25
IV PEMBAHASAN
4.1
Keadaan Umum Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi adalah rumah potong hewan
yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun 2009. RPH kota Bekasi merupakan rumah potong dengan sistem padat karya dengan peralatan yang modern, sehingga produk yang dihasilkan tetap terjaga kualitasnya. RPH kota Bekasi merupakam RPH yang telah memenuhi standar pemotongan ternak ruminansia besar. Pemotongan ternak di RPH kota Bekasi sangat memperhatikan kualitas dan berbasis pada Animal Welfare. RPH kota Bekasi memiliki standar manajemen mutu yang ketat sehingga produk yang dihasilkan memiliki mutu yang baik. RPH kota Bekasi menerima suplai sapi dari berbagai perusahaan penggemukan yang ada di Pulau Jawa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah Bekasi. Khusus Sapi Bali, RPH kota Bekasi menerima suplai dari Pulau Bali.
Pemotongan di RPH kota Bekasi dibagi menjadi dua, yaitu dengan
pemingsanan dan tanpa pemingsanan. Pemotongan dengan cara pemingsanaan ternak menggunakan stunning gun. Pemotongan dengan cara pemingsanan digunakan untuk sapi ACC. Pemotongan tanpa pemingsanan biasanya dilakukan pada sapi lokal, untuk di RPH Kota Bekasi hanya ada Sapi Bali. RPH Kota Bekasi memiliki 9 tempat pemotongan sehingga proses pemotongan dapat dilakukan dangan cepat. Tata letak ruang dan standar prosedur pada RPH telah distandarisasi sehingga memudahkan dalam kontrol mutu. Alur pemotongan di RPH kota Bekasi dimulai dari proses pemeriksaan antemortem
26
pada ternak, dilanjutkan dengan penimbangan bobot potong, pemingsanan ternak untuk sapi ACC sedangkan untuk Sapi Bali tanpa pemingsanan, pemotongan, pengeluaran darah, pengulitan dan pengeluaran jeroan, pemeriksaan post mortem, penimbangan karkas, pembagian karkas menjadi empat bagian, perecahan karkas, dan diakhiri dengan proses pengiriman karkas segar ke pasar yang ditentukan. 4.2
Lebar Dada, Lebar Kelangkang, dan Persentase Karas
4.2.1
Lebar Dada Berdasarkan pengukuran lebar dada yang dilakukan peneliti terhadap sapi
Bali jantan, diperoleh nilai berupa rata-rata, simpangan baku dan koefisien variasi yang ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 Deskripsi Data Lebar Dada Sapi Bali No
Statistik
Nilai
1.
Rata-rata (cm)
30,87
2.
Simpangan Baku (cm)
2,76
3.
Koefisien Variasi (%)
8,94
Berdasarkan hasil Tabel 1 diatas, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata lebar dada sapi Bali yang diteliti oleh penulis sebesar 30,87 ± 2,76 cm. Koefisien variasi pada lebar dada Sapi Bali yang penulis teliti sebesar 8,94%, sehingga bisa dikatakan seragam. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasution (1992), yaitu jika nilai koefisien variasi dibawah 15%, maka bisa disebut seragam. Nilai rata-rata lebar dada sapi Bali yang penulis teliti lebih besar bila dibandingkan dengan penelitian Pane (1991), yaitu sebesar 29,75 cm, namun lebih kecil bila dibandingan dengan penelitian Kadarsih (2003), sebesar 37,87 cm. Hal
27
ini dapat disebabkan karena ukuran lebar dada sapi Bali yang penulis teliti mempunyai ukuran yang bervariasi dan juga umur Sapi Bali yang berbeda, sehingga terdapat perbedaan tulang dari sapi Bali tersebut. Selain itu, dapat juga dikarenakan faktor pemeliharan pada saat sapi Bali dipelihara oleh peternak lokal, seperti jenis pakan yang diberikan. 4.2.2
Lebar Kelangkang Berdasarkan hasil penelitian terhadap Sapi Bali jantan, diperoleh nilai
berupa rata-rata, simpangan baku dan koefisien variasi lebar kelangkang yang ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Deskripsi Data Lebar Kelangkang Sapi Bali
No Statistik
Nilai
1.
Rata-rata (cm)
38,45
2.
Simpangan Baku (cm)
1,73
3.
Koefisien Variasi (%)
4,52
Berdasarkan hasil Tabel 2 diatas, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata lebar kelangkang sapi Bali yang diteliti oleh penulis sebesar 38,45 ± 1,73 cm. Koefisien pada lebar kelangkang sapi Bali yang penulis teliti sebesar 4,52%, sehingga bisa dikatakan seragam. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasution (1992), yaitu jika nilai koefisien variasi dibawah 15%, maka bisa disebut seragam.
Nilai rata-rata lebar kelangkang sapi Bali yang penulis teliti lebih besar bila dibandingkan dengan penelitian Kadarsih (2003), sebesar 37,78 cm.
28
Perbedaan lebar kelangkang sapi bali ini dapat disebabkan oleh sistem manajemen (pengelolaan) yang dipakai, tingkat nutrisi pakan yang tersedia, kesehatan dari ternak tersebut dan iklim (Santoso, 2008). 4.2.3
Persentase Karkas Berdasarkan hasil peesentase karkas yang dilakukan peneliti terhadap Sapi
Bali jantan, diper oleh data berupa rata-rata, simpangan baku dan koefisien variasi yang ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Deskripsi Persentase Karkas Sapi Bali No Statistik
Nilai
1.
Rata-rata (%)
52,58
2.
Simpangan Baku (%)
2,12
3.
Koefisien Variasi (%)
4,04
Berdasarkan Tabel 3, bahwa rata-rata persentase karkas Sapi Bali jantan sebesar 52,5 % dengan simpangan baku sebesar 2,1 %, sehingga dapat diketahui rataan lebar kelangkang Sapi Bali sebesar 52,5% ± 2,1 %. Persentase karkas Sapi Bali hasil pengukuran tersebut dapat dikatakan saragam dikarenakan nilai koefisien variasi sebesar 4,04 % atau dibawah 15 %. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasution (1992), bahwa bila nilai koefisien variasi dibawah 15% dapat dikatakan seragam. Persentase karkas Sapi Bali yang penulis teliti lebih kecil dari dari pada persentase karkas Sapi Bali hasil penelitian Yosita dkk., (2011), yaitu sebesar 53,26%. Pendapat yang dikemukakan oleh Hafid dan Rugayah (2009), yaitu persentase karkas Sapi bali dapat mencapai angka 53-55%.
Hal ini dapat
29
dikarenakan Sapi Bali yang penulis teliti memiliki bobot potong yang beragam sehingga rata-rata persentase karkas yang dihasilkan lebih kecil. Faktor lain yang dapat menyebabkan persentase karkas Sapi Bali yang penulis teliti lebih kecil dari peneliti lainnya adalah karena pemeliharaan saat didaerah asalnya, fakor yang dimaksud manajemen pemeliharaan seperti pemberian pakan atau jenis pakan dan penggunaan bakalan yang lebih baik potensi perdagingannya sehingga menghasilkan persentase karkas yang lebih tinggi. 4.3
Hubungan Lebar Dada, Lebar Kelangkang, dan Persentase Karkas Berikut hasil analisis korelasi Hubungan Lebar Dada dan Lebar
Kelamgkang dengan Persentase Karkas. Tabel 4. Hubungan korelasi antara lebar dada dan lebar kelangkang dengan persentase karkas.
Variabel
Nilai Korelasi
Signifikan
Lebar Dada
-0,036
Tidak Sig
Lebar Kelangkang
0,402
Sig
Bahwa nilai korelasi lebar dada dengan persentase karkas diperoleh nilai sebesar -0,036. Sedangkan nilai korelasi lebar kelangkang dengan persentase karkas sebesar 0,402. Dengan demikian adanya nilai korelasi lebar kelangkang dengan persentase karkas tetapi rendah, sesuai dengan Hasan (2003) bahwa nilai krelasi ≤ 0,70 maka nilai korelasi rendah. Nilai ini menunjukan bahwa tidak ada nilai korelasi antara lebar dada dengan persentase karkas dan korelasi yang rendah antara lebar kelangkang
30
dengan persentase karkas. Hal ini juga disebabkan oleh pertumbuhan tulang dada yang tumbuh lambat dari pertulangan lainnya. Sesuai dengan Tillman (1986) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan tubuh dimulai dari bagian depan (kepala) bergerak ke bagian belakang tubuh dan bagian tubuh yang lain mulai dari ujung kaki menyebar keatas. Kedua pertumbuhan ini bertemu pada bagian tengah tubuh yang disebut dengan pertumbuhan “ Antero-posterior dan centripetal”. Menurut (Field, 2007) ukuran kerangka dapat menjadi suatu acuan dalam memperlihatkan pertumbuhan ternak, pertumbuhan ukuran tubuh meliputi jaringan lemak, otot dan tulang. Ukuran kerangka tubuh yang semakin besar maka bobot
potong akan semakin berat (P<0.05). Perbedaan kerangka tersebut
dikarenakan adanya pengaruh genetik (Firdausi, dkk. 2012). Anggorodi (1979) menjelaskan bahwa semua bagian dari tubuh hewan tumbuh secara teratur, meskipun demikian tubuh tidak tumbuh secara kesatuan, karena berbagai jaringan tubuh tumbuh dengan laju yang berbeda dari lahir sampai dewasa Genetik berpengaruh terhadap komposisi tubuh dan karkas diantara bangsa ternak, terutama disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa atau perbedaan berat saat dewasa (Soeparno, 2006). Perbandingan komposisi karkas antara bangsa tipe besar dan kecil berdasarkan berat yang sama, maka tipe besar akan lebih berdaging, proporsi tulang lebih tinggi, dan lemak lebih rendah dari pada bangsa tipe kecil (Williams, 1982 dalam Soeparno 2006). Perbedaan ini disebabkan karena pada berat yang sama secara fisiologis ternak tipe besar lebih muda. Sapi Bali merupakan sapi tipe kecil yang memiliki bobot badan yang lebih rendah dari sapi yang bertipe besar pada umur yang sama sehingga karakteristik karkas yang dihasilkan dapat berbeda, sehingga dalam pendugaan persentase karkas harus memperhatikan bangsa sapi yang akan diduga persentase karkasnya.
31
4.4
Model Penduga Persentase Karkas terhadap Lebar Dada dan Lebar Kelangkang Berdasarkan hasil Uji Stepwise Analysis, parameter yang berpengaruh
dalam menduga persentase karkas adalah lebar kelangkang dengan persamaan linier dengan PK= 33,726+0,490 LK. PK = Persentase Karkas. LK = Lebar Kelangkang. Model penduga menggunakan lebar kelangkang dapat digunakan, akan tetapi tidak akurat, karena koefisien determinasi yang rendah sebesar 0,161 atau 16,1 %. Rendahnya koefisien determinasi yang dihasilkan oleh model tersebut dapat disebabkan karena persentase karkas sangat dipengruhi oleh banyak hal. Faktor yang mempengaruhi persetase karkas diantaranya genetik, jenis kelamin, pakan, dan umur (Soeparna, 2006). Persentase karkas juga dapat dipengaruhi oleh organ visceral (Boggs dan Merkel, 1993). Sapi dengan kerangka tubuh yang lebih besar mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan kerangka tubuh sedang dan kecil sehingga produktivitas karkas yang dihasilkan tinggi. Hal tersebut sesuai dengan Firdausi dkk, (2012) yaitu sapi bertipe besar memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang bertipe sedang.