberikan arahan serta masukan dalam penulisan karya ilmiah ini. Prof Dr Drh Tuty Laswardy Yusuf, MS selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis. Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc yang telah memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis. Keluarga penulis (Bunda, nenek, dan ke dua adik) yang selalu memberikan semangat dan doanya kepada penulis. Ummi Ade Husnul yang telah memberikan bimbingan rutin kepada penulis. Saudari Syahiidah Muthmainnah yang selalu menularkan semangat dan inspirasinya kepada penulis. Saudari Nila Arum Sari, Tri Rizka Abdilla, Windi Lestari, Devy Nur Priscaningtyas dan Tri Restu Wahyuningtyas yang membantu penulis mengoreksi dan memberikan masukan dalam format penulisan karya ilmiah ini. Teman-teman BEM KM IPB Ayo Gerak terutama Kementerian Kebijakan yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. Teman-teman BEM Jabodetabek Banten periode 2015/2016, Forum Perempuan BEM Seluruh Indonesia 2014/2016, Forum Perempuan BEM Jabodetabek Banten 2014/2016, JAKNAS BEM KM IPB Kabinet Kreasi untuk Negeri, JAKNAS BEM KM IPB Kabinet Berani Beda, JAKNAS BEM KM IPB Kabinet Rumah Kita, JAKNAS BEM KM IPB Kabinet Ayo Gerak, Gugus Disiplin Asrama TPB IPB, Racana IPB, IPB Political School, LDF An-Nahl FKH IPB, keluarga FAusta, Forum Silaturrahim Ikhwah Minang, Astrocyte FKH IPB, dan keluarga besar Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk belajar berkontribusi dan memaksimalkan potensi dalam menjalani peran yang diamanahkan Allah kepada penulis. Skripsi ini disusun dengan harapan menambah pengetahuan dan kepedulian kolega terhadap peraturan perundangan di Indonesia yang berdampak besar bagi penyelenggaraan urusan kesehatan hewan. Selain itu skripsi ini diharapkan dapat membawa angin segar bagi kemajuan otoritas veteriner di Indonesia. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi dunia pendidikan umumnya, dan dunia kesehatan hewan khususnya. Bogor, Januari 2017 Rahmi Putri Dion
DAFTAR ISI ABSTRAK
ix
DAFTAR ISI
x
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
Manfaat
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Pemahaman Dasar Kebijakan Publik
2
Evaluasi Kebijakan Publik
3
Kelembagaan Negara
4
Kelembagaan Urusan Kesehatan Hewan
4
METODE PENELITIAN
6
Waktu dan Tempat Penelitian
6
Metode Penelitian
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Pelaksanaan Penelitian
8
Profil Kelembagaan Urusan Kesehatan Hewan Tingkat Pusat
8
Profil Kelembagaan Urusan Kesehatan Hewan Tingkat Provinsi
9
Profil Kelembagaan Urusan Kesehatan Hewan Tingkat Kabupaten/Kota
11
Profil Pimpinan Lembaga Urusan Kesehatan Hewan
14
Implementasi Otoritas Veteriner di Indonesia
14
SIMPULAN DAN SARAN
15
Simpulan
15
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
16
RIWAYAT HIDUP
18
DAFTAR TABEL 1
Daftar wilayah administratif di Indonesia
2
Daftar nama kelembagaan urusan kesehatan hewan tingkat provinsi
10
3
Keragaman nama kelembagaan urusan kesehatan hewan tingkat provinsi
10
4 5
6
Profil kelembagaan urusan kesehatan hewan tingkat provinsi Nama dinas yang menaungi urusan kesehatan hewan tingkat kabupaten/kota
11 12
DAFTAR GAMBAR 1
Struktur organisasi kementerian pertanian
2
Struktur organisasi kabupaten/kota
penyelenggara
urusan
9 kesehatan
hewan 13
3(a) Profil pimpinan lembaga urusan kesehatan hewan provinsi
14
3(b) Profil pimpinan lembaga urusan kesehatan hewan kabupaten/kota
14
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Penyelenggaraan kesehatan di Indonesia dilaksanakan oleh Otoritas Veteriner. Hal ini mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam UU No. 18 Tahun 2009 juncto (jo) UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan serta ketentuan badan kesehatan hewan dunia (OIE). Penyelenggaraan kesehatan hewan di Indonesia belum memiliki format baku, salah satunya disebabkan karena belum adanya peraturan pemerintah tentang Otoritas Veteriner. Akibatnya, penyelenggaraan kesehatan hewan baik di tingkat pusat maupun daerah memiliki pola yang beragam tergantung kepentingan daerah masing-masing. Penyebaran penyakit hewan tidak mengenal batas wilayah, oleh sebab itu penanggulangan penyakit hewan ini penting untuk dikelola secara terintegrasi dari pusat hingga daerah. Permasalahan kesehatan hewan penting diperhatikan karena berdampak besar bagi kesehatan manusia. Menurut Brown (2004), dalam dua dekade terakhir dapat diamati kemunculan 75% penyakit baru (emerging diseases) dan 60.3% diantaranya merupakan zoonosis (Jones et al. 2008). Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan membutuhkan upaya yang signifikan dari kelembagaan yang bertanggung jawab dalam urusan kesehatan hewan secara terintegrasi dari pusat hingga daerah. Sistem pemerintahan di Indonesia menganut asas desentralisasi yang diatur dalam UU No. 09 Tahun 2015 sebagai revisi terbaru dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 sebagai revisi terbaru atas Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Perangkat Daerah. Landasan hukum tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membentuk kelembagaan daerah sesuai dengan kepentingan daerah masing-masing. Menurut kaidah kajian kebijakan Dunn (2003), kuatnya kebijakan pemerintah daerah terhadap urusan tertentu dapat dilihat melalui pencantuman nama dan struktur organisasi kelembagaan daerah tersebut, sebagai contoh pencantuman nama Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan oleh pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), menunjukkan preferensi dan kuatnya kebijakan pemerintah NAD terhadap urusan kesehatan hewan. Berdasarkan pemikiran di atas, maka perlu dilakukan kajian terhadap kuatnya kebijakan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota terhadap urusan kesehatan hewan di Indonesia berdasarkan identifikasi nama kelembagaan dan struktur organisasi lembaga tersebut. Kajian ini difokuskan pada kondisi kebijakan pemerintah sebelum Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang perangkat daerah diimplementasikan. Kajian ini diharapkan dapat menjadi basis kajian kebijakan kelembagaan urusan kesehatan hewan di kemudian hari.
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kuatnya kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan urusan kesehatan hewan berdasarkan hasil identifikasi nama kelembagaan dan struktur organisasi yang bertanggungjawab dalam urusan kesehatan hewan di tingkat pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sebelum PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah diimplementasikan.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah diperoleh informasi tentang kuatnya kebijakan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan kesehatan hewan. Informasi ini diharapkan dapat berfungsi sebagai data dasar dalam rangka kajian kebijakan penyelenggaraan urusan kesehatan hewan lebih lanjut.
TINJAUAN PUSTAKA Pemahaman Dasar Kebijakan Publik Kebijakan publik merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris “public policy”, yang mana kata policy menjadi istilah umum yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kebijakan” (Wibawa 1994). Kebijakan menurut Anderson dalam Nugroho (2009) merupakan arah tindakan yang memiliki maksud yang ditetapkan oleh seseorang atau sejumlah aktor dalam permasalahan yang ada. Senada dengan hal tersebut, Carl I Friedrick dalam Nugroho (2009) menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu dengan mempertimbangkan ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan tersebut diusulkan dengan tujuan memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Dye dalam Widodo (2008) mengemukakan bahwa terdapat 3 elemen dalam sistem kebijakan yaitu: stakeholders kebijakan, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Kebijakan publik dirumuskan untuk mengatasi persoalan yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu, merumuskan masalah merupakan hal pokok dalam pembuatan kebijakan. Kaidah yang memberi ciri penting dari masalah kebijakan menurut Dunn (2003) terdiri atas aspek yaitu: (1) Adanya sifat kesalingtergantungan (interdependensi/meses), yang menjelaskan bahwa suatu masalah kebijakan tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari suatu sistem masalah; (2) Adanya sifat subjektivitas yang menjelaskan bahwa satu data dapat diinterpretasikan secara berbeda; (3) Adanya sifat keterbatasan mengingat kebijakan ini merupakan hasil/produk dari pemikiran manusia; (4) Adanya sifat yang dinamis, yaitu terdapat banyaknya defenisi dan kemungkinan solusi yang dapat diambil terhadap suatu masalah. Pengertian dinamis ini mengandung arti
3 bahwa masalah dan solusi bisa terjebak dalam perubahan yang konstan sehingga menyebabkan sulitnya akurasi pemecahan masalah dan sejalan dengan perkembangan masalah, solusi itu berubah menjadi usang. Dunn (2003) juga memaparkan 4 tahapan dalam penyusunan kebijakan yang perlu dilakukan oleh pejabat publik yang terdiri atas: (1) Tahap pengagendaan penyusunan kebijakan yang dianggap prioritas; (2) Tahap formulasi kebijakan dengan mendefenisikan dan mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah; (3) Tahap adopsi kebijakan dengan memperoleh dukungan mayoritas legislatif, konsensus direktur lembaga dan/atau keputusan peradilan; (4) Tahap implementasi kebijakan dengan melibatkan unit-unit administrasi yang menggerakan sumber daya manusia dan finansial; dan (5) Tahap penilaian kebijakan dengan melaksanakan evaluasi berdasarkan kriteria maupun luasnya dampak yang dihasilkan dari kebijakan tersebut.
Evaluasi Kebijakan Publik Evaluasi kebijakan publik merupakan serangkaian kajian secara sistematis dan empiris terhadap akibat dari suatu kebijakan atau program pemerintah yang sedang berjalan dikaitkan dengan relevansi terhadap tujuan yang hendak dicapai dari kebijakan tersebut (Howlett dan Ramesh 1995). Adapun Wibawa et al. (1994) menyebutkan bahwa evaluasi kebijakan merupakan suatu aktivitas ilmiah yang perlu dilakukan oleh pembuat kebijakan dalam rangka menyempurnakan kebijakan yang diambil. Evaluasi kebijakan semestinya dapat menjelaskan seberapa jauh kebijakan dan implementasinya dalam mencapai tujuan. Hal ini pada kenyataannya tidak mudah, mengingat pada umumnya suatu kebijakan memiliki tujuan yang sangat luas. Selain itu kebijakan merupakan produk politik yang mengakomodir beraneka-ragam kepentingan sehingga terkadang kita mendapatkan situasi dimana tujuan kebijakan secara formal diumumkan kepada masyarakat, meskipun tujuan sebenarnya tidak dapat diketahui (Wibawa et al. 1994). Pemikiran ini diperkuat oleh Howlett dan Ramesh (1995), bahwa evaluasi kebijakan merupakan kegiatan politis yang selalu melibatkan para birokrat, politisi, dan juga orang di luar pemerintah. Selain itu, kesulitan dalam melakukan evaluasi kebijakan publik disebabkan karena tujuan kebijakan publik jarang ditulis secara jelas. Bentuk-bentuk evaluasi kebijakan publik menurut Howlett dan Ramesh (1995) adalah sebagai berikut: 1. Evaluasi administratif. Umumnya dibatasi pada pengkajian efisiensi penyampaian pelayanan pemerintah termasuk penggunaan dana yang dikeluarkan dan relevansinya dengan pencapaian tujuan. 2. Evaluasi yudisial. Mengkaji kesesuaian kebijakan yang dibuat dengan peraturan perundang-undangan yang ada. 3. Evaluasi politis. Evaluasi yang dilakukan hanya pada waktu-waktu tertentu, misalnya sebelum pemilihan umum.
4 Kelembagaan Negara Penamaan lembaga negara berasal dari bahasa Belanda staatsorgaan, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai badan negara, organ negara, dan/atau lembaga negara (Asshiddiqie 2004). Istilah lembaga negara ini dibedakan dengan lembaga swasta dan lembaga masyarakat yang biasa disebut dengan Organisasi Nonpemerintahan (Ornop) atau dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan Non-Governmental Organization (NGO). Lembaga negara sendiri dapat berada dalam ruang lingkup eksekutif, legislatif, yudikatif ataupun yang bersifat campuran. (Asshiddiqie 2010). Penyusunan UUD 1945 sebelum amandemen cenderung konsisten dengan menggunakan istilah badan negara. Sementara UUD 1945 setelah perubahan keempat tahun 2002 cenderung tidak konsisten, adakalanya memakai istilah lembaga negara, organ negara dan/atau badan negara. Pemahaman tentang lembaga negara di Indonesia masih mengikuti pemahaman trias politica Monstequieu yang membagi fungsi kekuasaan negara dalam tiga fungsi yaitu: fungsi eksekutif, fungsi legislatif, dan fungsi yudikatif. Lembaga negara dikaitkan dengan pengertian lembaga yang berada di ranah kekuasaan legislatif, sementara itu lembaga negara yang berada di ranah kekuasaan eksekutif diistilahkan dengan lembaga pemerintah, dan lembaga negara di ranah kekuasan yudikatif diistilahkan dengan lembaga peradilan. Konsep trias politica yang dicetuskan Monstequieu ini tidak lagi relevan. Kenyataannya ketiga lembaga negara ini saling berkaitan dan saling mengendalikan satu sama lain dengan prinsip check and balances (Asshiddiqie 2010). Lembaga negara dibentuk karena diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, dan bahkan ada yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Kedudukan lembaga negara dan pejabat di dalamnya disesuaikan berdasarkan tingkatan dasar hukum pembentukan lembaga tersebut. Kedudukan lembaga negara yang berbeda-beda tingkatannya ini turut mempengaruhi kedudukan peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut (Asshiddiqie 2010). Kelembagaan Urusan Kesehatan Hewan Landasan hukum penyelenggaraan urusan kesehatan hewan di Indonesia terdapat dalam UU No. 18 Tahun 2009 jo UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kesehatan hewan menurut UU No.18 Tahun 2009 adalah: “segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan, pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan peyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan dan peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan”, sementara kesehatan hewan menurut UU No. 41 Tahun 2014 adalah: “segala urusan yang berkaitan dengan perlindungan sumber daya hewan, kesehatan masyarakat, dan lingkungan serta penjaminan keamanan produk hewan, kesejahteraan hewan, dan peningkatan akses pasar untuk mendukung kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan asal hewan”. Penyelenggaraan kesehatan hewan ini dilaksanakan oleh otoritas veteriner sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 1 Ayat (28) UU No. 41 Tahun 2014.
5 Otoritas veteriner menurut UU No.18 Tahun 2009 merujuk kepada kelembagaan pemerintah dan atau kelembagaan yang dibentuk pemerintah untuk menyelenggarakan urusan kesehatan hewan, sementara di dalam UU No. 41 Tahun 2014, otoritas veteriner merujuk kepada kelembagaan pemerintah atau pemerintah daerah yang menyelenggarakan urusan kesehatan hewan. Penjelasan lebih lanjut mengenai otoritas veteriner dibahas dalam Pasal tersendiri, yaitu Pasal 68 UU No. 18 Tahun 2009. Setelah direvisi menjadi UU No. 41 Tahun 2014, Pasal 68 mengenai otoritas veteriner mengalami perubahan bunyi dan penambahan Pasal. Otoritas veteriner dipimpin oleh seorang pejabat otoritas veteriner, hal ini dijelaskan dalam Pasal 68 A Ayat (2). Adapun komposisi pejabat otoritas veteriner tersebut terdiri atas: pejabat otoritas veteriner nasional, kementerian, provinsi, dan kabupaten/kota, hal ini dicantumkan dalam Pasal 68 A Ayat (3). Pejabat otoritas veteriner di tingkat nasional dan kementerian diangkat oleh menteri, sedangkan pejabat otoritas veteriner di tingkat provinsi diangkat oleh gubernur, dan pejabat otoritas veteriner di kabupaten/kota diangkat oleh bupati/walikota. Otoritas veteriner sendiri eksistensinya masih menjadi perdebatan di antara kalangan dokter hewan. Menurut Moerad (2010), sebagian pihak menyatakan bahwa otoritas veteriner belum ada di Indonesia dengan alasan tidak adanya kewenangan penuh dokter hewan untuk mengambil keputusan penting terutama yang berkaitan dengan risiko masuknya penyakit hewan baik yang zoonotik maupun yang bukan zoonotik. Dokter hewan hanya memiliki kewenangan sebatas memberikan rekomendasi menyetujui atau menolak pemasukan hewan, sementara keputusan akhir berada pada menteri yang mungkin tidak memiliki kompetensi di bidang kedokteran hewan. Sebaliknya menurut pihak yang berpendapat otoritas veteriner sudah ada meskipun masih lemah dan terbatas, berlandaskan pada beberapa kebijakan veteriner sudah berada di tangan dokter hewan. Otoritas veteriner di tingkat pusat berada di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, sementara otoritas veteriner di daerah berada di bawah dinas-dinas peternakan dan kesehatan hewan provinsi, dan kabupaten/kota. Permasalahan otoritas veteriner di Indonesia salah satunya disebabkan oleh tidak adanya garis komando antara otoritas veteriner di pusat dengan otoritas veteriner di daerah, sehingga tidak mampu mengambil keputusan secara cepat dan tepat ketika terjadi kondisi darurat. Otoritas veteriner saat ini berada di bawah kementerian pertanian, sementara masih ada fungsi otoritas veteriner di luar kementerian pertanian seperti di sektor kesehatan, sektor kehutanan, TNI, POLRI, dan sebagainya. Otoritas veteriner di luar sektor pertanian ini membutuhkan mekanisme koordinasi dan pengaturan yang lebih jelas (Moerad 2010). Penyelenggaraan urusan kesehatan hewan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan pembagian wilayah administratif Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri (2014), wilayah administratif Indonesia terdiri atas 34 Provinsi, 416 Kabupaten, dan 98 Kota. Daftar pembagian wilayah administratif di Indonesia disajikan dalam Tabel 1.
6 Tabel 1 Daftar wilayah administratif di Indonesia No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Jumlah kabupaten 18 25 12 10 9 13 9 13 6 5 1 18 29 4 29 4 8 8 21 12 13 11 7 4 11 12 21 15 5 6 9 8 28 12
Jumlah kota 5 8 7 2 2 4 1 2 1 2 5 9 6 1 9 4 1 2 1 2 1 2 3 1 4 1 3 2 1 0 2 2 1 1
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Agustus sampai bulan September 2016 di lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Metode Penelitian Pengumpulan Data Pendataan nama kelembagaan dan struktur organisasi penyelenggara urusan kesehatan hewan ini dilakukan dengan mengkaji Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), dan Peraturan Bupati (Perbup)/ Peraturan Walikota (Perwalkot) sebelum diimplementasikannya PP No.18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Perda, Pergub, dan Perbup/Perwalkot yang memuat tentang penyelengaraan urusan kesehatan hewan dikumpulkan dari pencarian
7 data sekunder. Menurut Muharto dan Ambarita (2016) sumber sekunder merupakan salah satu sumber data penelitian yang dapat digunakan, yaitu: data yang diperoleh dari tangan kedua berupa artikel ilmiah, arsip, laporan, buku, majalah, catatan publik, atau gambar-gambar. Data sekunder dalam penelitian ini diidentifikasi melalui laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional (JDIHN), Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) provinsi dan kabupaten/kota, serta laman masing-masing pemerintahan daerah dan OPD yang bertanggung jawab dalam urusan kesehatan hewan. Identifikasi Data nama kelembagaan dan struktur organisasi penyelenggara yang bertanggung jawab dalam urusan kesehatan hewan diidentifikasi berdasarkan keterangan yang terdapat dalam peraturan masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu profil pimpinan masing-masing lembaga diidentifikasi dari laman kelembagaan terkait untuk mengetahui latar belakang pendidikan pimpinan lembaga sebagai dokter hewan yang berwenang atau bukan. Pemilahan Data Data nama kelembagaan dan struktur organisasi penyelenggara urusan kesehatan hewan dipilah berdasarkan wilayah administratif Indonesia. Data dipilah menjadi dua kategori yaitu tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pemetaan Hasil Data yang telah dipilah dipetakan untuk melihat kuatnya kebijakan pemerintah suatu daerah terhadap urusan kesehatan hewan berdasarkan indikator yang telah ditetapkan. Menurut Nugroho (2009), seorang analis kebijakan harus memiliki kecakapan untuk menggunakan metode yang paling sederhana, namun tepat dan menghindari pendekatan toolbox ataupun textbook. Apabila metode yang dikehendaki tidak tersedia, maka analis kebijakan dapat merumuskan metodenya sendiri. Berdasarkan pemikiran Nugroho inilah kemudian dirumuskan sejumlah indikator dalam memetakan hasil penelitian ini. Adapun indikatornya adalah sebagai berikut: 1. Urusan kesehatan hewan dicantumkan dalam nama kelembagaan Organisasi Perangkat Daerah (setingkat dinas), maka kebijakan pemerintah dalam urusan kesehatan hewan dikategorikan sangat kuat. 2. Urusan kesehatan hewan dicantumkan setingkat bidang, maka kebijakan pemerintah dalam urusan kesehatan hewan dikategorikan kuat 3. Urusan kesehatan hewan dicantumkan setingkat seksi, maka kebijakan pemerintah dalam urusan kesehatan hewan dikategorikan lemah 4. Urusan kesehatan hewan tidak dicantumkan, maka kebijakan pemerintah dalam urusan kesehatan hewan dikategorikan sangat lemah. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif. Analisis data menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2010.
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan mengumpulkan data sekunder mengenai informasi nama kelembagaan dan struktur organisasi penyelenggara yang bertanggung jawab dalam urusan kesehatan hewan di Indonesia. Data nama kelembagaan dan struktur organisasi penyelenggara urusan kesehatan hewan dikumpulkan melalui Perda, Pergub, dan Perbup/Perwalkot terbaru sebelum PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah diimplementasikan. Selanjutnya, profil pendidikan kepala OPD yang menaungi urusan kesehatan hewan diambil dari laman kelembagaan terkait untuk mengetahui latar belakang pendidikan kepala OPD sebagai dokter hewan berwenang atau bukan. Proses pengumpulan data sekunder ini tidak mudah. Hal ini disebabkan karena tidak semua provinsi dan kabupaten/kota memiliki dokumentasi peraturan daerah yang lengkap dan dapat diakses secara online. Selain itu, tidak semua OPD memiliki laman kelembagaan dengan informasi lengkap dan terbaru mengenai kelembagaan tersebut.
Profil Kelembagaan Urusan Kesehatan Hewan di Tingkat Pusat Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 043/Permentan/OT.0108/2015, dapat diketahui bahwa penyelenggaraan urusan kesehatan hewan di tingkat pusat dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (DITJEN PKH) dan Badan Karantina Pertanian (BKP) Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Urusan kesehatan hewan dicantumkan secara eksplisit dalam struktur organisasi setingkat direktorat jenderal (Ditjen), meskipun masih bersanding dengan urusan peternakan dalam satu Ditjen yang sama. Hal ini merupakan perkembangan positif dalam dunia kesehatan hewan, mengingat sebelum tahun 2015 urusan kesehatan hewan tidak dicantumkan dan kelembagaan yang menaunginya masih menggunakan nama Direktorat Jenderal Peternakan (Kementan 2015). Selain Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan serta Badan Karantina Pertanian, penyelenggaraan urusan kesehatan hewan di tingkat pusat dibantu oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Adapun struktur organisasi Kementerian Pertanian Republik Indonesia disajikan dalam Gambar 1.
9
Gambar 1
Struktur organisasi Kementerian Pertanian Republik Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 043/Permentan/OT.0108/2015
Profil Kelembagaan Urusan Kesehatan Hewan Tingkat Provinsi Berdasarkan data yang ditampilkan dalam Tabel 2, dapat diketahui bahwa nama Organisasi Perangkat Daerah yang menaungi urusan kesehatan hewan tingkat provinsi di Indonesia beragam. Keragaman nama kelembagaan urusan kesehatan hewan tingkat provinsi terdiri atas 9 variasi nama sebagaimana yang dipaparkan dalam Tabel 3. Berdasarkan data dari Tabel 3 dapat dikaji keragaman nama OPD yang diidentifikasi dalam 3 aspek sebagai berikut: (1) Hanya 14 provinsi yang mencantumkan urusan kesehatan hewan sebagai nama dinas; (2) Dari segi urusan peternakan, terdapat 6 provinsi yang mencantumkan urusan peternakan sebagai urusan tunggal, 14 provinsi digabungkan dengan urusan kesehatan hewan, 1 provinsi digabungkan dengan urusan pertanian dan perkebunan, 1 provinsi digabungkan dengan urusan pertanian dan kehutanan, dan 1 provinsi digabungkan dengan urusan perkebunan; (3) Di luar urusan peternakan dan kesehatan hewan, terdapat 3 provinsi yang mencantumkan urusan pertanian sebagai urusan tunggal dalam nama dinas, 1 provinsi digabungkan dengan urusan kelautan dan ketahanan pangan, 1 provinsi digabungkan dengan urusan kehutanan dan peternakan.
10 Tabel 2 Daftar nama kelembagaan urusan kesehatan hewan tingkat provinsi No.
Provinsi
Nama dinas
1. 2.
Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara
Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
3. 4. 5. 6. 7.
Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
8. 9. 10.
Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Peternakan
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara
Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Dinas Peternakan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Dinas Peternakan Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Peternakan Dinas Peternakan Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Ketahanan Pangan
25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Peternakan dan Perkebunan Dinas Pertanian Dinas Pertanian Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Tabel 3 Keragaman nama kelembagaan urusan kesehatan hewan tingkat provinsi No.
Nama dinas
Jumlah provinsi
1. 2.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Peternakan
n 14 6
% 41.17 17.65
3.
Dinas Peternakan
6
17.65
4.
Dinas Pertanian
3
8.82
5. 6.
Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Dinas Pertanian Kehutanan Peternakan
1 1
2.94 2.94
7.
Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan
1
2.94
8.
Dinas Pertanian Kehutanan dan Ketahanan Pangan
1
2.94
9.
Dinas Peternakan dan Perkebunan
1
2.94
11 Tabel 4 Profil kelembagaan urusan kesehatan hewan tingkat provinsi No.
Urusan kesehatan hewan dicantumkan setingkat dinas
setingkat bidang Riau
1.
Nanggroe Aceh Darussalam
2.
Sumatera Utara
3.
Sumatera Barat
Sumatera Selatan DKI Jakarta
4. 5.
Jambi Bengkulu
Jawa Barat Jawa Timur
6.
Lampung
7.
Jawa Tengah
8.
Bali
9.
Nusa Tenggara Barat
10.
Kalimantan Barat
11. 12. 13. 14. n = %=
Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Papua Papua Barat 14 41.17 %
Nusa Tenggara Timur Kalimanan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Tenggara Gorontalo
11 32.35 %
setingkat seksi Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau Daerah Istimewa Yogyakarta Banten Kalimantan Utara Sulawesi Barat
Tidak dicantumkan Sulawesi Utara
Tidak diketahui Maluku Utara
Maluku
7 20.58 %
1 2.94%
1 2.94 %
Berdasarkan Tabel 4 secara umum dapat dikaji bahwa pola distribusi pengelolaan urusan kesehatan hewan terdiri atas 14 provinsi setingkat dinas, 11 provinsi setingkat bidang, 7 provinsi setingkat seksi, 1 provinsi tidak mencantumkan urusan kesehatan hewan dan 1 provinsi lainnya tidak diketahui. Mengacu pada indikator yang telah ditetapkan pada penelitian ini, maka dapat diartikan bahwa dalam urusan kesehatan hewan 41.17% provinsi di Indonesia memiliki kebijakan pemerintah yang sangat kuat, 32.35% provinsi memiliki kebijakan pemerintah yang kuat, 20.58% provinsi memiliki kebijakan pemerintah yang lemah, dan 2.94% provinsi memiliki kebijakan pemerintah yang sangat lemah. Adapun 2.94% provinsi lainnya tidak diketahui struktur organisasi lembaga yang menaungi urusan kesehatan hewan.
Profil Kelembagaan Urusan Kesehatan Hewan Tingkat Kabupaten/Kota Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa nama kelembagaan yang bertanggungjawab dalam urusan kesehatan hewan di masing-masing kabupaten/ kota bervariasi. Secara garis besar terdapat 58 variasi nama kelembagaan dari 514 jumlah total kabupaten/kota di Indonesia.
12 Tabel 5 Nama dinas yang menaungi urusan kesehatan hewan tingkat kabupaten/ kota No.
Nama Dinas
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 36. 37. 38. 39. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 53.
Dinas Peternakan dan Perikanan Dinas Pertanian dan Peternakan Dinas Pertanian Dinas Peternakan Dinas Pertanian Peternakan dan Perikanan Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Dinas Pertanian Kehutanan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan Kehutanan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Peternakan Dinas Pertanian Perikanan Dinas Pertanian Perikanan Kehutanan Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian Dinas Kelautan Pertanian Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Perkebunan Dinas Pertanian Peternakan Ketahanan Pangan Dinas Kelautan Perikanan Pertanian Kehutanan Dinas Pertanian Perkebunan Kehutanan Dinas Kelautan Perikanan Peternakan Pertanian Dinas Kelautan Pertanian Dinas Tanaman Pangan Peternakan Dinas Perkebunan Pertanian Peternakan Perikanan Kehutanan Dinas Pertanian Hortikultura Peternakan Dinas Pertanian Peternakan Kehutanan Dinas Pertanian Peternakan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Peternakan Perikanan Kehutanan Dinas Pertanian Peternakan Perikanan Kelautan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura Peternakan Dinas Kelautan Perikanan Pertanian Kehutanan dan Energi Dinas Kelautan Perikanan Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Kelautan Pertanian Peternakan Dinas Koperasi UMKM Perindustrian Perdagangan Pertanian Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Pertanian Dinas Perkebunan dan Peternakan Dinas Pertanian Kehutanan dan Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Kelautan Dinas Pertanian Perikanan Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Perikanan Peternakan Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Perikanan Peternakan Perkebunan Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Perkebunan Kehutanan Kelautan Perikanan Dinas Pertanian Perkebunan Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Perkebunan Peternakan Kelautan Perikanan Dinas Pertanian Perkebunan Peternakan Perikanan Dinas Pertanian Peternakan Penyuluhan Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura Peternakan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Hortikultura Peternakan Perikanan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura Peternakan Perkebunan Kehutanan Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan Hortikultura Dinas Pertanian Penyuluhan Ketahanan Pangan Dinas Kelautan Perikanan Peternakan Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Perkebunan Kehutanan Ketahanan Pangan Dinas Pertanian Perikanan Perkebunan
54. 55. 56. 57. 58.
Jumlah Kabupaten/Kota 75 70 54 53 31 29 28 26 18 15 9 8 8 7 7 7 5 5 4 4 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Berdasarkan data yang ditampilkan dalam Tabel 5 dapat dikaji keragaman nama kelembagaan yang diidentifikasi berdasarkan 4 aspek sebagai berikut: (1)
13 Nama dinas yang menaungi urusan kesehatan hewan tingkat kabupaten/kota bervariasi dari satu sampai enam urusan; (2) Variasi nama dinas terdiri dari kombinasi 16 urusan, yaitu: peternakan, perikanan, pertanian, kelautan, kehutanan, perkebunan, tanaman pangan, ketahanan pangan, hortikultura, energi, koperasi, UMKM, perindustrian, perdagangan, penyuluhan dan kesehatan hewan; (3) Urusan yang berdiri sendiri sebagai dinas adalah urusan pertanian dan peternakan; (4)Urusan kesehatan hewan tidak berdiri sendiri, tetapi dibarengi dengan urusan lain dengan 4 pola kombinasi, yaitu: (a) 26 kabupaten/kota dengan kombinasi urusan peternakan dan kesehatan hewab; (b) 2 kabupaten/kota dengan kombinasi urusan pertanian, peternakan dan kesehatan hewan; (c) 1 kabupaten/kota dengan kombinasi urusan kelautan, perikanan, peternakan dan kesehatan hewan; dan (d) 1 kabupaten/kota dengan kombinasi urusan pertanian, perkebunan, peternakan, dan kesehatan hewan. Empat pola kombinasi tersebut tidak memperhatikan tata letak penamaan kelembagaan, namun hanya memperhatikan jumlah urusan yang dicantumkan dalam nama OPD tersebut.
Tidak ada 3% Bidang 36%
Tidak diketahui 6% Dinas 6%
Seksi 49%
Gambar 2 Struktur organisasi penyelenggara urusan kesehatan hewan tingkat kabupaten/kota Berdasarkan Gambar 2 dapat dipelajari bahwa dari 514 jumlah total kabupaten/kota di Indonesia, pengelolaan urusan kesehatan hewan dicantumkan dalam nama OPD (setingkat dinas) pada 31 kabupaten/kota, setingkat bidang pada 185 kabupaten/kota, setingkat seksi pada 251 kabupaten/kota, tidak dicantumkan secara struktural pada 17 kabupaten/kota, dan 30 kabupaten/kota belum ditemukan informasinya karena tidak ditemukan Perda/Perbup/Perwalkot yang relevan. Mengacu pada indikator yang telah ditetapkan dalam penelitian ini, maka dapat diartikan bahwa dalam urusan kesehatan hewan hanya 6% kabupaten/kota yang memiliki kebijakan pemerintah yang sangat kuat, 36% kabupaten/kota memiliki kebijakan pemerintah yang kuat, 49% kabupaten/kota memiliki kebijakan pemerintah yang lemah, 3% kabupaten/kota memiliki kebijakan pemerintah yang sangat lemah, dan 6% kabupaten/kota sisanya tidak diketahui struktur organisasinya karena tidak ditemukan Perda/Perbup/Perwalkot yang relevan.
14 Profil Pimpinan Lembaga Urusan Kesehatan Hewan di Indonesia Profil pimpinan lembaga urusan kesehatan hewan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota disajikan dalam Gambar 3a dan 3b. Pengertian pimpinan lembaga dalam karya tulis ini merujuk kepada kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menaungi urusan kesehatan hewan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Dokter hewan 7%
Dokter hewan 21%
Bukan dokter hewan 79%
Bukan dokter hewan 93%
Gambar 3 (a) Profil pimpinan lembaga (b) Profil pimpinan lembaga urusan urusan kesehatan hewan kesehatan hewan kabupaten/kota provinsi Berdasarkan data yang disajikan dalam Gambar 3a dapat diketahui bahwa hanya 21% kelembagaan urusan kesehatan hewan dari jumlah total 34 provinsi di Indonesia yang dipimpin oleh dokter hewan. Merujuk pada data yang ditampilkan dalam Gambar 3b dapat diketahui bahwa hanya 7% kelembagaan urusan kesehatan hewan dari jumlah total 514 kabupaten/kota di Indonesia yang dipimpin oleh dokter hewan.
Implementasi Otoritas Veteriner di Indonesia Hasil studi pustaka terhadap UU No. 18 Tahun 2009 jo UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan menunjukkan bahwa penyelenggara urusan kesehatan hewan di Indonesia adalah otoritas veteriner. Otoritas veteriner merupakan kelembagaan pemerintah atau pemerintah daerah yang berfungsi untuk mengambil keputusan teknis dalam penyelenggaraan kesehatan hewan. Otoritas veteriner menurut UU No. 18 Tahun 2009 jo UU No. 41 Tahun 2014 merujuk kepada dokter hewan yang berwenang. Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk melakukan penguatan tugas, fungsi, dan wewenang otoritas veteriner sesuai dengan amanah pasal 68 Ayat (2) UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Otoritas veteriner dipimpin oleh seorang pejabat otoritas veteriner yang terdiri atas pejabat otoritas veteriner nasional, kementerian, provinsi dan kabupaten/kota. Penunjukan pejabat otoritas veteriner memiliki dasar hukum Pasal 68 A UU No.41 Tahun 2014, sehingga dapat diartikan bahwa keberadaan pejabat otoritas veteriner baik di tingkat nasional (pusat), kementerian, provinsi dan kabupaten/kota harus ada sebagai bentuk pelaksanaan amanah UU No. 41 Tahun 2014.
15
Konsep otoritas veteriner sesuai dengan amanah UU No.41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada kenyataannya belum diimplementasikan di lapang. Berdasarkan kajian kebijakan yang telah dilakukan, setidaknya Indonesia menghadapi empat tantangan dalam mengimplementasikan peran otoritas veteriner. Pertama, peraturan pemerintah tentang otoritas veteriner yang diamanatkan dalam UU No. 41 Tahun 2014 sampai kajian ini dilakukan belum direalisasikan. Kedua, hasil kajian ini menunjukkan adanya keragaman nama dan struktur organisasi kelembagaan yang mengurusi urusan kesehatan hewan baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Ketiga, hasil kajian ini menunjukkan bahwa tidak semua pimpinan kelembagaan (setingkat dinas) yang mengurusi urusan kesehatan hewan adalah dokter hewan. Keempat, hasil kajian ini menunjukkan bahwa tidak ada satupun organisasi perangkat daerah di Indonesia yang secara khusus mengurusi kesehatan hewan, pada umumnya dikombinasikan dengan urusan peternakan, pertanian, perikanan dan ketahanan pangan. Situasi tersebut menimbulkan tiga dampak negatif dalam penyelenggaraan urusan kesehatan hewan di Indonesia. Pertama, tidak ada garis komando dalam upaya pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan menular strategis dan zoonosis di Indonesia. Kedua, upaya pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang otoritas veteriner sesuai dengan UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sulit untuk diimplementasikan. Ketiga, ketimpangan penyelenggaraan urusan kesehatan hewan dan penyelenggaraan kesehatan manusia di Indonesia menyebabkan tidak optimalnya penyelenggaraan onehealth di Indonesia.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penyelenggaraan urusan kesehatan di Indonesia dilaksanakan oleh lembaga pemerintah mulai dari pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan kesehatan hewan di tingkat pusat dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Penyelenggaraan urusan kesehatan hewan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan oleh organisasi perangkat daerah yang memiliki nama dan struktur organisasi kelembagaan yang beragam. Keragaman nama dan struktur organisasi kelembagaan urusan kesehatan hewan ini dijadikan salah satu indikator yang diteliti untuk mengukur kuatnya kebijakan pemerintah terhadap urusan kesehatan hewan. Penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 41% provinsi dan 6% kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki kebijakan pemerintah yang sangat kuat dalam urusan kesehatan hewan.
16 Saran Berdasarkan kajian kebijakan kelembagaan urusan kesehatan hewan yang telah dilakukan, maka direkomendasikan tiga saran sebagai berikut: (1) Kajian kebijakan kelembagaan urusan kesehatan hewan pasca diimplementasikannya PP No. 18 Tahun 2016 direkomendasikan untuk dilakukan; (2) Kajian komparatif tentang efektivitas implementasi otoritas veteriner dengan membandingkan nama dan struktur kelembagaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota direkomendasikan untuk dilaksanakan; (3) Peraturan pemerintah tentang otoritas veteriner dan siskeswanas perlu segera dibentuk dan direalisasikan; (4) Pemerintah pusat perlu memberikan pengarahan dan pendampingan kepada pemerintah daerah untuk mengimplementasikan otoritas veteriner sesuai dengan amanah UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
DAFTAR PUSTAKA Ashiddiqie J. 2004. Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi. Jakarta (ID): Konstitusi Press Ashiddiqie J. 2010. Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Amandemen. Jakarta (ID): Sinar Grafika Brown C. 2004. Emerging zoonoses and pathogens of public health significancean overview. Rev. sci.tech.Off. int.Epiz.23(2) :435-442 [DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. 2004. Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): DPR RI [DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. 2009. Undang-Undang No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): DPR RI [DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia.2014. Undang-Undang No. 41 Tahun 2014 perubahan atas UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): DPR RI [DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. 2014. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): DPR RI [DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia. 2015. UU No. 09 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta (ID): DPR RI Dunn WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Ed.2 . Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press Howlett, Michael, dan Rarnesh M. 1995. Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsistems. Oxford (GB): Oxford University Press Jones KE, Patel NG, Lew MA, Storeygard A, Balk D,Gittleman JL, Daszak P. 2008. Global Trends in emerging Infectious Disease. Nature. 451 (7181): 990.doi:10.1038/nature06536 [Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Jakarta (ID): Kemendagri
17 [Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. 2014. Permendagri RI No.56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan. Jakarta (ID): Kemendagri [Kementan] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.043/PERMENTAN/OT.010/8/2015. Jakarta (ID): Kementan Moerad B. 2010. Otoritas Veteriner di Indonesia. Hemera Zoa. 2 (1): 49-53 Muharto dan Ambarita A. 2016. Metode Penelitian Sistem Informasi: Mengatasi Kesulitan Mahasiswa dalam Menyusun Proposal Penelitian. Yogyakarta (ID): Deepublish Nugroho R. 2009. Public Policy. Jakarta (ID): Elex Media Komputindo Wibawa S et al.1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta (ID): PT. Raja Grafindo Persada Wibawa S. 1994. Kebijakan Publik: Proses dan Analisis. Jakarta (ID):Intermedia Widodo J. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta (ID): Bayumedia
18
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Payakumbuh pada tanggal 11 November 1994 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama di MTsN Paykumbuh pada tahun 2009. Pendidikan menengah atas diselesaikan di MAN 2 Payakumbuh pada tahun 2012 dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam (2013-2014) dan Ilmu Teknologi Reproduksi (2015-2016). Penulis aktif di berbagai organisasi di IPB antara lain: komandan Gugus Disiplin Asrama TPB IPB (2012-2013), Kementerian Kebijakan Nasional BEM KM IPB (2013), Sekretaris I IPB Political School (2014-2015), Kementerian Kebijakan Nasional BEM KM IPB (2014), Kementerian Kebijakan Nasional BEM KM IPB (2015), Sekretaris PSDM LDF An-Nahl FKH IPB (2015), Koordinator Forum Perempuan IPB (2015), Sekretaris Jenderal Kementerian Kebijakan Nasional BEM KM IPB (2016), dan Direktur Jenderal Perempuan dan Anak (2016). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi berjudul “Kajian Kebijakan: Kelembagaan Urusan Kesehatan Hewan di Indonesia” dibawah bimbingan Dr Drh RP Agus Lelana, SpMp, MSi dan Drh Ardilasunu Wicaksono, MSi.