JOURNAL OF ECONOMICS AND BUSINESS ISSN : 0853-862X This journal is published periodically three times a year, April, August, and December. It publish a broad range of research articles on economics and business comprising management, accountancy, banking, insurance, industry, marketing, transportation, and cooperative, whether in Indonesian Language or English. This journal is published by Research Institute of Gunadarma Univesity and has been accredited by Decree of Higher Education Directorate (SK DIKTI) No. 110/DIKTI/Kep/ Desember2009
JURNAL ILMIAH EKONOMI BISNIS ISSN : 0853-862X Jurnal ini diterbitkan secara berkala tiga kali dalam setahun, April, Agustus, dan Desember. Jurnal memuat artikel ilmiah hasil penelitian tentang ekonomi dan bisnis yang meliputi manajemen, akuntansi, perbankan, asuransi, pemasaran, dan koperasi yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Jurnal ini diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Universitas Gunadarma dan telah terakreditasi oleh SK DIKTI No. 110/DIKTI/Kep/Desember2009
PENGARUH FAKTOR MIKRO EKONOMI TERHADAP NILAI PERUSAHAAN MELALUI KEBIJAKAN DEVIDEN Sugiharti Binastuti1 Nopirin2 Hotniar Siringoringo3 1,3
Program S3 Ekonomi Universitas Gunadarma Jalan Margonda Raya No. 100 Depok 16424 1
[email protected] 2 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pngaruh faktor ekonomi mikro terhadap kebijakan dividen. Penelitian juga dimaksudkan untuk mengukur pengaruh faktor ekonomi mikro terhadap nilai perusahaan secara langsung maupun secara tidak langsung melalui kebijakan dividen. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari Indonesian Capital Market Directory (ICMD) tahun 2001-2010. Objek penelitian adalah seluruh perusahaan sektor manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2001 – 2010 yang membagi dividen minimal 5 tahun berturut-turut. Data diolah menggunakan model persamaan struktural. Hasil menunjukkan bahwa keseluruhan faktor mikro ekonomi yakni likuiditas, leverage, ukuran perusahaan, dan profitabilitas berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Factor ekonomi mikro juga terbukti berpengaruh terhadap nilai perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui kebijakan dividen. Kata Kunci : factor ekonomi mikro, kebijakan dividen, nilai perusahaan, perusahaan manufaktur
IMPACT OF MICRO ECONOMIC FACTORS ON COMPANY VALUE THOROUGH DIVIDEND POLICY Abstract The objective of the study was to measure the influence of micro economic factor on dividend policy. The study was also intended to measure the influence of micro economics on company value directly and indirectly thorough dividend policy. Data deployed was secondary data which was obtained from Indonesian Capital Market Directory (ICMD) year 2001-2010. Research object were all manufacturing companies listed on Indonesian Stock Exchange which paid dividend atleast 5 years subsequently. Data collected was analyzed using structural equation modeling. Result showed that micro economic factor influence dividend policy significantly. It was also shown that micro economic influenced company value significantly directly and indirectly thorough dividend policy. Keywords : micro economic factor, dividend policy, company value, manufacturing companies
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
149
PENDAHULUAN Banyak peneliti menunjukkan bahwa faktor ekonomi mikro yang terdiri dari likuiditas, leverage, ukuran perusahaan dan profitabilitas dapat mempengaruhi kebijakan dividen. Profitabilitas yang diukur menggunakan pengembalian aset berpengaruh positif terhadap dividen (Marlina, 2009; Puspita, 2009; Kouki dan Guizani, 2009). Pengembalian ekuitas mempengaruhi dividen secara positif (AlKuwari, 2009; Mai, 2010; Avazian, Booth dan Cleary, 2010). Hasil yang berbeda ditunjukkan peneliti lain (seperti Kania dan Bacon, 2005; Nuriningsih, 2005) bahwa kenaikan pengembalian ekuitas justru berpengaruh negatif terhadap dividen. Kebijakan pendanaan dan ukuran perusahaan juga dapat mempengaruhi kebijakan dividen. McCabe (1979) menyatakan bahwa keputusan dividen dibuat dengan memperhatikan kebutuhan dana untuk investasi dan sumber dana berupa keuntungan dan hutang baru. Hutang jangka panjang baru berpengaruh negatif terhadap pembayaran dividen. Penelitian Nuringsih (2005), Nurfauziah, Harjito dan Ringayati (2008) menghasilkan kesimpulan bahwa DAR berpengaruh negatif terhadap dividen. Hasil ini didukung oleh penelitian Aasia, Waqas dan Yasir (2011) yang melakukan penelitian di Karachi yang menemukan bahwa hutang berpengaruh negatif terhadap pembayaran dividen. Dalam hubungannya dengan nilai perusahaan, beberapa peneliti (seperti Modigliani dan Miller, 1961; Suharli, 2006; Ulupi, 2007; Suranta dan Pratana, 2004; Mai, 2010) menunjukkan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Modigliani dan Miller (1961) menunjukkan bahwa semakin tinggi earnings power semakin efisien perputaran aset dan atau semakin tinggi marjin keuntungan yang diperoleh perusahaan. Hal ini berdampak pada
150
peningkatan nilai perusahaan. Mai (2010) menggunakan pengembalian ekuitas sebagai parameter keuntungan dan menemukan pengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Suharli (2006) dan Ulupi (2007) menemukan bahwa pengembalian aktiva berpengaruh positif signifikan terhadap pengembalian saham satu periode ke depan. Hasil yang berbeda diperoleh oleh Suranta dan Pratana (2004), yang menemukan bahwa pengembalian aktiva justru berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Taswan (2003) berpendapat bahwa perusahaan besar dapat dengan mudah mengakses ke pasar modal, sehingga memiliki fleksibilitas dan kemampuan lebih besar untuk mendapatkan dana bagi pembayaran dividen. Hal ini sesuai dengan penelitian Jauhari (2002) dan Al-Kuwari (2009) menyimpulkan bahwa total aset ber-pengaruh positif terhadap dividen. Di sisi lain beberapa peneliti (seperti Kouki dan Guzani (2009); Pakpahan (2010); Mai, 2010) menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap dividen. Pembayaran dividen perusahaan, selain dipengaruhi oleh profitabilitas dan ukuran perusahaan juga tergantung dari posisi likuiditas perusahaan (Sutrisno, 2001; Pujiastuti, 2008; Marlina dan Danica (2009). Perusahaan dengan tingkat likuiditas tinggi memungkinkan untuk membayar dividen dalam jumlah tinggi. Berbagai kondisi perusahaan dapat mempengaruhi nilai aliran kas bebas. Perusahaan yang memiliki tingkat likuiditas tinggi dengan tingkat pertumbuhan rendah, sebaiknya mendistribusikan kas yang tidak dipakai kepada pemegang saham. Di sisi lain, perusahaan yang mempunyai tingkat likuiditas tinggi dengan tingkat pertumbuhan tinggi dapat menahan kas sementara dan bisa dimanfaatkan untuk investasi pada periode mendatang.
Binastuti, dkk., Pengaruh Faktor.....
Penelitian Rahmawati dan Akram (2007) menemukan hal berbeda yang menghasilkan kesimpulan bahwa rasio kas tidak berpengaruh terhadap dividen, sedangkan Kania dan Bacon (2005) menemukan bahwa CR berpengaruh negatif terhadap dividen. Kebijakan pendanaan yang dilakukan perusahaan, selain dapat mempengaruhi kebijakan dividen, juga dapat berpengaruh langsung terhadap nilai perusahaan (Modigliani dan Miller, 1963; De Angelo dan Masulis, 1980). Pendanaan didanai hutang menyebabkan terjadi efek pengurangan pajak, artinya, perusahaan yang memiliki hutang akan membayar bunga pinjaman. Kewajiban membayar bunga pinjaman dapat mengurangi penghasilan kena pajak dan akhirnya dapat memberi manfaat bagi pemegang saham. Pengurangan pajak ini akan menambah laba perusahaan dan dana tersebut dapat dipakai untuk investasi perusahaan di masa yang akan datang ataupun untuk membagikan dividen kepada para pemegang saham. Apabila hal tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan, maka penilaian investor terhadap perusahaan akan meningkat (Margareta, 2008; Murtini, 2008; Pakpahan, 2010). Mai (2010) dan Pakpahan (2010) menunjukkan peran signifikan ukuran perusahaan terhadap nilai perusahaan dengan arah koefisien regresi yang positif. Likuiditas juga berpengaruh langsung terhadap nilai perusahaan. Rahmawati dan Akram (2007) menemukan bukti bahwa likuiditas berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Hal ini berbeda dengan penelitian Martani, Mulyono, dan Khairurizka yang menghasilkan kesimpulan bahwa likuiditas yang diukur dengan current ratio berpengaruh negatif terhadap tingkat pengembalian saham. Tujuan dari penelitian ini dengan demikian adalah mengukur pengaruh faktor ekonomi mikro terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen.
METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan sektor manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2001 – 2010 yang membagi dividen minimal 5 tahun berturutturut. Frekuensi pembagian saham minimal 5 tahun digunakan untuk mendapatkan sampel homogen. Pengklasifikasian sektor mengikuti Jakarta Saham Industri Classification (JASICA). Perusahaan Manufaktur termasuk dalam sektor sekunder yang terdiri dari industri dasar dan kimia, Miscellaneous Industry dan Consumer Goods. Pemilihan data ini dengan alasan bahwa perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI memberikan sumbangan atau kontribusi hampir 40% dari total emiten yang terdaftar. Data yang digunakan berdasarkan batasan rentang waktu dengan alasan sebagai berikut: 1. Data tahun 2001 digunakan sebagai awal periode, dengan harapan dapat diperoleh laporan keuangan dengan kondisi perusahaan yang lebih obyektif, dan sudah melewati masa krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997. 3. Data tahun 2010 digunakan sebagai akhir periode, karena pada waktu pengumpulan data, BEI terakhir menerbitkan Indonesian Capital Market Directory (ICMD) untuk tahun 2011, yang memuat laporan keuangan perusahaan untuk tahun 2010. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang bersumber dari Indonesian Capital Market Directory (ICMD), terbitan tahun 2002 sampai dengan tahun 2012. Analisis data dilakukan menggunakan analisis jalur. Model penelitian yang dikembangkan ditunjuk-kan Gambar 1.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
151
Gambar 1. Model Penelitian
Berdasarkan model penelitian, hipotesis yang diajukan adalah: H1 : Faktor mikro ekonomi yaitu likuiditas, leverage, ukuran perusahaan dan profitabilitas berpengaruh terhadap kebijakan dividen. H2 : Kebijakan dividen berpengaruh terhadap nilai perusahaan. H3 : Faktor mikro ekonomi yaitu likuiditas, leverage, ukuran perusahaan dan profitabilitas, berpengaruh terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen.
HASIL DAN DISKUSI Data statistik deskriptif yang diolah adalah Cash Ratio (CR), Debt to Assets Ratio (DAR), Total Aset (TA), Return on Aset (ROA), kebijakan dividen (Dividend Payout Ratio (DPR)), dan Nilai perusahaan (Tobin’s Q). Analisis pertama kali dilakukan adalah analisis data statistik deskriptif, yaitu dengan cara mendiskripsikan data dari seluruh variabel yang dimasukkan dalam model penelitian. Variabel yang dianalisis secara rinci meliputi jumlah data, rata-rata, minimum, dan maksimum seperti terdapat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata, Minimum, Maximum Variabel Penelitian
No 1 2 3 4 5 6
Keterangan CR DAR Total Aset (LnTA) ROA DPR Tobins’q
Pengujian hipotesis dilakukan menggunakan model analisis jalur. Uji kebaikan suai mengukur kesesuaian antara data input atau sesungguhnya dengan prediksi dari model yang diajukan. Pengambilan keputusan model dalam pe-
152
Jumlah Data
Min
Maks
Ratarata
240 240 240 240 240 240
2,315 7,109 24,254 -5,680 0 0,409
518,449 194,819 32,357 57,070 302,877 15
75,98 37,417 27,881 15,299 34,903 1,815
nelitian ini menggunakan signifikansi 0,05. Loading factor merupakan koefisien regresi yang distandarisasi dan menunjukkan pengaruh langsung dari variabel bebas terhadap variabel terikat seperti pada Tabel 2.
Binastuti, dkk., Pengaruh Faktor.....
Tabel 2. Solusi terstandarisasi pengaruh langsung dan tidak langsung
No.
Keterangan
1 2
CR Debt to Assets Ratio (DAR) Total Aset (TA) Return on Aset (ROA) Kebijakan Dividen
3 4 5
Pengaruh langsung variabel independen terhadap Deviden
Pengaruh langsung variabel independen terhadap Nilai Perusahaan
Pengaruh tidak langsung variabel independen terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen
0,052 -0,015
-0,094 0,146
0,007 -0,002
0,062 0,199
0,166 0,677
-0,008 0,026
0
0,132
0
Pengaruh Ekonomi Mikro Terhadap Kebijakan Dividen Tabel 2 menunjukkan bahwa DPR dipengaruhi secara langsung oleh faktor mikro ekonomi yang terdiri dari CR, DAR, TA, dan ROA. Nilai koefisien regresi CR terhadap DPR sebesar 0,052. Hal ini menunjukkan bahwa CR berpengaruh positif terhadap DPR. Koefisien regresi 0,052 artinya setiap penambahan satu nilai pada CR memberikan tambahan skor sebesar 0,052 pada DPR. Semakin tinggi CR berarti semakin tinggi kas dan setara kas dalam perusahaan. Semakin tinggi kas dan setara kas yang ada dalam perusahaan menyebabkan dividen dapat dibagi kepada pemegang saham semakin tinggi dan sebaliknya semakin rendah kas dan setara kas maka dividen yang dapat dibagi semakin kecil. CR menunjukkan tingkat likuiditas perusahaan yang diukur dengan kemampuan perusahaan dalam membayar hutang lancarnya dengan menggunakan kas dan setara kas. Perusahaan dalam kondisi CR tinggi memungkinkan untuk membagi dividen tinggi dan sebaliknya perusahaan dalam kondisi CR rendah tidak memungkinkan untuk membagi dividen. Likuiditas berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen, hal ini menunjukkan bahwa semakin likuid per-
usahaan maka semakin besar kemungkinan untuk membagi dividen. Semakin tinggi posisi kas dan setara kas dalam perusahaan maka kemampuan perusahaan untuk membagi dividen juga semakin tinggi dan sebaliknya. Kas terlalu banyak dalam perusahaan menyebabkan banyak uang menganggur, sehingga perusahaan kehilangan kesempatan untuk memperoleh laba dari investasi yang mengasilkan NPV positif. Kas terlalu tinggi juga terlihat bahwa perusahaan kurang efisien dalam mengelola dananya, sehingga kas tersebut dapat digunakan untuk operasional perusahaan atau digunakan sebagai dividen. Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa likuiditas berpengaruh positif terhadap dividen (Sutrisno, 2001; Suherli, 2007; Wahyudi dan Baidori, 2008; Marlina dan Danica, 2009; Deitiana, 2009). Marlina dan Danica (2009) menghasilkan koefisien regresi posisi kas terhadap DPR sebesar 3,603. Perbedaan looding factor antara penelitian ini dengan Marlina dan Danica adalah data digunakan lebih banyak yaitu data dari tahun 2001-2010 sedangkan penelitian Marlina dan Danica menggunakan data tahun 2004-2007. Suherli (2007) menggunakan current ratio dalam likuiditas menghasilkan koefisien regresi antara
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
153
current ratio dengan DPR sebesar 4,555 sedangkan Wahyudi dan Baidori (2008) menggunakan quick ratio dalam likuiditasnya yang menyimpulkan bahwa likuiditas, berpengaruh terhadap dividen dengan koefisien 0,023 pada perusahaan manufaktur yang terdaftar pada BEI periode 2002 – 2006. Penelitian ini tidak mendukung penelitian Rahmawati dan Akram (2007) dan Kadir (2010) yang menemukan bahwa likuiditas tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Leverage berhubungan dengan penggunaan hutang perusahaan dalam operasi perusahaan. Ukuran leverage yang digunakan adalah DAR yang merupakan perbandingan antara total hutang dengan total aset. Hasil menun-jukkan bahwa DAR berpengaruh negatif terhadap DPR (McCabe, 1979; Nuringsih, 2005; Nurfauziah, Harjito, dan Ringayati, 2007; Waqas dan Yasir, 2011; Avazian, Booth, dan Cleary, 2003; Sutrisno, 2007; Rosidi, 2007; Deitiana, 2009; Kouki dan Guizani, 2009). Semakin tinggi DAR menyebabkan DPR menurun dan sebaliknya. Perusahaan dengan hutang tinggi dalam operasional perusahaan akan membayar dividen rendah dan sebaliknya perusahaan dengan hutang rendah dapat membayar dividen tinggi. Penggunaan hutang yang tinggi menyebabkan pembayaran beban tetap yaitu biaya bunga, sehingga akan menurunkan laba, yang pada akhirnya dapat menurunkan pembayaran dividen. Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang menunjukkan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap dividen (Kania dan Bacon, 2005; Marlina dan Danica, 2009; Pakpahan, 2010). Kania dan Bacon (2005) dan Pakpahan (2010) menggunakan DAR dalam leverage seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Kania dan Bacon (2005) meneliti 542 perusahan pada NASDAQ, AMEX, NYSE dan OTC menghasilkan korelasi antara DAR
154
dengan DPR sebesar 0,0089 sedangkan Pakpahan (2010) meneliti perusahaan manufaktur tahun 2003–2007 menghasilkan DAR berpengaruh positif terhadap DPR dengan korelasi 0,012. Marlina dan Danica, (2009) menggunakan DER dan menemukan hasil bahwa DER berpengaruh positif terhadap DPR dengan koefisien 5,088 pada perusahaan manufaktur tahun 2004 – 2007. Nilai koefisien regresi ukuran perusahaan yang diproksi dengan TA terhadap DPR sebesar 0,062. Hal ini menunjukkan bahwa setiap penambahan satu nilai pada TA menaikkan skor sebesar 0,062 pada DPR. Hal ini berarti bahwa semakin besar ukuran perusahaan semakin besar DPR dan sebaliknya semakin kecil ukuran perusahaan semakin kecil DPR (Sutrisno,2001; Rahmawati dan Akram, 2007; Taswan 2003; Avazian, Booth dan Cleary, 2003, Papadopoulos dan Charalambidis, 2007; Al-Kuwari, 2009). Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Kouki dan Guizani (2009), Pakpahan (2010) dan Mai (2010). Kouki dan Guizani (2009) meneliti pada TSE 1995-2001 yang menghasilkan kesimpulan ukuran berpengaruh negatif terhadap dividen dengan korelasi -0,515. Pakpahan (2010) menghasilkan hubungan antara ukuran perusahaan dan DPR dan menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap DPR dengan korelasi -0,316 pada 8 perusahaan manufaktur di BEI tahun 2003 – 2007. Hasil penelitian Mai (2010) menemukan korelasi antara ukuran perusahaan dengan DPR yaitu sebesar – 0,005 pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2000 - 2007. Perbedaan koefisien korelasi ini karena penelitian dilakukan dalam tahun dan jumlah data yang berbeda. Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Profitabilitas diproksi dengan ROA yang merupakan perbandingan antara laba
Binastuti, dkk., Pengaruh Faktor.....
setelah pajak dengan total aset yang digunakan. Dari Tabel, dapat diketahui bahwa nilai koefisien regresi ROA terhadap DPR sebesar 0,199, hal ini menunjukkan bahwa ROA berpengaruh positif terhadap DPR (Baker dan Powell, 2000; Al-Kuwari, 2009; Nurfauziah, Harjito dan Ringayati, 2007; Deitiana, 2009; Marlina dan Danica, 2009; Kouki dan Guizani, 2009). Semakin besar laba diperoleh perusahaan menyebabkan dividen yang dibagi kepada pemegang saham semakin besar. Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan laba tinggi, perusahaan dapat membayarkan dividen tinggi kepada pemegang saham. Laba dan dividen yang tinggi memberikan persepsi kepada investor bahwa perusahaan dalam kondisi yang menguntungkan, sehingga citra perusahaan baik dilihat oleh investor. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Nuringsih (2005) yang melakukan penelitian pada perusahaan manufaktur di pasar modal Indonesia tahun 1995–1996 dengan menggunakan ROA sebagai ukuran profitabilitas. Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian Kania dan Bacon (2005) yang meneliti 542 perusahan pada NASDAQ, AMEX, NYSE dan OTC yang menghasilkan korelasi antara ROE dengan DPR sebesar -0,0024. Pengaruh Ekonomi Mikro dan Kebijakan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan Dari Tabel 2, dapat diketahui bahwa nilai koefisien regresi CR terhadap Tobins’q sebesar -0,092, menunjukkan bahwa CR berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Besarnya koefisien regresi CR terhadap Tobins’q sebesar 0,092 menunjukkan bahwa setiap penambahan satu nilai pada CR akan menurunkan skor sebesar 0,092 pada nilai perusahaan. Semakin tinggi CR, nilai perusahaan menurun dan sebaliknya penurunan CR
menaikkan nilai perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai CR tinggi memberi gambaran bahwa banyak uang mengganggur yang seharusnya dapat diinvestasikan kedalam investasi yang menguntungkan. Kas terlalu besar menyebabkan perusahaan akan kehilangan kesempatan untuk dapat berinvestasi ke dalam proyek yang menghasilkan NPV positif. Likuiditas yang tinggi menghasilkan profitabilitas rendah, hal ini menunjukkan bahwa laba perusahaan menurun. Menurunnya laba mengakibatkan harga saham turun, pada akhirnya menurunkan nilai perusahaan. Penelitian Wijaya (2012) menghasilkan temuan bahwa current ratio berpengaruh negatif terhadap profitabilitas perusahaan. Perusahaan dengan likuiditas tinggi memiliki laba rendah dan sebaliknya perusahaan dengan likuiditas rendah memiliki laba yang tinggi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat likuiditas tinggi tidak baik terhadap laba yang dihasilkan, karena adanya uang menganggur di perusahaan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Martani, Mulyono dan Rahfiani (2009). Hasil ini tidak mendukung penelitian Akram (2007. Nilai koefisien regresi DAR terhadap nilai perusahaan sebesar 0,146, menunjukkan DAR berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Angka ini menunjukkan bahwa setiap penambahan satu nilai pada DAR akan menaikkan skor pada nilai perusahaan sebesar 0,146. Leverage mempunyai pengaruh positif dengan nilai perusahaan. Meningkatnya hutang perusahaan akan meningkatkan nilai perusahaan. Hutang digunakan perusahaan untuk meningkatkan operasional perusahaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan penjualan, pada akhirnya dapat meningkatkan laba perusahaan. DAR berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, namun demikian tidak berarti bahwa perusahaan boleh meng-
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
155
gunakan hutang setinggi-tingginya dalam operasional perusahaan. Hutang dengan porsi tinggi berdampak pada risiko yang besar. Pemodal menetapkan tingkat keuntungan besar pada perusahaan berisiko sehingga pada akhirnya akan menurunkan harga saham dan nilai perusahaan. Meningkatnya nilai perusahaan karena penggunaan hutang disebabkan karena adanya penghematan pajak. Perusahaan dengan hutang akan membayar pajak lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan tidak menggunakan hutang, namun pengaruh ini tidak linier disebabkan karena ada unsur biaya kebangkrutan dalam penggunaan hutang. Biaya kebangkrutan yang lebih tinggi dari manfaat penghematan pajak menyebabkan tambahaan penggunaan hutang dan menurunkan nilai perusahaan. Peningkatan hutang akan meningkatkan biaya keagenan utang, untuk itu struktur modal sebaiknya disusun sedemikian rupa untuk mengurangi konflik antara berbagai kelompok kepentingan yaitu kelompok pemberi hutang dan kelompok pemegang saham. Hal ini sesuai dengan teori keagenan yang mengasumsikan bahwa manajer diberi kepercayaan untuk menjalankan perusahaan sesuai dengan kepentingan pemilik, yaitu meningkatkan nilai perusahaan, sehingga manajemen harus dapat mengelola hutang dengan baik dan benar agar mencapai struktur modal yang optimal dan dapat menaikkan nilai perusahaan. Hasil penelitian ini mendukung teori trade-off yang menyatakan bahwa sebelum mencapai struktur modal yang optimal, maka penggunaan hutang akan meningkatan nilai perusahaan. Temuan ini juga sesuai dengan temuan Modigliani dan Miller (1963) yang menyatakan bahwa dalam pasar modal yang sempurna dan ada pajak, maka nilai perusahaan yang menggunakan hutang lebih tinggi dari nilai perusahaan yang tidak menggunakan hutang. Peningkatan hutang akan mampu meningkatkan nilai
156
perusahaan, sebab pembayaran bunga dapat mengurangi pajak. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan diantaranya penelitian (McConnell dan Servaes, 1995; Chen, 2002; Natarsyah, 2000; Soliha dan Taswan,2003 ; Murtini,2008; Ulupi, 2009; Pakpahan, 2010; Sudiyatno,2010). Penelitian Pakpahan (2010) menggunakan DAR sebagai ukuran leverage sesuai dengan penelitian ini pada perusahaan manufaktur di BEI tahun 2003 – 2007 menghasilkan korelasi antara DAR dengan nilai perusahaan sebesar 0,385 dengan arah yang sama. Penelitian Natarsyah (2000) menggunakan DER dalam penelitiannya menghasilkan hubungan antara DER berpengaruh positif terhadap harga saham pada 38 perusahaan industri barang konsumsi menghasilkan korelasi sebesar 22,59 %. Sedangkan Murtini (2008) DER berpengaruh terhadap nilai perusahaan dengan koefisien 0,462. Perbedaan hasil korelasi dengan hasil penelitian ini dikarenakan data dan waktu yang digunakan dalam penelitian berbeda dengan penelitian ini. Hasil ini tidak konsisten dengan teori pecking order Myers dan Majluf (1984) yang menjelaskan bahwa penggunaan dana didasarkan pada urutan tertentu yaitu perusahaan cenderung menggunakan modal internal terlebih dahulu dan jika memerlukan modal eksternal maka perusahaan mengeluarkan surat berharga yang paling aman terlebih dahulu. Nilai koefisien regresi ukuran perusahaan terhadap nilai perusahaan sebesar 0,166, hal ini berarti ukuran perusahaan berpengaruh positif dengan nilai perusahaan. Besarnya koefisien regresi total aset terhadap nilai perusahaan sebesar 0,166 menunjukkan bahwa setiap penambahan satu nilai pada total aset, menaikkan skor pada nilai perusahaan sebesar 0,166.
Binastuti, dkk., Pengaruh Faktor.....
Hasil temuan ini menunjukkan bahwa perusahaan yang beroperasi dalam ukuran besar mempunyai peluang besar untuk meningkatkan penjualan yang pada akhirnya akan meningkatkan laba perusahaan. Total Aset tinggi mem-punyai daya tarik dan perhatian bagi investor bahwa perusahaan dapat beroperasi dengan aset tinggi. Investor tertarik pada perusahaan dengan aset tinggi, karena memungkinkan untuk mendapatkan laba besar. Hasil ini sesuai dengan penelitian Mai (2010) yang menggunakan ukuran perusahaan (LnTA) dan Tobin’s q sebagai ukuran nilai perusahaan seperti digunakan dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa antara ukuran perusahaan dengan nilai perusahaan mempunyai hubungan positif sebesar 0,042. Murtini (2008) ukuran perusahaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan (FCF) dengan koefisien 0,123. Pakpahan (2010) meneliti per-usahaan manufaktur di BEI tahun 2003–2007 menghasilkan korelasi antara ukuran perusahaan dengan nilai perusahaan diukur dengan PBV sebesar 0,13 dengan arah sama. Perbedaan ini disebabkan karena sampel dan tahun digunakan dalam penelitian ini berbeda. Penelitian ini tidak mendukung penelitian Rahmawati dan Akram (2007) yang menghasilkan kesimpulan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Nilai koefisien regresi ROA terhadap nilai perusahaan sebesar 0,677, menunjukkan bahwa ROA berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan (Ohlson, 1995; Natarsyah, 2002; Sasanti dan Nurfauziah, 2005; Rahmawati dan Akram, 2007; Pakpahan, 2010; Mai, 2010; dan Sudiyatno, 2010). Perusahaan dalam mengelola asetnya untuk menghasilkan laba membawa dampak terhadap naiknya nilai perusahaan dengan arah yang sama. Profitabilitas bepengaruh searah terhadap nilai perusahaan, artinya bahwa semakin tinggi laba diperoleh perusahaan
memberikan dampak terhadap meningkatnya nilai perusahaan. Hal ini memberi gambaran kepada investor, bahwa perusahaan berhasil dalam mengelola perusahaannya, sehingga mendapatkan keuntungan tinggi. Investor tertarik pada perusahaan yang menghasilkan tingkat keuntungan tinggi. Keuntungan tinggi memberi sinyal bahwa investor tertarik membeli saham perusahaan, dengan demikian dapat menaikkan harga saham. Kenaikan harga saham berdampak pada naiknya nilai perusahaan. Hasil ini konsisten dengan pendapat Modigliani dan Miller (1961) yang menyatakan bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dari aset perusahaan. Temuan ini memberikan implikasi bahwa manajer harus bekerja dengan baik dalam mengelola aktiva perusahaan untuk mencapai keuntungan yang maksimal, karena ROA akan direspon positif oleh investor. Hubungan antara kebijakan dividen yang diukur DPR dengan nilai perusahaan (Tobins’q) ditunjukkan dengan koefisien regresi 0,132. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dividen (DPR) berpengaruh positif dengan nilai per-usahaan. Besarnya koefisien regresi DPR terhadap Tobins’q sebesar 0,132 menunjukkan bahwa setiap penambahan satu nilai pada DPR akan menaikkan skor pada nilai perusahaan sebesar 0,132. Hasil ini mendukung beberapa penelitian sebelumnya (di antaranya Gordon dan Lintner, 1963; Amidu, 2007; Kouki dan Guizani, 2009; Hasnawati, 2005; Rahmawati dan Akram, 2007; Darminto, 2010; Mai, 2010). Hasil penelitian ini menolak teori kebijakan dividen tidak relevan yang mengatakan bahwa dividen tidak mempengaruhi nilai perusahaan (seperti Pakpahan, 2010; Murtini, 2008). Dividen adalah salah satu faktor yang dilihat oleh investor dalam penanaman investasinya pada saham, karena tujuan investor untuk membeli saham selain mendapatkan capital gain adalah untuk
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
157
mendapatkan dividen. Hasil penelitian ini juga memberikan gambaran bahwa investor di pasar modal Indonesia sebagai emerging market masih menginginkan tingkat pengembalian yang pasti yaitu berupa dividen. Pembayaran dividen lebih pasti dibandingkan dengan capital gain, karena capital gain merupakan harapan di masa datang yang sangat fluktuasi. Investor akan membeli saham perusahaan yang membagi dividen dibandingkan dengan perusahaan yang tidak membagi dividen. Hal ini mendorong perusahaan untuk melakukan pembayaran dividen secara rutin dan pasti. Pembagian dividen akan menaikkan harga saham dan nilai perusahaan. Higins (1972) menyatakan bahwa pemilihan dividen yang optimal pada lingkungan yang tidak pasti masih mempertimbangkan kebutuhan investasi di masa depan sedangkan dividen yang hemat untuk membiayai kebutuhan operasional dengan biaya yang efisien. Keputusan keuangan yang dilakukan manajemen melalui pembayaran dividen dapat meningkatkan nilai perusahaan. Kondisi ini memberi sinyal pada investor bahwa dividen yang dibagi merupakan sisa dari keputusan investasi yang dilakukan perusahaan dengan NPV yang positif. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa kebijakan dividen yang dibagi dalam bentuk kas dapat memberikan sinyal positif kepada investor bahwa kinerja perusahaan membaik. Penelitian ini tidak mendukung penelitian Sasanti dan Nurfauziah (2005) yang menemukan bukti bahwa dividend yield berpengaruh negatif terhadap harga saham dan Pakpakan (2010) DPR berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan (PBV). Hermuningsih dan Wardani (2009) nilai perusahaan tidak dipengaruhi oleh kebijakan dividen. Murtini (2008) kebijakan dividen tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan (FCF).
158
Tabel 2 juga menunjukkan besarnya pengaruh tidak langsung CR terhadap nilai perusahaan melalui dividen adalah 0,007. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan kas akan memberikan pengaruh yang searah (+) yaitu 0,007 terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen, sedangkan pengaruh langsung kas terhadap nilai perusahaan sebesar -0,094. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dividen mempunyai peran mediasi kecil antara CR dan nilai perusahaan. Besarnya pengaruh tidak langsung DAR terhadap nilai perusahaan melalui dividen adalah -0,002. Koefisien regresi ini menunjukkan bahwa setiap penambahan DAR sebesar satu akan memberikan skor sebesar 0,002 pada nilai perusahaan melalui kebijakan dividen. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan DAR akan memberikan pengaruh yang kecil yaitu 0,002 terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen, sedangkan pengaruh langsung DAR terhadap nilai perusahaan sebesar 0,146. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dividen mempunyai peran mediasi yang kecil antara DAR dan nilai perusahaan. Besarnya pengaruh tidak langsung TA terhadap nilai perusahaan melalui dividen adalah 0,008. Koefisien regresi ini menunjukkan bahwa setiap penambahan total aset sebesar satu memberikan skor sebesar 0,008 pada nilai perusahaan melalui kebijakan dividen. Kenaikan TA memberikan pengaruh kecil yaitu 0,008 terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen, sedangkan pengaruh langsung TA terhadap nilai perusahaan sebesar 0,166. Besarnya pengaruh tidak langsung ROA terhadap nilai perusahaan melalui dividen adalah 0,026. Setiap penambahan ROA sebesar satu akan menaikkan skor sebesar 0,026 pada nilai perusahaan melalui kebijakan dividen. ROA memberikan pengaruh yang kecil yaitu 0,026 terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen, sedangkan pengaruh
Binastuti, dkk., Pengaruh Faktor.....
langsung ROA terhadap nilai perusahaan sebesar 0,677. Secara keseluruhan kebijakan dividen memiliki peran mediasi kecil dalam hubungannya antara variabel mikro ekonomi terhadap nilai perusahaan. Adanya pengaruh kecil pada peran mediasi ini menunjukkan bahwa pihak investor dalam menanamkan dananya ke saham melihat langsung variabel mikro ekonomi Investor dalam memutuskan investasi tidak hanya melihat dividen saja tetapi juga mempertimbangkan secara langsung variabel mikro ekonomi. SIMPULAN DAN SARAN Secara keseluruhan faktor mikro ekonomi yakni likuiditas, leverage, ukuran perusahaan, dan profitabilitas berpengaruh terhadap nilai perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui kebijakan dividen. Kaitannya dengan tujuan pertama, ditemukan bahwa naiknya likuiditas yaitu kas dan setara kas serta profitabilitas membawa dampak terhadap naiknya pembayaran dividen. Hutang tinggi dalam perusahaan membawa dampak terhadap turunnya pembayaran dividen. Perusahaan dalam ukuran besar akan membagi dividen yang tinggi. Hasil lain temuan penelitian terkait dengan tujuan kedua adalah naiknya hutang, ukuran perusahaan dan profitabilitas perusahaan berdampak terhadap naiknya nilai perusahaan. Likuiditas tinggi menunjukkan bahwa kas dan setara kas dalam perusahaan tinggi. Tingginya likuiditas menunjukkan banyak uang mengganggur dan perusahaan kehilangan kesempatan untuk menghasilkan keuntungan dari proyek investasi yang menguntungkan, sehingga akan menurunkan laba dan pada akhirnya berpengaruh terhadap penurunan nilai perusahaan. Pembayaran dividen tinggi berdampak pada naiknya nilai perusahaan.
Faktor mikro ekonomi yaitu likuiditas, profitabilitas, leverage, dan ukuran perusahaan mempunyai pengaruh kecil terhadap nilai perusahaan melalui kebijakan dividen. Hasil ini menunjukkan bahwa kebijakan dividen mempunyai peran mediasi yang kecil pada hubungan antara likuiditas, profitabilitas, leverage, ukuran perusa-haan dengan nilai perusahaan. Saran yang dapat dianjurkan dalam penelitian ini adalah diharapkan dalam penelitian selanjutnya menggunakan data seluruh perusahaan agar hasilnya dapat memberikan kekuatan generalisasi yang lebih luas dan lebih baik karena data yang digunakan dalam penelitian ini hanya terbatas pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI, sehingga hasilnya belum bisa untuk menggeneralisir semua sektor industri, penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA Aasia, Waqas, and Yasir. 2011. “Impact of financial leverage on dividend policy: Empirical evidence from Karachi Stock Exchange-listed companies”. African Journal of Business Management. Vol. 5 (4). pp. 1312-1324. Al-Kuwari D. 2009. “Determinants of the Dividend Polivy in Emerging Stock Exchanges: The case of GCG Countries”. Global Economy & Finance Journal. Vol. 2. No. 2. September 2009. pp. 38 – 63. Amidu, Mohammed. 2007. “How Does Dividend Policy Affect Performance of The Firm on Ghana Stock Exchange“. Investment Management & Financial Innovations. ABI /INFORM Global. pp. 103-137.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
159
Baker, H. K. dan Powell, G.E. 2001. “Factors Influencing Dividend Policy Decision”. Financial Practice and Education. Forthcoming in Spring/ Summer issues. Bhattacharya, S. 1979. “Imperfect Information, Dividend Policy, and “The Bird in the Hand” Fallacy”. Bell Journal of Economics. Vol. 10. pp. 259-270. Black F and Scholes M. 1974. “The Effects of Dividend Yield and Dividend Policy on Common Stock Price and Return”. Journal of Financial Economics, 1(1). pp. 1- 22. Baker, H. Kent and Gary E. Powell. 1999. “How Corporate Managers View Dividend Policy”. Quarterly Journal of Business and Economics. Vol. 38 (Spring), 17. InfoTrac OneFile. Farmville, VA: Longwood University, VA, http://web2.infotrac.galegroup.com. Gordon, M.J. 1963. “Optimal Invesment and Financing Policy“. Journal of Finance. pp. 264-272. Hasnawati Sri. 2005. “Dampak Set Peluang Investasi Terhadap nilai Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta.” JAAI. Vol. 9. No. 2. pp. 117-126. Kadir A. 2010.“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen Pada Perusahaan Credit Agencies Go Public di Bursa Efek Indonesia”. Jurnal Manajemen dan Akuntansi. Vol. 11. No. 1.pp. 10-20. Kouki M, Guizani M. 2009. “Ownership Structure and Dividend Policy Evidence from the Tunisisan Stock Market”. European Journal of Scientific Research. Vol. 25. No. 1. pp. 42-53. Mai M. U. 2010. “Dampak kebijakan Deviden Terhadap Nilai Perusahaan dalam Kajian Perilaku Oportunistik Manajerial dan Struktur Corporate Governance, Studi Empiris pada Perusahaan Manufacture Go Public
160
di Pasar Modal Indonesia”. Disertasi. Universitas Diponegoro. Marlina L. dan Danica., C. 2009. “Analisis Pengaruh Cash Position, Debt to Equity Ratio, dan Return on Assets terhadap Dividend Payout Ratio”. Jurnal Manajemen Bisnis. Vol. 2 No. 1. Januari.2009. pp. 1- 6. Modigliani F. 1982. “Debt, Devidend Policy, Taxe, Inflation and Market Valuation”. The Journal of Finance. Vol. XXXVII. No. 2. May. pp. 255 – 265. Myers, S. C., dan Majluf, N.S. 1984. “Corporate Financing and Investment Decision When Firm Have Information That Investor do not Have”. Journal of Financial Economic. Vol. 13. pp. 419-453. Nuringsih K. 2005. “Analisis Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Kebijakan Hutang,Perusahaan terhadap Kebijakan Deviden”. Jurnal akuntansi dan Keuangan Indonesia. Juli – Desember .Vol. 2. No. 2. pp. 103–123. Natarsyah S. 2000. “Analisis Pengaruh Beberapa Faktor Fundamental dan Risiko Sistematik terhadap Harga Saham”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 1. No. 3. pp. 294 – 312. Pakpahan R. 2010.”Pengaruh FaktorFaktor Fundamental Perusahaan dan Kebijakan Dividen terhadap Nilai Perusahaan Studi Kasus pada Perusahaan Manufaktur di BEI tahun 2003-2007”. Jurnal Ekonomi, Keuangan, Perbankan dan Akuntansi. Vol.2. No.2. pp. 211-228. Rahmawati I. dan Akram. 2007. “Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen dan pengaruhnya terhadap nilai perusahaan pada perusahaan-perusahaan di BEJ Periode 2000– 2004”. Jurnal Riset Akuntansi Aksioma. Vol. 6. No. 1. Juni. pp. 32–44.
Binastuti, dkk., Pengaruh Faktor.....
Ringayati A, D. Agus Harjito, Nurfauziah (2007). “Analisis hubungan Simultan Antara Kepemilikan Manajerial, Risiko, Kebijakan Hutang dan Kebijakan Deviden Dalam Masalah Agensi.” Sinergi. Volume 9, 2.. pp. Sasanti Retno Widya dan Nurfauziah. 2005. “Analisis faktor yang berimplikasi terhadap fluktuasi harga saham di Bursa Efek Jakarta”. Sinergi, Kajian Bisnis dan Manajemen. Edisi Khusus on Finance. pp. 53–66. Sutrisno. 2001. “Analisis faktor yang Mempengaruhi Dividen Payout Ratio pada Perusahaan Publik di Indonesia”. TEMA. Vol. II No. 1. Maret. pp. 1- 12. Suharli, M. 2007. “Pengaruh profitability dan Investment Opportunity Set terhadap Kebijakan Deviden Tunai dengan Likuiditas sebagai Variabel Penguat”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan. Vol. 9. No. 1.pp. 9- 17. Tandelilin E. 2010. Portofolio dan Investasi Teori dan Aplikasi. Kanisius. Yogyakarta.
Taswan. 2003. Analisis Pengaruh Insider Ownership, Kebijakan Hutang, dan Dividen terhadap Niali Perusahaan serta Faktor-faktor yang mempengaruhinya”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. Sept.. STIE Stikubank, Semarang. Wahyudi E. dan Baidori. 2008. “Pengaruh Insider Ownership, Collateralizable Assets, Growth In Net Assets dan Likuiditas terhadap Kebijakan Deviden pada Perusahaan Manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia”. Jurnal Aplikasi Manajemen. Vo. 6. No. 3. Wardani D.K. dan Sri Hermuningsih. 2009. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Perusahaan pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Malaysia dan Bursa Efek Indonesia”. Jurnal Siasat Bisnis. Vol. 13. No. 2. pp. 173 – 183. Wijaya, A.L. 2012. “Pengaruh Komponen Working Capital terhadap Profitabilitas Perusahaan”. Jurnal Dinamika Akuntansi. Vol. 4 No. 1. Maret 2012. pp. 20-26.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
161
ETHICS AS A FOUNDATION OF MANAGEMENT – A VALUABLE RESOURCE OR A RELIC IN THE TIMES OF CRISIS? Joanna Hernik1 Marcin GĊbarowski2 1
Faculty of Economics, West Pomeranian University of Technology in Szczecin, Poland Zoánierska str. 47, 71-210 Szczecin, Poland
[email protected] 2 Rzeszów University of Technology, Poland
[email protected] Abstract
Following rules of activity, resulting from ethical norms accepted in given society, may be one of sources of a competitive advantage. Though, it can be presumed that not everybody is aware of the necessity as well as of advantages connected with activity running this way. In this aspect, the aim of the article to show Polish businessmen attitude towards challenges flowing from handling business in accord with ethics. All theoretical issues discussed herein pertain to the topic of business ethics. Empirical data presented in this paper were gathered by the authors during 410 interviews about ethics that were conducted with businessmen running small and middle firms. The main intention was to determine if obeying ethic rules is a real value for entrepreneurs. From obtained results the conclusion, that Polish businessmen declare the importance of ethics in their activity, but in practice the bulk of them does not remember any rules and does not recognize ethics as a footing of business, can be draw out. Keywords : ethics, polish SME, management, crisis
INTRODUCTION The present crisis is commonly referred to as a „crisis of trust” (Keeble 2005, pp. 223-232, Sztompka 2008, Uslaner 2010, pp. 110-123), but what exactly is meant by trust? It can be said that trust is a belief in conduct of others as well as in rules governing social life. We believe that norms constitute a significant part of human life, and those around us voluntarily follow commonly accepted standards that can be generally referred to as ethical behavior (Sztompka 2007, p. 71). When we consider crisis of trust on the economic plain, it means there is lack of trust in the conduct of local authorities, the government and business entities, as
162
well as consumer behaviors, which hinders decision-making processes and adopting certain attitudes. It seems that the bigger a corporation, the more complicated are its dealings and the more difficult it is to attain transparency. It may be therefore assumed that the crisis of trust refers rather to larger entities than smaller ones which offer a direct contact with their consumers. As it turns out, problems with ethics do not revolve solely around entrepreneurs’ attitudes, but also around their company resources which include staff – it has been found that personnel who don’t trust their employers, work unwillingly (Rose 2009, p. 24).
Hernik, Ethics as A Foundation.....
Concerns over ethical operations in business are becoming more and more important in times of economic crisis: should companies, irrespectively of their size and business field, follow the commonly accepted norms in times of danger? Moreover, given the deteriorating markets, should they continue to care not only for their profits, but also for socalled „social needs”? Modern management schools say „yes” to these questions. The idea of sustainable development and CSR also concur with this view. Not everyone, however, agrees with this approach. Let us recount a famous article by M. Friedman (Friedman 1970), in which the author stated that promoters of a pro-social attitude and care about common well-being is simply a disguised an advertisement of socialism. At the same time, such promoters undermine free market and the right to dispose of one’s property, i.e. the very essence of business. If we agree with this view, it should come as no surprise that businesspeople are obviously against „good business”, which presently means not only honest practices, but also green ones. Socially-minded behaviors are frequently forced by active consumer groups, as well as by the media. However, they are not able to influence everything. Therefore entrepreneurs may – but do not need to – follow social expectations. On the other hand, it seems they need to behave ethically lest they come in for open criticism. The borderline between these two attitudes is elusive, but most definitely it does exist. It is therefore the aim of this paper to present attitudes of Polish businessmen towards ethics-related problems and challenges. Conclusions will reflect upon the real value of ethics in business. The discussion focuses both on the fundamental question of what is not allowed in business, as well as problems related to attitudes towards the environ-
ment and poor people. The comments reflect the decline in the market, but also the socioeconomic transformation that Poland – a former communist country – has experienced. All theoretical issues discussed herein pertain to the topic of business ethics. Empirical data presented in this paper were gathered by the authors during 410 interviews about ethics that were conducted with entrepreneurs in 2009. The choice of respondent was not random – the interviews were conducted with owners and managers from small and medium-sized enterprises (SME) who agreed to the interview. The research was of qualitative nature and reflects respondents’ opinions about the presence of ethical norms in their business dealings, as well as the background of their adopted attitudes. All figures in this papers are based on authors’ own research. Ethics In Management Ethics is frequently defined as a set of moral principles that control or influence people’s behaviors. J. Hoáówka states that human life consists of five spheres: personal ethics sexual ethics, voluntary commitments, social ethics and public ethics (Hoáówka 2002, pp. 11-12). Ethics is understood as a set of theorems defining what is good and what is wrong at a given time for a particular group of people. Significantly, ethics in management, or ethics in business, is placed in the „voluntary commitments” category, i.e. it is considered to be only a voluntary group ethics. A conclusion may be drawn that business ethics is as set of rules that may be followed, although not necessarily, as it does not result in negative consequences. If we agree that the crisis echoes the longest in entrepreneurs` and consumers’ heads, it should therefore be assumed that it will end no sooner than when people have accepted its end, and not when
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
163
companies’ profits increase. The key element is their trust in market because the majority want to believe in (and follow) the principles and seeks confirmation that these rules are being followed. This is why the current crisis has triggered growing expectations towards business reliability which includes incorruptibility, fairness, solidarity and honesty. Ethics in management applies mainly to managers’ behaviors – the way they fulfill their duties towards employees, shareholders, supervisors and loyal community. Their actions often depend on what others do (e.g. their peers, competitors, co-workers). Their behaviors are also influenced by less direct circumstances, such as the tax system or social pressure. Therefore managers’ behaviors are triggered both by internal convictions as well as external conditions.
companies (94.8% of market entities), small (4.2%) and medium-sized (0.8%) which totals 99.8% of enterprises (PARP report, 2009). The whole number of SME is approx. 1,780,000 entities. In order to investigate attitudes of Polish businesspeople towards ethics, 410 managers of SME from northwestern and southeastern Poland were interviewed directly. Due to geographical limitations and the adopted research method, our results should be treated cautiously. They can, however, serve as a starting point for further research. RESEARCH SAMPLE The vast majority of the enterprises interviewed operate in the service sphere. Fig. 1 illustrates the sample’s field of operation.
services
Ethics according to Polish SME – assumptions and research results Society is influenced not only by large market entities, but also by small and medium-sized ones. Currently, consumers expect companies, irrespectively of their size, to offer good products and treat their cooperants and employees fairly (Augustyniak, online paper). It means that just as every person has certain commitments towards their communities, analogically each business should realize certain obligations so that they could participate in social life in an active, ethical and responsible way. It is true for all forms of activity can be reflected in various types of social commitment (Responsible Business Forum - Forum Odpowiedzialnego Biznesu 2009, p. 21). Based on the above mentioned assumptions, it has been researched if business people share this view. It is worth mentioning that in Poland the category of SME encompasses micro-
164
243
137
28
trade production no answer
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Fig. 1. Structure of the research sample in terms of field of operation
As the results show, men tend to be SME managers (55%) more often than women, although the difference is slight (10%). They manage service companies (mainly catering, insurance, hairdressing, construction). Almost 7% of the respondents work in production fields (food, furniture, metal production). In this research it was of utmost importance to determine if respondents obey ethical norms in their operations and whether or not they believe such norms should be followed. Fig. 2 illustrates the results.
Hernik, Ethics as A Foundation.....
146; 36% 224; 54%
yes no, everything is allowed
40; 10%
no opinion
Fig. 2. Answers to: „Are there any norms in business?”
It is worth emphasizing that the question whether there were any norms to be obeyed in business, only 55% of the respondents agreed that not everything is allowed in business. The remaining people stated that there were no norms (35%) or they did not have any opinion on that matter (10%). Attitudes to ethical restrictions reflected differences between sexes. It was found that women are more ethical than men – only 5.6% of women declared that everything is allowed, whereas 12.8% of men agreed with this view.
Among respondents who believed there were certain norms to be followed, 28% of them could not name any (question mark in the legend). The remaining respondents listed cheating customers, unfair competition, mistreating employees and illegal activities. I can be noticed that no social or environmental issues were mentioned. Considering the commonly felt emphasis on ecologic and social matters, it is worth asking whether respondents believe that the environment should be cared for and whether companies should share their profits with the needy. Fig. 5 illustrates respondents’ answers to the former question. Should companies care about the environment? Does your company care about it?
92,40%
57,80%
yes
12,80% men
54,10%
33% yes no no opinion
5,60% 58,40%
women
0%
36%
50%
100%
Fig. 3. Answers to: „Are there any norms in business?” in terms of respondents’ sex
Another important issue was determining whether entrepreneurs believed there were any improper behaviors in the context of business operations, and if so – what they were. Fig. 4 presents the results. 8%
2%
Fig. 5. Answers to: „In general, should companies care about the environment and does your company care about it?”
4% 28%
13%
12% 33%
?
cheating clients
unfair competition
mistreating employees
illegal activities
corruption pactices
The obtained results reveal that in general businessmen believe that environmental DOs and DON’Ts concern others and not them - they often do not care about the environment themselves (over 42% do nothing in that respect). On the other hand, as many as 58% of the respondents take steps that can benefit the environment. Women tend to display more sensitivity towards eco-matters than men. 95.7% of them stated that market entities should care about the environment. Among men, 89% of the respondents shared this view. Fig. 6 presents an overview of actions taken most frequently to protect the environment.
other
Fig. 4. Answers to: „What behaviors are improper in business?”
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
165
Segregates garbage
the respondents, as 31% of them wanted to help others.
93
Uses modern technological solutions
22
Directs its waste to recycling
16
209
yes Segregates production waste
12
73
yes, but conditionally Uses biodegradable materials, packaging
10
94
I do not know Does not pollute the environment
9
7
0
Sells eco-products
50
100
4
Other
150
200
250
No. of answers 7
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
No. of answers
Fig. 6. Answers to: „What does your company do to protect the environment?”
The vast majority of businesses segregate garbage. It was listed by 51.7% of the respondents who tried to take any steps to protect the environment. Furthermore, they listed: using modern technological solutions (12.2%), recycling waste (8.8%), segregating production waste (6.6%) and using biodegradable materials (5.5%). According to some, a person possesses what they worked for so there is no obligation to share it with others. However, others believe that there is a certain responsibility to care for the needy and the unsuccessful. A question arises, then: do the businesspeople think they should share what they have? Fig. 7 illustrates the answers. One should notice that when answering the question whether or not it is advised to share with the needy, the respondents were not as unanimous as they were when asked about the environment. Some of them (51%) stated that one should share – women turned out to be more altruistic (55.3%) than men (48.6%). The remaining businessmen either stipulated conditions under which they may help (such as knowing the exact purpose of their donations) or stated directly that everyone must count on themselves only. Unwillingness towards helping the needy was, however, displayed only by some of
166
34
no
Saves materials and energy
Fig. 7. Answers to: „Should people share with the needy?”
All questions answered by the respondents focused on good and bad practices in business. They were designed to determine if managers should obey unwritten norms and whether ethics in business operations is vital. Fig. 8 illustrates the answers. 200
No. of answers
150
135
100
79
50 0 1 1
12 2
28 3
4
Grade
5
Fig. 8. Answers to: „How important is ethics in business? 1 – least important, 5most important)
The average of 3.95 indicates that respondent are aware of the importance of ethical norms that regulate business activities. And although 9.75% of them stated that ethics is unimportant to them, 37.8% of those asked chose the maximum grade of 5. It is worth mentioning that women were more aware of the importance of fair conduct – their average was 4.19. Men, on the other hand, were less inclined to notice the importance of ethical aspects in business. Men’s average was 3.82. DISCUSSION In literature one can find claims that changes in the European post-
Hernik, Ethics as A Foundation.....
transformation countries ignored the issue of moral principles (Riha 1994, pp. 1031). One can also read that these countries have progressed from primitive socialism to primitive capitalism. Instead of protests, abuses and misbehaviors are met with cynicism, intolerance and ruthlessness, and faulty laws are chronically broken (Röpke 1950, pp.1213). One may draw two conclusions, then: firstly, overthrowing communism does not equal getting rid of its flaws and secondly, problems caused by economic crisis overlap with those resulting from social changes. It seems that one of the fundamental questioned raised by ethics is the relations between the desire to possess goods and live well versus imperatives of social morality, which often emphasize the importance of helping others, compassion and voluntary commitment. Some economists postulate in their papers that business ethics and general ethics should be treated separately. Such attitude is displayed e.g. by A. Carr, who stated in his article in 1968 that business ethics is a sort of game whose rules are well-known to everyone, therefore nobody expects it to be identical to personal or religious ethics (Carr 1968, pp. 143-153). On the other hand, however, everyone of use participates in this game – we are all either suppliers or consumers of certain goods. For this reason it is hard to say that ethics in management should be considered solely as group ethics as it pertains to the whole society. Given the above, it can be said that behaviors of managers should be in keeping with ethics of a particular community. Assuming that impeccable ethics is only an unattainable illusion, a compromise needs to be found between dictates of ethics and reaching particular life goals. Such compromise must also include business activity and approaches towards global concerns, such as ecology (Goulet 1997, pp. 1160-1171). Based on
the abovementioned assumptions, we may argue that the interviewed respondents did not feel they were an integral element of the environment in which they operate. Such conclusion is drawn from the fact that when answering the question „What behavior should not be accepted in business?”, not a single person mentioned any environmental issues. It may be treated as a confirmation of Riha’s view, who states that transforming countries loose some values and it is necessary to awake people’s sensitivity to issues that – seemingly – do not concern them directly. This assumption is clearly visible when the interviewed respondents are taken into account: 45% of them don’t think there are any rules in business. And it is hard to determine whether is results from the financial crisis or if it is a permanent lack of sensitivity. As conclusions of the research suggest, 38.8% of SME representatives was able to list a norm that – in their opinions – is vital in business. Most often they pointed to not cheating their clients, fair competition and fair treatment of their employees. The spheres are so closely related to the future of each entity that these answers seem obvious. In broader context, these principles condition further development of the company, allow existence of competition and healthy market, and it may be assumed that they enable economic and cultural advancement of the society (Clark 2002, pp. 830-848). Helping the needy or caring about the environment are, in respondents’ view, important obligations, but not theirs, apparently. Almost all of the respondents claim that the environment must be taken care of, but only 58% actually care about it. Moreover, their only effort is to segregate garbage, which seems to be quite limited in the face of opportunities their companies have.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
167
Since ethics is a set of rules binding at a particular time at a given location, it is worth asking if we actually perceive the environment as a capital that needs to be preserved for future generations and whether businesspeople are exempt from that duty. If we argue that the current condition of the environment is a priority for the society, then the society should demand an active role of businesspeople, who should – as a result – display ethical behavior because without it, the market is going to be an arena for egoistic and immoral operations (Machan 1999, pp. 596-609). Analyzing behaviors of the interviewed businesspeople, it can be concluded that some of them have not yet shaken the remains of the former, communist system and are already „forced” to follow modern values. This assumption, however, pertains only to some companies since it must be remembered that the most dynamic development of SME in Poland took place between 2002-2008, i.e. under the new system. Therefore the impression of lack of norms most likely results from challenging, crisis-related circumstances. These may be the reason why respondents were so unwilling to share with the needy - according to the research only 31% wanted to share. In this context it is worth considering business people’s willingness to help others in relations to their sex. The results show that sex may be one of the determinants of ethical behavior in business. Calculating the level of women’s increased sensitivity, however, requires additional research. It may be assumed that all people want to follow socially accepted rules of behavior and only mindless individuals choose to live opportunistically and follow random motives. It turns out that the latter statement pertains to some of the interviewed businesspeople, therefore it would be advisable to remind them of
168
principles of common sense (utilitarian philosophy), as well as emphasize that modern business entities succeed not only in terms of sales dynamics or innovations. As practice shows, while choosing a cooperant between two equally efficient companies, usually the one which operates in honest and reliable way is selected. Consequently, such company will gain competitive advantage in the long run, one that could not be obtained in any other way. This is why enterprises increasingly often try to list elements of their corporate culture as strategic ethical programs which determine standards for: management decision-making processes, employees’ conduct, company operations on the market and in its community (Gasparski, Lewicka-Strzaáecka, Rok, Szulczewski 2002, p. 25). What follows is the real value for the entrepreneurs as the market position is increasingly often related to trustworthiness, positive associations, perceived quality, reliability and fair treatment of employees; in other words, all the elements of the company image. The image is also influenced by ethics and ethics-related social responsibilities of entrepreneurs that should be treated as an investment in improving future market position of the company. CONCLUSIONS Deliberations presented in this paper tend to assume that businesspeople constitute a part of their society and therefore should obey social norms. Empirical research proves, however, that this „social imperative” does not translate into attitudes presented by people running small and medium-sized enterprises. The research showed that 45% of the interviewed respondents believed that there were no rules to play by. Among those who agreed that not everything is allowed in business, 28% could not name any commonly respected social rule. It
Hernik, Ethics as A Foundation.....
could be argued, then, that Polish businesspeople are not fully convinced that ethics is a fundamental value in their operations. Although it is hard to determine whether it stems from current economic situation or is related to some other causes, one may see that a large portion of the respondents was focused on their own needs rather than social ones. Such attitude should not be fully condemned as it is commonly believed that an effective businessperson creates job opportunities, provides market offers, pays taxes and aids the development of a particular community, therefore while caring about their own business, in a sense they do care about the needs of their environment. Current situation, however, allows to advocate ethical business conduct among small and medium-sized entities’ managers, highlighting the benefits for their companies. As this paper has shown, the literature and practice provides contradictory opinions about the role of ethics in business operations. It is worth mentioning that the less ethical the society, the less ethical the business. Irrespectively of the current situation, whether it is a bull or bear market, the level of obeying ethical norms in business management depends on general ethical sensitivity displayed by a particular society, which is both conditioned historically and related to current economic situation. REFERENCES Augustyniak, S 2011, 'CSR przeczuwane, na poáy uĞwiadomione' [CSR – a half-aware inkling] [online article: http://www.cte.org.pl/index.php?docid =159]. Bessant, J 2001, 'The question of public trust and the schooling system', Australian Journal of Education, vol. 45, no. 2, pp. 207-226.
Carr, A 1968, 'Is business bluffing ethical?', Harvard Business Review, Vol. 46 (1), pp. 143-153. Clark, DA 2002, 'Development ethics: a research agenda', International Journal of Social Economics, Vol. 29 (11), pp. 830-848. Forum Odpowiedzialnego Biznesu [Responsible Business Forum] 2009, 'Firma=Etyka' [Company = Ethics], Issue no 1, Warsaw, p. 21. Friedman, M. 1970, 'The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits', The New York Times Magazine, September 13. Gasparski, W, Lewicka-Strzaáecka, A., Rok, B., Szulczewski, G. 2002, 'Etyka biznesu w zastosowaniach praktycznych: inicjatywy, programy, kodeksy', [Business ethics in practice: initiatives, programs, codes.] Centrum Etyki Biznesu IFiS PAN & WSPiZ [Business Ethics Center] and Biuro Staáego Koordynatora ONZ w Polsce [UN Coordinator Office in Poland], Warsaw, p. 25. Goulet, D 1997, 'Development ethics: a new discipline', International Journal of Social Economics, Vol. 24 (11), pp. 1160-1171. Hoáówka, J 2002, 'Etyka w dziaáaniu', [Ethics in action.] Pub. PrószyĔski i S-ka, Warsaw, pp. 11-12. Keeble, R 2005, 'National and local newspaper trends and the new crisis of trust – What new crisis?' , Journal of Communication Management, Vol. 9 (3), p. 223 – 232. Machan, TR 1999, 'Entrepreneurship and ethics', International Journal of Social Economics, Vol. 26 (5), pp. 596-609. PARP 2009, 'Raport o stanie sektora maáych i Ğrednich przedsiĊbiorstw w Polsce w latach 2007-2008', [Report on Polish SME in 2007-2008.] Warsaw, http://www.parp.gov.pl/index/more/965 6. Riha, TF 1994, 'Missing: Morality in the Transformation of Former Socialist Countries', International Journal of Social Economics, Vol. 21 (10), pp. 1031.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
169
Röpke, W 1950, 'The Social Crisis of Our Time', William Hodge and Company, Glasgow, p. 12-13. Rose, G 2009, 'Employee trust is a precious commodity in financial crisis'. PRWeek, Vol. 12 (24), p. 24. Sztompka, P 2007, 'Zaufanie. Fundament spoáeczeĔstwa', [Trust. The foundation of the socjety.] Pub. Znak, Cracow, p. 71.
170
Sztompka, P 2008, 'Odbudowaü piramidĊ. Ten kryzys to kryzys zaufania'. [Rebuilt the piramid. This crisis is a crisis of trust.] Polityka, No 43 (2677), p. 38-39. Uslaner, EM 2010, 'Trust and the Economic Crisis of 2008', Corporate Reputation Review, Vol. 13 (2), p. 110-123.
Hernik, Ethics as A Foundation.....
PEMBENTUKAN PORTOFOLIO YANG EFISIEN PADA SAHAM PERUSAHAAN PROPERTI YANG TERCATAT PADA BURSA EFEK INDONESIA Komsi Koranti Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma
[email protected] Abstrak Pemilihan sekuritas dalam investasi dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan dan mengurangi kemungkinan risiko. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis tingkat keuntungan rata–rata yang diharapkan dan kemungkinan risiko baik dari sekuritas maupun portofolio serta memberikan alternatif pemilihan portofolio efisien. Objek penelitian berupa sekuritas sektor properti saham PT Lika, PT Suma dan PT Cide. Variabel penelitian berupa tingkat keuntungan yang diharapkan serta tingkat risiko yang diterima oleh investor dari suatu pilihan investasi. Penelitian menggunakan data sekunder berupa saham properti yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia, meliputi pergerakan harga saham bulanan, dari Januari 2009 sampai dengan Desember 2011. Alat analisis untuk menentukan portofolio yang efisien menggunakan metode Markowitz, dan berdasarkan masalah keuntungan yang diharapkan dari sekuritas dan Varians (ı2) atau suatu ukuran penyerapan dari penyebaran peluang. Berdasarkan hasil penelitian dapat diindikasikan bahwa bagi pencari risiko, portofolio paling efisien terdapat pada proporsi saham PT Lika 25%, PT Suma 50% dan PT Cide 25%. Portofolio tersebut menghasilkan penerimaan yang bisa diharapkan terbesar, yaitu 2,19% dan tingkat risiko 15,88%. Sebaliknya bagi penghindar risiko, portofolio paling efisien adalah proporsi saham PT Lika 30%, PT Suma 20% dan PT Cide 50%. Portofolio tersebut mempunyai pengembalian yang bisa diharapkan sebesar 0.0210870 dan tingkat risiko terkecil 11,24%. Kata Kunci : Portofolio, Efisien, Perusahaan properti
(FORMATION OF EFFICIENT PORTFOLIO IN STOCK COMPANY PROPERTY LISTED ON THE INDONESIAN STOCK EXCHANGE) Abstract Selection of securities in the investment is intended to gain more benefit and reduce the likelihood of risk. The research objective was to analyze the average level of expected return and possible risks of both securities and portfolios as well as providing an alternative of efficient portfolio to be selected. Object of study is the property sector securities PT Lika, PT Suma and PT Cide. There are two research variables, ie the expected return and acceptable level of risk by investors of an investment option. The study uses secondary data from property stocks listed in the Indonesia Stock Exchange, includes monthly stock price movements, from January 2009 until December 2011. An efficient portfolio was determinde using Markowitz, based on Expected Return E (Ri) issues of the securities and the variance (ı2) or a measure of the absorption of deployment opportunities. Based on this research can be indicated that the most efficient portfolio for Risk Seeker present in proportions of 25% shares of PT Lika, PT Suma 50% and 25% PT Cide. The portfolio generates the greatest expected return 2.19% and
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
171
level of risk 15.88%. In contrast to the most efficient portfolio for risk averse is the proportion of 30% shares of PT Lika, PT Suma 20% and 50% PT Cide. Portfolio has an expected return of 0.0210870 and the smallest risk of 11.24%. Keywords: Portfolio, Efficient, Property companies
PENDAHULUAN Investasi merupakan penempatan sejumlah dana pada saat sekarang dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan di masa mendatang. Proses investasi menunjukkan bagaimana seorang investor membuat keputusan investasi pada efekefek yang biasa dipasarkan dan kapan dilakukan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua investasi mempunyai tingkat resiko yang berbedabeda atau terdapat unsur ketidakpastian. Setelah mengalami keterpurukan saat krisis ekonomi 1997/1998, bidang properti secara perlahan mulai bangkit seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Seperti dalam Economic Outlook 2009 bahwa karena bisnis properti masih akan tumbuh hingga beberapa tahun ke depan. Portofolio dinyatakan sebagai sekumpulan aset yang dimiliki untuk tujuan ekonomis tertentu.Tahap ini menyangkut identifikasi sekuritas-sekuritas mana yang akan dipilih dan berapa proporsi dana yang akan ditanamkan pada masingmasing sekuritas tersebut. Pemilihan banyaknya sekuritas, dimana pemodal melakukan diversifikasi dimaksudkan untuk mengurangi risiko yang ditanggung. Pemilihan sekuritas ini dipengaruhi antara lain oleh preferensi risiko, pola kebutuhan kas, status pajak dan sebagainya. Investasi menurut Reily dan Brown (2000) terkait dengan sejumlah dana tertentu yang dikorbankan untuk mendapatkan hasil lebih baik dimasa mendatang, dimana dalam rentang waktu tersebut terkandung unsur ketidakpastian. Pemodal harus menentukan sekuritas apa yang dipilih, berapa banyak investasi dan kapan investasi dilakukan. Dalam meng-
172
ambil keputusan tersebut diperlukan langkah-langkah seperti menentukan kebijakan investasi, analisis sekuritas, pembentukan portofolio dan evaluasi revisi portofolio. Untuk memperoleh portofolio yang diinginkan maka seorang investor harus melakukan analisis yang memberikan keuntungan maksimum. Investor yang rasional akan memilih portofolio yang memberi keuntungan maksimal pada tingkat risiko tertentu (Stambaugh, 1996; Jorion, 2002). Salah satu strategi investor untuk meminimalkan risiko investasi pada saham adalah dengan melakukan diversifikasi. Diversifikasi dimaksudkan dengan menginvestasikan dana dalam beberapa saham yang akan membentuk portofolio. Investor yang realistik menurut Mao (1976) dikutip dalam Wahyudi (2002) akan melakukan investasi tidak hanya pada satu jenis investasi, akan tetapi melakukan diversifikasi pada investasi dengan pengharapan akan dapat meminimalkan risiko dan memaksimal-kan keuntungan. Dalam kenyataannya akan sulit membentuk portofolio yang terdiri dari semua kesempatan investasi, dengan demikian biasanya dipergunakan sebuah pendekatan yang terdiri dari sejumlah besar saham atau indeks pasar. Seperti halnya di Bursa Efek Jakarta yang menggunakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), terdapat berbagai portofolio investasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), antara lain saham dibidang properti. Faktor-faktor yang menentukan harga saham di pasar adalah taksiran penghasilan yang akan diterima dan besarnya risiko yang ditanggung investor.
Koranti., Pembentukan Portofolio.....
Pembentukan portofolio mempu-nyai tujuan utama untuk mengeleminasi risiko dengan metode membuat berbagai pilihan atau penganekaragaman kepemi-likan efek. Berdasarkan pemikiran tersebut maka perlu dilakukan analisis portofolio supaya calon investor dapat memilih portofolio yang dianggap paling efisien. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat keuntungan yang diharapkan investor dan risiko dari sekuritas maupun dari portofolio. Selanjutnya hasil analisis diharapkan akan bisa dipakai untuk memberikan berbagai alternatif bagi investor terhadap pemilihan investasi portofolio yang efisien. METODE PENELITIAN Objek penelitian berupa sekuritas sektor properti saham PT Lika, PT Suma dan PT Cide. Variabel dalam penelitian berupa tingkat keuntungan, yaitu merupakan keuntungan yang diharapkan dari suatu pilihan investasi serta tingkat risiko berupa kemungkinan risiko yang diterima oleh investor dari suatu pilihan investasi. Penelitian menggunakan data sekunder berupa saham properti yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia. Data penelitian meliputi pergerakan harga saham bulanan, dari Januari 2009 sampai dengan Desember 2011. Alat analisis yang dipergunakan dalam penelitian untuk menentukan portofolio yang efisien adalah metode Markowitz. Markowitz mengembangkan suatu bentuk diversifikasi yang efisien, dengan ukuran Koefisien Korelasi. Dalam metode Markowitz berdasarkan dua masalah keuntungan yang diharapkan dari sekuritas dan suatu ukuran penyerapan dari penyebaran peluang. Sedangkan asumsi dalam model Markowitz adalah: a. Waktu yang digunakan satu periode, b. Tidak ada biaya transaksi, c. Preferensi investor hanya didasarkan pada return ekspektasi dan
risiko dari portofolio dan d. Tidak ada pinjam dan simpanan bebas risiko. Tingkat Keuntungan yang diharapkan dari investasi dapat dinyatakan pada Persamaan 1. Rit = ((Pit + 1) – Pit)/ Pit
(1)
Rit merupakan tingkat keuntungan dari saham i pada periode ke-t. Pit adalah harga saham i pada periode ke-t. Pit + 1 adalah harga saham i pada periode ke-t + 1. Prediksi tingkat keuntungan rata-rata yang diharapkan atau E(Ri), dapat diprediksi dari tingkat keuntungan dari saham i pada periode ke-t dan jumlah periode. Prediksi tersebut seperti yang terdapat dalam persamaan (2). E(Ri) = (¦i 0 Rit ) / N N
2)
Perhitungan yang digunakan dalam memprediksi tingkat risiko investasi adalah varians dan standar deviasi, yaitu seperti dinyatakan pada persamaan (3) dan (4). N ıi 2 = (¦i 0 [ Rit ¦ ( Ri )]2 / N ] (3)
ıi = ¥ ıi 2
(4)
ıi2 sebagai standar deviasi atau tingkat risiko dan ı1 merupakan besaran varians. Tingkat keuntungan yang diharapkan dari portofolio E (Rp) diprediksi dengan memasukkan komposisi dana sekuritas dalam portofolio ke dalam persamaan (5). ே
E (Rp) =
ሺǤሻ
ୀଵ
(5)
Xi adalah proporsi dana pada saham i. E(Ri) adalah tingkat keuntungan yang diharapkan dari saham i. Sedangkan risiko kegagalan yang dihadapi atau variansi portofolio dapat diprediksi dengan rmenggunakan persamaan (6).
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
173
ıP2 = X 12ı12 + X22 ı22 + X32 ı32 + 2 (X1 X2 ȡ12 ı1 ı2) + 2 ( X1 X3 ȡ13 ı1 ı3) + 2 (X2 X3 ȡ23 ı2 ı3) (6) Kooefisien koorelasi digunakan untuk meengetahui korelasi k (huubungan) antara a tinggkat keunttungan. Unntuk mengeetahui rxy
N =
N (¦
X
¦ 2
besarnya b k koefisien kkorelasi din nyatakan dalam d persaamaan (7).
X ( ¦ X )( ¦ Y ) XY
(¦
X)
2
N
¦Y
2
(¦ Y (7)
)
2
HASIL H DA AN PEMBA AHASAN
rxy adalah koeefisien koreelasi. X adallah harrga variabell bebas atauu proporsi daana padda saham. Y adalah takksiran atau duggaan nilai Y untuk hargga X yang dikketahui.
Pergerakan P harga sahham bulanan n dalam sekuritas s tahun 20009 rata-raata pada PT.Cide, P P PT.Suma daan PT.Likaa dapat digambarka d an seperti dalam Gam mbar 1.
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
PTCide PTSuma PTLika
2009
2010
2 2011
Gambar 1. Harga sahaam bulanan dalam seku uritas tahun n 2009 – 201 11 m rupiah) (Dalam Su umber: Datta diolah (20013)
Rata-rata harga h saham m bulanan dalam d sekkuritas taahun 2009 pada PT T.Cide adaalah Rp.4550, PT.Sum ma Rp.4544 dan PT.Lika Rp.7737. Pergerakan yang flukT.Cide tuaatif dialami oleh hargaa saham PT denngan kisaraan antara Rp.184 R – Rp.790 R dann cenderungg menurun pada p akhir tahun. t Koondisi yangg serupa juuga dialamii oleh harrga saham pada PT.Suuma. Sedanngkan harrga saham PT.Lika antara a Rp.6610 – Rp.910 dan cenderung c meningkat pada akhhir tahun, meskipunn pergerakaannya jugga mengalam mi fluktuasii.
174
Pada tahun t 20110, harga saham bulanan b daalam sekurittas tahun PT.Cide rata-rata r Rp.552, PT.Suma rata-rata Rp.415 R daan PT.Lika rata-rata Rp.703. Harga H sahaam PT.Cidee antara Rp.270 R – Rp.820 R denngan pergeerakan berffluktuasi dan d cendeerung menngecil pada akhir tahun. t Harrga saham m PT.Sumaa antara Rp.160 R - Rp.600 R dan cenderung meningkat k pada akkhir tahun. Sedangkan n harga saham s PT. Lika antaraa Rp.510 – Rp.840 bergerak b fluktuasi dann cenderung g mengalami a penurrunan pada akhir tahun n.
Koranti., Pembentukan Portofolio.....
Selanjutnya harga saham bulanan rata-rata dalam sekuritas tahun 2011 pada PT.Cide adalah Rp.536, PT.Suma adalah Rp.919 dan PT.Lika adalah Rp.557. Harga saham PT.Cide antara Rp.335 – Rp.890 dengan pergerakan berfluktuasi dan cenderung mengecil pada akhir tahun. Harga saham PT.Suma antara Rp.700 - Rp.1160 dengan kecenderungan meningkat pada akhir tahun. Sedangkan harga saham PT.Lika antara Rp.425 – Rp.680 bergerak fluktuasi dan cenderung meningkat pada akhir tahun. Berdasarkan deskripsi data pergerakan harga saham bulanan sekuritas dari tahun 2009 sampai dengan 2011, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa harga saham PT.Cide berkisar diantara Rp 184 – Rp 890, PT.Lika antara Rp 425 – Rp 910 dan PT.Suma antara Rp160 – Rp 1160. Fluktuasi harga saham tersebut diprediksi sebagai salah satu dampak mulai bangkitnya pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia mengakibatkan berbagai perkembangan bisnis yang selama ini mengalami keterpurukan. Kondisi yang sama juga dinyatakan dalam Economic Outlook 2009 bahwa bisnis properti masih akan bertumbuh untuk masa-masa mendatang. Selanjutnya informasi dari deskripsi harga saham tersebut, dapat digunakan untuk memprediksi tingkat keuntungan yang diperoleh untuk setiap sekuritas. Kondisi dimana tingkat keuntungan bernilai positif, dapat diartikan bahwa penanaman saham men-dapatan keuntungan. Sebaliknya apabila tingkat keuntungan saham mempunyai nilai negatif, berarti penanam saham mendapatan kerugian. Kerugian dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana menjual saham yang dimiliki di bawah harga pembelian. Apabila diperoleh nilai tingkat keuntungan saham nol, maka investor berada pada posisi impas yaitu
tidak mengalami keuntungan maupun kerugian. Seperti juga dibuktikan dalam penelitian Hui dan Lina (2011) bahwa laba per saham merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan deviden. Ketiga kondisi tersebut dapat diprediksi dengan menggunakan Persamaan 1, yaitu untuk menghitung tingkat keuntungan bulanan sekuritas. Tingkat keuntungan rata-rata yang diharapkan dari saham diperoleh dengan menggunakan Persamaan 2. Selanjutnya hasil perhitungan tingkat keuntungan rata-rata yang diperoleh, disajikan dalam tabel 1. Keuntungan rata-rata yang diperoleh pada sekuritas PT.Lika, PT.Suma dan PT.Cide adalah sama-sama bernilai positif. Dengan demikian berarti investasi tersebut diprediksi akan mengalami keuntungan, yaitu masing-masing sebesar 0.00155422 (0.155%); 0.0024437 (0.155%) dan 0.00230737 (0.155%). Standar deviasi merupakan salah satu tolok ukur dalam menghitung risiko investasi pada sekuritas. Dengan menggunakan Persamaan 3 dan Persamaan 4 maka hasil perhitungan tingkat risiko investasi pada sekuritas PT. Lika, PT. Suma dan PT.Cide adalah seperti yang tertera pada tabel 1. Merujuk pada penelitian yang dilakukan Sartono (2006), bahwa terdapat korelasi positif antara standar deviasi dan return portofolio, baik pada portofolio yang dihasilkan dengan menggunakan metode rata-rata-ragam maupun metode rata-rata-penyimpangan absolut. Terdapat kelemahan secara statistik dalam metode tersebut bahwa hasil pengujian korelasinya dinyatakan tidak cukup kuat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa standar deviasi kurang cukup baik untuk dipergunakan sebagai tolok ukur risiko suatu portofolio. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa tingkat risiko terbesar dimiliki oleh saham PT. Suma sebesar 48.74%, diikuti oleh saham PT.Cide sebesar
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
175
47,36% dan tingkat risiko terendah dimiliki oleh saham PT. Lika, yaitu sebesar 3.89%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat keuntungan dan risiko terbesar dimiliki oleh saham PT. Suma, yaitu 0.244% dan 0.048%.
PT. Cide memiliki tingkat keuntungan dan risiko tingkat menengah, yaitu sebesar 0.230% dan 0.047%. Sedangkan tingkat keuntungan dan risiko terkecil dimiliki oleh saham PT. Lika sebesar 0,155% dan 0.038%.
Tabel 1. Tingkat Keuntungan Bulanan, Keuntungan Rata-rata dan Resiko Rata-rata Sekuritas Sekuritas
PT.Lika PT.Suma PT.Cide
Tingkat Keuntungan Bulanan 0.055951933 0.087974059 0.083065295
Tingkat Keuntungan Rata-rata (Rp) 0.00155422 0.0024437 0.00230737
Tingkat Tingkat Resiko Keuntungan Rata- Rata-rata (ı) rata (%) 0.155% 0.038872200 0.244% 0.048742619 0.231 % 0.047363234
Perhitungan besarnya koefisien korelasi antar sekuritas menggunakan Persamaan 7. Tabel 2 merupakan hasil perhitungan koefisien korelasi antar sekuritas. Tabel 2. Koefisien Korelasi antar Sekuritas Sekuritas PT Lika dengan PT Suma PT Cide dengan PT Suma T Cide dengan PT Lika
Dalam menentukan proporsi investasi dapat digunakan metode berbeda-beda sehingga menghasilkan berbagai alternatif. Seperti dalam penelitian Taufik (2005) menggunakan algoritma genetika dalam model Markowitz, yang merepresentasikan kumpulan yang efisien dengan meng-gunakan representasi tidak langsung untuk menghindari solusi yang tidak layak dan fungsi penalti. Dari hasil yang telah diimplementasikan dapat disimpulkan bahwa metode tersebut dapat digunakan sebagai salah satu metode yang cukup berhasil dalam menemukan titik optimum dari sebuah portofolio. Pendapat yang sama dikemukakan dalam penelitian Piyatna (2003), bahwa permasalahan pokok dalam penelitian tersebut adalah memilih dua saham unggulan dan proporsi dana yang akan
176
Koefisien korelasi 0.162 0.487 0.115
diinvestasikan dalam pembentukan suatu portofolio. Optimasi portofolio investasi dilakukan dengan menggunakan model Markowitz. Dari empat saham unggulan versi LQ45 yang dianalisis menunjukkan bahwa saham HM Sampurna dan Telkom memberikan hasil yang optimum dalam pembentukan portofolio investasi dengan proporsi dana berturut-turut sebesar 51% dan 49%. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini untuk menentukan proporsi investasi adalah dengan menggunakan bilangan acak, sehingga didapatkan berbagai kombinasi sekuritas atau portofolio. Dalam penelitian ini digunakan tujuh pilihan portofolio dengan kondisi yang variatif. Rangkuman dari variasi proporsi investasi dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 3.
Koranti., Pembentukan Portofolio.....
Tabel 3. Proporsi Investasi pada Portofolio Ketiga Sekuritas (%) Kondisi
Portofolio
I II
1 2 3 4 5 6 7
III IV
Ada 4 jenis kondisi yang tertera pada Tabel 3, yaitu kondisi I adalah kondisi proporsi dana setiap jenis saham sama besar; Kondisi II adalah kondisi proporsi dana pada PT. Lika mayoritas lebih besar; Kondisi III adalah kondisi proporsi dana pada PT. Suma mayoritas lebih besar dan kondisi IV adalah kondisi proporsi dana pada PT. Cide mayoritas lebih besar. Pembentukan portofolio terdapat aturan bahwa proporsi dana yang diinvestasikan pada masing-masing saham harus berjumlah satu. Kerugian yang
PT. Lika 33.33 50.00 45.00 25.00 30.00 30.00 30.00
Proporsi Investasi PT. Suma PT. Cide 33.33 33.33 20.00 30.00 30.00 25.00 50.00 25.00 40.00 30.00 30.00 40.00 20.00 50.00
terjadi pada portofolio diharapkan tidak terkonsentrasi pada satu macam saham. Dengan demikian kerugian pada satu jenis saham mungkin akan tertutup oleh keuntungan yang diperoleh pada jenis saham yang lainnya. Tingkat keuntungan dapat diprediksi dengan memasukkan komposisi dana dari setiap sekuritas portofolio ke dalam Persamaan 5. Hasil perhitungan dari tingkat keuntungan masing-masing portofolio, disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Tingkat Keuntungan Masing-masing Portofolio Kondisi
Portofolio 1
I III IV
2 3 4 5 6 7
Erp PT Lika
Erp PT Suma
Erp PT Cide
0.051802 0.077711 0.06994 0.038856 0.046627 0.046627 0.046627
0.081449 0.048874 0.073312 0.122186 0.097749 0.073312 0.048874
0.076905 0.069221 0.057684 0.057684 0.069221 0.092295 0.115368
Dari hasil Tabel 4 dapat dilihat bahwa tingkat keuntungan terbesar terdapat pada portofolio ke-4 yaitu sebesar 2,18% dengan proporsi dana PT. Lika, PT. Suma dan PT. Cide adalah 25:50:25. Sedangkan tingkat keuntungan terendah terdapat pada portofolio ke-2 yaitu sebesar 1,96% dengan proporsi dana PT. Lika, PT. Suma dan PT. Cide adalah 50:20:30. Dalam pemilihan jenis saham dalam portofolio investor akan menghadapi berbagai tingkat risiko. Selain keuntungan maka kemungkinan investor juga akan
E(rp) 0.0210156 0.0195807 0.0200936 0.0218726 0.0213597 0.0212233 0.0210870
menghadapi risiko kegagalan. Dengan demikian perlu diperhitungkan berbagai risiko tersebut atau dikenal dengan ragam portofolio menggunakan Persamaan 6. Setelah diketahui besarnya ragam portofolio (ıp2) maka selanjutnya dapat diperhitungkan risiko portofolio atau standar deviasi (ıp) dengan Persamaan 8. ıp = ¥ıp2
(8)
Dengan demikian maka hasil perhitungan tersebut dapat dirangkum dalam Tabel 5.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
177
Tabel 5. Ekspektasi pengembalian dan Standar Deviasi Portofolio Kondisi I II III IV
portofolio 1 2 3 4 5 6 7
Proporsi Investasi PT Lika 33.33 50.00 45.00 25.00 30.00 30.00 30.00
PT Suma 33.33 20.00 30.00 50.00 40.00 30.00 20.00
Kombinasi besarnya proporsi saham pada Tabel 5 adalah berbeda-beda, sehingga menghasilkan ekspektasi pengembalian maupun tingkat resiko yang beragam. Berdasarkan Tabel 5 maka terlihat bahwa terdapat ekspektasi pengembalian terbesar ke terkecil dengan urutan pada kombinasi portofolio ke-4, ke-5, ke-6, ke-7, ke-1, ke-3 dan terkecil pada portofolio ke-2. Sedangkan tingkat resiko terkecil terdapat pada kombinasi portofolio ke-7, disusul portofolio ke-1, ke-4, ke-3, ke-6, ke-2 dan resiko terbesar pada kombinasi portofolio ke-5. Secara umum pada kombinasi portofolio yang memiliki tingkat resiko besar, menghasilkan ekspektasi pengembalian relatif kecil. Sebaliknya pada kombinasi portofolio yang memiliki tingkat resiko kecil, cenderung menghasilkan ekspektasi pengembalian yang relatif besar. Ada beberapa kondisi khusus yang bisa diperoleh dari hasil perhitungan pada Tabel 5. Kombinasi portofolio ke-4 memiliki ekspektasi pengembalian paling besar dan tingkat risiko yang relatif sama dengan tingkat risiko pada kombinasi portofolio ke-3 dan ke-1. Demikian juga pada kombinasi portofolio ke-7, memiliki tingkat risiko yang paling kecil, apabila dibandingkan dengan tingkat ekspektasi pengembalian yang sama yaitu kombinasi portofolio ke-1. Portofolio yang efisien merupakan portofolio yang memberikan tingkat keuntungan yang terbesar dengan risiko yang sama atau portofolio yang mem-
178
PT Cide 33.33 30.00 25.00 25.00 30.00 40.00 50.00
ıp
E(rp)
0,12131 0,13422 0,12661 0,12217 0,15102 0,13215 0,11244
0.0210156 0.0195807 0.0200936 0.0218726 0.0213597 0.0212233 0.0210870
punyai risiko terkecil dengan tingkat keuntungan yang sama. Seperti dalam Atarmono (2001), bahwa kunci dari pemilikan portofolio investasi yang optimal adalah bagaimana kemampuan investor tersebut dalam mengukur tingkat risiko dan tingkat keuntungan yang diterimanya dalam memilih portofolio investasi tersebut. Selanjutnya dalam penelitian Yuniarti (2010) bahwa ukuran kinerja portofolio dalam investasi menunjukkan kinerja yang sangat efisien dengan menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari pada keuntungan pasar. Berdasarkan análisis pemilihan jenis saham dalam portofolio di atas, maka dapat diperoleh hasil untuk menentukan portofolio yang efisien sebagai berikut: a. Portofolio dengan tingkat keuntungan terbesar dengan risiko yang sama, terdapat pada jenis portofolio ke-4, dengan proporsi dana saham PT. Lika 25%, PT. Suma 50% dan PT. Cide 25%. Portofolio tersebut menghasilkan ekspektasi pengembalian sebesar 2,19% dan tingkat risiko 15,88%. b. Portofolio dengan tingkat risiko terkecil dengan tingkat keuntungan yang sama, terdapat pada jenis portofolio ke-7, dengan proporsi dana saham PT. Lika 30%, PT. Suma 20% dan PT. Cide 50%. Portofolio tersebut menghasilkan ekspektasi pengembalian sebesar 0.0210870 dan tingkat risiko 11,24%.
Koranti., Pembentukan Portofolio.....
Dalam penelitian Praptiningsih (2012) diperoleh hasil tiga saham yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia memiliki hubungan positif dengan market return; reaksi investor terhadap masing-masing saham tidak saling berkaitan; model portfolio yang digunakan menghasilkan varian atau resiko semakin kecil; dan ekspektasi laju pengembalian mencapai 2.2 % pada tingkat deviasi antara 8.8 % sampai 9.,2 %. Selanjutnya dalam pemilihan portofolio yang efisien, setiap investor bebas untuk menentukannya. Terdapat beberapa pandangan setiap tipe investor dalam pemilihan portofolio antara lain terdapat tipe pencari risiko dan penghindar risiko. Investor tipe pencari risiko merupakan investor yang berani menghadapi risiko atau resiko besar dengan mengharapkan pengembalian tertinggi. Dalam penelitian ini kombinasi portofolio ke-4 merupakan pilihan tepat bagi investor tersebut. Alasan dalam pemilihan ini adalah karena portofolio ini memberikan tingkat risiko dan keuntungan terbesar diantara portofolio yang lain. Sebaliknya investor tipe peng-hindar risiko merupakan investor yang bersifat menghindari risiko atau mengambil resiko sekecil mungkin. Penghindar risiko akan memilih portofolio dengan risiko terendah dan menerima tingkat keuntungan terendah pula. Dengan demikian portofolio ke-7 merupakan pilihan tepat bagi penghindar risiko, karena portofolio ini memberikan tingkat risiko dan keuntungan terkecil diantara portofolio yang lain. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa selama periode Januari 2009 sampai Desember 2011 sekuritas PT. Lika diperkirakan menghasilkan keuntungan 0.16% dan tingkat risiko 3.9%. Keuntungan yang diperoleh PT. Suma berkisar 0.24% dan tingkat risiko 4.9%.
Sedangkan PT. Cide kemungkinan menghasilkan keuntungan 0.23% dan tingkat risiko 4.7%. Dari tujuh kombinasi portofolio, kombinasi portofolio ke-4 adalah paling efisien bagi investor tipe pencari risiko dengan proporsi saham PT. Lika 25%, PT. Suma 50% dan PT. Cide 25%. Portofolio tersebut menghasilkan ekspektasi pengembalian terbesar 2,19% dan tingkat risiko 15,88%. Sebaliknya pertimbangan bagi penghindar risiko portofolio yang paling efisien adalah tipe ke-7, dengan proporsi saham PT. Lika 30%, PT. Suma 20% dan PT. Cide 50%. Portofolio tersebut menghasilkan ekspektasi pengembalian sebesar 0.0210870 dan tingkat risiko terkecil yaitu 11,24%. Mengingat bahwa penelitan ini masih terbatas menggunakan metode Markovitz, maka bagi penelitian selanjutnya dapat memperluas lingkup penelitian dengan menggunakan berbagai metode lain seperti metode indeks tunggal, metode multi indeks, model CAPM dan sebagainya. Terdapat kelemahan pada metode Markovitz yaitu tidak ada penjelasan mengenai batas waktu, sehingga perlu dilakukan simulasi waktu yang lebih bervariasi untuk menjelaskan diversifikasi tersebut. DAFTAR PUSTAKA Atarmono, 2001, Analisis Portofolio Saham untuk menentukan return optimal dan Risiko Minimal, Jurnal JIPTUNMREPP, Vol.2, No.2 (September). Hui H.dan L. Lina, 2011, ”Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kebijakan Dividen pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia” Jurnal Akuntansi 15 (3)
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
179
Jorion, P. 2002. Value at Risk: The New Benchmark for Managing Financial Risk. The McGraw-Hill Companies, Inc. Praptiningsih M, 2012. “Applying Portfolio Selection: A Case of Indonesia Stock Exchange” Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 14 (1) 13–22 Priyatna Y. dan F. Sukono, 2003, “Optimasi Portofolio Investasi dengan Menggunakan Model Markowitz” Jurnal Matematika dan Komputer 6 (1) 1–10 Reilly, Frank K., Keith C. Brown, 2000, Investment Analysis an Portofolio Management, The Dryden Press, 6 th edition
Sartono R. A, 2006 “Var Portfolio Optimal: Perbandingan antara Metode Markowitz dan Mean Absolute Deviation” Jurnal Siasat Bisnis 11(1) 37–50 Stambaugh, F. 1996. Risk &Value at Risk. European Management Journal. Vol.14, pp. 612 – 621 Taufiq W. N, 2005, “Penggunaan Algoritma Genetika untuk Pemilihan Portfolio Saham dalam Model Markowitz” Jurnal Informatika 6 (2) 105–109 Wahyudi, H.D.2002. Analisis Investasi dan Penentuan Portofolio Saham Optimal di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1. No.2. Yuniarti S. 2010 “Pembentukan Portofolio Optimal Saham-saham Perbankan dengan Menggunakan Model Indeks Tunggal” Jurnal Keuangan dan Perbankan 14 (3) 459–466
180
Koranti., Pembentukan Portofolio.....
MANAJEMEN PEMELIHARAAN PENCEGAHAN PADA KOMPONEN PERALATAN REBUSAN Ina Siti Hasanah1 Machfud2 Sukardi3 Erliza Hambali4 1
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri Universitas Gunadarma,
[email protected] 2,3,4 Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
[email protected] Abstrak
Pemeliharaan pencegahan pada suatu sistem sangat diperlukan untuk menjaga agar kegiatan produksi tidak berhenti. Kehandalan suatu sistem yang baik terlihat dari jarangnya terjadi kerusakan pada sistem. Penelitian ini bertujuan untuk merencanakan pemeliharaan pencegahan komponen peralatan rebusan. Untuk itu pertama sekali didentifikasikan distribusi kerusakan komponen menggunakan uji kebaikan suai. Perencanaan pemeliharaan pencegahan kemudian disimulasikan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa tindakan pemeliharaan pencegahan untuk komponen Seal pintu rebusan sebaiknya dilakukan setiap 356 jam dengan kehandalan meningkat sebesar 29,08% pada t = 1039,9207. Tindakan pemeliharaan pencegahan untuk komponen VBelt sebaiknya dilakukan setiap 1205 jam dengan kehandalan meningkat sebesar 37,813% pada t = 1969,613. Kata Kunci: pemeliharaan pencegahan, kehandalan.
PREVENTIVE MAINTENANCE MANAGEMENT FOR STEW EQUIPMENT Abstract Preventive maintenance on a system is very important to maintain production activities run smoothly. The reliability of a good system is represented by rare failure of the system. The objective of the study was to plan preventive maintenance of stew equipment components. This was done firstly by identifying failure distribution of components using goodness of fit test. Planning preventive maintenance subsequently was simulated. Result showed that preventive maintenance for seal stew component should be performed in every 356 hours. For this case the component reliability would be increased by 29,08% at t = 1039,9207. Preventive maintenance for V-Belt components should be performed in 1205 hours, and the reliabilty would be increased by 37,813% at t = 1969,613. Keywords : preventive maintenance, reliability.
PENDAHULUAN Perusahaan yang bergerak di industri manufaktur dengan volume yang tinggi dan memproduksi secara terus-menerus akan selalu melakukan perawatan pada mesinnya, karena setiap kegagalan kom-
ponen mesin secara langsung mempengaruhi produktivitas dan kualitas produk (Lin, 1995). Salah satu perusahaan yang bergerak di industri manufaktur ini adalah perusahaan yang memproduksi minyak sawit kasar.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
181
Menurut Ismail, dkk (2009) penyebab meningkatnya kerusakan mesin adalah kesulitan dalam mencari suku cadang yang diperlukan untuk penggantian komponen peralatan dan perbaikan mesin. Hal ini pun dialami oleh pabrik kelapa sawit dalam pengadaan suku cadang dan penjadwalan pemeliharaan pencegahan, sehingga perlu menentukan kapan pemeliharaan pencegahan dilakukan agar kegiatan pemeliharaan bisa optimal. Zeng (1997) menekankan secara teknis dan ekonomis diperlukan pemeliharaan pencegahan dan prediktif melalui pengembangan sistem pemeli-haraan untuk mempertahankan sistem manufaktur berjalan dengan baik. Menurut Machani (2010) perencanaan produksi dan pemeliharaan pencegahan yang terintegrasi mengoptimalkan sistem menggunakan algoritma genetika. Sachdeva, dkk (2008) membuat jadwal pemeliharaan pencegahan dengan mempertimbangkan ketersediaan, biaya pemeliharaan, dan biaya siklus hidup sebagai kriteria optimasi menggunakan algoritma genetika dan stochastic petri net. Sumber daya yang terbatas dan langka membuat Khanlari, dkk (2008) memprioritaskan peralatan dengan menggunakan aturanaturan fuzzy. Pengelolaan pemeliharaan masingmasing peralatan/mesin adalah unik tergantung dari karakteristik mesin / peralatan dan kebijakan manajemen produksi. Peralatan perebusan memiliki karakteristik sendiri dan utilitasnya tergantung dari kepadatan jadwal penggunaan. Tujuan penelitian ini dengan demikian adalah mengidentifikasi distribusi kerusakan komponen peralatan perebusan dan mensimulasikannya agar kehandalan komponen peralatan meningkat. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan adalah
182
jenis-jenis peralatan produksi, komponenkomponen peralatan, selang waktu kerusakan, dan waktu penggantian komponen yang rusak. Teknik analisis data menggunakan pengujian kebaikan suai untuk mencari distribusi kerusakan peralatan yang cocok. Nilai rata-rata waktu kegagalan (MTTF) dan rata-rata waktu perbaikan (MTTR) untuk masing-masing komponen kemudian dihitung. Menggunakan informasi distribusi kerusakan, MTTF, dan MTTR pemeliharaan pencegahan komponen selanjutnya dijadwalkan. Menurut Dhillon (2002) pemeliharaan pencegahan adalah suatu tindakan yang dilakukan pada jadwal yang direncanakan, berkala untuk mencegah timbulnya kerusakan mesin. Kondisi mesin akan mengalami penurunan apabila dipakai terus menerus, oleh karena itu perlu dilakukan pemeliharaan pencegahan secara berkala. Kehandalan merupakan kemampuan dimana sebuah fasilitas (baik mesin, peralatan, maupun sistem) dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Jadi keandalan dapat pula berarti sebagai probabilitas/kemungkinan suatu fasilitas untuk dapat berfungsi dengan baik selama periode waktu. Keandalan adalah kemampuan dari sebuah peralatan untuk tidak mengalami kerusakan selama proses berlangsung (Ebeling, 1997). Distribusi yang digunakan dalam keandalan adalah (Ben Daya, 2009) : a. Distribusi Normal : §t P · R(t) = 1 ) ¨ ¸ ................(1) © V ¹ MTTF = P .............................. (2) b. Distribusi Lognormal : § ln t P · R(t) = 1 ) ¨ ¸ ........... (3) © V ¹ MTTF = tmed exp(s2/2)...….. (4) c. Distribusi Eksponensial : R(t) = e Ot ......................... (5) 1 .......................... (6) MTTF =
O
Siti Hasanah, dkk., Manajemen Pemeliharaan .....
d. Distribusi Weibull : E R(t) = e (t / T ) ................. (7) § 1· MTTF = T*¨¨1 ¸¸ ............ (8) E¹ © Kehandalan dapat meningkat dengan cara pemeliharaan pencegahan. Menurut Ebeling (1997), model kehandalan berikut mengasumsikan sistem kembali ke kondisi baru setelah melakukan pemeliharaan pencegahan. Kehandalan dinyakan sebagai berikut : Rm(t) = R(t) untuk 0 d t < T Rm(t) = R(T)n.R(t-nT) untuk nT d t d (n+1)T, dimana n = 1, 2, 3, .... dst dimana n = jumlah perawatan Rm(t) = reliability dengan pemeliharaan pencegahan R(T)n = probabilitas kehandalan sampai selang waktu pemeliharaan R(t-nT) = probabilitas kehandalan untuk waktu t-nT dari tindakan pemeliharaan pencegahan yang terakhir. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pabrik kelapa sawit, pengolahan tandan buah segar (TBS) melalui beberapa stasiun, yaitu stasiun penerimaan, stasiun perebusan, stasiun penebahan, stasiun pengempaan, stasiun pemurnian minyak, stasiun pemisahan biji, stasiun penimbunan minyak, dan stasiun yang mendukung proses pengolahan tersebut, seperti stasiun boiler dan stasiun
pengolahan air. Setiap stasiun terdiri dari beberapa peralatan atau mesin seperti fruit conveyer, screw press, vibrating screen, tangki minyak mentah, dan lain-lain. Diidentifikasi peralatan yang paling kritis (peralatan yang sering mengalami kerusakan) adalah mesin rebusan. Mesin rebusan memiliki komponen yang paling kritis (komponen yang sering mengalami kerusakan) yaitu seal pintu rebusan, VBelt dan L Boch. Mesin atau peralatan rebusan ini terdapat pada stasiun rebusan. Dalam proses perebusan, TBS dipanaskan dengan uap pada suhu 135-150qC dan tekanan 2,5-3,0 atm selama 90 menit. Proses perebusan ditujukan agar memudahkan pelepasan brondolan, karena suhu yang tinggi selama perebusan yang mengakibatkan pektin terhidrolisa menjadi asam-asam pektin sehingga brondolan mudah lepas. Pada stasiun perebusan terdapat empat buah perebusan yang dibuat tahun 2002 dengan ukuran 2,10x30 meter. Satu buah perebusan bisa memuat sepuluh lori dalam satu kali perebusan TBS. Seal pintu rebusan merupakan salah satu komponen penting dari rebusan. Waktu kerusakan (TTR) dan waktu kegagalan (TTF) seal pintu rebusan ditunjukkan oleh Tabel 1. TTR merupakan lamanya perbaikan hingga mesin dapat berfungsi kembali. TTF adalah selang waktu kerusakan awal yang telah diperbaiki hingga terjadi kerusakan berikutnya.
Tabel 1. Jangka waktu kerusakan sampai selesai perbaikan komponen seal pintu rebusan no tanggal 1 30 Januari 2011 2 30 Maret 2011 3 14 Mei 2011 4 31 Mei 2011 5 29 Juni 2011 6 27 September 2011 Sumber : PKS Kertajaya (2011)
waktu mulai rusak 7:16 9:41 7:17 7:01 7:06 8:15
waktu selesai diperbaiki 8:25 16:19 9:25 9:09 10:06 11:15
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
TTR (jam) 1,15 6,633 2,133 2,133 3 3
TTF (jam) 1416,267 1070,967 405,6 693,95 1414,15
183
Untuk mengetahui jenis distribusi yang dipakai dari data waktu kegagalan dan waktu perbaikan, dilakukan perhitungan indeks kecocokan (r). Ada empat distribusi yang dipakai dalam mencari nilai r, yaitu distribusi weibull, normal,
lognormal, dan eksponensial. Tabel 2 menunjukkan indeks kecocokan dimana TTF menggunakan distribusi Weibull. Tabel 3 menunjukkan nilai r dengan TTR menggunakan distribusi Weibull.
Tabel 2. Indeks kecocokan untuk TTF berdistribusi weibull. i
1 2 3 4 5 total
Waktu kerusaka n (jam), ti 405,6 693,95 1070,967 1414,15 1416,267 5000,934
F(ti) = (i0,3)/(n+0,4) 0,1296 0,3148 0,5000 0,6852 0,8704 2,5
yi = lnln(1/(1F(ti))) -1,9745 -0,9727 -0,3665 0,1448 0,7145 -2,4544
Menggunakan rumus baku dalam menghitung r untuk masing-masing distribusi, nilai r adalah 0,5685, 0,9752, 0,9604, dan 0,9456 secara berturut-turut untuk reksponensial, rweibull, rnormal, dan rlognormal. Terlihat bahwa nilai r yang terbesar adalah menggunakan distribusi weibull, maka parameter yang digunakan adalah E dan T. Menggunakan distribusi
xi = ln ti
xi2
xiyi
6,0054 6,5424 6,9763 7,2543 7,2558 34,0341
36,0644 42,8030 48,6690 52,6246 52,6463 232,8074133
-11,8573 -6,3637 -2,5569 1,0502 5,1839 -14,5438
yi2
3,8985 0,9461 0,1343 0,0210 0,5104 5,5103
Weibull, nilai E diprediksi dari Eˆ dan nilai T dari nilai. Diperoleh nilai Eˆ sebesar 1,8928 dan nilai Tˆ sebsar 1171,6493. Nilai E > 1 menunjukkan bahwa laju kerusakan komponen seal pintu rebusan terus meningkat.
Tabel 3. Indeks kecocokan dengan TTR berdistribusi weibull i
Failure time, hr, ti
F(ti) = (i0,3)/(n+0,4)
yi = lnln(1/(1F(ti)))
xi = ln ti
xi2
xiyi
yi2
1 2 3 4 5 6 total
1,15 2,133 2,133 3 3 6,633 18,049
0,1094 0,2656 0,4219 0,5781 0,7344 0,8906 3
-2,1556 -1,1753 -0,6015 -0,1473 0,2819 0,7943 -3,0035
0,1398 0,7575 0,7575 1,0986 1,0986 1,8921 5,7441
0,0195 0,5739 0,5739 1,2069 1,2069 3,5799 7,1610
-0,3013 -0,8903 -0,4557 -0,1618 0,3097 1,5029 0,0036
4,6467 1,3813 0,3619 0,0217 0,0795 0,6310 7,1219
Menggunakan rumus baku masingmasing distribusi, nilai reksponensial, rweibull, rnormal, dan rlognormal secara berturut-turut adalah 0,3393, 0,9422, 0,8885, dan 0,9584. Indeks kecocokan menggunakan distribusi lognormal adalah yang terbesar. Parameter yang digunakan dalam distri-
184
busi lognormal adalah s dan tmed. Nilai s diperoleh sebesar 0,6823 dan tmed sebesar 2,6048. Meskipun nilai kecocokan di atas menunjukkan bahwa TTF komponen seal pintu rebusan mengikuti distribusi Weibull, pengujian harus tetap dilakukan.
Siti Hasanah, dkk., Manajemen Pemeliharaan .....
Pengujian dilakukan menggunakan uji Mann. Hipotesis awal (H0) dan hipotesis alternative (H1)
H0 : Data TTF seal pintu rebusan berdistribusi weibull. H1 : Data TTF seal pintu rebusan tidak berdistribusi weibull.D = 0,05
Tabel 4. Uji Kesesuaian distribusi weibull data waktu TTF pada komponen seal pintu rebusan i
ti
ln ti
Zi
Mi
ln ti+1 – ln ti
(ln ti+1 – ln ti)/Mi
1 2 3 4 5
405,6 693,95 1070,967 1414,15 1416,267
6,0054 6,5424 6,9763 7,2543 7,2558
-2,3018 -1,0892 -0,4360 0,0940 0,6657
1,2125 0,6533 0,5300 0,5717
0,5370 0,4339 0,2780 0,0015
0,4429 0,6642 0,5244 0,0026
ªr º k1 = « » = 2 ¬2¼
M=
ª r 1º =2 k2 = « ¬ 2 »¼
k1 ¦ r 1
[(ln t i 1 ln t i ) / M i ] i k1 1 k 2 ¦ ik11[(ln t i 1 ln t i ) / M i ]
=
0,4760 Fcrit = 19 M < Fcrit , maka H0 diterima Kesimpulan data waktu TTF pada komponen seal pintu rebusan berdistribusi weibull. § 1· MTTF = T*¨¨1 ¸¸ = 1039,9207 E¹ ©
Jadi nilai rata-rata waktu kegagalan dari komponen seal pintu rebusan adalah 1039,9207 jam. Menguji kesesuaian distribusi data waktu TTR pada komponen seal pintu rebusan Karena r yang terbesar terdapat pada distribusi lognormal, maka pengujian yang dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov. Selang kepercayaan adalah 95% sehingga D = 0,05. H0 : Data waktu TTR seal pintu rebusan berdistribusi lognormal H1 : Data waktu TTR seal pintu rebusan tidak berdistribusi lognormal
Tabel 6. Uji Kolmogorov Smirnov komponen seal pintu rebusan peralatan rebusan i
ti
ln ti
1 1,15 0,1398 2 2,133 0,7575 3 2,133 0,7575 4 3 1,0986 5 3 1,0986 6 6,633 1,8921 total 18,049 5,7441 sumber : hasil pengolahan
Pˆ
n ln t ¦ i = 0,9574 i 1 n tˆ med e Pˆ =
2,6048 jam
ln ti/n 0,0233 0,1263 0,1263 0,1831 0,1831 0,3153 0,9574
(ln ti-P)2 0,6685 0,0399 0,0399 0,0200 0,0200 0,8737 1,6619
(i-1)/n
i/n
0,0000 0,1667 0,3333 0,5000 0,6667 0,8333
0,1667 0,3333 0,5000 0,6667 0,8333 1,0000
sˆ
exp(0,9574)
=
cumulative probability 0,0602 0,3521 0,3521 0,6058 0,6058 0,9621
D1(i)
D2(i)
0,0602 0,1854 0,0188 0,1058 -0,0609 0,1288
0,1065 -0,0188 0,1479 0,0609 0,2275 0,0379
¦ in 1 (lnt i Pˆ ) 2
= 0,5263 n D1max = 0,1854 D2max = 0,2275 D(max, 0,1854; 0,2275) = 0,2275 D < Dcrit = 0,319 , maka H0 diterima.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
185
2 MTTR = t med e s / 2 = 2,9917 jam
Berikut ini adalah rangkuman dari hasil rekapitulasi MTTF dan MTTR komponen peralatan Rebusan.
Tabel 7. rekapitulasi nilai MTTF peralatan rebusan Komponen Rusak Seal pintu rebusan
Distribusi Weibull
V-belt
Weibull
L Boch
Normal
Parameter E = 1,8928 T = 1171,6493 E =3,8068 T = 2177,811 V = 862,3138 P = 1102,5201
MTTF (jam) 1039,9207 1969,613 1102,5201
Aktivitas Penggantian komponen Penggantian komponen Penggantian komponen
Sumber : hasil pengolahan
Tabel 8. Rekapitulasi nilai MTTR peralatan rebusan Komponen Rusak Seal pintu rebusan
Distribusi Lognormal
V-belt
Lognormal
L Boch
Lognormal
Parameter s = 0,5263 tmed = 2,6048 s = 0,4545 tmed = 2,3703 s = 0,4907 tmed = 2,3856
MTTR (jam) 2,9917 2,6282 2,6908
Aktivitas Penggantian komponen Penggantian komponen Penggantian komponen
Sumber : hasil pengolahan
Berdasarkan perhitungan nilai MTTF dan MTTR pada peralatan perebusan dengan mengidentifikasi distribusi menunjukkan peningkatan laju kerusakan (terlihat dari E > 1), maka tindakan pemeliharaan pencegahan perlu ditingkatkan atau penentuan interval waktu untuk penggantian komponen kritis perlu untuk dijadwalkan. Perhitungan dan perbandingan kehandalan nilai MTTF sebelum pemeliharaan pencegahan dan sesudah pemeliharaan pencegahan.
186
Kehandalan adalah peluang sistem atau komponen yang berfungsi sampai waktu tertentu (t). Pada model kehandalan ini diasumsikan bahwa sistem kembali pada kondisi semula atau kondisi baru setelah mengalami tindakan pemeliharaan pencegahan. Dari hasil perhitungan MTTF, dihitung nilai kehandalan sebelum pemeliharaan pencegahan dan sesudah pemeliharaan pencegahan. Kehandalan yang ingin ditingkatkan dari komponen seal pintu rebusan adalah 90% dari kondisi sebelum dilakukan pemeliharaan pencegahan.
Siti Hasanah, dkk., Manajemen Pemeliharaan .....
Tabel 9. Perhitungan kehandalan komponen seal pintu rebusan sebelum dan sesudah pemeliharaan pencegahan berdasarkan distribusi weibull t
R(t) n t-nT 0 1 0 0 100 0,99056 0 100 200 0,9654 0 200 300 0,92694 0 300 356 0,90042 0 356 400 0,87741 1 44 500 0,81913 1 144 600 0,75447 1 244 700 0,68578 1 344 712 0,67737 1 356 800 0,61529 2 88 900 0,545 2 188 1000 0,47667 2 288 1039,921 0,45027 2 327,921 1068 0,43206 2 356 1100 0,41172 3 32 1200 0,35124 3 132 1300 0,29598 3 232 1400 0,2464 3 332 1424 0,23537 3 356 1780 0,11004 4 356 2136 0,04431 5 356 2492 0,01542 6 356 2848 0,00464 7 356 3204 0,00121 8 356 3560 0,00028 9 356 3916 5,5E-05 10 356 4272 9,4E-06 11 356 4628 1,4E-06 12 356 4984 1,9E-07 13 356 5340 2,1E-08 14 356 5696 2,2E-09 15 356 6052 1,9E-10 16 356 6408 1,5E-11 17 356 6764 1E-12 18 356 7120 6E-14 19 356 7476 3,2E-15 20 356 7832 1,5E-16 21 356 8188 6E-18 22 356 8544 2,2E-19 23 356 8900 6,8E-21 24 356 Sumber : hasil pengolahan
Berdasarkan tabel perhitungan di atas, perhitungan kehandalan dilakukan dengan cara mensimulasikan selama 8900 jam operasi kerja pada setiap t untuk melihat penurunan kehandalan sebelum dilakukan pemeliharaan pencegahan dan peningkatan kembali
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
R(T)^n 1 1 1 1 1 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,81076 0,81076 0,81076 0,81076 0,81076 0,73003 0,73003 0,73003 0,73003 0,73003 0,65733 0,59188 0,53294 0,47987 0,43209 0,38906 0,35032 0,31543 0,28402 0,25574 0,23027 0,20734 0,18670 0,16811 0,15137 0,13629 0,12272 0,11050 0,09950 0,08959 0,08067
R(t-nT) 1 0,99056 0,96540 0,92694 0,90042 0,99800 0,98127 0,94998 0,90638 0,90042 0,99258 0,96916 0,93218 0,91413 0,90042 0,99890 0,98409 0,95443 0,91219 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042 0,90042
Rm(t) 1 0,99056 0,96540 0,92694 0,90042 0,89862 0,88356 0,85539 0,81612 0,81076 0,80475 0,78576 0,75578 0,74114 0,73003 0,72923 0,71841 0,69676 0,66592 0,65733 0,59188 0,53294 0,47987 0,43209 0,38906 0,35032 0,31543 0,28402 0,25574 0,23027 0,20734 0,18670 0,16811 0,15137 0,13629 0,12272 0,11050 0,09950 0,08959 0,08067 0,07264
kehandalan setelah dilakukan pemeliharaan pencegahan. - Kehandalan sistem sebelum pemeliharaan pencegahan : R(t). Misalnya MTTF = 1039,9207 jam, maka t = 1039,9207, T =
187
1171,6493 E = 1,8928, dengan menggunakan rumus : E R(t) = e (t / T ) R(1039,9207)
=
(1039,9207 / 1171,6493)1,8928
e 0,45027 = 45,027% -
-
-
=
Selanjutnya mencari kehandalan yang diharapkan R(T) yaitu 90% dengan perhitungan waktu antara t300 sampai dengan t400. R(T) merupakan probabilitas dari kehandalan sampai pemeliharaan pencegahan pertama. Dengan cara coba-coba, pada saat T = 356 jam, R(T) = 0,90042 atau 90,042%. R(T)n adalah probabilitas kehandalan hingga n selang waktu pemeliharaan. Pada saat peluang melakukan tindakan pencegahan adalah pada saat T = 356 jam, maka n berubah dari n = 0 menjadi n = 1, begitu pula setiap kelipatan T = 356, maka n akan bertambah 1, sehingga R(T)n = R(356)1 = 0,90042 Peluang kehandalan untuk waktu t-nT dari pemeliharaan pencegahan yang terakhir : R(t-nT). § t nT · ¨ ¸ R(t-nT) = e © T ¹
E
1,8928
§ 500 356 · ¨ ¸ R(144) = e © 1171,6493 ¹
0,98127 = 98,127%
188
=
-
Peluang kehandalan dengan pemeliharaan pencegahan : Rm(t). Rm(t) = R(T)n x R(t-nT) Rm(1039,921) = R(356)1 x R(327,921) Rm(1039,921) = 0,81076 x 0,91413 Rm(1039,921) = 0,74114 Dari hasil perhitungan kehandalan yang diperoleh dari MTTF = 1039,9207 jam, dimana pada saat t = 1039,9207, kehandalan R(t) sebelum pemeliharaan pencegahan adalah sebesar 0,45027 atau 45,027%. Setelah dilakukan pemeliharaan pencegahan yaitu 0,74114 dimana kehandalan meningkat sebesar 29,087% dari kehandalan sebelum dilakukan pemeliharaan pencegahan sebesar 0,45027 atau 45,027%. Berarti setiap selang waktu atau interval waktu pemeriksaan T = 356 jam, diusulkan untuk melakukan tindakan pemeliharaan pencegahan. Sampai dengan t = 7500 jam, jumlah pemeliharaan n = 20 artinya tindakan pemeliharaan pencegahan setiap T = 356 jam bisa dilakukan sebanyak 20 kali tindakan pemeliharaan pencegahan. Di bawah ini dapat dilihat gambar kehandalan sebelum dilakukan pemeliharaan pencegahan (R(t)) dan kehandalan setelah pemeliharaan pencegahan (Rm(t)) untuk komponen seal pintu rebusan.
Siti Hasanah, dkk., Manajemen Pemeliharaan .....
1 0,9 0,8 0,7 R
0,6
R(t)
0,5
Rm(t)
0,4 0,3 0,2 0,1 0 0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
t
Gambar 1 Grafik kehandalan sebelum pemeliharaan pencegahan dan sesudah pemeliharaan pencegahan untuk komponen seal pintu rebusan. Sumber : hasil pengolahan
Perhitungan kehandalan komponen V-Belt dilakukan dengan cara mensimulasikan selama 8900 jam operasi kerja pada setiap t untuk melihat penurunan kehandalan sebelum dilakukan pemeliharaan pencegahan dan peningkatan kembali kehandalan setelah dilakukan pemeliharaan pencegahan. Kehandalan sistem sebelum pemeliharaan pencegahan : R(t). Misalnya MTTF = 1969,613 jam, maka t = 1969,613, T = 2177,811 E = 3,8068, maka R(1969,613) =
e (1969,613 / 2177,811) 0,50553 = 50,553%
3,8068
=
Untuk kehandalan yang diharapkan R(T) yaitu 90% pada komponen V-Belt dengan perhitungan waktu antara t1200 sampai dengan t1300. R(T) merupakan probabilitas dari kehandalan sampai pemeliharaan pencegahan pertama. Dengan cara cobacoba, pada saat T = 1205 jam dengan R(T) = 0,90025 atau 90,025%. Pada saat peluang melakukan tindakan pencegahan adalah pada saat T = 1205 jam, maka n berubah dari n = 0 menjadi n = 1, begitu pula setiap kelipatan T = 1205, maka n
akan bertambah 1, sehingga R(T)n = R(1205)1 = 0,90025. Peluang kehandalan untuk waktu t-nT dari pemeliharaan pencegahan yang terakhir : R(t-nT). § 1400 1205 · ¨ ¸ 2177 ,811 ¹ © R(195) = e
3,8068
=
0,9999 = 99,99% Peluang kehandalan dengan pemeliharaan pencegahan : Rm(t). Rm(1969,613) = R(1205)1 x R(764,613) Rm(1969,613) = 0,90025 x 0,98157 Rm(1969,613) = 0,88366 Pada saat t = MTTF = 1969,613 jam, kehandalan R(t) sebelum pemeliharaan pencegahan adalah sebesar 0,50553 atau 50,553%. Setelah dilakukan pemeliharaan pencegahan kehandalan sebesar 0,88366 dimana kehandalan meningkat sebesar 37,813% dari kehandalan sebelum dilakukan pemeliharaan pencegahan. Berarti setiap selang waktu atau interval waktu pemeriksaan T = 1205 jam, diusulkan untuk melakukan tindakan pemeliharaan pencegahan. Sampai dengan t = 8800 jam, jumlah pemeliharaan n = 7 artinya tindakan pemeliharaan pencegahan setiap T = 1205 jam bisa dilakukan sebanyak
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
189
meliharaan pencegahan (R(t)) dan kehandalan setelah pemeliharaan pencegahan (Rm(t)) untuk komponen VBelt.
tujuh kali tindakan pemeliharaan pencegahan. Di bawah ini dapat dilihat gambar dan tabel perhitungan kehandalan sebelum dilakukan pe-
Tabel 10. Perhitungan kehandalan komponen V-Belt sebelum dan sesudah pemeliharaan pencegahan berdasarkan distribusi weibull t
R(t)
n
0 1 100 0,99999 200 0,99989 300 0,99947 400 0,99842 500 0,99631 600 0,99264 700 0,98680 800 0,97815 900 0,96599 1000 0,94964 1100 0,92842 1200 0,90174 1205 0,90025 1300 0,86912 1400 0,83028 1500 0,78516 1600 0,73402 1700 0,67740 1800 0,61621 1900 0,55166 1969,613 0,50553 2000 0,48526 2400 0,23516 2410 0,22979 3615 0,00102 4820 0,00000 6025 0,00000 7230 0,00000 8435 0,00000 8800 0,00000 Sumber : hasil pengolahan
190
t-nT 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 3 4 5 6 7
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1205 95 195 295 395 495 595 695 764,613 795 1195 1205 1205 1205 1205 1205 1205 365
R(T)^n
R(t-nT)
Rm(t)
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0,900251 0,900251 0,900251 0,900251 0,900251 0,900251 0,900251 0,900251 0,900251 0,900251 0,900251 0,810452 0,72961 0,656833 0,591314 0,532331 0,479232
1 0,999992 0,999887 0,999472 0,998422 0,996315 0,992636 0,986797 0,978147 0,965995 0,949644 0,928423 0,901738 0,900251 0,999993 0,999898 0,999505 0,998496 0,996453 0,992867 0,98715 0,981572 0,978656 0,90321 0,900251 0,900251 0,900251 0,900251 0,900251 0,900251 0,998886
1 0,999992 0,999887 0,999472 0,998422 0,996315 0,992636 0,986797 0,978147 0,965995 0,949644 0,928423 0,901738 0,900251 0,900245 0,900159 0,899805 0,898897 0,897058 0,893829 0,888683 0,883661 0,881037 0,813116 0,810452 0,72961 0,656833 0,591314 0,532331 0,479232 0,478698
Siti Hasanah, dkk., Manajemen Pemeliharaan .....
1 0,9 0,8 0,7 R
0,6
R(t)
0,5
Rm(t)
0,4 0,3 0,2 0,1 0 0
2000
4000
6000
8000
10000
t
Gambar 2 kehandalan sebelum pemeliharaan pencegahan dan sesudah pemeliharaan pencegahan untuk komponen V-Belt
SIMPULAN DAN SARAN Dapat disimpulkan bahwa waktu kerusakan komponen seal pintu rebusan berdistribusi Weibull dengan T = 1171,65, E = 1,8928 dan MTTF = 1039,921 jam. Waktu kerusakan komponen V-Belt berdistribusi Weibull dengan T = 2177,811, E = 3,8068 dan MTTF = 1969,613 jam. Waktu kerusakan komponen L Boch berdistribusi normal dengan V = 862,3138, P = 1102,5201 dan MTTF = 1102,5201 jam. Dengan simulasi interval waktu pemeliharaan pencegahan setiap 356 jam, kehandalan komponen seal pintu rebusan meningkat sebesar 29,08% pada t = 1039,9207. Simulasi interval waktu pemeliharaan pencegahan setiap 1205 jam pada komponen VBelt akan meningkat kehandalan sebesar 37,813% pada t = 1969,613. DAFTAR PUSTAKA Ben-Daya, M., Duffuaa, S.O., Raouf, A., Knezevic, J., Ait-Kadi, D. 2009. Handbook of Maintenance Management and Engineering. 1st Edition. Springer.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Dhillon, B.S. 2002. Engineering maintenance : a modern approach. CRC Press. Ebeling, E., C. 1997. An Introduction to Reliability and Maintainability Engineering. Mc. Graw Hill, Singapore. Ismail A.R., Ismail R., Zulkifli R., Makhtar N.K., Deros B.M. 2009. A Study on Implementation of Preventive Maintenance Programme at Malaysia Palm Oil Mill. European Journal of Scientific Research Vol.29 No.1. pp.126-135. Khanlari A., Mohammadi, K., & Sohrabi, B. 2008. Prioritizing Equipment for Preventive Maintenance (PM) Activities Using Fuzzy Rules. Computers & Industrial Engineering, 54, 169184. Lin, T., Titmuss, D. 1995. Critical Component Reliability and Preventive Maintenance Improvement to Reduce Machine Downtime. Computers ind.Engng. Vol.29, No. 1-4, pp.21-23.
191
Machani M., Nourelafath M. 2010. A Genetic Algorithm for Integrated Production and Preventive Maintenance Planning in Multi State Systens. 8th International Conference of Modeling and Simulation-MOSIM’10.
192
Sachdeva, A., Kumar, D., Kumar P. 2008. Planning and optimizing the maintenance of paper production systems in a paper plant. Computer & Industrial Engineering, 55, 817-829. Zeng, S.W. 1997. Discussion on Maintenance Strategy, Policy and Corresponding Maintenance Systems in Manufacturing. Reliability Engineering and System Safety. 55. pg 151-162.
Siti Hasanah, dkk., Manajemen Pemeliharaan .....
PENGARUH MOTIVASI BERPRESTASI, KOMITMEN ORGANISASIONAL DAN EFIKASI DIRI TERHADAP KINERJA MANAJERIAL Moh. Alifuddin STMIK Handayani Jl. Urip Sumoharjo Km. 4, Makasar
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh motivasi berprestasi, komitmen organisasional dan efikasi diri terhadap kinerja manajerial pimpinan lembaga kursus YPA Handayani. Metode penelitian menggunakan survei dengan melibatkan sampel 17 orang yang diambil secara sensus. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan analisis data menggunakan regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial adalah komitmen organisasional dan efikasi diri, sedangkan secara simultan motivasi berprestasi, komitmen organisasional dan efikasi diri berpengaruh signifikan. Komitmen organisasional memiliki pengaruh paling dominan terhadap kinerja manajerial. Dengan demikian, maka dalam usaha meningkatkan kinerja manajerial lembaga kursus perlu memperhatikan faktor komitmen organisasional dan efikasi diri pimpinan. Kata Kunci: Motivasi Berprestasi, Komitmen Organisasional, Efikasi Diri, Kinerja Manajerial
THE INFLUENCE OF ACHIEVEMENT MOTIVATION, ORGANIZATIONAL COMMITMENT, AND SELF-EFFICACY ON MANAGERIAL PERFORMANCE Abstract The purpose of this study was to examine the influence of achievement motivation, organizational commitment and self-efficacy on managerial performance of courses institutions leader at YPA Handayani. The research method uses a survey that involving 17 peoples who take through census technique. Collecting data using questionnaires and data analysis using multiple linear regression. The research results indicated that organizational commitment and self-efficacy variables have significant effect on managerial performance, whereas achievement motivation has not significant effect. Achievement motivation, organizational commitment and selfefficacy simultaneously have a significant effect on managerial performance, which organizational commitment has the dominant effect on managerial performance. Therefore, to improving managerial performance in courses institutions need to considering organizational commitment and leadership’s self-efficacy factors. Keywords: Achievement Motivation, Organizational Commitment, Self-Efficacy, Managerial Performance
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
193
PENDAHULUAN Keberadaan pendidikan non formal semakin dibutuhkan seiring dengan masih adanya kesenjangan antara keterampilan yang dituntut dunia usaha dengan output pendidikan formal. Kehadiran pendidikan non formal juga dibutuhkan sebagai sarana untuk memberikan kesempatan bagi warga negara yang tidak memiliki kesempatan mengikuti pendidikan formal agar mendapat pembekalan yang memadai untuk kehidupannya. Pendidikan non formal dalam bentuk lembaga kursus saat ini dibutuhkan peranannya dalam rangka menanggulangi masalah-masalah sosial seperti pengangguran. Hal ini dilandasi oleh kondisi masyarakat perdesaaan dan masyarakat marjinal perkotaan yang memiliki banyak permasalahan khususnya permasalahan pendidikan, sehingga mengakibatkan masyarakat tidak dapat mengembangkan potensi yang ada. Kondisi di lapangan juga menunjukan bahwa persoalan pengangguran bukan semata-mata akibat kesenjangan antara jumlah pencari kerja dan kesempatan kerja, melainkan juga karena banyak kesempatan kerja tetapi pencari kerja tidak memiliki kualifikasi sesuai dengan kebutuhan calon penguna tenaga kerja. Dengan demikian peran pendidikan nonformal terutama dalam bentuk lembaga kursus sangat dibutuhkan keberadaannya untuk mengatasi kesenjangan kompetensi yang dimiliki tenaga kerja. Lembaga-lembaga kursus merupakan instrumen untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan juga sikap sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pasar tenaga kerja. Pendidikan non formal semakin dibutuhkan di Indonesia terutama mengingat tingkat pengangguran yang masih tergolong tinggi. Berdasarkan data resmi yang dikeluarkan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sampai dengan Februari 2011, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,12 juta
194
orang atau 6,80%. Jumlah penganggur tersebut didominasi oleh lulusan SMA (27,96%). Sebagaimana diketahui bahwa lulusan SMA rata-rata belum memiliki keterampilan khusus untuk terjun ke dunia kerja, sehingga masih membutuhkan pendidikan keterampilan untuk siap bekerja. Di sinilah letak pentingnya lembaga-lembaga kursus, karena berperan menjembatani antara calon tenaga kerja dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan industri. Meskipun memiliki peran penting, lembaga kursus masih memiliki banyak permasalahan, terutama dari aspek output. Lembaga kursus dalam pengelolaannya masih cenderung berorientasi mencari peserta didik sebanyak-banyaknya tanpa diiringi pengelolaan secara profesional agar dapat benar-benar menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja. Lembaga kursus yang berkualitas membutuhkan adanya manajemen yang baik, sehingga peran tenaga-tenaga manajerial atau level pimpinan sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, kinerja manajerial diperlukan dalam rangka membangun lembaga kursus yang profesional dan berkualitas. Kinerja manajerial dapat dapat ditumbuhkan melalui banyak faktor, antara lain motivasi berprestasi, komitmen organisasional dan efikasi diri. Sharma, Borna dan Stearns (2009) mengatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang menunjukkan pencapaian tujuan organisasi seperti diukur melalui evaluasi kinerja atas tugas-tugas yang berhubungan dengan pekerjaan. Terkait dengan kinerja manajerial atau manajemen, Dafna (2008) dengan mengadopsi dari beberapa literatur, dalam penelitiannya mengembankan lima aspek untuk mengukur kinerja. Petama, inovasi (innovation). Adapun hal-hal terkait dengan inovasi seperti berusaha menghasilkan ide dan kegiatan baru di tempat kerja, melakukan banyak upaya dan mengambil inisitif lebih dibanding yang diharapkan, dan memiliki pandangan
Alifuddin, Pengaruh Motivasi.....
yang luas dalam menyelesaikan suatu masalah. Kedua, memimpin perubahan (leading change). Hal-hal yang terkait dengan aspek ini adalah bekerja untuk menutupi kesenjangan antara kinerja yang baik dan hebat, dan menaruh iba terhadap karyawan yang kesulitan menyesuaikan terhadap perubahan. Ketiga, orientasi orang dalam mengelola staf (a peopleoriented in managing people). Hal-hal yang terkait dengan aspek ini adalah sering memberikan umpan balik positif, mengungkapkan terima kasih bahkan untuk tindakan-tindakan kecil, menghindari ancaman atau paksaan dalam memberikan perintah, dan menolong orang merasa kompeten di tempat kerja. Keempat, penetapan tujuan (goal setting). Hal-hal yang terkait dengan aspek ini antara lain menetapkan tujuan keuangan berdasarkan visi bisnis, menyusun tujuan keuangan dan men-dorong pegawai untuk melaksanakannya, dan biasa menetapkan tujuan lebih tinggi yang berhubungan dengan pekerjaan. Kelima, jaringan (networking). Aspek ini antara lain meliputi bersikap proaktif menemui orang yang berbeda untuk memperluas jaringan, dan menghadiri seminar, konferensi, atau forum untuk membuka jaringan. Menurut McClelland (dalam Hersey & Blanchard, 1994), individu yang mempunyai kebutuhan berprestasi tinggi mempunyai ciri-ciri tidak bersifat untunguntungan, lebih menyukai kadar resiko moderat, lebih menyukai prestise pribadi, dan mencari feed back tentang hasil kerjanya. Beberapa aspek yang terkandung dalam motivasi berprestasi, yakni tanggung jawab, mempertimbangkan risiko, umpan balik, kreatif-inovatif, waktu penyelesaian tugas, keinginan menjadi yang terbaik. Penelitian yang dilakukan oleh Katzell Thompson (dalam Selden, 2002) mencatat bahwa studi empiris terhadap berbagai teori motivasi kerja menjelaskan 20% variasi terhadap kinerja. Sejalan dengan itu, dewasa ini usaha untuk meningkatkan kinerja
organisasi antara lain disandarkan pada kemampuan untuk memotivasi pegawai melalui sistem bayaran bagi kinerja (pay for performance system) (Houston, 2000). Shaw, Delery dan Abdulla (2003) mengatakan bahwa komitmen merupakan hasil dari investasi atau kontribusi terhadap organisasi, atau suatu pendekatan psikologis yang menggambarkan suatu hal yang positif, keterlibatan yang tinggi, orientasi intensitas tinggi terhadap organisasi. Benkhoff (1997) juga menyatakan hal yang tidak jauh berbeda bahwa komitmen merupakan derajat kepedulian karyawan dan kontribusinya terhadap keberhasilan organisasi. Sementara Meyer dan Allen (dalam Luthans, 2008) mengidentifikasi tiga dimensi komitmen organisasi. Pertama, komitmen afektif, yang berasal dari kelekatan emosional terhadap organisasi, mengidentifikasikan diri dan terlibat aktif dalam organisasi. Kedua, komitmen rasional, yaitu berkaitan dengan komitmen yang didasarkan pada persepsi pegawai atas kerugian yang akan diperolehnya jika meninggalkan organisasi. Ketiga, komitmen normatif, yang beruhubungan dengan perasaan pegawai terhadap keharusan untuk tetap bertahan dalam organisasi. Jaramillo, Mulki, dan Marshall (2005) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiliki hubungan yang kuat dengan kinerja. Demikian pula dengan penelitian Shaw, Delery dan Abdulla (2003), Nouri dan Parker (1998) juga memperlihatkan hasil bahwa komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Menurut Bandura (1997), efikasi diri adalah “beliefs in ones capabilities to organize and execute the course of action required to produce given attainments.” Maknanya bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah kepercayaan seseorang atas kemampuan dirinya untuk mengatur dan melakukan tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan pencapaian yang telah ditentukan. Menurut Bandura
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
195
(Looney, Valaich dan Akbulut, 2004), efikasi diri dapat dinilai menurut tiga dimensi, yaitugeneralitas (generality), besaran (magnitude), dan kekuatan (stregth). Generalitas merujuk pada tingkat kekhususan di mana keyakinan efikasi diri berlaku sepanjang tugas dan situasi. Besaran mencakup tingkat kesulitan tugas khusus. Kekuatan meliputi keyakinan individu dalam melaksanakan kerja yang berhasil pada tingkat kesulitan tugas khusus. Ini berarti bahwa penilaian terhadap efikasi diri tidak terlepas dari generalitas, besaran, dan kekuatannya. Dengan kata lain, efikasi diri individu dapat dilihat atau diukur berdasarkan generalitas, besaran, dan kekuatannya. Penelitian terkait dengan efikasi diri menunjukkan bahwa sembilan metaanalisis menemukan adanya hubungan positif antara efikasi diri dan kinerja di berbagai bidang fungsi dalam kondisi alami dan laboratorium. Lebih dari itu, meta-analisis atas 114 kajian dan 21.616 pokok bahasan juga menunjukkan hasil korelasi rata-rata 38 yang diukur antara efikasi diri dan kinerja yang berkaitan dengan kerja (Luthans, 2008). METODE PENELITIAN Populasi penelitian adalah karyawan tingkat pimpinan atau manajerial YPA Handayani yang berjumlah 17 orang. Karena jumlah populasi yang terbatas, maka keseluruhan populasi dijadikan sampel penelitian, sehingga pengambilan sampel dilakukan secara sensus. Pengukuran variabel dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner skala Likert yang terdiri dari lima alternatif jawaban. Motivasi berprestasi diukur berdasarkan indikator motivasi berprestasi yang dikembangkan McClelland (1976) yang meliputi tanggung jawab, pertimbangan terhadap risiko, umpan balik, inovatif, waktu penyelesaian tugas, dan ingin menjadi yang terbaik. Pengukuran variabel menggunakan skala 1 sampai 5 dengan alternatif
196
jawaban sangat setuju, setuju, ragu-ragu, kurang setuju, dan sangat tidak setuju. Berdasarkan pengujian reliabilitas, instrumen motivasi berprestasi diperoleh koefisien Alpha 0,944. Komitmen organisasional diukur berdasarkan dimensi yang dikembangkan Meyer dan Allen (dalam Luthans, 2008) yang meliputi komitmen afektif, normatif, dan rasional. Pengukuran komitmen organisasional menggunakan skala 1 sampai 5 dengan alternatif jawaban sangat setuju, setuju, ragu-ragu, kurang setuju, dan sangat tidak setuju. Dari hasil pengujian reliabilitas, instrumen komit-men organisasional memiliki koefisien Alpha 0,953. Efikasi diri diukur berdasarkan teori Bandura (dalam Looney, Valaich and Akbulut, 2004) yang meliputi tiga dimensi: generalitas, besaran, dan kekuatan. Pengukuran efikasi diri menggunakan skala 1 sampai 5 dengan alternatif jawaban: sangat setuju, setuju, ragu-ragu, kurang setuju, dan sangat tidak setuju. Dari hasil pengujian reliabilitas, instrumen efikasi diri memiliki koefisien Alpha 0,952. Sedangkan kinerja manajerial diukur berdasarkan teori Dafna (2008) dengan menggunakan indikator inovasi, memimpin perubahan, orientasi orang, penetapan tujuan dan jaringan. Pengukuran kinerja menggunakan skala 1 sampai 5 dengan alternatif jawaban: selalu, sering, kadang-kadang, pernah, dan tidak pernah. Berdasarkan pengujian reliabilitas, instrumen kinerja manajerial memiliki koefisien Alpha 0,889. Analisis data dilakukan dengan metode regresi berganda. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Tabel 1 terlihat hasil matrik korelasi dan statistik deskriptif. Dari matrik korelasinya diketahui semua hubungan antar variabel signifikan dengan rentang koefisien korelasi antara 0,683 sampai dengan 0,860. Untuk koefisien korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat diketahui motivasi berprestasi
Alifuddin, Pengaruh Motivasi.....
dengan kinerja manajerial 0,700, komitmen organisasional dengan kinerja manajerial 0,860, dan efikasi diri dengan kinerja manajerial sebesar 0,838. Semua koefisien korelasi tersebut signifikan pada tingkat kepercayaan 95% (p-value < 0,01). Sementara untuk statistik deskriptif diketahui variabel motivasi berprestasi
memiliki rata-rata 70,824 dengan standar deviasi 10,853, komitmen organisasional memiliki rata-rata 55,882 dengan standar deviasi 9,740, efikasi diri memperoleh rata-rata 66,059 dengan standar deviasi 10,750, dan kinerja manajerial memiliki rata-rata 63,235 dengan standar deviasi 7,361.
Tabel 1. Matriks Korelasi dan Statistik Deskriptif Variabel
1
1. Motiasi Berprestasi
2
3
4
-
2. Komitmen Organisasional
0,683**
-
3. Efikasi Diri
0,749**
0,743**
-
4. Kinerja Manajerial
0,700**
0,860**
0,838**
-
Rata-rata
70,824
55,882
66,059
63,235
Standar Deviasi
10,853
9,740
10,750
7,361
** signifikan pada D= 1%
Sebagaimana tampak dalam Tabel 2, pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan regresi berganda dan pengujian signifikansi menggunakan t hitung. Hasil perhitungan regresi untuk pengaruh motivasi berprestasi terhadap
kinerja manajerial diperoleh koefisien regresi 0,009, koefisien beta 0,013 dan t hitung 0,073 (p-value > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa motivasi berprestasi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial.
Tabel 2. Nilai Koefisien Persamaan Regresi Variabel
Koef. Regresi
Koef. Beta
t-hitung
p-value
1. Motiasi Berprestasi
0,009
0,013
0,073
0,943
2. Komitmen Organisasional
0,398
0,526
2,935
0,012*
3. Efikasi Diri
0,299
0,437
2,214
0,045*
Konstanta
20,602
F-hitung
20,856
Koefisien Korelasi
0,910
p-value
0,000
Koefisien Determinasi
0,828
* signifikan pada D= 5%
Pengaruh komitmen organisasional terhadap kinerja manajerial didapatkan koefisien regresi 0,398, koefisien beta 0,526 dan t hitung 2,935 (p-value < 0,05).
Berdasarkan hasil perhitungan ini maka komitmen organisasional memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial. Selanjutnya untuk pengaruh efikasi
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
197
diri terhadap kinerja manajerial didapatkan koefisien regresi 0,299, koefisien beta 0,437 dan t hitung 2,214 (p-value < 0,05). Dari hasil perhitungan tersebut, maka efikasi diri memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial. Pengujian secara simultan diperoleh koefisien korelasi 0,910, koefisien determinasi 91% dan F-hitung 20,856 (p-value < 0,01). Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan terdapat pengaruh signifikan motivasi berprestasi, komitmen organisasional dan efikasi diri secara bersama-sama terhadap kinerja manajerial. Koefisien korelasi yang diperoleh menunjukkan bahwa secara bersamasama motivasi berprestasi, komitmen organisasional dan efikasi diri memiliki hubungan signifikan dengan kinerja manajerial. Adapun kontribusinya sebesar 91% yang dijelaskan melalui Persamaan 1. Y = 20,602 + 0,009X1 + 0,398X2 + 0,299X3 (1) Merujuk pada koefisien beta, maka dapat diketahui bahwa variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap kinerja manajerial adalah komitmen organisasional yang diikuti dengan efikasi diri. Hasil ini menunjukkan bahwa komitmen organisasional perlu mendapat perhatian lebih dalam usaha meningkatkan kinerja manajerial, khususnya di lembaga kursus. Hasil penelitian ini menunjukkan signifikansi faktor komitmen organisasional dan efikasi diri dalam usaha meningkatkan kinerja manajerial. Oleh karena itu, kondisi ini menuntut pengelolaan yang baik terhadap faktor komitmen organisasional dan efikasi diri agar kinerja manajerial dapat dioptimalkan. Terkait dengan faktor komitmen organisasional, maka faktor komitmen organisasional dalam kenyataannya memang diperlukan untuk menghasilkan kinerja yang prima. Komitmen organisasional merefleksikan keterikatan emosional, rasional dan normatif seseorang atau sekelompok orang pada sebuah organisasi
198
yang dilandasi oleh keinginan, kebutuhan dan keharusan untuk berada di dalam sebuah organisasi, identifikasi diri, loyalitas yang kuat terhadap organisasi dan sikap saling menghargai di antara anggota organisasi. Perspektif ini menunjukkan para anggota organisasi berusaha melibatkan diri pada kegiatan organisasi dan mengerahkan segenap kemampuannya guna mencapai tujuan organisasi. Dengan keterikatan ini, anggota organisasi memiliki tekad yang kuat untuk mencapai tujuan organisasi sehingga berpeluang besar untuk menunjukkan kinerja terbaiknya. Temuan ini konsisten dengan penelitian-penelitian terdahulu yang menunjukkan adanya pengaruh komitmen organisasional terhadap kinerja. Penelitian yang dilakukan Allen dan Meyer sebagaimana dikutip oleh Vandenabeele (2009) menyebutkan bahwa komponen komitmen organisasi afektif dan normatif memiliki pengaruh terhadap kinerja individu. Mowday, Porter, dan Steers yang dikutip Francesco and Chen (2004) dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa komitmen organisasional dapat mendorong karyawan untuk lebih terikat terhadap organisasi dan melakukan upaya-upaya atas nama organisasi. Hal itu lebih lanjut dapat mengarahkan pada peningkatan kinerja. Demikian pula dengan penelitian Jaramillo, Mulki, dan Marshall (2005), Shaw, Delery dan Abdulla (2003), Nouri dan Parker (1998) juga memperlihatkan hasil bahwa komitmen organisasional berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Hasil penelitian tersebut semakin memperjelas adanya pengaruh komitmen organisasional terhadap kinerja. Sementara dalam hubungannya dengan efikasi diri, maka faktor ini juga memiliki peran penting dalam proses penyelesaian pekerjaan. Efikasi diri merupakan perasaan mampu bahwa individu dapat menuntaskan kesulitan atas pekerjaan yang dihadapi. Efikasi diri dibu-
Alifuddin, Pengaruh Motivasi.....
tuhkan dalam bekerja karena merefleksikan keyakinan individu tentang kemampuannya menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif, dan cara bertindak yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan tugas. Keyakinan ini antara lain terwujud dalam bentuk pemilihan perilaku, usaha motivasi, keteguhan, aspirasi tujuan, insentif pada harapan hasil, dan kesempatan maju. Individu yang mempunyai keyakinan tinggi mampu menuntaskan pekerjaan sehingga cenderung berhasil menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan baik. Signifikansi efikasi diri dalam menentukan kinerja juga telah dibuktikan secara empiris oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Goleman (1998) terhadap 112 akuntan tingkat pemula, diketahui sebagian di antaranya memiliki efikasi diri tertinggi sepuluh tahun kemudian diangkat oleh pengawas karena telah melakukan kinerja terbaik. Dengan demikian, studi ini semakin memperkuat temuan terdahulu tentang signifikansi faktor efikasi diri dalam mempengaruhi kinerja. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari tiga variabel bebas yang diteliti, secara parsial yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajerial adalah komitmen organisasional dan efikasi diri, sedangkan secara simultan motivasi berprestasi, komitmen organisasional dan efikasi diri berpengaruh signifikan. Komitmen organisasional memiliki pengaruh paling dominan terhadap kinerja manajerial. Temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan komitmen organisasional dan efikasi diri akan berimplikasi secara signifikan terhadap kinerja manajerial. Demikian pula sebaliknya, penurunan komitmen organisasional dan efikasi diri akan berdampak signifikan terhadap menurunnya kinerja manajerial.
Dengan kondisi seperti itu, maka hasil penelitian ini menguatkan teori bahwa faktor komitmen organisasional dan efikasi diri sebagai anteseden kinerja manajerial. Oleh karena itu, implikasi dari hasil penelitian ini adalah: pertama, khususnya bagi praktisi manajemen sumber daya manusia lembaga kursus akan memandang faktor komitmen organisasional dan efikasi diri sebagai faktor strategis dalam mewujudkan visi dan misi organisasi. Kedua faktor tersebut juga dinilai sebagai faktor kunci sukses (key success factor) organisasi, sehingga akan ada tindakan-tindakan yang kongkrit dari pihak manajemen dalam mengoptimalkan komitmen organisasional dan efikasi diri. Kedua, pimpinan pusat lembaga kursus bertindak proaktif dalam menanamkan rasa memiliki (sense of belonging) organisasi pada setiap pimpinan lembaga kursus. Faktor rasa memiliki menjadi pilar penting dalam mempekuat komitmen organisasional. Rasa memiliki tesebut antara lain dapat ditumbuhkan dengan cara memenuhi kebutuhan pimpinan lembaga kursus mulai dari kebutuhan pokok sampai dengan kebutuhan aktualisasi diri. Ketiga, pimpinan pusat lembaga kursus mengoptimalkan peran kepemimpinannya, terutama peran dalam menanamkan visi dan motivasi. Penanaman visi harus lebih diintensifkan agar pimpinan lembaga kursus memiliki ikatan yang lebih kuat pada organisasi sehingga mau berusaha secara maksimal dalam merealisasikan visi organisasi. Usahausaha motivasional oleh pimpinan juga harus dilakukan, seperti memberikan pujian, memberikan reward kepada pimpinan lembaga kursus yang berprestasi, pengembangan diri dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya. Upaya ini dilakukan agar para pimpinan lembaga kursus bersedia memberikan umpan balik kepada organisasi berupa loyalitas dan kerja keras untuk kepentingan organisasi.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
199
Upaya lain yang tidak kalah penting untuk dilakukan pimpinan yaitu menunjukkan komitmen tinggi terhadap organisasinya dan memberikan teladan terhadap nilai-nilai budaya yang akan ditanamkan. Pemberian teladan ini sangat dibutuhkan yang kemudian akan menentukan keberhasilan dalam menumbuhkan komitmen. Keempat, tumbuhnya kesadaran dalam diri pimpinan lembaga kursus tentang pentingnya efikasi diri untuk keberhasilan dalam menjalankan tugastugas manajerial. Dengan tumbuhnya kesadaran tersebut, maka pimpinan akan berupaya proaktif untuk meningkatkan efikasi dirinya. Pimpinan akan terdorong untuk meningkatkan efikasi dirinya, baik melalui belajar secara otodidak maupun mengikuti berbagai kegiatan dan pelatihan yang ada kaitannya dengan upaya meningkatkan efikasi diri. Pimpinan juga akan tergerak untuk terus meningkatkan kompetensi di bidang kerjanya. Dengan penguasaan yang baik dalam bidang kerjanya, maka pimpinan akan siap untuk menghadapi berbagai tantangan dan memiliki keyakinan yang kuat untuk menghadapi berbagai persoalan kerja.
Francesco, A. M. and Chen, Z. X. 2004. Collectivism in action: its moderating effects on the relationship between organizational commitment and employee performance in China, Journal of Group Organization Management; 29.
DAFTAR PUSTAKA
Looney, Clayton A., Joseph A. Valaich and Asli Y. Akbulut. 2004. Online Investment Self-Efficacy Development and Initial Test of an Instrument to Asses Perceived Online Investing Abilities, Proceedings of the 37th Hawai International Conference on System Sciences.
Bandura, A. 1997 Self Efficacy: The Exercise of Control W.H. Freeman and Company New York.
Goleman, D. 1998. Working with Emotional Intelligence. New York: Bantam Books. Hersey, Paul and Ken Blanchard. 1994. Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Houston, D. J. 2000. Public Service MotivationA Multivariate Test. Journal of Public Administration Research Theory. Oct 1, 1-19. Jaramillo, Fernando. Jay Prakash Mulki. and Greg W. Marshall. 2005. A meta-analysis of the relationship between organizational commitment and salesperson job performance: 25 years of research. Journal of Business Research, Vol. 58.
Benkhoff. 1997 “Ignoring Commitment Is Costly: New Approaches Establish the Missink Link Between Organizational Commitment and Performance” Human Relations 50 (6).
Luthans, Fred. 2008. Organizational Behavior. Boston: McGraw-Hill.
Dafna, K. 2008 “Managerial performance and business success Gender differences in Canadian and Israeli entrepreneurs” Journal of Enterprising Communities: People and Places in the Global Economy 2 (4) 300-331.
Nouri, H. and and R. J. Parker. 1998. The relationship between budget participation and job performance: the roles of budget adequacy and organizational commitment. Accounting Orgnnizatiom and Society, Vol. 23. No 5/6.
200
Alifuddin, Pengaruh Motivasi.....
Selden, S. C. 2002. Work Motivation in the Senior Executive Service Testing the High Performance Cycle theory. Journal of Public Administration Research Theory. July 1, 1-23.
Shaw, Delery & Abdulla. 2003. Organizational Commitment and Performance Among Guest Workers and Citizens of An Arab Country. Journal of Business Research, Vol. 56.
Sharma, Dheeraj, Shaheen Borna, and James M. Stearns. 2009. “An Investigation of the Effects of Corporate Ethical Values on Employee Commitment and Performance: Examining the Moderating Role of Perceived Fairness,” Journal of Business Ethics, 89, 251–260.
Vandenabeele, Wouter. 2009. The mediating effect of job satisfaction and organizational commitment on self-reported performance: more robust evidence of the PSM_performance relationship, International Review of Administrative Sciences, 75; 11.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
201
DETERMINASI PENERIMAAN OPINI AUDIT GOING CONCERN (Studi Empiris : Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI 2007-2011) Benni Antoni Parulian P1 Peni Sawitri2 Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Gunadarma Jl. Margonda Raya 100 – Depok 16424
[email protected] [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penentu perusahaan menerima opini audit going concern seperti kualitas audit, opini audit tahun sebelumnya, proporsi komisaris independen, kondisi keuangan, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, serta profitabilitas. Sampel diperoleh dengan metode sampling purposive dan diperoleh 155 data observasi dari tahun 2007-2011. Pengujian regresi logistik model yang dilakukan tiga kali karena variabel dikategorikan menjadi variabel non keuangan dan variabel keuangan, serta membandingkan model kondisi keuangan yaitu Revised Altman dan Springate Model. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel opini audit tahun sebelumnya, kondisi keuangan, serta profitabilitas berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Model Revised Altman adalah model yang lebih tepat dalam menunjukkan kondisi keuangan sebenarnya yang mempengaruhi penerimaan opini audit going concern. Kata kunci: going concern, regresi logistic, revised altman, springate model.
DETERMINANT OF ACCEPTANCY OF GOING CONCERN AUDIT OPINION. Abstract This study aimed to examine the determinants know the company received a going concern audit opinion as quality audits, the previous year’s audit opinion, proportion of independent commissioners, financial condition, company growth, company size, and profitability. Samples obtained by purposive sampling method and obtained 155 observations from years 2007-2011. Logistic regression model testing performed three times because variables are categorized into non-financial variables and financial variables, and comparing models of financial condition that is Revised Altman and Springate Model. The results of this study indicate that the variables in the previous audit opinion, financial condition and profitability affect the revenue going concern audit opinion. Revised Altman model is more appropriate model in showing the actual financial condition that affects revenue going concern audit opinion. Keywords: going concern, logistic regression, revised altman, springate model.
PENDAHULUAN Kondisi perekonomian suatu negara dapat ditandai dengan pergerakan dunia bisnis di negara tersebut. Dunia bisnis dijadikan sebagai indikator utama untuk melihat
202
apakah kondisi perekonomian negara itu dalam keadaan baik atau buruk Memburuknya pergerakan dunia bisnis dapat mengakibatkan kelangsungan hidup suatu usaha terganggu bahkan dapat mengarah kebangkrutan. Gejolak memburuknya
Parulian P, Determinasi Penerimaan.....
pergerakan dunia bisnis diawali dengan krisis keuangan yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 yang melanda beberapa negara Asia termasuk Indonesia membawa dampak yang signifikan terhadap keberadaan entitas bisnis di Indonesia. Perekonomian mengalami keterpurukan, sehingga banyak perusahaan yang gulung tikar karena tidak bisa melanjutkan usahanya. Kelangsungan hidup usaha (going concern) selalu dihubungkan dengan kemampuan manajemen dalam mengelola perusahaan agar bertahan hidup. Oleh karena itu adalah wajar jika kesalahan pertama ditujukan kepada pihak manajemen. Namun Ishak (1999) dalam Ramadhany (2004) berpendapat bahwa tuduhan kesalahan juga sangat berpotensi melebar kepada auditor. Akibatnya terjadi peningkatan jumlah perusahaan yang mendapatkan opini audit Qualified going concern dan Disclaimer pada tahun 1998. Fenomena yang terjadi pada kasus bangkrutnya perusahaan energi Enron merupakan salah satu contoh terjadinya kegagalan bisnis di Amerika. Hal ini terjadi karena adanya skandal akuntansi yang melibatkan pihak manajemen dan auditor eksternal. KAP Arthur Andersen dipersalahkan sebagai penyebab terjadinya kebangkrutan Enron dan divonis pihak pengadilan karena melakukan mark up pendapatan dan menyembunyikan hutang lewat business partnership (Ramadhany, 2004). Kasus Enron sangat memukul profesi akuntan terutama akuntan publik. Fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan banyak dari perusahaan yang go public menerima opini audit going concern. Reputasi sebuah kantor akuntan publik dipertaruhkan ketika opini yang diberikan ternyata tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sesungguhnya. Berbagai penelitian mengenai audit going concern telah dilakukan di beberapa lokasi. Penelitian berikut merupakan kelanjutan penelitian-penelitian terdahulu
yang telah memperoleh simpulan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi audit going concern. Salah satunya Hany et al. (2003) meneliti perusahaan perbankan di BEJ menemukan bahwa dengan adanya going concern maka suatu usaha perbankan dianggap mampu mempertahankan kegiatan usaha-nya dalam jangka waktu panjang, tidak dilikuidasi dalam jangka waktu pendek. Sementara itu Setiawan (2006) menyatakan bahwa going concern sebagai asumsi bahwa perusahaan dapat mempertahankan hidupnya (going concern) secara langsung akan mempengaruhi laporan keuangan. Laporan keuangan yang disiapkan menggunakan dasar going concern kemungkinan akan berbeda secara substansial dengan laporan keuangan yang disiapkan pada asumsi bahwa perusahaan tidak going concern. Laporan keuangan yang disiapkan pada dasar going concern mengasumsikan bahwa perusahaan akan bertahan melebihi jangka waktu pendek. Fanny dan Saputra (2005) menyebutkan bahwa ada beberapa kriteria perusahaan menerima opini going concern apabila mempunyai masalah pada pendapatan, reorganisasi, ketidak-mampuan dalam membayar bunga, menerima opini going concern pada tahun sebelumnya, dalam proses likuidasi, modal yang negatif, arus kas negatif, pendapatan operasi negatif, modal kerja negatif, 2 sampai 3 tahun berturut-turut rugi, laba ditahan negatif. Penelitian Setyarno et al (2006) menguji pengaruh kualitas audit, kondisi keuangan perusahaan, opini audit tahun sebelumnya, pertumbuhan perusahaan terhadap opini audit going concern. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa hanya opini audit tahun sebelumnya dan kondisi keuangan perusahaan yang berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern, sedangkan untuk variabel kualitas audit dan pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
203
Dalam penelitian Meliyanti (2011) menemukan menunjukkan bahwa adanya variabel debt default, kondisi keuangan dan opini audit tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap pene-rimaan opini audit going concern, sedangkan variabel kualitas audit, opinion shopping, audit lag tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern. Variabel lain yang diduga mempengaruhi opini audit going concern adalah reputasi auditor menunjukkan prestasi dan kepercayaan publik yang disandang auditor atas nama besar yang dimiliki auditor tersebut. Craswell et al (1995) dalam Fanny dan Saputra (2005) menyatakan bahwa klien biasanya mempersepsikan bahwa auditor yang berasal dari KAP besar dan yang memiliki afiliasi dengan KAP internasional yang memiliki kualitas yang lebih tinggi karena auditor tersebut memiliki karakteristik yang dapat dikaitkan dengan kualitas, seperti pelatihan, pengakuan internasional, serta adanya peer review. Auditor yang memiliki reputasi dan nama besar dapat menyediakan kualitas audit yang lebih baik, termasuk dalam mengungkapkan masalah going concern demi menjaga reputasi mereka. Keterkaitan opini audit going concern tahun sebelumnya menjadi faktor pertimbangan penting auditor untuk mengeluarkan kembali opini audit going concern pada tahun berikutnya. Apabila auditor menerbitkan opini audit going concern tahun sebelumnya maka semakin besar kemungkinan perusahaan menerima kembali opini audit going concern pada tahun berjalan. Carcello dan Neal (2000) dalam Setyarno et al (2006) memberikan bukti bahwa setelah auditor mengeluarkan opini going concern, peru-sahaan harus menunjukkan peningkatan keuangan yang signifikan untuk memperoleh opini bersih pada tahun berikutnya. Jika tidak mengalami peningkatan keuangan maka pengeluaran opini audit
204
going concern dapat diberikan kembali. Demikian pula dengan keberadaan komisaris independen membawa pengaruh yang positif bagi perusahaan dengan laporan keuangan yang berkualitas. Dewan Komisaris yang independen secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga mempengaruhi kemungkinan tidak terjadinya kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen. Dengan keberadaan komisaris independen, diharapkan informasi yang disampaikan dalam laporan keuang-an tersebut sesuai dengan kondisi ekonomi perusahaan. Semakin baiknya kondisi ekonomi perusahaan, maka semakin baik pula kelangsungan hidup perusahaan. Keberadaaan komisaris independen tlah diatur Bursa Efek Jakarta tanggal 1 juli 2000. Dimana jumlah minimal Komisaris Independen adalah 30 persen dari seluruh anggota Dewan Komisaris. Tingkat kesehatan suatu perusahaan dapat dilihat dari kondisi keuangan perusahaan. Perusahaan yang mempunyai kondisi keuangan yang baik maka auditor tidak akan mengeluarkan opini audit going concern (Ramadhany, 2004). Carcello dan Neal (2000) dalam Setyarno et al (2006) dalam penelitiannya mengenai komposisi komite audit dan laporan auditor menyatakan bahwa semakin kondisi keuangan perusahaan terganggu atau memburuk maka semakin besar perusahaan menerima opini audit going concern dari auditor. Kondisi keuangan perusahaan. Hal ini diperkuat oleh penelitian Chandrarin (2003) mengindikasi bahwa investor akan merespon berbeda pada perusahaan yang menggunakan metode akuntansi yang berbeda untuk keuntungan/kerugian transaksi di pasar modal. Mengacu pada penelitian sebelumnya, Arga dan Wedari (2007) yang mengukur kondisi keuangan perusahaan dengan empat model prediksi kebangkrutan, yaitu: (1) The Zmijeski
Parulian P, Determinasi Penerimaan.....
Model (1984), (2) The Altman Model (1968), (3) Revised Altman Model (1993), dan (4) The Springate Model (1978). Maka dalam penelitian ini menggunakan dua model prediksi kebangkrutan sebagai tolok ukur kondisi keuangan suatu perusahaan, yaitu adalah Revised Altman Model (1993), dan The Springate Model (1978). Penelitian Arga (2007) ini menemukan bahwa model kebangkurtan dari The Zmijeski kurang tepat untuk digunakan sebagai proksi kondisi keuangan perusahaan. Hal ini disebabkan tidak semua perusahaan yang bangkrut menerima opini going concern. Pertumbuhan perusahaan juga sering dikaitkan dengan penerimaan opini audit going concern. Perusahaan yang mempunyai pertumbuhan penjualan yang tinggi cenderung memiliki laba yang tinggi serta memilki laporan sewajarnya, sehingga potensi untuk mendapatkan opini yang baik (opini non going concern) lebih besar. Sebagaimana hasil penelitian Atmini (2002) menunjukkan bahwa nilai pasar ekuitas perusahaan pada tahap pertumbuhan dipengaruhi oleh laba dan arus kas pendanaan. Penelitiannya menunjukkan hasil bahwa laba dan arus kas pendanaan mempunyai nilai yang relevan pada tahap pertumbuhan sedangkan arus kas investasi mempunyai nilai yang relevan di tahap mature. Sesudah perusahaan ada di tahap mature maka akan mengalami penurunan yang dapat ditunda dengan menghasilkan laba positif dan memiliki arus kas pendanaan yang positip, sehingga dapat digunakan untuk membiayai investasi besar yang akan dilakukan oleh perusahaan dan investor akan menilai perusahaan tersebut mempunyai prospek yang bagus di masa depan dan opini audit going concern bukan lagi ancaman. Sementara itu, Altman (1968) dalam Petronela (2004) mengemukakan bahwa perusahaan dengan negative growth mengindikasikan kecenderungan yang lebih besar kearah kebangkrutan
sehingga perusahaan yang laba tidak akan mengalami kebangkrutan. Karena kebangkrutan merupakan salah satu dasar bagi auditor untuk memberikan opini audit going concern maka perusahaan yang mengalami pertumbuhan perusahaan yang negatif akan makin tinggi kecenderungan untuk menerima opini going concern. Sama halnya dengan pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan juga sering dihubung-hubungkan dengan penerimaan opini audit going concern. McKeown et al, (1991) dalam Januarti (2006) mengatakan bahwa perusahaan besar lebih banyak menawarkan fee audit tinggi dari pada yang ditawarkan oleh perusahaan kecil. Dalam kaitannya mengenai kehilangan fee audit yang signifikan tersebut, sehingga auditor mungkin ragu untuk mengeluarkan opini audit going concern pada perusahaan besar. Mutchler (1985) dalam Fanny dan Saputra (2005) menyatakan bahwa auditor lebih senang mengeluarkan opini audit going concern pada perusahaan kecil, karena auditor mempercayai bahwa perusahaan besar dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan keuangan yang dihadapinya dari pada perusahaan kecil. Rasio profitabilitas merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba pada tingkat penjualan, asset, dan modal (Susanto, 2009). Dalam penelitian ini, proksi yang digunakan pada rasio profitabilitas adalah ROA (return on assets). ROA (return on assets) digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam meng-hasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Semakin tinggi profitabilitas perusahaan maka semakin menunjukkan kondisi keuangan suatu perusahaan yang baik. Hal tersebut tidak memungkinkan audior memberikan opini audit going concern. Penelitian ini dilakukan untuk menguji kembali beberapa faktor – faktor dalam penelitian terdahulu yang mempengaruhi penerimaan opini audit going
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
205
concern seperti kualitas audit, opini audit tahun sebelumnya, proporsi komisaris independen, kondisi keuangan, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan serta profitabilitas, khususnya pada perusahaan manufaktur. Dengan demikian maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah faktor kinerja non keuangan seperti kualitas audit, opini audit tahun sebelumnya, dan proporsi komisaris independen berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern ? 2. Apakah faktor kinerja keuangan seperti kondisi keuangan perusahaan, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, dan profitabilitas berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern ? 3. Manakah yang lebih menunjukkan keadaan kesehatan perusahaan dalam penelitian ini berpengaruh terhadap pemberian opini audit going concern dengan membandingkan metode Resived Altman dan Springate Model ? METODE PENELITIAN Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2007 sampai 2011. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 31 perusahaan untuk masing-masing periode. Jumlah data dalam penelitian ini adalah sebanyak 155 perusahaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berbentuk laporan keuangan yang ada di Bursa Efek Indonesia, laporan opini auditor independen. Semua data tersebut diperoleh dari halaman web a. Revised Altman
(website) resmi Bursa Efek Indonesia www.idx.co.id. Operasionalisasi Variabel Penelitian 1. Opini Audit Going Concern Termasuk dalam opini going concern (GC) ini adalah opini GC unqualified with explanatory language, qualified opinion atau disclaimer opinion. Sedangkan opini audit selain GC dikategorikan kedalam opini non going concern (NGC), yaitu opini audit modifikasi (atau tidak modifikasi) atau unqualified opinion (unqualified bentuk standar). Pada opini GC diberi kode 1, sedangkan opini NGC diberi kode 0. 2. Kualitas Audit Apabila KAP yang mengaudit laporan keuangan perusahaan termasuk KAP BIG FOUR maka diberi kode 1, sedangkan untuk selain KAP BIG FOUR diberi kode 0. 3. Opini Audit Tahun Sebelumnya Apabila pada tahun sebelumnya terdapat opini GC diberi kode 1, sedangkan opini NGC diberi kode 0. 4. Proporsi Komisaris Independen Dikemukakan bahwa perusahaan yang listed di Bursa harus mempunyai Komisaris Independen yang secara proporsional sama dengan jumlah saham yang dimiliki pemegang saham yang minoritas (bukan controlling shareholders). Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal Komisaris Independen adalah 30 persen dari seluruh anggota Dewan Komisaris. 5. Kondisi Keuangan Perusahaan Dalam penelitian ini kondisi keuangan perusahaan diproksikan dengan menggunakan model prediksi kebangkrutan Revised Altman dan Springate Model.
Z = 0,717 Z1 + 0,847 Z2 + 3,107 Z3 + 0,420 Z4 + 0,998 Z5
Dimana:
206
Parulian P, Determinasi Penerimaan.....
Z1 : Working capital to Total Asset (Modal Kerja / Total Aktiva). Z2 : Retained earnings to Total Asset (Laba ditahan / Total Aktiva). Z3 : Earnings before interest and tax to Total asset (Laba sebelum dipotong bunga dan pajak / Total Aktiva). Z4 : Book value of equity to Book value of debt (Nilai buku total ekuitas / Nilai buku total hutang). Z5 : Sales to Total Asset (Penjualan / Total Aktiva). bangkrut. Jika nilai 1,23 < Z < 2,9 maka termasuk grey area (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan). Sedangkan jika nilai Z > 2,9 maka termasuk perusahaan yang tidak bangkrut.
Nilai Z diperoleh dengan menghitung ketiga rasio tersebut berdasarkan data pada neraca dan laporan laba/rugi dikalikan dengan koefisien masing – masing rasio kemudian dijumlahkan hasilnya. Jika nilai Z < 1,23 maka termasuk perusahaan yang b. Springate Model Z = 1,03A + 3,07B + 0,66C + 0,4D
Dimana: A : Working capital to Total asset B : Net profit before interest and taxes to Total asset C : Net profit before taxes to Current liabilities D : Sales to Total asset Adapun klasifikasi perusahaan yang tidak sehat atau bangkrut didasarkan pada nilai z dengan model springate model, yaitu Z < 0,862.
Dalam penelitian ini, variabel pertumbuhan perusahaan dilihat dengan pertumbuhan penjualan perusahaan setiap tahunnya.
6. Pertumbuhan Perusahaan Pertumbuhan penjualant = penjualant - penjualant-1 penjualant-1
Dimana: Penjualant Penjualant-1
: Penjualan bersih tahun sekarang : Penjualan bersih tahun sebelumnya
7. Ukuran Perusahaan Pengukuran variabel dihitung dengan menggunakan total aktiva dalam rupiah dan data di log/natural logaritma (Ln) agar dapat menyederhanakan perhitungan. 8. Profitabilitas Profitabilitas dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan return on asset (ROA). ROA diukur ber-
dasarkan perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan total aktiva. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan regresi logistik (logistic regression). Menurut Wing Wahyu Winarno (2009) apabila variabel
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
207
kategorik digunakan didalam variabel independen (baik disertai bersama data numeric ataupun kategorik lainnya) masih dapat digunakan regresi OLS, namun apabila yang menggunakan data kategorik adalah variabel dependen, maka analisis regresinya tidak dapat menggunakan regresi dengan OLS melainkan dengan analisis regresi dengan variabel kategorik, yaitu Logit. Dalam penelitian ini, data disajikan dengan tiga model regresi logistik. Pada model regresi logistik pertama, penulis menganalisis dan menguji apakah faktor kinerja non keuangan seperti kualitas auditor, opini audit tahun sebelumnya dan proporsi komisaris independen berpengaruh terhadap pemberian opini audit going concern pada tahun pengamatan dari 2007-2011. Pada model
regresi logistik kedua, penulis menganalisis dan menguji apakah faktor kinerja keuangan seperti kondisi keuangan, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, dan profitabilitas berpengaruh terhadap pemberian opini audit going concern pada tahun pengamatan dari 2007-2011. Sedangkan pada model regresi yang ketiga penulis menganalisis dan membandingkan antara metode revised altman dengan springate model, sebagai proksi kondisi keuangan manakah yang lebih menunjukkan keadaan kesehatan perusahaan dan berpengaruh terhadap pemberian opini audit going concern, pada tahun pengamatan dari 2007-2011. Dan model pertama regresi logistik yang digunakan dalam penulisan ini, adalah sebagai berikut:
Ln GC = Į + ȕKualitasit + ȕOpinieit + ȕInd_Commit + €it 1 – GC
Model regresi logistik yang kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Ln GC = Į + ȕRevisedit + ȕSpringateit + ȕTumbuhit + ȕUkuranit + ȕROAit + €it 1 – GC
Sedangkan model regresi logistik yang ketiga dalam penulisan ini dengan menguji dan membandingkan proksi kondisi keuangan perusahaan adalah sebagai berikut: Ln GC = Į + ȕRevisedit + ȕSpringateit + €it 1 – GC
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Menguji Model Fit (Overal Model Fit Test) Uji model fit ini diigunakan untuk menilai model yang telah dihipotesiskan telah fit atau tidak dengan data. Pengujian
208
ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai antara -2 log likelihood pada awal (block number = 0) dengan nilai -2 log likelihood pada akhir (block number = 1). Nilai -2 log likelihood awal pada block number = 0, ditunjukkan melalui tabel 1 berikut ini:
Parulian P, Determinasi Penerimaan.....
Tabel 1. Ringkasan Hasil Uji Model Fit Tahun 2007-2011
THE FIRST REGRESSION (Non Keuangan)
í 2 LL Awal í 2 LL Akhir
Iteratio n
í 2 log likelihood
THE SECOND REGRESSION (Keuangan) Iteratio n
í 2 log likelihood
THE THIRD REGRESSION Iteratio n
í 2 log likelihoo d
3
184.937
3
184.937
3
184.937
6
82.518
6
139.998
6
149.752
Sumber: Data Sekunder yang telah diolah,2012
Perubahan tersebut terjadi setelah masuknya beberapa variabel independen pada model penelitian, adanya pengurangan nilai antara – 2LL awal dengan nilai –2LL akhir menunjukkan bahwa model yang dihipotesiskan fit dengan data (Ghozali, 2006).
Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai – 2 Log Likelihood awal untuk pengujian regresi pertama, kedua, dan ketiga memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 184,937 pada iteration tiga. Namun, pada nilai –2 Log Likelihood akhir untuk regresi model pertama, kedua, dan ketiga mengalami penurunan yang berbeda pada iteration enam. Pada regresi pertama nilai –2 Log Likelihood akhir sebesar 82,518, untuk regresi kedua nilai –2 Log Likelihood akhir sebesar 139,998, dan regresi ketiga nilai –2 Log Likelihood akhir sebesar 149,752.
B. Menguji Kelayakan Model Regresi Dalam pengujian kelayakan model regresi logistik dapat dilakukan dengan menggunakan Goodness of Fit Test yang diukur dengan nilai Chi-Square pada bagian bawah uji Hosmer and Lemeshow.
Tabel 2. Ringkasan Hasil Uji Kelayakan Model Regresi Tahun 2007-2010
Chisquare df sig
THE FIRST REGRESSION (Non Keuangan)
THE SECOND REGRESSION (Keuangan)
THE THIRD REGRESSION
10.718 8 0.179
12.636 8 0.125
15.375 8 0.052
Sumber: Data Sekunder yang telah diolah,2012
Tabel 2 menunjukkan hasil dari Hosmer and Lemeshow’s Goodness of fit test, untuk pengujian regresi yang pertama, kedua, dan ketiga memiliki nilai signifikan sebesar 0,179; 0,125; dan 0,052. Nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari 0.05, maka hipotesis nol tidak dapat ditolak (diterima) yang berarti
tidak terdapat perbedaan yang nyata antara model dengan nilai-nilai observasinya sehingga model dapat memprediksi hasil observasi dengan baik. Hal ini berarti model regresi layak untuk digunakan dalam analisis selanjutnya baik dengan model pertama, kedua, dan ketiga.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
209
C. Koefisien Determinasi Tabel 3. Ringkasan Hasil Uji Determinan R2
− 2 log likelihood Cox&Snell R Square Nagelkerke R Square
THE FIRST REGRESSION (Non Keuangan) 82.518
THE SECOND REGRESSION (Keuangan) 139.998
0.484
0.252
0.203
0.694
0.361
0.291
THE THIRD REGRESSION 149.572
Sumber: Data Sekunder yang telah diolah,2012
Pada tabel 3 nilai R2 untuk model regresi yang pertama memiliki nilai 0,694 yang berarti variabilitas variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabelvariabel independen adalah sebesar 69,4 persen, sisanya sebesar 30,6 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lainnya diluar model. Sedangkan untuk nilai R2 untuk pengujian model regresi kedua lebih tinggi dibandingkan regresi pertama, nilai R2 pada model regresi kedua memiliki nilai 0,361 yang berarti variabilitas variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen adalah sebesar 36,1 persen, sisanya sebesar 63,9 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lainnya diluar model.
Pada pengujian model regresi ketiga nilai R2 lebih rendah jika dibandingkan dengan regresi pertama, dan kedua yaitu sebesar 0,291 yang berarti variabilitas variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen adalah sebesar 29,1 persen, sisanya sebesar 70,9 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lainnya diluar model. D. Pengujian Hipotesis Dalam hasil pengujian hipotesis ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh dari variabel-variabel bebas terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan. Pengujian dengan regresi logistik ditunjukkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4. Ringkasan Hasil Regresi Binary Logistic
THE FIRST THE SECOND REGRESSION REGRESSION (Non Keuangan) (Keuangan) B Sig. B Constant -4.139 0.005 Constant -6.629 -0.923 Revised Kualitas -0.346 0.651 0.881 Springate Tumbuh -1.193 Opini 4.810 0.000 Ukuran 0.210 Ind_Comm 0.044 0.235 ROA -4.063
THE THIRD REGRESSION Sig. 0.144 0.000 0.038 0.064 0.205 0.023
Constant
B Sig. -0.749 0.000
Revised
-0.792 0.000
Springate
0.247
0.435
Sumber: Data Sekunder yang telah diolah,2012
Tabel 4 menunjukkan hasil pengujian dengan regresi logistik pada tingkat signifikansi 5%. Variabel kualitas audit
menunjukkan nilai koefisien negatif sebesar 0,346 dengan probabilitas variabel sebesar 0,651 di atas tingkat signi-
fikansi 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas audit tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Hasil ini tidak mendukung penelitian yang telah dilakukan oleh Puji Rahayu (2007) menunjukkan bahwa kantor akuntan publik besar lebih banyak mengeluarkan opini going concern dibandingkan kantor akuntan publik kecil. Kantor akuntan publik besar memiliki insentif yang lebih untuk menghindari kritikan kerusakan reputasi dibandingkan kantor akuntan publik kecil. Sehingga kantor akuntan publik besar akan mengungkapkan masalah kliennya termasuk masalah going concern. Namun penelitian ini mendukung penelitian Setyarno et al (2006), yang mengatakan kualitas auditor tidak mempengaruhi penerimaan opini audit going concern. Dengan demikian, ini membuktikan bahwa reputasi audit baik skala besar atau kecil telah bersikap objektif dalam memberikan opini audit going concern pada perusahaan yang diaudit laporan keuangannya. Variabel opini audit tahun sebelumnya menunjukkan nilai koefisien positif sebesar 4,810 dengan probabilitas variabel sebesar 0,000 di bawah tingkat signifikansi 0,05. Hal ini membuktikan bahwa opini audit tahun sebelumnya berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Opini audit sebelumnya memicu untuk memberikan opini audit going concern yang sama ditahun berikutnya. Hal ini dikarenakan proses audit selalu merujuk pada proses audit dan data-data tahun sebelumnya. Sehingga, auditor cenderung mengeluarkan opini audit going concern juga pada tahun sekarang, jika pada tahun sebelumnya suatu entitas mendapatkan opini audit going concern. Penelitian ini konsisten dengan hasil yang dilakukan Arga Fajar Santosa dan Linda Kusumaning Wedari (2007), yang menemukan hubungan kuat antara opini audit tahun sebelumnya
dengan pener-bitan opini audit going concern. Variabel proporsi komisaris independen menunjukkan nilai koefisien positif sebesar 0,044 dengan probabilitas variabel sebesar 0,235 di atas tingkat signifikansi 0,05 (5 persen). Dengan demikian terbukti bahwa proporsi komisaris independen tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Ini membuktikan, meskipun terdapat banyak sampel perusahaan yang memiliki jumlah proporsi komisaris indpenden lebih dari 30 persen dalam fungsi pengawasan belum menjamin untuk tidak memicu penerbitan opini audit going concern, karena kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor lainnya baik internal maupun eksternal. Variabel kondisi keuangan perusahaan dengan proksi revised altman menunjukkan nilai koefisien negatif sebesar -0,923 dengan probabilitas variabel sebesar 0,000 di bawah tingkat signifikansi 0,05 (5 persen) pada model regresi pertama. Dengan demikian terbukti bahwa kondisi keuangan perusahaan dengan proksi revised altman berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Sedangkan pada model regresi kedua memiliki nilai koefisien negatif sebesar -0,792 dengan probabilitas variabel sebesar 0,000 di bawah tingkat signifikansi 0,05 (5 persen). Hal ini membuktikan bahwa model Revised Altman dianggap tepat sebagai proksi kondisi keuangan dalam penelitian ini. Penelitian ini selaras dengan Setyarno, et al (2007) yang menunjukkan bahwa model Revised Altman merupakan proksi yang baik digunakan untuk kondisi keuangan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi penerbitan opini audit going concern. Dimana secara empiris membuktikan perusahaan yang mengalami kesulitan dalam keuangan atau kondisi keuangan perusahaan dinyatakan
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
211
sakit, maka semakin besar auditor mengeluarkan opini audit going concern. Sementara variabel kondisi keuangan perusahaan dengan proksi Springate Model menunjukkan nilai koefisien positif sebesar 0,881 dengan probabilitas variabel sebesar 0,038 di bawah tingkat signifikansi 0,05 (5 persen) pada model regresi pertama. Dengan demikian terbukti bahwa kondisi keuangan perusahaan dengan proksi Springate Model berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Sedangkan pada model regresi kedua memiliki nilai koefisien positif sebesar 0,247 dengan probabilitas variabel sebesar 0,435 di atas tingkat signifikansi 0,05 (5 persen). Hal ini membuktikan bahwa model Springate Model dianggap kurang tepat sebagai proksi kondisi keuangan dalam penelitian ini. Berbeda dengan model Revised Altman yang menggunakan rasio kemampuan perusahaan membayar hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang. Status going concern suatu perusahaan itu sendiri selalu dikaitkan dengan mampu atau tidaknya perusahaan melunasi hutang jangka panjang maupun hutang jangka pendeknya. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Arga Fajar dan Linda Wedari (2007) yang mengatakan model kondisi keuangan perusahaan dengan proksi Springate Model berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern. Variabel pertumbuhan perusahaan dengan proksi pertumbuhan penjualan menunjukkan nilai koefisien negatif sebesar -1,193 dengan probabilitas variabel sebesar 0,064 di atas tingkat signifikansi 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Mokhamad Yogi .P (2010) yang membuktikan bahwa
212
pertumbuhan penjualan berpengaruh terhadap opini going concern. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan penjualan perusahaan baik pada perusahaan yang menerima atau tidak menerima opini going concern belum menjamin auditor untuk menerbitkan opini audit going concern. Perusahaan sampel dalam penelitian ini yang mengalami peningkatan dalam penjualan bersihnya, tetapi tidak diikuti dengan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba serta meningkatkan saldo labanya. Variabel ukuran perusahaan menunjukkan nilai koefisien positif sebesar 0,210 dengan probabilitas variabel sebesar 0,064 di atas tingkat signifikansi 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Hal ini disebabkan karena besar kecilnya ukuran perusahaan, tidak menjamin kelangsungan hidup perusahaan tersebut dimasa yang akan datang, karena baik perusahaan besar maupun kecil dalam penelitian ini mengalami masalah financial distress, sehingga perusahaan dengan ukuran besar maupun kecil dalam penelitian ini mendapatkan opini audit going concern. Pada penelitian ini menunjukkan adanya kemungkinan perusahaan sektor manufaktur dianggap perusahaan cukup besar, karena memiliki total aktiva yang besar sesuai dengan penelitian oleh Mutchler (1985) dalam Fanny dan Saputra (2005) yang menyatakan bahwa auditor lebih sering mengeluarkan opini audit going concern pada perusahaan kecil, karena auditor mempercayai bahwa perusahaan besar dapat menyelesaikan kesulitankesulitan keuangan yang dihadapinya daripada perusahaan kecil. Variabel profitabilitas dengan proksi ROA menunjukkan nilai koefisien negatif sebesar -0,463 dengan probabilitas variabel sebesar 0,023 di bawah tingkat signifikansi 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa profitabilitas tidak
Parulian P, Determinasi Penerimaan.....
berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Penelitian ini konsisten dengan penelitian Mokhamad Yogi .P (2010), yang menemukan variabel profitabilitas berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern. Artinya perusahaan yang memiliki ROA yang rendah, maka auditor cenderung mengeluarkan opini audit going concern. ROA yang rendah disebabkan karena manajemen kurang efektifitas dalam menggunakan sumber daya yang dimilki oleh perusahaan tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya dan pembahasan yang telah disajikan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Pada faktor kinerja non keuangan melalui proksi kualitas audit, opini audit tahun sebelumnya, dan proporsi komisaris independen, membuktikan bahwa hanya sebagian kecil yang berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern, yaitu variabel opini audit tahun sebelumnya. 2. Pada faktor kinerja keuangan melalui proksi kondisi keuangan perusahaan (Revised Altman dan Springate Model), pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, dan profitabilitas, membuktikan bahwa sebagian besar berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern, yaitu variabel kondisi keuangan dengan proksi Revised Altman dan Springate Model, serta variabel profitabilitas. 3. Dengan menguji dan membandingkan variabel kondisi keuangan dengan diproksikan oleh model revised altman, dan springate. Hanya variabel revised altman yang memiliki pengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern dan menunjukkan kondisi keuangan sebenarnya yang tepat untuk penelitian ini.
Saran Dengan berbagai telaah dan analisa yang telah dilakukan, serta berdasarkan kesimpulan peneliti, maka dapat diberikan saran sebagai berikut : 1. Kepada para investor dan calon investor yang hendak melakukan investasi sebaiknya berhati-hati dalam memilih perusahaan, terlebih dahulu para investor dan calon investor harus melihat laporan keuangan tahunan perusahaan yang telah di audit dengan melihat kinerja non keuangan perusahaan seperti kualitas audit, opini audit tahun sebelumnya, proporsi komisaris independen, serta kinerja keuangan perusahaan seperti kondisi keuangan dengan model revised altman dan springate model, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, dan profitabilitas. Faktorfaktor tersebut berpengaruh dalam penerimaan opini audit going concern, oleh karena itu sebaiknya para investor dan calon investor tidak berinvestasi pada perusahaan yang mendapat opini audit going concern. 2. Kepada manajemen perusahaan hendaknya dapat mengenali lebih dini tanda-tanda kebangkrutan usaha dengan melakukan analisa terhadap laporan keuangannya yaitu dengan melihat kinerja non keuangan perusahaan seperti kualitas audit, opini audit tahun sebelumnya, proporsi komisaris independen, serta kinerja keuangan perusahaan seperti kondisi keuangan dengan model revised altman dan springate model, pertumbuhan perusahaan, ukuran perusahaan, dan profitabilitas. Sehingga dapat mengambil kebijakan sesegera mungkin guna mengatasi masalah tersebut dan terhindar dari penerimaan opini audit going concern.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
213
DAFTAR PUSTAKA Arga
Fajar S., Linda Kusumaning Wedari, 2007. “Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Kecenderungan Penerimaan Opini Audit Going Concern”., JAAI Vol 11 No. 2, Desember, 141-158. Atmini, Sari, 2002. “Asosiasi Siklus Hidup Perusahaan dengan Incremental Value-Relevance Informasi Laba dan Arus Kas” Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol 5, No. 3 September 257-276. Chandrarin, Grahita, 2003. “ The Impact of Accounting Methods for Transaction Gains (Losses) on the Earning Response Coefficients : The Indonesian Case”, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol 6., No., 3 September, 217-231. Fanny, Margaretta dan Sylvia Saputra. 2005. “Opini Audit Going Concern: Kajian Berdasarkan Model Prediksi Kebangkrutan, Pertumbuhan Perusahaan, dan Reputasi Kantor Akuntan Publik (Studi Pada Emiten Bursa Efek Jakarta).” Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo. 970-971. Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariant dengan Program SPSS, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hany, Clearly dan Mukhlasin. 2003. “Going Concern dan Opini Audit: Suatu Studi pada Perusahaan Perbankan di BEJ.” Simposium Nasional Akuntansi VI. 12211233. Ikatan Akuntansi Indonesia. 2001. Stondor Profesional Akuntan Publik. Jakarta. Salemba Empat. Indira Januarti 2006 ”Analisis Pengaruh Faktor Perusahaan, Kualitas Auditor, Kepemilikan Perusahaan Terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern (Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di
214
Bursa Efek Indonesia)”, Working Paper SIAE Universitas Diponegoro. Meliyanti Yosephine Surbakti . 2011. “Faktor –faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Audit Going Concern (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia), Skripsi S1, Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Petronela, Thio. 2004. "Perkembangan Going Concern Perusahaan Dalam Pembenan Opini Audit" Jurnal Balance. 41-55. Praptitorini, Mirna Dyah dan Indira Januarti. 2007. “Analisis Pengaruh Kualitas Audit, Debt Default dan Opinion Shopping Terhadap Penerimaan Opini Going Concern”. Simposium Nasional Akuntansi X, Juli. Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Rahayu, Puji. 2007. “Assessing Going Concern Opinion: A Study Based On Financial And Non-Financial Informations (Empirical Evidence of Indonesian Banking Firms Listed on JSX and SSX).” Simposium Nasional Akuntansi 10 Makasar. 17-20. Ramadhany, Alexander. 2004. "Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Going Concern pada Perusahaan Manufaktur yang Mengalami Financial Distress di Bursa Efek Jakarta." Jurnal Maksi Volume 4. Setiawan, Santy. 2006. “Opini Audit Going Concern dan Prediksi Kebangkrutan”. Jurnal Ilmiah Akuntansi. Vol.V, No.1, Mei: 5967 Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Maranatha.
Parulian P, Determinasi Penerimaan.....
Setyarno, Eko Budi, Januarti, Indira dan Faisal. 2006. "Pengaruh Kualitas Audit, Kondisi Keuangan Perusahaan, Opini Audit Tahun Sebelumnya, Pertumbuhan Perusahaan terhadap Opim Audit Going Concern." Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang. 125. Santoso, S. 2010. Statistik Multivariat Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Yogi, Mokhamad. 2010. “Analisis Faktor – Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Auditor Dalam Pemberian Opini Audit Going Concern (Studi Empiris Pada Perusahaan LQ-45 (Blue Chip) Yang Terdaftar Di Bei).” SkripsiS1. Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional. Winarno, Wing Wahyu. 2009. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EVIEWS. Edisi Kedua. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
215
DAMPAK DESENTRALISASI KEUANGAN TERHADAP KINERJA LAYANAN: IMPLIKASI SETELAH OTONOMI DAERAH KASUS KOTA BENGKULU Kamaludin Dewi Rahmayanti
Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Bengkulu
[email protected] Abstrak Otonomi daerah tidak hanya menuntut desentralisasi kekuasaan tetapi juga berimplikasi pada desentralisasi keuangan pada daerah tingkat dua. Harapan masyarakat yang begitu besar dengan adanya desentralisasi keuangan justru saat ini menjadi serangan balik bagi masyarakat. Tujuan penelitian adalah untuk melihat dampak otonomi daerah menurut penilaian masyarakat berkaitan dengan layanan dan program yang ditawarkan pemerintah Kota Bengkulu. Metode analisis adalah pendekatan deskriptip dengan mengkombinasikan data statistik dan penilaian masyarakat di Kota Bengkulu. Hasil penelitian menggambarkan bahwa desentralisasi keuangan masyarakat menilai di kota Bengkulu kinerja layanan terutama dalam arti luas seperti; fasilitas publik, jalan, jembatan, sarana-prasarana yang lainnya tidak lebih baik sebelum adanya otonomi daerah. Belanja Daerah yang dialokasikan cenderung tidak berfihak pada program yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat. Belanja daerah banyak digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif. Sebesar 60% sampai 70% dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah digunakan membiayai gaji pegawai.
FINANCIAL DECENTRALIZATION IMPACT ON SERVICES PERFORMANCE: IMPLICATION OF POST-REGIONAL AUTONOMY, BENGKULU CITY CASE Abstract On level region to expectation decentralization of power and decentralizes financially. Society expectation that so big with marks sense finance decentralization just currently become attack return to divide society. The goal of the research is subject to analysis decentralization of region impact terminological society expectation gets bearing by service and program that is on the Bengkulu City government. Method analysis is descriptive approaching with to combine statistical and society expectation at Bengkulu's City. The result of the research to figure that societies financial decentralization assess at Bengkulu's city performance services particularly in extensive mean as; public facility, road, bridge, another infrastructure not better before marks sense decentralization of region. Region expenditure that is allocated to tend not importance on programs that gets to direct touch needs society. A lot of region expenditure is utilized for unproductive. Budget of income and expenditure utilizing to fund clerk wages as big as 60% until 70%. Keyword: On level region, budget of income and expenditure
PENDAHULUAN Diawali adanya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang juga sekaligus tumbangnya kekuasaan ORDE BARU lebih dari 30 tahun yang menuntut adanya otonomi daerah (OTDA) secara luas.
216
OTDA tidak hanya menuntut desentralisasi kekuasaan juga berimplikasi pada desentralisasi keuangan pada daerah tingkat dua. Paling tidak ada dua alasan yang selama ini dirasakan oleh masyarakat. Pertama, intervensi masyarakat di masa lalu telah
Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan deomkrasi di daerah. Kedua, arahan dan statutory requirement yang terlalu besar dari pemerintah pusat menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (Mardiasmo, 2004). Secara teoritis desentralisasi dan OTDA dapat mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, antara lain melalui pemotongan jalur birokrasi pelayanan, sehingga masyarakat dapat lebih mudah mengakses pelayanan pemerintah, terutama pelayanan pemerintah daerah (PEMDA). Perbaikan pelayanan tersebut akan makin baik kalau didukung oleh sistem pemerintahan yang demokratis, terbuka, akuntabel dan memberi ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat. Dengan sistem seperti itu maka tujuan akhir dari desentralisasi dan otda berupa peningkatan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat akan dapat tercapai. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan OTDA yang diatur dalam UU No.22, 1999 dan UU No. 25, 1999 diamanatkan untuk tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum kedua UU tersebut diberlakukan, berbagai kegiatan pelayanan pemerintah, terutama program pembangunan, lebih banyak diputuskan dan bahkan dilaksanakan oleh pusat melalui instansi vertikalnya di daerah (KANWIL dan KANDEP). Sejak kedua UU itu diberlakukan pada 1 Januari 2001 daerah menerima kewenangan dan personil yang lebih besar. Untuk melaksanakan semua itu pemerintah pusat menyediakan dana alokasi umum (DAU) yang pada umumnya lebih besar dibandingkan anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD) tahun-tahun sebelumnya. Tanggung jawab pengalokasian DAU diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Dalam kenyataannya DAU yang diterima dinilai kurang dibanding kebutuhan untuk dapat mengelola kewenangan pelayanan pemerintahan secara baik. Selain kekurangan dana, aparat daerah yang selama lebih dari tiga dekade terbiasa menerima “perintah” dari pusat masih memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan sistem administrasi pemerintahan yang baru ini. Waktu yang dibutuhkan untuk beradaptasi berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Misi utama kedua Undang-undang tersebut adalah desentralisasi. Desentralisasi tidak hanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga pelimpihan beberapa wewenang pemerintah kepada pihak swasta privatisasi. Pemerintah pada berbagai tingkatan harus bisa menjadi katalis: fokus pada pemberiaan penghargaan bukan pada prosuksi pelayanan publik. Produksi pelayanan bukan menjadi keharusan, atau pengecualiaan saja. Di masa mendatang semua tingkatan pemerintahan harus fokus pada fungsifungsi dasarnya, yaitu: yaitu penciptaan dan modrenisasi lingkungan legal dan regulasi. Pengembangan suasana yang kondusif bagi proses alokasi sumberdaya yang efisien. Pengembangan kualitas sumberdaya manusia dan infrastruktur; melindungi orang-orang yang rentan secara fisik dan non fisik; serta meningkatkan dan konservasi daya dukung lingkungan hidup (World Bank, 1997). Dampak desentralisasi dan otda terhadap kinerja pelayanan pemerintah dapat dilakukan dengan membandingkan kondisi sebelum dan setelah diberlakukannya kebijakan tersebut melalui indikator-indikator terukur tertentu. Salah satu aspek yang dipakai untuk mengukur dampak tersebut dapat dievaluasi melalui
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
217
tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh PEMDA. Mengingat pelaksanaan kebijakan ini baru memasuki tahun ke-sepuluh, maka dampaknya idealnya sudah dapat diamati. Kecenderungan yang terjadi dapat dievaluasi melalui kebijakan PEMDA yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan indikator yang akan diukur. Kinerja pelayanan PEMDA, secara praktis tercermin dari kebijakan alokasi sektoral dalam APBD. Makin besar anggaran belanja yang dialokasikan ke dalam suatu sektor (baik absolut maupun relatif), makin besar perhatian pemda terhadap sektor itu, dan makin terbuka peluang bagi terciptanya kinerja pelayanan yang baik untuk sektor tersebut. Sementara itu untuk melihat dampak otda terhadap usaha penciptaan pemerintahan yang bersih dan berkemampuan, salah satu pendekatan indikatif yang dapat digunakan adalah dengan melihat perubahan yang terjadi dalam proses pengadaan dan atau pengerjaan program/proyek yang didanai oleh APBD. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan OTDA yang telah berlangsung 10 tahun tersebut peluang keberhasilan kebijakan baru ini masih diragukan oleh banyak pihak. Keraguan itu timbul karena adanya berbagai faktor penghambat dan banyaknya indikasi negatif yang terjadi di lapangan sehingga pelaksanaan kebijakan OTDA dinilai tidak berlangsung sesuai dengan amanat peraturan perundangan. Hingga saat ini pemerintah pusat belum menyelesaikan tanggung jawabnya membuat peraturan perundangan pendukung pelaksanaan Undang-undang No. 22, 1999, tetapi di sisi lain, pemerintah pusat telah mengeluarkan beberapa peraturan perundangan yang bertentangan satu sama lain. Propinsi dan kabupaten/kota belum memiliki persepsi yang sama dalam menjabarkan kewenangannya. Demikian pula nuansa kolusi, korupsi dan
218
nepotisme (KKN) dalam berbagai bidang pemerintahan dinilai semakin subur. Sementara itu, ruang partisipasi yang semestinya diberikan secara luas bagi masyarakat juga belum secara konsisten dilaksanakan (SMERU, 2002). Dari sisi lain menurut Sumarsono (2010) bahwa berbagai kelemahan ditemukan implementasi UU tersebut. Selain kelemahan juga muncul sejumlah permasalahan mulai dari defenisi, asumsi, intepretasi hingga teknis operasional. OTDA identik dengan desentralisasi keuangan atau manajemen keuangan daerah. Manajemen keuangan daerah prinsipnya sebenarnya adalah adanya prinsip transparansi dan akuntabilitas baik dari sisi penerimaan daerah, belanja daerah ataupun sisi pembiayaan yang tidak lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu daerah. Prinsip transparansi dan akuntabilitas terhadap ke-tiga hal tersebut itulah yang paling sering dilupakan ataupun disengaja oleh pemerintah suatu daerah. Bahkan ada kesan semenjak OTDA khususnya di Kota Bengkulu bahwa desentralisasi keuangan lebih berfihak kepada eksekutip dan yudikatif. Misalkan anggaran belanja lebih banyak digunakan untuk kepentingan eksekutip dan yudikatif dibandingkan dengan kepentingan masyarakat. Menurut Mahmudi (2010) ada beberapa prinsip yang seharusnya dalam manajemen belanja daerah, yaitu: perencanaan belanja, pengendalian belanja, akun-tabilitas belanja, auditabilitas belanja. Undang-undang No. 22 dan 25 tahun 1999 yang memiliki misi desentralisasi tersebut secara ideal memiliki tujuan yang mulia, yaitu pelimpahan wewengan yang lebih besar untuk mengatur daerah secara mandiri dan mengelola keuangan daerah secara lebih mandiri atau tidak banyak intervensi pemerintah yang lebih tinggi. Namun dalam perjalanannya ada indikasi penggunaan wewengan yang begitu besar tersebut banyak disalah artikan oleh
Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
pemerintah daerah. Banyak permasalahan yang muncul munculnya program yang dibuat tidak berdasarkan kepentingan masyarakat setempat. Misalkan di Kota Bengkulu, salah satu anggaran dalam APBD digunakan untuk studi banding para anggota DPR dan Pejabat tinggi di PEMKOT yang hasilnya tidak bisa dipertangungjawabkan. Sementara jika kita lihat semua jalan yang ada di Kota Bengkulu adalah rusak berat. Pengadaan pakaian dinas, rekrut pegawai negeri sipil (PNS) yang tidak didasarkan job analisis. Bahkan sebagian besar APBD Kota Bengkulu hanya untuk membayar gaji pegawai. Pembangunan kota semenjak tahun 2008 pembangunan Kota Bengkulu berdasarkan tiga pilar pembangunan, yaitu: 1. Pendidikan gratis 2. Kesehatan gratis, dan 3. Ekonomi krakyatan. Banyak kritik dari berbagai yang dilontarkan kepada pemerintah kota, karena ke-3 pilar yang dibesar-besarkan tersebut hanya jalan ditempat. Bahkan pada tahun 2011 pemerintah kota mengurangi atau mencabut anggaran pendidikan gratis dan kesehatan gratis tersebut. Banyak indikasi lain yang menunjukkan tidak berjalan baik pembangunan di kota Bengkulu selain ke3 pilar di atas seperti kerusakan jalan hampir semua di kota Bengkulu. Dari pernyataan di atas maka secara lebih rinci rumusan masalah yang diajukan dalam usulan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana alokasi anggaran dan belanja pemerintah daerah (APBD) kota Bengkulu semenjak dilakukan desentralisasi keuangan daerah, sejalan dengan tiga pilar pembangunan yang diajukan oleh pemerintah Kota Bengkulu ? 2. Bagaimana persepsi berbagai kelompok masyarakat tentang
pelayanan yang diberikan PEMDA setelah desentralisasi keuangan dan OTDA ?. METODE PENELITIAN Metode Analisis Pendekatan analisis dilakukan dengan mengkombinasikan data kuantitatip yang berupada APBD Kota Bengkulu pasca diberlakukannya kesentralisasi keuangan yaitu khususnya tahun 2008 hingga 2011 yang berkaitan dengan tiga pilar pembangun Kota Bengkulu, yaitu: pendidikan gratis, sekolah gratis, dan ekonomi kerakyatan. Analisis lebih ditekankan alokasi Anggaran terhadap tiga sektor, yaitu: pendidilan, kesehatan, dan infrastruktur. Selanjutnya data-data keuangan APBD tersebut dianalisis dan dikombinasikan terhadap penilaian masyarakat Kota Bengkulu. Penelitian ini mengacu seperti yang digunakan SMERU (2002) juga menggunakan tiga sektor tersebut. Untuk mengetahui kinerja pelayanan pemerintah dengan menggunakan pengukuran skala Likert untuk menilai tingkat kepuasan masyarakat. Responden dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan berbagai lapisan masyarakat. Jumlah sampel sebanyak 100 responden dengan menggunakan multistage random sampling. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Sesuai dengan karakteristik Kota Bengkulu yang sebagian besar sampel sebagai pegawai negeri swasta, selanjutnya sampel adalah wiraswasta dan ibu rumah tangga. Selain itu juga sampel dengan melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Anggota DPRD, Tokoh Masyarakat. Keterlibatkan mereka dalam sampel sangat penting karena mereka sebagai wakil masyarakat yang
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
219
sanngat memaahami aspirrasi masyaarakat. para Sellain itu juga melibatkan m pettani/nelayann dan karyawan sw wasta.
Karakteristi K ik responnden berd dasarkan pekerjaan p s seperti terggambar pad da Gambar b 1. berikkut .
Gambar 1.. Karakterisstik Respond den Berdasaarkan Pekerrjaan
Sebbagian besaar respondenn berprendiidikan S1 dan SMA A sehinggaa mereka cukup c meemahami koondisi yangg terjadi di Kota
Bengkulu. B Sebagian bbesar sampeel adalah pria p (56%), lihat Gambbar berikut.
Gambar 2. Karakteristik Respond den Berdasaarkan Pendidikan
Tigga Pilar Pembangunaan Kota Ben ngkulu Kota Benggkulu memppunyai visi, yaitu Meenuju Masyyarakat yaang Bermaartabat dann Makmur. Visi terseebut memilliki 2 kunnci pokook yaknni Masyaarakat Berrmartabat dan Kota Yang Makkmur. Kuunci pokokk Masyarakkat Bermaartabat meengandung arti a bahwa masyarakat m t Kota Benngkulu meempunyai harga dirii dan maartabat yanng tinggi dengan dasar meeyakini akaan kebenarran ajarann dan nilaai-nilai agaama yang menjadi m peddoman dann tuntunaan dalam m menjalaankan kehhidupannya, dalam wujud w keim manan
220
dan d ketakw waan kepadaa Tuhan Yan ng Maha Esa. E Sedanngkan kuncii kedua yaiitu Kota Yang Y Makkmur bahw wa Kota Bengkulu B mempunyai m i sarana praasarana yan ng dapat melayani m seluruh akktifitas maasyarakat Kota K dan hinterland--nya dengaan dasar kekuatan k a aktifitas ekkonomi maasyarakat guna g m mewujudkan n kesejahteraan masyarakat m t. Kota yang y meruupakan Ibu Kota Provinsi P inni terletak di kawasan n pesisir barat b Pulauu Sumateraa yang berrhadapan langsung l deengan Samuudera Indon nesiadan berada b padaa koordinatt 300 45’ – 300 59’ LS L dan 10220 14’ - 10020 22’ BT T dengan
Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
luas wilayah 151,7 km2. Penduduk yang mendiami kota ini berasal dari berbagai suku bangsa, antara lain ; Suku Melayu, Rejang, Serawai, Lembak, Bugis, Minang, Batak dan lain-lain. Kota ini memiliki beberapa obyek wisata yang sangat potensial untuk dikembangkan yang terdiri atas, Wisata Alam, Wisata Sejarah dan Wisata Budaya. Selama periode pemerintahan Kota Bengkulu tahun 2008 sd 2013 pemerintah mendengung-dengungkan TIGA PILAR pembangunan Kota Bengkulu yaitu; PENDIDIKAN GRATIS, KESEHATAN GRATIS, dan EKONOMI KERAKYATAN. Tiga pilar pembangunan tersebut merupakan janji waliko Ahmad Kenedi pada saat kampanye untukperiode pemerintahan tahun 2008 sd 2013. Berdasarkan hasil survey kepada responden bahwa 83% mereka memahami tiga pilar tersebut yang mereka peroleh informasi sebagian besar dari saat calon walikota kampanye dan dari media masa seperti Koran dan televisi. Hanya sekitar 17% yang menyatakan tidak tahu tentang tiga pilar pembangunan tersebut. Selama pelaksanaan OTDA masyarakat menilai pembangunan kota Bengkulu hanya 37% yang menyatakan pembangunan cukup baik, 31% menyatakan kurang baik dan 14% menyatakan jelek. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan selanjutnya bahwa pembangunan Kota Bengkulu dengan adanya desentralisasi keuangan masyarakat menilai tidak tepat sasaran 51%. Hal ini sangat wajar semenjak desentralisasi keuangan di Kota Bengkulu lebih 60% s.d 70% anggaran hanya dihabiskan untuk belanja rutin dan kurang dari 20% untuk pembangunan fisik Kota Bengkulu. Sehingga tidak mengherankan selama OTDA hampir semua jalan di Kota Bengkulu tidak terawat dengan baik. Berdasarkan laporan harian Rakyat Bengkulu (Selasa, 3 Mei 2011) maha-
siswa se Kota Bengkulu melakukan aksi unjuk rasa yang menuntut perbaikan jalan yang tidak pernah ada realisasi janji-janji dari walikota. Pada hari yang sama dalam koran Rakyat Bengkulu menegaskan dan berjanji semua jalan yang ada di Kota Bengkulu akan mulus pada bulan Agustus 2011. Kenyataan yang ada hingga November 2011 hampir semua jalan dalam Kota Bengkulu masih berlobanglobang. Beberapa LSM seperti;LP2B dan LPHB menilai janji TIGA PILAR pemerintahan A. Kenedi yang digembargemborkan tidak seperti yang dijanjikan. Hasil yang berbeda dengan hasil kajian Balitbang Sumut (2012) bahwa semenjak otonomi daerah kualitas pelayanan kepada masyarakat seperti kesehatan, pendidikan, perizinan dan fasilitas umum khususnya di Kota relatif baik dan sedang, seiring dengan semakin ditambahnya personil pegawai dan sarana dan prasarana pelayanan publik, sedangkan di Kabupaten masih memiliki keterbatasan personil dan fasilitas yang belum merata di seluruh pelosok daerah. Desentralisasi keuangan ternyata membuat kerajaan di masing-masing daerah. Misalkan pemerintah mendengungkan kesehatan gratis ternyata selama tahun 2008 total alokasi anggaran untuk sektor kesehatan hanya sekitar 8% dan sektor ekonomi 8%. Dalam beberapa edisi dari koran lokal di Kota Bengkulu justru pemerintah kota memperbesar anggaran yang tidak jelas peruntukannya seperti baju dinas dana BANSOS dan tunjangan PNS. Justru yang mengherankan alokasi dana seperti ini biasanya dilakukan menjelang akhir masa jabatan baik walikota saat ini ataupun sebelumnya. Sejalan dengan di atas SMERU (2002) juga mengemukakan semenjak OTDA ada penurunan secara relatif anggaran sektor pembangunan seperti jalan dan sarana prasarana lainnya.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
221
Gambarr 3. Pembanggunan Kota a Bengkulu Selama S OTD DA
Gaambar 4. Pembangunan n Kota Beng gkulu: Desen ntralisasi Keeuangan
Masyaarakat meniilai janji pemep rinttah kota tenntang kesehatan gratis hanya h 33% % yang menyatakan m n sesuai, tidak sessuai 22%, dan d sangat tiidak sesuai 22%. Kekecewaan ini juga tercermin bahwa b hannya 17% yaang menyattakan puas,, 27% meenyatakan tidak puas, 29% 2 kurang puas, dann 23% menyyatakan sanngat tidak puuas. Ketidakpuuasan ini disebabkan d realisaasi dilapanggan berbedaa dengan haarapan dann janji yanng pernah dilontarkann saat
222
kampanye k walikota. Standar peelayanan yang y dimaaksudkan pengobatan n gratis sangat s tiddak jelas hal inilah h yang menyebabk m kan kekeceewaan massyarakat. Banyaknya B masyarakaat miskin yaang sulit untuk u menngurus kaartu ASKIIN dan JAMKESM J MAS. Hal-hhal seperti inilah yang y mem mbuat maasyarakat menilai kegagalan k program kesehatan n gratis tersebut. t
Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
G Gambar 5. Tingkat T Kep puasan Terh hadap Pemerintah Kotaa Bengkulu: Kesehatan Gratis
Tigga pilar selanjutnya addalah pendiidikan graatis. Ternyatta masyarakkt menilai seelama proogram penddidikan graatis bahwa biaya yanng dikeluarrkan mahaal sebesar 37%,
sangat s mahhal 27%, daan hanya 15 5% yang menyatakan m n muran ddan sangatt murah hanya h 2%.
Gambarr 6. Persepsi Tentang Biaya B : Pendidikan Grattis
Kekecewaaan seperti yang digaambar diaatas bukann tidak beralasan b d dalam bebberapa meddia lokal seetiap peneriimaan siw wa baru baaik di tinggkat SD, SMP, maaupun SMA A banyak sekali s punggutanpunngutan denngan berbaggai dalih, seperti s uanng bangku, sarana praasarana, bajuu dan sebbagainya. Yang Y lebih memberatka m an lagi baggi orang tua adalah seetiap tahun buku peggangan yanng dipakai oleh o guru adalah a selaalu berubah. Jadi kalau seeorang meemiliki anakk dalam sekkolah yang sama, maaka buku yaang dipakai kakaknya sudah dappat dipastikkan tidak daapat dipakaii oleh adiiknya, dikaarenakan taahun selanjjutnya
buku b peganngan sudahh lain lagi. Kondisi seperti s ini ternyata adda kerjasam ma antara guru g denggan penerbbit yang tentunya t menguntung m gkan oknuum guru tersebut. Lebih L paraah lagi pem merintah ko ota tidak mengambil m tindakan teegas dan ad da kesan melakukan m pembiaran.. n gratis Selama program pendidikan justru j m masyarakat menilai sarana prasarana p adalah burruk sebesaar 33%, sangat s burruk 23%, dan hany ya 19% menyatakan m n baik. Berkkaitan deng gan mutu sekolah s 333% menyattakan cuku up baik, 31% 3 kuraang baik, dan 20% % jelek. Sedangkan berkaitan dengan baanyaknya
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
223
punngutan bahw wa 39% meenyatakan baanyak punngutan dann 29% yaang menyaatakan seddikit. Hal yang y hampirr sama terjaadi di Nuusa Tenggarra Barat yaang dikemukkanan SM MERU (20002) bahwa semenjak s O OTDA
banyaknya b ruang kkelas yang g rusak, rendahnya r daya tampuung sekolah h negeri, serta s kekuurangan tennaga guru.. Untuk mengatasi m kekurangaan guru, sebagian s diisi d oleh guuru berstatuus honorer.
Gamb bar 7. Penilaaian Punguttan : Pendidikan Gratis
Tigga pilar yanng terakhir adalah proogram ekoonomi keraakyatan. Misi M program m ini sebbenarnya adalah a unttuk mengaangkat perrekonomiann lapisan bawah. Berdassarkan hasill survey ternnyata masyaarakat
menilai m perrekonomiann klas bawah h adalah belum b beruubah samaa sekali. Penilaian P tersebut t terbbukti merekka menyatak kan 42% buruk, b 25% % cukup baaik dan han nya 13% baik. b
Gam mbar 8. Pereekonomian Klas K Bawah : Program Ekonomi E K Kerakyatan
Sejjalan denggan penilaaian selanjjutnya bahhwa semenjjak diluncurrkannya proogram ekoonomi keraakyatan, perrekonomiann masyaarakat klas bawah kuurang menndapat perrhatian o oleh pem merintah Kota Benngkulu. Hasil H surveey menunjuukkan bahhwa 43% menyatakann kurang diperd hattikan, 18% % menyatakkan tidak diperd hattikan, dan hanya 100% menyaatakan dipperhatikan. Hal H ini diseebabkan proogram yanng dibuat oleh peemerintah tidak meelibatkan masyarakaat atau lebih
224
didasarkan d kepentinggan ekseku utip dan legislatif. l Hal ini berbeda dengan pendapat p B Budiyanto (2000) daan Putro (2000) ( yanng seharusnnya ada paartisipasi aktip a masyaarakat mulaai dari peren ncaanaan hingga h peengambilann keputusaan dan kepemilikan k n. Sejalan dengan ppenilaian terhadap t mengedepa m ankan pedaggang kecil, nelayan, dan d usahaa kecil. D Dari hasil survey ternyata t maasyarakat m menilai bahwa 48% kurang k beerfihak, 199% sangaat tidak
Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
berrfihak, hanyya 6% menyyatakan berrfihak, dann cukup berfihak 23%. Kekeceewaan terssebut terggambar dalam d bebberapa maasalah seperti; tidak ada a solusi yang jelaas mengennai pedagaang kaki lima, peddagang di seekitar pantaai panjang hingga h passar Bengkuulu. Tidak ada dukuungan yanng riil seperti akses untuk meempermudahh mereka untuk memm perroleh moddal atau pinjaman dari kopperasi atau lembaga keeuangan laiinnya. Daari hasil survey 244% menyaatakan muudah, 22% menyatakan m n sulit, dann 39% meenyatakan cuukup mudahh.
Semenjaak OTDA khususnya di kota Bengkulu B s semenjak taahun 2007 s/d s 2011 masyarakat m t menilai negatip terutama t dalam d sektoor pembanggunan. Hasiil survey menunjukka m an penilaiaan masyaraakat 33% menilai m saangat tidakk baik daan 31% menyatakan m n kurang baik, hany ya 17% yang y menyyatakan baiik terhadap p sarana prasarana p jalan. Kekecewaaan ini berdasarkan b n jawaban rresponden terutama t kekecewaan k n terhadaap kondisii jalan hamper h di seluruh s wilaayah kota Bengkulu B dalam d keaadaan berllobang-lobaang dan tidak t kunjuung diperbaiiki selama beberapa b tahun t ini.
Gaambar 9. Pen nilaian Sara ana/Prasarana Jalan
Hal yang sama massyarakat menilai m terhhadap dan prasarana publik laainnya sepperti; pasarr, terminal,, tempat parkir, p kaw wasan wisatta. Hasil suurvey bahwaa 25% meenyatakan kurang k baiik, 14% sangat s tidaak baik, 355% menyataakan cukup baik. Daari sisi keaamanan maasyarakat masih m meenilai hal yang posiitip. Masyaarakat meenilai bahwaa kondisi di d kota Benngkulu 41% % cukup am man, 27% kurang nyaaman, dann 14% menyyatakan tidaak nyaman. An nalisis APBD Kota Bengkulu Jika menccermati tabeel 4.1 tergaambar bahhwa selamaa empat tahhun terakhir dari tahhun 2007 hiingga 2010 ada peninggkatan yanng secara siignifikan dalam hal beelanja tidaak langsungg. Pada tahhun 2007 seebesar
49,39% 4 p pada tahun 2008 52,03% kemudian k pada tahunn 2009 meningkat menjadi m 5 57,58% ddan tahun n 2010 meningkat m lagi menjaadi 61% dari d total APBD. A P Peningkatan n belanjaa tidak langsung l teersebut teruttama dalam m belanja pegawai p y yaitu tahuun 2007 sebesar 49,39%, 4 p pada tahuun 2009 sebesar 54,22%, 5 daan tahun 20010 adalah sebesar 58%. 5 Penningkatan belanja pegawai tersebut t teerutama disebabkan sebagai dampak d reekrutmen C CPNS setiaap tahun yang y tidaak didasarrkan rasio onalisasi kebutuhan k d Kota Benngkulu. di Sebaliknnya belannja modal terus menurun m m misalkan ppada tahu un 2009 sebesar s 18,31% keemudian menurun m menjadi m 15% dari totaal APBD. Jaadi tidak
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
225
mengherankan jika hampir semua jalan dalam kota Bengkulu dalam kondisi buruk demikian juga dengan fasilitas publik lainnya seperti pasar, terminal, tempat wisata, dan lainnya dalam kondisi tidak terawat. Jika kondisi seperti ini dibiarkan berlanjut-lanjut tidak ada langkah-langkah strategis dari pemerintah pusat maka dapat dipastikan kedepan semua fasilitas publik seperti jalan, jembatan, pasar, tempat wisata yang dikelola pemerintah kota Bengkulu akan tidak dapat dirawat bahkkan tidak ada pembangunan sama sekali. Kondisi seperti ini saat sudah mulai terasa, karena hampir semua jalan dalam kota Bengkulu dalam kondisi rusak demikian juga fasilitas publik lainnya. Tindakan pemerintah pusat untuk menghentikan sementara rekrutmen CPNS mulai tahun 2011 mungkin sebagai salah satu langkah strategis untuk mengurangi beban APBD hampir semua daerah semenjak OTDA. Peningkatan belanja pegawai yang meningkat setiap tahun yang tidak didasarkan kebutuhan dan kemampuan
226
keuangan daerah telah membawa dampak negatip terhadap semua daerah terutama bagi daerah yang memiliki kemampuan keuangan yang rendah yang sebagian besar mengandalkan dana perimbangan bukan PAD daerah bersangkutan. Jika dilihat dari sumber penerimaan selama 4 tahun terakhir rata-rata sekitar 90% dari total APBD masih mengandalkan dari dana perimbangan pemerintah pusat. Sedangkan yang bersumber dari PAD sekitar 4% hingga 9% dari total pendapatan. Jadi kalau kita lihat kemampuan keuangan daerah kota Bengkulu masih sangat rendah. Sedangkan dari sumber pendapatan yang lain juga masih rendah sekitar 3% s/d 4% dari total pendapatan. Menurut Ahadiyati(2005) bahwa dampak dari kebijakan otonomi daerah terhadap daerah otonom sangat bervariasi. Dapat dikatakan bahwa tingkat capaian kinerja dalam penyelenggaraan otonomi daerah periode 1999-2003 masih rendah, meskipun dalam sebagian besar indikator menunjukkan perubahan positif
Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
Tabel 4.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota Bengkulu Tahun Anggaran 2007=2010 No 1 2 3
Jenis Pendapatan
2010 Jumlah (Rp) 41.499.566.156,39 404.950.805.453,20 22.108.694.947,80 468.559.066.557,39
Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan yang sah Jumlah Pendapatan Jenis Belanja 1 Belanja Tidak Langsung 310.860.903.700,00 1. Belanja Pegawai 294.801.937.450,00 2. Belanja Bunga 0 3. Belanja Subsidi 0 4. Belanja Hibah 5.050.000.000,00 5. Belanja Bantuan Sosial 6.608.966.250,00 6. Belanja Bagi Hasil 50.000.000,00 7. Belanja Bantuan 3.350.000.000,00 Keuangan 8. Belanja Tidak Terduga 1.000.000.000,00 2 Belanja Langsung 199.869.550.740,00 1. Belanja Pegawai 29.469.235.300,00 2. Belanja Barang dan Jasa 93.820.110.270,00 3. Belanja Modal 76.850.205.170,00 Jumlah Belanja 510.730.454.440,00 Defisit 42.171.387.882,61 Sumber: BPS Propinsi Bengkulu diolah
% 9 86 5
2009 Jumlah (Rp) 34.067.971.796,99 420.253.251.384,00 16.608.694.947,80 470.929.918.128,79
61 58 0 0 1 1 0 1
291.158.499.628,79 274.184.399.628,79 0 0 6.724.100.000,00 5.400.000.000,00 50.000.000,00 3.350.000.000,00
0 39 6 18 15
1.450.000.000,00 214.542.165.468,00 28.855.088.300,00 93.098.615.239,00 92.588.461.929,00 505.700.665.096,79 34.770.746.968,00
% 7,23 89,24 3,53
57,58 54,22 0,00 0,00 1,33 1,07 0,01 0,66 0,29 42,42 5,71 18,41 18,31 6,88
2008 Jumlah (Rp) 29.979.201.000,00 401.389.048.906,24 15.090.363.098,00 446.458.613.004,48 244.277.642.533,00 233.552.642.533,00 0 0 0 5.825.000.000,00 50.000.000,00 3.350.000.000,00 1.500.000.000,00 255.244.284.352,55 32.608.005.796,00 101.480.503.631,00 91.155.774.925,55 469.521.926.885,55 23.063.313.881,07
% 6,71 89,91 3,38
52,03 49,74 0,00 0,00 0,00 1,24 0,01 0,71 0,32 54,36 6,94 21,61 19,41 4,91
2007 Jumlah (Rp) 17.091.563.000 367.758.609.000 19.395.380.000 404.245.552.000,00
% 4,23 90,97 4,80
197.812.032.000 NA NA NA NA NA NA NA
49,39 NA NA NA NA NA NA NA
NA 202.667.518.000 NA NA NA 400.479.550.000,00 NA
NA 50,61 NA NA NA NA NA
227
Realisasi Anggaran : Tiga Pilar Pembangunan Kota Bengkulu Realisasi anggaran berdasarkan fungsi terutama di sektor pendidikan sangat besar jika dilihat dalam persentase dari APBD selama tiga tahun terakhir sekitar 30 hingga 44%. Hanya saja anggaran yang begitu besar tersebut sebagian besar dihabiskan untuk belanja tidak langsung. Misalkan pada tahun 2008 anggaran sektor pendidikan sebesar Rp. 161.989.924.764,00 dari jumlah tersebut sebesar Rp. 125.697.121.781,00 dihabiskan untuk belanja tidak langsung atau untuk gaji pegawai atau 78% dari anggaran. Nilai yang tersisa 22% tersebut untuk mendukung yang benar-benar berwujud dalam program, misalkan: Program Pendidikan Anak usia Dini sebesar Rp. 196.411.250, Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan tahun sebesar Rp. 32.847.745.575, Program Pendidikan Menengah sebesar Rp.1.304.986.000, Program Pendidikan Non Formal sebesar Rp. 63.000.000, Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan sebesar Rp. 512.657.250, dan Program Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan sebesar Rp. 37.800.000. Pada tahun 2009 juga sebesar 78% realisasi anggaran sektor pendidikan digunakan untuk belanja tidak langsung atau gaji pegawai dan pada tahun 2010 realisasi anggaran sektor pendidikan meningkat untuk belanja tidak langsung atau gaji pegawai menjadi 83%. Jika cermati dalam beberapa tahun terakhir ini banyak guru tidak dapat memenuhi kewajiban beban wajib mengajar karena kekurangan kelas dengan kata lain kelebihan guru. Ironisnya pemerintah kota setiap tahun merekrut guru dalam
228
jumlah yang besar dengan dalih kekurangan guru. Kalau kita jujur untuk beberapa bidang studi langkah memang betul untuk penambahan guru, tetapi untuk bidang studi tertentu katakan bahasa Indonesia sudah sangat banyak sehingga dalam waktu dekat tidak perlu ada penambahan guru bidang studi tersebut. Sejalan dengan Azhar (2008) bahwa semenjak otonomi daerah terjadi pemborosan anggaran. Hal yang sangat ironis lagi pemerintah kota mendengungdengungkan dua pilar pembangunan yang lainnya yaitu kesehatan gratis dan ekonomi kerakyatan. Ternyata dari data keuangan yang ada (APBD) ke-dua pilar pembangunan tersebut masing-masing berkisar 6% s/d 7% untuk kesehatan dari total APBD dan kurang dari 1% hingga 1% dari total APBD untuk alokasi untuk Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Menengah yang berkaitan langsung dengan ekonomi kerakyatan. Apalagi dari jumlah tesebut sekitar 65% hingga 70% untuk belanja tidak langsung atau gaji pegawai bagi sektor kesehatan. Selanjutnya dari dana sekitar 1% dari total APBD lebih dari 50% untuk belanja tidak langsung atau gaji pegawai bagi Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Menengah. Sehingga dapat kita garis bawahi program tiga pilar yang dikumandangkan tersebut hanya sekedar slogan belaka untuk menarik simpati masyarakat yang tidak mungkin untuk direalisasikan. Berbeda dengan temuaan SMERU (2002) di Propinsi Lampung realisasi anggaran terus meningkat terhadap ke-tiga sektor tersebut semenjak OTDA hanya saja menurut pengamatan SMERU tidak banyak perubahan yang berarti.
Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
Tabel 4.2 Ringkasan Realisasi Anggaran URAIAN
Realisasi Anggaran (Rp)
Persentase dari APBD
Tahun 2010 Dinas Pendidikan
227.063.447.236,00
44,43%
Dinas Kesehatan
37.933.476.988,00
7,43%
4.075.448.237,00
0,80%
Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Menengah Jumlah Belanja
510.730.454.440,00
Tahun 2009 Dinas Pendidikan
184.673.150.032,00
36,52%
Dinas Kesehatan
37.535.059.615,00
7,42%
5.221.954.625,00
1,03%
Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Menengah Jumlah Belanja Tahun 2008 Dinas Pendidikan Dinas Kesehatan Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Menengah Jumlah Belanja
505.700.665.096,79 161.717.874.764,00 30.508.485.066,00 5.533.392.125,00
31,98% 6,03% 1,09%
469.521.926.885,55
Sumber: BPS Propinsi Bengkulu diolah
KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan pada bab sebelumnya baik yang berkaitan dengan OTDA, program tiga pilar kota Bengkulu, dan kinerja layanan terhadap masyarakat. 1. Masyarakat menilai semenjak adanya OTDA di Kota Bengkulu kinerja layanan terutama layanan dalam arti luas seperti; fasilitas publik, jalan, jembatan, sarana /prasarana yang lainnya tidak lebih baik sebelum adanya OTDA. 2. Anggaran APBD yang dialokasikan semenjak adanya OTDA cenderung tidak berfihak pada program yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat. 3. Beban APBD selama empat tahun terakhir lebih banyak membiayai gaji pegawai atau sekitar 60% hingga 70% sehingga sulit untuk
menjalankan roda pembangunan di kota Bengkulu. 4. Semenjak adanya desentralisasi keuangan ternyata kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah khususnya Kota Bengkulu tidak banyak berfihak kepada kepentingan masyarakat justru anggaran yang ada banyak digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif dan untuk kepentingan masyarakat. 5. Program tiga pilar yang didengungkan pemerintah kota Bengkulu hanya sekedar slogan yang pada kenyataannya tidak ada program yang bersentuhan langsung dengan hal tersebut. Jikapun ada alokasi anggaran dalam APBD sangat minim baik dari sisi jumlah maupun persentase.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
229
Saran Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dengan adanya desentralisasi keuangan semenjak OTDA mungkin harus segera diperbaiki baik di tingkat pusat maupun daerah. Beberapa hal tersebut adalah: 1. Pemerintah pusat perlu mengevaluasi kembali desentralisasi keuangan seperti yang ada saat ini, karena peruntukan anggaran sangat tidak berfihak kepada kepentingan masyarakat. 2. Rekrutment CPNS saat ini perlu dievaluasi kembali yang tidak didasarkan untuk layanan masyarakat. Sangat ironis saat ini dengan jumlah PNS yang begitu banyak tetapi masyarakat tidak merasa mendapat layanan yang lebih baik dibandingkan sebelum OTDA. 3. Program tiga PILAR yang dijanjikan pemerintah kota saat ini perlu ditinjau kembali, karena masyarakat menilai hasilnya sangat mengecewakan tidak seperti yang dijanjikan pada saat kampanye. Kedepan calon walikota sebaiknya tidak mengumbar janji yang tidak mungkin dilakukan dengan kondisi keuangan daerah yang sangat minim. 4. Perlu adanya langkah strategis untuk meningkatkan PAD untuk mengurangi ketergantungan pada dana perimbangan dari pemerintah pusat. DAFTAR PUSTAKA Ahadiyati K, Meita., 2005. Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah 1999-2003, Jurnal Desentralisasi, Vol.6, No. 4, Lembaga Administrasi Negara Jakarta. Azhar, M. Karya Satya, 2008. Analisa Kinerja Keuangan Pemerintah
230
Daerah Kabupaten/Kota Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah, Tesis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara melalui: repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/3995/1/08E004 60.pdf. Balitbang Sumut, 2012. Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Propinsi Sumatera Utara Pasca Undang-undang N0. 2 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah melalui: balitbang.sumutprov.go.id/ download.php? BPS Bengkulu. 2010. Propinsi Bengkulu Dalam Angka, Bengkulu. BPS Kota Bengkulu. 2010. Kota Bengkulu Dalam Angka, Bengkulu. Budiyanto, M. Nur., 2000. Local Demokracy Sebagai Alternatif Kebijakan Publik Dalam Mensukseskan Pemerintah Daerah di Indonesia, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, P.17-32. Seharusnya ada partisipasi aktip masyarakat mulai dari perencaanaan hingga pengambilan keputusan dan kepemilikan. Putro sama. Henderson, Dale A., 2002. Performance Measure Accounting Non-profit Organization, Accounting Journal, January 2002. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 131, 2001 tentang “Dana Alokasi Umum Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2002.” Putro, Auri Adam., 2000. Telaah an Kritis Otonomi Daerah di Indonesia, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, P.1-14. SMERU, 2002. Laporan dari Lembaga Penelitian SMERU, dengan dukungan dari AusAID dan Ford Foundation, “Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah atas Kinerja Pelayanan Publik: Kasus Kabupaten
Kamaludin, Dampak Desentralisasi.....
Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat”. Jakarta, Juni 2002. SMERU, 2002. Laporan dari Lembaga Penelitian SMERU, dengan dukungan dari AusAID dan Ford Foundation, “Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah atas Kinerja Pelayanan Publik: Kasus Kota Bandar Lampung, Lampung”. Jakarta, September 2002. Suwardi, 2008. Kerangka Analisis Dampak Otonomi Daerah Pada Perbaikan Kinerja Pelayanan Publik Bidang Pendidikan, Jurnal Joglo Vol. XX No.1. Mahmudi, 2007. Manajemen Kinerja Sektor Publik, Penerbit UPP STIM YKPN, Yogyakarta. Mahmudi, 2010. Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Erlangga, Jakarta. Mardiasmo, 2004. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta. Mardiasmo, 2002. Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Andi, Yogyakarta. Peraturan Pemerintah (PP) No. 25, 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Peraturan Pemerintah (PP) No. 84, 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Peraturan Pemerintah (PP) No. 99, 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah (PP) No. 110, 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Peraturan Pemerintah (PP) No. 56, 2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Sumarsono, Sonny, 2010. Manajemen Keuangan Pemerintah, Penernit Graha Ilmu, Yogyakarta. UU Republik Indonesia No. 22 tahun 1999 tentang “Pemerintahan Daerah.” UU Republik Indonesia No. 25 tahun 1999 tentang “Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.” UU Republik Indonesia No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 1997 tentang “Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.”
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
231
ANALISIS STRUKTUR DAN PERILAKU PELAKU DALAM RANTAI PASOKAN KENTANG Asep Mohamad Noor1 Machfud2 Indah Yuliasih 2 A. Benny Mutiara3 1)
2)
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri Universitas Gunadarma Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor 3) Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri Universitas Gunadarma Jl. Margonda Raya No. 100 Pondok Cina Depok, Jawa Barat Indonesia
[email protected] [email protected]
Abstrak Makalah ini membahas mengenai struktur rantai pasokan kentang, khususnya varietas kentang untuk bahan baku industry olahan makanan, serta menganalisis pengaruh perilaku para pelaku yang terlibat dalam rantai pasokan kentang. Hasil pembahasan dari penelitian ini adalah ada empat pelaku utama dalam rantai pasokan kentang industry yaitu petani, kelompok tani, penyalur/supplier dan konsumen industry. Dari keempat pelaku ini, konsumen industry mempunyai peran yang aktif dibandingkan dengan pelaku lainnya, karena konsumen industry ini adalah pelaku yang bermodal besar. Hasil pembahasan yang lain adalah perilaku dari para pelaku ini dapat mempengaruhi terhadap pasokan kentang, mulai dari petani sampai konsumen industry. Kata kunci : struktur rantai pasokan kentang, perilaku pelaku, rantai pasokan kentang
BEHAVIOR AND STRUCTURE ANALYSIS IN POTATOES SUPPLY CHAIN Abstract This paper presents the structure of the potato supply chain, especially the potato varieties for raw materials for processed food industry, as well as to analyze the influence of the behavior of the actors involved in the potato supply chain. The results of the discussion of this research is that there were four major players in the supply chain industry that potato farmers, farmer groups, distributors / suppliers and the consumer industry. Of the four actors, the consumer industry has an active role compared to the other actors, because the consumer industry is actors who have capital. Another result of the discussion is the behavior of these actors can affect the supply of potatoes, from the farmer to the consumer industry. Keywords: potato supply chain structure, the behavior of the actor, the potatoes supply
PENDAHULUAN Struktur Pelaku dalam rantai pasok mempunyai karakteristik dan perilaku yang khas sesuai dengan fungsi dan
232
perannya masing-masing. Struktur ini mencerminkan rangkaian pelaku yang terlibat dalam rankaian rantai pasokan, antara satu pelaku dengan pelaku lainnya mempunyai keterkaitan yang tidak dapat
Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
dipisahkan. Keterkaitan tersebut mengakibatkan saling membutuhkan, selain itu juga mempunyai ikatan yang kuat, meskipun diantara pelaku itu tidak memberikan keuntungan yang sama. Ikatan keterkaitan diantara pelaku dalam rantai pasokan kentang ini dinyatakan dalam perilaku pelaku. Perilaku tersebut menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberlangsungan ikatan diantara pelaku itu. Perilaku dapat dinyatakan sebagai sekumpulan aksi dari manusia yang didasari oleh kemauannya (Reynolds, 1999). Perilaku juga bisa dikatakan sebagai respon dari setiap individu, grup kelompok tertentu terhadap lingkungannya (Thalmann et.al, 1999). Perilaku yang dilakukan oleh para pelaku yang terlibat dalam pengusahaan kentang ini mempunyai ciri dan karakteristik yang khas serta kompleks. Jika dilihat pada suatu konteks rantai pasokan, kompleksitas dan kepentingan masing-masing pelaku ini harus memberikan nilai tambah bagi setiap pelaku yang terlibat. Perilaku pelaku dalam rantai pasok kentang ini mempunyai kompleksitas dan kepentingannya masing-masing sesuai dengan posisinya, dimana kepentingan tersebut, jika dilihat pada suatu konteks rantai pasok harus dapat memberikan nilai tambah atau keuntungan bagi anggota rantai pasok tersebut. Ada beberapa tingkatan pelaku dalam rantai pasok kentang, dimana dimasing-masing pelaku tersebut mempunyai hubungan perilaku antar pelaku. Salah satu aspek yang dikaji dalam manajemen rantai pasok adalah masalah pasokan. Jumlah pasokan di masing-masing pelaku perlu dikendalikan dalam suatu sistem yang terintegrasi mulai dari hulu sampai hilir. Berdasarkan penelitian terdapat perilaku pelaku yang dapat menyebabkan tidak
optimalnya tingkat pasokan dalam rantai pasok kentang. Manajemen rantai pasok yaitu suatu metode dalam bekerja sama membuat produk yang murah, mengirimkannya tepat waktu dan dengan kualitas yang bagus yang didasari oleh kesadaran bahwa kuatnya sebuah rantai pasokan tergantung pada kekuatan seluruh elemen yang ada di dalamnya baik internal maupun eksternal, serta secara langsung maupun tidak langsung dalam memenuhi keinginan konsumen. Pengertian, kepercayaan, dan aturan main merupakan faktor sukses dalam rantai pasokan (Krajewski dan Ritzman, 2005; Pujawan, 2006; Chopra dan Meindl, 2007). Dari beberapa pengertian mengenai rantai pasokan yang dikembangkan oleh beberapa sumber (Lambert et.al, 1998; Chopra dan Meindl, 2007; Pujawan, 2006, Simchi Levi et.al, 2006) maka didapatkan definisi supply chain sebagai “suatu jaringan yang terdiri atas beberapa perusahaan yang bekerjasama dan terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam memenuhi permintaan pelanggan, dimana perusahaan-perusahaan tersebut melakukan fungsi pengadaan material, proses transformasi material menjadi produk setengah jadi dan produk jadi, serta distribusi produk jadi tersebut hingga ke konsumen akhir”. Tujuan yang hendak dicapai dari setiap rantai suplai adalah untuk memaksimalkan nilai yang dihasilkan secara keseluruhan (Chopra dan Meindl, 2007). Rantai suplai yang terintegrasi akan meningkatkan keseluruhan nilai yang dihasilkan oleh rantai suplai tersebut. Untuk memenuhi kriteria dari definisi tersebut diperlukan suatu koordinasi antara pihak-pihak yang terkait pada
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
233
rantai pasokan. Diantara bentuk koordinasi tersebut adalah adanya pengendalian pasokan pada masing-masing pelaku rantai pasok (Pujawan, 2006 dan Radhakrishnan, 2009). Fungsi pasokan tersebut adalah untuk menjaga pasokan kentang dari hulu sampai hilir sehingga tidak terjadi kekurangan. Upaya yang dilakukan dalam makalah ini adalah teridentifikasinya perilaku pelaku yang terlibat dalam rantai pasok kentang, dan terpetakannya pengaruh perilaku pelaku dalam penentuan tingkat pasokan dalam rantai pasok kentang. METODE PENELITIAN Untuk memenuhi permintaan ter-hadap kentang, baik penyalur/supplier maupun konsumen memerlukan suatu tingkat pasokan yang memadai sehingga terjadi keseimbangan antara permintaan dan pasokan, yang menjadikan pasokan kentang tercukupi dengan tingkat harga yang adil diantara para pelaku ini. Untuk membuat pengendalian pasokan yang efektif, tujuan paling utama adalah untuk memprediksi dimana, mengapa, dan berapa banyak kontrol yang harus diperlukan, yang dalam hal ini dipengaruhi oleh perilaku pelaku dan mitranya dalam suatu rantai pasok. Untuk memperkirakan tingkat stok kentang yang harus dijaga oleh para anggota masing-masing rantai pasokan di masa mendatang. Dalam makalah ini diidentifikasi dan dianalisis struktur dan perilaku pada setiap pelaku rantai pasok. Prosedur Penelitian Secara garis besar penelitian ini mempunyai beberapa tahap. Tahap pertama adalah mempelajari perilaku pelaku dari berbagai sumber, tahap kedua adalah pengumpulan data yang berupa identifikasi dari perilaku pelaku dan suplai-
234
nya, tahap ketiga adalah pengolahan data dan analisis dari hasil identifikasi, tahap keempat adalah kesimpulan. Pada tahap pertama akan dipelajari perilaku dari setiap pelaku pada komoditi kentang secara umum, yang dikaitkan dengan berbagai macam prinsip dalam rantai pasok, hasil dari tahap ini adalah teridentifikasinya pelaku rantai pasok kentang serta karakteristiknya. Selain itu dipelajari juga konsep dasar dan berbagai prosedur dasar manajemen rantai pasok yang berkaitan langsung dengan perilaku pelaku komoditi kentang. Kemudian melakukan survey langsung ke lapangan dengan objek komoditi kentang yang berada di wilayah Pangelengan Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Tahap kedua pengumpulan data mengenai karakteristik dari masing-masing pelaku komoditi kentang. Tahap ketiga dilakukan pengolahan data dan analisis dari karakteristik dari setiap pelaku. Tahap keempat adalah merumuskan rekomendasi kebijakan dalam rangka meningkatkan kinerja system ini melalui aspek perilaku dari setiap pelaku dalam rantai pasok. Struktur langkah penelitian ini ada pada Gambar 1. Lokasi Penelitian Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang menjadi produsen terbesar penghasil kentang di Indonesia dengan luas lahan sebesar 15,344 ha dan produktivitas sebesar 20,88 ton/ha. Kabupaten Bandung, khususnya Kecamatan Pangalengan merupakan salah satu sentra penghasil kentang yang sangat potensial. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan di kota kecamatan tersebut. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari laporan kajian terdahulu yang relevan dan
Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
jurnal ilmiah serta dari berbagai sumber yang terkait. Data primer diperoleh dari observasi lapang, yakni dengan secara langsung melihat dan mengamati kegiatan-kegiatan rantai pasok dari produsen (petani dan kelompok tani), penyalur/supplier hingga konsumen. Kemudian melakukan wawancara mendalam, yang dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai perilaku dari masing pelaku, jumlah produksi dan penjualan, alat transportasi, distribusi dan pasokan serta hubungannya dengan tingkat suplai
kentang dari para pemangku kebijakan yang dikaji. Metode Pengolahan Data Data yang sudah dikumpulkan diolah dengan metode deskriptif kualitatif. Untuk menganalisis struktur pelaku dan perilaku daru masing-masing pelaku dalam rantai pasokan kentang ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang akan diuraikan mulai dari hulu sampai hilir, yaitu dimulai dari petani sampai konsumen.
Studi literatur
Latar belakang dan perumusan masalah
Ruang lingkup penelitian
Tujuan penelitian
Identifikasi perilaku pelaku dalam rantai pasok
Identifikasi struktur rantai pasokan
Identifikasi perilaku dan karakteristiknya dalam rantai pasok
Identifikasi pelaku dalam rantai pasokan Analisis pelaku dan tugas serta peran pelaku dalam rantai pasok
Analisis perilaku pelaku dalam rantai pasok
Interaksi perilaku masing-masing pelaku dalam struktur rantai pasokan Analisis Masalah Penutup
Gambar 1. Langkah penyelesaian
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Luas Lahan, Produktivitas dan Ekonomi kentang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang menggambarkan pertumbuhan produksi
barang dan jasa di suatu wilayah perekonomian dalam selang waktu tertentu. Produksi tersebut diukur dalam nilai tambah yang diciptakan oleh sektorsektor ekonomi di wilayah bersangkutan
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
235
yang secara total dikenal sebagai Produk Domestik Bruto (PDB). Indikator pertumbuhan ekonomi salah satunya adalah sektor pertanian, sektor ini masih menjadi salah satu andalan masyarakat Kabupaten Bandung menjadi mata pencaharian utama, selain itu sektor pertanian secara statistik masih cukup potensial untuk bisa dikembangkan, baik dari areal lahan maupun kependudukan yang bergerak disektor ini. Meskipun secara data kependudukan, mata pencaharian masyarakat Kabupaten Bandung di Sektor pertanian tidak lagi menjadi lapangan kerja terbesar (18,91%) pada tahun 2010, dibandingkan sektor Industri (29,23%) dan Perdagangan (20,50%). Namun Potensi sektor Pertanian masih menjadi yang paling besar di banding dengan sektor-sektor lain sebagai sektor penyedia lapangan kerja, kesempatan kerja berasal dari sektor pertanian, diikuti sektor perdagangan, industri, dan jasajasa. Kentang merupakan salah satu komoditi dari produk pertanian yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sehingga dapat berperan dalam menambah sector ekonomi sebuah wilayah dan Negara. Produksi kentang di Indonesia mencapai 1.174.068 ton dengan luas areal panen sekitar 71,302 hektar, sehingga rata-rata produksi per hektarnya adalah 16,47 ton. Daerah-daerah sentra produksi kentang di Indonesia terdapat di 22 propinsi. Dari 22 propinsi lebih dari separuhnya memiliki tingkat produktivitas yang tinggi, lebih dari 10 ton kentang per hektar. Data produktivitas tertinggi berada di propinsi Jawa Barat, yaitu sekitar 20,88 ton per hektar. Di antara propinsi produsen kentang ada propinsi tertentu yang dianggap sebagai pusat produksi kentang di Indonesia. Pada tahun 2008, Propinsi dengan produksi kentang terbesar berturut-turut adalah
236
Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, Jogyakarta, NAD, Banten, Lampung, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Kelima belas propinsi ini menyumbang sekitar 88 persen produksi kentang di Indonesia. Perkembangan rata-rata per tahun harga kentang di tingkat produsen dan konsumen di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir yaitu tahun 1997 – 2007 menunjukkan kecenderungan meningkat dengan rata-rata pertumbuhan per tahun masingmasing sebesar 19,77 % harga tingkat produsen dan 18,68 % harga tingkat konsumen. Produksi pertanian hortikultura pada 2012 di Kabupaten Bandung cenderung stabil dengan tahun sebelumnya. Luas areal tanaman hortikultura di Kabupaten Bandung mencapai 75.000 hektare. Berdasarkan data Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bandung pada 2011 ada lima komoditas produksi hortikultura yang menjadi unggulan, a.l bawang merah 20.886,5 ton, bawang daun 49.570,2 ton, kubis 109.325,8 ton, kentang 110.793,4 ton, serta cabe besar 20.820 ton. Daerah sentra penghasil produk hortikultura di Kabupaten Bandung tersebar terutama di wilayah Pangalengan, Cimenyan, Cilengkrang, Ciwidey, Pasirjambu, Rancabali, dan Kertasari. Kabupaten Bandung memiliki potensi produksi kentang yang tersebar di tiga kecamatan a.l Pangalengan 9.186 ha, Kertasari 2.891 ha, dan Cimenyan 1.761 ha dengan volume produksi per Juli 2012 mencapai 760.176 kuintal. Data lengkap produksi, luas panen dan luas tanam di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bandung dari tahun 2007 sampai tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
Tabel 1. Produksi, Luas Panen dan Luas Tanam Kentang di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011
Produksi (Ton) 337,369 294,564 323,543 275,100 220,155
Luas Panen (Ha) 16,479 13,873 15,344 13,553 11,327
Luas (Ha) 16,135 14,358 13,261 13,972 12,195
Tanam
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2012)
Tabel 2. Produksi, Luas Panen dan Luas Tanam Kentang di Kabupaten Bandung
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011
Produksi (Ton) 194,198 128,984 182,858 114,784 105,926
Luas Panen (Ha) 9,907 6,381 8,988 5,606 5,078
Luas Tanam (Ha) 9,669 7,145 7,007 5,831 5,243
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat (2012)
Produktivitas sayuran di Kabupaten Bandung pada tahun 2010 mencapai 141,06 kwt/ha, bila dibandingkan dengan tahun 2007-2009 produktivitas ini meningkat, namun bila dibandingkan dengan tahun 2006 produktivitas tersebut
menurun, di mana pada tahun 2006 produktivitas sayuran mencapai 36,38 ton/ha. Adapun Total ekspor dan impor komoditas sayuran di Indonesia ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Total ekspor dan impor komoditi sayuran di Indonesia tahun 2002 – 2011
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Ekspor (Ton) 105.243 120.500 107.493 152.658 236.225 211.906 172.733 195.533 138.106 133.948
Impor (Ton) 297.032 343.935 441.944 508.324 550.437 782.226 914.283 871.087 851.369 1.174.286
Sumber : Departemenn Pertanian dan BPS (2012)
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
237
Analisis Struktur Rantai Pasokan dan Pasar Kentang Pola rantai pasokan komoditas hortikultura secara umum terdapat beberapa pihak selain produsen dan konsumen, yaitu lembaga-lembaga perantara yang menghubungkan sentra produksi dan sentra konsumsi dengan melakukan berbagai aktivitas yang memberikan nilai guna bagi produk yang dipasarkan. Jumlah dan jenis lembaga perantara tersebut secara horizontal dan vertical sangat dipengaruhi oleh jenis komoditas yang dipasarkan, fasilitas pemasaran yang tersedia dan keinginan pasar sasaran yang hendak dicapai. Semakin banyak dan kompleks permintaan konsumen dan semakin banyak perubahan bentuk dari komoditas yang dipasarkan sebelum sampai di tangan konsumen, maka akan semakin banyak pula menuntut kehadiran para lembaga perantara. Secara umum pola rantai pasokan kentang yang ada di Pangalengan Kabupaten Bandung adalah seperti yang ada pada Gambar 2, rantai tersebut mempunyai beberapa pelaku, yaitu petani, kelompok tani, pengumpul/-
supplier, pedagang pengumpul, pasar induk, industri pengolah, pasar menengah, pasar kecil, dan konsumen rumah tangga. Petani dengan modal yang besar mereka sudah mempunyai jaringan distribusi tersendiri, mulai penyediaan bibit sampai pendistribusian ke konsumen, sedangkan petani dengan modal terbatas mereka biasanya melakukan kemitraan dengan pedagang pengepul atau pedagang besar. Posisi petani mempunyai peran yang pasif disbandingkan dengan posisi pelaku lainnya, karena tugas utama petani ini adalah menanam kentang sesuai dengan instruksi dari sipemilik benih/modal yaitu pedagang besar atau pengumpul yang nantinya hasil dari panen kentang tersebut harus dijual kepada pemilik modal tersebut sesuai harga yang sudah disepakati. Salah satu kelemahan dari petani yang bermodal kurang ini adalah mereka tidak mempunyai daya tawar yang kuat terhadap pemodal besar dalam masalah harga jual kentang akibatnya petani mempunyai profit margin yang kecil sehingga mendapat keuntungan yang kecil pula dibandingkan degan pelaku lainnya yang ada dalam rantai pasok kentang ini.
Gambar 2. Pola rantai pasokan kentang secara umum (Mohamad Noor, Asep et.al, 2012)
238
Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
Untuk kentang industry rantai pasokannya sedikit berbeda dengan pola rantai pasokan kentang non industry, pola rantai pasokan kentang industry ini mempunyai kemitraan yang terstruktur dengan mitra kerjanya. Pola kemitraan yang terjadi antara petani dengan mitranya adalah berupa kesepakatan/komitmen yang terbangun antara kedua belah pihak. Kesepakatan tersebut tidak dalam bentuk MoU tertulis, namun lebih bersifat verbal dan harus saling mentaati. Pihak pedagang besar/pengepul/perusahaan mitra mengharapkan agar para petani yang terwadahi dalam kelompok tani melakukan budidaya kentang secara baik dengan sumber benih dari pihaknya dan selanjutnya pedagang besar/pengepul/perusahaan mitra akan menampung seluruh hasilnya dari para petani dengan harga kontrak yang disepakati kedua belah pihak. Kedua belah pihak mempunyai kewajiban dan hak yang Petani
Kelompok Tani
harus ditaatinya. Kewajiban petani adalah mendapatkan varietas bibit yang disediakan mitranya, melakukan budidaya kentang dan menjual hasilnya kepada mitranya. Hak petani adalah mendapatkan jaminan harga dan pasar sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Adapun kewajiban pedagang besar/pengepul/perusahaan mitra adalah menyediakan bibit, menyediakan sarana penunjang produksi, melakukan pendampingan dan pembinaan serta menampung hasil produksi petani. Sedangkan haknya adalah mendapatkan jaminan produksi kentang baik dari segi jumlah, kualitas, dan kontinuitas berdasarkan kesepakatan yang sudah disepakati diawal. Adapun struktur rantai pasok kentang industry seperti digambarkan pada Gambar 3, struktur tersebut terdiri atas empat pelaku yaitu petani, kelompok tani, pengumpul/supplier dan konsumen industri.
Pengumpul/Supplier
Konsumen Industri
Gambar 3. Jaringan Rantai pasokan kentang industry (Mohamad Noor, Asep et.al, 2012)
Dengan mengacu kepada Gambar 1 dan Gambar 2, maka struktur pasar pun akan berbeda antara kedua jenis kentang yang diusahakan oleh para petani kentang di wilayah Pangalengan Kabupaten Bandung. Untuk kentang non industry, struktur pasarnya cenderung mengikuti musim panen. Pada musim panen raya petani kentang di Jawa Barat menghadapi struktur pasar yang cenderung oligopsonistik dan pada musim panen biasa petani kentang menghadapi struktur pasar yang relative bersaing, karena masuknya pedagang besar di daerah tujuan pasar yang masuk ke daerahdaerah sentra produksi. Struktur pasar oligopsonistik yang dihadapi petani tersebut dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut: (1) jumlah pedagang relatif terbatas; (2) harga ditentukan oleh pedagang besar antar kota dan pedagang
besar ditujuan pasar utama, terutama pasar induk; (3) proporsi nilai tambah atau keuntungan yang diterima petani cenderung jatuh pada saat musim panen raya; (4) proporsi keuntungan yang diterima pelaku tataniaga relatif besar; (5) seringkali dalam satu kawasan sentra produksi kentang hanya beberapa pedagang yang sangat berpengaruh, dialah sebagai leading traders (Adang Agustian et.al., 2008). Sedangkan untuk pasar kentang industry, struktur pasarnya mendekati monopsoni, yaitu jumlah petani yang banyak berhadapan dengan satu konsumen. Analisis Peran dan Perilaku Pelaku dalam Rantai Pasokan Kentang Dengan merujuk pada Gambar 2 diatas, secara garis besar pelaku yang terlibat dalam rantai pasokan kentang
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
239
industry ini ada tiga pelaku utama, yaitu produsen, pengumpul/supplier dan konsumen. Produsen adalah pelaku yang terdiri atas petani dan kelompok tani, yaitu yang melakukan penanaman bibit kentang sampai memanen kentang, kemudian menjualnya ke pelaku berikutnya. Pengumpul/supplier adalah pelaku yang melakukan pengumpulan/menampung kentang yang dipanen oleh produsen kemudian menjualnya kepada pihak selanjutnya. Konsumen industry adalah pelaku yang memproduksi produk yang berbahan baku kentang kemudian menjualnya kepada konsumen pemakai/pengguna. Dari masing-masing pelaku yang terlibat dalam rantai pasokan kentang mempunyai tugas sesuai dengan perannya masing-masing. Tugas masing-masing pelaku tersebut mempunyai keterkaitan antara satu pelaku dengan pelaku lainnya. Adapun tugas dari masing-masing pelaku ini ada pada Tabel 1. Tugas petani dan kelompok tani ini menentukan waktu yang akan dijadikan sebagai masa tanam, menentukan luas lahan yang diperlukan sesuai dengan kemampuan petani dan kebutuhan konsumen, juga menyesuaikan
dengan ketersediaan bibit yang ada di pihak konsumen sebagai penyedia bibit, tugas berikutnya dari produsen adalah menentukan biaya yang diperlukan untuk proses penanaman, perawatan, sarana produksi pertanian dan pada saat panen, tugas terakhir dari produsen adalah melakukan pemanenan kentang sesuai dengan jadual yang telah ditentukan sebelumnya. Penyalur atau supplier mempunyai tugas utama merespon jumlah benih yang dibutuhkan oleh para petani yang kemudian menginformasikannya kepada pihak konsumen yang merupakan penyedia bibit kentang, kemudian merespon kebutuhan lahan yang diperlukan oleh petani untuk memenuhi kebutuhan bibit dan kentang yang akan dipanen. Tugas utama pelaku konsumen adalah merencanakan proses produksi pada setiap periode dengan menentukan kebutuhan kentang sebagai bahan baku utamanya, menentukan standar mutu kentang yang sesuai dengan standar industry, dan tugas berikutnya adalah menyediakan bibit yang sesuai dengan karakteristik kentang yang diinginkan oleh industry yang nantinya akan ditanam oleh para petani.
Tabel 4. Tugas Pelaku dalam rantai pasok kentang industri Tipe Pelaku
Tugas Pelaku menentukan periode tanam dalam 1 tahun
Produsen (Petani dan Kelompok Tani)
menentukan luas lahan diperlukan menentukan jumlah bibit yang dibutuhkan menentukan jumlah biaya yang diperlukan memanen kentang
Penyalur/supplier
Konsumen industry
merespon jumlah benih yang dibutuhkan oleh petani merespon luas lahan yang digunakan oleh petani memilah kentang yang sesuai dengan standar industry menyediakan benih yang dibutuhkan oleh petani merencanakan proses produksi setiap periode
Dari tugas pelaku pada Tabel 4, pelaku dalam rantai pasokan kentang ini mempunyai perilaku yang dapat ber-
240
interaksi antara satu pelaku dengan pelak lainnya. Interaksi perilaku tersebut mencerminkan korelasi antar pelaku
Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
dalam rantai pasokan dalam mendistribusikan kentang dan mentransformasikan informasi kebutuhan kentang yang diperlukan oleh konsumen industry dalam rangkan memenuhi kapasitas produksinya. Perilaku pelaku produsen ini bersifat pasif diabandingkan dengan dua pelaku lainnya. Tugas utama dari pelaku produsen (petani dan kelompok tani) adalah merespon permintaan kentang yang diajukan oleh konsumen dengan membuat perjanjian yang tidak tertulis diantara keduanya untuk memenuhi permintaan kentang dengan menanam kentang sesuai permintaan konsumen, kemudian menanam kentang dilahan yang sudah ditentukan dengan jumlah bibit yang telah disepakati dengan konsumen sebagai penyedia bibit. Produsen ini juga harus menjual hasil kentang kepada pihak konsumen sesuai dengan harga jual yang sudah disepakati pada awal penanaman. Pihak konsumen dalam perjanjian ini harus dapat menyediakan bibit yang sesuai dengan kesepakatan, baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Produsen juga harus dapat menjaga kontinuitas jumlah pasokan kentang. Jumlah kentang yang dipanen pada satu periode masa tanam akan diperhitungkan dengan jumlah bibit yang didapat oleh produsen pada waktu masa tanam. Perhitungan ini didasarkan kepada jumlah kentang yang lolos uji kualitas yaitu dari aspek diameter kentang yang di syaratkan oleh konsumen, sedangkan kentang yang tidak lolos uji kualitas akan dicatat dan disimpan oleh penyalur/supplier yang kemudian akan digunakan kembali sebagai bibit untuk masa tanam pada periode berikutnya. Dalam kesepakatan anatara produsen dan konsumen, produsen tidak diperbolehkan untuk menjual hasil panennya kepada pihak lain selain kepada konsumen yang sudah melakukan kontrak kerja sama. Jika terdapat produsen menjual hasil panennya kepada pihak lain maka konsumen berhak untuk menjatihkan sanksi kepada
produsen, sanksi yang diberikan kepada produsen yang melanggar kesepakatan adalah tidak diikut sertakan sebagai mitra kerja pada masa tanam untuk peride berikutnya. Sanksi ini diberikan kepada seluruh anggota kelompok tani, meskipun yang melanggar tidak semua anggiota. Hubungan antara produsen dan konsumen ini dijembatani oleh penyalur/supplier yang mempunyai perilaku merespon keinginan dari kedua belah pihak. Penyalur/supplier ini melakukan distribusi kentang kepada pihak konsumen sesuai jadual yang sudah disepakati antara supplier dan konsumen. Perilaku dari pelaku penyalur ini bersifat semi aktif. Tugas utama agen penyalur/supplier adalah menampung hasil panen kentang dari produsen yang kemudian mendistribusikannya kepada konsumen sesuai dengan kesepakatan dengan konsumen. Konsumen industry bersifat aktif, karena pelaku ini mempunyai perilaku mencari kentang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Untuk produksi kentang dalam negeri pelaku ini mengadakan kerja sama dengan produsen yang salah satunya yang berada di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Konsumen mengadakan kesepakatan dengan penyalur/supplier dan produsen untuk menghasilkan kentang yang sesuai dengan karakteristik dan kualitas yang telah ditetapkan. Untuk mencapai target tersebut konsumen harus dapat menyediakan bibit kentang, mengadakan pendampingan dan membeli kentang dari produsen melalui penyalur/supplier sesuai dengan kesepakatan. Kesepakatan harga jual bibit dan kentang antara konsumen dan produsen didasarkan kepada kesepakatan bisnis sehingga memberikan keuntungan yang sama. Selain daripada itu, konsumen juga merespon permintaan kebutuhan bibit yang diajukan oleh pihak produsen sesuai dengan luas lahan yang dimiliki oleh produsen. Membuat kesepakatan dengan
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
241
produsen dalam hal harga jual kentang antara produsen dan konsumen. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan pihak petani dan kelompok tani, ditemukan adanya pihak petani/kelompok tani yang pernah melakukan penjualan hasil panennya kepada pihak lain selain konsumen yang menjadi mitra kerjanya, meskipun yang melakukan hal ini tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sering. Hal ini salah satu akibatnya mengurangi pasokan kentang pada periode tersebut. Ada beberapa alasan mengapa petani menjual hasil panennya, diantaranya adalah motif ekonomi. Motif ini adalah petani menjual kentang ini karena tergiur oleh harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang sudah disepakati oleh petani dengan pihak perusahaan mitranya. Selain tergiur oleh harga yang tinggi juga karena keterpakasaan petani karena adanya kebutuhan faktor keluarga. Sebab lain adalah para petani ini membutuhkan uang tunai, karena pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan mitra ini biasanya tidak dilakukan secara tunai dan margin keuntungan yang relatif kecil yang didapatkan oleh petani. SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan dan anlisis yang sudah dilakukan dalam rantai pasokan kentang industry di Kecamatan Pangelengan ini terdapat empat pelaku utama yang terlibat. Keempat pelaku tersebut adalah petani, kelompok tani, penyalur/supplier dan konsumen industry. Keempat pelaku ini mempunyai tugas dan peran serta perilaku yang khas sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dalam menjalankan tugas dan perannya tersebut keempat pelaku ini terjadi interaksi yang saling berkaitan antar pelaku yang dapat mem-pengaruhi terhadap pasokan kentang dalam rantai pasokan. Jika terjadi peri-laku yang menyimpang dari apa yang sudah ditetapkan dan disepakati oleh
242
masing-masing pelaku ini akan mengganggu kepada pasokan secara keseluruhan. Kerugian ini akan ditanggung oleh semua pelaku, karena keempat pelaku mempunyai hubungan yang saling kuat, meskipun mempunyai peran yang berbeda. Petani dan kelompok tani mempunyai peran yang pasif, penyalur/supplier semi aktif dan konsumen industry aktif.
DAFTAR PUSTAKA Agustian, Adang; Henny Mayrowani (2008), Pola Distribusi Komoditas Kentang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 9, No.1, hal. 96 – 106. Bahagia, Senator Nur (2006), Sistem Persediaan, Penerbit ITB. Beamon, BM (1998); Design Supply Chain and analysis: Models and methods; International Journal Production Economics, (P. 281 – 294) Bonabeau, E (2002), Agent-based modeling : Methods and techniques for simulating human systems Chen, Yuerong, Xueping Li (2009), The Effect of Customer Segmentation on an Inventory system in The Presence of Supply Disruptions, Proceedings of the Winter Simulation Conference Chopra, Sunil., Peter Meindl (2007). “SupplyChain Management: Strategy, Planning and Operations”, 3rd Edition. Pearson Education International, Upper Saddle River, NY: Prentice-Hall. Fu, Y. et al, (2000), Multi-Agent Enable Modeling and Simulation Towards Collaborative Inventory Management in Supply Chains, Proceedings of the 2000 Winter Simulation Conference.
Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
Ganeshan, R (1999); Managing Supply Chain Inventories: A multiple retailer, one warehouse, multiple supplier models; International Journal of Production Economics, Volume 59. Gunawan, Hendra, A. Benny Mutiara (2012), Perancangan Sistem Simulasi Pasar Komoditi Berbasis Agen Cerdas Menggunakan JADE, Skripsi Fakultas Ilmu Komputer dan Sistem Informasi Universitas Gunadarma Huan, Samuel H., Sunil K. Sheoran, Ge Wang (2004), A review and analysis of supply chain operations reference (SCOR) model, supply chain management : An International Journal Volume 9, No. 1. ---------, (2012), Jabar Dalam Angka, BPS Provinsi Jawa barat ---------, (2012), Laporan tiga bulanan, Dinas Tanaman Pangan Provinsi Jawa barat ---------, (2012), Laporan tahunan Kementrian Pertanian Republik Indonesia ---------, (2010), Kabupaten Bandung Dalam Angka, BPS Kabupaten Bandung dan BAPEDA Kabupaten Bandung Jammernegg, W et al (2007); Performance improvement of Supply Chain processes by coordinated inventory and capacity management, International Journal of Production Economics, Volume 108 Jauhari, Wakhid Ahmad (2006), “Model Persediaan Terintegrasi Pada Sistem Supply Chain yang Melibatkan Pemasok, Pemanufaktur dan Pembeli’, Jurnal Ilmiah Teknik Industri Vol. 5 No. 2, hal 82 – 88 Jeyanthi, N., P. Radhakrishnan (2010), “Optimizing Multi product Inventory using Genetic Algorithm for efficient Supply Chain Management involving Lead Time”, IJCSNS International Journal of Computer Science and Network Security, VOL.10 No.5.
Kashif, Ayesha., Xuan Hoa Binh Le (2011), Agent Based Framework To Simulate Inhabitants Behaviour In Domestic Settings For Energy, Proceeding 3rd International Conference on Agents and Artificial Intelligence, Rome, Italy. http://membresliglab.imag.fr/dugdale/papers/ICAA RT_2011_final.pdf, download Maret 2011. Narmadha, S., Selladurai, V., (2009), Multi-factory, Multi-Product Inventory Optimization using Genetic Algorithm for Efficient Supply Chain Management, IJCSNS International Journal of Computer Science and Network Security, VOL.9 No.12. Narmadha, Selladurai dan Sathish (2010), Multi-Product Inventory Optimization using Uniform Crossover Genetic Algorithm, International Journal of Computer Science and Information Security, Vol. 7, No. 1, Parunak, H. Van Dyke., Robert Savit, Rick L. Riolo (1998), Agent-Based Modeling vs. Equation-Based Modeling: A Case Study and Users’ Guide, Proceedings of Multi-Agent systems and Agent-based Simulation, Springer Radhakrishnan, P. et al (2009), Optimizing Inventory Using Genetic Algorithm for Efficient Supply Chain Management, Journal of Computer Science 5 (3) : 233-241. Sabri, EH et al (2000); A multi-objective approach to simultaneous strategic and operational planning in Supply Chain design International Journal of Production Economics Volume 28 Sutopo, Wahyudi, Senator Nur Bahagia, Andi Cakravastia, dan TMA. Ari Samadhi (2008), A Buffer Stocks Model for Stabilizing Price of Commodity under Limited Time of Supply and Continuous
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 17, No. 3, Desember 2012
243
Consumption, Proceedings of the 9th Asia Pasific Industrial Engineering & Management Systems Conference. Zambonelli, Jennings, dan Wooldridge (2003), Developing MultiAgent
244
Systems : The Gaia Methodology, ACM Transactions on Software Engineering and Methodology, Vol. 12, No 3
Mohamad Noor, dkk., Analisis Struktur.....
AUTHORS INDEXING
A. Benny Mutiara 1 B. Ati Harmoni, 1
Marino Defonso, 1
Asep Mohammad Noor 1
Moh Ali Sahab, 1
Benni Antoni Parulian P, 1
Moh Alifuddin, 1
D. Farida Sinaga, 1
Nopirin, 1
Dessy Hutajulu, 1
Peni Sawitri, 1
Diani Marischawati, 1
Reni Diah Kusumawati, 1
Didin Mukodim, 1
Roderick Macdonald, 1
Eka Dyah Setyaningsih, 1
Ryan Hartanto Winata, 1
Endri, 1
Sigit Setiawan, 1
Henny Medyawati, 1
Sri Sumariyati, 1
Hotniar Siringoringo, 1
Sri Wulan Windu Ratih, 1
Indah Yuliasih 1
Sugiharti Binastuti, 1
J.E. Sutanto, 1
Tety Elida, 1
Joanna Hernik, 1
Theodosia C. Nathalia, 1
Komsi Koranti, 1
Yessy Artanti, 1
Machfud 1
Yustisia Kristiana, 1
Marcin GĊbarowski, 1
Marliza Ganefi, 1
KEYWORDS INDEXING Advertising 2, 2 Antecedent 1, 5 Anteseden Berwirausaha 1, 5 Bank Efficiency, Efisiensi Bank 2, 7 Bank Size, Ukuran Bak 2, 7 Biaya Peralihan 1, 6 Brand, Merek 1, 4 Brand, Merek 2, 2 Cash Ratio, Rasio Kas 1, 2 Commercial Bank, Bank Umum 2, 5 Corporate Governance, Tata Kelola Perusahaan 2, 4 Country Of Origin, Negara Asal 1, 4 Credit Card, Kartu Kredit 2, 6 CREDIT UNIONS 2, 1 Crisis 14 Customer Interest, Minat Nasabah 2, 6 Customer Loyality, Loyalitas Pelanggan 1, 6 Customer Satisfaction, Kepuasan Pelanggan 1, 6 DEA 2, 7 Debt To Equity Ratio, Rasio Pinjaman Terhadap Ekuitas 1, 2 Determinants Of Job Satisfaction, Determinan Kepuasan Kerja 1, 3 Devidend Payout Ratio 1, 2 Domestic Bank, Bank Domestic 2, 7 Earning Per Share, Rasio Pembagian Dividen 1, 2 Empowerment of Employes, Pemberdayaan Karyawan 2, 4 Entrepreneur Intention, Keinginan Berwirausaha 1, 5 Environtment, Lingkungan 2, 2 Ethics 14 Export, Ekspor 2, 3 Female Student, Mahasiswi 1, 5 Financial Performance, Kinerja Keuangan 2, 5 Financial Ratio, Rasio Keuangan 2, 5 Foreign Bank, Bank Asing 2, 7
Free Trade Area, Kawasan Perdagangan Bebas 2, 3 Harga 2, 2 Impact Assessment, Analisis Dampak 2, 3 Jakarta DC, Ibu Kota Jakarta 1, 1 Job Performance, Kinerja 1, 3 Job Satisfaction, Kepuasan Kerja 1, 3 Liquidity Risk, Risiko Likuiditas 2, 5 Local Government, Pemerintah Daerah 1, 1 Management 14 MISSION CREEP 2, 1 Performance, Kinerja 2, 4 PMKS 1,1 Polish SME 14 Potato supply chain structure, struktur rantai pasokan kentang 86 The potatoes supply, rantai pasokan kentang 86 Preferensia Tradel, Perdagangan Preferensial 2, 3 Price, Harga 1, 4 Product, Produk 2, 2 Promotions, Promosi 2, 6 Purchase Decision, Keputusan Pembelian, 1, 4 Purchase Intention, Minat Beli 2, 2 Return on Investment, Rasio Pengembalian Investasi 1, 2 Risk Market, Risiko Pasar 2, 5 Self-Efficacy, Efikasi Diri 1, 5 Service Quality, Kualitas Layanan 2, 6 Smes, UKM 2, 4 Street Children, Anak Jalanan 1,1 The Decision of Customers, Keputusan Nasabah 2, 6 The behavior of the actor, perilaku pelaku 86 Trust in Company, Kepercayaan Terhadap Perusahaan 1, 4
$87+25*8,'(/,1(6
Article structure x Title page x $EVWUDFWDQGNH\ZRUGV x %DFNJURXQG x 5HVHDUFK0HWKRG x 5HVXOW 'LVFXVVLRQ x &RQFOXVLRQDQG6XJJHVWLRQ General guidance x 8VH$PHULFDQ(QJOLVK x 8VHSDJHOD\RXWZLWKPDUJLQFP$ x SDJHVOHQJWK x 6LQJOHVSDFHVLQJOHFROXPQ715SW Essential title page information x Provide in separate page. x Title. &RQFLVHDQGLQIRUPDWLYH7LWOHVDUHRIWHQXVHGLQLQIRUPDWLRQUHWULHYDOV\VWHPV$YRLGDEEUHYLDWLRQVDQGIRUPXODHZKHUHSRVVLEOH x $XWKRUQDPHVDQGDI¿OLDWLRQV :KHUHWKHIDPLO\QDPHPD\EHDPELJXRXVHJ D GRXEOH QDPH SOHDVH LQGLFDWH WKLV FOHDUO\ 3UHVHQW WKH DXWKRUV¶ DI¿OLDWLRQ DGGUHVVHV ZKHUH WKH DFWXDO ZRUN ZDV GRQH EHORZ WKH QDPHV ,QGLFDWH DOO DI¿OLDWLRQV ZLWK D ORZHUFDVH VXSHUVFULSW OHWWHU LPPHGLDWHO\ DIWHU WKH DXWKRU¶V QDPH and in front of the appropriate address. Provide the full postal address of each DI¿OLDWLRQ LQFOXGLQJ WKH FRXQWU\ QDPH DQG LI DYDLODEOH WKH HPDLO DGGUHVV RI each author. x Corresponding author. &OHDUO\ LQGLFDWH ZKR ZLOO KDQGOH FRUUHVSRQGHQFH DW DOO stages of refereeing and publication, also post-publication. Ensure to provide the e-mail address and the complete postal address. Contact details must be kept up to date by the corresponding author. x Present/permanent address. ,IDQDXWKRUKDVPRYHGVLQFHWKHZRUNGHVFULEHGLQ WKHDUWLFOHZDVGRQHRUZDVYLVLWLQJDWWKHWLPHD³3UHVHQWDGGUHVV´RU³3HUPDQHQWDGGUHVV´ PD\EHLQGLFDWHGDVDIRRWQRWHWRWKDWDXWKRU¶VQDPH7KHDGGUHVV DWZKLFKWKHDXWKRUDFWXDOO\GLGWKHZRUNPXVWEHUHWDLQHGDVWKHPDLQDI¿OLDWLRQ address. Superscript Arabic numerals are used for such footnotes.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 16. No. 2 Agustus 2011
147
Abstract & Key Words $FRQFLVHDQGIDFWXDODEVWUDFWLVUHTXLUHG7KHDEVWUDFWVKRXOGVWDWHEULHÀ\WKHSXUSRVH of the research, the principal results and major conclusions. An abstract is often preVHQWHGVHSDUDWHO\IURPWKHDUWLFOHVRLWPXVWEHDEOHWRVWDQGDORQH)RUWKLVUHDVRQ 5HIHUHQFHVVKRXOGEHDYRLGHGEXWLIHVVHQWLDOWKHQFLWHWKHDXWKRUV DQG\HDUV $OVR non-standard or uncommon abbreviations should be avoided, but if essential they must EHGH¿QHGDWWKHLU¿UVWPHQWLRQLQWKHDEVWUDFWLWVHOI ,PPHGLDWHO\ DIWHU WKH DEVWUDFW SOHDVH SURYLGH XQWLO NH\ZRUGV XVLQJ$PHULFDQ spelling and avoiding general and plural terms and multiple concepts (avoid, for exDPSOH³DQG´³RI´ %HVSDULQJZLWKDEEUHYLDWLRQVRQO\DEEUHYLDWLRQV¿UPO\HVWDEOLVKHGLQWKH¿HOGPD\EHHOLJLEOH7KHVHNH\ZRUGVZLOOEHXVHGIRULQGH[LQJSXUSRVHV Abbreviations 'H¿QHDEEUHYLDWLRQVWKDWDUHQRWVWDQGDUGLQWKLV¿HOGDWWKHLU¿UVWPHQWLRQ(QVXUH consistency of abbreviations throughout the article. Acknowledgements &ROODWHDFNQRZOHGJHPHQWVLQDVHSDUDWHVHFWLRQDWWKHHQGRIWKHDUWLFOHEHIRUHWKH references and do not, therefore, include them on the title page, as a footnote to the WLWOHRURWKHUZLVH/LVWKHUHWKRVHLQGLYLGXDOVZKRSURYLGHGKHOSGXULQJWKHUHVHDUFK HJSURYLGLQJODQJXDJHKHOSZULWLQJDVVLVWDQFHRUSURRIUHDGLQJWKHDUWLFOHHWF Units )ROORZ LQWHUQDWLRQDOO\ DFFHSWHG UXOHV DQG FRQYHQWLRQV XVH WKH LQWHUQDWLRQDO V\VWHP RI XQLWV 6, ,I RWKHU XQLWV DUH PHQWLRQHG SOHDVH JLYH WKHLU HTXLYDOHQW LQ 6, Math formulae 3UHVHQWVLPSOHIRUPXODHLQWKHOLQHRIQRUPDOWH[WZKHUHSRVVLEOHDQGXVH06(TXDWLRQWRFRQVWUXFWWKHIRUPXODH8VHWKHVROLGXV LQVWHDGRIDKRUL]RQWDOOLQHIRUVPDOO IUDFWLRQDOWHUPVHJ;<,QSULQFLSOHYDULDEOHVDUHWREHSUHVHQWHGLQLWDOLFV3RZHUV RIHDUHRIWHQPRUHFRQYHQLHQWO\GHQRWHGE\H[S1XPEHUFRQVHFXWLYHO\DQ\HTXDWLRQV WKDWKDYHWREHGLVSOD\HGVHSDUDWHO\IURPWKHWH[WLIUHIHUUHGWRH[SOLFLWO\LQWKHWH[W Footnotes )RRWQRWHVVKRXOGEHDYRLGHG,QWKHFDVHWKDWLWLVYHU\LPSRUWDQWXVHGVSDULQJO\1XPber them consecutively throughout the article, using superscript Arabic numbers. Many ZRUGSURFHVVRUVEXLOGIRRWQRWHVLQWRWKHWH[WDQGWKLVIHDWXUHPD\EHXVHG6KRXOGWKLVQRW be the case, indicate the position of footnotes in the text and present the footnotes themVHOYHVVHSDUDWHO\DWWKHHQGRIWKHDUWLFOH'RQRWLQFOXGHIRRWQRWHVLQWKH5HIHUHQFHOLVW Color artwork 3OHDVHPDNHVXUHWKDWDUWZRUN¿OHVDUHLQDQDFFHSWDEOHIRUPDW7,))(36RU062I¿FH¿OHV DQGZLWKWKHFRUUHFWUHVROXWLRQ,IWRJHWKHUZLWK\RXUDFFHSWHGDUWLFOH\RX VXEPLW XVDEOH FRORU ¿JXUHV WKHQ ZH ZLOO HQVXUH DW QR DGGLWLRQDO FKDUJH WKDW WKHVH ¿JXUHVZLOODSSHDULQEODFNDQGZKLWHLQWKHSULQWHGYHUVLRQFor color reproduction in print, you will receive information regarding the costs from us after receipt of your accepted article. Please indicate your preference for color in print.
148
Bahar, Optimasi Biaya Sistem ...
3OHDVHQRWH%HFDXVHRIWHFKQLFDOFRPSOLFDWLRQVZKLFKFDQDULVHE\FRQYHUWLQJFRORU ¿JXUHVWR³JUD\VFDOH´IRUWKHSULQWHGYHUVLRQVKRXOG\RXQRWRSWIRUFRORULQSULQW SOHDVHVXEPLWLQDGGLWLRQXVDEOHEODFNDQGZKLWHYHUVLRQVRIDOOWKHFRORULOOXVWUDWLRQV Figure captions (QVXUHWKDWHDFKLOOXVWUDWLRQKDVDFDSWLRQ6XSSO\FDSWLRQVVHSDUDWHO\QRWDWWDFKHGWR WKH¿JXUH$FDSWLRQVKRXOGFRPSULVHDEULHIWLWOHnotRQWKH¿JXUHLWVHOI DQGDGHscription of the illustration. Keep text in the illustrations themselves to a minimum but explain all symbols and abbreviations used. Tables 1XPEHU WDEOHV FRQVHFXWLYHO\ LQ DFFRUGDQFH ZLWK WKHLU DSSHDUDQFH LQ WKH WH[W 3ODFH IRRWQRWHV WR WDEOHV EHORZ WKH WDEOH ERG\ DQG LQGLFDWH WKHP ZLWK VXSHUVFULSW ORZHUFDVHOHWWHUV$YRLGYHUWLFDOUXOHV%HVSDULQJLQWKHXVHRIWDEOHVDQGHQVXUHWKDWWKH GDWD SUHVHQWHG LQ WDEOHV GR QRW GXSOLFDWH UHVXOWV GHVFULEHG HOVHZKHUH LQ WKH DUWLFOH Subdivision 'LYLGH\RXUDUWLFOHLQWRFOHDUO\GH¿QHGVHFWLRQVRUVXEVHFWLRQVEXWQRQHHGWREHQXPEHUHG6HFWLRQVDUHPDUNHGZLWKIXOOFDSLWDODQGVXEVHFWLRQVDUHPDUNHGZLWKFDSLWDOL]HG¿UVWOHWWHUIRUHDFKZRUGXQGHUOLQHDQGEROG Appendices Keep appendices to minimum. If there is more than one appendix, they should EH LGHQWL¿HG DV $ % HWF )RUPXODH DQG HTXDWLRQV LQ DSSHQGLFHV VKRXOG EH JLYHQ VHSDUDWH QXPEHULQJ (T $ (T $ HWF LQ D VXEVHTXHQW DSSHQGL[ (T % DQG VR RQ 6LPLODUO\ IRU WDEOHV DQG ¿JXUHV 7DEOH $ )LJ $ HWF References 7KLVVW\OHRIUHIHUHQFLQJUHTXLUHVWKDW\RXDFNQRZOHGJHWKHVRXUFHRI\RXULQIRUPDWLRQ RULGHDVLQWZRZD\V x
in the textRI\RXUZRUNZKHQ\RXUHIHUWRLGHDVRULQIRUPDWLRQ\RXKDYH FROOHFWHGGXULQJ\RXUUHVHDUFK(DFKUHIHUHQFHLVLQGLFDWHGE\LQFOXGLQJWKH author and date of the publication referred to, or cited.
x
in a reference listDWWKHHQGRI\RXUWH[WZKLFKJLYHVWKHIXOOGHWDLOVRIWKH ZRUNV\RXKDYHUHIHUUHGWRRUFLWHG
In text referencing
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 16. No. 2 Agustus 2011
149
ZLWKRXUELRORJLFDOFORFNVLVSUREDEO\LQFDOFXODEOHDWSUHVHQW,QWKHVKRUWWHUPSRRU sleep, gastrointestinal problems, higher accident rate, and social problems are evident. 5DMDUDWQDP6µ+HDOWKLQDKUVRFLHW\¶Lancet, 358SS 7KH¿UVWH[DPSOHEHORZSODFHVPRUHHPSKDVLVRQWKHZULWHUWKHVHFRQGRQWKHLGHD Citing example: 5DMDUDWQDPS FRQFOXGHVWKDWµ7KHFRVWWRWKHQDWLRQ¶VKHDOWKRIZRUNLQJ RXW RI SKDVH ZLWK RXU ELRORJLFDO FORFNV LV SUREDEO\ LQFDOFXODEOH DW SUHVHQW¶ µ7KHFRVWWRWKHQDWLRQ¶VKHDOWKRIZRUNLQJRXWRISKDVHZLWKRXUELRORJLFDOFORFNVLV SUREDEO\LQFDOFXODEOHDWSUHVHQW¶5DMDUDWQDPS Paraphrase
150
Bahar, Optimasi Biaya Sistem ...
logical clocks. Citing page numbers in-text x
3DJHQXPEHUVDUHHVVHQWLDOLI\RXDUHGLUHFWO\TXRWLQJVRPHRQHHOVH¶VZRUGV ,QVHUWSDJHQXPEHUVDIWHUWKH\HDUVHSDUDWHGE\DFRPPD:KHQSDUDSKUDVLQJ or summarising, page numbers may be also be included.
x
,IDZRUNEHLQJUHIHUUHGWRLVORQJSDJHQXPEHUVPLJKWEHXVHIXOWRWKHUHDGHU In this case, include them in the in-text citation, separated from the year by a comma.
x
8VHWKHDEEUHYLDWLRQVSIRUVLQJOHSDJHDQGSSIRUDSDJHUDQJHHJSS
Reference list 7KHUHIHUHQFHOLVWQRUPDOO\KHDGHGµReferences’, should appear at the end of your ZRUNDQGVKRXOGLQFOXGHGHWDLOVRIDOOWKHVRXUFHVRILQIRUPDWLRQZKLFK\RXKDYHUHferred to, or cited, in your text. Order of items in the list The items in the reference list are arranged alphabetically by the authors’ surname. :KHUH\RXKDYHFLWHGPRUHWKDQRQHZRUNE\WKHVDPHDXWKRUWKRVHLWHPVDUHWKHQ DUUDQJHGE\GDWHVWDUWLQJZLWKWKHHDUOLHVW Format of citations in the reference list 7KHGHWDLOVZKLFKQHHGWREHLQFOXGHGLQHDFKFLWDWLRQLQWKHOLVWGHSHQGRQWKHW\SHRI LWHPUHIHUUHGWRHJERRNMRXUQDODUWLFOHRUZHEVLWH 7KHGHWDLOVRUHOHPHQWVZKLFKDUHLQFOXGHGLQPRVWFLWDWLRQVVKRXOGEHSUHVHQWHGLQ WKLVRUGHUDXWKRUGDWHWLWOHRIZRUNWLWOHRIODUJHUZRUNLIDQ\ SXEOLVKLQJGHWDLOV Punctuation and spacing in the citation 6RPHJHQHUDOUXOHVDSSO\ x
Authors’ names: o 8VHRQO\WKHLQLWLDOVRIWKHDXWKRUV¶JLYHQQDPHV o 8VHIXOOVWRSVDQGVSDFHVEHWZHHQLQLWLDOV
x
Titles of works: o 8VHPLQLPDOFDSLWDOL]DWLRQIRUWKHWLWOHVRIERRNVERRNFKDSWHUVDQG journal articles. o ,Q WKH WLWOHV RI MRXUQDOV PDJD]LQHV DQG QHZVSDSHUV FDSLWDO OHWWHUV should be used as they appear normally o 8VHLWDOLFVIRUWKHWLWOHVRIERRNVMRXUQDOVDQGQHZVSDSHUV o
x
(QFORVHWLWOHVRIERRNFKDSWHUVDQGMRXUQDODUWLFOHVLQVLQJOHTXRWDWLRQ marks
Page numbering: o
%RRNV SDJH QXPEHUV DUH QRW XVXDOO\ QHHGHG LQ WKH UHIHUHQFH OLVW ,I
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 16. No. 2 Agustus 2011
151
WKH\DUHLQFOXGHWKHPDVWKH¿QDOLWHPRIWKHFLWDWLRQVHSDUDWHGIURP WKHSUHFHGLQJRQHE\DFRPPDDQGIROORZHGE\DIXOOVWRS o
o x
-RXUQDODUWLFOHVSDJHQXPEHUVDSSHDUDVWKH¿QDOLWHPRIWKHFLWDWLRQ VHSDUDWHGIURPWKHSUHFHGLQJRQHE\DFRPPDDQGIROORZHGE\DIXOO stop. 8VHWKHDEEUHYLDWLRQVSIRUDVLQJOHSDJHDQGSSIRUDSDJHUDQJHHJ SS
Whole citation: o o
The different details, or elements, of each citation are separated by commas. 7KHZKROHFLWDWLRQ¿QLVKHVZLWKDIXOOVWRS
:RUNVE\WKHVDPH¿UVWDXWKRUVSXEOLVKHGLQWKHVDPH\HDU 6LQJOHDXWKRUHQWULHVFRPH¿UVWLQWKHUHIHUHQFHOLVW
Example: %HVVDQW-µ7KHTXHVWLRQRISXEOLFWUXVWDQGWKHVFKRROLQJV\VWHP¶Australian Journal of EducationYROQRSS %HVVDQW- :HEEHU5µ3ROLF\DQGWKH\RXWKVHFWRU\RXWKSHDNVDQGZK\ZH need them’, Youth Studies AustraliaYROQRSS 5REELQV63Organizational behaviourWKHGQ3HDUVRQ3UHQWLFH+DOO8SSHU 6DGGOH5LYHU1- 5REELQV63 'H&HQ]R'$Fundamentals of management: essential concepts and applicationsWKHGQ3HDUVRQ3UHQWLFH+DOO8SSHU6DGGOH5LYHU1- Works by the same author, published in the same year. ,Q \RXU UHIHUHQFH OLVW RUGHU WKHVH ZRUNV DOSKDEHWLFDOO\ DFFRUGLQJ WR WKH WLWOH RI WKH ZRUNDQGXVHWKHOHWWHUVDEFDIWHUWKHSXEOLFDWLRQGDWHWRGLVWLQJXLVKEHWZHHQWKHP in your citations. Reference list: Example: %ODLQH\*DBlack kettle and full moon: daily life in a vanished Australia, PenJXLQ9LNLQJ&DPEHUZHOO9LFWRULD %ODLQH\*EThe rush that never ended: a history of Australian miningWKHGQ 0HOERXUQH8QLYHUVLW\3UHVV&DUOWRQ9LF 6FXWW -$ D µ)XWXUH DFFHVV GLVFULPLQDWLRQ DQG WKH 'LVDELOLW\ 'LVFULPLQDWLRQ Act’, AccessYROQRSS 6FXWW-$Eµ:LWKRXWSUHFHGHQWVH[JHQGHUGLVFULPLQDWLRQLQWKH+LJK&RXUW¶ Alternative Law JournalYROQRSS Citing example: 6FXWWES ORRNVDWWKHLVVXHVDULVLQJIURPWKHODFNRI+LJK&RXUWSUHFHGHQWV LQVH[JHQGHUGLVFULPLQDWLRQODZ
152
Bahar, Optimasi Biaya Sistem ...
JUDUL (dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris)
1DPDSHQXOLVSHUWDPD 1DPDSHQXOLVNHGXD . . . $ODPDWSHQXOLVSHUWDPDOHQJNDSGJQHPDLO $ODPDWSHQXOLVNHGXDOHQJNDSGJQHPDLO
0LVDO-XUXVDQ$NXQWDQVL)DNXOWDV(NRQRPL8QLYHUVLWDV*XQDGDUPD DODPDWLQVWDQVLEXNDQUXPDK . . . ABSTRAK (abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris)
Satu paragraf, memuat tujuan, metode penelitian yang digunakan, hasil, dan maksimum lima kata kunci. Kata Kunci: aaaa, bbbb, cccc, dddd, eeee.
PENDAHULUAN Pendahuluan memuat latar belakang penelitian secara ringkas dan padat, dan tujuan. 'XNXQJDQWHRULWLGDNSHUOXGLPDVXNNDQSDGDEDJLDQLQLWHWDSLSHQHOLWLDQVHMHQLV\DQJ sudah dilakukan dapat dinyatakan.
METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan prosedur dan teknik penelitian. Antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, prosedur dan tekniknya akan berbeda. Kalau tidak berbeda, berarti penelitian itu hanya mengulang penelitian yang sudah ada sebelumnya. Tapi EXNDQ EHUDUWL KDUXV EHUEHGD VHPXDQ\D 8QWXN SHQHOLWLDQ VRVLDO PLVDOQ\D SRSXODVL penelitian mungkin saja sama, tapi teknik samplingnya berbeda, teknik pengumpulan datanya berbeda, analisis datanya berbeda, dan lain.lain. Mohon diuraikan dengan jelas, bukan hanya mengopi dari penelitian lain. Kalau mau disertakan penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam kategori penelitian yang mana, mohon diperhatikan dengan baik, jangan asal mengopi dari teori Metodologi Penelitian. %DJLDQ LQL ELVD GLEDJL PHQMDGL EHEHUDSD VXE EDE WHWDSL WLGDN SHUOX PHQFDQWXPNDQ penomorannya.
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 16. No. 2 Agustus 2011
153
PEMBAHASAN %DJLDQLQLPHPXDWGDWDGDODPEHQWXNULQJNDV DQDOLVLVGDWDGDQLQWHUSUHWDVLWHUKDGDS hasil. Teori-teori yang sudah ada digunakan pada bagian ini untuk interpretasi, tentu saja bukan dengan copy and paste, tapi dengan penyesuaian kalimat sebagai interpretasi. -LNDGLOLKDWGDULSURSRUVLWXOLVDQEDJLDQLQLKDUXVQ\DPHQJDPELOSURSRUVLWHUEDQ\DN ELVDPHQFDSDLDWDXOHELK5HIHUHQVLEDQ\DN\DQJWHUFDQWXPGDODP'DIWDU3XVWDND harusnya dimuat pada bagian ini dalam bentuk rujukan (hanya menuliskan nama EHODNDQJSHQXOLVGDQWDKXQWHUELW %DJLDQ LQL ELVD GLEDJL PHQMDGL EHEHUDSD VXE EDE WHWDSL WLGDN SHUOX PHQFDQWXPNDQ penomorannya. SIMPULAN DAN SARAN 6LPSXODQGDQVDUDQGDSDWGLEXDWGDODPVXEEDJLDQ\DQJWHUSLVDK6LPSXODQPHQMDZDE tujuan, bukan mengulang teori, berarti menyatakan hasil penelitian secara ringkas (tapi EXNDQULQJNDVDQSHPEDKDVDQ 6DUDQPHUXSDNDQSHQHOLWLDQODQMXWDQ\DQJGLUDVDPDVLK diperlukan untuk penyempurnaan hasil penelitian supaya berdaya guna. Penelitian tentunya tidak selalu berdaya guna bagi masyarakat dalam satu kali penelitian, tapi merupakan rangkaian penelitian yang berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA %DJLDQ LQL KDQ\D PHPXDW UHIHUHQVL \DQJ EHQDUEHQDU GLUXMXN GHQJDQ GHPLNLDQ referensi yang dimasukkan pada bagian ini akan ditemukan tertulis pada bagian-bagian sebelumnya. Sistematika penulisannya didasarkan pada Harvard style tapi dengan VHGLNLWPRGL¿NDVLDGDODK x Menurut abjad, dengan tata penulisan (baik bagi penulis pertama, kedua, dan VHWHUXVQ\D QDPDEHODNDQJODOXGLLNXWLQDPDSHUWDPDGDQVHWHUXVQ\DGDODP EHQWXNVLQJNDWDQ&RQWRK6LULQJRULQJR+ x Tidak perlu dikelompokkan berdasarkan buku, jurnal, koran, ataupun berdasarkan tipe publikasi lainnya. x 6LVWHPDWLND SHQXOLVDQ XQWXN EXNX QDPD SHQXOLV WDKXQ SXEOLNDVL Judul buku3HQHUELWNRWD&RQWRK6LULQJRULQJR+Simulasi Sistem Industri *XQDGDUPD'HSRN x 6LVWHPDWLND SHQXOLVDQ XQWXN MXUQDO QDPD SHQXOLV 7DKXQ SXEOLNDVL ³-XGXO tulisan” nama jurnal 9ROXPH QRPRU KDODPDQ 3HQHUELW NRWD &RQWRK 6LULQJRULQJR + ³&RQVXPHU VKRSSLQJ EHKDYLRU DPRQJ PRGHUQ UHWDLO formats” Delhi Business Review x 6LVWHPDWLNDSHQXOLVDQXQWXNVNULSVLWHVLVGLVHUWDVLQDPDSHQXOLV7DKXQOXOXV Judul skripsi/tesis/disertasi. Penerbit, kota. x 6LVWHPDWLNDSHQXOLVDQXQWXNDUWLNHOGDULLQWHUQHWQDPDSHQXOLV7DQJJDOEXODQ GDQWDKXQGRZQORDGJudul tulisan. Alamat situs. x 6LVWHPDWLND SHQXOLVDQ XQWXN DUWLNHO GDODP NRUDQPDMDODK QDPD SHQXOLV 7DQJJDOEXODQGDQWDKXQSXEOLNDVL³-XGXOWXOLVDQ´Nama koran. Penerbit, kota.
154
Bahar, Optimasi Biaya Sistem ...
Aturan Penulisan -
Tulisan merupakan hasil penelitian
-
Tulisan ilmiah menggunakan bahasa Indonesia baku, setiap kata asing dicari padanannya dalam bahasa Indonesia baku, dan tidak perlu menyertakan bahasa asingnya.
-
Kalimat yang diambil dari tulisan ilmiah dalam bahasa asing diterjemahkan dalam bahasa Indonesia baku.
-
5HIHUHQVL PHQJJXQDNDQ DWXUDQ SHQXOLV WDKXQ KDQ\D PHQFDQWXPNDQ QDPD EHODNDQJSHQXOLVGDQWDKXQWXOLVDQFRQWRK.RWOHU GDQPRKRQGLSHULNVD ulang dengan daftar pustaka (sangat membantu jika menggunakan fasilitas ELEOLRJUD¿\DQJDGDGLSHUDQJNDWOXQDNSHQJRODKNDWD
-
Tidak menggunakan catatan kaki
-
7XOLVDQLOPLDKGLNLULPNDQGHQJDQIRUPDW o 8NXUDQNHUWDV\DQJGLJXQDNDQ$ o 3DQMDQJWXOLVDQPLQLPXPKDODPDQPDNVLPXPKDODPDQ o 0DUMLQNHOLOLQJFP o 6SDVL o 'DODPEHQWXNNRORPVWDQGDUWLGDNSHUOXGLEXDWNRORP o +XUXITimes New RomanXNXUDQ o Semua jenis rumus ditulis menggunakan Mathematical Equation EDJLSHQJJXQD06:RUGDGDGLEDJLDQ,QVHUW !(TXDWLRQ WHUPDVXN SHPEDJLDQIUDNVL=LJPD$NDU0DWULNV,QWHJUDO/LPLW/RJ3DQJNDW dsb o Semua jenis symbol menggunakan simbol standar yang ada di pengolah GDWDEDJLSHQJJXQD06:RUGDGDGLEDJLDQ,QVHUW !6\PERO o -XGXOWDEHOGDQJDPEDUGLWXOLVGLWHQJDKsentence case, GHQJDQMDUDN VSDVLGDULWDEHODWDXJDPEDUQ\D7XOLVDQ³7DEHO´DWDX³*DPEDU´GHQJDQ QRPRUQ\DGLOHWDNNDQVDWXEDULVVHQGLUL-XGXOWDEHOGLOHWDNNDQGLDWDV WDEHO VHEHOXP WDEHO GDQ MXGXO JDPEDU GLOHWDNNDQ GL EDZDK JDPEDU VHWHODK JDPEDU 3HQXOLVDQ VXPEHU WDEHO DWDX JDPEDU GLOHWDNNDQ GL EDZDK WDEHO GDQ JDPEDU FHQWHU SDGD JDPEDU GDQ VHMDMDU WDEHO SDGD WDEHOGHQJDQKXUXISW 3DGDJDPEDUSHQXOLVDQVXPEHUGLOHWDNNDQ VHWHODKMXGXOJDPEDUGHQJDQMDUDNVSDVL7XOLVDQGDODPWDEHOSW
Jurnal Ekonomi Bisnis Volume 16. No. 2 Agustus 2011
155
Tabel 1. Rasio Keuangan Bank Mandiri Tahun 1998-2005
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
PA -123.49% -30.01% 0.47% 1.05% 1.43% 1.84% 2.12% 0.23%
PE n.a -763.87% 8.28% 25.48% 24.84% 22.49% 21.08% 2.60%
RPE n.a 2445.65% 1676.43% 2333.83% 1634.64% 1123.02% 895.21% 1034.54%
RPTA 201.40% 96.07% 94.37% 95.89% 94.24% 91.82% 89.95% 91.19%
6XPEHU6LULQJRULQJR &RQWRKJDPEDU
&RQWRKJDPEDU
* E Si dih ilk h i *DPEDU6LQDU\DQJGLKDVLONDQPDWDKDUL 6XPEHU3UDVHW\R
156
Bahar, Optimasi Biaya Sistem ...