LITERASI
ISSN : 2088-3307
LITERASI
Jurnal Ilmu-Ilmu Humaniora
Aduan Sapi di Bondowoso Antara Tradisi, Judi, dan Politik Bambang Samsu Halaman 113 - 124 Lembaga Perkreditan Masa Kolonial Haryono Rinardi Halaman 125 - 138 Desain Inovatif Keramik Kasongan Memasuki Persaingan Pasar Global Rusnoto Susanto Halaman 139 - 149
Volume 2, Nomor 2, Desember 2012: 113 -242
Fakultas Sastra Universitas Jember Jl. Kalimantan 37 Kampus Bumi Tegalboto Telepon (0331) 337188, Faksimile (0331) 332738, Jember 68121 Pos-el:
[email protected]
Konsep Sakti dalam Lakon Sawitri: Analisis Pertunjukan Wayang Ki Nartosabdo Retno Dwi Intarti Halaman 150 - 162 Struktur Cerita Minak Jinggo dalam Teater Rakyat Janger Banyuwangi Jawa Barat Mohammad Ilham Halaman 163 - 180
Pemikiran Politik Islam Mustofa Bisri dalam Puisi: Perspektif Hermeneutika Kerohanian Erfi Firmansyah Halaman 181 - 197 Ayat-Ayat Cinta: Hegemoni, Subjektivitasi dan Budaya Massa Ramayda Akmal Halaman 198 - 209 The Man Character's Personality Change as Reflected in Defoe's Robinson Crusoe Imam Basuki Halaman 210 - 217 Batik Kayu Krebet Yogyakarta: Kajian Estetika dan Fungsi Aruman Halaman 218 - 231
LITERASI Volume 2 Nomor 2 Halaman Jember Jurnal Ilmu-Ilmu Humaniora 113 - 242 Desember 2012
ISSN 2088-3307
Volume 2, No. 2, Edisi Desember 2012
email
Mitra Bestari: Ida Bagus Putra Manuaba (UNAIR ), Sudartomo Macaryus (UST), Ali Imron Al-Ma'ruf (UMS)
(eds).
L
P Thesis
EDITORIAL
S
aat ini industri kreatif merupakan salah satu tema atau konsep yang paling banyak diperbincangkan di kalangan akademisi maupun pembuat kebijakan. Ketika peningkatan industri dan ekonomi berbasis sumberdaya alam semakin mendapat tantangan karena keterbatasan bahan, industri kreatif ber basis pengetahuan dan talenta kreatif menjadi pilihan paling masuk akal untuk menggerakkan ekonomi. Ketika industri budaya bermodal raksasa dianggap kurang bisa memeratakan keuntungan finansial bagi masyarakat, industri kreatif dipandang sebagai bentuk aktivitas yang dapat mendorong pemerataan ekonomi bagi setiap individu atau komunitas yang memiliki kreativitas. Tujuan utama dari kebijakan industri kreatif adalah tercipta nya ekonomi kreatif (creative economy) atau ekonomi-berbasis-pengetahuan (knowledgebased-economy) berlandaskan pada penge tahuan, kemampuan, dan talenta kreatif warga negara yang dapat menyejahterakan serta menciptakan peluang-peluang baru pekerjaan (Flew, 2002). Industri kreatif dipandang semakin penting dalam mendukung kesejahteraan dalam per ekonomian, berbagai pihak berpendapat bahwa kreativitas manusia adalah sumber daya ekonomi utama. Pemerintah mencanangkan tahun 2009 sebagai Tahun Industri Kreatif yang menem patkan seni pertunjukan, termasuk tradisi lisan yang ada di dalam pertunjukan menjadi salah satu prioritas yang akan dikembangkan agar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat pendukungnya. Tujuan tersebut representatif, karena masyarakat Indonesia memiliki beragam seni pertunjukan dan sastra lokal yang apabila dikelola dengan baik
dapat menjadi penopang munculnya ekonomi kreatif. Sastra lokal dan seni pertunjukan sebenar nya bisa menjadi penopang pengembangan industri kreatif. Perlu diciptakan perangkat yang mampu membuat kebijakan yang men dukung terciptanya pola pikir, sistem, dan praktik industri kreatif berbasis lokalitas dan tetap mengedepankan karakteristik nilai-nilai kultural yang ada. Mitologi yang masih hidup di masyarakat Tengger, misalnya. Mereka merasa sebagai keturunan langsung dan pengikut pemimpin mereka Roro Anteng dan Joko Seger. Kesadaran tersebut, berpotensi sebagai peng ikat terjalinnya kohesivitas secara horisontal dan vertikal berupa kepatuhan terhadap pemimpin agama mereka dan memungkinkan terwujudnya hidup rukun, damai, dan saling mengasihi. Tantangan yang dihadapi Roro Anteng ketika harus mengatasi pinangan dari raksasa memungkinkan masyarakat memiliki etos kerja keras dalam mengatasi aneka tantangan dan kesulitan. Hal yang sama dapat dikembangkan dalam Legenda Sri Tanjung berisi kisah asalusul nama kota Banyuwangi. Raja kerajaan Sindureja yang bernama Sidareja merasa iri dengan Patih Sidapeksa yang memiliki istri cantik bernama Si Tanjung. Dengan liciknya, raja berusaha menyingkirkan patihnya dengan cara mencari tumbal berupa tiga lingkaran emas dan tiga gulung janggut putih. Sang raja yakin patihnya tidak akan selamat. Saat itulah Raja Sindureja mulai merayu Sri Tanjung. Tanpa diduga, Patih Sidapeksa berhasil menunaikan tugas de ngan selamat dan membawa pulang tumbal yang diinginkan Raja. Akan tetapi, sang patih kecewa karena mendapatkan kabar dari Raja bahwa istrinya berselingkuh dengan para
iii
Vol. 2, No. 2, Desember 2012
pengawal istana. Sang patih marah dan berusaha membunuh istrinya. Sri Tanjung bersedia dibunuh dengan catatan apabila air yang terpecik dari darahnya berbau busuk berarti dirinya salah, sebaliknya apabila berbau harum berarti dirinya masih suci. Akhirnya, air (banyu) yang terpecik darahnya berbau harum (wangi) sehingga menjadi Banyuwangi. Melalui legenda Sri Tanjung, perempuan dibentuk sebagai perempuan melalui inter aksi kompleks antara kelas dan budaya atau kerangka ideologi yang lain. Tokoh Sri Tanjung menjadi “perempuan” tidak hanya sekedar atas dasar kebijakan budaya dan sistem kelas tertentu, melainkan perbandingan lintas budaya Jawa dan Using yang reduktif yang berimplikasi pada kolonisasi terhadap kompleksitas kepentingan politik yang dire presentasikan oleh perempuan dari budaya dan kelas sosial yang berbeda. Mitologi tersebut dan yang lain juga ber potensi untuk dikembangkan menjadi bahan pengembangan industri kreatif seperti buku cerita, novel, cerpen, lagu, drama, sandiwara, game, dan aneka bentuk cendera mata. Di Indonesia, industri kreatif berpotensi menopang peningkatan ekonomi regional maupun nasional. Pemerintah berani menar getkan kontribusi industri kreatif terhadap ekonomi nasional pada tahun 2015 mencapai 8 persen. Harapan tersebut disampaikan Wapres Budiono yang mengatakan, “Maka, kami berharap semua lini akan memperkuat komitmen mereka untuk mempromosikan industri kreatif. Pemerintah akan selalu men coba untuk menciptakan iklim bisnis yang kondusif, namun lebih penting lagi, para pelaku industri harus melanjutkan pengembangan kreativitas mereka sehingga produk mereka bisa berkompetisi”. Hal tersebut diperkuat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjelaskan bahwa selain meningkatkan kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi yang lahir dari aktivitas-aktivitas ekonomi kreatif menjadi sarana yang menarik untuk memper kaya nilai-nilai kultural bangsa. iv
Dalam hal sumber daya manusia, Indo nesia memiliki kreator-kreator dalam bidang industri media (film, televisi, surat kabar, maupun periklanan), sastra, pertunjukan, dan kriya. Meskipun pemerintah pusat sudah membuat kebijakan terkait industri kreatif, aplikasinya di daerah belum seperti yang diharapkan. Pemerintah daerah belum bisa menciptakan kebijakan yang jelas dan terarah terkait pengembangan dan pemberdayaan industri kreatif, meskipun sumber daya manusia kreatif dan bahan mentah tersedia dalam jumlah yang melimpah. Hal itu disebabkan penentu kebijakan dan para kreator belum bersinergi secara optimal. Khusus di Banyuwangi sejak tahun 1980-an sudah berkembang industri kreatif, tetapi yang lebih menonjol adalah industri rekaman musik Banyuwangen. Kondisi tersebut berlanjut hingga saat ini. Kalaupun ada usaha para produser untuk merekam dan mengedarkan seni pertunjukan berbasis tari dan drama, seperti gandrung dan janger, formula yang dipakai tetap mengikuti formula musik yang serba ringkas. Akibatnya, kekayaan seni per tunjukan Banyuwangen beserta makna-makna kultural di dalamnya menjadi kurang me nonjol. Selain itu, secara finansial para pelaku seni pertunjukan juga kurang mendapatkan keuntungan maksimal, karena produser mem peroleh prosentase yang lebih banyak. Selain itu, para pelaku seni tradisi cenderung menjadi pihak yang lemah ketika berhadapan dengan pemodal. Mereka melakukan rekaman seperti tanggapan. Oleh karena itu, ketika jumlah rekaman mengalami booming mereka tidak mendapatkan kompensasi secara proporsional dalam bentuk royalti. Sebagai sebuah produk, budaya baru me rupakan bentuk perpaduan dan harmonisasi yang diciptakan melalui kebijakan pemerintah dan kapital dalam mempertemukan modernitas dan lokalitas dalam ruang negosiasi yang terus-menerus. Patut untuk direnungkan! Redaksi
LITERASI No. 2, Desember 2012
Volume 2
Halaman 232 - 238
KEBERANIAN MENYISIR SEJARAH DAN KEBUDAYAAN INDONESIA DALAM BENTANG TIMUR-BARAT Dien Vidia Rosa Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Jember
[email protected]
Judul buku
: Saling Silang Indonesia-Eropa: Dari Diktator, Musik, hingga Bahasa Penulis : Joss Wibisono Penerbit : Marjin Kiri Tahun terbit/Hlm : Cetakan Pertama, 2012; i-xiv + 228 halaman A. Pendahuluan Mengamati sekaligus menelusuri kebu dayaan dan kehidupan Indonesia dalam sejarah yang telah tertulis adalah suatu bentuk penikmatan wawasan yang meng gugah selera berkebangsaan. Paling tidak, hal tersebut merupakan refleksi atas pemahaman seberapa jauh persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia diupayakan penge nalannya dalam bentuk potongan-potongan sejarah yang ternyata sangat terpendam, tersembunyi, dan terselip di antara relungrelung pembacaan sejarah yang dihantarkan oleh kekuasaan dominan. Identitas keIndonesia-an yang selama ini banyak meng alami ujian terwicarakan pada momen
232
pembongkaran sejarah dan kebudayaan Indonesia masa silam, terutama saat pemba caan sejarah mampu menanggalkan dan melampaui paradoksnya untuk melangkah pada bentuk pemahaman baru. Keragaman bidang yang didiskusikan Joss Wibisono: musik, bahasa, sejarah, dan politik adalah serangkaian usaha mempertemukan sekaligus mempertautkan keterkaitan budaya lokal dengan pentas nasional melalui narasi global. Suatu langkah yang cukup cerdas dan berani untuk mengajak pembaca mengarungi ratusan kilometer pencarian terhadap saling semai benih-benih kebudayaan antara Timur dan Barat. Pada titik ini, argumentasi yang ditonjolkan dalam setiap eseinya bergerak pada konteks penelusuran sejarah secara kritis-
Keberanian Menyisir Sejarah dan Kebudayaan Indonesia dalam Bentang Timur-Barat
Dien Vidia Rosa
imajinatif untuk membalikkan wacana yang sebelumnya pernah atau belum pernah diha dapi pembaca. Misalnya, dalam membicara kan bahasa, Joss Wibisono mengemukakan sejarah ejaan bahasa yang dipergunakan sebelum masa kemerdekaan, sesudah, hingga ejaan orde baru yang banyak dipergunakan sampai saat ini dan mempertanyakan penge tahuan kita terhadap praktik politik yang sedang berjalan dalam penggunaan ejaan bahasa tersebut. Terlebih lagi, Joss Wibisono mempertanyakan pemikiran dan sikap kita dalam menghadapinya. B. Masuknya Unsur Gamelan dan Gending Jawa dalam Perkembangan Musik (klasik) Eropa Kebanyakan orang beranggapan bahwa musik Barat terutama Eropa klasik meru pakan seni tinggi kebanggaan aristokrat yang kelasnya sangat dibedakan dengan seni rakyat biasa. Dalam literatur juga dijelaskan bahwa musik rakyat seringkali dilihat sebagai seni popular dan seni massa yang penciptaannya berakar dari jiwa dan keseharian rakyat jelata. Pembedaan tersebut menciptakan kesenjangan yang besar dalam justifikasi musik bernilai dan berseni tinggi dengan yang rendahan. Khususnya, jika dihubungkan dengan kolonialisme Barat atas Timur. Serta merta, penjajah (Barat) akan menganggap bahwa apapun yang dihasilkan oleh daerah koloni (jajahannya) adalah rendahan dan tidak bermutu. Persoalan tersebut begitu menarik bagi Joss Wibisono. Ada “jasa” Belanda atas kolonialismenya di Indonesia yang mampu mengubah tatanan sejarah musik Eropa. Sejak diperkenalkan dalam l’Exposition Universelle 1
(Pameran Semesta) yang diselenggarakan di Paris tahun 1889 dalam rangka perayaan 100 tahun Revolusi Perancis, gamelan memikat seorang komponis Perancis, Claude Debussy. Sebagai komponis yang sedang beranjak dari Romantisme Eropa dan melakukan pencarian, Debussy akhirnya menetapkan pilihan pada pentatonis gamelan dan merintis musik impresionisnya. Dalam melihat pengaruh gamelan pada perkembangan musik melalui komponiskomponis Barat dan Eropa, secara spesifik, Joss Wibisono sedang mendiskursuskan posisi gamelan dan komponis-komponis indisch yang sangat berperan dalam penggubahan musik untuk melihat keterkaitan budaya lokal Indonesia dengan musik Barat. Joss Wibisono melihat masuknya nada gamelan Sunda, Jawa, dan Bali dalam gubahan musik komponis Eropa dan indisch sebagai bagian terpenting perjalanan musik lokal yang mewarnai selera Barat terhadap musik. Dalam membentuk alur perjalanan gamelan dan gending Sunda, Jawa, dan Bali pada opera-opera gubahan yang dipentaskan di Eropa, Joss Wibisono dengan cermat menunjukkan pengaruh budaya lokal yang filosofis dan sarat makna kehidupan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan turut mewarnai karya komponis-komponis tersebut. Selain Claude Debussy yang tersihir oleh eksotika gamelan Sunda Sari Oneng dan sukses menggubah Estampes pada tahun 1903, Francis Poulenc yang berbeda generasi terpesona pada gamelan Bali dan memperkenalkannya pada Benjamin Britten melalui Colin McPhee. Masih banyak komponis lain yang kemudian tertarik mendalami dan menggunakan nada gamelan dalam gubahan musiknya. Termasuk
Indisch atau dalam ejaan yang lain Indis adalah orang Indo, keturunan Indonesia (dulu bernama Hindia Belanda)-Belanda atau peranakan campuran Indonesia-Belanda yang kemudian membentuk segmen dan kebudayaan sendiri dalam masyarakat Indonesia atau Hindia Belanda pada saat itu. Indisch mengadopsi kebudayaan Belanda dan Hindia Belanda dalam keseharian, semisal cara berpakaian, berbicara dan makan. Bentuk kebudayaan ini menjadi penting untuk melihat interseksi kebudayaan lokal dan kebudayaan Belanda. Bacaan lebih lanjut; Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi. Depok, Komunitas Bambu., dan., Rahman, Fadly. 2011. Rijsttafel - Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 18701942. Jakarta. Gramedia Putaka Utama.
233
Vol. 2, No. 2, Desember 2012
yang terpenting menurut Joss Wibisono adalah komponis Indisch sebagai mata rantai yang menghubungkan Indonesia dengan Barat dan sebagai peletak dasar musik klasik di Nusantara, yaitu pendahulu komponis Indonesia separti Cornel Simandjuntak, Amir Pasaribu, dan Tri Sutji Kamal. Sayangnya, komponis Indisch ini terlupakan karena Claude Debussy dianggap sebagai pembaharu yang lebih diutamakan dan dunia musik Belanda yang memandang rendah komponis indisch. Di antara komponis indisch ini terdapat nama-nama Constant van de Wall, Paul Seelig, Linda Bandara, dan Bernhard van den Sigtenhorst Meyer. Kelompok indisch ini terbagi menjadi dua, yaitu mereka yang mementingkan penciptaan, diwakili Constant van de Wall dan mereka yang menganggap sumber sebagai yang terpenting, diprakasai oleh Paul Seelig. Constant van de Wall yang lahir dan besar di Jawa sangat mengenal gamelan sehingga tidak hanya mengetahui tetapi juga mengenal dua tangga nada gamelan, sléndro dan pélog yang terlihat dalam karyanya Rhapsodie Javanais II. Terlihat juga pada corak gubahannya, Attima. Constant van de Wall membawa seni panggung Jawa, yaitu wayang orang. Bagi seni opera Barat yang tidak memungkinkan mempertunjukkan beberapa seni sekaligus, wayang orang dapat membawakan seni suara, seni tari, dan seni peran. Namun, Attima me nuai kritik tajam dari politikus ekstrem kanan Belanda, Geert Wilders yang anti-Islam dan menolak mengakui karya seni tersebut karena mengandung kata Allah. Bahkan dua gubahan Constant van de Wall yang lain juga menyebut kata Allah.
2
3 4
234
Dengan sejarah tersebut, Joss Wibisono membangun wacana relasi kekuasaan (politik) dan seni. Bagi beberapa teoritisi sosial, ke kuasaan merupakan kata kunci yang mampu memistifikasi atau mendemistifikasi suatu bentuk karya seni. Sedangkan, bagi sebagian yang lain, kekuasaan tersebar menyusup dalam karya seni itu sendiri, meruangkan dan mengumbar pesonanya. Pada bagian ini, Joss Wibisono mengantarkan pembacaan seni pada zaman Hitler yang diporak-porandakan dan diciptakan melalui kekuatan politik sebagai bentuk fasisme yang menyusupi alam pengetahuan masyarakatnya. Sebagai contoh pada nasib yang menimpa komponis serba bisa Ernst Krenek yang terkenal dengan musik avant-garde ekspresionis yang tidak perduli dengan tradisi gubahan musik yang harus taat pada satu tangga nada tertentu. Krenek termasuk pelopor music 12 not. Selanjutnya, ia membangun argumen yang menarik ketika menjelaskan dari semua bentang karya seni indisch yang tidak mendapatkan pengakuan sampai semua hasil karya seniman kiri yang dilenyapkan orde baru bahwa pemenang menulis dan membuat sejarahnya sendiri. Pemenang ini adalah rezim Orde Baru yang kemudian dibandingkan dengan era Dritte Reich. Terlepas bahwa Joss Wibisono ingin menggerakkan pembacaan terhadap Orde Baru ke arah perbandingan dengan fasisnya Jerman yang begitu kentara sepanjang topik-topik bahasan politik dan sejarahnya, Joss Wibisono sedang mencoba membongkar wacana praktik kekuasaan yang merendahkan pribumi yang tradisional dan berbudaya lokal.
Beberapa rujukan yang dapat dibaca terkait topik ini, di antaranya adalah Benjamin, Walter. Ed. Hannah Arendt. Trans. Harry Zohn. 1969. Illumination Essays and Reflections. Khususnya bab “The Work of Art in the Age of Mechanical Production.” New York. Schocken Books., dan bandingkan dengan, Adorno, Theodore W. 2001. The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture. New York. Routledge Classic. Maksud dari poin ini adalah seni yang terbebaskan, yang membawa bentuk dan auranya sendiri, yang memiliki kekuatan untuk melepaskan apa yang dimilikinya tanpa pernah kehilangan kekuatan itu sendiri. Dikenal juga dengan istilah twelve tones, yaitu musik pembaharu yang dibawakan oleh Schoenberg. Bacaan lebih lanjut Adorno, Thodore W. Ibid.
Keberanian Menyisir Sejarah dan Kebudayaan Indonesia dalam Bentang Timur-Barat
Dien Vidia Rosa
C. Bahasa Indonesia dalam Problematikanya Beberapa episode pembacaan Joss Wibisono dalam persoalan bahasa menjadi refleksi mendalam bagi penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan lingua franka. Sangat mendesak untuk disimak bahwa bahasa Indonesia menuai berbagai permasalahan dari kasus ejaan hingga nasio nalisme kebangsaan yang tercermin sebagai identitas negara. Pertanyaan yang cukup merisaukan untuk dijawab adalah berkaitan dengan pembakuan ejaan yang berimplikasi pada pergeseran makna yang akhirnya merujuk pada politik pembodohan massa. Persoalan tersebut dapat dikatakan cukup menantang uraiannya dan bisa menjadi berat konsekuensinya karena berhubungan dengan otoritas bahasa dan rejim penguasa. Joss Wibisono memulai uraiannya dengan menulis kutipan dua larik syair lagu Djoewita Malam dan Aryati karya Ismail Marzuki yang kemungkinan diciptakan sekitar tahun 1930-an. Kemudian disusul tiga buah pantun yang terhimpun dalam buku musik Maleische Liederen (Lagu-lagu Melajoe) karya Constant van de Wall. Pada masing-masing syair lagu dan ketiga pantun tersebut tedapat kata “toean” yang sebelumnya berarti “Anda” bukan dalam pengertian sekarang sebagai lawan kata “nyonya”. Perubahan arti atau makna kata tersebut, menurut Joss Wibisono dapat dilacak dari kata pengantar Constant van de Wall yang menyebut nama Charles Adriaan van Ophuysen, pencipta Bahasa Melayu baku yang sekarang menjadi Bahasa Indonesia. Tujuan van Ophuysen adalah melebarkan kekuasaan Belanda ke seantero Nusantara. Oleh karena itu, disusunlah bahasa yang dapat menjadi rujukan tunggal dan dibakukan dengan memanipulasi cerita bahwa bahasa tersebut merupakan bahasa Melayu tinggi (yang dimaksud adalah bahasa Melayu Riau). 5
Mengapa ini sangat penting? Pembakuan berarti pelenyapan kemajemukan bahasa dan merupakan penguasaan bahasa supaya rakyat penggunanya dapat dikuasai. Dengan demikian, melalui lembaga otoritas bahasa (sekarang Badan Bahasa) yang dianggap sebagai alat penindasan Orde Baru, kekuasaan sewenang-wenang bertekad mengendalikan bahasa karena orang berpikir dalam bahasa sehingga akan mudah terkuasai begitu bahasanya dikuasai. Merujuk pemikiran Ben Anderson tentang cita-cita untuk membebaskan bahasa dari cengkeraman kekuasaan, ejaan warisan Orde Baru, Joss Wibisono menawarkan solusi permasalahan ini dengan menawarkan otoritas yang sejalan dengan demokrasi, semacam otoritas tandingan yang mengakomodasi kemajemukan berbahasa, kebiasaan, dan bahasa keseharian. Sedangkan otoritas yang telah ada dibatasi kewenangannya dan hanya bekerja pada bidang-bidang tertentu. Pada pembahasan mengenai penggunaan bahasa dan nasionalisme, Joss Wibisono mengkritik pemakaian bahasa Inggris yang dinilai sudah berlebihan dan menjadi tolak ukur rendahnya kadar nasionalisme. Dalam eseinya, nasionalisme dilihat sebagai persoalan kewilayahan, bukan persoalan berbahasa. Konsekuensi yang muncul adalah ketidak pedulian terhadap bahasa sendiri karena dianggap lebih rendah dibandingkan dengan bahasa Inggris. Sementara itu negara-negara Eropa seperti Perancis, Jerman, dan Belanda dengan bangga menggunakan bahasa mereka sendiri, seperti yang sempat diberitakan beberapa waktu lalu, di Perancis bahwa larangan penggunaan bahasa Inggris telah diterapkan dan pengunaan Bahasa Inggris pada saat-saat tertentu telah diatur sedemikian rupa. Persoalan ini juga dilihat Joss Wibisono sebagai efek politik bahasa dan mentalitas VOC
Untuk lebih jelas dapat dibaca pada Fairclough, Norman 1989. Language and Power: Language in Social Life. New York. Longman Inc. Bandingkan dengan Pierre Bourdieu. 1991. Language and Symbolic Power, ed. and intro. John B. Thompson, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson. Cambridge. Harvard University Press.
235
Vol. 2, No. 2, Desember 2012
sebagai awal kesejarahan kolonialitas. Belanda merasa tidak perlu memaksakan bahasanya karena telah mendapati Nusantara memiliki Bahasa Melayu sebagai lingua franka dan pada beberapa daerah bahasa Belanda kalah dari bahasa Melayu atau Portugis. Selain itu Belanda memainkan peran menjadi penjajah yang baik. Belanda tidak memaksakan bahasanya agar rakyat tidak terlalu merasa terjajah. Bagi VOC lebih baik mereka yang belajar bahasa Melayu karena jauh lebih murah daripada mereka membuka sekolah atau mengajarkan bahasa Belanda yang pernah dicoba dan gagal. Ketika VOC bangkrut dan kekuasaan diambil alih pemerintah Belanda, pengajaran bahasa Belanda marak dilakukan. Ada bebe rapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu agar masyarakat tidak lagi menggunakan bahasa Portugis dan pemurnian bahasa Belanda yang telah terkontaminasi bahasa Indo yang disebut bahasa Petjook. Di samping itu, Joss Wibisono menggambarkan bahwa politik Belanda dan VOC setali tiga uang dalam arti hanya mengambil keuntungannya dan mencari biaya terendah karena tidak mau rugi. Dengan demikian, beda Belanda dan Inggris jelas sekali sebagai negara penjajah. Belanda menggunakan kolonialisme pengerukan (extract colonialism) sedangkan Inggris mengembangkan kolonialisme industri. Uraian Joss Wibisono sebagai penutup kajian bahasanya adalah mengenai EYD versus Edjaän Djadoel. Esei tersebut disajikan dalam Ejaan Suwandi dan membangun argumen atas pertanyaan bagaimana khalayak ramai Indonesia terseok-seok dalam berupaya mema hami sejarah. Masalah yang dihadapi adalah bahasa, tulisan, dan ejaan yang merupakan sumber sejarah menggunakan bahasa Melayu dan Ejaan van Ophuysen serta Suwandi. Argumen ini kembali merujuk pada pemikiran Ben Anderson tentang EYD yang harus dilupakan karena membuat generasi muda 6
236
semakin kehilangan kesejarahannya. Mereka malas bertemu buku-buku ejaan lama yang membuat sakit kepala dan aneh. Pada titik ini, otak kaum muda, menurut Ben Anderson jadi gampang dicuci oleh pemerintah dan intelektual pendukungnya. Pendapat Anderson tersebut ditegaskan kembali dalam kolom Tempo tahun 2001 yang menyatakan bahwa di belakang apa yang disebut dengan EYD –yang dipaksakan oleh pemerintah Orde Baru beserta pujangga setianya, mempunyai niat politik yang jahat. Akibat politik yang jahat tersebut, generasi muda Indonesia mengidap historical lobotomy yang diterjemahkan ‘kebuntetan sejarah’. Artinya, generasi Indonesia buta sejarah akibat tidak suka atau kesulitan membaca buku atau tulisan yang terbit dalam ejaan lama. Pembongkaran praktik politik bahasa oleh linguis Norwegia Lars Vikør, mengemukakan bahwa partimbangan pembuatan EYD kerja sama Indonesia-Malaysia hanya didasarkan kebutuhan ekonomi-praktis daripada linguistik dan dibuat lebih terbuka terhadap bahasa asing. Menurut Joss Wibisono, hal tersebut sejalan dengan politik ekonomi Orde Baru yang membuka pintu lebar-lebar bagi modal asing. Dengan kata lain, yang mengambil manfaat dan diuntungkan oleh EYD adalah Orde Baru. Selain mengganti ejaan, Orde Baru juga menjalankan politik bahasanya dengan memunculkan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apa yang kemudian meresahkan bagi Joss Wibisono adalah akibat kebuntetan sejarah, selain tidak mampu membaca tulisan dalam ejaan non-EYD, orang sudah tidak mengetahui zaman lagi. Setiap ejaan dicampur aduk, apakah semua dianggap tempo dulu atau separti yang sekarang terjadi, semua dianggap EYD. Konsekuensinya, orang tidak sadar waktu dan tidak bisa lagi membeda-bedakan ejaan bahkan ketika memublikasikan kembali karya-
Merupakan bahasa yang digunakan oleh indis tetapi kemudian penggunaannya terus menyebar, terutama di daerah Semarang yang masih menggunakan bahasa tersebut. Bahasa ini sempat menjadi bahan kajian linguistik terutama yang berkaitan dengan dengan perkembangan kata dan ejaan. Untuk bacaan lebih lanjut silahkan buka Soekiman, Djoko. Ibid.
Keberanian Menyisir Sejarah dan Kebudayaan Indonesia dalam Bentang Timur-Barat
Dien Vidia Rosa
karya lama. Hal ini yang disebut Ben Anderson sebagai melakukan anakronisme, artinya tidak lagi menempatkan karya-karya dalam urut-urutan sejarah (ejaan) yang knonologis sebagaimana layaknya dan konsekuensi yang muncul terletak dari kesejarahan yang selalu ditampilkan kekinian tanpa menghadirkan konteks sebagai penghadir atau pembentuk autentisitas teks.
pengakuan secara moral dari Belanda. Polemik-polemik tersebut melukiskan bahwa segala sesuatu dapat berubah dan akan ada perubahan. Jadi setelah Indonesia merdeka, apakah akan berhenti seperti slogan ‘NKRI harga mati’? Joss Wibisono bertanya lebih lanjut, mungkinkah untuk menghentikan perubahan?
D. Meluruskan Sejarah 350 Tahun Belanda di Indonesia
Buku Joss Wibisono mengutarakan ga gasan dengan ringan tanpa mereduksi kompleksitas issue yang ditampilakan dan kaya dalam pengartian menghantarkan pembaca pada imajinasi kritis akan cecabangan dari apa yang “biasa” dilihat sebagai kebangsaan yang ber ke-Indonesia-an. Argumentasinya dibangun atas keterkaitan dan keterikatan antara Indonesia sebagai Timur dan Eropa (Belanda) sebagai representasi dari entitas Barat. Pokok persoalannya adalah pengakuan atas kekayaan kebudayaan serta sejarah pemikiran Indonesia yang sudah sepatutnya menjadi kebanggaan selama dalam masa kolonial dan ketika telah menjadi bangsa merdeka. Dengan merajut untaian sejarah masa lalu yang tersembunyi, Joss Wibisono menawarkan segenap kebanggaan nasionalisme yang diharapkan terus tumbuh dan tetap mewaspadai ancaman kekuasaan jahat yang akan merugikan bangsa.
Salah satu esei yang dapat memberikan pemahaman baru tentang sejarah kolonialitas di Indonesia adalah esei berjudul “Bisanya Cuma Menyebut 350 Tahun”, sebuah esei yang bermaksud menyajikan renungan historis atas pengetahuan yang telah lama diintegrasikan secara paksa oleh Orde Baru. Melalui dekonstruksi fakta angka dan tahun-tahun peristiwa kedatangan VOC dan pemerintah kolonial Belanda, Joss Wibisono membicarakan pelurusan sejarah pada konteks dan dimensi kultur lokalitas yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dekonstruksi ini dimulai dengan argumentasi bahwa tidak ada satu pun wilayah Nusantara yang dijajah selama itu. Sebagai contoh, Bali dan Aceh hanya dikuasai selama 36 dan 38 tahun. Selanjutnya, penyebutan 350 tahun adalah kesalahan menyebut “Indonesia” seakan-akan Indonesia telah ada sejak dahulu. Padahal Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum itu Indonesia disebut Hindia Belanda. Permasalahan yang juga diketengahkan oleh Joss Wibisono adalah perubahan yang terjadi di Hindia Belanda atau Indonesia dan di Belanda. Mulai dari cultuurstelsel yang mengundang kontroversi di kalangan Belanda sendiri sampai munculnya politik etis. Kemudian persoalan pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, sementara proklamasi Indonesia telah berlangsung tanggal 17 Agustus 1945, dan baru pada tahun 2005 Indonesia mendapat
E. Penutup
Daftar Pustaka Fairclough, Norman. 1989. Language and Power: Language in Social Life. New York: Longman Inc. Bourdieu, Pierre. 1991. Language and Symbolic Power. Hardvard: Harvard University Press. Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi. Depok: Komunitas Bambu. Rahman, Fadly. 2011. Rijsttafel - Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. Jakarta: Gramedia Putaka Utama.
237
Vol. 2, No. 2, Desember 2012
Benjamin, Walter. 1969. Illumination Essays and Reflections. New York: Schocken Books. Adorno, Theodore W. 2001. The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture. New York: Routledge Classic.
238