1
Interaksi dalam Pembukaan Percakapan Konsultasi Akademik Contoh Kasus dalam Komunikasi Interkultural Indonesia – Jerman oleh Dian Ekawati1
I. Pendahuluan Awalnya komunikasi interkultural lebih banyak dikaji bidang sosiologi dan psikologi, kemudian berkembangan melintasi batas disiplin ilmu lainnya. Walaupun sudah interdisiplin, peran bahasa dalam kajian ini masih terpinggirkan. Berkaitan dengan komunikasi interkultural dalam institusi, banyak peneliti menggambarkan situasi komunikasi dalam suatu kerangka „institusi“ yang berbeda dari komunikasi sehari-hari dan memiliki genre komunikatifnya sendiri. Contohnya dalam institusi universitas tidak hanya ada komunikasi dan kontak formal antara dosen dan mahasiswa dalam perkuliahan, rapat atau bimbingan, melainkan juga situasi yang semiformal dan informal seperti situasi komunikasi saat peminjaman buku di perpustakaan atau komunikasi di kantin. Berdasarkan fenomena di atas, penelitian ini difokuskan pada fase pembukaan situasi konsultasi akademik yang terjadi pada interaksi yang melihatkan interlokutor Indonesia dan Jerman. Apakah fase pembukaan dalam konsultasi akademik dengan interlokutor dari dua latar belakang bahasa dan budaya berbeda ini memiliki struktur/pola yang khas? Faktor-faktor kebahasaan apa saja yang memengaruhinya? Apakah latar belakang budaya memengaruhi munculnya critical incidents yang berpotensi memunculkan kesalahpahaman saat berinteraksi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab dengan analisis empiris menggunakan metode analisis percakapan dan genre komunikatif. II. Kerangka Teori dan Metode 2.1 Komunikasi Interkultural Terminologi ‚interkultural‘ bermakna lintas atau antar yang sering dikombinasikan dengan nomina ‚komunikasi‘ atau relasi. Komunikasi interkultural di sini dibatasi pada komunikasi yang terjadi pada partisipan yang berasal dari latar belakang bahasa dan budaya yang berbeda, di mana proses komunikasi tidak selalu terjadi dengan menggunakan bahasa asing di luar bahasa ibu mereka. Tujuan dari penelitian komunikasi interkultural adalah menggambarkan interaksi nyata antara anggota budaya yang berbeda dan menggambarkan pemahaman tentang tindakan atau perilaku manusia berdasarkan budayanya.1 2.2 Komunikasi Institusional Menurut Drew dan Heritage (1992), karakteristika percakapan institusional terlihat pada tiga elemen dasarnya, yaitu: goal orientations, constraints on contributions, dan specific inferential frameworks. Dalam konteks konsultasi akademik, orientasi hasilnya adalah pemecahan masalah mahasiswa/klien oleh dosen/konsultan. Selain itu, Limberg (2010) menyebutkan bahwa topik-topik yang bersifat privat/nonakademik biasanya tidak muncul dalam situasi percakapan. Elemen khas lainnya dari percakapan institusional ini adalah munculnya aspek tindak tutur seperti reasoning, inferences dan implicatures specific to the local context.2 Interaksi dan komunikasi institusional ini biasanya termasuk interaksi ormal dengan adanya “pembagian” dan “distribusi” pembicara yang jelas, (semi)structured turn taking, adanya alokasi waktu percakapan, pilihan aksi pembicara yang terbatas, dan penggunaan kosa kata khusus.
1
Anggota staf pengajar Program Studi Sastra Jerman, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran Bandung, saat ini sedang studi lanjut program doktoral di jurusan Interkulturelle Germanistik, Universität Bayreuth, Jerman.
2
2.3 Percakapan Konsultasi Istilah percakapan konsultasi adalah terjemahan harafiah dari istilah Beratungsgespräch dalam bahasa Jerman, dalam bahasa Inggris disebut consultation talk. Dalam percakapan konsultasi, konsultan biasanya memiliki jam-jam bicara/konsultasi. Percakapan terjadi antara „expert“ dan „novice“ (Limberg, 2010). Skema inti percakapan konsultasi menurut Nothdurft, Reitemeier dan Schröder (1994)3 adalah: (1) Pembukaan , (2) Presentasi masalah, (3) Pengembangan perspektif masalah, (4) Pengembangan solusi dan pembahasan solusi, (5) Penutupan. Namun, dalam kenyataannya dapat terjadi pembiasan dari struktur ini. 2.4 Komunikasi Interkultural dalam Percakapan Konsultasi Akademik Penelitian komunikasi interkultural terkonsentrasi pada analisis miskomunikasi dan masalah dalam proses saling memahami dan mengerti.4 Masalah yang sering muncul biasanya berhubungan dengan kurangnya kompetensi dalam pemahaman dan penguasaan bahasa kedua, kesulitan yang biasa ditemui dalam keseharian atau adanya masalah yang berakar dalam konteks institusional (Rost-Roth, 2006). Selanjutnya disoroti jenis dan penyebab dari miskomunikasi dan proses saling memahami ini yakni tindak tutur, konteks situatif, latar belakang pengetahuan yang bersifat kultural, perbedaan kompetensi berbahasa, serta dimensi sosial seperti identitas kelompok dan diskriminasi. Tema ini juga dibahas oleh Kotthoff (1989) tentang problematika dalam pembukaan dan penutupan percakapan berdasarkan perbedaan budaya dan „keterbatasan“ penguasaan bahasa dari pembelajar. Nothdurft, Reitemeier dan Schröder (1994) membahas tema formulasi penyampaian maksud dalam pembukaan percakapan sebagai potensi munculnya masalah dalam proses percakapan konsultasi. 2.5 Analisis Percakapan Analisis percakapan atau conversation analysis (selanjutnya disingkat CA) adalah pendekatan untuk talk-in-interaction (Schegloff, 1979) yang bermula dari kajian ethnometodologi, dikembangkan oleh Harold Garfinkel (1976). Ethnometodologi mencoba mencari dan menemukan aturan dalam tindakan dan kejadian yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya untuk kemudian diinterpretasikan, seperti yang diungkapkan oleh ten Have (2007). CA adalah analisis sitematis dari percakapan yang diproduksi dalam interaksi manusia sehari-hari. Pionir CA adalah Harvey Sacks, Emanuel A. Schegloff dan Gail Jefferson. Penelitian CA terfokus pada “(the) interactional organization of social activities” (Hutchby dan Wooffitt, 1998:14) dengan prinsip dasar: (1) percakapan adalah penajaman konteks; (2) pembicara menciptakan, mempertahankan/ memperbaharui konteks; dan (3) pembicara memproduksi “aksi” mereka selanjutnya, setelah memahami “aksi” sebelumnya dan melakukan tindakan serupa pada tataran selanjutnya. Terlepas dari atribut seperti gender, kelas sosial, atau pemaknaan psikologis seperti intensi, interlokutor mengatur percakapannya untuk mencapai kesepahaman. Satuan lingual verbal atau nonverbal “dirancang” untuk menyelesaikan aksi seperti “[…] asking, answering, disagreeing, offering, contesting, requesting, teasing, finessing, complying, performing, noticing, announcing, promising, and so forth. […] inviting, announcing, telling, complaining, agreeing, and so forth.” (Schegloff, 1979:7). Cara kerja dan analisis CA adalah sbb: (1) Pengambilan data alamiah, (2) Analisis sekuensialitas dari data otentik dan ditranskripsikan,(3) Mencari keteraturan dengan antisipasi relatif /tetap, (4) Rekonstruksi struktur yang relevan dengan partisipan, (5) Memperhatikan recipient design, (6) Memperhatikan kontekstualisasi dan jika perlu memiliki pengetahuan etnografis.5 Penelitian CA klasik menggambarkan struktur organisasi percakapan seperti turn-taking, sequence organization, turn design dan reparasi. Dalam perkembangannya, CA berbasiskan ethnomethodologi bukan tanpa kritik, karena CA lebih banyak bergerak pada tataran mikro, sehingga sering lepas
3 konteks dan ahistoris. Oleh karena itu, berkembang kajian applied conversation analysis yang mengkaji bidang-bidang lain dengan menggunakan metode CA, termasuk untuk membahas komunikasi interkultural dan komunikasi institusional. 2.6 Teori Genre Komunikatif Terminologi “genre komunikatif” atau „kommunikative Gattung“ atau “communicative genre” dikemukakan oleh Luckmann (1986). Istilah ini digunakan kemudian oleh Günthner dan Knoblauch (1994) berdasar pada istilah genre yang biasa digunakan dalam bidang sastra dan linguistik.6 Fungsinya adalah melihat dan membuat satu „kebiasaan“ dari „pengetahuan“ suatu masyarakat. Dengan genre sebagai model analisis, maka suatu tindakan komunikatif yang berorientasi pada satu pola lengkap dan memiliki satu tujuan tertentu, dapat dikenali dari struktur proses interaksinya dan melalui pemilihan kode-kode kebahasaan tertentu.7 Definisi tentang genre komunikatif dari Günthner dan Knoblauch pun mengarah kepada hal yang sama yaitu tindakan komunikatif yang berulang secara khas, penyelesaiannya teratur serta membentuk suatu pola tertentu, sehingga mereka yang berinteraksi dapat berorientasi pada pola tersebut. Untuk menganalisis suatu genre komunikatif, dibuat ciri-ciri struktur dan tataran struktur yang tetap dan formal. Luckmann (1986) membedakan dua tataran dalam analisis genrenya, yaitu struktur dalam dan struktur luar. Tataran ketiga yaitu tataran realisasi situatif dikemukakan oleh Günthner dan Knoblauch (1994). Faktor-faktor yang termasuk ke dalam ketiga tataran tadi adalah sebagai berikut: (1) Tataran Struktur Dalam: terdiri atas satuan lingual verbal; elemen-elemen nonverbal; variasi bahasa; prosodi. Termasuk ke dalamnya tema dan motif, media, dan modalitas interaksi. (2) Tataran Struktur Luar: seperti ruang komunikatif (communicative milieu), lokasi komunikasi/interaksi, kesamaan alokasi waktu, kesamaan cerita/sejarah; peran dan status sosial serta lingkungan dan latar belakang sosial, kelompok etnis dan budaya tertentu. (3) Tataran Realisasi Interaktif Seperti proses membuka dan menutup suatu interaksi, fungsi partisipan, proses reparasi, pertukaran giliran bicara, dan lain sebagainya. 2.7 Pemerolehan Data Data pimer penelitian ini adalah ercakapan konsultasi akademik yang direkam secara audio-visual dengan handycam. Lokasi perekaman dilakukan di Goethe Institut Bandung, Indonesia pada tanggal 23 Februari 2010, 21 September 2010 dan tanggal 12 Oktober 2010 serta pada tanggal 27 Oktober 2010 di Asien-Afrika Institut Jurusan Jurusan Bahasa dan Budaya Asia Tenggara, Universitas Hamburg, Jerman. Selain itu, disertakan surat pernyataan kesediaan para subyek penelitian untuk direkam dan dianalisis serta ditampilkan dalam forum ilmiah terbatas untuk melindungi hak pribadi mereka. Pernyataan kesediaan ini juga berisikan informasi demografis seperti jenis kelamin, latar belakang budaya dan pendidikan subyek penelitian untuk proses penganalisisan selanjutnya. 2.8 Gambaran Umum Data Korpus penelitian adalah rekaman situasi percakapan konsultasi akademik yang dilakukan oleh seorang lektor DAAD8 (selanjutnya disebut D1) yang juga dosen di Jurusan Sastra Jerman Universitas Padjajaran Bandung dengan mahasiswa dari Jurusan Sastra Jerman Universitas Padjadjaran dan percakapan lektor bahasa Indonesia di Jurusan Jurusan Asia Tenggara, Asia Afrika Institut Universitas Hamburg9 dengan mahasiswa semester 5 di jurusan tersebut. Selain itu, terdapat percakapan dengan klien peserta umum yang mencari informasi tentang studi di Jerman. Kedua lektor adalah perempuan, sedangkan mahasiswa dan klien yang datang untuk berkonsultasi terdiri atas 8 perempuan dan 8 lakilaki.10
4 Lokasi perekaman dilakukan di sebuah ruangan kelas dan di kebun dalam Goethe Institut Bandung11 (dalam data selanjutnya disingkat GI). Data lainnya diambil di Jurusan Bahasa dan Budaya Asia Tenggara, Asien-Afrika Institut, Universitas Hamburg (selanjutnya disingkat UHH). Percakapan yang direkam berjumlah 15 percakapan dengan durasi sekitar 10 sampai 60 menit. Durasi rata-rata situasi konsultasi ini adalah 27:11 menit. Total durasi percakapan yang direkam adalah 406:66 menit. Kedua lektor adalah penutur asli bahasa Indonesia dan Jerman yang telah tinggal lebih dari 3 tahun di Indonesia dan di Jerman. Keduanya berpendidikan S2. Sedangkan mahasiswa Indonesia dan Jerman yang berkonsultasi adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang menulis skripsi atau sedang membuat makalah dan tugas akhir. Mahasiswa lain yang datang untuk berkonsultasi pada D1 adalah mahasiswa peserta kursus bahasa Jerman di Goethe Institut. Partisipan lainnya adalah mahasiswa Indonesia lulusan S1 dari Jepang yang berminat melanjutkan studi di Jerman, seorang dosen lulusan S2 dari Unpad yang juga berminat melanjutkan studinya, satu pria yang mencari informasi beasiswa studi di Jerman untuk adiknya yang masih duduk di SMP dan satu situasi percakapan yang melibatkan sekelompok mahasiswa peserta kursus di Goethe Institut Bandung. Bahasa yang digunakan dalam konsultasi ini adalah bahasa Indonesia dan/atau Jerman, atau campuran dari keduanya. Selain pembimbingan skripsi dan makalah, tema konsultasi yang dilakukan adalah tentang informasi studi di Jerman dan di Indonesia dan tentang perkuliahan secara umum. 2.9 Transkripsi Data Setelah percakapan direkam secara audio-visual, hasil rekaman ditranskripsikan. Proses pentranskripsian dilakukan dengan menggunakan program transkripsi F412. Konvensi transkripsi yang digunakan adalah konvensi GAT13 atau gesprächsanalytisches Transkriptionssystem dari Selting et.al. (1998). Walau tidak ada transkripsi yang benar-benar objektif dan dengan tepat dapat menggambarkan apa yang terjadi dalam proses interaksi, proses transkripsi ini menjadi bagian yang paling penting dalam analisis percakapan. III. Temuan dan Diskusi Interaksi dalam fase pembukaan percakapan konsultasi akademik dimulai dengan adanya prebeginning dengan ujaran verbal dan penanda-penanda nonverbal. Fase pre-beginning ini dimulai oleh dosen/konsultan yang dalam situasi percakapan konsultasi memiliki posisi „lebih tinggi“ dibandingkan mahasiswa/klien yang datang kepadanya, sehingga turn pertama dimiliki oleh dosen/konsultan. Selanjutnya terjadi pertukaran salam dengan format salam seperti „hallo“ dan „selamat siang“ dan modifikasinya. Sekuen pertukaran salam hanya ditemukan dalam percakapan yang diambil di Jerman. Data yang diambil di Indonesia tidak menunjukkan fenomena ini. Setelah proses bertukar salam, fase pembukaan percakapan ini sebagian diikuti dengan proses identifikasi diri dan/atau pengenalan. Proses identifikasi ini muncul dari pihak mahasiswa/klien dan tidak selalu dengan menyebutkan nama, melainkan secara implisit dengan penjelasan posisi atau maksud mereka datang ke jam konsultasi si dosen/konsultan. Dalam beberapa data tidak terjadi proses identifikasi karena dosen dan mahasiswa sudah saling mengenal sebelumnya. Temuan yang menarik adalah adanya proses pengenalan terhadap pihak lain oleh interlokutor pada percakapan GI-6, yaitu seorang kakak datang bersama adiknya. Jika dicermati secara kultural, terlihat bahwa kakak memiliki posisi dan peran yang lebih „tinggi“ dalam keluarga, sehingga dia „berhak“ turut „menentukan“ masa depan si adik. Penggunaan pronomina „kami“ membuat si adik berada di luar „lingkaran“ keputusan. Temuan yang khas dalam fase pembukaan percakapan konsultasi interkultural Indonesia – Jerman adalah proses menanyakan kabar dan menawarkan sesuatu berupa makanan, minuman dan rokok. Jika dikaitkan dengan faktor latar belakang budaya Indonesia yang memandang tamu sebagai orang yang „harus dihormati“ dengan „menjamu“ tamu tersebut, maka hal ini dapat menjelaskan tindakan D2 saat menanyakan kabar dan menawarkan sesuatu kepada „tamunya“. Dari fenomena ini terlihat bahwa D2
5 „mencampurkan“ situasi informal ke dalam setting formal institusi universitas dengan menawarkan makanan/minuman bahkan rokok dalam situasi interaksi formalnya, walaupun lokasi tempat terjadinya percakapan konsultasi ini formal. Hal ini juga terlihat dari pemakaian nama depan, walaupun dalam konteks Indonesia penggunaan nama juga bisa bermakna kesopanan dan menunjukkan posisi yang lebih tinggi dari rekan bicaranya. Situasi sebaliknya terjadi pada data yang diambil di Indonesia, di mana lokasi konsultasi bersifat semiformal, tetapi secara keseluruhan proses interaksinya berjalan formal. Dari temuan-temuan di atas, ternyata masalah perbedaan bahasa tidak terlalu menjadi kendala yang berarti dalam fase pembukaan percakapan. Namun, menarik untuk didiskusikan lebih lanjut bagaimana proses pembukaan percakapan mempengaruhi proses interaksi selanjutnya. Apakah small talk dapat membantu kelancaran proses konsultasi atau haruskah konsultasi dibuat seefektif mungkin dengan „mengenyampingkan“ faktor-faktor informal dan privat ke dalam proses interaksinya.
Daftar Pustaka Auer, P. (1999). Sprachliche Interaktionen: eine Einführung anhand von 22 Klassikern, Tübingen, Niemeyer. Drew, P. & Heritage, J. (eds.) (1992) Talk at work: Interaction in institutional settings, Cambridge, Cambridge University Press. Garfinkel, H. (1967). Studies in Ethnomethodology, New Jersey, Prentice Hall, Inc.. Günthner, S., Knoblauch, H. A. (1997). Gattungsanalyse. In: Hitzler, R./Honer, A. (Hrsg.) Sozialwissenschaftliche Hermeneutik – Eine Einführung, Opladen, Leske + Budrich. Günthner, S. (2001). Kulturelle Unterschiede in der Aktualisierung kommunikativer Gattungen, Info DaF 28, S. 15 – 28. Hinnenkamp, V. (1994). Interkulturelle Kommunikation - strange attractions. Zeitschrift für Literaturwissenschaft und Linguistik 93: 46 - 76. Hutchby, I & Wooffitt, R. (1998). Conversation Analysis. Principles, Practices and Applications, Cambridge, Polity Press. Kotthoff (1989) Lernersprachliche Probleme in argumentativen Gesprächen an der Universität in: Addison, A./Vogel, K. (Hrsg.). Fremdsprachen in Lehre und Forschung, Bochum : ASK, Band 7: 56-72. Limberg, H. (2010). The Interactional Organization of Academic Talk, Amsterdam/Philadelphia, John Benjamins Publishing Company. Luckman, T. (1986) Grundformen der gesellschaftlichen Vermittlung des Wissens: Kommunikative Gattungen, in: Neidhardt F.; Lepsius R.M.; Weiß J. (Hrsg) (1986) Kultur und Gesellschaft. Sonderheft 27 der Kölner Zeitschrift für Soziologie und Sozialpsychologie, Opladen. Nazarkiewicz, K. (2010). Interkulturelles Lernen als Gesprächsarbeit, Wiesbaden, VS Verlag für Sozialwissenschaften. Nothdurft, W. et.al (1994). Beratungsgespräche. Analyse asymmetrischer Dialoge, Gunter Tübingen, Narr Verlag. Quasthoff, Uta. (1980). Erzählen in Gesprächen: linguistische Untersuchungen zu Strukturen und
6 Funktionen am Beispiel einer Kommunikationsform des Alltags, Tübingen, Gunter Narr Verlag. Rost-Roth, M. (2006). Intercultural communication in institutional counselling sessions in Bührig, K. & ten Thije, J. D. (eds.) Beyond Misunderstanding: Linguistics analyses of intercultural communication, Amsterdam, John Benjamins, 175 - 188. Schegloff, E.A. (1979) Identification and Recognition in Telephone Conversation Openings in Psathas, G. (ed.) Everyday Language: Studies in Ethnomethodology, New York, Irvington Publishers, 23 – 78. Selting, M. et.al (1998). Gesprächsanalytisches Transkriptionssystem (GAT) in Linguistische Berichte 173, S. 91 - 122.
1
Lebih lanjut lihat Hinnenkamp (1994), Phillipp (2003). Lihat Limberg (2010:31). 3 Diterjemahkan dari Nothdurft, Reitemeier dan Schröder (1994). 4 Lihat Rost-Roth (2006). 5 Lihat Narkiewicz (2010). 6 Lihat dan bandingkan Auer (1999). 7 Lebih lanjut lihat Luckmann (1986). 8 DAAD atau Deutscher Akademischer Austauschdienst adalah dinas pertukaran akademik Jerman yang memfasilitasi pertukaran tenaga akademik dan mahasiswa dari Jerman ke negara-negara lain di seluruh dunia, dan sebaliknya. Keterangan lebih lanjut tentang DAAD dapat dilihat di http://www.daad.de 9 Pada jurusan Bahasa dan Budaya Asia Tenggara ada pengkhususan bidang bahasa dan budaya Indonesia. Informasi lebih lengkap tentang jurusan ini dapat dilihat di http://www.aai.uni-hamburg.de/soa/ 10 Secara kebetulan, lektor DAAD di 4 universitas negeri di Indonesia (UI, UNJ, Unpad dan Malang) dan lektor Bahasa Indonesia di 4 universitas di Jerman (Passau, Bonn, Köln dan Hamburg) semuanya perempuan. Distribusi berbasis gender ini tidak menjadi fokus dalam penelitian ini. 11 Goethe Institut adalah lembaga kebudayaan Jerman yang memfasilitasi kursus bahasa Jerman di seluruh dunia dan juga menyelenggarakan acara-acara budaya. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di http://www.goethe.de 12 Informasi lebih lanjut tentang program transkripsi ini bisa dilihat dan diunduh di http://www.audiotranskription.de/f4.htm?refID=go/f4Software/f4%20transkription&emsrc=kw&gclid=CNe2jtvr8akCFQIt3wodRmtsYg 13 Lebih lanjut lihat Selting et.al (1998) 2