Interkoneksi Dan Dampaknya Terhadap Bisnis Telekomunikasi Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi Mahasiswa S3, Strategic Managament, FEUI Perdebatan mengenai syarat dan kondisi interkoneksi berakhir sudah. Meski tidak memuaskan semua pihak, terbitlah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 tahun 2006 tentang Interkoneksi (Permen 8/06). Benarkah permasalahan interkoneksi segera beres setelah terbitnya Permen 8/06 ini? Masih adakah hal – hal esensial yang masih belum tuntas dalam regulasi interkoneksi yang baru ini? Apa dan bagaimana dampaknya terhadap bisnis telekomunikasi?
Prinsip Interkoneksi Interkoneksi, keterhubungan fisik dan logik antar jaringan telekomunikasi yang berbeda, merupakan suatu keharusan yang diamanatkan oleh Undang – Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi untuk memberikan jaminan kepastian dan transparansi penyediaan dan pelayanan interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi kepada pengguna agar dapat mengakses jasa telekomunikasi. Meskipun sifatnya wajib, interkoneksi diberikan sepanjang ada permintaan. Untuk dapat ber-interkoneksi penyelenggara jaringan menyediakan ketersambungan (Link Interkoneksi) dengan perangkat milik penyelenggara jaringan lainnya. Syarat ketersambungan ini harus dilakukan secara transparan dan tidak diskriminatif. Interkoneksi didorong oleh sifat dasar dari telekomunikasi yaitu end-toend dan any-to-any connectivity. Semua operator telekomunikasi memerlukan interkoneksi dalam menyelenggarakan jasanya, hanya tingkat kebutuhan akan interkoneksi tersebut bervariasi antara satu operator dengan operator yang lain. Dalam lingkungan industri telekomunikasi yang multi-operator, kebijakan interkoneksi akan sangat mempengaruhi tingkat persaingan antar operator. Jika dirunut ke belakang, kebutuhan interkoneksi muncul ketika terdapat dua atau lebih jaringan. Gambar 1 memberi ilustrasi keterhubungan antar dua sentral jaringan SA dan SB. Jika satu simpul jaringan menghubungi sesama simpul dalam jaringan yang sama (misal A3 ke A7, atau B6 ke B4) hubungan semacam ini tidak memerlukan interkoneksi. 1
A6
B2 A7
A5
B1
SA
A4
B3
SB
B4
Link Interkoneksi
A3
A2
A1
B7
B6
B5
Gambar 1: Interkoneksi Antar Jaringan
Namun ketika B5 hendak berbicara dengan A4, sambungan semacam ini membutuhkan Link Interkoneksi (LI) yang menghubungkan SA dengan SB. Dengan interkoneksi terjadi tambahan manfaat bagi pelanggan dan operator berupa peningkatan jumlah sambungan yang dapat dihubungi. Pada kondisi tidak ada interkoneksi maka maksimum sambungan yang dapat dilakukan adalah sebesar 21 {n(n-1)/2, n=7}, setelah ada interkoneksi maka jumlah maksimum sambungan menjadi 91 (n=14).
Transformasi Pasar Pasar jasa telekomunikasi yang semula berstruktur monopoli secara hukum diubah dengan diterbitkannya Undang – Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU-36/99). Interkoneksi yang terjadi pra UU-36/99 lebih berupa keterhubungan antar sub-network yang semuanya dimiliki oleh satu operator, dalam hal ini Telkom. Konggregasi sub-network membentuk jaringan nasional tunggal. Pada masa ini tidak ada isu tagihan antar sub-network, karena semuanya dimiliki oleh satu perusahaan. Keluar kantong kanan, masuk kantong kiri. Keadaan berubah mana kala mulai masuk operator baru yang tidak dimiliki oleh pelaku monopoli. Gambar 2 menunjukkan perubahan dimaksud. Munculnya operator telekomunikasi baru mengubah pasar monopoli menjadi pasar yang kompetitif yang pada gilirannya menuntut interkoneksi antar-operator, secara ideal konfigurasi interkoneksi dilukiskan pada Gambar 2. 2
Monopoli
Sub Network
Sub Network National network Sub Network
Sub Network
Sub Network
Transformation market from monopoli to competition Kompetisi Network Network
Interkoneksi Network
Network
Network
Gambar 2: Transformasi Dari Monopoli ke Kompetisi Prinsip Dasar Regulasi Permen 8/06 dimaksudkan untuk menjamin kepastian dan transparansi penyediaan dan pelayanan interkoneksi antar penyelenggara telekomunikasi. Karena menyangkut pengaturan sumber daya publik, ada prinsip dasar yang harus diacu dalam sebuah kebijakan publik. Ditinjau dari aspek ekonomi publik keberadaan regulasi baru harus memberikan value yang lebih baik dari sebelum adanya regulasi tersebut. Interkoneksi terkait dengan biaya, oleh karena itu acuan ekonomis yang perlu diacu adalah bahwa: NPVb > NPCl, di mana -
NPVb = Net Present Value setelah adanya Permen 8/06, dan
-
NPVl = Net Present Value sebelum ada Permen 8/06. Selain itu, dari aspek makro, perubahan dari metoda revenue sharing ke
penghitungan berdasarkan biaya aktual (cost-based) mencerminkan upaya peningkatan efisiensi industri. Dalam tataran ideal, operator jaringan telekomunikasi yang tidak efisien akan “didesak”oleh para mitra. Sesuai dengan teori ekonomi jaringan, ketidakefisienan salah satu simpul jaringan (node), jika tidak dibuat suatu aturan pembatasan
3
(guard policy) maka ketidak-efisienan tersebut ikut ditanggung oleh pihak lain (negative externalities). Contoh yang sering kita hadapi, keterlambatan jadwal terbang, akan berdampak negatif (keterlambatan) pada rute penerbangan selanjutnya. Jika ditarik lebih jauh, Permen 8/06 dapat pula menjadi instrumen kebijakan untuk menurunkan tarif interkoneksi. Dalam rantai nilai telekomunikasi, penurunan tarif interkoneksi pada umumnya akan diikuti dengan penurunan tarif ritel (pada dasarnya tarif interkoneksi sama dengan tarif wholesale). Penurunan tarif ritel, berujung ke dua hal: pertama, peningkatan frekuensi percakapan, yang lajunya diperkirakan lebih tinggi dari laju penurunan tarif ritel sehingga menghasilkan peningkatan revenue; dan kedua sebagai akibat dari peningkatan revenue cadangan untuk investasi lebih besar, dengan asumsi tidak ada aliran investasi keluar dari sektor telekomunikasi, hal ini berarti akan menambah teledensitas. Pada hakekatnya, sasaran akhir dari regulasi interkoneksi adalah untuk meningkatkan jumlah satuan sambungan terpasang (teledensitas). Tujuan ini dapat tercapai bila tarif telekomunikasi yang harus ditanggung pelanggan makin murah, sehingga mendorong penggunaan dan sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat yang belum menikmati fasilitas telepon. Penurunan tarif ritel dipicu oleh penurunan tarif interkoneksi yang dihasilkan dari perhitungan tarif berdasarkan biaya untuk menggantikan metode sebelumnya berdasarkan revenue sharing yang sudah tida sesuai lagi dengan alam persaingan.
Revenue Sharing
Cost-Based Pricing
Menurunkan Tarif Interkoneksi
Menurunkan Tarif Ritel
Meningkatkan Teledensitas
Gambar 3: Sasaran Interkoneksi Beberapa alasan menjelaskan mengapa revenue sharing dianggap sudah tidak relevan dengan alam persaingan. Yang utama tarif interkoneksi tidak lagi ditentukan oleh Pemerintah, namun sepenuhnya diserahkan kepada operator telekomunikasi. Dalam hal ini Pemerintah bertindak sebagai pengawas. Selain itu, tidak ada lagi penetapan biaya di luar aktivitas terkait langsung dengan interkoneksi, dengan demikian Air Time yang
4
semula dibebankan kepada pelanggan tidak lagi diberlakukan. Tagihan interkoneksi untuk sambungan jarak jauh yang semula berdasarkan wilayah (zone) pada perhitungan berbasis biaya ditetapkan tunggal, hal ini dimungkinkan karena pada dasarnya tidak ada lagi pembedaan wilayah jaringan. Revenue Sharing Tarif interkoneksi diatur oleh Pemerintah
Tarif interkoneksi terdiri dari Air Time, tarif lokal dan tarif jarak jauh. Tarif interkoneksi sambungan jarak jauh dibedakan berdasarkan wilayah (zone). Tarif interkoneksi ditetapkan berdasarkan nomor originasi (A Number), dan nomor tujuan (B Number)
Cost-Based Tarif interkoneksi ditentukan oleh biaya elemen jaringan didasarkan pada perhitungan wajar Tarif interkoneksi terdiri dari tarif lokal, tarif jarak jauh, dan tarif transit Biaya interkoneksi sambungan jarak jauh berupa tarif tunggal Tarif interkoneksi ditetapkan berdasarkan Point of Interconnection (POI), dan nomor tujuan (B Number)
Tabel 1. Perbandingan Antara Revenue Sharing dengan Cost-Based Isu Dan Realita Lapangan Ada beberapa isu yang selalu dihadapi oleh operator telekomunikasi ketika hendak ber-Interkoneksi. Pertama, terkait dengan persoalan teknis. Untuk dapat berinterkoneksi diperlukan standard teknis guna menjamin kompatibilitas antar elemen jaringan, terjaminnya kualitas sinyal, kapasitas saluran penyambung antar-operator, dan fasilitas penunjang interkoneksi seperti server, sistem penagihan, letak penyambungan dan lain sebagainya. Kompatibilitas perangkat atau elemen jaringan sangat penting agar sistem jaringan yang berbeda dapat “saling berbicara”satu sama lain.. Kualitas sinyal diperlukan agar setiap isi pesan dari pengirim dapat diterima secara utuh oleh penerima, sementara kapasitas saluran penyambung akan sangat menentukan berapa banyak trafik pembicaraan yang dapat disambungkan antar-operator. Persoalannya, operator dominan seringkali memaksa operator baru untuk menyesuaikan diri dengan spesifikasi teknis yang sudah ada terlebih dahulu, meski terkadang sistem lama tersebut sudah tidak ekonomis. Selain persoalan teknis disebut di atas, kenyataan di lapangan konfigurasi jaringan interkoneksi tidak selalu ideal sebagaimana Gambar 2. Sering terjadi, untuk dapat
5
menyambung ke jaringan lain diperlukan perantara melalui jaringan lainnya lagi. Dalam gambar 4, ketika A3 hendak menghubungi C2, maka sambungan harus melalui SB terlebih dahulu. SA disebut jaringan originasi, SC disebut jaringan terminasi, sedangkan SB disebut jaringan transit. Jaringan transit dalam hal tertentu sangat dibutuhkan, namun akan menjadi beban bagi operator lain bila transit merupakan keharusan sementara sebenarnya dua operator yang berinterkoneksi tidak memerlukannya. Kondisi semacam ini dapat terjadi bila operator SA dimiliki oleh operator SB sehingga keputusan SA sangat dipengaruhi oleh SB.
A6
A5
A4
SA
A3
A2
A7
B1
B2
B3
C1
Link Link SB Interkoneksi Interkoneksi A1
B4
B5
B6
C6
C2
C3
SC
C5
C4
Gambar 4: Interkoneksi Antar Tiga Jaringan Persoalan kedua terkait dengan isu layanan. Interkoneksi harus memungkinkan layanan suatu operator dapat dinikmati pula oleh pelanggan operator lainnya. Misalnya, suatu layanan SMS berhadiah yang diselenggarakan oleh perusahaan X yang bekerja sama dengan operator A, harus dapat diakses oleh pelanggan operator B. Dalam hal ini terjadi kompatibilitas pada level layanan, bukan hanya kompatibel pada level jaringan fisik saja. Implikasinya, perlu ada tanggung jawab bersama dan sendiri – sendiri untuk suatu layanan yang di-interkoneksi-kan. Konsekuensinya, perlu diatur pembagian biaya dan penghasilan (revenue) dari penyelenggaraan jasa semacam ini. Persaingan antar-operator menjadi isu ketiga terkait interkoneksi. Sebagaimana layaknya industri yang kompetitif, persaingan menjadi suatu kelaziman. Suatu hal yang unik di dalam jasa telekomunikasi, meski pada aras layanan saling bersaing, namun pada aras pengelolaan jaringan semua harus bekerja sama dalam interkoneksi. Untuk itu, setiap operator harus menyediakan akses ke sarana penting interkoneksi, seperti menyediakan
6
ruang untuk menaruh server miliki operator pencari akses, mengijinkan operator mitra untuk memasang sambungan serat optik atau radio gelombang mikro di lingkungan sentralnya, dan mengijinkan teknisi operator pencari mitra untuk memasuki gedung di mana sambungan dilakukan. Isu terakhir yang menjadi perhatian semua pihak adalah regulasi. Tantangannya, bagaimana regulasi dapat mengatur terjadinya interkoneksi secara fair dan mutual bagi semua pihak. Incumbent tidak dirugikan, demikian pula operator pencari akses tidak dipaksa untuk mengikuti kemauan incumbent. Termasuk dalam cakupan regulasi adalah membuat ketetapan metoda penghitungan biaya interkoneksi berdasarkan biaya aktual yang efisien, disediakannya perangkat arbitrase ketika terjadi perselisihan antar-operator, serta konfigurasi routing interkoneksi yang wajar. Yang terkahir cukup penting, karena fakta di lapangan menunjukkan operator telepon selular bergerak dengan teknologi mutakhirnya dapat menyediakan sarana sambungan (gateway) dengan efisien yang mencakup wilayah interkoneksi (point of charge) yang luas, sementara operator telepon tetap dengan warisan teknologi lama akan sangat berat bila harus mengimbangi kemajuan telepon selular.
Faktor Ekonomi dan Keuangan Ketika pasar telekomunikasi masih monopoli, interkoneksi tidak menjadi isu sensitif. Dalam pasar monopoli, penyelesaian (settlement) tagihan antar wilayah pengelolaan jaringan dilakukan dengan metoda sender keeps all, artinya pihak pemanggil (originator) memungut seluruh biaya percakapan, sedangkan jaringan penerima (terminator) hanya menyalurkan panggilan ke nomor tujuan. Metoda semacam ini layak dilakukan karena seluruh jaringan telekomunikasi nasional dimiliki oleh satu perusahaan. Ketika pasar telekomunikasi mulai terbuka, ada operator lain selain operator yang sudah ada (incumbent), metoda sender keeps all menjadi tidak layak lagi. Potensi kerugian lebih besar terjadi pada incumbent, karena arah panggilan lebih banyak berasal dari pelanggan operator baru ke pelanggan incumbent dari pada sebaliknya. Maka dibuatlah kesepakatan baru yang disebut revenue sharing. Dalam metoda terakhir ini, incumbent menetapkan porsi pendapatan yang dikehendakinya ketika operator baru hendak ber-interkoneksi dengan jaringan miliknya. Mengingat status hukumnya sebagai
7
BUMN dan dominasi dalam penguasaan pasar, incumbent memiliki kekuatan yang lebih besar dalam menetapkan persentasi bagi hasil dengan mitranya. Dalam perjalanan waktu, metoda revenue sharing dianggap tidak fair, khususnya bagi operator baru, dan tidak mencerminkan efisiensi jaringan karena informasi tentang biaya sesungguhnya atas penyelenggaraan interkoneksi tidak dapat diketahui. Proporsi bagi hasil hanya ditetapkan berdasarkan kepantasan dan proyeksi pendapatan yang ingin diraih, tidak ada hitung – hitungan akuntansi biaya layaknya perusahaan menghitung ongkos produksi. Desakan perubahan dari berbagai kalangan khususnya industri selular ditambah dengan terjadinya trend perubahan regulasi telekomunikasi pada aras internasional, mendorong pemerintah mengajak stakeholders telekomunikasi untuk bersama–sama menyusun regulasi interkoneksi. Hasilnya, Menteri Komunikasi dan Informatika menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 8 tahun 2006 tentang Interkoneksi (Permen 8/06). Beban biaya interkoneksi menempati posisi krusial bagi operator telekomunikasi baru. Hal ini dialami terutama oleh operator yang tidak memiliki jaringan end to end (last mile and backbone networks). Level dan struktur biaya interkoneksi menjadi penentu kelayakan usahanya dalam industri jasa telekomunikasi yang kompetitif. Ada beberapa metoda yang lazim digunakan dalam menghitung biaya interkoneksi. Selain itu di dalam mengahitung biaya interkoneksi ada beberapa elemen yang perlu diperhitungkan antara lain start-up costs, biaya link interkoneksi, biaya penyewaan ruang untuk menempatkan perangkat (colocation), dan infrastructure sharing costs. Metoda yang sering dikatakan sebagai praktik terbaik disebut Forward Looking Incremental Costs. Pada metoda ini biaya interkoneksi ditetapkan berdasarkan proyeksi ke depan yang akan dibutuhkan untuk memberikan layanan kepada operator pencari akses, sehingga sering digunakan istilah Long Run Incremental Costs (LRIC). Operator lokal di Inggris, Australia, Hongkong SAR, dan Chile telah menggunakan metoda ini.
Pasca Permen 8/06 Apa yang ideal dan menjadi dambaan tidak selalu menjadi kenyataan ketika suatu agenda publik sudah diimplementasikan di lapangan. Menyusul Permen 8/06, Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi menerbitkan SK Dirjen nomor 141/Dirjen/2006 (SK
8
141/06) tentang “Penetapan Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Dengan Pendapatan Usaha 25% Atau Lebih Dari Total Pendapatan Usaha Seluruh Penyelenggara Telekomunikasi Dalam Segmentasi Layanannya Tahun 2006.” Bagi awam sekilas dapat membingungkan,
intinya,
dalam
melaksanakan
interkoneksi,
operator
jaringan
telekomunikasi yang memiliki pangsa pasar sama atau lebih besar dari 25%, Daftar Penawaran Interkoneksi-nya (DPI) harus mendapat persetujuan dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Di sinilah persoalan latent mulai terbuka. Permen 8/06 beserta lima lampirannya (total halaman mencapai 500 halaman lebih) dan regulasi lain terkait yang seyogyanya menjadi acuan dalam penerbitan DPI ternyata tidak sepenuhnya diacu. Hal ini diperkirakan karena dua hal: pertama, formula penghitungan biaya yang ditetapkan dalam Permen 8/06 (sesuai saran konsultan asing) ternyata sulit diaplikasikan, dan kedua operator dominan belum sepenuhnya siap dan ikhlas untuk mengubah sistem lama ke sistem baru. Hal kedua dapat dipahami mengingat kompleksitas organisasi dan jaringan. Namun hal pertama sulit dimengerti mengapa BRTI langsung menerima formula yang diajukan konsultan tanpa melakukan simulasi dengan sampel data yang representatif mencerminkan validitas populasi trafik interkoneksi. Argumen bahwa rumus tersebut sudah banyak dipakai di banyak negara tidak dapat begitu saja menjadi legitimasi bagi diterimanya rumus tersebut. Akibatnya, dominasi incumbent masih kuat tercermin dalam DPI dan alih – alih menurunkan tarif interkoneksi, data yang berhasil kami kumpulkan menunjukkan interkoneksi antar operator selular terjadi penurunan antara 30% - 47% (peak time) dan rata-rata 2% (off peak time), sedangkan untuk interkoneksi dari selular ke jaringan tetap mengalami kenaikan antara 112% (long distance, offpeak) hingga 114% (lokal, peak time). Artinya, dengan berlakunya Permen 8/06 dan apabila DPI operator dominan disetujui BRTI, pengguna telepon selular harus membayar lebih mahal ketika hendak menghubungi pelanggan telepon tetap. Jika demikian, pertanyaannya, untuk siapa Permen Interkoneksi ini? Apakah sebagai legalitas bagi incumbent dan operator dominan untuk menaikkan tarif? Atau peningkatan pemerataan layanan telekomunikasi? ***** Dimuat di Majalah SDA edisi Juni 2006
9