KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE
Skripsi
PUTU PRIMAWATI I 0305009
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE
Skripsi Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
PUTU PRIMAWATI I 0305009
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tugas Akhir:
KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE
Ditulis oleh: Putu Primawati I 0305009
Mengetahui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Ir. Lobes Herdiman, MT NIP. 19641007 199702 1 001
Retno Wulan Damayanti, ST, MT NIP. 19800306 200501 2 002
Pembantu Dekan I Fakultas Teknik
Ketua Jurusan Teknik Industri
Ir. Noegroho Djarwanti, MT NIP. 19561112 195403 2 007
Ir. Lobes Herdiman, MT NIP. 19641007 199702 1 001
LEMBAR VALIDASI 3
Judul Tugas Akhir :
KAJIAN FISIOLOGI TIGA DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE
Ditulis oleh: Putu Primawati I 0305009
Telah disidangkan pada hari Jum'at tanggal 29 Januari 2010 Di Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta, dengan Dosen Penguji 1. Ir. Munifah, MSIE, MT NIP 19561215 198701 2 001
2. Ilham Priadythama, ST, MT NIP 19801124 200812 1 002
Dosen Pembimbing 1. Ir. Lobes Herdiman, MT NIP 19641007 199702 1 001
3. Retno Wulan Damayanti, ST, MT NIP 19800306 200501 2 002
SURAT PERNYATAAN 4
ORISINALITAS KARYA ILMIAH
Saya mahasiswa Jurusan Teknik Industri UNS yang bertanda tangan di bawah ini, Nama
: Putu Primawati
Nim
: I 0305009
Judul tugas akhir
: Kajian Fisiologi Tiga Desain Prosthetic Kaki Bagian Bawah Lutut pada Amputee Dibanding Orang Normal dengan Mempertimbangkan Nilai Basal Metabolic Rate
Menyatakan bahwa Tugas Akhir (TA) atau Skripsi yang saya susun tidak mencontoh atau melakukan plagiat dari karya tulis orang lain. Jika terbukti bahwa Tugas Akhir yang saya susun mencontoh atau melakukan plagiat dapat dinyatakan batal atau gelar Sarjana yang saya peroleh dengan sendirinya dibatalkan atau dicabut. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila dikemudian
hari
terbukti
melakukan
kebohongan
maka
saya
sanggup
menanggung segala konsekuensinya.
Surakarta,
Januari 2010
Putu Primawati I 0305009
SURAT PERNYATAAN 5
PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Saya mahasiswa Jurusan Teknik Industri UNS yang bertanda tangan di bawah ini, Nama
: Putu Primawati
Nim
: I 0305009
Judul tugas akhir
: Kajian Fisiologi Tiga Desain Prosthetic Kaki Bagian Bawah Lutut pada Amputee Dibanding Orang Normal dengan Mempertimbangkan Nilai Basal Metabolic Rate
Menyatakan bahwa Tugas Akhir (TA) atau Skripsi yang saya susun sebagai syarat lulus Sarjana S1 disusun secara bersama-sama dengan Pembimbing 1 dan Pembimbing 2. Bersamaan dengan syarat pernyataan ini bahwa hasil penelitian dari Tugas Akhir (TA) atau Skripsi yang saya susun bersedia digunakan untuk publikasi dari proceeding, jurnal, atau media penerbit lainnya baik di tingkat nasional maupun internasional sebagaimana mestinya yang merupakan bagian dari publikasi karya ilmiah Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Surakarta,
Januari 2010
Putu Primawati I 0305009
KATA PENGANTAR
6
Segala puji bagi Allah Bapa yang telah memberi anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan Laporan Tugas Akhir “Kajian Fisiologi Tiga Desain Prosthetic Kaki Bagian Bawah Lutut pada Amputee Dibanding Orang Normal dengan Mempertimbangkan Nilai Basal Metabolic Rate” ini dengan baik. Dengan segenap ketulusan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas segala bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat menyelasaikan Laporan Tugas Akhir ini. Penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Allah Bapa atas anugerah, karunia, dan segalanya yang memampukan penulis menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini. 2. Ibu dan Bapak atas dukungan dan doa yang tak pernah putus sehingga berhasil menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini. Sayang selalu. 3. Bapak Ir. Lobes Herdiman, MT selaku Ketua Jurusan Teknik Industri Universitas Sebelas Maret Surakarta, Pembimbing Akademik, dan Dosen Pembimbing 1. Terima kasih atas bimbingan, bantuan, dan kesabaran bapak selama penyelesaian Laporan Tugas Akhir. 4. Ibu Retno Wulan Damayanti ST, MT selaku Dosen Pembimbing 2, terima kasih atas segala bimbingan, masukan, dan semangat ibu selama penyelesaian Laporan Tugas Akhir. 5. Ibu Ir. Munifah, MSIE, MT dan Bapak Ilham Priadythama, ST, MT selaku Dosen Penguji, terima kasih atas masukan dan perbaikan untuk Laporan Tugas Akhir ini. 6. Bapak Taufik Rohman STP, MT selaku koordinator Tugas Akhir yang telah membantu mempermudah pelaksanaan Tugas Akhir ini. 7. Seluruh dosen Teknik Industri yang telah mewariskan indahnya ilmu Teknik Industri kepada penulis. Serta seluruh Admin TI atas segala bantuannya. 8. Adik terkasih, Titis dan seluruh keluargaku serta Pandu tercinta atas dukungan, semangat, dan doanya dalam penyelesaian laporan Tugas Akhir ini. 9. Bala 2005 TI UNS atas kebersamaan, keceriaan, semangat, dukungan, dan kerjasama kalian semua. Terima kasih telah menjadi mutiara-mutiara dalam rangkaian hidupku. Tetap sehat, tetap semangat, sukses akan kita raih. 10. Teman-teman seperjuangan –Agus, Anna, Galih– terima kasih atas semangat dan kegilaannya yang membuat tetap bertahan. Merdeka!!! 7
11. Sohib-sohib terbaik –Dian, Imung, Anna, Endri, Danang, Rony, Adwin– untuk bantuan, semangat, keceriaan, dan doanya. Yes we can!!! 12. Sobat D’Kanerz, it’s a gift being part of you, guys. Terima kasih untuk semangat dan keceriaan yang menulariku. 13. My sisters –Rani, Arum, Vanny, Djenk Wied, Tante Yuun, Mba End– atas semangat, nasihat, dan doanya. Loph you, sisto. 14. Semua pihak yang belum tertulis di atas, terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya. Sebagai akhir dari kata pengantar ini, penulis menyampaikan bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Saran dan kritik diharapkan untuk perbaikan. Semoga laporan ini bermanfaat dan dapat memberikan inspirasi bagi semua, Amiin. Mohon maaf & terima kasih.
Surakarta,
Januari 2010
Penulis
ABSTRAK Putu Primawati, NIM: I 0305009. KAJIAN FISIOLOGI TIGA
DESAIN PROSTHETIC KAKI BAGIAN BAWAH LUTUT PADA AMPUTEE DIBANDING ORANG NORMAL DENGAN MEMPERTIMBANGKAN NILAI BASAL METABOLIC RATE. Skripsi. Surakarta : Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Januari 2010. 8
Berjalan merupakan salah satu aktivitas dasar yang dilakukan oleh alat gerak bagian bawah, yaitu kaki. Kehilangan pada bagian tersebut, yang disebut amputasi, menimbulkan keterbatasan dalam berjalan. Keterbatasan ini dapat dipenuhi dengan adanya alat bantu gerak (prosthetic). Penggunaan alat ini menyebabkan peningkatan energi sebesar 10-15% untuk berjalan. Padahal besarnya penggunaan energi ini perlu mempertimbangkan nilai Basal Metabolic Rate (BMR). Prosthetic kaki bawah lutut yang dikaji adalah jenis eksoskeletal, endoskeletal Merek Regal, dan endoskeletal Pengembangan. Penelitian ini mengkaji fisiologi terhadap aktivitas berjalan pada amputee dengan menggunakan tiga desain prosthetic tersebut dibandingkan dengan orang normal. Metode pengukuran fisiologi yang digunakan meliputi empat kriteria, yaitu %CVL (Cardiovasculair Load), energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen. Pengukuran dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan mengukur denyut nadi. Responden berjumlah 1 orang amputee dan 10 orang normal. Setiap responden berjalan normal pada lintasan 12 meter dan berjalan pada treadmill sejauh 100 meter dengan tiga kecepatan berbeda. Empat kriteria dihitung berdasarkan nilai denyut nadi. Denyut nadi diukur dengan metode 10 denyut dan menggunakan alat sensor pada treadmill. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan memberikan hasil %CVL sebesar 3.21±0.09% yang lebih rendah dibanding dua desain prosthetic lainnya, sedangkan %CVL responden normal yaitu 3.14±0.57%. Hasil pengukuran energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen menunjukkan kestabilan garis yang mirip dengan responden normal. Dimana nilai BMR amputee yaitu 1372 Kkal/hari, sedangkan nilai BMR responden normal berkisar 1472±8.48 Kkal/hari dan keduanya masuk dalam kategori BMI (Body Mass Index) yaitu ‘langsing’. Hal tersebut menunjukkan bahwa desain prosthetic kaki bagian bawah lutut terbaik dalam mengakomodasi aktivitas berjalan yaitu desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan karena memberikan nilai pengukuran fisiologi yang paling mendekati responden normal Kata kunci: fisiologi, prosthetic kaki bagian bawah lutut, BMR xvii + 133 halaman; 64 gambar; 38 tabel; 1 lampiran Daftar pustaka: 26 (1919-2009)
ABSTRACT Putu Primawati, NIM: I 0305009, PHYSIOLOGY STUDY OF THREE BELOW KNEE PROSTHETIC DESIGN ON AMPUTEE COMPARE TO NORMAL PEOPLE CONSIDERING BASAL METABOLIC RATE VALUE. Thesis. Surakarta: Industrial Engineering Department, Faculty of Engineering, Sebelas Maret University, Januari 2010. Walking is one of basic activity done by lower part moving device, called leg. Losing at the division, called amputation, generates limitation in walking. 9
This limitation can be completed by artificial limbs (prosthetic). Usage of this device causes improvement of energy about 10-15% for walking. Besides the level of improvement energy need to consider Basal Metabolic Rate (BMR) value. Below knee prosthetic designs studied in this experiment are exoskeleton, Regal endoskeleton, and Expansion endoskeleton. This research study physiology to walking activity at amputee by using those three prosthetic designs compared to normal people. Method of physiology applied covers four criterions. They are %CVL (Cardiovasculair Load), energy expenditure, calorie requirement, and oxygen consumption. Measurement is done indirectly with measuring pulse. One amputee and ten normal people selected for this research. Each responder is walking normally 12 meters and in treadmill 100 meters with three different speeds. The criterions are calculated based on pulse value. Pulse is measured with 10 pulses method and applies censor device at treadmill. Result of research indicates that Expansion endoskeleton prosthetic design gives result of %CVL value 3.21±0.09% lower than two other prosthetic designs, while %CVL normal responder is 3.14±0.57%. Result of energy expenditure, calorie requirement, and oxygen consumption shows stability of line looking like normal responder. Amputee’s BMR value is 1372 Kkal/hari, while value BMR of normal responder approximately 1472±8.48 Kkal/hari. Both amputee and normal responder categorize BMI (Body Mass Index) that is ‘slim’. The conclusion for best below knee prosthetic in accommodating walking activity is Expansion endoskeleton prosthetic design because giving value of nearest physiology of normal people. Keywords: physiology, below knee prosthetic, BMR xvii + 133 pages; 64 figures; 38 tables; 1 appendixes References: 26 (1919-2009)
10
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii LEMBAR VALIDASI .............................................................................. iii SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA ILMIAH ............................ iv SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................................... v KATA PENGANTAR ............................................................................... vi ABSTRAK ................................................................................................. viii ABSTRACT .............................................................................................. ix DAFTAR ISI ............................................................................................. x DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xv BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................... I-1 1.1 Latar Belakang ....................................................................... I-1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................... I-4 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... I-4 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. I-4 1.5 Batasan Masalah ..................................................................... I-4 1.6 Asumsi .................................................................................... I-5 1.7 Sistematika Penulisan ............................................................ I-5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. II-1 2.1 Prosthetic ............................................................................... II-1 2.1.1 Definisi prosthetic ......................................................... II-1 2.1.2 Komponen prosthetic kaki bawah lutut ............................. II-2 2.1.3 Prosthetic bawah lutut yang berkembang di Indonesia ... II-8 2.2 Pola Jalan Normal Pada manusia ........................................... II-9 2.2.1 Fase berjalan ................................................................. II-9 2.2.2 Gerakan anggota tubuh saat berjalan ............................ II-11 2.3 Body Mass Index (BMI) ........................................................ II-15 2.4 Metabolisme Basal ................................................................. II-16 2.5 Konsep Fisiologi Manusia ..................................................... II-18 2.5.1 Aktivitas fisik manusia .................................................. II-18 11
2.5.2 Kelelahan (Fatique) ...................................................... II-22 2.5.3 Denyut jantung ............................................................. II-25 2.5.4 Energi ekspenditur ........................................................ II-29 2.5.5 Aerobic capacity ............................................................ II-31 2.6 Penelitian Sebelumnya ........................................................... II-33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................
III-1
3.1 Identifikasi Masalah ………….............................................
III-2
3.2 Pengumpulan Data ................................................................. III-4 3.3 Pengolahan Data ..................................................................... III-7 3.4 Analisis Data dan Interpretasi Hasil ...................................... III-8 3.5 Kesimpulan dan Saran ............................................................ III-8 BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA .................. IV-1 4.1 Pengumpulan Data ................................................................. IV-1 4.1.1 Desain prosthetic kaki bawah lutut …........................... IV-1 4.1.2 Pengguna prosthetic kaki bawah lutut ......................... IV-4 4.1.3 Responden normal ........................................................ IV-7 4.2 Pengolahan Data .................................................................... IV-12 4.2.1 Menentukan nilai BMI .................................................. IV-12 4.2.2 Menentukan nilai BMR ................................................. IV-14 4.2.3 Menentukan denyut nadi ............................................... IV-15 4.2.4 Menentukan tingkat kelelahan ...................................... IV-20 4.2.5 Menentukan energi ekspenditur .................................... IV-40 4.2.6 Menentukan kebutuhan kalori ....................................... IV-45 4.2.7 Menentukan konsumsi oksigen ...................................... IV-51 4.2.8 Perbandingan hasil pengukuran pada pengguna prosthetic dan responden normal .................................. IV-58 BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL .............................. V-1 5.1 Analisis Hasil Penelitian ......................................................... V-1 5.1.1 Analisis Hasil Perhitungan Nilai BMI dan BMR ........... V-1 5.1.2 Analisis Hasil Perhitungan %CVL ................................ V-2 5.1.3 Analisis Hasil Perhitungan %CVL per Fase ................. V-4 5.1.4 Analisis Hasil Perhitungan Energi Ekspenditur ................. V-7
xii
5.1.5 Analisis Hasil Perhitungan Kebutuhan Kalori .................V-9 5.1.6 Analisis Hasil Perhitungan Konsumsi Oksigen ................. V-11 5.1.7 Analisis terhadap Faktor yang Perlu Dikontrol ….......... V-13 5.2 Interpretasi Hasil ..................................................................... V-16 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... VI-1 6.1 Kesimpulan .............................................................................. VI-1 6.2 Saran ...................................................................................... VI-1 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL Hal. Tabel 2.1
Perbandingan nonartikulasi dan artikulasi assembly ......... II-4
Tabel 2.2
Klasifikasi body mass index (BMI) menurut WHO .......... II-15
Tabel 2.3
Klasifikasi body mass index (BMI) orang Asia dewasa .... II-16
Tabel 2.4
Kebutuhan energi untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan ........................................................................... II-20
Tabel 2.5
Kebutuhan energi untuk aktivitas fisik manusia ............... II-21
Tabel 2.6
Klasifikasi kerja berdasarkan % CVL ............................... II-28
Tabel 4.1
Data denyut nadi aktivitas berjalan normal pengguna prosthetic ........................................................................... IV-6
Tabel 4.2
Data denyut nadi aktivitas berjalan di treadmill pengguna prosthetic ........................................................................... IV-7
Tabel 4.3
Data denyut nadi aktivitas berjalan normal responden normal ................................................................................ IV-9 Data denyut nadi aktivitas berjalan pada treadmill responden normal .............................................................. IV-11
Tabel 4.4 Tabel 4.5
Nilai BMI pada responden normal .................................... IV-14
Tabel 4.6
Nilai BMR pada responden normal ................................... IV-15
Tabel 4.7
Hasil perhitungan denyut nadi pengguna prosthetic ......... IV-17
Tabel 4.8
Hasil perhitungan denyut nadi responden normal ............. IV-19
Tabel 4.9
Hasil perhitungan % CVL pengguna prosthetic ............... IV-21
Tabel 4.10
Hasil perhitungan % CVL responden normal ................... IV-23
Tabel 4.11
Hasil pengamatan jumlah siklus berjalan pada pengguna prosthetic ........................................................................... IV-25
Tabel 4.12
Distribusi % CVL per siklus pada pengguna prosthetic .. IV-27
Tabel 4.13
Nilai % CVL per siklus terbesar pada pengguna prosthetic ........................................................................... IV-28
Tabel 4.14
Waktu per fase berjalan pada pengguna prosthetic ........... IV-29
Tabel 4.15
Distribusi nilai % CVL per fase pada pengguna prosthetic ........................................................................... IV-30 Hasil pengamatan jumlah siklus berjalan pada responden normal ................................................................................ IV-32
Tabel 4.16 Tabel 4.17
Distribusi % CVL per siklus pada responden normal ...... IV-33
Tabel 4.18
Nilai % CVL per siklus terbesar pada responden normal.. IV-34
xiv
Tabel 4.19
Waktu per fase berjalan pada responden normal .............. IV-35
Tabel 4.20
Distribusi nilai % CVL per fase pada responden normal... IV-37
Tabel 4.21
Hasil perhitungan energi ekspenditur pengguna prosthetic ........................................................................... IV-41
Tabel 4.22
Hasil perhitungan energi ekspenditur responden normal... IV-43
Tabel 4.23
Hasil perhitungan kebutuhan kalori pengguna prosthetic.. IV-47
Tabel 4.24
Hasil perhitungan kebutuhan kalori responden normal ..... IV-49
Tabel 4.25
Hasil perhitungan konsumsi oksigen pengguna prosthetic IV-53
Tabel 4.26
Hasil perhitungan konsumsi oksigen responden normal.... IV-55
Tabel 4.27
Rekapitulasi hasil perbandingan % CVL .......................... IV-58
Tabel 4.28
Rekapitulasi hasil perbandingan % CVL per fase ............. IV-59
Tabel 4.29
Rekapitulasi hasil perbandingan energi ekspenditur ......... IV-60
Tabel 4.30
Rekapitulasi hasil perbandingan kebutuhan kalori ............ IV-62
Tabel 4.31
Rekapitulasi hasil perbandingan konsumsi oksigen .......... IV-63
Tabel 5.1
Perbandingan nilai maksimum-minimum %CVL per fase V-6
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1
Hal. Prosthetic bawah lutut ...................................................... II-2
Gambar 2.2
Nonarticulated foot-ankle assembly .................................. II-3
Gambar 2.3
Articulated foot-ankle assembly ........................................ II-4
Gambar 2.4
Jenis shank pada prosthetic ............................................... II-5
Gambar 2.5
Jenis socket pada prosthetic .............................................. II-6
Gambar 2.6
Cuff suspension ................................................................. II-7
Gambar 2.7
Waist belt ........................................................................... II-7
Gambar 2.8
Thigh corset ....................................................................... II-8
Gambar 2.9
Prosthetic bawah lutut patellar tendon bearing (PTB) ...... II-9
Gambar 2.10
Siklus pola jalan (gait cycle) ............................................. II-10
Gambar 2.11
Fase berdiri (stance phase) ............................................... II-10
Gambar 2.12
Fase berayun (swing phase) .............................................. II-11
Gambar 2.13
Gerakan kaki dan sendi pada fase heel contact ................. II-11
Gambar 2.14
Gerakan kaki dan sendi pada fase foot flat dan acceleration ....................................................................... II-12
Gambar 2.15
Gerakan kaki dan sendi pada fase point midstance dan midswing ........................................................................... II-12
Gambar 2.16
Gerakan kaki dan sendi pada fase heel off ........................ II-12
Gambar 2.17
Gerakan kaki dan sendi pada fase toe off dan deceleration ....................................................................... II-13
Gambar 2.18
Gerakan pinggul dan bahu pada saat berjalan ................... II-13
Gambar 2.19
Gerakan tulang belakang dan bahu pada saat berjalan ...... II-14
Gambar 2.20
Gerakan tulang belakang dan bahu pada saat berjalan ...... II-14
Gambar 2.21
Hubungan massa tubuh dengan nilai BMR ....................... II-17
Gambar 2.22
Hubungan denyut jantung dengan kondisi kerja dan konsumsi energi ................................................................ II-26
Gambar 2.23
Pembagian denyut jantung pada saat beraktivitas ............. II-26
Gambar 2.24
Total energi ekspenditur .................................................... II-30
Gambar 3.1
Metodologi penelitian ....................................................... III-1
Gambar 3.2
Alat yang digunakan dalam penelitian .............................. III-4
Gambar 4.1
Jenis prosthetic yang digunakan ....................................... IV-1
Gambar 4.2
Pengukuran data awal pada pengguna prosthetic ............. IV-5
xvi
Gambar 4.3
Fase berjalan pada pengguna prosthetic ........................... IV-6
Gambar 4.4
Fase berjalan pada responden normal ............................... IV-10
Gambar 4.5
Grafik hasil pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic IV-17
Gambar 4.6
Grafik hasil pengukuran denyut nadi responden normal .. IV-20
Gambar 4.7
Grafik hasil perhitungan % CVL pengguna prosthetic ..... IV-22
Gambar 4.8
Grafik hasil perhitungan % CVL responden normal ........ IV-24
Gambar 4.9
Siklus pola jalan (gait cycle) ............................................. IV-24
Gambar 4.10
Grafik hasil pengamatan terhadap siklus berjalan pengguna prosthetic .......................................................... IV-26
Gambar 4.11
Grafik distribusi % CVL per siklus pengguna prosthetic.. IV-27
Gambar 4.12
Grafik pengamatan nilai % CVL per siklus terbesar pada pengguna prosthetic .......................................................... IV-28
Gambar 4.13
Grafik hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada pengguna prosthetic .......................................................... IV-29
Gambar 4.14
Distribusi % CVL per fase pada pengguna prosthetic ...... IV-30
Gambar 4.15
Distribusi % CVL pada gerak per fase pengguna prosthetic ........................................................................... IV-31
Gambar 4.16
Grafik hasil pengamatan terhadap siklus berjalan responden normal .............................................................. IV-32
Gambar 4.17
Grafik distribusi % CVL per siklus responden normal ..... IV-34
Gambar 4.18
Grafik pengamatan nilai % CVL per siklus terbesar pada responden normal .............................................................. IV-35
Gambar 4.19
Grafik hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada responden normal .............................................................. IV-36
Gambar 4.20
Distribusi % CVL per fase pada responden normal .......... IV-37
Gambar 4.21
Distribusi % CVL pada gerak per fase responden normal IV-38
Gambar 4.22
Energi ekspenditur pada pengguna ketiga desain prosthetic ........................................................................... IV-41
Gambar 4.23
Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 1,2 km/jam) ............................................................................. IV-44
Gambar 4.24
Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 1,6 km/jam) ............................................................................. IV-44
Gambar 4.25
Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 2 km/jam) ............................................................................. IV-45
Gambar 4.26
Kebutuhan kalori pada pengguna ketiga desain prosthetic IV-47
Gambar 4.27
Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 1,2 km/jam) ............................................................................. IV-50
xvii
Gambar 4.28
Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 1,6 km/jam) ............................................................................. IV-50
Gambar 4.29
Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 2 km/jam) ............................................................................. IV-51
Gambar 4.30
Konsumsi oksigen pada pengguna ketiga desain prosthetic ........................................................................... IV-53
Gambar 4.31
Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 1,2 km/jam) ............................................................................. IV-56
Gambar 4.32
Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 1,6 km/jam) ............................................................................. IV-57
Gambar 4.33
Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 2 km/jam) ............................................................................. IV-57
Gambar 4.34
Grafik perbandingan % CVL amputee dan responden normal ............................................................................... IV-59
Gambar 4.35
Grafik perbandingan % CVL per fase amputee dan responden normal .............................................................. IV-60
Gambar 4.36
Grafik perbandingan energi ekspenditur amputee dan responden normal .............................................................. IV-61
Gambar 4.37
Grafik perbandingan kebutuhan kalori amputee dan responden normal .............................................................. IV-63
Gambar 4.38
Grafik perbandingan konsumsi oksigen amputee dan responden normal .............................................................. IV-64
xviii
BAB I PENDAHULUAN Manusia memiliki alat gerak pada tubuhnya, yaitu sepasang tangan sebagai alat gerak atas dan sepasang kaki sebagai alat gerak bawah. Alat gerak tersebut berfungsi dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan sebagai alat penyeimbang tubuh. Ketiadaan salah satu alat gerak tersebut menyebabkan kesulitan dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan fungsi alat gerak serta menimbulkan ketidakseimbangan pada tubuh manusia.
1.1 LATAR BELAKANG Banyak pengukuran dilakukan untuk melihat seberapa jauh tingkat ergonomi suatu alat bantu gerak ketika digunakan. Ergonomi ini didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau dari aspek anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain perancangan (Nurmianto, E., 2004). Ergonomi terkait dengan pengukuran terhadap optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerja. Penelitian ini mengukur besar beban kerja fisik khususnya aktivitas berjalan sehingga dipusatkan pada pengukuran ergonomi dari aspek fisiologi . Pengukuran aspek fisiologi merupakan pengukuran terhadap fungsi organorgan manusia dalam melakukan aktivitas untuk mengukur beban kerja fisik. Aktivitas otot pada kerja fisik mengubah beberapa fungsi dalam tubuh yaitu denyut jantung (heart rate), tekanan darah, output jantung, komposisi kimia dalam darah dan urin, temperatur tubuh, perspiration rate, ventilasi paru-paru dan konsumsi oksigen oleh otot (Sulistyadi dan Susanti, 2003). Pengukuran terhadap perubahan tersebut digunakan untuk mengukur konsumsi energi. Pengukuran fisiologi membantu mengetahui besarnya beban kerja fisik dan konsumsi energi serta oksigen dalam melakukan aktivitas, khususnya dalam berjalan, baik pada orang amputee maupun orang normal. Kehilangan suatu bagian tubuh terutama anggota gerak pada amputee mengakibatkan keterbatasan dalam beraktivitas. Aktivitas berjalan pada amputee dengan alat bantu gerak (prosthetic) tentu berbeda dengan orang normal sehingga
xix
nilai pengukuran fisiologi keduanya pun berbeda. Suatu aktivitas yang dilakukan seorang amputee akan membutuhkan energi dan oksigen dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan orang normal, selain itu tingkat kelelahan pun lebih besar. Verne T. Inman (1968) mengungkapkan bahwa ketiadaan suatu gerakan tubuh karena hilangnya suatu anggota tubuh menyebabkan pemakaian energi meningkat sebesar 10-15%. Pemakaian energi ini dipengaruhi oleh nilai BMR (Basal Metabolic Rate) sebab nilai ini menggambarkan 60-75 % total energi (Rowett Research Institute, 1992). Metabolisme basal merupakan penggunaan energi oleh tubuh ketika berada dalam kondisi istirahat. Nilainya berbeda pada setiap individu tergantung usia, jenis kelamin, dan berat badan. Nilai ini biasanya disebut BMR. Orang dengan nilai BMR tinggi berarti energi terbakar lebih banyak pada kondisi istirahat. Laki-laki dewasa memerlukan kalori untuk metabolisme basal sekitar 23.87 Kkal/hari/kg (Grandjean, 1993). Pengukurannya berkaitan dengan nilai energi dan oksigen yang dibutuhkan. Secara tidak langsung diketahui dengan pengukuran denyut jantung. Orang akan mengalami kelelahan jika siklus kerja fisiologi tidak seimbang antara aktivitas dengan istirahat. Pada laki-laki normal dengan umur 20-40 tahun energi yang dibutuhkan sebesar 2900 Kkal/hari (National Research Council, 1996). Penelitian yang dilakukan Mike Laymon, et al (2008) mengungkapkan bahwa energi yang digunakan untuk laki-laki normal dengan umur 20-40 tahun dan sehat dalam kondisi istirahat sekitar 654,1 kal/jam dan setelah beraktivitas selama 60 menit berkisar antara 389,2-1027,5 kalori. Konsumsi oksigen sekitar 0,36 liter/menit dan sesaat setelah melakukan aktivitas selama 60 menit meningkat menjadi rata-rata 2,12 liter/menit. Penelitian Robert L. Waters, et al (1976) menyebutkan nilai energy cost relatif untuk orang normal sebesar 38% dengan O2 uptake sebesar 13 ± 2.7 ml/kg/menit. Penelitian Robert L. Waters, et al (1976) memberikan nilai besarnya energi yang dibutuhkan oleh amputee ketika berjalan. Penelitian dilakukan terhadap 14 orang below-knee amputee dengan umur berkisar 30 tahun. Rata-rata energy cost relatif yang dibutuhkan oleh below-knee amputee sekitar 35%.
xx
Besarnya oksigen yang dikonsumsi (O2 uptake) yaitu sebesar 15.5 ml/kg/menit. Nilai maximal aerob capacity sekitar 45 ± 9 ml/kg/menit. Perbedaan konsumsi energi dan oksigen antara amputee dengan orang normal kemungkinan dipengaruhi oleh desain prosthetic yang digunakan amputee. Pada penelitian ini akan dikaji tiga desain below-knee prosthetic (BKP) yang berbeda yaitu eksoskeletal, endoskeletal tiruan Otto Bock merek Regal, dan endoskeletal pengembangan. Fokus perbedaan ketiga desain tersebut terletak pada komponen ankle joint. Pada sebuah penelitian (Herdiman, L., 2009) diungkapkan beberapa perbedaan ketiga desain BKP tersebut. Desain prosthetic eksoskeletal merupakan desain yang berkembang di Indonesia. Desain ini mudah dalam pembuatannya dan harganya terjangkau masyarakat. Kekurangan desain ini yaitu kurang presisi, tidak adanya komponen pengganti pergelangan kaki (ankle joint) dan tidak terdapat penguat (pylon) pada bagian dalam. Ankle joint bersifat kaku (fixed) dan tidak fleksibel (unflexibility). Desain prosthetic endoskeletal impor merupakan desain yang lebih modern dibandingkan desain eksoskeletal. Desain ini lebih modern dengan adanya pylon dan komponen ankle joint. Komponen ankle joint didesain dengan sistem double axis yang memungkinkan gerakan flexion dan extension pada bagian ankle yaitu plantarflexion dan dorsiflexion. Salah satunya diproduksi oleh Taiwan dengan merek Regal yang mengadaptasi prosthetic Otto Bock buatan Jerman. Kualitas kepresisian, kenyamanan, bahkan fleksibilitas lebih baik daripada desain eksoskeletal, namun harganya kurang terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, serta karakteristik fisik tidak sesuai untuk digunakan orang Indonesia. Pada tahun 2009 telah dikembangkan prosthetic endoskeletal oleh Lobes Herdiman yang mengakomodasi kekurangan kedua desain prosthetic sebelumnya. Pada desain ini terdapat pylon dan komponen ankle joint. Komponen ankle joint didesain dengan sistem double axis, sama halnya pada desain endoskeletal merek Regal, namun dengan tingkat fleksibilitas yang berbeda. Jika diterapkan di Indonesia, hasilnya lebih baik dibandingkan desain eksoskeletal dan harganya tetap terjangkau. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji fisiologi pengguna prosthetic menggunakan tiga desain prosthetic yang berbeda saat melakukan aktivitas
xxi
berjalan terhadap empat kriteria pengukuran fisiologi. Hasil akhirnya yaitu berupa rekomendasi desain prosthetic dengan pengukuran fisiologi paling mendekati kondisi orang normal.
1.2 PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah yang dapat diangkat adalah bagaimana memilih desain prosthetic kaki bawah lutut dalam mengakomodasi aktivitas berjalan.
1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu pemilihan desain prosthetic kaki bawah lutut dalam mengakomodasi aktivitas berjalan. Sub tujuan yang harus dicapai, yaitu: 1. Mengukur aspek fisiologi yang meliputi tingkat kelelahan (%CVL), energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen yang dikeluarkan oleh pengguna prosthetic kaki bagian bawah lutut dan responden normal yang telah dihitung nilai BMR keduanya terlebih dahulu. 2. Menentukan
desain
prosthetic
terbaik
dengan
memperhatikan
hasil
pengukuran fisiologi yang mendekati kondisi responden normal.
1.4 MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu memberikan rekomendasi pada pengguna prosthetic kaki bawah lutut mengenai desain prosthetic dengan pengukuran fisiologi mendekati responden normal.
1.5 BATASAN MASALAH Batasan masalah dari penelitian pengukuran fisiologi jenis-jenis prosthetic kaki bagian bawah lutut, sebagai berikut: 1. Penelitian dilakukan kepada individu yang hanya kehilangan satu anggota gerak bawah lutut yaitu bagian kanan dan stump (bagian segmen tubuh sisa dari amputasi) masih dapat digerakkan. 2. Responden berjenis kelamin laki-laki. Responden amputee berjumlah satu orang dan responden normal berjumlah sepuluh orang.
xxii
1.6 ASUMSI Asumsi-asumsi yang digunakan pada penelitian pengukuran fisiologi jenis-jenis prosthetic kaki bagian bawah lutut untuk mendekatkan segi teoritis dengan kondisi sebenarnya, sebagai berikut: 1. Responden amputee dan responden normal tidak mempunyai penyakit kelainan jantung. 2. Aspek psikologis tidak mempengaruhi hasil penelitian. 3. Responden amputee sudah terbiasa menggunakan ketiga desain prosthetic.
1.7 SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan penelitian pengukuran fisiologi prosthetic bawah lutut dapat diuraikan seperti di bawah ini. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi alasan atau latar belakang diadakan penelitian mengenai pemilihan desain prosthetic bawah lutut dengan meninjau metabolisme basal dan pengukuran fisiologi disertai pula perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, asumsi, dan sistematika penulisan dari penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi dasar-dasar teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang menunjang pembahasan masalah yaitu mengenai jenis prosthetic, mengenai karakter-karakter pokok prosthetic serta bagian-bagiannya, dan mengenai pengukuran fisiologi serta hal-hal lain yang berkaitan. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini berisi mengenai kerangka pemikiran dari penelitian yang memuat tahap-tahap penelitian mulai dari tahap identifikasi permasalahan awal, tahap pengumpulan dan pengolahan data, tahap pengukuran fisiologi pengguna prosthetic bawah lutut dan orang normal, langkah-langkah pembandingan pengukuran fisiologi, interpretasi hasil, dan penarikan kesimpulan. BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Bab ini berisi data penelitian yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berkenaan dengan hasil eksperimen yang dilakukan terhadap pasien pengguna prosthetic kaki bawah lutut, sedangkan data sekunder merupakan data hasil eksperimen yang dilakukan terhadap sepuluh orang normal xxiii
sebagai bahan pembanding. Eksperimen dan pengambilan data dilakukan di Lab. LPSKE Teknik Industri UNS. Pada bab ini dijelaskan pula cara pengolahan datadata tersebut. BAB V ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini berisi interpretasi dari hasil pengolahan data, baik data primer maupun data sekunder serta membandingkan terhadap tujuan penelitian yang ditetapkan. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan dari hasil pengolahan data penelitian, dan saran untuk penelitian mengenai pengukuran fisiologi serta masukan untuk pemilihan jenis prosthetic kaki bagian bawah lutut.
xxiv
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prosthetic Prosthetic merupakan alat ganti anggota gerak tubuh yang tidak ada. Penjelasan mendetail mengenai definisi dan indikasi prosthetic, fungsi, komponen-komponen, serta bahan prosthetic kaki bagian bawah lutut diuraikan sebagai berikut.
2.1.1 Definisi Prosthetic Prosthetic adalah suatu pengganti artifisial untuk bagian tubuh yang hilang. Meski definisi tersebut berhubungan dengan tidak adanya telinga, mata, gigi atau bagian tubuh lain tetapi yang menjadi pembahasan disini adalah bagian tubuh yang berfungsi sebagai alat gerak (Mehrsheed Sinaki, M.D.,M.S, 1993). Prosthetic dibuat untuk memobilisasi penderita amputasi yaitu mengganti bagian atau fungsi alat tubuh yang hilang. Anggota gerak tubuh terdiri dari anggota gerak atas yaitu lengan dan tangan serta anggota gerak bawah yaitu kaki. Kaki merupakan bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai penopang tubuh (weight bearing) dan sebagai alat gerak bawah (locomotion). Kedua fungsi kaki tersebut menunjang manusia untuk beraktivitas sehari-hari. Pergerakan kaki diatur oleh tulang, sendi, otot dan syaraf. Ketiadaan alat gerak bawah ini dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu amputasi dan defisiensi bawaan. Amputasi adalah pemotongan bagian tubuh karena masalah tertentu seperti misalnya penyakit, trauma atau kecelakaan, dan tumor. Defisiensi bawaan adalah ketiadaan bagian tubuh sejak lahir. Pembahasan berikutnya hanya menyangkut permasalahan kaki saja, karena tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengukur tingkat fisiologi kaki tiruan (prosthetic) dengan tiga desain yang berbeda. Ketiadaan kaki (amputasi) dapat dibagi menjadi empat yaitu ketiadaan kaki bagian atas lutut (above-knee) dan ketiadaan kaki bagian bawah lutut (below-knee), ketiadaan bagian tengah lutut (middle-knee) dan ketiadaan telapak kaki (syme).
xxv
2.1.2 Komponen Prosthetic Kaki Bawah Lutut (Below-Knee Prosthetic) Komponen dasar dari prosthetic bawah lutut (below-knee) terdiri dari foot, ankle, shank, socket, dan sistem suspensi. Bentuk prosthetic bawah lutut ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut. Sistem suspensi
Socket
shank Ankle
Foot
Gambar 2.1 Prosthetic bawah lutut (below-knee) Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990
Bagian-bagian prosthetic bawah lutut: 1. Foot – ankle, Foot (kaki dasar) dan ankle manusia menyerap daya deselerasi pada saat tumit menapak, memberi dukungan selama posisi setengah berdiri tegak, dan menyesuaikan ayunan untuk membuat tubuh tegak dan bergerak ke depan pada tahap selanjutnya. Karakter yang harus dimiliki oleh foot-ankle, yaitu : a. Mampu menahan bobot (berat) tubuh. b. Mampu meredam getaran saat kontak tumit (heel contact). c. Mampu secara cepat mencapai posisi mendatar (foot-flat). d. Mampu mendukung sendi metatarsophalangeal saat fase berdiri. e. Menyerupai atau mirip dengan kontur kaki yang sebenarnya. Terdapat dua jenis assembly foot-ankle, yaitu assembly tanpa artikulasi (nonarticulated) dan assembly dengan artikulasi (articulated). Pada assembly tanpa artikulasi, foot-ankle terdiri dari sambungan yang tidak fleksibel, sedangkan pada assembly dengan artikulasi, sumbu (axis) yang dipasang bersifat fleksibel sehingga memungkinkan pengguna yang aktif untuk berlari dan melompat. Penjelasan mengenai jenis foot-ankle dijabarkan secara lebih lengkap berikut ini. a. Nonarticulated Foot-Ankle Assembly SACH (solid ankle cushion heel) foot merupakan salah satu assembly non artikulasi. Bahan yang biasa dipakai untuk sumbu (axis) adalah kayu atau
xxvi
aluminium dengan bagian tumit dilapisi karet spons. Pergerakan yang dapat dilakukan oleh assembly ini sangat minimal. Gambar 2.2 (a) menunjukkan bentuk SACH foot. Single axis foot merupakan assembly non artikulasi yang kedua. Gerakan yang dihasilkan oleh assembly ini lebih meningkat dibandingkan SACH foot, walaupun gerakannya bukan merupakan gerakan mediolateral ataupun rotasi. Bentuk single axis foot dapat dilihat pada gambar 2.2 (b).
(a) SACH foot
(b) Single axis foot
Gambar 2.2 Nonarticulated foot-ankle assembly Sumber: Prosthetic-Orthetic Education, Nortwestern University Medical School, 1969
b. Articulated Foot-Ankle Assembly Assembly ini sering disebut sebagai kaki dinamis karena memungkinkan pergerakan yang lebih banyak dibandingkan assembly non artikulasi. Terdiri dari axis yang fleksibel dimana pengguna dapat berlari dan melompat dengan nyaman, dan daya dukung atau topangan untuk sepatu lebih besar. Seattle foot adalah salah satu jenis kaki dinamis. Kaki tiruan ini lebih meredam getaran dan lebih menyerap energi pada saat kontak tumit, dengan demikian menyediakan dorongan yang lebih baik. STEN (stored energy) foot juga merupakan kaki dinamis. Kaki tiruan ini terdiri dari tiga bagian axis yang terbuat dari kayu yang dikombinasikan dengan tiga penyumbat dari karet. Perpindahan atau transfer bobot badan ke kaki pertamatama menekan penyumbat. Desain ini memungkinkan jumlah energi yang keluar lebih sedikit dibanding assembly non artikulasi. Dibandingkan dengan SACH foot, kaki ini lebih berat dan lebih mahal. Bentuk kaki dari seattle foot dan STEN foot dapat dilihat pada gambar 2.3.
xxvii
(a) Seattle foot
(b) STEN foot
Gambar 2.3 Articulated foot-ankle assembly Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990
Perbandingan kelebihan dan kekurangan antara non artikulasi assembly dan artikulasi assembly dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Perbandingan nonartikulasi dan artikulasi assembly Komponen
Kelebihan
Single axis foot statis
1. Meningkatkan stabilitas lutut. 2. Harganya murah. 3. Perawatan mudah dan murah.
SACH foot
1. 2. 3. 4.
Dynamic foot
Harga murah. Perawatan mudah dan murah. Beragam ukuran dan tinggi. Dapat dipakai oleh setiap level amputasi. 5. Paling banyak dipakai untuk prosthetic kaki. 1. Adanya dorongan atau tenaga saat posisi berdiri. 2. Mengakomodasi individu yang aktif, dapat untuk berlari, melompat dan untuk berjalan jauh.
Kekurangan
1. Tidak mengakomodasi individu yang aktif.
2. Meningkatkan beban lutut. 3. Berjalan menjadi lambat. 1. Tidak ada dorongan atau tenaga saat posisi berdiri.
2. Tidak mengakomodasi individu yang ingin melompat. 3. Berjalan menjadi lambat.
1. Harganya mahal. 2. Perawatan susah dan membutuhkan biaya tambahan. 3. Tidak semua kasus amputasi dapat menggunakan.
2. Shank, Shank adalah bagian penghubung antara foot, ankle dan socket. Shank berfungsi untuk memindahkan dan membagi beban dari socket ke bagian foot. Terdapat dua jenis shank, yaitu exoskeletal dan endoskeletal. Exoskeletal shank pada umumnya dibuat dari bahan yang ringan namun kuat dan kokoh. Bahan yang sering dipakai misalnya plastik, aluminium dan kayu. Pada exoskeletal shank, ruang bagian bawah socket dan blok ankle dilubangi untuk mengurangi berat. Pada endoskeletal shank, terdapat tambahan tumpuan yang berupa tonggak untuk lebih memperkokoh dan memudahkan pemindahan beban dari socket ke bagian foot. Tonggak pada endoskeletal shank terbuat dari logam atau pipa plastik.
xxviii
Bagian luar juga dilapisi dengan bahan yang lembut agar penampilan menyerupai kaki yang sebenarnya. Keuntungan exoskeletal shank yaitu selain murah, pembuatannya mudah, pelapisan bagian luar lebih berdaya tahan. Kekurangan dari shank ini yaitu kemampuan menopang tubuh lebih kecil dibanding endoskeletal shank. Keuntungan endoskeletal shank yaitu lebih modern, lebih mampu menopang beban tubuh, lebih kuat. Kekurangan shank ini yaitu lebih mahal, pembuatan lebih sulit dan rumit, pelapisan bagian luar kurang berdaya tahan. Bentuk kedua jenis shank dapat dilihat pada gambar 2.4.
(a) Exoskeletal shank
(b) Endoskeletal shank
Gambar 2.4 Jenis shank pada prosthetic Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990
3. Socket, Socket adalah bagian dari prosthetic sebagai tempat dimasukkannya puntung kaki (stump) yang masih ada. Jadi bagian ini menyambung atau berhubungan langsung dengan puntung kaki, bahkan tak jarang socket ini menempel pas pada bagian puntung. Socket harus mampu menyokong bobot badan dan mendukung sisa puntung secara kuat dan nyaman untuk semua aktivitas pengguna. Socket dibuat menempel pas pada sisa puntung secara kuat untuk mengurangi gerakan atau gesekan antara socket dan kulit. Banyak gesekan antara socket dan kulit menyebabkan pengguna merasa kurang nyaman selama beraktivitas, dan mengakibatkan resiko yang lebih besar pada abrasi kulit. Pembuatan socket didasarkan pada ukuran puntung tiap-tiap pengguna agar socket menempel dengan tepat. Jadi setiap pengguna mempunyai ukuran socket yang berbeda. Pembuat prosthetic mencatat karakter puntung dari masing-
xxix
masing pengguna, mengukur puntung, mengukur batang kaki yang masih utuh untuk kesimetrisan, kemudian membuat cetakan untuk pengepasan socket. Rancangan yang paling sering dipakai adalah socket PTB (patellartendon-bearing). Socket ini dirancang untuk berbagi berat badan pada tendon patellar. Socket ini dirancang benar-benar menempel total dengan ujung tungkai sehingga edema dan masalah kulit diminimalkan. Pada bagian dalam ditambahkan bahan lembut agar puntung kaki lebih nyaman. Jenis socket yang kedua yaitu socket keras (hard socket). Jenis ini tidak menyertakan bahan lembut di bagian dalam socket. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi bagi puntung kaki yang memakai socket ini yaitu puntung kaki harus benar-benar mature yaitu sembuh tanpa ada luka maupun bengkak sedikitpun dan jaringan pada puntung harus bagus. Hard socket tidak cocok bagi individu dengan jaringan bagian puntung yang kurang bagus, yang mengalami masalah pembuluh darah, yang urat puntungnya sensitif, dan yang ukuran puntung senantiasa berubah ukuran. Hasil pengembangan socket adalah ISNY (Icelandic-Swedish-New York University) PTB socket merupakan hasil penelitian gabungan negara-negara tersebut. Bahannya dari karbon fiber ditambah laminasi frame untuk memindahkan bobot. Kelebihannya yaitu lebih ringan, lebih nyaman, fleksibel dan lebih tipis. Kekurangannya antara lain, karena tipis maka kurang berdaya tahan, serta penampilan yang diberi frame tersebut menjadi kurang menarik. Bentuk socket PTB dan bentuk socket ISNY dapat dilihat pada gambar 2.5.
(a) Socket PTB (b) Socket ISNY Gambar 2.5 Jenis socket pada prosthetic Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990
4. Sistem Suspensi, Sistem suspensi merupakan bagian yang berfungsi untuk mengaitkan keseluruhan prosthetic pada bagian dari tubuh kita. Tujuannya agar prosthetic
xxx
terpasang sempurna pada tungkai kaki. Sistem suspensi bermacam-macam jenisnya, berikut beberapa jenis suspensi tersebut. a. Cuff Suspension, Menggunakan manset yang terbuat dari kulit atau anyaman dakron yang kuat untuk dipasangkan pada bagian dalam socket yang kemudian diikatkan pada bagian paha. Bentuk suspensi ini dapat dilihat pada gambar 2.6. Cuff Suspension
Gambar 2.6 Cuff suspension Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990
b. Waist belt, Menggunakan manset yang terbuat dari kulit atau anyaman dakron yang kuat, namun tidak diikatkan pada paha, melainkan diikatkan mengelilingi pinggang. Ikat pinggang yang dipasangkan di pinggang terbuat dari anyaman katun. Biasanya dipakai pada individu dengan stump yang pendek. Gambar 2.7 menunjukkan bentuk waist belt. Waist belt
Gambar 2.7 Waist belt Sumber: Bella J. May, EdD, 1996
c. Thigh corset, Sistem penggantung menggunakan waist belt dengan dililitkan pada pinggang. Terdapat tambahan yaitu pada paha dipasang korset yang berfungsi memperkuat penggantung. Sistem ini merupakan ciri prosthetic bawah lutut konvensional. Gambar 2.8 memperlihatkan bentuk dari thigh corset.
xxxi
Thigh corset
Gambar 2.8 Thigh corset Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1999
2.1.3 Prosthetic Bawah Lutut yang Berkembang di Indonesia Terdapat dua jenis prosthetic bawah lutut yang secara resmi berkembang di Indonesia yaitu prosthetic bawah lutut konvensional dan prosthetic bawah lutut patellar tendon bearing (PTB). Prosthetic bawah lutut PTB lebih modern dibanding prosthetic bawah lutut konvensional. Keterangan mengenai masingmasing jenis prosthetic dipaparkan lebih jelas. 1. Prosthetic bawah lutut konvensional. Ciri khas jenis ini adalah sistem suspensi berupa thigh corset. Weight bearing atau penopangan tubuh dibebankan pada paha, maka thigh corset ini sangat berperan. Jenis ini kurang modern dan merepotkan karena sulitnya pemasangan tali pada korset sehingga kurang diminati pasien amputasi. 2. Prosthetic bawah lutut patellar tendon bearing (PTB) Jenis prosthetic ini lebih modern dibandingkan prosthetic konvensional. Weight bearing atau penopangan tubuh dibebankan pada tendon patella lutut. Jenis ini lebih banyak dipesan karena selain lebih modern, prosthetic jenis ini juga lebih praktis dikenakan bagi pengguna. Gambar 2.9 menunjukkan bentuk dari prosthetic jenis patellar tendon bearing (PTB).
xxxii
Gambar 2.9 Prosthetic bawah lutut patellar tendon bearing (PTB) Sumber: Dokumentasi RSOP Prof.Dr.R. Soeharso Solo, 2003
2.2 POLA JALAN NORMAL PADA MANUSIA Berjalan merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh manusia untuk berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lain. Kegiatan berjalan merupakan kegiatan yang sangat kompleks. Pada saat berjalan hampir semua anggota tubuh manusia ikut bergerak untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. Menurut Grandjean (1993), aktivitas berjalan normal dilakukan dengan jumlah langkah tiap menitnya sebesar 75 langkah sampai dengan 110 langkah dengan jarak tiap langkah berkisar antara 50 cm sampai dengan 75 cm. Kecepatan berjalan manusia sangat dipengaruhi oleh jenis alas kaki yang dipakai. Orang normal biasanya berjalan dengan kecepatan antara 4 km/jam sampai dengan 5 km/jam. Pada saat berjalan terjadi beberapa fase yang dialami oleh manusia. 2.2.1 Fase Berjalan Siklus pola jalan (gait cycle) dimulai saat kaki menyentuh lantai dan berakhir pada kontak kaki yang sama pada lantai. Dua komponen utama siklus pola jalan (gait cycle) manusia adalah fase berdiri (stance phase) dan fase berayun (swing phase). Anggota tubuh berada pada fase berdiri (stance phase) ketika kaki menyentuh lantai dan anggota tubuh berada pada fase berayun (swing phase) ketika salah satu kaki tidak menyentuh lantai. Jumlah relatif waktu yang dipakai tiap fase pada siklus pola jalan untuk kecepatan berjalan pada umumnya, yaitu: 1. Fase berdiri (stance phase) – 60% dari siklus, 2. Fase berayun (swing phase) – 40% dari siklus.
xxxiii
Siklus pola jalan manusia dapat dilihat pada gambar 2.10.
Gambar 2.10 Siklus pola jalan (gait cycle) Sumber: Lower-limb prosthetics, 1990
Berdasarkan gambar 2.10, fase-fase berjalan dijelaskan dalam uraian berikut. 1. Fase berdiri (stance phase), Fase berdiri (stance phase) dikelompokkan menjadi lima bagian yaitu kontak dengan tumit (heel contact), kaki datar (foot-flat), titik setengah berdiri (midstance point), tumit terangkat (heel-off) dan jari kaki terangkat (toe-off). Fase berdiri (stance phase) dapat dilihat pada gambar 2.11.
Gambar 2.11 Fase berdiri (stance phase) Sumber: Lower-limb prosthetics, 1990
Dari gambar 2.11 dapat dilihat fase berdiri pada saat berjalan. Kontak dengan tumit (heel-contact) mengacu pada saat tumit menyentuh lantai dalam waktu yang singkat, kaki datar (foot-flat) mengacu pada saat kontak awal kaki depan dengan lantai, titik setengah berdiri (midstance point) terjadi pada saat trochanter berada pada posisi lurus vertikal dengan bisector vertikal terhadap kaki, tumit terangkat (heel-off) terjadi pada saat tumit naik dari lantai dan jari kaki terangkat (toe-off) terjadi ketika jari kaki meninggalkan lantai. 2. Fase berayun (swing phase), Fase berayun (swing phase) dibagi dalam tiga interval yaitu akselerasi (acceleration), setengah berayun (midswing) dan penurunan kecepatan (decelaration). Setiap bagian membentuk sepertiga dari fase berayun (swing phase). Fase berayun (swing phase) dapat dilihat pada gambar 2.12.
xxxiv
Gambar 2.12 Fase berayun (swing phase) Sumber: Lower-Limb Prosthetics, 1990
Dari gambar 2.12 dapat dilihat fase berayun pada saat berjalan. Bagian pertama adalah periode akselerasi (acceleration) merupakan kecepatan akselerasi anggota tubuh bagian bawah setelah jari kaki meninggalkan lantai. Interval selanjutnya adalah interval setengah berayun (midswing) dimana anggota kaki yang berayun terangkat dan bergerak kedepan menuju bagian tubuh yang berada di fase berdiri (stance phase). Bagian akhir dari fase berayun (swing phase) ditandai dengan penurunan kecepatan dari pergerakan anggota tubuh yang cepat sebagai pendekatan akhir dari interval. 2.2.2 Gerakan Anggota Tubuh Pada Saat Berjalan Berjalan merupakan kegiatan yang melibatkan gerak dari hampir semua bagian tubuh manusia. Pergerakan bagian-bagian tubuh pada saat berjalan berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan tubuh manusia. Bagian tubuh yang berperan menjaga keseimbangan saat berjalan (Rubberbug, 2008), yaitu: 1. Bagian telapak kaki dan tungkai bawah, Bagian kaki dan tungkai bawah ini merupakan bagian terpenting pada saat berjalan. Kedua bagian ini menggerakkan tubuh ke depan dan bagian sendi harus ditekuk agar kita berjalan secara normal. Berjalan diawali dengan mengayunkan kaki kedepan sehingga beban tubuh berpindah ke kaki bagian depan. Pergerakan inilah yang disebut sebagai heel contact. Pergerakan kaki dan sendi-sendi tubuh pada posisi ini dapat dilihat pada gambar 2.13.
Gambar 2.13 Gerakan kaki dan sendi pada fase heel contact Sumber: Rubberbug, 2008
xxxv
Saat beban tubuh berada di bagian kaki depan, lutut menekuk untuk menyerap goncangan. Posisi ini disebut foot flat (pada fase berdiri) atau posisi acceleration (pada posisi berayun). Tubuh memiliki titik terendah. Pergerakan kaki dan sendi-sendi tubuh pada posisi ini dapat dilihat pada gambar 2.14.
Gambar 2.14 Gerakan kaki dan sendi pada fase foot flat dan acceleration Sumber: Rubberbug, 2008
Saat tubuh bergerak ke depan, lutut menjadi lurus dan mencapai titik tertinggi. Posisi ini disebut sebagai posisi midswing (pada fase berayun) atau posisi point midstance (pada fase berdiri). Pada posisi ini tubuh memiliki titik terendah. Pergerakan kaki dan sendi-sendi tubuhnya dapat dilihat pada gambar 2.15.
Gambar 2.15 Gerakan kaki dan sendi pada fase point midstance dan midswing Sumber: Rubberbug, 2008
Saat tubuh bergerak ke depan, beban tubuh berpindah dari bagian tumit ke bagian jari kaki. Posisi tubuh mulai jatuh ke depan dengan salah satu kaki berayun untuk mencapai tanah. Posisi ini disebut posisi heel off. Pergerakan kaki dan sendi-sendi tubuh pada posisi ini dapat dilihat pada gambar 2.16.
Gambar 2.16 Gerakan kaki dan sendi pada fase heel off Sumber: Rubberbug, 2008
xxxvi
Pergerakan terakhir dari kaki dan tungkai bawah kaki ini terjadio saat kaki yang bebas berayun tersebut menyentuh tanah dan kaki yang menumpu tubuh meninggalkan tanah. Posisi inilah yang disebut sebagai posisi toe off (pada fase berdiri) dan posisi deceleration (pada fase berayun). Pergerakan kaki dan sendisendi tubuh pada posisi ini dapat dilihat pada gambar 2.17.
Gambar 2.17 Gerakan kaki dan sendi pada fase toe off dan deceleration Sumber: Rubberbug, 2008
2. Bagian pinggul, tulang belakang dan bahu, Pinggul merupakan tempat pusat massa (gravitasi) dari tubuh seseorang. Pinggul merupakan awal dari semua keseimbangan pergerakan tubuh. Selama berjalan, pergerakan pinggul dibagi menjadi dua macam. Gerakan pertama, pinggul berputar mengelilingi tulang belakang dengan menggerakkan kaki ke depan dan ke belakang. Jika kaki kanan bergerak ke depan, pinggul juga bergerak ke depan. Gerakan kedua, posisi kaki menarik pinggul melewati poros dan membuat pinggul bergerak ke kiri dan ke kanan. Kedua gerakan ini mempengaruhi
tulang
belakang
dan
bahu
untuk
mempertahankan
keseimbangan. Gerakan pinggul dapat dilihat pada gambar 2.18.
Gambar 2.18 Gerakan pinggul dan bahu pada saat berjalan Sumber: Rubberbug, 2008
Dari gambar 2.18 dapat diketahui bahwa pada saat posisi foot flat, pinggul harus
berotasi
mengelilingi
poros
tulang
belakang.
Untuk
menjaga
keseimbangan, bahu berayun pada arah yang berlawanan. Dari bagian depan, tulang belakang berada pada posisi relatif lurus tapi dari bagian atas, dapat
xxxvii
dilihat posisi dari bahu dan pinggul yang berputar berlawanan untuk mempertahankan keseimbangan.
Gambar 2.19 Gerakan tulang belakang dan bahu pada saat berjalan Sumber: Rubberbug, 2008
Dari gambar 2.19 dapat dilihat bahwa dari pandangan depan, pinggul ditarik oleh beban dari kaki yang bebas berayun. Hal ini menyebabkan perputaran sudut pada bagian bahu. Pada saat dilihat dari atas, dapat dilihat bahwa pinggul dan bahu mempunyai sudut yang sama.
Gambar 2.20 Gerakan tulang belakang dan bahu pada saat berjalan Sumber: Rubberbug, 2008
Dari gambar 2.20 dapat dilihat bahwa pada saat kaki kedua ekstensi, pinggul dan bahu keliahatan sama rata jika dilihat dari bagian depan. Dari bagian atas, dapat dilihat bahwa rotasi dari bahu dan pinggul sudah sempurna. 3. Bagian lengan, Pada saat berjalan, bagian lengan tubuh berayun pada kedua sisi tubuh manusia. Lengan tampak seperti pendulum (bandul ayun). Pada saat lengan melakukan ekstensi secara penuh, hal ini menyebabkan proses berjalan tampak lebih alami. 4. Bagian kepala, Pada saat berjalan normal, posisi kepala biasanya berusaha tegak dengan kondisi mata tetap fokus ke depan untuk mengetahui arah tubuh bergerak. Selain itu, kepala juga dapat berputar ke kiri dan ke kanan untuk mengamati keadaan sekeliling pada saat berjalan.
xxxviii
2.3 BODY MASS INDEX (BMI) Body mass index (BMI) adalah bilangan yang digunakan untuk mengetahui tingkat obesitas seseorang. Body mass index (BMI) disebut juga dengan indeks massa tubuh (BMI). BMI pertama kali diperkenalkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tujuan WHO mengeluarkan BMI ini adalah untuk menetapkan suatu ukuran atau klasifikasi obesitas yang dapat berlaku secara umum dan tidak bergantung pada bias-bias kebudayaan. Nilai BMI tidak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin, namun hanya mempertimbangkan berat badan dan tinggi badan manusia. Keterbatasan BMI adalah tidak dapat digunakan bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, wanita hamil dan orang yang sangat berotot (atlet). BMI ditentukan dengan rumus dibawah ini. BMI =
W ..........................................................................................persamaan 2.1 H2
dengan; W adalah berat badan dalam kg H adalah tinggi badan dalam m Klasifikasi nilai BMI menurut WHO dalam website Forum Obesitas (2008) dapat dilihat pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Klasifikasi body mass index (BMI) menurut WHO Kategori Langsing Proporsional Gemuk a. Pra obesitas b. Obesitas I c. Obesitas II d. Obesitas III
BMI (kg/m2) < 18.5 18.5-24.9 ≥ 25 25-29.9 30-34.9 35-39.9 ≥ 40
Resiko terkena penyakit Rendah Rata-rata Meningkat Sedang Berbahaya Sangat berbahaya
Sumber: WHO dalam Forum Obesitas, 2008
WHO melakukan penelitian mengenai BMI di Singapura pada tahun 2000. Hasil penelitian menunjukkan orang Singapura dengan BMI 27-28 kg/m2 mempunyai lemak tubuh sama dengan orang kulit putih dengan BMI 30 kg/m2. Hasil ini membuat WHO mengeluarkan standar BMI yang secara khusus berlaku bagi orang-orang Asia dewasa. Klasifikasi BMI untuk orang Asia dewasa dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Klasifikasi body mass index (BMI) orang Asia dewasa xxxix
Kategori Langsing Proporsional Gemuk a. Pra obesitas b. Obesitas I c. Obesitas II
BMI (kg/m2) < 18.5 18.5-22.9 ≥ 23 23-24.9 25-29.9 ≥30
Resiko terkena penyakit Rendah Rata-rata Meningkat Sedang Berbahaya
Sumber: WHO dalam Forum Obesitas, 2008
Dari tabel 2.3 dapat dilihat bahwa ukuran BMI untuk orang Asia berbeda dengan BMI orang Eropa. BMI untuk orang Asia tidak ada klasifikasi untuk obesitas III seperti pada BMI orang Eropa.
2.4 METABOLISME BASAL Metabolisme basal adalah istilah untuk menunjukkan jumlah keseluruhan aktivitas metabolisme dengan tubuh dalam keadaan istirahat fisik dan mental. Kecepatan metabolisme basal diukur pada waktu istirahat, di tempat tidur, tidak terganggu oleh apapun dengan pemasukan oksigen dan pengeluaran karbon dioksida diukur. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme basal yaitu ukuran tubuh (luas permukaan atau massa tubuh), umur, jenis kelamin, iklim, jenis pakaian yang dipakai, dan jenis pekerjaan. Hubungan antara kecepatan metabolisme basal beberapa jenis makhluk hidup dengan massa tubuhnya dapat dilihat pada gambar 2.21. Kebutuhan energi suatu individu tergantung pada kondisi metabolismenya, diwujudkan dalam nilai basal metabolic rate (BMR) dan tingkat keaktifan tubuh. BMR adalah tingkat konsumsi tenaga pada tubuh saat posisi diam. Pentingnya mengetahui nilai BMR yaitu mampu menghitung dengan teliti berkaitan dengan keseimbangan energi dalam tubuh kita. Nilai BMR normal rata-rata 92 Kkal/jam atau 1200-1800 Kkal/hari. Nilai BMR berbeda-beda pada setiap orang tergantung usia, jenis kelamin, dan genetika. Pada setiap orang BMR ada kemungkinan nilainya berubah tergantung kondisi yang berbeda. Misalnya, dalam kondisi stres nilai BMR cenderung lebih tinggi. Nilai BMR juga lebih tinggi pada orang aktif (atlet), anak-anak, dan wanita hamil. Saat orang beranjak tua, BMR mereka semakin berkurang yaitu berkurang 2% untuk setiap 10 tahun.
xl
Gambar 2.21 Hubungan massa tubuh dengan nilai BMR Sumber: School of Health Sciences, Universitas Sains Malaysia, 1995
BMR dapat dijelaskan sebagai jumlah minimum dari kalori-kalori yang diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi dan proses-proses tubuh ketika beristirahat, seperti bernafas dan memompa darah dari dan menuju jantung. Selain BMR, tingkat latihan fisik serta jumlah lemak dan otot pada tubuh mempengaruhi banyaknya kalori yang terbakar pada seseorang dalam satu hari. BMR melambangkan sekitar 60-75% dari total energi pada tubuh. BMR memegang sekitar tiga perempat atas kebutuhan tenaga suatu individu. Determinan utama dari BMR adalah berat badan dan komposisi tubuh. Laki-laki biasanya mempunyai nilai BMR 10-15% lebih tinggi dibandingkan wanita karena mereka cenderung memiliki lebih banyak otot. BMR dapat diartikan sebagai jumlah panas yang diproduksi (heat production) oleh tubuh dalam kondisi basal per satuan luas tubuh per satuan waktu. Murrel (1965) merumuskan persamaan waktu istirahat yang dibutuhkan dalam siklus kerja fisiologi. Dalam rumusan tersebut nilai metabolisme basal ditetapkan senilai 1.5 Kkal/menit. Ada beberapa perumusan untuk menentukan nilai BMR seseorang, salah satunya adalah persamaan menurut Harris dan Benedict yang didapatkan pada tahun 1919, seperti berikut. Untuk laki-laki, sebagai berikut : æ 13.7516 m 5.0033 h 6.7550 a ö P = çç + + 66.4730 ÷÷ Kkal / hari .........persamaan 2.2 1 cm 1 tahun è 1 kg ø
xli
Untuk wanita, sebagai berikut : æ 9.5634 m 1.8496 h 4.6756 a ö P = çç + + 655 .0955 ÷÷ Kkal / hari .........persamaan 2.3 1 cm 1 tahun è 1 kg ø
dengan ; P : nilai BMR atau heat production (Kkal/hari) m : berat badan (kg) h : tinggi badan (cm) a : usia (tahun)
2.5 KONSEP FISIOLOGI MANUSIA Fisiologi kerja adalah studi tentang fungsi organ-organ manusia yang digunakan untuk melakukan aktivitas. Kemampuan manusia untuk melaksanakan kegiatannya tergantung pada struktur fisik dari tubuhnya. Semua kegiatan tubuh manusia memerlukan tenaga yang diperoleh karena adanya proses metabolisme dalam otot, yaitu berupa kumpulan proses-proses kimia yang mengubah bahan makanan menjadi bentuk kerja mekanis dan panas. 2.5.1 Aktivitas Fisik Manusia Secara garis besar, kegiatan-kegiatan kerja manusia dapat digolongkan menjadi kerja fisik (otot) dan kerja mental (otak) dengan intensitas yang berbeda. Tingkat intensitas yang terlampau tinggi memungkinkan pemakaian energi yang berlebihan, sebaliknya intensitas yang terlalu rendah menimbulkan rasa bosan dan jenuh. Karena itu perlu diupayakan tingkat intensitas yang optimum yang ada diantara kedua batas ekstrim tadi dan tentunya untuk tiap individu berbeda. Pemisahan antara kerja fisik dan mental tidak dapat dilakukan secara sempurna, karena saling berhubungan erat. Dilihat dari energi yang dikeluarkan, kerja mental murni relatif lebih sedikit mengeluarkan energi dibandingkan dengan kerja fisik. Kerja fisik mengakibatkan pengeluaran energi yang berhubungan erat dengan konsumsi energi. Wignjosoebroto (1991) menyatakan bahwa aktivitas fisik merupakan suatu kegiatan yang memerlukan usaha fisik manusia yang kuat selama periode kerja berlangsung. Menurut Sulistyadi dan Susanti (2003), aktivitas fisik manusia menghasilkan perubahan pada fungsi beberapa alat tubuh yang dapat dideteksi
xlii
melalui konsumsi oksigen, denyut jantung per detik, peredaran udara dalam paruparu, temperatur tubuh, konsentrasi asam laktat dalam darah, komposisi kimia dalam darah dan air seni, tingkat penguapan dan beberapa faktor lainnya. Pengukuran tersebut dapat digunakan untuk mengukur konsumsi energi. Kerja fisik dikelompokkan oleh Davis dan Miller, yaitu : a. Kerja total seluruh tubuh, yang mempergunakan sebagian besar otot biasanya melibatkan duapertiga atau tiga perempat otot tubuh. b. Kerja sebagian otot, yang membutuhkan lebih sedikit energi ekspenditur karena otot yang digunakan lebih sedikit. c. Kerja otot statis, otot digunakan untuk menghasilkan gaya tetapi tanpa kerja mekanik. Membutuhkan kontraksi sebagian otot. Sampai saat ini metode pengukuran kerja fisik, dilakukan dengan menggunakan beberapa standar, yaitu : 1. Konsep horse-power (foot-pounds of work per minute) oleh Taylor, tetapi tidak memuaskan. 2. Tingkat konsumsi energi untuk mengukur pengeluaran energi. 3. Perubahan tingkat kerja jantung dan konsumsi oksigen (metode terbaru). Tiffin mengemukakan kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh pekerjaan terhadap manusia dalam suatu sistem kerja, yaitu: a. Kriteria faali meliputi : kecepatan denyut jantung, konsumsi oksigen, tekanan darah, tingkat penguapan, temperatur tubuh, komposisi kimia dalam darah dan air seni. Kriteria ini digunakan untuk mengetahui perubahan fungsi alat-alat tubuh selama bekerja. b. Kriteria Kejiwaaan meliputi : pengukuran hasil kerja yang diperoleh dari pekerja. Kriteria ini digunakan untuk mengetahui pengaruh seluruh kondisi kerja dengan meihat hasil kerja yang diperoleh dari pekerja. Aktivitas fisik yang dilakukan secara terus menerus sering disebut dengan aktivitas kardiovaskuler. Aktivitas kardiovaskuler merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang saat beraktivitas dengan pola yang ritmis dan terus menerus pada suatu periode waktu tertentu. Selama aktivitas kardiovaskuler dilakukan, jantung memompa darah ke seluruh otot dalam tubuh manusia.
xliii
Aktivitas fisik menyebabkan pengeluaran energi yang berhuibungan erat dengan konsumsi energi. Dalam hal penentuan konsumsi energi, biasanya digunakan parameter indeks kenaikan bilangan kecepatan jantung. Indeks ini merupakan perbedaan antara kecepatan denyut jantung pada saat istirahat dengan kecepatan denyut jantung pada waktu bekerja (Sulistya dan Susanti, 2003). Konsumsi energi pada tubuh diukur dengan satuan kilo kalori (Kkal) sehingga dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa konsumsi energi menjadi tolak ukur yang dapat dipakai sebagai penentu berat atau ringannya suatu kerja fisik. Menurut Grandjean (1993), konsumsi energi (kalori) merupakan indikator terhadap beban kerja dan dapat digunakan untuk mengukur waktu istirahat dan membandingkan tingkat efisiensi pekerjaan dari beberapa perbedaan alat dan metode yang digunakan dalam melakukan pekerjaan. Pemakaian energi yang dibutuhkan oleh pria dan wanita untuk melakukan beberapa macam pekerjaan dapat dilihat pada tabel 2.4. Tabel 2.4 Kebutuhan energi untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan
Tabel 2.4 Kebutuhan energi untuk melakukan berbagai jenis pekerjaan (lanjutan)
xliv
Sumber: Grandjean, 1993
Dari tabel 2.4 dapat dilihat bahwa tingkat konsumsi energi yang dibutuhkan oleh pria lebih besar daripada wanita. Berbagai macam aktivitas yang dilakukan oleh tubuh juga menunjukkan tingkat konsumsi energi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.5. Tabel 2.5 Kebutuhan energi untuk aktivitas fisik manusia
Tabel 2.5 Kebutuhan energi untuk aktivitas fisik manusia (lanjutan)
xlv
Sumber: Grandjean, 1993
Dari tabel 2.5 dapat dilihat bahwa aktivitas berjalan membutuhkan tingkat konsumsi energi sebesar 2.1 kkal/menit. Menurut Grandjean (1993), kecepatan normal orang saat berjalan adalah sebesar 4 km/jam sampai dengan 5 km/jam.
2.5.2 Kelelahan (Fatigue) Sutalaksana (2006) menyatakan bahwa kelelahan adalah suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada setiap individu yang sudah tidak sanggup lagi melakukan aktivitasnya. Pada dasarnya pola ini ditimbulkan oleh dua hal yaitu fisiologis (objektif) dan psikologis (subjektif). Faktor fisiologis terjadi karena adanya perubahan-perubahan faali dalam tubuh manusia. Faktor psikologis terjadi karena adanya perasaan tidak senang terhadap suatu aktivitas. Kata kelelahan menunjukkan keadaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya berakibat pada pengurangan kapasitas kerja dan ketahanan tubuh. Kelelahan terjadi pada syaraf dan otot-otot manusia sehingga otot tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik. Makin berat beban yang dikerjakan dan gerakan semakin tidak teratur, maka kemungkinan timbulnya kelelahan sangat cepat. Hal ini perlu dipelajari agar tingkat kekuatan otot manusia dapat ditentukan dan beban kerja yang diberikan dapat disesuaikan dengan kemampuan otot manusia. Ralph M. Barnes menggolongkan kelelahan dalam 3 bagian, yaitu :
1. Perasaan lelah xlvi
2. Kelelahan karena perubahan fisiologis dalam tubuh 3. Menurunnya kemampuan kerja. Pada dasarnya kelelahan terjadi jika kemampuan otot telah berkurang dan mengalami puncaknya bila otot tersebut sudah tidak mampu lagi bergerak (kelelahan sempurna). Grandjean (1993) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kelelahan, yaitu: 1. Besarnya tenaga yang dikeluarkan,
4. Kebiasaan olahraga dan latihan,
2. Frekuensi dan lama bekerja,
5. Jenis kelamin,
3. Cara dan sikap dalam beraktivitas,
6. umur.
Menurut Grandjean (1993), kelelahan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Kelelahan otot (muscular fatigue), Kelelahan otot adalah gejala kesakitan yang dirasakan otot akibat otot terlalu tegang. Ketika otot diberi rangsang, ia berkontraksi dan terjadi ketegangan. Jika rangsang diberikan secara terus-menerus, maka performansi otot semakin menurun yang dapat dilihat pada kekuatan otot dan gerakan otot yang semakin lambat. Sutalaksana (2006) menyatakan bahwa pada kondisi tubuh terdapat cukup oksigen, kontraksi otot berlangsung secara aerobik. Sedangkan pada kondisi tubuh tidak terdapat cukup oksigen, kontraksi otot berlangsung secara anaerobik dan menghasilkan asam laktat. Kandungan asam laktat yang tinggi inilah yang menimbulkan rasa lelah. 2. Kelelahan umum (general fatigue) Salah satu gejala kelelahan umum adalah munculnya perasaan letih. Berdasarkan penyebabnya, gejala kelelahan umum dapat dibedakan menjadi enam, yaitu: a. Visual fatigue,akibat ketegangan yang berlebihan pada mata, b. General bodily fatigue,akibat beban fisik yang berlebihan pada seluruh organ tubuh, c. Mental fatigue, akibat kerja mental atau otak yang berlebihan, d. Nervous fatigue, akibat tekanan yang berlebihan pada suatu bagian sistem psikomotor pada pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan,
xlvii
e. Kelelahan akibat kemonotonan pekerjaan dan kondisi kerja yang menjemukan, f. Kelelahan kronis akibat akumulasi sejumlah faktor yang terus menerus menyebabkan kelelahan, g. Circadian fatigue, bagian dari ritme siklus siang-malam dan awal periode tidur. Suma'mur
(1984)
menyatakan
bahwa
gejala-gejala
pada
tubuh
yang
mengindikasikan adanya kelelahan, yaitu: 1.
Perasaan berat di kepala
16. Cenderung untuk lupa
2.
Seluruh tubuh nenjadi lelah
17. Kurang percaya diri
3.
Kaki terasa berat
18. Cemas terhadap sesuatu
4.
Menguap
19. Tidak dapat mengontrol sikap
5.
Merasa kacau pikiran
20. Tidak dapat tekun dalam pekerjaan
6.
Mengantuk
21. Sakit kepala
7.
Merasakan beban pada mata
22. Kekakuan di bahu
8.
Kaku dan canggung dalam gerakan
23. Merasa nyeri di punggung
9.
Tidak seimbang dalam berdiri
24. Pernafasan tertekan
10. Keinginan untuk berbaring
25. Haus
11. Merasa susah untuk berpikir
26. Suara serak
12. Lelah bicara
27. Pening
13. Menjadi gugup
28. Spasme dari kelopak mata
14. Tidak dapat berkonsentrasi
29. Tremor pada anggota badan
15. Tidak dapat fokus terhadap sesuatu
30. Merasa kurang sehat
Gejala pertama sampai dengan gejala ke sepuluh menunjukkan pelemahan kegiatan, gejala ke sebelas sampai dengan ke dua puluh menunjukkan pelemahan motivasi dan gejala ke dua puluh satu sampai dengan gejala ke tiga puluh menunjukkan kelelahan fisik akibat keadaan umum. Apabila kelelahan tidak dapat disembuhkan, suatu saat terjadi kelelahan kronis yang dapat meningkatnya ketidakstabilan psikis, depresi, tidak semangat dan kecenderungan sakit. Kelelahan pada manusia dapat diukur berdasarkan tiga macam,yaitu :
xlviii
1. Mengukur kecepatan denyut jantung dan pernafasan 2. Mengukur tekanan darah, peredaran udara dalam paru-paru, jumlah oksigen yang digunakan, jumlah karbondioksida yang dihasilkan, temperatur badan, komposisi kimia dalam urin dan darah. 3. Mengukur variasi perubahan air liur (saliva) karena lelah dengan alat penguji kelelahan Riken Fatigue Indicator dengan ketentuan pengukuran elektroda logam. Metode yang digunakan dalam pengukuran tingkat kelelahan dibagi menjadi enam macam (Grandjean, 1993), yaitu : 1. Pengukuran kualitas dan kuantitas dari performansi kerja, 2. Pengukuran secara subyektif terhadap tingkat kelelahan dengan menggunakan kuesioner, 3. Pengukuran dengan electroencephalography (EEG), 4. Pengujian frekuensi dari Flicker-fusion mata, 5. Pengukuran psikomotorik, 6. Pengukuran kejiwaan atau mental. Kelelahan dapat dikurangi dengan berbagai cara (Sutalaksana, 2006), yaitu : 1. Menyediakan kalori secukupnya sebagai asupan tubuh, 2. Bekerja dengan menggunakan metode kerja yang baik, 3. Memperhatikan kemampuan tubuh, artinya pengeluaran tenaga tidak melebihi pemasukannya dengan memperhatikan batasan-batasannya, 4. Memperhatikan waktu kerja yang teratur, artinya harus dilakukan pengaturan terhadap jam kerja, waktu istirahat dan sarana-sarananya, masa libur dan rekreasi, 5. Mengatur lingkungan fisik sebaik-baiknya seperti suhu, kelembapan, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran, dan bau atau wangi-wangian, 6. Berusaha untuk mengurangi monotoni dan ketegangan akibat kerja, misalnya menyediakan musik dan menggunakan dekorasi ruangan kerja. 2.5.3 Denyut Jantung Jantung merupakan organ tubuh yang berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh. Darah yang dipompa membawa makanan yang diperlukan otot. Selain itu adanya sirkulasi darah, zat-zat sampah yang berbahaya bagi tubuh dapat xlix
dikeluarkan. Jantung bekerja diluar kemauan dan memiliki kemampuan khusus. Proses keluar masuknya darah ke jantung menghasilkan denyut jantung. Johnson (1991) menyebutkan bahwa denyut jantung adalah banyaknya kontraksi yang dilakukan oleh otot jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh dalam interval waktu tertentu. Denyut jantung pada keadaan normal adalah 70 denyut/menit dengan selang antara 50-100 denyut/menit. Denyut jantung sangat ditentukan oleh usia dan jenis kelamin. Jantung yang sehat kembali bekerja normal setelah 15 menit sesudah beraktivitas. Denyut jantung manusia dipengaruhi lingkungan fisik tempat beraktivitas. Hubungan tingkat lingkungan fisik, denyut jantung dan konsumsi energi dapat dilihat pada gambar 2.22. Pembagian denyut jantung pada saat beraktivitas dapat dilihat pada gambar 2.23.
Gambar 2.22 Hubungan denyut jantung dengan kondisi kerja dan konsumsi energi Sumber: Grandjean, 1993
Gambar 2.23 Pembagian denyut jantung pada saat beraktivitas Sumber: Grandjean, 1993
l
Dari gambar 2.23 dapat dilihat adanya beberapa tingkat antara denyut jantung sebelum dan sesudah bekerja. Menurut Grandjean (1993), tingkat denyut jantung dibagi menjadi lima definisi, yaitu: 1. Resting pulse adalah jumlah rata-rata denyut jantung sebelum memulai suatu pekerjaan, 2. Working pulse adalah jumlah rata-rata denyut jantung selama melakukan suatu pekerjaan, 3. Work pulse adalah selisih antara jumlah denyut jantung selama bekerja dan sebelum bekerja, 4. Total recovery pulse (recovery cost) adalah jumlah denyut jantung mulai dari berhenti bekerja sampai denyut nadi kembali normal. Menurut E.A Muller dalam Grandjean (1993), total recovery pulse adalah salah satu cara untuk mengukur kelelahan (fatigue) dan pemulihan (recovery), 5. Total work pulse (cardiac cost) adalah jumlah denyut jantung mulai dari memulai pekerjaan sampai dengan tingkat istirahat. Konsumsi energi melalui denyut jantung biasa diukur dengan alat yang disebut Electro Cardio Graph (ECG). Selain itu, konsumsi energi dapat diukur secara manual dengan metode sepuluh denyut jantung (Tarwaka dkk, 2004) sebagai berikut: Denyut Jantung =
10 denyut x 60 .....................................persamaan 2.4 waktu perhitungan
Setelah didapatkan nilai dari denyut jantung masing-masing aktivitas, tingkat peningkatan denyut jantung akibat aktivitas kardiovaskuler (Tarwaka, 2004) dapat diketahui dengan dengan rumus, yaitu : %CVL =
(denyut ker ja - denyut istirahat ) x 100% ...................persamaan 2.5 (denyut maksimal - denyut istirahat )
Grandjean (1993) mendefinisikan beberapa hal, sebagai berikut: a. Jumlah denyut jantung istirahat merupakan rata-rata denyut jantung sebelum pekerjaan dimulai. b. Jumlah denyut nadi bekerja merupakan rata-rata denyut jantung selama bekerja. c. Denyut jantung maksimal ditentukan dengan rumus berikut :
li
Denyut jantung maksimal = 220 – usia (untuk pria) Denyut jantung maksimal = 200 – usia (untuk wanita) Hasil perhitungan % CVL tersebut kemudian dibandingkan dengan % CVL yang telah ditetapkan dalam tabel 2.6. Tabel 2.6 Klasifikasi kerja berdasarkan % CVL % CVL
Keterangan
< 30 %
Tidak terjadi kelelahan
30% - 60%
Diperlukan perbaikan
30% - 80%
Kerja dalam waktu singkat
80% - 100%
Diperlukan tindakan segera
> 100%
Tidak diperbolehkan melakukan aktivitas
Sumber: Tarwaka dkk, 2004
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa beban kerja yang mempunyai nilai % CVL kurang dari 30 % masih dikategorikan sebagai aktivitas ringan dan belum menunjukkan terjadinya kelelahan. Kelelahan akut terjadi jika nilai % CVL melebihi 100 % dan tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas. Perhitungan tingkat kelelahan (% CVL) per fase gerak berjalan dilakukan dengan menghitung terlebih dulu jumlah siklus yang terjadi sepanjang lintasan berjalan kemudian diambil nilai rata-ratanya. Perhitungan nilai % CVL per siklus didapatkan dari nilai % CVL dibagi rata-rata jumlah siklus yang terjadi, dirumuskan pada persamaan 2.3 berikut. Nilai % CVL per siklus =
nilai % CVL ..........................................persamaan 2.6 jumlah siklus
Dari nilai % CVL per siklus diambil nilai yang terbesar dari beberapa perulangan yang dilakukan, ditentukan pula waktu untuk melakukan setiap fase gerakan. Perhitungan nilai % CVL per fase merupakan hasil pembagian waktu per fase dengan waktu selama satu siklus dikali dengan nilai % CVL per siklus terbesar, dirumuskan pada persamaan 2.4 berikut. Nilai % CVL per fase =
waktu per fase x %CVL ..............................persamaan 2.7 waktu 1 siklus
lii
2.5.4 Energi Ekspenditur Manusia mengoksidasi dengan cara metabolisme karbohidrat, protein, lemak, dan alkohol untuk menghasilkan energi. Energi yang dihasilkan dibutuhkan untuk : 1. Memelihara fungsi tubuh; untuk bernafas, menjaga denyut jantung, menjaga tubuh tetap hangat dan semua fungsi berjalan normal. 2. Aktivitas fisik; untuk gerak perpindahan dan kontraksi otot. 3. Pertumbuhan dan pembaruan yang membutuhkan pembuatan jaringan baru. Energi diukur dalam satuan joule atau kalori. Satu joule (J) ditetapkan sebagai energi yang digunakan saat memindahkan berat 1 kilogram (kg) sejauh 1 meter (m) dengan kekuatan 1 newton (N). Satu kalori ditetapkan sebagai energi yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur dari 1 gram (gr) air dari 14.5oC sampai 15.5oC. Dalam prakteknya, kedua satuan tersebut digunakan secara berbeda dalam pengukuran cairan. Satu kalori setara dengan 4.184 joule. Manusia menggunakan energi dalam jumlah besar, karena itu para ahli nutrisi menggunakan satuan yang lebih besar, yaitu kilojoule. 1 kilojoule (kJ)
= 1000 joule
1 megajoule (MJ) = 1000000 joule 1 kilokalori (Kkal)= 1000 kalori Untuk mengubah menjadi satuan yang lain : 1 kKal = 4.184 kJ 1 MJ
= 239 Kkal Terdapat tiga tingkat energi fisiologis yang umum, yaitu istirahat, limit
kerja aerobik dan kerja anaerobik. Pada tahap istirahat, pengeluaran energi yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan tubuh disebut Tingkat Metabolisme Basal (Basal Metabolic Rate, BMR). Hal tersebut mengukur perbandingan oksigen yang masuk ke dalam paru-paru dengan karbon dioksida yang keluar. Berat tubuh dan luas permukaan adalah faktor penentu yang dinyatakan dalam kilokalori/area permukaan/jam. Rata-rata manusia yang mempunyai berat 65 kg dan mempunyai area permukaan 1.77 m2 memerlukan energi sebesar 1 kilokalori per menit. Sedangkan suatu kerja disebut aerobik bila suplai oksigen pada otot sempurna. Jika suplai tidak sempurna, sistem kekurangan oksigen dan kerja
liii
menjadi anaerob. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas fisiologis yang dapat ditingkatkan melalui latihan. Energi ekspenditur (EE) laki-laki dan wanita selama satu hari penuh dibagi menjadi komponen yang berbeda yang dapat ditentukan masing-masing. Terdiri dari : basal metabolic rate (BMR), diet induced thermogenesis (DIT), dan physical activity (PA).
Gambar 2.24 Total energi ekspenditur Sumber : Rowett Research Institute, 1992
1.
Basal Metabolic Rate (BMR) BMR adalah jumlah minimum dari tenaga yang diperlukan oleh tubuh jika dikaitkan dengan ilmu fisiologi dan istirahat secara mental. BMR diukur di dalam kondisi-kondisi yang dibakukan, yang dilakukan dengan subyek pada saat keadaan setelah makan malam (berpuasa untuk sedikitnya 12 jam/postprandial), pada istirahat yang mencukupi di suatu lingkungan thermoneutral (tidak terlalu panas atau dingin). Jika salah satu kondisi tersebut tidak dijumpai (selang waktu untuk berpuasa lebih pendek) pengukuran biasanya disebut resting metabolic rate (RMR).
2.
Diet Induced Thermogenesis (DIT) Disebut juga post-prandial thermogenesis (PPT) atau efek termis dari makanan (termic effect of food, TEF). DIT berperan sekitar 10% dari energi total yang dibutuhkan (Energy Intake, EI). Ini adalah jumlah dari tenaga memanfaatkan di dalam pencernaan, absorpsi, dan transportasi nutrisi.
3.
Physical Activity (PA) PA merupakan komponen variabel terbanyak dari EE di dalam manusia. Hal ini termasuk tambahan EE selain RMR dan TEF karena aktivitas otot dan
liv
meliputi aktivitas fisik minor (menggigil dan menggelisahkan). Nilai PA ini berperan sekitar 15-30% dari total kebutuhan EE harian. Bilangan nadi atau denyut jantung merupakan peubah yang penting dan pokok baik dalam penelitian lapangan maupun penelitian laboratorium. Dalam hal penentuan konsumsi energi, biasa digunakan parameter indeks kenaikan bilangan kecepatan denyut jantung. Indeks ini merupakan perbedaan antara kecepatan denyut jantung pada waktu kerja tertentu dengan kecepatan denyut jantung pada waktu istirahat. Jumlah total dari energi yang diperlukan oleh individu bergantung pada tingkat aktivitas dan berat badan mereka. Semakin berat dan aktif maka lebih banyak tenaga yang diperlukan. Untuk merumuskan hubungan antara energi ekspenditur dengan kecepatan denyut jantung, dilakukan pendekatan kuantitatif hubungan antara energi ekspenditur dengan kecepatan denyut jantung dengan menggunakan analisis regresi. Bentuk regresi hubungan energi dengan kecepatan denyut jantung adalah regresi kuadratis dengan persamaan sebagai berikut : Y = 1.80411- (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2 ...........................persamaan 2.8 dengan ; Y : energi ekspenditur (kilokalori/ menit) X : kecepatan denyut jantung (denyut/ menit) Setelah diketahui nilai energi ekspenditurnya, maka dapat diketahui pula kebutuhan kalori dalam melakukan suatu kegiatan kerja tertentu dengan menggunakan perhitungan berikut : Kebutuhan Kalori =
Y x 60 per jam / kg berat badan ....................persamaan 2.9 W
dengan ; Y : energi ekspenditur (kilokalori/ menit) W : berat badan (kg)
2.5.5 Aerobic Capacity Pengeluaran energi, kerja fisiologis, dan biaya fisiologis berkaitan erat dengan konsumsi oksigen. Hal ini dapat diukur secara langsung dalam liter/menit atau secara tidak langsung dalam detak jantung/menit. Unit satuan dasar yang digunakan adalah pengeluaran kalori dalam gram kalori/ menit. Aerobic capacity adalah level maksimum konsumsi oksigen (oxygen uptake). Aerobic capacity ditunjukkan dengan VO2
max
dan biasanya diungkapkan dalam liter per menit. lv
Sinonim aerobic capacity adalah physical work capacity, maximal oxygen uptake, dan maximal aerobic capacity or power. Faktor-faktor yang mempengaruhi aerobic capacity adalah : ·
Faktor somatis : dimensi tubuh, usia, jenis kelamin
·
Faktor fisik : motivasi, sikap
·
Ligkungan : ketinggian, temperatur, kelembaban
·
Karakteristik pekerjaan : beban/intensitas kerja, durasi kerja, ritme kerja, teknik kerja
·
Karakteristik psikologi pekerja yang merupakan turunan secara genetik (inherited at birth) Aerobic capacity dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu direct
assessment dan indirect assessment. Direct assessment melibatkan pengujian maksimal dan biasanya dilakukan kepada anak-anak muda, orang yang terlatih seperti atlit dan sebagainya. Indirect assessment merupakan pengujian submaksimal dan biasanya lebih sesuai dilakukan pada pekerja-pekerja industri. Ada tiga metode indirect assessment yang biasa digunakan : 1. Metode Regresi. Metode ini didasarkan pada dua faktor yaitu hubungan linier antara heart rate dan VO2 pada beban kerja submaksimal yang diharapkan berdasar usia. Metode ini memiliki kelemahan, yaitu adanya variasi heart rate maksimum diantara individu. 2. Metode berdasarkan Astrand Nomogram (Astrand and Rodahl, 1986). Metode ini didasarkan pada pengukuran submaksimal konsumsi oksigen dan heart rate. Nomogram menggunakan faktor koreksi usia. Kelemahan metode ini adalah kesalahan dalam membaca data dari nomogram khususnya bagi mereka yang tidak terlatih. 3. Metode Konvensional Tayyari (Siconolfi et al., 1985; Tayyari, 1995). Metode ini untuk mengestimasi VO2 didasarkan pada berat badan dan heart rate selama berjalan pada treadmill. Tayyari merumuskan sebuah persamaan utuk menghitung konsumsi oksigen maksimal, yaitu: V 0 2 max =
0.263(Wb + 10 )V + 13 .15 ´ AG HR + G - 72
...............................persamaan 2.10
dengan ;
lvi
VO2 max = konsumsi oksigen maksimal (liter/menit) Wb
= berat badan (kg)
V
= kecepatan berjalan pada treadmill (km/jam)
HR
= heart rate (denyut/menit) selama berjalan pada treadmill
G
= faktor gender (G=10 untuk laki-laki dan G=0 untuk perempuan)
AG
= faktor koreksi usia = 1.12 – (0.0073 x usia)
2.6 PENELITIAN SEBELUMNYA Robert L. Waters, et al (1976) melakukan penelitian mengenai energi yang dibutuhkan para amputee untuk berjalan berkaitan dengan tingkat amputasi bagian kaki. Penelitian ini dilakukan terhadap dua kelompok amputee dengan level amputasi yang berbeda, yaitu vascular dan traumatic. Kelompok vascular terdiri dari 13 above-knee amputee, 13 below-knee amputee, dan 15 Syme amputee. Kelompok traumatic terdiri dari 15 above-knee amputee dan 14 below-knee amputee. Responden berjalan pada lintasan sejauh 60.5 meter. Pernafasan diukur dengan Douglas Bag untuk menganalisis oksigen dan karbon dioksida. Denyut jantung, tingkat pernafasan, serta polanya diamati dengan alat transduser. Setiap percobaan berjalan rata-rata selama lima menit dengan dua kecepatan berbeda, lambat dan cepat. Nilai oksigen yang dikonsumsi dan bilangan denyut jantung digunakan untuk memperkirakan nilai maksimum kapasitas kerja secara aerobik. Hasil dari penelitian ini adalah nilai maksimum kapasitas kerja secara aerobik pada responden above-knee amputee kedua kelompok lebih rendah dibandingkan pada responden below-knee amputee maupun orang normal. Keytel, et al (2005) melakukan penelitian untuk memperkirakan nilai energi ekspenditur dari pengamatan denyut jantung. Tujuan penelitian ini yaitu mengukur faktor komposisi tubuh, jenis latihan, hubungan denyut jantung dengan energi ekspenditur, dan mengembangkan persamaan ramalan energi ekspenditur. Responden berjumlah 115 orang dengan umur 18-45 tahun. Penelitian dilakukan dengan cara responden beraktivitas menggunakan treadmill dan cycle ergometer pada tiga kondisi berbeda. Denyut jantung dan rasio pernafasan diukur. Suatu analisis mixed-model mengidentifikasi jenis kelamin, denyut jantung, berat badan, konsumsi oksigen, dan umur sebagai faktor untuk memperkirakan nilai energi ekspenditur. Kesimpulan yang diambil yaitu adanya kemungkinan mengetahui lvii
nilai energi ekspenditur dari denyut jantung suatu kelompok dengan terlebih dulu menyesuaikan faktor umur, jenis kelamin, massa tubuh, dan kebugaran. Mike Laymon, et al (2008) melakukan penelitian mengenai energi ekspenditur secara aerob dalam latihan selama 60 menit. Penelitian ini dilakukan pada 6 orang wanita dan 7 orang laki-laki dengan umur rata-rata 18-48 tahun. Responden melakukan aktivitas selama 60 menit. Pengukuran dilakukan terhadap konsumsi oksigen sesaat sebelum beraktivitas, setiap lima menit saat beraktivitas, dan selama 4 jam setelah beraktivitas. Hasil penelitian ini yaitu rata-rata nilai energi ekspenditur yaitu 517,4 ± 231,7 kalori. Rata-rata energi ekspenditur pada laki-laki yaitu 654,1 kalori dan pada wanita yaitu 358 kalori. Lobes Herdiman, dkk (2009) melakukan penelitian mengenai kajian fisiologi pada karakteristik prosthetic kaki endoskeletal jenis Above-Knee Prosthetic (AKP). Tujuannya adalah mengukur tingkat fisiologi pengguna prosthetic endoskeletal hasil perancangan dibandingkan dengan prosthetic eksoskeletal. Penelitian dilakukan dengan cara mengukur tingkat kelelahan, energi ekspenditur, dan getaran mekanik saat berjalan. Amputee berjalan pada treadmill sejauh 100 meter menggunakan kedua prosthetic bergantian dengan tiga kecepatan berbeda (1,2 km/jam; 1,6 km/jam; dan 2 km/jam). Denyut jantung diukur saat sebelum berjalan, saat berjalan pada jarak 50 meter, 60 meter, dan 100 meter. Selain itu diukur denyut jantung setelah berjalan pada menit ke-2, ke-4, dan ke-6. Hasil penelitian ini adalah prosthetic endoskeletal menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkankan prosthetic eksoskeletal dilihat dari peningkatan %CVL lebih kecil. Peningkatan pengeluaran energi ekspenditur menunjukkan lebih stabil, getaran mekanik yang ditimbulkan untuk berjalan normal lebih stabil, dan frekuensi tekanan pada stump yang dilakukan berulang untuk berjalan normal pada frekuensi 100 Hz masih memberikan rasa nyaman bagi pengguna. Kuo-Feng Huang, et al (2001) melakukan penelitian mengenai kajian kinematik dan energi yang dibutuhkan oleh below-knee amputees. Tujuannya mengukur karakteristik berjalan secara dinamis dan energi yang dibutuhkan. Penelitian ini dilakukan terhadap 6 below-knee amputees dengan usia 41,83 ± 6,27 tahun terdiri dari 3 vascular amputees dan 3 traumatic amputees menggunakan foot tipe SACH, single axis, dan multiple axis. Selain itu juga
lviii
dibandingkan dengan kondisi normal yaitu 5 orang laki-laki yang berusia 33,83 ± 5,15 tahun. Penelitian ini dilakukan dengan cara responden berjalan pada treadmill dengan kecepatan 1 km/jam; 1,5 km/jam; dan 2 km/jam. Hal tersebut dinilai sebagai fase pemanasan dan trial setelah beristirahat selama 20 menit. Setelah denyut jantung mencapai 60 % denyut jantung maksimal, energi yang dibutuhkan diukur selama minimal 2 menit. Metode tersebut dilakukan pada dua kelompok amputees menggunakan tiga jenis foot berbeda. Hasil penelitian ini adalah kelompok vascular amputees membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan kelompok traumatic amputees. Perbedaan energi yang dibutuhkan cukup besar antara ketiga jenis foot prosthetic.
lix
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai pengukuran fisiologi terhadap tiga desain prosthetic kaki bagian bawah lutut. Langkah-langkah penelitian yang digunakan dapat dilihat pada gambar 3.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Penetapan Tujuan dan Manfaat Penelitian Studi Pustaka
Penentuan Responden Amputee (n = 1 orang)
Penentuan Responden Normal (n = 10 orang)
Pengecekan Kesesuaian BMI (Body Mass Index) dan BMR (Basal Metabolic Rate)
Sesuai ?
Pengamatan Aktivitas Berjalan pada Pengguna Prosthetic dan 10 Responden Normal
Pengumpulan Data Denyut Nadi (berjalan normal)
Pengumpulan Data Denyut Nadi (treadmill)
Video Capture 6 Fase Gerakan dan Waktu Tempuh Perhitungan Energi Ekspenditur, Kebutuhan Kalori, dan VO2 maks
Perhitungan % CVL Distribusi % CVL per fase berjalan
A
Gambar 3.1 Metodologi penelitian
lx
A
Perbandingan % CVL, Energi Ekspenditur, Kebutuhan Kalori, dan VO2 maks antara Pengguna Prosthetic dengan Responden Normal Rekomendasi Desain Prosthetic
Analisis dan Interpretasi Hasil Penelitian
Kesimpulan dan Saran
Gambar 3.1 Metodologi penelitian (lanjutan)
3.1 IDENTIFIKASI MASALAH Tahap identifikasi permasalahan merupakan tahap awal yang dilakukan sebelum melakukan penelitian. Tahap identifikasi masalah diawali dari menentukan latar belakang dan perumusan masalah, menentukan tujuan dan manfaat penelitian, serta studi pustaka (literatur). Tahap-tahap yang dilakukan dalam tahap identifikasi permasalahan ini dapat dijelaskan, sebagai berikut: 1. Latar belakang. Prosthetic merupakan pengganti alat gerak anggota tubuh sehingga amputee dapat
melakukan
aktivitas
berjalan
pada
umumnya,
namun
dalam
pemakaiannya pengguna prosthetic memerlukan adaptasi. Di pasaran telah berkembang dua desain prosthetic, yaitu eksoskeletal dan endoskeletal. Pada tahun 2009 juga telah dikembangkan prosthetic endoskeletal yang menjembatani perbedaan kedua prosthetic yang telah ada di pasaran. Dalam aktivitas berjalan tentu dibutuhkan energi dan oksigen. Kelelahan dapat timbul karena tidak seimbangnya aktivitas dengan istirahat. Begitu pula halnya dengan pengguna prosthetic. Permasalahannya terletak pada tingkat keseimbangan fisiologi pengguna prosthetic akankah tetap mampu mendekati kondisi pada orang normal. Karena alasan tersebut di atas, pada penelitian ini dikaji tingkat fisiologi ditinjau dari metabolisme basal. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat
lxi
kelelahan (% CVL), energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen
pada
pengguna
prosthetic
kaki
bawah
lutut
(Below-Knee
Prosthetic/BKP). Penelitian dilakukan terhadap tiga desain prosthetic berbeda saat melakukan aktivitas berjalan dibandingkan dengan kondisi normal. 2. Perumusan masalah. Dengan pengukuran fisiologi dapat diketahui besarnya tingkat energi dan tingkat kelelahan yang dihasilkan. Perbedaan desain prosthetic dapat berarti perbedaan hasil pengukuran fisiologi, terlebih dibandingkan dengan orang normal. Karena itu penelitian ini mengukur tiga desain prosthetic yang berbeda dengan membandingkan hasilnya dengan tingkat fisiologi normal. Permasalahan yang dirumuskan adalah bagaimana memilih desain prosthetic kaki bagian bawah lutut terbaik dalam mengakomodasi aktivitas berjalan. 3. Penetapan tujuan dan manfaat penelitian. Maksud adanya tujuan dan manfaat penelitian yaitu untuk menemukan arah serta sasaran yang ingin dicapai dalam suatu penelitian dan ditetapkan berdasarkan permasalahan yang diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk memilih desain prosthetic kaki bawah lutut dalam mengakomodasi aktivitas berjalan. Manfaat yang didapat yaitu memberikan rekomendasi pada pengguna prosthetic kaki bagian bawah lutut mengenai jenis prosthetic dengan tingkat fisiologi mendekati orang normal. 4. Studi pustaka. Studi pustaka dilakukan dengan mencari literatur dan bahan-bahan yang digunakan untuk mendukung penelitian. Informasi yang didapat mampu mendukung perencanaan awal penelitian, pelaksanaan pengumpulan data, bahkan pengolahan data. Informasi dari literatur diperlukan juga agar pengetahuan mengenai prosthetic bawah lutut lebih lengkap.
lxii
3.2 PENGUMPULAN DATA Pengukuran fisiologi prosthetic bawah lutut dilakukan yaitu untuk mengetahui tingkat fisiologi pengguna prosthetic dibandingkan dengan orang normal. Informasi diperoleh sebagai dasar dalam pengukuran fisiologi dilakukan pengumpulan data. Pengumpulan data yang dilakukan di Laboratorium Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi Teknik Industri UNS. Data yang diambil dari responden ada dua yaitu data awal dan data utama penelitian. Data awal meliputi usia, tinggi dan berat badan, baik pengguna prosthetic maupun responden orang normal. Sedangkan data utama terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data denyut nadi hasil pengamatan terhadap pola berjalan pada pengguna prosthetic dan sepuluh responden orang normal. Terdiri dari data denyut nadi pada aktivitas berjalan normal (eksperimen 1) dan pada aktivitas berjalan di treadmill (eksperimen 2). Data sekunder yaitu data berupa rekaman video aktivitas berjalan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain berupa stopwatch, tensimeter, timbangan (pengukur tinggi dan berat badan), dan cyclometer yang dapat dilihat pada gambar 3.2.
(a) Stopwatch
(c) Timbangan
(b) Tensimeter
(d) Cyclometer
Gambar 3.2 Alat yang digunakan dalam penelitian Sumber: Lab Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi Teknik Industri UNS, 2009
lxiii
Pengukuran yang pertama kali dilakukan yaitu usia dan pengukuran tinggi badan dan berat badan. Jumlah responden yaitu satu orang amputee (pengguna prosthetic) dan sepuluh orang normal. Pemilihan responden normal disesuaikan dengan nilai BMI (Body Mass Index) dan BMR (Basal Metabolic Rate) amputee sehingga keduanya dapat dibandingkan. Nilai BMI ditentukan dengan persamaan 2.1 dan nilai BMR ditentukan dengan persamaan 2.2. Ketentuan umum dalam pelaksanaan eksperimen meliputi pengamatan terhadap pola berjalan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Lintasan yang dilalui pada aktivitas berjalan normal (eksperimen 1) sepanjang 12 meter. Sedangkan pada aktivitas berjalan di treadmill (eksperimen 2) sepanjang 100 meter. 2. Pada eksperimen 1 dilakukan enam kali perulangan. Pada eksperimen 2 dilakukan tiga kali dengan kecepatan berbeda yaitu 1.2 km/jam, 1.6 km/jam, dan 2 km/jam (Herdiman, L., 2009). 3. Pengukuran denyut nadi dilakukan dengan metode 10 denyut untuk eksperimen 1 dan menggunakan alat ukur untuk eksperimen 2. 4. Responden diberikan waktu istirahat selama 10 menit untuk melakukan setiap perulangan berikutnya. Petunjuk pelaksanaan eksperimen diperlukan sebagai alat untuk menentukan prosedur operasional dalam pengambilan data. Hal ini bertujuan agar eksperimen berjalan sesuai tujuan yang diharapkan. Petunjuk pelaksanaan untuk eksperimen 1, sebagai berikut: 1. Khusus untuk pengguna prosthetic, amputee memakai tiga desain prosthetic yang digunakan dalam eksperimen bergantian, 2. Pengukuran lamanya waktu untuk sepuluh denyut nadi dilakukan sebelum melakukan eksperimen pada percobaan berjalan pertama. Data ini merupakan data denyut nadi sebelum melakukan eksperimen pada percobaan berjalan pertama, 3. Responden melakukan eksperimen dengan berjalan sejauh 12 meter, 4. Pengukuran lamanya waktu sepuluh denyut nadi kembali diukur. Data ini merupakan data denyut nadi setelah melakukan percobaan berjalan pertama,
lxiv
5. Responden beristirahat selama 10 menit sebelum melakukan percobaan berjalan kedua, 6. Setelah beristirahat, denyut nadi responden kembali diukur sebelum responden melakukan percobaan berjalan kedua. Data ini merupakan data denyut nadi responden sebelum melakukan percobaan berjalan kedua, 7. Responden melakukan percobaan berjalan kedua sepanjang 12 meter, 8. Pengukuran lamanya waktu sepuluh denyut nadi responden kembali di ukur. Data ini merupakan data denyut nadi responden setelah melakukan percobaan berjalan kedua, 9. Pengukuran lamanya waktu sepuluh denyut nadi responden baik sebelum dan setelah percobaan berjalan dilakukan sampai percobaan berjalan keenam, 10. Setelah melakukan keenam perulangan percobaan berjalan, pengguna prosthetic mengganti desain prosthetic yang lain atau beralih pada sepuluh responden orang normal. Sedangkan petunjuk pelaksanaan untuk eksperimen 2, sebagai berikut: 1. Khusus untuk pengguna prosthetic, amputee memakai tiga desain prosthetic yang digunakan dalam eksperimen bergantian, 2. Responden dipersiapkan untuk berjalan di treadmill. Lintasan yang ditempuh sepanjang 100 meter. Kecepatan pertama yang digunakan yaitu 1.2 km/jam, 3. Pengukuran denyut nadi selama berjalan di treadmill dilakukan pada empat titik, yaitu sebelum melakukan eksperimen, saat eksperimen pada jarak 30 meter, jarak 50 meter, dan 100 meter, 4. Setelah selesai berjalan, responden beristirahat selama 10 menit, 5. Eksperimen dilanjutkan kembali dengan penggantian kecepatan yang digunakan yaitu 1.6 km/jam, 6. Pengukuran denyut nadi selama kondisi berjalan sama dengan pengukuran untuk kecepatan sebelumnya, 7. Setelah responden beristirahat selama 10 menit, eksperimen dilanjutkan kembali dengan penggantian kecepatan yang digunakan 2 km/jam, 8. Pengukuran denyut nadi selama kondisi berjalan sama dengan pengukuran untuk kecepatan sebelumnya,
lxv
9. Setelah melakukan percobaan berjalan dengan tiga kecepatan berbeda, pengguna prosthetic mengganti desain prosthetic yang lain atau beralih pada sepuluh responden orang normal. Setelah semua eksperimen selesai dilakukan, data hasil eksperimen tersebut direkapitulasi agar dapat dilakukan pengolahan data.
3.3 PENGOLAHAN DATA Setelah dilakukan pengumpulan data, langkah berikutnya adalah mengolah data tersebut untuk mendapatkan hasil (output) dari penelitian ini. Pengolahan data dilakukan dengan urutan, sebagai berikut: 1. Perhitungan % CVL untuk pengguna prosthetic dan responden orang normal. Data hasil pengamatan terhadap aktivitas berjalan normal berupa lamanya waktu untuk melakukan 10 denyut sebelum dan setelah berjalan. Data tersebut dikonversi ke dalam bilangan denyut nadi per menit menggunakan persamaan 2.4. Nilai % CVL dihitung dari data hasil konversi denyut nadi dan denyut maksimum responden menggunakan persamaan 2.5. Denyut maksimum didapat dari nilai (220 – usia) untuk responden laki-laki. 2. Perhitungan distribusi % CVL per fase berjalan untuk pengguna prosthetic dan responden orang normal. Dalam perhitungan ini dilakukan pengamatan terhadap data berupa video rekaman aktivitas berjalan normal (eksperimen 1). Pertama, pengamatan terhadap jumlah siklus untuk setiap percobaan berjalan kemudian diambil nilai rata-ratanya. Kedua, perhitungan distribusi fatique per siklus dengan cara membagi nilai % CVL dengan jumlah rata-rata siklus menggunakan persamaan 2.6. Ketiga, pemilihan nilai fatique terbesar untuk setiap kelompok percobaan berjalan (enam kali perulangan). Keempat, pengamatan waktu tempuh setiap fase pada video rekaman. Kelima, perhitungan distribusi %CVL untuk setiap fase berjalan menggunakan persamaan 2.7. 3. Perhitungan energi ekspenditur, kebutuhan kalori, konsumsi energi, dan VO2maks untuk pengguna prosthetic dan responden orang normal. Perhitungan ini menggunakan hasil pengamatan aktivitas berjalan di treadmill. Perhitungan nilai energi ekspenditur menggunakan persamaan regresi
lxvi
kuadratis pada persamaan 2.8. Perhitungan kebutuhan kalori per jam per kg berat badan menggunakan rumus pada persamaan 2.9. Data yang diolah yaitu nilai energi ekspenditur. Perhitungan konsumsi oksigen menggunakan data awal pengukuran denyut nadi pada aktivitas berjalan di treadmill. Perhitungan ini menggunakan rumus pada persamaan 2.10. 4. Perbandingan hasil pada pengguna prosthetic dengan responden orang normal. Perbandingan hasil disajikan dalam bentuk grafik untuk mengetahui desain prosthetic dengan tingkat kedekatan hasil pengukuran fisiologi dengan kondisi normal. Hasil perhitungan yang dibandingkan yaitu nilai %CVL, distribusi %CVL per fase, energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan VO2 maks. 5. Rekomendasi desain prosthetic terbaik Hasil perbandingan memberikan informasi mengenai desain prosthetic terbaik sesuai responden amputee. Informasi tersebut dapat dijadikan rekomendasi dalam memilih desain prosthetic terbaik untuk aktivitas berjalan.
3.4 ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap hasil perbandingan % CVL, energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan
VO2
maks
yang dikeluarkan antara
pengguna prosthetic dengan orang normal. Selain itu dianalisis distribusi fatique sesuai fase berjalan. Pada akhirnya diketahui desain prosthetic dengan kualifikasi paling mendekati nilainya dengan orang normal.
3.5 KESIMPULAN DAN SARAN Tahap terakhir penelitian yaitu membuat kesimpulan yang menjawab tujuan akhir dari penelitian berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data yang telah dilakukan serta saran yang disampaikan untuk dapat semakin memperbaiki kualitas prosthetic yang dihasilkan sesuai dengan kajian fisiologi.
lxvii
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Bab ini membahas proses pengumpulan data dan proses pengolahan data sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini. Bagian pertama membahas proses pengumpulan data eksperimen. Bagian kedua membahas proses pengolahan data. Keduanya dilakukan sebagai dasar dalam memberikan analisis terhadap penyelesaian permasalahan yang dihadapi.
4.1 PENGUMPULAN DATA Tahap pengumpulan data ini dilakukan untuk mendapatkan data awal untuk pengukuran fisiologi dari pengguna prosthetic kaki bawah lutut dan orang normal. Pada tahap-tahap pengumpulan data lebih lengkap dapat dilihat pada subbab selanjutnya. 4.1.1 Desain Prosthetic Kaki Bawah Lutut Desain prosthetic yang diukur dalam penelitian ini ada tiga, yaitu satu desain eksoskeletal dan dua desain endoskeletal yang berbeda. Desain endoskeletal terdiri dari tiruan Otto Bock (Merek Regal) dan pengembangan dengan ankle joint sistem double axis. Desain prosthetic tersebut dapat dilihat pada gambar 4.1.
(a) eksoskeletal
(b) tiruan Otto Bock
(c) pengembangan
Gambar 4.1 Jenis prosthetic yang digunakan
lxviii
1. Desain Prosthetic Eksoskeletal Desain ini menggunakan korset paha dengan check strap (penyangga paha belakang) yang memberikan kekuatan pada anteroposterior stump-socket. Akibatnya pengguna bergantung pada gerakan mekanis check strap dan dapat menahan extensi lutut. Mekanika check strap memberikan ketahanan total pada reaksi lantai dengan penyesuaian stump secara bebas dalam socket. Hal tersebut menunjukkan penyesuaian yang tepat dari korset paha, batang sisi, dan check strap sehingga memungkinkan untuk modifikasi pola tekanan hubungan anteroposterior stump–socket. Desain eksoskeletal mendukung permukaan atas dari SACH foot prosthetic yang dihubungkan oleh persendian. Hal ini dilakukan untuk mencegah bagian foam atau rubber pada tumit sepatu dari pengubahan secara proximal pada heel-strike. Pada saat telapak kaki dimasukkan ke dalam sepatu, bagian daerah tumit sepatu dapat dimampatkan dan menyerap goncangan saat berjalan oleh bahan yang dipakai. SACH foot desain ini terbuat dari kayu dan ditempelkan pada material karet. Kepadatan tumit bajinya dapat divariasi antara lembut, medium dan keras disesuaikan menurut karakteristik gaya berjalan, tingkatan aktivitas, umur, berat, dan pilihan orang yang diamputasi. SACH foot dapat digunakan oleh pengguna ±2-3 tahun sebelum diganti, jika tidak rusak sebelum waktunya. Keputusan penggantian ditentukan oleh kondisi kerusakan struktural pada telapak kaki, pecahnya material, pertimbangan warna kosmetik, dan perubahan kondisi kesehatan atau permintaan pasien. Kelemahan dari desain ini yaitu tidak mampu mengakomodasi gerakan pada bidang permukaan yang tidak rata atau bergelombang. Pada prosthetic desain ini tidak terdapat komponen yang disebut dengan ankle joint yang merupakan bagian penghubung SACH foot dengan shank (betis). Bagian ankle joint ini dirancang mempunyai kemampuan melakukan gerakan flexi dan extensi. 2. Desain Prosthetic Endoskeletal Tiruan Otto Bock Desain ini menggunakan komponen ankle joint yang memungkinkan gerakan flexi dan extensi. Desain ankle joint terdiri dari poros pengatur gerakan yang dihubungkan dengan bahan setengah lingkaran yang berfungsi sebagai
lxix
penahan atau pengendali putaran dari poros pada saat melakukan gerakan flexi dan extensi dari telapak kaki. Komponen ankle joint yang ditempatkan pada SACH foot bagian depan untuk gerakan flexi dan extensi masih mengandalkan kelenturan bahan SACH foot. Bahan yang digunakan untuk menahan getaran ditempatkan di bagian belakang ankle joint dalam menjaga kelenturan bahan karet plastik. Kelebihan desain ankle joint pada komponen ankle adaptor dengan titik pusat massa yaitu berat tubuh pengguna dapat distribusikan ke bagian telapak kaki agar menopang beban ke atas pada bagian ankle joint. Kemampuan ini dibantu dengan adanya komponen 2 as yang terpasang secara vertikal pada bagian SACH foot. Pengguna dapat melakukan aktivitas berjalan lebih mudah tanpa adanya hambatan dari prosthetic kakinya, terutama menggunakan sepatu high-heels. Adanya ankle joint memungkinkan pengguna mengarahkan kaki secara baik. Kelebihan lainnya yaitu berat tubuh pengguna dapat ditopang secara baik dan memberikan keseimbangan pola ayunan jalan antara kedua kaki. Kelemahan desain prosthetic endoskeletal tiruan Otto Bock yang diproduksi oleh Manufaktur Regal buatan Taiwan yaitu posisi gerakan flexi dan extensi pada bidang SACH foot masih terbatas dalam kepekaan pada saat adanya tekanan dari atas. 3. Desain Prosthetic Endoskeletal Pengembangan 2009 Desain komponen ankle joint ini mempertimbangkan beberapa gerakan yang disebabkan tekanan pada bagian kaki dibanding gerakan keseluruhan komponen. Keuntungan ankle joint dengan sistem double axis yang sama dengan desain tiruan Otto Bock, menggunakan sistem hasil dari pengembangan di tahun 2009. Beberapa kelebihan hasil ankle joint yang dikembangkan yaitu sifat link dan joint komponen lebih sederhana, adanya bagian yang bergerak, tidak memerlukan pemeliharaan, memberikan penampilan yang lebih menarik, tenang saat digunakan, dan mudah menyesuaikan untuk sepatu high-heels. Setiap bagian komponen prosthetic kaki bawah lutut dirancang dalam satu modular yang lebih sederhana untuk memenuhi aspek kesederhanaan produk (simplicity). Komponen link dan joint pada ankle joint serta stabilizer mata kaki dapat dibuat secara masal dengan aspek keterulangan (reproductability).
lxx
Keberadaan sistem ankle joint pada SACH adaptor memungkinkan telapak kaki dapat membentuk double axis. Pengembangan prosthetic kaki jenis below knee prosthetic (BKP) diarahkan pada desain endoskeletal dengan mekanisme telapak kaki sistem ankle joint. Pengembangan ini menjadikan pengguna lebih leluasa dalam melakukan aktivitas jalan dengan pengarahan telapak kaki dalam berjalan dapat sesuai kemauan pengguna.
4.1.2 Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut (Responden Amputee) Data pengguna prosthetic kaki bawah lutut diambil pada bulan September 2009 di Laboratorium Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi (LPSKE) Teknik Industri UNS. Pemakaian prosthetic ini dikarenakan pengguna mengalami kecelakaan yang menyebabkan proses amputasi kaki bagian bawah lutut. Prosthetic yang digunakan yaitu prosthetic bawah lutut desain eksoskeletal. Berikut adalah data pengguna prosthetic. Nama
: Ngadirin
Jenis kelamin
: Laki-laki
Tinggi badan
: 162 cm
Berat prosthetic
: 2,212 kg
Tempat tanggal lahir : Boyolali, 16 Mei 1976 Riwayat amputasi
: Kecelakaan lalu lintas
Kaki amputasi
: Kaki kanan bawah lutut dengan panjang stump kaki 16 cm
Desain prosthetic
: Bawah lutut desain eksoskeletal dengan socket quardrilateral
Berat badan
: 52,2 kg (tanpa prosthetic)
lxxi
Gambar 4.2 Pengukuran data awal pada pengguna prosthetic Eksperimen untuk pengambilan data pengguna prosthetic dilakukan pada tanggal 15 September 2009 di
LPSKE. Pengambilan data dilakukan dengan
melakukan pengamatan terhadap aktivitas berjalan normal dan aktivitas berjalan menggunakan treadmill. Pada aktivitas berjalan normal dilakukan pengambilan data denyut nadi sebelum berjalan (kondisi istirahat) dan sesudah (kondisi berjalan) dengan metode 10 denyut. Denyut nadi dihitung lamanya waktu untuk melakukan 10 denyut menggunakan stopwatch. Jarak yang ditempuh sepanjang 12 meter dan dilakukan sebanyak enam kali perulangan. Perulangan yang dimaksudkan yaitu percobaan berjalan sebanyak enam kali dan diberi notasi P1, P2, P3, P4, P5, dan P6. Sehingga untuk setiap percobaan berjalan (P) dilakukan pengambilan data pada kondisi istirahat dan berjalan. Tujuan dilakukan perulangan yaitu agar didapatkan hasil dengan pola yang hampir sama. Selain diambil data pengukuran denyut nadi, diambil data berupa video aktivitas berjalan normal oleh pengguna prosthetic. Data hasil eksperimen ditabelkan untuk memudahkan dalam pembacaan. Data ini digunakan untuk mengetahui tingkat kelelahan (fatique) dengan menghitung % CVL. Hasil pengambilan data berupa konversi dari waktu 10 denyut menjadi jumlah denyut per menit dapat dilihat pada tabel 4.1.
lxxii
Tabel 4.1 Data denyut nadi aktivitas berjalan normal pengguna prosthetic Jenis Prothese
Kondisi Pengukuran
istirahat berjalan Endoskeletal istirahat Merek Regal berjalan Endoskeletal istirahat Pengembangan berjalan Eksoskeletal
Pengukuran Denyut Nadi (detik) P1 P2 P3 P4 P5 P6 6.10 5.76 5.78 5.81 5.75 5.83 5.81 5.51 5.53 5.57 5.51 5.59 5.48 5.56 5.71 5.60 4.89 6.00 5.32 5.38 5.52 5.42 4.78 5.78 5.34 5.51 6.12 5.51 5.72 5.30 5.23 5.38 5.95 5.39 5.58 5.19
Data berupa video aktivitas berjalan normal oleh pengguna prosthetic digunakan untuk mengambil data gambar fase berjalan. Hal ini dilakukan dengan meng-capture gambar enam fase dari video yang didapat. Selain itu dihitung pula lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan setiap fase berjalan tersebut. Data hasil perhitungan waktu ini akan disajikan pada bagian pengolahan data. Hasil capture data video untuk fase berjalan dapat dilihat pada gambar 4.3.
Gambar 4.3 Fase berjalan pada pengguna prosthetic
lxxiii
Pada aktivitas berjalan menggunakan treadmill jarak yang ditempuh sepanjang 100 meter masing-masing untuk tiga kecepatan berbeda, yaitu 1.2 km/jam, 1.6 km/jam, dan 2 km/jam. Pengambilan data denyut nadi dilakukan sebelum berjalan (DN0), denyut nadi pada jarak berjalan 30 meter (DN1), denyut nadi pada jarak berjalan 50 meter (DN2), dan denyut nadi pada jarak berjalan 100 meter (DN3). Denyut nadi sebelum dan selama berjalan dihitung menggunakan alat sensor pada treadmill untuk aktivitas berjalan. Data lain yang diambil juga berupa video aktivitas berjalan. Data berikut digunakan untuk menghitung nilai energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen (VO2
maks).
Hasil pengambilan data
denyut nadi dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Data denyut nadi aktivitas berjalan di treadmill pengguna prosthetic Jenis Prothese
Eksoskeletal
Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan
Pengukuran Denyut Nadi (denyut/menit)
Kecepatan (km/jam)
DN0(0)
DN1(30)
DN2(50)
DN3(100)
1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2
63 68 74 56 60 65 67 71 74
76 82 86 65 70 75 72 75 77
85 90 94 73 78 84 75 76 78
92 96 99 79 84 90 78 80 82
4.1.3 Responden Normal Responden normal ditentukan dengan memilih responden normal dengan nilai BMI (Body Mass Index) dan BMR (Basal Metabolic Rate) yang bersesuaian dengan nilai BMI dan BMR amputee. Perhitungan nilai BMI dan BMR ini akan dibahas pada bagian pengolahan data. Hal ini dilakukan agar responden normal sesuai digunakan sebagai pembanding terhadap amputee. Eksperimen dilakukan terhadap 10 orang responden normal di LPSKE pada tanggal 14-15 Oktober 2009. Responden normal ini merupakan mahasiswa dengan umur rata-rata 20-23 tahun. Jumlah 10 orang diasumsikan cukup mewakili
lxxiv
kondisi normal pada umumnya. Pengukuran terhadap responden normal digunakan sebagai acuan untuk mengetahui kedekatan hasil pengukuran pada amputee yang menggunakan prosthetic dengan orang normal. Berikut adalah data 10 orang responden normal. 1. Nama
: Agus
6.
Nama
: Harto
Usia
: 22 tahun
Usia
: 20 tahun
Tinggi badan
: 172 cm
Tinggi badan
: 168 cm
Berat badan
: 50 kg
Berat badan
: 52 kg
Nama
: Galih
2. Nama
: Puput
7.
Usia
: 22 tahun
Usia
: 22 tahun
Tinggi badan
: 170 cm
Tinggi badan
: 169 cm
Berat badan
: 51 kg
Berat badan
: 52 kg
Nama
: Tendy
3. Nama
: Diesel
8.
Usia
: 22 tahun
Usia
: 23 tahun
Tinggi badan
: 169 cm
Tinggi badan
: 172 cm
Berat badan
: 52 kg
Berat badan
: 50 kg
Nama
: Muha
4. Nama
: Brian
9.
Usia
: 22 tahun
Usia
: 22 tahun
Tinggi badan
: 171 cm
Tinggi badan
: 168 cm
Berat badan
: 51 kg
Berat badan
: 52 kg
5. Nama
: Denta
10. Nama
: Panggih
Usia
: 22 tahun
Usia
: 21 tahun
Tinggi badan
: 174 cm
Tinggi badan
: 167 cm
Berat badan
: 50 kg
Berat badan
: 51 kg
Urutan pengambilan data dilakukan sama seperti perlakuan terhadap pengguna prosthetic. Data yang diambil berupa data denyut nadi dan data berupa video. Data hasil pengamatan terhadap aktivitas berjalan normal diambil dengan enam kali perulangan yaitu percobaan berjalan 1 (P1), percobaan berjalan 2 (P2), percobaan berjalan 3 (P3), percobaan berjalan 4 (P4), percobaan berjalan 5 (P5), percobaan berjalan 6 (P6). Data hasil pengamatan denyut nadi untuk aktivitas berjalan pada responden normal dapat dilihat pada tabel 4.3.
lxxv
Tabel 4.3 Data denyut nadi aktivitas berjalan normal responden normal Responden Kondisi kePengukuran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja
P1 7.34 7.03 9.47 8.85 8.06 7.65 10.03 9.48 6.23 5.98 7.75 7.27 7.91 7.57 8.28 7.94 7.59 7.35 7.69 7.37
Pengukuran Denyut Nadi (detik) P2 P3 P4 P5 6.93 7.39 7.03 7.28 6.67 6.99 6.74 7.03 9.12 7.82 8.18 7.94 8.65 7.57 7.84 7.62 8.37 8.04 7.87 7.46 7.88 7.68 7.53 7.08 10.53 9.61 9.33 10.73 9.77 8.97 8.67 9.86 7.39 6.98 7.28 6.56 6.94 6.67 6.87 6.29 7.31 6.94 7.12 6.84 6.97 6.63 6.89 6.56 7.21 7.98 7.12 6.84 6.91 7.58 6.88 6.59 8.03 8.11 8.09 8.12 7.58 7.72 7.74 7.74 7.28 7.18 7.74 8.00 6.94 6.89 7.42 7.59 7.28 8.12 8.23 8.32 6.88 7.84 7.85 7.81
P6 7.29 6.97 7.78 7.43 7.21 6.89 10.43 9.81 6.53 6.22 6.87 6.63 7.10 6.87 8.04 7.75 7.75 7.35 7.98 7.61
Hasil capture data video untuk fase berjalan dapat dilihat pada gambar 4.4 sedangkan data hasil perhitungan lamanya waktu untuk setiap fase disajikan pada bagian pengolahan data. Capture enam fase yang dilakukan yaitu untuk fase heel contact (kontak dengan tumit), fase foot-flat (kaki datar), fase midstance point (titik setengah berdiri), fase heel-off (tumit terangkat), fase toe-off (jari kaki terangkat), dan fase midswing (setengah berayun).
lxxvi
Gambar 4.4 Fase berjalan pada responden normal
lxxvii
Gambar 4.4 Fase berjalan pada responden normal (lanjutan) Pengambilan data untuk aktivitas berjalan pada treadmill juga dilakukan sama seperti pada pengguna prosthetic. Hasilnya berupa data denyut nadi yang dapat dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4 Data denyut nadi aktivitas berjalan pada treadmill orang normal Responden Kecepatan ke(km/jam)
1
2
3
4
5
1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2
Pengukuran Denyut Nadi (denyut/menit) DN0(0)
DN1(30)
DN2(50)
DN3(100)
80 79 78 73 75 81 85 79 80 78 75 74 86 90 92
96 93 79 88 77 83 90 81 82 79 76 77 92 93 95
102 90 82 93 75 85 92 86 84 80 75 78 98 102 98
101 91 96 87 79 90 98 91 90 83 78 80 102 103 102
lxxviii
6
7
8
9
10
1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2
81 77 83 75 79 80 79 85 79 80 85 83 75 79 78
82 88 88 83 81 84 85 89 80 81 88 90 80 89 79
85 89 91 89 90 88 86 88 83 85 93 89 82 90 85
86 88 89 85 92 95 89 91 88 83 91 92 85 86 83
4.2 PENGOLAHAN DATA Pengolahan data dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian-bagiannya
yaitu
perhitungan
denyut
nadi,
perhitungan
aktivitas
cardiovaskuler (% CVL), perhitungan distribusi % CVL menurut fase berjalan, perhitungan energi ekspenditur, perhitungan kebutuhan kalori, dan perhitungan konsumsi oksigen. Bagian-bagian pengolahan data ini dijelaskan secara lebih detail pada bagian-bagian berikut ini. 4.2.1 Menentukan Nilai BMI Perhitungan nilai BMI responden amputee dan normal menggunakan persamaan 2.1. Data yang digunakan adalah data pengukuran tinggi badan dan berat badan. Perhitungan nilai BMI pada pengguna prosthetic maupun kondisi normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Pengukuran terhadap amputee menunjukkan bahwa amputee memiliki tinggi badan 1,62 m dan berat badan 52,2 kg. Nilai BMI sebesar 19,89 dan dapat disimpulkan bahwa amputee masuk dalam kategori ‘langsing’. BMI amputee =
52,2 = 19,89 1,622
lxxix
2. Responden Normal Pengukuran terhadap responden normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: a.
Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-2. Pengukuran terhadap responden normal ke-2 menunjukkan bahwa responden memiliki tinggi badan 1,70 m dan berat badan 51 kg. Nilai BMI sebesar 17,65 dan dapat disimpulkan bahwa responden ini masuk dalam kategori ‘langsing’. BMI responden normal ke-2 =
b.
51 = 17,65 1,702
Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-3. Pengukuran terhadap responden normal ke-3 menunjukkan bahwa responden memiliki tinggi badan 1,69 m dan berat badan 52 kg. Nilai BMI sebesar 18,21 dan dapat disimpulkan bahwa responden ini masuk dalam kategori ‘langsing’. BMI responden normal ke-3 =
c.
52 = 18,21 1,692
Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-4. Pengukuran terhadap responden normal ke-4 menunjukkan bahwa responden memiliki tinggi badan 1,71 m dan berat badan 51 kg. Nilai BMI sebesar 17,44 dan dapat disimpulkan bahwa responden ini masuk dalam kategori ‘langsing’. BMI responden normal ke-4 =
51 = 17,44 1,712
Penentuan nilai BMI dilakukan terhadap setiap responden normal dan dipilih responden yang memiliki nilai BMI dengan kategori yang sama dengan amputee yaitu kategori ‘langsing’. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.5.
lxxx
Tabel 4.5 Nilai BMI pada responden normal Responden Berat Badan Tinggi Badan Nilai BMI ke(kg) (m) 1 50 1.72 16.90 2 51 1.70 17.65 3 52 1.69 18.21 4 51 1.71 17.44 5 50 1.74 16.51 6 52 1.68 18.42 7 52 1.69 18.21 8 50 1.72 16.90 9 52 1.68 18.42 10 51 1.67 18.29
Kategori langsing langsing langsing langsing langsing langsing langsing langsing langsing langsing
4.2.2 Menentukan Nilai BMR Perhitungan nilai BMR responden amputee dan normal menggunakan persamaan 2.2 yaitu untuk laki-laki. Data yang digunakan adalah data usia, pengukuran tinggi badan, dan berat badan. Perhitungan nilai BMR pada pengguna prosthetic maupun kondisi normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Pengukuran menunjukkan bahwa amputee berusia 33 tahun, memiliki tinggi badan 162 cm dan berat badan 52,2 kg. Nilai BMR sebesar 1372 Kkal/hari. æ 13.7516 (52,2) 5.0033 (162) 6.7550 (33) ö BMR amputee = çç + + 66.4730 ÷÷ 1 kg 1cm 1tahun è ø
= 1372 Kkal/hari 2. Responden Normal Pengukuran responden normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: a. Penentuan nilai BMR pada responden normal ke-2. Pengukuran terhadap responden normal ke-2 menunjukkan bahwa responden berusia 22 tahun, memiliki tinggi badan 170 cm dan berat badan 51 kg. Nilai BMR sebesar 1470 Kkal/hari. æ 13.7516 (51) 5.0033 (170) 6.7550 ( 22) ö BMR = çç + + 66.4730 ÷÷ 1 kg 1cm 1tahun è ø
= 1470 Kkal/hari
lxxxi
b. Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-3. Pengukuran terhadap responden normal ke-3 menunjukkan bahwa responden berusia 22 tahun, memiliki tinggi badan 169 cm dan berat badan 52 kg. Nilai BMR sebesar 1479 Kkal/hari. æ 13.7516 (52) 5.0033 (169) 6.7550 ( 22) ö BMR = çç + + 66.4730 ÷÷ 1 kg 1cm 1tahun è ø
= 1479 Kkal/hari c. Penentuan nilai BMI pada responden normal ke-4. Pengukuran terhadap responden normal ke-4 menunjukkan bahwa responden berusia 22 tahun, memiliki tinggi badan 171 cm dan berat badan 51 kg. Nilai BMR sebesar 1475 Kkal/hari. æ 13.7516 (51) 5.0033 (171) 6.7550 ( 22) ö BMR = çç + + 66.4730 ÷÷ 1 kg 1cm 1tahun è ø
= 11475 Kkal/hari Penentuan nilai BMR dilakukan pada setiap responden normal dan dipilih responden dengan nilai BMR mendekati nilai amputee. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.6. Tabel 4.6 Nilai BMR pada responden normal Responden Berat Badan Tinggi Badan ke(kg) (cm) 1 50 172 2 51 170 3 52 169 4 51 171 5 50 174 6 52 168 7 52 169 8 50 172 9 52 168 10 51 167
Umur (tahun) 22 22 22 22 22 20 22 23 22 21
Nilai BMR (Kkal/hari) 1466 1470 1479 1475 1476 1487 1479 1459 1474 1462
4.2.3 Menentukan Denyut Nadi Perhitungan denyut nadi responden per menit dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.4. Data yang digunakan adalah data waktu yang diambil dengan metode 10 denyut sebelum (istirahat) dan setelah (berjalan) lxxxii
melakukan aktivitas berjalan. Perhitungan denyut nadi pada pengguna prosthetic maupun kondisi normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Data yang digunakan adalah data dari pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan normal pada tabel 4.1. a.
Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic eksoskeletal. Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 denyut nadi pada pengguna prosthetic eksoskeletal adalah 6,10 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 5,81 detik.
b.
Denyut nadi istirahat =
10 x60 = 98,36 denyut/menit 6,10
Denyut nadi berjalan =
10 x60 = 103,27 denyut/menit 5,81
Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic endoskeletal merek Regal. Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal adalah 5,48 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 5,32 detik.
c.
Denyut nadi istirahat =
10 x60 = 109,49 denyut/menit 5,48
Denyut nadi berjalan =
10 x60 = 112,78 denyut/menit 5,32
Percobaan
berjalan
1
(P1)
dengan
prosthetic
endoskeletal
pengembangan. Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan adalah 5,34 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 5,23 detik. Denyut nadi istirahat =
10 x60 = 112,36 denyut/menit 5,34
Denyut nadi berjalan =
10 x60 = 114,72 denyut/menit 5,23
lxxxiii
Setiap hasil pengukuran dihitung dan dikonversi ke dalam bilangan denyut nadi/menit, baik untuk kondisi istirahat maupun kondisi berjalan. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.7. Tabel 4.7 Hasil perhitungan denyut nadi pengguna prosthetic Jenis Prothese
Kondisi Pengukuran
istirahat berjalan Endoskeletal istirahat Merek Regal berjalan Endoskeletal istirahat Pengembangan berjalan Eksoskeletal
Pengukuran Denyut Nadi (denyut/menit) P1 P2 P3 P4 P5 P6 98.36 104.17 103.81 103.27 104.35 102.92 103.27 108.89 108.50 107.72 108.89 107.33 109.49 107.91 105.08 107.14 122.70 100.00 112.78 111.52 108.70 110.70 125.52 103.81 112.36 108.89 98.04 108.89 104.90 113.21 114.72 111.52 100.84 111.32 107.53 115.61
Hasil perhitungan denyut nadi pada tabel 4.7 disajikan dalam bentuk grafik. Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui tingkat perbedaan denyut kondisi istirahat dan kondisi beraktivitas yaitu berjalan. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.5.
Gambar 4.5 Grafik hasil pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic
lxxxiv
Pada grafik terlihat bahwa denyut nadi pada kondisi istirahat lebih rendah dibandingkan denyut pada kondisi berjalan. Hal ini terjadi pada setiap perulangan percobaan jalan menggunakan ketiga desain prosthetic berbeda.
2. Responden Normal Data yang digunakan adalah data dari pengukuran denyut nadi 10 responden orang normal pada aktivitas berjalan normal yaitu tabel 4.3. a.
Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-1. Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 denyut nadi pada responden ke-1 adalah 7,34 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 7,03 detik.
b.
Denyut nadi istirahat =
10 x60 = 81,74 denyut/menit 7,34
Denyut nadi berjalan =
10 x60 = 85,35 denyut/menit 7,03
Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-3. Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 denyut nadi pada responden ke-3 adalah 8,06 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 7,65 detik.
c.
Denyut nadi istirahat =
10 x60 = 74,44 denyut/menit 8,06
Denyut nadi berjalan =
10 x60 = 78,43 denyut/menit 7,65
Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-5. Setelah beristirahat selama 10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 10 denyut nadi pada responden ke-5 adalah 6,23 detik. Sedangkan setelah berjalan, waktu yang dibutuhkan adalah 5,98 detik. Denyut nadi istirahat =
10 x60 = 96,31 denyut/menit 6,23
Denyut nadi berjalan =
10 x60 = 100,33 denyut/menit 5,98
lxxxv
Setiap hasil pengukuran dihitung dan dikonversi ke dalam bilangan denyut nadi/menit, baik untuk kondisi istirahat maupun kondisi berjalan. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.8. Tabel 4.8 Hasil perhitungan denyut responden normal Responden Kondisi kePengukuran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja istirahat kerja
Pengukuran Denyut Nadi (denyut/menit) P1 P2 P3 P4 P5 81.74 86.58 81.19 85.35 82.42 85.35 89.96 85.84 89.02 85.35 63.36 65.79 76.73 73.35 75.57 67.80 69.36 79.26 76.53 78.74 74.44 71.68 74.63 76.24 80.43 78.43 76.14 78.13 79.68 84.75 59.82 56.98 62.43 64.31 55.92 63.29 61.41 66.89 69.20 60.85 96.31 81.19 85.96 82.42 91.46 100.33 86.46 89.96 87.34 95.39 77.42 82.08 86.46 84.27 87.72 82.53 86.08 90.50 87.08 91.46 75.85 83.22 75.19 84.27 87.72 79.26 86.83 79.16 87.21 91.05 72.46 74.72 73.98 74.17 73.89 75.57 79.16 77.72 77.52 77.52 79.05 82.42 83.57 77.52 75.00 81.63 86.46 87.08 80.86 79.05 78.02 82.42 73.89 72.90 72.12 81.41 87.21 76.53 76.43 76.82
P6 82.30 86.08 77.12 80.75 83.22 87.08 57.53 61.16 91.88 96.46 87.34 90.50 84.51 87.34 74.63 77.42 77.42 81.63 75.19 78.84
Hasil perhitungan denyut nadi pada tabel 4.8 disajikan dalam bentuk grafik. Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui tingkat perbedaan denyut kondisi istirahat dan kondisi beraktivitas yaitu berjalan. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.6.
lxxxvi
Gambar 4.6 Grafik hasil pengukuran denyut nadi responden normal Pada grafik terlihat bahwa denyut nadi pada kondisi istirahat lebih rendah dibandingkan denyut pada kondisi berjalan. Hal ini terjadi pada setiap perulangan percobaan jalan pada sepuluh responden normal.
4.2.4 Menentukan Tingkat Kelelahan (%CVL) Perhitungan
nilai
tingkat
kelelahan
(%CVL)
dilakukan
dengan
menggunakan persamaan 2.5. Data yang digunakan adalah data hasil perhitungan denyut nadi per menit, sebelum (istirahat) dan setelah (berjalan) melakukan aktivitas berjalan, dan denyut maksimum dari pengguna prosthetic juga kondisi normal. Denyut nadi maksimum laki-laki diperoleh dari 220 – usia pengguna prosthetic ataupun usia responden orang normal. Perhitungan %CVL pengguna prosthetic maupun kondisi normal dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Data yang digunakan adalah hasil perhitungan denyut nadi pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan normal, yaitu pada tabel 4.7. Data denyut nadi maksimum pengguna prosthetic yaitu sebesar 187 denyut/menit.
lxxxvii
a. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic eksoskeletal. Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada pengguna prosthetic eksoskeletal adalah 98,36 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah 103,27 denyut/menit. Maka nilai %CVL sebesar 5,54 %. %CVL =
103,27 - 98,36 x100% = 5,54 % 187 - 98,36
b. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic endoskeletal merek Regal. Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal adalah 109,49 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah 112,78 denyut/menit. Maka nilai %CVL sebesar 4,25 %. %CVL =
112,78 - 109,49 x100% = 4,25 % 187 - 109,49
c. Percobaan berjalan 1 (P1) dengan prosthetic endoskeletal pengembangan. Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan adalah 112,36 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah 114,72 denyut/menit. Maka nilai %CVL sebesar 3,17 %. %CVL =
114,72 - 112,36 x100% = 3,17 % 187 - 112,36
Setiap perulangan dihitung nilai %CVL atau tingkat kelelahan yang dialami. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.7. Tabel 4.9 Hasil perhitungan %CVL pengguna prosthetic Jenis Prothese
P1
Pengukuran %CVL P2 P3 P4 P5
P6
Eksoskeletal
5.54
5.71
5.64
5.31
5.50
5.25
Endoskeletal Merek Regal
4.25
4.57
4.42
4.46
4.39
4.37
Endoskeletal Pengembangan
3.17
3.37
3.15
3.10
3.21
3.25
Hasil perhitungan %CVL dibuat grafik agar dapat dianalisis dengan cara membandingkan performasi ketiga desain prosthetic yang digunakan terhadap kondisi fisiologi dari pengguna. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.7.
lxxxviii
Gambar 4.7 Grafik hasil perhitungan % CVL pengguna prosthetic Pada grafik di atas dapat dilihat tingkat kelelahan akibat aktivitas berjalan normal dari prosthetic yang digunakan. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai % CVL untuk prosthetic endoskeletal pengembangan lebih kecil dibandingkan dengan prosthetic desain eksoskeletal dan endoskeletal merek Regal.
2. Responden Normal Data yang digunakan adalah hasil perhitungan denyut nadi responden normal pada aktivitas berjalan normal yaitu pada tabel 4.8. a. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-1. Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada responden ke-1 adalah 81,74 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah 85,35 denyut/menit. Denyut nadi maksimalnya adalah 220 – 22 = 198 denyut/menit. Maka nilai % CVL sebesar 3,10 %. % CVL =
85,35 - 81,74 x100% = 3,10 % 198 - 81,74
b. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-3. Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada responden ke-1 adalah 74,44 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah 78,43 denyut/menit. Denyut nadi maksimalnya adalah 220 – 22 = 198 denyut/menit. Maka nilai % CVL sebesar 3,23 %.
lxxxix
% CVL =
78,43 - 74,44 x100% = 3,23 % 198 - 74,44
c. Percobaan berjalan 1 (P1) pada responden ke-5. Setelah beristirahat selama 10 menit, denyut nadi pada responden ke-1 adalah 96,31 denyut/menit. Sedangkan setelah berjalan, denyut nadi adalah 100,33 denyut/menit. Denyut nadi maksimalnya adalah 220 – 22 = 198 denyut/menit. Maka nilai % CVL sebesar 3,96 %. % CVL =
100,33 - 96,31 x100% = 3,96 % 198 - 96,31
Setiap perulangan dihitung nilai % CVL atau tingkat kelelahan yang dialami. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.10. Tabel 4.10 Hasil perhitungan % CVL responden normal Responden Denyut keNadi Maks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
198 198 198 198 198 200 198 197 198 199
P1 3.10 3.30 3.23 2.51 3.96 4.17 2.79 2.49 2.17 2.80
Pengukuran % CVL P2 P3 P4 P5 3.03 3.98 3.26 2.54 2.70 2.09 2.55 2.59 3.53 2.84 2.83 3.67 3.14 3.29 3.66 3.47 4.51 3.57 4.26 3.69 3.40 3.56 2.43 3.33 3.15 3.23 2.58 3.02 3.63 3.04 2.73 2.95 3.49 3.07 2.77 3.29 4.11 2.11 2.80 3.71
P6 3.27 3.01 3.37 2.59 4.32 2.81 2.49 2.28 3.49 2.95
Hasil perhitungan % CVL selanjutnya dibuat grafik agar dapat dianalisis lebih lanjut dengan cara membandingkan performasi sepuluh orang responden untuk kondisi normal. Grafik hasil perhitungan dapat dilihat pada gambar 4.8.
xc
Gambar 4.8 Grafik hasil perhitungan % CVL responden normal Pada grafik di atas dapat dilihat tingkat kelelahan akibat aktivitas berjalan normal pada sepuluh responden normal. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai % CVL responden normal berada dalam range rata-rata 2,0-3,5 %. Berikutnya dilakukan perhitungan distribusi nilai tingkat kelelahan (%CVL) pada enam fase berjalan. Fase berjalan dipilih sesuai dengan gambar 4.9.
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 4.9 Siklus pola jalan (gait cycle) Sumber: Lower-limb prosthetics, 1990
Pada gambar tersebut terdapat tujuh fase gerakan berjalan yaitu heel contact, foot flat, midstance point, heel off, toe off, midswing, dan kembali pada heel contact. Fase pertama dengan fase ketujuh merupakan gerakan yang sama (heel contact). Kesamaan gerakan tersebut dapat berarti bahwa energi yang dikeluarkan hampir sama dan kelelahan yang ditimbulkan juga hampir sama. Alasan tersebut membuat penelitian ini menggunakan enam fase gerakan dalam berjalan.
xci
Melalui pengamatan data berupa video aktivitas berjalan normal sebanyak enam kali perulangan, terhitung pengguna prosthetic maupun responden orang normal melakukan sekitar 10 siklus berjalan. Setiap aktivitas berjalan sejauh 12 meter didapatkan 10 siklus, setiap siklusnya terdiri dari enam fase. Perhitungan % CVL per fase berjalan dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Data yang digunakan adalah hasil perhitungan % CVL pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan normal, yaitu pada tabel 4.9. Selain itu didukung data video rekaman terhadap aktivitas berjalan normal. a. Pengamatan jumlah siklus berjalan, Pengamatan dilakukan terhadap data berupa video rekaman aktivitas berjalan pengguna prosthetic. Setiap percobaan berjalan dihitung jumlah siklus yang dihasilkan. Jumlah siklus rata-rata yang terpilih yaitu 10 siklus. Siklus berjalan sepanjang 12 meter ditempuh selama 15 detik dengan siklus perulangan dalam berjalan sebanyak 10 siklus. Diestimasi bahwa gerakan 1 siklus berjalan dapat ditempuh sejauh 1,2 meter dengan waktu tempuh selama 1,5 detik per siklus. Rekapitulasi hasil penghitungan jumlah siklus dapat dilihat pada tabel 4.11. Tabel 4.11 Hasil pengamatan jumlah siklus berjalan pada pengguna prosthetic Jenis Prothese Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan
Percobaan Jalan ke- (jumlah siklus) 1 2 3 4 5 6 9 10 9 10.5 11 10
Rata-rata Jumlah Siklus Siklus 9.917 10
11
10
10
11
10.5
10
10.417
10
10
10.5
11
10.5
10.5
10
10.417
10
Hasil pengamatan terhadap jumlah siklus yang terjadi dalam setiap percobaan berjalan pada tabel 4.11 di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui perubahan jumlah siklus dalam setiap perulangan percobaan berjalan. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.10.
xcii
Gambar 4.10 Grafik hasil pengamatan terhadap siklus berjalan pengguna prosthetic Pada grafik terlihat bahwa banyaknya siklus yang terjadi pada setiap percobaan berjalan adalah 9-11 siklus. Dalam perhitungan lebih lanjut diambil nilai rata-rata jumlah siklus yang terjadi yaitu 10 siklus. b. Perhitungan distribusi % CVL per siklus untuk setiap aktivitas berjalan, Perhitungan distribusi % CVL per siklus ini dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.6 yaitu membagi nilai % CVL pada tabel 4.9 dengan jumlah siklus pada tabel 4.11. Berikut adalah beberapa contoh perhitungannya menggunakan persamaan 2.6. · Pada prosthetic eksoskeletal percobaan jalan ke-1, =
5,54 = 0,554 % 10
· Pada prosthetic endoskeletal merek Regal percobaan jalan ke-3, =
4,42 = 0,442 % 10
· Pada prosthetic endoskeletal pengembangan percobaan jalan ke-5. =
3,21 = 0,321 % 10
Setiap perulangan percobaan jalan dihitung nilai % CVL atau tingkat kelelahan yang dialami pada setiap siklus. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.12.
xciii
Tabel 4.12 Distribusi % CVL per siklus pada pengguna prosthetic Jenis Prothese Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan
Distribusi % CVL per Siklus pada Percobaan Jalan ke- (dalam %) 1 2 3 4 5 6 0.554 0.571 0.564 0.531 0.550 0.525 0.425
0.457
0.442
0.446
0.439
0.437
0.317
0.337
0.315
0.310
0.321
0.325
Penentuan distribusi nilai % CVL pada tabel 4.12 di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui nilai distribusi % CVL per siklus untuk setiap percobaan jalan. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.11.
Gambar 4.11 Grafik distribusi % CVL per siklus pengguna prosthetic Pada grafik terlihat bahwa distribusi nilai % CVL setiap siklus pada desain prosthetic endoskeletal pengembangan lebih rendah dibandingkan dua desain prosthetic lainnya. Hal ini sementara dapat mengindikasikan bahwa prosthetic dengan distribusi nilai % CVL lebih rendah berarti lebih baik. c. Pemilihan nilai % CVL per siklus terbesar, Pemilihan ini dilakukan terhadap nilai hasil perhitungan distribusi % CVL terbesar dari enam kali percobaan. Nilai yang terpilih tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan % CVL per fase. Hasil pemilihan dapat dilihat pada tabel 4.13.
xciv
Tabel 4.13 Nilai % CVL per siklus terbesar pada pengguna prosthetic Jenis Prothese
% CVL per siklus
Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan
0.571 0.457 0.337
Penentuan nilai % CVL per siklus terbesar pada tabel 4.13 di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui perbandingan ketiga desain prosthetic. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.12.
Gambar 4.12 Grafik pengamatan nilai % CVL per siklus terbesar pada pengguna prosthetic Pada grafik terlihat bahwa nilai % CVL per siklus terbesar untuk ketiga desain. Dari ketiga nilai tersebut, nilai untuk desain prosthetic endoskeletal pengembangan lebih rendah dibandingkan dua desain prsosthetic lainnya. d. Pengamatan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai setiap fase berjalan, Pengamatan ini dilakukan secara langsung terhadap data video rekaman. Setiap fase dihitung waktu tempuhnya kemudian dipilih satu siklus dengan rekapitulasi waktu per fasenya. Hasil penghitungan waktu tempuh per fase yang terpilih dapat dilihat pada tabel 4.14.
xcv
Tabel 4.14 Waktu per fase berjalan pada pengguna prosthetic Jenis Prothese Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan
1 0.324
Waktu pada Fase ke- (detik) 2 3 4 5 0.149 0.089 0.306 0.142
6 0.142
Waktu 1 Siklus 1.152
0.335
0.234
0.114
0.362
0.212
0.182
1.439
0.413
0.153
0.138
0.397
0.196
0.188
1.485
Hasil pengamatan terhadap waktu di atas disajikan dalam bentuk grafik. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.13.
Gambar 4.13 Grafik hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada pengguna prosthetic Pada grafik terlihat bahwa lamanya waktu per fase pada desain eksoskeletal lebih sedikit dibandingkan kedua desain lainnya. e. Perhitungan distribusi % CVL untuk setiap fase berjalan. Data yang dipakai yaitu data pada tabel 4.13 dan 4.14. Perhitungan distribusi %CVL untuk setiap fase berjalan menggunakan persamaan 2.7. Contoh perhitungannya dapat dilihat, sebagai berikut: · Fase 1 pada prosthetic eksoskeletal, =
0,324 x 0,571 = 0,1605 % 1,152
· Fase 1 pada prosthetic endoskeletal merek Regal,
xcvi
=
0,335 x 0,457 = 0,1063 % 1,439
· Fase 1 pada prosthetic endoskeletal pengembangan. =
0,413 x 0,337 = 0,0937 % 1,485
Setiap perulangan percobaan jalan dihitung nilai % CVL atau tingkat kelelahan yang dialami pada setiap fase berjalan untuk pengguna prosthetic. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.15. Tabel 4.15 Distribusi nilai % CVL per fase pada pengguna prosthetic Jenis Prothese Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan
% CVL per fase 1 2 3 4 5 6 0.1605 0.0738 0.0441 0.1516 0.0703 0.0703 0.1063 0.0742 0.0362 0.1148 0.0673 0.0577 0.0937 0.0347 0.0313 0.0901 0.0445 0.0426
Hasil tersebut kemudian diplotkan pada grafik berikut, dapat dilihat tingkat kelelahan akibat aktivitas berjalan normal pada pengguna prosthetic. Hasil menunjukkan
bahwa
nilai
%CVL
untuk
prosthetic
endoskeletal
pengembangan lebih kecil daripada semua fase jika dibandingkan dengan prosthetic desain eksoskeletal dan endoskeletal merek Regal. Grafiknya dapat dilihat pada gambar 4.14.
Gambar 4.14 Distribusi % CVL per fase pada pengguna prosthetic
xcvii
Hasil perhitungan distribusi %CVL per fase pada tabel 4.15 dipasangkan dengan hasil capture gambar video rekaman menggunakan ketiga desain prosthetic pada gambar 4.3. Hasilnya dapat dilihat pada gambar 4.15.
Gambar 4.15 Distribusi % CVL pada gerak per fase pengguna prosthetic 2. Responden Normal Data yang digunakan adalah hasil perhitungan % CVL responden normal pada aktivitas berjalan normal, yaitu pada tabel 4.10. Selain itu didukung data video rekaman terhadap aktivitas berjalan normal. a. Pengamatan jumlah siklus berjalan, Pengamatan dilakukan terhadap data berupa video rekaman aktivitas berjalan responden normal. Pada setiap percobaan berjalan dihitung jumlah siklus yang dihasilkan. Untuk percobaan jalan ke-1 responden ke-1 terhitung
xcviii
10 siklus. Untuk percobaan jalan ke-3 responden ke-5 terhitung 10,5 siklus. Untuk percobaan jalan ke-4 responden ke-10 terhitung 11 siklus. Siklus berjalan sepanjang 12 meter ditempuh selama 11 detik dengan siklus perulangan dalam berjalan sebanyak 10 siklus. Diestimasi bahwa gerakan 1 siklus berjalan dapat ditempuh sejauh 1,2 meter selama 1,1 detik/siklus. Rekapitulasi hasil penghitungan jumlah siklus dilihat pada tabel 4.16. Tabel 4.16 Hasil pengamatan jumlah siklus berjalan pada responden normal Responden ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Percobaan Jalan ke- (jumlah siklus) 1 2 3 4 5 6 10 10.5 10.5 10 11 10.5 10.5 10 10 9.5 10 10 9.5 9 9 8.5 9 8.5 10 9.5 9.5 10 10 9.5 10.5 10 10.5 10 10.5 10.5 10 9.5 9.5 10 10 10 9.5 9.5 10 10 9.5 10 9 8 8.5 9.5 9 9 10.5 10.5 10.5 10.5 10 10.5 10 10.5 10.5 11 10 10.5
Ratarata 10.42 10.00 8.92 9.75 10.33 9.83 9.75 8.83 10.42 10.42
Jumlah Siklus 10 10 9 10 10 10 10 9 10 10
Hasil pengamatan terhadap jumlah siklus yang terjadi dalam setiap percobaan berjalan pada tabel 4.16 di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hal ini dilakukan agar lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui perubahan jumlah siklus dalam setiap perulangan percobaan berjalan. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.16.
xcix
Gambar 4.16 Grafik hasil pengamatan terhadap siklus berjalan responden normal Pada grafik terlihat bahwa banyaknya siklus yang terjadi pada setiap percobaan berjalan pada responden normal adalah 8-11 siklus. Dalam perhitungan lebih lanjut diambil nilai rata-rata jumlah siklus yang terjadi pada setiap responden. b. Perhitungan distribusi % CVL per siklus untuk setiap aktivitas berjalan, Perhitungan distribusi % CVL ini dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.6 yaitu membagi nilai % CVL pada tabel 4.10 dengan jumlah siklus yang ditentukan pada tabel 4.16. Berikut adalah beberapa contoh perhitungannya. · % CVL per siklus responden ke-1 percobaan jalan ke-1, =
3,10 = 0,310 % 10
· % CVL per siklus responden ke-3 percobaan jalan ke-3, =
2,84 = 0,315 % 9
· % CVL per siklus responden ke-5 percobaan jalan ke-5. =
3,69 = 0,369 % 10
c
Setiap perulangan percobaan jalan dihitung nilai % CVL atau tingkat kelelahan yang dialami pada setiap siklus. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.17. Tabel 4.17 Distribusi % CVL per siklus pada responden normal Responden ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Distribusi % CVL per Siklus pada Percobaan Jalan ke- (dalam %) 1 2 3 4 5 6 0.310 0.303 0.398 0.326 0.254 0.327 0.330 0.270 0.209 0.255 0.259 0.301 0.359 0.392 0.315 0.314 0.408 0.374 0.251 0.314 0.329 0.366 0.347 0.259 0.396 0.451 0.357 0.426 0.369 0.432 0.417 0.340 0.356 0.243 0.333 0.281 0.279 0.315 0.323 0.258 0.302 0.249 0.277 0.403 0.338 0.303 0.327 0.254 0.217 0.349 0.307 0.277 0.329 0.349 0.280 0.411 0.211 0.280 0.371 0.295
Penentuan distribusi nilai % CVL pada tabel 4.17 disajikan pada grafik 4.17 sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui nilai distribusi %CVL per siklus untuk setiap percobaan jalan.
Gambar 4.17 Grafik distribusi % CVL per siklus responden normal Pada grafik terlihat bahwa distribusi nilai % CVL setiap siklus pada responden normal berbeda-beda. Perbedaan ini dikarenakan setiap responden memiliki cara berjalan dan lebar langkah yang berbeda-beda.
ci
c. Pemilihan nilai % CVL per siklus terbesar, Pemilihan ini dilakukan terhadap nilai hasil perhitungan distribusi % CVL terbesar dari enam kali percobaan pada tabel 4.17. Nilai yang terpilih tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan % CVL per fase. Hasil pemilihan dapat dilihat pada tabel 4.18. Tabel 4.18 Nilai % CVL per siklus terbesar pada responden normal Responden % CVL keper siklus 1 0.398 2 0.330 3 0.408 4 0.366 5 0.451 6 0.417 7 0.323 8 0.403 9 0.349 10 0.411 Penentuan nilai % CVL per siklus terbesar pada tabel 4.18 di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui kesesuaian hasil pada kesepuluh responden normal. Grafik dapat dilihat pada gambar 4.18.
Gambar 4.18 Grafik pengamatan nilai % CVL per siklus terbesar pada responden normal Pada grafik terlihat bahwa nilai % CVL per siklus terbesar pada kesepuluh responden normal. Setiap pemilihan nilai % CVL terbesar berada dalam rentangan nilai yang hampir sama yaitu sekitar 0,3-0,45 %.
cii
d. Pengamatan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai setiap fase berjalan, Pengamatan ini dilakukan secara langsung terhadap data video rekaman responden normal. Setiap fase dihitung waktu tempuhnya kemudian dipilih satu siklus dengan rekapitulasi waktu per fasenya. Hasil penghitungan waktu tempuh per fase yang terpilih dapat dilihat pada tabel 4.19. Tabel 4.19 Waktu per fase berjalan pada responden normal Responden ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 0.306 0.180 0.236 0.23 0.187 0.263 0.308 0.167 0.200 0.208
Waktu pada Fase ke- (detik) 2 3 4 5 0.203 0.104 0.354 0.247 0.162 0.102 0.263 0.223 0.147 0.092 0.227 0.168 0.191 0.107 0.196 0.232 0.121 0.109 0.193 0.102 0.195 0.162 0.272 0.158 0.141 0.196 0.300 0.261 0.121 0.075 0.176 0.103 0.251 0.103 0.328 0.158 0.167 0.095 0.219 0.146
6 0.178 0.163 0.118 0.155 0.097 0.129 0.151 0.104 0.176 0.114
Waktu 1 Siklus 1.392 1.093 0.988 1.111 0.809 1.179 1.357 0.746 1.216 0.949
Hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada tabel 4.19 di atas disajikan pada grafik 4.19 sehingga lebih mudah dalam menganalisis dan mengetahui perbandingan lamanya waktu per fase pada kesepuluh responden normal.
Gambar 4.19 Grafik hasil pengamatan terhadap waktu per fase pada responden normal Pada grafik terlihat bahwa fase ke-4 merupakan fase dengan waktu terlama sedangkan fase ke-3 dan ke-6 merupakan fase dengan waktu tersingkat. Hal tersebut terjadi hampir pada hasil pengamatan seluruh responden normal. ciii
e. Perhitungan distribusi % CVL untuk setiap fase berjalan, Data yang dipakai yaitu data pada tabel 4.18 dan 4.19. Perhitungan distribusi % CVL untuk setiap fase berjalan menggunakan persamaan 2.7. Contoh perhitungannya dapat dilihat, sebagai berikut: · Fase 1 pada responden ke-1, =
0,306 x 0,398 = 0,0874 % 1,392
· Fase 1 pada responden ke-3, =
0,236 x 0,408 = 0,0974 % 0,988
· Fase 1 pada responden ke-5. =
0,187 x 0,451 = 0,1042 % 0,809
Setiap perulangan percobaan jalan dihitung nilai % CVL atau tingkat kelelahan yang dialami pada setiap fase berjalan untuk responden normal. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.20. Tabel 4.20 Distribusi nilai % CVL per fase pada responden normal Responden ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 0.0874 0.0543 0.0974 0.0758 0.1042 0.0930 0.0733 0.0902 0.0575 0.0901
2 0.0580 0.0489 0.0607 0.0630 0.0674 0.0690 0.0336 0.0654 0.0721 0.0723
% CVL per fase 3 4 0.0297 0.1012 0.0308 0.0793 0.0380 0.0937 0.0353 0.0646 0.0607 0.1075 0.0573 0.0962 0.0467 0.0714 0.0405 0.0951 0.0296 0.0943 0.0411 0.0948
5 0.0706 0.0673 0.0694 0.0765 0.0568 0.0559 0.0621 0.0557 0.0454 0.0632
6 0.0509 0.0492 0.0487 0.0511 0.0540 0.0456 0.0359 0.0562 0.0506 0.0494
Hasil tersebut diplotkan pada grafik. Dapat dilihat tingkat kelelahan akibat aktivitas berjalan pada responden normal. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai % CVL untuk tersebar rata untuk keenam fase, mulai dari fase heel contact sampai fase midswing, grafiknya dapat dilihat pada gambar 4.20.
civ
Gambar 4.20 Distribusi % CVL per fase pada responden normal Hasil perhitungan pada tabel 4.20 dipasangkan dengan hasil capture gambar dari data video rekaman aktivitas berjalan responden normal pada gambar 4.4. Hasil rekapitulasinya dapat dilihat pada gambar 4.21.
cv
cvi
Gambar 4.21 Distribusi % CVL pada gerak per fase responden normal
cvii
Gambar 4.21 Distribusi % CVL pada gerak per fase responden normal (lanjutan) 4.2.5 Menentukan Energi Ekspenditur Data yang diolah yaitu data pengukuran denyut nadi aktivitas berjalan pada pengguna prosthetic dan responden normal dengan menggunakan treadmill. Pengukuran denyut nadi diukur sebelum dan saat berjalan sejauh 100 meter untuk tiga kecepatan berbeda (1,2 km/jam; 1,6 km/jam; dan 2 km/jam). Hubungan energi expenditure dan kecepatan denyut nadi berdasarkan pengukuran heart rate (HR) dicari berdasarkan pendekatan kuantitatif dengan regresi kuadratis dengan persamaan 2.5 (Astuti B., 1985). Perhitungan energi ekspenditur dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Data yang digunakan adalah data dari pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan di treadmill, yaitu pada tabel 4.2. Berikut adalah beberapa contoh perhitungannya. a.
Pada pengguna prosthetic eksoskeletal, Denyut nadi pada pengguna prosthetic eksoskeletal dengan kecepatan treadmill 1.2 km/jam yang diukur pada jarak ke 30 meter adalah 76 denyut/menit. Nilai energi ekspenditur sebesar 2,788 Kkal/menit. Y = 1.80411 - (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2 Y = 1.80411 - (0.0229038) (76) + (4.71733 x 10-4) (76) 2 Y = 2.788 Kkal/menit
b.
Pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal, Denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal dengan kecepatan treadmill 1.6 km/jam yang diukur pada jarak ke 50 meter adalah 78 denyut/menit. Nilai energi ekspenditur sebesar 2,288 Kkal/menit. Y = 1.80411 - (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2 Y = 1.80411 - (0.0229038) (78) + (4.71733 x 10-4) (78) 2 Y = 2.288 Kkal/menit
c. Pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan. Denyut nadi pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan dengan kecepatan treadmill 2 km/jam yang diukur pada jarak ke 100 meter adalah 82 denyut/menit. Nilai energi ekspenditur sebesar 3,098 Kkal/menit.
cviii
Y = 1.80411 - (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2 Y = 1.80411 - (0.0229038) (82) + (4.71733 x 10-4) (82) 2 Y = 3.098 Kkal/menit Nilai energi ekspenditur dihitung untuk setiap hasil pengukuran denyut nadi, baik untuk pengukuran sebelum dan saat berjalan di treadmill. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.21. Tabel 4.21 Hasil perhitungan energi ekspenditur pengguna prosthetic Jenis Prothese Eksoskeletal
Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan
Energi Ekspenditur (Kkal/menit) Kecepatan (km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2
2.233 2.428 2.692 2.001 2.128 2.308 2.387 2.556 2.692
2.788 3.098 3.323 2.308 2.512 2.740 2.601 2.740 2.837
3.266 3.564 3.819 2.646 2.888 3.209 2.740 2.788 2.888
3.690 3.953 4.160 2.939 3.209 3.564 2.888 2.991 3.098
Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga memudahkan dalam menganalisis garis regresi yang ditunjukkan data. Grafik untuk ketiga desain prosthetic dapat dilihat pada gambar 4.22.
cix
Gambar 4.22 Energi ekspenditur pada pengguna ketiga desain prosthetic Hasil pada ketiga desain prosthetic menunjukkan adanya kesamaan yaitu besarnya energi ekspenditur yang semakin meningkat. Pada desain prosthetic endoskeletal pengembangan besarnya peningkatan energi ekspenditur sedikit sehingga dapat dipastikan bahwa besarnya energi yang dikeluarkan lebih stabil.
2. Responden Normal Data yang digunakan adalah data dari pengukuran denyut nadi responden orang normal pada aktivitas berjalan di treadmill yaitu pada tabel 4.4. Berikut ini beberapa contoh perhitungannya. a.
Pada responden ke-1. Denyut nadi pada responden ke-1 dengan kecepatan treadmill 1.2 km/jam yang diukur pada jarak ke 30 meter adalah 96 denyut/menit. Sehingga nilai energi ekspenditur sebesar 3,953 Kkal/menit. Y = 1.80411 - (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2 Y = 1.80411 - (0.0229038) (96) + (4.71733 x 10-4) (96) 2 Y = 3.953 Kkal/menit
b.
Pada responden ke-3. Denyut nadi pada responden ke-3 dengan kecepatan treadmill 1.6 km/jam yang diukur pada jarak ke 50 meter adalah 86 denyut/menit. Sehingga nilai energi ekspenditur sebesar 3,323 Kkal/menit. Y = 1.80411 - (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2 Y = 1.80411 - (0.0229038) (86) + (4.71733 x 10-4) (86) 2 Y = 3.323 Kkal/menit
c. Pada responden ke-5. Denyut nadi pada responden ke-5 dengan kecepatan treadmill 2 km/jam yang diukur pada jarak ke 100 meter adalah 102 denyut/menit. Sehingga nilai energi ekspenditur sebesar 4,376 Kkal/menit. Y = 1.80411 - (0.0229038) X + (4.71733 x 10-4) X 2 Y = 1.80411 - (0.0229038) (102) + (4.71733 x 10-4) (102) 2 Y = 4.376 Kkal/menit
cx
Nilai energi ekspenditur dihitung untuk setiap hasil pengukuran denyut nadi, pada responden normal, baik untuk pengukuran sebelum dan saat berjalan di treadmill. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.22. Tabel 4.22 Hasil perhitungan energi ekspenditur responden normal Energi Ekspenditur (Kkal/menit) Responden Kecepatan ke(km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2
2.991 2.939 2.888 2.646 2.740 3.044 3.266 2.939 2.991 2.888 2.740 2.692 3.323 3.564 3.690 3.044 2.837 3.153 2.740 2.939 2.991 2.939 3.266 2.939 2.991 3.266 3.153 2.740 2.939 2.888
3.953 3.754 2.939 3.442 2.837 3.153 3.564 3.044 3.098 2.939 2.788 2.837 3.690 3.754 3.886 3.098 3.442 3.442 3.153 3.044 3.209 3.266 3.502 2.991 3.044 3.442 3.564 2.991 3.502 2.939
4.376 3.564 3.098 3.754 2.740 3.266 3.690 3.323 3.209 2.991 2.740 2.888 4.090 4.376 4.090 3.266 3.502 3.626 3.502 3.564 3.442 3.323 3.442 3.153 3.266 3.754 3.502 3.098 3.564 3.266
4.303 3.626 3.953 3.382 2.939 3.564 4.090 3.626 3.564 3.153 2.888 2.991 4.376 4.450 4.376 3.323 3.442 3.502 3.266 3.690 3.886 3.502 3.626 3.442 3.153 3.626 3.690 3.266 3.323 3.153
cxi
Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hasil energi ekspenditur pada orang normal untuk ketiga kecepatan yang berbeda ternyata berada dalam range nilai yang hampir sama. Grafik untuk kecepatan 1,2 km/jam dapat dilihat pada gambar 4.23.
Gambar 4.23 Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 1,2 km/jam) Pada grafik di atas dapat dilihat perubahan nilai ekspenditur mulai dari sebelum berjalan sampai saat berjalan. Energi yang digunakan saat berjalan lebih besar dibandingkan sebelum berjalan dan meningkat seiring dengan semakin besarnya jarak tempuh berjalan. Grafik untuk kecepatan 1,6 km/jam dapat dilihat pada gambar 4.24.
Gambar 4.24 Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 1,6 km/jam)
cxii
Pada grafik di atas dapat dilihat perubahan nilai ekspenditur mulai dari sebelum berjalan sampai saat berjalan. Energi yang digunakan saat berjalan lebih besar dibandingkan sebelum berjalan dan meningkat seiring dengan semakin besarnya jarak tempuh berjalan. Pada kecepatan 1,6 km/jam ini beberapa responden menunjukkan peningkatan energi ekspenditur yang stabil (responden ke-2 dan ke-4), namun ada beberapa responden yang peningkatannya tidak stabil (responden ke-7 dan ke-10). Grafik untuk kecepatan 2 km/jam dapat dilihat pada gambar 4.25.
Gambar 4.25 Energi ekspenditur responden normal (kecepatan 2 km/jam) Pada grafik di atas dapat dilihat perubahan nilai ekspenditur mulai dari sebelum berjalan sampai saat berjalan. Energi yang digunakan saat berjalan lebih besar dibandingkan sebelum berjalan dan meningkat seiring dengan semakin besarnya jarak tempuh berjalan.
4.2.6 Menentukan Kebutuhan Kalori Data yang dipakai yaitu data hasil perhitungan energi ekspenditur pada pengguna prosthetic dan responden orang normal dengan menggunakan treadmill. Penghitungan kebutuhan kalori ini dilakukan dengan menggunakan persamaan 2.9. Perhitungan kebutuhan kalori dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut:
cxiii
1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Data yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan kalori ini yaitu hasil perhitungan energi ekspenditur pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan di treadmill, yaitu pada tabel 4.21. Nilai berat badan pengguna prosthetic tanpa prosthetic yaitu 52,2 kg. Berikut ini beberapa contoh perhitungannya. a. Pada pengguna prosthetic eksoskeletal, Nilai kebutuhan kalori pada pengguna prosthetic eksoskeletal dengan kecepatan treadmill 1,2 km/jam yang diukur pada jarak ke 30 meter adalah sebesar 2,788 Kkal/menit. Sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 3,205 Kkal/jam/kg berat badan. Kebutuhan kalori =
2,788 x 60 = 3,205 Kkal/jam/kg berat badan 52,2 kg
b. Pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal, Nilai kebutuhan kalori pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal dengan kecepatan treadmill 1,6 km/jam yang diukur pada jarak ke 50 meter adalah sebesar 2,288 Kkal/menit. Sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 3,319 Kkal/jam/kg berat badan. Kebutuhan kalori =
2,288 x 60 = 3,319 Kkal/jam/kg berat badan 52,2 kg
c. Pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan. Nilai
kebutuhan
kalori
pada
pengguna
prosthetic
endoskeletal
pengembangan dengan kecepatan treadmill 2 km/jam yang diukur pada jarak ke 100 meter adalah sebesar 3,098 Kkal/menit. Sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 3,561 Kkal/jam/kg berat badan. Kebutuhan kalori =
3,098 x 60 = 3,561 Kkal/jam/kg berat badan 52,2 kg
Nilai kebutuhan kalori dihitung untuk setiap hasil perhitungan energi ekspenditur. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.23.
cxiv
Tabel 4.23 Hasil perhitungan kebutuhan kalori pengguna prosthetic Jenis Prothese
Eksoskeletal
Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan
Kecepatan (km/jam) 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2
Kebutuhan Kalori (Kkal/jam/kg berat badan) DN0(0) 2.567 2.791 3.095 2.300 2.446 2.653 2.744 2.938 3.095
DN1(30) DN2(50) DN3(100) 3.205 3.561 3.820 2.653 2.888 3.149 2.989 3.149 3.261
3.754 4.096 4.390 3.041 3.319 3.688 3.149 3.205 3.319
4.241 4.543 4.782 3.378 3.688 4.096 3.319 3.438 3.561
Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga memudahkan dalam menganalisis kecenderungan garis yang ditunjukkan data. Grafik kebutuhan kalori untuk ketiga desain prosthetic dapat dilihat pada gambar 4.26.
Gambar 4.26 Kebutuhan kalori pada pengguna ketiga desain prosthetic Hasil pada ketiga desain prosthetic memiliki kecenderungan yang sama dengan grafik pada energi ekspenditur. Adanya kesamaan besarnya kebutuhan kalori yang semakin meningkat pada setiap desain prosthetic, namun desain endoskeletal pengembangan besarnya peningkatan kebutuhan kalori sedikit cxv
sehingga dapat dipastikan bahwa besarnya kalori yang dikeluarkan lebih stabil dibanding dua desain prosthetic lainnya.
2. Responden Normal Data yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan kalori ini yaitu hasil perhitungan energi ekspenditur responden normal pada aktivitas berjalan di treadmill yaitu pada tabel 4.22. Berikut ini beberapa contoh perhitungannya. a. Pada responden ke-1. Nilai kebutuhan kalori pada responden ke-1 dengan kecepatan treadmill 1,2 km/jam yang diukur pada jarak ke 30 meter adalah sebesar 3,953 Kkal/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 50 kg. Sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 4,743 Kkal/jam/kg berat badan. Kebutuhan kalori =
3,953 x 60 = 4,743 Kkal/jam/kg berat badan 50 kg
b. Pada responden ke-3. Nilai kebutuhan kalori pada responden ke-3 dengan kecepatan treadmill 1,6 km/jam yang diukur pada jarak ke 50 meter adalah sebesar 3,323 Kkal/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 55 kg.Sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 3,625 Kkal/jam/kg berat badan. Kebutuhan kalori =
3,323 x 60 = 3,625 Kkal/jam/kg berat badan 55 kg
c. Pada responden ke-5. Nilai kebutuhan kalori pada responden ke-5 dengan kecepatan treadmill 2 km/jam yang diukur pada jarak ke 100 meter adalah sebesar 4,376 Kkal/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 54 kg.Sehingga kebutuhan kalorinya sebesar 4,862 Kkal/jam/kg berat badan. Kebutuhan kalori =
4,376 x 60 = 4,862 Kkal/jam/kg berat badan 54 kg
Nilai kebutuhan kalori dihitung untuk setiap hasil perhitungan energi ekspenditur. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.24.
cxvi
Tabel 4.24 Hasil perhitungan kebutuhan kalori responden normal Responden Kecepatan ke(km/jam)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2
Kebutuhan Kalori (Kkal/jam/kg berat badan) DN0(0) 3.589 3.527 3.465 3.113 3.223 3.581 3.768 3.391 3.451 3.397 3.223 3.168 3.988 4.277 4.428 3.512 3.274 3.638 3.161 3.391 3.451 3.527 3.919 3.527 3.451 3.768 3.638 3.223 3.457 3.397
DN1(30) DN2(50) DN3(100) 4.743 4.505 3.527 4.049 3.338 3.709 4.112 3.512 3.575 3.457 3.280 3.338 4.428 4.505 4.663 3.575 3.971 3.971 3.638 3.512 3.702 3.919 4.203 3.589 3.512 3.971 4.112 3.519 4.120 3.457
5.251 4.277 3.718 4.417 3.223 3.842 4.257 3.835 3.702 3.519 3.223 3.397 4.908 5.251 4.908 3.768 4.041 4.184 4.041 4.112 3.971 3.988 4.130 3.783 3.768 4.332 4.041 3.645 4.193 3.842
5.164 4.352 4.743 3.979 3.457 4.193 4.719 4.184 4.112 3.709 3.397 3.519 5.251 5.340 5.251 3.835 3.971 4.041 3.768 4.257 4.483 4.203 4.352 4.130 3.638 4.184 4.257 3.842 3.910 3.709
Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hasil kebutuhan kalori pada orang normal untuk ketiga kecepatan yang berbeda ternyata berada dalam range nilai yang hampir sama. Grafik kebutuhan kalori pada kecepatan 1,2 km/jam dapat dilihat pada gambar 4.27.
cxvii
Gambar 4.27 Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 1,2 km/jam) Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan kalori mengalami peningkatan dari kondisi sebelum berjalan sampai saat berjalan pada jarak 100 meter. Nilai pada kesepuluh responden berada dalam range yang sama. Grafik kebutuhan kalori pada kecepatan 1,6 km/jam dapat dilihat pada gambar 4.28.
Gambar 4.28 Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 1,6 km/jam) Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan kalori mengalami peningkatan. Beberapa responden berada dalam range yang sama, sedangkan
cxviii
beberapa tidak (responden ke-2, ke-4, dan ke-5). Grafik kebutuhan kalori pada kecepatan2 km/jam dapat dilihat pada gambar 4.29.
Gambar 4.29 Kebutuhan kalori responden normal (kecepatan 2 km/jam) Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa kebutuhan kalori mengalami peningkatan. Beberapa responden berada dalam range yang sama, sedangkan beberapa tidak (responden ke-4 dan ke-5).
4.2.7 Menentukan Konsumsi Oksigen (VO2 maks) Data yang dipakai yaitu data awal pengukuran denyut nadi pada pengguna prosthetic dan responden orang normal dengan menggunakan treadmill. Penghitungan konsumsi oksigen (VO2
maks)
ini dilakukan dengan menggunakan
persamaan 2.10. Perhitungan konsumsi oksigen dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengguna Prosthetic Kaki Bawah Lutut Data yang digunakan yaitu data pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan di treadmill, yaitu pada tabel 4.21. Berat badan pengguna prosthetic yaitu 52,2 kg. Faktor gender untuk laki-laki yaitu 10. Usia pengguna prosthetic yaitu 33 tahun. Berikut adalah beberapa contoh perhitungannya.
cxix
a. Pada pengguna prosthetic eksoskeletal, Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna prosthetic eksoskeletal dengan kecepatan treadmill 1.2 km/jam misalnya pada jarak ke 30 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 63 denyut/menit. Faktor koreksi usia = 1,12 – (0,0073 x usia) = 1,12 – (0,0073 x 33) = 0,8791 VO2 maks = =
0,263(Wb + 10)V + 13,15 ´ AG HR + G - 72 0,263(52,2 + 10)(1,2) + 13,15 ´ 0,8791 63 + 10 - 72
= 2,058 liter b. Pada pengguna prosthetic endoskeletal merek Regal, Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna prosthetic Otto Bock dengan kecepatan treadmill 1.6 km/jam misalnya pada jarak ke 50 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 78 denyut/menit. VO2 maks =
0,263(52,2 + 10)(1,6) + 13,15 ´ 0,8791 78 + 10 - 72
= 2,161 liter c. Pada pengguna prosthetic endoskeletal pengembangan. Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna prosthetic pengembangan 2009 dengan kecepatan treadmill 2 km/jam misalnya pada jarak ke 100 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 82 denyut/menit. VO2 maks =
0,263(52,2 + 10)(2) + 13,15 ´ 0,8791 82 + 10 - 72
= 2,016 liter
Semua hasil pengukuran denyut nadi digunakan untuk menghitung konsumsi oksigen pada pengguna prosthetic. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.25.
cxx
Tabel 4.25 Hasil perhitungan konsumsi oksigen pengguna prosthetic Jenis Prothese
Eksoskeletal
Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan
Konsumsi Oksigen VO2 maks
Kecepatan (km/jam)
DN0(0)
1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2
28.817 5.762 3.360 -4.803 -17.285 13.441 5.763 3.841 3.360
DN1(30) DN2(50) DN3(100) 2.058 1.728 1.680 9.606 4.321 3.102 2.882 2.659 2.688
1.253 1.235 1.260 2.620 2.161 1.833 2.217 2.469 2.520
0.961 1.017 1.090 1.695 1.571 1.440 1.801 1.921 2.016
Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik sehingga memudahkan dalam menganalisis kecenderungan garis yang ditunjukkan data. Grafik konsumsi oksigen terhadap pengguna ketiga desain prosthetic dapat dilihat pada gambar 4.30.
Gambar 4.30 Konsumsi oksigen pada pengguna ketiga desain prosthetic Pada grafik di atas dapat dilihat bahwa pada desain prosthetic eksoskeletal menunjukkan konsumsi oksigen yang lebih rendah dibanding kedua desain prosthetic lainnya. Desain prosthetic endoskeletal merek Regal perubahan konsumsi oksigennya tidak stabil dibanding kedua desain prosthetic yang lain. cxxi
2. Responden Normal Data yang digunakan dalam perhitungan konsumsi oksigen ini yaitu data awal pengukuran denyut nadi pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan di treadmill
yaitu
pada
tabel
4.22.
Berikut
adalah
beberapa
contoh
perhitungannya. a. Pada responden ke-1. Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna responden ke-1 dengan kecepatan treadmill 1.2 km/jam misalnya pada jarak ke 30 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 96 denyut/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 50 kg. Faktor gender untuk laki-laki yaitu 10. Usia pengguna prosthetic yaitu 22 tahun. Faktor koreksi usia = 1,12 – (0,0073 x 22 ) = 0,9594 VO2 maks =
0,263(50 + 10)(1,2) + 13,15 ´ 0,9594 96 + 10 - 72
= 0,905 liter b. Pada responden ke-3. Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna responden ke-3 dengan kecepatan treadmill 1.6 km/jam misalnya pada jarak ke 50 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 86 denyut/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 52 kg. Faktor gender untuk laki-laki yaitu 10. Usia pengguna prosthetic yaitu 22 tahun. Faktor koreksi usia = 1,12 – (0,0073 x 22 ) = 0,9594 VO2 maks =
0,263(55 + 10)(1,6) + 13,15 ´ 0,9594 86 + 10 - 72
= 1,619 liter c. Pada responden ke-5. Nilai konsumsi oksigen yang dihitung pada pengguna responden ke-5 dengan kecepatan treadmill 2 km/jam misalnya pada jarak ke 100 meter. Denyut nadi yang terukur yaitu 102 denyut/menit. Berat badan responden ke-1 yaitu 50 kg. Faktor gender untuk laki-laki yaitu 10. Usia pengguna prosthetic yaitu 22 tahun. cxxii
Faktor koreksi usia = 1,12 – (0,0073 x 22 ) = 0,9594 VO2 maks =
0,263(54 + 10)(2) + 13,15 ´ 0,9594 102 + 10 - 72
= 1,123 liter Hasil pengukuran denyut nadi digunakan untuk menghitung konsumsi oksigen responden normal. Hasil perhitungan selengkapnya dilihat pada tabel 4.26. Tabel 4.26 Hasil perhitungan konsumsi oksigen responden normal Konsumsi Oksigen VO2 maks Responden Kecepatan ke(km/jam) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2
1.710 2.167 2.681 2.826 2.865 2.284 1.365 2.214 2.439 1.943 2.865 3.617 1.283 1.316 1.430 1.677 2.548 2.122 2.415 2.214 2.439 1.797 1.590 2.504 1.744 1.637 2.091
0.905 1.188 2.523 1.196 2.483 2.067 1.121 1.981 2.195 1.829 2.660 2.893 1.026 1.188 1.300 1.593 1.470 1.714 1.495 1.981 1.996 1.328 1.354 2.365 1.652 1.448 1.568
0.770 1.316 2.145 1.003 2.865 1.887 1.046 1.569 1.996 1.727 2.865 2.712 0.855 0.921 1.192 1.386 1.416 1.537 1.163 1.345 1.689 1.273 1.406 2.027 1.365 1.214 1.626
0.789 1.270 1.262 1.243 2.191 1.550 0.872 1.298 1.568 1.480 2.328 2.411 0.770 0.899 1.072 1.328 1.470 1.651 1.365 1.255 1.330 1.131 1.261 1.637 1.495 1.298 1.463 cxxiii
10
1.2 1.6 2
2.409 2.207 2.733
1.740 1.390 2.572
1.566 1.340 1.901
1.362 1.564 2.082
Hasil perhitungan di atas disajikan dalam bentuk grafik. Hasil konsumsi oksigen pada orang normal untuk ketiga kecepatan yang berbeda ternyata berada dalam range nilai yang hampir sama. Grafik konsumsi oksigen pada kecepatan 1,2 km/jam dapat dilihat pada gambar 4.31.
Gambar 4.31 Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 1,2 km/jam) Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa konsumsi oksigen mengalami penurunan secara beraturan seiring jauhnya jarak yang ditempuh. Nilai pada kesepuluh responden berada bervariasi. Hal ini disebabkan kondisi fisik setiap responden berbeda-beda. Grafik konsumsi oksigen pada kecepatan 1,6 km/jam dapat dilihat pada gambar 4.32.
cxxiv
Gambar 4.32 Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 1,6 km/jam) Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa konsumsi oksigen mengalami perubahan yang tidak beraturan seiring jauhnya jarak yang ditempuh. Nilai pada kesepuluh responden berada bervariasi. Hal ini disebabkan kondisi fisik setiap responden berbeda-beda. Responden ke-1 dan ke-4 bernilai jauh dari responden lainnya. Grafik konsumsi oksigen pada kecepatan 2 km/jam dapat dilihat pada gambar 4.33.
Gambar 4.33 Konsumsi oksigen responden normal (kecepatan 2 km/jam)
cxxv
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa konsumsi oksigen mengalami penurunan yang beraturan seiring jauhnya jarak yang ditempuh. Nilai pada kesepuluh responden berada bervariasi. Hal ini disebabkan kondisi fisik setiap responden berbeda-beda.
4.2.8 Perbandingan Hasil Pengukuran pada Pengguna Prosthetic dan Responden Normal Pada bab ini dibandingkan hasil-hasil pengukuran antara kondisi pengguna prosthetic dan responden normal. Perbandingan ini dilakukan untuk mengetahui seberapa dekat kondisi fisiologi pengguna prosthetic dengan kondisi normal dilihat dari perbedaan desain prosthetic yang digunakan. Perbandingan disajikan dalam bentuk grafik dan dapat dilihat pada penjelasan, sebagai berikut: 1. Pengukuran Tingkat Kelelahan (% CVL). Perbandingan tingkat kelelahan pada responden amputee (pengguna prosthetic) dan orang normal direkapitulasi dalam tabel 4.27. Nilai % CVL pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk setiap perulangan percobaan berjalan. Tabel 4.27 Rekapitulasi hasil perbandingan % CVL Responden Responden Amputee Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Responden Normal
P1 5.539 4.248 3.166 3.052
Rata-rata Pengukuran % CVL P2 P3 P4 P5 5.706 4.565 3.369 3.469
5.641 4.415 3.149 3.077
5.314 4.456 3.104 2.988
5.499 4.391 3.205 3.226
P6 5.255 4.375 3.252 3.057
Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.34 menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut.
cxxvi
Gambar 4.34 Grafik perbandingan % CVL amputee dan responden normal Pada grafik dapat dilihat bahwa nilai tingkat kelelahan yang dilihat dari %CVL (cardiovaskuler load) desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki nilai %CVL terendah, berarti tingkat kelelahan lebih rendah. Selain itu desain prosthetic endoskeletal pengembangan juga lebih memiliki kedekatan nilai dengan yang responden orang normal. 2. Distribusi % CVL per Fase Berjalan. Perbandingan tingkat kelelahan pada responden amputee (pengguna prosthetic) dan orang normal untuk setiap fase berjalan direkapitulasi dalam tabel 4.28. Nilai % CVL per fase pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk setiap perulangan percobaan berjalan. Tabel 4.28 Rekapitulasi hasil perbandingan % CVL per fase Responden Responden Amputee Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Responden Normal
Rata-rata Pengukuran % CVL per Fase P1 P2 P3 P4 P5 P6 0.160 0.106 0.094 0.082
0.074 0.074 0.035 0.061
0.044 0.036 0.031 0.041
0.152 0.115 0.090 0.090
0.070 0.067 0.044 0.062
0.070 0.058 0.043 0.049
cxxvii
Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.35 menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut.
Gambar 4.35 Grafik perbandingan %CVL per fase amputee dan responden normal Dapat dilihat bahwa hampir sama halnya dengan nilai %CVL total, desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki nilai %CVL pada hampir setiap fase memiliki nilai paling rendah dan memiliki kedekatan dengan nilai responden normal. 3. Pengukuran Energi Ekspenditur. Perbandingan energi ekspenditur pada responden amputee dan orang normal untuk setiap pengukuran pada jarak tertentu direkapitulasi dalam tabel 4.29. Nilai energi ekspenditur pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk setiap hasil pengukuran pada jarak tertentu. Tabel 4.29 Rekapitulasi hasil perbandingan energi ekspenditur Responden
Kecepatan (km/jam)
Energi Ekspenditur (Kkal/menit) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
Responden Amputee Eksoskeletal
1.2 1.6 2
2.233 2.428 2.692
2.788 3.098 3.323
3.266 3.564 3.819
3.690 3.953 4.160
cxxviii
Endoskeletal Merek Regal
Endoskeletal Pengembangan
1.2 1.6 2 1.2 1.6 2
2.001 2.128 2.308 2.387 2.556 2.692
2.308 2.512 2.740 2.601 2.740 2.837
2.646 2.888 3.209 2.740 2.788 2.888
2.939 3.209 3.564 2.888 2.991 3.098
1.2 1.6 2
2.957 3.017 3.043
3.314 3.311 3.206
3.536 3.457 3.354
3.581 3.524 3.612
Responden Normal
Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.36 menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut.
Gambar 4.36 Grafik perbandingan energi ekspenditur amputee dan responden normal Pada empat titik pengukuran denyut nadi dapat dilihat bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki perubahan nilai energi ekspenditur yang kecil. Hal tersebut berarti peningkatan energinya lebih cenderung stabil dibanding kedua desain prosthetic lainnya walaupun nilai energinya tidak lebih rendah dari kedua desain.
cxxix
4. Pengukuran Kebutuhan Kalori. Perbandingan kebutuhan kalori pada responden amputee dan orang normal untuk setiap pengukuran pada jarak tertentu direkapitulasi dalam tabel 4.30. Nilai kebutuhan kalori pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk setiap hasil pengukuran pada jarak tertentu. Tabel 4.30 Rekapitulasi hasil perbandingan kebutuhan kalori Responden
Kecepatan (km/jam)
Kebutuhan Kalori (Kkal/jam/kg berat badan) DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
Responden Amputee Eksoskeletal
Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan
1.2 1.6 2 1.2 1.6 2 1.2 1.6 2
2.567 2.791 3.095 2.300 2.446 2.653 2.744 2.938 3.095
3.205 3.561 3.820 2.653 2.888 3.149 2.989 3.149 3.261
3.754 4.096 4.390 3.041 3.319 3.688 3.149 3.205 3.319
4.241 4.543 4.782 3.378 3.688 4.096 3.319 3.438 3.561
1.2 1.6 2
3.473 3.545 3.574
3.895 3.892 3.764
4.156 4.062 3.939
4.211 4.140 4.244
Responden Normal
Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.37 menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut.
cxxx
Gambar 4.37 Grafik perbandingan kebutuhan kalori amputee dan responden normal Pada empat titik pengukuran denyut nadi dapat dilihat bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki perubahan nilai kebutuhan kalori yang kecil. Hal tersebut berarti besarnya kalori yang digunakan setiap jam untuk setiap kilogram berat badannya lebih cenderung stabil dibanding kedua desain lainnya.
5. Pengukuran Konsumsi Oksigen (VO2 maks). Perbandingan konsumsi oksigen pada responden amputee dan orang normal untuk setiap pengukuran pada jarak tertentu direkapitulasi dalam tabel 4.31. Nilai konsumsi oksigen pada responden normal diambil nilai rata-rata untuk setiap hasil pengukuran pada jarak tertentu. Tabel 4.31 Rekapitulasi hasil perbandingan konsumsi oksigen Responden
Kecepatan (km/jam)
Konsumsi Oksigen VO2 maks DN0(0) DN1(30) DN2(50) DN3(100)
Responden Amputee Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal
1.2 1.6 2 1.2 1.6
28.817 5.762 3.360 -4.803 -17.285
2.058 1.728 1.680 9.606 4.321
1.253 1.235 1.260 2.620 2.161
0.961 1.017 1.090 1.695 1.571
cxxxi
Endoskeletal Pengembangan
2 1.2 1.6 2
13.441 5.763 3.841 3.360
3.102 2.882 2.659 2.688
1.833 2.217 2.469 2.520
1.440 1.801 1.921 2.016
1.2 1.6 2
1.917 2.162 2.434
1.389 1.714 2.119
1.215 1.626 1.871
1.184 1.483 1.603
Responden Normal
Hasil rekapitulasi pada tabel tersebut disajikan dalam grafik. Gambar 4.38 menunjukkan grafik hasil perbandingan tersebut.
Gambar 4.38 Grafik perbandingan konsumsi oksigen amputee dan responden normal Pada empat titik pengukuran denyut nadi, yaitu pada saat berlangsungnya aktivitas berjalan dapat dilihat bahwa terdapat beberapa perbedaan nilai yang cukup signifikan antara konsumsi oksigen pengguna prosthetic dan responden normal. Salah satunya adalah hasil perhitungan pada desain prosthetic endoskeletal merek Regal pada titik pengukuran 30 meter. Namun konsumsi oksigen pada ketiga kecepatan yang berbeda memiliki hasil yang hampir sama. Nilai yang terendah antara ketiga prosthetic yaitu pada desain prosthetic eksoskeletal. Jika nilai konsumsi oksigen pengguna prosthetic
cxxxii
dibandingkan dengan nilai responden normal, didapatkan bahwa nilai konsumsi oksigen prosthetic desain eksoskeletal memiliki nilai yang mendekati nilai ratarata konsumsi energi responden normal.
Setelah dilakukan proses pengumpulan data dan proses pengolahan data, maka dilanjutkan pada tahap analisis dan interpretasi data hasil pengolahan untuk memperoleh kesimpulan (output) pada penelitian ini.
cxxxiii
BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL Bab ini membahas tentang analisis dan interpretasi hasil penelitian yang telah dikumpulkan dan diolah pada bab sebelumnya. Analisis dan interprestasi hasil tersebut diuraikan dalam sub bab dibawah ini. 5.1 ANALISIS HASIL PENELITIAN Analisis hasil penelitian dilakukan untuk menelaah hasil pengolahan data. Pada sub bab ini diuraikan mengenai analisis terhadap hasil perhitungan nilai BMI dan BMR, %CVL total, %CVL per fase, energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen. Selain itu juga membandingkan antara aktivitas berjalan pada responden amputee responden normal. 5.1.1 Analisis Hasil Perhitungan Nilai BMI dan BMR Nilai BMI digunakan untuk mengetahui tingkat obesitas seseorang sedangkan nilai BMR digunakan untuk mengetahui besarnya konsumsi energi ketika istirahat. Nilai BMR ini merupakan salah satu perwujudan dari kondisi metabolisme yang mempengaruhi kebutuhan energi suatu individu selain tingkat keaktifan tubuh. Pada penelitian ini nilai BMI dan BMR digunakan sebagai validasi atas pemilihan sepuluh responden normal sehingga dinilai sesuai untuk dibandingkan dengan pengguna prosthetic. Kategori nilai BMI mengacu pada klasifikasi BMI orang Asia dewasa pada tabel 2.3 yang dikeluarkan oleh WHO. Nilai BMI amputee dengan berat badan 52.2 kg dan tinggi badan 1.62 meter yaitu 19.89 sehingga masuk dalam kategori ‘langsing’. Nilai BMR amputee yang berusia 33 tahun yaitu 1372 Kkal/hari. Sepuluh responden normal dipilih dengan berat badan 51.1±0.88 kg, tinggi badan 1.7±0.02 meter, dan usia 21.8±0.79 tahun. Nilai BMI yaitu berkisar 17.7±0.72 sehingga seluruhnya masuk dalam kategori ‘langsing’. Nilai BMR sepuluh responden normal yaitu berkisar 1472±8.48 Kkal/hari. Hasil perhitungan keseluruhan pada tabel 4.5 halaman IV-15 dan tabel 4.6 halaman IV-15 Nilai BMI pada kedua responden, baik amputee dan normal, masuk dalam kategori ‘langsing’. Perbandingan antara berat badan dengan kuadrat tinggi badan
cxxxiv
memberikan nilai yang tidak terlampau jauh perbedaannya antara kedua responden. Hal tersebut membawa keduanya berada dalam tingkatan yang sama sesuai tabel 2.3 yang menunjukkan bahwa tingkat obesitas keduanya adalah sama. Nilai
BMR
yang
dirumuskan
oleh
Harris
dan
Benedict
(1919)
mengikutsertakan faktor berat badan, tinggi badan, serta umur. Dilihat dari hasil perhitungan, nilai BMR pada kedua responden memang tidak sepenuhnya berkisar pada nilai yang sama. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan umur dan jenis pekerjaan pada pengguna prosthetic dan responden normal. Responden amputee sebagai pengguna prosthetic merupakan pekerja dengan usia 33 tahun, sedangkan responden normal merupakan mahasiswa dengan usia berkisar 22 tahun. Sebenarnya umur dan jenis pekerjaan mempengaruhi nilai BMR, namun dalam penelitian ini tidak memperhitungkan kedua hal tersebut. Pemilihan responden normal dari kalangan mahasiswa dimaksudkan sebagai kajian awal pada penelitian ini. Namun, hendaknya lebih baik jikalau responden normal yang dipilih dengan umur yang hampir sama dan jenis pekerjaan dengan tingkat aktivitas fisik yang hampir sama. Analisis ini dapat dijadikan masukan bagi penelitian lanjutan ataupun penelitian lainnya dengan topik yang sama. Jika dilihat perhitungan nilai BMR responden normal dan dibandingkan dengan nilai BMR pengguna prosthetic, didapatkan selisih keduanya sekitar 90100 Kkal/hari. Nilai selisih ini dianggap tidak terlampau signifikan, sehingga responden normal dianggap cukup bersesuaian dengan pengguna prosthetic. Jika nilai BMR responden normal mendekati nilai BMR pengguna prosthetic, dapat diasumsikan bahwa konsumsi energi saat beraktivitas pun juga hampir sama. Jika dari pemilihan responden normal belum ditemukan responden dengan nilai BMI dan BMR yang bersesuaian dengan pengguna prosthetic, maka dilakukan pemilihan ulang responden normal. Dengan kata lain responden normal yang dipilih harus memiliki nilai BMI yang masuk dalam kategori ‘langsing’. Disamping itu juga memiliki nilai BMR berkisar pada nilai 1372 Kkal/hari. 5.1.2 Analisis Hasil Perhitungan %CVL Nilai %CVL merupakan nilai peningkatan denyut jantung akibat aktivitas kardiovaskuler. Nilai ini merepresentasikan tingkat kelelahan yang timbul akibat melakukan suatu aktivitas. Nilai ini didapatkan dengan membandingkan antara cxxxv
denyut kerja dan denyut istirahat dalam melakukan aktivitas. Semua nilai %CVL dalam penelitian ini bernilai kurang dari 30% yang berarti masuk dalam klasifikasi ‘tidak mengalami kelelahan’, namun tetap digunakan dalam pemilihan desain prosthetic, yaitu memilih desain dengan nilai %CVL terkecil. Nilai tersebut tetap digunakan untuk mengetahui besarnya perbedaan tingkat kelelahan dengan menggunakan ketiga desain prosthetic. Pada perhitungan ini dilakukan aktivitas berjalan normal dengan tujuan memudahkan penentuan jumlah siklus, waktu tempuh, serta penentuan fase gerakan. Pengukuran denyut nadi diambil tepat sebelum dan setelah berjalan sejauh 12 meter. Jarak tersebut diambil dengan alasan terbatasnya lintasan dan dianggap cukup untuk mengetahui pola berjalan responden. Mengantisipasi kurang tercapainya pengamatan terhadap pola berjalan, aktivitas berjalan dilakukan sebanyak enam kali perulangan. Perhitungan %CVL pengguna prosthetic dapat dilihat pada tabel 4.9 halaman IV-21 dan grafik pada gambar 4.7 halaman IV-22. Hasil pengukuran yang
didapatkan
pada
desain
prosthetic
eksoskeletal
rata-rata
sebesar
5.49±0.18%, pada desain prosthetic endoskeletal merek Regal rata-rata sebesar 4.41±0.1%, pada desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan rata-rata sebesar 3.21±0.09%. Hasil perhitungan dari enam kali perulangan percobaan berjalan normal seluruhnya menunjukkan nilai %CVL pada desain prosthetic eksoskeletal lebih besar dibanding dua desain lainnya. Berarti tingkat kelelahan yang ditimbulkan dengan menggunakan desain prosthetic tersebut lebih besar. Sedangkan desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan menunjukkan nilai %CVL paling rendah, berarti tingkat kelelahan yang ditimbulkan paling kecil. Perhitungan %CVL pada responden normal dapat dilihat pada tabel 4.10 halaman IV-23 dan grafik pada gambar 4.8 halaman IV-24. Pengukuran memberikan hasil rata-rata sebesar 3.14±0.57%. Grafik menunjukkan bahwa kisaran nilai %CVL yaitu pada 2-3.5% walaupun ada beberapa responden pada perulangan tertentu tidak berada dalam kisaran tersebut. Beberapa responden yang memiliki nilai lebih besar yaitu responden 1 pada P3; responden 5 pada P1, P2, P4, dan P6; responden 6 pada P1; dan responden 10 pada P2. Variasi tersebut
cxxxvi
dapat disebabkan oleh faktor internal responden tersebut seperti kebiasaan dalam melakukan aktivitas fisik. Rekapitulasi hasil perbandingan %CVL pada pengguna prosthetic terhadap responden normal dapat dilihat pada tabel 4.27 halaman IV-58 dan grafik pada gambar 4.34 halaman IV-59. Grafik menunjukkan dengan jelas bahwa desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan memiliki nilai %CVL terendah dan nilai tersebut berhimpit dengan nilai pada responden normal. Berarti tingkat kelelahan yang ditimbulkan pada amputee saat menggunakan desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan dengan pada responden normal hampir sama. 5.1.3 Analisis Hasil Perhitungan %CVL per Fase Nilai %CVL bagian ini sama halnya dengan nilai sebelumnya, namun nilai %CVL berikut lebih menitikberatkan pada distribusi per fase. Fase gerakan berjalan yang dimaksudkan yaitu heel contact, foot flat, midstance point, heel off, toe off, dan midswing. Cara mengetahui pendistribusian %CVL dilakukan dengan mengetahui terlebih dulu jumlah siklus yang dihasilkan saat berjalan sejauh 12 meter. Berikutnya didapatkan distribusi %CVL untuk setiap siklus dan dipilih salah satu siklus dengan %CVL terbesar. Selanjutnya menghitung waktu per fase pada siklus tersebut sehingga didapatkan nilai distribusi %CVL per fase. Perhitungan %CVL per fase pengguna prosthetic pada aktivitas berjalan normal sejauh 12 meter memberikan hasil pengukuran pada tabel 4.15 dan grafik pada gambar 4.14 halaman IV-30. Nilai %CVL per fase secara berurutan pada desain prosthetic eksoskeletal yaitu 0.160%, 0.074%, 0.044%, 0.152%, 0.070%, dan 0.070%. Pada desain prosthetic endoskeletal merek Regal yaitu 0.106%, 0.074%, 0.036%, 0.115%, 0.067%, dan 0.058%. Pada desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan yaitu 0.094%, 0.035%, 0.031%, 0.090%, 0.044%, dan 0.043%. Perhitungan %CVL per fase pada responden normal yaitu pada tabel 4.20 dan grafik pada gambar 4.20 halaman IV-37. Nilai %CVL pada fase heel contact rata-rata 0.082%, fase foot flat rata-rata 0.061%, midstance point rata-rata 0.041%, heel off rata-rata 0.090%, toe off rata-rata 0.062%, dan midswing rata-rata 0.049%. Perhitungan diawali dengan menentukan jumlah siklus untuk setiap percobaan berjalan normal pada kedua responden. Pada pengguna prosthetic cxxxvii
didapatkan jumlah rata-rata 10 siklus, sedangkan pada responden normal didapatkan jumlah rata-rata 9-10 siklus. Perbedaan jumlah siklus hasil pembulatan antara kedua responden dipengaruhi oleh kecepatan berjalan dan lebar jangkauan langkah kaki setiap responden. Jumlah siklus yang telah ditentukan dipakai untuk mendapat distribusi %CVL setiap siklus yang selanjutnya dipilih nilai terbesar. Pemilihan nilai %CVL per siklus terbesar dengan alasan nilai tersebut telah mencakup nilai-nilai yang lebih rendah. Pada pengguna prosthetic yaitu pada tabel 4.13 halaman IV-27 dengan nilai terbesar pada desain prosthetic eksoskeletal 0.571%, pada desain prosthetic endoskeletal merek Regal 0.457%, dan pada desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan 0.337%. Nilai %CVL per siklus terbesar pada responden normal yaitu dalam tabel 4.18 halaman IV-34. Penentuan distribusi %CVL pada setiap fase didasarkan pada lamanya waktu tempuh untuk setiap fase. Semakin lama waktu tempuh suatu fase, semakin besar nilai %CVL pada fase tersebut. Pada gambar 4.9 halaman IV-24 posisi kaki kanan pada fase 1, 2, dan 3 sama dengan posisi kaki kiri pada fase 4, 5, dan 6 serta sebaliknya. Kesamaan posisi tersebut dapat mengindikasi bahwa waktu tempuh antara posisi kaki yang bersesuaian hampir sama. Dari penentuan waktu tempuh per fase pada pengguna prosthetic didapatkan bahwa waktu tempuh terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, fase dengan waktu tempuh singkat yaitu fase 3 (midstance point) dan fase 6 (midswing). Kedua, fase dengan waktu tempuh sedang yaitu fase 2 (foot flat) dan fase 5 (toe off). Ketiga, fase dengan waktu tempuh lama yaitu fase 1 (heel contact) dan fase 4 (heel off). Perbandingan waktu tempuh tersebut dapat dilihat lebih jelas pada gambar 4.14 halaman IV-29. Grafik menunjukkan bahwa diagram batang untuk fase yang berkelompok memiliki ketinggian yang hampir sama. Pada fase 3 rata-rata nilai pada ketiga desain prosthetic adalah yang paling rendah. Hal ini disebabkan kaki kanan yang menggunakan prosthetic digunakan sebagai tumpuan, karena itu pada fase ini amputee melakukannya dengan waktu singkat sehingga kaki prosthetic tidak terlampau lama dalam menopang tubuh. Perhitungan waktu tempuh pada pengguna prosthetic menunjukkan bahwa untuk desain prosthetic eksoskeletal waktu tempuhnya lebih singkat dibandingkan desain lainnya. Lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dalam gambar 4.13
cxxxviii
halaman IV-29. Hal tersebut dapat dikarenakan pengguna prosthetic lebih sering memakai desain prosthetic eksoskeletal sehingga telah terbiasa menggunakannya. Perhitungan %CVL per fase pada responden normal dilakukan dengan langkah-langkah yang sama seperti pada pengguna prosthetic. Jumlah siklus pada responden normal yaitu 9-10 siklus untuk setiap percobaan berjalan normal sejauh 12 meter. Penentuan %CVL per siklus yang terbesar rata-rata bernilai 0.386±0.042%. Waktu tempuh responden normal untuk setiap fase dapat dilihat pada tabel 4.19 dan grafik pada gambar 4.19 halaman IV-35, 36. Pengelompokannya mengikuti kelompok waktu tempuh seperti pada pengguna prosthetic, namun dengan variasi lama waktu tempuh yang bervariasi pada setiap responden normal. Adanya variasi tersebut disebabkan perbedaan kecepatan berjalan dan lebar jangkauan langkah kaki setiap responden normal yang keduanya kurang diperhatikan pada penelitian ini. Hasil perhitungan %CVL per fase pada responden normal dapat dilihat pada tabel 4.20 dan grafik pada gambar 4.20 halaman IV-37. Dari analisis di atas diketahui bahwa penentuan %CVL per fase dipengaruhi oleh jumlah siklus yang dihasilkan dan waktu tempuh untuk setiap fase pada pengguna prosthetic maupun responden normal. Perbandingan hasil %CVL per fase pengguna prosthetic responden normal dapat dilihat pada tabel 4.28 dan tabel 5.1 berikut dan grafik pada gambar 4.35 halaman IV-61. Tabel 5.1 Perbandingan Nilai Maksimun-Minimun %CVL per Fase Responden Responden Amputee Eksoskeletal Endoskeletal Merek Regal Endoskeletal Pengembangan Responden Normal
Rata-rata Pengukuran % CVL per Fase 1 2 3 4 5 6
Nilai Maks
Nilai Min
0.160 0.074 0.044 0.152 0.070 0.070
0.160 0.044
0.106 0.074 0.036 0.115 0.067 0.058
0.115 0.036
0.094 0.035 0.031 0.090 0.044 0.043 0.082 0.061 0.041 0.090 0.062 0.049
0.094 0.031 0.090 0.041
Jika dilihat dari perbedaan terhadap nilai maksimum dan minimum pada keseluruhan fase berjalan, didapatkan bahwa nilai maksimum berada pada fase 1 (heel contact) dan fase 4 (heel off). Sedangkan nilai minimum keseluruhan fase pada responden amputee dan responden normal berada pada fase 3 (midstance cxxxix
point). Hal tersebut membuktikan bahwa besarnya waktu tempuh sesuai pengelompokan berpengaruh pada nilai distribusi %CVL per fase. Fase 1 dan 4 menunjukkan nilai maksimum karena keduanya termasuk dalam kelompok wktu tempuh lama. Fase 3 menunjukkan nilai terkecil dari enam fase gerakan, waktu tempuhny juga termasuk dalam kelompok waktu singkat. Itu berarti bahwa posisi kaki kanan sebagai tumpuan menunjukkan tingkat kelelahan yang kecil disebabkan singkatnya waktu dalam menopang tubuh. Grafik
menunjukkan
bahwa
desain
prosthetic
endoskeletal
tipe
pengembangan memiliki nilai yang lebih rendah dibanding dua desain prosthetic lainnya. Jika dilihat dari pola distribusi pada grafik, pola pada desain prosthetic endoskeletal merek Regal (warna merah) memiliki kemiripan dengan pola pada responden normal (warna jingga). Jika dilihat dari kedekatan posisi garis distribusi, garis desain prosthetic endoskeletal (warna hijau) lebih dekat dengan garis responden normal. Pada fase 4 kedua garis tersebut berhimpit, namun pada fase 2 nilai %CVL tidak memiliki kemiripan pola dengan responden normal. 5.1.4 Analisis Hasil Perhitungan Energi Ekspenditur Energi ekspenditur merupakan energi yang dikeluarkan untuk melakukan suatu aktivitas. Pada penelitian ini mengukur besarnya energi ekspenditur yang dikeluarkan oleh pengguna prosthetic dan responden normal dalam melakukan aktivitas berjalan. Perhitungannya menggunakan pendekatan kuantitatif dengan regresi kuadratis (Astuti B., 1985) karena pendekatan ini cukup sering digunakan terlebih pada penelitian tingkat nasional. Pendekatan tersebut menunjukkan bahwa peningkatan energi terjadi seiring dengan peningkatan denyut jantung (nadi). Pada perhitungan ini dilakukan aktivitas berjalan pada treadmill dengan tujuan memudahkan pengukuran denyut nadi saat beraktivitas yaitu menggunakan alat sensor pada alat treadmill. Pengukuran denyut nadi dilakukan empat kali dan dihitung energi ekspenditur pada setiap pengukuran kemudian dilihat kenaikan energinya. Aktivitas berjalan dilakukan sejauh 100 meter karena jarak tersebut dinilai cukup memperlihatkan kenaikan denyut nadi, selain itu dilakukan pada tiga kecepatan yang berbeda yaitu 1.2 km.jam, 1.6 km/jam, dan 2 km/jam (Herdiman,
cxl
L., 2009). Perbedaan kecepatan ini dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan energi ekspenditur yang dikeluarkan pada tiga kecepatan yang berbeda tersebut. Hasil perhitungan energi ekspenditur pada pengguna prosthetic ditunjukkan pada tabel 4.21 dan disajikan dengan grafik pada gambar 4.22 halaman IV-41. Pada grafik dapat dilihat perubahan nilai ekspenditur mulai dari sebelum berjalan (0 meter) sampai saat berjalan (30 meter, 50 meter, dan 100 meter). Pada hasil garis regresi dari nilai energi ekspenditur dapat dilihat bahwa jumlah energi yang dibutuhkan pada kecepatan 2 km/jam lebih banyak dibandingkan dua kecepatan lainnya yang lebih lambat pada setiap pengukuran. Hal tersebut terjadi pada penggunaan tiga prosthetic yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa energi yang dikeluarkan semakin meningkat seiring peningkatan kecepatan aktivitas berjalan pada treadmill. Pada grafik terdapat tiga kelompok garis regresi yaitu warna biru untuk desain prosthetic eksoskeletal, warna merah untuk desain prosthetic endoskeletal merek Regal, dan warna hijau untuk desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan. Jika tiga kelompok garis regresi dibandingkan sesuai selisih peningkatan energinya, didapatkan bahwa peningkatan energi pada desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan (warna hijau) terlihat lebih stabil. Dengan kata lain kemiringan garis regresi tidak terlampau tajam. Dapat diartikan bahwa selisih energi antara setiap pengukuran lebih sedikit dibandingkan selisih energi pada dua desain prosthetic lainnya. Dari keseluruhan garis regresi dapat disimpulkan bahwa energi yang digunakan saat berjalan lebih besar dibandingkan sebelum berjalan dan meningkat seiring semakin besarnya jarak tempuh berjalan. Hasil perhitungan energi ekspenditur pada responden normal ditunjukkan pada tabel 4.22 halaman IV-43 dan disajikan dengan grafik pada gambar 4.23-25 halaman IV-44, 45. Sama halnya dengan analisis terhadap hasil pengukuran energi ekspenditur pada pengguna prosthetic. Tabel hasil perhitungan menunjukkan bahwa sebagian besar responden normal mengeluarkan energi yang lebih besar saat berjalan dibandingkan sebelum berjalan (0 meter). Pada gambar 4.23 yaitu energi ekspenditur pada responden normal untuk kecepatan 1.2 km/jam menunjukkan bahwa garis regresinya menyebar rata pada nilai 2.5-4.5 Kkal/menit. Gambar 4.24 menunjukkan bahwa sebagian besar
cxli
responden mengeluarkan energi berkisar pada nilai 3-4 Kkal/menit. Beberapa responden berbeda yaitu responden 2, 4, dan 5. Gambar 4.25 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden normal mengelompok dalam kisaran nilai kalori yang hampir sama kecuali pada responden 5. Perbedaan yang terjadi antara kesepuluh responden normal tersebut dapat disebabkan karena faktor internal responden yang kurang diperhatikan dalam penelitian ini. Faktor internal responden yaitu kondisi psikologis saat eksperimen dan tingkat aktivitas fisik. Rekapitulasi perbandingan hasil pengukuran energi ekspenditur dapat dilihat pada tabel 4.29 halaman IV-60 dan disajikan dalam grafik pada gambar 4.36 halaman IV-61. Grafik perbandingan menunjukkan bahwa pada empat titik pengukuran denyut nadi dapat dilihat bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki perubahan nilai energi ekspenditur yang kecil. Hal tersebut berarti peningkatan energinya lebih cenderung stabil dibanding dua desain prosthetic lainnya walaupun nilai energinya tidak lebih rendah. Pada nilai energi ekspenditur responden normal ditampilkan nilai rata-rata untuk tiga kecepatan dari sepuluh responden yaitu kelompok garis regresi berwarna jingga. Pada grafik dapat dilihat bahwa tipe pengembangan lebih memiliki pola kestabilan peningkatan atau kemiringan garis seperti pada responden normal. Jika empat kelompok garis tersebut dibandingkan, diketahui bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan lebih rendah dibandingkan pada responden normal. Padahal seharusnya tingkat konsumsi energi pada amputee mengalami peningkatan sebesar 10-15% dibandingkan dengan orang normal (Inman, Verne T, 1968). Dengan kata lain hasil pengukuran energi ekspenditur pada pengguna prosthetic seharusnya lebih tinggi dibandingkan pada orang normal. Hal tersebut dapat disebabkan kebiasaan amputee dalam menggunakan prosthetic yang berkaitan dengan adaptasi terhadap perbedaan berat ketiga prosthetic dimana prosthetic eksoskeletal adalah yang terberat. Hal lain yang mempengaruhi yaitu perbandingan umur dan pekerjaan antara pengguna prosthetic dan responden normal yang tidak seimbang. 5.1.5 Analisis Hasil Perhitungan Kebutuhan Kalori Kebutuhan kalori merupakan besarnya jumlah kalori yang dikeluarkan untuk melakukan suatu aktivitas. Data yang diolah yaitu hasil perhitungan energi cxlii
ekspenditur setiap menitnya. Kebutuhan kalori ini mempertimbangkan berat badan responden yang diukur. Pada akhirnya didapatkan nilai kalori yang dibutuhkan per jam per kilogram berat badan. Hasil perhitungan kebutuhan kalori pada pengguna prosthetic dapat dilihat pada tabel 4.23 dan grafik pada gambar 4.26 halaman IV-47. Pada grafik dapat dilihat perubahan kebutuhan kalori mulai dari sebelum berjalan sampai saat berjalan. Hasil pada ketiga desain prosthetic memiliki kecenderungan yang sama dengan grafik pada energi ekspenditur. Nilai kebutuhan kalori pada kecepatan 2 km/jam lebih banyak dibanding dua kecepatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya kalori yang dikeluarkan semakin meningkat seiring peningkatan kecepatan aktivitas berjalan pada treadmill. Pada grafik terdapat tiga kelompok garis regresi jika dibandingkan sesuai selisih peningkatan kalorinya, didapatkan bahwa peningkatan kalori pada desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan (warna hijau) terlihat lebih stabil. Dapat diartikan bahwa selisih peningkatan kalori pada setiap pengukuran lebih sedikit dibandingkan selisih kalori pada dua desain prosthetic lainnya. Dari keseluruhan garis regresi dapat disimpulkan bahwa kalori yang dibutuhkan saat berjalan lebih besar dibandingkan sebelum berjalan dan meningkat seiring dengan semakin besarnya jarak tempuh berjalan. Hasil perhitungan kebutuhan kalori pada responden normal ditunjukkan pada tabel 4.24 halaman IV-49 dan disajikan dengan grafik pada gambar 4.27-29 halaman IV-50, 51. Sama halnya dengan analisis terhadap hasil pengukuran kebutuhan kalori pada pengguna prosthetic. Tabel hasil perhitungan menunjukkan bahwa sebagian besar responden normal membutuhkan kalori yang lebih besar saat berjalan dibandingkan sebelum berjalan (0 meter). Pada gambar 4.27 yaitu kebutuhan kalori pada responden normal untuk kecepatan 1.2 km/jam menunjukkan bahwa garis regresinya menyebar rata pada nilai 3-5 Kkal/jam/kg. Gambar 4.28 menunjukkan sebagian besar responden membutuhkan kalori dengan nilai yang mengumpul rata-rata pada 4 Kkal/jam/kg. Beberapa responden berbeda yaitu responden 2, 4, dan 5. Gambar 4.29 menunjukkan hampir seluruh responden normal mengelompok dalam kisaran nilai kalori yang hampir sama kecuali pada responden 4 dan 5. Perbedaan yang terjadi
cxliii
antara kesepuluh responden normal tersebut dapat disebabkan karena faktor internal responden yang kurang diperhatikan dalam penelitian ini. Faktor internal responden yaitu kondisi psikologis saat eksperimen dan tingkat aktivitas fisik. Rekapitulasi perbandingan hasil pengukuran kebutuhan kalori dapat dilihat pada tabel 4.30 dan disajikan dalam grafik pada gambar 4.37 halaman IV-62, 63. Grafik perbandingan menunjukkan bahwa pada empat titik pengukuran denyut nadi dapat dilihat bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki perubahan nilai kebutuhan kalori yang kecil. Hal tersebut berarti peningkatan kalorinya lebih cenderung stabil dibanding dua desain prosthetic lainnya walaupun nilai kalorinya tidak lebih rendah. Pada nilai kebutuhan kalori responden normal ditampilkan nilai rata-rata untuk tiga kecepatan dari sepuluh responden yaitu kelompok garis regresi berwarna jingga. Pada grafik dapat dilihat bahwa tipe pengembangan lebih memiliki pola kestabilan peningkatan kalori atau kemiringan garis seperti pada responden normal. Jika empat kelompok garis tersebut dibandingkan, diketahui bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan lebih rendah dibandingkan pada responden normal. Sebelumnya telah diungkapkan bahwa energi yang dibutuhkan pengguna prosthetic seharusnya lebih besar dibandingkan orang normal, sama halnya dengan nilai kalori yang dikeluarkan. Seperti analisis pada energi ekspenditur, hal tersebut dapat disebabkan kebiasaan amputee dalam menggunakan prosthetic yang berkaitan perbedaan berat ketiga prosthetic serta perbandingan umur dan pekerjaan antara pengguna prosthetic dan responden normal yang tidak seimbang. 5.1.6 Analisis Hasil Perhitungan Konsumsi Oksigen Konsumsi energi yang diukur dengan satuan kalori berkaitan erat dengan konsumsi oksigen. Konsumsi oksigen memberikan perkiraan nilai oksigen dalam liter yang dibutuhkan tubuh dalam melakukan aktivitas, pada penelitian ini yaitu aktivitas berjalan. Dalam penelitian ini pengukuran terhadap konsumsi oksigen dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan mengetahui denyut jantung saat beraktivitas. Pengukuran ini dilakukan menggunakan metode konvensional Tayyari. Metode ini untuk mengestimasi VO2 didasarkan pada berat badan dan denyut jantung selama berjalan pada treadmill. Selain itu juga mempertimbangkan cxliv
perbedaan jenis kelamin, koreksi usia, dan kecepatan berjalan. Perhitungan konsumsi oksigen dilakukan dengan mengolah data pengukuran denyut nadi pada aktivitas berjalan di treadmill. Hasil perhitungan konsumsi oksigen pada pengguna prosthetic dapat dilihat pada tabel 4.25 dan grafik pada gambar 4.30 halaman IV-53. Pada grafik dapat dilihat perubahan konsumsi oksigen mulai dari sebelum berjalan sampai saat berjalan. Pada grafik terdapat tiga kelompok garis regresi. Jika dibandingkan sesuai selisih peningkatan konsumsi oksigennya, didapatkan bahwa peningkatan pada desain prosthetic endoskeletal merek Regal (warna merah) lebih besar. Dapat diartikan bahwa selisih peningkatan konsumsi oksigen pada setiap pengukuran lebih besar dibandingkan selisih konsumsi oksigen pada dua desain prosthetic lainnya. Perbedaan konsumsi oksigen pada desain prosthetic endoskeletal merek Regal dapat disebabkan belum terbiasanya amputee menggunakan prosthetic tersebut. Faktor lain dari prosthetic yang berpengaruh yaitu berkaitan dengan adanya kesulitan yang dirasakan amputee saat menggerakkan pergelangan kaki (ankle joint) dalam melakukan gerakan fleksiekstensi serta saat foot mulai menapak pada lintasan. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi psikologis amputee saat eksperimen menggunakan desain prosthetic tersebut. Hasil perhitungan konsumsi oksigen pada responden normal ditunjukkan pada tabel 4.26 halaman IV-55 dan disajikan dengan grafik pada gambar 4.31-33 halaman IV-56, 57. Grafik hasil perhitungan menunjukkan bahwa sebagian besar responden normal mengkonsumsi oksigen yang lebih besar pada awal pengukuran yaitu sebelum berjalan (0 meter) dan mulai mengalami penurunan untuk saat pengukuran berikutnya. Pada gambar 4.31 yaitu konsumsi oksigen pada responden normal untuk kecepatan 1.2 km/jam menunjukkan bahwa nilainya besar pada pengukuran awal. Pada pengukuran berikutnya terjadi kenaikan dan penurunan dengan selisih yang kecil. Beberapa responden menunjukkan peningkatan yang stabil yaitu responden 3, 4, 5, 6, 8, dan 9 sedangkan lainnya tidak telampau stabil. Gambar 4.32 menunjukkan sebagian besar responden membutuhkan oksigen dalam kisaran nilai yang hampir sama, kecuali responden 2 dan 4. Kestabilan terhadap
cxlv
peningkatan konsumsi oksigen yang terjadi pada setiap responden pun berbeda Gambar 4.33 menunjukkan hampir seluruh responden normal memiliki pola peningkatan yang sama. Sebagian besar responden mengonsumsi oksigen pada kisaran nilai yang sama, kecuali responden 4 dan 5. Hal tersebut sama dengan hasil analisis pada kebutuhan kalori. Variasi yang terjadi dalam tiga grafik tersebut antara kesepuluh responden normal dapat disebabkan karena faktor internal responden yang kurang diperhatikan dalam penelitian ini. Faktor internal responden yaitu kondisi psikologis saat eksperimen dan tingkat aktivitas fisik. Rekapitulasi perbandingan hasil pengukuran konsumsi oksigen dapat dilihat pada tabel 4.31 dan grafik pada gambar 4.38 halaman IV-63, 64. Grafik perbandingan menunjukkan bahwa pada empat titik pengukuran denyut nadi dapat dilihat bahwa desain prosthetic endoskeletal pengembangan memiliki perubahan nilai konsumsi oksigen yang kecil. Hal tersebut berarti peningkatan konsumsi oksigennya lebih cenderung stabil dibanding dua desain prosthetic lainnya walaupun nilainya tidak lebih rendah. Pada nilai konsumsi oksigen responden normal ditampilkan nilai rata-rata untuk tiga kecepatan dari sepuluh responden (warna jingga). Pada grafik dapat dilihat bahwa desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan lebih memiliki pola kestabilan peningkatan konsumsi oksigen atau kemiringan garis seperti responden normal pada setiap titik pengukuran. Penggunaan energi yang lebih besar oleh pengguna prosthetic berkaitan dengan tingkat konsumsi oksigen yang lebih tinggi pula. Seperti analisis sebelumnya, hal tersebut dapat disebabkan kebiasaan amputee dalam menggunakan prosthetic yang berkaitan perbedaan berat ketiga prosthetic serta perbandingan umur dan pekerjaan antara pengguna prosthetic dan responden normal yang tidak seimbang. 5.1.7 Analisis terhadap Faktor yang Perlu Dikontrol Hasil-hasil pengukuran sesuai empat kriteria menunjukkan adanya beberapa faktor internal maupun eksternal yang cukup mempengaruhi data hasil eksperimen. Dalam kondisi nyata faktor-faktor tersebut berpengaruh pada hasil penelitian, namun dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan atas hasil penelitian. Faktor-faktor tersebut, yaitu: 1.
Jenis pekerjaan dan tingkat aktivitas fisik cxlvi
Faktor jenis pekerjaan berkaitan erat dengan tingkat aktivitas fisik yang dilakukan oleh responden. Kedua faktor ini mempengaruhi pengukuran nilai BMR yang digunakan dalam menentukan responden normal untuk dibandingkan dengan pengguna prosthetic. Pada penelitian ini amputee merupakan pekerja sedangkan responden normal merupakan mahasiswa. Amputee terbiasa melakukan aktivitas fisik dengan intensitas yang cukup tinggi dibandingkan dengan mahasiswa. Orang yang terbiasa melakukan aktivitas fisik cenderung memiliki denyut nadi yang lebih cepat dan lebih stabil dibandingkan dengan orang dengan tingkat aktivitas fisik rendah. Hal tersebut dapat mempengaruhi kestabilan denyut nadi yang diambil sebagai data primer dalam penelitian terhadap aspek fisiologi responden. Kedua faktor tersebut tidak turut dipertimbangkan dalam penelitian ini, namun tetap didukung adanya nilai BMR antara kedua responden dengan selisih yang tidak terlampau signifikan. 2.
Umur Faktor umur secara eksplisit tercantum sebagai variabel dalam persamaan nilai BMR oleh Harris dan Benedict (19191) serta sebagai faktor koreksi usia pada persamaan konsumsi oksigen maksimal oleh Tayyari (1995). Pada penelitian ini seharusnya mempertimbangkan adanya pengaruh perbedaan umur terhadap hasil perhitungan. Amputee berumur 33 tahun sedangkan responden normal berumur sekitar 22 tahun. Perbedaan ini memberikan pengaruh pada perhitungan nilai BMR dan konsumsi oksigen saat aktivitas berjalan pada treadmill.
3.
Kondisi psikologis responden saat eksperimen Kelelahan ditimbulkan oleh dua hal yaitu fisiologis yang bersifat objektif dan psikologis yang bersifat subjektif (Sutalaksana, 2006). Penelitian ini menggunakan denyut nadi untuk mengukur tingkat kelelahan. Denyut nadi tersebut belum bisa merepresentasikan keseluruhan tingkat kelelahan yang dialami responden. Denyut nadi juga berhubungan dengan faktor psikologis dalam menimbulkan kelelahan disamping indikator lain yaitu faktor fisiologis seperti tekanan darah, konsumsi oksigen dan komposisi kimia dalam urin dan darah. Pada penelitian ini belum bisa mengukur aspek-aspek psikologis dari
cxlvii
setiap responden sehingga tidak diperhitungkan. Faktor psikologis ini juga berpengaruh terhadap perasaan suka atau tidak responden dalam melakukan eksperimen. 4.
Jenis bahan socket prosthetic Kenyamanan dalam berjalan menggunakan prosthetic ditunjang oleh kualitas komponen pada prosthetic tersebut, salah satunya adalah socket. Socket merupakan bagian dari prosthetic yang menempel langsung dengan kulit manusia dan sebagai tempat stump yang akan menggerakkan prosthetic untuk berjalan. Kualitas socket yang mampu memberikan rasa nyaman saat digunakan dapat dilihat dari sisi jenis bahan. Pada penelitian ini tidak mempertimbangkan jenis bahan socket pada ketiga desain prosthetic yang kemungkinan mempengaruhi kenyamanan saat berjalan.
5.
Kecepatan berjalan normal dan lebar jangkauan langkah kaki setiap responden Pelaksanaan penelitian ini menitikberatkan pada jarak yang ditempuh oleh responden untuk kondisi eksperimen berjalan normal sejauh 12 meter. Kecepatan berjalan normal yang dimaksud yaitu kecepatan berjalan responden dalam kondisi santai. Kecepatan berjalan dan lebar jangkauan langkah kaki pada setiap responden berbeda-beda. Perbedaan ini mempengaruhi jumlah siklus dan waktu tempuh untuk setiap fase berjalan. Semakin lebar jangkauan langkah kaki, semakin sedikit siklus yang dihasilkan. Semakin tinggi kecepatan berjalan responden, semakin singkat waktu tempuh untuk setiap fase berjalan. Sedangkan waktu tempuh per fase bervariasi pada setiap orang. Pada akhirnya akan mempengaruhi hasil distribusi %CVL per fase. Sepuluh responden normal berada dalam kategori yang sama yaitu ‘langsing’, namun tidak semuanya memiliki kesamaan dalam ukuran tinggi badan. Responden dengan ukuran tinggi badan yang lebih tinggi memiliki jangkauan langkah kaki lebih lebar sehingga jumlah siklus akan lebih sedikit. Selain itu responden yang lebih tinggi membutuhkan waktu yang lebih cepat dalam berjalan. Perbedaan ini memberikan pengaruh terhadap denyut nadi responden yang dijadikan sebagai data primer penelitian ini.
6.
Kebiasaan amputee dalam memakai prosthetic
cxlviii
Kebiasaan amputee dalam menggunakan prosthetic mempengaruhi keluwesan dalam berjalan. Penelitian ini tidak memperhatikan kebiasaan dan frekuensi amputee dalam memakai ketida desain prosthetic untuk berjalan. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan mengenai kemampuan dan kebiasaan amputee dalam memakai prosthetic. Kebiasaan amputee dalam memakai prosthetic kemungkinan besar berpengaruh terhadap fisiologi amputee yaitu terhadap kelelahan yang ditimbulkan, konsumsi energi dan konsumsi oksigen. Selain itu juga tidak diketahui dengan pasti frekuensi pemakaian dari ketiga desain prosthetic, karena itu sebenarnya kurang adil jika membandingkan ketiga desain tersebut.
5.2 INTERPRETASI HASIL Interpretasi hasil penelitian merupakan pemaparan hasil dari pengolahan data secara menyeluruh. Hasil penelitian ini memberikan jawaban atas desain prosthetic kaki bawah lutut terbaik dalam mengakomodasi aktivitas berjalan. Jika dilihat dari keseluruhan hasil pengukuran fisiologi sesuai empat kriteria, menunjukkan bahwa desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan merupakan desain prosthetic kaki bawah lutut terpilih untuk direkomendasikan. Pengukuran fisiologi yang meliputi %CVL (total dan per fase), energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen menunjukkan bahwa hasil pengukuran pada desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan lebih rendah dibandingkan dua desain lainnya. Hasil pengukuran juga menunjukkan bahwa pengguna prosthetic tersebut memiliki nilai pengukuran fisiologi mendekati nilai pengukuran responden normal, bahkan pada beberapa bagian justru lebih rendah. Nilai %CVL total dan per fase pada amputee dengan menggunakan desain prosthetic tersebut lebih rendah dari dua prosthetic lainnya menunjukkan bahwa tingkat kelelahan yang ditimbulkan pun lebih rendah walaupun perbedaannya tidak terlampau signifikan. Nilai energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen menunjukkan bahwa penggunaan desain prosthetic tersebut menghasilkan peningkatan kebutuhan energi, kalori, dan oksigen yang lebih rendah. Dengan kata lain peningkatan kebutuhan dengan jarak tempuh berjalan 100 meter lebih stabil dibanding dua desain prosthetic lainnya.
cxlix
Berdasarkan
analisis
di
atas
desain
prosthetic
endoskeletal
tipe
pengembangan dipilih sebagai desain prosthetic yang direkomendasikan untuk dipakai
oleh
amputee
atau
pengguna
prosthetic.
Pengukuran
fisiologi
menunjukkan hasil yang mampu memberikan kenyaman bagi pengguna prosthetic dalam aktivitas berjalan.
cl
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian terakhir yang membahas tentang kesimpulan yang diperoleh serta usulan atau saran untuk pengembangan penelitian lebih lanjut. Penjelasan dari kesimpulan dan saran tersebut diuraikan pada pada sub bab di bawah ini.
6.1 KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini merupakan jawaban atas tujuan penelitian yang telah ditetapkan
sebelumnya
yaitu
memilih
desain prosthetic terbaik
dalam
mengakomodasi aktivitas berjalan. Berdasarkan hasil pengumpulan, pengolahan, dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan, sebagai berikut: 1. Desain prosthetic kaki bagian bawah lutut terbaik dalam mengakomodasi aktivitas berjalan yaitu desain prosthetic endoskeletal tipe pengembangan karena memberikan nilai pengukuran fisiologi yang paling mendekati responden normal. 2. Pengukuran endoskeletal
aspek tipe
fisiologi
menunjukkan
pengembangan
bahwa
memberikan
hasil
desain
prosthetic
%CVL
sebesar
3.21±0.09% yang lebih rendah dibanding dua desain prosthetic lainnya, sedangkan %CVL pada responden normal yaitu 3.14±0.57%. Hasil pengukuran energi ekspenditur, kebutuhan kalori, dan konsumsi oksigen menunjukkan kestabilan garis yang mirip dengan responden normal. Dimana nilai BMR amputee yaitu 1372 Kkal/hari, sedangkan nilai BMR responden normal berkisar 1472±8.48 Kkal/hari dan keduanya masuk dalam kategori BMI yaitu ‘langsing’.
6.2 SARAN Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian untuk langkah pengembangan atau penelitian selanjutnya, sebagai berikut:
cli
1. Penelitian selanjutnya yang menggunakan nilai BMR sebagai validasi responden dapat mempertimbangkan berat badan, tinggi badan, umur, jenis pekerjaan, dan aktivitas fisik atau dapat menggunakan nilai AMR (Activity Metabolic Rate). 2. Pada penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan faktor kebiasaan amputee dalam memakai tiga desain prosthetic dalam jangka waktu dan frekuensi yang sama. 3. Instrumen dalam pengambilan data penelitian yang digunakan memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi.
clii
DAFTAR PUSTAKA Ardiansyah, Tony. 2008. Penentuan Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Tingkat Kelelahan Pemakai Sepatu Hak Tinggi Pada Saat Berjalan Dengan Desain Eksperimen Faktorial (Studi Kasus Toko Sepatu Bakti, Surakarta). Tugas Akhir Strata-1, Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Corey, M. 2005. Heart Rate Responses to Track and Treadmill Jogging. Vermont: Bringham Young University. Damayanti, R.W. 2003. Perancangan Dan Pengembangan Prothese Kaki Bagian Bawah Lutut Dengan Menggunakan Quality Function Deployment (QFD). Tugas Akhir Strata-1, Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Forum Obesitas. Body Mass Index. Tersedia di: www.obesitas.web.id/bmi(i).html [25 November 2009] Grandjean, E. 1993. Fitting The Task to The Man. 4th Edition. London: Taylor & Francis Inc. Harris, J. Arthur and Francis G. Benedict. 1919. A Biometric Study of Basal Metabolism in Man [e-book]. Washington : The Carnegie Institution of Washington. Herdiman, Lobes dkk. 2009. “Kajian Fisiologi pada Karakteristik Prosthetic Kaki Endoskeletal Jenis Above Knee Prosthetic (AKP)”. National Conference on Applied Ergonomics 2009, Hal. 178-183. _______ dan Retno Wulan Damayanti. 2009. “Modeling, Analisis dan Pembuatan Kaki Prosthetic Jenis Below Knee Prosthetic (BKP) Foot”. Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Huang, Kuo-Feng et al. 2001. “Kinematics Properties and Energy Cost of BelowKnee Amputees”. Biomedical Engineering Applications, Basis & Communications [Online], Vol. 13, page 99-107. Tersedia di: www.worldscinet.com/bme/13/1302/open-access/S101623720100133.pdf [27 November 2009] Inman, Verne T. 1968. “Conservation of Energy in Ambulation”. Bulletin of Prosthetics Research [Online], page 26-35. Johnson, A.T. 1991. Biomechanics and Exercise Physiologys. Toronto: John Wiley & Son.
cliii
Keytel, L.R et al. 2005. “Prediction of Energy Expenditure from Heart Rate Monitoring During Submaximal Exercise”. Journal of Sports Sciences [Online], 45 pages. Tersedia di: http://drops.dagstuhl.de/opus/volltexte/ 2008/1685/pdf/08372.BoehmHarald.ExtAbstract.1685.pdf [27 November 2009] Laymon, Mike, Jerrold S. Petrofsky and Jennifer Batt. 2008. “Aerobic Energy Expenditure on a 60-Minute Exercise Video with Mini Medicine Balls”. The Journal of Applied Research [Online], Vol. 8, page 130-134. Tersedia di: http://www.jarcet.com/articles/Vol8Iss2/Petrofsky3Vol8No2.pdf [27 November 2009] Munandar, A. 1979. Ikhtisar Anatomi Alat Gerak dan Ilmu Gerak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. Nurmianto, Eko. 2004. Ergonomi Konsep Dasar Dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya. Rowett Research Institute. 1992. Energy Expenditure [Online], 6 pages. Tersedia di: http://www.rowett.ac.uk/edu_web/sec_pup/energy_expenditure.pdf [27 November 2009]. Rubberbug. Anatomy of Walk [Online]. Tersedia di: www.rubberbug.com/walking.htm [25 November 2009]. Setyaningrum, A.Y. 2006. Usulan Perbaikan Perancangan Medial Arch Support pada Sepatu Ortopedi Bagi Penderita Flat Foot dengan Menggunakan Analisis Biomekanika (Studi Kasus Rumah Sakit Ortopedi Prof. DR.R Soeharso). Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Sinaki, Mehrsheed. (1993). Basic Clinical Rehabilitation Medicine. Chicago : Mosby. Staff Prosthetics and Orthotic. 1990. Lower-Limb Prosthetics. New York : New York University Medical Center. Sulistyadi, K. dan Susianti S.L.. 2003. Perancangan Sistem Kerja & Ergonomi. Jakarta: Universitas Sahid. Suma’mur. 1984. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : PT Gunung Agung. Sutalaksana, dkk. 2006. Teknik Tata Cara Kerja Edisi 2. Bandung : Penerbit ITB.. Tarwaka, dkk. 2004. Ergonomi untuk Keselamatan Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta : UNIBA PRESS.
cliv
Waters, Robert L. et al. 1976. “Energy Cost of Walking of Amputees: The Influence of Level of Amputation”. The Journal of Bone and Joint Surgery [Online]. Vol. 58-A, page 42-46. Wignjosoebroto, S. 1991. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Jakarta: PT Guna Widya.
clv