Jurnal Administrasi Publik, Volume 12 Nomor 01 Januari 2014
J. Adm. Pub. ISSN: 1978-4465 Volume 12 Nomor 01 Januari 2014
JURNAL__________________ ADMINISTRASI PUBLIK
1. PEDAGANG KAKI LIMA DAN SEGALA PERSOALANNYA (Kasus Kebijakan Mengenai Pedagang Kaki Lima di Kota Surabaya) 2. EVALUASI PELAKSANAAN TUGAS KHUSUS PERPOLISIAN MASYARAKAT DI WILAYAH PERAIRAN SATUAN POLISI PERAIRAN KABUPATEN BANYUASIN 3. ANALISIS KUALITAS PELAYANAN NON-PERIZINAN DI KELURAHAN SEKIP JAYA KECAMATAN KEMUNING KOTA PALEMBANG 4. ANALISIS PENGELOLAAN SISTEM LAYANAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK) PADA PERPUSTAKAAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN 5. ANALISIS PENGELOLAAN KOPERASI KARTIKA SEJAHTERA KOMANDO DAERAH MILITER II SRIWIJAYA 6. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BEROBAT GRATIS DI RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG 7. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BUILD OPERATE TRANSFER (BOT) KAWASAN UNDERGROUND MALL DI PROVINSI SUMATERA SELATAN 8. ANALISIS PENGELOLAAN LAPORAN POLISI PADA SENTRA PELAYANAN KEPOLISIAN TERPADU DI POLDA SUMATERA SELATAN
Diterbitkan oleh: Program Studi Magister Administrasi Publik Pascasarjana STISIPOL CANDRADIMUKA Palembang Sumatera Selatan, Indonesia 1
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
Pedagang Kaki Lima dan Segala Persoalannya (Kasus Kebijakan Mengenai Pedagang Kaki Lima di Kota Surabaya) Basa Alim Tualeka Dosen Magister Administrasi Publik STISIPOL Candradimuka Palembang ABSTRAK Munculnya sektor informal khususnya pedagang kaki lima di kota-kota besar di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari akibat pembangunan pertanian yang dikenal dengan “revolusi hijau” pada awal pemerintahan orde baru. Keberadaan sektor informal khususnya pedagang kaki lima di perkotaan lebih banyak dilihat oleh penguasa sebagai parasit yang mengganggu ketertiban dan keindahan wajah kota, sehingga kota besar seperti Jakarta pernah menerapkan kebijakan “pintu tertutup” bagi migran asal pedesaan ini. Belum tuntas masalah ini ditangani, justru pada putaran berikutnya, terjadi peningkatan pesat jumlah pedagang kaki lima di kota-kota besar di Jawa sebagai akibat krisis ekonomi global tahun 1997 yang lalu. Kondisi inipun akhirnya “memaksa” Pemerintah Kota Surabaya, mulai menerapkan kebijakan “pintu tertutup” guna menekan jumlah PKL dari migran pedesaan yang setiap akhir tradisi mudik lebaran, selalu membanjiri kota Surabaya. Persoalannya memang tidak hanya sekedar masalah pekerjaan, atau tempat tinggal saja, akan tetapi sudah menyangkut daya dukung lingkungan, sanitasi, air bersih, listrik, kesehatan, pendidikan dll, yang harus disediakan oleh pemerintah kota. Bagaimana mereka survive ditengah persaingan /tekanan? Tulisan ringkas berikut ini bermaksud membahas persoalan pokok berkaitan pedagang kaki lima (disingkat PKL) dalam mempertahankan hidupnya baik dalam lingkup kebijakan pemerintah pusat maupun di Kota Surabaya. Kata Kunci : Kebijakan, Pedagang Kaki Lima
Pendahuluan Surabaya merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta yang memiliki penduduk hampir tiga juta jiwa. Kota ini memiliki berbagai potensi yang dapat menarik pendatang dari daerah sekitar maupun kota lain. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah penduduk yang meningkat dan terus meningkat pada tahuntahun berikutnya. Sebagai kota metropolitan yang memiliki pelabuhan Tanjung Perak, bandara internasional Juanda, Stasiun kereta api Gubeng, pasar Turi dan terminal Surabaya, kota ini memang layak disebut sebagai salah satu gerbang perdagangan utama di wilayah Indonesia timur. Banyaknya jumlah pendatang dari luar kota Surabaya yang tidak diimbangi dengan
jumlah lapangan pekerjaan yang memadai menyebabkan masalah kota di Surabaya bertambah, selain itu krisis ekonomi dan moneter juga menyebabkan kelumpuhan ekonomi nasional terutama pada sektor riil yang berakibat terjadinya PHK secara besarbesaran dari perusahaan swasta nasional. Hal ini mengakibatkan munculnya pengangguran di kota – kota besar termasuk Kota Surabaya. Sulitnya perekonomian yang dialami masyarakat membuat mereka memilih suatu alternatif usaha di sektor informal dengan modal yang relatif kecil untuk menunjang kebutuhannya. Salah satu usaha disektor informal dengan modal relatif kecil adalah menjadi pedagang kaki lima. Dari tahun ke tahun jumlah PKL di Surabaya terus bertambah. Menurut salah satu nara
2
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
sumber, kepala Dinas Koperasi dan Sektor Informal Kota Surabaya Ismanu tahun 2011 di Surabaya ada 15 000 PKL yang berada di 465 titik. Adapun tahun 2002 jumlah PKL mencapai 18000 dan berada di 615 titik. Dikawasan jalan pahlawan misalnya kehadiran PKL menempati separuh badan jalan sehingga sangat menganggu ketertiban lalu lintas. Gangguan pada prasarana jalan tersebut menimbulkan kesemerawutan dan kemacetan kota. Oleh karenanya, pemerintah mengalami kesulitan dalam penataan dan pemberdayaan guna mewujudkan kota yang bersih dan rapi. Di samping itu PKL sebagai bagian dari usaha sektor informal memiliki potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai serta rendahnya tingkat pendidikan. Permasalahan PKL bukan hanya permasalahan pemerintah Kota Surabaya dan pedagang kaki lima saja tetapi juga merupakan masalah masyarakat umum. Hal ini dikarenakan keberadaan PKL telah mengganggu ketertiban lalu lintas yang dapat menyebabkan kecelakaan, fasilitas umum tidak dapat digunakan secara optimal, misal jalan–jalan strategis Surabaya, Jalan Tunjungan kini disesaki kaum PKL yang menimbulkan kesemerawutan kota. Namun bila pedagang kaki lima digusur begitu saja, masyarakat pun akan sulit memenuhi kebutuhan mereka yang biasanya disediakan oleh pedagang kaki lima tersebut. Sedangkan bagi pemerintah kota Surabaya, kebijakan yang dikeluarkannya belum dapat diterapkan dengan baik. Tujuan untuk menciptakan sebuah kota yang indah, tertib dan teratur belum dapat terpenuhi karena keberadaan mereka, sedangkan pemerintah sendiri belum dapat memberikan solusi yang tepat bagi persoalan pedagang kaki lima. Mengacu uraian di atas, penting kiranya agar semua pihak untuk melakukan upaya penyelesaian permasalahan ini. Dengan adanya upaya yang sungguh-sungguh dari semua pihak diharapkan penyelesaian permasalahan ini membawa segi positif berupa tercapainya tujuan yang diharapkan pemerintah untuk mewujudkan kota yang
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
tertib, indah, asri dapat terwujud sekaligus tujuan pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil khususnya PKL pun dapat tercapai. Upaya yang telah dijalankan semua pihak diharapkan pula dapat mengurangi masalah sosial seperti kemiskinan, kriminal dan konflik baik konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal misalnya konflik antara pedagang kaki lima dan pemerintah kota menyangkut masalah kebijaksanaan pemerintah kota untuk melakukan penertiban sedangkan konflik horizontal misalnya konflik sesama pedagang kaki lima menyangkut masalah lahan dan persaingan usaha yang ada. Latar Belakang Munculnya PKL Dalam kurun waktu sepuluh tahun teakhir, sektor informal di wilayah perkotaan Indonesia kembali menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Menurut para ahli, meningkatnya sektor informal mempunyai kaitan dengan menurunnya kemampuan sektor modern (industri) dalam menyerap pertambahan angkatan kerja baru di kota (Suyanto,B.2008 : 3) Di pihak lain pertumbuhan angkatan kerja baru di kota-kota besar sebagai akibat langsung dari migrasi desakota jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan kesempatan kerja. Kondisi ini telah menambah jumlah pengangguran termasuk pengangguran usia muda dan terdidik di perkotaan (Suyanto,B.,2008 : 2) Tumbuhnya sektor informal di kota-kota besar di Indonesia tidak dapat dilihat secara parsial dari sudut pandang perkotaan saja, akan tetapi harus pula dilihat dari latar belakang sejarah arus migrasi desa-kota yang sejak dekade 1970,1980 hingga 10 tahun terakhir terus menunjukkan trend peningkatan. Dengan kata lain, masalah sektor informal di perkotaan Indonesia, harus dilihat dari kerangka makro. Bahwa keberadaan sektor informal sebenarnya sudah mulai dibicarakan oleh para ahli; pasca kebijakan pembangunan pertanian Orde Baru dilaksanakan yang dikenal dengan “revolusi hijau” Menurut beberapa hasil penelitian, di daerah pedesaan Indonesia selama periode 1973 (Sensus Pertanian) sampai dengan 1980 (Sensus Penduduk) telah terjadi peningkatan jumlah rumah tangga tani sebesar rata-rata 2,8% per tahun. Pada tahun 1973 persentase petani pemilik tanah di bawah luas 0,5 Ha adalah sebesar 46% , dan pada tahun 1980 jumlah tersebut naik lagi menjadi 63% (LEKNAS LIPI, 1981 :4) Hal ini
3
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
menunjukkan betapa struktur pemilikan tanah di pedesaan telah berubah dan semakin mendesak para petani gurem menjadi buruh tani. Salah satu penjelasan yang dapat diajukan adalah; bahwa faktor tanah sebagai sumber utama petani untuk menjamin kelangsungan hidup seluruh keluarganya sudah sedemikian langka, akibat pesatnya pertambahan jumlah penduduk serta berubahnya berbagai sistem kelembagaan di pedesaan, sehingga kian memperbesar gejala ketidak seimbangan antara penduduk dan luas tanah pertanian (Charles Adam, dalam Suparlan, P.,1984 : 94) Hasil penelitian Singarimbun, M., dan David H. Penny (1976 : 31) di Jawa Tengah menemukan, bahwa distribusi pemilikan tanah di kalangan petani sangat rendah, yaitu hanya 0,22 Ha per kepala keluarga atau setara dengan 0,043 Ha per orang. Ini berarti bahwa penduduk di pedesaan berupaya mempertahankan hidupnya dengan hanya seperempat ambang kecukupan, bahkan kurang dari itu. Dapat diprediksi bahwa akibat dari tekanan penduduk semacam itu, akan timbul akibat-akibat sebagai berikut. Pertama, sangat sempitnya luas usaha tani, kedua, akan ada sejumlah besar petani yang tidak memiliki tanah pertanian, dan ketiga akan terjadi keadaan dimana kepemilikan tanah pertanian terpusat pada segelintir orang kaya saja. Kondisi sedemikian itu telah menyebabkan tekanan ekonomi di satu pihak terasa berat, sementara di pihak lain hampir tidak ada lagi sumber ekonomi yang memadai yang dapat diusahakan di pedesaan – menyebabkan golongan penduduk miskin pedesaan terpolarisasi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah mereka yang tetap bertahan di pedesaan dengan segala kemiskinannya, sementara golongan lainnya (yang produktif) melakukan migrasi ke kota-kota besar dengan berbagai alasan dan caranya masing-masing (Wirawan, 2006 : 23) Nampaknya banyak ahli mulai sepakat bahwa motif utama migrasi adalah masalah ekonomi. Polarisasi desa dan kota adalah sebab utama timbulnya urbanisasi. Menurut buku “The Urbanization Processes in the Third World” karya Terry.G.McGee (dalam Sunarto, HS., 1983 : iv) bahwa di Negara berkembang seperti Indonesia, migrasi lebih didorong oleh kemiskinan dari pada gemerlapnya kota. Besarnya arus migrasi desa-kota akan menimbulkan dampak demikian besar pada daya dukung lingkungan dengan gejala munculnya pemukiman liar (squatter settlement) dan pengangguran yang akan mempertajam
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
persaingan memperebutkan lapangan pekerjaan dan pemukiman. Para pendatang dari desa ini sebagian besar tidak memiliki keahlian atau keterampilan yang dibutuhkan sektor modern, sehingga mereka harus menjalani kehidupan marginal selama bermukim di perkotaan. Itu pula sebabnya di beberapa sudut kota sering ditemukan orang hidup menggelandang, tidur di emper toko, kios pasar atau di kolong jembatan yang menampilkan kesengsaraan manusia di kota-kota besar yang sedang tumbuh pesat. Untuk dapat bertahan hidup, maka tidak ada jalan lain, selain berusaha di sektor-sektor ekonomi informal. Dari dampak gejala urbanisasi semacam inilah kemudian mulai muncul berbagai jenis dan tingkatan usaha di sektor ekonomi informal, mulai dari pengemis jalanan, pengamen, pengumpul barang bekas (barang rombengan), pemungut puntung rokok, kaca, dan kertas bekas, tukang copet, calo karcis dan pelacur jalanan (yang dikategorikan sebagai PMKS), tukang becak, hingga pedagang kaki lima berbagai jenis usaha. Khusus mengenai PKL, keberadaan mereka tidak pernah surut dari berbagai masalah, baik yang datang dari Pemerintah Kota maupun kehadiran pihak ketiga yakni para preman. Seperti apa kondisinya, berikut penjelasannya. Literatur Review Terkait PKL
Pengertian Pedagang Kaki Lima Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya
4
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima. Padahal jika merunut sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki. Dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima pasal 1 nomor 1 dijelaskan bahwa Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan, dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap. Menurut McGee dan Yeung (1977), PKL mempunyai pengertian yang sama dengan „hawkers‟, yang didefinisikan sebagai orangorang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual ditempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Senada dengan hal itu, Soedjana (1981) mendefinisikan PKL sebagai sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di atas trotoar atau di tepi/di pinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan/pertokoan, pasar, pusat rekreasi/hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari. Proses perencanaan tata ruang, sering kali belum mempertimbangkan keberadaan dan kebutuhhan ruang untuk PKL. Ruang-ruang kota yang tersedia hanya difokuskan untuk kepentingan kegiatan dan fungsi formal saja. Kondisi ini yang menyebabkan para Pedagang Kaki Lima berdagang di tempattempat yang tidak terencana dan tidak difungsikan untuk mereka. Akibatnya mereka selalu menjadi obyek penertiban dan pemerasan para petugas ketertiban serta menjadikan kota berkesan semrawut. Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
penertiban atau penataan (Bhowmik, 2005). Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas non-profit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi. Terbatasnya dukungan kebijakan membuat sektor ini tidak aman (Bhowmik, 2005), yang berdampak buruk pada mata pencaharian penduduk miskin urban. Mereka terkenal karena memberikan sebagian penduduk urban kebutuhan barang atau jasa yang tidak dapat disediakan oleh outlet ritel besar. Disamping fakta bahwa PKL adalah sumber mata pencaharian penting bagi penduduk miskin urban, PKL juga menempati badan-badan jalan dan trotoar dan tidak menyisakan cukup ruang bagi pejalan kaki. Kondisi ini menjadi perhatian publik karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan orang di pedestrian, dan menciptakan lingkungan kotor dan kurang sehat. PKL yang menempati ruang dan jalan publik juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet, pencuri, dan sebagainya. Situasi ini menciptakan masalah dalam pengelolaan, pembangunan dan merusak morfologi dan estetika kota. PKL atau dalam bahasa inggris disebut juga street trader selalu dimasukkan dalam sektor informal. Dalam perkembangannya, keberadaan PKL di kawasan perkotaan Indonesia seringkali kita jumpai masalahmasalah yang terkait dengan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kesan kumuh, liar, merusak keindahan, seakan sudah menjadi label paten yang melekat pada usaha mikro ini. Mereka berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di jembatan penyebrangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulangkali menertibkan mereka yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan lalu lintas atau pun merusak keindahan kota. PKL dipandang sebagai bagian dari masalah (part of problem). Upaya penertiban, sebagaimana sering
5
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
diekspose oleh media televisi acapkali berakhir dengan bentrokan dan mendapat perlawanan fisik dari PKL sendiri. Bersama dengan komponen masyarakat lainnya, tidak jarang para PKL pun melakukan unjuk rasa. Pada hal, sejatinya bila keberadaannya dipoles dan ditata dengan konsisten, keberadaan PKL ini justru akan menambah eksotik keindahan sebuah lokasi wisata di tengah-tengah kota. Hal ini bisa terjadi apabila PKL dijadikan sebagai bagian dari solusi (part of solution). Seperti yang sudah dikemukakan di atas, PKL yang dikelompokkan dalam sektor informal sering dijadikan sebagai kambing hitam dari penyebab kesemrawutan lalu lintas maupun tidak bersihnya lingkungan. Meskipun demikian PKL ini sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih mampu bertahan hidup survive dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena sektor informal relatif lebih independent atau tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya. Bukti-bukti tersebut menggambarkan bahwa pekerjaan sebagai PKL merupakan salah satu pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi karena dampak krisis ekonomi tidak secara nyata dirasakan oleh pedagang kaki lima. Dalam hal ini PKL mampu bertahan hidup dalam berbagai kondisi, sekalipun kondisi krisis ekonomi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima yang kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Dalam Permendagri disebutkan bahwa tujuan penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah untuk memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya; menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri; dan untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan. Dengan adanya Perpres nomor 125 tahun 2012 dan Permendagri nomor 41 tahun 2012, maka Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kabupaten wajib melakukan penataan dan pembinaan PKL di wilayahnya masingmasing. Salah satu amanat yang tercantum di dalam Permendagri nomor 41 tahun 2012 adalah Bupati/Walikota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukannya sebagai lokasi tempat kegiatan usaha PKL. Penetapan lokasi atau kawasan tempat kegiatan usaha PKLdilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Lokasi tempat kegiatan usaha PKL merupakan lokasi binaan Bupati/Walikota yang bersifat permanen atau sementara dan telah dilengkapi dengan papan nama lokasi dan rambu atau tanda yang menerangkan batasan jumlah PKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Bupati/Walikota juga diwajibkan untuk melakukan pemberdayaan terhadap PKL melalui peningkatan kemampuan berusaha; fasilitasi akses permodalan; fasilitasi bantuan sarana dagang; penguatan kelembagaan; fasilitasi peningkatan produksi; pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi; dan pembinaan dan bimbingan teknis. Sedangkan pemberdayaan PKL yang membutuhkan fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota
6
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
dilakukan oleh gubernur. Dalam melakukan pemberdayaan PKL, Bupati/Walikota dapat melakukan kerjasama atau kemitraan dengan dunia usaha melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk penataan peremajaan tempat usaha PKL; peningkatan kemampuan berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan dan bantuan permodalan; promosi usaha dan event pada lokasi binaan; dan berperan aktif dalam penataan PKL di kawasan perkotaan agar menjadi lebih tertib, bersih, indah dan nyaman. Sulitnya perekonomian yang dialami oleh masyarakat pada saat krisis moneter dan ekonomi membuat mereka memilih alternatif usaha dengan modal yang relatif kecil untuk menunjang kebutuhannya. Adapun usaha kecil tersebut meliputi : usaha kecil formal, usaha kecil informal dan usaha kecil tradisional. Usaha kecil formal adalah usaha yang telah terdaftar, tercatat dan telah berbadan hukum, sementara usaha kecil informal adalah usaha yang belum terdaftar, belum tercatat dan belum berbadan hukum, anatar lain petani penggarap, industri rumah tangga, pedagang asongan, pedagang keliling, pedagang kaki lima dan pemulung. Sedangkan usaha kecil tradisional adalah usaha yang menggunakan alat produksi sederhana yang digunakan secara turun temurun dan/atau berkaitan dengan seni dan budaya. Pedagang kaki lima (PKL) merupakan usaha informal yang bergerak dalam distribusi barang dan jasa. PKL, di satu sisi merupakan salah satu penggerak dalam perekonomian masyarakat pinggiran. Hutajulu (1985) memberikan batasan tentang sektor informal, adalah suatu bidang ekonomi yang untuk memasukinya tidak selalu memerlukan pendidikan formal dan keterampilan yang tinggi, dan memerlukan surat-surat izin serta modal yang besar untuk memproduksi barang dan jasa. Selanjutnya Sethurahman (1985) memberi batasan sektor informal ini sebagai unit-unit usaha berskala kecil yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi barang-barang, dimasuki oleh penduduk kota terutama bertujuan untuk mencari kesempatan kerja dan pendapatan
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
daripada memperoleh keuntungan. Pada dasarnya Suatu kegiatan informal harus memiliki suatu lokasi yang tepat agar dapat memperoleh keuntungan (profit) yang lebih banyak dari tempat lain dan untuk mencapai keuntungan yang maksimal, suatu kegiatan harus seefisien mungkin. Richardson (1991) berpendapat bahwa keputusan-keputusan penentuan lokasi yang memaksimumkan penerimaan biasanya diambil bila memenuhi kriteria-kriteria pokok : 1. Tempat yang memberi kemungkinan pertumbuhan jangka panjang yang menghasilkan keuntungan yang layak. 2. Tempat yang luas lingkupnya untuk kemungkinan perluasan unit produksi. Jadi artinya sektor informal adalah sektor yang memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan kegiatan yang paling besar dijalankan oleh penduduk berpendapatan rendah. Peraturan Daerah (Perda) Surabaya No 17 tahun 2003 yang mengatur tentang PKL merupakan keabsahan dari pemerintah kota Surabaya sebagai kelompok penguasa terhadap kelompok bawah diantaranya adalah para pedagang kaki lima. Namun melalui Perda tersebut para pedagang kaki lima justru merasa terancam kepentingannya yaitu kebutuhan dalam menjalankan usahanya. Perda Surabaya No. 17 Tahun 2003 merupakan produk dari kelompok penguasa yakni Pemerintah Kota Surabaya. Peraturan tersebut dikeluarkan karena adanya suatu kebijakan penguasan terhadap yang dikuasai. Kebijakan tersebut bersifat publik dan membentuk suatu hukum yang harus dipatuhi oleh mereka yang dikuasai (dalam hal ini yakni PKL). Sehingga pada dasarnya produk hukum merupakan hasil dari kebijakan publik pada umumnya harus didelegasikan dalam bentuk hukum. Menurut William Dunn (2004), kebijakan yang dibuat guna kepentingan publik. Kebijakan publik didasarkan pada kepentingan masyarakat yang diimbangi dengan atensi terhadap kaum minoritas dalam masyarakat. PKL sebagai salah satu kaum minoritas yang bergelut dalam sektor
7
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
informal merupakan bagian dari masyarakat Surabaya. Oleh karena itu dalam merumuskan kebijakan pemerintah seharusnya lebih memihak pada kepentingan publik, Seperti yang dikatakan Harold D. Laswell yaitu Pada dasarnya kebijakan publik memiliki tiga elemen yaitu: (1) Identifikasi dan tujuan yang ingin dicapai.(2) Taktik atau strategi dan berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (3) Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dan taktik maupun strategi di atas. (Wibowo, 2004: 25). Guna melaksanakan tiga elemen tersebut penguasa yakni Pemerintah Kota Surabaya harus melalui suatu proses komunikasi kebijakan. Proses komunikasi kebijakan ini melalui suatu pengetahuan yang berorientasi pada (1) Permasalahan yang timbul, (2) Aksi yang dilakukan salah satu pihak yakni PKL dan Pemkot Surabaya yang dihadapkan pada kepentingan masing-masing, dan (3) Kinerja salah satu pihak dalam perwujudan kepentingannya. Dengan adanya orientasi diatas, pengetahuan yang akan digunakan untuk mengambil kebijakan dapat diarahkan pada pengembangan materi yang akan didokumenkan oleh pihak penguasa yakni Pemerintah Kota Surabaya. Dokumen tersebut didasarkan pada (1) Memorandum kebijakan, (2) Paper –paper isu kebijakan, dan (3) Ringkasan dari kebijakan yang telah dibuat oleh PKL dan Pemkot Surabaya, yang dilanjutkan pada (4) Pengumumam berita kebijakan tersebut agar diketahui baik pihak PKL maupun Pemerintah Kota Surabaya. Setelah adanya proses dokumen, kebijakan tersebut dikomunikasikan secara interaktif antara pihak PKL dan Pemerintah Kota Surabaya mengenai kebijakan yang telah dibuat melalui sebuah presentasi yang dilakukan oleh pihak yang berpengaruh dalam kebijakan tersebut yakni pihak Pemkot Surabaya. Presentasi tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk percakapan, konfrensi, pertemuan, breffing ataupun dengar pendapat dari pihak PKL maupun Pemkot. Kemudian melalaui presentas diatas
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
diharapkan adanya utilisasi dan pengetahuan mengenai kebijakan yang telah dirumuskan oleh kedua belah pihak yakni Pemkot dan PKL di Surabaya. Yang diarahkan pada perilaku kebijakan yang diaplikasikan melalui penyusunan agenda, pengadopsian kebijakan, implementasi dan penilaian terhadap kebijakan. sehingga dari perilakuperilaku kebijakan tersebut dapat dianalisis dalam Analisis Kebijakan. Jika analisis kebijakan tersebut gagal, maka proses pembuatan kebijakan dikembalikan lagi pada pengetahuan kebijakan seperti yang digambarkan oleh (Harold dalam Wibowo, 2004:25). Proses Marginalisasi PKL Perkembangan sektor ekonomi informal khususnya pedagang kaki lima (PKL) di kota Surabaya pasca krisis ekonomi tahun 1997, berlangsung cukup pesat. Dapat dipastikan setiap hari muncul PKL – PKL baru. Saat ini sudah tercatat sekitar 700 ribu lebih PKL yang memenuhi sudut-sudut ruang kota Surabaya, sementara daya tampung kawasan-kawasan strategis yang ada di kota Surabaya dikalkulasi hanya mampu menampung 5 sampai 10 ribu PKL. Dengan jumlah PKL sebanyak itu, berarti telah terjadi kelebihan jumlah PKL hingga puluhan kali lipat (Suyanto,B.,2003 : 2) Sebelum terjadinya krisis moneter 1997, di sepanjang jalan protokol seperti di jalan Pahlawan, jalan Pemuda, jalan Raya Darmo masih nampak bebas dan bersih dari tenda atau rombong PKL, kecuali beberapa PKL yang menjual jenis makanan jadi. Tetapi dalam beberapa bulan terakhir, trotoar di jalan-jalan protokol sudah nampak berjajar ribuan PKL. Di jalan Pahlawan misalnya, PKL nyaris memenuhi separuh badan jalan. Lebih parah lagi kondisi di sepanjang jalan Kapasari sebelum berhasil ditertibkan. Hampir setiap hari di lokasi ini terjadi kemacetan parah, karena PKL menggelar dagangannya di sepanjang badan jalan sisi barat. Lalu lintas di daerah ini kerapkali macet dan crowded, dan kegiatan usaha lain juga terganggu karena di depan rumahnya dipenuhi oleh PKL. Pandangan negatif tentang keberadaan PKL semakin kental ketika muncul wacana ‟keindahan kota‟. Jika dilihat dari segi estetika lingkungan, keberadaan PKL maupun peralatan yang dipakai berjualan hampir semuanya ditinggalkan di trotoar atau di halaman orang lain, bahkan tidak
8
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
jarang kios-kios darurat tempat berjualan itu mereka fungsikan pula sebagai tempat tinggal, termasuk mandi, cuci dan kakus (Alisjahbana, 2004 : 1) Kondisi ini menyebabkan para pengguna jalan yang lain merasa tidak nyaman dan aman saat berjalan di trotoar, karena PKL tidak menyisakan ruang untuk pejalan kaki terutama adanya tali pengikat tenda yang diikatkan pada pembatas trotoar. Ulah PKL yang lebih ‟ugal-ugalan‟ terjadi di ruas jalan Kapasari (sebelum akhirnya berhasil ditertibkan). Semula, di lokasi ini lebih dari 20 meter badan jalan dikuasai oleh sekitar 1000 pedagang, sehingga badan jalan yang tersisa hanya 3 meter saja untuk kendaraan yang lewat. Pada setiap jengkal trotoar hingga tengah jalan terdapat tiga sampai lima lapis stan PKL. Kondisi di Kapasari ini menjadi kian semrawut karena beroperasinya sekitar 100 becak yang parkir sembarangan di sekitar lokasi (Radar Surabaya, 15/10-01) Permasalahan PKL yang sudah sedemikian rumit, menjadi bertambah rawan dengan kahadiran pihak ke tiga, dalam hal ini para Preman. Persoalannya kemudian adalah; keberadaan PKL ini tidak lepas dari kekuasaan para ”Penguasa Pasar”. Para PKL menyebut para ‟penguasa pasar‟ ini sebagai ”godfather” sebagaimana berlaku di lokasi Pasar Keputran. Di Pasar Keputran ini beroperasi enam godfather yang menguasai tidak kurang dari 818 stan pasar yang ada di sekitar areal pasar ini. Dari interaksi dengan para preman inilah (bahkan dengan oknum Dinas Pengelola Pasar) sebenarnya proses marginalisasi PKL itu terjadi. Para preman ini berfungsi sebagai pengatur para pedagang kaki lima (PKL) Preman ini juga berkuasa dalam memperjual belikan stan yang ada di badan jalan. Disamping itu, para preman ini juga berhak menarik setoran harian kepada para PKL yang berjualan. Bagi para PKL ini, keberadaan Preman ini serba dilematis. Di satu sisi terasa merugikan karena melakukan pemerasan, tetapi di sisi yang lain preman ini dibutuhkan, terutama dalam memperoleh tempat berjualan, mendapatkan ”rasa aman” dari gangguan pemeras lainnya, serta mendapatkan informasi, mengenai ada tidaknya penertiban PKL yang dilakukan oleh Pemerintah Kota. Menurut Bagong Suyanto (2003 : vii) para preman pasar ini ia sebut dengan istilah ”Patron” yang sewaktu-waktu dapat memberikan perlindungan, tetapi sekaligus pula sebagai pihak yang mengeksploitasi ketidakberdayaan para pelaku sektor informal ini. Dalam kondisi dilematis seperti ini, pihak Polisi maupun Satpol
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
PP Kota Surabaya tidak dapat berbuat banyak. Disamping jumlah aparat yang terbatas, mereka juga telah mendapatkan ”upeti” dari PKL. Lebih dari itu, para Polisi dan Satpol PP hanya akan melakukan penertiban PKL jika ada dana khusus operasional yang dianggarkan untuk itu. Tanpa dana operasi semacam itu, aparat tidak akan pernah bergerak secara maksimal. Dalam menjalankan aksinya, para ‟mafia‟ pasar ini ditengarai diam-diam bekerjasama dengan sejumlah oknum aparat Pengelola pasar. Ada informasi yang layak dipercaya bahwa ‟mafia‟ di pasar seperti ini memang sengaja dibiarkan dan „dipelihara‟ oleh sejumlah oknum pejabat karena setiap saat mereka dapat memasok sejumlah dana yang cukup besar kepada oknum Pemerintah Kota tersebut (Radar Surabaya, 4 September 2001). Dalam kondisi seperti ini, seolah-olah para PKL menjadi semacam ‟mainan‟ para preman dan sejumlah oknum aparat Pemerintah Kota (Surabaya Pos, 17 Januari 2002) Akibatnya, di beberapa kawasan, wajah kota Surabaya kerap nampak kumuh, tidak teratur, ruwet dan semrawut. Melihat dampak sedemikian itu, Pemerintah Kota Surabaya berulang kali melakukan operasi penertiban di seluruh jalan-jalan protokol, terutama di tujuh jalur utama yaitu ; jalan Ahmad Yani, jalan Raya Darmo, jalan Tunjungan, jalan Urip Sumoharjo, jalan Basuki Rahmat, jalan Embong Malang dan jalan Praban. Dalam rangka pelaksanaan penertiban tersebut, Pemerintah Kota Surabaya juga telah membentuk Tim Pengendali PKL dengan Keputusan Walikota Surabaya Nomor : 188.45/087/402.01.04/2001 yang beranggotakan Muspika, Dinas dan Bagian yang terkait dengan komando dari Dinas Polisi Pamong Praja (Surya, 27 September 2001). Pemerintah Kota juga meminta bantuan pihak Polwiltabes, termasuk Brimob, TNI AD, dan Marinir. Hanya saja, upaya – upaya tersebut tidak seluruhnya berjalan sebagaimana yang direncanakan. Aktifitas PKL tetap saja bertebaran di jalur-jalur utama, terutama saat para aparat lengah. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan, bahwa aparat memang sengaja ”memberi peluang” kepada PKL untuk berjualan di lokasi tersebut.Sebagaimana sering diucapkan sendiri oleh oknum aparat seperti : ” Tolong hormati saya, tolong menyingkir kalau saya sedang patroli ” Kalimat-kalimat ini bisa saja bermakna ” Silakan berjualan, kalau saya tidak sedang patroli” Sebenarnya sudah ada upaya yang lebih manusiawi yang ditempuh oleh Pemerintah Kota, yakni dengan membangun
9
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
kawasan PKL Binaan, sebagaimana diatur di dalam Perda Kota Madya Surabaya Nomor : 10 Tahun 1987 tentang Pengaturan Tempat Usaha dan Pembinaan PKL. Selain itu ada juga Keputusan Walikota Madya Surabaya Nomor: 18 Tahun 1996 tentang Pembinaan dan Pengelolaan PKL radius 100 meter dari Pasar. Masih ada lagi Keputusan Walikota Madya Surabaya Nomor : 03 Tahun 1999 tentang Penataan Lokasi Usaha dan Pembinaan Usaha PKL, yang kesemuanya itu lebih mengarah kepada bentuk pengaturan dan pembinaan PKL. Contoh PKL Binaan yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya, adalah PKL ” Mulyo Rukun” di Sidomulyo yang beranggotakan sekitar 140 PKL, dan PKL di daerah Kembang Jepun. Selain membentuk PKL Binaan, Pemkot Surabaya juga berupaya untuk merelokasi PKL ke tempat-tempat yang lebih khusus. Melalui relokasi ini Pemerintah Kota Surabaya berharap dapat membina PKL (bina usaha,bina manusia dan bina lingkungan), menertibkan dagangan, tempat usaha dan sumber hukumnya. Meskipun demikian, karena alasan beban sewa di tempat yang baru lebih tinggi serta akan jauh dari pembeli, maka tidak sedikit PKL yang menolak di relokasi dan akhirnya mereka memilih ”kucing-kucingan” dengan aparat. Memasuki tahun 2002, berbagai upaya terus dilakukan Pemerintah Kota Surabaya untuk menata wajah kota Surabaya, khususnya menyikapi kehadiran PKL di berbagai jalan protokol, dan perkembangan bangunan-bangunan liar yang dinilai sudah sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas, keindahan dan ketertiban kota Di mata Pemerintah Kota, kehadiran PKL dan bangunan liar di sejumlah wilayah, terutama di jalan-jalan protokol dan di wilayah sepanjang stren kali, sudah tidak dapat ditoleransi lagi, sehingga kehadiran PKL dan sektor informal lainnya yang sudah puluhan tahun lamanya itu, harus ditertibkan. Pendek kata, genderang perang melawan PKL dan bangunan liar, telah dimulai oleh Pemerintah Kota Surabaya dan hal ini tidak bisa dikompromikan lagi (Balitbangda Kota Surabaya, 2002 : 1 ) Kebijakan Pemkot Surabaya Terhadap Kelompok Marginal (PKL) Tim Penertiban PKL yang terdiri dari unsur Pemerintah Kota, Polwiltabes serta didukung oleh Personil TNI AD, Marinir dan Satuan Brimob Polda Jatim telah sepakat dengan tekad
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
yang bulat untuk bekerja secara kolektif menertibkan kota dari PKL. Sebagaimana disinggung di bagian awal tulisan ini, bahwa persoalan PKL di Kota Surabaya ini merupakan masalah sosial yang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu, dan dari tahun ke tahun masalahnya tidak pernah terselesaikan dengan tuntas, karena akar permasalahannya tidak tersentuh sama sekali. Ini terbukti dari; kembalinya mereka ke tempat-tempat berjualan semula – persis seperti saat mereka terkena gusur, dirazia atau diusir beberapa saat sebelumnya. Kebijakan represif yang disertai tindakan penggusuran atau relokasi secara paksa yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota Surabaya untuk sebagian kalangan menilai sebagai kebijakan yang sangat bias urban dan terkesan kurang manusiawi .Pihak Pemerintah Kota sama sekali tidak beruapaya untuk melakukan dialog terlebih dahulu dengan para PKL. Tindakan demikian itu tentu saja menyebabkan kelompok marginal melakukan reaksi, sebab eksistensinya sebagai warga kota tidak pernah diakui Pemerintah Kota. Bukti yang lebih kuat tentang tidak adanya pengakuan Pemerintah Kota terhadap eksistensi warga kota (PKL) yang kurang beruntung ini, adalah pada saat Pihak Pemerintah Kota bersama dengan DPRD membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang PKL. Sebagai obyek dari sebuah produk regulasi, ternyata para PKL ini tidak pernah diikut sertakan di dalam pembahasan tersebut. Setelah Raperda itu disyahkan menjadi Perda, para PKL merasa tidak puas dan merasa Perda tersebut tidak memihak kepada kelompok marginal (PKL) bahkan lebih dipandang sebagai upaya untuk mematikan keberadaannya. Dari sudut pandang yang lain dapat diketahui bahwa, kebijakan Pemerintah Kota di dalam menata kawasan perkotaan tidak pernah mengakomodasi aspirasi mereka. Budaya top down dalam setiap perumusan kebijakan publik menyebabkan kelompok PKL ini tidak pernah didengar aspirasinya apalagi diikut sertakan di dalam setiap program penataan kota yang menyangkut kepentingan dirinya. Para PKL hanya diharuskan mentaati aturan yang tidak pernah diketahui alasan-alasannya. Pemerintah Kota juga sengaja mengkambing hitamkan sektor informal terutama PKL terhadap semua perilaku disfungsional dalam masyarakat. Stigma negatif yang disebarkan Pemerintah Kota terhadap PKL sebagai biang dari segala keruwetan, kekumuhan dan kemacetan lalu lintas
10
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
di perkotaan. Tidak pernah diakui berapa sebenarnya sumbangan sektor informal (PKL) ini terhadap pajak dan retribusi daerah, karena keberadaan dan posisi PKL dalam struktur pereknonomian kota diletakkan dalam struktur yang tidak jelas dan tidak diakui (Lubell, 1991 : 11) Semua kebijakan Pemerintah Kota yang tidak memihak kepada kelompok marginal seperti PKL ini, telah menimbulkan perlawanan dalam berbagai bentuk. Faktor Penyebab Perlawanan Keberanian PKL untuk melakukan perlawanan adalah merupakan sebuah proses akumulasi dari berbagai fenomena yang melatarbelakanginya. Fenomena tersebut di antaranya ; pertama, adanya tindakan penertiban atas nama penataan yang pada kenyataannya selalu menggunakan pendekatan represif dan bukan persuasif. Pendekatan represif sudah dapat dipastikan selalu memakai tindakan kekerasan dalam penertiban para PKL. Para pelaku penertiban umumnya terdiri dari dari aparat Satpol PP, para Preman, Polisi dan Anggota Militer (AD) yang memang diberi tugas untuk penataan. Kedua, sikap tidak peduli dari pihak Pemerintah Kota terhadap keberadaan PKL serta kontribusi sektor informal khususnya PKL terhadap perekonomian kota juga menjadi penyebab yang lain. Bahkan proses marginalisasi terhadap kelompok ini terus berlangsung. Kucuran segar dari berbagai sumber kredit usaha tidak pernah sampai apalagi dinikmati oleh para PKL. Pendek kata mereka merasa tidak pernah diperhatikan oleh pihak Pemerintah Kota. Para PKL ini juga belum pernah merasakan kebijakan Pemerintah Kota yang memperhatikan dan menguntungkan dirinya, alih-alih menguntungkan, diakui eksistensinya saja belum pernah. Akibatnya, relasi antara Pemerintah Kota dengan para PKL menjadi tidak harmonis dan dari sisi kekuasaan, jelas PKL tidak memiliki kekuatan apa-apa. Ketiga, Suara dan aspirasi para PKL tidak pernah ditanggapi atau didengar oleh Pemerintah Kota. Setiap perumusan kebijakan yang menyangkut PKL sudah dapat dipastikan Pemkot tidak akan mengikut sertakan kelompok ini. Tetapi anehnya, para PKL selalu dipaksa untuk mentaati semua peraturan yang mengatur dirinya. Keempat, adanya stigma negatif yang selama ini sengaja diekspos oleh Pemerintah Kota tentang keberadaan PKL. Para PKL inilah yang selalu dituduh sebagai biang dari segala
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
kekumuhan, keruwetan, kesemrawutan dan kemacetan lalulintas serta banjir di Kota Surabaya. Disamping ke empat faktor yang menjadi latar belakang perlawanan para PKL terhadap Pemerintah Kota Surabaya, ada satu faktor lagi yang memicu semangat terjadinya perlawanan kaum marginal ini, yaitu bergulirnya era reformasi. Era reformasi ternyata telah memberi ruang bagi PKL untuk menyalurkan segala aspirasinya yang selama ini diabaikan oleh pihak Pemerintah Kota. Proses Munculnya Perlawanan PKL Proses munculnya perlawanan PKL pada dasarnya merupakan suatu proses panjang yang berjalan secara simultan dimulai dari tahap pragerakan, tahap membangun kesadaran kolektif, membentuk organisasi gerakan, merapikan dan merapatkan barisan, melakukan perlawanan, dan diikuti tahap konsolidasi, guna membangun semangat „pantang menyerah‟ dan melawan terus tanpa mengenal lelah. Pertama, tahap pergerakan yaitu tahap membuka kembali ingatan para PKL bahwa selama ini Pemerintah Kota telah berlaku tidak adil terhadap kelompoknya. Kedua, proses membangun kesadaran. Kesadaran yang dimiliki oleh PKL pada awalnya hanya merupakan kesadaran individual, kemudian secara perlahan-lahan berkembang menjadi kesadaran kolektif . Ketiga, membentuk organisasi gerakan, dan memilih pemimpin serta menentukan program kerja gerakan. Keempat, membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan cara melakukan berbagai pertemuan. Kelima, sebagai langkah puncak yang dilakukan organisasi PKL adalah melawan secara terbuka, seperti ; demonstrasi, mendatangi DPRD dan Walikota, melawan secara frontal kepada petugas Trantib saat ditertibkan, hingga melakukan perlawanan secara individual, tetapi tetap dalam koridor organisasi. Keenam, membangun semangat pantang menyerah dan terus melawan tanpa mengenal lelah. Bentuk-Bentuk Perlawanan PKL Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para PKL Surabaya pada dasarnya merupakan ekspresi seni melawan dengan tingkat imajinasi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat saat mereka melihat dari jauh ada penertiban.Tanpa pikir panjang biasanya mereka langsung mengemasi barang dagangannya secepat mungkin, kemudian dengan membawa serta barang dagangannya itu mereka lari terbirit-birit menyembunyikan diri.Dari episode ini nampaknya mereka para
11
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
PKL seolah-olah takut dengan petugas Ketertiban. Selama proses penertiban, mereka yang lari tadi terus memonitor dari kejauhan keberadaan petugas Ketertiban. Begitu petugas meninggalkan lokasi, dan merasa sudah aman, mereka para PKL ini kembali menggelar sedikit demi sedikit barang dagangannya, saambil terus mengawasi keadaan. Ketika benar-benar dirasakan sudah aman, barulah mereka berani menggelar seluruh barang dagangannya kembali.Semua itu dapat dikategorikan sebagai bentuk perlawanan tersembunyi. Perlawanan tersembunyi lain yang dilakukan oleh para PKL adalah pada saat mereka dalam posisi ‟tertangkap tangan‟ petugas Ketertiban dan tidak mungkin lagi melarikan diri.Dalam kondisi demikian, para PKL ini biasanya berupaya sekuat tenaga melakukan negosiasi dengan petugas, bahkan jika perlu ”menyuap” petugas agar barang dagangannya tidak disita petugas. Perlawanan ini mereka lakukan dengan berpura-pura menyerah dan ‟bertekuk lutut‟ di hadapan petugas Ketertiban dan berharap agar pada kesempatan itu dimaafkan dalam arti dibebaskan. Ada juga taktik lain yang dilakukan para PKL untuk melawan petugas, yaitu agar tetap dapat berjualan di lokasi strategis, dengan cara sengaja mencari tempat yang terlindung atau tersembunyi sehingga tidak mencolok dimata petugas. Dengan cara ini PKL berharap keberadaannya dapat dimaklumi oleh petugas Ketertiban. Ada juga siasat lain yang sering ditempuh oleh para PKL ini dalam ”melawan” petugas, yakni dengan membatasi jumlah PKL dan setiap individu di lokasi harus menjaga kebersihan lingkungan dengan sejumlah tanaman bunga (penghijauan) sehingga nampak indah dan asri. Cara semacam ini kerap membuat petugas ragu-ragu melakukan penertiban, meskipun jelasjelas menyalahi aturan berjualan bagi PKL. Untuk memperkuat barisan perlawanan, mereka para PKL ini juga mengunakan strategi modern seperti membentuk organisasi paguyuban PKL, sekaligus menentukan pimpinan organisasi. Mereka berharap dengan keberadaan organisasi itu, aspirasi mereka dapat disalurkan, dan tidak hanya mengendap di dalam konstruksi alam fikir saja seperti selama ini mereka lakukan. Mereka juga berharap dengan adanya organisasi itu, kesadaran anggota terhadap hak-haknya sebagai warga negara, kesadaran untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat serta pengakuan pemerintah terhadap eksistensinya di dalam sistem ekonomi perkotaan menjadi tergugah.
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
Tipu muslihat lain yang dilakukan oleh para PKL dalam melakukan perlawanan terselubung, yaitu dengan cara menebus kembali barang dagangannya yang telah disita petugas (saat operasi penertiban) dan bersedia menanda tangani pernyataan seolah-olah sudah ”bertobat” untuk tidak akan berjualan lagi di tempat terlarang. Namun setelah barang-barang dagangan yang disita petugas diperoleh kembali, dapat dipastikan mereka akan segera membuka kembali usahanya di lokasi seperti semula dengan sangat hati-hati dan kewaspadaan tinggi. Seluruh taktik dan strategi perlawanan yang bervariasi yang telah ditempuh oleh para PKL sebagaimana dipaparkan di atas, pada dasarnya merupakan tindakan untuk memperoleh makna secara essensial. Kesadaran para PKL untuk melakukan perlawanan muncul setelah ada penghayatan mengenai dunia (obyek) yang tengah dihadapinya. Ketika hasil penghayatan itu mengharuskan mereka melakukan , perlawanan, maka tidak ada pilihan lain kecuali bertindak (melawan) Tetapi ketika masih tersedia alternatif untuk menghindar, maka para PKL ini akan menghindar, meskipun upaya yang ditempuh untuk menghindar itu sama sulitnya dengan jika mereka melakukan perlawanan. Ada fenomena lain yang diperankan oleh para PKL, ketika upaya perlawanan terselubung yang meraka lakukan itu gagal atau tidak membuahkan hasil. Sebagai misal, ketika mereka tidak mampu meloloskan diri dari kejaran petugas, maka secara spontan mereka akan melawan dengan cara apapun. Mulai dengan cara perang mulut (ekerekeran) dengan petugas, sampai adu fisik dengan petugas. Pada awalnya memang mereka berusaha lari dari sergapan petugas. Tetapi ketika upaya itu gagal, mereka tetap melindungi barang dagangannya dengan cara dan resiko apapun. Belum pernah ada anggota PKL yang lari meninggalkan barang dagangannya, atau rombongnya untuk menghindari petugas. Bentuk perlawanan lain juga ditunjukkan oleh sebagian PKL, yakni dengan cara membangkang (mokong). Perlawanan model ini dilakukan oleh PKL yang benar-benar kepepet karena tertangkap basah berjualan di tempat yang memang dilarang. Mereka sudah tidak menemukan lagi tempat yang ramai atau cocok untuk jenis barang dagangannya, sementara mereka tetap harus menghidupi keluarganya, maka jalan satusatunya adalah tetap nekat berjualan di tempat yang berbahaya atau di tempat yang riskan penertiban. Perlawanan model ini juga dilakukan
12
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
oleh sebagian PKL yang hanya menjajakan barang titipan dari pemilik modal. Ketika barang dagangannya disita petugas, mereka tidak langsung rugi, dan tetap bisa berjualan kembali, karena barang dagangan tadi akan segera ditebus oleh tangan kanan pemilik modal (barang), dan mereka tetap dapat berusaha kembali. Secara organisatoris, perlawanan PKL juga dilakukan melalui demonstrasi ke Walikota dan DPRD. Di tempat ini para PKL melakukan orasi dan menyuarakan aspirasinya dengan cara menggelar mimbar bebas. Dengan cara itu, para PKL ini berharap suara mereka didengar banyak pihak, dan eksistensinya diakui serta berharap posisi tawarnya pun meningkat. Perlawanan secara terang-terangan juga dilakukan oleh sebagian PKL yakni dengan cara mendatangi pihak camat untuk meminta izin secara paksa. Kesan premanisme dilakukan oleh para PKL dengan harapan camat mau diajak bekerjasama serta menerima bagi hasil dari usaha PKL yang ada di wilayah kerja camat bersangkutan. Ketika upaya ini gagal, mereka akan tetap membujuk petugas Kecamatan yang ada di lapangan untuk melakukan tindakan bagi hasil seperti diusulkan para PKL. Oleh petugas di lapangan, biasanya mereka memberikan izin secara lisan, dalam arti boleh berjualan di lokasi itu asal segera menyingkir jika ada operasi penertiban PKL. Semua skenario sandiwara ini disepakati secara lisan, dan pihak PKL ada kewajiban memberikan ”upeti” kepada petugas lapangan, sementara sebaliknya, petugas lapangan wajib memberikan informasi kepada para PKL jika akan digelar operasi penertiban PKL di lokasi tersebut. Itu pula sebabnya, mengapa upaya penertiban PKL di Surabaya tidak pernah tuntas, karena adanya ”permainan simbiose mutualistik” antara PKL sendiri dengan pihak petugas di lapangan. Tetapi terlepas dari itu semua, tradisi perlawanan PKL yang bersifat sembunyisembunyi (main kucing-kucingan) dengan petugas ketertiban, dapat disebut sebagai bentuk perlawanan khas gaya PKL ini dapat digolongkan ke dalam ”every day form of resistence” yang mengarah pada bentuk organized rebellion. Meskipun perlawanan itu merupakan bentuk perlawanan sehari-hari yang bersifat informal (sebagai reaksi rasional yang bersifat individual), namun perlawanan yang beridiom ”main kucingkucingan” yang diperankan PKL , pada dasarnya merupakan ‟perintah atasan‟ yang telah terorganisir dan tidak lagi berskala kecil. Perlawanan secara tersembunyi yang bersifat non
– violence pada dasarnya merupakan perlawanan alternatif pertama yang dilakukan oleh para PKL secara individual dalam rangka mempertahankan subsistensi. Ketika alternatif pertama itu gagal dilakukan, maka para PKL dengan terpaksa menempuh alternatif kedua, yakni berupa perlawanan secara terbuka untuk semata-mata membela diri. Perlawanan para PKL sehari-hari dengan cara main kucing-kucingan itu lebih bersifat laten. Perlawanan model ini dapat dipahami sebagai tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun oleh para PKL sebelumnya. Perlawanan model ini pada saat tertentu dapat berubah menjadi bentuk perlawanan terbuka (manifest) karena adanya jalinan antar PKL dalam Paguyuban dan dengan pihak eksternal seperti LSM atau organisasi mahasiswa. Perlawanan secara kolektif dan bersifat terbuka dalam bentuk demonstrasi (unjuk rasa) atau bentuk lainnya juga dilakukan untuk mengartikulasikan kepentingan bersama yang sifatnya lebih universal bagi PKL, seperti penolakan terhadap Perda yang merugikan PKL dan penertiban paksa yang dilakukan secara sporadis. Perlawanan yang dilakukan oleh para PKL baik yang laten maupun yang manifest dalam lingkaran hidup PKL tidak diikat oleh kesadaran kelas, tetapi lebih dipersatukan oleh kesadaran kolektif, rasa senasib dan sepenanggungan akan adanya memori historis serta realitas sehari-hari akibat berbagai bentuk tekanan Pemerintah Kota terutama yang bersifat represif. Kesimpulan
Surabaya merupakan kota terbesar kedua setelah Jakarta yang memiliki penduduk hampir tiga juta jiwa. Kota ini memiliki berbagai potensi yang dapat menarik pendatang dari daerah sekitar maupun kota lain. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah penduduk yang meningkat dan terus meningkat pada tahuntahun berikutnya Banyaknya jumlah pendatang dari luar kota Surabaya yang tidak diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan yang memadai menyebabkan masalah kota di Surabaya bertambah, selain itu krisis ekonomi dan moneter juga menyebabkan kelumpuhan ekonomi nasional terutama pada sektor riil yang berakibat terjadinya PHK secara besar-besaran dari perusahaan swasta nasional. Hal ini mengakibatkan munculnya
13
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
pengangguran di kota – kota besar termasuk kota Surabaya. Sulitnya perekonomian yang dialami masyarakat membuat mereka memilih suatu alternatif usaha di sektor informal dengan modal yang relatif kecil untuk menunjang kebutuhannya. Salah satu usaha di sektor informal dengan modal relatif kecil adalah menjadi pedagang kaki lima. Oleh karena itu Pemerintah Kota Surabaya, mulai menerapkan kebijakan “pintu tertutup” guna menekan jumlah PKL dari migran pedesaan yang setiap akhir tradisi mudik Lebaran, selalu membanjiri kota Surabaya. Upaya yang telah dijalankan semua pihak diharapkan pula dapat mengurangi masalah sosial seperti kemiskinan, kriminal dan konflik baik konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal misalnya konflik antara pedagang kaki lima dan pemerintah kota menyangkut masalah kebijaksanaan pemerintah kota untuk melakukan penertiban sedangkan konflik horizontal misalnya konflik sesama pedagang kaki lima menyangkut masalah lahan dan persaingan usaha yang ada. Namun akibat kebijakankebijakan yang diproduksi oleh pemerintah Kota Surabaya muncul perlawananperlawanan dari PKL Keberanian PKL untuk melakukan perlawanan adalah merupakan sebuah proses akumulasi dari berbagai fenomena yang melatar belakanginya. Fenomena tersebut di antaranya ; pertama, adanya tindakan penertiban atas nama penataan yang pada kenyataannya selalu menggunakan pendekatan represif dan bukan persuasif . Pendekatan represif sudah dapat dipastikan selalu memakai tindakan kekerasan dalam penertiban para PKL. Para pelaku penertiban umumnya terdiri dari dari aparat Satpol PP, para Preman, Polisi dan Anggota Militer (AD) yang memang diberi tugas untuk penataan. Kedua, sikap tidak peduli dari pihak Pemerintah Kota terhadap keberadaan PKL serta kontribusi sektor informal khususnya PKL terhadap perekonomian kota juga menjadi penyebab yang lain. Bahkan proses marginalisasi terhadap kelompok ini terus berlangsung.
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
Kucuran segar dari berbagai sumber kredit usaha tidak pernah sampai apalagi dinikmati oleh para PKL. Pendek kata mereka merasa tidak pernah diperhatikan oleh pihak Pemerintah Kota. Para PKL ini juga belum pernah merasakan kebijakan Pemerintah Kota yang memperhatikan dan menguntungkan dirinya, alih-alih menguntungkan, diakui eksistensinya saja belum pernah.Akibatnya, relasi antara Pemerintah Kota dengan para PKL menjadi tidak harmonis dan dari sisi kekuasaan, jelas PKL tidak memiliki kekuatan apa-apa. Ketiga, Suara dan aspirasi para PKL tidak pernah ditanggapi atau didengar oleh Pemerintah Kota. Setiap perumusan kebijakan yang menyangkut PKL sudah dapat dipastikan Pemkot tidak akan mengikut sertakan kelompok ini. Tetapi anehnya, para PKL selalu dipaksa untuk mentaati semua peraturan yang mengatur dirinya. Keempat, adanya stigma negatif yang selama ini sengaja diekspos oleh Pemerintah Kota tentang keberadaan PKL. Para PKL inilah yang selalu dituduh sebagai biang dari segala kekumuhan, keruwetan, kesemrawutan dan kemacetan lalulintas serta banjir di Kota Surabaya. Disamping ke empat faktor yang menjadi latar belakang perlawanan para PKL terhadap Pemerintah Kota Surabaya, ada satu faktor lagi yang memicu semangat terjadinya perlawanan kaum marginal ini, yaitu bergulirnya era reformasi. Era reformasi ternyata telah memberi ruang bagi PKL untuk menyalurkan segala aspirasinya yang selama ini diabaikan oleh pihak Pemerintah Kota. Daftar Pustaka Budihardjo, Eko. 1995, Pendekatan Sistem Dalam Tata Ruang Dan Pembangunan Daerah Untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional, Gajah Mada University Press, Yogyakarta 1997, Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota, Andi, Yogyakarta
Darwin, Muhadjir., (1999). Implementasi Kebijakan. Modul Pelatihan Teknik dan Manajemen Kebijakan Publik UGM,
14
Basa Alim/Pedagang kaki Lima… 2014
J. Adm. Pub. Vol. 12 No. 01
Yogyakarta. Dunn, William, N., (1998). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua (Terjemahan), Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Dwiyanto, Agus., Analisis Biaya dan Manfaat. Materi Kuliah Analisis Biaya dan Manfaat MAP-UGM, Yogyakarta. Edwards, G. C. III. (1980). Implementing Public Policy. Washington DC : Congressional Quarterly Press. Effendi, Sofian. (2000). Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik. Materi Kuliah MAP-UGM, Yogyakarta. Hall, Peter. 1974, Urban and Regional Planning, Ringwood Victoria, Penguin Books Australia Ltd Ilhami. 1990, Strategi Pembangunan Perkotaan di Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya
Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Di Taman Bungkul Jayadinata, Johara T. 1986, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perencanaan Perkotaan dan Wilayah, ITB, Bandung
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Marbun, B N. 1990, Kota Indonesia Masa Depan; Masalah dan Prospek, Erlangga, Jakarta
Tamba, Halomoan dan Saudin Sijabat, 2006. Pedagang Kaki Lima: Entrepreneur yang Terabaikan. Infokop Nomor 29 Tahun XXII.
McGee, TG and YM Yeung, 1977. Hawkers in Southeast Asian Cities: Planning for the Bazaar Economy. IDRC Ottawa, Canada.
Slamet, Y. 1994, Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi, Sebelas Maret University Press, Surakarta
Nurwandi, Achmad. 1999, Manajemen Perkotaan (Aktor, Organisasi dan Pengelolaan Daerah Perkotaan di Indonesia), Lingkaran Bangsa, Yogyakarta
Winarti, 2012. Analisa Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima dari Perspektif Kebijakan Deliberatif. E-Journal UNISRI Volume XXIV No.1.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2012 Tentang Koordinasi Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Wibisono, Bambang Hari dan Achmad Junaedi. 1995, Perencanaan Kota Komprehensif ; Pengantar dan Penjelasan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta ( Diterjemahkan dari Comprehensive City Planning ; Introduction and Explanation, karya Melvill C Branch)
15