i
INTEGRASI DATA SUB BOTTOM PROFILE DAN GRAVITY CORE UNTUK MENENTUKAN DINAMIKA SEDIMENTASI RESEN DI PERAIRAN UTARA WOKAM
ULIL AMRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Integrasi Data Sub bottom Profile dan Gravity Core untuk Menentukan Dinamika Sedimentasi Resen di Perairan Utara Wokam adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2016 Ulil Amri NIM C552130021
iv
RINGKASAN ULIL AMRI. Integrasi Data Sub bottom Profile dan Gravity Core untuk Menentukan Dinamika Sedimentasi Resen di Perairan Utara Wokam. Dibimbing oleh TOTOK HESTIRIANOTO, HENRY M. MANIK dan P. HADI WIJAYA. Keberadaan sedimen di dasar laut mendapat pengaruh faktor hidrooseanografi hingga material sedimen terbawa dan terendapkan pada dasar laut. Dalam kurun waktu yang panjang sedimen terendapkan akan mengalami sedimentasi hingga terbentuk lapisan sedimen di dasar laut, dengan mengetahui kondisi tersebut dapat diketahui bagaimana proses lapisan sedimen terbentuk dan faktor oseanografi yang mempengaruhinya (Hutabarat dan Evans 1985). Sedimentasi di dasar laut Arafura terjadi secara bertahap membentuk lapisanlapisan, sehingga antara lapisan yang lebih dalam dengan lapisan bagian luar akan mempunyai materi organik yang berbeda (Nurhayati 2006). Pentingnya mengetahui tipe partikel penyusun dasar perairan adalah untuk mengetahui pola sebaran berbagai jenis sedimen berdasarkan ukuran dan asal substrat pada suatu perairan untuk itu perlu diupayakan metode lain yang dapat memberikan informasi dasar laut. Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi tentang kedalaman laut (Bathymetry) dengan menggunakan Sub bottom profiler (SBP) jenis pinger, mengidentifikasi struktur, lapisan dan lingkungan pengendapan sedimen, mengidentifikasi informasi abiotik ukuran sedimen dan sebarannya. Secara morfologi bathymetri daerah penelitian dibagi menjadi dua lokasi, yaitu daerah dataran pada bagian timur dan daerah rendahan sangat dalam pada bagian barat. Pada bagian timur morfologi yang terbentuk terdiri dari closure atau punggungan, kisaran kedalaman -1.5 hingga -100 meter dibawah permukaan air laut, sedangkan morfologi pada bagian Barat merupakan morfologi rendahan dengan kedalaman kisaran -101 hingga -3735.5 meter dibawah permukaan air laut (Palung Aru). Analisis tekstur yang dilakukan terhadap sampel sedimen di lokasi penelitian menunjukan adanya empat tipe sedimen, yaitu kerikilan, pasiran, lanauan dan lempungan. Secara keseluruhan dari empat lokasi pengambilan contoh didominasi oleh lanauan 53.1 %, pasiran 39.3 %, kerikilan 5.7 % dan lempungan 1.95 %. Berdasarkan hasil analisa fraksinasi sedimen pada empat titik pengambilan core, teridentifikasi adanya dua tipe substrat, yaitu lanau pasiran dan pasiran. Hasil identifikasi fasies ditemukan dua belas jenis yaitu: Subparallel, Sigmoid, Chaotic Fill, Downlap, Erosional Truncation, Prograded Fill, Divergent, Complex, Hummocky, Wavy parallel Subparallel between parallel, Divergent fill. Lingkungan pengendapan sedimen didominan oleh fasies Subparallel, Sigmoid dan Chaotic Fill. Hasil identifikasi pola refeksi akustik ditemukan pola refleksi discontinuity (tidak adanya keberlanjutan/putus-putus) dan pola continuity (kemenerusan) sinyal akustik pada endapan sedimen. Pola discontinuity menandakan bahwa frekuensi yang diterima endapan rendah, sedangkan continuity menandakan frekuensi yang diterima tinggi. Kata kunci: Fasies Seismik, Perairan Utara Wokam, Sub bottom Profiler.
v
SUMMARY ULIL AMRI. Sub bottom profiler and Gravity Core Data Integration for Determine Recen Sedimentation Process of North Wokam Islands Offshore. Supervised by TOTOK HESTIRIANOTO, HENRY M. MANIK dan P. HADI WIJAYA. The existence of sediments on the seabed influence of hydro-oceanographic factors to sedimentary material carried and deposited on the seabed. In a long period of sediment will deposited to form a layer on the sea floor, knowing these condition can be known how the sediment layer is formed and oceanographic factors influence (Hutabarat and Evans 1985). Sedimentation in the Arafura sea occurs gradually form layers between the inner layers and the outer layers will have different organic materials (Nurhayati 2006). The importance to knowing the type of constituent particles bottom waters is to determine the distribution pattern types of sediment by size and origin of the substrate on a body of water, so that we need other methods can provide information seabed. This study aimed to get information about the ocean depths (bathymetry) by using a sub bottom profiler (SBP) type pinger, identify the structures, layers and facies of sediment, identifying information abiotic sediment size and distribution. Morphologically research area, location of research is divided into two location, it is the plains area in the Eastern part and the lower area is very deep (Trench Aru) in the West. In the eastern the morphology is formed consisting of a closure or ridge, depth range of -1.5 to -100 meters below sea level, while the morphology of the western very deep, the range of -101 to -3735.5 meters below sea level. This research result indicate texture analysis on samples of the sediment has been conducted the four types of sediment, which gravel, sandy, silty and clay. Overall four sampling sites are dominated by 53.1% of silty, 39.3% of sandy, 5.7% of gravel and 1.95% of clay. According of the analysis of sediment fractionation fourth of sample have been identified two types of substrates, namely sandy silt (three cores), sandy (single core). Result of seismic in this research indicate of facies identification present found twelve types: Subparallel, Sigmoid, Chaotic Fill, Downlap, Erosional Truncation, Prograded Fill, Divergent, Complex, Hummocky, Wavy parallel, Subparallel between parallel, Divergent fill. The Facies of seabad dominanted by Subparallel, then Sigmoid and Chaotic Fill. Based on identification of acoustic reflection found discontinuity (lack of sustainability or dashed) and continuity (continuity of) an acoustic signal in the sediments. Discontinuity pattern indicates that the received frequency low deposition, while the continuity indicates the received in the high frequency. Keywords : North Wokam Offshore, Seismic Facies, Sub bottom profiler.
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
INTEGRASI DATA SUB BOTTOM PROFILE DAN GRAVITY CORE UNTUK MENENTUKAN DINAMIKA SEDIMEN RESEN DI PERAIRAN UTARA WOKAM
ULIL AMRI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Ediar Usman, MT
ix
Judul Tesis
Nama NIM
: Integrasi Data Sub bottom Profile dan Gravity Core untuk Menentukan Dinamika Sedimentasi Resen di Perairan Utara Wokam : Ulil Amri : C552130021
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Totok Hestirianoto MSc Ketua
Henry Munandar Manik, SPi MT PhD Anggota
Dr Priatin Hadi Wijaya, ST MT Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian : 29 Januari 2016
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat penulis selesaikan dengan judul Integrasi Data Sub bottom Profile dan Gravity Core untuk Menentukan Dinamika Sedimentasi Resen di Perairan Utara Wokam. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada komisi pembimbing Bapak Dr Totok Hestirianoto meter Sc, Bapak Henry M. Manik S Pi, MT, Ph D dan Bapak Dr P. Hadi Wijaya ST, MT atas segala arahan, masukan dan bimbingannya selama proses pelitian, pengolahan data dan penulisan tesis. Kepada Bapak Dr Ir Ediar Usman MT selaku penguji tamu pada ujian akhir tesis yang telah memberikan saran dan masukan pada penulis. Ucapan terima kasih kepada kepala PPPGL yang telah memberikan izin untuk mengikuti survei KR GEOMARIN III dan menggunakan data hasil survei, berikut staff dan kru kapal tanpa terkecuali, segenap staf Laboratorium Sedimen PPPGL Cirebon yang telah membatu selama analisis laboratorium dilaksanakan, semoga kerjasama ini bisa berlanjut. Ucapan terima kasih kepada DIKTI yang telah memberikan bantuan Beasiswa Pascasarjana Pendidikan Dalam Negeri (BPP-DN) tahun 2013-2015, selanjutnya kepada ketua prodi teknologi kelautan berikut jajaran staf dan dosen pengajar. Rekan-rekan TEK 2013, suatu kebanggaan bisa bersama-sama bersekolah di Sekolah Pascasarjana IPB. Terkhusus kepada orang tua tercinta dan keluarga yang selalu memberikan motivasi, semangat dan do’a hingga saat ini, serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini tidak semata-mata menjadi syarat kelulusan dari program magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan kontibusi dan bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Penulis mengakui karya ilmiah ini masih terdapat kekurangan dengan besar hati menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya penulisan dimasa mendatang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, April 2016
Ulil Amri NIM C552130021
xi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pikir Penelitian
1 2 2 3 3
2 METODE
5
Waktu dan Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Analisis Data
5 5 11
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
22
Bathymetry dan Morfologi Dasar Laut High Frequency Echoes dan Post Signal Processing Integrasi Data Akustik dan Data Sedimen Core 4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
22 24 35 54 54 54
DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
58
DAFTAR TABEL 1 Peralatan yang digunakan di lapangan 6 2 Daftar alat yang digunakan saat pengolahan data 6 3 Alat dan peralatan yang digunakan di laboratorium sedimentologi dan geologi kelautan PPPGL Cirebon 7 4 Data rekaman Trace#26888 pada kedalaman 400 ms hingga 1000 ms data minimum 256 dan maksimum 32640 26 5 Data rekaman trace#124098 pada kedalaman 50 ms hingga 125 ms data minimum 128 dan maksimum 32640 28 6 Data rekaman trace#84798 pada kedalaman 1508.27 ms hingga 3466.53 ms data minimum 128 dan maksimum 32640 30
xii 7 Data rekaman trace#62073 kedalaman 50 ms hingga 119.75 ms data minimum 128 dan maksimum 26112. 8 Hasil pengambilan sampel inti sedimen di lapangan. 9 Tabel parameter statistik dan jenis sedimen di lokasi penelitian
32 46 46
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pikir penelitian 2 Kerangka pikir penelitian bagian A bathymetry dan profil sedimen 3 Kerangka pikir penelitian bagian B akustik 4 Peta lokasi penelitian 5 Sistem konfigurasi komponen SBP 6 Konfigurasi array SBP SyQwest dan gambaran ping menuju dasar laut 7 Deskripsi alat gravity core untuk menangkap sampel inti sedimen 8 Grafik semi-variogram 9 Langkah pembelahan core sampel sedimen secara manual 10 Langkah pengolahan data SBP pada analisis fasies sesimik dangkal dan penamaannya 11 Gambaran kedalaman perairan daerah penelitian 12 Gambaran 3D dan morfologi kedalaman perairan utara pulau wokam 13 Profil rekaman data SBP dan posisi trace#26888 pada Lintasan 1 14 Grafik perbandingan frekuensi kejadian pada masing-masing kelas trace#26888 15 Profil rekaman SBP dan posisi trace#124098 pada Lintasan 3 16 Grafik perbandingan frekuensi kejadian pada masing-masing kelas trace#124098 17 Profil rekaman SBP dan posisi trace trace#84798 pada Lintasan 5 18 Grafik perbandingan frekuensi kejadian pada masing-masing kelas trace#84798 19 Profil rekaman SBP dan posisi trace#62073 pada Lintasan 8 20 Grafik perbandingan frekuensi kejadian pada masing-masing kelas trace#84798 21 Grafik perbandingan log frekuensi kejadian masing-masing trace 22 Profil seismik dangkal sub bottom profile pada Lintasan 1 23 Perbesaran titik pada Lintasan 1 trace#55000 - trace#68500 24 Pola refleksi akustik Lintasan 1 trace#55000 - trace#68500 25 Profil seismik dangkal sub bottom profile pada Lintasan 3 26 Perbesaran titik pada Lintasan 3 mulai trace#72000 - trace#84000 27 Pola refleksi akustik Lintasan 3 mulai trace#72000 - trace#84000 28 Profil seismik dangkal sub bottom profile pada Lintasan 5 29 Perbesaran titik pada Lintasan 5 mulai trace#76000 - trace#96000 30 Pola refleksi akustik Lintasan 5 mulai trace#76000 - trace#96000 31 Profil seismik dangkal sub bottom profile pada Lintasan 8 32 Profil a perbesaran x 4%, y 550% Lintasan 8 mulai trace#8000trace#33500
3 4 4 5 8 8 10 15 16 21 23 24 26 27 28 29 30 31 32 33 33 36 37 37 38 38 39 39 40 40 41 41
xiii 33 Pola refleksi akustik lintasan 8 mulai trace#8000- trace#33500 34 Profil b perbesaran x 4%, y 550% Lintasan 8 mulai trace#64000trace#92000 35 Pola refleksi akustik profil Lintasan 8 mulai trace#64000- trace#92000 36 Model 3D diagram pagar sub bottom profile dan lokasi gravity core 37 Distribusi dan interpolasi persentase fraksi krikilan pada masing-masing core 38 Grafik arah pergerakan sedimen kerikilan berdasarkan core 39 Distribusi dan interpolasi persentase fraksi pasiran pada masing-masing core 40 Grafik arah pergerakan sedimen pasiran berdasarkan core 41 Distribusi dan interpolasi persentase fraksi lanauan pada masing-masing core 42 Grafik arah pergerakan sedimen lanauan berdasarkan core 43 Distribusi dan interpolasi persentase fraksi lempung pada masing-masing core 44 Grafik arah pergerakan sedimen lempungan berdasarkan core
42 42 43 44 47 48 49 49 50 51 51 52
DAFTAR LAMPIRAN 1 Spesifikasi dan deskripsi Kapal Riset Geomarin III PPPGL 2 Spesifikasi instrumen Bathy-2010 CHIRP sub bottom profiler and bathymetri echosounder 3a Pengujian impedansi tranduser 3b Penampang tansducer 3,5 kHz model TR-109 4 Spesifikasi alat navigasi yang digunakan selama penelitian 5 Tabel data berat sampel sedimen setelah diayak 6 Tabel data rekaman masing-masing trace yang sudah di filter 7 Grafik gelombang pada masing-masing trace 8 Ketetapan parameter akustik untuk sedimen.
60 61 62 63 64 66 67 70 71
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Keberadaan sedimen di dasar laut mendapat pengaruh faktor hidrooseanografi hingga material sedimen terbawa dan terendapkan pada dasar laut, dalam kurun waktu yang panjang sedimen terendapkan akan mengalami sedimentasi hingga terbentuk lapisan sedimen di dasar laut, dengan mengetahui kondisi tersebut dapat diketahui bagaimana proses lapisan sedimen terbentuk dan faktor oseanografi yang mempengaruhinya (Hutabarat dan Evans 1985). Sedimentasi di dasar Laut Arafura terjadi secara bertahap membentuk lapisanlapisan, sehingga antara lapisan yang lebih dalam dengan lapisan bagian luar akan mempunyai materi organik yang berbeda (Nurhayati 2006). Menurut Irfania (2009) Laut Arafura dengan tingkat kesuburan yang tinggi dan memiliki potensi cukup besar dalam bidang perikanan sehingga memiliki daya tarik tersendiri untuk dikaji. Tingkat kesuburan dan potensi yang ada tidak terlepas dari faktor yang mempengaruinya seperti biota yang hidup di dasar perairan, struktur, jenis dan tipe sedimen dasar laut. Pentingnya mengetahui tipe partikel penyusun dasar perairan adalah untuk mengetahui pola sebaran berbagai jenis sedimen berdasarkan ukuran dan asal substrat pada suatu perairan. Substrat dasar perairan dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran partikel, sumber, lokasi, dan warnanya. Data dasar perairan diambil menggunakan grab yang memiliki banyak kendala, misalnya hanya dapat dipergunakan dalam wilayah yang terbatas dan dangkal dengan waktu yang lama, untuk itu perlu diupayakan metode lain yang dapat memberikan informasi dasar laut. Metode hidro-akustik dan gravity core merupakan metode yang mampu mendapatkan informasi mengenai tipe dasar perairan dengan menggunakan echosounder, disamping dapat mengetahui informasi mengenai tipe dasar perairan, metode hidro-akustik juga dapat diaplikasikan dalam pemetaan kedalaman perairan atau bathymetry. Jenis lapisan, ketebalan dan lingkungan pengendapan sedimen dapat diprediksi dan diketahui melalui pola refleksi gelombang akustiknya. Lapisan sedimen di dasar perairan memiliki sifat fisis yang variatif, salah satu sifat fisis yang terdapat di bawah permukaan adalah tingkat kerapatan (density) sedimen. Tingkat kerapatan sedimen ini merupakan parameter geologi yang sangat berpengaruh terhadap rambatan gelombang akustik. Variasi dari kerapatan sedimen pada permukaan dasar laut banyak didominasi oleh sedimen lepas, sedimen terkonsolidasi, sedimen kompak, terkadang dijumpai batuan keras namun variasinya tidak terlalu banyak pada suatu daerah. Kekompakan suatu sedimen biasanya dinyatakan dalam bentuk compressive fracture strength. Compressive fracture strenght merupakan tekanan maksimum yang mampu ditahan oleh batuan untuk mempertahankan diri dari terjadinya rekahan (fracture). Besarnya fracture strength dipengaruhi oleh densitas dan kekompakan sedimen, sedangkan besarnya densitas dan kekompakan juga dipengaruhi oleh elastisitas sedimen. Sistem BATHY-2010 Chrip Sub Bottom Profiler and Bathymetric Echo Sounder terpasang dalam lambung kapal dan towfish. Tranducer dari sub bottom profiler jenis pinger terdiri dari elemen piezoelektrik kecil, memancarkan glombang
2 pendek, tunggal dan frekuensi tinggi (mulai dari 1 kHz hinga 40 kHz) ketika diaktifkan oleh dorongan listrik. Sistem yang paling umum digunakan menghasilkan frekuensi bandwidth yang sempit 3.5 kHz. Tranducer bertindak sebagai Transmitter dan Receiver. Pingers hanya dapat menangani pulsa energi rendah (biasanya 10-60 joule). Output daya rendah, dikombinasikan dengan bandwidth frekuensi yang sempit, menghasilkan penetrasi yang terbatas hanya beberapa meter di sedimen berpasir, tetapi sampai 50 meter dalam sedimen berlumpur.
Perumusan Masalah Wilayah perairan sekitar pulau kepulauan Aru telah mengalami sejarah eksplorasi yang panjang dari tahun 1973 sampai sekarang. Kegagalan yang umum dari eksplorasi tersebut adalah tidak dijumpainya muatan migas (no charge) dari sekuen-sekuen berumur Jura, kegagalan lain adalah tidak dijumpainya sekuensekuen pasir yang diharapkan sebagai reservoar (sand missing, pinched out and eroded). Akibat adanya kegagalan pengeboran secara langsung mempengaruhi substrat dasar perairan sebagai habitat organisme laut dalam. Partikel-partikel sisa pengeboran yang terbawa oleh arus laut akan terus dibawa oleh arus dan pergerakan massa air hingga terjadi endapan di dasar perairan, pengendapan substrat dasar laut tidak hanya berasal dari sisa pengeboran migas lepas pantai, pemasangan pipa bawah laut, pembangunan pelabuhan dan abu letusan gunung vulkanik namun sungai juga memberikan pengaruh besar terhadap transpor sedimen. Beberapa faktor inilah yang mempengaruhi komposisi dan distribusi organisme perairan. Apabila terjadi perubahan kualitas substrat dasar perairan sebagai habitatnya secara langsung kuantitas sumberdaya hayati di lautan akan berkurang. Irfania (2009) telah memberikan beberapa informasi mengenai nilai backscattering dari berbagai tipe dasar perairan di bagian selatan Kepulauan Aru namum belum adanya pembahasan mengenai lapisan dan jenis lingkungan pengendapan sedimen di utara Kepulauan Aru. Berdasarkan permasalahan ini dapat diajukan beberaapa pertanyaan penelitian yakni: [1] seperti apa bathymetri dan topografi daerah penelitian dan teknik apa yanga bisa digunakan dalam melakukan deteksi dasar perairan dan lapisan sedimen, [2] seperti apa struktur geologi daerah penelitian, perubahan dan penebalan sedimen, karakter sedimen yang ada pada lapisan sedimen resen, [3] bagaimana cara memberikan informasi lapisan sedimen dan penamaan lingkungan pengendapan kepada pembaca (dalam hal ini Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan) dari data bathymetry dan sub bottom profiler dengan high frecuency.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah [1] mendapatkan informasi tentang kedalaman laut (Bathymetri) dengan menggunakan Sub bottom profiler (SBP) jenis pinger. [2] mengidentifikasi struktur dan lapisan sedimen di bawah permukaan dasar laut (seabed). Gambaran lapisan sedimen yang dihasilkan SBP diharapkan
3 akan memberikan gambaran kondisi dasar laut untuk menentukan informasi penting yang berhubungan dengan topografi dan lapisan sedimentasi dasar laut. [3] mengidentifikasi informasi abiotik penyusun dasar laut (grain size) dan sebarannya dengan demikian, dapat dipahami karakteristik sedimen pada sampel core dan dinamika sedimentasi pada lapisan resen (berumur peistosen-holosen) melalui penampang lapisan sub bottom profile yang telah diinterpretasi secara vertikal.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi mengenai kedalaman laut, karakteristik dasar dan lapisan sedimen yang dihasilkan oleh alat akustik SubBottom Profiler jenis pinger. Selain itu gambaran lapisan sedimen juga bisa dimanfaaatkan untuk studi habitat dan geologi kelautan.
Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
4
Gambar 2 Kerangka pikir penelitian bagian A Bathymetry dan profil sedimen
Gambar 3 Kerangka pikir penelitian bagian B akustik Kerangka pikir merupakan visualisasi dari tahapan metode yang memandu penulis dalam menulis karya ilmiah ini, kerangka pikir dibuat dalam bentuk bagan alir agar pengertian mengenai sasaran penelitian, metode, pemrosesan, analisis data dan interpretasi serta penarikan kesimpulan dapat tergambarkan dengan jelas (Gambar 1). Sugiyono (2011) mengemukakan bahwa kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai hal yang penting dengan demikian kerangka berpikir melandasi pemahaman-pemahaman yang lainnya, sebuah pemahaman yang paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran atau suatu bentuk proses dari keseluruhan dari penelitian yang akan dilakukan.
5
2 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian Data penelitian ini menggunakan data survei Kapal Riset GEOMARIN III Pusat Penelitian Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL) perekaman data menggunakan instrumen sub bottom profiler dan pengambilan contoh sedimen selama 14 hari mulai tanggal 10 hingga 24 Juni 2014 di perairan Utara pulau Wokam Kepulauan Aru pada koordinat 4°22'49"LS – 5°34'3"LS dan 133°51'19" BT – 135°29'55" BT, lokasi survei ditampilkan pada Gambar 4. Analisis data sedimen dilakukan pada bulan Juli 2014 bertempat di Laboratorium Sedimentologi PPPGL Cirebon.
Gambar 4 Peta lokasi penelitian
Bahan dan Alat Survei pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan Kapal Riset GEOMARIN III Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Pusat Penelitian Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL). Penempatan posisi tranducer sudah terpasang pada kapal. Daftar peralatan dan bahan yang digunakan disajikan pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3 :
6
Tabel 1 Peralatan yang digunakan di lapangan No Nama Peralatan Fungsi 1 Kapal GEOMARIN III sarana penelitian
2
3
Bathy-2010 CHIRP Sub instrumen akustik bottom Profiler and Bathymetri Echosounder C-NavTM GPS System penentu data posisi
4
Gravity core
5
Pipa paralon
6
Kantung Plastik
8
Hardisk eksternal dan alat tulis
alat pengambil contoh substrat tempat penyimpan contoh tempat penyimpanan contoh tempat penyimpanan data cadangan
Keterangan Spesifikasi kapal terlampir pada Lampiran 1 spesifikasi terlampir pada Lampiran 2 dan Transducer Lampiran 3 spesifikasi terlampir pada Lampiran 4 Gambar 7 panjang diameter
=7m = 5 inc
Sony 1 TB
Tabel 2 Daftar alat yang digunakan saat pengolahan data No Nama Peralatan Fungsi dan Keterangan 1 Komputer Laptop media pengetikan dan pengolahan data : Intel®Core™ i5-3210M CPU @2.50GHz 4 GB RAM, 32-bit Operation System, VGA AMD Radeon Graphics, Windows7 Ultimate 2 Komputer PC media pengolahan data : Intel®Core™ i5-4460M CPU @3.2GHz 8 GB RAM, 64-bit Operation System, VGA NVIDIA GeForce GT 730 Graphics, Windows7 Ultimate 3 Ayakan Bertingkat Menentukan ukuran Spesifikasi terlampir butiran sedimen pada Lampiran 5 4 Software Bathy-2010 perangkat lunak untuk *.ocd CHIRP Sub Bottom menampilkan rekaman *.segY Profiler and Bathymetri lapisan sedimen *.segD Echosounder 5 Sampel Coring bahan yang akan Fraksi dan tekstur dianalisis 6 microsoft office 2013 perangkat lunak penyaji data dalam bentuk teks, tabel, slideshow 7 SonarWiz5, Seisee, perangkat lunak dalam pemrosesan data Kogeo, Triton Imaging rekaman akustik 8 ArcGis 10 perangkat lunak penyaji data dalam bentuk peta
7 Tabel 3 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Alat dan peralatan yang digunakan di laboratorium sedimentologi dan geologi kelautan PPPGL Cirebon Nama Peralatan Fungsi Bahan/Sampel core Bahan yang akan dianalisa Ayakan bertingkat Menyaring sampel Alumunium foil/cawan keramik Wadah sampel Gelas ukur 1000 ml, 100 ml dan 10 ml Penakar larutan Stopwacth Penghitung waktu Oven Pengering sampel Timbangan analitik Penakar sampel Penyumpit dan Pipet tetes Penakar larutan (per ml) Hydrogen Peroksida konsentrasi 3-5% Oksidator Core cutter Alat pembelah core Aquades dan perekat entellen Bahan pembuat sayatan oles Kaca preparat dan cover glass Dasar dan penutup sayatan oles Mengetahui warna contoh sedimen Colour chart Alas sampel dalam oven Nampan stainless steel Membersihkan ayakan dari partikel Kuas sampel lumpur yang sangat halus
Perekaman Data Akustik Survei sub bottom profile dilaksanakan bersamaan dengan survei bathymetry. Untuk mendapatkan data lapisan sedimen yang relatif bagus dan dapat mewakili kondisi dasar laut, maka lintasan kapal dibuat sistematik paralel memotong diagonal menggunakan alat akustik BATHY-2010 CHIRP sub bottom profiler dan Bathymetric Echo Sounder SyQwest. Memotong diagonal daerah penelitian adalah mulai dari Timur Laut ke Barat Daya utara Kepulauan Aru, sehingga lintasan dibuat dominan arah Barat Laut ke Tenggara dengan harapan dapat memperoleh informasi geologi lapisan sedimen yang maksimal (Gambar 4). Alat ini merupakan tipe sub bottom profiler yang sederhana yang terdiri dari tranducer, console trans-receiver dan software strata box yang terinstal dalam sebuah komputer akuisisi. Tranducer terpasang di lambung kapal, console trans-receiver dan komputer akusisi terletak dalam salah satu ruangan kapal. Software strata box yang terinstal dalam komputer memerintahkan console trans-receiver untuk mengirimkan sinyal gelombang akustik, kemudian gelombang akustik akan dipantulkan oleh lapisan-lapisan yang berada didasar laut hingga energinya habis. Hasil pantulan lapisan-lapisan dasar laut akan diterima oleh console trans-receiver yang kemudian akan diteruskan kedalam software strata box berupa sinyal digital yang kemudian akan tampak sebagai image (sistem konfigurasi SBP disajikan pada Gambar 5). Dalam kegiatan akuisisi peralatan sub bottom profile dilengkapi dengan peralatan penentu posisi DGPS dan software navigasi untuk memandu jalanya survei agar sesuai dengan lintasan yang direncanakan (Gambar 6). Profiler jenis pinger secara khusus diatur pada frekuensi tertentu. Agar lebih sederhana, deteksi dasar perairan pada perairan dangkal frekuensi bisa mencapai 200 kHz, namun untuk kedalaman air yang signifikan dan penetrasi dasar perairan frekuensi yang bekerja mulai dari 12 atau lebih sering 3.5 kHz (Damuth 1980). Pengoperasian sub bottom profiler jenis pinger pada 3.5 kHz biasanya
8 menghasilkan penetrasi pada kedalaman lapisan 10-15 meter, dengan resolusi kebawah 0.2 meter tergantung pada jenis endapan.
Gambar 5 Sistem konfigurasi komponen SBP (SyQwest.inc Bathy-2010 PC manual book)
Gambar 6 Konfigurasi array SBP SyQwest dan gambaran ping menuju dasar laut
9 Sistem BATHY-2010 dikonfigurasi sebagai perangkat akustik dengan pengukuran sensor yang fleksibel mampu digunakan di perairan dangkal, perairan dalam dan lapisan sedimen. Aplikasi hidrografi, BATHY-2010 mampu memberikan algoritma yang canggih untuk mendeteksi sinyal puncak, mode otomatis: gain penerima, lintasan pada dasar, panjang pulsa dan kontrol tingkat daya sangat menurunkan akurasi probabilitas deteksi/pelacakan dasar laut selain itu alat ini juga mampu memberikan energi tinggi bandwidth yang lebar dalam mengirimkan gelombang dan algoritma pengolahan TVG yang canggih untuk memfasilitasi penghitungan penetrasi maksimum dasar perairan. Receiver elektrik BATHY-2010 beroperasi dibawah kendali mikro prosesor dan memiliki karakteristik sebagai berikut, +26 dB pre-Amp Gain, kHz Signal Processing Bandwith, 60 dB controlled AGC, Programmable Balanced Modulator, 24 Bit Analog to Digital Conversion, 144 dB Signal Processing Dynamic Range, Output dari receiver diproses oleh dua TI Digital Signal Processors yang canggih. Sistem ini menerapkan pengolahan deteksi hukum kuadrat yang diikuti oleh postdeteksi filter yang cocok ditetapkan sesuai dengan panjang pulsa yang dikirimkan. Mode gain sistem hidrografi medeteksi puncak normalisasi, sistem menghitung nilai sinyal puncak rata-rata untuk periode integrasi dengan siklus 4 ping. Rata-rata nilai sinyal puncak dihitung menggunakan jendela geser integrasi 2 kali nilai panjang pulsa yang ditransmisikan. Rata-rata nilai puncak kemudian digunakan untuk menormalkan sinyal terdeteksi dengan menerapkan faktor gain yang sebanding dengan tingkat sinyal maksimum (gain faktor = nilai max/rata-rata nilai puncak). Hal ini dilakukan secara dinamis untuk setiap sampel output yang diproses. Kemudian Bathy-2010 melakukan fungsi deteksi dasar laut. Prediksi deteksi dasar laut di-filter dengan algoritma menggunakan kecepatan kapal, deteksi threshold dan sepenuhnya beroperasi otomatis untuk memberikan "hand off" data digital kedalaman di bawah mayoritas kondisi operasi. Sistem ini difasilitasi dengan mode otomatis panjang pulsa dan pengendalian level daya. Modus deteksi puncak digitalisasi dasar memberikan representasi paling akurat dari titik tengah dari bim akustik dan berfungsi sebagai metode untuk meningkatkan akurasi sistem akustik bim lebar. Sistem BATHY-2010 menggabungkan pemrosesan sinyal FM dengan bandwidth yang lebar (CHIRP) agar memberikan penetrasi dan resolusi untuk aplikasi sub bottom profiling. Sistem ini menggunakan algoritma korelasi replika yang cocok dengan normalisasi untuk mendapatkan data rekaman dasar laut. Seorang pengguna dapat memipilih waktu bottom-triggered time varied gain (BTTVG) kemudian diterapkan untuk mengimbangi pelemahan/atenuasi sedimen sehingga menghasilkan sesuaut yang penting dari kedalaman lapisan sedimen. BATHY-2010 biasanya dioperasikan pada frekuensi tengah 3.5 KHz dengan swep FM signal, yang dapat diprogram untuk menyapu frekuensi 8 KHz. Sapuan maksimum harus selalu digunakan karena menghasilkan resolusi terbaik dan SNR tertinggi. Dalam mode sub bottom output receiver diproses oleh 2 TI Digital Signal Processors. Mereka melaksanakan pengolahan deteksi korelasi (uji kecocokan). Koefisien filter replika dihitung dengan gelombang yang ditransmisikan ke dalam elektronik receiver. Modus gain pada sistem Sub bottom menerapkan BT-TVG untuk raw data pada tahap 0.5 dB/m dari 0.0 - 4.0 dB/m dan harus diterapkan sebagai berikut; Jumlah gain BT-TVG yang diterapkan harus berbanding terbalik dengan karakteristik redaman (atenuasi) sedimen. Nilai ini menghasilkan efek yang
10 menyebabkan lapisan sub bottom yang lebih keras atau lebih lembut dari sedimen di sekitarnya yang akan disorot. Semakin keras bagian bawah, atenuasi semakin besar karena perjalanan melalui lapisan dasar dan akibatnya semakin besar faktor gain yang harus diterapkan seperti dalam mode operasi hidrografi, gain dari hardware receiver dikendalikan sebagai fungsi ambient RMS background noise level (SyQwest 2010). Data yang diperoleh dari pengeruman ini adalah data digital berformat *.odc, *.seg-Y dan *.seg-D yang merupakan format standar software BATHY-2010. Agar memudahkan dalam pengolahan data akan dilakukan rangkaian proses konversi ke bentuk format lain (pada sub bab analisis pemrosesan data sub bottom profiler). Pengambilan Contoh Sedimen Dalam upaya mengambil contoh sedimen dari dasar laut, mulai menggunakan grab sampler, piston core, gravity core, sediment trap bahkan diambil secara langsung ke dasar dengan cara menyelam. Metode pengambilan contoh sedimen dasar laut yang cepat dan mudah adalah coring. Coring adalah suatu teknik yang digunakan untuk membawa sedimen dari dasar laut ke permukaan dengan menggunakan pipa core metal panjang yang diberi beban pemberat 350 kg dan diikat dengan kawat sling diatasnya (Gambar 7). Core bisa menembus lapisan sedimen pada kedalaman tertentu atau lebih dalam tergantung sudut jatuh dan arus bawah laut, dengan menggunakan core peneliti bisa menggambarkan stratigrafinya. Semakin kecil nilai arus dan sudut jatuh core kecepatan jatuh akan lebih cepat dan lebih dalam core yang tertancap, dalam penggunaanya alat ini memiliki prinsip jatuh bebas sehingga disebut gravity core. Sebelum dioperasikan dari atas kapal gravity core diikat menggukan kawat sling, pipa paralon berdiamater 2.5 inc sepanjang 312 cm dimasukan kedamam core sepanjang 7 meter selanjutnya ditutup dengan core catcher dan mata perunggu.
Gambar 7 Deskripsi alat gravity core untuk menangkap sampel inti sedimen Pipa paralon berfungsi sebagai wadah sedimen yang tertangkap, sehingga memudahkan dalam pemisahan contoh sedimen dengan pipa core, dalam penangan sampel pun akan lebih mudah selain itu contoh sedimen yang tersisa bisa disimpan kembali. Fungsi terpenting dari pipa paralon ini adalah bisa mempertahankan
11 lapisan dan struktur sedimen yang tertangkap sesuai dengan lapisan endapan asli yang berada di dasar laut. Pengambilan contoh sedimen dilakukan pada empat titik stasiun masingmasing mewakili garis lintasan (sampling 4, sampling 5, sampling 6, sampling 7) (Gambar 4). Jumlah tersebut diharapkan telah mewakili sampel dasar laut. Sampel ini berfungsi sebagai kontrol sebaran dasar laut berdasarkan nilai refleksi sistim akustik. Proses pengambilan sedimen dilakukan dari atas kapal, gravity core berdiameter 2.5 inch dengan panjang 7 meter yang sudah terikat dengan kawat sling dibiarkan jatuh bebas hingga tertancap ke dasar laut dan dikontrol dengan data kedalaman melalui layar monitor. Setelah core tertancap dan mendapatkan sampel dasar perairan core ditarik ke atas kapal, beberapa persen (tidak lebih dari 2%) dikeluarkan dari core untuk dianalisa sementara diatas kapal dan sisanya untuk dianalisa di laboratorium. Sampel sedimen dalam pipa paralon tersebut dibiarkan berada dalam pipa dalam keadaan tertutup dan dimasukan kedalam wet room dimana suhu ruangan disesuaikan dengan suhu dasar laut sehingga tidak mengubah struktur sedimen. Metode dan tahapan pengambilan contoh sebagai berikut : - Persiapan. Berupa penyiapan perangkat gravity corer, tempat sampel, labeling dan alat pendukung lainnya. - Pelaksanaan. Bila diperkirakan sedimen berukuran halus (lempung, lanau hingga pasir sangat halus) dan memiliki sifat kelekatan tinggi, maka gravity coring yang akan dilakukan. Perkiraan jenis substrat sedimen dan kedalaman laut dilakukan berdasarkan informasi dari sub bottom profiler 3.5 kHz. Kecepatan penurunan maupun penarikan kabel tidak lebih dari 25 meter/menit dan panjang kabel yang telah diturunkan atau ditarik dihitung oleh sebuah cable counter hasil rancang bangun teknisi PPPGL. - Segera setelah contoh sedimen berada di deck, pada beberapa contoh core perlu dilakukan pemotongan dan pembelahan terlebih dahulu. Analisa awal kemudian dilakukan, yang berupa: pencatatan terhadap kondisi core, penomoran (labelling), panjang perolehan core (core recovery), kedalaman dan posisi perolehan (core attribute) dan pemfotoan (picturing), serta pembuatan sayatan oles (smear slide). - Deskripsi megaskopis dilakukan guna mendata dan mengamati perubahan vertikal dari bagian atas hingga bawah core (untuk contoh hasil gravity corer), meliputi perubahan warna (dibandingkan dengan color chart), kandungan dan sifat fisik lainnya. Penampang core dan hasil deskripsi megaskopis dapat dilihat pada lampiran. Selain itu dilakukan juga pemerian mengenai sifat ke-liat an dan keplastisan sedimen dengan menggunakan torvane tester, hasil pengukuran dapat dilihat pada lampiran.
Analisis Data Analisis data dalam tulisan ini dititikberatkan pada lintasan 1, lintasan 3, lintasan 5 dan lintasan 8, sedangkan ukuran butir sedimen pada sampling core 4, 5, 6 dan 7 (Gambar 4). Alasan penarikan beberapa lintasan dan titik sampling core dari total lintasan dan sampling adalah memaksimalkan data dalam waktu yang
12 singkat tanpa mengurangi hasil yang ingin dicapai, lintasan dan sampling core yang dipakai dianggap telah mewakili wilayah penelitian keseluruhan. Pemrosesan Data Sub bottom profiler Sub bottom profiler akustik bim tunggal dan unit deteksi dasar perairan biasa disebut sebagai pinger. Sistem ini sama prinsipnya dengan unit sounding kedalaman yang digunakan untuk navigasi pada kebanyakan kapal, namun frekuensi diatur lebih rendah untuk penetrasi kedalam dasar perairan (Luskin et al., 1954). Sistem ping ini terdiri dari elemen rongga keramik piezoelectrically dengan Tranducer/ transceiver untuk menghasilkan dan menerima panjang pulsa yang terkendali, sinyal akustik frekuensi sempit (McGee 1995). Data file format *.odc yang diperoleh dari lapangan selanjutnya akan diproses lebih lanjut di Laboratorium Geofisik PPPGL Bandung. Pengolahan data sonar tidak ada aturan yang baku, semua didasarkan pada kebutuhan tujuan masing-masing peneliti. Pengolahan data sub bottom profiling menggunakan software pengolahan data SonarWiz Map, supaya data terlihat lebih baik dan lebih jelas dibanding data playback maka pada data olahan dilakukan beberapa langkah perlakuan seperti filtering, stacking, penambahan gain, selanjutnya dilakukan interpretasi data, digitasi terhadap lapisanlapisan sedimen yang telah terbentuk. Hasil digitasi pada software ini diperoleh data X, Y dan Z yang selanjutnya digunakan sebagai data kedalaman. Data rekaman akustik selama penelitian diambil berdasarkan titik sampling sedimen (sediment core) berada, sebelum data disajikan kedalam bentuk gambar, grafik dan peta raw data terlebih dahulu di proses menggunakan software Bathy2010 kemudian di ekstrak menjadi seg-y dibuka pada software seisee dan kogeo. Tahap pertama pemrosesan sinyal dimulai dengan pre-processing, yaitu tahapan filter data dan menerapkan time variable gain (TVG), kedua kompresi pulsa adalah mencocokan range data yang telah di-filter (konversi kode waktu penyebaran pulsa ke fungsi “delta”). Tahapan selanjutnya beamforming adalah menghitung arah (mencocokan data yang sudah di-filter dengan koordinat lintang dan bujur). Kemudian deteksi yaitu mendeteksi potensi target dasar laut dan lapisan sedimen (Gambar 2 dan 3). Kelima, menghitung parameter pendukung, posisi dan kecepatan dari objek yang terdeteksi dan yang terakhir adalah klasifikasi target, indentifikasi target dan pengenalan pola (Hansen 2009). Hubungan antara spectrum frekuensi (Hz) dengan amplitudo (dB) pada daerah core sedimen diambil pada satu trace dan dianalisis lebih lanjut. Nilai akustik akan di pangkas dari range 50-150 pada trace#26888 lintasan 1 sampling nomor 5 dan pada range 1500 hingga 2500 pada trace#124098 lintasan 3 sampling nomor 6, trace#84798 lintasan 5 sampling nomor 7 dan trace#62073 lintasan 8 sampling nomor 4. Pemotongan, penetapan pada range tersebut bertujuan untuk memadatkan, meningkatkan akurasi data. Hasil pemotongan data selanjutnya dikelompokan dari nilai minimal hingga nilai maksimal dengan interval kelas masing-masing 2500 data. Klasifikasi dan Analisis Multivarians Klasifikasi adalah sebuah proses untuk menemukan model yang menjelaskan atau membedakan konsep atau kelas data, dengan tujuan untuk dapat memperkirakan kelas dari suatu objek yang kelasnya tidak diketahui. Ciri-ciri sejumlah data dapat diketahui melalui pengelompokan data kedalam beberapa
13 kelas, kemudian dihitung banyaknya pengamatan yang masuk kedalam setiap kelas. Data yang disajikan dalam bentuk sebaran frekuensi dikatakan sebagai data yang telah dikelompokan. Banyaknya pengamatan yang masuk kedalam suatu kelas tertentu disebut frekuensi kelas (f). Lebar kelas suatu kelas didefenisikan sebagai selisih antara batas atas kelas dengan batas bawah kelas bagi kelas bersangkutan. Beberapa langkah dalam membuat sebaran frekuensi bagi segugus data yang besar menurut Walpole (1992), yakni : 1. metentukan banyaknya selang kelas yang diperlukan. 2. metentukan wilayah data tersebut. 3. membagi wilayah tersebut dengan banyaknya kelas untuk menduga lebar selangnya. 4. metentukan limit bawah kelas bagi selang yang pertama dan kemudian batas bawah kelasnya. Tambahkan lebar kelas pada batas bawah kelas untuk mendapatkan batas atas kelasnya. 5. mendaftarkan semua limit kelas dan batas kelas dengan cara menambahkan lebar kelas pada limit dan batas selang sebelumnya. 6. menentukan titik tengah kelas bagi massing-masing selang dengan merataratakan limit kelas atau batas kelasnya. 7. menentukan frekuensi bagi masing-masing kelas. 8. menjumlahkan kolom frekuensi dan periksa apakah hasilnya sama dengan banyaknya total pengamatan. Setelah dilakukan pengkelasan informasi yang terkandung dalam sebaran frekuensi dalam bentuk tabel kemudian disajikan secara grafik histogram, dalam diagram balok sebagai lebar balok diambil selang kelas sebaran frekuensinya sedangkan frekuensi setiap kelas ditunjukan oleh tinggi balok. Tujuan klasifikasi adalah untuk pengamatan kelompok ke dalam kategori yang terdiri dari individuindividu yang sama dan dengan demikian untuk memisahkan individu yang berbeda dalam kategori yang berbeda. Analisis varians, kriteria yang harus dipenuhi adalah meminimalkan estimasi varians antara kelompok (Johnston 1980). Analisis statistik multivarian merupakan metode analisis pengaruh beberapa variabel terhadap variabel lainnya dalam waktu yang bersamaan. Hubungan antar variabel, analisis multivarian dapat dibedakan menjadi dependence techniques dan independence techbiques. Dependence techniques memiliki dua jenis variabel, yaitu variabel terikat dan variabel bebas. Dependence techniques ini digunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan mengenai hubungan antara dua kelompok variabel tersebut, sedangkan dalam independence techbiques kedudukan setiap variabel sama, tidak ada variabel terikat dan variabel bebas. Biasanya independence techbiques digunakan untuk melihat saling keterkaitan hubungan antar semua variabel tanpa memperhatikan bentuk variabel yang dilibatkan. Menurut Iriawan dan Astuti (2006) analisis multivarian adalah suatu metode analisis data statistik yang dilakukan secara serentak dengan memperhitungkan korelasi antar variabel. Data multivarian adalah data yang tidak hanya terdiri atas 1 variabel, tetapi ada beberapa variabel yang digunakan untuk mengukur karakteristik tertentu. Tujuan analisis multivarian adalah menemukan dan menafsirkan struktur atau ciri-ciri yang mendasari data, dengan memperhitungkan korelasi antar variabel, variabel yang jumlahnya banyak akan dikelompokan ulang menjadi beberapa variabel dengan jumlah lebih sedikit. Penempatan variabel dilakukan karena ada prinsip parsimoni dalam statistik, yaitu apabila jumlah variabel makin
14 sedikit, maka model makin baik. Hasianro (2013) Principle of Parsimony merupakan suatu prinsip yang menyatakan bahwa semakin sederhana sebuah model statistik dengan jumlah variabel dependen (yang dipengaruhi) cukup informatif untuk menjelaskan model, semakin baik pula model statistik tersebut. Pemodelan Bathymetry dan Topograpi Wilayah Penelitian Peta bathymetry adalah peta kedalaman laut yang dinyatakan dalam angka kedalaman atau kontur kedalaman yang diukur terhadap datum vertikal (chart datum). Peta bathymetry diperlukan untuk mengetahui keadaan kedalaman laut sekitar lokasi suatu perairan (Triatmodjo 1999). Peta bathymetry biasanya menunjukkan relief dasar laut atau daerah dasar laut sebagai garis kontur dan pemilihan kedalaman. Pemeruman adalah proses dan aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh gambaran (model) bentuk permukaan (topografi) dasar perairan (seabed surface). Gambaran dasar perairan dapat disajikan dalam garis-garis kontur atau model permukaan digital. Garis kontur kedalaman atau model bathymetry diperoleh dengan menginterpolasikan titik-titik pengukuran kedalaman bergantung pada skala model yang hendak dibuat. Titik-titik kedalaman berada pada lajur-lajur pengukuran kedalaman yang disebut sebagai lajur perum atau sounding line. Jarak antar titik-titik fiks perum pada suatu lajur pemeruman minimal sama dengan atau lebih rapat dari interval lajur perum. Pemeruman merupakan salah satu pekerjaan terpenting dalam survei bathymetry. Pemeruman yang dirancang dengan baik (desain survei) akan diperoleh gambaran topografi dasar laut yang mendekati dengan kenyataan dan pengukuran kedalaman dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk mewakili keseluruhan daerah yang akan dipetakan, pada titik tersebut juga dilakukan pengukuran untuk penentuan posisi. Titik-titik tempat dilakukannya pengukuran untuk penentuan posisi dan kedalaman disebut titik fiks perum (Poerbandono dan Djunarsjah 2005). Data yang digunakan untuk membuat peta bathymetry berasal dari alat echosounder (sonar) yang sesuai dengan spesifikasi dan standar ketelitian survei hidrografi (IHO) dan dipasang di lambung kapal, berkas suara ke dasar laut. Jumlah waktu yang dibutuhkan untuk suara melakukan perjalanan melalui air, memantul dari dasar laut, dan kembali ke penerima menunjukkan jarak ke dasar laut. Alat ini bekerja dengan menggunakan sifat–sifat perambatan gelombang akustik yang dipancarkan dengan arah vertikal dari permukaan laut ke dasar laut. Bila kemudian gelombang pantulnya (dipantulkan oleh dasar laut) diterima, dan dicatat waktu tempuhnya, maka kedalaman laut dapat ditentukan. Prosedur standar kalibrasi dilaksanakan dengan menggunakan barcheck atau koreksi sound velocity profile (SVP) untuk menentukan transmisi, kecepatan rambat gelombang suara dalam air, dan menentukan index error correction. Kalibrasi dilaksanakan sebelum dan sesudah survei. Daerah perairan yang tidak bisa dilalui oleh kapal survei penentuan kedalaman dilakukan secara manual dengan cara topometri. Beberapa jenis pengolahan data secara matematis akan dilakukan untuk menentukan tampilan paling baik yang dapat dihasilkan oleh data. Pengolahan data yang dimaksud akan dibatasi pada pengolahan data sederhana yang akan mempertahankan kebenaran dari data tersebut. Dari data kedalaman sub bottom profiler akan dibuat pemodelan relief permukaan dasar laut. Agar terhindar dari besarnya penyimpangan dari data yang ada, pemodelan dilakukan dengan interpolasi sederhana Kriging (SG dan LLC 2014).
15 Kriging adalah metode geostatistik yang digunakan untuk mengestimasi nilai dari sebuah titik atau blok sebagai kombinasi linier dari nilai contoh yang terdapat disekitar titik yang akan diestimasi. Bobot kriging diperoleh dari hasil variansi estimasi minimum dengan memperluas penggunaan semi-variogram. Estimator kriging dapat diartikan sebagai variabel tidak bias dan penjumlahan dari keseluruhan bobot adalah satu. Bobot inilah yang dipakai untuk mengestimasi nilai dari ketebalan, ketinggian, kadar atau variabel lain. Kriging memberikan lebih banyak bobot pada contoh dengan jarak terdekat dibandingkan dengan contoh dengan jarak lebih jauh, kemenerusan dan anisotropi merupakan pertimbangan yang penting dalam kriging, bentuk geometri dari data dan karakter variabel yang diestimasi serta besar dari blok juga ditaksir (Cressie 1991). Kriging memberikan ukuran error dan confidence. Metode ini menggunakan semivariogram yang merepresentasikan perbedaan spasial dan nilai diantara semua pasangan sampel data. Semivariogram dihitung berdasarkan sampel semivariogram dengan jarak h, beda nilai z dan jumlah sampel data n diperlihatkan pada persamaan 1. 2 ∑𝑁 𝑖=1[𝑧(𝑥𝑖 ) − 𝑧(𝑥𝑖+ℎ )] 𝛾(ℎ) = 2. 𝑁(ℎ)
dimana : (h) h z(xi) z(xi+h) N(h)
(1)
= (semi) variogram untuk arah tertentu dan jarak h = 1d, 2d, 3d, 4d (d = jarak antar contoh) = harga (data) pada titik xi = data pada titik yang berjarak h dari xi = jumlah pasangan data.
Gambar 8 Grafik semi-variogram (ESRI 1999) Gambar 8 menunjukan grafik dari sebuah semivariogram, pada jarak yang dekat (sumbu horizontal) semivariance bernilai kecil. Tetapi pada jarak yang lebih besar, semivariance bernilai tinggi yang menunjukan bahwa variasi dari nilai z tidak lagi berhubungan dengan jarak titik sampel. Jenis Kriging yang bisa dilakukan adalah dengan cara spherical, circular, exponential, Gaussian dan linear (Webster dan McBratney 1986). Beberapa sifat khas dari kriging adalah [1] struktur dan korelasi variabel melalui fungsi γ (h), [2] hubungan geometri relatif antar data yang mencakup hal penaksiran dan penaksiran volume melalui (xi, xi+j) (hubungan antar data) dan sebagai (xi, V)
16 (hubungan antara data dan volume), [3] jika variogram isotrop dan pola data teratur, maka sistem kriging akan memberikan data yang simetris, [4] dalam banyak hal hanya contoh-contoh di dalam blok dan di sekitar blok memberikan estimasi dan mempunyai suatu faktor bobot masing-masing nol, [5] dalam hal ini jangkauan radius contoh yang pertama atau kedua pertama tidak memengaruhi (tersaring). [6] efek screen ini akan terjadi, jika tidak ada nugget effect, [7] efek nugget ini menurunkan efek screen, [8] untuk efek nugget yang besar, semua contoh mempunyai bobot yang sama. [9] contoh-contoh yang terletak jauh dari titik dapat diikutsertakan dalam estimasi ini melalui nilai rata-ratanya (Kriging 2016). Hasil dari pemodelan ini akan menjadi bentuk permukaan dasar laut yang akan di-overlay dengan data sub bottom profiler menggunakan Software Surfer 11 dan ArcGis 10.1. Penanganan Sampel Core Data core yang didapatkan dari lapangan kemudian dibawa ke laboratorium sedimentologi untuk dianalisa lebih lanjut. Sebelum menganalisa ukuran butir penanganan pertama yang harus diperhatikan adalah pembelahan inti (core) pipa paralon. Adapun tahapan penanganannya adalah sebagai berikut : 1. Siapkan alat core cutter (alat pembelah inti (core)) dan sampel yang akan dibelah. 2. Posisikan sampel dalam keadaan tepat dan pas pada lengkungan core cutter. 3. Nyalakan mesin pemotong dan masukan pipa paralon. 4. Tunggu hingga mesin selesai membelah. 5. Setelah sampel terbelah simpan bagian sebelah kiri dan bagian sebelah kanan siap untuk dilakukan analisa ukuran butir. Gambaran pembelahann core sampel sedimen secara manual bisa dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Langkah pembelahan core sampel sedimen secara manual Analisis ukuran butiran sedimen dilakukan di laboratorium dengan rujukan pada Rifardi (2001) sebagai berikut : 1 Sampel sedimen yang telah di masukan kedalam wadah alumunium voil dikeringkan dalam oven dengan suhu 600 C sampai kering, selanjutnya sampel
17
2
3
4
5
sedimen dari masing-masing stasiun direndam dengan larutan hidrogen peroksida (H2O2) 3-5 % selama 20 menit. Sampel-sampel tersebut dipisahkan menjadi fraksi pasir dan lumpur melalui ayakan 0.063 mm. Sedimen yang lolos dari ayakan tersebut adalah fraksi lumpur, sedangkan yang tertahan adalah fraksi pasir dan kerikil (pengayakan basah). Untuk memisahkan fraksi pasir dan kerikil digunakan ayakan 2.0 mm (pengayakan kering) kemudian di timbang dan dicatat. Prosedur metode pengayakan basah yaitu: sampel yang sudah direndam dengan larutan hidrogen peroksida (H2O2) 35 % di ayak dengan ayakan mesh size 63 m. pengayakan dilakukan dengan menyemprot air pada ayakan tersebut, dan air yang keluar ditampung dengan sebuah cawan besar yang volumenya minimal 2 liter. air yang keluar bersama sedimen ditampung dalam cawan yang mempunyai volume 1 liter. Hasil tampungan inilah yang digunakan untuk menganalisis fraksi lumpur dengan metode pipet. sedimen yang tertahan di atas adalah fraksi kerikil dan pasir. Fraksi pasir dikeringkan dan dianalisa dengan metode pengayakan kering, yaitu dengan cara : ayakan yang digunakan adalah dengan mesh size 1.00 mm, 0.5 mm, 0.25 mm, 0.125 mm dan 0.063 mm. screen ayakan dibersihkan dengan menggunakan brush yang lunak dan jangan dibersihkan atau ditekan dengan tangan karena dapat merusak ukuran mesh size screen tersebut. Jika hal ini terjadi maka ukuran butir yang diayak menjadi berubah. ayakan disusun berdasarkan mesh size yang ada dalam fraksi pasir, dimana ayakan dengan mesh terbesar berada pada tingkatan teratas dan seterusnya. fraksi pasir dimasukkan pada ayakan yang paling atas, kemudian ayakan digoyang sampai semua partikel dalam fraksi terayak secara sempurna. sedimen yang tertahan pada masing-masing ayakan di timbang dan catat dalam tabel. Fraksi lumpur dianalisa menggunakan metode pipet, yaitu dengan cara: sedimen yang lolos saringan 63 m bersama airnya ditampung dalam sebuah cawan, kemudian ke dalam silinder atau tabung ukur yang mempunyai volume 1000 ml. hidrogen peroksida ditambahkan sebagai pengganti sodium hexa metaphospate sehingga volume persis 1000 ml. larutan tersebut diaduk menggunakan sebatang stick dan biarkan selama 1 hari agar partikel-partikel yang berkohosiv (lengket) satu sama lainnya terpisah dan diletakkan pada ruangan yang bertemperatur 20 C. setelah satu hari aduk lagi dengan cara menutup bagian atas silinder dengan telapak tangan, setelah itu balikkan silinder tersebut secara berulang-ulang selama 1 menit. ingat jangan sampai larutan terbuang. setelah selesai diaduk, diletakkan silinder pada meja datar dan langsung hidupkan stopwatch. larutan silinder diambil menggunakan pipet yang bervolume 25 ml. pipet harus diberi tanda sesuai dengan kedalamannya.
18 pipet dimasukkan secara perlahan-lahan sehingga tidak terjadi pengadukan oleh pergerakan pipet tersebut. Jika larutan yang terambil melebihi 20 ml, maka jangan masukkan larutan tersebut kedalam silinder tetapi harus dibuang. hal ini tidak mengakibatkan kesalahan dalam penganalisaan. larutan yang sudah diambil dimasukkan ke dalam cawan yang sudah disiapkan sebelumnya, bersihkan pipet dengan cara memasukkan air destilasi kedalam pipet tersebut, air bilasan dimasukkan kedalam cawan yang sama, lakukan untuk phi 5, 6 dan 7. larutan yang berada dalam cawan dikeringkan dalam oven pada suhu 90C. setelah kering ditimbang dan hasilnya dicatat kemudian dimasukkan ke dalam tabel perhitung fraksi lumpur. Karakteristik Sedimen dan Penamaan Fraksi Sedimen Hasil dari metode pengayakan basah dan metode pipet digabungkan dan didapatkan diameter rata-rata atau mean size (ø), koofisien sorting (δ1), skewness (sk1) yang diperoleh dari metode grafik menurut fork dan ward dalam Rifardi (2001b). Perhitungan nilai tersebut didapatkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : 𝑚𝑒𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑧𝑒 (𝑚𝑧) = klasifikasi : ø1 ø2 ø3 ø4 ø5 ø6 ø7 ø8 > ø8
ø16 + ø50 + ø84 3
(2)
: coarse sand (pasir kasar) : medium sand (pasir menengah) : fine sand (pasir halus) : very fine sand (pasir sangat halus) : coarse silt (lumpur kasar) : medium silt (lumpur menengah) : fine silt (lumpur halus) : very fine silt (lumpur sangat halus) : clay (liat)
𝑠𝑜𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔 (δ1) = klasifikasi: <0,25ø 0,35 – 0,50ø 0,50 – 0,71ø 0,71 – 1,0ø 1,0 – 2,0ø >2,0ø
ø84 − ø16 4
+
ø95 − ø5 6,6
(3)
: very well sorted : well sorted : moderately well sorted : moderately sorted : poorly sorted : very poorly sorted
𝑠𝑘𝑒𝑤𝑛𝑒𝑠𝑠 (sk1) =
(ø84 + ø16 + 2ø50) 2(ø84 − ø16)
klasifikasi: + 1,0 s.d + 0,3 : very fine Skewned + 0,3 s.d + 0,1: fine Skewned + 0,1 s.d – 0,1 : near symmitrical - 0,1 s.d – 0,3 : coarse Skewned > - 0,3 : very coarse Skewned
+
(ø95 + ø5 − 2ø50) 2(ø95 – ø5)
(4)
19
Data komposisi sedimen pasir dianalisa dengan menggunakan cluster analisis dan diagram komposisi berdasarkan persentase kumulatif, kemudian dibahas secara deskrip dengan menggambarkannya pada peta distribusi. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan ditabulasikan kedalam bentuk tabel, grafik dan dibahas secara deskriptif. Data fraksi sedimen kemudian dianalisa untuk menghitung karakteristik sedimen yang meliputi Mean Size (Mz) untuk menghitung nilai rata-rata ukuran butiran sedimen, sorting (SO) untuk menghitung nilai kisaran partikel sedimen dan skewnes (Sk1) untuk menghitung nilai simetris distribusi fraksi sedimen. Perhitungan karakteristik ini merujuk pada rumus yang diajukan oleh Folk dan Ward (1957) sebagai berikut : ∅16 +∅50 +∅84 3
(5)
∅84 − ∅16 ∅95 − ∅5 + 4 6,6
(6)
Mean Size (Mz)= 𝑆𝑜𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔 (SO) = 𝑆𝑘𝑒𝑤𝑛𝑒𝑠 (Sk1) =
∅84 + ∅16 − 2∅50 ∅95 + ∅5 − 2∅50 + 2(∅84 − ∅16 ) 2(∅95 − ∅5 )
(7)
Dinamika sedimentasi pada lapisan resen dilakukan dengan pendekatan pemodelan sebaran sedimen dasar laut yang mempertimbangkan data bathymetry, fasises seismik, sub bottom profiler dan pengaruh arus laut. Pemodelan sebaran sedimen diperoleh melalui beberapa tahapan. Pembuatan rangka grid model dua dimensi dari data bathymetry hasil olahan data sub bottom profiler. Input data sedimen dari masing-masing sampel sedimen permukaan sejumlah 4 titik lokasi. Proses penyebaran sedimen dilakukan dengan pendekatan Inverse Distance Weighted (IDW) interpolation (Watson dan Philip 1985). Metode (IDW) merupakan metode deterministik yang sederhana dengan mempertimbangkan titik sekitarnya. Asumsi dari metode ini adalah nilai interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang dekat daripada yang lebih jauh. Bobot ini tidak akan dipengaruhi oleh letak dari data sampel. Analisa spasial baik dalam format vektor maupun raster diperlukan data yang meliputi seluruh studi area, oleh sebab itu proses interpolasi perlu untuk mendapatkan nilai di antara titik sampel, hal ini bertujuan agar dalam perbandingan nilai dari titik observasi dan titik model bisa berimbang. Data hasil keluaran model prediksi cuaca numerik berupa data grid, sehingga dalam suatu wilayah spasial bisa terdiri dari banyak grid tergantung dari resolusinya. Fungsi umum pembobotan adalah inverse dari kuadrat jarak dan persamaan ini digunakan pada metode Inverse Distance Weighted yang dirumuskan dalam formula berikut (Azpurua dan Ramos 2010) : 𝑁 ∗
𝑍 = ∑ 𝑤𝑖 𝑍𝑖
(8)
𝑖−1
dimana Zi (i=1,2,3, …..N) merupakan nilai ketinggian data yang ingin diinterpolasi sejumlah N titik dan bobot (weight) wi yang dirumuskan sebagai berikut : (9)
20 ℎ𝑖−𝑝 𝑤𝑖 = 𝑛 ∑𝑗=0 ℎ𝑗−𝑝 p adalah nilai positif yang dapat diubah-ubah yang disebut dengan parameter power (biasanya bernilai 2) dan hj merupakan jarak dari sebaran titik ke titik interpolasi yang dijabarkan sebagai berikut : ℎ𝑖 = √(𝑥 − 𝑥𝑖 )2 + (𝑥 − 𝑥1 )2
(10)
(x,y) adalah koordinat titik interpolasi dan (xi, yi) adalah koordinat untuk setiap sebaran titik. Fungsi peubah weight bervariasi untuk keseluruhan data sebaran titik sampai pada nilai yang mendekati nol dimana jarak bertambah terhadap sebaran titik. Kelebihan dari metode interpolasi IDW adalah karakteristik interpolasi dapat dikontrol dengan membatasi titik-titik masukan yang digunakan dalam proses interpolasi. Titik yang digunakan dapat ditentukan secara langsung atau ditentukan berdasarkan jarak yang ingin diinterpolasi. Kelemahan dari interpolasi IDW adalah tidak dapat mengestimasi nilai diatas nilai maksimum dan dibawah nilai minimum dari titik-titik sampel (Pramono 2008). Efek yang terjadi jika interpolasi IDW diaplikasikan pada elevasi permukaan adalah terjadinya perataan (flattening) puncak dan lembah, kecuali jika titik-titik tertinggi dan terendah merupakan bagian dari titik sampel hal ini disebabkan oleh nilai estimasi yang merupakan nilai ratarata hasil permukaan tidak tepat melewati titik-titik sampel. Analisis Fasies Seismik Dangkal dan Pola Refleksi Sedimen Pengolahan data seismic multi kanal hasil survei KR. Geomarin III dilakukan dalam beberapa tahapan mulai create new project hingga proses export hasil prosesing hingga menjadi sebuah gambar. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode menginterpretasi data sub bottom profiler berdasarkan batas seismik stratigrafi untuk menjelaskan morfologi permukaan, struktur geologi yang ada pada daerah penelitian. Mendetailkan horison yang ditarget sebagai reservoir dengan mengikat horison tersebut dengan data akustik yang telah dianalisis sebelumnya kemudian menganalisis pola struktur yang ada pada data seismik dan menjelaskan pembentukkan sedimentasi yang ada pada daerah penelitian. Gelombang seismik yang menembus dan terefleksikan kembali ke permukaan akan memberikan gambaran bentuk eksternal dan tekstur internal dari benda-benda geologi tersebut. Analisis bentuk eksternal dan tekstur internal benda geologi dari penampang rekaman seismik dikenal dengan analisa fasies seismik atau seismic facies analysis (Abdullah, 2011). Beberapa tahapan yang dilakukan dalam penafsiran rekaman seismik adalah sebagai berikut : Analisis runtunan seismik, yaitu dengan cara membagi penampang seismic menjadi beberapa tuntunan berdasarkan “boundary sequent” berupa bidang erosi atau kontak onlap. Analisis fasies, yaitu membagi runtunan seismik pada penampang seismik menjadi beberapa sub-runtunan berdasarkan gambaran reflektor. Analisis karakter reflektor dalam, dapat digunakan untuk menafsirkan sistem sedimentasi serta lingkungan pengendapan. Urutan kerja analisis fasies seismik selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 10.
21
Gambar 10 Langkah pengolahan data SBP pada analisis fasies sesimik dangkal dan penamaannya (post processing work-flow sonarwiz manual telah dimodifikasi) Langkah pertama adalah memulai kerja dengan membuat laman kerja pada perangkat lunak data and image interpretasi. Menurut Stephanie et al. (2014) Interpretasi dilakukan untuk membedakan batas unit pengendapan lapisan sedimen dasar laut. Selanjutnya memanggil data rekaman agar bisa ditampilkan dan dilakukan filtering data. Filtering dilakukan untuk memisahkan antara frekuensi sinyal refleksi dengan noise yang ada pada data rekaman. Hasil data filtering kemudian dilakukan preconditioning untuk memisahkan antara shot/channel yang rusak selama perekaman data. Amplitude recovery dilakukan untuk memulihkan amplitude akibat pengaruh atenuasi dan spherical divergent menggunakan parameter tes sesuai dengan target yang diinginkan dan dikontrol dengan nilai kecepatan dari hasil velocity analysis. Deconvlusi dilakukan untuk meningkatkan resolusi vertical seismic dengan menganalisa signature wavelet hasil autocorrelasi. Deconvolusi yang digunakan adalah predictive deconvolution. Analisis kecepatan digunakan untuk mendapatkan nilai kecepatan terbaik dari suatu sinyal refleksi, nilai kecepatan ini akan dijadikan input untuk amplitude recovery dan koreksi. Selama onboard processing analisa kecepatan dilakukan pada interval yang tidak terlalu rapat. Stacking digunkan untuk menggabungkan trace yang berada dalam titik refleksi yang sama, sebelum melakukan stacking diperlukan koreksi posisi, navigasi dan source ke receiver. Interpretasi data sub bottom profiler dimulai dengan pengikatan data seimik dengan data koordinat. Interpretasi batas sekuen melalui penarikan horizon penampang seismik menggunakan konsep seismik stratigrafi, kemudian penarikan struktur-struktur geologi yang ada pada setiap line seismik dengan melihat kemenerusan horison pola reflektor yang terlihat pada line seismik. Interpretasi horison-horison dan penarikan garis struktur dilakukan secara manual mengikuti garis yang terbentuk akibat adanya refleksi gelombang suara pada dasar peraian.
22 Hasil penarikan horison-horison pada line seismik dibuatlah beberapa profil lintasan penelitian dan penamaan fasies. Penamaan fasies mengacu kepada metode Mitchum, Vail, and Sangree (1977). Setelah profil lintasan kapal sudah dilengkapi dengan penamaan fasies data sudah bisa di export ke bentuk gambar (format *.jpg).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Bathymetry dan Morfologi Dasar Laut Laut Aru merupakan perairan yang dipengaruhi landas kontinen ArafuraSahul dan terletak di wilayah Papua bagian selatan sampai perbatasan utara Benua Australia. Batas bagian utara perairan tersebut merupakan Laut Seram dan Pulau Irian Jaya (Papua) sedangkan Pantai Utara Australia dari semenanjung York sampai semenanjung Don merupakan batas di bagian Selatan, di bagian barat perairan tersebut dibatasi oleh laut Banda dan Laut Timor yang melewati Kepulauan Aru dan Tanimbar sedangkan bagian timur terdapat Pulau Dolak dan Semenanjung Don. Berdasarkan tingkat kedalamannya Laut Arafura termasuk perairan dangkal dengan kisaran kedalaman antara 30-90 meter (Wagey dan Arifin 2008). Lintasan survei bathymetry dilakukan bersamaan dengan perekaman data sub bottom profile dengan arah lintasan Barat Laut hingga Tenggara menggunakan instrumen BATHY-2010 Chrip Sub Bottom Profiler and Bathymetric Echo Sounder, pengambilan contoh sedimen dasar laut menggunakan gravity core dilakukan dengan lintasan terpisah. Data hasil pengukuran kedalaman dasar laut dilakukan koreksi dengan perbandingan data bathymetry citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) yang kemudian di olah menggunakan software image processing. Citra SRTM digunakan sebagai data visual pola kedalaman permukaan dasar laut (Bathymetry) secara luas pada lokasi penelitian. Hasil pengukuran kedalaman permukaan dasar laut diinterpretasikan terdapatnya pola bentukan topografi yang tertutup (Clossure) pada kedalaman maksimal -100 meter di bawah permukaan air laut di sebelah barat daerah penelitian. Clossure yang terdapat pada bagian barat tidak mengidentifikasikan sebuah tinggian yang signifikan. Kedalaman Perairan Aru Utara berada di kisaran kedalaman -1.5 meter hingga -3735.5 meter dibawah permukaan air laut. Hal tersebut dikarenakan pada bagian timur memiliki morfologi yang relatif datar sedangkan pada bagian barat terdapat rendahan sangat dalam yang dikenal dengan palung aru, kedalaman morfologi pada bagian barat maksimum yaitu -3735.5 meter dibawah permukaan air laut (Wijaya et al. 2014). Gambaran kedalaman daerah perairan dapat dilihat pada Gambar 11. Secara morfologi daerah penelitian dibagi menjadi dua bagian, yaitu daerah dataran pada bagian timur dan daerah rendahan sangat dalam (Palung Aru) pada bagian barat. Bagian timur morfologi yang terbentuk terdiri dari closure atau punggungan, morfologi dataran memiliki kisaran kedalaman -1.5 meter hingga-100 meter dibawah permukaan air laut dengan kontur 10 meter, sedangkan morfologi pada bagian barat merupakan morfologi rendahan dengan yang sangat dalam berada
23 pada kisaran -101 hingga -3735.5 meter dibawah permukaan air laut dengan interval kontur 315-540 meter. Menurut Pranowo (2012) secara umum kisaran kedalaman Laut Arafura adalah sama dengan Laut Timor, yakni maksimum sekitar ~5000 m. Terdapat palung yang memiliki kedalaman maksimum di barat Kepulauan Aru (di Laut Arafura berbatasan dengan Laut Banda) dan selatan Pulau Timor (di Laut Timor). Menurut Irfania (2009) perairan Laut Arafura termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman berkisar antara 3.92 meter hingga 82.56 m. posisi terdangkal 3.95 meter berada pada 80 LS dan 1730 BT dan posisi terdalam 82.56 meter berada pada 50 LS dan 1350 BT. Kedalaman perairan menunjukan adanya variasi kedalaman yang berbeda untuk setiap posisi lintang dan bujur.
Gambar 11 Gambaran kedalaman perairan daerah penelitian (data kedalaman diperoleh dari rekaman sub bottom profile dan echosounder bathymetry. Morfologi dasar perairan pada daerah penelitian model tiga dimensi digambarkan pada Gambar 12, pada gambar tersebut bagian timur terlihat relatif datar sedangkan sebelah Barat dasar laut drastis menjadi sangat dalam dan terjal yang dikenal dengan palung Aru. Secara geologi daerah penelitian terletak pada Utara Paparan Sahul dan dapat dinterpretasikan terdapatnya pola bentukan topografi yang tertutup (Clossure) cukup banyak pada kedalaman dangkal maksimal -100 meter di bawah permukaan air laut. Bagian Barat Kepulauan Aru tercatat kelaman yang mencapai 2470 meter, lokasi tersebut diindikasikan merupakan titik pertemuan antara Busur Banda dan lempeng Benua Australia. Menurut Katili (1986) bahwa terdapat lengkungan kebawah pada sedimen di Perairan Arafura yang berbatasan dengan Busur Banda. Pola tektonik dari deformasi tersebut terjadi karena dorongan Busur Banda ke arah Benua Australia
24 dan semakin meningkat ke arah Utara, sedangkan kedalaman di titik lintasan lainnya tercatat 60 meter dan perairan paling dangkal ditemukan di dekat core 6 dengan kedalaman 67.4 meter.
Gambar 12 Gambaran 3D dan morfologi kedalaman perairan utara Pulau Wokam (sumber data: data rekaman SBP yang telah diintegrasikan dengan data Shuttle Radar Topography Mission (SRTM). Paparan Arafura ini terdiri dari tiga bagian yaitu Paparan Arafura, Paparan Rowley dan Paparan Sahul atau Paparan Australia Utara. Luas seluruh wilayah paparan adalah 1.5 juta km2 yang terdiri atas Paparan Arafura 930 000 km2 dan Paparan Sahul serta Paparan Rowley masing-masing 300 000 km2. Paparan Arafura memilki kedalaman 30 meter hingga 100 meter. Kepulauan Aru terdiri dari lima pulau dan masing-masing dipisahkan oleh selat-selat sempit, seperti sungai dengan dasar laut yang lebih dalam dari dasar paparan sekitarnya. Sebuah punggung yang tidak terlalu jelas memanjang mulai dari Kepulauan Aru ke arah Timur yang dikenal sebagai Punggung Merauke. Zaman Plistosin, ketika permukaan laut masih rendah Kepulauan Aru menyatu dengan daratan Irian, tetapi antara Kepulauan Aru dengan Kepulauan Kai tidak pernah ada hubungan semacam itu meskipun jaraknya lebih dekat. Ini dikarenakan di antara kedua kepulauan itu terdapat penghalang berupa cekungan Aru yang dalamnya lebih 3 000 meter (Nontji 1987).
High Frequency Echoes dan Post Signal Processing Dasar perairan merupakan pemantul (reflector) dan penghambur (scatterer) yang efektif terhadap gelombang akustik yang mengenainya serta bersifat mendistribusikan kembali gelombang yang datang (Urick 1983). Permukaan perairan yang halus (smooth) dimana kontras acoustic impedance antara air dengan dasar laut tinggi maka sebagian besar energi gelombang yang datang akan dipantulkan dan hanya sebagian kecil yang dihamburkan, pada kasus permukaan dasar perairan yang kasar (rough) maka seluruh energi akustik akan dihamburkan. Untuk kontras acoustic impedance yang kecil antara air dengan dasar maka energi
25 gelombang akustik yang mengenai dasar perairan mampu menembus ke dalam dasar perairan, selain itu pada saat gelombang akustik mengenai dasar perairan akan menunjukan pola jejak gema (echo trace) yang berbeda. Dasar perairan yang halus dan berlumpur akan menunjukan echo trace yang memiliki puncak sempit tanpa ekor (narrow peak with no tail) dimana sebagian besar energi akustiknya akan dipantulkan kembali ke transducer dan juga mengalami absorpsi oleh substrat lumpur, sedangkan echo trace dari dasar perairan yang kasar, camuran gravel akan memiliki puncak yang lebar dan berekor (Collins dan Lacroix 1997). Sediment profilers atau SubBottom Profilers bertujuan untuk mengeksplorasi lapisan pertama sedimen dasar laut yang lebih dalam hingga mencapai puluhan meter. Teknologi SBP adalah bim tunggal yang bekerja pada tingkat frekuensi yang sangat tinggi dan rendah (pada penelitian ini digunakan frekuensi 3.5 kHz). Sediment profilers sebagian besar menggunakan sinyal frekuensi modulasi dan teknik kompressi pulse untuk meningkatkan jangkauan penetrasi. Beberapa model menggunakan sumber parametrik non-linier, dengan memberikan directivity lobe yang sempit meskipun dengan frekuensi rendah. Sinyal echo (pantulan) berasal dari pemantulan pada penghubung antar lapisan, yang sesuai dengan diskontinuitas sinyal akustik. Sinyal echo yang dikumpulkan ketika kapal sedang berlayar dijajarkan secara grafik, disusun kembali menjadi cross-section secara vertikal dari diskontinuitas lapisan endapan. Selama bertahun-tahun, rekaman ini hanya terbatas pada sebuah penyajian berupa gambar dari lapisan endapan. Pemrosesan amplitudo dari echo dengan SBP yang terkalibrasi, memungkinkan untuk menghasilkan koefisien pemantulan dan koefisien penyerapan, yang dihubungkan dengan lapisan endapan, yang dipantulkan (dikenai secara tegak lurus) oleh sinyal. Sediment profiler menggunakan sinyal pantulan echo, bukan hambur balik. The Stemp berasal dari konfigurasi pengukuran geometric (sistem tegak lurus terhadap dasar laut bertujuan agar sinyal echo yang dipantulkan dan dikembalikan ke arah yang sama) dan sebagian besar berasal dari kanal yang menggunakan frekuensi rendah. Hambur balik diabaikan dibandingkan dengan coherent echo, karena topografi amplitude mikroscale lebih kecil dibandingkan dengan panjang gelombang (Lurton 2002). Informasi mengenai tipe dasar, sedimen dan dasar perairan dapat dikodekan dengan sinyal echo. Sinyal echo tersebut disimpan dan diperoleh secara bersamaan dengan data GPS kemudian diproyeksikan pada data digital. Verifikasi hasil dapat dilakukan dengan melakukan sampling fisik dasar perairan melalui penyelaman atau dengan kamera bawah air yang harus direkam sebagai data akustik yang diperoleh. Saat verifikasi pertama, hasil harus disimpan agar tipe dasar perairan yang tidak diketahui dapat dibadingkan dengan yang sudah diketahui dan dapat melakukan verifikasi data (Burczynski 2002). Trace#26888_Lintasan1_Sampel5 Data rekaman akustik pada trace#26888 nilai akustik (pantulan dasar perairan yang diterima oleh receiver) ditabulasikan kedalam kolom dan baris pada Microsoft Excel. Hasil rekaman tranducer pada lintasan 1 (garis berwarna merah) menggambarkan posisi trace#26888 dimana core sampel nomor 5 berada (Gambar 13). Posisi core tidak terlalu dalam mengenai dasar perairan namun bisa memberikan contoh gambaran dasar perairan. Kecepatan suara dalam perairan pada saat dilepaskan dari tranducer dan kemudian kecepatan suara yang diterima kembali oleh receiver setelah mengenai dasar laut berbeda. Kecepatan gelombang
26 suara yang dipancarkan transducer 2050 m/s dengan pulse power 600 watt, sedangkan kecepatan suara yang diterima oleh receiver setelah mengenai dasar perairan 1580 m/s.
Gambar 13 Profil rekaman data SBP dan posisi Trace#26888 pada lintasan 1
Tabel 4 Data rekaman Trace#26888 pada kedalaman 400 ms hingga 1000 ms data minimum 256 dan maksimum 32640 data. Kelas Interval 2500 K 1 256,00 - 2756,00 K 2 2756,00 - 5256,00 K 3 5256,00 - 7756,00 K 4 7756,00 - 10256,00 K 5 10256,00 - 12756,00 K 6 12756,00 - 15256,00 K 7 15256,00 - 17756,00 K 8 17756,00 - 20256,00 K 9 20256,00 - 22756,00 K 10 22756,00 - 25256,00 K 11 25256,00 - 27756,00 K 12 27756,00 - 30256,00 K 13 30256,00 - 32756,00 Total frekuensi kejadian Sumber : Data primer 2014
Frekuensi kejadian 81 14 17 9 9 10 0 0 2 2 4 1 10 159
Log 1,908485 1,146128 1,230449 0,954243 0,954243 1 0 0 0,30103 0,30103 0,60206 0 1
Garis berwarna merah pada Gambar 13 menandakan posisi trace#26888 berada. Jarak kedalaman perairan dengan dasar, lapisan sedimen dihitung dengan satuan waktu Two Way Traveltime (TWT). Gambaran lapisan pertama menandakan dasar (surface) perairan sedangkan lapisan kedua adalah pengulangan refleksi akibat ‘terperangkapnya’ gelombang seismik dalam air laut atau dalam lapisan
27 batuan lunak (multiple). Data rekaman sub bottom profiler pada trace#26888 dalam bentuk angka kemudian ditabulasikan kedalam tabel. Data yang digunakan pada lintasan 1 pada kedalaman 400 ms hingga 1000 ms minimum 256 dan maksimum 32640. Data frekuensi kejadian kemudian dikelaskan menjadi 13 kelas dengan interval kelas 2500 data dimaksudkan untuk menghitung frekuensi kejadian gelombang mengenai dasar perairan pada kedalaman waktu (Tabel 4). Tabel 4 menerangkan bahwa data trace#26888 hasil rekaman lintasan 1 frekuensi tertinggi terdapat pada kelas 1 dan terendah pada kelas 7 dan kelas 8. Distribusi perbandingan frekuensi kejadian antar kelas dapat dilihat pada Gambar14. 2 1.8
Frekuensi Kejadian
1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Kelas
Gambar 14 Grafik perbandingan frekuensi kejadian pada masing-masing kelas trace#26888 Gambar 14 menunjukan histogram kelas 1-6 yang ditandai dengan puncak tertinggi oleh garis putus-putus berwarna biru dilingkaran berwarna merah disebut dengan puncak primer menjelaskan bahwasanya gelombang yang dipancarkan oleh receiver kemudian diterima oleh dasar perairan yang substratnya lebih lunak, sedangkan untuk histogram kelas 9-13 yang dilingkari oleh garis berwarna ungu menandakan gelombang sekunder. Puncak gelombang sekunder tersebut lebih rendah dari gelombang primer diindikasikan pantulan substrat yang lebih kasar. Frekuensi kejadian gelombang pada trace#26888 didominasi oleh kelas 1-6. Dasar perairan yang kasar merupakan variabel yang penting untuk mempertimbangkan intensitas backscatter akustik yang memiliki frekuensi tinggi. Nilai kekasaran pada intensitas backscatter berbeda tergantung dari tipe, besarnya dan orientasi kasar dan frekuensi dari sinyal akustik yang dipancarkan. Bagian lapisan atas (seabed) menandakan first bottom echo (E1) dimana pantulan pertama sebuah permukaan yang tegak lurus dengan sumbu transducer. Sinyal echo pada E1 sangat sensitif terhadap pitch dan rool kapal dan transducer. Pada dasar perairan yang kasar pantulan tersebut akan berkorelasi secara langsung dengan sifat kekerasan pada dasar perairan. Jika perairan kasar, kemudian kekasaran akan berkurang pada second bottom echo (Burczynsky 2002). Refleksi
28 dari energi akustik terjadi pada batas impedansi akustik yang berbeda-beda, dan kekuatan refleksi tergantung pada tingkat impedansi kontras. Biasanya, sebagian dari energi yang masuk direfleksikan dari sedimen menuju permukaan perairan, sedangkan sisanya ditransmisikan lebih dalam dari substrat (McQuillin et al. 1984, Stoker et al. 1997). Trace#124098_Lintasan3_Sampel6 Hasil rekaman tranducer pada lintasan 3 berikut menggambarkan posisi trace#124098 dimana core sampel Nomor 6 berada (Gambar 15). Posisi core tidak terlalu dalam mengenai dasar perairan namun bisa memberikan contoh gambaran dasar perairan. Kecepatan suara dalam perairan pada saat dilepaskan tranducer dan kemudian kecepatan suara yang diterima kembali oleh receiver setelah mengenai dasar laut berbeda. Kecepatan suara saat dilepaskan 2050 m/s pulse power 600 watt, sedangkan kecepatan suara yang diterima oleh receiver setelah mengenai dasar perairan 1630 m/s.
Gambar 15 Profil rekaman SBP dan posisi Trace#124098 pada lintasan 3 Data yang digunakan pada lintasan 3 pada kedalaman 50 ms hingga 125 ms minimum 128 dan maksimum 32640. Data tersebut kemudian dikelaskan menjadi 14 kelas dengan interval kelas 2500 data dimaksudkan untuk menghitung frekuensi kejadian gelombang mengenai dasar perairan pada kedalaman waktu (Tabel 5). Tabel 5 Data rekaman trace#124098 pada kedalaman 50 ms hingga 125 ms data minimum 128 dan maksimum 32640 data. Kelas K 1 K 2 K 3 K 4 K 5 K 6 K 7
Interval 2500 128,00 - 2628,00 2628,00 - 5128,00 5128,00 - 7628,00 7628,00 - 10128,00 10128,00 - 12628,00 12628,00 - 15128,00 15128,00 - 17628,00
Frekuensi kejadian 209 18 2 7 1 2 0
Log 2,320146 1,255273 0,30103 0,845098 0 0,30103 0
29 Tabel 5 lanjutan K K K K K K K
8 9 10 11 12 13 14
17628,00 - 20128,00 20128,00 - 22628,00 22628,00 - 25128,00 25128,00 - 27628,00 27628,00 - 30128,00 30128,00 - 32628,00 35128,00 - 37628,00 Total frekuensi kejadian Sumber : Data primer 2014
5 2 5 0 4 0 2 257
0,69897 0,30103 0,69897 0 0,60206 0 0,30103
Tabel 5 menerangkan bahwa data trace#124098 hasil rekaman lintasan 3 frekuensi tertinggi terdapat pada kelas 1 dan terendah pada kelas 7, kelas 11 dan kelas 13. Distribusi perbandingan frekuensi kejadian antar kelas dapat dilihat pada Gambar 16. 2.5
Frekuensi (log)
2
1.5
1
0.5
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kelas
Gambar 16 Grafik perbandingan frekuensi kejadian pada masing-masing kelas trace#124098 Gambar 16 diatas informasi yang dapat diambil ialah histogram kelas 1-4 yang ditandai dengan puncak tertinggi oleh garis putus-putus berwarna biru dilingkaran berwarna merah disebut dengan puncak primer menjelaskan bahwasanya gelombang yang dipancarkan oleh receiver kemudian diterima oleh dasar perairan yang substratnya lebih lunak, sedangkan untuk histogram kelas 8-14 yang dilingkari oleh garis berwarna ungu menandakan gelombang sekunder. Puncak gelombang sekunder tersebut lebih rendah dari gelombang primer diindikasikan pantulan dari substrat yang lebih kasar. Frekuensi kejadian gelombang pada trace#124098 didominasi oleh kelas 1-2. Trace#84798_Lintasan5_Sampel7 Hasil rekaman tranducer pada lintasan 5 berikut menggambarkan posisi trace#84798 dimana core sampel nomor 7 (Gambar 17). Posisi core tidak terlalu dalam mengenai dasar perairan namun bisa memberikan contoh gambaran dasar
30 perairan. Kecepatan suara dalam perairan pada saat dilepaskan tranducer dan kemudian kecepatan suara yang diterima kembali oleh receiver setelah mengenai dasar laut berbeda. Kecepatan suara saat dilepaskan 2050 m/s pulse power 600 watt, sedangkan kecepatan suara yang diterima oleh receiver setelah mengenai dasar perairan 1592 m/s.
Gambar 17 Profil rekaman SBP dan posisi trace Trace#84798 pada lintasan 5 Data yang digunakan pada lintasan 5 pada kedalaman 1508.27 ms hingga 3466.53 ms minimum 128 dan maksimum 32640. Data tersebut kemudian dikelaskan menjadi 14 kelas dengan interval kelas 2500 data dimaksudkan untuk menghitung frekuensi gelombang mengenai dasar perairan pada kedalaman waktu. Tabel 6 Data rekaman trace#84798 pada kedalaman 1508.27 ms hingga 3466.53 ms data minimum 128 dan maksimum 32640 data. Kelas K 1 K 2 K 3 K 4 K 5 K 6 K 7 K 8 K 9 K 10 K 11 K 12 K 13 K 14
Interval 2500 128,00 - 2628,00 2628,00 - 5128,00 5128,00 - 7628,00 7628,00 - 10128,00 10128,00 - 12628,00 12628,00 - 15128,00 15128,00 - 17628,00 17628,00 - 20128,00 20128,00 - 22628,00 22628,00 - 25128,00 25128,00 - 27628,00 27628,00 - 30128,00 30128,00 - 32628,00 32628,00 - 35128,00 Total frekuensi kejadian Sumber : Data primer 2014
Frekuensi kejadian 76 68 35 22 6 9 3 4 0 2 1 2 2 6 236
Log 1,880814 1,832509 1,544068 1,342423 0,778151 0,954243 0,477121 0,60206 0 0,30103 0 0,30103 0,30103 0,778151
31 Tabel 6 menerangkan bahwa data trace#84798 hasil rekaman lintasan 5 frekuensi kejadian tertinggi terdapat pada kelas 1 dan terendah pada kelas 9. Distribusi perbandingan frekuensi kejadian antar kelas dapat dilihat pada Gambar18. 2 1.8
Frekuensi (log)
1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kelas
Gambar 18 Grafik perbandingan frekuensi kejadian pada masing-masing kelas trace#84798 Gambar 18 menerangkan bahwa histogram kelas 1-8 yang ditandai dengan puncak tertinggi oleh garis putus-putus berwarna biru dilingkaran berwarna merah disebut dengan puncak primer menjelaskan bahwasanya gelombang yang dipancarkan oleh receiver lebih banyak direfleksikan oleh dasar perairan, sedangkan untuk histogram kelas 12-14 yang dilingkari oleh garis berwarna ungu menandakan lapisan perairan sedikit dalam merefleksikan suara. Puncak gelombang sekunder tersebut lebih rendah dari gelombang primer diindikasikan pantulan dari substrat yang lebih kasar. Beberapa parameter fisik dari sinyal akustik yang dipancarkan, seperti daya yang dikeluarkan, frekuensi sinyal, dan panjang pulsa mempengaruhi kinerja instrumen dan mempengaruhi kegunaannya di berbagai lingkungan laut. Peningkatan daya output memungkinkan penetrasi ke dalam substrat, namun, dalam kasus dasar laut keras (misalnya kerikil atau pasir yang sangat padat), atau air yang sangat dangkal, akan menghasilkan beberapa refleksi dan lebih banyak suara dalam data (McQuillin et al. 1984). Frekuensi kejadian gelombang pada trace#84798 didominasi oleh kelas 1-8 dengan jumlah 223 data. Trace#62073_Lintasan8_Sampel4 Hasil rekaman tranducer pada lintasan 8 berikut menggambarkan posisi trace#62073 dimana core sampel nomor 4 berada (Gambar 19). Posisi core tidak terlalu dalam mengenai dasar perairan namun bisa memberikan contoh gambaran dasar perairan. Kecepatan suara dalam perairan pada saat dilepaskan tranducer dan kemudian kecepatan suara yang diterima kembali oleh receiver setelah mengenai dasar laut berbeda. Kecepatan suara saat dilepaskan 2050 m/s pulse power 600 watt,
32 sedangkan kecepatan suara yang diterima oleh receiver setelah mengenai dasar perairan 1360 m/s.
Gambar 19 Profil rekaman SBP dan posisi Trace#62073 pada lintasan 8 Data yang digunakan pada lintasan 8 pada kedalaman 50 ms hingga 119.75 ms data minimum 128 dan maksimum 26112. Data tersebut kemudian dikelaskan menjadi 11 kelas dengan interval kelas 2500 data dimaksudkan untuk menghitung frekuensi gelombang mengenai dasar perairan pada kedalaman waktu. Tabel 7 Data rekaman trace#62073 kedalaman 50 ms hingga 119.75 ms data minimum 128 dan maksimum 26112 data. Kelas
Interval 2500
Frekuensi kejadian
Log
K 1
128,00 - 2628,00
208
2,318063
K 2 K 3
2628,00 - 5128,00 5128,00 - 7628,00
59 3
1,770852 0,477121
K 4
7628,00 - 10128,00
2
0,30103
K 5
10128,00 - 12628,00
1
0
K 6
12628,00 - 15128,00
1
0
K 7
15128,00 - 17628,00
1
0
K 8
17628,00 - 20128,00
0
0
K 9
20128,00 - 22628,00
0
0
K 10
22628,00 - 25128,00
1
0
K 11
25128,00 - 27628,00
4
0,60206
Total frekuensi kejadian Sumber : Data Primer 2014
280
Tabel 7 menerangkan bahwa data trace#62073 hasil rekaman lintasan 8 frekuensi tertinggi terdapat pada kelas 1 dan terendah pada kelas 8 dan kelas 9.
33 Distribusi perbandingan frekuensi kejadian antar kelas dapat dilihat pada Gambar20. 2.5
Frekuensi (log)
2 1.5 1 0.5 0 1
2
3
4
5
6
-0.5
7
8
9
10
11
Kelas
Gambar 20 Grafik perbandingan frekuensi kejadian pada masing-masing kelas trace#84798 Informasi yang dapat diambil pada Gambar 20 diatas adalah histogram kelas 1-4 yang ditandai dengan puncak tertinggi oleh garis putus-putus berwarna biru dilingkaran berwarna merah disebut dengan puncak primer menjelaskan bahwasanya gelombang yang dipancarkan oleh receiver kemudian diterima oleh dasar perairan yang substratnya lebih lunak, sedangkan untuk histogram kelas 11 yang dilingkari oleh garis berwarna ungu menandakan gelombang sekunder. Puncak gelombang sekunder tersebut lebih rendah dari gelombang primer diindikasikan pantulan yang lebih kasar. Frekuensi kejadian gelombang pada trace#84798 didominasi oleh kelas 1-4. Hasil pengkelasan kejadian pada masingmasing kelas di masing-masing trace kemudian digambarkan pola spektruk melalui grafik. Grafik distribusi frekuensi kejadian secara keseluruhan disajikan pada Gambar 21.
Log Frek. Kejanian
2.5 2 1.5 1 0.5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kelas Trace#26888
Trace#124098
Trace#84798
Trace#62073
Gambar 21 Grafik perbandingan log frekuensi kejadian masing-masing trace
34 Kecepatan gelombang akustik (suara) dalam medium air laut merupakan sebuah variabel oseanografi yang menunjukan karakteristi perambatan gelombang akustik di lautan. Kecepatan gelombang suara ini nilainya bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kedalaman dan tekanan medium yang dilaluinya. Nilai kecepatan suara akan meningkat seiring dengan bertambahnya salah satu dari ketiga parameter tersebut (Etter 1996). Perambatan gelombang akustik akan mengalami proses kehilangan intensitas energi akustiknya yang disebabkan oleh geometrical spreading loss (evek divergensi) dan absorption loss. Hal ini dikenal sebagai propagation loss (transmission loss) yang merupakan salah satu parameter sonar yang mengeksperisikan suatu nilai kuantitatif dari beberapa fenomena yang berkaitan dengan perambatan gelombang akustik di laut (Urick 1983). Pada perambatan gelombang akustik dalam medium air laut sebagian energi akustiknya secara kontiniu akan diserap dan diubah menjadi energi panas. Penyerapan ini (absorption loss) terjadi melalui dua mekanisme utama yaitu viskositas air laut itu sendiri dan molecular relaxtion dimana molekul-molekul magnesium sulfat (MgSO4) dalam air laut tereduksi menjadi ion-ion akibat induksi dari tekanan gelombang akustik. Menurut Urick (1983) molecular relaxation merupakan penyebab utama terjadinya absorption loss pada frekuensi akustik di bawah 100 kHZ. Pada frekuensi tinggi (lebih dari 500 kHz) perubahan tekanan akustik terlalu cepat sehingga tidak terjadi molecular relaxation dan tidak terjadi penyerapan energiakustik, sedangkan pada frekuensi kurang dari 2 kHZ akan terjadi absorption loss yang disebabkan oleh boric acid relaxation (Waite 2002). Perbandingan nilai surface backscattering strength (SS) antar trace Nilai Seasurfce Scattering dasar perairan di Indonesia belum ada nilai ketetapan, namun dari beberapa penelitian yang pernah dilalukan di berbagai wilayah di Indonesia, yakni: Siwabessy et al. (1999) menggunakan teknik hidroakustik untuk pengklasifikasi dasar laut di Barat Laut perairan Australia bagian barat. Kim et al. (2004) menggunakan teknik hidro-akustik untuk menentukan tipetipe sedimen di perairan Teluk Mexico bagian Timur Laut. Pujiyati et al. (2010) menggunakan split beam SImrad EY 60 Scientifik echsounder pada frekuensi 120 kHz untuk meneliti hubungan antara ukuran butiran, kekasaran dan kekerasan dengan nilai hambur balik dasar laut di perairan pulau Pari Kepualauan Seribu. Manik (2006) dan Manik (2011) menggunakan quantitative echo sounder dan menerapkan model ring surface scattering (RSS) untuk mengkuantifikasi backscattering strength (SS) berbagai substrat dasar laut di perairan selatan Jawa. Allo (2011) menggunakan split beam Simrad EY 60 scientific echosounder pada frekuensi 120 kHz untuk kuantifikasi dan karakteristik dasar laut di perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. Supartono (2013) menggunakan Single beam dan Multi beam echo sounder di sekitar Pulau Kongsi, Pulau Burung Kepulauan Seribu dan perairan Teluk Buyat Sulawesi Utara. Pada penelitian ini ditemukan nilai SS lanauan -25.669 dB pada posisi 5°09'22.56" LS – 135°16'15.1" BT core 4 berada, lanau pasiran -23.385 dB pada posisi 4°42'17.07" LS – 134°54'14.3" BT core 5, pasiran 19.296 dB pada posisi 4°51'32.06" LS – 134°35'48.3" BT core 6, lanau pasiran 21.106 dB pada posisi 5°10'13.09" LS – 134°32'56.7" BT core 7 (Tabel 9, Lampiran 7). Menurut Irfania (2009) Nilai SV untuk tipe substrat pasir di wilayah selatan perairan Kepulauan Aru dan selatan perairan Papua (Laur Arafura) menggunakan instumen Simrad EK60
35 berkisar antara -13.718 dB hingga -19.533 dB dan nilai SS berkisar -17.743 dB hingga 23.558 dB, pasir berlumpur nilai SV berkisar -12.902 dB hingga -21.832 dB dan hilai SS berkisar antara -16.927 dB hingga -25.858 dB, lumpur berpasir nilai SV berkisar antara -15.499 dB hingga -22.283 dB dan nilai SS berkisar antara 19.528 dB hingga -26.309 dB, selanjutnya nilai SV lumpur berkisar antara -18.147 dB hingga -25.479 dB dan nilai SS berkisar antara -22.173 dB hingga -29.504 dB. Perbedaan nilai tersebut disebabkan adanya perbedaan instrument akustik yang digunakan, frekuensi gelombang suara yang dipancarkan, kedalaman dan kondisi perairan di lokasi penelitian. Besaran nilai yang dihasilkan merujuk kepada Lurton (2002) bahwa beberapa nilai yang telah disempurnakan (Lampiran 8) dapat diindikasikan bahwa penelitian ini nilai kecepatan suara yang dihasilkan dari berbagai tipe dasar peraian tidak jauh berbeda. Integrasi Data Akustik dan Data Sedimen Core Analisis Fasies Seismik Dangkal Sedimen memiliki densitas berbeda-beda dan sangat mempengaruhi kecepatan sinyal akustik, oleh karena itu karakteristik pantulan untuk masingmasing jenis sedimen berbeda pula. Diketahuinya nilai pantulan yang diterima oleh sensor akustik maka data-data pantulan dapat direvisi dan digunakan untuk menghasilkan gambaran visual yang lebih jelas mengenai dasar laut dan interpretasi gambaran sedimen. Data echosounder SyQuest BATHY-2010 frekuensi 3.5 kHz yang telah diproses dan dilakukan filtering data ditampilkan gambaran lintasan per-segmen, integrasi seluruh segmen menjadi gambar utuh tergantung pada kedalaman dasar laut, lokasi geomorfologi laut di lokasi survei, frekuensi yang dipancarkan dan kedalaman penetrasi gelombang suara saat mengenai dasar laut. Jarak sounding tranduser dari kapal menuju dasar perairan dan lapisannya mencapai 200 m, dimana penetrasi kedalaman yang dapat memberikan gambaran dasar perairan dan lapisan sedimen secara rinci pada berkisar 8 cm hingga 300 meter tergantung jenis substrat penyusun. Secara khusus deteksi dasar perairan pada perairan dangkal frekuensi yang digunakan bisa mencapai 200 kHz, namun untuk kedalaman air yang signifikan frekuensi yang digunakan 3.5 kHz (Damuth, 1980). Pengoperasian sub bottom profiler jenis pinger pada 3.5 kHz biasanya menghasilkan penetrasi pada kedalaman lapisan 10-15 meter, dengan resolusi kebawah 0.2 meter tergantung pada jenis endapan (SyQwest 2010). Profil refleksi yang dihasilkan oleh sub bottom profiler 3.5 kHz digambarkan pada masing-masing lintasan. Interpretasi terhadap data seismik sangat bervariasi, dimulai dari interpretasi untuk studi regional sampai untuk studi reservoir detail sehingga sangat sulit untuk merumuskan tujuan dan prosedur yang baku, namun dalam tulisan ini interpretasi dimaksudkan untuk memberikan gambaran lapisan sedimen berdasarkan refleksi sinyal sub bottom profiler yang terekam. Proses interpretasi seismik ini meliputi analisis picking horizon pada lapisan Near Base Miocene, Top Miocene, Top Pliocene dan penarikan garis-garis struktur. Secara umum kualitas data sub bottom profiler pada daerah penelitian tergolong kurang baik dan umumnya kemenurusan reflektor sulit untuk diamati. Menurut Sangree dan Widmier (1977) untuk membagi jenis reflektor menjadi runtunan harus ditemukan kontak ketidakselarasan antara kelompok reflektor yang bersentuhan. Kontak ketidakselarasan dalam seismik
36 stratigrafi dapat berupa pepat erosi (erosional truncation), kontak onlap dan suatu reflektor yang kuat dan menerus. Lintasan 1 Data rekaman pada lintasan 1 dilakukan pemotongan sehingga data yang digunakan terlihat lebih stabil dan bagus, data filter dimulai pada trace#10000 sampai dengan trace#68500. Gambaran profil lintasan 1 hasil processing dapat dilihat pada Gambar 22. Data awal sub bottom profiler hasil pemeruman setelah dilakukan bandpass filtering pada rentang 1000-60 Hz, Automatic Gain Control (AGC) dan Time Varying Gain (TVG) 0.15 dB/m, Predictive Deconvolution dengan parameter prewhitening 5 % terhadap 150 sampel dengan jarak ketelitian 1-2 trace.
Gambar 22 Profil seismik dangkal sub bottom profile pada Lintasan 1 Hasil penafsiran sekaman sub bottom profiler lintasan 1 dilakukan pembesaran (zooming) pada trace#55000 sampai trace#68500 (kotak berwarna biru) agar penulis mudah dalam melakukan picking dan penamaan fasies. Hasil picking ditemukan 8 (delapan) jenis fasies seismik, antara lain; [1] Subparallel, tekstur sedimen yang terbentuk pada zona pengisian, atau pada situasi yang terganggu oleh arus laut. [2] Divergent, tekstur sedimen terbentuk akibat permukaan yang miring secara progresif selama proses sedimentasi. [3] Chaotic Fill, sedimenatsi pada channel dengan energi yang sangat tinggi. [4] Erosional Truncation atau dikenal dengan unconformity (ketidakselaraasan) diakibatkan oleh peristiwa erosi karena terekspos ke permukaan. Toplap diakibatkan karena tidak adanya peristiwa sedimentasi dan tidak ada peristiwa erosi. [4] Prograded Fill, transpor sedimen dari ujung atau pada lengkungan channel. [6] Downlap, diakibatkan oleh sedimentasi yang cukup intensif. [7] Complex fill, lidah delta dengan energi tinggi dengan slope terprogradasi dalam energi rendah. [8] Sigmoid, tekstur sedimen yang terbentuk dengan suplai sedimen yang cukup, kenaikan muka laut relatif cepat, pengendapan energi rendah, seperti slope umumnya sedimen butir halus. Gambaran Jenis fasies seismik tersebut divisualisasikan pada Gambar 23.
37
Gambar 23 Perbesaran titik pada lintasan 1 trace#55000 - trace#68500 Karakteristik dari sedimen tersebut belum sepenuhnya dapat memberikan informasi atas analisis fasies sehingga perlu dilakukan analisis refleksi akustik. Pola refleksi akustik Lintasan 1 (Gambar 24).
Gambar 24 Pola refleksi akustik Lintasan 1 trace#55000 - trace#68500 Lintasan 3 Filter data rekaman pada lintasan 3 dimulai pada trace#0 sampai dengan trace#130000. Data awal sub bottom profiler hasil pemeruman setelah dilakukan bandpass filtering pada rentang 1000-60 Hz, Automatic Gain Control (AGC) dan Time Varying Gain (TVG) 0.15 dB/m, Predictive Deconvolution dengan parameter prewhitening 5 % terhadap 150 sampel dengan jarak ketelitian 1-2 trace. Gambaran profil lintasan 1 hasil processing dapat dilihat pada Gambar 25.
38
Gambar 25 Profil seismik dangkal sub bottom profile pada Lintasan 3 Hasil penafsiran sekaman sub bottom profiler lintasan 3 dilakukan pembesaran (zooming) pada trace#72000 sampai trace#85000 (kotak berwarna biru). Hasil identifikasi ditemukan empat jenis fasies yakni; [1] Subparallel, tekstur sedimen terbentuk pada zona pengisian, atau pada situasi yang terganggu oleh arus laut. [2] Subparallel between parallel, tekstur sedimen terbentuk pada lingkungan tektonik yang stabil, atau mungkin fluvial plain dengan endapan berbutir sedang. [3] Hummocky, tekstur sedimen yang terbenuk atas progradasi pada daerah dangkal tipikal antar delta dengan energi sedang. [4] Sigmoid, tekstur ini dapat terbentuk dengan suplai sediment yang cukup, kenaikan muka laut relatif cepat, pengendapan energi rendah, seperti slope, umumnya sediment butir halus. Gambaran jenis fasies seismik tersebut digambarkan pada Gambar 26.
Gambar 26 Perbesaran titik pada lintasan 3 mulai trace#72000 - trace#84000 Garis putus-putus diindikasikan lapisan sedimen tergolong lembut atau belum kompak, sedangkan untuk garis yang lebih jelas (tidak putus-putus) diindikasikan bahwa lapisan sedimen lebih kompak/padat atau proses sedimentasi berlangsung telah lama. Pola refleksi akustik lintasan 3 (Gambar 27). Lingkaran berwarna merah pada Gambar 27 terlihat adanya seperti patahan, hal ini diduga karena benar telah terjadinya patahan disekitar trace#75000 beberapa puluh tahun yang lalu kemudian proses sedimentasi berlangsung hingga sekarang.
39
Gambar 27 Pola refleksi akustik Lintasan 3 mulai trace#72000 - trace#84000 Lintasan 5 Filter data rekaman pada lintasan 5 dimulai pada trace#15000 sampai dengan trace#120000. Gambaran profil lintasan 1 hasil processing dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 28 Profil seismik dangkal sub bottom profile pada Lintasan 5 Hasil penafsiran sekaman sub bottom profiler lintasan 1 dilakukan pembesaran (zooming) pada trace#76000 sampai trace#96000 (kotak berwarna biru). Hasil identifikasi ditemukan 5 (lima) fasies yakni; [1] Subparallel, tekstur sedimen yang terbentuk pada zona pengisian, atau pada situasi yang terganggu oleh arus laut. [2] Prograded Fill, transpor sedimen dari ujung atau pada lengkungan channel. [3] Chaotic Fill, sedimenatsi pada channel dengan energi yang sangat tinggi. [4] Sigmoid, tekstur ini dapat terbentuk dengan suplai sediment yang cukup, kenaikan muka laut relatif cepat, pengendapan energi rendah, seperti slope, umumnya sediment butir halus. [5] Complex, lidah delta dengan energi tinggi dengan slope terprogradasi dalam energi rendah. Gambaran jenis fasies seismik tersebut digambarkan pada Gambar 29.
40
Gambar 29 Perbesaran titik pada Lintasan 5 mulai trace#76000 - trace#96000 Pola refleksi akustik lintasan 5 dapat dilihat pada Gambar 30. Pola refleksi akustik yang teratur, endapan yang terbentuk didominasi oleh pola refleksi discontinuity (tidak adanya keberlanjutan atau putus-putus) sangat sedikit ditemukan pola continuity (kemenerusan) sinyal akustik. Pola discontinuity menandakan bahwa frekuensi yang diterima endapan rendah dan sebaliknya pola continuity menandakan frekuensi yang diterima tinggi, lapisan sedimen lebih kompak atau padat atau proses sedimentasi berlangsung telah lama.
Gambar 30 Pola refleksi akustik Lintasan 5 mulai trace#76000 - trace#96000 Lintasan 8 Pada lintasan 8 tidak dilakukan pemotongan data karena pada lintasan ini data rekaman stabil dan perbedaan kedalaman dasar perairan tidak terlalu signifikan, setelah profil lintasan 8 ditampilkan selanjutnya dilakukan analisa fasies seismik terhadap 2 (dua) bagian. Bagian yang dipilih profil A dan profil B (kotak berwarna biru) sebagai acuan lapisan sedimen yang dianggap bisa memberikan informasi berbagai lingkungan pengendapan. Gelombang seismik yang menembus lapisan
41 atas dasar perairan dan terefleksikan kembali ke permukaan akan memberikan gambaran bentuk lapisan sedimen. Jarak trace profil A yang diambil mulai dari trace#8000 hingga trace#32000 jika dikonversikan kedalam kilometer sejauh 1 km 150.3 m. Profil A dengan pembesaran terhadap x 45 % dan y 550 %. Gambaran profil lintasan 1 hasil processing dapat dilihat pada Gambar 31.
A
B
Gambar 31 Profil seismik dangkal sub bottom profile pada Lintasan 8 Hasil identifikasi fasies terhadap profil A ditemukan 6 (enam) jenis fasies yaitu; [1] Chaotic merupakan tekstur internal pengendapan dengan energi tinggi (mounding, cut and fill channel) atau deformasi setelah proses sedimentasi (sesar, gerakan overpressure shale, dan lain-lain). [2] Downlap adalah batas bawah dari sekuen seismik yang diakibatkan oleh sedimentasi yang cukup intensif. [3] Divergent Fill yaitu tekstur pengisian chanel pada hale prone yang terkompaksi dengan sedimenatsi energi rendah, juga sebagai tipikal tahap akhir dari pengisian graben. [4] Subparallel tekstur internal lapisan terbentuk pada zona pengisian, atau pada situasi yang terganggu oleh arus laut. [5] Wavy parallel merupakan tekstur internal yang terbentuk akibat lipatan kompresi dari lapisan parallel diatas permukaan detachment atau diapir atau sheet drape dengan endapan berbutir halus. [6] Erosional Truncation atau dikenal dengan unconformity (ketidakselarasan) diakibatkan oleh peristiwa erosi karena terekspos ke permukaan. Gambaran jenis fasies seismik profil A digambarkan pada Gambar 32.
Gambar 32 Profil A perbesaran x 4 % y 550 % Lintasan 8 mulai trace#8000trace#33500 Profil A menjelaskan refleksi akustik yang teratur, endapan yang terbentuk didominasi oleh pola refleksi discontinuity (tidak adanya keberlanjutan/putusputus) sangat sedikit ditemukan pola continuity (kemenerusan) sinyal akustik. Pola discontinuity menandakan bahwa frekuensi yang diterima endapan rendah, sedangkan continuity menandakan frekuensi yang diterima tinggi.
42
Gambar 33 Pola refleksi akustik lintasan 8 mulai trace#8000- trace#33500 Profil B dimulai pada trace#64000-92000. Hasil identifikasi fasies ditemukan empat jenis yaitu; [1] Migrating wave; lapisan endapan diakibatkan oleh arus laut. [2] Divergent Fill; shale prone yang terkompaksi dengan sedimenatsi energi rendah, juga sebagai tipikal tahap akhir dari pengisisan graben. [3] Chaotic; pengendapan dengan energi tinggi (mounding, cut and fill channel) atau deformasi seteah proses sedimentasi (sesar, gerakan overpressure shale, dan lain-lain.) [4] Hummocky; terbentuk pada daerah dangkal tipikal antar delta dengan energi sedang. Gambaran jenis fasies seismik profil B digambarkan pada Gambar 34.
Gambar 34 Profil B perbesaran x 4 % y 550 % Lintasan 8 mulai trace#64000trace#92000 Gambar pola refleksi akustik lintasan 8 profil A dan profil B memperlihatkan model hitam putih skala 1: 1150.3 m. Pada profil B ada sedikit berbeda dari profil A yaitu adanya cekungan akibat patahan atau pergeseran antar lapisan atau endapan yang kemudian diiringi oleh proses sedimentasi yang telah lama. Profil ini didominasi oleh pola discontinuity.
43
Gambar 35 Pola refleksi akustik profil lintasan 8 mulai trace#64000- trace#92000 Karakter unit dari rekaman seismik refleksi memungkinkan dilakukannya penerapan langsung konsep geologi berdasarkan kenampakan fisik stratigrafi dari rekaman. Refleksi primer gelombang seismik terjadi akibat perbedaan impendansi akustik (kecepatan gelombang x densitas) dari permukaan batuan dan atau bidang ketidakselarasan. Karena semua lapisan batuan yang terletak di atas suatu lapisan atau bidang keselarasan berumur lebih muda daripada yang terletak di bawahnya, maka penampang seismik merupakan rekaman kronostratigrafi dari pola struktur dan pola pengendapan dan bukan merupakan rekaman litostratigrafi. Diskontinuiti dari refleksi seismik, seperti ketidakselarasan dan permukaan down-lap yang umumnya mengikuti batas waktu geologi. Refleksi seismik yang kurang baik kenampakannya bisa saja disebabkan oleh power dan frekuensi gelombang suara yang dipancarkan dari transducer, kondisi alat dan geografis pada saat survei dilapangan, kecepatan arus dan tingkat densitas partikel terlarut dalam air (fluid interface), tekstur pembentuk dasar perairan lunak atau padat dan adanya pergantian diagenesa tertentu yang juga mengikuti permukaan-permukaan diachronus terhadap waktu geologi. Hasil analisis fasies seismik dangkal masing-masing lintasan kemudian divisualisasaikan secara 3D menggunakan software Petrel Schlumberger versi 2008. Visualisasi ini bertujuan untuk memperlihatkan gambaran dasar laut, profil sedimentasi secara keseluruhan di lokasi penelitian dan pengambilan sampel sedimen (core) berada. Visualisasi lintasan 1, lintasan 3, lintasan 5, lintasan 8 dan posisi sampel sedimen berada digambarkan pada Gambar 36.
44
Gambar 36 Model 3D diagram pagar sub-bottom profile dan lokasi gravity core
Profil Sedimen Dasar Laut Menurut Shirley (1993) sedimen merupakan pecahan material yang melayang-layang dalam udara, air maupun terkumpul di dasar sungai atau laut oleh pembawa atau perantara alami lainnya, selanjutnya Garrison (2005) menyatakan bahwa sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat lain baik secara vertikal maupun secara horizontal, seluruh permukaan dasar laut ditutupi oleh partikel-partikel sedimen yang diendapkan secara perlahan-lahan dalam jangka waktu berjuta-juta tahun. Hutabarat dan Evans (2008) menyatakan sedimen adalah bahan utama pembentuk morfologi (topografi dan bathymetry) pesisir. Sedimen berasal dari fragmentasi (pemecahan) batuan, pemecahan tersebut terjadi karena pelapukan (weathering) yang dapat berlangsung secara fisik, kimiawi atau biologis. Berubahnya morfologi pesisir terjadi sebagai akibat berpindahnya sedimen yang berlangsung melalui mekanisme erosi, pengangkutan, pengendapan. Ukuran partikel-patikel sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisiknya dan berakibat sedimen yang terdapat pada berbagai tempat di dunia mem mempunyai sifat-sifat yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Sedimen laut berasal dari daratan dan hasil aktifitas (proses) biologi, fisika dan kimia baik yang terjadi di daratan maupun di laut, meskipun ada sedikit masukan dari sumber vulkanogenik dan kosmik. Sedimen laut terdiri atas materimateri berbagai sumber. Faktor yang mempengaruhi tipe sedimen yang terakumulasi antara lain adalah topografi bawah laut dan pola iklim. Distribusi laut saat ini merupakan refleksi iklim dan pola arus. Tipe sedimen laut berubah terhadap waktu karena perubahan cekungan laut, arus dn iklim. Urutan dan karakteristik sedimen baik struktur maupun tekstur yang tergambar dalam lapisan sedimen menunjukan sebagian perubahan yang terjadi di atasnya (Rifardi 2012). Jumlah data sampel sedimen yang diperoleh dilapangan pada penelitian ini dibahas hanya empat titik sampling (4 core), masing-masing titik dianggap telah mewakili masing-masing lintasan. Posisi koordinat, panjang contoh inti sedimen dasar laut yang tertangkap core dan kedalaman laut disajikan pada Tabel 8.
45 Pemisahan fraksi ukuran besar butir (granulometri) sampel yang didapatkan dilapangan dilakukan di laboratorium sedimentologi, untuk ukuran butir kerikil hingga pasir (-2 phi hingga 4 phi) dilakukan dengan metode ayak kering dengan interval ayakan 0,5 phi sedangkan untuk pemisahan ukuran lanau-lempung (5 phi hingga 9 phi) dilakukan dengan metode pipet. Hasil pemisahan seluruh percontoh disajikan dalam tabel Lampiran 6. Analisa tekstur yang dilakukan terhadap sampel sedimen di lokasi penelitian menunjukan adanya empat tipe sedimen, yaitu krikilan, pasiran, lanauan dan lempungan. Secara keseluruhan dari empat lokasi pengambilan contoh didominasi oleh Lanauan 53.1%, pasiran 39.3%, krikilan 5.7% dan lempungan 1.95%. Hasil proses analisis besar-butir masing-masing contoh sampel yang mencakup data statistik komposisi ukuran butir sedimen dalam skala phi mulai -2 phi hingga 9 phi disertai data berat, persen berat dan berat komulatif masing-masing fraksi besar butir dan penamaan sedimen meliputi parameter statistik besar butir, persentase kandungan fraksi sedimen (kerikil, pasir, lanau dan lempung) serta nama sedimen disajikan dalam Tabel 9. Komposisi nilai fraksi kerikilan tertinggi terdapat pada titik core 7 sebesar 10.3 % yang berada pada posisi 5°10'13.099"LS-134°32'56.739"BT dengan kedalaman perairan 72 meter dari permukaan laut, nilai terendah terdapat pada titik core 6 dengan nilai 2.0 % yang berada pada posisi 4°51'32.067"LS-134°35'48.382"BT dengan kedalaman perairan 67.4 meter dari permukaan laut (Gambar 37). Komposisi nilai fraksi pasiran tertinggi terdapat pada titik core 6 sebesar 98.0 % yang berada pada posisi 4°51'32.067"LS-134°35'48.382"BT dengan kedalaman perairan 67.4 meter dari permukaan laut, nilai terendah terdapat pada titik core 4 sebesar 6.3 % yang berada pada posisi 5°09'22.563"LS-135°16'15.133"BT dengan kedalaman perairan 74.5m dari permukaan laut. Peta sebaran sedimennya dapat dilihat pada Gambar 39. Komposisi nilai fraksi lanauan tertinggi terdapat pada titik core 4 sebesar 86.1% yang berada pada posisi 5°09'22.563"LS-135°16'15.133"BT dengan kedalaman perairan 74.5 meter dari permukaan laut, nilai terendah terdapat pada titik core 6 sebesar 0 % yang berada pada posisi 4°51'32.067"LS-134°35'48.382"BT dengan kedalaman perairan 67.4 meter dari permukaan laut. Peta sebaran sedimennya dapat dilihat pada Gambar 41. Komposisi nilai fraksi lempungan tertinggi terdapat pada titik core 5 sebesar 3.7 % yang berada pada posisi 4°42'17.077"LS - 134°54'14.354"BT dengan kedalaman perairan 85.6 meter dari permukaan laut, nilai terendah nilai terendah terdapat pada titik core 6 sebesar 0 % yang berada pada posisi 4°51'32.067"LS - 134°35'48.382"BT dengan kedalaman perairan 67.4 meter dari permukaan laut. Peta sebaran sedimennya dapat dilihat pada Gambar 43. Hasil analisis fraksinasi dan penamaan sedimen pada empat titik pengambilan core, teridentifikasi adanya dua jenis tipe substrat penyusun dasar perairan, yaitu lanau pasiran (terdiri dari tiga core), pasiran (satu core) (Tabel 9). Pengelompokan tipe substrat ini ditentukan berdasarkan kompoisis substrat di setiap stasiun. Pengelompokan sedimen bersarkan teksturnya mencerminkan komposisi sedimen dan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama proses erosi, transportasi dan pengendapan di lautan. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang ditemukan Irfania (2009) di bagian selatan Kepulauan Aru bahwasanya terdapat empat jenis tipe substrat yaitu berpasir, pasir belumpur, lumpur berpasir dan lumpur. Substrat pasir memiliki kisaran rata-rata ukuran partikel per stasiun 0.117-0.486 mm dengan kedalaman berkisar 13-45 meter pada
46
Tabel 8 Hasil pengambilan sampel inti sedimen di lapangan. Posisi Koordinat Kedalaman *SS Core Trace Lintasan Pj. Core (cm) Pj. Inti Sedimen Laut (m) (dB) Lintang Bujur 4 #62073 8 5°09'22.56" LS 135°16'15.1" BT 312 9 cm 74.5 -25.669 5 #26888 1 4°42'17.07" LS 134°54'14.3" BT 312 137 cm 85.6 -23.385 6 #124098 3 4°51'32.06" LS 134°35'48.3" BT 312 Dalam Kantong Plastik (250 gr) 67.4 -19.296 7 #84798 5 5°10'13.09" LS 134°32'56.7" BT 312 Dalam Kantong Plastik (450 gr) 72 -21.106 Sumber : Data lapangan dan *analisis data primer Tabel 9 Tabel parameter statistik dan jenis sedimen di lokasi penelitian Core 4 5 6 7
Nama Contoh WOKAM-04 WOKAM-05 WOKAM-06 WOKAM-07
Sumber : Analisis data primer
X(phi) 4.6 4.4 1.1 3.7
Sort. 1.9 2.3 1.1 2.6
Skew. -1.8 -0.9 -0.1 -0.9
Kurt. 7.0 3.7 2.8 3.6
Kri. 5.9 4.6 2.0 10.3
Pas. 6.3 21.5 98.0 31.3
Lan. 86.1 70.2 0.0 55.9
Lem. 1.6 3.7 0.0 2.5
Tipe Substrat Lanauan Lanau pasiran Pasiran Lanau pasiran
47 posisi 50LS dan 1340BT sampai 70LS dan 1330BT. Dilihat dari kedalamannya lokasi stasiun berada dekat dengan Kepulauan Aru yang mendapat pengaruh arus yang kuat sehingga diameter partikel lebih besar. Substrat pasir berlumpur memiliki kisaran rata-rata ukuran partikel 0.096-0.434 mm dengan kedalaman sekitar 9-51 meter pada posisi 50LS dan 1350BT sampai 70LS dan 1330BT. Substrat lumpur berpasir memiliki kisaran rata-rata ukuran partikel per stasiun 0.059-0.225 mm dengan kedalaman sekitar 16-40 meter pada posisi 60LS dan 1350BT sampai 70LS dan 1340BT. Substat lumpur pada kisaran 0.053 hingga 0.118 mm dengan kedalaman berkisar 14-43 meter dari permukaan laut pada posisi 60LS dan 1370BT sampai 70LS dan 1380BT Kerikil Fraksi kerikilan secara keseluruhan ditemukan pada setiap stasiun pengamatan dimana nilai rata-rata persentase kerikilan sebesar 5.7 % dari total sedimen. Sedimen tipe kerikilan mempunyai kenampakan megaskopis, berdasarkan analisa besar butir ukuran kerikilan berkisar antara 4 mm sampai 64 mm atau -6 phi hingga -2 phi. Persentase nilai fraksi kerikilan secara berurutan yaitu 10.3 % pada core 7, 5.9 % pada core 4, 4.6%pada core 5 dan 2.0 % pada core 6 (Gambar 38). Perbedaan kedalaman perairan di lokasi pengambilan sampel sedimen tidak terlalu signifikan, rata-rata kedalaman semua stasiun berkisar ± 74.875 meter dari permukaan laut (Tabel 8). Nilai fraksi kerikilan tertinggi terdapat pada core 7 dengan berat inti sedimen 450 gr.
Gambar 37 Distribusi dan interpolasi persentase fraksi krikilan pada masingmasing core Gambar 37 menggambarkan sebaran fraksi kerikilan hasil interpolasi data dari semua titik pengambilan core. Sebaran kerikilan pada semua titik core tidak
48 merata, sebaran tertinggi ditandai dengan warna hijau tua kemudian menurun hingga warna merah yang terendah. Persentase fraksi sedimen (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10
10.3
5.9
4.6
2
Core 4
Core 5
Core 6
0 Core 7
Sampel sedimen Krikilan
Gambar 38 Grafik arah pergerakan sedimen kerikilan berdasarkan core Gambar 38 menerangkan bahwa arah pergerakan sedimen fraksi kerikiran lebih tinggi di daerah yang berdekatan dengan daratan Pulau Wokan Kepulauan Aru (core7) ini menandakan bahwa pola sebaran sedimen berasal dari daratan. Semakin jauh dari daratan sebaran kerikilan akan semakin sedikit (Gambar 37). Partikel sedimen yang berukuran kasar dan berat tidak pernah dipindahkan dengan cara terangkat dari lapisan dasar perairan, mereka dipindahkan dengan cara rolling oleh arus yang mengalir di dasar perairan, dengan kecepan arus yang sama partikelpartikel yang lebih ringan berpindah dengan cara melambung sepanjang arus dasar (saltasi) sedangkan pada kecepatan arus yang sama partikel-partikel yang paling ringan berada dalam aru dan berpindah sesuai dengan pola arus tersebut (suspensi). Sesuai dengan prinsip pengendapan, sedimen yang berukuran kasar akan diendapkan tidak jauh dari sumbernya. Sebaran sedimen kerikilan pada masing-masing core terlihat hampir seragam (Gambar 38) menurut Wibisongo (2005) apabila sedimen terdiri dari partikel dengan ukuran seragam dikatakan sedimen tersebut dalam kondisi sangat tersortir (well sorted). Jadi sedimen yang tersortir adalah sedimen yang terdiri dari partikelpartikel dengan kisaran ukuran yang terbatas sedangkan ukuran partikel yang lain telah tersingkir oleh kekuatan mekanis berupa ombak dan arus sebaliknya, sedimen yang kurang mengalami sortasi (poorly sorted sediment) terdiri dari berbagai ukuran partikel yang menunjukan kecilnya pengaruh tenaga mekanis yang dikenakan untuk mensotir berbagai ukuran partikel. Pasir Fraksi pasiran secara keseluruhan ditemukan pada setiap stasiun pengamatan dimana nilai rata-rata persentase kerikilan sebesar 39.3% dari total sedimen. Sedimen tipe pasiran mempunyai kenampakan megaskopis, berdasarkan analisa besar butir ukuran pasiran berkisar antara 125 µm sampai 2 mm atau 3 phi hingga -1 phi. Persentase nilai fraksi kerikilan secara berurutan yaitu 98.0 % pada core 6, 31.3 % pada core 7, 21.5 pada core 5 dan 6.3 % pada core 4 (Gambar 40). Nilai fraksi pasiran tertinggi terdapat pada core 6 dengan berat inti sedimen 250 gr.
49
Gambar 39 Distribusi dan interpolasi persentase fraksi pasiran pada masing-masing core Sebaran fraksi pasiran pada semua titik core tidak merata, sebaran tertinggi ditandai dengan warna biru tua kemudian menurun hingga warna merah yang terendah. Pergerakan sedimen pasiran lebih tinggi di daerah yang sedikit berjauhan dari daratan (core 6) proporsinya mendekati 100 %. 98
Persentase Fraksi Sedimen (%)
100 80 60 40
31.3 21.5
20 6.3 0 Core 4
Core 5
Core 6
Core 7
-20
Sampel Sedimen Pasiran
Gambar 40 Grafik arah pergerakan sedimen pasiran berdasarkan core Sebaran jenis sedimen pada lokasi penelitian (core 6) didominasi oleh sedimen pasir dimungkinkan karena besarnya ukuran butir sedimen cenderung resisten terhadap gerakan arus sehingga tidak terbawa mengikuti kecepatan dan arah arus. Poerbandono dan Djunarsjah (2005) menyatakan bahwa sedimen yang berukuran besar (misalnya kerikil dan pasir kasar) cenderung resisten terhadap gerakan arus. Jika kekuatan arus cukup besar, sedimen tersebut cenderung
50 terangkut dengan kontak yang kontiniu (menggelinding, meluncur atau melompat) dengan dasar perairan. Sedimen berukuran lebih kecil (misalnya pasir halus, lanau dan lempungan) cenderung terangkut sebagai suspensi dengan kecepatan dan arah arus. Lanau Fraksi lanauan ditemukan pada stasiun pengamatan core 4, 5 dan 7 dimana nilai rata-rata persentase lanauan sebesar 53.1 % dari total sedimen. Sedimen tipe lanauan berkisar antara 8 µm sampai 63 µm atau 7 phi hingga 4 phi. Persentase nilai fraksi lanauan secara berurutan yaitu 86.1 % pada core 4, 70.2 % pada core 5, dan 55.9 pada core 7 (Gambar 42). Nilai fraksi lanauan tertinggi terdapat pada core 4 panjang inti sedimen yang tertangkap core 9 cm. Pola sebaran sedimen lanau digambarkan pada Gambar 41.
Gambar 41 Distribusi dan interpolasi persentase fraksi lanauan pada masingmasing core Gambar 41 menunjukan sebaran fraksi lanauan hasil interpolasi data dari semua titik pengambilan core sebaran lanau pada semua titik core tidak merata, sebaran tertinggi ditandai dengan warna hijau tua mencapai 86.1% kemudian menurun hingga warna ungu pekat yang terendah. Jika dilihat mekanisme transpor sedimennya, diduga sedimen ini ditransportasikan secara suspended load transport, yaitu sedimen yang telah terangkat terbawa bersama-sama dengan massa air yang bergerak dan selalu terjaga diatas dasar oleh turbulensi air (Komar 1998). Menurut Seibold dan Berger (1993) kecepatan arus dapat mempengaruhi pergerakan sedimen dimana ukuran butir sedimen sebesar 1 mm dapat bergerak jika kecepatan arus minimal sebesar 0.5 m/dt.
51
Persentase Fraksi Sedimen (%)
100 90
86.1
80
70.2
70 55.9
60 50 40 30 20 10
0
0 Core 4
Core 5
Core 6
Core 7
Sampel Sedimen Lanauan
Gambar 42 Grafik arah pergerakan sedimen lanauan berdasarkan core Lempung Fraksi lempungan ditemukan pada stasiun pengamatan core 4, 5 dan 7 dimana nilai rata-rata persentase lempungan sebesar 1.95 % dari total sedimen. Sedimen tipe lempung berkisar antara 2 µm sampai 4 µm atau 9 phi hingga 8 phi. Persentase nilai fraksi lempungan secara berurutan yaitu 3.7 % pada core 5, 2.5 % pada core 7, dan 1.6 pada core 7 (Gambar 44). Nilai fraksi lanauan tertinggi terdapat pada core 5 dengan panjang inti sedimen 137 cm.
Gambar 43 Distribusi dan interpolasi persentase fraksi lempung pada masingmasing core
52 Gambar 43 menggambarkan sebaran sedimen lempungan. Sebaran sedimen lempung pada semua titik core merata dan sangat rendah, sebaran tertinggi ditandai dengan warna putih dengan nilai 3.7 % pada core 5 (Gambar 44) kemudian menurun hingga warna hijau tua yang terendah pada core 6 dengan nilai 0 % (tidak adanya lempung pada core ini). Jenis sedimen ini sangat halus dan ringan sehingga tercampur dengan air dan terbawa oleh arus pada kolom perairan. Persentase fraksi sedimen (%)
100 80 60 40 20 1.6
3.7
Core 4
Core 5
0
2.5
Core 6
Core 7
0 -20
Sampel Sedimen Lempung
Gambar 44 Grafik arah pergerakan sedimen lempungan berdasarkan core Sebaran fraksi sedimen yang dipetakan menegaskan bahwa ukuran butir kasar (kerikil) akan mengendap tidak jauh dari sumbernya yaitu pada daerah berdekatan dengan daratan, sebaliknya semakin jauh dari daratan maka proporsi pasir yang diendapkan semakin sedikit (menuju laut) sedangkan sedimen berukuran lebih halus (lempung dan lanau) akan tersuspensi dan dibawa oleh arus. Proses pengendapan sedimen yang berasal dari hasil erosi didaratan menyebabkan adanya perbedaan tekstur sedimen (fisik) antara perairan pantai dan laut, pada dasarnya butir-butir sedimen bergerak di dalam media cair dengan cara yang berbeda-beda, beberapa cara tersebut bisa menggelundung (rolling), menggeser (bouncing), dan larut (suspension). Pola dan kecepatan arus, pasang surut dan relief dasar laut memberikan pengaruh yang berbeda, pada kecepatan arus rendah hanya partikel halus dan partikel berdensitas rendah (beberapa lanau dan lempung) yang tetap tersuspensi sedangkan partikel yang lebih besar ukurannya (pasiran dan kerikilan) akan terbawa pada tingkat aliran arus yang lebih kuat. Hasil penelitian Pranowo dan Wirasantosa (2011) kondisi pasang surut di Laut Arafura dan Timor terdapat dua tipe pasang surut di Laut Timor dan tiga tipe di Laut Arafura. Dua tipe pasang surut di Laut Timor adalah tipe mixed semidiurnal berdasarkan data stasiun Timor (Indonesia), Rote (Indonesia) dan Darwin (Australia) dan tipe semidiurnal di wilayah selatan berdasarkan data stasiun Broome (Australia), sedangkan Laut Arafura yang wilayahnya lebih luas dari Laut Timor, tiga tipe yang teramati adalah tipe mixed semidiurnal di wilayah bagian utara (stasiun Tanimbar dan Saumlaki-Indonesia), tipe campuran cenderung diurnal (satiun Groote Eylandt-Australia) dibagian barat daya dan tipe diurnal di bagian tenggara (stasiun Karumba-Australia). Besar butir rata-rata merupakan fungsi ukuran butir dari suatu populasi sedimen, misalnya sedimen yang termasuk pada jenis tekstur pasir kasar, sedang
53 dan pasir halus akan memiliki besar butir rata-rata yang berbeda. Semakin kasar ukuran butir suatu populasi sedimen maka nilai besar butir rata-ratanya semakin besar. Hasil perhitungan parameter statistik diketahui nilai rata-rata butiran berkisar 0.136Ø - 0.3254Ø. Nilai terkecil pada core 4 dan terbesar pada core 7. Dapat disimpulkan bahwa pengangkutan partikel sedimen cenderung dari arah Utara daratan Pulau Wokam dan Selatan Papua bagian Selatan menuju arah Timur Kepulauan Aru, hal tersebut ditunjukan oleh nilai persentase fraksi sedimen berangsur menghalus menjauhi daratan Kepulauan Aru dan Selatan Papua. Menurut Katili (1986) sedimen yang mendominasi landas kontinen perairan Arafura berasal dari masa Paleozoikum akhir, Mesozoikum sampai sampai Kenozoikum yang dilandasi oleh lapisan granit pada bagian bawah. Hasil penelitian Natsir dan Rubiman (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar sedimen di perairan Laut Arafura adalah lumpur pasiran. Sedimen berupa lempung ditemukan disekitar Kepulauan Tanimbar dengan kedalaman 341 meter dan di sekitar Pulau Dolak. Sedangkan sedimen pasir sedang sampai kasar yang bercampur dengan fragmen karang dan moluska ditemukan di bagian selatan Kepulauan Aru. Hal ini diduga karena karakteristik perairan Laut Arafura yang terbuka dengan arus yang relatif kuat. Hasil riset Pranowo (2012) pola arus di Laut Arafura terbentuk dari hasil kopling energi angin dan pasang surut, pada musim monsun barat (Januari) arus dari barat (Samudera Hindia Tenggara, arus selatan Jawad an Laut Flores) bergerak menuju timur (Laut Timor dan Laut Sawu) searah dengan pergerakan angin Northwest monsoon. Adanya gradient muka laut arus sebagian dibelokan ke utara dan timur laut (menuju Laut Banda) sebagian lain dibelokan menuju pantai barat daya Australia, ada yang kemudian berputar kembali ke barat daya menyusur pantai barat laut Australia dan ada juga yang menuju tenggara memasuki Teluk Bonaparte di Australia, sementara arus dari barat laut yang bergerak dari Halmahera menyusur pantai barat daya Papua memutar di Laut Arafura dan sebagian lagi memutar di Carpentaria di Australia. Musim monsun timur (Agustus) arus yang dibangkitkan oleh angin tenggara terlihat jelas bergerak dari utara Teluk Carpentaria menuju barat laut, kemudian di Laut Arafura membelok ke barat daya, sebagian menuju Laut Timor dan sebagiaan menuju Laut Sawu melewati Laut Banda dan Selat Ombai. Sebagian Kecil menyusur pantai barat daya Papua menuju ke barat laut ke Terusan Lifamatola (Gordon et al. 2010), pada masa transisi dari monsun timur ke monsun barat (Oktober) secara umum pola arusnya sangat kompleks karena banyak pertemuan dan percabangan arus menghasilkan banyak arus eddy berkekuatan skala kecil, seperti di selatan Laut Sawu, Laut Timor, barat daya Pulau Buru, barat laut Teluk Carpentaria (Masumoto et al. 2005). Parameter fisik lain yang mempengaruhi dinamika sedimentasi adalah arus vertikal menuju ke atas (upwelling, bernilai positif) dan arus menuju ke bawah (down welling, bernilai negatif). Secara teoritis upwelling dan down welling dibangkitkan oleh tiupan angin dan dipengaruhi oleh profil bathymetry yang kompleks dan kopling dengan tidal pump (Radjawane et al. 2006). Hasil simulasi Pranowo (2012) menunjukan bahwa wilayah Laut Arafura dan Timor memiliki fenomena upwelling disepanjang tahun dan mengalami variabilitas secara monsoonal.
54
4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1 Bagian timur wilayah penelitian memiliki kisaran kedalaman -1.5 meter hingga -240 meter dari permukaan laut sedangkan pada bagian barat mencapai -3735.5 meter. Topografi dasar laut berbentuk dataran (flat) pada sebelah timur dan terdapat cekungan Palung Aru pada sebelah Barat. 2 Tipe substrat penyusun dasar laut di lokasi penelitian berupa lanauan, lanau pasiran dan pasiran. Nilai SS lanauan -25.669 dB, lanau pasiran -23.385 dB, pasiran 19.296 dB, lanau pasiran 21.106 dB. Perbedaan nilai surface scattering pada berbagai jenis substrat disebabkan adanya perbedaan instrument akustik yang digunakan, frekuensi gelombang suara yang dipancarkan, kedalaman dan kondisi perairan di lokasi penelitian. 3 Lingkungan pengendapan jenis sedimen ditemukan Subparallel, Sigmoid, Chaotic Fill, Downlap, Erosional Truncation, Prograded Fill, Divergent, Complex, Hummocky, Wavy parallel Subparallel between parallel, Divergent fill. Hubungan antara kondisi geologi dan rekaman seismik dangkal terdapat perbedaan mendasar antara rekaman seismik dengan faktor geologi sebenarnya. Pada umumnya penampang seismik terekam dalam skala waktu (time domain) karena distorsi kecepatan gelombang suara dipancarkan secara vertikal sehingga seismik hanya mampu mendeteksi lapisan dasar laut pada batas atas dasar perairan. 4 Refleksi seismik yang kurang baik kenampakannya disebabkan oleh pengaturan power dan frekuensi gelombang suara yang dipancarkan transducer, kondisi alat dan geografis pada saat survei dilapangan, kecepatan arus dan tingkat densitas partikel terlarut dalam air (fluid interface), tekstur pembentuk dasar perairan lunak atau padat.
Saran Perlu dilakukan analisis nilai akustik dasar perairan (Volume scattering Strength, Sea survace) lanjutan agar sebaran sedimen berdasarkan nilai echo dapat digambarkan dengan tepat dan jelas.
55
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah A. 2011. E-book Ensiklopedi Seismik. [internet]. diunduh tanggal 06 Januari 2016, 22.15 WIB. Bogor. Tersedia pada www.ensiklopediseismik. blogspot.com Allo OAT. 2011. Kuantifikasi dan Karakterisasi Acoustic Backscattering Dasar Perairan di Kepulauan Seribu Jakarta [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Azpurua M, Ramos KD. 2010. Comparizon of Spatial Interpolation Methods for Estimation Average Electromagnetic Field Magnitude Progress in Electromagnetics Research M. (14):135-145. Burczynski J. 2002. Bottom Classification. [internet]. dikunjungi pada tanggal 07 Januari 2016, 17.15 WIB. tersedia pada laman www.BioSonics.com. Cressie NAC. 1991. Statistics for Spatial Data. New York (US): J Wiley. 900 pp. Collins WT, Lacroix P. 1997. Operational Philosophy of Acoustic Waveform Data Processing for Seabed Classification. Singapore (SG): COSU Oceanology International. Damuth JE. 1980. Use of High Frequency (3.5-12 Khz) Echograms in The Study of Near Bottom Sedimentation Processes in The Dep Sea. Marine Geology 38:51-75. Etter PC. 1996. Underwater Acoustic Modeling-Principles, techniques and applications. Second edition. London (GB). Chapman & Hall E & FN SPON,. Folk RL and Ward WC. 1957. Brazos River bar: A Study Significance of Grain Size Parameter. Jour. Sed. Pet., Tulsa USA, 27(1):3-26. Garrison T. 2005. Oceanography: An Invitation to Marine Science. 5th ed. (USA): Thomson Learning. Gordon AL, Sprintall J, Van Aken HM, Susanto D, Wifffels S, Molcard R, Ffield A, Pranowo W, Wirasantosa S. 2010. The Indonesian throughflow during 2004-2006 as observed by the INSTANT program. Dinamics of Atmospheres and Oceans. 50:115-128. doi: 10.1016/j.dynatmoce.2009.12.002 Hansen RE, 2009. Introduction to Sonar. Course material to INF-GEO4310, Norwegia (NO): Univ of Oslo. Hasianro PP. 2013. Exploratory Spasial Data Analisis dengan OpenGeo 1.01. Principle of Parsimony. [internet]. Diunduh pada tanggal 23 januari 2016 pukul 8.55 am WIB. Bogor. https://praynadeak.wordpress.com/2013/02/15/ principle-of-parsimony-kesederhaan-tetap-yang-terbaik/. Hutabarat S, Evans SM. 1985. Pengantar Osenaografi. Jakarta (ID). UI Press. Irfania R. 2009. Pengukuran Nilai Acoustic Backscattering Strength Berbagai Tipe Substrat Dasar Perairan Arafura dengan Instrument Simrad EK60 [skripsi]. Bogor (ID): Istitut Pertanian Bogor. Iriawan N, Astuti SP. 2006. Mengolah data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Yogyakarta (ID). Andi Offset. Johnston RJ. 1980. Multivariate Statistical Analysis in Geography, first paperback edition. United States of America (USA). Longman. ISBN 0-582-30034-7.
56 Katili JA. 1986. Geology and Hydrocarbon Potential of the Arafura Sea. In: Future Petroleum Provinces of the World. AAPG Memoir 40, M.T. Halbouty (editor) 487-501. Kim GY, Richardson MD, Bibee DL, Kim DC, Wilkens RH, Shin SR, Song ST. 2004. Sediment Types Determination Using Acoustic Techniques in the Northeastern Gulf of Mexico. Geosciences Journal, 8:95-103. Komar PD. 1998. Beach Processes and Sedimentation. Second Edition. New Jersey (US): Printice Hall. Kriging. 2016. Kriging. [internet]. diunduh pada tanggal 08 Januari 16 pukul 10:28 AM tersedia pada https://id.wikipedia.org/wiki/Kriging. Lurton X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustics: principles and aplications. Perancis (FR): Spinger-Verlag. ISBN 3-540-42967-0. Luskin D, Heezen BC, Ewing M, and Landisman M. 1954. Precision Measurements of Ocean Depth. Deep Sea Research. 1; 131-140. Manik HM. 2006. Pengukuran Akustik Scattering Strength Dasar Laut dan Identifikasi Habitat Ikan dengan Echosounder. Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK-IPB. Bogor. Manik HM. 2011. Underwater Acoustic Detection and Signal Processing Near the Seabed. Kolev N, editor. Sonar Systems. 1st edition. Croatia (HR) : Intech. p 255-274. ISBN 978-953-307-345-3. Masumoto Y, Hase H, Kuroda Y, Matsuura H. 2005. Intraseasonal variability in the upper layer current observed in the Eastern Equatorial Indian Ocean. Geophysical Research Letters 32: L02607. doi 10.1029/2004GL021896. McQuillin R, Bacon M, Barclay W. 1984. An Introduction to Seismic Interpretation: reflection seismics in petroleum explortion, 2nd ed. London (GB): Graham & Trotman. Mitchum RM Jr, Vail PR, and Sangree JB. 1977. Stratigraphic Interpretation of Seismic Reflection Patterns in Depositional Sequences. AAPG Memoir; Seismic Stratigraphy-Applications to Hydrocarbon Exploration. 26:117–133. McGee TM. 1995. High-Resolution Marine Refflection Profiling for Engineering and Environmental Purpose. Part A: Acquiring analogue seismic signal. Journal of applied geophysics. 33: 271-285. Natsir MS dan Rubiman. 2010. Distribusi Foraminifera Bentik Resen di Laut Arafura. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2(2): 74-82. Nontji A. 1987. Laut Nusantara-cet. 3. Jakarta (ID): Djambatan Nurhayati. 2006. Kajian Lingkungan Purba Sedimen Laut Arafura [tesis]. Surabaya (ID). Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Pranowo WS. 2012. Dinamika Upwelling dan Downwlling di Laut Arafura dan Timor. Widyariset. 15(2):415-423. Pranowo WS dan Wirasantosa S. 2011. Tidal Regims of Arafura and Timor Seas. Mar. Res. Indonesia. 36(1):21-28. ISSN 0125-9849. Poerbandono, Djunarsjah E. 2005. Survei Hidrografi. Bandung (ID). Refika Aditama.
57 Pramono GH. 2008. Akurasi Metode IDW dan Kriging untuk Interpolasi Sebaran Sedimen Tersuspensi di Maros, Sulawesi Selatan. Forum Geografi. 22(1):145-158. Pujiyati S, Hartati S, Priyono P. 2010. Efek Ukuran Butiran, Kekasaran, Dan Kekerasan Dasar Perairan Terhadap Nilai Hambur Balik Hasil Deteksi Hydroakustik. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2:59-67. Radjawane IM, Herdiani Y, Pranowo WS, Husrin S, Supangat A. 2006. Sirkulasi arus vertikal di perairan Teluk Saleh Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. J. Segara. 2(1):10-15. ISSN 1907-0659. Rifardi. 2001. Tekstur Sedimen Sampling dan Analisis. Pekanbaru (ID): UR Press. 101 hal. Rifardi. 2012. Ekologi Sedimen Laut Moder edisi revisi. Pekanbaru (ID): UR Press. ISBN 978-979-792-149-1. [SG; LLC] Golden Software; Limited Liability Company. 2014. Surfer 11 Training Guide. (US). All rights reserved. Siwabessy J, Penrose J, Kloser R, Fox D. 1999. Seabed habitat classification. Australia (AT): International Conference on High Resolution Surveys in Shallow Water. Shepard FP. 1954. Nomenclature Based on Sand-Silt-Clay Ratios. J. of Sedimentary Research. 24(3). Sangree JB and Widmier JM. 1977. Seismic Stratigraphy and Global Changes Of Sea Level, Part 9: Seismic Interpretation of Clastic Depositional Facies. In Payton, C. E. (Ed.), Seismic Stratigraphy: Applications to Hydrocarbon Exploration: Tulsa (AAPG), Am. Assoc. Petrol. Geol., Memoir, 26:165-184. Shirley TC, Carls M, Fleeger JW, Schizas N. 1993. Meiofaunal Recolonization Experiment With Oiled Sediments: Major Meiofauna Taxa. In: Exxon Valdez Oil Spill Symposium Abstract Book. Anchorage AK (USA): Pp 350-353 Siebold E and Berger WH. 1993. The Sea Floor; An Introduction to Marine Geology. Second Edition. Jerman (DE): Springer-Verlag. 350 hlm. Stephanie, Widada S, Rahardiawan R. 2014. Interpretasi Lapisan Sedimen Dasar Laut di Perairan Utara Jawa (lembar peta 1310) menggunakan Sub-Bottom Profile. J. Oseanografi. 3(4):504-510. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitaif, Kualitatif dan R&D. Jakarta (ID): Alfabeta. Supartono B. 2013. Pengukuran Acoustic Backscattering Strength Dasar Perairan Dengan Instrument Single Beam dan Multi Beam Echo Sounder [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Stoker MS, Pheasant JB, Josenhans H. 1997. Seismic Method and Interpretation. London (GB): Chapman and Hall, SyQwest I. 2010. Bathy-2010 PC™ CHIRP Sub Bottom Profiler and Bathymetric Echo Sounder. Manual Book.p 82. Triatmodjo B. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta (ID): Beta offset. ISBN 979-854105-7. pp 397. Urick RJ. 1983. Principles of Underwater Sound, 3rd ed. New York (US): McGrawHill.
58 Wagey T, Arifin Z. 2008. Marine Biodiversity Review of The Arafura and Timor Seas. Jakarta (ID): Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Indonesian Institute of Sciences, United Nation Development Program, and Cencus of Marine Life. pp 136. Waite AD. 2002. Sonar for Practising Engineers. Third Edition. England (GB): J Wiley. Walpole RE. 1992. Pengantar Statistik edisi ke-3. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. p 51. Watson DF, Philip GM. 1985. A Refinement of Inverse Distance Weighted Interpolation. Geoprocessing. 2:315–327. Webster R, McBratney AB. 1989. On the Akaike Information Criterion for choosing models for variograms of soil properties. J. soil sci. 40, 493-496. Wibisono MS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta (ID): Grasindo. 226 hlm. Wijaya PH, Lugra IW, Astawa N, Surachman M, Kristanto NA, Wahib A, Ilahude D, Hardjanto BT, Setiady D, Hermansyah G, et al. 2014. Potensi Migas dan Kaitannya dengan Lokasi Perangkap di Wokam-Aru Utara, Papua Barat untuk Mendukung Penyiapan WK Migas Nasional [Laporan Akhir Survei Geomarin III]. Bandung (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan.
59 Lampiran 1 Spesifikasi dan deskripsi Kapal Riset Geomarin III PPPGL Ship Name Port of Registry Flag IMO No. Call Sign MMSI Vessel Type Classification
: KM. GEOMARIN III : Jakarta : Indonesia : 9499565 : P meter J V : 525. 015. 307 : Survey Vessel (Marine Geology & Geophysical) : NK (Nipon Toikoku Kaiji Kyokai) dan BKJ (Biro Kalsifikasi Indonesia) Shipbuilder : PT. PAL – Surabaya Built in : 2008 Gross Tonnage : 1254 Net Tonnage : 377 Lengt Over All (LOA) : 61,70 Meter Lengt B. P (LBP) : 55,00 Meter Breadth (Middle) : 12,00 Meter Maximum Draft : 3,70 Meter Maximum Speed : 13,5 Knot Service Speed : 12,5 Knot Survey Speed : 4 Knot Owner : Puslitbang Geologi Kelautan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Main Engien (ME) : MAN B&W L23/30A (2 x 800 Kw / 825,0 Rpm) Auxiliary Engine (AE) : MAN D 2840 LE 301 (3 x 443 Kw / 1500 Rpm) Emergency Diesel Generator : MAN D 2866 TE 20 (177 Kw / 1500 Rpm) Bow Thruster : Type HRP 4008 TT Type Propellers & Rudder : 2 x 4 Blades CCP Fuel Oil Tank Capacity : 267 M3 Lube Oil Tank Capacity : 11 M3 Fresh Water Tank Capacity : 124 M3 Ballast Tank Capacity : 110 M3 Provision Store : 17,0 Ton Fuel Consumption : 8,5 Ton / 10.000 Liter per Days Sea Service (12 Knot) : 5.400 Miles Streaming Range : 30 Days Life Rafts : 1 Unit Rubber Boat : 1 Unit Rescue Boat : 1 Unit Working Boat : 1 Unit Ship Crew : 21 Person Scientist and technicians : 30 Person Total Component on Board : 51 Person
60 Lampiran 2
Spesifikasi instrumen Bathy-2010 CHIRP Sub bottom Profiler and Bathymetri Echosounder
Unit Jarak (satuan kaki atau meter) Depth Ranges 30, 60, 120, 240, 480, 800, 1500, 2400, 3000, 6000, 15000 Feet 10, 20, 40, 80, 150, 300, 500,750, 1000, 2000, 5000 Meters Shift Range 0-450 Feet in 1 Foot increments 0-150 Meters in 1 Meter increments Zoom Range 15, 30, 60, 120, 240, 480, Feet 5, 10, 20, 40, 80, 160, 320, 640 Meters Zoom Modes Bottom Zoom, Bottom Lock Zoom, Marker Zoom, GUI Zoom (Playback Only) Display Normal Data, Zoom Data, Navigation, Depth, Command/Status, Color Control for Data: 4 Selections or Custom (User Input), Data Color Invert possible Strata Resolution 8 cm with >300 Meters of bottom penetration (bottom type dependant) Depth Resolution 0.1 Feet, 0.1 Meters Depth Accuracy Meets or exceeds all current IHO hydrographic requirements for single beam echosounders. 0-40m 2.5cm, 40-200m 5.0cm, >200m 10.0cm; or ± .1%of depth corrected for sound velocity. Speed of Sound User Selectable 1500 Meters/Second, 4800 Feet/Second, adjustable inincrements of 1m/sec or 1ft /sec Geographic Position NMEA 0183, GLL, GGA, RMC, VTG, VHW, HDT Selectable Baud Rates (RS-232): 4800, 9600, 19200, 38400 Printer Output Centronics (Parallel Port) interface to TDU Series Thermal Printers Shallow Water Operation < 1 Meter; bottom type dependant Transmit Rate Up to 10 Hz, depth and operator mode dependant Event Marks Periodic, External, and/or Manual (Periodic selectable in 1 minute intervals) Data File Output Stores Depth, Navigation, and Graphic Data in ODC format (Proprietary) & Standard SEG-Y Normal and Zoom Data stored is Pixel data and can be played back and/or printed Data File Playback Files can be played back and/or printed at Normal or Fast-Forward speed, with Pause and GUI Zoom and a Playback Scroll Bar for ease of file playback. Frequency Output 3.5 to 200 KHz a Transmit Output Power 4KW (Pulsed, maximum Input Power 12-30 Volts DC, Nominal power 75 Watts 110/220 VAC with optional adapter Dimensions Depth 37.51 cm (14.63”), Width 48.26cm (19”), and Height 13.33 cm (5.25“). 55.88 x 54.61 x 19.68cm (22" x 21.5" x7 75") external case dimensions Weight 8.16kg (18 lbs) electronics unit (32lbs including case) Environmental 0 to 50 degrees C Operating Temperature 0 to 95° non-condensing
Sumber : (SyQwest.inc Bathy-2010 PC Manual bok)
61 Lampiran 3a Pengujian impedansi tranduser Impedansi Tranduser dapat di uji sebelum atau sesudah pemasangan dengan menggunakan beberapa peralatan : - Saluran Ganda Oscilloscope - Generator Sinyal, 10 VRMS, jangkauan Frekuensi hingga 200 kHz - Resistor Dekade 0-500 ohms pada tingkat 1 ohms - Untuk mencegah kerusakan Pengukuran impedansi tranducer harus berada di dalam air - Tranducer ditenggelamkan ke dalam air - Impedansi Tranducer harus didominasi oleh resistif. Prosedur pengujian: Langkah 1 Atur sinyal output generator kisaran 10 VRMS pada frekuensi tengah tranducer. Langkah 2 Ukur sinyal generator yang keluar dengan channel A Langkah 3 Ukur tegangan arus tranducer yang menurun dengan channel B Langkah 4 Sesuaikan posisi kotak resistor sehingga saluran B berada pada satu setengah dari saluran A Langkah 5 Baca nilai yang muncul pada kotak decade resistor. Nilai tersebut adalah resistensi dari trandusee. Sambungan tranducer dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar
Diagram Pengujian Impedansi Akustik (SyQwest.inc Bathy-2010 PC Manual bok)
62 Lampiran 3b Penampang tansducer 3,5 kHz model TR-109 dan model TC-12/34
63
Lampiran 4 Spesifikasi alat navigasi yang digunakan selama penelitian C-NavTM GPS System a. C-Nav GPS Receiver Specifications Features Real-time sub meter accuracy Single integrated package – simple installation Rugged, waterproof housing Wide-range (11-40VDC) power supply RTCM and NMEA{GGA,GSA,RMC,VTG,ZDA) outputs Patented multipath mitigation significantly reduces noise Geodetic quality dual frequency GPS virtually eliminates ionospheric effects Performance L-band receiver frequency Automatically selected 1525 to 1560 MHz APS Global Accuracy: Position (H) : < 30cm {HDOP = 1} Position (V) : < 70cm Velocity : < 0.02m/s Time to first fix : Cold Start : 90 sec(typical) Reacquisition “Coast” for 30 sec with GPS lock : < 2 sec L-band loss with less than 30 seconds with GPS lock: < 30 sec I/O Connector : 8-Pin water proof connector Temperature : Operating : -20Cº to +70Cº Storage : -40Cº to +85Cº Physical/Environmental Size : 9.2H inx 7.2D in (24.8H x 18.7D cm) Weight : 5.5 lbs. (2.4 kg) Power : Input voltages : 12-40 VDC Consumption : <10 W average power 1.2 A. max @ 12 VDC Humidity 100% non-condensing b. CnC D.U Desk Top Display Unit Specifications Features 4 x 20 character LCD screen 12 key membrane button input pad Rugged, stainless steel housing Wide-range (12-40VDC) power supply RTCM, NMEA and Raw data outputs Physical/Environmental Size : 9.6L x 6.7W x 3.3H in. (24.4L X 17.0W x 3.3 H cm) Weight : 3.8 lbs. (1.75 kg)
64
Humidity Power Consumption I/O Connector Temperature Storage
: 100% non-condensing : Input voltages : 12-40 VDC : <1 W average power 100 mA. @ 28 VDC typical : 3 db-9, 1 cat 5 and 1 8-Pin water proof connectors : Operating : -20Cº to +70Cº : -40Cº to +85Cº
c. CnC D.U. 19-Inch Rack Display Unit Specifications Features 4 x 20 character LCD screen 12 key membrane button input pad Rugged, Anodized aluminum housing A.C. Power supply with DC backup connection RTCM, NMEA and Raw data outputs (with LEDs) Physical/Environmental Size : 8.5L x 19W x 3.375H in. (21.59L X 48.26W x 8.75H cm) Weight : 0 lbs. (0 kg) Humidity : 100% non-condensing Power : Input voltages 100-240 V a.c. with 12-40 V d.c. backup Consumption : <1 W average power I/O Connector : 3 db-9, 1 cat 5 and 1 8-Pin water proof connectors Temperature : Operating: -20Cº to +70Cº Storage: -40Cº to +85Cº
65 Lampiran 5 Data berat sampel sedimen setelah diayak
Ukuran phi saringan (mikron) Berat Asal Berat ckg Berat non ckg Berat Kumulatif 4000 2800 2000 1400 1000 710 500 355 250 180 125 90 63 pan berat pipet 4 phi 5 phi 6 phi 7 phi 8 phi
Berat pada masing-masing phi (gr) Sampel 4 Sampel 5 Sampel 6 Sampel 7 100 0.4230 99.5770 98.3794 5.1677 0.3425 0.1819 0.2241 0.5387 0.4722 0.4940 0.5376 0.0424 1.4100 1.5333 0.1474 86.9876 20.0000 0.8161 0.6145 0.1140 0.0531 0.0295
100 8.2133 91.7867 90.6020 2.1610 0.4263 0.4947 0.7852 0.3204 1.3032 1.1964 1.6467 2.2907 1.2686 2.7930 0.0458 75.8700 20.0000 0.3613 0.2569 0.1215 0.0536 0.0416
100 23.5869 76.4131 75.0037 0.1426 0.6220 0.7443 2.8741 6.4697 6.2636 15.6751 10.6343 14.8224 2.8600 10.7053 2.1438 0.0442 1.0023 -
100 2.8762 97.1238 96.1121 3.9017 0.8142 1.2534 0.3971 0.4560 0.2720 0.2634 0.2989 0.8441 7.0718 4.1748 4.3914 0.0527 71.9206 20.0000 0.3603 0.1507 0.0957 0.0445 0.0290
66 Lampiran 6 Tabel data rekaman masing-masing trace yang sudah di-cut
256 256 256 256 256 384 384 384 384 512 512 512 512 512 512 640 640 640 640 640 640 640 768 768 768 768 768 896 896 896 896 896 896 896 896 1024 1024
Trace#26888 1024 2304 7680 1152 2304 8192 1152 2432 8704 1152 2432 8960 1152 2432 8960 1280 2432 9088 1280 2432 9344 1280 2816 9472 1408 2816 9472 1408 2944 9472 1408 3072 10496 1408 3072 10624 1408 3072 10624 1536 3072 10624 1536 3584 11008 1536 3712 11008 1536 3840 11136 1536 4352 12160 1536 5120 12288 1664 5248 12800 1664 5248 12928 1664 5504 13312 1664 5760 13568 1664 6016 13952 1664 6144 14080 1792 6400 14848 1792 6528 14976 1792 6656 15104 1920 7040 15232 1920 7040 19968 1920 7040 21888 1920 7040 22016 1920 7424 23552 2048 7424 25216 2048 7424 26240 2048 7424 26496 2048 7552 26624
27648 28800 32640 32640 32640 32640 32640 32640 32640 32640 32640 32640
128 128 128 128 128 128 128 128 128 128 256 256 256 256 256 256 256 256 256 256 256 256 384 384 384 384 384 384 384 384 384 384 384 384 384 384 384
384 512 512 512 512 512 512 512 512 512 512 512 512 640 640 640 640 640 640 640 640 640 640 640 640 640 640 640 640 640 640 640 768 768 768 768 768
Trace#124098 768 1152 768 1152 768 1152 768 1152 768 1152 896 1152 896 1280 896 1280 896 1280 896 1280 896 1280 896 1280 1024 1280 1024 1280 1024 1280 1024 1280 1024 1280 1024 1280 1024 1280 1024 1280 1024 1280 1024 1280 1024 1280 1024 1280 1024 1408 1024 1408 1024 1408 1024 1408 1024 1408 1152 1408 1152 1408 1152 1408 1152 1408 1152 1408 1152 1408 1152 1408 1152 1408
1408 1408 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1664 1664 1664 1664 1664 1664 1664 1664 1664 1664 1792 1792 1792 1792 1792 1792 1792 1920 1920 1920 1920
67 Lampiran 6 Tabel data rekaman masing-masing trace (lanjutan) Trace#124098 (lanjutan) 2048 3584 2048 3712 2048 4352 2048 4736 2048 4992 2048 5376 2048 6400 2048 7680 2048 7808 2048 7936 2048 8704 2176 8704 2176 8832 2176 9088 2176 10624 2176 13184 2176 14592 2176 17792 2176 18432 2176 18432 2304 18560 2304 19200 2432 20736 2560 21120 2688 23424 2688 23552 2688 24064 2688 24320 2816 25088 2944 27904 2944 28032 2944 28928 2944 28928 3072 32640 3072 32640 3200 3584
Trace#84798 128 128 128 256 256 256 256 256 256 384 384 384 384 512 512 640 640 640 640 640 640 640 768 768 896 896 896 896 896 1024 1024 1152 1152 1152 1152 1280 1280
1280 1408 1408 1408 1408 1536 1536 1536 1664 1664 1664 1664 1792 1792 1792 1792 1792 1920 1920 2048 2048 2048 2048 2176 2176 2176 2304 2304 2304 2304 2304 2432 2432 2432 2432 2560 2560
2560 2560 2688 2688 2688 2688 2816 2816 2816 2816 2816 2816 2816 2944 2944 3072 3072 3200 3200 3200 3200 3200 3200 3328 3328 3328 3328 3328 3328 3456 3456 3584 3584 3584 3712 3968 3968
3968 3968 3968 3968 4224 4224 4224 4224 4224 4224 4352 4352 4352 4480 4480 4480 4480 4608 4608 4608 4608 4608 4736 4736 4736 4864 4864 4864 4864 4992 4992 4992 5120 5248 5248 5248 5376
5376 5376 5376 5504 5632 5632 5632 5632 5760 5888 6016 6016 6016 6144 6144 6272 6272 6272 6272 6272 6400 6400 6528 6528 6656 6656 6784 6912 7168 7296 7552 7808 8064 8064 8064 8064 8192
8192 8192 8192 8320 8320 8448 8448 8960 9088 9088 9088 9088 9344 9344 9344 9984 10368 10368 10368 10752 11904 12032 12800 12800 13312 14336 14464 14720 14720 14720 14976 15232 15232 17280 18560 18816 18944
18944 23296 24960 26880 29440 29440 32000 32128 32640 32640 32640 32640 32640 32640
68 Lampiran 6 Tabel Data Rekaman Masing-masing Trace (lanjutan) Trace#62073 128 128 128 128 128 128 128 128 128 128 128 256 256 256 256 256 256 256 256 256 384 384 384 384 384 384 384 384 384 384 384 384 512 512 512 512 512
512 512 512 512 512 512 512 512 512 512 512 512 512 640 640 640 640 640 640 768 768 768 768 768 768 768 768 768 768 768 768 768 896 896 896 896 896
896 896 896 896 896 896 896 896 896 896 896 896 1024 1024 1024 1024 1024 1024 1024 1024 1024 1024 1024 1024 1024 1024 1152 1152 1152 1152 1152 1152 1152 1152 1280 1280 1280
1280 1280 1280 1280 1280 1280 1280 1280 1280 1280 1280 1408 1408 1408 1408 1408 1408 1408 1408 1408 1408 1408 1408 1408 1408 1408 1408 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1536 1536
1536 1536 1664 1664 1664 1664 1664 1664 1664 1792 1792 1792 1792 1792 1792 1792 1792 1792 1792 1792 1792 1792 1792 1920 1920 1920 1920 1920 1920 1920 1920 1920 1920 1920 2048 2048 2048
2048 2048 2048 2048 2048 2176 2176 2176 2176 2176 2176 2176 2176 2304 2304 2304 2304 2304 2432 2432 2432 2432 2432 2688 2688 2688 2688 2688 2688 2816 2816 2816 2816 2816 2816 2944 2944
2944 2944 2944 3072 3072 3072 3072 3200 3200 3200 3200 3200 3200 3328 3328 3328 3456 3584 3584 3584 3712 3712 3712 3712 3840 3840 3968 3968 3968 3968 4096 4352 4352 4352 4480 4480 4480
4480 4480 4608 4608 4864 4992 5120 5120 5376 5376 5760 8064 8064 11392 13568 17152 24192 25984 25984 25984 26112
69 Lampiran 7 Grafik Gelombang Pada Masing-masing Trace
Trace#26888_Lintasan1_Sampel5
Trace#124098_Lintasan3_Sampel6
70
Trace#84798_Lintasan5_Sampel7
Trace#62073_Lintasan8_Sampel4
71 Lampiran 8 Ketetapan parameter akustik untuk sedimen. V (00) (dB) 21.8 18.0 13.8 12.1 10.7
α (dB/λ)
(m/s)
Ω0 (cm4)
(cm)
0.08
-
5 x 10-4
0.5
0.10
-
5 x 10-4
0.5
0.15
125
5 x 10-4
0.6
0.20
290
5 x 10-4
0.6
2
1.00
340
5 x 10-4
0.7
2. 5
1,650
-9.7
1.10
390
1 x 10-3
0.7
3
1,680
-8.9
1.00
410
2 x 10-3
1.0
4
430 470
-3
1.2 1.8
5 6
Jenis Sedimen
M (∅)
n (%)
ρ (kg m-3)
cr
c (m/s)
Lempung
9
80
1,200
0.98
1,470
8
75
1,300
0.99
1,485
7
70
1,500
1.01
1,515
6
65
1,600
1.04
1,560
5
60
1,700
1.07
1,605
4
55
1,800
1.10
3
50
1,900
1.12
LanauLempungan LempungLanauan Pasir-LanauLempungan PasirLanauan LanauPasiran Pasir Sangat Halus Pasir halus Pasir kasar
2 1
45 40
Sumber : Lurton (2002)
1,950 2,000
1.15 1.20
1,725 1,800
-8.3 -7.7
0.80 0.90
cs
3 x 10 7 x 10-3
h
δ (0) 1. 2 1. 5 1. 7
72 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Babukik, Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 17 Agustus 1988. Anak bungsu dari delapan bersaudara dari pasangan M. Basri dan Nurhayati. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, lulus tahun 2010. Pendidikan program magister dilanjutkan tahun 2013 pada Sekolah Pascasarjana Institiut Pertanian Bogor program studi Teknologi Kelautan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) dari KEMENRISTEKDIKTI. Sebelum menempuh program magister penulis bekerja sebagai peneliti muda dan surveyor kontrak di Lembaga Penelitian Universitas Riau membidangi kelautan dan wilayah pesisir. Selama mengikuti program Magister, penulis mengikuti beberapa pelatihan, seminar nasional dan internasional, diantaranya [1] International Seminar “Ecosystem Restoration in the Tropics: Lesson Learned and Best Practices” pada tanggal 28 November 2013 oleh Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor di Bogor, [2] Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan X Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (PIT X ISOI) “Inovasi IPTEK Kelautan Untuk Penghidupan dan Kehidupan yang Lebih Layak” pada tanggal 11-12 November 2013 di Jakarta, [3] Lokakarya Nasional Keanekaragaman Hayati Sebagai Modal Dasar Pembangunan pada tanggal 30-31 Oktober 2013 oleh Kementerian Lingkungan Hidup di Hotel Borobudur Jakarta, [4] Seminar Nasional “Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia” pada tanggal 5 Juli 2014 oleh Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran di Hotel ASTON Primera Pasteur Bandung, [5] Kuliah Umum “The Development of Microsatellite Radar and UAV for Environment and Resources Management” oleh Prof Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, Ph D pada tanggal 14 Agustus 2014 di Surya University Serpong Indonesia, [6] Character Based Leadership Training pada tanggal 11-12 Februari 2014 oleh Bakrie Center Foundation di Bogor, [7] Seminar Nasional “Inovasi Riset dan Peningkatan Kualitas Publikasi Ilmiah” Bogor pada tanggal 14 Maret 2014 oleh Forum Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor di Bogor, [8] Seminar Hari Hidrografi Dunia 2015 “Peran Hidrografi dalam Mendukung Kebijakan Pemerintah Menjadikan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia” pada tanggal 5 Agustus 2015 oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL di Discovery Hotel Ancol Jakarta. Karya ilmiah dengan judul Bathimetry and Recent Sediment Profiles of North Aru Islands Offshore West Papua telah disajikan di Bulletin of the Marine Geology pada bulan Desember 2015, untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Teknologi Kelautan penulis melakukan penelitian dan menyusun Tesis dengan judul Integrasi Data Sub bottom Profile dan Gravity Core untuk Menentukan Dinamika Sedimentasi Resen di Perairan Utara Wokam.