KAJIAN KONSERVASI TANAH KRITIS BERDASARKAN SATUAN LAHAN DI DAERAH TANGKAPAN AIR SEMPOR KABUPATEN KEBUMEN (Study of Critical Soil Conservation Based on Land Unit on Sempor’s Catchment Area, Kebumen Regency) Dwi Priyo Ariyanto*, Bambang Hendro Sunarminto**, Dja’far Shiddieq** *
Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNS Jl. Ir. Sutami 36a Surakarta, Jawa Tengah Indonesia 57126, email:
[email protected] ** Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM Kampus UGM Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281 ABSTRACT This research aims to predict critical soil and soil erosion level of Sempor’s Catchment Area and to recommend the management according to soil conservation. This is an explorative descriptive research based on environment data. The data are obtained from field observation and result of laboratory analysis of soil samples taken from field survey. Furthermore, the data are classified based on critical soil classification to get critical soil map. The data also are calculated based on USLE to get soil erosion prediction. The results of soil erosion prediction are grouped based on erosion hazard levels and result of soil erosion mapping. After knowing critical soil and soil erosion level in each land unit, recommendation is made to manage land according to soil conservation. The result shows that on observation area with total extent 4,333.68 ha there are critical soil about 1,373.68 ha (31.70 %), semi critical about 2,164.54 ha (49.95 %), potentially critical about 440.46 ha (10.16 %) and the others are about 355.00 ha (8.19 %) in the form of settlement and reservoir located at the outside of the observation area. The soil erosion predicted on observation area are divided into 6 classes, those are very low erosion class at about 103.90 ha (2.40 %), low erosion class at about 332.00 ha (7.66 %), moderate erosion class at about 953.78 ha (22.01 %), high erosion class at about 247.53 ha (5.71 %), very high erosion class at about 2,108.50 ha (48.65 %), acute erosion class at about 232.96 ha (5.38 %) and the others are out of observation area. Topography and land management are factors that have the most dominant influence to soil erosion prediction. Total soil erosion on observation area is about 320,958.016 tons/ha or soil erosion average about 74.061 tons/ha/year. The recommendation is to restore critical and erosion through some actions such as reboization or planting with annual crop, vegetation nursery, adding organic matter via organic fertilizer or organic mulches, making and maintaining of terrace and ditches, and agroforestry. Keywords: critical soil, erosion, Sempor, soil coservation PENDAHULUAN Penggunaan lahan pada suatu daerah, khususnya Daerah Aliran Sungai (DAS), sangat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan baik pada daerah itu sendiri maupun pada daerah lain yang berada di hilir DAS. Lingkungan yang berkaitan tidak hanya pada tanah tetapi juga pada kondisi hidrologi. Kegiatan yang bersifat mengubah jenis ataupun tipe penggunaan lahan dapat berpengaruh negatif atau positif
terhadap kualitas lingkungan. Pawitan (2002) dalam Suryani dan Agus (2005) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan dengan memperluas permukaan kedap air menyebabkan berkurangnya infiltrasi, menurunkan pengisian air bawah tanah (recharge) dan meningkatnya aliran permukaan (run off). Penurunan muka air tanah secara langsung mempengaruhi penurunan debit. Begitu juga sebaliknya, peningkatan run off
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 8(2)2011
89
Kajian Konservasi Tanah Kritis Berdasarkan Satuan Lahan … Ariyanto et al.
secara langsung mempengaruhi peningkatan debit. Seperti yang disepakati dalam Simposium Pencegahan dan Pemulihan Tanah Kritis dalam rangka Pengembangan Wilayah tanggal 27-29 Oktober 1975 di Jakarta yang menjadi pegangan kerja, bahwa tanah kritis merupakan tanah yang karena tidak sesuainya penggunaan dengan kemampuannya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik/kimia/biologi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, biologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya. Kerusakan lahan tersebut umumnya disebabkan oleh adanya pengaruh atau campur tangan manusia terhadap kondisi alamiah yang tidak atau kurang mengindahkan kaidah konservasi. Beberapa gejala yang dapat menstimulir terbentuknya lahan kritis antara lain pembukaan lahan pada lahan miring (Sudihardjo et al., 1993; Notohadiprawiro et al., 1999). Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan, dan sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya pengurangan gaya geser serta peningkatan gangguan tanah (Suryolelono, 2004). Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan luas lahan kritis akibat dari tejadinya kerusakan fisik lahan. Hasil inventarisasi lahan kritis menunjukkan sekitar 21,7 juta ha yang + 14,4 juta ha berada di luar kawasan hutan dan + 7,3 juta ha di dalam kawasan hutan (Pasaribu, 1999 dalam Marwah, 2001). Di propinsi Jawa Tengah sendiri terdapat lahan kritis seluas 428.687 ha akibat pengelolaan yang tidak tepat. Sekitar 238.170 ha merupakan lahan kritis yang berada di luar kawasan hutan dan 190.517 ha berada di dalam 90
kawasan hutan yang sebagian besar dikelola oleh Perum Perhutani (Anonim, 2004). Hasil inventarisasi tanah kritis di daerah tangkapan air (DTA) Waduk Sempor, kabupaten Kebumen, dari luas total sekitar 4.333,68 ha terdapat tanah kritis seluas 1.373,68 ha atau 31,70% (Ariyanto et al., 2008). Tanah kritis menyebabkan banyak sisi negatif yang dapat ditanggulangi dengan adanya tindakan konservasi tanah atau pengelolaan lahan yang tepat. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji tindakan konservasi khususnya pada daerah yang masuk dalam tingkat tanah kritis di Daerah Tangkapan Air (DTA) Sempor yang telah dibagi berdasarkan satuan lahan (land unit). METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan hasil dari survai lapangan di DTA Sempor Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen yang kemudian dianalisis di laboratorium Jurusan Ilmu Tanah FP-UNS dan laboratorium Jurusan Ilmu Tanah FP-UGM. Kegiatan dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Desember 2007. Bahan yang digunakan berupa peta topografi/rupabumi Indonesia skala 1:25.000 (Bakosurtanal Bogor), peta tanah skala 1:50.000 (Bappeda Kab. Kebumen), peta hidrologi skala 1:50.000 (Bappeda Kab. Kebumen), peta tanah skala 1:250.000 (Pusat Penelitian Tanah), citra satelit Landsat 7 ETM+, dan bahan-bahan kimia. Peta-peta tersebut sebagai sumber peta dasar untuk pembuatan satuan lahan. Peralatan yang digunakan yaitu komputer dan printer, scanner, alat tulis, peralatan laboratorium, dan peralatan survai lapangan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif. Pengambilan data fisik lahan didasarkan pada pengelompokan daerah penelitian menjadi satuan-satuan lahan atau land unit yang ditentukan dengan menggabungkan (overlay) kemiringan lahan, peta tanah, peta hidrologi, dan peta penggunaan lahan dengan mendasarkan
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 8(2)2011
Kajian Konservasi Tanah Kritis Berdasarkan Satuan Lahan … Ariyanto et al.
bentang lahan pada citra satelit. Titik sampel tanah ditentukan secara purposive, yaitu diambil dalam satuan lahan yang dianggap mewakili satuan lahan dengan prioritas kemudahan jangkauan dan luasan satuan lahan. Analisis data untuk pemetaan berdasarkan sistem informasi geografi (SIG) menggunakan software ArcView 3.3 dan software pendukung lainnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap awal dari penelitian ini yaitu dengan membuat satuan lahan. Pada daerah penelitian dibagi menjadi 8 Sub DAS. Selanjutnya Sub DAS-Sub DAS tersebut dapat dibagi lagi menjadi 17 satuan lahan (Gambar 1). Hasil survai lapangan dan analisis laboratorium dapat diklasifikasikan kekritistisan tanahnya yang selanjutnya disesuaikan saran pengelolaan setiap satuan lahan. Klasifikasi tingkat tanah kritis secara umum pada daerah penelitian disajikan pada Tabel 1 serta sebarannya disajikan pada Gambar 2. Tabel 1. Klasifikasi tingkat tanah kritis di DTA Waduk Sempor No. 1 2 3 4 5
Luas (ha) Potensial Kritis 440,46 Semi Kritis 2.164,55 Kritis 1.373,68 Sangat Kritis 0,00 Pemukiman dan waduk 354,99 Jumlah 4.333,68 Tingkat kekrititas
% 10,16 49,95 31,70 0,00 8,19 100,00
Sumber: Ariyanto et al. (2007) Berdasarkan pengamatan di lapangan dan tumpang susun dari peta rupa bumi, sebaran daerah yang tergolong tanah kritis lebih didominasi pada kawasan hutan. Dominasi ini disebabkan kawasan untuk pemanfaatan hutan yang memang paling dominan pada dari penelitian juga beberapa satuan lahan hutan mempunyai sifat atau karakteristik tanah yang tergolong dalam tingkat tanah kritis. Hasil pengamatan di lapangan sebagian besar hutan berupa hutan pinus. Hal ini diduga berakibat pada air tanah banyak yang mengalami evapotranspirasi oleh tanaman pinus. Seperti
yang dinyatakan oleh Nugroho dan Siswamartana (2002) bahwa tanaman pinus mempunyai intersepsi dan evapotranspirasi tinggi sehingga akan membutuhkan air cukup tinggi. Tanaman pinus lebih cocok ditanam pada daerah yang mempunyai curah hujan lebih dari 2.000 mm. Dengan demikian, pada daerah yang merupakan sumber mata air lebih baik ditanami tanaman bukan pinus melainkan tanaman lain yang mendukung kelestarian sumber mata air seperti pohon beringin. Sub DAS Sampang Hulu Sub DAS Sampang Hulu terletak di Desa Sampang Kecamatan Sempor yang sebelah utara dan barat berbatasan langsung dengan Kabupaten Banjarnegara. Sub DAS ini dapat dibagi menjadi 4 (empat) satuan lahan. Satuan Lahan 1.1 mempunyai karakteristik dengan dominasi kemiringan lebih dari 45%, kedalaman tanah lebih dari 50 cm serta tidak adanya horison-horison. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Typic Udortents. Agar tingkat kekritisan tanah tidak bertambah serta memperkecil nilai erosi tanah, diupayakan seperti menjaga vegetasi terutama tanaman tahunan, air hujan yang jatuh ke permukaan akan dialirkan secara merata baik ke dalam tanah, sebagai aliran permukaan, ataupun pada vegetasi; sehingga beban tanah tidak terlalu berat dan erosi dapat ditekan (Suharyadi, 2001). Dengan penanaman tanaman tahunan (perkebunan) diharapkan akan memperkecil nilai pengelolaan (P) yang akan mengurangi nilai erosi tanah.Satuan Lahan 1.2 mempunyai ketebalan horison sekitar 30 cm dengan kedalaman solum lebih dari 90 cm dan kemiringan lahan sekitar 9 – 25 %. Jenis tanah pada satuan lahan ini yaitu Ruptic-Alfic Eutrudepts. Saran pengelolaan yang perlu dilakukan yaitu penambahan bahan organik. Pada penggunaan lahan sawah diberikan berupa pupuk organik untuk meningkatkan kadar bahan organik dalam tanah. Pada penggunaan hutan perlu penambahan bahan
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 8(2)2011
91
Kajian Konservasi Tanah Kritis Berdasarkan Satuan Lahan … Ariyanto et al.
Gambar 1. Peta Satuan Lahan Di DTA Sempor Kabupaten Kebumen
Gambar 2. Peta Tingkat Kekritisan Tanah di DTA Sempor Kabupaten Kebumen organik dan konservasi tanah dengan perawatan teras dan rorak. Penambahan bahan organik bisa dilakukan berupa pemberikan seresah atau penserasahan (Hardjowigeno dan Sukmana, 1995). Selain berfungsi menambah bahan organik tanah, juga berfungsi melindungi permukaan tanah dari jatuhnya butir hujan.
92
Kemiringan lahan pada Satuan Lahan 1.3 secara makro berkisar 0 – 8 %, tebal solum sekitar 80 cm, ketebalan horison A sekitar 55 cm, serta penutupan lahan sekitar 25 – 50 %. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Typic Hapludalfs. Usaha untuk pebaikan yaitu pemberian bahan organik.
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 8(2)2011
Kajian Konservasi Tanah Kritis Berdasarkan Satuan Lahan … Ariyanto et al.
Ketebalan horison A di Satuan Lahan 1.4 sekitar 35 cm dengan tebal solum 80 cm, kemiringan lahan sekitar 26 – 45 % dan penutupan lahan 25 – 50 %. Jenis tanahnya berupa Typic Hapludalfs. Tindakan untuk perbaikan lahan adalah penghijauan dan penanaman vegetasi atau tanaman tahunan yang berkanopi lebar khususnya pada lahan yang berupa semak belukar. Selain itu juga perlu adanya penambahan seresah atau penserasahan untuk meningkatkan kadar bahan organik dalam tanah. Sub DAS Ketegan Sub DAS Ketegan terletak di Desa Sampang yang berada di sebelah timur dari Sub DAS Sampang Hulu. Sub DAS ini dibagi menjadi 2 (dua) satuan lahan. Satuan lahan yang pertama adalah Satuan Lahan 2.1 yang secara makro kemiringan lahannya antara 9 – 25 %, tebal solum lebih dari 90 cm dengan ketebalan horison A adalah 20 cm, dan penutupan lahan sekitar 50 – 75 %. Satuan lahan ini mempunyai jenis tanah Ruptic-Alfic Eutrudepts. Usaha untuk mempertahankan tanah sawah tidak berubah menjadi kritis dan erosi tetap kecil dilakukan pemberian bahan organik berupa pemupukan organik yang akan memperbaiki struktur tanah; sehingga partikel tanah tidak mudah lepas dan terbawa air menjadi erosi. Pada penggunaan hutan dilakukan tindakan penghijauan lahan maupun penserasahan. Satuan Lahan 2.2 mempunyai kemiringan yang cukup datar yaitu antara 0 – 8 % dan penutupan lahan sekitar 50 – 75 %. Kondisi fisik tanah yaitu tebal solum sekitar 70 cm dengan ketebalan horison A sekitar 16 cm. Jenis tanah pada satuan lahan ini adalah Typic Hapludalfs. Tindakan perbaikan tingkat kekritisan dan erosi tanah yaitu penghijauan kembali serta penutupan tanah dengan serasah. Sub DAS Sampang Sub DAS Sampang ini merupakan terusan atau bagian perpanjangan dari Sub DAS
Sampang Hulu dan Ketegan. Kemiringan lahan pada Satuan Lahan 3.1 antara 26 – 45 %, ketebalan horison A sekitar 47 cm dengan tebal solum lebih dari 50 cm, dan penutupan lahan sekitar 25 – 50 %. Jenis tanahnya adalah Typic Hapludafls. Perbaikan dilakukan dengan penanaman kembali pohon-pohon khususnya yang memiliki daun lebar dan lebat, sehingga tutupan lahan menjadi lebih baik yang pada akhirnya tanah terlindungi dari gangguan penyebab erosi. Kemiringan lahan pada Satuan Lahan 3.2 antara 0 – 25 % yang dibedakan untuk penggunaan sawah antara 0 – 8 % dan sebagian besar berupa hutan mempunyai kemiringan 9 – 25 %. Kedalaman horison A sekitar 35 cm. Jenis tanahnya yaitu Typic Hapludafls. Tindakan yang perlu dilakukan adalah penghijauan kembali, sedangkan pada lahan sawah perlu diberikan pupuk organik agar lahan tetap pada kondisi baik. Sub DAS Sempor Sub DAS ini terletak di Desa Sempor yang berdampingan langsung dengan genangan air waduk. Sub DAS ini merupakan satuan lahan tunggal atau hanya berupa satu satuan lahan (Satuan Lahan 4.1) Penggunaan lahannya berupa hutan pinus. Hal ini diduga berkaitan dengan fungsinya sebagai greenbelt atau sabuk hijau untuk menyangga waduk. Ketebalan solum lebih dari 35 cm dan horison A sekitar 8 cm. Kemiringan lahan sebagian besar antara 26 – 45 %. Tanah di satuan lahan ini diklasifikasikan Typic Hapludafls. Perbaikan yang dapat dilakukan yaitu dengan penserasahan dan perbaikan teras secara makro kemiringan cukup besar, tetapi secara mikro lahan panjang maupun kemiringan jauh lebih kecil. Sub DAS Seliling Sub DAS Seliling berada di sebelah utara Sub DAS Sempor yang masuk dalam wilayah administrasi Desa Kedungwringi. Seperti halnya pada Sub DAS Sempor, Sub DAS ini terdiri dari 1
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 8(2)2011
93
Kajian Konservasi Tanah Kritis Berdasarkan Satuan Lahan … Ariyanto et al.
(satu) satuan lahan (Satuan Lahan 5.1). Satuan lahan ini mempunyai kemiringan lahan sekitar 9 – 25 %. Tutupan vegetasi antara 50 – 75 %. Ketebalan solum sekitar 73 cm dengan tebal horison A kurang lebih 28 cm. Jenis tanahnya adalah Inceptic Hapludalfs. Perbaikan tingkat kekritisan khususnya pada hutan adalah dengan penghijauan kembali lahan agar penutupan lahan secara permanen lebih rapat. Pada lahan sawah yaitu dengan pemberian pupuk organik. Sub DAS Kedungjati Sub DAS Kedungjati terletak di Desa Donorojo yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Banjarnegara pada sisi utaranya. Dibagi menjadi 3 (tiga) satuan lahan. Kemiringan lahan pada Satuan Lahan 6.1 hampir seluruhnya antara 26 – 45 %. Hanya sebagian kecil yang berdekatan dengan outlet sub DAS yang mempunyai kemiringan sekitar 9 – 25 %. Tebal solum lebih dari 80 cm dengan ketebalan horison A kurang lebih 10 cm dan penutupan lahan sekitar 25 – 50 % diduga karena gagalnya tumbuh tanaman dalam program rehabilitasi lahan. Jenis tanahnya adalah Ruptic-Alfic Eutrudepts. Usaha perbaikan diusulkan berupa penghijauan atau penanaman kembali. Sangat beratnya erosi tersebut harus ditekan dengan pembuatan rorak. Satuan Lahan 6.2 mempunyai kemiringan 9 – 25 % dengan kedalaman solum sekitar 80 cm dengan ketebalan horison A adalah 55 cm. Jenis tanahnya adalah Ruptic-Alfic Eutrudepts. Usaha perbaikan terutama pada hutan yaitu meningkatkan penutupan tanah baik dengan penserasahan ataupun penanaman tanaman tahunan kembali menggunakan vegetasi tahunan. Usaha perbaikan pada sawah tadah hujan yaitu dengan penggunaan pupuk organik. Kedalaman solum Satuan Lahan 6.3 lebih dari 90 cm dengan tebal horison A sekitar 20 cm. Satuan lahan ini mempunyai kemiringan lahan antara 9 – 25 % dan persentase penutupan vegetasi permanen antara 25 – 50 %. Jenis tanahnya adalah Typic Hapludalfs. 94
Usaha untuk perbaikan yaitu dengan tindakan penanaman kembali terutama vegetasi yang mempunyai daun lebar dan lebat. Pada lahan tegalan pergantian tanaman dengan tanaman berdaun lebar dan lebat akan sangat mempengaruhi penurunan erosi tanah. Sub DAS Kalikumbang Sub DAS Kalikumbang yang terletak di Desa Donorojo dan Desa Sampang dibagi menjadi 2 (dua) satuan lahan. Satuan Lahan 7.1 mempunyai kedalaman solum lebih dari 90 cm dan ketebalan horison A sekitar 25 cm. Kemiringan lahan sebagian besar 26 – 45 % dan sebagian di bagian barat yang berbatasan dengan satuan lahan 6.2 mempunyai kemiringan lahan antara 9 – 25 %. Jenis tanahnya adalah Ruptic-Alfic Eutrudepts. Penutupan lahan sekitar 50 – 75 %. Usaha untuk memperbaiki kekritisan tanah dan menurunkan erosi dilakukan dengan penutupan permukaan lahan maupun penserasahan. Pada tegalan dapat dilakukan perbaikan faktor tanaman (C) dengan menanam tanaman yang lebih melindungi tanah dari butir-butir hujan tetapi masih memberikan produktivitas, misalnya dengan sistem kebun campuran atau agroforestri (Hardjowigeno dan Sukmana, 1995). Satuan Lahan 7.2 terdiri dari dua penggunaan lahan yaitu sebagai hutan pinus dengan luas kurang lebih 137,98 ha dan tegalan atau hutan yang diselingi tanaman semusim (agroforestri) dengan luas sekitar 22,59 ha. Kemiringan lahan pada penggunaan tegalan atau agroforestri antara 26 – 45 % dan pada sebagian besar lahan lainnya yang berupa hutan pinus mempunyai kemiringan 9 – 25 %. Ketebalan horison A adalah 28 cm. Jenis tanahnya yaitu Inceptic Hapludalfs. Penutupan lahan pada satuan lahan ini adalah 50 – 75 %. Langkah perbaikan lahan yaitu penutupan tanah baik berupa penserasahan ataupun penanaman tanaman tahunan agar tanah terlindungi dari butir-butir hujan maupuan aliran permukaan.
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 8(2)2011
Kajian Konservasi Tanah Kritis Berdasarkan Satuan Lahan … Ariyanto et al.
Sub DAS Kaliputih Sub DAS ini terletak di Desa Kedungwringin dan Desa Sempor yang berhadapan langsung dengan tampungan air waduk pada sisi baratnya. Sub DAS ini dibagi menjadi 2 (dua) satuan lahan. Pada Satuan Lahan 8.1 Kemiringan lereng adalah 9 – 25 %. Kedalaman solum yaitu 50 cm dengan tebal horison A sekitar 10 cm. Jenis tanahnya adalah Inceptic Hapludalfs. Penutupan lahan permanen yang berkisar 50 – 75 %. Sebagai upaya perbaikan lahan agar tingkat kekritisan tanah lebih baik dan erosi lebih rendah yaitu dengan menutup permukaan tanah baik melalui penanaman tanaman berdaun lebat maupun dengan pemberian mulsa atau penserasahan ke permukaan tanah. Satuan Lahan 8.2 yang berada di Desa Sempor mempunyai kedalaman solum lebih dari 27 cm dengan tebal horison A sekitar 12 cm. Kemiringan lereng pada satuan lahan ini yaitu antara 26 – 45 %. Penanggulangan erosi tanah dapat dilakukan dengan penutupan tanah yang lebih rapat menggunakan seresah organik maupun penanaman pohon yang lebih lebat daunnya. KESIMPULAN Kesimpulan yang diperoleh yaitu pada daerah pengamatan dengan luas total 4.333,68 ha terdapat daerah kritis seluas 1.797,80 ha (41,48 %), semi kritis seluas 1.796,61 ha (41,46 %), potensial kritis dengan luas 384,28 ha (8,87%) dan sisanya sekitar 354,99 ha (8,19%) berupa pemukiman dan waduk yang tidak masuk sebagai obyek penelitian. Beberapa rekomendasi atau upaya konservasi pada daerah penelitian antara lain penghijauan atau penanaman vegetasi dengan tanaman tahunan, perawatan vegetasi, pemberian bahan organik melalui pupuk organik atau penserasahan (pemberian seresah), pembuatan dan perawatan teras serta rorak tanah, serta penerapan sistem kebun campuran atau agroforestri.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Lahan Kritis di Jateng 428.687 Hektare. dimuat dalam harian Suara Merdeka tanggal 22 Juli 2004. Ariyanto, DP., BH. Sunarminto dan D. Siddhieq. 2007. Kajian Tingkat Kekritisan Tanah Di Daerah Tangkapan Air Waduk Sempor, Kabupaten Kebumen. disampaikan pada Seminar dan Kongres Nasional VI Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) VI tanggal 17-18 Desember 2007 di Cisarua, Bogor. Marwah, S. 2001. Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai Satuan Unit Perencanaan Pembangunan Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan. Makalah Falsafah Sains. Program Pascasarjana S3. IPB. Bogor. Mujiyo, Sumani dan J. Winarno. 2007. Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk Pemetaan dan Simulasi Erosi Tanah. Caraka Tani: Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. 22(1) Notohadiprawiro, T., Rachman S., Azwar M., dan S. Yasni. 1999. Kebutuhan Riset, Inventarisasi dan Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Tanah di Indonesia. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Dewan Riset Nasional. Jakarta. 169 hal. Nugroho SP., C., dan S. Siswamartana. 2002. Hutan Pinus dan Hasil Air. Ekstraksi hasilhasil penelitian tentang pengaruh hutan pinus terhadap erosi dan tata air. (Edt). Pusat Pengembangan Sumber Daya Hutan Perhutani. Cepu. 50 hal. Suharyadi. 2001. Geologi Teknik. KMTS FT UGM. Yogyakarta. Suryolelono, KB. 2004. Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif Ilmu Geoteknik. disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Geologi UGM.
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 8(2)2011
95
Sampang Hulu
Sampang Hulu
Sampang Hulu
Sampang Hulu Sampang Hulu Sampang Hulu
Sampang Hulu
Sampang Hulu
Sampang Hulu
Sampang Hulu Sampang Hulu
Sampang Hulu Ketegan
Ketegan Ketegan Ketegan Ketegan
1.1 1.13
1.1 1.14
1.1 1.15
1.2 1.21 1.2 1.22 1.2 1.23
1.3 1.31
1.3 1.32
1.3 1.33
1.3 1.34 1.4 1.41
1.4 1.42 2.1 2.11
2.1 2.2 2.2 2.2
96
2.12 2.21 2.22 2.23
Semak belukar
Sampang Hulu
1.1 1.12
Hutan Sawah tadah hujan Hutan Hutan Pemukiman Hutan
Sawah tadah hujan Sawah tadah hujan Pemukiman Semak belukar
Pemukiman Hutan Sawah tadah hujan Hutan
Hutan
Hutan
Semak belukar
Penggunaan lahan Sedimen waduk Semak belukar
SPL
Unit Sub DAS Lahan 0 0 Waduk 1.1 1.11 Sampang Hulu
Jumlah Sub Total
X
X X
X
X
X
X X
Kritis Potensial kritis Semi kritis Semi kritis Semi kritis
Potensial kritis Potensial kritis Kritis
Kritis
Tingkat Kekritisan Potensial kritis Potensial kritis Potensial kritis Potensial kritis Potensial kritis Kritis Kritis
1,59 Pemupukan dengan bahan organik 0,52 Pemupukan dengan bahan organik 0,45 0,64 Penanaman vegetasi/pohon tahunan 2,97 Penghijauan dan penserasahan 0,44 Pemupukan dengan bahan organik 2,07 Penghijauan dan penserasahan 0,92 Penghijauan 0,26 1,15 Penghijauan
1,50 Penghijauan dan penserasahan
0,46 2,31 Penambahan bahan organik 0,38 Penambahan bahan organik
0,73 Vegetasi tetap dijaga
1,77 Vegetasi tetap dijaga
0,69 Vegetasi tetap dijaga
0,62 Vegetasi tetap dijaga
1.111,72 25,64
89,86 39,65 11,24 49,64
128,89 19,11
19,70 27,81
22,68
69,06
64,85
19,89 100,12 16,46
31,64
76,62
29,91
26,82
Luas Rekomendasi perbaikan (ha) (%) 257,60 5,94 10,17 0,23 Vegetasi tetap dijaga
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 8(2)2011
Tebal Tebal Tutupan Kesuburan Kelerengan Hor. A Solum Lahan
Lampiran Tabel faktor penyebab tingkat kekritisan tanah dan rekomendasi perbaikan lahannya
5.12
5.13
6.11
6.12
6.13
6.21 6.22 6.23
6.24 6.25
5.1
5.1
6.1
6.1
6.1
6.2 6.2 6.2
6.2 6.2
Pemukiman Hutan Sawah tadah hujan Hutan Sawah tadah hujan
Semak belukar
Hutan
Tegalan
Sawah tadah hujan Sawah tadah hujan Hutan
Jumlah Sub Total
X
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 8(2)2011
Kedungjati Kedungjati
Kedungjati Kedungjati Kedungjati
Kedungjati
Kedungjati
Kedungjati
Seliling
Seliling
Seliling
Hutan
X
X
X
X
X
X
X
X
X
5.11
5.1
Sempor
Kritis Potensial kritis
Kritis Potensial kritis
Kritis
Kritis
Kritis
Semi kritis
Potensial kritis
Potensial kritis
Semi kritis
Semi kritis
1.552,56
90,42 12,93
12,59 27,65 73,16
23,93
25,19
216,58
285,85
44,55
11,64
274,72
33,98 63,32
4.13
Pemukiman Hutan X
4.1
Sempor Sempor
Rekomendasi perbaikan
35,83
0,78 1,46 Penseresahan dan agroforestri 6,34 Penseresahan dan agroforestri 0,27 Pemupukan dengan bahan organik 1,03 Pemupukan dengan bahan organik 6,60 Pembuatan teras dan agroforestri 5,00 Penghijauan dan pembuatan rorak 0,58 Penghijauan dan pembuatan rorak 0,55 Penghijauan dan pembuatan rorak 0,29 0,64 Penghijauan 1,69 Pemupukan dengan bahan organik 2,09 Penghijauan 0,30 Pemupukan dengan bahan organik
6,04 Penghijauan 1,89 Penghijauan 0,28 Pemupukan dengan bahan organik
4.11 4.12
Kritis Semi kritis Potensial kritis
4.1 4.1
X X
261,80 82,08 12,17
Hutan Hutan Sawah
3.11 3.21 3.22
3.1 3.2 3.2
Sampang Sampang Sampang
Luas (ha) (%)
Lampiran Tabel faktor penyebab tingkat kekritisan tanah dan rekomendasi perbaikan lahannya (lanjutan) Unit Tebal Tebal Tutupan Tingkat SPL Sub DAS Tataguna Kesuburan Kelerengan Lahan Hor. A Solum Lahan Kekritisan
97
7.11 7.12 7.21
7.22 8.11 8.22
7.1 7.1 7.2
7.2 8.1 8.2
98
6.33
6.3
Tegalan Hutan Tegalan
Tegalan
Kaliputih Hutan Kedungwringin Hutan Kedungwringin Hutan
Kalikumbang Kalikumbang Kaliputih
Kedungjati
Jumlah Sub Total Jumlah Total
X X X
X X X
X
Luas Rekomendasi (ha) (%) perbaikan 8,26 Penghijauan 357,91 0,50 Penanaman 21,85 vegetasi/pohon tahunan 0,24 Penanaman 10,22 vegetasi/pohon tahunan 0,38 Penghijauan 16,39 737,71 17,02 Penghijauan 0,52 Penanaman 22,59 vegetasi/pohon tahunan 3,18 137,98 Penghijauan 3,23 Penghijauan 139,82 5,19 Penghijauan 224,94 1.669,41 38,52 4.333,69 100,00
Sains Tanah – Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 8(2)2011
Semi kritis Semi kritis Semi kritis
Semi kritis Semi kritis Semi kritis
Kritis
Lampiran Tabel faktor penyebab tingkat kekritisan tanah dan rekomendasi perbaikan lahannya (lanjutan) Unit Tebal Tebal Tutupan Tingkat SPL Sub DAS Tataguna Kesuburan Kelerengan Lahan Hor. A Solum Lahan Kekritisan 6.3 6.31 Kedungjati Hutan X Kritis 6.3 6.32 Kedungjati Tegalan X Kritis