JALINAN AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM Ali Murtadho Abstrak Many Muslim intellectuals insist today that Islam is an integral part of the state. The state in a society committed to Islam, they stress, is by definition an Islamic state since political authorities are bound to Islamic law, which has a direct bearing on constitutional law. This has created confusion about the nature of the Islamic state, and has given rise to apprehension on the part of modernist scholars who feared that remarrying Islam and the state is bound to give birth to theocracy. In general, the relationship between religion and the state, in the past and the present, is not something new. Discurses about the relationship between religion and state in Islam are always stigma. Islam in the modern era has ironically experience regarding the relationship between religion and state. It is often symbolized by accusing and judging others as "kâfir" or "polytheists", as seen in the phenomenon of fundamentalism that leads to radicalism. This phenomenon is threatening the life of the state and the nation. To map the relationship between religion and state in Islam, there are three theories: first the concept of unity of religion and state; second, religion and the state relate symbiotic, which are reciprocally connected and need each other; and third, secular. The following article is trying to parse whether Islam was ordered to establish an Islamic state, or just take the substance of Islamic values. Kata Kunci : Agama, Negara, Islam
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Lampung
94 Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012
A. Pendahuluan ehadiran berbagai fenomena dan dinamika Islam kekinian telah banyak menghabiskan analisis dari para pemerhati terutama kaum intelektual dalam menguak berbagai macam persoalan, salah satunya yaitu tentang hubungan Agama dan Negara dalam Islam. Persoalan-persoalan ini selalu menjadi diskursus aktual yang tidak pernah membosankan untuk dibicarakan baik dalam exposing media maupun dalam ruang-ruang diskusi akademis yang digelar. Islam sejak kelahirannya kurang lebih 15 abad yang lalu tak pelak menjadi inspirasi bagi kebanyakan penganutnya dalam mewujudkan impian indah tentang masyarakat yang adil dan berperadaban Islam dalam penampilanya yang universal telah mampu merubah historisitas Mekkah dan Madinah menjadi salah satu qiblat bagi religi Islam. Sebagai sebuah sistem kepercayaan, Islam sendiri secara internal berproses dinamis dan beragam sesuai dengan konteks masing-masing. Proses ini dapat dipastikan akan menemukan korelasi satu sama lain, baik dari aspek religiusitasnya maupun dari aspek sosial kultural, politik dan aspek-aspek lain yang menyertainya. Sebagai sebuah agama, apakah Islam di dalam kitab sucinya diperintahkan untuk mengatur umatnya agar membuat negara Islam, atau justru Islam hanya mengatur hal-hal prinsip saja terkait dengan ketata negaraan ? Seperti kita ketahui di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran yang memandang tentang hubungan antara Islam dan ketata negaraan. 1 Aliran tersebut yaitu pertama, berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara.
K
1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Aliran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1993), h.1-3. Jurnal Pengembangan Masyarakat
Jalinan Agama dan Negara dalam Islam (Ali Murtadho) 95
Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur; dan Nabi tidak pernah dmaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai- etika bagi kehidupan bernegara. B. Pembahasan 1. Paradigma Hubungan Agama dan Negara Negara dipahami sebagai lembaga politik yang merupakan manifestasi dari kebersamaan dan keberserikatan sekelompok manusia untuk mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Eksistensi negara, dalam hal ini, meniscayakan adanya perpaduan – meminjam istilah Hegel – antara ”kebebasan subjektif” (subjektive liberty), yaitu kesadaran dan kehendak individual untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan ”kebebasan objektif” (objektive liberty), yaitu kehendak umum yang bersifat mendasar. Sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, negara memerlukan pemberlakuan hukum (law enforcement). Oleh karena itu, doktrin dasar negara, seperti diungkapkan Immanuel Kant, adalah negara berdasarkan hukum dan bertujuan untuk menciptakan perdamaian abadi. Dalam pemikiran politik Islam, paling tidak, terdapat tiga paradigma tentang hubungan agama dan negara. Nuansa di antara ketiga paradigma ini terletak pada konseptualisasi yang diberikan kepada kedua istilah tersebut. Kendati Islam dipahami sebagai Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
96 Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012
agama yang memiliki totalitas – dalam pengertian meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk politik – namun sumbersumber Islam juga mengajukan pasangan istilah seperti dunyaakhirah (dunia- akhirat), din-dawlah (agama-negara), atau umur addunya-umur ad-din (urusan dunia-urusan agama). Pasangan istilahistilah tersebut menunjukan adanya perbedaan konspetual dan mengesankan adanya dikotomi. Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi tersebut dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara, dalam hal ini, tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau negara. Karenanya, menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi” (devine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di ”tangan” Tuhan. Paradigma ini dianut oleh kolompok syi’ah. Paradigma pemikiran politik Syi’ah memandang bahwa negara (istilah yang relevan dengan hal ini adalah imamah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan. Menurut pandangan Syi’ah, berhubung legitimasi keagaman berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi Muhammad, legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi. Berbeda dengan paradigma pemikiran politik Sunni yang menekankan ijma’ (pemufakatan) dan bay’ah (pembaiatan) kepada ”kepala negara” (khalifah), paradigma Syia’ah menekankan walayah (”kecintaan” dan ”pengabdian” kepada Tuhan) dan ismah (kesucian dari dosa) yang hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi, sebagai yang berhak dan absah untuk menjadi ”kepala negara” (imam). 2 Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan ”kedaulatan Tuhan”, dalam perspektif Syi’ah, negara bersifat teokrasi. Negara teokratis mengandung unsur pengertian, kekuasaan mutlak berada di
2 Ketiga istilah itu – khilafah, ijma’, dan bay’ah- merupakan konsep – konsep kunci dalam paradigma pemikiran politik Sunni, sedangkan istilah imamiah, walayah, dan ‘ismah merupakan konsep-konsep kunci dalam paradigma Syi’ah. Lihat : Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, (Austin, 1982), h. 6.
Jurnal Pengembangan Masyarakat
Jalinan Agama dan Negara dalam Islam (Ali Murtadho) 97
”tangan” Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan berdasarkan paa wahyu Tuhan (syariat). Sifat teokratis negara dalam pandangan Syi’ah dapat ditemukan dalam pemikiran banyak ulama politik Syi’ah. Khomeini, umpamanya, menyatakan, ”Dalam Negara Islam, wewenang menetapkan hukum berada pada Tuhan. Tiada seorang pun berhak menetapkan hukum. Yang boleh berlaku hanyalah hukum dari Tuhan”. 3 Kendati demikian, pemikir politik Iran kontemporer menolak penisbatan Republik Islam Iran dengan negara teokratis. Sistem kenegaraan Iran memang menyiratkan watak ”demokratis”, seperti ditunjukkan oleh penerapan asas distribusi kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politica, dan pemakaian istilah republik sebagai bentuk dari negara itu sendiri. 4 Paradigma ”penyatuan” agama dan negara juga menjadi anutan kelompok ”fundamentalisme Islam” yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai Islam yang dianggapnya mendasar dan prinsipil. Paradigma fundamentalisme menekankan totalitas Islam, yakni bahwa Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. Menurut salah seorang tokoh kelompok ini, al-Mawdudi (w.1979), syari’at tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau antara agama dan negara. Syari’at adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan; tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. 5 Negara Islam yang berdasarkan syari’at itu, dalam pandangan al-Mawdudi, harus didasarkan pada empat prinsip dasar, yaitu ia mengakui kedaulatan Tuhan, menerima otoritas Nabi Muhammad, memiliki status ”wakil Tuhan”, dan menerapkan musyawarah. 6 Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, kedaulatan yang sesungguhnya berada pada Tuhan. Negara berfungsi sebagai kendaraan politik untuk menerapkan hukum-hukum Tuhan dalam statusnya sebagai wakil Tuhan. Dalam perspektif demikian, 3 Imam Khomeini, Islam and Revolution, Writings and Declaration of Imam Khomeini, terjemahan dan anotasi Hamid Algar, (Berkeley, 1981), h. 55. 4 Hal ini paling tidak tergambar pada Struktur Negara Republik Islam Iran. Lihat : The Constitution of The Islam Republik of Iran, diterbitkan oleh Islamic Progagation Organization. 5 Abu al-A’la al-Mawdudi, “Political Theory of Islam” dalam Khurshid Ahmad (ed), Islamic Law and Constitution, ( Lahore, 1967), h. 243. 6 Ibid., h. 165- 168.
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
98 Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012
konsepsi al-Mawdudi tentang negara Islam bersifat teokratis, terutama menyangkut konstitusi negara yang harus berdasarkan syari’at. Akan tetapi, al-Mawdudi sendiri menolak istilah tersebut dan lebih memilih istilah ”teodemokratis”, karena konsepsinya memang mengandung unsur demokratis, yaitu adanya peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin negara. Paradigma kedua, memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan secara timbalbalik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Pandangan tentang simbiosa agama dan negara ini dapat ditemukan, umpamanya dalam pemikiran al-Mawardi (w.1058), seorang teoretikus politik Islam terkemuka pada masa klasik. Pada baris pertama dari karyanya yang terkenal Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. 7 Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. Untuk menjelaskan fungsi ”mengatur dunia” bagi seorang kepala pemerintahan, dalam paruh kedua bukunya, al-Mawardi menguraikan tugas-tugas administratif dari seorang kepala pemerintahan (khalifah). Namun, hal ini tidak dapat disimpulkan bahwa al-Mawardi mengeliminasi watak keagamaan dari lembaga kenegaraan (kekhalifahan). Dalam pandangannya, negara tetap merupakan lembaga politik dengan sanksi-sanksi keagamaan. Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, syari’at (baca : agama) mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain, al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti diisyaratkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kepantasan atau petatutan politik. Dengan demikian, alMawardi sebenarnya mengenalkan sebuah pendekatan pragmatik 7
Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, (Beirut, t.t.), h. 5.
Jurnal Pengembangan Masyarakat
Jalinan Agama dan Negara dalam Islam (Ali Murtadho) 99
dalam menyelesaikan persoalan politik kala dihadapkan dengan prinsip-prinsip agama. Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut sebagai membawa pandangan simbiosa agama dan negara adalah alGhazali (w.1111). kendati al-Ghazali tidak secara khusus dikenal sebagai pemikir politik, namun beberapa karyanya mengandung pemikiran-pemikiran politik yang signifikan, seperti Nashihah alMulk, Kimiya as-Sa’adah, dan al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Dalam Nashihah al-Mulk, al-Ghazali, antara lain, mengisyaratkan hubungan pararel antara agama dan negara, seperti dicontohkan dalam paralelisme nabi dan raja. Menurut al-Ghazali, jika Tuhan telah mengirim nabinabi dan memberi mereka wahyu, maka Dia juga telah mengirim raja-raja dan memberi mereka ”kekuatan ilahi” (far’iizadi). Keduanya memiliki tujuan yang sama : kemaslahatan kehidupan manusia (maslahah zandaghani). 8 Mungkin al-Ghazali tidak bermaksud menyamakan antara nabi dan raja, mungkin dapat berarti antara gama dan negara; namun paralelisme yang dilakukannya menunjukan status tinggi dari raja atau negara dalam hubungannya dengan nabi atau agama. Paralelisme ini dapat ditafsirkan sebagai simbiosa yang bersifat setara. Kesimpulan ini dikuatkan oleh pendapat al-Ghazali dalam Kimiya as-Sa’adah bahwa agama dan negara adalah saudara kembar (tawaman) yang lahir dari satu ibu. 9 Paradigma ketiga bersifat sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam atau, paling tidak, menolak deteminasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Salah satu pemrakarsa paradigma ini adalah ’Ali ’Abdur Rajiq. Menurutnya, seperti dikutip oleh Muhammad Diya’ ad-Din ar-Ra’is bahwa Islam tidak mempunyai kaitan apa pun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan; termasuk kekhalifahan al-Khulafa’ar-Rasyidun, bukanlah sebuah sistem politik
8 9
Al-Ghazali, Nashihah al-Mulk, (Teheran, 1317 H), h. 10. Al-Ghazali, Kimiya as-Sa’adah, vol.1. (Teheran, 1940), h. 59.
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
100 Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012
keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi. 10 Ali Abdur Rajiq sendiri menjelaskan pokok pandangannnya bahwa Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesakkan kepada kaum Muslim suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tetapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki, serta dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman. 11 2. Islam dan Ketata Negara-an : Apakah Ada Negara Islam ? Fazlur Rahman 12, menyatakan pendapatnya mengenai hubungan Islam dan ketatanegaraan. Bahwa menurut Fazlur Rahman Islam tidak memerintahkan dan juga tidak mengajarkan secara jelas mengenai sistem ketatanegaraan, tetapi Rahman mengakui terdapatnya sejumlah tata nilai dan etika dalam alQur’an. Kendatipun Nabi Muhammad tidak pernah menyatakan dirinya sebagai pemimpin negara tetapi dia telah menjadikan negara sebagai sebuah alat bagi agama Islam untuk menyebarkan dan mengembangkan agama. Secara tegas Rahman menyatakan bahwa ”antara agama dan politik tidak dapat dipisahkan. 13 Pada bagian lain bahwa Islam memerintahkan agar persoalan-persoalan kaum muslimin ditanggulangi melalui syura atau konsultasi timbal balik. Syura merupakan salah satu perintah Allah kepada kaum muslimin dalam menyelesaikan persoalan-
Lihat : Muhammad Diya’ad-Din ar-Rais, Al-Islam wa al-Khilafah fi alAshr al-Hadits, Naqd Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm.( Jeddah, 1973), h. 24. 11 Pertanyaan ini merupakan jawaban ‘Ali Abdur Rajiq kepada wartawati Bourse Egyptienne yang mewawancarainya segera setelah pemecatannya sebagai hakim agama oleh Majelis Ulama Tertinggi. Lihat : Muhammad ‘Imarah, Al-Islam wa Ushul al-Hukm li ‘Ali ‘Abdur Rajiq, (Beirut, 1972), h. 92. 12 M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta : UII Press, 2000), h. 80 13 ……in Islam there is no separation between religion and state. “Fazlur Rahman” , “Islam and Political Action : Politics in the Service of Religion” , dalam Nige Biggar, dkk (ed) Cities of Gods: Faith, Politics and Pluralism in Judaism, Christianity and Islam, (New York : Green-wood Press, 1986), h. 154 10
Jurnal Pengembangan Masyarakat
Jalinan Agama dan Negara dalam Islam (Ali Murtadho) 101
persoalan umat yang terdapat dalam banyak ayat dalam al-Qur’an. 14 Nilai dan etika dalam bentuk syura menurut Fazlur Rahman ini telah dijadikan sebagai dasar dalam penyelenggaraan negara. Disisi lain ia juga mengatakan bahwa kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan kritik yang konstruktif yang ditujukan kepada pemerintah dianggap sebagai tugas keagamaan. Dalam hal etika dalam menegakkan sosio-politik Rahman telah menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an surah al-Hajj : 40, dan Ali Imran : 110 sebagai dasar pijakannya. Untuk menjelaskan keharusan menciptakan keadilan serta sikap berlaku adil dalam penyelenggaraan negara ia merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an seperti surah al-Nisa’ : 58 dan al-Ma’idah : 51. Ia juga telah menunjuk pada Al-Qur’an surah al-Nisa’ : 83, ketika menjelaskan bahwa umat dibenarkan mengkritik pemerintah tetapi tidak dibenarkan sikap yang bernada subversif dan yang dapat menimbulkan kebencian serta menghasut rakyat untuk menggulingkan pemerintah yang sah dengan cara-cara yang tidak konstitusional dan dengan menanamkan perasaan putus asa pada rakyat. Dalam penjelasan lainnya ia mengutip surat Al-Baqarah : 207 ketika menjelaskan hubungan internasional dari sebuah negara yaitu untuk menciptakan perdamaian, dan surat Al-Maidah : 13 dan surat al-Taubah : 7 untuk menjelaskan kewajiban bagi sebuah negara untuk menepati perjanjian yang telah dibuat dalam hubungan internasional itu. Memperhatikan pendapatnya Fazlur Rahman diatas yang didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dapat diambil benang merah bahwa Islam telah mengajarkan beberapa etika dan nilai dalam kehidupan bernegara bagi umat manusia. Ini dapat dilihat bagaimana seharusnya umat bertindak dan etika dalam hubungan dengan kehidupan bernegara selalu menggunakan pedoman ayatayat Al-Qur’an. Namun tidak dalam semua aspek dihubungkan dengan ayat, terutama sekali dalam hubungan dengan anjuran mendirikan negara Islam, siapa yang memimpin negara dan lainlain. 14 Lihat dalam al-Qur’an antara lain surat Ali Imran : 159, surat al-Syura : 38, surat al-Ashr : 3, Al-Mujadalah : 8 dan 58; dan Al-An’am : 2.
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
102 Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012
Hal ini dapat dimengerti karena al-Qur’an memang tidak memberikan suatu pola teori kenegaraan yang pasti dan ketat yang harus diikuti oleh umat Islam diberbagai negeri. 15 Al-Qur’an menurutnya , pada prinsipnya adalah sebagai petunjuk etika bagi manusia, bukan sebagai buku pedoman (ber) politik. Selain itu sudah menjadi sunatullah dunia terus berkembang yang mengakibatkan institusi-institusi (negara) yang diciptakan berubah pula. Fleksibelitas yang diberikan Al-Qur’an terhadap masalah ini akan mempermudah manusia membangun institusi yang sesuai dengan perkembangan zaman. Al-Qur’an, selain merupakan fenomena yang unik dalam sejarah peradaban manusia, juga merupakan pembawa risalah yang memberikan keistimewaan terhadap penalaran dan intelektualitas manusia. Bahkan dengan kecerdasan pemikirannya ini, manusia menjelma sebagai makhluk penafsir terhadap realitas, baik secara tekstual maupun kontekstual. Dalam kaitannya dengan penafsiran al-Qur’an, manusia memiliki kemampuan membuka cakrawala atau perspektif, terutama dalam memberikan penafsiran terhadap ayatayat yang mengandung multi tafsir (unclear statement). Dari sini makanya tak dapat disangsikan lagi bahwa al-Qur’an memuat ayatayat yang menjadi landasan etik dan moral dalam membangun sistem sosial-politik. Termasuk juga di dalamnya bahwa visi universalitas al-Qur’an menemukan relevansinya dengan cita-cita ideal humanisme universal. 16 15 Dalam hal ini telah banyak para sarjana di era modern ini memberi komentar yang sama seperti dijelaskan oleh Fazlur Rahman tersebut. Di Indonesia misalnya Harun Nasution menulis, melihat pada perincian dan klasifikasi ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an, tidak memperkuat pendapat bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap dan sempurna mencakup segala-galanya termasuk masalah politik. Lihat Harun Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, Mizan, (Bandung, 1995), h. 25-26; Rahman Zainuddin mengatakan bahwa pandangan pemikiran Islam yang terperinci tentang masalah kekuasaan politik itu tidak akan dapat diperoleh dalam al-Qur’an.Al-Qur’an pada umumnya hanya memberikan ajaran-ajaran pokok dan kaidah-kaidah umum saja. Lihat A. Rahman Zainuddin, ”Pokok-Pokok Pemikiran Islam dan Masalah Kekuasaan Politik” dalam Miriam Biduarjo (Penyusun), Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa ,(Jakarta : Sinar Harapan, 1984), h. 190. 16 Abd. Salam Arif “ Politik Islam Antara Aqidah dan Kekuasaan Negara” dalam A. Maftuh Abegebriel, A.Yani Abeveiro dan SR-Ins Team,
Jurnal Pengembangan Masyarakat
Jalinan Agama dan Negara dalam Islam (Ali Murtadho) 103
Disamping pemahaman diatas, terdapat pula penafsiran yang mengatakan bahwa al-Qur’an mengandung aturan berbagai dimensi kehidupan umat manusia. Termasuk didalamnya adalah mengatur sistem pemerintahan dan pembentukan negara (Islam). Melalui sistem penafsiran inilah kemudian muncul ranah tafsir, pemahaman yang menyatakan bahwa al-Qur’an sebenarnya merupakan landasan teologi politik. 17 Dilain pihak, jika mencermati ayat-ayat al-Qur’an yang berjumlah sekitar 6236, 18 yang membicarakan tentang masalah hukum kenegaraan (al-ahkam al-dauliyyah) itu hanya terdapat 25 ayat. Sejumlah 25 ayat itu pun, pembicaraan mengenai masalah hukum kenegaraan, al-Qur’an hanya menyinggung pada prinsipprinsip dan garis besarnya saja. Sebaliknya, sebagian besar ayat-ayat dalam al-Qur’an itu mengungkapkan sejarah dan peradaban umat Nabi dan Rasul terdahulu. Dengan mengacu pada pemahaman ini, nampaknya bahwa al-Qur’an bukan merupakan kitab perundangundangan. Akan tetapi ia sebagai petunjuk (hudan), pembeda antara yang benar dan yang salah (furqan), penjelas (tibyan), dan sebagai peringatan (zikran). Memang, dikalangan sebagian umat Islam, terdapat golongan yang memiliki pemahaman bahwa Islam dalam kenyataanya tidak hanya sekedar doktrin agama yang membimbing manusia dari aspek spiritual saja, melainkan juga berusaha membangun suatu sistem ketatanegaraan. Menurut paradigma ini, Islam sebagai sebuah agama dapat diartikan pula sebagai lembaga politik dan kenegaraan sekaligus. Dalam perspektif yang holistik, Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan
Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia, (Jakarta dan Yogyakarta : SR-INS Publishing, 2004), h. 3. 17 Mereka yang berargumen demikian, biasanya mendasarkan logika penafsirannya pada ayat-ayat al-Qur’an secara tekstual. Seperti dalam surah alMaidah : 3 yang artinya ”Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam itu menadi agama bagimu”, surah al-An’am : 38. yang artinya ” Tidak Kami lupakan sesuatu apa pun dalam kitab ini.” ayat yang terakhir ini sekilas memberikan pemahaman dan mengandung arti bahwa berbagai dimensi kedidupan manusia telah terkandung dalam al-Qur’an. 18 Lihat al-Qur’an dan Terjemahnya, DEPAG, h. 25 Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
104 Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012
semata, tetapi memuat ajaran tentang hubungan antar sesama manusia, baik dalam aspek sosial maupun politik kenegaraan. 19 Jika ditelusuri secara mendalam mengenai peran Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka akan ditemukan banyak hal yang direkomendasikan terutama berkenaan dengan prinsip-prinsip universal dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur. 20 Prinsip-prinsip inipun tidak terlepas dari nilai-nilai universal sebagaimana terkandung Islam. Prinsip-prinsip itu antara lain : 1. Prinsip al-syura (consultation) sebagaimana terdapat dalam Q.S Ali Imran : 159; "......Dan musyawarahlah kamu dengan mereka dalam permasalahan dunia" dan Q.S al-Syura : 38 yang mengemukakan; "Hendaklah urusan mereka tentang permasalahan dunia diputuskan dengan bermusyawarah diantara mereka". 2. Prinsip al-musawa (equality) dan al-Ikha' (brotherhood. Keduanya mengandung pengertian persamaan dan persaudaraan. Kandungan prinsip-prinsip ini terdapat dalam Q.S al-Hujurat : 13 "Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku agar supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu adalah orang yang paling taqwa diantara kamu" 3. Prinsip al-adặlah (justice) yaitu keadilan yang harus ditegakkan tanpa diskriminasi, penuh kejujuran, ketulusan dan integritas. Pentingnya prinsip ini, al-Qur'an menempatkan keadilan sebagai parameter orang bertaqwa. Dalam Q. S al-Ma'idah : 8 "Berlakulah adil karena adil itu lebih dekat dengan taqwa". Dalam surat lain Q.S al-An'am : 152 "Berlakulah adil walaupun terhadap kerabat". Teks ayat terakhir ini memberikan pemahaman bahwa keadilan itu perlu ditegakkan dengan tidak memandang latar belakang manusia. Selain karena keadilan bukan saja merupakan bagian dari sendi kehidupan dalam bermasyarakat, tetapi juga menjadi elemen penting dalam mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera. 19 A. Maftuh Abegebriel, A.Yani Abeveiro dan SR-Ins Team, Negara Tuhan; (The Thematic Encyclopaedia), h. 6. 20 Ibid, h.11
Jurnal Pengembangan Masyarakat
Jalinan Agama dan Negara dalam Islam (Ali Murtadho) 105
4. Prinsip al-hurriyyah (freedom) yang berarti menganut kebebasan. Prinsip ini merupakan prinsip yang sangat mendasar bagi hakekat kemanusiaan. Misalnya kebebasan beragama yang menjadi suatu pilihan manusia yang paling subtansial. Manusia diciptakan oleh Tuhan dilengkapi dengan daya intelektualitas yang lebih sempurna ketimbang mahluk lain. Dengan kemampuan pikiran tersebut, manusia mempunyai kebebasan untuk memilih keyakinan dan agama yang dipeluknya. Sejalan dengan prinsip ini, Allah SWT melalui firman-Nya dalam alQur'an surat al-Baqarah : 256 menyatakan : "Tidak ada paksaan untuk memeluk agama". Dalam Islam , prinsip kebebasan mendapat perhatian penting. Islam tidak saja mengakui kebebasan sebagai sebuah prinsip, tetapi juga setiap individu manusia itu pada dasarnya memiliki kebebasan. Artinya bahwa Islam sangat menghargai kebebasan di satu sisi dan kebebasan individu disisi lain. Kebebasan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat harus diatur oleh aturan atau perundang-undangan, agar kebebasan seseorang tidak dianggap melanggar kebebasan pihak lain. Karena kebebasan setiap manusia itu tidak bersifat absolut, maka hak asasi manusia lainnya selayaknya menghormati kebebasannya. Oleh karena itu kebebasan yang merupakan hak setiap individu juga ada kewajiban yang menyertainya. Antara hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan, keduanya selalu melekat antara satu dengan lainnya. 5. Prinsip al-amanah (trust). Dalam hubungannnya dengan kekuasaan, prinsip ini merupakan sebuah amanah yang harus dipelihara dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Q.S al-Nisa' menjelaskan : "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya". Dalam konteks kekuasaan negara, amanah merupakan mandat rakyat yang di dalamnya mempunyai nilai kontrak sosial yang tinggi. Disamping itu, amanah merupakan sesuatu yang sangat esensial dan menjadi salah satu pilar dalam hidup bernegara. 6. Prinsip al-salam (peace)atau perdamaian.Prinsip ini sangat penting dalam doktrin Islam. Sebagaimana dalam Q.S al-Anfal : 61 " Apabila mereka cenderung pada perdamaian, maka penuhilah perdamaian itu. Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
106 Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012
7. Prinsip al-tasamuh (toleran), yaitu prinsip saling menghormati antar sesama warga masyarakat.prinsip ini berlaku universal. Dari prinsip-prinsip diatas kiranya sangat memadai untuk menjadi dasar dalam hidup bernegara dan bermasyarakat. Etika dan moral agama yang bersifat universal juga bisa diterima dalam kehidupan bernegara yang kompleks dan membutuhkan pendekatan yang komprehensif dalam penanganannya. Selanjutnya bagaimana dengan konsep negara Islam yang banyak ”digembar-gemborkan” oleh banyak kalangan ? Kata imamah tidak terdapat secara tertulis dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau kata imamah dimaksudkan sebagai kepemimpinan yang harus diikuti oleh umat Islam, hal itu jelas ada dalam Al-Qur’an. Artinya, Al-Qur’an menyuruh kaum muslimin untuk mengikuti pemimpin yang benar, yang terdiri dari manusia-manusia atau pemimpin yang menggunakan Islam sebagai patokan kepemimpinannya, bukannya kepemimpinan orang-orang yang munafik dan kafir. Sedangkan khilafah, adalah suatu missi kaum muslimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturuan Allah swt., maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaannya Al-Qur’an tidak menunjukkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja. Ini menunjukkan bahwa ”Islamic State” atau negara Islam tidak ada dalam Al-Qur’an, maupun dalam Al-Sunnah. 21 Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan negara Islam. Yang lebih penting adalah selama suatu negara menjalankan etos Islam, kemudian menegakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu masyarakat yang egalitarian, yang jauh dari eksploitasi manusia atas manusia maupun eksploitasi golongan atas golongan lain, berarti menurut Islam sudah dipandang negara yang baik. 22 Apalah artinya suatu negara menggunakan Islam sebagai dasar negara, kalau ternyata hanya formalitas kosong ?
21 Amin Rais, “Tidak Ada Negara Islam”, dalam Agus Edi Santoso (ed) Tidak Ada Negara Islam Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, (Jakarta : Djambatan, 1997), h. XXII 22 Ibid
Jurnal Pengembangan Masyarakat
Jalinan Agama dan Negara dalam Islam (Ali Murtadho) 107
Untuk meringkaskan saran-saran yang konkrit mengenai bentuk negara Islam, pemakalah lebih menekankan pada dasar bagi pembentukan masyarakat Islam. Harus ditegaskan kembali adanya jaminan kebebasan dan martabat umat Islam secara individual. Negara ideal bagi umat Islam saat ini atau kapan pun, menurut pemakalah, pertama-tama harus demokratis. Disini kita tidak perlu terlibat dengan perdebatan tentang istilah-istilah mubazir, apakah negara Islam harus menjadi theo-demokrasi, atau hubungan antara demokrasi dan syura (musyawarah). Negara apapun , Islam atau tidak, haruslah didasarkan pada kehendak bebas warga-negaranya. Suatu negara yang dibentuk oleh umat Islam terpaksa menjadi negara Islam yang berdasarkan syari’ah. Tidak bisa dipahami bahwa dalam suatu komunitas muslim harus muncul adu argumen apaka ini atau itu sesuai dengan perintah Tuhan atau tidak. C. Kesimpulan Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Islam dan Negara (politik) pada hakekatnya bersifat ”organik” artinya bahwa Islam sebagai sesuatu yang sejak awal perkembanganya merupakan agama politik dimana ini bisa diketahui bahwa sesungguhnya Islam membutuhkan sebuah negara dalam rangka menyebarkan ajaran-ajaranya, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi dengan mendirikan negara Madinah. Tetapi perlu juga dipertimbangkan, dalam kenyataannya Islam adalah sebuah agama yang multiinterpretatif, yang membuka kemungkinan kepada banyak penafsiran mengenainya (a polyinterpretable religion) termasuk mengenai bentuk (ketata) negara (an) yang diaturnya. Memang pada kenyataanya dalam al-Qur’an pun tidak diperintahkan untuk mendirikan negara Islam. Di dalam al-Qur’an hanya dijelaskan prinsip-prinsipnya saja seperti prinsip musyawarah atau demokrasi, keadilan, kebebasan, toleran, perdamaian, amanah, dan toleran. Oleh karena itu ketika ada pertanyaan berdosakah orang Islam yang tidak mendirikan negara Islam, menurut pemakalah tidak berdosa, kalau saja negara tersebut sudah menerapkan beberapa prinsip sebagaimana disebut diatas, seperti menegakkan keadilan sosial dan menciptakan suatu
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan
108 Ijtimaiyya, Vol. 5, No. 1, Pebruari 2012
masyarakat yang egalitarian yang jauh dari eksplotiasi. Wallahu a’lam bishawab. Daftar Pustaka Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Beirut, t.t. Al-Ghazali, Nashihah al-Mulk, Teheran, 1317 H. Al-Ghazali, Kimiya as-Sa’adah, vol.1. Teheran, 1940. Ahmad Hakim dan M. Thalhah, Politik Bermoral Agama Tafsir Politik Hamka, UII Press, Yogyakarta, 2005. Abu al-A’la al-Mawdudi, “Political Theory of Islam” dalam Khurshid Ahmad (ed), Islamic Law and Constitution, Lahore, 1967 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Paramadina, Jakarta, 1996. Al-Qur'an dan terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia A.Maftuh Abegebriel, A.Yani Abeveiro dan SR-Ins Team, Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia, SR-INS Publishing, Jakarta dan Yogyakarta, 2004. Agus Edi Santoso (ed) Tidak Ada Negara Islam Surat-surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Djambatan, Jakarta, 1997. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam as Siyasi Wa Ats Tsaqafi wa al Ijtima, terj. H.A.Bahauddin, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2001 Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought , Austin, 1982. Imam Khomeini, Islam and Revolution, Writings and Declaration of Imam Khomeini, terjemahan dan anotasi Hamid Algar, Berkeley, 1981. M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, UII Press, Yogyakarta, 2000 Jurnal Pengembangan Masyarakat
Jalinan Agama dan Negara dalam Islam (Ali Murtadho) 109
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : Aliran, Sejarah dan Pemikiran, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1993 Muhammad Diya’ad-Din ar-Rais, Al-Islam wa al-Khilafah fi al- Ashr al-Hadits, Naqd Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm. Jeddah, 1973. Muhammad ‘Imarah, Al-Islam wa Ushul al-Hukm li ‘Ali ‘Abdur Rajiq, Beirut, 1972, hlm. 92. Nige Biggar, dkk (ed) Cities of Gods: Faith, Politics and Pluralism in Judaism, Christianity and Islam, Green-wood Press, New York, 1986 The Constitution of The Islam Republik of Iran, diterbitkan oleh Islamic Progagation Organization.
Program Pascasarjana IAIN Raden Intan