INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa dipandang perlu untuk memberikan Petunjuk-petunjuk Pengarahan bagi Delegasi Republik Indonesia ke Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri Negaranegara ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 13 -15 Mei 1975. Mengingat : Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. MENGINSTRUKSIKAN: Kepada
:
Menteri Luar Negeri. Untuk PERTAMA : Menggunakan Petunjuk Pengarahan sebagaimana terlampir pada Instruksi Presiden ini sebagai landasan dan pedoman dalam menghadapi masalahmasalah yang dibahas dalam Konperensi Tingkat Menteri Luar Negeri Negaranegara ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 13 - 15 Mei 1975. KEDUA : Memberikan laporan kepada Presiden tentang perkembangan konperensi selama berlangsungnya konperensi tersebut. KETIGA : Melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada Presiden. KEEMPAT : Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 Mei 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. SOEHARTO JENDERAL TNI.
Lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor : 11 Tahun 1975. PETUNJUK PENGARAHAN KEPADA DELEGASI R. I. DALAM PERTEMUAN TINGKAT MENTERI LUAR NEGERI NEGARA-NEGARA ASEAN DI KUALA LUMPUR TANGGAL 13 - 15 MEI 1975 I. PENDAHULUAN. 1. Perkembangan terakhir di Indo Cina, yang ditandai oleh jatuhnya Pemerintahan Lon Nol di Phnom Penh serta Pemerintahan Thieu di Saigon dan penarikan Amerika Serikat dari Kamboja dan Vietnam dalam waktu cepat di luar perkiraan semula, telah menimbulkan suatu perimbangan kekuatan baru di Asia Tenggara yang niscaya akan membawakan pergeseran-pergeseran pula dalam konstelasi politik di seluruh kawasan Asia Timur/Pasifik. 2. Salah satu pelajaran utama yang dapat ditarik dari sejarah perkembangan-perkembangan tersebut ialah bahwa pengerahan kekuatan senjata yang bagaimanapun besarnya ditambah bantuan ekonomi/keuangan dari luar, tanpa partisipasi dan motivasi penuh massa rakyat sendiri terbukti tidak berdaya menahan arus pemerahan yang melanda Semenanjung Indo Cina. Negara-negara non-komunis di Indo Cina, yang hanya melandaskan diri pada kekuatan angkatan bersenjata dan sokongan formil rakyatnya, tanpa mengusahakan dukungan sebenarnya dari hati nurani segenap lapisan masyarakat serta ketahanan nasional secara menyeluruh, ternyata telah gagal dalam membendung ofensi komunis. II. PERKIRAAN. 1. Perkiraan corak tata hubungan antar negara di Indo Cina.
a. Tidak dapat disangkal, bahwa cara penyelesaian konflik di Kamboja dan Vietnam Selatan, yaitu melalui kemenangan militer mutlak, telah sangat memperkokoh kedudukan/peranan RDV sebagai kekuatan politik yang dominan di kawasan Indo Cina. Maka dapat disimpulkan bahwa untuk waktu yang cukup lama, hegemoni RDV terhadap negara-negara lainnya di Indo Cina tidak akan dapat ditentang atau dimungkiri. b. Namun tentang bagaimana bentuk corak hegemoni RDV tersebut akan diwujudkan kelak masih terdapat berbagai kemungkinan. Kemungkinan pertama ialah, bahwa RDV akan segera bergerak ke arah terciptanya suatu federasi atau konfederasi negara-negara Indo Cina, setelah terlebih dahulu merealisasikan penyatuan kembali kedua Vietnam, suatu cita -cita yang telah senantiasa mendasari konsepsi kenegaraan Ho Chi Minh. Kemungkinan kedua ialah, bahwa berdasarkan perhitungan-perhitungan strategis maupun taktis, negara-negara lainnya di Indo Cina akan tetap dibiarkan berdiri sendiri dan secara formil terlepas dari RDV, di mana hegemoni politik/militer RDV dimanifestasikan tanpa bentuk yang nyata seperti di atas. c. Berbagai pertimbangan, baik strategis maupun taktis, kiranya akan dapat mendorong RDV memilih kemungkinan kedua. (1) RDV menyadari bahwa penyatuan kembali Vietnam tidak akan dapat dilaksanakan dengan mudah dalam waktu cepat karena akan membawa konsekwensi beban tanggungjawab sosial ekonomis bagi RDV yang ekonominya juga masih lemah. Di samping itu RDV akan segera melihat perlunya waktu yang cukup untuk penyesuaian tata masyarakat Vietnam Selatan ke dalam tata masyarakat Vietnam Utara, yang berdasarkan ideologi komunis yang sangat berbeda coraknya. (2) RDV akan perlu memperhatikan kepekaan-kepekaan di pihak Karnboja dan Laos yang berakar pada rasa antagonisme yang tradisionil terhadap apa yang dilihat sebagai dominasi bangsa Vietnam atas bangsa -bangsa Khmer dan Laos. (3) Secara taktis, membiarkan Laos, Kamboja dan Vietnam Selatan berdiri sendiri sebagai "quasi-independent entities" yang menjalankan politik non-blok, yang masuk kelompok negara -negara non-blok dan yang membawakan tambahan suara di forum-forum Internasional, jelas mengandung keuntungankeuntungan diplomatik yang nyata bagi RDV. (4) Guna menangkis kemungkinan tuduhan-tuduhan dunia luar bahwa penyerbuannya ke Selatan merupakan agresi terbuka semata-mata, RDV/PRSVS kiranya akan tetap menggunakan dalih bahwa segala perbuatannya itu dilancarkan demi implementasi konsekwen dari pada ketentuan-ketentuan Perjanjian Paris. Oleh karenanya, dapat diperkirakan bahwa penyelesaian politik jangka pendek di Vietnam Selatan akan tetap disalurkan melalui sandiwara pembentukan pemerintahan "national concord and national reconciliation", pemilihan umum
dan lain sebagainya, yang ke luar secara juridis formil dapat ditampilkan sebagai justifikasi penaklukan Pemerintahan Saigon dengan kekuatan militer dan ke dalam tetap menjamin pengendalian sepenuhnya oleh RDV/PRSVS. (5) Sebaliknya RDV/PRSVS dapat memilih pula untuk mengenyampingkan perjanjian Paris dan menonjolkan kemenangan militer itu sebagai hasil perjuangan kemerdekaan rakyat Vietnam yang selama puluhan tahun dipelopori oleh Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan. . d. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa bertumbuhnya suatu corak tata hubungan antar negara di Indo Cina seperti digambarkan di atas, merupakan perkiraan yang didukung oleh indikasi-indikasi nyata pada dewasa ini. Namun, apapun corak tata hubungan yang timbul kelak, bagi Indonesia dan dunia luar umumnya tidak akan mengurangi kenyataan, bahwa di Indo Cina telah timbul suatu kesatuan politik ("political entity") baru yang untuk waktu cukup lama akan berada di bawah pengaruh dominan RDV, yang berideologi kiri/komunis dan berperangai aktif/"assertive". Jelas pula bahwa dengan demikian telah timbul di Asia Tenggara suatu kekuatan regional baru di samping kelompok regional ASEAN yang disebabkan lebih ketatnya sistim sosial politik yang dianutnya dapat di perkirakan konsolidasinya sebagai suatu kesatuan akan berjalan lebih cepat daripada ASEAN. 2. Perkiraan perkembangan sikap RDV ; a. Dengan sukses-sukses yang dicapai oleh RDV dalam peranannya di Laos dan Kamboja dan kemenangan militernya di Vietnam Selatan, maka tercapailah sudah cita-cita RDV sebagaimana dipesankan dalam "testamen Ho Chi Minh". Dengan demikian, pada hakekatnya tiada alasan dan tiada indikasi pula, bahwa RDV akan melanjutkan gerakan militernya ke luar batas Indo Cina. Andai katapun dikandung ambisi ke arah itu, kiranya sikap RRC serta negara-negara besar lainnya yang berperan di kawasan ini akan merupakan hambatan yang nyata. Namun hal ini tidak berarti, bahwa RDV, seperti juga RRC dan Uni Soviet sebagai sesama negara komunis, akan rnelalaikan solidaritas dan "kewajiban" internasionalnya dalam membantu apa yang dinamakan "gerakan-gerakan pembebasan rakyat" ("nasional wars of liberation") di negara-negara tetangga sekitarnya. b. Maka dapat disimpulkan bahwa hakekat ancaman yang ditimbulkan subversi dan infiltrasi yang berpotensi meningkat secara nyata dengan tersedianya peluang-peluang yang lebih besar bagi subversi/infiltrasi tersebut (senjatasenjata dan perlengkapan-perlengkapan perang yang berhasil direbut oleh pihak RDV/PRSVS/GRUNK, suasaana umum yang memberi angin baru pada golongan-golongan insurgen diberbagai negara Asia Tenggara dan lain sebagainya). c. Di samping konsolidasi politik, maka salah satu tugas yang. paling mendesak
yang akan segera dihadapi oleh RDV ialah bagaimana menggerakkan dan mengkoordinir usaha rehabilitasi dan rekonstruksi sosial/ekonomi, bukan saja di RDV sendiri tapi juga di Vietnam Selatan, Kamboja dan Laos. Dalam memenuhi tuntutan keadaan Ini, jelas kiranya akan diperlukan bantuan dari luar negeri dalam jumlah dan jangkauan yang cukup besar. d. Dalam rangka ini RDV akan segera pula dihadapkan pada dua pilihan : (1) Tetap menggantungkan diri terutama pada bantuan ekonomi dari negaranegara blok sosialis/komunis. Pada kenyataannya, ini berarti bahwa bantuan tersebut akan terutama datang dari Uni Soviet dan RRC. jelas kiranya, bahwa salah satu akibat yang tak terelakan dari pilihan ini ialah risiko tetap terkungkungnya RDV dalam pola rivalitas/pertentangan antara Uni Soviet dan RRC, yang niscaya akan meletakkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap kebebasan gerak kebijaksanaan-kebijaksanaan RDV. (2) Membuka diri juga terhadap bantuan ekonomi dari negara-negara Barat (Australia, New Zealand dan Jepang), dan dengan demikian membuka prospek mengalirnya jumlah bantuan yang lebih besar serta menghindarkan diri dari ketergantungan yang terlalu mengekang pada Uni Soviet dan RRC. e. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pada suatu ketika RDV akan melihat keuntungan baginya untuk menjalankan pilihan kedua tersebut diatas. Pada saat itu pula, kemungkinan pengembangan hubungan persahabatan dan kerjasama secara damai dengan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara, khususnya negara-negara ASEAN, akan merupakan suatu pilihan politik ("political option") yang cukup menarik dan sesuai pula dengan kepentingankepentingannya di bidang pembangunan nasionalnya maupun hasratnya menjalankan suatu politik yang lebih bebas dari pengaruh negara -negara besar. Dalam rangka ini jelas nampak adanya konvergensi dengan tujuan dasar politik negara-negara ASEAN yang pada pihaknya sedang mengusahakan terjelmanya suatu Daerah Bebas, Damai dan Netral di Asia Tenggara, bebas dari pengaruh berlebihan dan campur tangan negara-negara besar manapun. f. Jika titik ini dicapai, maka kemungkinan negara-negara Indo Cina pada suatu ketika menggabungkan diri pada ASEAN, pun tidak akan merupakan hal yang mustahil lagi. Di dalam sejarah dunia, kita telah menyaksikan suatu negara sosialis/ komunis, Yugoslavia, memilih untuk bergabung dengan gerakan non-blok dari pada terus menerus menghadapi tekanan kedua super power yang saling berbentrokkan. 3. Perkiraan posisi negara-negara besar : a. Suatu perkiraan perkembangan di Indo Cina tidak akan lengkap jika tidak ditempatkan dalam kerangka lebih besar, yaitu perkiraan posisi dan interaksi
pengaruh negara-negara besar, Amerika Serikat, RRC dan Uni Soviet dalam konteks konstelasi kekuatan baru di Asia Tenggara. (1) Amerika Serikat : Perkembangan-perkembangan terakhir di Indo Cina diperkirakan akan memperkuat kecenderungan-kecenderungan yang terutama tercermin di Kongres untuk menghentikan sama sekali kehadiran/keterlibatan militer Amerika Serikat di Asia Tenggara dan selanjutnya mengadakan "repositioning" strategis pada suatu garis tertentu dikawasan Pasifik Barat. Ini berarti bahwa secara strategis peranan Amerika Serikat akan lebih ditekankan pada kekuatan angkatan laut dan udaranya. Proses penilaian ulang dan pemikiran ulang strategis ini nampaknya masih sedang berjalan, begitu pula bentuk akhir dari pada proses penarikan diri Amerika Serikat tersebut belum tercapai. Yang nyata telah terjadi ialah bahwa bobot pengaruh kehadiran Amerika Serikat di Asia Tenggara kini telah pudar dan secara praktis sedang tumbuh suatu keseimbangan baru antara ketiga negara besar dikawasan ini. Kemungkinan yang perlu diamati ialah apakah dibawah tekanan suasana umum di dalam negeri dewasa ini, Amerika Serikat akan menarik diri kesuatu taraf "isolasionisme" ataupun "indifference" terhadap kawasan Asia Tenggara, dan dengan demikian tidak lagi melihat perlunya mencegah timbulnya hegemoni salah satu negara besar lainnya diwilayah ini. (2) R. R. C. Perkembangan-perkembangan terakhir di Indo Cina pada hakekatnya tidak akan merobah dua persyaratan strategis yang selalu mendasari sikap RRC : (a) Menjamin agar negara-negara pada batasan selatannya merupakan negaranegara sahabat ataupun negara-negara yang “terkendalikan". Mencegah/menetralisir setiap peningkatan pengaruh Uni Soviet dikawasan ini. Berdasarkan strategi dasar tersebut diatas, diperkirakan bahwa RRC tetap tidak akan membiarkan bertumbuhnya peranan yang terlalu menonjol dari RDV dibawah pengaruh Uni Soviet. Kemungkinan yang perlu diamati ialah apakah dalam menjamin sasaran-sasaran tersebut diatas, Cina akan mengadakan pendekatan-pendekatan langsung dengan negara-negara tertentu seperti Thailand dan Birma dan negara-negara Indo-Cina masing-masing. (3) UNI SOVIET Perang Indo Cina dan kesudahannya sekarang ini telah memberi peluang besar bagi Uni Soviet untuk menanamkan/mengembangkan kehadiran dan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara. Tidak dapat disangkal bahwa sumbangan material Uni Soviet yang besar kepada perjuangan RDV dan begitu pula potensi bantuannya dimasa rnendatang bagi rehabilitasi Indo Cina, memberi kedudukan yang sangat menguntungkan baginya, dibandingkan dengan kedua negara besar lainnya. Kemungkinan yang perlu diamati ialah sampai seberapa jauh Uni Soviet akan berhasrat dan berhasil menterjemahkan kelebihan ini menjadi suatu pengaruh politik yang dominan di Indo Cina, dalam
batas-batas "checks and balances" dari kedua negara besar lainnya. 4. Kemungkinan sikap RI/negara-negara ASEAN ; a. Menghadapi perkiraan arah/wujud perkembangan-perkembangan di IndoCina, dalam rangka interaksi negara-negara besar, seperti di gambarkan di atas, maka terdapat 3 kemungkinan pilihan sikap bagi Pemerintah RI/negaranegara ASEAN ; (1) Sikap konfrontatif : Jika dalam penilaian strategis kita, Indo-Cina di bawah pengaruh dominan RDV dilihat sebagai ancaman langsung dan lawan utama (“ultimate enemy"), bukan RRC, yang perlu dihadapi, maka akan terjadi lagi proses polarisasi kekuatan antara Indo-Cina di satu pihak dan negara-negara ASEAN di lain pihak, dengan Jakarta dan Hanoi sebagai kutub kekuatan masing-masing dan Thailand, Malaysia dan Singapura sebagai medan terdepan. Polarisasi serupa ini secara pasti akan mengundang campurtangan dan pengendalian oleh negara-negara besar lagi, yang akan mengambil corak tetap dipertahankannya pangkalan-pangkalan militer asing yang ada di kawasan ini, pendirian pangkalan-pangkalan baru, mengalirnya bantuan perlengkapan perang kepada masing-masing pihak dan lain sebagainya. Keadaan demikian akan sama sekali bertentangan dengan cita-cita Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya untuk membina suatu Asia Tenggara yang damai, tenteram dan maju dalam usaha pembangunannya. (2). Sikap hidup berdampingan dengan penuh saling: kecurigaan : Jika Indo-Cina di bawah pengaruh Hanoi di nilai sebagai suatu kenyataan yang terpaksa harus kita terima, tetapi yang tidak dilihat manfaatnya untuk saling bekerjasama, bahkan ada saling mencurigai, maka secara teori suatu hubungan "hostile co-existence" dapat dipertumbuhkan dan dipertahankan. Namun jelas kiranya, bahwa hubungan semacam ini mau tidak mau harus bersandarkan kekuatan senjata di masing-masing pihak. Dalam usaha mempersenjatai diri, Indonesia dan negara-negara ASEAN memang tidak perlu mengundang kehadiran fisik sesuatu negara besar, tetapi yang pasti akan diperlukan ialah bantuan militer yang cukup besar. Aspek-aspek negatif yang sangat menonjol dalam pemikiran-pemikiran ke arah kemungkinan ini ialah bahwa : a) Setiap pemupukan kekuatan bersenjata pada hakekatnya akan sangat mengganggu momentum pembangunan nasional negara-negara ASEAN tanpa ada jaminan bahwa langkah ini akan mencapai sasarannya, yaitu berhasil membendung ancaman subversi/infiltrasi komunis. b) Amerika Serikat, sebagai sumber utama bantuan senjata yang padat diterima oleh RI/negara-negara ASEAN dewasa ini tidak dapat diharapkan akan bersedia memberikannya, sedikitnya dalam ukuran yang diperlukan dalam rangka ini.
(3). Hidup berdampingan secara damai dan kerjasama yang saling menguntungkan : Walaupun bagi beberapa negara ASEAN, Indo-Cina dilihat sebagai ancaman langsung yang lebih nyata ("Immediate threat"), hal ini tidak mengurangi persepsi jangka panjang bahwa berdasarkan pertimbangan strategis kerjasama dan kerukunan kedua bagian Asia Tenggara ini pada akhirnya akan menguntungkan kedua belah pihak dan memenuhi kepentingan nasional masingmasing baik secara politis, ekonomis maupun HANKAMNAS. Berlainan dengan RRC, Indo-Cina di bawah dominasi RDV tidak merupakan lawan hakiki ("ultimate enemy") yang karena kedudukan dan potensinya memiliki kemampuan mendominasi /menguasai wilayah Asia Tenggara lainnya. Dilihat dari sudut penilaian ini, maka terbuka suatu pilihan sikap untuk secara sadar mengembangkan hubungan hidup berdampingan secara damai dan kerjasama yang saling menguntungkan dengan negara-negara Indo Cina. b. Jelaslah kiranya bahwa di antara ketiga kemungkinan sikap pilihan ketiga merupakan satu-satunya kebijaksanaan yang paling relevan dan paling memenuhi cita-cita dan kepentingan RI dan negara-negara ASEAN. Namun pilihan sikap Ini tidak mengenyampingkan tetap perlunya kewaspadaan tinggi terhadap ancaman subversi/infiltrasi yang pada hakekatnya senantiasa dapat diperkirakan dalam hubungan dengan negara-negara Indo-Cina tersebut. Hal ini berarti, bahwa pilihan untuk mengadakan kerjasama secara damai itu harus disertai dengan suatu usaha serentak, terperinci dan berencana untuk : 1) Meningkatkan ketahanan nasional masing-masing negara ASEAN, menuju ke suatu ketahanan regional yang mantap. 2) Menelaah dengan seksama dan mengatasi kerawanan-keravvanan yang masih ada dalam proses pemupukan ketahanan tersebut, baik dalam konteks nasional masing-masing, maupun dalam konteks regional. c. Dalam hubungan ini, maka secara regional (ASEAN) ada kerawanan-kerawanan yang rnenonjol seperti tercermin dalam perbedaan-perbedaan pandangan antara Malaysia dan Philipina mengenai tuntutan Sabah, antara Thailand dan Ivlalaysia mengenai masalah perbatasan Thailand Selatan, antara Singapura dan Malaysia mengenai berbagai segi kerjasama antar tetangga, antara Singapura dan Indonesia mengenai berbagai aspek kerjasama ekonomi, antara Indonesia dan Philipina mengenai beberapa segi pelaksanaan kerjasama di tapalbatas. Di samping kerawanan-kerawanan antar negara tersebut, maka dapat pula digolongkan sebagai suatu kerawanan belum adanya suatu kesatuan persepsi (common perception") mengenai hakekat dari pada berbagai gejala "insurgencies" yang ada di daerah ASEAN tersebut. d. Dalam rangka nasional masing-masing, ada kerawanan-kerawanan seperti masalah "insurgency" di Thailand Timur Laut dan Selatan, pemberontakan muslimin di Philipina Selatan, ketegangan-ketegangan rasial dan insurgency
komunis di Malaysia, ketimpangan-ketimpangan sosial di Singapura dan Indonesia dan lain-lainnya. e. Sedangkan dalam hubungan dengan negara-negara Indo Cina perlu adanya kesadaran/ perhatian terhadap kemungkinan-kemungkinan friksi ("potential friction pointe") yang terdapat dalam masalah-masalah yang menyangkut kedaulatan atau Kepulauan Spratley pemanfatan sumber-sumber minyak lepas pantai di Laut Cina Selatan, Penetrapan konsep wawasan nusantara bagi usaha penangkapan ikan oleh Vietnam dan lain sebagainya. III. KESIMPULAN-KESIMPULAN : 1. Perkembangan-perkembangan di Indo Cina telah menampilkan suatu kesatuan politik ("political entity") baru di kawasan tersebut yang untuk waktu cukup lama akan berada di bawah pengaruh dominan RDV. Kenyataan ini pada gilirannya telah menimbulkan suatu perimbangan kekuatan baru di Asia Tenggara yang akan membawakan pergeseran-pergeseran pula dalam konstelasi politik di seluruh kawasan Asia Timur/Pasifik. 2. Corak/bentuk tata hubungan antar negara di Indo Cina dapat menjurus ke arah suatu federasi/konfederasi negara-negara Indo Cina di bawah pimpinan Hanoi, atau pun dapat dibiarkan berlangsung antara tiga (dengan Vietnam disatukan) atau empat negara yang masing-masing berdiri sendiri dan melaksanakan politik kuasi-bebas -nya sendiri -sendiri. Namun apapun corak/bentuknya kelak, bagi Indonesia dan dunia luar umumnya, hal tersebut tidak akan mengurangi kenyataan akan hegemoni politik/ militer RDV terhadap bagian-bagian Indo Cina lainnya. 3. Terlepas dari pada corak/bentuk hubungan internnya, negara-negara Indo Cina muncul sebagai suatu kekuatan regional baru disamping ASEAN yang karena lebih ketatnya sistim sosial politiknya berpotensi mengadakan konsolidasi lebih cepat dari pada kelompok regional ASEAN. Dengan demikian, kemampuan pontesiilnya ("potential leverage") untuk menyaingi ASEAN secara negatif juga perlu diperhitungkan. 4. Hakekat ancaman yang ditimbulkan oleh situasi baru di Indo Cina tetap bersifat ancaman subversi dan infiltrasi komunis, yang berpotensi meningkat secara nyata dengan tersedianya peluang-peluang yang lebih besar bagi subversi/infiltrasi tersebut. 5. Posisi dan interaksi pengaruh antara negara-negara besar, khususnya persyaratan-persyaratan strategis RRC dan pola persaingan antara RRC dan Uni Soviet, akan merupakan kekangan tertentu terhadap kebebasan bergerak RDV. 6. Kenyataan pada ad 4 di atas ditambah dengan kebutuhan bantuan luar negeri bagi tugas rekonstruksi/pembangunan akan dapat mendorong RDV ke suatu
sikap yang lebih terbuka terhadap negara-negara Barat (termasuk Jepang) dan gairah yang lebih besar untuk bekerjasama dengan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara. Kemungkinan tidak tertentu bahwa pada suatu taraf penggabungan negara-negara Indo Cina ke dalam ASEAN akan merupakan suatu pilihan ("option") politik yang menarik, demi untuk menghindarkan diri dari kungkungan/tekanan pertentangan Uni Soviet - RRC. 7. Dalam menghadapi kenyataan-kenyataan baru di Indo Cina, bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya kebijaksanaan yang paling relevan dan sesuai dengan cita-cita/kepentingan nasional dan regional ialah untuk secara sadar mengembangkan hubungan persahabatan/kerjasama dengan negara-negara dikawasan tersebut. Pilihan sikap ini harus tetap disertai suatu kewaspadaan tinggi terhadap segala kemungkinan subversi/infiltrasi komunis yang harus senantiasa diperhitungkan dalam hubungan dengan negara-negara Indo Cina tersebut. Hal ini berarti perlu adanya suatu usaha serentak, terperinci dan terarah untuk meningkatkan ketahanan nasional masing-masing negara ASEAN, menuju suatu ketahanan regional yang mantap, dan untuk mengatasi kerawanan-kerawanan yang masih ada dalam proses peningkatan ketahanan tersebut, baik dalam rangka nasional masing-masing maupun dalam konteks regional. 8. Pemupukan ketahanan nasional/regional di berbagai bidang, termasuk bidang pertahanan jelas akan memerlukan bantuan/sokongan secara nyata dari negara-negara sehabat, dalam hal ini khususnya dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat (termasuk Australia/Selandia Baru dan Jepang). Mengingat suasana politik di Amerika Serikat dan dunia Barat dewasa ini, usaha mendapatkan bantuan/sokongan semacam itu jelas pula akan merupakan suatu kebijaksanaan yang perlu dirumuskan/dilaksanakan secara seksama dan terarah. IV. PETUNJUK PELAKSANAAN : Dalam Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri Negara-negara ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 13 - 15 Mei 1975, Delegatsi RI hendaknya : 1. Mengusahakan kesatuan pandangan/sikap di antara negara-negara ASEAN dalam menyusun kebijaksanaan-kebijaksanaan jangka pendek bersama menghadapi situasi baru di Indo Cina. 2. Membangkitkan titik tolak baru untuk lebih mengefektifkan kerjasama ASEAN disegala bidang yang tidak terbatas hanya dikalangan pemerintahan negaranegara anggota saja tetapi diperluas dan didukung oleh partisipasi sebanyak mungkin lapisan masyarakat di masing-masing negara (usaha "pemasyarakatan" ASEAN). 3. Mengajak negara-negara ASEAN memberi perioritas utama terhadap usaha penanggulangan kerawanan-kerawanan dan friksi-friksi yang masih terdapat di
antara anggota ASEAN, dengan jika perlu meningkatkan penanganannya pada taraf pertemuan Kepala Negara. 4. Mengajak negara-negara ASEAN untuk meningkatkan kerjasama ekonomi secara lebih konkrit dengan mewujudkan koordinasi dan harmonisasi yang lebih nyata antara Badan-badan Perancang Pembangunan Nasional masing-masing negara anggota ASEAN. 5. Merintis jalan kearah dimulainya perembukan bersama untuk merumuskan unsur-unsur konkrit dari pada suatu kebijaksanaan ketahanan nasional dan regional, khususnya peranan saling bantu membantu di bidang HANKAM, tanpa menjurus kearah pembentukan pakta militer dan bebas dari pangkalan militer asing. Sebagai perioritas utama mengusahakan penggalangan persepsi bersama mengenai hakekat ancaman terhadap ASEAN serta alat/cara yang dapat disetujui bersama untuk menghadapinya. 6. Mengajak negara-negara ASEAN untuk mempercepat proses perwujudan kondisi-kondisi bagi terciptanya suatu Daerah Damai, Bebas dan Netral di Asia Tenggara. V. LAIN-LAIN : 1. Hal-hal lain akan diberikan petunjuk oleh Ketua Delegasi RI/Menteri Luar Negeri berdasarkan Petunjuk Pengarahan ini. 2. Mengenai hal-hal yang bersifat prinsipill yang mernerlukan keputusan dan tidak terdapat dalam Petunjuk Pengarahan ini, Ketua Delegasi supaya segera melaporkan kepada Presiden guna mendapat petunjuk khusus. Jakarta 12 Mei 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. SOEHARTO JENDERAL TNI.