Prosiding PPI Standardisasi 2010 –Jakarta, 11 November 2010
TINJAUAN MANAJEMEN MUTU SEKOLAH DI KOTA DEPOK BERDASARKAN ISO 9001/IWA-2 Oleh
Agus Fanar Syukri 1
Abstrak Manajemen mutu berbasis sekolah bertujuan untuk memberdayakan semua komponen sekolah agar lebih optimal dalam melayani siswa, orang tua, pihak pemakai/penerima lulusan, dan guru/karyawan, serta masyarakat sekitarnya. Salah satu standar yang dapat dipakai untuk mengukur tingkat efektivitas manajemen mutu sekolah adalah ISO 9001/IWA-2. Hasil survei atas mutu manajemen 37 dari 640 sekolah (6%) di Kota Depok yang dilaksanakan pada tahun 2009 berdasarkan 5 klausul pemeriksaan ISO 9001/IWA-2, adalah bahwa untuk 4 klausul: sistem manajemen sekolah, tanggung jawab manajemen sekolah, manajemen sumber daya pendidikan, dan realisasi jasa pendidikan menunjukkan hasil yang sudah cukup baik (di atas 75%); tetapi untuk 1 klausul pengukuran, analisis dan peningkatan mutu pendidikan memperlihatkan masih belum baik (kurang dari 50%). Kata Kunci: Manajemen Mutu Sekolah, ISO 9001, IWA-2, Kota Depok Abstract Implement the Quality Management to education institution is to optimize the school resources to serve student, parent, teacher, graduate student user, and society. ISO 9001/IWA-2 is one of Quality Management standard for education. The result of survey by using ISO 9001/IWA-2 to 37 of 640 schools (elementary, yunior and senior high school) quality management at Depok City held at 2009, is for 4 clauses: school management system, school management responsibility, resources management, product realization were good (above 75% ); but for monitoring, measurement, analysis and improvement was no good (under 50%). Keywords: School Quality Management, ISO 9001, IWA-2, Depok City
1
Peneliti pada Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2SMTP-LIPI)
1
I
LATAR BELAKANG
Visi Pendidikan Nasional adalah terwujudnya insan Indonesia cerdas, beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berjati diri Indonesia, dan kompetitif secara global. Dalam merespon visi tersebut, Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang harus bekerja keras untuk meningkatkan mutu sumber daya manusianya yang masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan negara lain, khususnya di kawasan Asia. Upaya yang harus dilakukan dalam rangka memperbaiki mutu sumber daya manusia adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan[1]. Fokus utama yang harus diperhatikan dalam peningkatan mutu pendidikan adalah peningkatan institusi sekolah sebagai basis utama pendidikan, baik aspek manajemen, sumber daya manusia, maupun sarana dan prasarananya. Salah satu program yang dilaksanakan pemerintah agar perubahan dan perkembangan tersebut dapat direspon dengan cepat adalah dengan meningkatkan mutu sekolah melalui pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi: ... “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional[4]”.
Standar Nasional Pendidikan (SNP) meliputi 8 (delapan) standar, yaitu standar isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, kompetensi lulusan, pembiayaan, pengelolaan, dan penilaian. SNP dapat diperkaya, dikembangkan, diperluas, diperdalam melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan yang dianggap reputasi mutunya diakui secara internasional seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, UNESCO, ISO 1 [5], sehingga di Indonesia pun muncullah SBI, yang harus mampu memberi jaminan bahwa baik dalam penyelenggaraan maupun hasil-hasil pendidikannya lebih tinggi daripada SNP [6]. Jangankan mewujudkan SBI, untuk memenuhi SNP saja, belum tentu semua sekolah dapat dengan mudah mencapainya[7], sehingga pemerintah menginisiasi pembentukan Rencana Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Berstandar Nasional (SBN), Rencana Sekolah Berstandar Nasional (RSBN), dan lainnya. Di lapangan ditemui kesulitan dalam penerapan SNP, yang mungkin disebabkan kurangnya pemahaman, komitmen, keterlibatan aktif, dari stakeholders (para pemangku kepentingan) dan lain-lain. SBI mensyaratkan adanya berbagai kriteria yang harus dipenuhi oleh penyelenggara sekolah, misalnya: sekolah telah menerapkan Sistem
2
Prosiding PPI Standardisasi 2010 –Jakarta, 11 November 2010
Manajemen Mutu ISO 9001. Untuk memenuhi persyaratan tersebut tidak mudah. Kajian ini bertujuan untuk memotret kondisi riil manajemen mutu pendidikan di wilayah Kota Depok, dengan menitikberatkan pada mutu manajemen sekolah, yang meliputi Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas, dengan berdasarkan kepada ISO 9001/IWA 1 -2, dalam rangka menyukseskan Program Pemerintah melalui Depdiknas untuk meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang lebih baik. Mengapa fokus penelitian adalah ISO 9001 khususnya ISO/IWA-2 [9] yang merupakan standar sistem manajemen mutu untuk pendidikan? ISO/IWA-2 adalah standar internasional SMM untuk pendidikan yang sudah diakui secara internasional, dapat memberikan nilai tambah pada organisasi berupa peningkatan produktifitas, efisiensi dan kepuasan pelanggan serta penurunan biaya. 1.1 Visi dan Misi Kota Depok Memasuki era pemerintahan Periode 2006–2011, Pemerintah Kota Depok mencanangkan visi “Menuju Kota Depok yang Melayani dan Mensejahterakan”. Visi tersebut selanjutnya dijabarkan dalam misi-misi sebagai berikut: a) Mewujudkan pelayanan yang mudah, cepat dan transparan, b) Membangun dan mengelola sarana dan prasarana infrastruktur yang baik dan cukup merata, c) Membangunan perekonomian masyarakat dunia usaha dan keuangan daerah, d) Meningkatkan kualitas keluarga, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai agama. Visi dan Misi Kota Depok tersebut selanjutnya perlu dijabarkan lebih detil sesuai dengan lingkup kerja masing-masing satuan kerja di lingkungan Pemerintahan Kota Depok, termasuk di dalamnya Dinas Pendidikan Kota Depok. Pemerintah Kota Depok sesuai dengan program nasional di bidang pendidikan telah menggulirkan berbagai program pendidikan dengan salah satu tujuan utama adalah peningkatan akses masyarakat terhadap layanan pendidikan, juga meningkatkan manajemen mutu pendidikan, khususnya untuk manajemen tingkat mikro, yaitu manajemen sekolah. 1.2 Tujuan dan Manfaat Kajian Kegiatan Kajian Mutu Manajemen Pendidikan Kota Depok, dengan lokus manajemen mutu sekolah ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Mendapatkan gambaran atas kondisi terkini manajemen mutu sekolah-sekolah yang sedang berjalan saat ini di Kota Depok.
3
2. Membuat rumusan kebijakan dan rekomendasi tentang manajemen mutu sekolah yang perlu diterapkan di Kota Depok, disertai panduan langkah strategis yang implementatif yang menjadi acuan dalam penyusunan program penerapan manajemen mutu sekolah di Kota Depok. Sedangkan manfaat kegiatan ini adalah sebagai berikut: 1. Menjadi sumber/basis referensi yang up to date, jelas dan akurat untuk pembuatan kebijakan Pemerintah Kota Depok c.q. Dinas Pendidikan di bidang mutu manajemen sekolah dalam rangka mempercepat proses pemerataan kesempatan pendidikan di seluruh Kota Depok dengan mutu sekolah yang terjamin. 2. Meningkatnya kualitas pengelolaan sumber daya pendidikan di Kota Depok dengan manajemen mutu sekolah yang lebih baik. 3. Meningkatnya kualitas layanan pendidikan bagi masyarakat Kota Depok dengan melaksanakan manajemen mutu sekolah yang lebih baik. II
KONSEP PEMBANGUNAN PENDIDIKAN
Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Semua warga negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali, baik yang kaya maupun yang miskin, baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan (terpencil). Kurang meratanya pendidikan di Indonesia terutama akses memperoleh pendidikan bagi masyarakat miskin dan terpencil menjadi suatu masalah yang hingga kini belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk menanganinya. 2.1 Pengertian Standar Pendidikan Standar artinya kriteria minimal. Menerapkan standar berarti menggunakan kriteria berdasarkan suatu kriteria tertentu. Dalam pengelolaan pendidikan Indonesia kriteria minimal itu adalah standar nasional pendidikan. Kriteria minimal sama dengan batas minimal mutu yang menjadi patokan target pencapaian yang ditetapkan satuan pendidikan, idealnya di atas standar nasional. Mutu adalah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan. Esensi mutu adalah belajar mengenai bagimana sesuatu yang dikerjakan dengan cara yang benar dan 4
Prosiding PPI Standardisasi 2010 –Jakarta, 11 November 2010
menghasilkan produk yang lebih baik. Mutu berarti juga menemukan sesuatu apa yang kita harapkan melalui perubahan, sehingga produk/jasa yang dihasilkan dapat memenuhi harapan pengguna. Mutu berarti memahami apa yang diharapkan dan bagaimana hendak diwujudkan. Dalam konteks pendidikan, peningkatkan mutu pendidikan berarti belajar dari apa yang dikerjakan menggunakan apa yang dipelajari, sebagai landasan penyempurnaan mutu pelayanan melakukan pembaruan berkelanjutan memenuhi kepuasan pelanggan internal maupun eksternal organisasi pendidikan. Dalam menerapkan suatu standar terdapat dua kata kunci yaitu adanya kriteria yang dipersyaratkan dan adanya proses pengukuran. Hal yang diukur dalam mutu adalah proses dan hasil. Oleh karena itu indikator mutu meliputi indikator operasional dan indikator produk/jasa. Kedua bidang itu penting untuk diukur karena dari hasil penelitian bahwa produk yang baik itu datang dari proses yang bermutu. Proses yang bermutu harus melahirkan produk/jasa yang bermutu pula. Jadi proses perkerjaan harus akuntabel atau bermaslahat. Berdasarkan uraian ringkas tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa menerapkan standar itu berarti menetapkan kriteria pada tiap indikator mutu strategis dan melaksanakan pengukuran ketercapaian hasilnya. 1. 2.2 Standar Nasional Pendidikan Dalam Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 35 diatur Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 yang berisi 17 Bab dan 97 Pasal sebagai petunjuk pelaksanaan UU tersebut, mendefinisikan bahwa Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Lingkup Standar Nasional Pendidikan terdiri dari: (1) Standar isi; (2) Standar proses; (3) Standar kompetensi lulusan; (4) Standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) Standar sarana dan prasarana; (6) Standar pengelolaan; (7) Standar pembiayaan; dan (8) Standar penilaian pendidikan. 2.3 Pendidikan dan Mutu Memasuki abad ke-21 Indonesia dihadapkan pada masalah yang rumit seperti masalah reformasi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, masalah krisis yang berkepanjangan dan hingga saat ini belum tuntas, masalah kebijakan makro pemerintah tentang sistem pemerintahan otonomi daerah yang memberdayakan masyarakat. Indonesia juga menghadapi perubahan-perubahan besar dan amat fundamental dilingkungan global. Perubahan lingkungan strategis pada tataran global tersebut 5
tercermin pada pembentukan forum-forum seperti GATT, WTO, dan APEC, NAFTA dan AFTA, IMG-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA, dan SOSEKMALINDO yang merupakan usaha untuk menyongsong perdagangan bebas di mana pasti akan berlangsung tingkat persaingan yang amat ketat. Suatu perubahan regulasi yang semula monopoli (monopoly) menjadi persaingan bebas (free competition). Demikian pula, terjadi pada pasar yang pada awalnya berorientasi pada produk (product oriented) beralih pada orientasi pasar (market driven), serta dari proteksi (protection) berpindah menjadi pasar bebas (free market ). Untuk itu perlu mengantisipasi keadaan ini dengan memperkuat kemampuan bersaing di berbagai bidang dengan pengembangan Sumber Daya Manusia. Sayangnya SDM kita saat ini memprihatinkan. Menurut UNDP, Indonesia menempati peringkat 109 dari 174, peringkat daya saing ke-46 yang paling bawah di kawasan Asia Tenggara, Singapura ke-2, Malaysia ke-27. Phillipina ke 32, dan Thailand ke 34, dan termasuk negara yang paling korup di dunia. Menurut Survei Human Development Index, kualitas SDM Indonesia saat ini menduduki peringkat ke-105. Untuk ilustrasi, peringkat SDM di kawasan Asia Tenggara yaitu Singapura menduduki peringkat 25, Brunei 26, Malaysia 56, Thailand 57 dan Filiphina 77. Dalam upaya peningkatan SDM, peranan pendidikan cukup menonjol. Oleh karena itu sangat penting bagi pembangunan nasional untuk memfokuskan peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu akan diperoleh pada sekolah yang bermutu, dan sekolah yang bermutu akan menghasilkan SDM yang bermutu pula. Berkaitan dengan mutu, Joseph. M. Juran yang pikiran-pikirannya begitu terkenal dan berpengaruh di Jepang sehingga pada tahun 1981 dia dianugerahi Order of the Sacred Treasure oleh Kaisar Jepang, mengemukakan bahwa 85% dari masalahmasalah mutu terletak pada manajemen (pengelolaan), oleh sebab itu sejak dini manajemen haruslah dilaksanakan seefektif dan seefisien mungkin. Salah satu bentuk manajemen yang berhasil dimanfaatkan dalam dunia industri dan bisa diadaptasi dalam dunia pendidikan adalah TQM (Total Quality Management) pada sistem pendidikan yang sering disebut sebagai: Total Quality Management in Education (TQME). 2.4 Konsep Manajemen Peningkatan Mutu Manajemen sekolah seyogyanya memahami perkembangan manajemen sistem industri modern, sehingga mampu mendesain, menerapkan, mengendalikan, dan meningkatkan kinerja sistem pendidikan yang memenuhi kebutuhan manajemen sistem industri modern. Hal ini dimaksudkan agar setiap lulusan dari sekolah mampu dan cepat beradaptasi dengan kebutuhan sistem industri modern. Dengan demikian sebelum membahas tentang sistem pendidikan di sekolah, perlu diketahui tentang konsep dasar 6
Prosiding PPI Standardisasi 2010 –Jakarta, 11 November 2010
sistem industri modern yang akan dipergunakan sebagai landasan utama untuk membahas penerapan TQME (Total Quality Manajemen on Education) pada sistem pendidikan modern di Indonesia. TQM itu sendiri merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terusmenerus atas produk, jasa, tenaga kerja, proses dan lingkungannya. Untuk mencapai usaha tersebut digunakan sepuluh unsur utama TQM, yaitu fokus pada pelanggan, obsesi terhadap mutu/kualitas, pendekatan ilmiah, komitmen jangka panjang, kerjasama tim, perbaikan berkesinambungan, pendidikan dan latihan, kebebasan terkendali, kesatuan tujuan, dan ketertiban serta pemberdayaan karyawan. Ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu: kepuasan pelanggan, respek terhadap setiap orang, manajemen berdasarkan fakta, dan perbaikan berkesinambungan. Pada dasarnya proses industri harus dipandang sebagai suatu peningkatan terus-menerus (continuous improvement), yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya ide-ide untuk menghasilkan suatu produk/jasa, pengembangan produk/jasa, proses produksi, sampai distribusi kepada konsumen/pengguna jasa. Seterusnya, berdasarkan informasi sebagai umpan-balik yang dikumpulkan dari pengguna produk (pelanggan) itu dapat dikembangkan ide-ide kreatif untuk menciptakan produk baru atau memperbaiki produk lama beserta proses produksi yang ada saat ini. 2.5 Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Ada tiga faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan yaitu: 1) kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function atau input-input analisis yang tidak konsisten; 2) penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik; 3) peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sangat minim . Berdasarkan penyebab tersebut dan dengan adanya era otonomi daerah yang sedang berjalan maka kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM adalah: (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based management) di mana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) di mana terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning center; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. Selain itu pada tanggal 2 Mei 2002, bertepatan hari pendidikan nasional, 7
pemerintah telah mengumumkan suatu gerakan nasional untuk peningkatan mutu pendidikan, sekaligus menghantar perluasan pendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat. Untuk merealisasikan kebijakan di atas maka sekolah perlu melakukan manajemen peningkatan mutu. Manajemen Peningkatan Mutu (MPM) ini merupakan suatu model yang dikembangkan di dunia pendidikan, seperti yang telah berjalan di Sidney, Australia yang mencakup: a) School Review, b) Quality Assurance, dan c) Quality Control, dipadukan dengan model yang dikembangkan di Pittsburg, Amerika Serikat oleh Donald Adams, dkk. Dan model peningkatan mutu sekolah dasar yang dikembangkan oleh Sukamto, dkk. Manajemen peningkatan mutu sekolah adalah suatu metode peningkatan mutu yang bertumpu pada sekolah itu sendiri, mengaplikasikan sekumpulan teknik, mendasarkan pada ketersediaan data kuantitatif & kualitatif, dan pemberdayaan semua komponen sekolah untuk secara berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasi sekolah guna memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat. 2.6 Kriteria Keberhasilan Sekolah Dalam TQME keberhasilan sekolah diukur dari tingkat kepuasan pelanggan, baik internal maupun eksternal. Sekolah dikatakan berhasil jika mampu memberikan pelayanan sama atau melebihi harapan pelanggan. Dilihat jenis pelanggannya, maka sekolah dikatakan berhasil jika : 1. Siswa puas dengan layanan sekolah, antara lain puas dengan pelajaran yang diterima, puas dengan perlakuan oleh guru maupun pimpinan, puas dengan fasilitas yang disediakan sekolah. Pendek kata, siswa menikmati situasi sekolah. 2. Orang tua siswa puas dengan layanan terhadap anaknya maupun layanan kepada orang tua, misalnya puas karena menerima laporan periodik tentang perkembangan siswa maupun program-program sekolah. 3. Pihak pemakai/penerima lulusan (perguruan tinggi, industri, masyarakat) puas karena menerima lulusan dengan kualitas sesuai harapan 4. Guru dan karyawan puas dengan pelayanan sekolah, misalnya pembagian kerja, hubungan antarguru/karyawan/pimpinan, gaji/honorarium, dan sebagainya. 8
Prosiding PPI Standardisasi 2010 –Jakarta, 11 November 2010
III
METODOLOGI
Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kuantitatif, dengan pengumpulan data memakai cara purposive sampling, dan analisisnya dilakukan dengan gap analisis dan analisis kuantitatif. 3.1 Pengumpulan Data Primer dan Sekunder Data sekunder adalah data kondisi akses pendidikan yang saat kajian dilakukan ada di dinas pendidikan Kota Depok dan sumber sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan korelasi antara manajemen mutu pendidikan dengan kondisi lingkungan di Kota Depok. Data primer adalah data yang diperoleh dari survei lapangan secara langsung ke sekolah-sekolah. Data primer ini sangat penting untuk diambil, karena data sekunder di Dinas Pendidikan Kota Depok belum ada. Data sekunder dari Dinas Pendidikan Kota Depok dipakai sebagai referensi utama pengumpulan data primer. 3.2 Instrumen Penelitan Instrumen penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah kuesioner tertutup, yaitu jawaban atas sebuah pernyataan hanya dibatasi kepada lima pilihan yang dibuat berdasarkan skala Licker, yaitu: selalu, sering, kadang-kadang, jarang dan tidak pernah, yang masing-masing merupakan nilai kuantitatif dari 100%, 75%, 50%, 25% dan 0%. 3.3 Analisis Metoda analisis yang dipakai dalam mengolah data primer adalah gap analisis dan analisis kuantitatif. Hasil analisis akan dibahas dalam subjudul tersendiri, yaitu di subjudul 5. IV
SURVEI DAN INSTRUMEN PENELITIAN
Untuk mendapatkan gambaran secara umum tentang kondisi mutu manajemen pendidikan di tingkat mikro/sekolah, tidak menggunakan delapan SNP, tetapi menggunakan 5 klausul ISO/IWA:2, yang diharapkan dapat mewakili 5 dari 8 standar yang ada di SNP. 4.1 Kuesioner Untuk mengambil data di lapangan, tim peneliti membuat instrumen penelitian/kuesioner seperti ditunjukkan di lampiran 1, di mana pernyataan-pernyataan dalam kuesioner disusun berdasarkan 5 klausul-klausul dalam sistem manajemen mutu di ISO 9
9001:2008/IWA 2:2007, yaitu meliputi: 1. Sistem manajemen mutu sekolah, 2. Tanggung jawab manajemen sekolah, 3. Manajemen sumber daya sekolah, 4. Realisasi Jasa Pendidikan, dan 5. Pengukuran, Analisis dan Peningkatan Mutu Pelayanan Sekolah. 4.2 Responden Responden ditentukan dengan metoda purposive sampling, yaitu memilih responden di sekolah-sekolah yang mewakili suatu wilayah tertentu (kecamatan) yang sudah ditentukan, yaitu seperti batas wilayah kecamatan, atau yang mewakili area tertentu. Sekolah yang menjadi responden survei ditentukan oleh Dinas Pendidikan Kota Depok. Dari 640 sekolah yang tercantum di Tabel 4.1 di bawah ini, metoda penentuan responden yang dipakai adalah purposive sampling dengan mengambil 10% dari jumlah sekolah tersebut, sehingga kuesioner dibagikan ke 60 sekolah, yang mewakili 6 kecamatan di Kota Depok, sehingga masing-masing kecamatan diambil 10 sekolah. Tabel 1 Jumlah Sekolah di Kota Depok Tahun 2009 Jenjang
Sekolah Negeri
Sekolah Swasta
Jumlah
SD
285
87
372
SMTP
16
134
150
SMTA
8
110
118
309
331
640
Jumlah
4.3 Pelaksanaan Survei Distribusi, pengisian dan pengumpulan kuesioner survei telah dilaksanakan pada tanggal 26 sampai dengan 31 Oktober 2009, dengan mengerahkan 12 personil surveyor ke 60 sekolah yang telah ditentukan. Dari 60 responden yang telah dibagikan kuesioner, yang mengisi kuesioner dan telah mengembalikannya kepada surveyor adalah sebanyak 37 sekolah (61%), melebihi batas minimal 30 sampel dalam penelitian sosial. Klasterisasi responden berdasarkan jenjang sekolah ditunjukkan di Tabel 4.2. sebagai berikut: Tabel 2 Jumlah Responden Berdasarkan Jenjang dan Jenis Sekolah No 2.
10
Jenis Sekolah SD
Jumlah Responden 17
Prosiding PPI Standardisasi 2010 –Jakarta, 11 November 2010
3.
MI
6
4.
SMP
5
5.
MTs
2
6.
SMA
4
7.
MA
1
8.
SMK
2 Jumlah Total
V
37
POTRET MUTU MANAJEMEN SEKOLAH DI KOTA DEPOK
Hasil hasil pengolahan data hasil survei beserta hasil analisisnya dijelaskan dengan detil sebagai berikut:. Berdasarkan 5 klausul manajamen mutu institusi pendidikan di ISO/IWA:2, masing-masing klausul yang berhubungan dengan kondisi sistem manajemen mutu sekolah di Kota Depok dapat dijelaskan sebagai berikut. 5.1 Sistem Manajemen Sekolah Pernyataan “Sekolah menjamin keselarasan antara perencanaan kegiatan sekolah dengan UU, peraturan, standar dan kurikulum, KBM, ulangan, dan lain-lain;” dijawab selalu oleh 54% sekolah, sering 32% sekolah, dan kadang-kadang oleh 14% sekolah (gambar 5.1). Secara ideal, seharusnya seluruh sekolah (100%) menjamin keselarasan antara perencanaan kegiatan sekolah dengan peraturan yang ada, termasuk peraturan daerah. “Sekolah mencatat secara sistematis atas hasil pemantauan semua proses belajar-mengajar di sekolah” telah selalu dilakukan oleh 46% sekolah, 38% sekolah sering mencatat, 11% kadang-kadang, dan 5% jarang mencatat secara sistematis (gambar 5.2)
Selalu Sering Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah
54%
Selalu Sering
46%
Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah
5%
14% 32%
Gb. 5.1: Keselarasan dengan Peraturan
38%
11%
Gb. 5.2: Pemantauan Proses
11
5.2 Tanggung Jawab Manajemen Sekolah Sekolah menggunakan informasi untuk mendukung tugas manajemen (Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah dan atau Kepala Guru), selalu dilakukan oleh 51% sekolah, sering dilakukan oleh 30%, yang kadang-kadang dan jarang masing-masing 8%, serta 3% tidak pernah menggunakan informasi untuk mendukung tugas manajemen (gambar 5.3).
Selalu Sering Kadang-Kadang
51%
Jarang Tidak Pernah
3% 8% 8%
30%
Gb. 5.3: Penggunaan Informasi
Para guru dan bagian administrasi memperoleh data dan informasi di sekolah dengan cepat dan efektif untuk meningkatkan proses belajar mengajar, selalu dilakukan oleh 41% sekolah, sering dilakukan oleh 35% sekolah dan dilakukan kadang-kadang oleh 24% sekolah di Depok (gambar 5.4). Secara ideal, di era informasi ini, seluruh sekolah (100%) telah dapat memanfaatkan informasi secara efektif dan efisien untuk mendukung kegiatan belajarmengajar. Pernyataan “Sekolah menganalisis data dan informasi yang berasal dari luar sekolah.” dijawab selalu dan sering oleh masing-masing 35% sekolah, kadang-kadang 24% sekolah, dan jarang serta tidak pernah menganilis data/informasi dari luar sekolah oleh 3% (gambar 5.5).
Selalu Sering Kadang-Kadang
41%
Selalu Sering Kadang-Kadang
35%
Jarang Tidak Pernah
Jarang Tidak Pernah
3%
35% 35%
24%
Gb. 5.4: Peroleh Informasi
3% 24%
Gb. 5.5: Analisis Data/Informasi
Sekolah selalu mencatat hasil rapat kajian efektivitas sistem manajemen 12
Prosiding PPI Standardisasi 2010 –Jakarta, 11 November 2010
sekolah, telah dilakukan oleh 51%, sering 30%, kadang-kadang dan jarang masingmasing oleh 8%, dan ada 3% sekolah yang tidak pernah melakukannya. (gambar 5.6). Bila ada perubahan kebijakan di sekolah, maka perubahan tersebut selalu dicatat secara sistematis oleh 53% sekolah, sering dilakukan oleh 31% sekolah, kadang-kadang dilakukan oleh 11% dan jarang dilakukan oleh 6% sekolah (gambar 5.7).
51% Selalu Sering Kadang-Kadang
Selalu Sering Kadang-Kadang
53%
Jarang Tidak Pernah
Jarang Tidak Pernah
3% 8%
6%
8%
30%
11% 31%
Gb. 5.6: Catatan Rapat
Gb. 5.7: Catatan Perubahan
5.3 Manajemen Sumber Daya Pendidikan Sekolah mengadministrasikan seluruh proses belajar mengajar di sekolah, secara efektif (gambar 5.8), telah selalu dilakukan oleh 51% sekolah, sering 43% sekolah, dan kadang-kadang oleh 5% sekolah. Pencatatan atas hasil pantauan proses belajar-mengajar secara rutin (gambar 5.9), telah selalu dilakukan oleh 38% sekolah, sering dilakukan oleh 49% sekolah, kadang-kadang oleh 11% sekolah, dan jarang dilakukan oleh 3% sekolah.
Selalu Sering
51%
Selalu Sering
38%
Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah
Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah
3%
5% 49%
11%
43%
Gb. 5.8: Administrasi Prosesi
Gb. 5.9: Catatan Pantauan Proses
Penilaian atas setiap proses belajar-mengajar yang ada, dan menerapkan perubahan saat diperlukan (gambar 5.10), telah selalu dilakukan oleh 41% sekolah, sering dilakukan oleh 41% sekolah, kadang-kadang oleh 16% sekolah, jarang dilakukan 13
oleh 3% sekolah. Atas pernyataan “Sekolah mengurangi kegiatan-kegiatan yang tidak/kurang bermanfaat” (gambar 5.11), dijawab bahwa telah selalu dilakukan oleh 54% sekolah, sering dilakukan oleh 24% sekolah, dan kadang-kadang oleh 22% sekolah.
Selalu Sering
41%
Selalu Sering
54%
Kadang-Kadang
Kadang-Kadang
Jarang Tidak Pernah
Jarang Tidak Pernah
3% 41%
16%
22%
24%
Gb. 5.10: Penilaian Proses
Gb. 5.11: Kurangi Kegiatan
5.4 Realisasi Jasa Pendidikan Pencatatan atas bukti adanya peningkatan kinerja sekolah secara rutin (gambar 5.12), telah selalu dilakukan oleh 22% sekolah, sering dilakukan oleh 51% sekolah, kadangkadang oleh 19% sekolah, dan jarang dilakukan oleh 8% sekolah. Catatan/dokumentasi tentang usaha-usaha untuk meningkatan strategi belajarmengajar yang lebih efektif (gambar 5.13), telah selalu dilakukan oleh 38% sekolah, sering dilakukan oleh 41% sekolah, kadang-kadang oleh 16% sekolah, dan jarang dilakukan oleh 5% sekolah.
22% 51%
Selalu Sering Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah
Selalu Sering Kadang-Kadang
38%
Jarang Tidak Pernah
5%
8% 41%
19%
Gb. 5.12: Catat Peningkatan Kinerja
16%
Gb. 5.13: Dokumentasikan Strategi
Pernyataan apakah “Manajemen sekolah merencanakan dan mengatur seluruh sarana dan prasarana sekolah untuk meningkatkan proses belajar-mengajar (gambar 5.14), dijawab bahwa telah selalu dilakukan oleh 51% sekolah, sering dilakukan oleh 38% sekolah, kadang-kadang oleh 5% sekolah, serta jarang dan tidak pernah dilakukan 14
Prosiding PPI Standardisasi 2010 –Jakarta, 11 November 2010
oleh masing-masing 3% sekolah. Ketrampilan para guru dan tenaga pendidikan sesuai dengan yang diharapkan sekolah dan para guru dan tenaga kependidikan memahami tanggung jawab yang dibebankan (gambar 5.15), dinyatakan bahwa telah selalu dilakukan oleh 46% sekolah, sering dilakukan oleh 43% sekolah, dan kadang-kadang oleh 11% sekolah.
Selalu Sering Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah
51%
Selalu Sering Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah
46%
3% 3% 5%
11% 43%
38%
Gb. 5.14: Pengaturan Sarpras
Gb. 5.15: Ketrampilan Guru
Penetapan tujuan untuk meraih kesempatan masa depan dalam mempertahankan lingkungan pembelajaran yang baik (gambar 5.16), telah selalu dilakukan oleh 51% sekolah, sering dilakukan oleh 38% sekolah, kadang-kadang oleh 5% sekolah, dan jarang serta tidak pernah dilakukan oleh masing-masing 3% sekolah. Kegiatan untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan para guru dan tenaga kependidikan di sekolah (gambar 5.17), telah selalu dilakukan oleh 46% sekolah, sering dilakukan oleh 43% sekolah, dan kadang-kadang oleh 11% sekolah.
Selalu Sering Kadang-Kadang
51%
Selalu Sering Kadang -Kadang
46%
Jarang Tidak Pernah
Jarang Tidak Pernah
3% 3% 5% 38%
Gb. 5.16: Lingkungan Belajar
11% 43%
Gb. 5.17: Kegiatan Kepemimpinan
5.5 Pengukuran, Analisis dan Peningkatan Mutu Pendidikan Pengukuran kepuasan orang tua/wali murid dan masyarakat atas pelayanan sekolah melalui angket/kuesioner (gambar 5.18), telah selalu dilakukan oleh hanya 3% sekolah, sering dilakukan oleh 30% sekolah, kadang-kadang dilakukan oleh 30% sekolah, jarang dilakukan oleh 27% sekolah, dan tidak pernah dilakukan oleh 11% sekolah. 15
Penyediaan informasi secara rutin tentang sekolah dan kegiatan-kegiatannya kepada masyarakat melalui sarana buletin, website atau sejenisnya (gambar 5.19), telah selalu dilakukan baru oleh 14% sekolah, sering dilakukan oleh 32% sekolah, kadangkadang dilakukan oleh 14% sekolah, jarang dilakukan oleh 22% sekolah, dan tidak pernah dilakukan oleh 19% sekolah. Di era informasi saat ini, sekolah selayaknya menyediakan informasi tentang kegiatan-kegiatan sekolah untuk para orang tua/wali murid dan masyarakat, agar peran serta dan tanggung jawab mereka dalam pendidikan dapat dikomunikasikan dengan lebih baik.
Selalu Sering
30%
32%
Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah
30%
14%
3%
Selalu Sering Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah
14%
11%
19%
27%
22%
Gb. 5.18: Mengukur Kepuasan
Gb. 5.19: Penyediaan Informasi
Sekolah mempunyai catatan atas keluhan, saran dan masukan orang tua/wali murid dan masyarakat (gambar 5.20), telah selalu dilakukan oleh 24% sekolah, sering dilakukan oleh 30% sekolah, kadang-kadang dilakukan oleh 30% sekolah, jarang dilakukan oleh 14% sekolah, dan tidak pernah dilakukan oleh 3% sekolah. Pencatatan atas rencana tindakan untuk mengatasi keluhan, saran dan masukan orang tua/wali murid dan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan mereka (gambar 5.21), telah selalu dilakukan oleh 27% sekolah, sering dilakukan oleh 38% sekolah, kadang-kadang dilakukan oleh 27% sekolah, jarang dilakukan oleh 5% sekolah, dan tidak pernah dilakukan oleh 3% sekolah.
Selalu Sering
Selalu Sering
24%
30%
Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah
27%
Kadang-Kadang Jarang Tidak Pernah
38%
3% 5%
3% 14% 30%
Gb. 5.20: Catatan Keluhan
16
27%
Gb. 5.21: Rencana Tindakan
Prosiding PPI Standardisasi 2010 –Jakarta, 11 November 2010
VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan uraian masalah, landasan teori, potret kondisi manajemen mutu sekolah di Kota Depok dan analisisnya, maka dari hasil kajian ini dapat diambil kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut. 6.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas maka dapat penulis disimpulkan sebagai berikut : 1. Berdasarkan rendahnya mutu SDM pada era otonomi daerah dan menyongsong era global, maka perlu bagi pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional. Dalam perbaikan mutu pendidikan tersebut manajemen mutu yang diadaptasi dari Total Quality Management yang ada Industri Modern, layak untuk diadaptasi dalam Manajemen Pendidikan di sekolah, juga di Pemerintah Kota/Kabupaten c.q. Dinas Pendidikan. Pada prinsipnya manajemen mutu ini berbasis sekolah memberdayakan semua komponen sekolah, dan sekolah sebagai unit produksi yang melayani siswa, orang tua, pihak pemakai/penerima lulusan, dan guru/karyawan. 2. Hasil survei atas mutu manajemen sekolah di Kota Depok berdasarkan 5 klausul pemeriksaan ISO/IWA-2, yang meliputi sistem manajemen sekolah, tanggung jawab manajemen sekolah, manajemen sumber daya pendidikan, realisasi jasa pendidikan dan pengukuran, analisis dan peningkatan mutu pendidikan, adalah sebagai berikut: a. Manajemen Mutu Pendidikan/Sekolah di Kota Depok yang meliputi klausul sistem manajemen sekolah, tanggung jawab manajemen sekolah, manajemen sumber daya pendidikan, dan realisasi jasa pendidikan menunjukkan hasil yang sudah cukup baik (di atas 75%); b. Manajemen Mutu Pendidikan/Sekolah di Kota Depok untuk klausul pengukuran, analisis dan peningkatan mutu pendidikan hasil surveinya memperlihatkan masih belum baik (di bawah 50%). 6.2 Rekomendasi Dari kesimpulan tersebut di atas, maka hal-hal yang perlu Pemerintah Kota Depok c.q. Dinas Pendidikan adalah sebagai berikut : 1. Manajemen Peningkatan Mutu yang sering diseminarkan dan dikenalkan pada dunia pendidikan, ternyata banyak warga sekolah terutama guru yang belum tahu, kenal, dan memahaminya. Kebanyakan hanya diketahui oleh kepala sekolah, dan calon kepala sekolah. Disarankan agar hal ini disebarluaskan dan betul-betul bisa dilaksanakan di sekolah-sekolah. 2. Perlu ditingkatkan etos kerja, motivasi, kerjasama tim, moral kerja yang baik, punya 17
rasa memiliki, mau bekerja keras agar Manajemen Mutu Pendidikan dapat terlaksana secara optimal sehingga mampu menghasilkan Mutu SDM. Di samping itu diperlukan seorang kepala sekolah yang berjiwa pemimpin dengan visi yang baik. 3. Sosialisasi delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) perlu lebih ditingkatkan frekuensinya oleh Pemerintah Kota Depok c.q. Dinas Pendidikan. 4. Seminar dan workshop mengenai delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) perlu lebih dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok c.q. Dinas Pendidikan dan ditujukan kepada pegawai Dinas Pendidikan, Pengawas Sekolah, Kepala Sekolah dan Perwakilan Guru/Tenaga Pendidik. VII
DAFTAR PUSTAKA
1.
Bafadal, I. 2006. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar. Bumi Aksara. Depdiknas. 2008. Monitoring Pelaksanaan Dan Akreditasi Sekolah. Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan, Direktorat Tenaga Kependidikan. Depdiknas. 2007. Panduan Pembinaan Sekolah Standar Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pembinaan SMP. ISO 9001:2000. 2000. Quality Management System –Requirements. Swiss. ISO/IWA 2:2007. 2007. Guidellines for Implementation of ISO 9001:2000 in Education. Swiss. ISO 9001:2008. 2008. Quality Management System –Requirements. Swiss. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Permendiknas Nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas Sekolah. Permendiknas nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Kepala Sekolah/Madrasah. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Permendiknas Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan Sallis, E. 2006. Total Quality Management in Education. Manajemen Mutu Pendidikan. IRCiSoD. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Yunus, F. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan.
2.
3.
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 18