ISSN 2527-8878
VOLUME 1
NOMOR 1
JULI 2016
JURNAL EKONOMI KESEHATAN INDONESIA the Indonesian Journal of Health Economics (IJHE) TEMBAKAU ANCAMAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL People’s Support on Sin Tax to Finance UHC in Indonesia, 2016 h. 1 Application of Decision Analytic Model in Health Economic Evaluation: Smoking Cessation Cases h. 23
JURNAL EKONOMI KESEHATAN INDONESIA
Volume 1 Nomor 1 Juli 2016 ISSN 2527-8878
preface Dear colleagues: health economists, economists, health professionals, and all others who are interested in knowing the Indonesian health system and contributing to improve access to quality of care to all Indonesians. The field of health economics is progressing rapidly in the last 50 years due to increasing World commitment to provide universal access to essential health services. The uniqueness of health care is often ignored in developing countries resulting in poor performance of health care and deep inequity across income groups in particular. The three main characteristic of health care: uncertainty of needs, wide information asymmetric, and externality make health care the most complex system. The unique characteristics of health care make the market mechanism generally fails to produce efficient health care system. However, there are rooms within the health care sub systems where market mechanisms still contribute significantly. Limited resources available for health and increasing demand for health care are the most challenging for economists and policy makers to ensure essential health care for everyone. Increasing resources dedicated for health care created increasing innovations of new technologies in health care. The advances of communication and information technologies created new human behavior that promote and demote healthy lives. Unfortunately the ability of people, especially in developing world, in distinguishing good and bad information creates new public health challenges. Poor health behaviors produce higher costs of health care in the future, especially of non-communicable diseases. On the other hand, there is increasing trend to cover essential health care. Health economists and policy makers are challenged to maintain dynamic balance between limited resources and the appetite to provide access of essential health care to everyone in the World. In Indonesia, we just entered a new era of the implementation of the National Health Insurance called Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) in Indonesian language. The JKN promotes massive reforms in hospital managements, drugs and medical device managements, human resource managements, and many other aspects of the Indonesian health system. The execution of prospective payment (capitation and case mix based groups) nation wide has ignited massive reform in health care managements. A unit of health technology assessment has been established under the Ministry of Health to objectively assess new health care technologies to be covered under the JKN. The “war” on tobacco in which the country is divided into two factions: one promotes tobacco consumption while the other fights for tobacco control, will affect the JKN. Thorough economic analyses are required to ensure the equitable health care in the historically low spending health care. The ensure that all of us could communicate effectively in conducting economic analyses and developing new policies that improve our health system, this Indonesian Journal of Health Economic (IJHE) is introduced. Other health economists and health professionals out side Indonesia may also use this Journal to learn from or to provide lessons to Indonesia. We hope, everyone could benefit from and contribute to this IJHE. Hasbullah Thabrany
JURNAL EKONOMI KESEHATAN INDONESIA
Volume 1 Nomor 1 Juli 2016 ISSN 2527-8878
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia merupakan jurnal yang menyajikan artikel ilmiah tentang pengetahuan dan informasi penelitian atau riset mengenai perkembangan terkini di bidang ekonomi kesehatan. Penanggung Jawab Umum Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH., DrPH Ketua Dewan Redaksi Kurnia Sari, SKM, MSE Wakil Ketua Dewan Redaksi Eka Pujiyanti, SKM, SE, MKM Anggota Dewan Redaksi Prof. Dr. dr. M. Alimin Maidin, MPH. (UNHAS) Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD. (UGM) Dr. Djazuli Chalidyanto, SKM, MARS (UNAIR) Dr. dr. Henni Djuhaeni, MARS (UNPAD) Dra. Chriswardani Suryawati, M.Kes (UNDIP) Redaktur Pelaksana Ary Dwiaji, SKM Unun Khamida Qodarina, SKM Sekretaris Redaksi Rosyuliani Penerbit Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Gedung G Lantai 3 Ruang 311, Depok 16424 Telepon/Faks: (021) 12345678 E-mail:
[email protected] Website: www.cheps.or.id/jurnal-eki Desain sampul: Amita Paramal Dini
JURNAL EKONOMI KESEHATAN INDONESIA
Volume 1 Nomor 1 Juli 2016 ISSN 2527-8878
Pedoman PeNULISAN Dalam mengajukan naskah ke Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia (Jurnal EKI) penulis sebaiknya mengetahui bahwa naskah harus sesuai dengan syarat desain penulisan Jurnal EKI. Naskah yang tidak memenuhi persyaratan dari desain penulisa Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia akan dikembalikan ke penulis untuk direvisi. Judul Halaman Judul sebaiknya menyantumkan: • Judul Naskah tertulis sebaiknya tidak lebih dari 20 kata, tidak ada singkatan atau nilai-nilai numerik. • Tulis nama pengarang dengan lengkap tanpa menyantumkan gelar pendidikan atau profesi. • Tulis affilia¬tions dari semua pengarang termasuk: nama departemen, institusi, kota, profinsi, dan Negara. • Judul singkat untuk pada sudut halaman, tidak lebih dari 50 karakter dan spasi, Abstrak Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan dengan batasan maksimal 200 kata mencakup masalah, tujuan, metode, hasil, dan pembahasan bersama dengan 3-5 kata kunci. Bagian Utama Naskah ditulis menggunakan double spaced dengan pengaturan semua margin 1 inch atau 2,54 cm dan dibatasi maksimal 20 halaman. Setiap halaman naskah diberikan nomor halaman secara berurutan, dimulai dari halaman judul. • Pendahuluan berisi latar belakang, ulasan singkat dari literatur yang relevan dan tujuan penelitian • Metode berisi desain penelitian, populasi, sampel, sumber data, teknik / instrumen pengumpulan data, dan prosedur analisis data. • Hasil adalah penemuan dari penelitian yang jelas dan ringkas tanpa opini dari penulis. • Pembahasan berisi argumentasi akan hasil penelitian berdasarkan teori dan penemuan sebelumnya yang relevan. • Kesimpulan dan Saran menjawab masalah penelitian tetapi tidak melebihi kapasitas dari hasil temuan. Saran seharusnya sesuai dengan tujuan dan kesimpulan yang logis dan tepat. Referensi, Tabel, dan Gambar Setelah bagian utama pengarang harus menyantumkan: Referensi/ Daftar Pustaka, Tabel, Gambar. Gambar yang dicantumkan harus juga disertakan file asli secara terpisah dari naskah. • Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuai dengan urutan penampilan dalam teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan atau gambar dengan judul singkat. • Daftar Pustaka ditulis menggunakan Harvard styles. Citasi hanya publikasi ilmiah yang anda baca dan referensi jurnal saat ini. Cantumkan enam nama belakang dan inisial nama depan dari penulis, jika ada penulis lainnya dapat dicantumkan dengan "et al (et al)". • Huruf pertama dari judul daftar pustaka ditulis dengan huruf kapital lainnya dengan lowercase, kecuali nama seseorang, tempat, dan waktu. Judul tidak digaris bawah dan cetak tebal. • Sistem Harvard menggunakan urutan pemunculan berdasarkan nama penulis secara alfabetis. Publikasi dari penulis yang sama dan dalam tahun yang sama ditulis dengan cara menambahkan huruf a, b, atau c dan seterusnya tepat di belakang tahun publikasi (baik penulisan dalam daftar pustaka maupun sitasi dalam naskah tulisan).
Contoh Daftar Pustaka: Jurnal Artikel Penulis Individual: Zainuddin AA. 2010. Policy management of transport-related air quality in Jakarta Province. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 4 (6): 281-8. Jurnal Artikel Penulis Organisasi: Diabetes Prevention Program Research Group. 2002. Hypertension, insulin, and proinsulin in of participants with impaired glucose tolerance. Hypertension 40 (5): 679-86. Buku yang ditulis Individual: Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. 2002. Medical microbiology. 4th ed. St. Louis: Mosby. Buku yang ditulis Organisasi dan Publisher: Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Department of Clinical Nursing. Compendium of nursing research and practice development, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001. Bab dalam Buku: Meltzer PS, Kallioniemi A, Trent JM. 2002. Chromosome Alterations in Solid Tumors Human. Vogelstein B, Kinzler KW, editors, in The Genetic Basis of Human Cancer. New York: McGraw-Hill, p. 93-113. Hal dari Hukum atau Peraturan: Republik Indonesia, 2004. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaram Negara Republik Indonesia No. 4437) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Perda)(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4844). Jakarta. CD-ROM: LeBlanc, Susan, and Cameron MacKeen. 1992. Racism and the Landfill. The Chronicle-Herald.B1. CD-ROM. SIRS 1993 Ethnic Groups. Vol. 4. Art. 42. Jurnal Artikel di Internet: Nielsen, Laura Beth. 2002. Subtle Pervasive, Harmful: Racist and Sexiat Remarks in Public as Hate Speech. Journal of Social Issues 58. 2 (2002): 265 Buku di Internet: Foley KM, Gelband H, editors. 2001 . Improving Palliative Care For Cancer [Monograph on the Internet]. Washington: National Academy Press [cited 2002 Jul 9]. Available from: http: // www. nap.edu/ books/0309074029/html/. Ensiklopedia Internet: Duiker, W.J. “Ho Chi Minh. 2005.” Encarta Online Encyclopedia. Microsoft. 10 Oct 2005.
. Website: Gearan, Anne. 2002. Justice Dept: Gun Rights Protected. Washington Post [8 May 2002]. SIRS. Iona Catholic Secondary School, Mississauga, ON. 23 Apr. 2004 Naskah dapat dikirimkan ke: Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Gedung G Lantai 3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Kampus Baru UI Depok 16424. Tel & Fax: (021) 7875576 or e-mail: [email protected] atau [email protected]
JURNAL EKONOMI KESEHATAN INDONESIA
Volume 1 Nomor 1 Juli 2016 ISSN 2527-8878
DAFTAR ISI 1
12
People’s Support on Sin Tax to Finance UHC in Indonesia, 2016 Hasbullah Thabrany, Zahrina Laborahima A Comparative Budget Requirements for TB program based on Minimum standard of Services (SPM) and Budget Realization: an Exit Strategy Before Termination of GF ATM Ery Setiawan, Purwa K Sucahya, Hasbullah Thabrany, Kalsum Komaryani
23
Application of Decision Analytic Model in Health Economic Evaluation: Smoking Cessation Cases Septiara Putri
39
Evaluasi Pengadaan Obat Publik Pada JKN Berdasarkan Data E-Catalogue Tahun 2014 - 2015 Ary Dwiaji, Prih Sarnianto, Hasbullah Thabrany, Muhammad Syarifudin
54
Biaya dan Outcome Hemodialisis di Rumah Sakit Kelas B dan C Firda Tania , Hasbullah Thabrany
65
Terapi Sistemik Defisit JKN: Bahan Refleksi Bagi Semua Pihak Budi Hidayat
People’s Support on Sin Tax to Finance UHC in Indonesia, 2016 Hasbullah Thabrany1, Zahrina Laborahima2 Contact: [email protected] Submitted on July 10, 2016. Reviewed July 22, 2016, and accepted on July 25, 2016
Abstract
Indonesia has the highest prevalence of smokers with 67% of adult males were smokers. Smoking prevalence among all adults increased sharply from 27% in 1995 to 36.3% in 2013. High consumption of cigarettes has been correlated with low price and excise of cigarettes. Experiences from other countries showed that one of the most effective way to reduce cigarette consumption is by increasing cigarette price and excise. Burden of tobacco related diseases has increased. The health burden will increase claims of JKN or Universal Health Coverage which currently has claim ratio of 115% and the quality of care remain low. The difficulties in collecting contribution from non salaried workers are blamed to contribute the deficit. Many countries have earmarked cigarette excise to supplement financing of (UHC) both in tax-funded system or in social health insurance system. The question is do people support? This study explored the possibility the people’s support to increase cigarette prices and excise to meet financial shortage of the JKN.
Objectives
This polling conducted to explore cigarette consumption and supports of price increase to finance JKN or UHC.
Methods
This study used telephone polling conducted form December 2015 to January 2016. The sample (n=1,000) was randomly selected using systematic random by the interval of 20,000 of mobile phones numbers. Analysis is focused on how various groups support incrasing cigarette prices and excise. The final analysis is logistic regression to assess any difference in supporting the excise increase.
Results and Discussion
The polling (65.9% males and 3.3% females) showed 41.3% respondents consume 1-2 pack cigarette per day with spending of IDR 450 – 600 thousands per month. In total, 80.3% respondents support increasing cigarette price and exice to supplement health financing of JKN. The proportion of non smokers who supported the earmarking was higher (83.4% ) compared to smokers (75.9%), but the difference is not significance in the final model. The proportion of smokers who know that cigarette is harmful reached 96.8% but the large majority of them had difficulties to quit smoking. There are plenty of room to mobilize money through increasing price and excise of cigrettes since more than 72.3% of smokers said that they would stop smoking if the price of cigarette is above IDR 50,000 per pack; far above current prices. If the prices of cigarettes are double and the excise level reaching maximum allowable levels, there is potential to increase revenue up to IDR 70 Trillion that is almost equivalent to estimate all claim of JKN in 2016. In the logistic model, all groups of respondents unanimously support increasing prices and excise of cigarettes to finance JKN.
Conclusion
The prevalence of cigarette smoking is high because of prices of cigarette is relatively cheap and the excise levels have not reduced consumption. This study found that large majority (80%) of non smokers and 76% smokers supported increasing cigarette prices and excise to supplement financing for the JKN. The potential money to supplement JKN is double of the current revenue of JKN.
Key Words :
Cigarette Excise. National Health Insurance. JKN. UHC. Tobacco Control. Health Financing. Sin Tax, Earmarked.
1. Chair, Center for Health Economics and Policy Studies, Universitas Indonesia (CHEPS UI) and Chair of the Indonesian Health Economists Association (InaHEA) 2013-2016. 2. Research assistant at the CHEPS UI Support Sin Tax
1
Thabrany & Laborahima
Background Smoking cigarette is the highest risk factor for non-communicable diseases (NCDs) in Indonesia resulting in 217,400 deaths annually in Indonesia. The Ministry of Health (MoH) reporeted that the prevalence of smoking conutinued to rise in Indonesia from 27% in 1995 to 36.5% in 2013. It is estimated that as many as 70 million males are currently active smokers. The prevalence of smoking among females increased faster from 1.7% in 1995 to an estimate of 6.7% in 2015. More alarmingly, the prevalence of smoking among youths (15-19 years) increased from 7.1% in 1995 to 20.5% in 2013 (MoHa, 2014). The prevalence of youth smoking in Indonesia is the highest in the World reaching 18.3% in 2014 (MoHb, 2014). The World Health Organization (WHO) forcasted that the prevalence of smoking in Indonesia will increase to 45% in 2025 (WHO, 2015) unless significant tobacco control actions are implemented. One of the most signifant factors contributing to high smoking rates is the price of cigarettes is relatively cheap. The increase prevalence of smoking has been confirmed with the increase of cigarette production. The Fiscal Agency of the Ministry of Finance reported production of cigarettes has increased from 222.7 billion sticks in 2005 to 348 billion sticks in 2015. Accordingly, the excise revenues increased from IDR 32.6 Trillion in 2005 to IDR 139.6 Trillion (US$ 1 = IDR 13,500 in 2016) (FA MoF. 2016). On average, every Indonesians, including newly born baby, consumed 1,365 sticks of cigarettes in 2015. The total money spent for cigarettes in 2015 was about IDR 330 Trillions or USD 24.5 Billions. While the total government expenditure on health was only IDR 71.1 Trillions or USD 5.3 Billions in 2015 (MoF, 2015). It means that the excise and prices of cigarettes had not effectively controlled cigarette consumption in Indonesia. The fight to control consumption of cigarette becomes piercer when the Minister of Industry launch a roadmap of tobacco industry to increase cigarette production from 348 billions sticks in 2015 to 524 billions sticks by 2020 (MoI, 2015). While to risks of tobacco related diseases are increasing and the consumption of cigarettes increased significantly, the country launched the first implementation of the National Health Insurance (Jaminan Kesehatan Nasional or JKN) in January 2014. The insurance mechanism, instead of tax funded system, to establish Universal Health Coverage (UHC) in Indonesia is based on the philosophy that everyone should be responsible for financing health care using solidarity principle. The Government has not been viewed as the sole responsible for financing health care in Indonesia. The JKN is financed from 5% payroll tax and the Government subsidies for the low income. The informal sector who do not have monthly salary pay a nominal amount that they can choose one of three premiums depending on the class of hospitalization they choose (Thabrany, 2016). The JKN aims at covering 100% of the population by 2019 (DJSN, 2012). By April 2016, the JKN already covered 166 million people (65% of the population) under a single database (Idris, 2016). It is the largest single payer health care in the World, in term of population coverage. In the last two years, the JKN experienced increasing claims from Non Communicable Diseases, especially from tobacco related diseases. The JKN paid 22% of the total claim for four chronic diseases (cardiovascular, renal failure, cancer, and stroke) related to cigarette consumption (Moeloek, 2016). In the first two years, the JKN suffered from deficit due to shortage of revenues from contributions. Hidayat (2016) reported that the revised claim ratios of JKN of 111.5% in 2014 and 115.1% in 2015, signaling significant deficits of JKN. The shortfall of the JKN funds were mainly due to unmet adequacy requirement of contributions, as the ideal contribution calculated by the Ministry of Health for low income in 2016 is IDR 36,000 per capita while the Government Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
2
Volume 1, Nomor 1
allocated only IDR 23,000 per capita per month (Moeloek, 2016). With the shortfall is predicted to continue, the sustainability of JKN is being questioned. One of the viable solution, as it has been practiced in many other countries, is to mobilize fund from cigarette excises and earmarking the revenue to finance universal health coverage (UHC) or JKN. However, controversies about raising cigarette excises as a dual purpose, to control tobacco uses and to raise fund for the JKN continue in Indonesia. Some politicians, Government officials, and academics strongly recommend the governmant to fill the financial gap of the JKN with rising cigarette taxes while some other Goverment officials and the industries against such notion. Since, the smokers who actually pay excises this study was conducted to explore how far the people and the smokers support raising cigarette prices and excise to finance JKN.
Objectives The main objective of this study is to obtain information on how far the public, both smokers and non smokers, support raising cigarette excise to fill the financial shortage of the JKN. Other objetives include collection information of the profiles of current smokers by various social and economic variables and the levels of prices of cigarettes that smokers consider to stop smoking to expand fiscal space.
Method This study uses survey method of telephone polling to adult Indonesians. The data collection was conducted in December 2015 through January 2016. The initial sample was drawn from a random mobile telephone number and then the subsquent number was called with the interval of 20,000 (systematic random sampling). If the respondent was not eligible and refuse to participate, then the interviewer dialed the subsquent numbers until 1,000 respondents were interviewed. The interviewers were trained to conduct telephone interviews using a set of questionnaires specially developed to meet the stated objectives. Respondents were asked to choose an answer of 2-5 choices for each variable, depending on variable of interests. A pre-test of the questionnares was conducted to ensure that the interview would not last more than 10 minuers and the respondents understood the questiones clearly. The inclusion criteria were age above 12 years (to ensure understanding of the questions) and agreed to participate. Data collected then entered into a statistical database and analyzed to examine the effect of JKN membership, smoking status, age, gender, eduation, and monthly income on the preference or support the raising cigarette excises to supplement financing of the JKN. A logistic regression was finally conducted to examine various correlation on the support of raising cigarette excises.
Results and Discussions Characteristics of smokers and JKN members We polled 1,000 respondents via telephone systematically consisting of 610 males and 390 females age 14-78 years. The average age was 32.9 years (SD 11.75 years). The respondents came from 34 provinces. The majority of respondents (50.7%) graduated high school and 24.3% had at least one year university education. The majority of respondents (38.8%) reported earning IDR 1-3 millions per month followed by earning of IDR 3-10 millions (35.5%). Only 2% respondents reported earning above IDR 20 millions per month. The majority of respondents were privately Support Sin Tax
3
Thabrany & Laborahima
employed (26.2%), 21% self-employed, and 6.8% government employees. Although in total 59% of respondents were members of the National Health Insurance (JKN); only 13.2% were recipients of the Government subsidies (low income or Penerima Bantuan Iuran (PBI). So, the PBI members are underrepresented in this poll. The majority of the JKN members responded of this poll was of the self-employed group (PBPU members) which is blamed as the main contributors of the current deficit. About two-third of self employed register to JKN when they were suffering from diseases and higher proportion of them are active smokers (CHEPS, 2016). In addition, this PBPU group who has problems in paying contribution routinely. Therefore, this finding has more signifant finding to mobile fund through sin tax (cigarette excise) to finance the JKN. Instead of paying additional contribution for their higher risks to coventional channels, directly pay to BPJS Kesehatan or via ATM, the smokers pay additional contribution through a sin tax. Overall, 41.3% of respondent were smokers with 20.3% of respondents smoked 1-2 packs per day. Relatively lower frequency of JKN members smoked every day, but the difference was not significant. The prevalence of smokers among PBI members of JKN was a slightly lower (36.4%) compared to the other two groups with more than 41% are smokers. The prevalence of smokers were relative higher among respondents age 31-50 years with 24.8% of respondents smoked 1-2 packs daily. The highest prevalence of smoking 1-2 packs daily (29.4%) was among elder people age 61 years and above, doubling their health risks. Middle education (6-12 years) seemed to correlate higher prevalence (21.9%) of smoking 1-2 packs per day compared to low and high educated respondents. The low income respondents (with monthly income of less than IDR 1 million per month) seemed less likely to smoke 1-2 packs daily, but they smoked less than one pack daily. Among JKN members, only 38.6% of them perceived that current cigarette prices is expensive signaling that the current JKN members are relatively having high income. But, the proportion of PBI members who perceived prices of cigarettes were expensive was the high (61.2%) confirming they were low income individuals. The majority of employees perceived cigarette prices were not expensive, rather there were moderate expensive. Ages were correlate negatively with perception of cigarette prices. The higher the age, the lower the proportion of respondents who perceived cigarette prices were expensive. Similar correlations were also found with education and income. The higher the education and the higher the income the lower the proportion of smokers who perceived cigarette prices were expensive. Thus, the increasing smoking rates could be attributed to higher income and therefore this study confirm many other studies signaling that the price cigarette in Indonesia decreasing as the income increase (WHO, 2016). The most smoked cigarettes were of Sampoerna brand with almost half (45.5%) smokers mentioned the brand. The second most smoked cigarettes were of Gudang Garam brand (20.2%) followed by Djarum (11.8%). Marlboro, the most common compared prices were smoked by 8.4%, while other international brand (Dunhill) were smoked by 3.8% of smokers. Only 1.9% of smokers reported smoked various brands interchangeably. The distribution of the most smoked brands is in accordance with the market report such as Sampoerna (owned by Philip Morris International) received highest sales of IDR 80.1 Trillion in 2014 (Sampoerna, 2015), offsetting cigarette lowere sales in Asia (PMI, 2015). Compared to the MoH budget, the sales of only Sampoerna in 2014 was almost double of the MoH budget. We explored the characteristics of smokers to be able to understand their behavior in consuming cigarettes and we found overall 49.1% of smokers, smoked 1-2 packs a day with the mode of spending between IDR 450,000 – IDR 600,000 per month. This amount of money spent for Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
4
Volume 1, Nomor 1
cigarette could cover contribution for 5-7 persons of JKN of non salaried workers. It is highly potential to mobilize this money to finance JKN by increasing prices and excise and earmarking for JKN (sin tax). When coupled with their perception of “cigarette is harmful” and “difficulties to quit”, the increasing prices could help both the smokers to quit and the JKN to improve financial gaps and the quality of services. As high as 96.8% smokers know that cigarette is harmful and 62% confessed that they had difficulties to quit smoking, indicating that they are addicted. What we need is to convince legal and policy makers to provide strong regulation, revising current excise law to increase excise rates on cigarettes and to include earmarking excise for JKN. However, further studies are needed to know the level of supports by legal and policy makers. If the legal and policy makers support the notion, then the deficit of JKN can be solved. When we dig deeper, there were slightly higher proportion of JKN members who smoked 1-2 packs daily and spent up to IDR 600,000 per month. More interestingly, more than half of PBPU (peserta bukan penerima upah) members (50.4%) who are not employed and having difficulties to pay contribution spent up to IDR 600,000 per month for cigarettes. On the other hand, a study of PBPU reported that members of JKN who are smokers had higher probability to lapse membership by more than 6 months (CHEPSUI, 2016). The proportion of elderly (60 years and older) who smoked 1-2 packs a day was the highest (71.4%) and 100% of them were aware that smoking is harmful. The elderlies have much higher risks of NCD and higher consumption of health care. Instead of blaming the PBPU members and the elderlies of consuming more health care, because they are relatively sickers, it is legitimate to indirectly push them to pay more.
Earmarking Revenues for JKN Paying more contribution indirectly, by raising cigarette prices and exice, and earmarking or dedicating the excise revenues for health care under JKN is plausible. Charging higher contribution directly for smokers, such as has been practiced in commercial insurance, is almost impossible since in the social health insurance (JKN), such underwriting is not appropriate. But, the idea to partially punish smokers (poor health behavior) with higher contribution is valid. Many groups of people already voiced such notion. Even, the cigarette industries have been using “special insurance for smokers, ʼasuransi perokok” by charging higher prices and then established special insurance for the smokers to influence policy makers. But, their move is motivated foolish the public by camouglaging their “good behavior of insuring smokers”. In the end, they will use this insuring smokers to convince people to smoke more. Certaintly, establishing special insurance for smokers by charging higher prices contradicts with the current BPJS law. It is not good idea and may not be implemented. Earmarking excise and tax revenues from harmful consumption is well-known as “sin taxes”. Sin tax has been practiced in many countries for long time. The World Health Organization (2016) just recently published a report providing various model of earmarked sin tax of tobacco in nine countries. In the WHO report, the highest ecxise as percent of retail prices is charged by Egypt with 73.3% of cigarette price goes to tax, followed by Thailand (66.59%) and the Philippine (63.55%). The World Bank (2016) also encourages Indonesia to raise and to simplify cigarette excise. In Indonesia, exices vary in 12 tier prices with an average only 35.1% and the highest was 46.3% in 2015. In addition to excise, since 2014, Indonesia has earmarked sin tax taken 10% of excise revenue for local government, known as cigarette tax with the requirement to allocate at least 50% of the tax must is allocated for health (MoFRI). Jeremias Paul (2016) reported that since 2012, the Philippine has implemented sin tax with 80% of incremental revenue goes to the NaSupport Sin Tax
5
Thabrany & Laborahima
tional Health Insurance Program (PhilHealth), MDGs, and Health Awareness program, while the remaining 20% goes for medical assistance and health facility enhancement program. This good and latest example of the Philippine sin tax reform may be good lessons for Indonesia as Indonesia also followed the Philippine in the single payer NHI system.
Raising Cigarette Prices and Excise to Finance JKN
The ideas of mobilizing and using excise revenues to finance fully or partially from excise has been on the public table for quite some times. However, debates continues whether rasing excise (and therefore prices) of cigarette is the viable option? Even a member of the House of Representative (DPR), Misbakhun, against increasing excise arguing that high excise will increase unemployment (Medansatu, 2016). Such argument is naive, since the demand for cigarette is inelastic (Hidayat, 2011; USAID, 2013). In this study, we explore how far the smokers will stop smoking if the price increase. Although our current Excise law of 2007 limit excise rates to 57% and we not reached such level, the price of cigarettes can be increased so that the revenues from excise can be double. Overall, 72.3% of all smokers said they woud stop buying cigarettes if the prices of cigarettes are above IDR 50,000. Only 14.5% smokers would stop smoking if the prices of cigarettes are greater than IDR 25,000 while 13.3% of smokers said they would stop smoking if the prices of cigarettes are more than IDR 35,000. Table 1. Willingness to STOP Smoking by Prices of Cigarettes, 2016 > IDR 25,000 per pack All Smokers
> IDR 35,000 >IDR 50,000 per pack per pack
14.5
13.3
72.3
Non members
16.6
15.5
67.9
Members
12.7
11.4
75.9
PBI
16.3
14.3
69.4
PPU
11.8
14.1
74.1
PBPU
14.9
12.8
72.2
<30 years
18.1
13.8
68.1
30 – 40 years
9.6
13.0
77.4
41 – 50 years
16.7
12.5
70.8
51 – 60 years
10.0
13.3
76.7
> 60 years
28.6
14.3
57.1
< 6 years
15.4
7.7
76.9
6 -12 years
16.6
14.5
68.9
> 12 years
7.5
10.8
81.7
<1 millions
21.3
8.2
70.5
1 – 3 millions
17.1
15.3
67.6
3 – 10 millions
11.8
13.2
75.0
> 10 millions
0
12.5
87.5
JKN Membership
Types of JKN members
Age
Education
Monthly Income (IDR)
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
6
Volume 1, Nomor 1
Considering current (2016) cigarettes prices range from IDR 12,000 – 20,000; we have plenty of rooms to increase prices and excise. The willingness to stop smoking due to prices is in line with economic theory of price and income elasticities. Unanimously, findings from economic studies everywhere in the world show that demand for cigarette is price inelastic (Hidayat, 2011; USAID, 2013; World Bank, 2016)). Most economists, policy makers, and health professionals agree that the inelastic demand for cigarettes, with respect to the prices and incomes, was due to additictive natures of nicotine. Hidayat and Thabrany (2010) proved the addictive behavior using econometric modelling that the demand for cigarettes. We explore more on this correlation of would stop smoking due to higher prices of cigarettes by analyzing various independent variables. Boths smokers and non smokers agreed that certain level of high prices will eventually pushed to smokers to reduce or stop smoking. Therefore, the prices of cigarettes in Singapore, Malaysia, and Timor Leste are set high by the government to increase the government revenues, to reduce smoking prevalences especially among low income and teenagers, and the cigarette industries continue to enjoy profits. We found all groups, JKN members and non members, across the types of JKN members, across age groups, across education groups, and across income groups, unanimously (more than 70%) agreed that the price of a pack of cigarette above IDR 50,000 could stop smoking (Table 1). That level of price is about three time more than the current average price. The economic theory suggests that if consumers are willing to pay a certain prices, setting price below that level will cause welfare loss. The industries and the government can set double the current prices, say to be IDR 30,000 on average—100% increase, using the known price elasticities of -.39 (WHO, 2011), the cigarettes sales will reduce 39%. If current volume of cigarette consumptions (it was 341 billion sticks in 2015) than the total consumption will reduce to 208 billions sticks. But, the total volume of business of cigarette will increase. For a simple aritmatic modeling, if the current price of cigarette per stick is IDR 1,000; the total volume of bussines is IDR 341 Trillion (341 billion sticks x IDR 1,000). If the price is increased double to IDR 2,000 per stick, consumption will reduce to 208 billion sticks. But, the total business will increase to 208 B x IDR 2,000 = IDR 416 Trillion. If the excise rates are increased to an average of 50% (from current 43%), then the government revenue from excise increase from IDR 139.8 in 2015 to IDR 208 Trillion. The industries will enjoy higher gross revenues (total volume minus excise) of IDR 208 Trillion. This is a win-win solution in tobacco control that the FCTC urges member countries to adopt raising cigarette excise. The only loosers are the smokers. But, that is the idea of tobacco control and the principle of responsibilities. The smokers increase their health risks then they should pay more to handle their risks, as JKN members. As mentioned earlier, almost all smoker (more than 96%) knows that smoking is harmful for health. If they know that their behavior is harmful, and they are willing to pay more by rasing cigarette prices, then the government policy should simply use it to finance the deficits of JKN. Please note that the current deficit of JKN is actually for low quality of JKN (Thabrany, 2016). To continue exploring public support to pay higher prices of cigarettes to suplement the JKN fund, as has been practiced in many countries, we asked the respondents (smokers and non smokers) of their agreement on rasing cigarette prices and earmarking.
Support Sin Tax
7
Thabrany & Laborahima
Table 2 Proportion (%) of Respondent Who Aggreed and Disgreed on Raising Prices and Excise of Cigarettes to Financing of the National Health Insurance, 2016 Disagreed (%) Agreed (%)
p
Smoking Non smokers
16.5
83.5
Smokers
24.0
76.0
Non member
20.7
79.3
Member
18.9
81.1
PBI
18.3
81.7
Employed (PPU)
17.9
82.1
0.797
Self-employed (PBPU)
20.5
79.5
0.793
<30 years
15.1
84.9
30 – 40 years
22.9
77.1
0.012
41 – 50 years
24.8
75.2
0.013
51 – 60 years
23.4
76.6
0.120
> 60 years
23.5
76.5
0.423
< 6 years
15.2
84.8
6 -12 years
19.4
80.6
0.193
> 12 years
21.3
78.7
0.167
<1 millions
20.8
79.2
1 – 3 millions
18.2
81.8
0.272
3 – 10 millions
19.1
80.9
0.345
> 10 millions
25.9
74.1
0.579
0.005
JKN membership 0.989
Types of JKN Membership
Age
Education
Reported monthly inome (IDR)
As shown in Table 2, the vast majority (above 80%) of respondents in various groups agreed to raise cigarette prices and exice to meet financial gap of JKN. Higher proportion (83.5%) of non smokers significantly agreed to raise cigarette prices compared to smokers (76%), p=0.005. Even that, 76% of smokers agreed to raise cigarette prices. This finding is a diamond for public policy in improving our health care while reducing poor health behavior. The people support the government to improve their health and to assist them to reduce their poor health behavior. This a win-win policy of health promotion and health prevention while increasing fund for health care of the people. In addition, there is the third win, which is the government will get high reputation from the public to improve the access and quality of health care from the money mobilized through higher excise on tobacco. In the bivariate analysis, we found differences in the level of supports in raising cigarette exices to finance JKN between smokers and non smokers and between the middle ages (30-50 years) with other ages. However, across income and education levels, we found no significant difference. This is a very good news for the government, for the legal makers (DPR), and for the Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
8
Volume 1, Nomor 1
tobacco control activists. This finding is line with studies everywhere in the world and suggest that the Government should not worry and should not concern with the voice of industries in signing or accessing FCTC. In the final model, the logistic regression, we applied the probability of supporting higher cigarette prices and exice across various groups. As shown in Table 3, we found no diferrent at all among all groups. This finding, again, gives strong evidence that the President pledge of raising 200% excise revenues by 2019 (Nawa Cita, 2014) is fully supported by the public. Table 3 Logistic Regression Model on the Agreement to Raise Cigarette Prices and Excise to Finance JKN, 2016 S.E.
Sig.
Exp(B)
95% C.I.for EXP(B) Lower Upper
-.451 .166
.006
.637
.460
.881
.003
.207
.989
1.003
.668
1.506
.077 .300 -.075 .285
.797 .793
1.080 .928
.600 .531
1.946 1.621
-.490 -.578 -.519 -.476
.195 .234 .333 .595
.012 .013 .120 .423
.612 .561 .595 .621
.418 .355 .310 .194
.897 .887 1.144 1.993
-.565 .434 -.640 .463
.193 .167
.568 .527
.243 .213
1.330 1.307
.263 .236 -.182 2.345
.272 .345 .579 .000
1.301 1.266 .833 10.432
.813 .775 .438
2.083 2.068 1.587
B Smoking Smokers (ref: non smokers) JKN Members (ref: non members) Types of membership (ref: PBI) PPU PBPU Age (ref: <30 years) 30 – 40 years 41 – 50 years 51 – 60 years > 60 years Education (ref: < 6 years) 6-12 years > 12 years Income (ref: IDR < 1 millions) 1 – 3 Million 3 – 10 Million > 10 Million Constant
.240 .250 .329 .537
Conclusions and Recommendations A poll of Indonesian was taken early in 2016 comprising of 1,000 adults 59% members of JKN. The polling showed 41.3% respondents consume 1-2 pack of cigarettes per day wasting up to IDR 600 thousands per month per smokers. Almost all smokers (96.8%) know that ciagarette is harmful for their health. More than 72.3% of smokers said that they would stop smoking if the price of cigarette is above IDR 50,000 per pack; far above current prices. If the prices of cigarettes are doubled and the excise level reacing maximum allowable levels, there is potential to increase additional revenue up to IDR 70 Trillion that is almost equivalent to the estimated claim of JKN in 2016. In the logistic model, all groups of respondents unanimously support increasing price and excise of cigarettes to finance JKN. All findings are consistent with the major studies elsewhere in Support Sin Tax
9
Thabrany & Laborahima
the world and provide evidences for earmaking (developing sin tax) to finance UHC in Indonesia. This sin tax has quadruple win for the Government to increse revenue, for the current ruling parties to obtain good reputations, to improve the JKN quality, and for the industries (including labors, tabacco farmers, and clove farmers) to sustain their income. The authors recommend that further study to know how the legal and policy makers support developing and implementing sin tax to finance JKN. Concurently, the Ministry of Finance should start revising current Excise Law that is 10 years old to accommodate earmarking for the JKN. In addition to finance the JKN, portions of the excise revenues should also be earmarked or dedicated to improve income of tobacco and clove farmers, low skill workers in cigarette industries to switch to higher salaried jobs, to finance sports and art activities of youths, and to promote healthy behaviors.
Acknowledgement This study is funded by the program of Campign for Tobacco Free Kids (CTFK) of the Bloomberg Philantrophy in Indonesia.
References CHEPS UI (Center for Health Economics and Policy Studies, Universitas Indonesia). Laporan Akhir Kajian Model Pengumpulan Iuran Program JKN Pada Kelompok Peserta Bukan Penerima Upah. Depok, 2016 DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional). Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional. DJSN, Jakarta 2012. FAMoF (Fiscal Agency. Ministry of Finance. Indonesia); 2016. Presentation of the Minister of Finance of “Indonesian Excise Policy” on Workshop of Cigarette Excise: Win-win Solution for Fiscal Space and Health. Jakarta, March 2016. Hidayat, B and Thabrany H. Cigarette Smoking in Indonesia: Examination of a Myopic Model of Addictive Behaviour. Int. J. Environ. Res. Public Health 2010, 7, 2473-2485 Hidayat, Budi. Applied Econometrics to Estimate the Demand for Cigarette in Indonesia. Faculty of Public Health, Universitas Indonesia. Depok, 2011 Hidayat, Budi. Sustainabilitas Pendanaan JKN: Intervensi Sistemik. “Dialog Konstruktif Pemangku Kepentingan untuk Peningkatan JKN”. Jakarta, May 30, 2016. Idris, Fahmi. Presentation of BPJS Kesehatan on “Dialog Konstruktif Pemangku Kepentingan untuk Peningkatan JKN”. Jakarta, May 30, 2016. Medansatu. http://medansatu.com/berita/11608/cukai-rokok-2016-kelewat-tinggi-dewan-meradang/. Accessed on 24 of July 16 Moeloek, N (Minster of Health). Introduction (Pengantar) to Dialog “Dialog Konstruktif Pemangku Kepentingan untuk Peningkatan JKN”. Jakarta, May 30, 2016. MoF RI. Indonesia Tobacco Excise Policy. 2016. Presentation of the Minster of Finance Republic of Indonesia on the Workshop of Cigarette Excise: Win-win Solution for Fiscal Space and Health. Jakarta, March 2016 Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
10
Volume 1, Nomor 1
MoF, Ministry of Finance (2015). http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/athumbs/apbn/ KESEHATAN1.pdf. accessed July 11. 2016 MoH.a, Pusdatin. Prilaku Merokok Masyarakat Indonesia, Bersasarakan Riskesdas 2007-2013. Jakarta, 2014 MoH.b. Global Youth Tobacco Survey. Indonesia Report, Jakarta, MoH, 2014 MoI, Ministry of Industry, Decree number 63/2015 Nawa Cita (Visi Misi Jokowi-JK). KPU, 2014. http://kpu.go.id/koleksigambar/ VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf. Accessed on July 24, 2016 Paul, Jeremias. Securing the Wins of the Philippine Sin Tax Reform. Presentation on the Workshop of Cigarette Excise: Win-win Solution for Fiscal Space and Health. Jakarta, March 2016 PMI, Philip Morris International. 2014 Annual Report: A Successful Investment Year. 2015 Sampoerna (PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk). Laporan Tahunan 2014 (2014 Annual Report). 2015 Thabrany, H. Defisit JKN. Kompas Newspaper. Jakarta, 2016/03/02 or http://print.kompas.com/ baca/2016/03/02/Defisit-JKN, accessed July 24, 2016 Thabrany, Hasbullah. Jaminan Kesehatan Nasional. 2nd Edition, 3rd Printing, Rajagraphindo, Jakarta 2016 USAID. Impact of Increasing Tobacco Tax on Government Revenue and Tobacco Consumption. SEADI Project, Jakarta 2013. WHO. Earmarked of Tobacco Tax: Lessons Learnt from Nine Countries. WHO, Geneva, 2016. WHO. Global Report on Trends in Prevalence of Tobacco Smoking. WHO, Geneva. 2015 WHO. WHO Technical Manual On Tobacco
Tax Administration. WHO, Geneva, 2011 World Bank team. Discussion on Workshop of Cigarette Excise: Win-win Solution for Fiscal Space and Health. Jakarta, March 2016
Support Sin Tax
11
Thabrany & Laborahima
A Comparative Budget Requirements for TB program based on Minimum standard of Services (SPM) and Budget Realization: an Exit Strategy Before Termination of GF ATM Ery Setiawan1, Purwa K Sucahya2, Hasbullah Thabrany3, Kalsum Komaryani4 Contact: [email protected] Submitted on July 10, 2016. Reviewed July 22, 2016, and accepted on July 25, 2016
Abstrak
Telah menjadi isu umum bahwa Global Fund (GF) sebagai salah satu donor internasional terbesar untuk Program AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria (ATM) akan mulai menghentikan pendanaannya. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2009 dukungan GF ATM mencapai 88,8% dari total pengelolaan program sementara dana APBN hanya menutupi sekitar 11,2%. Namun demikian, anggaran APBN untuk program ATM meningkat secara signifikan pada tahun 2012 yang mencakup hampir 30% dari total anggaran. Meskipun kecenderungan peningkatan anggaran ATM terjadi pada level pusat, peran pemerintah daerah akan memegang kunci dalam keberlangsungan program paska terminasi GF ATM.
Tujuan
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran komitmen pemerintah daerah sebagai lembaga pelaksana untuk merespon kebutuhan pembiayaan khusus untuk program TB.
Metode
Evaluasi ekonomi dalam artikel ini dilakukan dengan membandingkan besaran anggaran yang telah direalisasikan saat ini dengan jumlah yang anggaran dibutuhkan berdasarkan Standar Minimum Pelayanan (SPM) Program TB. Sampel pada penelitian ini ditetapkan pada dua kabupaten/kota di Jawa Barat yaitu Kota Cirebon dan Kabupaten Garut. Komponen biaya yang dihitung dalam evaluasi ini adalah antara lain: obat-obatan, peralatan medis, biaya pencegahan dan pemuan kasus, serta biaya administrasi .
Hasil dan Diskusi
Total anggaran yang dibutuhkan di Garut menurut SPM sekitar 2,5 Milyar Rupiah, sedangkan total anggaran yang telah dialokasikan sekitar 2 Milyar Rupiah. Dari toral anggaran yang telah dialokasikan di Garut, sebesar kurang lebih 90% bersumber dari Pemerintah sedangkan selebihnya merupakan dukungan dari GF. Kecenderungan serupa terjadi di Kota Cirebon, dimana ditemukan selisih sebesar kurang lebih 700 Juta Rupiah dari sekitar 1,6 Miliar Rupiah anggaran yang dibutuhkan. Porsi pembiayaan program di Kota Cirebon yang bersumber dari pemerintah sudah mencapai 80% dari total anggaran. Temuan penting dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pembiayaan kegiatan pencegahan dan penemuan kasus di Garut masih didominasi oleh dukungan GF yaitu sekitar 65%. Lain halnya dengan Kota Cirebon, dimana anggaran untuk kegiatan tersebut sudah mencapai 80% yang didukung oleh pemerintah.
Kesimpulan
Secara umum, baik Kabupaten Garut maupun Kota Cirebon menghadapi dua tantangan dalam hal keberlangsungan pembiayaan program TB. Pertama, tingginya kesenjangan antara kebutuhan dan anggaran yang telah dialokasikan untuk program menjadi perhatian penting untuk mengatasi penurunan kasus TB di wilayah terkait. Kedua adalah keberlangsungan program setelah terminasi pembiayaan dari Global Fund, terutama untuk program pencegahan dan penemuan kasus. Oleh karena itu, tentu diperlukan keteribatan dari LSM dan berbagai pihak terkait untuk melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dan DPRD untuk meningkatkan pembiayaan dalam penanggulangan TB.
Kata kunci: GF ATM, Exit Strategy, Program TB, Biaya
1. 2. 3. 4.
Research assistant (Center for Health Economic and Policy Studies UI) Researcher (Center for Health Research UI) Chair (Center for Health Economic and Policy Studies UI) Chair (Center of Health Finance and Insurance, Ministry of Health)
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
12
Volume 1, Nomor 1
Abstract It has become a common issue that the Global Fund (GF) as one of the largest international donors to AIDS, Tuberculosis, and Malaria Program will immediately stop the funding. Data shows that in 2009 GF ATM support reached 88,8% while APBN funding just cover 11,2% of the total budget needed. However, APBN budget for ATM programs was significantly increased in 2012 which covered almost 30% of the total budget. Eventhough the increasing trend of ATM budget seemed at the central government level, however the local governments will hold the key to the sustainability of the post- termination GF ATM Funding
Objectives
This study aimed to get a picture of the local government’s commitment as an implementing institution to respond the financing needs specifically for TB programs.
Methods
This economic evaluation compared the amount of the existing budget of local governments and the amount needed based on the Minimum Standards of Services (MSS) of TB Programs. We sampled two district in west java that were Cirebon and Garut. The cost component calculated in these evaluation were: medicines, medical supplies, case findings, and administrative cost.
Results and Discussion
Total budget needed in Garut according to MSS amounted 2,5 Billion Rupiahs, whereas the total budget which has been alocated approximately 2 Billion Rupiahs. For those budget allocated in Garut, 90% of the total was supported by the Government then the rest of that was supported by GF. A similar trend showed in Cirebon, which was found a budget shortage amounted 700 Million Rupiahs from approximately 1,6 Billion Rupiahs budget needed and 80% of those was sourced by The Government. The particular finding showed that prevention and case detection program in Garut still dominated by GF support which slightly above 65%. Otherwise, budget allocated for those Activity in Cirebon has been dominated by the government approximately 80%.
Conclusion
In general, both Garut and Cirebon faced two common challenges in terms of financing the TB program. First, the high shortage between needs and budget alocated of the program becomes an important concern for addressing TB cases reduction in related district. The second is program’s sustainibility after termination of Global Fund, particularly for prevention and case detection programs. Therefore, it might be need a support from NGO or other related institution to advocate the local government and DPRD to allocate more budget for reducing TB cases.
Key Words :
GF ATM. Exit Strategy. TB Program. Cost
Costing TB Program
13
Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani
Pendahuluan
Indonesia saat ini berada di urutan ketiga negara dengan beban tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia dengan estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 647/100.000 penduduk (WHO, 2015). Berdasarkan perhitungan disability-adjusted life-year (DALY) WHO, kasus TB menyumbang 6,3 persen dari total beban penyakit di Indonesia, dibandingkan dengan rata-rata di kawasan Asia Tenggara sebesar 3,2 persen (USAID, 2008). Hingga saat ini, sebagian besar pembiayaan AIDS, TB, dan malaria di Indonesia secara umum masih didukung oleh donor internasional terutama Global Fund (GF). Namun demikian, peran donor Internasional dalam beberapa tahun ke depan akan berakhir, termasuk yang bersumber dari GF (Global Fund, 2015). Sehingga isu exit strategy pembiayaan program TB terhadap terminasi dukungan donor asing menjadi sangat penting untuk keberlangsungan program. Tabel 1 Perbandingan Ketersediaan Anggaran Program TB Antara GF dan Pemerintah, 2009-2012 (Dalam Jutaan Rupiah) Tahun GF % APBN % TOTAL 2009 2010 2011 2012
300,397 223,710 309,125 287,163
88.8 65.3 71.7 70.1
38,000 119,000 122,000 122,304
11.2 34.7 28.3 29.9
338,397 342,710 431,125 409,467
Merujuk pada tabel di atas ditunjukkan bahwa pola anggaran yang bersumber pemerintah telah mengalami peningkatan dari sekitar 11% pada tahun 2009 menjadi sekitar 30% pada tahun 2012. Komitmen tersebut direncanakan akan terus meningkat hingga 50% di tahun 2016 (Kemenkes, 2012). Namun demikian, sebagian besar peningkatan tersebut masih fokus pada pengadaan obat dan bahan medis terkait pemeriksaan dan pengobatan TB. Penyelenggaraan sistem kesehatan ke depan melalui program JKN akan lebih sistematik dengan masuknya upaya pengobatan TB dalam paket manfaat jaminan. Namun demikian yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pola pembiayaan untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) yang merupakan salah satu peran penting dari pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian kesehatan dan dinas kesehatan pada tingkat daerah dalam menurunkan angka kesakitan TB. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk membangun political will dari para pemangku kebijakan, dibutuhkan sebuah evidence based data terkait besaran kebutuhan biaya program sebagai bahan dalam advokasi pembiayaan UKM. Kemudian, dilakukan analisis situasi dengan membandingkan kebutuhan pembiayaan program tersebut dengan anggaran yang hingga saat ini telah dialokasikan termasuk sumber pembiayaannya. Sehingga dengan mengetahui kesenjangan tersebut, maka hasil analisis dalam artikel ini akan menunjukkan seberapa besar gap yang harus diupayakan pemerintah untuk mengendalikan dampak dari penyakit TB di Indonesia.
Tujuan
Tujuan dari studi ini adalah untuk membandingkan antara kebutuhan program berdasarkan SPM dengan anggaran yang telah dialokasikan. Sementara secara khusus ditujukan untuk menganalisis kesenjangan pada masing-masing komponen biaya dan sumber pembiayaan.
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
14
Volume 1, Nomor 1
Metode
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kuantitatif (dengan metode survei) dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan besaran biaya program TB yang sudah di alokasikan melalui metode activity based costing dan perhitungan kebutuhan anggaran melalui pendekatan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Sementara pendekatan kualitatif dilakukan melalui proses wawancara mendalam kepada para pengambil kebijakan untuk menguatkan argumentasi pada temuan-temuan kuantitatif yang didapatkan (Hancock et.al, 2007). Perspektif yang digunakan dalam studi ini adalah perspektif program terutama yang terkait dengan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) pada penatalaksanaan program TB baik pada fasilitas tingkat primer maupun rujukan pada tahun 2013. Dasar penentuan Provinsi sampel merujuk pada capaian Case Detection Rate (CDR) dan angka Success Rate (SR) (Dirjen P2PL, 2011). Dalam artikel ini akan dipilih satu provinsi dengan kriteria memiliki CDR dan SR yang dapat menunjukkan besaran kasus dan tingkat efektivitas penyelenggaraan program. Pemilihan di tingkat provinsi terlebih dahulu dibagi menjadi 4 wilayah hingga terbentuk kluster seperti pada tabel di bawah. Oleh karena kriteria yang ditetapkan adalah daerah dengan tingkat CDR dan SR tinggi maka kluster yang terpilih terdiri dari 5 provinsi yaitu Jabar, Sulawesi Utara, Maluku, Jakarta, dan Banten. Dari kelima provinsi tersebut dilakukan pemilihan secara acak hingga didapatkan Jawa Barat sebagai lokasi sampel. Tabel 2 Pencapaian Target Pengendalian TB per Provinsi 2009 (Stranas 2010-2014) CDR ≥ 70% CDR < 70% SR ≥ 85%
Jabar, Sulawesi Utara, Maluku, DKI Jakarta, Banten (5)
SR < 85%
Tidak ada
Bali, Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Lampung, NTB, Jambi, NAD, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Gorontalo, Bengkulu, Kalimantan Barat, NTT, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah (23) Papua Barat, Papua, DIY, Maluku Utara, Riau (5)
Pada tingkat kab/kota di provinsi terpilih, pemilihan sampel tidak menggunakan cara yang sama dengan di tingkat provinsi oleh karena ketersediaan data CDR dan SR di tingkat kab/kota. Sehingga peneliti menggunakan indeks kapasitas fiskal untuk merepresentasikan kemampuan daerah. Peneliti menggunakan indeks kapasitas fiskal dengan mengasumsikan adanya hubungan yang erat antara indikator tersebut dengan komitmen pemerintah daerah dalam pembiayaan program TB pada khususnya. Klasifikasi yang dikeluarkan dalam peraturan menteri keuangan, setiap kab/kota dibagi menjadi 4 kategori dana daerah urusan bersama (DDUB) yang bersumber APBD yaitu dengan klasifikasi sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Mengingat di setiap provinsi hanya akan dipilih 2 kab/kota maka peneliti mengelompokkan menjadi 2 kategori DDUB, yaitu tinggi (sangat tinggi dan tinggi) dan rendah (sedang dan rendah). Di setiap kategori tersebut dipilih secara acak, hingga terpilih Kota Cirebon yang mewakili kapasitas fiskal tinggi dan Kab Garut yang mewakili kapasitas fiskal rendah. Pada setiap lokasi studi di tingkat kab/kota dipilih 4 puskesmas dengan kriteria 2 puskesCosting TB Program
15
Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani
mas satelit dan 2 non satelit yang dikonsultasikan dengan pihak Dinas Kesehatan setempat. Selain itu pada masing-masing kab/kota juga akan dilakukan pengumpulan data di satu rumah sakit, satu laboratorium penunjang (bila ada), serta LSM yang terlibat dalam penatalaksanaan program TB di wilayah terkait. Selain itu, untuk pendekatan kualitatif juga akan dilakukan wawancara mendalam di Bappeda atau pemerintah daerah.
Metode Perhitungan: Pendekatan Activity Based Costing
Perhitungan biaya program TB yang telah dialokasikan akan ditelusuri melalui metode Activity Based Costing (ABC), yaitu melalui proses penilaian kegiatan-kegiatan yang terkait dalam penatalaksanaan program TB (Collins & Jarrah, 2012). Masing-masing kegiatan tersebut akan terdiri dari berbagai aktivitas yang memicu timbulnya biaya baik yang bersifat biaya langsung maupun biaya tidak langsung (Popesko, 2013). Penilaian rincian kegiatan yang terkait dengan pengendalian TB merujuk pada pedoman nasional penatalaksanaan program TB yang terdiri dari beberapa kegiatan sebagai berikut (Dirjen P2PL, 2014): 1. Penemuan kasus 2. Pengobatan 3. Pemantauan hasil pengobatan 4. Pengendalian infeksi pada sarana layanan 5. Pencegahan tuberkulosis 6. Perencanaan program tuberkulosis 7. Monitoring dan evaluasi program 8. Manajemen logistik 9. Pengembangan ketenagaan 10. Promosi program 11. Penguatan layanan laboratorium 12. Public-Private Mix 13. Kolaborasi TB-HIV 14. Pemberdayaan masyarakat dan pasien TB 15. Pendekatan kolaborasi dan kesehatan Paru 16. Manajemen TB Resisten Obat 17. Penelitian Masing-masing kegiatan tersebut akan di uraikan berdasarkan beberapa komponen biaya yang telah di tetapkan oleh peneliti, antara lain: alat medis, alat non medis, bahan habis pakai (medis dan non medis), gaji dan insentif, gedung, utilities, kendaraan, dan obat (Mogyorosy & Smith, 2005). Sebagai contoh, untuk kegiatan penemuan kasus melibatkan beberapa staf yang bertugas untuk aktivitas kunjungan rumah, sehingga sumber daya yang timbul dari aktivitas tersebut dapat berupa insentif staf, biaya transportasi, dan bahan habis pakai apabila dilakukan survei cepat. Setelah masing-masing kegiatan diuraikan berdasarkan aktivitas dan komponen biaya kemudian dikelompokkan menurut sumber pembiayaannya, apakah sumber daya tersebut berasal pembiayaan dari APBN, APBD atau donor. Maka pada hasil analisis didapatkan berapa besaran proporsi masing-masing sumber biaya pada setiap jenis kegiatan dan secara umum. Sehingga dalam konteks kebijakan dapat diketahui porsi pada kegiatan apa yang masih membutuhkan dukungan pembiayaan lebih dari pemerintah sebagai exit strategy donor asing.
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
16
Volume 1, Nomor 1
Metode Perhitungan: Standar Pelayanan Minimum
Penatalaksanaan beberapa program kesehatan nasional ke depan termasuk TB akan merujuk pada standar pelayanan minimum (SPM). Rancangan SPM tersebut telah di susun oleh Asosiasi Dinas Kesehatan (Adinkes) yang salah satunya dengan membentuk pedoman aktivitas program TB yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah. Atas dasar tersebut, peneliti mencoba menghitung kebutuhan besaran biaya program TB di tingkat kab/kota. Hasil perhitungan tersebut kemudian akan dibandingkan dengan ketersediaan anggaran yang ada saat ini, sehingga dapat diketahui tingkat kesenjangan ketersediaan anggarannya. Merujuk pada pedoman SPM untuk program TB terdapat beberapa komponen biaya yang terkait dengan penyelenggaraan program yaitu sebagai berikut: 1. Alat dan bahan lab 2. Bahan diagnostik 3. Bahan pelatihan 4. Barang pencetakan dan pelaporan 5. Monitoring dan evaluasi 6. Pelatihan tatalaksana TB bagi dokter/perawat/petugas TB 7. Pemeriksaan anak 0-14 tahun 8. Penyediaan media KIE Kebutuhan data dasar untuk proses perhitungan antara lain: 1. Jumlah alat kesehatan yang digunakan 2. Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan 3. Unit price alat kesehatan dan bahan habis pakai medis maupun non medis 4. Satuan biaya umum (SBU) untuk honorarium 5. Total jumlah kasus TB 6. Total jumlah kasus TB anak 7. Frekuensi pelatihan 8. Prosedur klinis Perspektif yang digunakan dalam proses perhitungan ini adalah perspektif program yang diselenggarakan di fasilitas kesehatan primer pada tingkat kab/kota. Hasil perhitungan ini akan mencerminkan besaran kebutuhan biaya minimal yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah di wilayahnya. Keterbatasan hasil dari perhitungan ini adalah biaya yang timbul merujuk pada besaran kasus bukan termasuk berbagai upaya pengembangan atau inovasi program untuk mereduksi incidence rate TB. Selain itu, pada kerangka SPM tidak terdapat aspek pengobatan sehingga biaya obat akan dikeluarkan dari perhitungan ini, termasuk biaya untuk layanan rujukan, penunjang, dan fasilitas pelayanan TB lainnya. Hasil analisis dalam artikel ini adalah dengan membandingkan hasil antara perhitungan SPM dengan perhitungan ketersediaan anggaran riil di tingkat kab/kota pada tahun 2013. Oleh karena klasifikasi komponen biaya antara pendekatan SPM dengan Activity Based Costing berbeda, sehingga perlu dibuat kategori yang sama pada keduanya. Setelah dilakukan penilaian, maka diputuskan kategorisasi biaya yang sama pada kedua kelompok tersebut, terbagi menjadi 4 komponen, yaitu: 1. Alat dan Bahan Medis, 2. Alat dan Bahan Non Medis, 3. Operasional Program Costing TB Program
17
Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani
Untuk membuat kedua pendekatan tersebut menjadi layak dibandingkan, maka selain penyetaraan komponen biaya juga diperlukan penyetaraan item biaya (cost driver) yang diperhitungkan. Terdapat beberapa item biaya yang dikeluarkan dari perhitungan antara lain obat, gedung, dan gaji rutin. Pembiayaan untuk obat dikeluarkan dari perhitungan sebab pada pendekatan SPM tidak menyebutkan rincian kegiatan pengobatan, sehingga biaya untuk obat tidak muncul meskipun dalam praktiknya terdapat penggunaan obat. Hal ini dikarenakan pengadaan obat dalam penatalaksanaan program TB seluruhnya telah di supply oleh pemerintah pusat melalui APBN sehingga tidak ada biaya yang muncul pada fasilitas kesehatan primer selain gaji dan insentif petugas. Begitu pula untuk item biaya gedung dan gaji rutin yang bersifat given goods atau sumber daya yang pasti akan keluar meskipun tidak terkait dengan program TB, dimana pembiayaan bersumber donor tidak mencakup biaya tersebut sehingga tidak dapat dibandingkan. Lain halnya dengan biaya insentif staf, yang muncul baik dari sumber APBN/APBD maupun Global Fund sehingga dapat dibandingkan. Untuk gaji staf tambahan yang direkrut oleh GF ATM guna membantu pengelolaan program akan diperhitungkan dalam item insentif staf.
Hasil dan Pembahasan
Tabel 3 Perbandingan Kebutuhan Anggaran Menurut SPM dan Realisasi Anggaran di Garut Dan Cirebon Komponen Biaya SPM Existing Budget Gap Garut alat dan bahan medis alat dan bahan non medis Operasional Program Total Cirebon alat dan bahan medis alat dan bahan non medis Operasional Program Total
1.655.118.425 113.250.000 703.751.200 2.472.119.625
997.809.553 101.047.578 847.738.140 1.946.595.273
(657.308.871) (12.202.421) 143.986.940 (525.524.351)
968.974.214 44.805.000 541.373.600 1.555.152.814
372.757.642 30.773.353 429.989.362 833.520.359
(596.216.571) (14.031.646) (111.384.237) (721.632.454)
Total kebutuhan anggaran program TB di kabupaten Garut berdasarkan Standar Pelayanan Minimal sekitar 2,5 Milyar Rupiah, sedangkan total anggaran yang sudah dialokasikan hampir 2 Milyar Rupiah. Sehingga selisih antara kebutuhan dengan realisasi anggaran sekitar 535 Juta Rupiah. Dari ketiga komponen biaya yang tercantum pada tabel, selisih paling besar terjadi pada komponen alat dan bahan medis meskipun secara umum total realisasi anggaran sudah cukup tinggi yaitu hampir mencapai 1 Milyar Rupiah. Sama halnya dengan Kabupaten Garut, perbandingan antara total kebutuhan anggaran menurut SPM dengan anggaran yang telah dialokasikan di Kota Cirebon terjadi selisih yang cukup signifikan yaitu sekitar 721 Juta Rupiah. Dari ketiga komponen biaya pada tabel di atas, selisih anggaran yang paling tinggi adalah pada komponen alat dan bahan medis yaitu sekitar hampir 600 Juta Rupiah. Tingginya realisasi anggaran untuk komponen alat dan bahan medis baik di Garut maupun Cirebon terkait dengan tingginya angka suspek TB di kedua daerah tersebut. Pada tahun 2013 tercatat angka suspek TB di Garut mencapai 13.898 kasus atau 560/100.000 penduduk sementara
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
18
Volume 1, Nomor 1
di kota Cirebon sebanyak 5317 kasus atau 1778/100000 penduduk. Hal inilah yang juga memicu tingginya kebutuhan anggaran program berdasarkan SPM, sebab basis data dalam perhitungan SPM adalah angka kasus TB dan frekuensi kegiatan. Total perhitungan pembiayaan program TB pada tabel di atas tidak termasuk komponen biaya obat, sebab komponen tersebut tidak tercantum dalam item Standar Pelayanan Minimum (SPM). Namun demikian, pada proses perhitungan realisasi anggaran didapatkan bahwa total pengeluaran biaya obat untuk penatalaksanaan program TB di Garut sekitar 1,5 Milyar. Dari total pembiayaan obat tersebut, sekitar 94% bersumber dari pemerintah sedangkan sisanya merupakan support dari Global Fund. Berbeda dengan pola pembiayaan obat di kabupaten garut, pembiayaan obat di Kota Cirebon sepenuhnya di supply oleh pemerintah. Tabel 4 Rincian Sumber Realisasi Pembiayaan Program TB di Garut dan Cirebon Komponen Biaya
Pemerintah Daerah
Pemerintah Pusat
Global Fund
Total
alat dan bahan medis
495.078.361
494.599.993
8.131.200
997.809.553
alat dan bahan non medis
26.265.883
28.681.696
46.100.000
101.047.578
Garut
Pencegahan dan Penemuan Kasus
39.758.000
12.909.600
98.416.000
151.083.600
Gaji
329.818.920
288.360.000
35.299.440
653.478.360
Utilities
16.154.000
27.022.181
-
43.176.180
Total
907.075.164
851.573.469
187.946.640
1.946.595.273
Cirebon alat dan bahan medis
312.645.107
40.597.655
19.514.880
372.757.642
alat dan bahan non medis
8.981.527
21.618.786
173.040
30.773.353
Pencegahan dan Penemuan Kasus
79.855.029
-
17.488.060
97.343.089
Gaji
225.706.945
-
-
225.706.945
Utilities
95.782.952
11.156.375
-
106.939.327
Total
722.971.561
73.372.818
37.175.980
833.520.359
Tabel di atas menjelaskan rincian masing-masing komponen biaya dan sumber pembiayaannya, antara lain pemerintah daerah, pemerintah pusat dan global fund. Namun demikian, rincian biaya di atas hanya menjelaskan proporsi pembiayaan dari anggaran yang telah direalisasikan di masing-masing daerah. Secara total, penatalaksanaan program TB di kabupaten garut masih di dominasi oleh pembiayaan bersumber pemerintah, yaitu sekitar 46% pemerintah daerah, 44% pemerintah pusat, dan 10% Global Fund. Apabila ditinjau lebih rinci memang tingginya alokasi anggaran pemerintah baik pusat maupun daerah masih cenderung pada pengadaan alat dan bahan medis serta komponen gaji. Lain halnya dengan Kota Cirebon, secara umum peran global fund terhadap penatalaksanaan program TB tidak terlalu signifikan. Berdasarkan perhitungan alokasi anggaran program melalui pendekatan ABC, didapatkan bahwa peran global fund dalam pembiayaan TB di Kota Cirebon hanya sebesar 4% sementara selebihnya merupakan support dari Pemerintah. Porsi pembiayaan pada komponen alat dan bahan medis menunjukkan bahwa peran pemerintah baik pada level pusat maupun daerah jauh lebih dominan dibandingkan GF. Begitu juga pada komponen pencegahan dan penemuan kasus, dimana sekitar 80% pembiayaannya telah di support oleh pemerintah daerah. Costing TB Program
19
Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani
Salah satu isu penting yang terdapat pada tabel di atas adalah pada komponen pencegahan dan penemuan kasus. Aktivitas yang dilakukan pada komponen ini antara lain kunjungan rumah pada pasien suspek TB maupun kegiatan operasional lain guna mencegah penularan aktif oleh pasien TB, sehingga pembiayaan untuk komponen ini sangat penting. Porsi pembiayaan kegiatan pencegahan dan penemuan kasus di kota Cirebon sebesar 80% berasal dari pemerintah daerah. Namun demikian, pembiayaan untuk komponen ini kabupaten Garut masih cukup kecil yaitu sekitar 35%, sementara 65% lainnya masih di-support oleh Global Fund. Berdasarkan temuan studi kualitatif diketahui bahwa program penanggulangan TB khususnya untuk kegiatan pencegahan dan penemuan kasus masih belum mendapatkan porsi pembiayaan yang memadai seperti yang disampaikan oleh narasumber berikut. …kita belom pernah ada dari APBD sebelum 2011-2012, baru ada 2013, itu pun hanya untuk follow-up pasien MDR 1 kasus. Kalau dari APBD2 baru ada 1 kegiatan untuk pendampingan penderita TB MDR. Tahun 2014 diberikan dana Rp.112juta dari pemerintah daerah untuk pendataan TB di puskesmas & follow up kasus TB MDR (9 kasus)... ..biasanya program TB dimasukkan dalam satu RKA yang bersatu dengan kegiatan lainnya, termasuk kegiatan penanggulangan penyakit epidemic dan pandemic. Tahun ini saya coba dipisahkan RKA tersendiri, jadi saya masukkan program pencegahan dan penanganan penyakit Tuberculosis. Saya coba anggarkan Rp.256.000.000 untuk tahun 2015… Hal ini menjadi perhatian penting mengingat dukungan donor asing akan segera berakhir, sementara pembiayaan pemerintah untuk aktivitas primer masih relatif kecil. Untuk menjamin keberlangsungan program, pemerintah daerah tentunya perlu mengupayakan kerja sama dengan pihak swasta (Public-Private Partnership) atau berbagai pihak lain yang memiliki potensi dan keterkaitan dengan penatalaksanaan program TB. Selain itu tentunya diperlukan advokasi yang tepat kepada pemangku kebijakan yang berwenang dalam penetapan anggaran. Hal ini dikarenakan beban ekonomi yang ditimbulkan oleh penyakit TB cukup tinggi, mengingat tingginya angka prevalensi Tuberkulosis baik di Kabupaten Garut maupun Kota Cirebon.
Kesimpulan dan Saran
Merujuk pada Standar Pelayanan Minimum (SPM), diketahui bahwa kebutuhan anggaran program TB di Kabupaten Garut sekitar 2,5 Milyar Rupiah. Sedangkan anggaran yang telah di realisasikan pada tahun 2013 sebesar hampir 2 Milyar Rupiah, sehingga terdapat selisih sekitar 500 juta terhadap standar kebutuhan program. Tingginya angka tersebut dipicu oleh tingginya angka kejadian kasus TB di Kabupaten Garut yang mencapai 13.898 kasus atau 560/100.000 penduduk. Sama halnya dengan Kabupaten garut, selisih kebutuhan dan realisasi anggaran di Kota Cirebon cukup signifikan. Total kebutuhan anggaran merujuk pada SPM sekitar 1,5 Milyar rupiah sementara realisasi anggaran pada tahun yang sama sekitar 833 Juta Rupiah. Selisih anggaran yang paling tinggi di Kota Cirebon adalah pada komponen alat dan bahan medis yaitu sekitar hampir 600 Juta Rupiah. Tingginya selisih antara kebutuhan dan realisasi anggaran kontras dengan besaran kasus yang ada di Kota Cirebon. Pada tahun 2013 total suspek TB di kota Cirebon sebanyak 5.317 kasus atau 1.778/100000 penduduk, yang tentunya akan membutuhkan bahan medis cukup Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
20
Volume 1, Nomor 1
banyak untuk pemeriksaan TB. Apabila ditinjau lebih rinci pada peran pemerintah dalam pola pembiayaan program, penatalaksanaan program TB di kabupaten garut masih di dominasi oleh pembiayaan bersumber pemerintah, yaitu sekitar 46% pemerintah daerah, 44% pemerintah pusat, dan 10% Global Fund. Begitu juga peran Global Fund dalam pembiayaan TB di Kota Cirebon hanya sebesar 4%, sementara selebihnya merupakan support pembiayaan dari Pemerintah. Sehingga untuk isu exit strategy pasca terminasi Global Fund seharusnya tidak menjadi beban serius karena pembiayaan yang bersumber pemerintah sudah cukup menunjukkan porsi yang besar terhadap program. Meskipun tingginya alokasi anggaran pemerintah baik pusat maupun daerah masih cenderung pada pengadaan alat dan bahan medis serta komponen gaji. Salah satu temuan penting pada hasil perhitungan ini adalah gambaran komitmen daerah untuk pembiayaan kegiatan pencegahan dan penemuan kasus. Merujuk pada hasil perhitungan di kabupaten Garut diketahui bahwa peran pembiayaan pemerintah untuk komponen pencegahan dan penemuan kasus masih cukup rendah yaitu sekitar 35% dari total alokasi anggaran, sementara 65% lainnya masih di support oleh Global Fund. Hal ini akan menjadi tantangan besar terhadap keberlangsungan program preventif TB di Kabupaten Garut apabila tidak dirumuskan alternatif pembiayaan yang memadai. Namun sebaliknya di Kota Cirebon, meskipun secara total selisih antara kebutuhan dengan realisasi anggaran jauh lebih tinggi di kota Cirebon akan tetapi porsi pembiayaan pemerintah sudah cukup tinggi. Pada komponen pencegahan dan penemuan kasus, sekitar 80% pembiayaannya sudah di support oleh pemerintah daerah sementara selebihnya adalah dukungan dari Global Fund. Secara umum, baik Kabupaten Garut maupun Kota Cirebon menghadapi dua tantangan yang sama dalam hal pembiayaan program TB. Pertama, selisih antara kebutuhan dan realisasi anggaran program yang masih cukup tinggi menjadi perhatian penting untuk menangani kasus TB di daerah masing-masing. Sebab, karakteristik penyakit TB apabila tidak terobati dengan tepat akan memicu terjadinya MDR TB (multi drug resistant), dimana pembiayaan untuk pengobatan tersebut menjadi sangat tinggi. Terlebih penularan oleh pasien MDR TB akan secara langsung menjadikan pasien baru terjangkit MDR TB, bukan kasus TB reguler sehingga beban ekonomi yang ditimbulkan akan semakin besar. Tantangan kedua adalah keberlangsungan program setelah berakhirnya dukungan pembiayaan dari donor asing, terutama untuk program pencegahan dan penemuan kasus. Oleh karena itu upaya yang sangat perlu dilakukan adalah advokasi kepada para pemangku kebijakan dengan bukti dan dampak yang akan ditimbulkan dari penyakit TB. Sebab alternatif yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah dengan peningkatan komitmen pembiayaan pemerintah untuk menggantikan pembiayaan yang bersumber donor sebelumnya. Sementara dalam jangka panjang, pemerintah daerah dapat mengupayakan public-private partnership untuk melibatkan pihak swasta dalam penatalaksanaan program TB di daerah.
Daftar Pustaka Collins, D. H., & Jarrah, Z. (2012). Modeling the Cost-Effectiveness of Multi-Drug Resistant Tuberculosis. Management Sciences for Health. Dirjen P2PL. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementerian Kesehatan RI. Dirjen P2PL. (2014). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan
Costing TB Program
21
Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani
RI. Global Fund. (2015). Investment Case for the Global Fund’s 2017-2019 Replenishment. Global Fund. Hancock, B., Windridge, K., & Ockleford, E. (2007). An Introdustion to Qualitative Research. UK: The NIHR RDS EM. Mogyorosy, Z., & Smith, P. (2005). The main methodological issues in costing health care services: A literature review. Center for Health Economic University of York. Popesko, B. (2013). Specifics of the Activity-Based Costing applications in Hospital Management. International Journal of Collaborative Research on Internal Medicine & Public Healt, 184. USAID. (2008). Tuberculosis Profile of Indonesia. WHO. (2015). Global Tuberculosis Report.
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
22
Volume 1, Nomor 1
Application of Decision Analytic Model in Health Economic Evaluation: Smoking Cessation Cases Septiara Putri1 Contact: [email protected] Submitted on July 18, 2016. Reviewed July 25, 2016, and accepted on July 25, 2016
Abstract It has become a common issue that the Global Fund (GF) as one of the largest international donors to AIDHealth economic evaluation that encompasses decision analytic model is a beneficial approach for assisting decision maker to choose the best health intervention for patients. Decision analytic model has been increasingly applied in health economic evaluation. This mathematical approach is mostly used for conducting cost-effectiveness of healthcare interventions. Decision tree and Markov model has been widely applied in the past 20 years. Decision tree is the simplest form of decision model that drawn by the series of branches and clear pathways. Meanwhile, Markov model is one of the powerful approaches that employ stochastic process in health economic evaluation. This paper describes the applications of those two models in tobacco cessations, specifically for pharmacological interventions. First, decision tree for cost-effectiveness of smoking cessation program with pharmacist and therapies interventions compared to no program or self-aid cessation. Second, the application of Markov model estimates cost-effectiveness of veranicline, in comparison to bupropion. Markov model is constructed with morbidity and mortality states that consists of: well/no morbidities, lung cancer, COPD, stroke, myocardial infarction, and dead. This paper provides step by step of populating and constructing the model-with some modification of data. Several sections discuss the understanding of transition probabilities, costs data, cohort simulation, and the role of sensitivity analysis. Other models, despite deterministic approach, probabilistic approach are also reviewed. Both of models had both advantages and limitation that analysts should be aware of. Translating the ‘real world’ to mathematical model yields beneficial and insightful information for analysts. In addition, it could fulfill the need of evidence-based policy by decision maker. From simulation, the model may easy to be replicated-with appropriate context to generate evidence related health and costs.
Key Words :
Smoking Cessation. Tobacco Control. Modeling. Markov Model. Decision Tree. Indonesia
1
Research Assistant (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
Modelling on Smoking Cessation
23
Putri
Introduction
Health economic evaluation is a general framework to aid decision maker with best available evidence in terms of priority setting and choosing particular health technologies (Shiell et al. 2002). This is one of pivotal aspects for decision making that commonly related to funding, reimbursement or regulatory of health intervention, with increasing challenges of finite resources available (Morris et al. 2007; Hjelmgren et al. 2001). Decision analytic model can be used in health economic evaluation; it is widely applied to estimate cost-effectiveness of healthcare interventions (Sox et al. 1988; Buxton et al.1997; Hunnink et al. 2001). This essential technique is defined as a systematic approach on synthesizing information from multiple sources and applying mathematical relationship to answer decision problems, allowing its variability and uncertainty. Expected costs and possible consequences of all available options are compared (Briggs et al. 2006; Gray et al. 2010). In particular situation, economic evaluation is increasingly conducted alongside clinical trial. However, the results from this economic evaluation do not always able to inform decision related reimbursement (Sculpher et al. 2006). Decision analytic model therefore can be beneficial to resolve the limitations in clinical trial. Generally, there are several circumstances when decision analytic modeling in health economic evaluation is very useful. First, when Randomized Clinical Trials (RCTs) could not be undertaken due to costs, time, or other reasons. Hence, modeling techniques can be applied by synthesizing all relevant information from various sources, not only from primary data (Karnon and Brown, 1998). Second, RCTs remain crucial for efficacy evidence. However, it might not compare all relevant alternatives and provide appropriate time horizon. In health economic evaluation, time horizon should be long enough to capture the magnitude of costs and benefits among alternatives. (Drummond et al., 2005; Briggs et al., 2006). Third, final endpoints evidence is difficult to be achieved, for instance: mortality and long-term morbidity. It is related to short time horizon in clinical trials, mostly RCTs are concluded up to intermediate endpoints. Furthermore, by developing a model, the results can be extended (Briggs et al., 2006). Moreover, Sculpher et al. (1997) explained four major stages in economic evaluation process, and decision analytic model assigned prominent role in each of those steps. Therefore, decision analytic model is able to sufficiently answer the resource allocation question, while all information about cost and consequences become barriers in primary clinical research such as RCTs. As powerful tool in economic evaluation, modeling is structuring evidence both clinical and economics outcomes, simplifying representation of reality. It thus beneficial to generate relevant evidence that highly required by decision makers. There are some alternatives modeling approach that can be used for estimating cost-effectiveness of health interventions. For example: dynamic models, discrete event simulations (DES), and patient level simulations (Petrou and Gray, 2011). However, this paper only discusses decision tree and Markov model application, since these two models are frequently applied in economic evaluation (Buxton et al., 1997; Karnon and Brown 1998). Author discusses the example of tobacco program as well as pharmacological therapies in tobacco cessation, in this example: veranicline, bupropion. The costs and outcomes value have been determined as instances. Models in this paper are structured by referring from previous studies, indeed with some modifications. Author will frequently use terms Cost-effectiveness Analysis (CEA) and Cost Utility Analysis(CUA). Illustrations of these methods can be found in publication by Drummond et al. (2005). This paper is divided into several sections that cover stages on designing and conducting simple decision tree Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
24
Volume 1, Nomor 1
and Markov model for pharmacological interventions in smoking cessation. This paper neither demonstrates modeling choice nor provides ideal good structure that should be followed on tobacco cessation cases. Models are characterized depend on research or policy question, modeler, and decision maker consideration, not only technically applying mathematical operations. It should be noted that this paper focuses on outlining the basic theory and aim to familiarize unexposed audience with basics modeling applications as abstractions of reality.
Decision rules
Before going to further parts, this section covers the decision rules and general rationale of conducting CEA/CUA for making sense the final resources after applying decision models. Decision makers in health sector often face a dilemma for choosing health intervention. New treatment/ health technology is often more effective than current/standard treatment, however it is inevitably more expensive. Health economists are interested in considering of “how much do we get the benefit for additional cost or the money spent?” Value for money of new intervention furthermore is summarized by Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) (Owens, 1998; Jefferson, 2000; Cohen and Reynolds, 2008). The concept of cost, effect, effectiveness and its linkage to ICER concepts are divided into four main rules (O’Brien et al. 1994; Briggs and Tambour 1998). From two therapies that are compared, one new treatment and a comparator or familiarly named as existing treatment represented by “A” and “B”, respectively. Mean of treatment’s costs denoted byμ_cA andμ_cB. Similarly, effects are denoted by μ_eA and μ_eB. It describes below: 1. μ_cA - μ_cB< 0 ; μ_eA - μ_eB> 0 ; dominance, accept new treatment 2. μ_cA - μ_cB> 0 ; μ_eA - μ_eB< 0 ; dominance, reject new treatment 3. μ_cA - μ_cB> 0 ; μ_eA - μ_eB> 0 ; trade-off (consider magnitude of ratio of differences in cost to differences in effect; or additional costs relative to additional effectiveness) 4. μ_cA - μ_cB< 0 ; μ_eA - μ_eB< 0 ; trade-off (consider magnitude of ratio of differences in cost to differences in effect, cost-saving to it reduced effectiveness) Those four points are in relation to four quadrants of cost-effectiveness plane. It is commonly used for presenting cost-effectiveness results that described and discussed in almost economic evaluation results. The condition number 1 demonstrates that we accept new treatment when it is more effective and less costly compared to existing treatment. In contrast, condition number 2, when new treatment is more costly and less effective, so then clearly we reject it. However, when a new treatment is more effective but also it is more expensive, then judgment should be made. This is the condition when ICER is playing its role, providing the summary of cost-effectiveness of new intervention compared to current intervention/treatment(s) with equation:
ICER= (μcA-μcB)/(μeA- μcB) = μΔc/μΔe < λ Therefore, ICER is simply the ratio of both differences in costs and effects. The λ(lambda) represents maximum acceptable cost-effectiveness ratio or ceiling ratio. Several countries have produced lamda to support their decision related to new health intervention (Mc Cabe et al. 2008; Grosse, 2008; Shiroiwa et al. 2010; Neumann et al. 2014). If the ICER is less than the value of λ, it is concluded that the intervention is potentially be accepted. Modelling on Smoking Cessation
25
Putri
Defining questions
The first step for structuring the decision model is specifying the decision problem. Population, interventions, comparators, as well as clinical and economic outcomes should be clearly identified (Briggs et al. 2006; Drummond et al. 2005; Gray et al. 2010). In this case, for instance, we will discuss modeling method for cost-effectiveness/cost-utility analysis of smoking cessation program with pharmacological therapies such as: varenicline and bupropion. In addition, perspective of evaluation should be considered, why the intervention is being evaluated, costs incurred, and for whom the result required and may support the decision. The perspectives reflect the purpose of evaluation (Byford and Raftery, 1998; Jonsson, 2009; Hjelmegren et al. 2001). Appropriate decision model should be structured and developed by clear understanding about the problems. Several guidelines provide details of good practices in constructing the model (Weinstein et al. 2003; Roberts et al. 2012). Parameters choice, sources of data and evidence synthesis important as model input also available in standing alone publication. (Caro et al. 2010; Briggs et al. 2012). In this paper, all the data has been given and we directly head to explanation of model structure. However, author provides the schematic of design and conducting decision analytic model in figure 1. It is a complete visual illustration of decision analysis process. This illustration is summarized and modified according several publications (Briggset al. 2006; Martikainen, 2008; Gray et al. 2010; Roberts et al. 2012; Briggs et al. 2012).
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
26
Volume 1, Nomor 1
Modelling on Smoking Cessation
27
Putri
Figure 1. Illustration of decision analytic modeling process in economic evaluation
Structuring and analyzing the models Decision Tree
Smoking cessation can be classified into two types behavioral therapies and pharmacotherapies. Pharmacotherapies interventions in smoking cessation can be classified as nicotine replacement therapy (NRT) and non-nicotine based medications (bupropion and varenicline) (Ruger and Razar, 2012). The first model will discuss the cost-effectiveness of community pharmacy on smoking cessation program. We will estimate the cost-effectiveness of establishing smoking cessation programs, medications compared to non-pharmacy based program. In decision analytical modeling, the simplest form of model is decision tree (Karnon and Brown, 1998). Decision tree illustrates alternatives and its events that represent by pathways (figure 2.). There are several nodes in a decision tree. The “square” node represents the decision question, in this case pharmacological-smoking cessation program versus no program. This is the simplest scenario of a decision tree. In reality, the comparators are probably more than one, such as tobacco bans or other considerable programs. Events or morbidities in a decision tree are represented by “circular” symbols. “Triangular” or terminal nodes are placed in the end of each event pathways, where model stopped. The set of alternatives in a decision tree should be “mutually exclusive”. It means that two events could not occur simultaneously (Briggs et al. 2006, Petrou and Gray 2011). Probabilities of events and costs are incorporated in each pathway. The probability shows the proportion of patients’ progression, and in each alternative it should be summed as exactly 1. The decision tree structure is adapted from study that compares a pharmacist-managed smoking-cessation program with a self-directed quit attempt. The events from therapy strategies are modified and simplified (Figure 2.) (Tran et al. 2002; Bauld et al. 2011). A comparator or no program means there is no aid from a pharmacist in smoking cessation. The data in this model is assumed primary data. Costs incurred are cost related to intervention, with payer perspective. This model assumes that in six months, the program may generate two conditions, smokers attempt to quit smoking or remain continue to smoke, with events of their health condition, persistent cough. There are two strategies in this model. Costs are assigned in each pathway. The effectiveness of intervention is illustrated on each event, having persistent cough or not. For instance, the probabilities 0.30, indicating that 30% of patients who joined the program with medications attempted to quit smoking. The final result is cost per case avoided. In the end of the decision tree, the expected value of costs and outcomes are assigned, ICER therefore can be calculated.
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
28
Volume 1, Nomor 1
Modelling on Smoking Cessation
29
Putri
The summary of calculation is briefly presented below: Table 1. Calculation according decision-tree Pathways
Costs
Intervention benefit
Expected cost Intervention benefit (a x b)
A
$200
0.30x0.70= 0.21
$
42
B
$275
0.30x0.30= 0.09
$
24.75
C
$200
0.70x0.70= 0.49
$
98
D
$275
0.70x0.30= 0.21
$
57.75
1.00
$
222.5
Program
Total
$ 222.5/0.21= $1,059.5
No program E
$100
0.05x0.70= 0.04
$
4
F
$150
0.05x0.30= 0.02
$
3
G
$100
0.95x0.70= 0.67
$
67
H
$150
0.95x0.30= 0.29
$
43.5
Total
$ 117.5/0.04= $2,937.5
1.00 $ 117.5
The average cost-effectiveness ratio (ACER) is derived from expected costs per effectiveness, in this case per quit smoking with no persistent cough. We can conclude that ACER of no program is higher than providing program $2,937.5. Furthermore, to estimate ICER, as formulated above, the ICER will be (222.5-117.5) / (0.21-0.04) resulting $617.65 per quit attempt (with no persistent cough). To conclude whether program is potentially effective, analysts can use their acceptable maximum of cost-effectiveness ratio (λ). Applying decision tree allows the less complicated scenarios, simplicity, as well as transparency (Karnon and Brown, 1998; Petiti, 1999). We can build a set of alternatives with clear pathways. However, there is a limitation to deal with time dependent in economic evaluation such as applying discounting. The decision tree above looks simple because it is applying shortterm outcome and short time horizon (less than one year), with unnecessary discounting application. The smoking cases often have outcome that tend to be recursive, or patients will survive with a particular condition that may take longer than one year. In terms of recurrent events such as chronic diseases, the analysis will be more complicated. Decision tree become “bushy” and having long-complex pathways. (Karnon and Brown, 1998; Briggs et al. 2006; Petrou and Gray, 2011)
Markov model
The Markov model was first developed by Russian mathematician, Andrey Markov (1856-1922). It is a random process that encounters transition from one state to another state. This model is beneficial for ongoing events over time and risks exposure (Stahl, 2008). For instance, we will discuss lung cancer as clinical conditions that are experienced by patients, risks may change over time and Markov model can be useful for this case. As a model alternative in health economic evaluation, the Markov model can deal with more complex decision problems and is able to be applied for longer pathways/sequences, particularly for recurrent outcomes (Stahl, 2008; Sato and Zouain, 2010). Markov state refers patients are staying in one health state and can move from their current state to another state over discrete time period. The movements among states are attributed by transition probability. Number of states in Markov model are determined depend on decision problem. Moreover, time horizon is represented by distinctive “cycles”, it could be monthly or annual cycle. (Sonneberg and Beck, 1993; Briggs and Sclupher, 1998; Briggs, 2006; Nikfar, 2012). The first state in Markov process Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
30
Volume 1, Nomor 1
is commonly of well condition or without morbidity, then progression states and finally death, or familiarly known as “absorption state”. We will discuss the application of Markov model for estimating the cost-effectiveness of Veranicline compared to Bupropion. This is based on condition that Varenicline has higher effectiveness to support smoking cessation compared to another pharmacological intervention (Mahmoudi et al, 2012). Structure of this model is adapted and modified according to publication that apply BENESCO (Benefits of Smoking Cessation on Outcomes model) and Quit Benefit Model (QBM) (Hurley and Matthews 2007; Bolin et al. 2009). The first stage in constructing Markov model after specifying decision problem is defining the states. States must represent clinical and economic effects of a disease. In this model, states consist of: no-morbidity/well, COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease), lung cancer, stroke and MI (Myocardial Infarction). Four states in progressive states assume that model will be simulated for 20 years, and post-morbidities state transition probability assumed similar for first and second year onwards. The Markov model is presented in Figure 3, and to translate and to understand the transition probabilities, author provide the transition matrix on table 2.
Figure 3. Markov modelfor cost-utility analysis of Veranicline versus Bupropion Overall, there are six health states on this Markov model. Patients start the model with “well” states, or without morbidity, and can move to particular states such as stroke, COPD, lung cancer and MI or death. The next stage is incorporating input parameters that include transition probability, costs, utility and effectiveness. For this model, the effectiveness of intervention is taken from meta analyses, represented with Risk Ratio (RR). According to the graph, transition probability initiated with “p” followed by the first letter of states. For example: pStoD is for transition probability from stroke state to death state. Transition probabilities (represented by arrows) are derived from clinical trials, observational studies or from systematic reviews. Transition probabilities can be structured by transition probability matrix on Table 2. The “loop” symbol means that patients may remain experiencing with health condition in that state at specific time before moving to another state. In CUA, sometimes an ideal model is added with second year of progressive states such as: post stroke, post MI, second year lung cancer Modelling on Smoking Cessation
31
Putri
and soon, with an assumption that progressivity of utility values occur in patients after receiving the intervention. If the model having extended structure such as post-stroke or post MI, it means that we could add new input parameters for second year onwards. Table 2. Transition Probability Matrix Transition to No morbidity
Transition from No morbid- 1-pNtoS-pNtoCity pNtoL-pNtoMIpNtoD Stroke 0 COPD 0 Lung cancer 0 MI 0 Death 0
Stroke
COPD
Lung cancer
MI
Death
pNtoS
pNtoC
pNtoL
pNtoMI
pNtoD
1-pstoD 0 0 0 0
0 1-pCtoD 0 0 0
0 0 1-pLtoD 0 0
0 0 0 1-ptoD 0
pStoD pCtoD pLtoD ptoD pDtoD
The total sum of transition probabilities from initial until end of model must be 1.0. Therefore, when we calculate the probability of patients who remain in the same states (loop symbol) with 1-probabilties. Value “0” simply representing that there is no transition probability from a state to another state (see figure 2.) Sometimes, when it is intended to input parameters such as transition probabilities, for instance from systematic reviews, the confusion between “rate” and “probability” exists. Transition probabilities gathered from literature reviews do not exactly reflect the model’s cycle that we construct (Sato, 2010). Rates are potential occurrence of an event in defined population and defined time. Meanwhile, probability is assigned values ranging from 0 and 1, representing the “likelihood of an event happening over a specific period of time”. To deal with this, rate is possible to be converted to a probability and vice versa (Briggs et al. 2006) where p is the probability, r is the rate and t is the time period of an interest:
p=1-exp {-rt} In the cohort hypothetical simulation, the author desribes how Markov model is running, without assigning all input parameters. Details are provided in appendix 1. We only incorporated transition probability for every health states, only for familiarizing audience of basic Markov application. Unlike a decision tree, Markov model is applicable for applying discounting, which is an important factor in health economic evaluation. Additionally, for chronic diseases, the life table and survival data are often attached into the model. Quality Adjusted Life Years (QALYs) also can be estimated as final results, since in calculating QALYs, valuing quality of life encompasses the length of time spent in health states (Briggs, 1998). The cost analysis also has similar method, costs are represented in treatment events. With computer application, this complex simulation can be handled. After simulating decision analytic model, the final results are ICER, derived from differences for both costs and effects/utility, in this case after 20 years cycle. Thus, decision rules should be followed.
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
32
Volume 1, Nomor 1
Although Markov model application is helpful in decision analytic modeling, there are several limitations that we should aware of. Markov has a characteristic of “memory less” (Sonnenberg, 1993; Briggs, 1998). It means when patient move to another states, the model will have no historical memory where patients has come from previous cycles. The population equal in this model also with constant risk. Adding additional states and time dependency into transition probability may possible for the model. Besides, Markov model has greater complexity compared to decision tree, however computer software nowadays could help for running this model.
Handling uncertainty
Variability, uncertainty and heterogeneity influences the results of decision analytic model, these should be handled (Barton et al. 2004). The results of evaluation are depending on uncertainties that related with various factors. This section will focus on short-review for handling uncertainty, before going further, that will be useful to define several types of uncertainty in modeling (Briggs et al. 2012). Decision makers needs evidence beyond point estimate of the outcome. The uncertainty-surrounding outcome should be explored and reported. Uncertainty may categorized as methodological uncertainty, parameter uncertainty, structural uncertainty and generalizability (Briggs and Sclupher, 1995). Thus, decision maker can receive more information what factors that influence the model and its findings, and increasing the confidence level where they read and intend to accept the evaluation results. Uncertainty can be handled by performing appropriate sensitivity analysis. There are several types of sensitivity analysis (Andronis et al. 2009, Briggs et al. 2012). First, a one-way sensitivity analysis. It is the simplest form of sensitivity analysis, examines impact of the changes in model results by varying plausible values range. Tornado diagram is used to visualized this, presented with baseline value and range variation in the right and left wings. Second is multi-way sensitivity analysis, including two-way sensitivity analysis. This examines relationship of two or more parameters, not single parameters like one-way sensitivity analyses. Another type is extreme scenario, simply when the parameters or input value of favorable intervention are established to provide best and worst case scenario. Probabilistic Sensitivity Analysis (PSA) is one type of sensitivity analysis that runs randomly by large number of Monte Carlo simulation (for instance: 10,000 iterative). It is examine each input parameters with their probability distributions. It resulted mean cost as well as effectiveness. This approach is preferred to generate cost-effectiveness acceptability curve (Claxton et al. 2005; Ades et al. 2006). Finally, model result and its sensitivity analysis should be presented clearly. It is advisable to see guidelines related to full health economics study reporting (Husereau et al. 2013).
Conclusions
Models are chosen, construct and developed based on decision problems and must be appropriate with decision makers’ purpose. All evidence as input parameters are assigned and performs by mathematical operations that translating into model. Furthermore, to decide the set of alternatives that should be chosen, the final results of decision analytical models have to follow decision rules for cost-effectiveness of health intervention. The explanation in this paper not providing best practice yet simple example of modeling application, further details and international guidelines are available elsewhere (Sclupher et al. 2000; Hjelmegren et al. 2001; Weinstein et al. Modelling on Smoking Cessation
33
Putri
2003; Philips et al. 2006). This paper provides a review and application of decision analytic model in economic evaluation, with tobacco cessation examples. Decision tree and Markov model are commonly performed in health economic evaluation, indeed with their advantages and limitations. These two model are complements each other. Performing decision analytic modeling is beneficial, specifically when there are several barriers from clinical trials. Decision tree with its simplicity is able to provide clear pathways of decision and for economic evaluation with intermediate outcomes. Markov meanwhile has ability to analyze the condition with longer time horizon and expecting final outcomes.
Acknowledgements
The author thanks to Prof. Hasbullah Thabrany MD.,MPH.,DrPH for his valuable input and review on final draft of manuscript.
References
Ades, A.E., Claxton, K. and Sculpher, M., 2006. Evidence synthesis, parameter correlation and probabilistic sensitivity analysis. Health economics, 15(4), pp.373-381. Andronis, L., Barton, P. and Bryan, S., 2009. Sensitivity analysis in economic evaluation: an audit of NICE current practice and a review of its use and value in decision-making. Bauld, L., Boyd, K.A., Briggs, A.H., Chesterman, J., Ferguson, J., Judge, K. and Hiscock, R., 2011. One-year outcomes and a cost-effectiveness analysis for smokers accessing group-based and pharmacy-led cessation services. Nicotine & Tobacco Research, 13(2), pp.135-145. Bolin, K., Wilson, K., Benhaddi, H., De Nigris, E., Marbaix, S., Mork, A.C. and Aubin, H.J., 2009. Cost-effectiveness of varenicline compared with nicotine patches for smoking cessation—results from four European countries. The European Journal of Public Health, 19(6), pp.650-654. Briggs, A. and Sculpher, M., 1995. Sensitivity analysis in economic evaluation: a review of published studies. Health economics, 4(5), pp.355-371. Briggs, M.A. and Sculpher, M., 1998. An introduction to Markov modeling for economic evaluation. Pharmacoeconomics, 13(4), pp.397-409. Briggs, A. and Tambour, M., 2001. The design and analysis of stochastic cost-effectiveness studies for the evaluation of health care interventions.Drug information journal, 35(4), pp.14551468. Briggs, A., Sculpher, M. and Claxton, K., 2006. Decision modeling for health economic evaluation. OUP Oxford. Briggs, A.H., Weinstein, M.C., Fenwick, E.A., Karnon, J., Sculpher, M.J. and Paltiel, A.D., 2012. Model parameter estimation and uncertainty analysis a report of the ISPOR-SMDM Modeling Good Research Practices Task Force Working Group–6. Medical Decision Making, 32(5), pp.722-732. Buxton, M.J., Drummond, M.F., Van Hout, B.A., Prince, R.L., Sheldon, T.A., Szucs, T. and Vray, M., 1997. Modeling in economic evaluation: an unavoidable fact of life. Health economics, 6(3), pp.217-227. Byford, S. and Raftery, J., 1998. Economics notes: Perspectives in economic evaluation. British Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
34
Volume 1, Nomor 1
Medical Journal, 316(7143), p.1529. Caro, J.J., Briggs, A.H., Siebert, U. and Kuntz, K.M., 2012. Modeling good research practices— overview a report of the ISPOR-SMDM modeling good research practices task force–1. Medical Decision Making, 32(5), pp.667-677. Claxton, K., Sculpher, M., McCabe, C., Briggs, A., Akehurst, R., Buxton, M., Brazier, J. and O’Hagan, T., 2005. Probabilistic sensitivity analysis for NICE technology assessment: not an optional extra. Health economics,14(4), pp.339-347 Cohen, D.J. and Reynolds, M.R., 2008. Interpreting the results of cost-effectiveness studies. Journal of the American College of Cardiology, 52(25), pp.2119-2126. Drummond MF, Sculpher MJ, Torrance GW, O’Brien BJ, Stoddart G. 2005. Methods for theeconomic evaluation of health care programmes. 3rd ed. Oxford UniversityPress. Gray, A.M., Clarke, P.M., Wolstenholme, J.L. and Wordsworth, S., 2010. Applied methods of cost-effectiveness analysis in healthcare (Vol. 3). OUP Oxford. Grosse SD. Assessing cost-effectiveness in healthcare: history of the $50,000 per QALY threshold. Expert review of pharmacoeconomics & outcomes research. 2008 Apr 1;8(2):165-78. Hjelmgren, J., Berggren, F. and Andersson, F., 2001. Health economic guidelines—similarities, differences and some implications. Value in Health,4(3), pp.225-250. Hunnink,M. and P.Glasziou., 2001. Decision Making in Health and Medicine. Cambridge University Press, Cambridge, UK. Hurley, S.F. and Matthews, J.P., 2007. The Quit Benefits Model: a Markov model for assessing the health benefits and health care cost savings of quitting smoking. Cost effectiveness and resource allocation, 5(1), p.1. Husereau, D., Drummond, M., Petrou, S., Carswell, C., Moher, D., Greenberg, D., Augustovski, F., Briggs, A.H., Mauskopf, J., Loder, E. and ISPOR Health Economic Evaluation Publication Guidelines-CHEERS Good Reporting Practices Task Force, 2013. Consolidated health economic evaluation reporting standards (CHEERS)—explanation and elaboration: a report of the ISPOR health economic evaluation publication guidelines good reporting practices task force. Value in Health, 16(2), pp.231-250. Jefferson, T., Demicheli, V. and Mugford, M., 2000. Elementary economic evaluation in health care. Wiley-Blackwell [Imprint]. Jönsson, B., 2009. Ten arguments for a societal perspective in the economic evaluation of medical innovations. The European Journal of Health Economics, 10(4), pp.357-359. Karnon, J. and Brown, J., 1998. Selecting a decision model for economic evaluation: a case study and review. Health care management science, 1(2), pp.133-140. Martikainen, J., 2008. Application of decision-analytic modeling in health economic evaluations. University of Kuopio. McCabe, C., Claxton, K. and Culyer, A.J., 2008. The NICE cost-effectiveness threshold. Pharmacoeconomics, 26(9), pp.733-744. Morris,S., N. Devlin, and D. Parkin., 2007. Economic Analysis in Health Care. John Wiley & Sons, Chichester, UK. Neumann, P.J., Cohen, J.T. and Weinstein, M.C., 2014. Updating cost-effectiveness—the curious resilience of the $50,000-per-QALY threshold. New England Journal of Medicine, 371(9), pp.796-797. O’Brien, B.J., Drummond, M.F., Labelle, R.J. and Willan, A., 1994. In search of power and signifModelling on Smoking Cessation
35
Putri
icance: issues in the design and analysis of stochastic cost-effectiveness studies in health care. Medical care, pp.150-163. Owens, D.K., 1998. Interpretation of cost-effectiveness analyses. Journal of General Internal Medicine, 13(10), p.716. Petitti, D.B., 1999. Meta-analysis, decision analysis, and cost-effectiveness analysis: methods for quantitative synthesis in medicine. Oxford University Press. Petrou, S. and Gray, A., 2011. Economic evaluation using decision analytical modeling: design, conduct, analysis, and reporting. Bmj, 342, p.d1766. Philips, Z., Bojke, L., Sculpher, M., Claxton, K. and Golder, S., 2006. Good practice guidelines for decision-analytic modeling in health technology assessment. Pharmacoeconomics, 24(4), pp.355-371. Roberts, M., Russell, L.B., Paltiel, A.D., Chambers, M., McEwan, P. and Krahn, M., 2012. Conceptualizing a model a report of the ISPOR-SMDM modeling good research practices task force–2. Medical Decision Making, 32(5), pp.678-689. Ruger, J.P. and Lazar, C.M., 2012. Economic evaluation of pharmacy-and behavioral therapies for smoking cessation: a critical and systematic review of empirical research. Annual review of public health, 33, p.279. Sato, R.C. and Zouain, D.M., 2010. Markov Models in health care. Einstein (São Paulo), 8(3), pp.376-379. Sculpher, M., Drummond, M. and Buxton, M., 1997. The iterative use of economic evaluation as part of the process of health technology assessment. Journal of Health Services Research, 2(1), pp.26-30. Sculpher, M., Fenwick, E. and Claxton, K., 2000. Assessing quality in decision analytic cost-effectiveness models. Pharmacoeconomics, 17(5), pp.461-477. Sculpher, M.J., Claxton, K., Drummond, M. and McCabe, C., 2006. Whither trial based economic evaluations for health caredecision-making?. Health economics, 15(7), pp.677-687. Shiell, A., Donaldson, C., Mitton, C. and Currie, G., 2002. Health economic evaluation. Journal of epidemiology and community health, 56(2), p.85. Shiroiwa, T., Sung, Y.K., Fukuda, T., Lang, H.C., Bae, S.C. and Tsutani, K., 2010. International survey on willingness to pay (WTP) for one additional QALY gained: what is the threshold of cost-effectiveness?. Health economics, 19(4), pp.422-437. Sonnenberg, F.A. and Beck, J.R., 1993. Markov models in medical decision making a practical guide. Medical decision making, 13(4), pp.322-338 Sox,H.C., Blatt, M,A., Higgins,M.C., and Marton, K.I. 1988.Medical Decision Making.Butterworths, Stoneham, Massachusetts. Stahl, J.E., 2008. Modeling methods for pharmacoeconomics and health technology assessment. Pharmacoeconomics, 26(2), pp.131-148. Tran, M.T., Holdford, D.A., Kennedy, D.T. and Small, R.E., 2002. Modeling the Cost Effectiveness of a Smoking‐Cessation Program in a Community Pharmacy Practice. Pharmacotherapy: The Journal of Human Pharmacology and Drug Therapy, 22(12), pp.1623-1631. Weinstein, M.C., O’Brien, B., Hornberger, J., Jackson, J., Johannesson, M., McCabe, C. and Luce, B.R., 2003. Principles of good practice for decision analytic modeling in health care evaluation: report of the ISPOR Task Force on Good Research Practices—Modeling Studies. Value in health, 6(1), pp.9-17.
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
36
Volume 1, Nomor 1
Appendix 1
Table 1. Input Parameters
Parameters Transition probabilities pNtoS pNtoC pNtoL pNtoM pNtoD pStoD pCtoD pLtoD pMtoD pDtoD Effectiveness RRs RRc RRl RRm
Modelling on Smoking Cessation
Value 0.0082 0.0721 0.040 0.01 0.05 0.022 0.025 0.075 0.035 1.00 0.71 0.65 0.85 0.69
37
Putri
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
38
Volume 1, Nomor 1
Evaluasi Pengadaan Obat Publik Pada JKN Berdasarkan Data e-Catalogue Tahun 2014-2015 Ary Dwiaji1, Prih Sarnianto2, Hasbullah Thabrany3, Muhammad Syarifudin4 Korespondensi: [email protected] Dikirimkan pada 10 Juli 2016. Ditinjau pada 22 Juli 2016. Diterima pada 25 Juli 2016.
Abstrak
Sejak dimulainya JKN, pengadaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan (faskes) publik dilakukan dengan e-Purchasing melalui e-Catalogue. Didasarkan pada RKO dan HPS, penyusunan e-Catalogue dilakukan melalui proses lelang dan negosiasi harga. Rantai proses tersebut akan berdampak pada jenis (molekul) dan jumlah obat yang tayang dalam e-Catalogue maupun jumlah dan volume permintaan oleh faskes publik (e-Order).
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi e-Order menurut kategorisasi obat, yaitu generik (OGB) dan dengan merek dagang (OMD), pada data e-Catalogue 2014-2015.
Metode
Pada penelitian ini dilakukan pula wawancara dengan pegawai LKPP yang berwenang dalam penyusunan e-Catalogue. Evaluasi dilakukan dengan menganalisis profil penawaran obat JKN (e-Catalogue atau RKO) dan kesenjangannya dengan permintaan oleh fasilitas kesehatan publik, baik pada kelompok OGB maupun OMD.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa dalam e-Catalogue, pada 2014 ditawarkan 800 item obat (50,3% OGB; 49,7% OMD) dari 73 perusahaan farmasi dan, pada 2015, sedikit menurun jadi 795 item obat (40,4% OGB; 59,6% OMD) dari 79 perusahaan farmasi. Di sisi lain, e-Order pada 2014 tercatat Rp1.199,01 miliar (71,9% OGB, 28,1% OMD) untuk 1.928,50 juta satuan obat terkecil (98,2% OGB; 1,8% OMD) dan, pada 2015, mengalami peningkatan jadi Rp3.201,44 miliar (48,4% OGB; 51,6% OMD) untuk 3.175,78 juta satuan obat terkecil (96,8% OGB; 3,2% OMD). Rerata harga OMD pada 2014 dan 2015 itu masing-masing Rp9.978,04 dan Rp15.957,70 per satuan obat terkecil, sekitar 20 sampai 30 kali lipat rerata harga satuan OGB yang hanya Rp454,86 dan Rp504,19 per satuan obat terkecil. Hasil analisis juga menunjukkan adanya kesenjangan antara RKO dan e-Order yang, menurut data kualitatif, terutama berakar dari penetapan RKO dan HPS serta penayangan e-Catalogue yang tidak memberikan cukup waktu bagi pemenang lelang untuk mempersiapkan obat dalam jumlah yang sesuai dengan komitmen, pada saat dibutuhkan oleh fasilitas kesehatan.
Kesimpulan
Guna mengatasi masalah mendasar ini, perlu dilakukan penyempurnaan dalam penetapan RKO dan HPS serta dibuat kesepakatan terkait alur dan jadwal penyusunan e-Catalogue.
Kata Kunci RKO. e-Catalogue. e-Order. OGB. OMD. LKPP.
1 2 3 4
Asisten Peneliti (Center for Health Economic and Policy Studies UI) Dosen (Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila) Kepala (Center for Health Economic and Policy Studies UI) Peneliti Muda (Badan Litbangkes)
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
39
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
Abstract
Since National Health Insurance (JKN) has been implemented, drug procurement in public health care facilities use e-Purchasing via e-Catalogue. Based on the RKO and HPS, drafting e-Catalogue have gone through a tender process and price negotiations. The process chain will effect the type (molecules) and the amount of drug through the e-Catalogue as well as the number and volume of demand by public health care facilities (e-Order).
Objectives
This study evaluated the e-Order according to the categories of medicine, namely generic (OGB) and branded (OMD), using e-Catalogue data 2014-2015. The study also conducted interviews with employees LKPP authorities in the preparation of e-Catalogue. Evaluation has been done by analyzing the profile of drug deals JKN (e-Catalogue or RKO) and gaps with demand by the public health care facilities, either in groups or OMD OGB.
Result and Discussion
Descriptive analysis showed that, in the e-Catalogue, in 2014 to offer 800 items of drugs (OGB 50.3%; 49.7% OMD) of 73 pharmaceutical companies and, in 2015, slightly decreased to 795 drug items (40.4% OGB; 59.6% OMD) of 79 pharmaceutical companies. On the other hand, e-Order Rp1,199.01 billion recorded in 2014 (71.9% OGB, 28.1% OMD) to 1,928.50 million units of the smallest drug (OGB 98.2%; 1.8% OMD) and, in 2015, had increased so Rp3,201.44 billion (48.4% OGB; 51.6% OMD) to 3,175.78 million units of the smallest drug (OGB 96.8%; 3.2% OMD). Average price OMD in 2014 and 2015 was respectively Rp9.978,04 and Rp15.957,70 per unit smallest drug, about 20 to 30 times the average unit price is only Rp454.86 OGB and Rp504.19 per unit smallest drug. The analysis also showed the gap between RKO and e-Order, according to the qualitative data, mainly stems from the establishment of RKO and HPS and delivery of e-Catalogue which did not leave enough time for the auction winner to prepare the drug in an amount corresponding to the commitment, at the time required by health care facilities.
Conclusion
To address this fundamental problem, it is necessary to improve the determination of RKO and HPS and related agreements about e-Catalogue preparation flow and schedule should be made.
Key Words
RKO. e-Catalogue. e-Order. OGB. OMD. LKPP.
Pendahuluan
Sejak dimulainya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), awal 2014, pengadaan obat JKN di fasilitas pelayanan kesehatan (faskes) publik dilakukan dengan e-Purchasing melalui e-Catalogue. Berdasarkan pada Rencana Kebutuhan Obat (RKO) Tingkat Nasional dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penyusunan e-Catalogue dilakukan melalui proses lelang dan negosiasi yang dilaksanakan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP). Pengadaan obat JKN melalui e-Catalogue diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa dan Surat Edaran Kemenkes No.167 Tahun 2014. Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan dan pemerataan obat yang aman, bermutu, dan berhasiat di faskes secara transparan, efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan (Kemenkes, 2014). Proses pengadaan obat dimulai dari pemilihan, pemesanan, dan pengiriman (distribusi) yang, pada ujungnya, adalah pemberian obat oleh rumah sakit [atau puskesmas] kepada pasien. Agar berjalan dengan baik, proses ini perlu didukung manajemen informasi, sumberdaya manusia, perencanaan, dan organisasi yang baik (Health, 2012b). Pada dasarnya, e-Catalogue merupakan sistem manajemen informasi yang menghubungkan antara pemerintah (LKPP, Kemenkes, Badan POM), produsen (pabrik obat, distributor),
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
40
Volume 1, Nomor 1
dan pengguna (rumah sakit, puskesmas) dalam proses pengadaan obat JKN. Berbasis teknologi informasi, sistem e-Catalogue bertujuan memberikan kenyamanan, efisiensi, harga yang wajar, dan informasi obat baru; menempatkan pembeli pada efisiensi tertinggi (Ketikidis et al., 2010). Dengan sistem online yang transparan tersebut diharapkan rumah sakit dan puskesmas dapat melakukan pengadaan obat JKN secara mudah. Kenyataannya, masih sering dijumpai pasien JKN harus menebus obat sendiri karena kekosongan obat, obat tidak tercantum dalam Formularium Nasional (Fornas), obat tidak termasuk dalam paket pengobatan, dan berbagai alasan lain yang disampaikan oleh pihak rumah sakit atau puskesmas. Akibatnya, pasien harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mendapatkan obat yang sesuai dengan dosis dan lama terapi yang dianjurkan. Dengan demikian, perlu dilakukan kajian tentang alur sistem e-Catalogue, termasuk pola pemesanan obat JKN yang meliputi jenis dan jumlah obat berdasarkan data LKPP.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi, secara kualitatif dan deskriptif kuantitatif, pengadaan obat JKN melalui e-Catalogue pada 2014-2015, termasuk kategorisasi menjadi obat generik (OGB, yang telah off-patent) dan obat dengan merek (OMD, yang umumnya masih in-patent) pada penyusunan e-Catalogue yang dilakukan oleh LKPP.
Metodologi
Penelitian ini adalah studi evaluatif menggunakan data pemesanan obat melalui e-Catalogue dan RKO yang tercatat dalam pangkalan data LKPP untuk tahun 2014 dan 2015. Analisis kuantitatif dilakukan guna melihat berapa banyak RKO mendapat pemesanan dari fasilitas kesehatan publik (e-Order), jumlah industri farmasi dan satuan kerja kesehatan yang berpartisipasi dalam e-Catalogue, serta mengkaji kesenjangan yang ada terkait kelompok OGB dan OMD. Selain itu, dilakukan pula analisis kualitatif untuk mendapatkan gambaran tentang proses pengadaan obat JKN melalui e-Catalogue dan masalah yang ada dalam rantai proses yang panjang tersebut. Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam pada November 2015, dengan pegawai LKPP yang berwenang dalam penyusunan e-Catalogue obat.
Hasil dan Pembahasan Proses Penyusunan e-Catalogue dan e-Purchasing
Aturan yang mendasari penyusunan e-Catalogue adalah Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 523 Tahun 2015 yang telah disempurnakan dengan Kepmenkes No.137 Tahun 2016 tentang Formularium Nasional (Fornas). Fornas berisi daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di faskes, sebagai acuan dalam pelaksanaan JKN. Untuk itu, Fornas digunakan sebagai acuan dalam penyusunan e-Catalogue. Bila suatu obat tidak terdapat di dalam Fornas, dapat digunakan obat lain [yang memiliki efek terapi serupa] secara terbatas, berdasarkan persetujuan Komite Medik dan Kepala/Direktur Rumah Sakit setempat (Kemenkes, 2015). Penggunaan obat di luar Fornas [dan, karenanya, di luar e-Catalogue] ini tidak menjadi masalah untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit yang didasarkan pada Ina-CBGs. Namun demikian, dalam pemberian obat rujuk-balik, klaim atas obat-obat yang tidak ada di dalam e-Catalogue tidak akan mendapatkan penggantian.
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
41
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
Proses penetapan e-Catalogue melibatkan dua pihak sebagai pihak pertama, yaitu Kemenkes dan LKPP. Kementerian Kesehatan menyusun RKO Nasional [dari RKO yang diajukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi seluruh Indonesia] selama satu tahun dan HPS. Sampai saat ini, e-Catalogue hanya dapat diakses oleh faskes publik yang, menurut Permenkes No.68 Tahun 2010, wajib menggunakan obat generik (Kemenkes, 2010), Sebab itu, dalam e-Catalogue, OGB didahulukan dibandingkan obat lainnya. Sebagai pelaksana lelang harga dalam penyusunan e-Catalogue, LKPP membentuk Kelompok Kerja (Pokja) yang bertugas melakukan pemilihan penyedia obat di Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi (K/L/D/I) (LKPP, 2015). Untuk itu, Pokja membuat dokumen lelang berdasarkan RKO dan HPS yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Obat yang masuk dalam lelang diseleksi kembali dengan melihat apakah obat tersebut memiliki versi generik (OGB)-nya. Bila OGB tersebut memiliki banyak penyedia, dilakukan lelang. Tetapi, bila OGB tersebut hanya memiliki dua atau tiga pemasok, sehingga sulit terbentuk harga yang wajar dalam pelelangan—apalagi pemasok tunggal—dilakukan proses negosiasi harga. Demikian pula untuk obat yang tidak ada OGB-nya; bila memiliki banyak penyedia dilakukan proses lelang dan, bila jumlah pemasoknya terbatas, dilakukan proses negosiasi. Setelah dicapai kesepakatan harga untuk penyediaan obat dengan kuantitas tertentu, di provinsi tertentu, baik melalui mekanisme lelang maupun negosiasi, dibuat kontrak payung. Kontrak payung inilah yang menjadi dasar penayangan e-Catalogue di situs web LKPP. Penawaran dalam e-Catalogue berlaku pada awal tahun atau, untuk item obat yang mengalami keterlambatan tayang, segera setelah tayang. alami keterlambatan tayang, segera setelah tayang. Proses pembentukan e-Catalogue yang secara umum digambarkan dalam Lampiran-1 tersebut, termasuk jadwal kegiatannya, dapat diakses oleh para pemangku kepentingan kunci. Karena harga obat dalam e-Catalogue umumnya lebih murah dibanding harga reguler, e-Catalogue tersebut biasanya langsung dimanfaatkan untuk e-Purchasing. Proses e-Purchasing dimulai dengan pemesanan secara online obat yang dipilih oleh K/L/D/I. Pesanan tersebut dilanjutkan kepada perusahaan farmasi pemenang lelang yang harus segera menyatakan apakah mampu memenuhinya. Pemenang lelang hanya satu, yaitu perusahaan farmasi yang memberikan penawaran harga terendah. Jika tidak sanggup memenuhi pesanan yang diajukan, perusahaan farmasi tersebut harus memberikan penjelasan yang dapat diterima dan, jika diperlukan, dapat dilakukan revisi pesanan yang kemudian diberitahukan pada K/L/D/I. Jika sanggup memenuhi pesanan, pemenang lelang memberikan laporan kesediaan pada K/L/D/I. Berdasarkan penawaran dan kesediaan tersebut, dibuat kontrak antara K/L/D/I dan perusahaan farmasi pemenang lelang untuk pengiriman obat JKN yang dipesan. Secara umum proses e-Purchasing dapat dilihat pada Lampiran-2.
Profil Obat dalam e-Catalogue
Secara umum, jenis zat aktif obat dalam e-Catalogue mengalami peningkatan, yaitu dari 400 (pada 2014) menjadi 441 molekul obat (2015). Di sisi lain, item obat yang ditawarkan mengalami rasionalisasi dari 800 (pada 2014) menjadi 795 item obat (2015), karena beberapa bentuk sediaan tidak mendapat pemesan yang cukup banyak pada 2014. Dari item obat ini, pada 2014 sebagian besar (50,3%) adalah OGB tetapi, pada 2015, proporsi OMD lebih besar (59,6%). Pada pemesanan, menurut volume, e-Order untuk OGB sangat dominan, baik pada 2014 (98,2%, yaitu 1.894,71 juta dari 1.928,50 juta satuan obat terkecil) maupun 2015 (96,8%, yaitu 3.072,42 juta dari 3.175,78 juta satuan obat terkecil). Namun demikian, menurut nilai, proporsi OGB pada 2014 tidak setinggi volumenya, hanya 71,9% (Rp861,84 miliar dari Rp1.199,01 miliar). Pada 2015 proporsi OGB kalah dari OMD, yaitu 48,4% (Rp1.549,07 miliar dari Rp 3.201,44 miliar) dibandingkan 51,6% (Rp1.652,37 miliar dari Rp3.201,44 miliar). Hal ini mengindikasikan bahwa harga satuan OMD lebih tinggi dibanding OGB.
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
42
Volume 1, Nomor 1
Tabel 1. Jenis dan Pemesanan Obat melalui e-Catalogue, 2014 dan 2015
Keterangan
e-Catalogue 2014
%
e-Catalogue 2015
%
Item obat Obat generik [OGB] Obat dengan merek dagang [OMD]
800 402 398
100,0 50,3 49,7
795 321 474
100,0 40,4 59,6
Molekul obat
410
Perusahaan farmasi pemenang lelang PMDN PMA
73 56 17
100,0 76,7 23,3
79 62 17
100,0 78,5 21,5
1.928.496.189 1.894.705.551 33.790.638 1.199.009.238.280 861.845.014.202 337.164.224.078
100,0 98,2 1,8 100.0 71,9 28,1
3.175.775.412 3.072.422.829 103.352.583 3.201.442.822.229 1.549.072.184.846 1.652.370.637.383
100,0 96,8 3,2 100.0 48,4 51,6
Pemesanan [e-Order] Volume [satuan obat terkecil] Obat generik berlogo [OGB] Obat bermerek Nilai [rupiah] Obat generik berlogo [OGB] Obat bermerek
441
Pada 2014 dan 2015, dengan volume e-Order yang masing-masing mencapai 1.894,71 juta dan 3.072,42 juta satuan obat terkecil sementara nilainya hanya Rp861,84 miliar dan Rp1.549,07 miliar, rerata harga OGB adalah Rp454,86 dan Rp504,19 per satuan obat terkecil. Di sisi lain, dengan volume e-Order yang masing-masing hanya 33,79 juta dan 103,35 juta satuan obat terkecil tetapi nilai yang mencapai Rp337,16 miliar dan Rp1.652,37 miliar, rerata harga OMD pada periode yang sama, 2014 dan 2015, Rp9.978,04 dan Rp15.957,70 per satuan obat terkecil atau sekitar 20 sampai 30 kali lipat rerata harga satuan OGB. Dari sisi penyedia obat, pada 2014 maupun 2015, perusahaan farmasi yang terpilih menjadi penyedia obat JKN sebagian besar adalah perusahaan nasional (PMDN). Tidak memiliki R&D yang kuat, PMDN lebih banyak menawarkan OGB atau, kalaupun OMD, yang relatif rendah harganya.
Pemesanan Obat melalui e-Catalogue Data penawaran dalam e-Catalogue didasarkan pada RKO, sementara e-Purchasing didasarkan pada pemesanan secara online oleh K/L/D/I atau faskes publik (e-Order). Data menunjukkan bahwa dalam penyediaan obat JKN terjadi kesenjangan yang sangat lebar antara RKO dan e-Order, walau pada 2015 kesenjangan tersebut menyempit (Tabel 2)
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
43
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
44
Volume 1, Nomor 1
Asam mefenamat 500
Parasetamol 500
CTM 4
Gliseril guaiakolat 100
Amoksisilin 500
Vitamin B kompleks
Antasida DOEN I
Deksametason 0,5
Kalsium laktat 500
Besi [II] sulfat + folat
Vitamin C 50
Tiamin 50
Metampiron 500
Dekstrometorfan 15
Kotrimoksasol DOEN I
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Nama Obat
1
No RKO
124.333.607
186.429.586
204.581.436
234.792.108
308.976.438
332.550.872
337.260.020
342.729.731
355.621.068
439.531.634
527.318.839
548.901.167
623.495.752
763.599.036
1.249.981.785
21.248.180
55.600
114.000
11.714.300
122.639.535
3.000
12.582.100
68.134.600
119.803.624
121.164.960
203.435.910
~
110.200
192.292.551
55.887.700
e-Order
2014 %
17,1
~0
0,1
5,0
39,7
~0
3,7
19,9
33,7
27,6
38,6
0
0,2
25,2
4,5
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
No
Dietilkarbamazin 100
Kaptopril 25
Besi [II] sulfat + folat
Prednison 5
Kalsium laktat 500
Piridoksin 10
Asam mefenamat 500
Tiamin 50
Vitamin C 50
Antasida DOEN I
Deksametason
Vitamin B kompleks
Amoksisilin 500
CTM 4
Parasetamol 500
Nama Obat RKO
138.548.520
142.568.345
157.336.221
207.815.095
231.403.459
275.638.482
295.654.918
318.245.383
352.598.146
379.906.695
392.010.034
432.796.601
620.650.077
645.129.609
809.708.943
Tabel 2. Pemesanan Obat dengan RKO Terbanyak, 2014 dan 2015
18.528.400
56.472.585
174.663.843
56.437.882
80.040.632
35.135.398
28.179.121
3.725.090
95.476.738
134.135.493
132.339.233
142.383.459
157.632.788
145.940.792
356.897.700
e-Order
2015 %
13,4
39,6
111,0
17,2
34,6
12,7
9,6
1,2
27,1
35,3
33,8
32,9
25,4
22,6
44,1
Kesesuaian yang lebih baik ini tampaknya lebih disebabkan karena, pada tahun 2015 RKO beberapa item obat mengalami rasionalisasi setelah pada 2014 tidak mendapat e-Order yang memadai. Namun demikian, pada 2015 pun, proporsi e-Order dari 15 item obat dengan RKO terbanyak masih jauh lebih rendah dari 50%, kecuali untuk tablet besi [II] sulfat + folat. Pemesanan obat antianemia yang mencapai 111% RKO tersebut mungkin karena pada tahun sebelumnya, 2014, e-Order oleh fasilitas kesehatan nyaris nihil. Pada penyediaan obat penyakit kronis tidak menular, seperti anti hipertensi dan anti diabetes, terjadi pola kesenjangan yang serupa. Secara umum, kesenjangan RKO dan e-Order pada 2014 juga lebih lebar dibanding pada 2015 (Tabel 3). Pada 2015, tidak ada lagi, misalnya, item obat yang mendapat e-Order <25% RKO. Hal ini juga terjadi karena dilakukan rasionalisasi terhadap beberapa item obat yang pada 2014 tidak mendapat e-Order memadai. Di sisi lain, karena RKO obat-obat dengan e-Order tinggi pada 2014—seperti tablet kaptopril dan tablet metformin—juga dinaikkan, jumlah item obat yang mendapat e-Order >50% RKO tidak mengalami peningkatan berarti. Kalau pada 2014, empat item obat mendapat e-Order >50% RKO, pada 2015 jumlah item obat yang mendapat e-Order >50% RKO hanya meningkat jadi lima. Data LKPP menunjukkan pula bahwa semua item obat dalam Daftar 15 Obat Penyakit Kronis Tidak Menular dengan RKO Terbanyak adalah OGB. Laiknya OGB, rerata harga 15 obat penyakit kronis tidak menular dengan RKO terbanyak tersebut jauh lebih rendah dibanding rerata harga OMD, yaitu masing-masing Rp114,67 (pada 2014) dan Rp143,97 per satuan obat terkecil (pada 2015). Di sisi lain, semua item obat dalam Daftar 15 Obat Antikanker dengan RKO Terbanyak adalah OMD (Tabel 4). Belum memiliki versi off-patent, rerata harga obat antikanker tersebut sangat tinggi, yaitu masing-masing Rp43.924,86 (pada 2014) dan Rp31.080,91 per satuan obat terkecil (pada 2015).
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
45
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
46
Volume 1, Nomor 1
Kaptopril 25 Kaptopril 12,5 Metformin 500 Glibenklamida 5 Triheksifenidil 2 Simvastatin 10 Furosemid 40 Nifedipin 10 Amlodipin 5 Isosorbid dinitrat 5 Amlodipin 10 Hidroklortiazid 25 Digoksin 0,25 Propiltiourasil 100 Asetosal 80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Total
Nama obat
No
50.392.834 35.868.165 18.422.300 24.369.250 ~ 6.472.330 11.152.410 12.995.990 23.514.960 9.276.180 12.166.630 ~ 4.427.915 696.200 1.205.000
116.468.264 74.274.254 59.531.274 48.626.213 45.321.326 33.327.613 32.560.482 28.869.554 28.771.743 25.282.600 20.897.044 19.340.585 15.068.173 12.644.582 11.177.112
210.960.164
e-Order
RKO
OGB/ OMD OGB OGB OGB OGB ~ OGB OGB OGB OGB OGB OGB ~ OGB OGB OGB
% 43,3 48,3 30,9 50,1 0 19,4 34,3 45 81,7 36,7 58,2 0 29,4 5,5 10,8
2014
24.191.152.614
4.501.941.706 2.306.064.432 2.113.929.450 1.408.773.400 ~ 1.125.098.600 962.580.790 1.425.545.800 4.497.967.830 843.467.940 4.163.009.380 ~ 438.579.386 225.358.200 178.835.700
Nilai, [Rp] 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Total
Kaptopril 25 Kaptopril 12,5 Metformin 500 Glibenklamida 5 Amlodipin 5 Simvastatin 10 Amlodipin 10 Nifedipin 10 Isosorbid dinitrat 5 Asetosal 80 Digoksin 0,25 Propiltiourasil 100 Asetosal 100 Simvastatin 20 Glimepirid 2
Nama Obat 56.472.585 29.885.231 33.707.770 14.414.982 33.563.100 20.690.770 20.755.180 14.271.650 11.963.680 11.279.300 6.649.855 4.592.950 3.925.119 3.688.130 6.108.950
142.568.345 90.230.029 81.520.567 53.166.614 50.813.452 38.394.140 37.348.093 31.909.360 30.693.530 19.063.906 15.374.307 14.855.795 13.825.769 13.222.544 12.971.783 271.969.252
e-Order
RKO
Tabel 3. Pemesanan Obat Penyakit Kronis Tidak Menular dengan RKO Terbanyak, 2014 dan 2015
4.820.712.332 1.887.748.392 3.867.781.875 829.265.096 6.240.551.940 3.537.637.220 6.889.856.830 1.550.833.600 1.063.080.640 1.689.297.200 637.668.826 1.524.702.550 462.929.813 1.603.634.550 2.549.618.600
OGB OGB OGB OGB OGB OGB OGB OGB OGB OGB OGB OGB OGB OGB OGB 39,6 33,1 41,3 27,1 66,1 53,9 55,6 44,7 39,0 59,2 43,3 30,9 28,4 27,9 47,1
39.155.319.464
Nilai, [Rp]
OGB/ OMD
%
2015
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
47
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
Tamoksifen 20 Siklofosfamid 200 inj Metotreksat 2,5 Vinkristin 1 inj Sisplatin 10 inj Hidroksi urea 500 Busulfan 2 Siklosporin 25 Asparaginase inj Sisplatin 50 inj Klorambusil 2 Pakliktaksel 30 inj Siklofosfamid 50 Metotreksat 5 inj Doksorubisin 10 inj
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Total
Nama obat
No 0 0,7 0 0,3 1,3 10,4 0 30,9 0,8 2,2 0 4,4 0 0 3,7
5~ 4.245 ~ 1.397 5.567 30.050 ~ 75.150 1.638 4.534 ~ 6.543 ~ ~ 4.200
676.197 589.977 499.955 453.575 439.953 290.311 253.814 242.927 206.399 205.693 204.757 148.347 141.539 137.516 112.677
133.324
%
e-Order
RKO
2014
~ 364.039.000 ~ 64.262.000 125.474.000 163.728.000 ~ 901.800.000 1.702.701.000 425.762.000 ~ 1.862.816.880 ~ ~ 245.655.000
~ OMD ~ OMD OMD OMD ~ OMD OMD OMD ~ OMD ~ ~ OMD
5.856.237.880
Nilai, [Rp]
OGB/ OMD 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Total
Kapesitabin 500 Tamoksifen 20 Lapatinib 250 Hidroksi urea 500 Metotreksat 2,5 Anastrozol Mikofenolat mofetil 500 Imatinib mesilat 100 Metotreksat 5 inj Letrozol 2,5 Ifostamid 1.000 inj Metotreksat 50 inj Siklosporin 25 Takrolimus 1 Kalsium folinat 3 inj
Nama Obat
Tabel 4. Pemesanan Obat Antikanker dengan RKO Terbanyak, 2014 dan 2015
79.840.930.802
21.034.750.000 25.828.740 7.148.668.800 1.850.620.500 282.412.200 6.203.008.000 3.576.000.000 39.170.040.000 880.651.200 2.115.225.000 12.526.032.112 613.381.250 1.755.600.000 927.725.000 2.765.738.000 OMD OMD OMD OMD OMD OMD OMD OMD OMD OMD OMD OMD OMD OMD OMD 86,8 3,2 23,8 90,3 64,9 83,6 152,7 128,4 30,0 109,9 8,7 16,8 143,0 48,1 35,0 849.980 22.560 106.840 349.750 181.100 201.208 227.550 187.980 41.923 129.780 9.876 19.018 155.600 50.950 34.694 979.568 702.880 449.166 387.280 279.175 240.628 149.049 146.390 139.759 118.044 113.927 113.097 108.830 105.885 99.154
2.568.809
Nilai, [Rp]
OGB/ OMD %
e-Order
RKO
2015
Sistem e-Catalogue yang digunakan dalam pengadaan obat JKN pada dasarnya adalah bagian dari rantai-pasok yang menghubungkan produsen dengan pengguna produk/jasa. Rantai-pasok terbentuk dari partisipasi dua atau lebih perusahaan yang berkomitmen untuk memberikan nilai-tambah pada produk/jasa terkait (Lu, 2011, Ripin et al., 2014). Akhir dari rangkaian rantai-pasok produk/jasa tersebut—yaitu obat, dalam hal JKN—adalah pasien, sebagai konsumen akhir. Kekosongan sebagian obat JKN, suatu hal yang mengindikasikan kurang memadainya rantai-pasok, menurut Lu (2011), tidak akan terjadi kalau terbentuk aliansi strategis, yaitu pengaturan formal maupun informal berbagai komponen dalam rantai-pasok, dan sumber daya terkait terintegrasi dalam aliansi strategis tersebut. Penggunaan e-Procurement diyakini dapat menekan biaya dan keyakinan bahwa penggunaan e-Procurement, termasuk pengadaan obat JKN melalui e-Catalogue, dapat menekan biaya akan mendorong percepatan penggunaan e-Procurement, termasuk di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya (Pasipoulos et al., 2013). Teknologi, lingkungan, dan budaya organisasi merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penggunaan e-Procurement (Ronald & Omwenga, 2015). Faktor berpengaruh lainnya adalah ketersediaan dana, kemampuan organisasi mengatasi perubahan, dan keandalan pelatihan petugas (Matunga et al., 2013). Penetapan Fornas di awal tahun akan memberikan kelonggaran waktu bagi LKPP dan Kementerian Kesehatan untuk menyiapkan e-Catalogue tahun berikutnya, sehingga dapat dipastikan bahwa daftar obat yang masuk dalam e-Catalogue merupakan obat yang tercantum dalam Fornas. Selain itu, LKPP dan Kemenkes dapat mengecek secara lebih saksama Nomor Izin Edar (NIE) dari BPOM, sehingga obat yang masuk dalam e-Catalogue memiliki NIE yang masih berlaku. Dalam dua tahun pertama pengadaan obat JKN ini belum terbentuk keselarasan yang baik; masih ada obat yang masuk dalam e-Catalogue namun tidak ada dalam Fornas atau tidak memiliki NIE yang valid. Kekosongan sebagian obat JKN juga terkait dengan masuknya suatu obat dalam e-Catalogue. Kenyataan bahwa beberapa item obat Fornas yang tidak masuk dalam e-Catalogue, menunjukkan bahwa penetapan RKO Nasional dan HPS yang menjadi dasar bagi industri farmasi untuk melakukan penawaran harga perlu ditinjau-ulang. Menurut Bogaert, Bochenek, Prokop & Pilc (2015), di kawasan dengan perekonomian maju, seperti Eropa, kekosongan obat umumnya disebabkan oleh ketidaksesuaian harga dan hambatan dalam proses lelang. Penggunaan historical data dapat diharapkan membuat penetapan RKO lebih mendekati permintaan riil, seiring waktu. Sementara itu, penggunaan referensi yang lebih komprehensif, termasuk harga internasional, dapat diharapkan akan membuat HPS yang ditetapkan lebih realistis. Hal lain yang mengurangi peluang industri farmasi untuk mengajukan penawaran harga adalah pemisahan antara obat generik (OGB) dan non-generik (ODM), yang membuat tidak semua perusahaan dapat mengikuti proses lelang harga. Pemilihan pemenang lelang yang hanya didasarkan pada penawaran harga terendah berpengaruh terhadap kualitas layanan, yaitu pengiriman (delivery) obat. Untuk mendapatkan pemasok terbaik perlu dipertimbangkan beberapa kriteria tambahan yang lebih terkait dengan kualitas layanan (maupun kualitas obat yang dikirim). Menurut beberapa peneiliti, harga bukanlah faktor terpenting dalam pemilihan pemasok obat (Abdolshah, 2013; Enyinda, Dunu & Bell-Hanyes, 2010). Kemampuan industri farmasi dalam memenuhi permintaan obat dari faskes tergantung pula pada kesiapan pemenang lelang. Untuk memproduksi obat, mulai dari pemesanan bahan baku yang harus diimpor, diperlukan waktu sekitar tiga bulan. Karena itu, penetapan pemenang lelang
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
48
Volume 1, Nomor 1
sekitar tiga bulan sebelum e-Catalogue berlaku, akan menjamin pemenuhan komitmen oleh perusahaan farmasi pemenang lelang tersebut. Kemudahan para pemangku kepentingan kunci memantau proses dapat diharapkan akan membantu penetapan e-Catalogue—termasuk waktu penetapan Fornas dan pemenang lelang yang cukup dini—sehingga meminimalkan kekosongan obat. Terkait faskes swasta yang tidak meperoleh akses terhadap e-Catalogue sehingga harus melakukan pemesanan obat secara manual, kemudahan mendapatkan pasok obat JKN dengan harga e-Catalogue akan meminimalkan kekosongan obat secara lebih luas.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Rencana Kebutuhan Obat (RKO) belum mencerminkan kebutuhan riil fasilitas kesehatan dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) belum sepenuhnya dapat diterima oleh penyedia. 2. Penentuan pemenang lelang hanya berdasarkan harga terendah—dan dengan satu pemenang—berisiko menyebabkan kebutuhan obat di tingkat fasilitas kesehatan tidak dapat terpenuhi. 3. Belum terjadi keselarasan terkait waktu penetapan Formularium Nasional maupun waktu penetapan pemenang lelang atau penayangan e-Catalogue. 4. Obat dengan merek dagang (OMD), walau kecil dalam volume, memiliki proporsi besar dalam nilai. 5. Belum ada jadwal yang pasti dan disepakati terkait waktu penetapan titik krusial alam proses panjang pengadaan obat JKN—termasuk waktu penetapan RKO, selain Formularium Nasional dan e-Catalogue—yang dapat dipantau oleh para pemangku kepentingan kunci, sehingga masing-masing terdorong untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya secara tepat waktu. Berdasarkan studi evaluasi ini, saran dan rekomendasi yang dapat diberikan antara lain: 1. Proses dan cara penetapan RKO dan HPS perlu ditata-ulang agar didapat harga yang ekonomis dan dapat diterima, sehingga proses lelang dapat berjalan dengan baik. 2. Perlu kriteria tambahan selain harga termurah untuk penetapan pemenang lelang, seperti variabel kualitas produk dan layanan, apalagi jika karena satu dan lain hal sistem satu pemenang untuk satu molekul obat buat satu provinsi ingin dipertahankan. 3. Perlu diselaraskan waktu penetapan Formularium Nasional sehingga memberikan tenggat waktu yang cukup untuk penyusunan e-Catalogue yang sesuai Formularium Nasional dan dengan obat yang memiliki NIE valid. Perlu diselaraskan pula waktu penyangan e-Catalogue, sehingga pemenang lelang memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan produk yang harus dikirim. 4. Perlu dipastikan bahwa obat-obat yang ditawarkan dalam e-Catalogue, terutama OMD dan obat mahal lainnya, memiliki efektivitas-biaya yang tinggi. 5. Perlu disepakati alur dan jadwal penyusunan RKO, Formularium Nasional, e-Catalogue, dan titik krusial lain dalam proses pengadaan obat JKN, serta mekanisme pemantauan oleh semua pemangku kepentingan kunci.
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
49
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
Daftar Pustaka
Abdolshah, M. (2013). A review of Quality Criteria Supporting Supplier Selection. Journal of Quality and Relaibility Engineering, 1-9. Bof, F. & Previtali, P. 2010. National models of public (e)-procurement in Europe. Journal of e-Goverment Studies and Best Practice, 1-14. Bogaert, P., Bochenek, T., Prokop, A. & Pilc, A. (2015). A qualitative approach to a better understanding af the problems underlying drug shortage, as a view from Belgian, French, and the European Union’s Perspective. Plos One, 1–20. Enyinda, C.I., Dunu, E. & Bell-Hanyes, J. (2010). A model for quantifying strategic supplier selection: Evidence from generic pharmaceutical firm supply chain. International Journal of Business Marketing, and Decision Science, 25-44. Health, M.S.F. 2012a. Toward sustainable acces to medicines. Managing Acces to Health and Medicines. Arlington: Manajemen Science for Health. Health, M.S.F. 2012b. Toward sustainable access to medicines. In: EMBREY, M. (ed.) MDS-3: Managing Access to Medicines and Health Technologies. Arlington: Management science for health. Kanyoma, K.E. & Khomba, J.K. 2013. The impact of procurement operations on healthcare delivery : a case study of Malawi’s public healthcare delivery system. Global Journal of Management and Business Research Administration and management,13, 27-35. Kanyoma, K.E., Khomba, J.K., Sankhulani, E.J. & Hanif, R. 2013. Sourcing strategy and supply chain risk management in the healthcare sector : a case study of Malawi’s public healthcare deliveri supply chain. Journal of Management and Strategy, 4, 16–26. Kemenkes 2010. Permenkes No 68 tahun 2010 tentang kewajiban menggunakan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Kemenkes 2014. Surat Edaran No 167 tahun 2014 tentang pengadaan obat berdasarkan katalog elektronik (e-catalogue). Kemenkes 2015. Kepmenkes No 523 tahun 2015 tentang Formularium Nasional. Kemenkumham 2014. Peppres No 157 tahun 2014 tentang LKPP. In: DEPUTI BIDANG POLITIK, H.D.K. (ed.). Jakarta. BPJS Kesehatan 2015. Info BPJS Kesehatan. Jakarta: BPJS. Ketikidis, P., Kontogeorgis, A., Stalidis, G. & Kaggelides, K. 2010. Applying e-procurement system in the healthcare : the EPOS paradigm. International Journal of Systems Science, 41, 281-299. Kritchanchai, D. 2012. A framework for healthcare supply chain improvement in Thailand. Operations and Supply Chain Management, 5, 103-113. LKPP 2015. Perka No 5 Tahun 2015 Tentang Unit Layanan Pengadaan [Online]. Jakarta, Jakarta, Indonesia. Lu, D. 2011. Fundamentals of supply chain management, Dawei Lu & Ventus Publishing Aps. Matunga, D. A., Nyanamba, S. O. & Okibo, W. 2013. The effect of e-procurement practice on effective procurement in public hospitals : a case study of Kissi level 5 hospital. American International Journal of Contemporary Research, 3, 103-111. Pasipoulos, A., Siskou, O., Galanis, P., Prezerakos, P., Moisoglou, L., Theodorou, M. & Kaitelidou, D. 2013. The Implementation of e-procurement system in the health sector in Greece : Attitude of potential users and implication for hospital management. International Journal Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
50
Volume 1, Nomor 1
of Health Research and Innovation, 1, 15-23. Rascati, K.L. 2014. Essentials of Pharmacoeconomics, Lippincot Williams and Wilkins. Ripin, D.J., Jamieson, D., Meyers, A., Warty, U., Dain, M. & Khamsi, C. 2014. Antiretroviral procurement and supply chain management. Antiviral Therapy, 19, 79-89. Ronald, N.K. & Omwenga, J.Q. 2015. Factors contributing to adoption of e-procurement in county goverment : a case study of county goverment of Bomet. International Journal of Academic Research in Business and Social Science, 5, 233-239.
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
51
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
Lampiran 1. Proses Lelang Harga Membentuk e-Catalogue
Lampiran
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
52
Volume 1, Nomor 1
Lampiran 2. Alur Proses e-Purchasing
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
53
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
Biaya dan Outcome Hemodialisis di Rumah Sakit Kelas B dan C Firda Tania1 dan Hasbullah Thabrany2 Korespondensi: [email protected] Dikirimkan pada 10 Juli 2016. Ditinjau pada 22 Juli 2016. Diterima pada 25 Juli 2016.
Abstrak Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan kondisi yang semakin meningkat kejadiannya di Indonesia, menghabiskan banyak dana publik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam program JKN, hemodialisis (HD) untuk penanganan GGK dijamin tetapi perleu keseimbangan antara biaya dan outcome. Sejak 2014, BPJS menanggung hampir seluruh biaya HD di Indonesia dengan besaran tarif Casemix Base Group (CBG) yang berbeda menurut kelas Rumah Sakit (RS).
Tujuan Pertanyaan penelitian ini adalah “apakah tarif yang dibayarkan lebih tinggi pada kelas RS lebih tinggi menghasilkan hasil yang lebih baik?” Selain itu, perlu diketahui pula apakah terdapat perbedaan biaya yang dikeluarkan RS pada kelas yang berbeda.
Metode Studi evaluasi ekonomi ini dilakukan di dua RS dengan kelas berbeda: kelas B (RS B) dan kelas C (RS C) dengan perbedaan kepemilikan. Kepemilikan RS B adalah pemerintah daerah sedangkan RS C dimiliki oleh yayasan swasta. Outcome HD diukur dengan suatu survey ke pasien HD. Analisis outcome dilakukan dengan penilaian kualitas hidup (instrumen EQ-5D) dengan Indeks EQ, EQ VAS, intermediate outcome berupa rerata Intra Dialytic Weight Loss (IDWL), dan rerata Hb. Perbedaan rerata nilai hasil diuji dengan Student’s t-test. Responden dipilih dari pasien GGK yang menjalani HD di kedua RS selama Februari-April 2016. Analisis biaya menurut perspektif pasien, meliputi biaya langsung medis, biaya langsung non medis, dan biaya tidak langsung. Biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh RS dikumpulkan dari dokumen RS. Studi kualitatif tambahan dilakukan dengan wawancara mendalam kepada informan kunci di RS yang bertanggung jawab atas unit HD.
Hasil dan Diskusi Pada penelitian ini, total responden sebanyak adalah 100 orang (di RS B 76 orang & di RS C 24 orang). Menurut perspektif pasien, biaya langsung medis HD selama sebulan di RS B Rp 5.215.331 dan di RS C Rp 7.781.744. Besaran tarif CBG untuk RS kelas B adalah Rp 962.800 dan kelas C adalah Rp 893.300. Menurut perspektif RS, tidak terdapat perbedaan biaya operasional HD antar kelas RS. Biaya langsung non medis HD selama sebulan di RS B Rp 566.260 dan di RS C Rp 334.500. Biaya tidak langsung HD selama sebulan di RS B Rp 165.530 dan di RS C Rp 45.830. Rerata total biaya HD selama sebulan di RS B Rp 6.149.285 dan di RS C Rp 8.162.077. Pada intermediate outcome didapatkan bahwa rerata Hb pada RS B sebesar 10,26 g% berbeda secara signifikan dengan RS C (8,21 g%), p= 0,000. Rerata IDWL pada RS B (0,0403) tidak berbeda secara signifikan dengan RS C (0,0438), p= 0.188. Rerata EQ Indeks sebesar 0,7178 dan EQ VAS sebesar 64,74 di RS B tidak berbeda secara signifikan dengan rerata EQ Indeks sebesar 0,7208 dan EQ VAS sebesar 64,79 di RS C, dengan p value secara berurutan p=0,94 dan p= 0,986.
1 2
Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
54
Volume 1, Nomor 1
Kesimpulan Besarnya tarif CBG untuk HD di RS kelas B dan C berbeda, tapi outcomenya tidak berbeda. CBG yang lebih tinggi tidak memberikan outcome kesehatan yang lebih baik. Kementerian Kesehatan diharapkan merevisi tarif CBG tanpa diskriminasi antar kelas RS, tetapi perbedaan tarif CBG menurut kepemilikan perlu dilakukan. Riset komprehensif untuk menemukan tarif keekonomian yang layak di berbagai wilayah perlu dilakukan Kemenekes dan atau BPJS.
Kata Kunci Cost and Outcome Analysis. Hemodialisis. Kelas RS. Tarif CBG. JKN.
Abstract Chronic renal failure (CRF) has been increasing in Indonesia and consuming a lot of the National Health Insurance (JKN) fund. The JKN should cover all medically necessary, including hemodialysis (HD), but should balance between spending and good outcome. Since 2014, the JKN covered all HD using different Case mix Base Group (CBG) prices for different class of hospitals.
Objective The research question is whether the price differences correlate with different outcome of HD. In addition, differences of costs in providing HD in different class of hospital are also questioned.
Method This is an economic evaluation as case study in two different hospital and survey of HD patients in the two hospitals, class B and class C hospital. The class B hospital is owned by a local government while the class C hospital is owned by a private not for profit organization. The Outcomes of HD are measured using intermediate outcomes of mean hemoglobin levels, Intra Dialysis Weight Loss (IDWL), EQ index and EQ VAS index. The measurement of quality of life used EQ-5D instrument. The Student’s t-test is measured to test differences in costs and outcomes between the two different classes of hospitals. To measure quality of life, a survey to all eligible HD patients undertaking HD during February-April 2016 was taken. Costs (direct medical, direct non medical, and indirect) are measured to hospitals and patients’ perspectives. To explore qualitative information, in-depth interviews were taken to managers of HD units in both hospitals.
Result and Discussion The total of 100 respondents were surveyed on their economic and quality of life (76 patients in class B & 24 patients in class C). On patient perspective, the total monthly costs per month in class B were IDR 5,215,331 and in class C was IDR 7,781,744. The average direct non-medical cost to patient was IDR 566,260 in class B and IDR 334,500 in class C. The average indirect costs to patient, was IDR 165,530 in class B and IDR 45,830 in class C hospital. The average total cost to patients was IDR 6,149,285 per month in class B and IDR 8,162,077 per month in class C hospital. The JKN pay hospital class B the amount of IDR 962,800 per HD and IDR 893,300 for class C hospital for the frequency of twice HD per week. At the hospital perspective, there is no cost difference in operating HD in both hospitals. The average Hb was 10.26 g% in class B hospital, significantly difference from average Hb of 8.21 g% in class C hospital, p= 0.000. The average IDWL in class B hospital of 0.0403 was no difference with the average IDWL in class C of 0.0438, p= 0.188. The average EQ index of 0.7178 and EQVAS in index of 64.74 in class B hospital
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
55
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
were no difference with the average EQ index of 0.7208 and EQVAS index of 64,79 in class C hospital, p value of =0.94 and 0.986 respectively.
Conclusion The difference in price of CBG paid to class B and class C hospital produced the same outcome level. The operational costs in providing HD in both hospitals was no difference statistically. It is concluded that the Government should not pay difference prices for different class of hospitals unless there is different outcome. The Government (Ministry of Health) should revise the CBG prices and pay equal amount of HD for different class of hospitals. However, difference prices are justified between public and private hospital to compensate investment costs of private hospitals.
Key words Cost and Outcome. Hemodialysis. Class of Hospitals. CBG Prices. JKN or National Health Insurance.
Pendahuluan Gagal Ginjal Kronik (GGK) sejak Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dijalankan semakin meningkat. Insidens gagal ginjal kronik meningkat dua kali dalam 15 tahun terakhir (Pernefri, 2012). Salah satu terapi simpomatik yang banyak digunakan adalah hemodialisis yang memakan biaya besar. Selain biaya besar, hemodialisis menyerap biaya tidak langsung yang besar karena durasi dan frekuensi terapi (Kaitelidou et al, 2005). Di dunia, sejak 1972, hemodialisis dijadikan menjadi benchmark terapi mempertahankan hidup yang umumnya dibiayai dana publik (Mendelssohn & McFarlanet, 2011). Meskipun prevalensi GGK hanya 0,05-0,07%, tindakan ini menghabiskan 1 sampai 1,6% belanja kesehatan nasional (Kaitelidou et al, 2005). Pada tahun 2014, BPJS Kesehatan membayar klaim kasus GGK sebesar Rp 2,2 Triliun dan pada tahun 2015 meningkat menjadi Rp 2,7 Triliun (BPJS Kesehatan, 2016). Penanganan GGK merupakan tantangan ekonomi dan politik yang utama bagi pelayanan kesehatan (Teerawattananon, et al, 2007). Sejak 2014, BPJS menanggung biaya hemodialisis (HD) dengan besaran tarif InaCBG (Indonesian Casemix Based Group, Ina-CBG) yang berbeda menurut kelas RS. Tarif hemodialisis di RS kelas B di Jakarta sebesar Rp 982.600 sedangkan tarif di RS kelas C sebesar Rp 893.300. Sementara tarif di RSCM mencapai Rp 2.110.500 (Permenkes No. 59 Tahun 2014). Pertanyaannya, apakah tarif CBG lebih tinggi pada RS kelas B mencerminkan biaya yang lebih tinggi dan menghasilkan outcome yang lebih baik? Dari perspektif pasien, menurut Sculpher, perlu juga dikaji apakah perbedaan tarif CBG berdampak pada perbedaan biaya tidak langsung bagi pasien (Drummond & Mc Guire, 2001). Dari perspektif RS, apakah biaya aktual yang keluarkan RS berbeda menurut kelas RS? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, telah dilakukan studi kasus di dua RS, yang satu RS kelas B milik pemda dan RS kelas C milik swasta pada tahun 2016. Secara umum RS kelas B memiliki kemampuan pelayanan kesehatan yang lebih tinggi dari RS kelas C sesuai persyaratannya. Namun pada unit hemodialisis, persyaratan di kedua RS tidaklah berbeda sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 812/ Menkes/PER/VII/2010.
Tujuan Studi ini bertujuan menguji apakah ada perbedaan biaya dan keluaran (outcome) hemodialisis yang dilakukan di dua RS dengan kelas dan pemilik berbeda, yaitu RS kelas B dan RS kelas C.
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
56
Volume 1, Nomor 1
Metode Studi ini merupakan studi evaluasi ekonomi dengan kelas mengambil dua RS dengan kelas berbeda: kelas B dan kelas C. Pilihan hanya dua RS adalah dengan pertimbangan bahwa pada studi-studi terdahulu, biaya HD relatif standar dengan varians kecil (Novelia, 2014). Selain itu, pada umumnya RS di Indonesia menggunakan skema sewa alat untuk HD dengan kontrak hanya “membayar” dengan membeli cairan dan filter/dialiser. Di tiap RS diambil pasien HD untuk mengukur kualitas layanan dengan mengukur kualitas hidup menggunakan perangkat alat ukur EQ-5D. Secara umum, kerangka konsep studi ini adalah sebagaimana terlihat dalam Gambar 1. Biaya HD di RS dan biaya tidak langsung diukur dengan wawancara pengelola RS dan wawancara kepada pasien. Analisis biaya, outcome, dan rasio biaya-outcome dilakukan oleh penulis dengan menggunakan perangat lunak spread sheet dan statistik. Rumah sakit kelas B yang dipilih adalah RS milik pemerintah daerah yang telah beroperasi lebih dari 14 tahun dan telah melakukan hemodialisis sejak lebih dari 12 tahun. Sedangkan RS kelas C adalah RS milik swasta nirlaba yang relatif dan menyediakan layanan hemodialisis dalam 2 tahun terakhir. Pada saat pengambilan data, RS B menyediakan 32 mesin HD dengan jumlah pasien HD rawat jalan sebanyak 127 orang, sedangkan RS C menyediakan 37 mesin HD dengan jumlah pasien HD rawat jalan sebanyak 129 orang. Untuk mengukur biaya tidak langsung dan outcome, dilakukan survei kepada pasien hemodialisis di kedua RS tersebut. Populasi penelitian adalah pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani HD yang terdaftar di RS kelas B dan kelas C. Dilakukan sampel waktu, seluruh pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang menjalani hemodialisis selama bulan Februari - April 2016, dan telah menjalani hemodialisis lebih dari 2 (dua) tahun untuk dapat mengukur outcome kualitas hidup. Selain itu, kriteria inklusi lain adalah terdapat rekam medis riwayat terapi lengkap dan persetujuan pasien untuk menjadi sampel studi. Pasien yang memiliki gangguan kognitif, mental, pendengaran atau bicara yang tidak memungkinkan diwawancarai dikeluarkan dari sampel. Untuk mengukur kualitas outcome, dikumpulkan data laboratorium perkembangan kadar Hb, IDWL ( dan pengukuran kualitas hidup menggunakan format EQ-5D. Untuk mendapatkan data biaya RS, dilakukan wawancara dengan 6 (enam) orang dari kedua RS yang terdiri dari 2 (dua) orang yang mewakili manajemen RS, 2 (dua) orang yang mewakili penanggung jawab layanan HD, dan 2 (dua) orang yang mewakili pelaksana harian HD. Untuk menjamin validitas data biaya, dilakukan triangulasi metoda dan telaah dokumen. Analisis biaya dilakukan dengan mengambil biaya menurut perspektif pasien dengan perhitungan estimasi biaya HD selama satu bulan dengan rumus berikut: X=xxf Y = (y1+y2+y3+y4) x f Z = (z1+z2) x h Total biaya HD = X+Y+Z Keterangan: X
: biaya langsung medis (berdasarkan data tagihan RS) selama sebulan
x
: biaya langsung medis untuk satu tindakan HD
f
: jumlah tindakan HD selama sebulan (frekuensi HD 4x per minggu)
y
: biaya langsung non medis selama sebulan
y1
: biaya transportasi keluarga yang menunggu untuk satu tindakan HD
y2
: biaya transportasi pasien untuk satu tindakan HD
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
57
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
y3
: biaya makan keluarga yang menunggu untuk satu tindakan HD
y4
: biaya makan pasien untuk satu tindakan HD
Z
: biaya tidak langsung selama sebulan
z1
: jumlah pendapatan per hari pasien
z2
: jumlah pendapatan per hari keluarga penunggu pasien
h
: jumlah hari kerja yang hilang dalam sebulan karena HD
Perhitungan biaya HD menurut perspektif pasien terdiri dari biaya langsung medis untuk satu tindakan HD yang diperoleh dari tagihan RS. Biaya tagihan RS sudah termasuk biaya tindakan HD, jasa/ gaji tenaga medis, bahan medis habis pakai, obat dan pemeriksaan lab. Biaya langsung HD selama satu bulan diperoleh dengan mengalikan biaya satu tindakan HD dengan delapan tindakan HD selama sebulan. Sedangkan biaya langsung non medis dihitung dari biaya yang dikeluarkan pasien maupun keluarga yang menunggu pasien untuk transportasi dan biaya makan selama satu tindakan HD. Biaya selama satu bulan diperoleh dengan mengalikan biaya satu tindakan HD dengan delapan tindakan HD selama sebulan. Sementara biaya tidak langsung dihitung berdasarkan biaya yang terjadi akibat hilangnya pendapatan ketika pasien ataupun keluarga menjalani tindakan HD atau mengantar pasien sehingga mereka tidak bekerja dan kehilangan penghasilan. Biaya ini dihitung per hari dengan membagi penghasilan pasien/penunggu satu bulan (dari wawancara pasien) dengan jumlah hari yang digunakan untuk tindakan HD. Biaya total HD dihitung berdasarkan penjumlahan biaya langsung medis, biaya langsung non medis dan biaya tidak langsung selama sebulan. Outcome hemodialisis diukur dengan kualitas hidup pasein menggunakan instrument standar yaitu EQ-5D dan rerata Hb. Anaylisis biaya-outcome dilakukan dengan membandingkan jumlah total biaya HD di RS kelas B dan RS kelas C selama sebulan dibandingkan dengan perbedaan outcome HD yang dinilai dengan rerata skor EQ-5D, rerata skor EQ VAS, rerata IDWL dan rerata Hb.
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian Biaya dan Outcome Hemodialisis, 2016
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
58
Volume 1, Nomor 1
Hasil dan Diskusi
Studi ini berhasil mengumpulkan data biaya HD dan outcome dari 100 orang (76 orang di RS kelas B dan 24 orang di RS kelas C). Distribusi umur responden berada di kisaran usia 51-60 tahun (35%), 4150 tahun (32%) dan >60 tahun (20%). Rerata usia responden adalah 51,2 tahun (SD= 10,3). Sebaran mur terbanyak pada rentang 51-60 tahun ini sesuai dengan riwayat perjalanan gagal ginjal kronik (Suhardjono, 2007). Penyakit komorbiditas yang diderita responden adalah hipertensi (63%) dan gabungan hipertensi diabetes mellitus (20%). Hipertensi dan diabetes merupakan dua penyebab tertinggi penyakit GGK (Pernefri, 2012, Suhardjono, 2007). Pasien laki-laki (56%) sedikit lebih banyak daripada perempuan (44%). Sebagian besar responden (41%) berpendidikan SMA dan sebagian besar responden (69%)tidak bekerja, baik karena pensiun, ibu rumah tangga atau memang tidak lagi memiliki pekerjaan karena penyakit GGK. Menurut pengakuan responden, mayoritas sulit memiliki fleksibilitas waktu untuk bekerja formal dan tidak sedikit responden yang memutuskan berhenti bekerja. Beberapa pasien mengaku diberhentikan dari pekerjaannya karena alasan ketidakmampuan fisik maupun banyaknya ijin yang harus diberikan untuk tindakan HD. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Program Pensiun dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Mereka yang masih mampu bekerja melibatkan diri dalam pekerjaan usaha mandiri tanpa upah (informal). Hal ini mempengaruhi biaya tidak langsung yang ternyata tidak terlalu besar. Hanya sebagian kecil responden (11%) yang memiliki pekerjaan dengan menerima upah (formal), baik sebagai PNS atau karyawan swasta. Pada umumnya responden menjalani tindakan HD 2 (dua) kali seminggu, hanya 7% responden yang menjalani HD 3 (tiga) kali seminggu karena tingkat keparahan GGK yang lebih serius. Sebagian besar responden terdiagnosa GGK (71%) dan menjalani HD (76%) kurang dari 4 (empat) tahun (mean 4,7 tahun, modus 2 tahun, nilai lama 2 tahun dan nilai maksimum 21 tahun). Hanya 29% responden yang terdiagnosa GGK lebih dari 4 tahun dan hanya 24% responden yang sudah menjalani HD lebih dari 4 tahun. Beberapa responden berupaya menunda HD sejak diagnosa dengan berupaya mencari pengobatan alternatif. Tingginya frekuensi (76%) lama HD 2 (dua) tahun berhubungan dengan mulainya JKN. Sebelum JKN, seperti halnya di masa Askes, jumlah pusat HD terbatas karena kebanyakan pasien GGK yang tidak memiliki jaminan tidak sanggup membayar HD.
Biaya HD, Perspektif Pasien Biaya langsung medis yang diambil dari data tagihan RS kelas B terdiri dari dua tarif, bergantung pada jenis dialiser yang digunakan. Dialiser baru dipakai pertama kali pada awal HD bertarif Rp 800.000, pada HD kedua sampai keenam (reuse) bertarif Rp 600.000. Untuk studi ini digunakan rerata kedua tarif tersebut dengan memperhitungkan distribusi jumlah HD yang dilakukan. Biaya HD RS kelas B = {(1 x Rp 800.000) + (5 x Rp 600.000)}:6 = Rp 633.333. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan di RS B adalah hema 1 sebulan sekali dan ureum creatinin pre-post HD tiga bulan sekali. Jadi, biaya laboratorium dihitung berdasarkan 4 (empat) kali dalam setahun pemeriksaan hema 1 beserta ureum creatinin sebelum dan sesudah tindakan HD, serta 8 (delapan) kali pemeriksaan hema 1 saja. Jumlah biaya pemeriksaan lab digabungkan selama setahun dan didapat rerata biaya perbulan. Jumlah biaya pemeriksaan lab digabungkan selama setahun dan didapat rerata biaya perbulan. Sehingga diperoleh rerata biaya lab = {(4 x Rp 195.000) + (8 x Rp 55.000)}:12 = Rp101.667/bulan. Selain itu ada biaya alkes (spuit 3 cc, gentamycin) sebesar Rp 5.875 untuk satu kali tindakan HD. Dengan demikian, diperoleh biaya rerata HD/bulan di RS kelas B sebesar = (8 x Rp 633.333) + (8 x Rp 5.875) + Rp.101.667 = Rp 5.215.331 untuk frekuensi HD 2x/minggu. Sedangkan untuk pasien yang menjalani HD tiga kali seminggu diperoleh rerata biaya HD/bulan = (12 x Rp 633.333) + (12 x Rp 5.875) + Rp 101.667= Rp 7.772.163.
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
59
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
Di RS kelas C layanan HD tersedia sejak JKN berlaku tahun 2014 dengan tarif CBG untuk HD yang dibayar oleh BPJS Kesehatan sebesar Rp 893.300 per tindakan sebagaimana tercantum dalam Permenkes No. 59 Tahun 2014. Tagihan HD di RS C ini bagi pasien bukan JKN sebesar Rp 890.000 ditambah jasa dokter sebesar Rp 100.000. Pada pasien bukan JKN, tagihan dapat berbeda-beda tergantung jumlah obat, bahan medis habis pakai, lab dan biaya lain-lain. Biaya langsung medis RS C, sesuai tagihan, adalah minimum Rp 721.318 dan maksimum Rp 1.145.156, dengan rerata Rp 872.718. Modus tagihan adalah pada rentang Rp 750.000- Rp 800.000, diluar jasa dokter. Total biaya per tindakan HD rata-rata adalah Rp 972.718. Sedangkan BPJS membayar RS kelas C sebesar Rp 893.300. Rata-rata total biaya langsung medis sesuai tagihan RS C adalah Rp 7.781.744 (belum termasuk biaya investasi). Jika dimasukkan dalam tarif, akan terlihat selisih yang lebih besar. Informan di RS tersebut mengatakan bahwa RS swasta baru mencapai BEP jika tarif CBG sebesar 1,5 kali tarif kelas C yang berlaku sekarang. Rerata biaya transpor di RS kelas B sebesar Rp 302.130 perbulan dengan rentang Rp 0 - Rp1.200.000. Sedangkan di RS kelas C biaya transpor rata-rata sebesar Rp 204.830 per bulan, dengan rentang Rp 0Rp 880.000. Rerata biaya makan di RS kelas B sebesar Rp 264.130 perbulan, dengan variasi Rp 0 – Rp 1.600.000 per bulan. Responden di RS kelas C menghabiskan biaya makan rata-rata sebesar Rp 129.670 per bulan (rentang Rp 0- Rp 480.000). Rata-rata biaya langsung total non medis di RS kelas B sebesar Rp 566.260 dengan variasi Rp 0 - Rp 1.920.000. Sedangkan di RS kelas C, rerata total biaya langsung non medis sebesar Rp 334.500, dengan variasi Rp 0 - Rp 960.000. Biaya tidak langsung HD selama sebulan di RS B Rp 165.530 dan di RS C Rp 45.830. Rerata total biaya HD pada RS kelas B (Rp 6.149.285) lebih rendah dari total biaya HD di RS kelas C (Rp 8.162.077) karena perbedaan faktor biaya investasi. Pergub membatasi tarif RSUD tidak boleh lebih tinggi dari biaya satuan diluar investasi. Maka median total biaya HD di RS kelas B sebesar Rp 5.755.331, lebih rendah dari median di RS kelas C sebesar Rp 8.069.744. Rerata biaya di RS B berhubungan dengan sesi HD yang lebih lama (5-6jam) dibandingkan sesi HD di RS C (4-5 jam) sehingga responden lebih banyak kehilangan waktu produktif. Ilustrasi visual perbadingan biaya disajikan dalam gambar 2. Semua responden di unit HD di kedua RS merupakan peserta JKN. Responden mengaku harus membayar sebagian biaya yang tidak ditanggung BPJS, seperti biaya vitamin, obat yang tidak terkait penyakit GGK/HD, ataupun obat yang atas keinginan pasien sendiri. Beberapa pasien mengaku mendapat obat yang diresepkan oleh dokter RS namun mereka enggan menebusnya di apotek RS karena antrian yang panjang. Rerata biaya yang dibayar pasien di RS B adalah Rp 157.470 (Rp 0 –Rp 1.450.000) per bulan. Sedangkan rerata biaya yang dibayar pasien di RS C adalah Rp 203.750 (Rp 0-Rp 3.000.000). Menurut perspektif RS, dari wawancara mendalam, secara umum tidak terdapat perbedaan biaya operasional yang dikeluarkan oleh kedua RS untuk HD. Persyaratan layanan HD menurut Permenkes 812/2010 tidak membedakan kelas RS. Tindakan yang dilakukan sama, prosedur sama, mesin dan bahan habis pakai juga sama, semua komponen lainnya pun sama. Kondisi pasien yang dilayani (severitas, komplikasi, dll) pun tidak berbeda. Tetapi, ada perberbedaan biaya investasi. Bagi RS C yang milik swasta; semua investasi harus ditanggung sendiri, sementara di RS B yang milik pemda, investasi maupun biaya operasional didanai pemerintah. Beberapa kendala yang dikeluhkan kedua RS antara lain tarif CBG untuk HD rawat inap tidak mencukupi, ketersediaan sumber air yang mahal, banyak pasien anemia yang membutuhkan biaya besar, pemeriksaan SI-TIBC atau transfusi, dan penggunaan dialiser
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
60
Volume 1, Nomor 1
Gambar 2. Distribusi Biaya HD (Perspektif Pasien) di RS Kelas B dan di RS Kelas C, 2016
Keluaran/Outcome Keluara tengnah (intermediate) pasien HD diukur dengan rerata Hb dengan hasil di pada RS B sebesar 10,26 g% berbeda bermakna dengan rata-rata Hb di RS C yang hanya 8,21 g% (p= 0,000). Penelitian (Frankenfield DL, 2002) menemukan asosiasi signifikan antara nilai rerata Hb dengan rerata Kt/V dan nilai serum albumin yang menggambarkan pencapaian adekuasi dialisis. Pada pasien hemodialisis, anemia terjadi karena dialisis yang tidak adekuat (Stefansson, 2011; Locatelli et al, 2003 dalam Aprilianti R, 2013). Penelitian Aprilianti (2013) menunjukkan bahwa HD yang tidak adekuat berpeluang dua kali menyebabkan anemia dibanding dengan HD memadai. Perbedaan rerata Hb tersebut berkaitan erat dengan penanganan anemia dan tarif CBG. Dalam wawancara, responden mengakui bahwa biaya transfusi darah di RS C dibebankan kepada pasien. Karena banyak pasien tidak sanggup, sebagian pasien tidak melakukan transfusi meski kadar Hb nya rendah. Selain itu di RS C pasien hanya diberikan hemapo 2x dalam sebulan, pasien harus bayar sendiri hemapo ke-3 dst. Sedangkan di RS B transfusi darah dan hemapo diberikan sesuai kebutuhan pasien tanpa biaya pada pasien. Prilaku RS menyiasati beban biaya ini sejalan dengan studi Dor (2007) yang mengindikasikan bukti kuat bahwa tingkat pembayaran mempengaruhi prilaku RS. Indikator IDWL menentukan tingkat mortalitas pasien hemodialisis (Szczech et al, 2002; Tentori et al, 2012; Foley et al, 2002; Saran et al, 2003; Kalantar et al, 2009; Szczech et al. 2002). Persentasi IDWL berkorelasi dengan berat badan (BB) pasca dialisis, indeks massa tubuh yang lebih besar, dan kadar natrium. Pada penelitian Foley et al. (2002) IDWL/BB >4,8% menaikan hazard ratio (HR) menjadi 1,12. Saran et al. (2003) melaporkan risiko mortalitas pada IDWL/BB >5,7% menhasilan yang sama HR= 1,12. Studi Kalantar et al (2009) di Amerika mendapatkan risiko mortalitas meningkat (HR 1,25) pada IDWL/BB ≥ 4 %. Hasil pengukuran rerata IDWL pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak berbeda di antara kedua RS. Rerata IDWL pada RS kelas B sebesar 0,0403 (4%) tidak berbeda bermakna dengan rerata IDWL di RS kelas C dengan IDWL=0,0438 (p= 0,188). Artinya, keluaran HD, yang diukur dengan IDWL, di kedua RS tidak berbeda. Pengukuran kualitas dengan instrumen EQ-5D juga menghasilkan rerata skor EQ-5D Indeks dan rerata skor EQ Visual Analog Scale (EQ VAS) yang tidak berbeda. Rerata indeks EQ di RS B sebesar 0,7178 dan di di RS C sebesar 0,7208 (p= 0,94). Rerata EQVAS di RS B sebesar 64,74 juga tidak berbeda
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
61
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
bermakna dengan rerate EQVAS di RS C sebesar 64,79 (p= 0,986). Terdapat konsistensi pengukuran utilitas dengan indeks EQ-5D dan indeks EQ VAS, dimana responden dengan indeks EQ-5D yang tinggi juga memiliki indeks EQ VAS yang tinggi. Hasil pengukuran keluaran kualitas hidup pasien HD yang telah dua tahun menjalani HD di kedua RS tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna. Namun perlu difahami bahwa secara umum pasein GGK umumnya memiliki HRQOL yang lebih buruk dibanding populasi umum (Morales et al, 2007; Reina-Neyra et al, 2008; Varela et al, dalam Reynaga-Ornelas, 2011). Skor indeks EQ-5D di kedua RS berkisar pada angka 70 dan EQVAS pada angka 0,71. Skor maksimum (sehat sekali) indeks EQ adalah 100 dan EQVAS adalah 1.Dapat disimpulkan bahwa skor sekitar 70% dari nilai sehat sekali pasien HD merupakan skor status sehat yang sama baiknya di kedua RS tersebut. Faktor kemandirian pasien memberi nilai tinggai pada EQVAS. Hal ini sesuai dengan temuan Abraham & Ramachandran (2012) yang menyatakan turunnya kualitas hidup pasien HD disebabkan oleh ketergantungan pada dialisis. Tindakan HD memicu rasa ketidak puasan diri, ansietas, dan depresi. Masalah finansial memperburuk kualitas hidup pasien HD. Karena kini tersedia pilihan Peritoneal Dialisis (PD) atau transplantasi, riset perbedaan kualitas hidup pasein GGK dengan HD dan dengan PD di Indonesia perlu dikaji dan JKN dapat memberikan layanan dengan hasil kualitas hidup yang lebih baik. Tajima et al. (2010) menemukan penurunan kualitas hidup pasien HD berhubungan dengan progresivitas GGK, anemia, kurang gizi, hipertensi, diabetes, atau penyakit kardiovaskular. Penelitian Lee et al. (2005) melaporkan pasien transplantasi ginjal memiliki kualitas hidup yang lebih baik (skor 0,712) dibanding dengan pasien HD (skor 0,44) dan pasien PD (skor 0,569).
Gambar 3. Distribusi Outcome Pasien HD di RS Kelas B dan di RS Kelas C, 2016 Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa outcome HD berupa Indeks EQ maupun EQVAS antara kedua kelas RS tidak jauh berbeda. Uji T menunjukkan perbedaan outcome tersebut tidak signifikan, kecuali untuk outcome tengah nilai Hb yang dipengaruhi beban pasien untuk membayar hemapoe. Jika tarif CBG memadai dan adil mempertimbangkan sumber dana investasi, maka pasien tidak dibebani biaya hemapoe, maka kadar Hb akan sama. Pasien di RS kelas C yang milik swasta terpaksa menerima perbedaan kadar Hb, karena besaran tarif CBG yang sama untuk RS milik pemerintah dan milik swasta. Seharusnya RS swasta juga mendapat kompensasi investasi agar persaingan layanan JKN seimbang. Perdebatan dan kajian-kajian yang mengharuskan bayaran berbeda, untuk kompensasi investasi yang diberikan secara terpisah oleh pemerintah kepada RS pemerintah, telah banyak dilakukan. Penepatan besaran tarif CBG khusus di
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
62
Volume 1, Nomor 1
RSCM yang lebih dari dua kali biaya HD di RS kelas C sama sekali bukan merupakan kebijakan publik yang berkeadilan. Hal itu merupakan pemborosan besar dana JKN yang menguntungkan tenaga kesehatan di kota besar. Besaran tarif CBG, secara umum, yang jauh lebih besar di RS kelas A dan tarif di RS khusus seperti di RSCM merupakan kebijakan publik yang tidak berkeadilan dan tidak mendorong pemerataan layanan. Dengan tarif yang lebih besar di RS kelas A dan khusus, yang ada di kota-kota besar, para spesialis justeru didorong atau diberi insentif untuk bermigrasi ke kota. Padahal, kebutuhan spesialis di pedesaan atau kota/ kabupaten kecil, justeru tidak terpenuhi. Tarif CBG yang layak dan prospektif/futuristik justeru harus dibalik, yaitu lebih besar di RS kelas C dan kelas D serta lebih besar di RS milik swasta agar terjadi insentif untuk dokter spesialis dan investor swasta memberikan layanan kepada penduduk Indonesia di pedesaan atau di kota/kabupaten kecil yang selama ini tidak mendapat layanan yang sama. Hal ini sesuai dengan azas Keadilan Sosial yang secara Nasional kita sepakati dalam Pancasila.
Kesimpulan dan Saran Pada penilaian ini tidak ditemukan perbedaan biaya operasional antara layanan HD di RS kelas B dan di RS kelas C dan keluaran (outcome) yang sama kedua kelas RS. Perbedaan biaya menurut perspektif pasien disebabkan karena ada perbedaan jarak dan lama sesi HD. Terdapat penurunan indeks kualitas hidup (sekitar 70%) dibandingkan dengan masyarakat normal, bukan penderita GGK. Namun, indeks kualitas hidup yang dialami pasien HD di RS kelas B tidak berbeda dengan indeks kualitas hidup di RS kelas C. Sementara bearan tarif CBG yang ditetapkan Kementrian Kesehatan berbeda cukup besar. Perbedaan biaya HD di kedua RS dalam penelitian ini hanya kerena perbedaan biaya investasi yang tidak dikompenasi oleh besaran tarif CBG. Seharusnya besaran tarif CBG untuk HD dibedakan berdasarkan kepemilikan RS, bukan berdasarkan kelas RS. Penetapan tarif khusus HD di RSCM yang lebih dari dua kali tarif HD di RS kelas C merupakan pemborosan dana publik dalam JKN. Peneliti menyarankan agar secara bertahap, namun segera, besaran bayaran CBG, khususnya untuk HD direvisi untuk keadilan pembayaran sesuai dengan rata-rata biaya pasar (average market cost) atau harga keekonomian yang layak. Besaran tarif HD harus sama antara RS kelas A sampai kelas D, tanpa ada besaran HD di RS khusus. Agar besaran tarif CBG memenuhi harga keekonomian dan perdebatan perbedaan tarif dikurangi, disarankan agar Kemenkes atau BPJS Kesehatan melakukan atau menyediakan dana yang memadai untuk riset komprehensif penetapan tarif harga keekonomian yang berkeadilan.
DAFTAR PUSTAKA Abraham S dan Ramachandran A, 2012. Estimation of Quality of Life in Haemodialisis Patients. Indian Journal of Pharmaceutical Sciences. November-December 2012, pp. 583-587. Aprilianti R, 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Idris, F. Bahan presentasi pada Dialog Nasional JKN, Jakarta 30 Mei 2016. Dor, Avi, et al, 2007. End Stage Renal Disease and Economic Incentives: The International Study of Health Care Organization and Financing (ISHCOF). Int J Health Care Finance Econ Vol. 7, pp. 73-111.
Evaluasi Pengadaan Obat JKN
63
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin
Drummond MF, et al, 2004. Methods for the Economic Evaluation for Healthcare Programmes. Third ed. New York: Oxford University Press. Foley RN, et al, 2002. Blood Pressure and Long Term Mortality in US Hemodialisis Patients: USRDS waves 3 and 4 study. Kidney Int 2002(62), pp. 1784-1790. Frankenfield DL & Johnson CA, 2002. Current Management of Anemia in Adult Hemodialisis Patients with End Stage Renal Disease (ESRD). Am J Health-Syst Pharm, Vol. 59, pp. 429-435. Kaitelidou, et al, 2005. Economic evaluation of hemodialisis: Implications for technology assessment in Greece. International Journal of Technology Assessment in Health Care, 21(1), pp. 40-46. Kalantar-Zadeh K, et al, 2009. Fluid retention is associated with cardiovascular mortality in patients undergoing long term hemodialisis. Circulation (119), pp. 671-679. Kementrian Kesehatan, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan No. 59 Tahun 2014 tentang Besaran Tarif Pelayanan Hemodialisis Era Jaminan Kesehatan Nasional. Kemenkes Jakarta. Kementrian Kesehatan, 2010. Peraturan Menteri Kesehatan No. 812/Menkes/PER/VII/2010 tentang penyelenggaraan pelayanan dialisis pada fasilitas pelayanan kesehatan. Kemenkes Jakarta. Lee A J, et al, 2005. Characterisation and Comparison of Health Related Quality of Life for Patients with Renal Failure. Current Medical Research and Opinion, Vol. 21, No. 11, pp. 1777-1783. Mendelssohn, D. C, et al, 2011. Conditionally Funded Field Evaluations – A Solution to the Economic Barrier Limiting Evidence Generation in Dialisis? Seminar in Dialysis, Vol. 24, No. 5: pp. 556-559. Novelia, Elsa. 2014. Cost Effectiveness Analysis (CEA) Penanganan Gagal Ginjal Terminal dengan Hemodialisis dan CAPD. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Pernefri, 2012. 5th annual report of IRR 2012. Indonesian Renal Registry. <www.pernefri-inasn.org> [Diunduh pada tanggal 4 Juni 2015]. Reynaga-Ornelas L, 2011. Dialisis Modality and Health Related Quality of Life of Persons with End Stage Renal Disease. Dissertation for Doctor of Philosophy. Arizona State University. Saran R, et al, 2003. Nonadherence in Hemodialisis: Assosciation with mortality, hospitalization and Practice Patterns in the DOPPS. Kidney Int 2003, Vol. 64, pp. 254-262. Suhardjono, 2007. The Development of A Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis Program in Indonesia. Peritoneal Dialysis International, Vol. 28, pp. S59-S62. Szczech LA, et al, 2002. Interactions beteen dialisis related volume exposures, nutrituinal surrogates and mortality among GGK patients. Nephrology Dialisis Transplantation, Vol. 18, Issue 8, pp. 15851591. Tajima R, et al, 2010. Measurement of Health Related Quality of Life in Patients with Chronic Kidney Disease in Japan with EuroQol (EQ-5D). Clin Exp Nephrol Vol. 14, pp. 340-348. Teerawattananon, Yot et al, 2007. Economic Evaluation of Palliative Management versus Peritoneal Dialisis and Hemodialisis for End-Stage Renal Disease: Evidence for Coverage Decisions in Thailand. International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) 1098-3015/07/61: pp. 61-72. Tentori F, et al, 2012. Longer dialisis session length is associated with better intermediate outcomes and survival among patients on in-center three times per week hemodialisis: results from the Dialisis Hasils and Practice Patterns Study (DOPPS). Nephrol Dial Transplant 0: 1-8.
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
64
Volume 1, Nomor 1
Terapi Sistemik Defisit JKN: Bahan Refleksi Bagi Semua Pihak Budi Hidaya1t Korespondensi: [email protected] Dikirimkan pada 20 Juli 2016. Ditinjau pada 25 Juli 2016. Diterima pada 27 Juli 2016.
Abstrak Defisit layak disandang sebagai penyakit kronis JKN. Indikasi defisit terungkap dari angka rasio klaim. Pada tahun 2014 dan 2015 angka rasio klaim selalu berada diatas 100%. Angka ini merupakan hasil pembagian biaya klaim (atau biaya kesehatan peserta) dengan pendapatan iuran. Dengan demikian rasio klaim menggambarkan penyerapan dana iuran untuk biaya kesehatan saja. Padahal pendapatan iuran juga harus dialokasikan untuk biaya operasional dan cadangan. Defisit JKN akan terus bergulir jika terapi sistemik nihil. Untuk tahun 2016, hasil estimasi penulis dengan merujuk pada asumsi besaran iuran sesuai Peraturan Presiden No 28/2016 (Sekretariat Kabinet, 2016) dan tarif pelayanan Permenkes 59/2014 (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2014) menemukan angka rasio klaim 101%. Artinya, pendapatan iuran masih kurang meski hanya untuk mendanai pelayanan kesehatan. Dari mana sumber dana untuk mendanai biaya operasional? Apakah JKN hanya mengandalkan suntikan dana pemerintah? Label penyakit kronis defisit layak disandang oleh JKN. Apa obatnya?
Kata Kunci: Defisit, JKN, Evaluasi
1 Guru Besar FKMUI, dan Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, FKMUI Terapi Sistematik Defisit JKN
65
Hidayat
Kontrol Biaya Klaim
Strategi pertama untuk mengerem defisit adalah mengontrol biaya klaim untuk memastikan klaim dibayar terhadap apa yang seharusnya dibayar. Secara matematis besaran biaya klaim dipengaruhi oleh nilai harga dan angka utilisasi layanan kesehatan. Untuk meredam biaya klaim maka dapat dilakukan dengan dua resep. Pertama adalah menurunkan harga layanan. Resep ini mudah dilakukan, cukup dengan merombak standar tarif pelayanan yang diatur Permenkes Nomor 59/2014 agar rasional terhadap pendapatan iuran. Namun jika opsi penurunan standar harga yang dipilih maka akan menuai masalah baru. Badai protes dari fasilitas kesehatan (faskes) akan datang silih berganti. Kualitas layanan menjadi terancam, meskipun pada produk kesehatan kualitas tidak selalu berbanding lurus dengan harga. Bahayanya, JKN akan menyandang gelar baru sebagai produk inferior. Ini yang harus dicegah. Cara kedua mengontrol biaya klaim adalah mengendalikan utilisasi yang sifatnya abnormal. Jenis utilisasi ini tidak murni disebabkan oleh kebutuhan medis pasien, namun disebabkan oleh motif lain (target income) provider. Pencetus utilisasi abnormal adalah ketidakseimbangan informasi dan peran ganda provider. Ketika berobat, pasien umumnya tidak tahu terhadap jenis layanan kesehatan apa yang dibutuhkan. Pasien akan selalu menggantungkan pemilihan terapi atas saran provider yang memang lebih mengetahuinya. Sementara provider memiliki dua peran ganda (Blomqvist, 1991), yaitu sebagai penasehat atau advisor pasien dan penyedia jasa atau supplier layanan. Kedua peran ini melekat alamiah dan tidak bisa dipisahkan. Ketika tidak ada “polisi” yang mengontrol, atau sudah ada asuradur (missal BPJS Kesehatan) namun fungsi kontrolnya mandul maka kombinasi dari ciri asimetrik informasi dengan peran ganda provider melahirkan fenomena Supplier Induced Demand (SID) yang berujung pemborosan . Fenomena SID mengglobal dalam praktik layanan kesehatan, dan terbukti empiris di banyak negara (De Jaegher and Jegers, 2000, Labelle et al., 1994, Carlsen and Grytten, 2000, Azzahrazade, 2016, Van Doorslaer and Geurts, 1987), termasuk Indonesia (Hidayat and Pokhrel, 2010, Azzahrazade, 2016). Analisis data Indonesian Family Life Survei mendeteksi fenomena SID di perkotaan yang memiliki tingkat kompetisi provider lebih tinggi dibandingkan di pedesaan (Hidayat and Pokhrel, 2010). Studi (Azzahrazade, 2016) dengan data Susenas dan Podes 2012 mengklarifikasi SID di Indonesia. Dari hasil analisis yang dilakukan dengan two-part (atau hurdle) model, Azahrazzade (2016) menemukan angka probabilitas dokter yang mendorong kunjungan pasien rawat jalan semakin tinggi seiring naiknya kompetisi dokter yang diukur dengan rasio dokter terhadap populasi. Fenomena SID memang semakin menonjol ketika kompetisi provider semakin menguat (Léonard et al., 2009), dan terjadi dalam sistem kesehatan yang mengandalkan mekanisme pasar. Ini contoh anomali dari asumsi ekonomi yang menyatakan “kompetisi dan mekanisme pasar mendorong efisiensi”. Aplikasi asumsi ini pada kesehatan ternyata menelorkan hasil sebaliknya, inefisiensi. Ketika terjadi over-supply, misalnya, kondisi ekuilibrium penawaran dan permintaan pada pasar kesehatan terjadi bukan disebabkan oleh turunnya harga layanan sebagaimana asumsi ekonomi yang berlaku pada pasar non-kesehatan, namun karena kenaikan harga. Knsumen kesehatan tetap membelinya karena supplier (dokter) berperan tidak hanya sebagai penyedia jasa tetapi juga sebagai advisor. Wujud konkrit SID bervariasi, tergantung dari pola bayar apa yang digunakan untuk membayar provider. Ketika pembayaran provider dilakukan dengan Diagnosis Related Groups (DRGs), wujud SID dapat berupa pemulangan dini pasien yang masih membutuhkan perawatan, Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
66
Volume 1, Nomor 1
atau bloody discharge (Qian et al., 2011) dengan harapan pasien berobat kembali. Bloody discharge juga terjadi akibat alokasi dana DRGs untuk perawatan pasien sudah terserap semua. Pada pelayanan rawat jalan, kaveat DRGs dapat berupa pemecahan kasus menjadi beberapa kunjungan yang mendorong lahirnya readmisi (Bjorvatn, 2013). Tidak heran jika DRGs, kecuali Indonesia, tidak lazim digunakan untuk membayar provider yang memberikan layanan rawat jalan. Altrnatifnya discount on charge yang digunakan di sejumlah negara, atau ambulatory payment classifications yang dipakai oleh program medicare di Amerika.
Pemborosan Nihilnya pengendalian membuka peluang subur utilisasi abnormal yang berujung pemborosan. Adalah sistem jaminan kesehatan di Jerman yang menerapkan audit medis untuk menelisik rekam medis, minimal 10% dari kasus klaim DRGs, yang diambil acak per tahun dari sejumlah rumah sakit sampel. Tujuannya untuk menilai apakah pasien jaminan memperoleh layanan kesehatan sesuai standar pelayanan, dan untuk mengklarifikasi apakah tagihan yang diajukan rumah sakit sejalan dengan diagnosis, serta jenis pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit kepada pasien. Di Indonesia, celah untuk meraih efisiensi terbuka lebar. Berapa triliun rupiah dana JKN yang bisa dihemat? Analisis data klaim INA-CBGs sampai bulan pembayaran Agustus 2015 menemukan 76% klaim rawat jalan (atau 36 juta kasus) merupakan kasus-kasus readmisi. Memang tidak semua kasus readmisi tergolong bermasalah, namun ada sekitar 34% (12.6 juta kasus) tergolong sebagai readmisi bermasalah dan diduga akibat motivasi SID. Dugaan SID diidentifikasi dengan kriteria jeda kunjungan pasien ke faskes sama untuk jenis penyakit yang sama antara kunjungan berikut dengan sebelumnya berada dalam rentang maksimal 7 hari. Nilai klaim atas kejadian readmisi dengan jeda antara kunjungan sebelum dan terakhir selama maksimal 7 hari mencapai Rp 5.1 triliun. Selain pelayanan rawat jalan, utilisasi abnormal terdeteksi pula pada pemanfaatan rawat inap. Angka bloody discharge yang mendorong kejadian readmisi juga menyedot dana signifikan (mencapai 4% dari total klaim rawat inap). Ada indikasi pula kasus klaim yang mengarah pada dugaan upcoding (Dafny, 2005, Berta et al., 2010) yang jika dihitung dampaknya terhadap biaya nilainya fantastis. Pembuktian empiris kasus-kasus upcoding harus dilakukan melalui audit medis. Estimasi total biaya klaim INA-CBGs yang sudah dibayarkan oleh BPJS Kesehatan sampai dengan bulan pembayaran Agustus 2015 mencapai Rp 55,9 triliun. Seandainya saja readmisi dan SID pada pelayanan rawat jalan, serta dugaan praktik upcoding dan bloody discharge pada jenis pelayanan rawat inap terdeteksi oleh radar audit medis seperti halnya di Jerman, perhitungan penulis menemukan efisiensi dana mencapai sekitar 12.6% dari total klaim. Untuk itu, BPJS Kesehatan harus mengembangkan sebuah sistem yang sanggup untuk mendeteksi kasus-kasus tersebut. Algoritma sistem sangat mudah dikembangkan, dan cukup sederhana. Luaran dari sistem pendeteksian ini adalah basis data kasus-kasus klaim yang teridentifikasi bermasalah. Data ini selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk menelusuri kasus klaim di lapangan dalam program audit medis. Dengan demikian, ketika melakukan aktivitas audit medis, para auditor tidak harus membokar jutaan klaim, namun cukup melacak kasus klaim yang sudah masuk dalam daftar bermasalah. Cara cerdas inilah yang harus dilakukan.
Terapi Sistematik Defisit JKN
67
Hidayat
Efek Domino INA-CBGs
Implikasi negatif INA-CBGs juga memberikan efek domino bagi penderitaan pasien dan sistem kesehatan. Rata-rata kunjungan berulang diantara pasien yang memanfaatkan layanan rawat jalan untuk kasus penyakit sama mencapai 4.7 per pasien. Dengan demikian readmisi berimbas tidak hanya pada pendanaan JKN tetapi juga pada pengeluaran pasien. Ketika berobat pasien sudah pasti mengeluarkan biaya transport. Biaya kesempatan, opportunity costs, pasien dan keluarga yang mendampinginya juga pasti lenyap. Penderitaan pasien semakin parah karena setiap mendatangi faskes menemui antrian sejak pendaftaran, pemanfaatan layanan sampai tahap pengambilan obat. Penderitaan pasien juga tercermin oleh adanya kasus-kasus rujukan yang mengarah indikasi dumping (Ellis, 1998). Faskes cenderung memilih pasien yang menguntungkan saja, yakni menerima pasien yang dinilai akan menghabiskan biaya lebih rendah dari tarif INA-CBGs sementara pasien yang dinilai merugikan dirujuk ke faskes lain (Newhouse, 1989). Indikasi dumping ditelisik dengan menelusuri kasus-kasus rujukan horizontal, yaitu rujukan yang diberikan oleh perujuk faskes lanjut dengan tingkatan sama dengan faskes tujuan rujukan. Estimasi penulis menemukan angka dumping 33,7% untuk rawat inap, dan 16% untuk rawat jalan. Kejadian lempar-melempar pasien cenderung naik dari bulan ke bulan sejak implementasi JKN. Angka dumping rawat jalan naik dari 11,2% pada bulan Januari 2014 menjadi 20,0% pada Juli 2015 atau naik 78% selama 18 bulan (4,3% per bulan). Pada pelayanan rawat inap, kenaikan angka dumping selama periode yang sama mencapai 63% (3,5% per bulan), naik dari 23,5% pada Januari 2014 menjadi 38,5% pada bulan Juli 2015. Meski dampak dumping relatif kecil pada efisiensi dana, fenomena ini berdampak negative bagi peserta yang menjadi objek dumping karena mereka akan dilempar dari satu faskes ke faskes lain. Ini akan menyebabkan ketidaknyamanan, dan jika dibiarkan akan berakumulasi pada ketidakpuasan peserta terhadap program JKN. Efek domino implikasi negative INA-CBGs bagi overall sistem pelayanan kesehatan adalah terjadinya penumpukan dan antrian pasien. Pada kondisi ini yang selalu disalahkan adalah program JKN. Program ini dianggap tidak matang karena infrastruktur (supply, faskes) tidak dipikirkan sejak dini. Jika saja, misal, readmisi tidak terjadi, pasien cukup sekali datang ke faskes, dan faskes tersebut dapat digunakan oleh pasien lain. Karena proporsi kasus readmisi sangat tinggi, apalagi pada kasus rawat jalan, maka secara akumulasi menyebabkan kekurangan faskes. Rasio faskes dengan penduduk baik dari sisi nakes dan tempat tidur secara teoritis sudah cukup, namun praktiknya menunjukkan kekurangan yang terdeteksi dari fenomena antrian pasien, serta dan tidak adanya ruangan. Tidak tersedianya ruang rawat inap bagi pasien JKN yang butuh pelayanan juga sering terdengar sejak implementasi JKN. Apakah ini memang murni disebabkan oleh tidak adanya ruangan atau karena fenomena dumping megingat banyak kasus pasien tidak jadi dirujuk ke faskes lain jika yang bersangkutan bersedia membayar layanan kesehatan sendiri. Disini dibutuhkan “polisi” untuk mengontrol praktik layanan kesehatan. Nihilnya kontrol akan menyebabkan pasien semakin terombang-ambing ketika mereka butuh pelayanan kesehatan. Dan cilakanya, JKN menjadi sasaran kesalahan.
Genjot Pendapatan
Strategi kedua untuk meredam defisit JKN dapat dilakukan dengan menggencot pendapatan JKN. Pendapatan dipengaruhi oleh besaran iuran dan jumlah peserta. Untuk itu, langkah sisteJurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
68
Volume 1, Nomor 1
mik yang harus dilakukan adalah menaikkan nilai iuran. Sayangnya revisi iuran yang dituangkan dalam Peraturan Presiden 28/2016 (Sekretariat Kabinet, 2016) masih jauh berada dibawah nilai ideal. Tampak disini pemerintah ragu menjadikan JKN sebagai produk superior. Cara kedua membenahi pendapatan adalah membangun tata kelola kepesertaan. BPJS Kesehatan tidak hanya focus mendorong jumlah peserta, tetapi harus memperhatikan pada kelompok mana prioritas harus dibidik sedini mungkin, serta bagaimana memastikan mereka konsisten membayar iuran. Sistem inilah yang harus dibangun. Rubah pola pikir atau mindset masyarakat untuk menyikapi klausul “wajib” dalam UU SJSN menjadi sebuah “kebutuhan”. Mereka yang butuh tentunya akan berupaya memenuhi kebutuhannya. Sholat lima waktu adalah rukun Islam, dan kewajiban mutlak bagi kaum muslim. Seorang muslim yang taat akan selalu mengerjakan Sholat sebagai wahana dalam memenuhi kebutuhan melepas rindu untuk berjumpa dengan Allah. Ini contoh perubahan mindset kewajiban menjadi kebutuhan yang tampaknya perlu ditularkan bagi masyarakat Indonesia dalam menyikapi JKN. Sosialisasi dan edukasi publik terkait keberadaan dan seluk beluk JKN harus dilakukan terus menerus untuk membangun mindset tersebut.
Intervensi Sistemik, Kumpulan PR
JKN membutuhkan intervensi sistemik yang harus menembak pada sumber masalah defisit. Upaya menaikkan peserta tidak serta merta akan mampu meredam defisit JKN. Meskipun seluruh penduduk Indonesia masuk program JKN, dengan merujuk struktur tariff yang diatur Permenkes 69/2014 dan nilai iuran PerPres 28/2016, JKN akan tetap menyandang label penyakit kronis defisit karena kenaikan peserta secara proporsional tidak sebanding dengan kebutuhan biaya kesehatan per orang per bulan. Dengan demikian upaya kenaikan peserta harus dibarengi dengan upaya pengendalian, rasionalisasi harga layanan dan perbaikan nilai iuran. Ini paket sistemik untuk mentralisir defisit JKN. Terkait intervensi pengendalian, JKN membutuhkan pelembagaan manajemen telaah utilisasi (utilization review) komprehensif untuk menjamin kualitas dan kontrol biaya. Aplikasi sistem informasi teknologi harus digunakan untuk mendeteksi kasus-kasus klaim yang bermasalah. Audit medis sebagai bagian dari aktivitas retrospektif telaah utilisasi untuk menelisik kasus-kasus klaim yang masuk dalam daftar hitam implikasi INA-CBGs (readmisi, bloody discharge, dan upcoding) juga harus dilakukan. Audit medis ini tentunya harus didukung oleh regulasi untuk memuluskan pelaksanaan ketika auditor membongkar berkas rekam medis pasien yang tersimpan disetiap faskes. Selain intervensi sistemik diatas, dalam jangka panjang, permasalahan hulu terkait dengan skema pembayaran INA-CBGs, yakni klasifikasi penyakit, harus segera diselesaikan. Aplikasi DRGs, sejak INA-DRG (Jamkesmas) sampai INA-CBGs (JKN), belum pernah dilakukan evaluasi klasifikasi penyakit secara komprehensif yang digunakan sebagai dasar dalam pengelompokkan DRGs. Padahal ada sejumlah DRGs yang belum pernah muncul kasusnya. Atau kasus DRG sudah muncul, namun jumlahnya relatif kecil sehingga secara statistik tidak memadai digunakan dalam penentuan bobot tarif. Ini yang harus dituntaskan segera. Jika tidak, permasalahan tinggi/ rendahnya tariff pada kelompok DRGs tertentu dibandingkan dengan tariff rumah sakit akan tetap mengemuka sepanjang masa. Inovasi metode pembayaran provider juga harus dibangun untuk menanggalkan kelemahan metode bayar yang digunakan dalam JKN. Inovasi potensialnya adalah bagaimana mengkombinasikan Kapitasi dan INA-CBGs dengan Pay-For-Performance. Apa indikator kinerja yang Terapi Sistematik Defisit JKN
69
Hidayat
perlu digunakan untuk kemudian dilebur dalam skim Kapitasi dan INA-CBGs? Ini juga pekerjaan lanjutan yang harus difikirkan sedini mungkin.
Kesimpulan
Dari uraian dimuka, artikel ini menyimpulkan bajwa ada empat intervensi sistemik yang bisa dijalankan untuk meredam defisit: rasionalisasi harga, pelembagaan pengendalian, revisi nilai iuran, serta membangun manajemen kepesertaan. Keempat intervensi sistemik tersebut harus dilakukan simultan, serta melibatkan semua pelaku inti dalam program JKN. Implementasi berbagai kebijakan yang terkandung dalam program JKN (missal reformasi pembayaran provider: Kapitasi dan INA-CBGs) tengah mendatangkan pekerjaan baru. Mempertahankan apa yang baik, dan berupaya terus untuk memperbaiki kelemahan adalah hal logis. Ini terjadi diseluruh dunia. Reformasi jaminan kesehatan tidak pernah berhenti. Maju dan benahi terus JKN. Rakyat BUTUH, jangan sampai mereka membencimu.
Daftar Pustaka
Azzahrazade 2016. Supplier Induced Demand on Outpatient Care in Indonesia: Analysis of National Social Economic Survey 2012. Faculty of Public Health, Universitas Indonesia, 1. Berta, P., Callea, G., Martini, G. & Vittadini, G. 2010. The effects of upcoding, cream skimming and readmissions on the Italian hospitals efficiency: A population-based investigation. Economic Modelling, 27, 812-821. Bjorvatn, A. 2013. Hospital readmission among elderly patients. The European Journal of Health Economics, 14, 809-820. Blomqvist, K. 1991. The doctor as double agent: Information asymmetry, health insurance, and medical care. Journal of Health Economics, 10, 411-432. Carlsen, F. & Grytten, J. 2000. Consumer satisfaction and supplier induced demand. Journal of Health Economics, 19, 731-753. Dafny, L. S. 2005. How Do Hospitals Respond to Price Changes? American Economic Review, 95, 1525-1547. De Jaegher, K. & Jegers, M. 2000. A model of physician behaviour with demand inducement. Journal of Health Economics, 19, 231-258. Ellis, R. P. 1998. Creaming, skimping and dumping: provider competition on the intensive and extensive margins1. Journal of Health Economics, 17, 537-555. Hidayat, B. & Pokhrel, S. 2010. The Selection of an Appropriate Count Data Model for Modelling Health Insurance and Health Care Demand: Case of Indonesia. International Journal of Environmental Research and Public Health, 7, 9-27. Labelle, R., Stoddart, G. & Rice, T. 1994. A re-examination of the meaning and importance of supplier-induced demand. Journal of Health Economics, 13, 347-368. Léonard, C., Stordeur, S. & Roberfroid, D. 2009. Association between physician density and health care consumption: A systematic review of the evidence. Health Policy, 91, 121-134. Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, R. I. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1287, 1-17. Newhouse, J. P. 1989. Do unprofitable patients face access problems? Health Care Financing Review, 11, 33-42.
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
70
Volume 1, Nomor 1
Qian, X., Russell, L. B., Valiyeva, E. & Miller, J. E. 2011. ‘Quicker And Sicker’ Under Medicare’s Prospective Payment System For Hospitals: New Evidence On An Old Issue From A National Longitudinal Survey. Bulletin of Economic Research, 63, 1-27. Sekretariat Kabinet, R. I. 2016. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2016 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 62, 1-8. Van Doorslaer, E. & Geurts, J. 1987. Supplier-induced demand for physiotherapy in the Netherlands. Social Science & Medicine, 24, 919-925.
Terapi Sistematik Defisit JKN
71
Hidayat
Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Gedung G Lantai 3 Ruang 311 Depok 16424 Telepon/Faks: (021) 12345678 E-mail: [email protected]
ISSN 2527-8878