JURNAL BINA ADMINISTRASI MEDIA PENAMBAH WAWASAN ILMU DAN PRAKTEK ADMINISTRASI
Peranan Restrukturisasi Organisasi Terhadap Efektivitas Organisasi Pelayanan Publik Dr. Yeti Rohayati, Dra.,M.Si Pengaruh Pengembangan Produk Terhadap Peningkatan Volume Penjualan Dr. Mulyaningsih, Dra.,M.Si Implementasi Kebijakan Program Beras Miskin (Raskin) di Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung Susniwati, S.Sos.,M.Si Peranan Lingkungan Internal Organisasi Dalam Meningkatkan Kinerja Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung Drs. Thomas Priyono, M.Si Hubungan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dengan Kepolisian dan Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Penegakkan Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia Dra. Ani Surtiani, M.Si Transformasi Dalam Teori Manajemen Dengan Pendekatan Sistem Drs. Bambang Soeprapto, MM
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) BANDUNG Jl. Muararajeun Lama No. 51 Bandung Telp. 022-7237395, email:
[email protected]
ILMU ADMINISTRASI NEGARA (PUBLIK) dan NIAGA (BISNIS) Volume II Nomor 2 Halaman 001–090 April 2015 ISSN: 24077879
Page |i
JURNAL BINA ADMINISTRASI
Volume II Nomor 2 April 2015
Jurnal Bina Administrasi adalah media penambah wawasan ilmu administrasi, juga sebagai wadah penyebarluasan hasil-hasil penelitian, analisis, kajian dan/atau gagasan ilmiah di bidang ilmu administrasi Penerbit Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) BANDUNG SUSUNAN REDAKSI Penanggung Jawab Ketua STIA BANDUNG Penelaah Prof. Dr. K. Suhendra, Drs.,SH.,M.Si Prof. Dr. Hj. Sedarmayanti, M.Pd.,APU Dr. JatJat Wirijadinata, Mag.rer.publ. Redaktur Dr. Kurhayadi, Drs.,M.Si Deden Hadi Kushendar, S.Si.,M.Si Tim Redaksi Susniwati, S.Sos.,M.Si Dra. Ani Surtiani, M.Si Aep Saepudin, S.Sos Alamat Redaksi Jalan Muararajeun Lama No.51 Bandung email:
[email protected] Telp./Fax: 022-7237395
Terbit dua kali setahun (bulan April dan bulan Oktober)
P a g e | ii
DAFTAR ISI Susunan Redaksi ----------------------------------------------------------------------------
i
Daftar Isi --------------------------------------------------------------------------------------
ii
Dari Redaksi ---------------------------------------------------------------------------------
iii
Editorial (Tantangan SDM Sektor Publik) ---------------------------------------------
iv
Peranan Restrukturisasi Organisasi Terhadap Efektivitas Organisasi Pelayanan Publik --------------------------------------------------------------------------- 1 – 9 Dr. Yeti Rohayati, Dra.,M.Si Pengaruh Pengembangan Produk Terhadap Peningkatan Volume Penjualan ------------------------------------------------------------------------------------ 10 – 18 Dr. Mulyaningsih, Dra.,M.Si Implementasi Kebijakan Program Beras Miskin (Raskin) di Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung -------------------------------- 19 – 37 Susniwati, S.Sos.,M,Si Peranan Lingkungan Internal Organisasi Dalam Meningkatkan Kinerja Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung ------------------------------------------- 38 – 63 Drs. Thomas Priyono, M.Si Hubungan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dengan Kepolisian dan Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Penegakkan Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia -------------------------------------------------- 64 – 83 Dra. Ani Surtiani, M.Si Transformasi Dalam Teori Manajemen Dengan Pendekatan Sistem ----------- 84 – 89 Drs. Bambang Soeprapto, MM
Ketentuan Penulisan Artikel -------------------------------------------------------------
90
Page |1 PERANAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI PELAYANAN PUBLIK Yeti Rohayati Dosen STIA Bandung ABSTRACT The Government Regulation Number 41/2007, declared that the main function of the local institutions are public service. In the reality, this functions has been not yet carried out effectively. There are two phenomenon as follow: 1. The quality and quantity of administrative - work and financial monthly report had not in line with the work - standard at the Local Income Administration Body. 2. There is still unsufficient level of the work - efficiency. For instance to find out the citizen data, needs 2 days instead of 10 minutes in the inhabitants administration local Institution. Those phenomenon are assumed that there are still mis- management in division of work which based on the work load analysis, work mechanism, sufficient supervision, even may be the division of authority and departmentation, so as the restructuring as well. To analyse these problem, the writer use the concept of restructuring from several experts such as Sutarto (1987:37), Antoni (1996:637), Stoner dan Freeman (1996:417) as follows: Restructuring is the organization development as the process of the aligning organization structure with the goals, resources, and the environment. Besides these concept, Steers (Jamin 1995:206) contributes in organization effectiveness and declared that effectiveness and efficiency are the indicators of productivity. The results of the study are as follows: 1. The Local Government Number 10/2007, about the Formulation of Local Government Secretary and The Local Legislative Secretary , in fact are not work effectively yet. There are still work duplication especially in operational function. 2. The main Public service function , nowadays has not work enough effectively and efficiently . Based on the study above, it is suggested that the formation of the organization,in Bandung City Government, especially the operational work units to be inhaerent with the needs and the human resources competence. A.
PENDAHULUAN Pembangunan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan kesejahteraan masyarakat. Sasaran pembangunan antara lain untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum. Konsep New Public
Service sebagai konsep yang merespons kelemahan konsep New Public Management yang belum mempertimbangkan pelayanan yang bersifat public goods, menghendaki komitmen tinggi dalam membantu merumuskan
Page |2 kebutuhan pelayanan masyarakat secara otomatis tanpa harus diminta. Pemberian pelayanan umum oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat merupakan perwujudan fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat dan sebagai abdi negara. Dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi yang berpengaruh terhadap lingkungan kehidupan masyarakat di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, maka tuntutan pemenuhan berbagai kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 pasal 14, maka daerah wajib melakukan perencanaan dan pengendalian pembangunan: penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanganan masalah sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan koperasi usaha kecil dan menengah, pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan, pelayanan kependudukan dan catatan sipil; pelayanan administrasi penanaman modal; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Pemberian pelayanan umum oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat merupakan perwujudan fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat dan sebagai abdi negara. Misalnya: Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang tugas pokok dan fungsi dinas-dinas daerah, badan yang ada di pemerintahan untuk melaksanakan fungsi pelayanan pada masyarakat sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Dalam menghadapi otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab sebagaimana diamanatkan oleh Undangundang dimaksud, pelaksana tugas pokok dan fungsi yang wajib dilaksanakan berdasarkan peraturan daerah, pada saat ini belum dikatakan efektivitas, maka sangatlah wajar apabila organisasi dinasdinas daerah ini melalui upaya restrukturisasi organisasi atau kelembagaan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2007. Untuk meningkatkan efektivitas organisasi sesuai dengan tujuan dan sasaran pelaksanaan reformasi birokrasi di lingkungan pemerintah. Berdasarkan hal tersebut di lapangan seringkali terdapat kendala-kendala dalam meningkatkan efektivitas organisasi yang ditandai dengan indikator sebagai berikut : 1. Produksi hasil kerja pegawai belum memadai, atau hasil kerja tidak sesuai dengan harapan organisasi. Contoh : Pada Dinas Pendapatan Daerah masih terdapat para pegawai dalam penyusunan pelaporan bulanan kegiatan ketatausahaan dan administrasi keuangan jumlah dan kualitas kerjanya tidak sesuai dengan harapan organisasi. 2. Efisiensi kerja pegawai tidak sesuai dengan harapan. Contoh : Pada Dinas Kependudukan karena kurangnya perangkat dalam penanganan informasi kependudukan menyebabkan waktu yang diperlukan untuk menemukan data kependudukan cukup lama bisa mencapai dua hari seharusnya cukup sepuluh menit saja. Fenomena masalah di atas diduga disebabkan oleh dimensi-dimensi restrukturisasi, baik mengenai jumlah jabatan, kejelasan tugas, sumber dan tingkat kewenangan organisasi atau
Page |3 kelembagaan belum dilaksanakan oleh pimpinan sesuai aturan yang berlaku. B.
PEMBAHASAN Secara konseptual, pengertian terhadap kebijakan publik berdasarkan asumsi dan kerangka berfikir yang diungkapkan oleh Dye dalam Mangkunegara (2003:3) bahwa: Kebijakan publik adalah apa saja yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan publik merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah mengenai suatu masalah, apa yang dapat menyebabkan atau yang dapat mempengaruhinya, dan apa pengaruh dan dampak dari kebijakan publik tersebut. Penjelasan tersebut di atas mengandung makna bahwa pemerintah memiliki kewenangan dalam proses pengambilan keputusan publik baik berupa tindakan yang harus dilakukan maupun tidak dilakukan untuk mengatasi suatu masalah publik yang timbul oleh suatu penyebab tertentu dan dampak yang ditimbulkannya kepada publik atau masyarakat. Keputusan pemerintah tersebut dapat dilakukan sendiri maupun melalui kesepakatan kerja sama dengan pihak lain di luar unsur kepemerintahan. Dalam hal ini Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2007 tentang pembentukan organisasi Sekda dan Sekwan dinilai masih adanya tumpang tindih pekerjaan, khususnya bagi pegawai level operasional. Suksesnya suatu implementasi kebijakan dapat dilihat dari akibat yang ditimbulkan sebagai konsekuensi hasil daripada implementasi kebijakan. Pada sisi lain, keberhasilan implementasi
kebijakan bergantung kepada penempatan orang yang memiliki kemampuan serta penempatan orang yang memiliki rasa tanggung jawab untuk melaksanakan tugas dengan sebaikbaiknya. Hal tersebut menunjukkan bahwa implementasi suatu kebijakan akan berpengaruh terhadap optimalisasi hasil daripada kebijakan yang telah dirumuskan dan hal tersebut dapat pula disejajarkan dengan proses konversi dalam mekanisme suatu sistem, sehingga output yang dihasilkan akan sesuai dengan target yang hendak dicapai Kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong perkembangan kemajuan, membuka masa depan dan memberi harapan kehidupan masa yang akan datang. Hal tersebut mengakibatkan adanya berbagai keterbukaan disemua kehidupan masyarakat di dunia, sehingga menimbulkan persaingan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hanya di negara yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu memenangkan persaingan tersebut, karena kunci kemampuan daya saing adalah manusia yang berkualitas sehingga mampu menciptakan keunggulan kompetitif. Perubahan struktur organisasi adalah perubahan yang dilakukan terhadap sebagian atau secara keseluruhan struktur organisasi dalam rangka mencari bentuk yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi atau yang dikenal dengan istilah restrukturisasi organisasi. Restrukturisasi menurut Sutarto (1987:37) adalah : Menambah satuan, mengurangi satuan, merubah kedudukan satuan, menggabung beberapa satuan yang lebih besar, memecah satuan besar menjadi satuan-satuan yang lebih
Page |4 kecil, merubah luas sempitnya rentangan kontrol, merinci kembali kegiatan atau tugas, menambah pejabat, mengurangi pejabat. Restrukturisasi menurut Antoni (1996:637) adalah "any major change in the way an organization operates" (setiap perubahan yang besar dalam menjalankan operasi organisasi). Restrukturisasi organisasi perlu dilakukan dalam suatu organisasi agar tetap survive. Restrukturisasi mempunyai pengertian sebagai penataan dan penyusunan kembali struktur organisasi kearah yang lebih menguntungkan dan lebih baik bagi pegawai maupun organisasi. Pengertian restrukturisasi menurut Stoner dan Freeman (1996:417) yang diterjemahkan oleh Ali adalah "Restrukturisasi adalah pengembangan organisasi dengan tujuan sebagai proses penyesuaian struktur organisasi dengan tujuan, sumber daya, dan lingkungannya". Menurut Bennis dan Micsche dalam Sedamayanti (1999:4) mengatakan bahwa "Restrukturisasi adalah suatu proses yang mengubah budaya organisasi dan menciptakan proses, sistem, struktur, dan cara baru untuk mengukur efektivitas dan keberhasilannya". Bennis dan Micsche dalam Sedamaryanti (1999:59) mengatakan bahwa : Restrukturisasi adalah tindakan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas organisasi melalui perubahan status hukum, organisasi, dan pemilikan saham, dimana restrukturisasi merupakan penataan kembali atau rekayasa ulang struktur organisasi untuk menghadapi tantangan masa depan dengan dimensi (1) jumlah jabatan. (2)
kejelasan tugas, dan (3) sumber dan tingkat kewenangan. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa restrukturisasi merupakan penataan kembali akan merekayasa ulang struktur organisasi untuk menghadapi tantangan masa depan dengan membutuhkan metode baru, keterampilan baru, struktur baru, atau dengan kata lain organisasi baru. Restrukturisasi organisasi yang tepat, akan memberdayakan seluruh potensi yang dimiliki organisasi, sehingga akan menghasilkan dan meningkatkan efektivitas kerja, yang pada akhirnya mampu memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat pelanggan. Steers dalam Jamin (1995:7-8) memberikan pandangan yang mendasar mengenai efektivitas organisasi, yaitu : pada hakekatnya terdapat faktor-faktor penyokong keberhasilan akhir suatu organisasi, diantaranya : 1. Karakteristik organisasi 2. Karakteristik lingkungan 3. Karakteristik pekerjaan 4. Kebijakan dan praktek manajemen Karakteristik-karakteristik di atas dapat memperlancar dalam mencapai keberhasilan tujuan organisasi. Lebih jauh Steers dalam Jamin (1985:159) mengemukakan bahwa: Beberapa hal yang diidentifikasi dan dianggap dapat memperlancar pencapaian tujuan dan efektivitas organisasi antara lain: 1. Penyusunan tujuan strategis 2. Pencarian dan pemanfaatan sumberdaya 3. Lingkungan organisasi 4. Proses komunikasi 5. Kepemimpinan dan pengambilan keputusan 6. Adaptasi dan motivasi organisasi
Page |5
Selanjutnya Steers dalam Jamin (1995:206) mengemukakan bahwa : “efektivitas berhubungan erat dengan produktivitas dan efisiensi, dimana efektivitas dan efisien merupakan indikator dari produktivitas.” Efektivitas mengacu kepada pencapaian target secara kuantitas dan kualitas suatu sasaran program yang tercapai makin tinggi tingkat efektivitasnya. Efektivitas berkaitan dengan kualitas, sedangkan efisiensi merupakan refleksi hubungan antara output dan input yang bersifat kuantitas. Efektivitas merupakan suatu usaha secara implisit mengandung makna kualitas dan kuantitas. Dharma (2003:82) mengemukakan bahwa : “Efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju”. Efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumberdaya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Selanjutnya Dharma (2003:84) mengemukakan bahwa masalah efektivitas biasanya berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan. Efektivitas manajemen sebagaimana efektivitas pendidikan lainnya pada umumnya dapat dilihat berdasarkan teori sistem dan dimensi waktu. Berdasarkan teori sistem, kriteria efektivitas harus mencerminkan keseluruhan siklus input proses-output, tidak hanya output, serta harus mencerminkan hubungan timbal balik antara manajemen dan lingkungan sekitarya. Adapun berdasarkan dimensi waktu, efektivitas manajemen dapat diamati dalam jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang. Efisiensi merupakan aspek yang sangat penting dalam manajemen sekolah karena sekolah umumnya dihadapkan pada masalah kelangkaan sumberdana, dan secara langsung berpengaruh terhadap kegiatan manajemen. Suatu kegiatan dikatakan efisien jika tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumberdaya yang optimal. Dharma (2003:89) mengemukakan bahwa efisiensi mengacu pada ukuran penggunaan sumber daya yang langka oleh organisasi. Efisiensi juga merupakan perbandingan antara input, output, tenaga dan hasil, perbelanjaan dan masukan, biaya, serta kesenangan yang dihasilkan. Standar efektivitas organisasi perlu dirumuskan untuk dijadikan tolak ukur dalam mengadakan perbandingan atas apa yang dilakukan dengan apa yang diharapkan. Standar yang dimaksud dapat pula dijadikan sebagai ukuran dalam pertanggungjawaban apa yang dilakukan. Peneliti akan mengemukakan pengertian efektivitas organisasi yang dikemukakan oleh Gibson et.al. (1996:50), alih bahasa oleh Adriani yang meliputi 6 (enam) kriteria efektivitas organisasi sebagai berikut : 1. Produksi mencerminkan kemampuan organisasi dalam menghasilkan sejumlah barang dan jasa seperti yang dituntut oleh lingkungan. Konsep tidak termasuk pertimbangan efisiensi. 2. Mutu telah muncul sebagai bagian penting dalam ekonomi global. Didefinisikan sebagi memenuhi harapan pelanggan dan klien untuk kinerja produk dan jasa, dengan ukuran dan penilaian mutu berasal dari pelanggan dan klien. 3. Efisiensi diartikan sebagai rasio keluaran dibanding masukan.
Page |6
4.
5.
6.
Kriteria jangka pendek ini memfokuskan pada siklus masukanproses-keluaran, dan bahkan menekankan pada elemen masukan dan proses. Ukuran efisiensi termasuk tingkat pendapatan (rate of return) dari kapital dan aset, unit biaya, bahan buangan dan pemborosan, waktu berhenti, tingkat hunian, dan biaya per pasien, per siswa, atau per klien. Ukuran efisiensi tidak bisa harus dalam bentuk rasio, rasio manfaat versus biaya, keluaran, atau waktu adalah bentuk umum ukuran ini. Fleksibilitas respon tumbuh sebagai penentu kritis efektivitas jangka pendek dengan istilah khusus menyangkut kemampuan organisasi untuk mengalihkan sumberdaya dari aktivitas yang satu ke aktivitas yang lain guna menghasilkan produk dan pelayanan yang baru dan berbeda, menanggapi permintaan pelanggan. Kepuasan ditujukan pada perasaan karyawan terhadap pekerjaan mereka dan peran di organisasi. Kepuasan dan moral merupakan istilah yang serupa yang ditujukan pada seberapa besar organisasi memuaskan kebutuhan karyawan. Ukuran kepuasan termasuk sikap karyawan, keluar masuk karyawan, tingkat absensi, keterlambatan dan keluh kesah. Pengembangan menjamin efektivitas organisasi melalui investasi sumber daya guna memenuhi permintaan lingkungan mendatang. Meskipun secara umum menggunakan sumberdaya dengan cara ini mengurangi hasil efektivitas jangka pendek. Kemampuan bersaing dan pengembangan harus dilakukan menjawab perubahan lingkungan. Kemampuan bersaing menunjukkan
kemampuan organisasi untuk tetap menjadi pemain yang diperhitungkan di pasar yang telah ditetapkan. Kriteria efektivitas organisasi di atas merupakan tolak ukur dalam melihat keberhasilan kerja organisasi dalam mencapai tujuannya. Keterkaitan antara restrukturisasi dengan efektivitas organisasi, peneliti mengambil pendapat Mas’ud (1984:76) yang mengutarakan bahwa: “Restrukturisasi organisasi: sesuatu yang direncanakan, proses yang sistematis yang menerapakan azasazas dan praktek ilmu perilaku yang dikenalkan dalam kegiatan organisasi secara terus menerus untuk mencapai tujuan penyempurnaan organisasi secara efektif, wewenang organisasi yang lebih besar serta efektivitas kerja lebih besar”. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa konsep restrukturisasi merupakan kegiatan berencana dari sebuah organisasi melalui penataan kembali berbagai aspek organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan kesehatan organisasi. C. PENUTUP Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan restrukturisasi organisasi secara empirik telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan efektivitas organisasi pelayanan publik, baik secara parsial maupun simultan. Walaupun pelaksanaannya secara umum belum sepenuhnya didasarkan pada dimensi-dimensi restrukturisasi
Page |7
2.
3.
organisasi, yang meliputi jumlah jabatan, kejelasan tugas dan dimensi sumber dan tingkat kewenangan sehingga pelaksanaannya perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Restrukturisasi organisasi, tidak hanya ditentukan oleh dimensi jumlah jabatan, kejelasan tugas dan tingkat kewenangan, tetapi juga ditentukan oleh faktor lain yang mempengaruhi efektivitas organisasi pelayanan publik. Secara simultan restrukturisasi organisasi telah memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap efektivitas organisasi pelayanan publik. Hal ini mengandung makna bahwa restrukturisasi organisasi yang selama ini dilaksanakan oleh Pemerintah belum sepenuhnya berjalan secara efektif, sehingga mempengaruhi efektivitas organisasi pelayanan publik. Oleh karena itu dalam pelaksanannya perlu lebih ditingkatkan. Bahwa secara parsial restrukturisasi organisasi dalam pelaksanaannya harus sesuai kebutuhan dan keahlian, Oleh karena itu perlu ditingkatkan juga dalam pelaksanannya agar efektivitas organisasi pelayanan publik untuk dapat meningkatkan efektivitas organisasi pelayanan publik disarankan perlu adanya optimalisasi pelaksanaan kebijakan tentang pembentukan dan susunan organisasi lembaga teknis dan dinas daerah di Kota Bandung terutama pada tataran kebijakan yang bersifat teknis.
DAFTAR PUSTAKA Agustino, Leo. 2006. Politik & Kebijakan Publik, Bandung : AIPI Bandung dan Puslit KP2W Lemlit Unpad Arikunto, Suharsimi. 1998. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Bechard, Richard. 1977. Behavior in Organizations A System Approach to Managing. Philipines : Addison – Wesley Publishing Company. Bennis, Warren, G. 1981. Organizational Behavioral. Mc Graw Hill International Book Company, 3ed. Davis, Keith. 1985. Human Behavior at Work Organizational Behavior. Canada : Mc. Graw Hill. Dawud, Joni, 2006, Aspek-aspek yang Mempengaruhi Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah, Bandung : Humaniora Dharma, Agus. 2003. Perilaku Organisasi dan Manajemen. Jakarta : Erlangga. Dunn, N William. 1999. Public Policy Analysis. an introduction. California : Prentice Hall. Dwiyanto, Agus & Bevaola. 2000. Policy Brief. Centre Population and Policy Studies. UGM Yogyakarta Edwards III, George, 1980, Implementing Publik Policy, Washington DC : Congresional Quartely Press Gibson, James L. John M. Ivancevich. James H. Donnelly, Jr. 1996. Organisasi. Alih Bahasa Nunuk Adriani. Jilid I dan II. Jakarta : Binarupa Aksara. Gomes, Faustino C. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta : ANDI OFFSET Handayaningrat. 1998. Efektivitas Kerja Dalam Organisasi. Jakarta: Elex Media Komputindo. Handoko, Hani. 1992. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua. Yogyakarta : BPFE.
Page |8 Hasibuan, Malayu, 1997, Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah, Jakarta : PT. Gunung Agung _______________. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi ke 6. Jakarta: Erlangga. Islamy, Irfan. M. 2004. Kebijakan Publik, Jakarta : Karunika. Kotler, Philip. 1991. Marketing Management, Analysis, Planning, Implementation & Control. Prentice Hall International Edition, Eighth Edition _____, Philip. 1994. Manajemen Pemasaran, Analisis, Perencanaan, Implemen-tasi dan Pengendalian. Terjemahan Supranto. Printice Hall Edisi Indonesia. Jakarta Kristiadi, J.B. 1998. Deregulasi dan Debirokratisasi dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan, Pembangunan Administrasi di Indonesia. LP3ES. Jakarta Mangkunegara, Anwar Prabu. 2003. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung : Refika Aditama. Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A. 1986. Effective Policy Implementation. New York : University Press of America. ________. 1988. Implementation and Public Policy. Colorado : New Harper Press Ltd. Mas’ud. 1984. Prinsip-Prinsip Manajemen Kepegawaian. Jakarta : Erlangga. Mustopadidjaja, 2000, Manajemen Proses Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi dan Evaluasi Kinerja, Jakarta : LAN RI – Duta Pertiwi Foundation Nawawi, Hadari. 1998. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Ndraha, Taliziduhu. 1997. Konsep Administrasi dan Administrasi di Indonesia. Bina Aksara. Jakarta Nigro, Felix A. and Nigro, Lloyd G. 1983. Modern Public Administration. California : Harper and Row. Nitisemito. Alex S. 1996. Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daya Manusia). Jakarta: Ghalia Indonesia. Notoatmodjo, Pranoto. 2003. Ekologi Administrasi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Press. Osborne, David and Ted Gaebier. 1986. Reinventing Government, How The Entepreneurial Spirit Is Transforming The Public Sector. USA : Addison Wesley Publishing Company Inc. Pamudji, S. 1997. Praktek Organisasi dan Metode. Jakarta : Pusat Pendidikan Departemen Dalam Negeri. Pfiffner, John Mc Donald. 1975. Principles of Public Administration. California : Ronald Press. Poerwadarminta. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Rucky, Achmad S. 2003. Sumber Daya Manusia Berkualitas, Mengubah Visi menjadi Realitas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Saefullah, A., Djadja, 2007, Pemikiran Kontemporer Administrasi Publik : Perspektif Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Era Desentralisasi, Bandung: LP3AN FISIP UNPAD. Sedamaryanti. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Elex Media Komputindo. Siagian. Sondang P. 1997. Administrasi dan Manajemen Publik. Jakarta : Erlangga. Simamora, Henry. 1997. Munajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua. Yogyakarta : STIE YKPN.
Page |9
Simbolon, Robert. 1998. Manajemen Pelayanan Publik. Rajawali. Jakarta Soedjadi, F.X. 1989. Analisis Manajemen Modern Kerangka Berpikir dan Beberapa Aplikasinya. Jakarta : PT. Toko Gunung Agung.Stoner and Freeman. 1992. Human Resources Management for Public Administration. 2 ed. Prentice Hall. ____________ 1994. Human Resources Management for Public Administration. 3 ed. Prentice Hall. Sugiyono. 2000. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alphabeta. Supranto, J. 1997. Pengukuran Tingkat Kepuasan, Pelanggan Untuk Menaikan Pangsa Pasar, Jakarta, Rineka Cipta. Sutarto. 1987. Perubahan Struktur Organisasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Thoha, Miftah. 1995. Perspektif Perilaku Birokrasi. Rajawali. Jakarta
Thomas, R. Dye. 1994. Study of Public Policy. New York : Meridian Books, Ltd. Wahab, Solichin, Abdul, 1997. Analisis Kebijaksanaan ; Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : PT. Bumi Aksara Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah Kota Bandung.
P a g e | 10 PENGARUH PENGEMBANGAN PRODUK TERHADAP PENINGKATAN VOLUME PENJUALAN (Suatu Studi Tentang Penjualan Sepatu Sport Pria pada Pabrik Sepatu Di Lingkungan Industri Kecil Kota Bandung) Mulyaningsih Dosen STIA Bandung ABSTRACT The study done to answer the question of, true role of the product development on the sales volume in Kogawa shoes factory as a small scale bisniss in Bandung City. The method used in the study is the qualitative descriptive approach. The object of the study is analyzed by using Business Administration Theory espescially the marketing management aspect. The population of the study consists of the small scale business industry, Kogawa Shoes Factory in Bandung City, and the customers. Product development has been done by Kogawa as a strategy to going concern by producing the various type and style of men, women, and sports shoes. The result of the study can be summerized as follows: 1) The product development programme in the smalll scale industry has the positive impact on the shoes sales volume and to the shoes small scale industry’s growth . The customers have more product choice. In this case the enterprise should always be being active to carry out dynamically the product development programme, to fulfill the customers needs then followed by the marketing programme intensive and extensively. 2) The marketing mix strategy, (product policy, price, promotion, product, and distribution) should be carried out as a marketing programm to influence the market share. Marketing mix should be done conciously, to be well planned, to maintain , and to reevaluate the product design to be accordance with the customers needs as the activities in product development. 3) It is recomended that Kogawa Shoes Factory should develope the style, size, quality of product to create the customers’ convenience, and last but not least to increase the volume of sales. A.
PENDAHULUAN Pembangunan perekonomian yang pesat di Indonesia sekarang ini hampir meliputi segala bidang. Pada dasarnya tujuan utama pembangunan adalah menciptakan masyarakat adil dan makmur, hanya akan tercapai apabila faktor kebutuhan utama, yaitu sandang,pangan dan perumahan terpenuhi, oleh sebab itu pemerintah memberikan perhatian yang besar terhadap kebutuhan tersebut. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pemerintah melaksanakan pembangun-
an berdasarkan azas keseimbangan struktur ekonomi, diantaranya terdapat kemampuan dan kekuatan industri kecil yang maju didukung oleh kekuatan dan kemampuan pertanian yang tangguh. Pembangunan industri ditujukan untuk memperluas kesempatan kerja, memeratakan kesempatan berusaha, meningkatkan ekspor, menghemat devisa, menunjang pembangunan daerah dan memanfaatkan sumber alam dan energi serta sumber daya manusia. Dampak dari keadaan tersebut,sangat mempengaruhi perkembangan sektor
P a g e | 11 industri, terbukti dengan terus meningkatnya jumlah perusahaan di bidang industri dalam hal kebutuhan sandang, diantaranya perusahaan sepatu. Dengan semakin banyaknya perusahaan sepatu, maka akan memberikan kesempatan kepada konsumen untuk mendapatkann pilihan yang lebih beragam sesuai dengan
kebutuhan estetikanya.
fungsionalnya
dan
Perusahaan dengan demikian harus mampu mengikuti perubahan selera konsumen untuk mendorong pemasaran produknya, dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Untuk mempertahankan langganan dan kelangsungan hidup perusahaan, setiap perusahaan harus dapat meningkatkan aktivitas usahanya melalui pemasaran. Pemasaran merupakan salah satu kegiatan pokok yang dilakukan pengusaha dalam usahanya untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, berkembang serta mendapat keuntungan melalui pemuasan konsumen. Menurut Kotler (1980:5) adalah sebagai berikut: ”pemasaran adalah kegiatan manusia yang diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran dan marketing dapat diartikan sebagai penyesuaian aktivitasaktivitas perusahaan dengan kebutuhan konsumen atau konsumen yang potensial. James (1972:3), selanjutnya didukung oleh pendapat Swasta (1984:5), mengutarakan bahwa: “pemasaran adalah sebuah filsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan kebutuhan konsumen
merupakan syarat ekonomi dan sosial bagi kelangsungan hidup perusahaan. Pembuatan konsep ini menggunakan 3 faktor dasar, yaitu; 1. Seluruh perencanaan dan kegiatan perusahaan harus berorientasi pada konsumen/pasar 2. Volume penjualan yang menguntungkan harus menjadikan tujuan perusahaan, dan bukan volume untuk kepentingan volume itu sendiri 3. Seluruh kegitan pemasaran dalam perusahaan harus dikoordinasikan dan diintegrasikan secara organisasi”. Dengan demikian tujuan seluruh kegiatan pemasaran adalah untuk mendapatkan volume penjualan yang menguntungkan, dengan cara memahami konsumen sebaik-baiknya, sehingga produk cocok dengan selera konsumen dan menghasilkan penjualan. Adanya laba dari hasil penjualan merupakan alat bagi perusahaan untuk tumbuh,berkembang bahkan dapat memperkuat perekonomian secara keseluruhan. Kelangsungan hidup perusahaan sulit tercapai apabila tanpa adanya keuntungan dari hasil penjualan,oleh sebab itu hasil penjualan produk sesuai dengan yang direncakanan merupakan hal yang sangat diidam-idamkan oleh setiap perusahaan, namun jarang perusahaan dapat mempertahankan penjualan yang menguntungkan sesuai dengan rencana karena bukan hanya selalu adanya perubahan selera konsumen melainkan adanya siklus hidup barang yang terbatas karena barang sudah dalam keadaan usang. Perusahaan dituntut untuk mengarahkan segala sumber yang ada dalam
P a g e | 12 perusahaan guna mempengaruhi pasar produk yang lazimnya disebut marketing mix atau bauran pemasaran dalam arti luas. Menurut Kotler (1980;121): ”Marketing mix adalah segala rangkaian variabel yang dapat dikontrol dan tingkat yang dipergunakan oleh perusahaan untuk mempengaruhi pasaran. Marketing mix terdiri dari: 1) Unsur produk, 2) unsur harga, 3) unsur promosi, 4) unsur distribusi”. Keberhasilan maupun kegagalan pemasaran secara keseluruhan tergantung pada prpduk yang dihasilkan, oleh sebab itu perusahaan wajib memahami dan mengusai aspek-aspek penting dari produk dan siklus produk dengan melaksanakan pengembangan produk agar produk selalu sesuai dengan kebutuhan dan selera konsumen. Pengembangan produk merupakan aspek yang penting bagi perusahaan, karena produk mempunyai peranan sebagai perantara tercapai hanya tujuan melalui pemuasan keinginan konsumen sehingga akan menentukan besar kecilnya volume penjualan. Pengembangan produk adalah usaha yang dilaksanakan perusahaan secara sadar dan terencana untuk meningkatkan penjualan dengan mengadakan perbaikan-perbaikan, dan penyempurnaan terhadap produk yang ada baik secara kualitas, keistimewaan, pengemasan ataupun menciptakan produk yang benar-benar baru melalui beberapa tahap. Tahapan tersebut, menurut Kotler (1980;427), terdiri dari: 1. 2.
Penciptaan ide, Penyaringan ide,
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pengembangan dan pengujian konsep, Pengembangan strategi pemasaran, Analisa usaha, Pengembangan produk, Pengujicobaan di pasar, komersialisasi”
Dengan melaui tahap-tahap tersebut, akan membantu keberhasilan perusahaan dalam melaksnakan pengembangan produk. Pengembangan produk untuk memuaskan konsumen, melalui penyesuaian produknya dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tidak setiap perusahaan melaksanakan pengembangan produknya,akan tetapi perusahaan sepatu Kogawa di lingkungan industri kecil kota Bandung, telah melaksanakan pengembangan produk yang dihasilkannya sebagai salah satu usaha untuk mempertahankan keuntungan demi kelangsungan hidup perusahaan. Berkaitan dengan hal tersebut, pertanyaannya adalah : “Apakah pengembangan produk yang dilaksanakan oleh perusahaan berpengaruh terhadap peningkatan volume penjualan?. Perusahaan sepatu Kogawa memproduksi bermacammacam sepatu yaitu sepatu pria, wanita akan tetapi dalam penelitian ini akan difokuskan kepada pengembangan produk sepatu sport pria dan menganalisis bagaimana pengaruhnya terhadap peningkatan volume penjualannya. B. 1.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pengembangan Produk Pengertian Pengembangan produk adalah :”Implies a conscious and planned effort to improve present products or to add to the variety of products and marketed” Huegy and Robert (127-128),
P a g e | 13 yang dimaksud bahwa pengembangan produk adalah sesuatu yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk memperbaiki produk-produk yang ada atau menambah macam produk yang dihasilkan atau dipasarkan. Jadi pengembangan produk yang dilakukan oleh perusahaan sepatu Kogawa adalah sesuatu usaha dalam rangka memperbaiki produk yang ada,baik produk yang bersifat nyata (tangible) atau produk yang bersifat tidak nyata (intangible), ataupun menambah macam produk baru yang dihasilkan atau dipasarkan. 2.
Pengertian Volume Penjualan Pengertian Volume penjualan: adalah hasil dari jumlah yang diperoleh perusahaan disebabkan oleh terjadinya pemindahan hak atas barang, dengan maksud untuk adanya peningkatan hasil dari jumlah yang diperoleh perusahaan disebabkan adanya transaksi pembelian yang diambil selama periode tertentu. Peningkatan hasil perusahaan terjadi karena pemindahan atas hak milik barang kepada konsumen, oleh sebab itu apabila perusahaan melaksanakan pengembangan produk dengan baik,maka volume penjualan diharapkan akan semakin meningkat. 3.
Pengertian Bauran Pemasaran/ Marketing Mix Pengertian bauran pemasaran/ marketing mix: Untuk mendapatkan keuntungan, perusahaan dapat memperolehnya dari hasil penjualan yang menguntungkan. Tingkat penjualan yang menguntungkan hanya tercapai apabila adanya usaha perusahaan untuk mengembangkan kombinasi unsur-unsur yang ada dalam perusahaan.Kombinasi dari unsur-unsur tersebut,disebut bauran pemasaran atau marketing mix.
Marketing mix atau bauran pemasaran adalah serangkaian variabel yang dapat dikontrol, dan tinggi yang digumakan oleh perusahaan untuk mempengaruhi pasaran yang menjadi sasaran. Dan unsur-unsurnya terdiri dari (1) Produk, (2) tempat, (3) promosi, (4) distribusi. Kotler (1980;26) C. 1.
METODOLOGI PENELITIAN Obyek Penelitian Perusahaan sepatu Kogawa di Kota Bandung, didirikan oleh keluarga Kebon Lega pada tahun 1965, tergolong home industry. Penamaan perusahaan diilhami oleh sikap kebanyakan bangsa Indonesia yang masih lebih menghargai produk luar negeri daripada bangsa sendiri. “Kogawa” mirip dengan bahasa Jepang yang berarti sungai kecil, padahal merupakan singkatan dari “Kebon Lega Warga”. Dengan kemampuan pemiliknya maka produk sepatu bermerk “Kogawa” berhasil dijual bukan hanya di Jawa Barat melainkan sampai ke Sumatera. Perusahaan sepatu Kogawa terus melakukan perbaikan mutu,model dan bentuk secara terus menerus agar produk bisa terus dipasarkan ke luar negeri. Pengembangan produk yang dilakukan oleh Perusahaan sepatu Kogawa dengan perbaikan mutu produk, ekspansi produk, perubahan model, yang berubah sesuai dengan selera konsumen. Pengembangan jenis produk dilakukan melalui tahapan: pembangkitan ide (pelanggan, pesaing, majalah dan penyalur), tahap penyaringan gagasan (konsumen yang datang) tahapan pengembangan dan pengujian konsep (tidak dilakukan karena produk tersebut tidak rumit), Tahap pengembangan strategi pemasaran berdasarkan pengalaman), tahap analisis bisnis; harga mahal namun `diimbangi oleh kualitas yang baik, mutu
P a g e | 14 dan sevice yang disediakan oleh perusahaan. Selanjutnya tahap pengembangan produk yang dilakukan melalui; (a) Pengubahan kualitas produk yang berbeda, (b) Memperbaiki model dari mulai model sepatu pria bertali,tertutup dan memberi kombinasi pada sepatu, (c) Mengembangkan unsur kepraktisan bentuk produk yaitu dengan model yang diberi “karet” sleting dan kancing sehingga sepatu lebih mudah dan cepat dipakai dan (d) Mengembangkan ukuran produk serta (e) Penetapan merk dengan menggunakan kain yang lengkap dengan terdaftar dan terjamin mutu., tahap pengujian pasar dengan memberikan dan menunjukan contoh produk ke konsumen sehingga konsumen mengetahui produk yang sesuai dengan keinginan serta tahap komersialisasi, yaitu perusahan membuat produk sesuai dengan pesanan sedangkan untuk memproduksi produk selanjutnya perusahaan melaksanakan program pemasaran dengan jalan promosi melalui personal selling, penyaluran barang dibantu oleh pemerintah, serta memberikan pelayanan terhadap produk yang rusak yang dapat diganti perusahaan tanpa biaya pergantian.
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat populasi atau daerah tertentu. Metode desktiptif digunakan melalui tehnik pengumpulan data sebagai berikut: 1) Wawancara 2) Observasi 3) Studi dokumentasi 4) Studi literatur 5) kuesioner
2.
D.
Metode penelitian Hipotesa merupakan pernyataan yang belum tentu benar,dan belum tentu pula salah oleh karena itu hipotesis perlu dibuktikan kebenarannya. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ”Apabila perusahaan melaksanakan pengembangan produk dengantepat, maka tingkat volume penjualan diharapkan akan meningkat” Metodologi penelitian yang digunakan dalam memecahkan masalah penelitian ini adalah dengan penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk penginderaan secara
Pengumpulan data dilakukan secara sensus apabila seluruh anggota populasi digunakan sebagai informan penelitian, dan melakukan sampling apabila hanya sebagian anggota saja dari populasi yang diteliti sehingga yang menjadi populasi adalah antara lain; penyalur dan konsumen yang datang. Dari data tersebut selanjutnya diolah dengan dua cara; yaitu data kualitatif diolah dengan teknik analisis deskriptif, digambarkan, dijelaskan dari data yang terkumpul serta data kualitatif diolah dengan teknik perhitungan prosentase dengan rumus: Banyaknya responden yang menjawab suatu option (fo) Persentase (%) = _____________________ x 100% Jumlah seluruh responden PEMBAHASAN Hubungan pengembangan produk dengan daur hidup produk, harga, promosi dan distribusi dapat menentukan keuntungan. Keberhasilan perusahaan dalam rangka pengembangan produk tidak pernah terlepas dari pengaruh unsur-unsur bauran pemasaran lainnya. Unsur-unsur itu satu sama lainnya mempunyai hubungan yang erat. Dengan demikian perusahaan sepatu Kogawa mengembangkan produknya dengan cara sebagai berikut;
P a g e | 15 1.
Daur hidup produk diperhatikan berdasarkan perkembangan produk di pasaran dengan menghasilkan tingkat penjualan sesuai dengan yang diharapkan melalui munculnya produk M 18, setelah model M 17 ada pada masa decline dan M 18 baru memasuki tahap pertumbuhan (growth, produk M 15 telah muncul sehingga datangnya produk M 15 terlalu cepat serta selama triwulan ke 2 dan ke 3 tidak terdapat pengeluaran produk baru sehingga penjualan melonjak dan menurun dengan drastis, baru setelah akhir triwulan ke 3 perusahan mengeluarkan model M 17, hal ini dapat dilihat dari grafik dalam gambar perkembangan daur hidup dibawah ini;
Sumber: Perusahaan Sepatu Kogawa 2. Hubungan pengembangan produk dengan penetapan harga dilaksanakan perusahaan sepatu Kogawa dengan mempertimbangkan harga pesaing (sepatu Cibaduyut) sehingga harga relatif tetap dan dapat bersaing, terlihat dari tabel responden terhadap harga sepatu Kogawa dibandingkan dengan harga sepatu Cibaduyut, sebagai berikut:
Tabel 3.1 Tanggapan Responden Terhadap Harga Sepatu Kogawa Dibanding Harga Sepatu Cibaduyut Tanggapan fo % a. Terlalu rendah 1 3 b. Rendah 2 7 c. Lumayan 15 50 d. Cukup tinggi 9 30 e. Tinggi sekali 3 10 Jumlah
30
100
3. Hubungan pengembangan produk dengan promosi. Perusahaan Sepatu Kogawa melaksanakan promosi dengan berupaya memberikan informasi atau persepsi satu arah kepada responden agar mau membeli produk hanya melalui promosi dari mulut ke mulut dapat terlihat dari tabel berikut ini. Tabel 3.2 Tanggapan Responden Terhadap Pengenalan Sepatu Kogawa Tanggapan fo % a. Radio 0 b. Sales 8 27 c. Taman-teman 15 50 d. Pameran 7 23 Jumlah
30
100
4. Hubungan pengembangan produk dengan distribusi: Saluran distribusi yang digunakan oleh perusahaan sepatu Kogawa adalah distribusi langsung,yaitu responden langsung datang ke perusahaan sehingga responden mudah memperoleh produk, hal ini dapat diihat dari tabel berikut:
P a g e | 16 Tabel 3.3 Tanggapan Resonden terhadap Kemudahan Mendapatkan Sepatu KOGAWA Tanggapan fo % a. Sangat mudah 6 20 b. Mudah 23 77 c. Sulit 1 3 d. Sangat sulit -
Tabel 3.5 Tanggapan Resonden Terhadap Model Sepatu Merk Kogawa Tanggapan fo % a. Sangat menarik 2 7 b. Menarik 28 90 c. Kurang menarik 1 3 d. Tidak menarik Jumlah
Jumlah
30
30
100
100
5. Beberapa pendapat yang diperlukan dari responden tentang keunggulan produk Sepatu Kogawa, antara lain mengenai bentuk produk, perkembangan model, bahan,mutu dan bentuk model. Pengembangan produk yang berhubungan dengan kondisi phisik sepatu Kogawa dilakukan berkenaan dengan memperbaiki, menyempurnakan, menyesuaikan produk juga membantu konsumen dalam memudahkan pemakaiannya melalui perubahan bentuk. Hal ini terlihat dalam tabel berikut: Tabel 3.4 Tanggapan Resonden Terhadap Bentuk Produk Dalam Membantu Pemakaiannya Tanggapan fo % a. Ya 25 83 b. Tidak 5 17 Jumlah 30 100 Pengembangan produk terhadap model sepatu merk Sepatu Kogawa, terlihat pada tabel berikut:
Selanjutnya tanggapan responden tentang pelaksanaan pengembangan produk dalam hal bahan, mutu, dan bentuk model sepatu yaitu terlihat dalam tabel berikut: Tabel 3.6 Tanggapan Resonden Terhadap Bahan, Mutu Dan Bentuk Model Sepatu Kogawa Tanggapan fo % a. Ya 25 83 b. Tidak 5 17 Jumlah
30
100
Data tabel-tabel tersebut menunjukkan bahwa dari seluruh unsurunsur bauran pemasaran, produk yang sangat mempengaruhi terhadap hasil kegiatan pengembangan produk, karena produk yang dihasilkan selain dapat mempengaruhi selera responden, juga cukup memuaskan dengan bentuk dan model dapat membantu responden dalam memudahkan pemakaiannya. Sedangkan pengaruh pengembangan produk terhadap peningkatan penjualan terlihat dari tabel dan grafik yang menggambarkan target dan realisasi penjualan yang telah dikelompokkan pada periode per triwulan dengan gambar grafik dan tabel sebagai berikut:
P a g e | 17 Hasil dengan Target penjualan Sepatu Sport Pria Kogawa (2 periode)
Tabel 3.8. Hubungan Perkembangan Pengembangan Produk dan Non Pengembangan Produk atau Unsur Bauran Pemasaran (2 Periode)
Sumber: Perusahaan Sepatu Merk Kogawa Tabel 3.7. Hubungan pengembangan produk dengan penjualan; Hasil dengan Target penjualan Sepatu Sport Pria Kogawa (2 periode) Triwulan
Target Penjualan (Dalam Rupiah)
Realisasi Penjualan
I II III IV I II III IV
35.000.000 35.000.000 35.000.000 35.000.000 35.000.000 35.000.000 35.000.000 35.000.000
15.850.000 12.650.000 23.980.000 35.142.000 33,228.000 34.170.000 32.650.000 36.720.000
Realisasi penjualan thd target penjualan ( Dlm %) 45,3 36,1 65,1 100,4 94,9 97,6 93,3 104,9
Penyimpangan (dlm %)
Periode
-54,7 -63,9 -34,5 +0,4 -5,1 -2,4 - 6,7 + 4,9
A
B
Sumber: Perusahaan Sepatu Kogawa Dengan demikian secara garis besar hubungan perkembangan pengembangan produk dan non pengembangan produk atau unsur bauran pemasaran di luar unsur produk dapat meningkatkan penjualan sepatu Kogawa dapat dilihat pada tabel berikut. Sumber: Perusahaan Sepatu Kogawa C. 1.
PENUTUP Adanya program pemerintah dalam mendukung kebijakan terhadap industri kecil, memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan industri terbukti dengan semakin banyaknya tumbuh perusahaanperusahaan industri terutama perusahaan sepatu.
P a g e | 18 2.
3.
4.
Konsumen memilki peluang besar untuk melakukan berbagai pilihan jenis produk sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya oleh sebab itu perusahaan dituntut untuk melakukan penyesuaian produknya dengan kebutuhan konsumen melalui pemasaran sebagai salah satu kegiatan pokok yang dilakukan perusahaan dalam rangka mencapai tujuannya. Strategi bauran pemasaran yang mencakup kebijakan produk,harga,promosi dan distribusi adalah salah satu kegiatan pemasaran yang dapat mempengaruhi pasaran. Kebijaksanaan produk dalam strategi bauran pemasaran yang dilakukan perusahaan telah dilakukan secara sadar dan berencana dengan melakukan perbaikan, penyempurnaan, dan penyesuain produk dengan kebutuhan konsumen dengan jalan pengembangan produk. Pelaksanakan pengembangan produk selain harus berdasarkan pada daur hidup produk, perusahaan juga harus mampu mengkombinasikan unsur harga, dan distribusi secara tepat.
5.
Bertitik tolak dari hasil penelitian pada perusahaan sepatu Kogawa, maka pengembangan produk yang dilaksanakan yaitu mengadakan modifikasi produk melalui model, ukuran, kualitas dan mengubah bentuk dengan maksud untuk membantu konsumen dalam memudahkan pemakaiannya dan berpengaruh terhadap peningkatan penjualan.
DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchari, 1985 Ilmu Menjual dan Pemasaran, Penerbit BCG Bandung Converse and Huegy,1984 Element of Marketing, Six Edition, Prentice Hall Inc., Englewoode, DH, Swasta, Basu, 1984, Azas-Azas Marketing, Liberty Yogyakarta. Kotler, Philip, 1980, Marketing Management Analysis, Planning and Control, Pretice hall, Englewood, Chiff, NY, USA _________,1980,Manajemen Pemasaran (Marketing Management), Analisis, Perencanan, dan Pengawasan, Jilid I Erlangga, Jakarta
P a g e | 19 Implementasi Kebijakan Program Beras Miskin (Raskin) di Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung The rice for the poor policy implementation in Sadang Serang Community, Coblong District, Bandung City Susniwati Dosen STIA Bandung ABSTRACT The purpose of the study is to find out how well the rice for the poor policy implemented and what are the problems faced and how to overcome those problems. The research methods used in this case is the descriptive qualitative approach method. The result of the study shows that : the program policy implementation has not been done effectively . There are still many descrepancies between what have been planned and the achievement of the objective, quantitative aspect, quality , price , and the limit of time to be fulfilled. The most of the lower income families are dissapointed . To optimize the implementation of the distribution rice for the poor policy, it is needed to intensify the communication activities, to develope the target group data base, law enforcement for the apparat or implementator who against the law or any regulations The distribution should be better done by the people /social cooperation institution . To develope the simulation of the policy implementation first before the real implementation. A.
PENDAHULUAN Krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997 telah menimbulkan dampak yang luas terhadap kesejahteraan sosial, yaitu meningkatnya jumlah penduduk miskin di Pedesaan maupun di Perkotaan, bahkan dibarengi dengan kondisi lingkungan yang semakin buruk,. Sesuai data Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah 12,4 juta jiwa pada tahun 2010. Jumlah tersebut akan menambah total penduduk miskin menjadi 43,4 juta jiwa dari total 234 juta jiwa penduduk Indonesia. Dari segi kepadatan penduduk, kantor BPS Jawa Barat tahun 2010, mencatat bahwa jumlah penduduk Kota Bandung dengan jumlah 2,3 Juta Jiwa, terdiri dari laki - laki 1,19 Jiwa dan Perempuan 1,16 Jiwa dengan kepadatan 14.200 org per km2. Sedangkan ideal kepadatan penduduk 1.000 org per km2.
Memperhatikan kenyataan tersebut, dapat diketahui betapa seriusnya masalah kesenjangan yang dihadapi Indonesia. Padahal, selain menghadapi kesenjangan, Indonesia juga masih menghadapi masalah kemiskinan absolut yang tidak kalah seriusnya. Kemiskinan yang merupakan salah satu persoalan bangsa Indonesia yang masih menghadapi problema yang ditandai dengan masih banyaknya jumlah penduduk miskin yang menjadi perhatian pemerintah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga pada Kabinet Indonesia Bersatu penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas utama. Penduduk miskin dapat didefinisikan berdasarkan berbagai kriteria yang menggambarkan kondisi serba kekurangan. Bahkan sampai pada tingkatan kebutuhan yang paling dasar
P a g e | 20 yaitu kebutuhan akan pangan. Akibat krisis multi dimensional yang dialami bangsa Indonesia, ternyata jumlah masyarakat yang tidak mampu memenuhi standar hidup layak semakin meningkat. Apabila kondisi rawan pangan tidak segera diatasi, maka pada gilirannya kestabilan pemerintahan akan goyah. Hal ini telah ditangkap oleh para pengambil kebijakan di level pemerintahan, sehingga untuk menjaga kestabilan pemerintahan, kondisi rawan pangan harus segera diatasi. Salah satu langkah pemerintah secara nasional, program penanggulangan kemiskinan dikoordinasikan oleh Menko Kesra dalam Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Tingkat Pusat, sedangkan di tingkat Propinsi dikoordinasikan oleh Gubernur dan Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota masing-masing. Sebagai upaya yang ditempuh dalam penanggulangan kemiskinan adalah melalui program yang terdiri dari penanggulangan kemiskinan, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pertumbuhan. serta rawan pangan. . Sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, khususnya pasal 1 ayat 17, mendefinisikan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak azasi individu. Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Mengingat pentingnya pemenuhan kecukupan pangan, setiap negara akan
mendahulukan pembangunan ketahanan pangannya sebagai fondasi bagi pembangunan sektor - sektor lainnya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan yang menjadi hak setiap warga negara, sejak tahun 1998, Pemerintah menetapkan kebijakan penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin (Raskin). Penyaluran beras bersubsidi ini telah membantu sebagian besar masyarakat miskin, sehingga beban pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pangan dapat dikurangi, yang pada akhirnya memberikan kontribusi positif dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Sesuai Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan, maka Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen tertentu, serta Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia diinstruksikan untuk melakukan upaya peningkatan pendapatan petani, ketahanan pangan, pengembangan ekonomi perdesaan dan stabilitas ekonomi nasional. Secara khusus kepada Perum Bulog diinstruksikan untuk menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan, yang penyediaannya mengutamakan pengadaan beras dari gabah petani dalam negeri. Bersumber dari APBN, maka salah satu sektor yang didanai adalah mencukupi kebutuhan dasar manusia untuk penduduk miskin atau Rumah Tangga Miskin yaitu program bantuan beras miskin (Raskin). Raskin pada dasarnya adalah beras murah, yaitu yang harga jualnya kepada masyarakat telah disubsidi oleh pemerintah, yang
P a g e | 21 diberikan kepada keluarga prasejahtera dan sejahtera satu. Penetapan jumlah keluarga miskin yang berhak menerima Raskin adalah sesuai dengan ketentuan pemerintah, dalam hal ini Menko Kesra yaitu berdasarkan data dari BPS. Kebijakan ini diambil oleh pemerintah agar dalam memberikan subsidi dan mengupayakan bantuan, dapat disalurkan tepat mencapai sasaran. Program ini sejalan dengan program penanggulangan rawan pangan lingkup penanganan dan penyaluran pangan untuk kelompok rawan pangan di Kota Bandung pada Bagian Ketahanan Pangan, sehingga program yang telah berjalan selama 10 tahun sejak tahun 1998 sampai dengan sekarang sejak tanggal 15 Januari 2008 dikelola oleh Bagian Ketahanan Pangan Sekretariat Daerah Kota Bandung setelah sebelumnya dikelola Bagian Ekonomi. Kegiatan pengelolaan Raskin berada pada kode rekening Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Kebijakan Perberasan dan kemudian diserahkan ke seluruh kelurahan di kota Bandung. Kelurahan mempunyai kedudukan yang strategis dalam penyelenggaraan pemerintah daerah maupun pusat, sebab kelurahan sebagai ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan yang mengemban tugas pemerintah secara langsung bersentuhan dengan masyarakat. Dalam Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2007 tentang pembentukan dan susunan organisasi kecamatan dan kelurahan dilingkungan Pemerintah Kota Bandung di tetapkan bahwa : 1. Kedudukan kelurahan merupakan wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah dalam wilayah Kecamatan yang dipimpin oleh Lurah,
2.
3.
4.
5.
berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Camat. Kelurahan mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas pemerintah yang menjadi kewenangan daerah yang dilimpahkan Walikota kepada lurah. Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada point 1 kelurahan mempunyai fungsi: a. Penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, ketentraman dan ketertiban umum, perekonomian dan kesejahtraan rakyat, pekerjaan umum dan lingkungan Walikota, b. Pelaksanaan pelayanan ketatausahaan kelurahan. Susunan Organisasi kelurahan terdiri dari: a. Lurah, b. Sekretaris Lurah, c. Seksi pemerintahan, d. Seksi Kemasyarakatan, e. Seksi Ekonomi, Pembangunan dan Lingkungan hidup, f. Seksi Pelayanan, g. Kelompok jabatan Fungsional. Kegiatan pemerintahan yang dilaksanakan tingkat kelurahan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu masyarakat diharapkan dapat berperan serta untuk mencapai cita-cita negara.
Berdasarkan hasil observasi awal di Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung, ditemukan bahwa Penentuan Penduduk miskin di lakukan berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Bandung, yaitu mereka yang berpenghasilan dibawah Rp. 6.000,per hari, tidak mempunyai pekerjaan tetap dan jumlah keluarga yang ditanggung serta berdasarkan kondisi tempat tinggal. Pelaksanaan Program Beras Miskin (Raskin) dilaksanakan di wilayah
P a g e | 22 yang tersebar pada 21 Rukun Warga (RW) dan 130 Rumah Tangga (RT), ber penduduk sebanyak 24.377 Jiwa. Pogram Raskin bertujuan meringankan beban masyarakat miskin dalam pemenuhan kebutuhan pokok dalam bentuk beras yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Sasaran Program Raskin Tahun 2010 adalah berkurangnya beban pengeluaran 17,5 juta Rumah Tangga Sejahtera (RTS) berdasarkan data Pusat Statistik (BPS) dalam mencukupi kebutuhan pangan beras, melalui pendistribusian beras bersubsidi sebanyak 156 kg/RTS/ tahun atau setara dengan 13 kg/RTS/bulan dengan harga tebus Rp. 1.600 per kg/netto/di titik distribusi. Tahun 2010 dengan adanya verifikasi KK yang berhak dari BPS turun menjadi 620 RTS per KK., dengan pagu 9.300 Ton perbulan jumlah yang diterima per KK 15 kg dengan harga Rp. 1.000 per kilogram. Program Raskin diharapkan dapat berlangsung optimal di semua lokasi penerima Raskin termasuk di Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung. Walaupun pendistribusian Raskin di Kota Bandung pada tahun 2010 mencapai angka 70,24 %, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan ukuran implementasi kebijakan program Raskin, karena realisasi penyaluran Raskin di Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung Tahun 2010 tidak sesuai dengan target yang ditetapkan. Namun dilapangan realisasi pembagian Raskin pada tahun 2010 tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Data menunjukkan bahwa realisasi Raskin per bulan pada tahun 2010 tiaptiap RTSPM menerima 15 kg ditiap-tiap RT. dengan mempertimbangkan kondisi
masyarakat setempat berdasarkan musyawarah, dimana Ketua RT dan RW setempat mengambil kebijakan pendistribusian beras Raskin dengan prinsip di bagi rata pada RTSPM. Hasil penelitian awal kebijakan Raskin belum berjalan sesuai dengan sasaran program, dengan terindikasi bahwa implementasi kebijakan Raskin tidak selalu berpedoman penuh pada prosedur kebijakan karena tergantung pada kondisi dan situasi masyarakat setempat, bahkan sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan yaitu tidak tepat sasaran penerima RTM dikarenakan masyarakat yang mampu dapat membeli, tidak tepatnya jumlah beras yang diperoleh dikarenakan terdapat pengurangan jumlah beras pada saat pendistribusian Raskin kepada Rumah Tangga Miskin (RTM) penerima manfaat Raskin, hal ini disinyalir pembagian beras Raskin dengan prinsip bagi rata disebabkan jatah dari pemerintah tidak sesuai dengan jumlah masyarakat miskin yang ada dan kurangnya biaya operasional pendistribusian Raskin, sehingga menyebabkan RTM ada yang merasa tidak puas karena tidak sesuai dengan kebutuhan. Penyimpangan kebijakan juga terjadi, dengan mundurnya waktu pelaksanaan distribusi sehingga penerima jatah Raskin sering mengalami keterlambatan sebagaimana pada tabel berikut: Tabel 1. Daftar Jadwal Penyerahan Raskin/Distribusi Pada Tahun 2010 Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung NO 1 2 3 4
BULAN Januari Pebruari Maret April
TANGGAL PENYERAHAN 19 Januari 2010 17 Pebruari 2010 18 Maret 2010 16 April 2010
JUMLAH KK 620 620 620 620
P a g e | 23 5 6 7 8 9
Mei Juni Juli Agustus September
10 11
Oktober Nopember
12
Desember
19 Mei 2010 17 Juni 2010 19 Juli 2010 16 Agustus 2010 17 September 2010 18 Oktober 2010 16 November 2010 15 Desember 2010
620 620 620 620 620 620 620 620
Sumber : Kelurahan Sadang Serang Sesuai tabel tersebut di atas bahwa realisasi Raskin pada tahun 2010 tidak tepat waktu setiap bulannya (sering terlambat dalam hal pembagian) dan ini akan mempengaruhi jadwal pembagian bulan berikutnya dikarenakan pembayaran/dari masyarakat terlambat untuk di setor ke Bulog. Berdasarkan fenomena diatas, maka pelaksanaan Program Raskin di Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung belum ada ketepatan program dalam mencapai kelompok sasaran, belum efisien dan efektif, kurangnya transparansi dalam penentuan besar biaya dan subsidi, serta kurang terintegrasinya program Raskin dengan kebijakan Harga Pokok Penjualan (HPP), sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan bagi masyarakat miskin yang membutuhkan manfaat program Raskin tersebut. Berdasarkan identifikasi masalah yang penulis sajikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian adalah: 1. Bagaimana Implementasi Kebijakan Program Beras Miskin (Raskin) di Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung? 2. Kendala-kendala apa yang dialami dalam Implementasi Kebijakan Program Beras Miskin (Raskin) di Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung ?
3. Upaya-upaya apa saja yang perlu dilakukan dalam Implementasi Kebijakan Program Beras Miskin (Raskin) di Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung. ? B.
TINJAUAN TEORITIS DAN KONSEPTUAL 1. Konsep Kebijakan Publik a. Pengertian kebijakan publik Dye (Nugroho 2009:3) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan dan hasil apa yang membuat kehidupan bersama tampil berbeda”.. Sementara Lasswell (Nugroho, 2009:4). mendefinisikan kebijakan publik sebagai “program yang diproyeksikan dengan tujuan - tujuan tertentu, nilai-nilai dan praktik-praktik tertentu Sedangkan menurut Anderson (Ekowati, 2005:5) kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu. Lebih lanjut dikatakan Anderson, ada elemen - elemen penting yang terkandung dalam kebijakan publik antara lain mencakup: 1) Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu. 2) Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat pejabat pemerintah. 3) Kebijakan adalah apa yang benarbenar dilakukan oleh pemerintah, dan bukan apa yang bermaksud akan dilakukan. 4) Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan
P a g e | 24 pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu). 5) Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa. (http://www.eprint.undip.ac.id) Beberapa pengertian kebijakan tersebut membawa implikasi tertentu terhadap konsep kebijakan negara (Wahab, 2001:6-7), yaitu : 1) Kebijakan negara lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan; 2) Kebijakan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling terkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri; 3) Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang tertentu; 4) Kebijakan negara mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif. Anderson (Wahab 2001:3) merumuskan kebijakan sebagai “langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi”. Sejalan dengan pendapat Anderson, kebijakan publik menurut Mustopadidjaja merupakan “suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi yang berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah negara dan pembangunan”.
James E. Anderson (Islamy, 2001:19) menyatakan “Public policies are those policies developed by governmental bodies and officials”. Kebijakan publik adalah kebijakankebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Menurut Anderson, implikasi dari pengertian tersebut adalah adanya tujuan, tindakan pejabat pemerintah, dan bersifat memaksa. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat di simpulkan bahwa kebijakan publik adalah keseluruhan aktivitas pemerintah, baik dilakukan sendiri maupun melalui berbagai badan yang lain, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat, dengan kata lain kebijakan publik ditempatkan sebagai “pengatur” dalam masyarakat. 2.
Tahap-tahap Kebijakan Publik Anderson (Subarsono 2005:10) sebagai pakar kebijakan publik menetapkan beberapa tahapan dalam rangka memecahkan masalah antara lain: a. Penetapan agenda kebijakan (agenda setting) Menentukan masalah publik yang perlu untuk dipecahkan. b. Formulasi kebijakan (policy formulation) Mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang mungkin digunakan dalam memecahkan masalah. c. Adopsi kebijakan (policy adoption) Menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para administrator dan legislatif. Tahap ini ditentukan setelah melalui tahap suatu proses rekomendasi. d. Implementasi kebijakan (policy implementation)
P a g e | 25 Merupakan suatu tahap di mana kebijakan yang telah diadopsi tadi dilaksanakan oleh unit-unit tertentu dengan memobilisasi dana dan sumberdaya yang ada. e. Penilaian kebijakan (policy assesment) Berbagai unit yang telah ditentukan melakukan penilaian tentang apakah semua proses implementasi telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan atau tidak. Dalam teori sistem yang dikemukakan oleh Dunn (1994) dalam Subarsono (2005:15), mengatakan bahwa dalam pembuatan kebijakan publik melibatkan 3 elemen yaitu pelaku kebijakan, kebijakan publik dan lingkungan kebijakan. Pelaku kebijakan dalam Program Raskin di sini adalah Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, demikian pula Aparat Desa/Kelurahan, Lembaga Musyawarah Dasa, LSM, serta Tokoh Masyrakat. Kebijakan Program Raskin saat ini merupakan wujud nyata komitmen Pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat miskin yang sekaligus untuk mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Miskin. Disamping itu juga untuk meningkatkan akses masyarakat miskin dalam pemenuhan kebutuhan pangan pokok sebagai salah satu hak dasar masyarakat. 3. a.
Implementasi Kebijakan Publik Konsep Implementasi Kebijakan Menurut Meter dan Horn (Wahab 2001:65) bahwa proses implementasi kebijakan sebagai “ tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individuindividu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau
swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”. Di samping itu juga dikemukakan bahwa tahap implementasi tidak dimulai pada saat tujuan dan sasaran kebijakan publik ditetapkan, tetapi tahap implementasi baru terjadi selama proses legitimasi dilalui dan pengalokasian sumber daya, dana yang telah disepakati. Studi implementasi kebijakan menekankan pada pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau ketidakberhasilan pencapaian sasaran kebijakan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Santoso (1988:8) bahwa “analisis mengenai pelaksanaan kebijakan (policy implementation) mencoba mempelajari sebab-sebab keberhasilan atau kegagalan kebijaksanaan publik mengenai pemahaman faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan itu”. Ada dua hal mengapa implementasi kebijakan pemerintah memiliki relevansi, yaitu (1) memberikan masukan bagi pelaksanaan operasional program, sehingga dapat dideteksi apakah program berjalan sesuai dengan yang telah dirancang, serta mendeteksi kemungkinan tujuan kebijakan negatif yang ditimbulkan, (2) memberikan alternatif model pelaksanaan program yang lebih efektif. Udoji (1981) Wahab (2001:59) menyatakan bahwa: ”The execution of policies is as important of not more important than policy making. Policies will remain dreams or blue print file jackets unless they are implemented” (pelaksanaan kebijaksanaan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan
P a g e | 26 sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan). Islamy (1994:107-108) menjelaskan bahwa tugas dan kewajiban pejabat dan badan-badan pemerintah bukan hanya dalam perumusan kebijakan negara, tetapi juga dalam pelaksanaan kebijakan. Keduanya sama-sama penting, tetapi dalam kenyataannya banyak pejabat dan badan-badan pemerintah lebih dominan peranannya dalam perumusan kebijakan, kurang dalam implementasi kebijakan, dan masih lemah sekali dalam menyebarluaskan kebijakan-kebijakan baru kepada masyarakat. Hal tersebut menyebabkan kurang efektifnya pelaksanaan kebijakan. Jeleknya proses komunikasi akan menjadi titik lemah dalam mencapai efektivitas pelaksanaan kebijaksanaan negara. Anderson dalam Nugroho (2009:9293) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dapat dilihat dari empat aspek, yaitu : “Who is involved in policy implementation, the nature of admnistrative process, compliance with policy, and the effect of implementation on policy content and impact” (siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan, dasar dari proses administrasi, kepatuhan kepada kebijakan, dan dampak implementasi pada isi kebijakan dan pengaruh dari kebijakan tersebut). Setiap kebijakan yang telah ditetapkan pada saat akan diimplementasikan selalu didahului oleh penentuan unit pelaksana (Governmental Units), yaitu jajaran birokrasi publik mulai dari level atas sampai pada level birokrasi yang paling rendah. Aspek lain yang penting dalam implementasi kebijakan menurut Anderson adalah kepatuhan. Kepatuhan
yaitu perilaku yang taat hukum. Kebijakan selalu berdasarkan hukum atau peraturan tertentu, maka pelaksanaan kebijakan juga harus taat kepada hukum yang mengaturnya. Terwujudnya kepatuhan dalam implementasi kebijakan, diperlukan sistem kontrol dan komunikasi yang terbuka, serta penyediaan sumber daya untuk melakukan pekerjaan. Menurut Meter dan Horn (Budi Winarno, 2002: 102)., implementasi kebijakan merupakan tindakan tindakan yang dilakukan oleh individuindividu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusankeputusan kebijakan sebelumnya Berdasarkan pandangan para ahli tentang konsep implementasi, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan sesungguhnya merupakan sebuah tahapan yang sangat penting sebagai bentuk penterjemahan (tujuan, sasaran, cara) dari pernyataan pernyataan kebijakan yang dihasilkan oleh sistem politik, yang kemudian ditransformasikan ke dalam tindakantindakan nyata yang dilakukan pemerintah atau pejabat publik dalam rangka mencapai maksud dan tujuantujuan dengan cara pengalokasian sumber-sumber daya yang dimiliki dalam pencapaian dan ditujukan bagi kepentingan publik. b. Pendekatan Dalam Implementasi Kebijakan Pada penelitian ini pendekatan yang paling sesuai adalah pendekatan secara partisipatif, di mana kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dapat direspon dengan baik oleh masyarakat. Satu hal yang paling penting adalah implementasi kebijakan haruslah menampilkan
P a g e | 27 keefektifan dari kebijakan itu sendiri. Menurut Nugroho (2009:171-174) pada prinsipnya harus memenuhi ‘empat tepat’ dalam rangka keefektifan implementasi kebijakan, yaitu: a. Tepat Kebijakan (apakah kebijakannya sudah tepat) Ketepatan kebijakan dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. b. Tepat Pelaksana (Ketepatan pelaksana) Aktor implementasi bukan hanya pemerintah, ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atau contracting out). c. Tepat Target (Ketepatan target implementasi) Ketepatan berdasarkan atas tiga hal, yaitu pertama; apakah target intervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang-tindih dengan intervensi yang lain. Kedua; apakah target dalam kondisi siap untuk diintervensi ataukah tidak, ketiga; apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya. d. Tepat Lingkungan (apakah lingkungan implementasi sudah tepat) Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu (1) lingkungan kebijakan, merupakan interaksi di antara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan maupun lembaga lain yang terkait; (2) lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri atas public opinion, persepsi publik akan kebijakan dan
implementasi kebijakan, interpretive institutions yang berkenaan dengan interpretasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat. c. Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Menurut AG. Subarsono (2005:89) ada berbagai macam teori implementasi, seperti dari George C. Edwards III (1980), Merilee S. Grindle (1980), dan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983), Van Meter dan Van Horn (1975), Cheema dan Rondinelli (1983), serta David L. Weimer dan Aidan R. Vining (1999). Guna pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih untuk menyajikan beberapa teori yang dianggap relevan dengan materi pembahasan dari objek yang diteliti. Hal ini lebih kepada mengarahkan peneliti agar lebih fokus terhadap variabel-variabel yang dikaji. 1) George C. Edwards III Pendekatan yang digunakan terhadap studi implementasi kebijakan dimulai dengan pertanyaan : “apakah prakondisi untuk implementasi kebijakan yang berhasil?” Berkaitan dengan pertanyaan ini, Edwards menjawab bahwa yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan ada empat variabel krusial yaitu: komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap para pelaksana dan struktur birokrasi. 2) Merilee S. Grindle Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980) dipengaruhi oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks pelaksanaan kebijakan (context of implementation). Bahwa isi kebijakan (content of policy) terdiri dari kepentingan kelompok sasaran, tipe manfaat, derajat perubahan yang diinginkan, letak pengambilan keputusan, pelaksanaan
P a g e | 28 program, dan sumber daya yang dilibatkan. Sementara lingkungan implementasi (context of implementation) mengandung unsur kekuasaan kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, serta kepatuhan dan daya tanggap. 3) Paul A. Sabatier dan Daniel A. Mazmanian Pemikiran Sabatier dan Mazmanian tersebut menganggap bahwa suatu implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksanaannya memenuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk pelaksana maupun petunjuk teknis). Karena itu model topdown yang mereka kemukakan lebih dikenal dengan model top-down yang paling maju. 4) Teori Implementasi Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn Menurut Meter dan Horn, ada 5 faktor yang mendorong keberhasilan implementasi, yakni; (1) standard dan sasaran kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi dan politik. Menurut Van Horn bahwa kebijakan menuntut tersedianya sumberdaya. Kejelasan standar dan sasaran tidak menjamin implementasi yang efektif apabila tidak dibarengi dengan adanya komunikasi antar organisasi dan aktifitas pengukuhan. Struktur birokrasi pelaksana (karakteristik norma dan pola hubungan yang potensial maupun yang aktual) sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi. Organisasi pelaksana memiliki 6 variabel: (1) kompetensi dan jumlah staf; (2) rentang dan derajat pengendalian; (3) dukungan politik yang dimiliki; (4) kekuatan
organisasi; (5) derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi; (6) keterkaitan dengan pembuat kebijakan. Kondisi sosial ekonomi dan politik juga berpengaruh terhadap implementasi kebijakan. Kesemua faktor membentuk sikap pelaksana yang pada akhirnya menentukan seberapa tinggi kinerja kebijakan. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah segala aktivitas atau kegiatan pemerintah yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Implementasi kebijakan dalam pelaksanaannya dipengaruhi oleh bermacam faktor. Menurut pendapat : Merilee S. Grindle (1980) dalam AG. Subarsono (2005:94) bahwa keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh isi kebijakan (content of policy) dan konteks pelaksanaan kebijakan (context of implementation). Untuk mengukur keberhasilan suatu kebijakan yang telah diimplementasikan adalah dengan melihat konsistensi dari pelaksanaan program dan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan. 4.
Kebijakan Program Beras Miskin (Raskin) Berdasarkan Undang-undang Nomor 07 tahun 1996 tentang pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002, tentang ketahanan Pangan, dalam rangka pemenuhan hak dan kebutuhan pangan bagi Rumah Tangga Miskin (RTM), pemerintah melakukan Program RASKIN sebagai salah satu program perlindungan sosial yang diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran RTM. Program ini merupakan kelanjutan Program Operasi Pasar Khusus (OPK) yang diluncurkan pada Juli 1998. di bawah Program Jaring Pengaman Sosial (JPS).
P a g e | 29 Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) menjadi koordinator pelaksanaan Program Raskin sesuai Kepmenko Kesra Nomor 35 Tahun 2008 tentang Tim Koordinasi Raskin Pusat. Untuk pendistribusian beras, Badan Urusan Logistik (Bulog) bertanggung jawab mendistribusikan beras hingga titik distribusi, dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyalurkan beras dari titik distribusi kepada RTM. Program Raskin adalah program nasional yang bertujuan memberikan bantuan dan meningkatkan/ membuka akses pangan keluarga miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan beras sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan di tingkat keluarga melalui penjualan beras kepada keluarga penerima manfaat pada tingkat harga bersubsidi. Adapun sasarannya adalah terbantu dan terbukanya akses beras keluarga miskin yang telah terdata dengan kuantum tertentu sesuai dengan hasil musyawarah desa/kelurahan dengan harga bersubsidi di tempat, sehingga dapat membantu meningkatkan ketahanan pangan keluarga miskin. Program Raskin merupakan program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, serta melibatkan berbagai pihak, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah daerah, demikian pula aparat Desa/Kelurahan, Lembaga Musyawarah Desa, LSM, serta Tokoh Masyarakat. Oleh karena itu pemerintah Pusat yang diwakili Tim Koordinasi Raskin Pusat dan Pemerintah Daerah yang diwakili Tim Koordinasi Daerah, baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota perlu bekerjasama dan bersinergi dalam melaksanakan Program Raskin. Implementasi kebijakan Raskin dapat ditinjau dari berbagai aspek-aspek
yaitu, tepat sasaran, tepat waktu, tepat jumlah, tepat administrasi dan tepat kualitas, masing-masing aspek pelaksanaan kebijakan Raskin ditentukan oleh kesesuaian antara aturan program yang tertulis dalam Pedoman Umum Raskin. Sesuai Pedoman Umum Raskin berisikan panduan pelaksanaan kebijakan program Raskin yang mencakup perencanaan, penyaluran, dan pembayaran. Pedoman ini menjadi acuan bagi pelaksanaan Tim Koordinasi Raskin dalam pelaksanaan Program Raskin dan juga mengakomodasi inisiatif serta kebijakan lokal yang bertujuan menyempurnakan ketentuan nasional Raskin dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Keberhasilan Program Raskin diukur berdasarkan tingkat pencapaian indikator 6 tepat (6T), yaitu tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat kualitas dan tepat administrasi, sehingga indikator 6T dapat tercapai secara efektif dan efisien. Dua variabel awal fenomena sebagai kerangka acuan penelitian Implementasi kebijakan Program Brasa Miskin (Raskin) di Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung yang akan diamati yaitu ; Isi Kebijakan yang terdiri dari: Kepentingan kelompok sasaran, tipe manfaat, derajat perubahan yang diinginkan, letak pengambilan keputusan, pelaksanaan program, sumber daya yang dilibatkan dan konteks implementasi, yaitu: kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga penguasa, kepatuhan dan daya tanggap. Pelaksanaan Program Raskin perlu adanya dukungan dari aktor kebijakan yaitu dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta masyarakat penerima kebijakan. Kelompok sasaran
P a g e | 30 program Raskin adalah Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat ( RTS-PM) yang berhak menerima Raskin atau hasil musyawarah desa/kelurahan yang dimasukan dalam daftar penerima manfaat yang ditetapkan oleh Kepala Desa/Lurah dan disahkan oleh Camat. C.
METODE PENELITIAN Perspektif pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan penelitian deskriptif kualitatif, di mana pendekatan ini digunakan untuk melihat, mengetahui serta melukiskan keadaan yang sebenarnya secara rinci dan aktual dengan melihat masalah dan tujuan penelitian seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Menurut Sugiyono (2007:171), “Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang dialami, di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci”. Fenomena pengamatan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Implementasi kebijakan program Raskin, fenomena yang diamati adalah : a. Isi Kebijakan (1). Kepentingan kelompok sasaran; (2). Tipe manfaat; (3) Derajat perubahan yang diinginkan; (4). Letak pengambilan keputusan; (5). Pelaksanaan program b. Lingkungan Implementasi: (1). Kekuasaan, kepentingan, strategi aktor yang terlibat; (2). Karakteristik Lembaga/penguasa; (3). Kepatuhan dan daya tanggap 2. Kendala – Kendala apa saja yang dihadapi dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam Implementasi kebijakan Raskin. Dalam Penentuan informan untuk memperoleh sumber data yang
diinginkan dilakukan secara “Purposive” yang dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Sedangkan proses penelitian berlangsung secara snowballing (metode bola salju), yaitu dengan bertanya kepada satu orang kemudian diteruskan kepada orang lain, Adapun informan sebagai sumber informasi utama adalah Pejabat dan pegawai Kelurahan Sadang Serang Kecamatan Coblong Kota Bandung. Sebagai data pendukung , peneliti juga menggali informasi dari pengelola, pelaksanan dan masyarakat yang mendapat Program Raskin. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, studi dokumenter. Sedangkan dalam menganalisis data menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: reduksi data, analisis data, pengambilan kesimpulan dan verifikasi D. 1.
PEMBAHASAN Implementasi Kebijakan Pada kenyataannya, selama ini implementasi kebijakan RASKIN belum berjalan dengan baik dikarenakan masih banyak penyimpangan kebijakan, kondisi tersebut sejalan dengan temuan di lapangan antara lain: a. Tepat Sasaran Pembagian RASKIN tidak tepat sasaran yang jumlah sasaran Rumah Tangga Miskin (RTM) masih lebih rendah dari total RTM yang ada, sehingga menyepakati pembagian beras Raskin secara merata kepada seluruh rumah tangga miskin untuk menghindari kecemburuan sosial.Disamping itu juga menurut tinjauan dokumen yakni berdasarkan hasil penelitian dari Lembaga Penelitian Smeru (dalam www.ppk.or.id) salah sasaran ini disebabkan oleh human error, dimana petugas lapangan justru
P a g e | 31 membagikan pada keluarga dekat atau teman kerabatnya sehingga terjadilah KKN. b) Tepat Jumlah dan Harga Kurangnya pagu dengan kekurangakuratan data BPS berimplikasi pada munculnya berbagai permasalahan dalam pelaksanaan program seperti dalam penetapan penerima Raskin , jumlah beras yang dibagikan sering tidak sesuai dengan apa yang telah diprogramkan. Kekurangan jumlah itu juga terjadi karena petugas lapangan berusaha untuk bertindak adil dengan membagikan Raskin kepada (hampir) seluruh warga termasuk yang tidak menerima Raskin.Sedangkan harga yang tidak sesuai dengan perencanaan awal. Naiknya harga Raskin yang harus ditebus warga disebabkan oleh alasan yang seringkali dimunculkan para petugas untuk menjawab ketidaktersediaan dana untuk pengangkutan (distribusi beras atau biaya transportasi), biaya ini dibebankan kepada masyarakat, bahkan tidak heran kalau harga awal berbeda dengan harga di lapangan karena tempat lokasi pembagian yang berjauhan sehingga perbedaan biaya transportasi dari titik distribusi ke penerima Raskin dan untuk itu kebijakan masing-masing pelaksana lokal. c) Tepat Waktu Pembagian beras RASKIN sering terlambat dikarenakan keterlambatan pembayaran masyarakat ke aparat pelaksana atau pengelola, bahkan sering ditalangi oleh pengurus RW namun tetap terlambat sehingga Kepala Desa/Lurah dalam menyetorkan pelunasan Hasil Penjualan Beras (HPB) dari warga ke rekening BULOG di BRI juga terlambat
dan ini akan mempengaruhi waktu pembagian Raskin bulan berikutnya. d) Tepat Administrasi Kurang tertibnya penataan administrasi program Raskin dampak dari keterlambatan pembayaran Raskin dari masyarakat dan kesibukan para petugas pengelola dan pelaksana dikarenakan bukan aparat kelurahan, dan ini akan mempengaruhi penataan administrasi sehingga tidak tertata dengan baik. e) Tepat Kualitas Masyarakat berharap kualitas beras yang diterima dapat ditingkatkan lagi, dimana RTS banyak yang mengeluh, kualitas beras cenderung belum memuaskan atau masih rendah, misalkan warnanya jelek bahkan kotor, bau,dan berkutu, dimana pada waktu penerimaan beras dari Bulog pihak aparat kelurahan tidak membuka atau memeriksa karung beras yang diterima. Sedangkan dari inventarisasi penyebab belum berjalan sesuai dengan tujuan dan sasaran program, yaitu sebagai berikut: 1. Pengetahuan RTSPM Pengetahuan RTSPM terhadap Program Raskin masih kurang dikarenakan Sosialisasi program Raskin belum dilakukan secara maksimal, mengingat sumber daya organisasi yang dimiliki terbatas yaitu sumber daya manusia yang hanya berjumlah 11 orang dan dianggap pelaksanaan program ini sudah rutin sehingga RTSPM kurang responsif terhadap penyimpangan yang terjadi. 2. Peran serta instansi terkait Kewenangan instansi terkait yang terbatas dalam hal koordinasi, pengambilan keputusan dan
P a g e | 32 operasionalisasi, sehingga mengakibatkan keterlambatan pelaksanaan program 3. Database Tidak ada database laporan keluhan masyarakat mengenai pelaksanaan Raskin, dikarenakan tidak adanya sarana perasana yang memadai untuk menunjang pelaksanaan program, sehingga pada waktu ada pengaduan dari masyarakat tidak cepat diselesaikan. 4. Koreksi terhadap penyimpangan Koreksi terhadap penyimpangan yang terjadi belum dapat ditindaklanjuti dengan cepat, mengingat penyimpang yang terjadi, hal tersebut tidak banyak dapat dikatakan penyimpangan namun kesepakatan karena setiap adanya penyimpangan tidak dibuat berita acaranya, sehingga untuk melakukan sanksi sangat sulit. 5. Monitoring Monitoring yang dilakukan tidak dipusatkan pada tempat dimana penyimpangan kemungkinan besar terjadi, yaitu di titik bagi/RW/RT. Dikarenakan hanya melakukan monitoring sampai titik distribusi/Kelurahan saja, padahal titik bagi/RW/RT merupakan titik yang rawan terjadi penyelewengan pendistribusian Raskin terutama sasaran penerima manfaat, jumlah dan harga Raskin. Tidak ada jadwal monitoring yang jelas dan berkesinambungan, baik tenaga pelaksana kegiatan, tempat tujuan yang diawasi ataupun waktu pelaksanaannya; Untuk mendukung keberhasilan Implementasi Kebijakan Program Raskin tersebut, antara lain:
1) Bentuk Sosialisasi Sosialisasi yang dilakukan oleh pihak kelurahan tentang Peraturan Perundangan yang berkaitan dengan komunikasi sehingga masyarakat dapat mengetahui peraturanperaturan kebijakan RASKIN agar masyarakat tidak lagi melakukan penyimpangan kebijakan RASKIN, melalui yaitu sosialisasi internal Pengurus RW dan RT (pelaksana/pengelola Program Raskin/), dan sosialisasi eksternal (masyarakat penerima Raskin), serta koordinasi antara instansi terkait. 2) Sikap dari Implementor Sikap yang dimiliki oleh implementor sangat positif seperti: komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki sikap yang baik dan transparan, Implementor akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik, seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. Sedangkan dalam pelaksanaan kebijakan program Raskin di Kelurahan Sadang Serang akan difokuskan pada Isi Kebijakan dan Lingkungan kebijakan dengan acuan teori Marilee Grindle, sebagai berikut: 1. Isi Kebijakan a. Kepentingan Kelompok Sasaran Pengelola dan pelaksana program Raskin merasa puas terhadap pelaksanaan Program Raskin karena sangat memahami secara jelas kepentingan kelompok sasaran dan sesuai dengan tujuan program tetapi belum secara keseluruhan
P a g e | 33
b.
c.
d.
e.
mengakomodir kebutuhan kepentingan kelompok sasaran, mengingat pagu jatah beras untuk masyarakat miskin belum terpenuhi semua sehingga dengan prinsip pembagian beras bagi rata sesuai musyawarah. Manfaat dan perubahan program Raskin Dengan adanya program Raskin ini masyarakat miskin mendapat manfaat langsung dari keberadaan program Raskin tersebut, bahkan penerima Raskin merespon sangat positif, mengharapkan adanya tingkat perubahan bagi rumah tangga penerima Raskin karena mampu meringankan beban ekonomi dan kebutuhan beras, serta meningkatkan kuantitas dan kualitas konsumsi rumah tangga miskin terhadap beras. Komunikasi dan pengambilan keputuasan Implementor cukup paham dengan tugasnya masing-masing untuk menjalankan proram Raskin ini diperlukan komunikasi yang baik,sehingga sosialisasi program bisa dapat diterima dengan baik oleh masyarakat., oleh karena itu dalam pengambilan keputusan selalu di musyawarahkan. Sumberdaya Implementasi kebijakan Raskin perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia yaitu memiliki tanggungjawab, transparan, dan jujur sedangkan sumber daya finansial,yaitu merupakan dana yang disediakan pemerintah untuk pengadaan Raskin dan ketersediaan dana dari masyarakat penerima manfaat itu sendiri untuk menebus Beras Raskin ini., Akomodir aspirasi Pengelola dan Pelaksana RW/RT siap menerima kritikan dan saran dari
kelompok sasaran penerima Raskin, dimana pengelola dan pelaksana RW/RT menampung permasalahan penerima Raskin disampaikan ke tingkat Kelurahan dan Kecamatan. 2. Lingkungan Kebijakan a. Keberhasilan Pengelolaan Raskin Keberhasilan dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu : 1) Faktor dari dalam a. Sumber daya manusia yang bertanggungjawab, jujur dan terbuka. b. Sosialisasi dilakukan dengan baik tentang peraturanperaturan kebijakan Raskin sehingga pengelola, pelaksana dan masyarakat penerima Raskin betul-betul mengerti dalam melaksanakan kebijakan tersebut. c. Kuantitas atau pagu beras ditambah disesuaikan dengan jumlah masyarakat miskin yang ditetapkan d. Tersedianya sarana dan prasarana untuk mendukung kebijakan Raskin. 2) Faktor dari luar a. Terjalinnya komunikasi yang baik antar pengelola, pelaksana dan masyarakat penerima Raskin serta intansi terkait. b. Pembagian Raskin tepat sasaran dan sesuai dengan data yang ditetapkan dan betul-betul membantu masyarakat yang tidak mampu atau masyarakat miskin. b. Karakteristik Penguasa Karakteristik penguasa terhadap implementasi program Raskin sangat berpengaruh dalam mendukung keberhasilan pengelolaan /
P a g e | 34 pelaksanaan dari Raskin tersebut,dimana penguasa mendukung dan mempunyai komitmen yang tinggi dalam pelaksanaan Raskin sehingga kewenangan yang terjadi antara aparat pelaksana kebijakan RASKIN sudah jelas dan sesuai dengan jabatan serta keahliannya c. Kepatuhan Masyarakat Mengingat pagu beras RASKIN sangat terbatas maka Implementasi kebijakan Raskin untuk masyarakat miskin didalam pembagian Raskin sangat patuh berdasarkan musyawarah antar pengelola/pelaksana dan masyarakat penerima Raskin serta saling menghargai dalam mengikuti peraturan pembagian Raskin untuk bagi rata. 2. Kendala-Kendala Yang Dihadapi a. Pemerintah Daerah belum mengalokasikan dana pendamping dan dana talangan Raskin dalam APBD. b. Kurangnya pagu dibandingkan dengan jumlah RTM menyebabkan ketidaktepatan sasaran, jumlah beras, dan frekuensi penyaluran c. Ketidaktepatan harga dipengaruhi oleh titik distribusi yang tidak sekaligus menjadi titik bagi dan lokasinya jauh dengan penerima manfaat d Ketidaktepatan jadwal distribusi berpengaruh terhadap kesiapan masyarakat dalam menyediakan waktu dan dana pembelian, sehingga adanya tunggakan pembayaran dari titik distribusi e. Tidak tersedianya transportasi untuk pengangkutan beras dari titik distribusi ke lokasi penerima Raskin
3. Upaya Yang Dilakukan a. Pemerintah Daerah hanya sebagian menyediakan dari APBD untuk membantu biaya operasional sehingga hasil musyawarah antara pengelola dengan masyarakat kekurangan dana operasional dibebankan ke masyarakat dibagi rata. b. Ketepatan target atau sasaran penerima manfaat sangat ditentukan oleh keseriusan dan peran pemda atau Badan Pusat statistik (BPS) serta pelaksana di tingkat lokal, dengan sosialisasi ke masyarakat yang menekankan bahwa Program Raskin hanya untuk rumah tangga miskin, mengingat pagunya kurang maka pengelola atau pelaksana untuk pembagian beras Raskin dengan menggunakan data BPS yang telah diverifikasi ditingkat lokal, dan transparansi daftar penerima. c. Ketepatan harga ditentukan oleh titik distribusi yang sekaligus berfungsi sebagai titik bagi dan lokasinya dekat dengan penerima manfaat, oleh karena itu masyarakat bermusyawarah tentang biaya angkut beras Raskin dari titik distribusi ke tempat penerima Raskin dibebankan pada masyarakat dengan bagi rata mengingat biaya operasional tidak semua dapat kontribusi dari APBD d. Ketidak tepataan jadwal, karena adanya tunggakan pembayaran dari masyarakat penerima Raskin maka pengelola dan pelaksana berinisiatif untuk melunasi dari kas RW, walaupun tetap terlambat, sehingga akan mempengaruhi distribusi bulan berikutnya dan ini juga akan mempengaruhi pembuatan laporan administrasi. d. Tidak tersedianya transportasi untuk pengangkutan beras dari titik
P a g e | 35 distribusi ke lokasi penerima Raskin sehingga hasil musyawarah biaya transportasi dibebankan pada masyarakat. E. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan pada Bab IV, maka peneliti, dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif .Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Implementasi kebijakan program Raskin dan isi kebijakan serta lingkungan kebijakan belum berjalan sesuai dengan tujuan dan sasaran program , bahwa implementasi kebijakan Raskin tidak selalu berpedoman penuh pada prosedur kebijakan karena tergantung pada kondisi dan situasi masyarakat setempat, bahkan sering terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan yaitu tidak tepat sasaran, tidak tepatnya jumlah dan harga, tidak tepatnya waktu, tidak tepat administrasi dan tidak tepat kualitas, hal ini menyebabkan RTM ada yang merasa tidak puas karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan penerima Raskin. Pelaksanaan kebijakan Raskin yang telah dilakukan, tidak terlepas dari berbagai kendala dan tantangan yang disebabkan oleh keberagaman kondisi geografis dan budaya masyarakat, untuk mengatasinya kendala tersebut, perlu adanya upaya yang dilakukan dalam mencapai tujuan. Adapun rekomendasi yang peneliti ajukan yaitu dari segi strategi program dan segi teknis adalah sebagai berikut: 1. Sosialisasi Peraturan Perundangan Kebijakan Raskin Program Raskin perlu direvisi, antara lain dengan melakukan sosialisasi nasional secara terarah untuk
memberikan kesadaran dan pemahaman yang benar mengenai program ini kepada semua pemangku kepentingan, baik aparat pelaksana maupun masyarakat. Sosialisasi Peraturan Perundangan ini berkaitan dengan komunikasi agar masyarakat dapat mengetahui peraturanperaturan yang berkaitan dengan kebijakan Raskin agar masyarakat tidak lagi melakukan penyimpangan kebijakan RASKIN. Kegiatan sosialisasi tersebut harus diatur secara tegas dalam Pedoman Umum (Pedum). 2. Validasi Penerima Raskin Validasi penerima Raskin ini berkaitan dengan sensus rumah tangga untuk mengumpulkan data. Hasil sensus tersebut selanjutnya dipergunakan sebagai informasi dasar untuk melakukan analisis diskriminan guna memisahkan penduduk miskin dengan penduduk bukan miskin, sehingga pelaksanaan Raskin menjadi tepat sasaran dan yang menerima beras Raskin adalah benar-benar masyarakat tidak mampu atau yang membutuhkan. 3. Sanksi Penyimpangan Kebijakan Raskin Sanksi yang jelas dan tegas ini berkaitan dengan sikap dari Implementor sehingga aparat pelaksana kebijakan dan masyarakat tidak melakukan penyimpangan kebijakan RASKIN tersebut. 4. Pendistribusian Raskin Strategi optimalisasai berkaitan dengan pendistribusian Raskin. Mengingat tidak adanya dana operasional yang optimal untuk penyaluran Raskin dari titik distribusi ke tempat penerima Raskin, lebih baik penyaluran RASKIN melalui Lembaga Masyarakat atau Koperasi
P a g e | 36 5. Mengadakan uji coba melalui percontohan dengan skala kecil yang perlu terus menerus dievaluasi, sebelum program ini dijalankan secara nasional (http://www.undip.ac.id) 6. Sosialisasi rutin kepada masyarakat tentang kebijakan RASKIN baik berupa penanganan dan pengaduan masyarakat, dan berusaha Interaksi yang insentif antara organisasi pelaksana kebijakan RASKIN dalam hal ini Kelurahan/kecamatan dengan pengelola / pelaksana dan kelompok sasaran , sehingga informasi yang disampaikan komunikator mengandung kejelasan. 6. Pagu jumlah rumah tangga penerima hasil verifikasi di tingkat desa/kelurahan maksimal sama dengan pagu yang diperoleh, supaya menjamin jumlah beras per rumah tangga sesuai dengan ketentuan. Pengesahan dan penentuan validitas daftar nama penerima sasaran dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab Kelurahan atau Kecamatan. 7. Perlu pengaturan titik distribusi yang dapat menunjang harga sesuai ketentuan. Letak titik distribusi perlu didekatkan dengan penerima manfaat sehingga bisa sekaligus menjadi titik bagi. 8. Tepat administrasi, Pembayaran Raskin yang tertunda (hutang) harus didesain dengan mempertimbangkan karakter perilaku masyarakat penerima Raskin misalnya dengan cara menabung sesuai kemampuan yang dikoordinir oleh tim yang ditunjuk RT, RW atau Kelurahan. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Budi, Winarno, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta. Ekowati,Lilik, 2005, Perencanaan Implementasi Program, Surakarta,Pustaka Cakra Gulo, W, 2004, Metodologi Penelitian, Grasindo, Jakarta. Hasan, Iqbal, 2006, Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, PT Bumi Aksara, Jakarta. Islamy, M. Irfan, 1994, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Moleong, Lexy, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Nasution, S., 2000, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung. Nawawi, Hadari, 2003, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Nugroho, Riant, 2009, Public Policy, PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. Santoso, Pandji, 1988, Administrasi Publik, Teori dan Aplikasi Good Governance, Refika Aditama, Bandung. Subarsono, AG, 2005, Analisis Kebijakan Publik : Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sugiyono, 2007, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung. Suharto Edi, 2009, Kemiskinan & Perlindungan Sosial di Indonesia, alfabeta, Bandung Suwitri, Sri, 2008, Konsep Dasar Kebijakan Publik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. ---------------,2009, Konsep Dasar Kebijakan Publik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Wahab, Solihin Abdul, 2001, Analisis Kebijakan : Dari Formulasi Kebijakan
P a g e | 37 Implementasi Kebijakan Administrasi Negara, BumiAksara, Jakarta. Astrid, (http://www.undip.ac.id) Lembaga Penelitian Smeru (dalam www.ppk.or.id) Mariyam Muswa, (http://www.eprint.undip.ac.id/) Menggugat Kebijakan, (http://www.staff.uny.ac.id) Usu, (http://www.respository.usu.ac.id) Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Peraturan Presiden RI No. 13 tahun 2009, tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan. Kepmenko Kesra No.35 Tahun 2008 tentang Tim Koordinasi Pusat Peraturan Daerah Kota Bandung No. 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Kecamatan dan Kelurahan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2010), Pedoman Umum Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin), Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
P a g e | 38 PERANAN LINGKUNGAN INTERNAL ORGANISASI DALAM MENINGKATKAN KINERJA SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI BANDUNG Thomas Priyono Dosen STIA Bandung ABSTRACT The purpose of the study is to analyze the role of internal organization in Bandung School of Administration Science performance Improvement . It is supposed that the performance of the school is still unsatisfied because the problem of the internal organization environment. The problem analysis is done based on the theory of organization environment, and the theory of the organizational performance as the impact of the human resources performance. The method of the research used is a descriptive qualitative approach. The result, of the study shows that: 1. The employee, and organization performance in The Bandung school of Adminstration Science, strongly influenced by the internal environment organization. Such as by the human resource competencies, leadership, financial , and marketing management. 2. Even the income of the employee paid under the City minimum rate, but they still have their dedication on their work. There are other factors, that motivate them such as the non financial factors like the chance to study to the higher level in this school, or to reach the possibility to earned money in the other university outside the work hours by giving lecture. The keywords : internal organization environment, work performance.
A.
PENDAHULUAN Yayasan Bina Administrasi Bandung, pada tahun 2000, mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung Strata Satu, dan berdasarkan Kep.Mendiknas No. 255/E/O/2011 tanggal 10 November 2011 tentang penyelenggaraan Program Studi Ilmu Administrasi Jenjang Magister( S2) pada STIA Bandung, yang memiliki visi dan misi. Visi: Menjadikan STIA Bandung sebagai Perguruan Tinggi Profesional Strata Dua yang menghasilkan Sumber Daya Manusia berkualitas, bermoral, amanah dalam Bidang Administrasi Negara tahun 2020. Sedangkan misi yang telah ditetapkan ialah :
Misi : 1. Membina integritas dan tata kelola institusi sesuai filosofi dan prinsipprinsip kepemerintahan yang baik “good governance”; 2. Membangun kemitraan dengan semua pihak dalam keselarasan dan kemanfaatan; 3. Menjadikan STIA Bandung sebagai himpunan berkaryanya para ahli ilmu administrasi, baik para lulusan prapasca maupun pasca sarjana yang berkompeten. Visi dan misi tersebut di atas, dilaksanakan dengan membentuk organisasi pembelajaran Sekolah Tinggi
P a g e | 39 Ilmu Administrasi Bandung, yang kondisi Sumber Daya Orgasnisasinya masih terbatas. Keterbatasan Sumber Daya Organisasi, sangat memengaruhi pelaksanaan proses pembelajaran, sebagai salah satu aspek kinerja atau produktivitas organisasai. Keterbatasan tersebut diatas antara lain : 1. Fisik. 2. Sumber Daya Manusia ( SDM) 3. Keuangan 4. Mesin Dari ke empat Sumber daya organisasi seperti tersebut di atas, unsur manusia, merupakan unsur yang paling penting dalam upaya mencapai hasil seperti yang ditetapkan dalam visi dan misi organisasi. Tujuan tersebut telah diperjuangkan dalam kurun waktu selama 13 tahun, namun kenyataannya, kinerja organisai yang meliputi keempat hal tersebut di atas, belum tercapai dengan maksimal. Dalam perjuangan mencapai hasil ini peneliti mendapatkan fenomenafenomena masalah diantaranya: yaitu bahwa para pegawai kurang gigih dalam mempromosikan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung, sehingga perolehan mahasiswa belum mencapai standar Nasional Pendidikan, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional Yang menyatakan “Standard nasional pendidikan terdiri atas standard isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”. Undang Undang ini kemudian ditindak lanjuti oleh Menteri Pendidikan Nasional dengan KEPMENDIKNAS Nomor 234/U/2000 tentang Pedoman
Pendirian Perguruan Tinggi, menetapkan jumlah mahasiswa dalam satu kelas, yaitu 30 mahasiswa untuk jurusan sosial, dan 20 untuk jurusan eksak Namun, dalam penerimaan Mahasiswa Baru, STIA Bandung belum mencapai target sesuai dengan ketentuan tersebut. Beberapa pegawai belum menguasai IPTEK kususnya komputer, sehingga berakibat terganggunya kinerja pegawai operasional administratif. Hal ini disebabkan karena rekrutmen pegawai tidak dilakukan sesuai dengan kompetensi yang diperlukan , demikian pula dalam jabatan jabatan strategis, seperti misalnya para pensiunan pejabat birokrat dari beberapa Instansi, baik yang berasal dari TNI dan Sipil, lalu ditempatkan pada posisi strategis perguruan tinggi STIA BANDUNG . Bila keadaan semacam ini dibiarkan terus menerus, dapat diduga bahwa kinerja organisasi akan terganggu. Pelayanan pegawai kurang memuaskan. Hal ini disebabkan kehadiran pegawai di kantor tidak seperti yang diharapkan. Sebagai informasi, bahwa para mahasiswa di STIA Bandung, sebagian besar adalah pegawai, baik sebagai pegawai negeri Sipil, maupun swasta. Untuk mendapat ijin mengurus kepentingan pribadi, biasanya pegawai tersebut susah mendapatkannya. Sedangkan di STIA Bandung kurang mendapatkan pelayanan seperti yang mereka harapkan. Bila hal ini dibiarkan terus menerus, akan berpengaruh terhadap penerimaan mahasiswa baru untuk tahun berikutnya. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti menetapkan rumusan masalahnya adalah :
P a g e | 40 1.
2.
3.
Bagaimanakah kondisi lingkungan internal di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung? Bagaimanakah kinerja organisasi Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung? Bagaimanakah peran lingkungan intern organisasi dalam meningkatkan kinerja organisasi Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung ?
B.
TINJAUAN TEORITIS DAN KONSEPTUAL 1. Pengertian Peranan Perilaku seseorang dalam kehidupan sebagai individu dan sosial dengan masayarkat , merupakan suatu tindakan yang harus dijalaninya, sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Tindakan itu merupakan peran dari seseorang tersebut. Oleh sebab itu peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dilakukan oleh individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat yang meliputi norma –norma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat . Selanjutnya, Soekanto (2002: 243) mendefinisikan peranan adalah: “Aspek dinamis dari kedudukan apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia melakukan peranan”. Dari kedua pendapat seperti tersebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa peranan adalah fungsi yang melekat pada sesuatu/seseorang dalam posisinya yang berkaitan dengan kedudukannya atau jabatannya. Tujuan yang ingin dicapai Tujuan yang ingin dicapai oleh Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung, yaitu seperti yang tercantum 2.
dalam misi yaitu terwujudnya SDM yang berkuslitas bemoral dan amanah. Yang dimaksudkan dengan berkualitas ialah seorang pribadi yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan guna menunjang pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Sedangkan bermoral diartikan sebagai “suatu ajaran tentang baik dan buruk pernbuatan dan kelakuan“ (Kamus bahasa Indonesia, 1976: 654). Berkaitan dengan bermoral ini diharapkan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung menghasilkan pribadi yang dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, sehingga mampu berbuat dan berperilaku baik dalam segala kehidupannya. Pengertian Administrasi Suganda (1991:15) menyatakan bahwa :pengertian administrasi adalah : Seluruh proses organisasi dalam penentuan sasaran dan pencapaiannya dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia secara efisien melalui dan besama-sama dengan orang lain secara terkoordinasi dengan menerapkan fungsifungsi perencanaan, eksekusi, pengorganisasian, persuasi, pemimpin dan penilaian. 3.
Dari definisi adminisatrasi seperti tersebut di atas, dapat dikemukakan beberapa intinya, yaitu : a) Administrasi merupakan proses organisasi dalam menetapkan sasaran dan pencapaian tujuan, dengan menggunakan sumbersumber yang tersedia dalam organisasi. b) Adanya kerjasama secara terkoordinasi untuk mencapai tujuan,
P a g e | 41 yang telah ditetapkan dalam perencanaan. c) Proses administrasi dalam bentuk kerjasama tersebut, terjadi dalam suatu organisasi,yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung Menurut Siagian (Makmur, 2009:7) bahwa administrasi adalah: Keseluruhan proses kerjasama antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas rationalitas tertentu dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan memanfaatkan sarana dan prasarana tertentu secara berdayaguna dan berhasil guna. Definisi yang dikemukakan oleh Siagian ini menitik beratkan pada kerjasama antara dua orang atau lebih tersebut, didasari oleh suatu pemikiran yang matang oleh seluruh anggota dalam organisasi sebagai komitmen besama. Proses kerjasama tersebut, dengan memanfaatkan sumber yang tersedia dalam organisasi. Dari ke dua definisi seperti tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam administrasi selalu terdapat: a) Adanya manusia lebih dari satu orang; b) Adanya tujuan yang jelas; c) Adanya pembagian tugas; d) Adanya tindakan secara efisien dan efektif; e) Tindakan didasari dengan menggunakan rationalitas tertentu. Pengertian Administrasi Pendidikan Administratie (bahasa Belanda) diartikan dalam arti sempit, yaitu tata usaha, yang mengurus tentang surat menyurat (ketatausahaan). Sedang administrasi dalam arti luas, adalah seni 4.
(art) dan ilmu science) yang berarti mengelola (memanaj) sumber daya yang meliputi: man, money, material, machine, method, marketing, minute dan information untuk mencapai tujuan secara effektif dan efisien. Dari ke dua kata: administrasi dan pendidikan akan timbul suatu istilah: administrasi pendidikan, yang artinya menurut Sutisna (Riduwan 2009:29) adalah “Suatu peristiwa mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang saling tergantung dari orang-orang dan kelompok-kelompok dalam mencapai tujuan bersama pendidikan anak-anak.” Bila pengertian administrasi pendidikan ini diterapkan ke dalam organisasi, proses pendidikan itu dilaksanakan oleh pimpinan organisasi. Depdikbud (1987:6) mengemukakan: “Administrasi pendidikan sebagai suatu teori berfungsi menjelaskan gejala-gejala atau kejadian dalam kerjasama pendidikan, dan memberikan tuntunan dalam mengambil keputusan berdasarkan prediksi kejadian-kejadian yang mungkin terjadi.” Admisistrasi pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan dapat diartikan keseluruhan kegiatan menyediakan dan memberdayakan sumber-sumber yang tersedia di dalam organisasi, untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Pengertian Organisasi Oganisasi, merupakan alat manajemen untuk mewadahi sumber daya manusia dalam bekerjasama untuk mencapai tujuan dari organisasi 5.
P a g e | 42 tersebut. Telah banyak para ahli mengemukakan definisi mengenai organisasi, misalnya yang dikemukakan oleh Robbins (Sopiah 2008:3) adalah: “Organization is a consciously coordinated social units, composed of two or more people.that function on a relatively continuous basic to achieve a common goals or sets of goals.” Bila diartikan ke dalam bahasa Insonesia, organisasi adalah merupakan satuan sosial yang terkoordinir secara sadar, yang relatif berjalan secara berkelanjutan, terdiri dari 2 orang manusia atau lebih untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan. Organisasi menurut Lubis & Huseini (1987:1) adalah: Suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusaia, yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, yang sebagai suatu kesatuan mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga dapat dipisahkan secara tegas dari lingkungannya. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapatnya kaitan yang sangat erat antara lingkungan organisasi dengan kinerja pegawai. Antara lingkungan dan organisasi, harus ditetapkan batas-batas yang jelas, sehingga ada kejelasan segmen lingkungan mana yang bepengaruh terhadap organisasi, dalam hal ini ialah Sekolah Tinggi Ilmu Admisnistrasi Bandung.
Sumber Daya Organisasi Organisasi dalam perjalanan melaksanakan tugas menuju tujuan yang diinginkan, harus selalu mengupayakan keprofesionalannya, agar mampu bersaing dengan organisasi sejenis, supaya tetap eksis di masyarakat. Setelah mengetahui, keunggulan dan kelemahan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi, kemudian ditetapkannya strategi untuk pencapaian tujuan . Pendapat ini mengacu kepada Grant dalam Sedarmayanti (2014; 98) Menurut Robbins (1994: 479) budaya organisasi adalah: “nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi.“ 6.
Pengertian Lingkungan Organisasi Yang dimaksud dengan lingkungan organisasi, menurut Lubis & Huseini (1987:19) adalah: ”Suatu yang tiada terhingga, (infinit) dan mencakup seluruh elemen yang terdapat di luar organisasi.” Elemen lingkungan organisasi, ialah: 1) Industri; 2) Bahan baku. 3) Tenaga Kerja 4) Keuangan 5) Pasar 6) Teknologi 7) Kondisi ekonomi 8) Pemerintah 9) Kebudayaan 7.
Dari uraian segmen organisai seperti tersebut di atas, perlu diteliti, mana yang membantu organisasi, dan mana yang berpengaruh negatif terhadap organisasi secara signifikan, kemudian akan dicari cara mengatasinya.
P a g e | 43 Sedang menurut Handoko (2003:62) : “Lingkungan eksternal mempunyai baik unsur-unsur yang berpengaruh langsung (lingkungan eksternal langsung) dan yang berpengaruh tidak langsung (lingkungan ekstern makro). Lingkungan ekstern mikro terdiri dari para pesaing, penyedia, langganan, lembaga-lembaga keuangan, pasar tenaga kerja dan perwakilan-perwakilan pemerintah. Unsur-unsur ekstern makro mencakup teknologi, ekonomi, politik dan sosial yang mempengaruhi iklim, di mana organisasi beroperasi dan mempunyai potensi menjadi kekuatan-kekuatan sebagai lingkungan ekstern mikro.”
Sedang Kottler (1996:201) mengemukakan bahwa lingkungan intern terdiri: 1) Sumber daya (Resources): input dalam proses produksi perusahaan( organisasi) seperti peralatan, modal, keahlian pegawai individual, keuangan dan manajer yang berpengalaman. 2) Capabilitas (capabilities): Kapasitas kemampuan dari serangkaian sumber daya secara terintegrasi untuk melakukan tugas atau aktivitas tertentu. 3) Kompetensi inti ( Core Competences) : Sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki perusahaan /organisasi yang merupakan kekuatan daya saing ( keunggulan kompetitif) di atas para pesaingnya.
Pengaruh lingkungan terhadap organisasi, tidaklah sama ada yang kuat, sedang dan lemah. Organisasi seyogianya memperhatikan kekuatan lingkungan tersebut dalam pengaruhnya terhadap organisasi. Hal ini senada seperti yang dikemukakan oleh Robbin (1994: 232), yang membedakan kuat dan lemahnya pengaruh lingkungan terhadap organisasi menjadi 4 kriteria, yaitu: 1) Lingkungan placid randomized 2) Lingkungan placid-clustered 3) Lingkungan disturbed reactive 4) Lingkungan turbulensi fields
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa lingkungan internal organisasi dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yang penting, yang masing-masing dapat diuraikan menjadi: 1) Sumber daya (Resources) terdiri atas: Keahlian pegawai secara individual, keuangan dan pimpinan. 2) Capabilitas (capabilities) keahlian pegawai dalam menguasai pengetahuan dan ketrampilan. 3) Kompetensi inti (Core Competences) sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki perusahaan.
Dari definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa tidak semua lingkungan memiliki pengaruh yang sama kuat/lemahnya terhadap organisasi, khususnya STIA Bandung. Yang perlu diwaspadai ialah lingkungan yang ke empat, yaitu lingkungan turbulensi–fields yang berpengaruh besar terhadap STIA Bandung.
Job description (uraian jabatan). Adapun manfaat dari job description tersebut (internet wordpress. Com/2007/11/30) menyatakan: 1) Atasan: untuk mengoptimalkkan peran dan tanggung jawab bawahan; 8.
P a g e | 44 2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Pimpinan organisasi: untuk dapat memimpin dan memberikan motivasi agar pemegang jabatan menghasilkan kinerja optimal; Pemegang jabatan: sebagai panduan dan pedoman kerja serta mengetahui apa yang harus dilakukan dan diharapkan dari organsiasi; Perekrut: untuk mengetahui kandidat yang tepat dan paling cocok sesuai kebutuhan jabatan; Trainer: untuk mengetahui kebutuhan pelatihan bagi pemegang jabatan; Assesor: untuk mengetahui analisa terhadap pemegang jabatan (compency assessment, in-depth interview dll); Perencana karir (Succession Planner): untuk menempatkan individu sesuai dengan peran, tanggung jawab dan kebutuhan organsiasi; Perencanaan dan pengembangan organisasi (Organization Development & Planner): untuk membuat perencanaan pengembangan organisasi yang membutuhkan pemahaman tentang jabatan dan jenis peran/tanggung jawab yang diperlukan; Job Evaluator: untuk membobot jabatan dan membandingkan jabatan lain di dalam organisasi.
Dari uraian tesebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa dalam suatu organisasi harus jelas mengenai job description, sebagai tolok ukur dalam perencanaan, kegiatan, pengendalian, dan pengawasan, agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan efektif dan efisien.
Job classification Menurut Moenir (2010:56), pengelompokkan terdiri dari : 1. Pengelompokan pegawai; 2. Pengelompokan pembiayaan; 3. Pengelompokan barang; 4. Pengelompokan surat-surat; 5. Pengelompokan pekerjaan. 9.
10. Pengertian Kepemimpinan Di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat para ahli tentang kepemimpinan, antara lain pendapat Maccoby ( Hasibuan, 2006:42) adalah: Seorang pemimpin pertama tama harus seorang yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para bawahannya. Seorang pemimpin yang baik untuk masa kini adalah orang yang religious , dalam arti menerima kepercayaan etnis dan moral dari berbagai agama besar secara kumulatif, kendatipun ia sendiri mungkin menolak ketentuan gaib dan ide keTuhanan yang berlainan. Menurut pendapat Maccoby tersebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa seorang pemimpin untuk masa sekarang adalah: 1) Memiliki kemampuan untuk menumbuh kembangkan potensi anggota yang dipimpinnya, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas organisasi; 2) Memiliki keyakinan terhadap agama yang dianutnya; 3) Mau mengakui keberadaan agama lain, dan saling menghargai. 11. Karakterisitik Kepemimpinan Karakteristik kepemimpinan di Indonesia, Kartono (1998:258)
P a g e | 45 berpendapat: perlu memiliki dan mencerminkan kepemimpinan pancasila. Hal ini sesuai dengan penerapan falsafah bangsa Indonesia dan falsafah Negara, dan sesuai juga dengan pengarahan kepemimpinan yang utama dikembangkan di Indonesia, yaitu kepemimpinan pancasila yang memiliki sifat-sifat: 1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa 2. Hing Ngarsa sung Tulada 3. Hing Madya Mangun Karsa 4. Tut Wuri Handayani 5. Waspada Purba Wisesa 6. Ambeg Parama Arta 7. Prasaja 8. Satya 9. Hemat ( Gemi, nastiti, ati-ati) 10. Terbuka, 11. Legawa 12. Bersifat ksatria Selanjutnya, menurut Gordon (alih bahasa Alex Tri Kantjono Widodo, 1997:5), karakteristik pemimpin yang baik, harus memiliki: 1) Mendengarkan sampai memahami; bersedia membahas masalah; terbuka terhadap gagasan orang lain; menyediakan waktu untuk mendengarkan; 2) Mau mendukung dan membantu, mau meyokong mau berpihak kepada anda ;mau mengingat masalah Anda; 3) Menggunakan pendekatan kelompok, membantu kelompok mencapai keputusan yang lebih baik memudahkan kerja sama; 4) Menghindari supervise terlalu dekat, tidak terlalu ngebos, tidak mau mendekte atau mengikuti petunjuk buku secara kaku; 5) Mendelegasikan wewenang, mempercayai kelompok, memperbolehkan kelompok
6)
7)
mengambil keputusan, mempercayai kreativitas orang lain; Berkomunikasi terbuka dan jujur, tidak merahasiakan pendapatnya, perkataannya dapat dipercaya, Mengusahakan yang terbaik dari anak buahnya.
Dari ke dua sifat kepemimpinan tersebut di atas, maka peneliti berpendapat yang paling baik untuk diterapkan di STIA Bandung yaitu pendapat yang pertama, yaitu prinsip kepemimpinan yang berlaku di Indonesia. 12. Pengertian tentang Kinerja Definisi Kinerja atau performance adalah: Gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan , visi , dan misi organisai yang dituangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi. Kinerja dapat diketahui dan diukur jika individu atau sekelompok karyawan telah mempunyai criteria atau standard keberhasilan tolok ukur yang ditetapkan organisasi. (Moeheriono, 2009:60) Dari definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa kinerja berisi: 1) Menetapkan tujuan, sasaran dan strategi organsiasai, apa yang diinginkan oleh organisasi, sesuai dengan visi dan misinya. 2) Menetapkan indikator-indikator kerja beserta ukurannya 3) Mengukur tingkat pencapaian suatu program kegiatan dalam mewujudkan sasaran 4) Mengevaluasi, apakah hasil kerja tersebut sudah mencapai sasaran berdasarkan standard dan perencanaannya.
P a g e | 46 4)
5)
Pelaksanaan kegiatan itu berdasarkan perencanaan organisasi Pencapaian hasil kerja tersebut ditetapkan berdasarkan standard yang telah ditentukan oleh organisasi.
13. Indikator kinerja pegawai. Banyak indikator yang dikemukakan oleh para ahli. Peneliti berusaha mencari indikator yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam kinerja organisasi STIA Bandung, kemudian menetapkan pendapat Moeheriono (2009:80), yang mengemukakan indikator kineja pegawai meliputi : 1) Efektif; 2) Efisien ; 3) Kualitas; 4) Ketepatan waktu; 5) Produktivitas ; 6) Keselamatan. Indikator seperti tersebut di atas, masih bisa dikembangkan, sesuai dengan keberadaan organisasi tersebut. Hal itu disebabkan karena organisasi sifatnya selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan itu sendiri. 14. Pengertian Kinerja Menurut MENPAN Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, merumuskan tentang kinerja pegawai dalam konteks pelayanan kinerja menjadi 12 item, meliputi: 1) Prosedur pelayanan; 2) Persyaratan pelayanan; 3) Kejelasan tugas pelayanan 4) Kedisiplinan petugas pelayanan; 5) Tanggung jawab petugas pelayanan; 6) Kemampuan petugas pelayanan;
7) 8) 9)
Kecepatan pelayanan; Keadilan pelayanan; Kesopanan dan keramahan petugas; 10) Kewajaran biaya pelayanan; 11) Kenyamanan lingkungan; 12) Keamanan pelayanan. Ukuran kinerja yang dirumuskan oleh MENPAN yang terdiri dari 12 unsur tersebut, memberi gambaran lebih rinci dibandingkan dengan konsep kinerja yang diberikan oleh pakar yang lain. Dan seharusnya menjadi acuan bagi Instansi di Indonesia dalam menghadapi pemasalahan tentang kinerja. Pada konteks Kineja organisasi publik, Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 2000, telah mengembangkan konsep dan ukuran kinerja sebagai alat manajemen, dalam rangka menetapkan kepercayaan publik dalam pelayanannya, menjadi : 1) Masukan; 2) Keluaran; 3) Hasil; 4) Manfaat; 5) Dampak. Dari uraian tersebut di atas, LAN menyoroti kinerja dari: input, proses, output dan outcome, serta dampak apa yang muncul di masyarakat dari keputusan tersebut. Hal ini akan menjadi standard dalam mengadakan evaluasi kegiatan tentang kinerja pegawai dalam suatu organisasi. Untuk mengadakan evaluasi terhadap kinerja pegawai, perlu adanya tolok ukur atau standard, untuk menentukan berhasil atau tidaknya suatu kegiatan. Ratminto dan Winarsih (2013:179) membedakan ukuran beserta indikator kinerja menjadi : 1. Ukuran yang berorientasi hasil: a. Efekktivitas
P a g e | 47 b. Produkktivitas c. Efisiensi d. Kepuasan e. Keadilan 2. Ukuran yang berorientasi pada proses: a. Responsivita; b. Responsibilita;s c. Akuntabilitas; d. Keadaptasian; e. Kelangsungan hidup; f. Keterbukaan; g. Empati. 3. Pengukuran kinerja pelayanan., meliputi : a. Ketampakan fisik (Tangible) b. Reliabilitas ( Reliability) c. Responsivitas (Responsiveness) d. Kesopanan(Courtessy) e. Kompetensi (Competence) f. Kredibilitas (Credibility) g. Keamanan (Security) h. Akses (Access) i. Komunikasi (Communication) j. Pengertian (Understanding the customer) Dari uraian tersebut di atas, maka akan tampak menjadi jelas, bahwa setiap pelaksanaan tugas akan diadakan evaluasi, untuk mengetahui apakah kegiatan tersbut berjalan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam suatu standard. Standard ini akan menentukan baik buruknya suatu kegiatan. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Sekolah TinggiI lmu Administrasi Bandung, yang memiliki fungsi melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, meliputi; pendidikan, penellitian dan pengabdian kepada masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Sugiyono (2008:1) :
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksprimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dillakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sedarmayanti dan Hidayat (2011:200), tentang penelitian kualitatif, mengemukakan: Penelitian untuk menggungkap gejala holistic – kontekstual menjadi pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif, proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan. Dalam penelitian ini, obyek penelitian meliputi keseluruhan aspek , mengenai kinerja organisasi, yaitu meliputi: 1) efektivitas organisasi, yang berhubungan deng an hasil kerja dari organisasi 2) efisiensi, yang berkaitan dengan apakah tujuan organisasi tersebut ditempuh secara hemat 3) Kualitas,yang berarti tujuan organisasi tersebut bermutu baik sesuai dengan visinya 4) Ketepatan waktu dalam pencapaian tujuan
P a g e | 48 5)
Keselamatan kerja dalam melaksanakan kerja terdapat aturan tentang keselatan kerja
Selanjutnya Sedarmayanti dan Hidayat (2011:200), mengemukakan bahwa pendekatan kualitatif, digunakan bila: 1) Masalah penelitian belum jelas; 2) Untuk memahami makna di balik data yang tampak; 3) Untuk memahami interaksi social; 4) Memahami perasaan orang; 5) Untuk mengembangkan teori; 6) Untuk memastikan kebenaran data; 7) Meneliti sejarah pengembangan. Dari pendapat yang dikemukakan oleh kedua pengarang tersebut, peneliti berpendapat bahwa pendekatan kualitatif lebih cocok untuk digunakan sebagai model penelitian, karena penelitian ini meneliti manusia dalam kinerja organisasi STIA Bandung dalam melaksanakan proses bekerja untuk mendapatkan hasil. Selanjutnya, alasan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif ialah untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan akurat tentang kinerja kinerja organisasi di STIA Bandung. Peneliti mengadakan kontak langsung dengan para informan, untuk mendapatkan jawaban yang jelas dan mendalam dari obyek yang diteliti. Yang menjadi imforman penelitian di sini, ialah seluruh pegawai struktural Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung. Jumlah pegawai struktural tersebut saat ini sebanyak 18 orang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi lapangan: 1. Pengamatan 2. Wawancara 3. Penelaahan dokumen
4. Studi literature Dilakukan dengan membaca buku, jurnal, internet yang berkaitan dengan lingkungan internal organsiasi dan kineja pegawai struktural di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Bandung. Literatur ini berfungsi sebagai landasan teoritis untuk memahami peranan lingkungan internal organsiasi dalam meningkatkan kinerja oganisasi STIA Bandung sebagai fokus penelitian. 5. Instrumen pengumpulan data. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen penelitian, meliputi: a. Peneliti sendiri sebagai instrumen; b. Buku catatan; c. Alat perekam; d. Kamera foto. 6. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian ini pelaksanaannya dirancang dalam 3(tiga) tahapan, yaitu : a) Tahap Orientasi b) Tahap eksplorasi data. c) Tahap member check 7.
Teknik verifikasi data Verifikasi data ini dilakukan untuk mendapatkan keabsahan data dengan menggunakan triangulasi data, dengan cara melakukan chek, recheck serta crosscheck data yang diperoleh. Metode triangulasi dilakukan dengan cara membandingkan temuan hasil: observasi, wawancara dan penelaahan dokumen. Triangulasi teori dalakukan dengan membandingkan model konseptual yang telah dibuat, dengan teori yang dikemukakan oleh para ahli, atau penjelasan pembanding yang relevan dengan keperluan tersebut secara logik.
P a g e | 49 Melalui teknik triangulasi, diharapkan fakta, data dan informasi yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan dan memenuhi persyaratan kesahihan dan keabsahan. 8.
Prosedur Pengolahan dan Analisis Data Prosedur dan pengolahan data dilakukan secara simultan, terus menerus dan berulang ulang secara bersamaan dengan kegiatan pengumpulan data melalui pengamatan dan observasi. Dalam proses ini sekaligus dilakukan reduksi data secara selektif bagi data yang diperlukan, sehingga pekerjaan lebih efektif dan efisien. Hasil analisis berupa tafsirantafsiran, dihubungkan secara tertib, logis dan sistematis. Analisis data adalah proses penyusunan data agar data dalam penelitian dapat ditafsirkan dengan mudah. Menyusun data berarti: menggolongkan data dalam pola, tema atau kategori. Analisis data sudah dimulai sejak merumuskan masalah sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus menerus sampai penulisan hasil penelitian. Analisis data dalam penelitian kualitatif,memperlihatkan sifat interaktif dengan pengumpulan data. Analisis data ini meliputi: 1) Reduksi data. 2) Penyajian data. 3) Penarikan simpulan atau verifikasi dilakukan dengan mencari data baru yang menguatkan untuk mendukung simpulan yang sudah didapatkan Ketiga tahapan seperti tersebut di atas, merupakan rangkaian yang saling terkait, dan dilakukan secara terus menerus.
D. PEMBAHASAN 1. Profil Fisik STIA Bandung Luas tanah yang dipergunakan mendirikan gedung untuk kampus STIA Bandung seluas 800 m persegi, yang terletak di Jl. Muararajeun Lama Bandung. Tanah ini milik Pemerintah Kota Bandung, yang di sewa kontrak selama lima tahunan, dan dapat diperpanjang lagi, sepanjang masih diijinkan oleh Pemerintah Kota Bandung. Letaknya strategis, karena masih berada dalam wilayah kota Bandung, dan mudah untuk dicapai bagi para mahasiswa dan dosen. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Repubblik Indonesia No.234/U/ 2000. Tentang Pendirian Perguuan tinggi, persyaratan minimal megenai luas tanah untuk Sekolah Tinggi, yaitu 5000 m2. Bila dibandingkan antara keadaan yang ada pada saat kini tentang luas tanah adalah 800 m2, dan persyaratan minimal yang ditentukan oleh KEMENDIKNAS adalah 5000 m2, maka terdapat suatu kesenjangan yang begitu besar, sehingga pelaksanaan proses pembelajaran terganggu. Hal ini tampak dalam penyediaan lahan parkir bagi para dosen dan mahasiswa. Banyak kendaraan yang diparkir di luar kampus atau ditepi jalan. Hal ini pasti mengganggu lalu lintas, karena jalan di samping STIA Bandung termasuk sempit. Keadaan semacam ini akan mengakibatkan ketidaksenangan warga sekitar STIA Bandung. Peneliti berpendapat, sebaiknya STIA Bandung berusaha memiliki kampus tersendiri, dengan membeli tanah. Untuk mendapatkan tanah di dalam kota seluas yang dipersyaratkan oleh KEMENDIKNAS seluas 5000 m2, memang susah didapatkan. Biasanya akan lebih mudah
P a g e | 50 mencari tanah di luar Pemerintah Kota Bandung, dengan mempertimbangkan kemudahan untuk kegiatan perkuliahan. Hal ini sesuai dengan Perguruan Tinggi lain, baik Negeri maupun Swasta. 2. Keadaan Keuangan di STIA Bandung Sumber keuangan di STIA Bandung, berasal dari dana SPP mahasiswa. Besar SPP untuk setiap mahasiswa bila dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta lainnya sangat kompetitif, ditambah dengan berbagai keringanan lainnya. Hal ini merupakan salah satu strategi marketing yang diambil untuk memperoleh jumlah mahasiswa yang lebih banyak ditambah dengan pesan moral dalam memberikan kesempatan bagi mereka yang ingin mengecap pendidikan di perguruan tinggi akan tetapi secara finansial kurang mampu. Kondisi ini ternyata juga menyebabkan STIA Bandung harus memiliki kemampuan manajemen risiko tinggi, karena harus menghadapi ancaman kelangsungan hidup institusi, bila dihadapkan dengan komitmen mahasiswa dalam memenuhi kewajibannya. Selain dana SPP STIA BANDUNG juga memperoleh dana hibah baik bagi mahasiswa maupun pembangunan sarana fisik walau tidak besar namun cukup berarti. Sumber dana yang didapat dari SPP mahasiswa tersebut, digunakan untuk: a) Biaya operasional pembelajaran, yang meliput: honorarium mengajar dosen baik dosen tetap maupun luar biasa, rapat dosen, Ujian Tengah Semester dan Akhir Semerter, pemeriksaan hasil ujian; b) Pembayaran Gaji pegawai STIA Bandung;
c) d) e) f) g) h)
Sewa gedung, pembayaran tilpon dan listrik; Biaya rapat; Pengurusan Akreditasi; Biaya kebersihan; Biaya tidak terduga. Biaya kemahasiswaan dan alumni
Berdasarkan studi dokumenter, diperoleh data bahwa dalam pengelolaan keuangan STIA mampu bertahan dalam kondisi titik impas (Break Event Point/BEP), dengan catatan bahwa penghasilan tetap atau gaji para pegawai terpaksa berada dibawah UMR kota. Diluar gaji tetap para pegawai ternyata masih mendapat penghasilan tambahan dari kegiatan ekstra seperti lembur, honorarium mengawas, piket, seminar dan ujian sidang. Agar kinerja STIA Bandung makin meningkat maka dari segi keuangan perlu ada upaya membangun kerjasama dalam menggali potensi sumberdaya keuangan untuk membangun kampus sendiri, di samping untuk menyejahterakan para pegawai. Peneliti berpendapat, bahwa dimasa depan, untuk meningkatkan kinerja STIA Bandung maka perlu dipertimbangkan untuk menaikkan pendapatan, dengan menaikkan biaya SPP sejalan dengan peningkatkan SPP harus diimbangi dengan peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan tidak menyampingkan misi moral memberikan bantuan bagi mahasiswa berprestasi dan tidak mampu. 3. Teknologi Teknologi yang dimillki oleh STIA Bandung, berdasarkan pengamatan lapangan ternyata, disetiap ruangan telah tersedia komputer. Tetapi printernya belum tesedia di beberapa
P a g e | 51 bagian. Hal ini mengakibatkan kurang lancarnya penyelesaian pekejaan. Akses informasi, masih terbatas karena keterbatasan teknologi informasi . Keterbatasan akses ini perlu segera diatasi terutama dalam koordinasi dengan organisasi terkait, seperti dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, KOPERTIS Wilayah IV Jawa Barat dan Banten , yang merupakan pusat informasi dan distribusi informasi, diantaranya berupa: penyebarluasan peraturan- peraturan baru, informasi kegiatan, umpamanya: pengadaan seminar-seminar yang diadakan oleh KOPERTIS, penggiriman EPSBED (Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri), yang sudah harus dikirim melalui internet. Kekurang lancaran akses teknologi informasi ini juga karena kadang diakibatkan oleh dukungan finansial. Selain kurangnya ketersediaan sarana teknologi informasi, juga disebabkan oleh unsur kompetensi pegawai, yang sebagian besar dari pegawai struktural berusia lanjut belum mampu mengoperasikan computer dan enggan untuk mempelajarinya. Untuk meningkatkan dayasaing STIA Bandung, maka perlu diambil langkah -langkah sbb: a) Peningkatan kemampuan yang dimiliki oleh para pegawai dalam bidang teknologi informasi, baik keterampilan operasional, maupun pengenalan dan aplikasi berbagai software serta pemrograman sehingga akan sangat membantu kelancaran pelaksanaan tugas organisasi yang makin hari makin bertambah volumenya dan jaminan mutu yang dituntut. b) Perlunya modernisasi dan pengadaan sarana teknologi informasi dalam mengantisipasi kebutuhan untuk
pengumpulan data, pengolahan, analisis, penyimpanan dan penemuan kembali , serta pendistribusiannya kepada fihak lain yang memerlukan pelayanan informasi dan jenis layanan lainnya. 4. Reputasi Budaya Organisasi Budaya organisai merupakan nilai dominan yang disepakati bersama antara pimpinan dan para pegawai yang ada dalam suatu organnisasi. Hasil wawancara dengan para informan dan pengamatan , menunjukkan bahwa: a) Kehadiran pegawai di kantor: Belum dipenuhi sesuai dengan aturan yang berlaku, baik mengenai kedatangan maupun kepulangan serta ijin meninggalkan kantor. Banyak pegawai yang datang terlambat, dan pulang mendahului dari jam pulang, tanpa sangsi. Hal ini terjdi setiap hari. Banyak yang meninggalkan kantor dalam jam kerja. b) Penyelesaian pekerjaan; karena kehadiran pegawai di kantor juga tidak menentu, maka pekerjaan yang dibebankan kepada para pegawai, juga tidak selesai tepat waktu c) Komunikasi antar pegawai: berjalan kurang intensif demikian pula komunikasi antar pimpinan, bahkan konflik antar pimpinan puncak terjadi . d) Pengangkatan pegawai belum sepenuhnya berdasarkan peraturan yang berlaku. Masih terjadi nepotisme. Adanya rangkapan jabatan yang secara yuridis tidak dibenarkan, dan ada pula jabatan yang secara yuridis
P a g e | 52
e)
tidak d iperbolehkan dan ini mendorong institusi kepada posisi tidak sehat. Masalah lainnya ialah adanya diskriminasi pemberian perlakuan istimewa kepada pegawai tertentu sehingga menimbulkan kecemburuan diantara pegawai lainnya dan berakibat kepada menurunnya semangat kerja. Fungsi pimpinan, sebagai figur pelaksana pengawasan melekat, belum terlaksana secara efektif.
Peneliti berpendapat, bahwa pembentukan budaya organisasi yang kondusif perlu dibangun agar berdampak positif terhadap pengakuan dari masyarakat, dan juga merupakan kebanggaan dari pegawai yang ada dalam organisasi. 5. Sumber Daya Manusia Berdasarkan pengamatan di lapangan didapatkan fakta: a) Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa dalam bidang teknologi pengetahuan, ketrampilan dan sikap para pegawai masih belum memadai. Dan bahwa sebagian besar pegawai terdiri atas para pensiunan dari pegawai negeri atau TNI dengan usia rata rata diatas enam puluh tahun b) Kondisi diatas banyak dikeluhkan oleh tenaga muda yang mengkhawatirkan kesempatan pengembangan karirnya, c) Penempatan pegawai belum didasarkan atas kesesuaian antara kompetensi yang dimiliki pegawai dengan persyaratan jabatan sehingga kinerja pegawai tidak bisa diharapkan optimal d) Gaji yang diterima masih sangat rendah, bahkan masih berada di
e)
standar upah minimum kota (UMK). Bila hal ini tidak mendapatkan perhatian yang serius kemungkinan besar pegawai yang memiliki kemampuan dan ketrampilan yang baik akan berpindah ke tempat organisasi lain. Konsekuensi diatas akan menyebabkan biaya tinggi untuk pengadaan tenaga kerja baru, dan belum tentu memiliki kualitas yang sama dengan sebelumnya..
Berdasarkan hasil analisis diatas maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Kompetensi sumber daya manusia perlu ditingkatkan dalam suatu organisasi. Untuk memperolehnya, perlu dilakukan sejak rekruitmen, seleksi dan penempatannya 2) Peningkatan kualitas pegawai yang sudah ada, dapat dilakukan melalui pelatihan, kemudian ditempatkan sesuai dengan bidang tugas yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tersebut. 3) Perlu ada standard kompetensi sebagai dasar untuk penempatan pegawai, supaya prestasi individu maupun organisasi akan tercapai. 4) Penempatan pegawai berdasarkan standar kompetensi bertujuan untuk memotivasi para pegawai, dalam menempuh jenjang karirnya. 5) Gaji yang diterima oleh pegawai perlu berdasarkan kebutuhan minimal pegawai, paling tidak mendekati ketentuan pemerintah tentang Upah Minimum Regional. 6) Perlu ditetapkan standard operasi prosedur mulai dari: a) Perekrutan dan Penempatan
P a g e | 53 pegawai perlu berdasarkan : Perencanaan kebutuhan pegawai baik kuantitas maupun kualitasnya baik sekarang maupun kecenderungan dimasa yang akan datang . b) analisis jabatan, uraian jabatan, spesifikasi jabatan dan evaluasi jabatan serta job requirement. c) Pengujian dan penyeleksian calon pegawai yang dibutuhkan. Dalam hal ini perlu dipersiapkan mengenai materi test, pelaksanaan dan penilaian. Gunakan alat bantu teknologi mulai dari persiapan, pengolahan, penilaian sampai penyebaran informasi bagi yang diterima. d) Untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pegawai, perlu direncanakan kebutuhan pelatihan dan pengembangan pegawai baik jabatan struktural maupun fungsional dan keterampilan teknis. 6. Komunikasi dan Interaksi Bahwa komunikasi dan interaksi yang baik dapat membantu terciptanya keharmonisan hubungan antar manusia Peneliti berpendapat, bahwa komunikasii dalam organisasi sebaiknya terus menerus dibina dan ditingkatkan, baik melalui jalur formal maupun informal yang bersifat kekeluargaan 7. Motivasi Hasil orientasi motivasi di lapangan yaitu di STIA Bandung, ada beberapa temuan data yang berbeda
antara pegawai yang satu dengan yang lainnya. namun mereka sependapat, bahwa motivasi yang ada berasal dari dalam diri pribadi sendiri. Dari kelompok ini dapat di golongkan menjadi: a. Sebagian berpendapat, bahwa mereka termotivasi untuk bekerja dengan baik, karena dalam organisasi mengetengahkan sifat kekeluargaan, sehingga dapat bekerja dengan menyenangkan. Yang penting pekerjaan harus selesai. Antar para pegawai saling membantu dalam menyelesaikan pekerjaan biarpun kadangkadang pekerjaan itu bukan bagiannya. Sebagian termotivasi untuk bekerja dengan baik, karena pimpinan memberi kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan diri, berupa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sampai ke tingkat Doktor sebanyak 4 orang dan ke jenjang S-2 sebanyak 2 orang. Dalam melanjutkan pendidikan juga dicarikan beasiswa yang berasal dari Pemerintah. Kemajuan di bidang pendidikan bagi pegawai menjadi tanda, bahwa STIA Bandung akan lebih maju dan berkembang, karena mamiliki Sumber Daya Manusia yang lebih baik. Di samping itu, para pegawai juga termotivasi untuk bekerja dengan baik, karena pimpinan juga memberi kesempatan bagi para pegawai untuk mencari tambahan penghasilan dengan memberi kesempatan untuk mengajar baik di dalam jam kerja maupun di luar jam kerja.
P a g e | 54 b.
Bagi mereka yang telah purna tugas dari Instansi lain, mereka termotivasi, masih dapat bekerja dari pada beristirahat di rumah saja. Bekerja di samping menghasilkan, juga memberi hiburan tersendiri. Mereka ingin menunjukkan bahwa dirinya masih dapat berkarya, ingin menunjukkan aktualisasi diri.
Bila dilihat dari teori motivasi, kelihatannya motivasi yang ditunjukkan oleh para pegawai di STIA Bandung mengacu atau lebih mendekati pada teori yang dekemukakan oleh Douglas McGregor tentang teori “Y“ yang menggarisbawahi: manusia pada dasarnya suka bekerja, mempunyai rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya. Dalam melaksanakan tugasnya manusia harus kreatif dan inovatif, mencari penyelesaian tugasnya dengan efektif dan efisien. Dan manusia pada dasarnya tidak senang diawasi terus menerus. Peneliti berpendapat bahwa motivasi yang selama ini terbentuk di STIA Bandung ini, yang intinya motivasi tumbuh dari dalam diri pegawai, perlu ditumbuh kembangkan menjadi lebih baik lagi. Hal ini perlu disadari, karena bila ingin menumbuhkan motivasi didasarkan atas gaji, atau imbalan materi yang lain, STIA Bandung dalam waktu dekat sulit untuk memenuhinya. Peneliti beranggapan bahwa gaji para pegawai yang masih berada di bawah standard Upah Minimum Regional. Sebab sumber keuangan dari STIA Bandung terutama berasal dari SPP mahasiswa. Sedangkan jumlah mahasiswanya masih sedikit
Motivasi yang sampai saat ini terbentuk, menurut peneliti sudah bagus, dan tinggal memelihara saja. Bila terjadi pergantian pimpinan, maka pimpinan baru diharapkan mampu meneruskan upaya pimpinan yang lama dalam menumbuh motivasi pegawainya. Dalam mewujudkan motivasi yang sekarang ini terbentuk, peneliti mengakui, masih didapatkan kelemahan- kelemahan. Diantaranya, penerapan aturan yang masih lemah, umpamanya: disiplin datang dan pulang dari para pegawai masih rendah, adanya perlakuan khusus bagi beberapa pegawai yang hadir satu atau dua hari selama seminggu, karena menjadi pegawai negeri di tempat lain. Sanksi terhadap penyimpangan belum dilaksanakan dengan baik dan sebagainya. Semuanya ini harus dikurangi, disiplin kerja dapat terbentuk dengan baik. 8. Efektivitas dan Efisiensi Organsiasi. a. Kepuasan Pelanggan Pelanggan dalam penelitian ini ialah para mahasiswa STIA Bandung. Berdasarkan pengamatan di lapangan, ditenukan data sebagai berikut: Tabel. Data Statistik Mahasiswa STIA Bandung Tahun 2006 – 2009 No Angkata Jumla Lulu Belu . n h s m 1 2006 27 9 18 2 2007 31 5 26 3 2008 58 24 34 4 2009 33 10 23 Jumlah 149 48 101 Sumber: Bag. Akademik STIA Bandung, 21 April 2014
P a g e | 55 Bila dilihat dari data tersebut di atas, tentang hasil kelulusan selama 4 tahun berturut-turut jumlah mahasiswa yang seharusnya lulus, sebanyak 149. Namun kenyataannya, yang sudah lulus baru 48 mahasiswa. Ini berarti baru tercapai 47 % saja. b.
Hambatan realisasi Pembayaran SPP Mahasiswa i) Hambatan terjadi karena para mahasiswa sebagian besar adalah Pegawai Negeri Sipil yang bergolongan pangkat masih rendah , bahkan banyak yang masih honorer atau pegawai swasta yang kedudukan kepegawaiannya juga belum mantap. 1) Kelompok mahasiswa yang berstatus pegawai honorer, maka belum berhak untuk memperoleh surat ijin belajar dari Badan Kepegawaian Daerah. Konsekwensinya walau sudah lulus belum bisa disetarakan ijazahnya maka mereka beranggapan sia-sia saja untuk menyelesaikan studinya.. 2) Kelompok lain beralasan, letak kampus STIA Bandung jauh dari instansi tempat kerja mereka, yaitu mahasiswa yang berada di Bandung Timur. Mereka yang bekerja di IPDN dan sekitarnya. Dulu memang ada kerja sama antara STIA Bandung dengan IPDN, dan STIA Bandung mempunyai kantor perwakilan di IPDN. Semua urusan dapat diselesaikan di kantor perwakilan STIA di IPDN. Tetapi karena sekarang kerjasama telah diakhiri, maka kemudahan segala urusan tentang kemahasiswaan tsb. Tidak ada lagi Kelompok ini kesulitan dalam mendapatkan ijin untuk meninggalkan kantor
sebelum jam lima sore ya itu bertepatan dengan jam perkuliahan di STIA Bandung dimulai jam 17.00 juga yang memerlukan waktu tempuh sekitar 90 menit. Itupun kalau tidak macet dan/atau hujan. 3) Kelompok lain beralasan, karena dipindahkan ke kota lain, sehingga tidak mampu meneruskan perkuliahannya. c.
Hasil Penjaringan Mahasiswa 4 Tahun Terakhir Tabel. Data Penerimaan Mahasiswa Tahun 2010 – 2013 PRODI Tahun PRODI PRODI ANI ANE 2010 26 15 2011 34 40 2012 44 5 2013 45 5 Sumber: STIA Bandung, 2013. Dari data yang tersedia di atas, tentang penerimaan mahasiswa selama 4 tahun berturut-turut, dapat disimpulkan. bahwa perolehan penjaringan mahasiswa baru belum memenuhi standard minimal, yaitu setiap kelas terdapat sejumlah mahasiswa baru sebanyak 30 orang untuk ilmu pengetahuan sosial. Dengan jumlah 30 orang ini, maka biaya operasional akan terpenuhi, biarpun STIA Bandung belum mendapatkan saldo positif. Bila dianalisis lebih jauh, mengapa target tidak dapat terpenuhi, alasannya ialah kurangnya biaya untuk marketing keberadaan STIA Bandung. Biaya pemasaran STIA Bandung, berupa pencetakan, penyebar luasan leaflet, pemasangan
P a g e | 56 advertensi di media massa belum dijalankan. Yang sudah dijalankan barulah pemasangan spanduk, yang jumlahnya juga masih sangat terbatas Bila dilihat dari teori pemasaran yang baik, STIA Bandung seharusnya menempuh cara: a) Penyebarluasan leaflet keberbagai Instansi baik Pemerintah maupun swasta,dengan cara mendatangi sendiri ke kantor-kantor, atau mengirimkan melalui jasa pengantar surat, atau melalui pos. b) Penyebarluasan informasi keberadaan STIA Bandung, melalui internet. Menurut peneliti, hal ini akan lebih efektif dan efisien, karena pada saat ini, orang akan mencari informasi malalui intermet. c) Pemasaran yang efektif juga dapat ditempuh melalui pemasangan advertensi di media massa, misalnya melalui surat kabar, radio dan televisi. Cara terakhir ini memang harus diimbangi dengan dukungan biaya yang cukup mahal. Cara membuat advertensi juga harus didukung oleh sumber daya yang kreatif dan inovatif. d) Membagi-bagi leaflet kepada siswa yang baru lulus dari Sekolah Lanjutan Atas, dengan menempatkan orang di sekolahsekolah yang digunakan untuk Ujian Nasional. Bahkan dapat juga ditempuh dengan mengirimkan leaflet ke rumah-rumah siswa yang baru saja menempuh Ujian Nasional.
9. Kualitas Data yang diperoleh dari kualitas pendidikan di lapangan meliputi: a) Kualitas pelayanan dari pegawai STIA Bandung terhadap mahasiswa dan dosen. Pelayanan terhadap mahasiswa, masih ada rasa kurang puas mahasiswa karena petugas tidak setiap saat berada ditempat. Demikian pula halnya dengan pelayanan dosen terhadap mahasiswa untuk bimbingan penulisan skripsi, yang harus menunggu lama, karena kesibukan dosen yang bersangkutan. Pelayanan pembayaran SPP. pada waktu menjelang ujian, sehingga mahasiswa kehilangan waktu untuk mengerjakan soal ujian. Pelayanan pegawai terhadap para dosen pengajar, terjadi kesalahan sehingga ia harus kembali lagi untuk mengurus kesalahan tersebut. Dalam hal ini maka perlu ditetapkan standard pelayanan minimum yang baku. b) Dari segi keramahan, kesopanan, berdasarkan pengamatan nampak sudah berjalan dengan baik. c) Kualitas diartikan sebagai mutu dari output. Data di lapangan menunjukkan bahwa mutu dari lulusan STIA Bandung cukup baik. Hal ini ditunjukkan bahwa lulusan di IPDN semuanya telah disetarakan menjadi Golongan 3 a. Untuk penyetaraan dalam kepangkatan dan penggajian, dilalui dengan membuat makalah, dan makalah tesebut kemudian diuji. Ternyata dari lulusan atau alumni STIA Bandung yang bekerja di IPDN yang berjumlah 151 orang
P a g e | 57 sudah berhasil disetarakan. Demikian pula alulmni yang bekerja di instansi swasta (PT. Nikatzu), mereka telah menduduki jabatan strategis Pengakuan ini disampaikan oleh Pimpinan perusahaan PT. Nikatzu sendiri kepada rombongan STIA Bandung pada tahun 2013, sewaktu STIA Bandung mengadakan sosialisasi ke PT.Nikatzu dalam upaya perekrutan mahasiswa baru, dan dalam upaya pembinaan para alumninya. 10.
Ketepatan waktu pelayanan Ketepatan waktu pelayanan bagi mahasiswa dalam menyelesaikan studi berdasarkan data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar hampir 60% untuk strata satu belum dapat menyelesaikan tugas akhir. Hal keterlambatan penyelesaian studi ini, kesalahan terletak bukan pada pelayanan pegawai, melainkan ada pada mahasiswa Beberapa alasan dapat dikemukakan akibat keterlambatan dalam membayar SPP. Hal ini sebetulnya merugikan bagi mahasiswa itu sendiri, sebab makin lama terlambat membayar SPP.nya maka beban mahasiswa makin bertambah besar, karena setiap keterlambatan membayar SPP berarti tagihan untuk semester berkutnya bertambah pula. Bagi para mahasasiwa pascasarjana mengenai ketepatan waktu ini lebih baik. Batas penyelesaian studi direncanakan selesai pada bulan April 2014. Dan pada saat penelitian dilakukan (Mei 2014), yang dapat menyelesikan tesisnya baru 3 mahasiswa dari keseluruhan mahasiswa yang jumlahnya 12 orang.
Pelayanan pegawai STIA Bandung kepada dosen yang mengajar setiap harinya pada umumnya berjalan baik. Hal ini disebabkan adanya piket yang bertugas melayaninya. Dan untuk petugas piket tersebut, lembaga memberi uang transport. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengawai yang melaksanakan tugas piket tersebut. Pelayanan terhadap dosen ini, termasuk jalannya perkulliahan. Hal ini ditempuh dengan cara Untuk hal tersebut maka mengingatkan bagi dosen yang mengajar pada hari itu melalui telephone Dan bila dosen yang berhalangan tersebut menghendaki untuk diganti oleh dosen mata kuliah lain, barulah diganti. 11.
Produktivitas Bila produktivitas diartikan sebagi produk atau hasil dari suatu organisasi, maka berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa hasil yang dicapai berdasarkan kualitas, dapat dikategorikan baik. Hal ini dibuktikan bahwa lulusan untuk program strata satu di IPDN yang berjumlah 151 orang, semuanya sudah dapat disetarakan menjadi golongan 3a . Untuk penyetaraan ini dilakukan dengan ujian, yaitu dengan cara peserta ujian harus membuat makalah, kemudian baru diujikan. Ini merupakan suatu bukti, bahwa mutu produk lulusannya bernilai bagus. Dilihat dari kuantitas/jumlah lulusannya, selama 4 tahun terakhir yaitu antara tahun 2006 sampai dengan 2009, dari jumlah mahasiswa 149 mahasiswa baru 46 mahasiswa telah dapat menyelesaikan tugas akhirnya, sedangkan 101 mahasiswa
P a g e | 58 belum dapat menyelesaikan.tugas akhirnya. Ini berarti baru 47 % mahasiswa yang dapat menyelesaikan kuliahnya( data dari subag akademik April 2014). Menurut rencana, program studi strata satu, seperti dituangkan dalam leaflet yang disebarluaskan ke masyarakat, perkuliahan dapat diselesaikan dalam kurun waktu 4 tahun termasuk penulisan skripsinya. Peneliti berpendapat, keterlambatan ini bukan terletak dalam pelayanan pegawai di STIA Bandung, atau dosen. Melainkan terletak pada mahasiswanya sendiri, Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para mahasiswa kepada bagian akademik diantaranya: a) Keterlambatan pembayaran SPP. Karena kurang baiknya perencanaan pendapatan dengan pengeluaran termasuk untuk mengembangkan diri melalui kuliah. Kebutuhan primer dalam mengelola rumah tangga lebih diutamakan dari pada untuk pengembangan diri. Hal ini wajar untuk menjaga kelestarian pembinaan keluarga. b) Alasan kesibukan kantor yang tidak dapat ditinggalkan sehingga perkuliahan kurang berjalan dengan sewajarnya. Ada beberapa mata kuliah yang tertinggal, dan harus ditempuh untuk semester berkutinya c) Ada pula yang beralasan sakit, perlu penanganan dokter yang lebih dari 1 tahun. Ini berarti harus sembuh dulu dari penyakitnya. Sebagai konsekuensinya, ia harus mengeluarkan uang jauh lebih banyak dari pengeluaran untuk sekolah.
d)
e)
Untuk mengatasi beberapa kendala tersebut di atas peneliti mengusulkan untuk diadakannya kuliah semester pendek yang dilakukan sebanyak 10 sesi, selama 5 kali pertemuan, tanpa menurangi kualitas pembelajaran.. Waktunya ditetapkan setelah selesai UAS. Tentang pembiayaan ditanggung oleh mahasiswa, jangan membebani lembaga. STIA B hanya memfalitasi terselenggaranya pekuliahan tersebut. Selama ini belum pernah diadakannya semester pendek tersebut. Untuk Program Studi pascasarjana penyelesaian pembelajaran kemungkinannya akan lebih baik dari Program Studi Strata Satu, karena dari jumlah mahasiswa angkatan pertama sebanyak 12 orang, sudah ada 3 orang yang telah melaksanakan sidang, dengan hasil pujian, dan yang lainnya sedang menunggu giliran untuk mengikutinya. Kemungkinan besar target pencapaian tujuan tepat waktu dapat tercapai.
Bila kinerja diartikan hasil yang diperoleh untuk setiap tahun selam 4 tahun terakhir, yang terlihat pada tabel 6 sebelumnya, maka Prodi Pascasarjana baru mulai menerima mahasiswa baru. Pada tahun 2012 sebanyak 20 orang, tetapi ada 8 orang yang mengundurkan diri, sehingga yang aktif hanya 12 orang saja Data: Penerimaan Mahasiswa Baru TA.2013. Dari data perolehan mahasiswa seperti tersebut di atas, bila mengacu pada pembiayaan operasional penyelenggaraan pembelajaran,
P a g e | 59 minimal mahasiswa untuk setiap kelasnya berjumlah 30 orang. Jumlah SPP dari mahasiswa dapat digunakan untuk: pembiayaan perkuliahan, pembayaran dosen, pembiayaan transport petugas, gaji para karyawan, sewa gedung, pembayaran telephone dan listrik,biaya rapat/pertemuan dan sebagainya( biaya tidak terduga). Target penerimaan mahasiswa yang tidak pernah tercapai tersebut untuk 4 tahun terakhir itu, peneliti berpendapat, bahwa kurangnya sosialisasi keberadaan STIA Bandung baik di dalam maupun di luar Bandung, apalagi sampai ke luar Jawa. Peneliti bisa memahami hal itu terjadi, karena dalam menyosialisasikan keberadaan STIA Bandung, perlu biaya yang besar, dan lembaga tidak memilikinya. Peneliti mengajukan pemikiran untuk meningkatkan mutu terlebih dulu. Dan bila mutu dari STIA Bandung bagus, biasanya banyak yang mencari. Setelah peminatnya banyak, barulah uang SPP.nya dinaikkan. Pemikiran tersebut ada resikonya juga, karena rupa-rupaya Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi kurang diminati oleh masyarakat. Mereka yang sudah lulus, biasanya menghendaki untuk menjadi Pegawai Negeri. Dan untuk itu kenyataannya sulit dicapai, karena penerimaan Pegawai Negeri sangat terbatas untuk alumni dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi. Cara lain dapat ditempuh dengan berupaya mendirikan jurusan baru yang diminati oleh masyarakat, yaitu program diploma 3 yang berbau komputer. Alumninya banyak yang diperlukan oleh perusahaan swasta . Hanya sayang untuk ijin mendirikan prodi baru untuk sementara waktu sedang di moratorium oleh Dikti. Bila
moratorium telah dibuka kembali hal ini perlu dirintis. Dan bila STIA Bandung masih seperti ini perlu dipikirkan kembali, mau diteruskan atau ditutup saja. 12. Keamanan Hasil penelitian di lapangan menunjukkan, bahwa keamanan dapat digolongkan menjadi : a) Keamanan harta benda. Dari pengalaman 2 tahun berlalu, keadaan keamanan harta di kantor kurang terjamin, karena sering terjadi kecurian barang, seperti laptop, kendaraan yang diparkir di luar klas, pernah ada yang hilang. Kecuali itu yang banyak hilang juga helm, yang sangat mudah dicuri, dan susah untuk diawasi. b) Uang. Data di lapangan menunjukkan adanya kecurian uang di kas pembayaran selama 2 tahun ini sebanyak 1 kali, dan jumlahnya meliputi di atas 10 juta rupiah, dengan membongkar jendela ruang juru bayar. Upaya untuk mencari pelakunya, sudah lapor ke polisi, dan sudah ada pemeriksaan, tetapi belum mendapatkan hasil. Di samping itu yang sering terjadi ialah, pembayaran SPP. mahasiswa yang dititipkan kepada petugas piket, tetapi tidak diserahkan kepada juru bayar.Dan jumlahnya pernah sampai di atas 10 juta. Penyelidikan juga telah dilakukan, tetapi hasilya belum ada. c) Jaminan keselamatan diri di jalan. Mengenai keselamatan diri di jalan dalam melaksanakan tugas, belum diatur, sehingga bila terjadi kecelakaan di jalan, semuanya ditanggung oleh yang
P a g e | 60
d)
a)
bersangkutan. Hal ini memang belum diatur dalam peraturan di lembaga. Jaminan keamanan untuk hari tua. Data menunjukkan, bahwa jaminan untuk hari tua di STIA Bandung belum dirintis. Hal ini akan mengganggu terhadap ketenangan hidup dalam diri para pegawai beserta keluarga, khususnya di masa yang akan datang.Memang, sewaktu masih muda dan masih bekerja, hal itu belum terasa, tetapi nanti kalalu sudah berhenti bekerja dan tidak mamilki penghasilan lainnya, hal ini akan sangat terasa untuk dilalui dalam menikmati hari tuanya. Secara teoritis sebaiknya: Keamanan harta benda pegawai, baik yang dibawa oleh pegawai yang bersangkutan, harus menjadi tanggungjawab dari instansi yang bersangkutan, karena yang bersangkutan melaksanakan tugas dari instansi. Oleh sebab itu instansi yang bersangkutan harus menciptakan pengamanan yang ketat terhadap penjagaan materi yang dimiliki pegawai tersebut. Dalam hal ini peneliti mengusulkan penjagaan dari petugas security yang harus ditingkatkan lagi. Jumlah dari security pada saat ini di STIA Bandung hanya 1 (satu) orang saja yang bekerja dari pagi sampai malam. Peneliti mengusulkan untuk menambah jumlah security, minimal menjadi 2 orang, agar dapat bergantian dalam melaksanakan tugasnya. Idealnya, keamanan harta benda yang dimiliki pegawai tidak hanya
b)
c)
d)
yang dibawa ke kantor saja, tetapi termasuk harta benda yang ditinggalkan di rumah. Berdasarkan peraturan yang ada tentang keamanan keuangan di kantor, seharusnya pencurian uang di kantor tidak perlu terjadi, sebab sudah ada ketentuan, bahwa uang yang ada dan disimpan di kas bendahara hanya diperbolehkan sebanyak 2 juta rupiah saja, sedang yang lainnya harus disimpan di bank. Hal ini untuk menjaga jangan sampai terjadi kehilangan uang terlalu banyak.Sedang mengenai kehilangan uang setoran dari mahasiswa untuk membayar SPP. itu merupakan kesalahan yang fatal. Sebab sudah ada aturan yang mengharuskan, setiap mahasiswa yang ingin membayar SPP. harus malalui jasa bank. Bila hal ini dilaksanakan, semua pembayaran dari mahasiswa terhadap lembaga akan berjalan tertib. Mengenai jaminan kecelakaan di jalan, yang sampai saat ini belum mendapat jawaban yang jelas, peneliti mengusulkan pendapatnya sebagai berikut : 1) Adakan pendekatan dengan beberapa pihak penyelenggara asuransi bidang kecelakaan, sehingga karyawan yang mendapatkan kecelakaan di bidang lalu lintas dapat diatasi. 2) Jadikan para kayawan menjadi anggota BPJS sehingga jaminan kesehatan dapat ditanggung oleh BPJS Mengenai jaminan pensiun untuk hari tua. Banyak orang menghendaki,setelah tua masih mamiliki penghasilan berupa
P a g e | 61 jaminan pensiun. Hal ini memang mempunyai daya tarik tersendiri. Sehingga banyak orang mamilih untuk menjadi Pegawai negeri, biarpun gajinya relatif rendah, karena adanya jaminan di hari tua. Rupanya tentang pensiun bisa dimiliki juga oleh pegawai manapun juga dengan cara pegawai yang bersangkutan harus memasuki salah satu asuransi yang berusaha di bidang pensiun. Bila beberapa pandangan seperti yang telah peneliti kemukakan di atas dapat ditempuh dan direalisasikan, maka kesulitan keamanan di berbagai bidang kehidupan dapat diatasi dengan baik. E. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Tidak semua kinerja STIA Bandung dipengaruhi oleh lingkungan intern organisasi, melainkan ada faktor lain yan berperan didalamnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan, bahwa jumlah lulusan di STIA Bandung selama 4 tahun terakhir masih rendah . Dari hasil orientasi , hal ini disebabkan oleh kesulitan keuangan dari mahasiswa, sehingga jadwal penyelesaian perkuliahan menjadi terlambat. Ada pula sebagian yang sulit mendapatkan surat ijin meneruskan kuliah dari BKD, karena untuk dapat meneruskan kuliah harus telah diangkat menjadi PNS. Ada pula yang dipindahtugaskan ke luar kota Bandung, sehingga tidak dapat mneneruskan perkuliahannya sampai selesai. 2. Berdasarkan hasil orientasi didapatkan pelayanan terhadap
mahasiswa dan dosen terganggu, karena belum berfungsinya informasi secara online. Hal ini mengakibatkan keterlambatan di bidang informasi, sehingga pesan tidak sampai kepada fihak yang seharusnya menerima pelayanan. 3. Ketepatan waktu penyelesaian studi. Selama 4 tahun terakhir (angkatan 2006 sampai dengan angkatan 2009) baru 60% saja yang mampu melaksanakan sidang skripsi. Sebagian besar beralasan, karena keuangan terganggu, atau pindah tempat kerjanya. Para pegawai di STIA Bandung mempunyai kewajiban untuk memotivasi para mahasiswanya, agar dalam penyelesaian tugas akhir bisa diselesaiakan, biarpun terlambat. Para Mahasiswa perlu disadarkan akan tugas tersebut. 4. Bila produktivitas diartikan sebagai kualitas hasil yang dicapai, berdasarkan hasil orientasi bab sebelumnya, akan didapatkan mutu yang baik. Hal ini tampak dari hasil yang ditunjukkan oleh para alumni di IPDN, semuanya telah disetarakan dengan golongan 3a. Tetapi secara kuantitas, masih banyak yang ketinggalan. Dalam hal ini masih banyak yang belum menyelesaikan tugas akhirnya. Untuk menunjang kinerja di STIA Bandung, sangat ditentukan oleh pengetahuan dan ketrampilan pegawai dalam bidangnya, sehingga hasilnya akan terlihat semaksimal mungkin. 5. Jaminan keamanan. Kemanan di sini digolongkan menjadi : a. Keamanan harta benda: sering terjadi kehilangan di lingkungan kantor, berupa : motor, helm, dan uang di kas bendahara. Atau pembayaran SPP yang dititipkan
P a g e | 62 oleh petugas piket, tetapi tidak disetorkan kepada bendahara. Jumlahnya tidak seskikit, mencapai puluhan juta rupiah. b. Jaminan keamanan jiwa. Dalam hal ini termasuk keamanan dalam berlalu lintas di perjalanan pergi ke kantor , pulang dari kantor, dan perjalanan dengan menggunakan kendaraan dalam melaksanakan tugas. Dalam hal ini belum ada aturan yang mengatur. c. Jaminan keamanan di hari tua. Dalam hal ini ialah pensiun. Sampai saat ini juga belum diatur mengenai dana pensiun untuk hari tua. d. Jaminan keamanan belum dapat direnccanakan dengan baik, karena dukungan keuangan dari organisasi belum dimiliki. Bila keamanan kerja terjamin, diharapkan kinerja pegawai akan terbentuk lebih baik lagi. Keamanan kerja akan berpengaruh terhadap kenyamanan dalam bekerja. 6. Kinerja organisasi dipengaruhi oleh lingkungan internal organisasi, khusunya linkungan organisasi manusia, sangat menentukan dan mewujudkan kinerja pegawai di STIA Bandung. 7. Lingkungan internal organisasi yang tidak kalah pentingnya ialah kemampuan organisasi memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi, yang membantu tercapainya tujuan organsiasi secara efektif dan efisien serta kerapian dan keindahan dalam menyusun laporan. DAFTAR PUSTAKA Badrudin (2012), Dasar-Dasar manajemen, Bandung, Alfabeta.
Desler, Gery (Alih bahasa Benyamin Holam 1997) Manajemen Sumber daya Manusia, Edisi Bbahasa Indoneisa Jilid I, Jakarta, P.T.Prenhalind. Gibson, Ivanovich and Donnelly: 1994. Organization. (Terjemahan, Djarkasih), Organisasi Perilaku, Struktur, Proses, Jakarta, Erlangga. Gibson, James L.(Ardiani, alih bahasa, 1996), Organisasi, Cetakan ke 8, Jakarta, Bina rupa Aksara. Gordon,1990 (Sopiah, 2008: 63), Perilaku Organisasional, Jogyakarta, Andi. Handayaningrat, S. ( 1996), Pengantar Studi Ilmu Admiistrasi dan Manajemen, Jakarta , Guning Agung. Handoko H ( 1995), Manajemen Personalia dan Sumber daya Manusia, Yogyakarta, BPPE. Handoko T. Hani (2009: Cetakan ke delapan belas, Manajemen (edisi 2) , Jogyakarta, BPPE. Lubis , Hari T.& Martani Huseini (1982) , Teori Organisasi (suatu pendekatan Makro), Jakarta, Pusat Antar Universitas ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia. Hasibuan Malayu S.P.,(2006), Manajemen, Dasar, Pengertian dan Masa;lah, Jakarta, P.T. Bumi Aksara. Kartini Kartono (1998), Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta, P.T. Raja Grafindo Persada. Kottler, Phillip, 1996, Marketing the Nations & 1998, Competitive Advatage of The Nations. Diktat perkuliahan Makmur (2009), Patologi serta terapannya dalam Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bandung, PT.Refika Aditama. Mangkunegara, anwar (2002), Manajemen Sumber daya Manusia
P a g e | 63 Perusahaan.Cetakan ke dua,Bandung, Rosda Karya. Moleong, Lexy.J. (edisi revisi 2007;4)Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Moenir (2010), Manajemen Pelayanan Umum di Indoneisa, Jakarta, P.T. Bumi Aksara. Moeheriono (2009), Pengukuran Kinerja berbasis Kompetensi),Surabaya, Ghalia Indonesia Rahmayanti, Nina (2010), Manajemen Pelayanan Prima, Jogyakarta, Graha Ilmu. Sopiah, (2003), Perilaku Organisassional,Andi, Jogyakarta. Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat (2011), Metode Penelitian, Bandung, Mandar Maju. Sedarmayanti, (2013) Manajemen Sumber daya manusia, Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Bandung, Refika Aditama. Sedarmayanti, (2014), Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi (Untuk menghadapi dinamika perubahan Lingkungan) , Bandung, P.T. Refika Aditama Sedarmayanti (2007: 234, Maslow) Manajemen Sumber Daya Manusia), Bandung, PT.Refika Aditama Sedarmayanti, (2014: 109, Douglas Mc.Gredor), Restrukturisasi dan Pemberdayaan Organisasi, untuk menghadapai perubahan lingkungan. Bandung, PT.Refika Aditama Siagian Sondang P., (1986; 8), Bunga Rampai Manajemen Modern, Jakarta, Gunung agung. Simamora, Henry, (2004), Manajemen Sumber daya Manusia, edisi ke tiga, Yogyakarta
Sopiah (2008), Perilaku Orgganisasional, Jogyakarta, Andi Strauss Anselm & Corbin Juliet (1990: 80), Basics of Qualitative Research, Ground Theory Prosedures and Techniques, California, Sage Publications Ltd. Suganda Dan (1991), Administrasi, Strategi,Taktik dan Teknik Penciptaan Efisiensi, Jakarta ,Alphabeta Sugiyono (2000) . Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung, C.V. Alphabeta. Terry, George And W. Rue 1997, Principle of Manajement, diterjemahkan oleh Ticoalu, Jakarta, Bumi aksara, cetakan ke sembilan. Warren B. Brown dan Dennis J. Moberg (Taliziduhu Ndraha, 2003:52), Budaya Organisasi, Jakarta, PT.Rineka Cipta Yuwono, 2002, Masalah Ketnagakerjaaan Indonesia Dewasa ini, Jakarta, Ghalia Indonesia. Undang-Undang: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional Keputusan Menteri Pendayagunaan Aaparatur Negara, No. 63/ Kep/ M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik Keputusan Lembaga Admisistrasi Negara, tentang Pedoman Penyusunan Akkuntabilitas Instansi Pemerintah KEPMENDIKNAS Nomor 234/U/2000 .tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi, Keutusan Mendiknas, No.255/E/D/2011, tentang Penyelenggaraan Program Studi Ilmu Administrasi Negara jenjang Magister ( S-2) pada STIA Bandung.
P a g e | 64 HUBUNGAN KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DENGAN KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA (RI) DALAM PENEGAKKAN HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Ani Surtiani Dosen STIA Bandung ABSTRACT The bureaucratic Reform activities In Indonesia nowadays, has been pointed out to the corruption eradication.There are three main bodies in charge, namely: The Corruption Eradiction Comission,The Police Institution and The Yudicial Court. KPK is aspired as The trigger mechanism in handling the corruption problems, together with Kepolisian and Kejaksaan RI. It is hoped that there will be a good net working each other, but in fact it is not happened. In 12 years long they always in a conflict situation, and has not been solved up until now. The results of the study shows that the conflict problem lays on the regulation itself. There are some duplicated authority between the three institutions . Keyword : Authority, Effective, Efficient, Corruption A.
PENDAHULUAN Kejahatan korupsi yang semula dipandang sebagai kajahatan biasa (Ordinary Crime), masyarakat internasional saat ini, sepakat untuk menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime). Keadaan luar biasa tersebut meniscayakan adanya tindakan dan penanganan secara luar biasa pula. Namun, penanganan yang luar biasa tidaklah berarti dapat keluar dari jalur hukum. Asas-asas hukum yang selama ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pemidanaan yang berkeadilan harus tetap dapat diberlakukan. Dalam era reformasi di Indonesia saat ini, terdapat tiga lembaga penegak hukum pemberantasan korupsi, yakni KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI. Ketiga lembaga penegak hukum pemberatasan korupsi tersebut memiliki kewenangan dalam pemberantasan korupsi. Ketiga lembaga tersebut saat ini, menghadapi
tantangan permasalahan korupsi yang lebih besar dari era sebelumnya. Perkembangan sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik dengan otonomi daerah membawa konsekuensi penyerahan kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam segala urusan. Hal ini membawa dampak terjadinya peluang penyalahgunaan kewenangan atas otoritas yang diberikan lebih besar sehingga potensi terjadinya korupsi semakin besar. Dengan adanya KPK seharusnya dapat memberikan semangat baru bagi penegakkan hukum dan keadilan dalam memberantas korupsi di Indonesia. Namun dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI dalam penegakkan hukum pemberantasan korupsi saat ini, memiliki potensi untuk terjadinya tumpang tindih kewenangan dalam pelaksanaanya sehingga dapat menimbulkan konflik di antara ketiganya. Permasalahan tersebut
P a g e | 65 ternyata memang telah terjadi konflik berulang kali antara KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan RI. Nampaknya hal ini terjadi diantaranya karena pengaturan hubungan kewenangan dalam Undang-undang yang mengatur ketiga lembaga penegak hukum tersebut belum memadai. Penegakkan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional maupun dengan pembentukan KPK yang mempunyai kewenangan luas, independen/bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam kenyataannya tetap mengalami berbagai hambatan sehingga belum dapat melaksanakan tugasya dengan secara efektif dan efisien. Selama 12 tahun KPK menjalankan tugasnya, meskipun beberapa kasus dapat diselesaikan secara sinergi, permasalahan mengenai konflik kewenangan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI belum dapat terselesaikan dengan baik. KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi seharusnya dapat bekerjasama secara sinergis. sehingga amanat pembentukan KPK yang dicitacitakan sebagai “Trigger Mechanism” dalam penanganan kasus korupsi bagi lembaga penegak hukum yang telah ada dapat terwujud. Terlebih dijelaskan dalam UU No. 30 Tahun 2002, kelahiran lembaga KPK sebagai lembaga “super body” tidak dimaksudkan untuk menangani semua perkara korupsi dan tidak pula ditujukan untuk memonopoli penanganan perkara korupsi. Dalam Kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Pemberantasan korupsi merupakan program Nawa Cita yang berbunyi :” menolak negara lemah dengan
melakukan reformasi sistem dan penegakkan hukum yang bebas korupsi, bermartarbat, dan terpercaya. Program tersebut haruslah menjadi landasan bagi pelaksanaan tugas lembaga penegakkan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. B.
METODE PENELITIAN Melihat obyek masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah “Kewenangan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI dalam Penegakkan Hukum Pemberantasan Korupsi Di Indonesia”, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu metode penelitian yang berusaha menggambarkan atau menguraikan permasalahan berkaitan dengan objek penelitian. Adapun yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Studi Kepustakaan, yaitu mengumpulkan data dan informasi dengan mempelajari buku-buku, media cetak dan elektronik (televisi dan internet) maupun dokumen yang ada kaitannya dengan judul penelitian ini. C.
TINJAUAN PUSTAKA Di negara berkembang seperti Indonesia, selain masih terdapat kompleksitas dalam susunan lembagalembaga negara (termasuk lembaga penegakkan hukum), interaksi dalam masyarakat pun menjadi cukup rumit. Faktor lingkungan sosial merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam menentukan unsur-unsur penegakkan hukum pada suatu tempat dan waktu tertentu. Unsur-unsur penegakkan hukum meliputi empat aspek, pertama adalah aspek peraturan hukumnya, kedua adalah aparatur penegak hukumnya, ketiga adalah fasilitas pendukung
P a g e | 66 penegakkan hukum tersebut dan terakhir adalah aspek masyarakat. Keempat aspek tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya. (Suyamto, 2012) Sebelum UUD 1945 dirubah, kedaulatan rakyat tercermin dalam kekuasaan lembaga tertinggi negara bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Dari lembaga tertinggi inilah kekuasaan dari rakyat dibagibagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau division of power). Setelah UUD 1945 dirubah, doktrin pembagian kekuasaan ditinggalkan, dan mengadopsi gagasan pemisahan kekuasaan secara horizontal (horizontal separation of power) dengan menerapkan prinsip checks and balances. Selanjutnya tidak lagi digunakan istilah lembaga tertinggi negara, karena semua lembaga negara kedudukannya sederajat (tidak ada yang lebih tinggi atau pun lebih rendah) dan saling mengendalikan satu sama lain. Dalam penyelenggaraan negara Indonesia sebagai negara hukum telah dikembangkan konsep checks and balances. Hal tersebut dijalankan dalam rangka mendukung konsiderans Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme huruf a, yaitu ”pelaksanaan penyelenggaraan negara oleh lembagalembaga eksekutif, yudikatif dan eksekutif. Sebagai implementasi Tap MPR No. XI/MPR/1998, dalam upaya menciptakan good governance telah dikeluarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, bahwa di dalam negara hukum, penyelenggaraan negara harus mengacu kepada asas-asas umum penyelenggaraan negara, yaitu: 1. Asas Kepastian Hukum; 2. Asas Kepentingan Umum; 3. Asas Keterbukaan; 4. Asas Proporsionalitas; 5. Asas Profesionalitas; dan 6. Asas Akuntabilitas. Indonesia sebagai negara hukum, maka segala sesuatu harus berdasarkan kepada hukum, yang diimplementasikan dalam Peraturan Perundang-undangan yang ada sebagai manifestasi dari hukum positif, dan dalam rangka penegakkan hokum, dibentuklah berbagai lembaga peradilan sebagai upaya untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi hak-hak setiap warga negara Indonesia. Adapun kemauan politik (political will) kebijakan negara (state policy) yang terkait dengan keterpaduan pemberantasan korupsi antara lain diwujudkan dalam kebijakan sebagai berikut. (1). Peraturan pencegahan terkait dengan harta kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat, diatur dengan UU No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. (2) Pelaksanaan pencegahan diwujudkan dalam insturumen kebijakan Presiden dan Menteri yang lain, Surat Edaran Menteri Negara PAN Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 tahun 2004, Perihal Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), diperbaharui dengan Surat Edaran Menteri Negara PAN Nomor: SE/05/M.PAN/04/2006 Tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, disempurnakan lagi dengan Surat Edaran Menteri Negara Nomor:
P a g e | 67 SE/16/M.PAN/04/2006 Tentang Tindak Lanjut Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Kebijakan pemerintah terkait dengan peningkatan kualitas SDM-nya yaitu melalui Surat Edaran Menteri PAN Nomor SE/06/M.PAN/04/2006. Tentang Pelaksanaan Fakta Integritas. Terakhir, suatu kebijakan yang relevan disebutkan adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden No 5 tahun 2004, tentang Pencepatan Pemberantasan Korupsi, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, No Kep/120/M.PAN/4/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Negara PAN No Kep/194/M.PAN/8/2005 tentang Pedoman Umum Kordinasi, Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pencepatan Pemberantasan Korupsi. Setiap pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya harus dilandasi wewenang yang sah, yang diberikan oleh peraturan perundangundangan. Penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada hukum ( wetmatigheid van bestuur = asas legalitas = le principle de la l’egalite de’l administration). Dengan demikian, sumber wewenang pemerintah terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Prajudi Admosudirjo (1988 :176), secara umum wewenang merupakan kekuasaan untuk melakukan semua tindakan hukum publik. Selanjutnya dapat dijabarkan pengertian wewenang pemerintah adalah: 1. Hak untuk menjalankan suatu urusan pemerintahan (dalam arti sempit); 2. Hak untuk secara nyata mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh instansi pemerintah lainnya (dalam arti luas).
Kewenangan publik menurut Peter Leynand dan Torry Woods, (1999: 157) mempunyai dua ciri umum, yaitu antara lain: 1. Setiap keputusan yang dibuat oleh pejabat pemerintah mempunyai kekuatan mengikat kepada seluruh anggota masyarakat (harus dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat) 2. Setiap keputusan yang dibuat oleh pejabat pemerintah mempunyai fungsi publik (melakukan public service). Dengan demikian kewenangan merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan yang berlandaskan peraturan perundang-undangan. Jadi kewenangan adalah kekuasaan yang mempunyai landasan hukum, agar tidak timbul kesewenang-wenangan. Kewenangan adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik. Negara merupakan lembaga hukum publik yang terdiri dari Jabatan-jabatan Administrasi Negara, di mana pejabat adminitrasi negara menjalankan urusan pemerintahan. Oleh karena itu administrasi negara sebelum menjalankan tugasnya harus terlebih dahulu dilekatkan dengan suatu kewenangan yang sah, berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas legalitas). Dengan demikian, setiap perbuatan pejabat administrasi negara harus mempunyai landasan hukum. Berdasarkan hal diatas, dapat disimpulkan bahwa sumber wewenang pemerintah terdapat didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggunaan wewenang oleh pemerintah (publik), wajib mengikuti aturan Hukum Administrasi Negara
P a g e | 68 supaya tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Sesuai dengan pendapat Kuntjoro Purbopranoto (1981 : 43) yaitu, bahwa pembatasan tindakan pemerintah itu memang ada, yaitu: (1) tindakan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau kepentingan umum, (2) tidak boleh melawan hukum (onrechtmatig) baik formil maupun materiil dalam arti luas, (3) tidak boleh melampaui/menyelewengkan kewenangannya menurut kompetensinya. Dalam pelaksanaan wewenang pemerintah, pejabat administrasi negara dapat mengambil suatu keputusan yang pada dasarnya harus atas permintaan tertulis, baik dari instansi atau orangperorangan. Pembuatan keputusan tersebut terikat pada tiga asas hukum, yaitu: 1. Asas yuriditas (rechmatigeheid), yaitu bahwa setiap tindakan pejabat administrasi negara tidak boleh melanggar hukum secara umum (harus sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan); 2. Asas legalitas ( wetmatigeheid ), yaitu setiap tindakan pejabat administrasi negara harus ber dasarkan hukum (ada peraturan dasar yang melandasinya). Apalagi Indonesia adalah negara hukum, maka asas legalitas adalah hal yang paling utama dalam setiap tindakan pemerintah; 3. Asas diskresi ( freies ermessen ), yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri, asalkan tidak melanggar asas yuridis dan asas legalitas tersebut diatas. Jadi penggunaannya tidak terlepas sendiri dari asas-asas yang lainnya.
Dengan demikian maka , pejabat administrasi negara tidak dapat menolak untuk mengambil keputusan, bila ada seorang warga masyarakat mengajukan permohonan kepada pejabat administarsi negara. (Kuntjoro Purbopranoto, 1981 : 87). D. 1.
PEMBAHASAN Pola Hubungan Kewenangan KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan RI dalam Penegakkan Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia Berdirinya lembaga negara baru di Indonesia merupakan perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik triaspolitica sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis realitas kekuasaan antar lembaga negara. Terbentuknnya KPK walaupun tidak disebutkan dalam UUD 1945, namun keberadaan KPK secara tegas diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK dibentuk sebagai salah satu lembaga negarayang membantu dalam penegakkan hukum yang bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Namun demikian KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi. Terdapat tiga lembaga penegakkan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonsia yaitu KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI. Pola Hubungan Kewenangan KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan RI dalam Penegakkan Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia merupakan pola hubungan fungsional
P a g e | 69 yang bersifat horisontal dalam prinsip checks and balances. Dengan prinsip checks and balances, pola hubungan kewenangan yang dibangun atas KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan RI adalah suatu pola hubungan yang sederajat dan memerankan fungsinya masing-masing di dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Sistem checks and balances dimaksudkan untuk mengimbangi pembagian kekuasaan yang dilakukan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan/ kewenangan oleh lembaga penegak hukum pemberantasan tindak pidana korupsi atau terjadi kebuntuan dalam hubungan antar lembaga tersebut. Baik KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI, dengan pola hubungan yang sederajat dapat saling bekerja sama dan saling mengontrol satu sama lain. Dengan demikian kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi dan bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang menduduki jabatan dalam lembagalembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi. Eksistensi KPK menjadi faktor pendorong dalam rangka checks and balances, terwujudnya sistem administrasi negara yang baik khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, serta birokrasi pemerintahan yang berkualitas. Namun demikian, eksistensi KPK harus dapat dikendalikan agar tidak menjurus ke arah terciptanya “kekuasaan” baru yang lebih dominan dari pada Kepolisian dan Kejaksaan RI yang merupakan lembaga permanen dalam penegakkan hukum. Korupsi merupakan permasalahan besar yang merusak keberhasilan pembangunan nasional. Korupsi adalah tingkah laku
individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna meraih keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara secara spesifik. Korupsi menyebabkan ekonomi menjadi labil, politik yang tidak sehat, dan kemerosotan moral bangsa yang terus menerus merosot. Didasari oleh keinginan bersama untuk memerangi korupsi, maka sangat bijak jika kesempatan pertama saat ini untuk pemberantasan korupsi diberikan kepada KPK tanpa meninggalkan keberadaan Kepolisian dan Kejaksaan RI sebagai sparing partner dalam bahumembahu memberantas korupsi di Indonesia. Korupsi yang masih tetap eksis sampai saat ini adalah salah satu faktor yang mempersulit dicapainya good governance. Tata kelola lembaga penegak hukum tindak pidana korupsi di Indonesia oleh KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI dilakukan sebagaimana dalam tata kepemerintahan yang baik, yang dibangun dengan dasar pengelolaan pengaturan lembaga yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Partisipasi masyarakat, supremasi hukum, dan transparansi merupakan bagian-bagian penting yang mendorong kepemerintahan yang baik di Indonesia dapat dicapai. Sehingga dalam membangun tata kelola lembaga penegak hukum tindak pidana korupsi yang efektif, efisien dan sinergis untuk saat ini adalah mengedepankan dan menguatkan peran KPK tanpa meninggalkan keberadaan Kepolisian dan Kejaksaan. Dengan catatan bahwa Kepolisian dan Kejaksaan RI dapat membantu penanganan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK dalam bidang penyelidikan dan penyidikan. Semua itu didasarkan
P a g e | 70 kepada keinginan besar bangsa Indonesia dalam memberantas korupsi. 2.
Penyebab Permasalahan konflik kewenangan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI dalam menangani kasus/permasalahan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Sejak dibentukya KPK, telah banyak kasus-kasus yang diselesaikan secara sinergis oleh KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI. Namun demikian masih terdapat kasus-kasus yang menjadi permasalahan kewenangan sehingga menjadikan ketidakharmonisan/kasus tumpang tindih pelaksanaan tugas dan kewenangan antara KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan RI. Permasalahan tersebut timbul diawali oleh adanya kasus-kasus korupsi yang pelakunya adalah para pejabat Kejaksaan dan Kejaksaan RI atau kelompoknya. Berbagai celah dalam undang-undang maupun peraturan lainnya dicari untuk menghindari jerat hukum bagi pelaku korupsi. Kasus yang menjadi permasalahan sebagai indikasi yang mencerminkan ketidakharmonisan lembaga penegak hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang pernah muncul sejak KPK dibentuk, meliputi kasus-kasus sebagai berikut : 1. Kasus Tahun 2006 : Kasus Korupsi Kepala Bareskrim POLRI (Komjen Suyitno Ladung) saat penyidikan kasus pembobolan Bank BNI oleh Group Perusahaan Gramarindo, 2. Kasus Tahun Tahun 2009 : a. Kasus Korupsi Kepala Bareskrim POLRI (Komjen Susno Duadji), menerima suap untuk memperlancar kasus PT. Salwah Arwana Lestari dan
3.
4.
pemotongan dana pengamanan Pemilihan Gubernur Jawa Barat. b. Sebelum kasus tersebut, beredar rumor penyadapan terhadap Susno Duadji terkait pencairan dana dari Bank Century, yang kemudian memunculkan istilah “Cicak vs. Buaya” oleh Susno Duadji dalam wawancara dengan Majalah Tempo, Cicak diartikan KPK sedangkan Buaya diartikan POLRI. c. Penetapan Chandra dan Bibit sebagai Tersangka oleh Kepolisian pada tanggal 15 September 2009 dengan sangkaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang jabatan; Kasus Tahun 2012 : Kasus Korupsi Gubernur Akademi Kepolisian Republik Indonesia (Irjen Joko Susilo) dalam pengadaan simulator berkendaraan untuk ujian surat ijin mengemudi di Korlantas Polri pada Tahun 2011. Kasus Tahun 2015, sebagai ujian terberat KPK yaitu : a. Ditetapkannya Budi Gunawan (Calon KAPOLRI) sebagai tersangka oleh KPK pada Tanggal 12 Januari 2015 dengan dugaan kepemilikan rekening tak wajar dan penerimaan gratifikasi.. b. Berbagai peristiwa terjadi setelah KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka antara lain : 1) Ditetapkannya Bambang Widjoyanto (Wakil Ketua KPK) sebagai tersangka oleh POLRI pada Tanggal 23 Januari 2015 dengan sangkaan mengarahkan saksi Ratna
P a g e | 71
2)
3)
4)
5)
Mutiara memberikan keterangan palsu dalam sidang Kasus Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi Tahun 2010. Ketua KPK, Abraham Samad ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana pemalsuan Administrasi Kependudukan. Sebanyak 21 penyidik KPK kemungkinan terancam menjadi tersangka karena kepolisian menduga ijin kepemilikan senjata api yang mereka miliki sudah kadaluwarsa. Salah satu penyidik terancam ditetapkan sebagai tersangka yaitu Novel Baswedan. Menyusul kemudian akan segera ditetapkan sebagai tersangka Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dan Zulkarnaen.
Selain dengan Kepolisian, kasus lain yang sempat menjadi konflik kewenangan antara KPK dengan Kejaksaan pada saat Kejaksaan menangani Kasus BLBI yang diketuai oleh Jaksa Urip Tri Gunawan. Jaksa Urip ditangkap tangan KPK karena menerima suap 660.000 dollar AS dari kerabat bos Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, Artalyta Suryani, dan memeras mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn Jusuf. Hasil kajian Tim Rancangan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Penegakkan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Tahun 2010 menemukan
bahwa permasalahan penegakkan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia antara lain : 1) Sengketa atau ketidakjelasan kewenangan antar institusi penegak hukum dalam menangani suatu perkara tindak pidana korupsi. 2) Kelembagaan 3) Sumber daya manusia yang terbatas, kurang profesional dan mental yang buruk. 4) Hubungan kerja yang masih berorientasi pada kepentingan masing-masing. 5) Pendanaan/ pembiayaan yang diskriminatif. 6) Pegawasan yang lemah, tidak efektif, tidak komprehensif dan tidak memadai. 7) Belum efektifnya koordinasi di antara penegak hukum yang sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masing-masing penegak hukum. 8) Kesamaan persepsi tentang peraturan perundang-undangan dan tujuan pemberantasan korupsi yang belum tercapai di antara sesama penegak hukum. 3.
Dasar Kewenangan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI dalam Penegakkan Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia. a. Dasar Kewenangan KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Kehadiran lembaga negara baru di Indonesia menjamur pasca perubahan UUD 1945. Berbagai lembaga negara tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat UUD 1945, namun ada pula yang memperoleh
P a g e | 72 kewenangan berdasarkan undangundang ataupun keputusan presiden. KPK dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kejelasan yaitu jaksanya adalah jaksa fungsional dari Kejaksaan Agung, hakimnya diangkat oleh Mahkamah Agung, bahkan kasasinya juga ke Mahkamah Agung. KPK dan lembaga lain dalam proses peradilan itu terajut dalam hubungan umum dan khusus. (Moh. Mahfud MD 1997: 197). Menurut Adiwinata (1977 : 63), ada tiga prinsip yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan soal eksistensi KPK. Pertama, dalil yang berbunyi salus populi supreme lex, yang berarti keselamatan rakyat (bangsa dan negara) adalah hukum yang tertinggi. Jika keselamatan rakyat, bangsa, dan negara sudah terancam karena keadaan yang luar biasa maka tindakan apapun yang sifatnya darurat atau khusus dapat dilakukan untuk menyelamatkannya. Dalam hal ini, kehadiran KPK dipandang sebagai keadaan darurat untuk menyelesaikan korupsi yang sudah luar biasa. Kedua, di dalam hukum dikenal adanya hukum yang bersifat umum (lex generalis) dan yang bersifat khusus (lex spescialis). Dalam hukum dikenal asas lex specialis derogate legi generali, yang artinya undang-undang istimewa/khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum. Keumuman dan kekhususan itu dapat ditentukan oleh pembuat UU sesuai dengan kebutuhan, kecuali UUD jelas-jelas menentukan sendiri mana yang umum dan mana yang khusus. Dalam konteks ini, KPK merupakan hukum khusus yang kewenangannya diberikan oleh UU selain kewenangan-kewenangan umum yang diberikan kepada Kejaksaan dan Kepolisian. Ketiga, pembuat UU (badan legislatif) dapat mengatur lagi lanjutan sistem ketatanegaraan yang tidak atau
belum dimuat di dalam UUD sejauh tidak melanggar asas-asas dan restriksi yang jelas-jelas dimuat di dalam UUD itu sendiri. Dalam kaitan ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan perwujudan dari hak legislasi DPR dan pemerintah setelah melihat kenyataan yang menuntut perlunya itu. Sulit menerima argumen bahwa keberadaan KPK yang di luar kekuasaan kehakiman dianggap mengacaukan sistem ketatanegaraan, mengingat selama ini Kejaksaan dan Kepolisian pun berada di luar kekuasaan kehakiman. Oleh karena UU telah mengatur hal yang tak dilarang atau disuruh tersebut maka keberadaan KPK sama sekali tak menimbulkan persoalan dalam sistem ketatanegaraan. Tentang persoalan menimbulkan abuse of power, justru hal itu tidak relevan jika dikaitkan dengan keberadaan KPK, sebab abuse of power itu bisa terjadi di mana saja. KPK justru dihadirkan untuk melawan abuse of power yang sudah terlanjur kronis. Dengan demikian, KPK akan mengambil alih fungsi dan tugas Kejaksaan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara-perkara korupsi, sehingga akan terjadi perubahan besar dan mendasar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang juga berarti perubahan di dalam hukum acara pidana, khususnya mengenai kasus-kasus korupsi. KPK juga tidak mengambil alih kewenangan lembaga lain, melainkan diberi atau mendapat kewenangan dari pembuat UU sebagai bagian dari upaya melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakkan hukum, peradilan, dan kekuasaan kehakiman. (Darwan Prinst 2002 : 125 ). Dari cakupan pengertian ini, maka kehadiran KPK adalah konstitusional karena bersumber dari salah satu
P a g e | 73 dokumen tersebar sebagai bagian dari konstitusi yang sama sekali tidak bertentangan dengan dokumen khususnya. (Moh. Mahfud MD, 1997 : 197-198). KPK dibentuk sebagai lembaga negara bantu karena adanya isu insidentil menyangkut korupsi di Indonesia pasca era Orde Baru. KPK merupakan aplikasi bentuk politik hukum yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 kepada badan legislatif sebagai pembuat UU. Pasal 43 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 jo UU No 30 tahun 2002 menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dibentuk melalui undang-undang dan menjalankan tugas berdasarkan kewenangan yang melekat secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Sebelum membahas mengenai kewenangan KPK, maka perlu diketahui asas-asas yang terdapat dalam UU Nomor 30 tahun 2002. Menurut Pasal 5 UU No 30 tahun 2002, asas-asas yang dimaksud adalah: 1) Kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundangundangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; 2) Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya; 3) Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4) Kepentingan, yaitu adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif; 5) Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam rangka menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK harus senantiasa berpedoman pada asas-asas tersebut. Hal ini dikarenakan asas-asas tersebut menjiwai setiap pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK. Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 meliputi : 1) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 2) Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; 4) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; 5) Melakukan monitor terhadap pelanggaran pemerintahan negara. Selain itu, KPK bertugas menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1) dengan Keputusan Pimpinan KPK (Pasal 17 ayat (3) UU KPK); Menyerahkan gratifikasi yang menjadi
P a g e | 74 milik negara kepada menteri Keuangan (Pasal 17 ayat (6) UU KPK); membentuk panitia seleksi untuk memilih Tim Penasihat KPK (Pasal 22 ayat (2) UU KPK); membuat keputusan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai KPK (Pasal 24 ayat (3) UU KPK); KPK juga bertugas sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU KPK, yaitu antara lain: 1) Menetapkan kebijakan dan tata cara organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang KPK; 2) Mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada KPK; 3) Menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi. Berdasarkan tugas-tugas seperti yang telah disebutkan, maka dapat diketahui bahwa tugas KPK tidak hanya melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, KPK juga bertugas melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi lain (huruf a dan b) dan melakukan tindakan-tindakan pencegahan (huruf d) serta melakukan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan (huruf e). Wewenang KPK yang paling utama adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pada dasarnya kewenangan-kewenangan tersebut merujuk pada ketentuan yang diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain menurut UU No 30 Tahun 2002. Tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam
UU No 30 Tahun 2002 adalah sebagai berikut: 1) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi (Pasal 6 huruf c UU KPK); 2) Berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau; c) Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah); Ketiga syarat tersebut merupakan syarat yang bersifat alternatif, bukan limitatif ataupun kumulatif. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK berwenang: 1) Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. 2) Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; 3) Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; 4) Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka,
P a g e | 75
5)
6)
7)
8)
9)
terdakwa, atau pihak lain yang terkait; Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka, atau terdakwa kepada instansi yang terkait; Menghentikan sementara suatu transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perijinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang diperiksa; Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti ke luar negeri; Meminta bantuan Kepolisian dan Instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Dengan demikian, KPK adalah salah satu lembaga negara baru yang dibentuk dengan semangat reformasi hukum dalam penegakkan tindak pidana korupsi, yang dibentuk melalui UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan secara lebih
dalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tujuan dibentuknya KPK tidak lain adalah meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK berwenang menindak siapa pun yang dipersangkakan melakukan tindak Pidana Korupsi. Secara tegas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan, KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tunduk kepada hukum acara yang berlaku. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka KPK : 1) Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan konstitusi yang telah ada sebagai ”counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. 2) Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. 3) Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism). 4) Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilaksanakan oleh Kepolisian dan/atau kejaksaan.
P a g e | 76 b.
Dasar Kewenangan Kepolisian RI dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Dalam banyak literatur peran dan fungsi Kepolisian hampir disejajarkan, sebagai Law and Order. Suatu teori yang menjelaskan bahwa polisi sebagai abdi negara memberikan pelayanan kepada masyarakat, antara lain menjaga (to prevent) atau melindungi (to protect), melayani (to serve) dan menerapkan hukum (to enforce rule of law) dalam segala aspek agar kelangsungan hidup warga masyarakat dapat berjalan dengan tertib, aman dan sejahtera. Kepolisian RI dibentuk sebagai amanat UUD 1945. Dasar kewenanganya diatur oleh UU RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 1 angka (1) UU RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian adalah segala halihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang - undangan. Sedangkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU RI Nomor 2 tahun 2002 tersebut disebutkan bahwa kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Tugas Kepolisian RI menurut Pasal 14 UU No 2 Tahun 2002 adalah : 1) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundangundangan lainnya; 2) Menyelenggarakan identifikasi Kepolisian, kedokteran Kepolisian, dan laboratorium forensik serta psikologi Kepolisian untuk kepentingan tugas Kepolisian; 3) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; 4) Memelihara keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 5) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam rangka membina keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; 6) Melindungi dan melayani kepentingan warga massyarakat untuk sementara, sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; 7) Membina ketaatan diri warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; 8) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional dan pembinaan kesadaran hukum masyarakat; 9) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap alat-alat Kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentukbentuk pengamanan swakarsa yang memiliki kewenangan Kepolisian terbatas; 10) Melakukan pengawasan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 11) Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi Kepolisian Internasional. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut, maka berdasarkan pasal 15 UU No 2 Tahun 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: 1) Menerima laporan dan pengaduan; 2) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
P a g e | 77 3) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; 4) Mencari keterangan dan barang bukti; 5) Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; 6) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; 7) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; 8) Mengawasi aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; 9) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; 10) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan Kepolisian dalam rangka pencegahan; 11) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu; 12) Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; 13) Mengeluarkan peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif Kepolisian yang mengikat warga masyarakat. Selain itu, Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI menyatakan bahwa Kepolisian RI berwenang untuk: 1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyelidikan;
3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; 4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 8) Mengadakan penghentian penyidikan; 9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; 10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana; 11) Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; 12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Terkait dengan pejabat Kepolisian, Pasal 18 menyatakan, untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (Ayat 1). Pelaksanaan ayat ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian negara RI (Ayat 2). Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 19, dalam melaksanakan tugas dan
P a g e | 78 wewenangnya, pejabat Kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (Ayat 1). Demikianlah antara lain cakupan 3 macam tugas pokok dan fungsi Kepolisian RI yang dijabarkan lebih lanjut dalam 12 macam tugas dengan dibekali sebanyak 36 wewenang untuk melaksanakan semua tugas tersebut. Wewenang sebanyak itu masih juga diberi “kewenangan lain” (Pasal 15 Ayat 2 butir k) yang masih dalam lingkup tugas Kepolisian. Dalam penjelasan masing-masing pasal dikatakan “Cukup jelas”. Selanjutnya terkait penegakkan hukum tindak pidana korupsi, dalam melaksanakan tugas penegak hukum, Kepolisian juga diberi wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana, sebagai unsur ketentuan dari Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu : “Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan”. Salah satu tugas Kepolisian adalah melakukan penyidikan dibidang tindak pidana korupsi yaitu masalah yang tidak luput suatu Negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, di mana korupsi tersebut karena latar belakang politik, sosial ekonomi dan budaya. Berdasarkan UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 50 ayat (1) menyatakan: Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan komisi pemberantasan belum melakukan penyelidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh
Kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. Oleh karena itu penyidik Kepolisian berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Namun demikian, penyidik Kepolisian wajib memperhatikan ketentuan Pasal 27 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal ditemukannya tindak Pidana Korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung.” c.
Dasar Kewenangan Kejaksaan RI dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Kejaksaan RI merupakan lembaga pemerintah yang dibentuk sebagai amanat UUD 1945. Kejaksaan RI saat ini melaksanakan kewenangannya didasarkan pada UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang- Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Dalam Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 16 tahun 2004 disebutkan bahwa “Kekuasaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka”. Dalam penjelasan umum angka 1 UU RI Nomor 16 Tahun 2004 tersebut dijelaskan bahwa Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut
P a g e | 79 dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Adapun pasal yang mengatur masalah kejaksaan adalah Pasal 25c, yaitu : (1) Kejaksaan merupakan lembaga negara yang mandiri dalam melaksanakan kekuasaan penuntutan dalam perkara pidana. (2) Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (dengan mempertimbangkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat). (3) Susunan, kedudukan dan kewenangan lain kejaksaan diatur dengan undang-undang. Tugas dan wewenang kejaksaan sangat luas menjangkau area hukum pidana, perdata maupun tata usaha negara. Tugas dan wewenang kejaksaan pelaksanaannya dipimpin, dikendalikan dan dipertanggungjawabkan oleh Jaksa Agung. Peran Jaksa Agung dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan menjadi sangat krusial, lebih-lebih pada saat ini dimana negara sedang dalam proses reformasi yang salah satu agendanya adalah terwujudnya supremasi hukum. Menurut Frans E. Likadja (1988 : 9), pada dasarnya telah ditetapkan berbagai kebijakan yang mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional dalam mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik. Programprogram tersebut adalah : (1). Program pembentukan peraturan perundangundangna; (2). Program pemberdayaan
lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya. Keberadaan kejaksaan di Indonesia, sepenuhnya didasarkan pada paradigma atau visi tentang jati diri dan lingkungannya sebagai aparatur negara yang menempati posisi sentral, upaya dan proses penegakkan hukum dalam rangka mewujudkan fungsi hukum dan supremasi hukum dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). (Simorangkir, 2000 :142). Akuntabilitas kejaksaan RI adalah perwujudan kewajiban kejaksaan RI untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan misi organisasi dalam upaya mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan secara periodik. Perlu diketahui bahwa pengertian akuntabilitas ini berbeda dengan pengertian akuntabilitas yang dimaksud dalam Pasal 3 angka (7) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam undangundang ini, akuntabilitas tidak dilakukan secara periodik tetapi hanya pada saat penyelenggara negara tersebut berakhir jabatannya. Kejaksaan adalah lembaga yang independen atau mandiri dari lembaga penegak hukum lain maupun lembaga pemerintahan dan lembaga politik. Kemandirian kejaksaan secara lembaga bukan berarti melepaskan independensi kejaksaan dengan lembaga lain, melainkan lepas dari segala bentuk intervensi. Dalam hal ini kemandirian secara institusional adalah kemandirian secara eksternal, yang memiliki dampak kemandirian secara personal terhadap aparatur kejaksaan dalam menjalankan fungsi penuntutannya.
P a g e | 80 Pengaturan mengenai tugas dan wewenang kejaksaan RI secara normatif dapat dilihat bahwa dalam beberapa ketentuan undang-undang mengenai kejaksaan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004, yaitu : 1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a) Melakukan penuntutan. b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat. d) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan : a) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat. b) Pengamanan kebijakan penegakkan hukum. c) Pengamanan peredaran barang cetakan. d) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.
e) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. f) Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Pasal 32 undang-undang tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang yang tersebut dalam undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Di samping tugas dan wewenang kejaksaan RI di atas, Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang yang diatur dalam Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004, yaitu : 1) Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakkan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan. 2) Mengaktifkan proses penegakkan hukum yang diberikan oleh undangundang. 3) Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. 4) Mengajukan kasasi demi kepentingan umum kepada mahkamah agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara. 5) Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada mahkamah agung dalam pemeriksaan kasasi pidana. 6) Mencegah atau menangkap orang tertentu untuk masuk atau keluar
P a g e | 81 wilayah kekuasaan negara RI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi, kejaksaan RI dengan segala tugas dan wewenangnya, seyogyanya dapat mewujudkan hukum yang berkeadilan, karena tanpa adanya hukum yang berkeadilan, sulit diharapkan bahwa hukum dapat akan diterima dan dijadikan panutan. Tentu harus diingat bahwa melakukan pembaruan hukum dan aparatnya tidak dapat dilakukan dengan cepat, memang diperlukan cukup waktu, namun harus diupayakan agar pembaruan ini dapat dicapai dalam tempo yang sesingkatsingkatnya. E. 1.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pada pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Pola Hubungan Kewenangan KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan RI dalam Penegakkan Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia merupakan pola hubungan fungsional yang bersifat horisontal/ sederajat dalam prinsip checks and balances. b. Penyebab Permasalahan konflik kewenangan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI dalam menangani kasus/permasalahan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia antara lain : 1) Adanya ego kelembagaan, hal ini ditandai oleh hubungan kerja yang masih berorientasi pada kepentingan masing-masing. 2) Sumber daya manusia yang terbatas, kurang profesional dan mental yang buruk. 3) Pendanaan/ pembiayaan yang diskriminatif antar lembaga.
4) Pegawasan yang lemah, tidak efektif, tidak komprehensif dan memadai. 5) Kurangnya koordinasi antar lembaga penegak hukum padahal sudah diatur oleh peraturan perundang-undagan yang berlaku pada masing-masing penegak hukum. 6) Harmonisasi, hal ini berkaitan dengan persepsi terhadap peraturan perundang-undangan dan tujuan dari pemberantasan korupsi yang masih tidak sama di antara sesama penegak hukum. c. Dasar Kewenangan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI dalam penegakkan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia adalah : 1) KPK adalah salah satu lembaga negara baru yang dibentuk dengan semangat reformasi hukum dalam penegakkan tindak pidana korupsi, yang dibentuk melalui UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2) Kepolisian RI dibentuk sebagai amanat UUD 1945. Dasar kewenanganya diatur oleh UU RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 3) Kejaksaan RI merupakan lembaga pemerintah yang dibentuk sebagai amanat UUD 1945. Kejaksaan RI saat ini melaksanakan kewenangannya didasarkan pada UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Saran Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka saran yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah: 2.
P a g e | 82 a. Meskipun peraturan perundangundangan yang mengatur kewenangan ketiga lembaga hukum baik KPK, Kepolisian dan Kejaksaan RI telah ada, namun penyempurnaan perlu dilakukan supaya tidak terdapat celah yang dapat menimbulkan konflik kewenangan di antara ketiganya. b. Beberapa upaya penataan pola hubungan ketiga lembaga penegak hukum pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan baik terhadap struktur, substansi maupun budaya hukum, supaya tidak lagi ditemukan perkara-perkara yang membuat perselisihan antara lembaga penegak hukum yang berujung pada upaya pelemahan fungsi ketiga lembaga tersebut.
DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU : Adiwinata, 1977. Istilah Hukum LatinIndonesia, Cetakan Pertama PT Intermesa, Jakarta. Atmosudirjo, Prajudi, 1988. Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta. Bahari, Adib dan Khotibul Umam. Komisi Pemberantasan Korupsi dari A sampai Z, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009. Darwan Prinst, 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Leyland, Peter and Torry Woods, 1999. Administrative Law, 3rd ed., Blackstone Press Limited, London. Likadja, Frans E., Daniel Bessie, 1988. Desain Instruksional Dasar Hukum Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Mahfud M.D, Moh.1988. Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. Muhammad, 2003. Menuju Reformasi Polri, cet. Pertama PTIK Press bekerjasama dengan CV Restu Agung, Jakarta, , Purbopranoto, Kuntjoro, 1981. Beberapa catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung. Simorangkir J.C.T., Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, 2000. Kamus Hukum, Cet. Keenam, Sinar Grafika, Jakarta. Soeroso R, 1992. Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, SUMBER-SUMBER LAIN : Alkostar, Artidjo. 2007. Ulasan tentang korelasi korupsi dengan penegakan secara interdisipliner dalam karya Korelasi Korupsi Politik Dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara Moderen (Telaah tentang Praktek Korupsi Politik dan Penanggulangannya), Ringkasan Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Hasil Kajian Tim Rancangan Naskah Akedemik Rancangan UndangUndang tentang Organisasi Penegakan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Tahun 2010. Pradipta Fariz, Kedudukan Lembaga Negara Bantu dalam Sistem Hukum Ketata-negaraan Indonesia, Melalui: http://farizpradiptalaw.blogspot.com/20 09/12/kedudukan-lembaga-negarabantu-didalam.html, diakses pada tanggal 26 September 2014 Suyanto, Korupsi dan Penegakan Hukum di Indonesia, Melalui
P a g e | 83
diakses pada Jumat tanggal 18 Juli 2014 pukul 16.30. Peraturan Perundang-Undangan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
UU No. 15 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
P a g e | 84 TRANSFORMASI DALAM TEORI MANAJEMEN DENGAN PENDEKATAN SISTEM Bambang Soeprapto Dosen STIA Bandung ABSTRACT Classic management theory studied such as the field of the management functions like planning, organizing, actuating and controlling. As the information technology grows rapidly and used spreadly in every human life aspects then we realized that the administration and management concept must be changed to be more systematic and based on the systemic thinking. Classic organizational theory used the structural approach, it was assumed in a close environment. Modern organization theory has assumed to be in the open system. The transformation of organization theory from classic approach to the modern organization theory, characterized by the systemic analytical as an integrative system where the external environment of organization like social, economic, political, etc. Will be as the input of organization process to produce the output, outcomes and loss or benefit which are to be the feedback of the process of the next system. A.
PENDAHULUAN Manajemen bisa berarti fungsi, peranan maupun keterampilan. Manajemen sebagai fungsi meliputi usaha perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengawasan. Manajemen sebagai peranan adalah antar pribadi pemberi informasi dan pengambil keputusan. Manajemen dapat pula berarti pengembangan keterampilan yaitu teknis, manusiawi dan konseptual. Usaha manajemen pada hakekatnya melalui orang agar supaya segala sesuatu yang diharapkan dapat terlaksana, dan cara me “manage” atau mengatur kegiatan berkembang setiap waktu berkat penelitian dan pengalaman. Konsep dasar manajemen sebagai halnya disiplin lain, tentu saja harus disesuaikan dengan kejadian riil apabila ingin dimanfaatkan secara praktis. Usaha penyesuaian konsep atau ide umum terhadap situasi khusus merupakan seni manajemen. Setiap persoalan
manajemen mempunyai kekhususan tertentu. Industri, perusahaan, orangorang yang terlibat, dan lain-lain berbeda-beda dari satu masalah ke masalah yang lain. Oleh karena itu tindakan manajemen untuk menyelesaikan setiap persoalan, tetap harus memperhatikan aspek-aspek teknis, ekonomis, politis, sosial budaya, etika dan lain sebagainya. Manajemen selalu berhubungan dengan orang, tindakan yang diambil melalui orang. Walaupun manajemen selalu memperhatikan tersedianya bahan atau raw material, modal, teknologi, yang tidak boleh terlupakan adalah faktor manusia, karena hubungan faktor kemanusiaan berupa sikap, tingkah laku dengan segala kegiatannya sangat menentukan keberhasilan manajemen. Perencanaan, penggorganisasian, pengarahan, koordinasi dan pengawasan saling berhubungan satu sama lain, tidak dapat dipisahkan dan apabila terjadi perubahan terhadap satu hal dalam
P a g e | 85 sistem akan diperlukan pula perubahan terhadap fase-fase manajemen dan apabila tidak tentu akan terjadi penyimpangan ataupun kepincangan dalam mencapai tujuan. Suatu organisasi dibentuk dengan harapan agar organisasi dapat berjalan dengan baik, maju dan berkembang. Tidak ada keinginan dari pembentuk organisasi setelah organisasi berdiri lalu dimatikan. Harapan para pembentuk organisasi adalah organisasi berjalan langgeng, berkesinambungan dengan disertai sarana untuk meningkatkan mutu para pegawainya, peralatan yang modern dan canggih, sumber daya yang mudah didapat, mampu menyesuaikan dengan keinginan masyarakat dan mampu menyesuaikan dengan tututan pembangunan. Struktur organisasi hendaknya fleksibel, mudah dirubah untuk disesuaikan dengan perubahanperubahan yang terjadi tanpa mengurangi kelancaran aktivitas yang sedang berjalan.
Definisi manajemen adalah “proses penempatan input-input organisasi (sumber ekonomis dan manusia) dengan melakukan perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan dan pengawasan dengan maksud mendapatkan output (barang atau jasa) yang diharapkan oleh pemakai agar tujuan organisasi tercapai.” Dengan demikian dalam membahas manajemen secara total, sistem harus memikirkan masukan (input), proses, keluaran (output) dan umpan balik (feedback) untuk mencapai tujuan organisasi. Keluaran menjadi umpan balik dan menjadi masukan berikutnya setelah diproses menjadi keluaran baru yang kemudian menjadi umpan balik dan masukan, demikian seterusnya. C.
BEBERAPA KONSEP PENDEKATAN Kecuali pendekatan menurut sistem, ada beberapa pendekatan yang dikaji para manajer untuk memecahkan masalah, antara lain: 1.
B.
KONSEP PENDEKATAN SISTEM Konsep pendekatan sistem adalah suatu pengertian pola kerangka berfikir cara-cara tertentu dalam memecahkan masalah. Dalam mempelajari manajemen tercakup model suatu “total sistem” organisasi yang menjadi obyek manajer. Total Sistem Organisasi mencakup: Fungsi Manajemen
Input
Proses
Output
Feed Back
Gambar 1. Total Sistem Organisasi
Pendekatan Menurut Tujuan Dasar pemikiran pendekatan berdasarkan tujuan ini adalah organisasi didirikan untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu dikatakan efektif bila tujuan organisasi tercapai. Salah satu praktek manajemen berdasarkan tujuan ini adalah yang disebut dengan Management By Objective (MBO). Dalam menggunakan pendekatan tujuan, para manajer terlebih dahulu membuat spesifikasi tujuan yang diharapkan akan tercapai. Tujuan yang khas menurut MBO berbeda menurut kasusnya. Pendekatan menurut tujuan ini dalam prakteknya menghadapi beberapa kendala antara lain: a. Pencapaian tujuan organisasi tidak mudah diukur, terutama organisasi
P a g e | 86 yang tidak mempunyai output nyata, misalnya: pendidikan dan pelatihan aparatur; b. Setiap organisasi ingin mencapai lebih dari satu tujuan dan pencapaian tujuan yang satu menghalangi pencapaian tujuan yang lain, misalnya perusahaan ingin untung akan tetapi disisi lain tenaga kerja harus sejahtera; c. Tujuan formal sesuai target belum menggambarkan pencapaian tujuan organisasi. Misalnya, banyaknya jumlah sekolah di suatu desa yang dibangun belum dapat menggambarkan kecerdasan penduduk setempat. 2.
Pendekatan Menurut Waktu Kriteria keefektifan organisasi dilihat dari dimensi waktu diukur dengan keberhasilan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Keberhasilan jangka pendek akan menentukan keberhasilan jangka menengah dan keberhasilan jangka menengah akan menjadi model landasan keberhasilan jangka panjang. Sedang tolak ukur untuk menilai keberhasilan upaya setiap tahap adalah : a. Produksi Produksi mencerminkan kemampuan organisasi untuk menghasilkan jumlah dan kualitas hasil yang dibutuhkan lingkungan. Sedang ukuran produksi tergantung sifat organisasi, misalnya pabrik di ukur dari keuntungan hasil yang diperoleh, rumah sakit di ukur dari jumlah pasien yang disembuhkan dan sebagainya. b. Efisiensi Sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan organisasi, efisiensi mengacu pada ukuran penggunaan
sumber daya yang sedikit tetapi penghasilannya maksimal. c. Kepuasan Kepuasan sebagai salah satu kriteria keberhasilan organisasi memenuhi kebutuhan karyawan, pelanggan dan rekanan. d. Kepekaan Kepekaan organisasi merupakan salah satu kriteria keberhasilan organisasi dalam memenuhi kebutuhan anggota maupun masyarakat, sebab tuntutan kebutuhan, aspirasi dan inspirasinya dinamis berkembang. e. Pengembangan Sebagai salah satu ukuran keefektifan organisasi dapat dilihat usaha-usaha pengembangan dalam memperbesar kapasitas berproduksi dan potensinya untuk berkembang. D.
MANFAAT PENDEKATAN SISTEM DALAM MANAJEMEN Pendekatan sistem sebagai kerangka berpikir atau metode memecahkan masalah mempunyai beberapa manfaat, antara lain bagi perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian dan pengawasan. 1. Bagi Perencanaan Pola pikir kesisteman terdiri dari input, proses dan output, maka perencana dapat dengan mudah mengidentifikasikan faktor-faktor yang termasuk input, proses dan output yang diharapkan, sebab kurang lengkapnya identifikasi masukan akan menyebabkan keluaran tidak seperti yang diharapkan. 2. Bagi Pelaksanaan Proses dalam pola pikir kesisteman merupakan operasionalisasi masukan secara terpadu dan terkoordinasi
P a g e | 87 sehingga menghasilkan keluaran maksimal seperti yang diharapkan. Masukan yang sudah diinventarisasi, maka pelaksanaan dalam proses akan dapat berhasil atau tidak tergantung kepada : a. Kualitas pimpinan; b. Komunikasi; c. Koordinasi; d. Kualitas anggota/pekerja; e. Prosedur/mekanisme. 3. Bagi Organisasi Pola pikir kesisteman memungkinkan membahas perilaku organisasi secara intern dan ekstern. Secara intern dapat melihat bagaimana dan mengapa orang di dalam organisasi melaksanakan tugas individual dalam kelompok. Secara ekstern dapat melihat transaksi organisasi dengan organisasi atau lembaga lain, sebab setiap organisasi memerlukan sumber daya lingkungan luar organisasi. Menurut teori kesisteman, organisasi dianggap sebagai satu elemen dari sejumlah elemen yang saling bergantung. Oleh sebab itu para manajer harus menghadapi aspekaspek perilaku organisasi, baik intern maupun ekstern secara selaras, serasi, serempak, seimbang dan berkesinambungan. Proses yang kelihatan kompleks ini dapat disederhanakan dengan menggunakan konsep pola kesisteman untuk tujuan analisis. 4. Bagi Pengawasan Pengawas dapat mengambil manfaat dalam mengawasi pelaksanaan siklus masukan, proses dan keluaran, apakah sudah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Disamping itu dengan pola pikir kesistiman yang baku, pengawas dapat melihat identifikasi masukan, prosedur
pelaksanan, pengorganisasian dan hasil keluaran.
E.
PENDEKATAN SISTEM DALAM MANAJEMEN SEBAGAI ALAT MENCAPAI EFISIENSI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN
1. Dasar-Dasar Prosedur Tetap (Protap) dalam Pengambilan Keputusan. Setiap pimpinan organisasi dalam pengambilan keputusan harus memakai Prosedur Tetap (Protap) agar efisien. Sedangkan Prosedur Tetap harus memenuhi unsur: a. Mudah (dari segi mental/pikiran); b. Singkat (dari segi waktu); c. Ringan (dari segi beban fisik); d. Murah (dari segi biaya); e. Pendek (dari segi jarak tempuh). Sekalipun Prosedur Tetap harus memenuhi unsur-unsur tersebut, tetapi sifat Prosedur Tetap harus luwes dan tidak kaku. Misalnya pimpinan secara terbuka menerima telaahan staf dan mendiskusikannya. 2. Proses Pengambilan Keputusan Sesuai dasar-dasar Prosedur Tetap harus memenuhi unsur-unsur seperti tersebut diatas, dalam pengambilan keputusan harus melalui proses : a. Pengenalan dan perumusan masalah; b. Pengumpulan keterangan pendahuluan; c. Penetapan policy; d. Perkiraan staf : Pengembangan alternatif; Evaluasi masing-masing alternatif;
P a g e | 88 Perbandingan antar konsekuensi alternatifalternatif; Determinasi alternatif yang terbaik; Analisa bertindak yang berlawanan; Pengajuan saran; Pertimbangan atas saran; Pemilihan alternatif terbaik; Implementasi keputusan. 3. Penerapan Pendekatan Sistem Dalam Pengambilan Keputusan Setelah meninjau dasar-dasar dan proses pengambilan keputusan, maka Pendekatan Siste dalam Manajemen dapat dipermudah sehingga efisien. Misalnya berdasarkan pertimbangan unsur-unsur mudah dan cepat, ringan, murah, hemat dan singkat, maka dalam proses pengambilan keputusan langkah-langkah pengenalan, perumusan masalah, pengumpulan keterangan dan penetapan policy, prakiraan staf dan pengajuan saran dapat dijadikan input, sedangkan pertimbangan atas saran dan pemiliha alternatif terbaik “sebagai proses”, sedang keluarannya adalah keputusan untuk dapat diimplementasikan. Hal tersebut terdeksripsi dalam gambar berikut. Instrumental Input
Input Mentah
Proses Pelaksanaan
Environmental Input Feed Back
Gambar 2. Pola Kesisteman
Output
F. 1.
PENUTUP KESIMPULAN Dalam mencapai suatu tujuan, orang perlu melakukan kerjasama yang didasarkan pada kebutuhan individu untuk mengatasi pembatasan biologisnya, fisik maupun sosial. Di dalam kerjasama ini orang dapat melakukan komunikasi satu sama lain dan dengan kesadaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pendekatan Sistem dalam manajemen merupakan satu alat untuk mencapai efisiensi dalam pengambilan keputusan. Banyak alat yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan, salah satunya adalah Pendekatan sistem dalam manajemen, dengan prosedur tetapnya, sehingga diharapkan para manajer dapat mengambil keputusan sesuai dengan rules of the games. 2. SARAN : a. Para pengambil keputusan menjalin hubungan yang baik atau mutual symbiosis dengan para pekerja, saling menghormati, adanya tenggang rasa, humanis. b. Bagi para pekerja tetaplah mempunyai sense of belonging, mencintai organisasi dimana pekerja bekerja mencari penghidupan, bangga pada segala sesuatu yang dimiliki oleh organisasi. c. Prosedur tetap, sesuai dengan rule of the game kiranya dapat dipatuhi oleh semua pihak, sehingga sistem yang telah terbentuk akan dapat berjalan dengan baik, luwes dan berkesinambungan. DAFTAR PUSTAKA Aries Susilo, “Pengantar Manajemen Perkantoran“, Penerbit Surabaya Intelektual, 2000;
P a g e | 89 Fandy Tjiptono, “Manajemen Jasa“, Penerbit Andi, Yogyakarta, 1996; Gibson, Ivancevich, Donnelly,; alih bahasa Nunuk Adiarni “ Organisasi – Perilaku, Struktur, Proses “ – Jilid Kesatu, Edisi Kedelapan, Penerbit Binarupa Aksara, 1997; Keith Davis & John W. Newstrom, “Perilaku Dalam Organisasi“, Jilid Satu, Edisi Ketujuh, Penerbit Erlangga, 1985; Sondang P. Siagian. “Filsafat Administrasi“, Penerbit PT Gunung Agung, 1977; Sukanto Reksoprodjo. “Dasar-Dasar Manajemen“, Edisi Keempat, Penerbit BPFE Yogyakarta, 1992; Sutarto, “Dasar-Dasar Organisasi“, Gajahmada University Press, 1993;
Stephen P. Robbins, “Organizational Behavior – Concepts, Controversies and Applications“ Fifth Edition, Prentice – Hall International Editions, 1991. Stephen P. Robbins, alih bahasa Yusuf Udaya, “ Teori Organisasi – Struktur, Desain & Aplikasi “, Edisi Ketiga, Penerbit Arcan, 1994; Stephen P. Robbins, Mary Coulter., “Management“, Sixth Edition, Edisi Bahasa Indonesia, Jilid Kesatu,, Penerbit PT Prenhallindo, Jakarta, 1999. Thomas L. Saaty, “Pengambilan Keputusan – Bagi Para Pemimpin“, Seri Manajemen, Penerbit Pustaka Binaman Pressindo, 1991.