EFISIENSI PEMELIHARAAN JALAN AKIBAT MUATAN BERLEBIH DENGAN SISTEM TRANSPORTASI BARANG MULTIMODA/INTERMODA
Prof. Dr. Ir. Ofyar Z. Tamin, MSc Lab. Transportasi FTSL ITB Bandung Email:
[email protected]
Ir. Sofyan M. Saleh, MSc.Eng Program Doktor Studi Transportasi, FTSL ITB Bandung
[email protected],
[email protected]
1. Latar Belakang Berdasarkan survey asal tujuan transportasi nasional (ATTN 2001 dan 2006), hampir 83% pergerakan barang di Indonesia terjadi di pulau Jawa, 10% di pulau Sumatera, dan sisanya terdistribusi di bagian timur kepulauan Indonesia. Dari pergerakan total barang tersebut ternyata 90% dilakukan dengan moda darat (jalan), 7% dengan moda laut, dan sisanya dengan moda lain (seperti kereta api, pesawat terbang, dan angkutan sungai dan penyeberangan). Kurangnya perhatian terhadap pergerakan barang dengan moda laut dan kereta api, terutama disebabkan oleh kurangnya ketersediaan prasarana dan sarana serta lemahnya sistem dan regulasi, maka pergerakan barang melalui jalan masih merupakan pilihan yang dianggap lebih efisien. Pilihan ini tentu berpengaruh terhadap beban lalu lintas di jalan raya dan mempercepat tingkat kerusakan jalan, apalagi dengan masih diberikannya toleransi terhadap muatan truk untuk melebihi tonase yang diizinkan. Padatnya lalu lintas angkutan barang dengan truk, terutama pada jalur lintas pantura di pulau Jawa dengan rata-rata 70 unit truk besar/jam (Kompas, 2 Agustus 2004) dan jalur lintas Timur (jalintim) di Sumatera yang rata-rata 500 truk besar/hari (Kompas, 29 Mei 2006), membuat proses terjadinya kerusakan jalan menjadi lebih cepat, selain beberapa faktor penyebab lainnya seperti cuaca dan kegagalan konstruksi. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa jalan mempunyai peran yang sangat strategis, bukan hanya dalam bidang angkutan orang dan barang, melainkan juga dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, dan hankam. Hal ini dapat dilihat dari besarnya tuntutan agar jalan yang dilewati memberikan kenyamanan dan keselamatan bagi pergerakan. Namun dalam kenyataannya, kondisi jalan mengalami penurunan sesuai dengan bertambahnya umur, apalagi jika dilewati oleh truk-truk dengan muatan yang cenderung berlebih. Jembatan timbang yang seharusnya merupakan tempat untuk mengukur apakah truk barang bermuatan lebih atau tidak, sejak otonomi daerah banyak dimanfaatkan untuk menaikkan pendapatan asli daerah (Media Indonesia, 4 Agustus 2004). 1
Berdasarkan organda, pungutan liar terhadap angkutan jalan raya, terutama truk-truk yang mengangkut barang mencapai 18 trilliun rupiah per tahun (Liputan 6 pagi SCTV Rabu 21 Maret 2007), memang pungutan resmi dari pergerakan barang melalui moda jalan ini yang mencapai 50 trilliun rupiah pertahun. Jika dilakukan banding maka biaya pemeliharaan dan perbaikan jalan yang hanya 5.1 trilliun untuk tahun 2006, adalah jumlah yang tidak sampai 30 persen dari nilai pungutan tidak resmi (pungli) dan hanya 10% dari pungutan resmi yang dialokasikan oleh pemerinyah. 2.
Permasalahan
Harian Kompas (14 Februari 2008) memberitakan bahwa kerusakan jalan terjadi semakin cepat karena jalan terbebani melebihi kapasitasnya. Toleransi jumlah beban yang diizinkan (JBI) saat ini masih 50-60%%, artinya jalan yang direncanakan untuk beban sumbu tunggal 8 sampai 10 ton masih diizinkan dilewati truk dengan sumbu tunggal 16 ton. Dengan toleransi tersebut, maka kerusakan jalan terjadi 6,5 kali lebih cepat (Dept. PU). Kerusakan jalan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, karena waktu tempuh menjadi lebih lama dan kendaraan juga lebih cepat rusak. Jika kelebihan muatan harus diturunkan atau didenda, maka denda kelebihan tersebut selayaknya dapat dijadikan sebagai kompensasi untuk rehabilitasi kerusakan jalan, sebab kelebihan muatan akan berakibat kerusakan jalan dan berbahaya bagi keselamatan dan kenyamanan pemakai jalan. Antisipasi terhadap kecenderungan peningkatan pergerakan barang dan orang ini memang mendapat tanggapan positif dari pemerintah dengan rencana peningkatan fungsi dan kapasitas beberapa ruas jalan nasional, beberapa bandara, beberapa pelabuhan laut, dan rencana pembangunan beberapa ruas jalan tol baru serta pembangunan jalan rel baru di beberapa daerah di Sumatera dan jalan rel double track (khususnya di pulau Jawa) untuk kemudahan akses termasuk akses logistik. Berbeda dari moda lain, moda darat (jalan) dengan truk yang mendominasi angkutan barang selama ini menyebabkan banyak hal yang di antaranya adalah : •
Menambah beban lalu lintas dan mengganggu kelancaran arus lalu lintas
•
Volume barang yang diangkut cenderung melebihi beban ijin
•
Mempercepat kerusakan konstruksi jalan
Untuk menjaga agar konstruksi jalan relatif sesuai dengan umur rencana (masa layan), dengan biaya pemeliharaan yang sesuai rencana, maka diperlukan kebijakan untuk memperkecil pelanggaran muatan berlebih dengan mengalihkan pengangkutan barang melalui sistem multimoda. 2
Belajar dari kondisi yag ada di negara maju, ternyata efisiensi pengangkutan barang bila diukur dengan rasio antara biaya transport per satuan unit barang dan jarak tempuh ternyata sangat bervariasi sesuai dengan pemilihan moda. Rodrigue (2004) melakukan pembagian dalam tiga moda untuk rentang jarak tertentu seperti
Transport costs per unit
dalam Gambar 1 di bawah ini.
C1
Road
C2 C3
Rail
D1
Maritime
D2
Distance
Freight Services : Short Dist. : <500 km, a highway mode is more efficient Medium Dist : Between 500-1500 km, a rail mode is more efficient : >1,500 km, a sea mode is more efficient Long Dist. Gambar 1. Efisiensi jarak angkut dengan pemilihan moda (Rodrigue dan Comtois). http://people.hofstra.edu/geotrans/ Untuk kondisi Indonesia, Departemen Perhubungan telah membuat penuntun
atau pedoman
penyusunan tatanan transportasi wilayah (Tatrawil) dengan membagi rentang jarak pengangkutan barang yang efisien pada jarak angkut dan pemilihan moda ke dalam kelompok-kelompok sebagai berikut : Jarak pendek
: < 300 km, moda jalan raya lebih efisien
Jarak menengah
: 300 s.d 800 km, kereta api lebih efisien,
Jarak jauh
: > 800 km, transportasi laut lebih efisien.
Masalahnya adalah terjadinya penyimpangan besar dalam implementasi di lapangan. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala, baik kendala geografis, ketersediaan sarana dan prasarana, kualitas pelayanan, maupun regulasi. Kerusakan konstruksi jalan dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu kerusakan akibat “kegagalan konstruksi” yang disebabkan mutu pelaksanaan yang tidak sesuai dan kerusakan akibat “pemanfaatan” yang disebabkan oleh tidak ditaatinya ketentuan (misalnya overload) ataupun
3
penyimpangan iklim/cuaca (Anas Aly, 2005). Konteks penulisan ini dibatasi hanya pada kerusakan akibat pemanfaatan yang tidak sesuai, sementara pembahasan kerusakan akibat kegagalan konstruksi dan penyimpangan iklim dan cuaca serta faktor regional lainnya tidak dimasukkan, karena masalah ini diasumsikan telah ikut diperhitungkan saat setiap perencanaan konstruksi jalan. Penggunaan beberapa moda transportasi sudah sering terjadi sebagai pembawa barang dari produsen kepada konsumen. Ketika beberapa moda digunakan sekaligus dalam pengangkutan barang dari asal ke tujuan (point to point network), walaupun antar-moda dimungkinkan, digunakan sebuatan jaringan transportasi multi-moda, sementara sistem jaringan dua atau lebih moda transportasi dengan pemberlakuan satu tarif disebut jaringan transportasi antar-moda terpadu (Rodrigue, et al, 2004). Sistem transportasi barang multimoda dan antarmoda terpadu merupakan sistem yang bertujuan melayani perdagangan dengan memberikan atau menawarkan kemudahan dalam menangani proses pengiriman barang. Kemudahan tersebut diarahkan kepada pengirim dan penerima barang agar mereka tidak lagi dibebani oleh kompleksitas yang dihadapi dalam menangani sendiri seluruh atau sebagian dari proses pengiriman barang (Tamin, 2000). Comtois, et al (2004) menyatakan bahwa sistem transportasi dihadapkan pada persyaratan untuk meningkatkan kapasitas dan mengurangi biaya-biaya transportasi. Biaya transportasi adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh penyedia jasa transportasi untuk melakukan pelayanan transportasi yang meliputi baik biaya tetap
(infrastruktur) maupun biaya tidak tetap
(pengoperasian). Biaya-biaya tersebut tergantung pada variasi kondisi yang berhubungan dengan geografis infrastuktur, batasan administrasi, energi, dan bagaimana barang itu dibawa. Pergerakan barang di Indonesia yang didominasi oleh angkutan jalan raya dengan truk yang cenderung membawa muatan berlebih telah menimbulkan masalah kerusakan jalan. Kerusakan jalan ini tentu harus diperbaiki dengan program pemeliharaan, agar distribusi barang tetap berjalan. Kegiatan pemeliharaan adalah seluruh pekerjaan yang ditujukan kepada upaya agar jalan dapat memberikan pelayanan sesuai dengan yang direncanakan yang termasuk ke dalam jenis kegiatan pemeliharaan ini adalah: 1. Pekerjaan pemeliharaan rutin, yakni pekerjaan yang dilaksanakan secara terus menerus (sepanjang tahun) untuk mengatasi kerusakan jalan yang bersifat minor dan memerlukan penanganan segera, seperti penambalan lubang, penutupan retak-retak, pembersihan saluran dan sebagainya. Tercakup di dalamnya kegiatan pemeliharaan rutin dan berkala. Pemeliharaan rutin dan berkala ini akan sangat mempengaruhi tingkat kemampuan layan
4
jalan yang dikaitkan dengan umur rencana jalan, seperti dapat dilihat pada gambar berikut ini. 2. Pekerjaan perkuatan struktur perkerasan, yakni pekerjaan yang apabila pekerjaan pemeliharaan berkala terlambat dilaksanakan sehingga kerusakan jalan yang terjadi telah mempengaruhi pondasi. Melalui pekerjaan ini kinerja jalan dikembalikan keadaan seperti kondisi awal saat jalan itu dibangun. Dalam Gambar 2 berikut disampaikan hubungan antara kondisi dan umur jalan yang digunakan dalam kegiatan pemeliharaan jalan. Pada dasarnya penetapan kondisi jalan minimal adalah sedang, yang dalam Gambar 2 berada pada level dari 4,5 m/km sampai dengan 8 m/km tergantung pada fungsi jalannya. PEMILIHARAAN BERKALA 4,5 < IRI < 8
RUSAK RINGAN 8 < IRI < 12
RUSAK BERAT > 12 12IRI < IRI
PENINGKATAN
PEMELIHARAAN BERKALA
Po
BATAS KONTRUKSI JALAN Pt LINTASAN IDEAL BATAS KRITIS
Iri < 4,5
Pemeliharaan Rutin
Iri < 4,5
Iri < 4,5
Pemeliharaan Rutin
Pemeliharaan Rutin
BATAS MASA PELAYANAN
JIKA TANPA PROGRAM PENINGKATAN JALAN TIDAK MAMPU LAGI MELAYANI LOS YANG ADA
Keterangan: Po
: Service ability Index Awal (PHO)
Pt
: Service ability Index Akhir (Batas Umur Pelayanan)
Nilai Po dan Pt tergantung pada klasifikasi Jalan (N, P, K) dan LHR
Gambar 2. Hubungan antara Kondisi, Umur dan Jenis Penanganan Jalan 3. Solusi Dari kenyataan selama ini 90 persen barang untuk koridor pulau Jawa dan pulau Sumatera diangkut dengan truk (angkutan jalan)dan yang cenderung membawa muatan berlebih, sehingga pemerintah mengeluarkan biaya yang cukup tinggi untuk perbaikan kerusakan jalan. Sementara ada moda lain yang dapat mengangkut barang dalam jumlah yang lebih besar dengan sekali angkut, tapi belum digunakan secara optimal dengan berbagai alasan. Kami mencoba mensimulasikan pergerakan barang pada jaringan hipotetikal dengan sistem multimoda/intermoda (jalan, kereta api, dan laut) dengan asumsi bahwa semua prasarana tersedia
5
sesuai dengan kapasitas dan biaya masing-masing moda. Khusus untuk moda jalan simulasi dilakukan pada dua opsi yaitu pada beban normal sesuai jumlah berat izin (JBI) dan pada beban berlebih 50% dari JBI. Semua prasarana dan sarana diasumsikan memenuhi persyaratan perawatan dan pemeliharaan yang baku, khusus untuk moda jalan diasumsikan adanya perawatan rutin dan berkala yang terjadwal dan yang mempengaruhi masa layan dalam tinjauan ini hanya dengan indikator kekasaran permukaan (IRI). Untuk menghitung laju pertambahan kekasaran permukaan jalan atau prediksi IRI dapat digunakan persamaan yang diambil dari IRMS yaitu: RIt = (RI0 + 725 (1+SNC)-5 . NEt) e0.0153t Di mana: RIt
= Kekasaran pada waktu t, IRI (m/km)
RI0
= Kekasaran awal, IRI (m/km)
NEt
= Nilai ESAL pada saat t (per 1 juta ESAL)
SNC
= Nilai kekuatan perkerasan (Structure Number Capacity) yang tergantung pada setiap jenis perkerasan
Hasil simulasi menunjukkan bahwa terjadi penurunan masa layan yang cukup signifikan bila truk rata-rata mengangkut beban lebih sebesar 50% dari JBI (toleransi yang diberikan saat ini) karena faktor daya rusak kendaraan (vehicle damage factor) terhadap jalan yang diakibatkan oleh muatan berlebih ini rata-rata mengakibatkan terjadinya kerusakan adalah sekitar 5 (lima) kali lebih cepat dibandingkan dengan yang diakibatkan oleh beban normal (sesuai JBI). Hal ini dapat dilihat dari nilai ekivalensi kendaraan dengan beban normal dan kendaraan dengan beban berlebih 50%. Dalam simulasi ini diasumsikan semua truk adalah truk 3 sumbu atau (as) mengangkut 23 ton/truk untuk beban normal, dan 34.5 ton/truk untuk muatan berlebih 50% termasuk berat kendaraan. Hasil ekivalensi kendaraan dengan beban normal adalah sebesar 3,75 sedangkan ekivalensi kendaraan dengan beban berlebih 50% menjadi 19,01 (bila dipakai persamaan Liddle berikut ini). ⎡ bebansumbu (ton) ⎤ AE STRG = ⎢ ⎥ 8,16 ⎦ ⎣
4
⎡ bebansumbu(ton) ⎤ AE SDRG = ⎢ ⎥⎦ 13.76 ⎣
4
Diasumsikan pada awal tahun pembukaan jalan nasional jenis perkerasan lentur dengan lebar jalan 7 meter, nilai IRI awal adalah 2,0, dan setelah dilakukan overlay IRI juga adalah 2,0. Asumsi lain adalah
6
¤ 0
Tabel berikut ini adalah hasil perbandingan antara truk dengan muatan sesuai JBI dan truk dengan kelebihan muatan mencapai 50% dari JBI untuk CESAL, IRI prediksi, dan jenis pemeliharaan dalam kurun waktu sesuai umur rencana jalan 10 tahun. Tabel 1. Perbandingan antara muatan sesuai JBI dan muatan berlebih 50% Muatan Sesuai JBI
Tahun ke
Jlh LL Truk
1 2
Muatan Berlebih 50%
CESAL
IRI Prediksi
Pemeliharaan
CESAL
IRI Prediksi Pemeliharaan
211.156
791.835
2,128
Rutin
4.014.076
2,522
Rutin
223.825
839.345
2,263
Rutin
4.254.920
3,081
Rutin
3
237.255
889.706
2,407
Rutin
4.510.215
3,681
Rutin
4
251.490
943.088
2,559
Rutin
4.780.828
4,322
Rutin
5
266.580
999.673
2,721
Rutin
5.067.678
5,009
Berkala
6
282.574
1.059.654
2,893
Rutin
5.371.739
2,688
Rutin
7
299.529
1.123.233
3,075
Rutin
5.694.043
3,426
Rutin
8
317.501
1.190.627
3,268
Rutin
6.035.685
4,217
Rutin
9
336.551
1.262.065
3,473
Rutin
6.397.827
5,065
Berkala
10
356.744
1.337.789
3,690
Berkala
6.781.696
2,861
Rutin
Berdasarkan asumsi di atas, pada tahun ke 10 baru tercapai 1,35 juta CESAL dan IRI prediksi 3,69 untuk kondisi beban kendaraan sesuai JBI, tetapi sesuai dengan umur rencana sudah harus dilakukan pemeliharaan berkala. Sedangkan untuk kondisi beban 50% melebihi JBI, dengan asumsi pemeliharaan berkala sudah harus dilakukan pada tahun ke-5 dengan 5,067 juta CESAL dan IRI prediksi 5,01. Setelah dilakukan overlay maka IRI awal menjadi 2 kembali, pada tahun ke9 nilai ekivalen sudah mencapai 6,397 juta CESAL dan IRI prediksi adalah 5,065 dan dilakukan overlay kembali. Pada tahun ke-10 dengan lintas ekivalen mencapai 6,781 juta CESAL dan IRI prediksi hanya bertambah menjadi 2,861, karena telah dilakukan overlay pada tahun ke-9. Jadi dengan muatan truk berlebih 50% dari JBI telah dilakukan 2 kali pemeliharaan berkala selama umur rencana jalan. Tentu saja dalam kenyataan di lapangan bisa menjadi lebih besar dari simulasi ini, karena dalam simulasi ini diasumsikan bahwa yang berlalu lintas adalah truk barang 3 sumbu saja, sementara pada kenyataannya semua lalu lintas roda empat ke atas harus diperhitungkan. Dengan nilai penanganan di atas, biaya total pemeliharaan ruas jalan tersebut selama 10 tahun untuk kondisi beban normal adalah Rp. 1,75 milyar/km,- (9 kali rutin x Rp. 50 juta + 1 kali berkala x 1,3 milyar), sedangkan untuk kondisi muatan berlebih Rp.3 milyar/km,- (8 kali rutin x Rp 50 juta + 2 kali berkala x Rp 1,3 milyar). Di sini terjadi peningkatan biaya penanganan sebesar Rp. 1,25
7
milyar/km dalam rentang waktu 10 tahun umur rencana. Dengan asumsi tersebut terjadi tambahan biaya pemeliharaan jalan sebesar rata-rata Rp. 125 juta/km/tahun yang diakibatkan oleh muatan truk yang melebihi JBI sampai batas toleransi 50%. Ini berarti bahwa muatan berlebih truk itu berpengaruh terhadap biaya pemeliharaan jalan sampai 2,5 kali biaya pemeliharaan rutin pertahun seperti yang diasumsikan di atas. Peningkatan biaya penanganan jalan akibat beban berlebih ini tentu menjadi hambatan bagi pemerintah yang disibukkan hanya dengan pemeliharaan jalan yang ada, sementara masih banyak ruas jalan yang perlu ditingkatkan dan bahkan dibangun baru, terutama di daerah tertinggal. Dari hasil simulasi tersebut ditemukan juga bahwa jika nilai penambahan biaya transportasi barang akibat muatan berlebih selama 10 tahun umur rencana jalan tersebut dibebankan kepada operator, maka setiap kelebihan muatan menyumbang biaya transport sebesar Rp. 45,-/ton-km. Dampak penambahan biaya transportasi akibat muatan berlebih ini ditambah lagi dengan adanya pungutan tidak resmi (contoh kasus angkutan barang Medan – Banda Aceh mencapai antara 400 dan 500 ribu rupiah sekali jalan, laporan Bank Dunia dan BRR tahun 2007), selalu bermuara pada harga jual produk di tingkat konsumen, sehingga yang dirugikan adalah konsumen. Solusinya adalah diterapkannya sistem transportasi barang multimodal/intermodal terpadu. Khusus untuk pulau Jawa dan sebagian Sumatera, pemanfaatan intermodal antara moda truk dan moda kereta api tentu lebih efisien, sedangkan untuk luar Jawa (terutama kawasan Indonesia Bagian Timur) kombinasi moda jalan dengan moda laut tentu lebih efisien. Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan toleransi kelebihan muatan truk. Tidak hanya diberlakukan disinsentif dengan denda di jembatan timbang, tetapi juga insentif dengan meningkatkan prasarana dan sarana moda lain, sehingga penerapan sistem multimodal dan intermodal terpadu dapat berjalan dengan baik di samping penyempurnaan regulasi. Sudah selayaknya diterapkan sistem transportasi barang multimodal ataupun intermodal terpadu di Indonesia, agar beban lalu lintas di jalan raya berkurang dan sekaligus kerusakan jalan menjadi minimal sehingga biaya pemeliharaan jalan dapat dialihkan ke pembangunan jaringan jalan baru.
8