Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013), pp. 27-38.
INKONSISTENSI KEDAULATAN RAKYAT DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 INCONSISTENCY OF PEOPLE SOVEREIGNITY IN THE CONSTITUTION 1945 OF THE REPUBLIC OF INDONESIA Oleh: Budiman N.P.D Sinaga
*)
ABSTRACT During the preparation of Indonesian independence, the founding fathers designed a Constitution. Constitution was later known as the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The Constitution embraces of sovereignty of the people. To overcome the shortcomings of the Constitution, it has been madeseveral changes. However, changes were turned out inconsistent with existing regulations, such as the regulation of representative democracy and direct democracy. To address the inconsistencies, it then needs to be revised more as there are various provisions of the Constitution that are inconsistent with aforementioned matters. Keywords: People Sovereignity, Constitution 1945.
PENDAHULUAN Pada saat para pendiri negara (the founding fathers) mempersiapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dikatakan tidak banyak yang dipersiapkan. Mereka hanya mempersiapkan hal-hal yang memang dianggap sangat penting bagi suatu negara.1 Hal-hal yang sangat penting bagi negara itu antara lain adalah Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang berlaku sampai saat ini termasuk yang dipersiapkan para pendiri negara ketika itu. Mengenai isi Undang-Undang Dasar K.C Wheare mengatakan bahwa to the question: “What should a Constitution contain?” the short answer, then is: “The very minimum, and that minimum to be rules of law.”2 Keberadaan Undang-Undang Dasar memang sangat penting bagi suatu negara. Oleh karena itu, pada saat ini dapat dikatakan tidak ada satu negara pun yang tidak memiliki Undang-Undang Dasar. Setidak-tidaknya setiap negara pimpinan negara akan menyatakan negara mereka memiliki
*)
DR. Budiman N.P.D Sinaga, S.H.,M.Hum adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen. Lihat K.C Wheare, Modern Constitutions, Oxford University Press, London, 1971, hlm. 34. 2 Ibid. 1
ISSN: 0854-5499
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
Undang-Undang Dasar meskipun belum tentu memenuhi kriteria sebagai suatu Undang-Undang Dasar yang sesungguhnya. Setiap masyarakat (dalam suatu negara) mengakui ada kekuasaan yang paling tinggi dalam hidup mereka. Kekuasaan tertinggi ini mendominasi hidup mereka, menjadi reason atau idol (ilah) yang menguasai hidup mereka. Demikian pula dengan suatu negara (yang merupakan cerminan rakyat) mengakui ada kekuasaan tertinggi yang mengatasi segala sesuatu. Akan tetapi, pada pokoknya hanya ada tiga hal (instansi) yang dianggap dapat berdaulat di dalam suatu masyarakat atau negara, yaitu Tuhan, raja, atau rakyat.3 Pembahasan mengenai kekuasaan tertinggi di suatu negara sangat penting untuk memahami negara tersebut. Dalam rangka pembahasan tentang organisasi dan kelembagaan negara, menurut Jimly Asshiddiqie diskusi dapat dimulai dengan mempersoalkan hakikat kekuasaan yang dilembagakan atau diorganisasikan ke dalam bangunan kenegaraan. Kuncinya terletak pada apa dan siapa yang sesungguhnya memegang kekuasaan tertinggi atau yang biasa disebut sebagai pemegang kedaulatan (sovereignty) dalam suatu negara.4 Mengenai konsep kedaulatan dikenal lima ajaran atau teori, yaitu kedaulatan Tuhan (Sovereignty of God), kedaulatan raja (Sovereignty of the King), kedaulatan hukum (Sovereignty of Law), kedaulatan rakyat (People's Sovereignty), dan ajaran kedaulatan negara (State’s Sovereignty). Di kalangan para ahli, termasuk para ahli Hukum Tata Negara, terdapat perbedaan pendapat mengenai teori kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945. Perbedaan pendapat itu mengenai satu atau beberapa teori yang dianut dalam UUD 1945 tetapi semua dapat dikatakan sepakat bahwa teori kedaulatan rakyat dianut dalam UUD 1945. Misalnya Jimly Asshiddiqie5 berpendapat bahwa UUD 1945 menganut paham kedaulatan yang unik. UUD 1945 menggabungkan konsep kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, dan kedaulatan Tuhan secara sekaligus. Dari uraian yang telah
3
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara, Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.
50. 4 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 33. 5 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm.149.
28
Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
disampaikan dapat dikemukakan permasalahan, bagaimanakah pengaturan kedaulatan rakyat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
PEMBAHASAN 1) Kedaulatan Rakyat dan Undang-Undang Dasar Negara yang menganut teori kedaulatan rakyat dikenal juga sebagai negara demokrasi, republik, atau pemerintahan oleh rakyat. Akan tetapi, dalam perkembangan demokrasi tidak hanya berarti pemerintahan oleh rakyat melainkan juga pemerintahan untuk rakyat yaitu pemerintahan yang sesuai dengan keinginan rakyat. Democracy may be defined not only government by the people but also, in President Abraham Lincoln’s famous formulation, as government for the people –that is, government in accordance 6
with the people’s preferences. Dengan demikian secara ringkat demokrasi dapat dikatakan sebagai pemerintahan
dari
rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat (of the people, for the people, and by the people). Secara harfiah pengertian demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Jika diartikan seperti itu maka demokrasi menjadi sesuatu yang sangat sulit bahkan tidak mungkin dilaksanakan. Sehubungan dengan itu pengertian demokrasi mengalami perubahan terutama jika membahas demokrasi di suatu negara yang luas. Demokrasi tidak lagi hanya diartikan sebagai pemerintahan yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat melainkan secara tidak langsung oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih secara bebas oleh rakyat. Mengenai hal ini Arend Lijhart menjelaskan sebagai berikut: The literal meaning of democracy -government by the people- is probably also the most basic and most widely used definition. The one major amendment that is necessary when we speak of democracy at the national level in modern large scale nation states is that the acts of government are usually performed not directly by the citizens but indirectly by representatives whom they elect on a free and equal basis. Although elements of direct democracy can be found even in some large democratic states, democracy is usually democracy: government by the freely elected representatives of the people.7
6 Arend Lijhart, Democracies, Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty One Countries, Yale University Press, New Haven and London, 1984, hlm. 1
7
Arend Lijhartl, hlm. 1 .
29
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
Sebagaimana telah disampaikan bahwa para pendiri negara telah mempersiapkan UndangUndang Dasar dengan pembahasan yang sangat mendalam baik di dalam Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) maupun Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pembahaan itu meyangkut juga dasar negara yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Demokrasi yang dikehendaki para pendiri negara itu pun kemudian dikenal sebagai demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang mengandung semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan keadilan sosial. Dari perumusan di atas menurut Sri Soemantri dapat ditarik kesimpulan tercakupnya demokrasi formal di dalamnya. Hal itu ternyata dari kata-kata permusyawaratan/perwakilan.8 Senada dengan pendapat di atas, menurut Edi Purnama 9 kedaulatan rakyat sebagai prinsip dasar yang diatur oleh UUD 1945 diwujudkan melalui lembaga perwakilan (indirect democracy) dengan sistem MPR. Konsep perwakilan menurut sistem MPR adalah semua harus terwakili. Oleh karena itu, UUD 1945 menghendaki lembaga perwakilan MPR yang terdiri dari DPR (political reprentation) ditambah dengan Utusan Daerah-Daerah (regional representation) dan Utusan Golongan-golongan (functional representation), keanggotaannya diisi secara bervariasi. Dalam hal ini tentu tidak dapat dilupakan kenyataan bahwa kelahiran lembaga perwakilan rakyat sesungguhnya bukan karena ide kedaulatan rakyat melainkan kelicikan dari sistem feodal. Kenyataan ini disampaikan A.F Pollard 10 dalam buku The Evolution of Parliament, katanya: “Representation was not the off spring of democratic theory but an incident of the feodal system.” Menurut Ismail Suny, dengan adanya ketentuan bahwa disamping Presiden terdapat DPR, maka sifat demokratis dari UUD 1945 yang telah disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan permusyawaratan/perwakilan”, memperoleh
8
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm. 9. Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Nusa Media, Bandung, 2007, hlm. 265-266. 9
30
Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
bentuknya yang lebih kongktit. Demokrasi Indonesia itu dengan demikian akan dilaksanakan dengan permusyawaratan dari wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat; suatu bentuk pemerintahan dimana warganegaranya melaksanakan hak yang sama, tetapi melalui wakil-wakil yang dipilih mereka dan bertanggung jawab kepada mereka melalui proses pemilihan-pemilihan yang bebas. Ini dikenal sebagai “representative democracy”, suatu pemerintahan yang demokratis berdasarkan perwakilan (democratic and representative government). Perwakilan rakyat itu akan terjalma dalam DPR, yang susunannya menurut Pasal 19 UUD 1945 akan ditetapkan dengan Undang-Undang.11 Lembaga negara yang beranggotakan wakil-wakil rakyat itu terutama menjalankan fungsi legislatif sehingga sering disebut sebagai lembaga legislatif. Munculnya legislatif sebagai badan khusus pembuat hukum mengguncang keras dunia tatanan yang ada sebelumnya. Secara ekstrem bisa dikatakan bahwa sejak saat itu tidak ada hukum kecuali yang dibuat oleh badan legislatif. Hukum adalah hukum negara yang dibuat oleh badan tersebut.12 Hal ini membuka kemungkinan pergerakan kedaulatan dari kedaulatan rakyat ke arah kedaulatan hukum. Patut disayangkan dalam pelaksanaannya konsep perwakilan dengan sistem MPR itu menurut Edi Purnama13 telah membuka peluang kepada eksekutif untuk merekayasa pembentukan lembaga perwakilan sehingga lembaga tersebut secara praktis tunduk kepada kemauan pemerintah (eksekutif). Sistem MPR telah dijadikan alat oleh penguasa untuk memupuk kekuasaan sehingga negara tidak berada lagi dalam koridor demokrasi, melainkan negara oligarki yang totaliter. Berkaitan dengan hal ini maka apabila dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar haruslah dalam rangka mengatasi masalah ini. Jika hukum sebagai suatu perintah normatif disusun sebagai suatu sistem norma-norma yang mengatur perilaku manusia, maka timbul pertanyaan: Apa yang menjadi komponen-komponen daripada kesatuan suatu kumpulan norma-norma mengapa suatu norma tertentu tercakup dalam
10
Bintan R Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1988, hlm.79. Ismail Suny, “Kepastian Hukum Menuju Stabilitas Politik dan Ekonomi”, dalam Hendra Nurtjahjo (editor), Politik Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004, hlm. 70-71. 12 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan, dan Pencerahan, Muhammadiyah University Press Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2004, hlm.37. 13 Eddy Purnama, hlm. 265-266. 11
31
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
perintah tertentu? Dan pertanyaan ini terkait erat dengan pertanyaan: Mengapa suatu norma sah, apa alasan untuk keabsahannya? 14 Salah satu jawaban yang paling diterima adalah hukum itu sah karena dibuat oleh lembaga legislatif atau lebih tegas lagi lembaga perwakilan rakyat. Dalam suatu sistem hukum pasti ada orang atau kelompok orang yang memberikan perintahperintah umum yang ditopang oleh ancaman yang secara umum dipatuhi dan umum diyakini bahwa ancaman-ancaman ini berkemungkinan untuk diterapkan jika tidak dipatuhi. Orang atau kelompok ini berkedudukan tertinggi secara internal dan bersifat independen secara eksternal. Sejalan dengan pendapat Austin, jika dinamakan orang atau lembaga tertinggi dari independen ini sebagai pemegang kedaulatan (sovereign), hukum negara manapun akan merupakan perintah umum yang ditopang oleh ancaman yang disampaikan oleh pemegang kedaulatan atau oleh bawahannya dengan mematuhi pemegang kedaulatan tersebut.15 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa demokrasi yang diterapkan di Indonesia merupakan demokrasi yang khas Indonesia, yaitu demokrasi Pancasila. Pandangan semacam ini berlaku bagi hukum secara umum yang mengaitkan hukum dengan budaya suatu bangsa sehingga muncul istilah budaya hukum. Budaya hukum adalah suatu pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya.16
2) Budaya Hukum Bangsa Budaya hukum suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan dalam mempraktikkan hukumnya. Problema yang dihadapi oleh bangsa-bangsa di luar Eropa adalah bahwa nilai-nilai yang ada dalam hukum yang mereka pakai, yaitu hukum modern, tidak persis sama dengan yang ada dalam masyarakat. Perilaku substantif mereka diresapi dan dituntun oleh
14 15
32
Shadia B Drury, Hukum dan Politik, Bacaan Mengenai Pemikiran Hukum dan Politik, Tarsito, Bandung, 1986, hlm. 349. H.L.A Hart, Konsep Hukum, The Concept of Law, penerjemah M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2010, hlm. 40.
Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
sistem nilai yang berbeda. Bangsa-bangsa Korea, Jepang, Indonesia, dan beberapa lagi lainnya mengalami hal itu. Satjipto Raharjo mengambil bangsa-bangsa tersebut sebagai sampel, oleh karena terdapat persamaan kuat antara mereka itu. Kehidupan sosialnya berputar pada sumbu nilai-nilai kolektif dan komunal, sedang hukum modern bertumpu pada individualisme.17 Secara sempit budaya hukum Indonesia diartikan sebagai tradisi hukum yang dimiliki atau dianut oleh masyarakat hukum Indonesia. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, budaya hukum Indonesia diartikan sebagai keseluruhan endapan dari kegiatan dan karya hukum masyarakat Indonesia. Pada mulanya, budaya masyarakat hukum Indonesia adalah budaya hukum tidak tertulis (unwritten law), atau budaya hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat (living law). Budaya hukum ini hidup dalam setiap kesatuan kecil masyarakat hukum Indonesia, sehingga secara keseluruhan, budaya hukum masyarakat Indonesia adalah budaya hukum living law. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, masyarakat hukum Indonesia juga terbiasa dengan budaya hukum tertulis, yang pada dasarnva merupakan konsekuensi dengan proses kolonialisme di Indonesia. Budaya hukum kedua ini dibawa dan diperkenalkan oleh kolonialisme bangsa-bangsa Eropa, terutama Belanda yang menganut budaya hukum Eropa Kontinental.18 Pengaruh budaya bangsa-bangsa lain terhadap bangsa Indonesia meliputi juga demokrasi. Demokrasi yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia seharusnya adalah demokrasi Pancasila. Akan tetapi, demokrasi yang berasal atau lebih tegas dapat dikatakan sebagai demokrasi yang tepat bagi bangsa lain pun telah mempengaruhi demokrasi Pancasila. Sebagai contoh, banyak negara menganut demokrasi langsung (direct democracy). Bagi negara-negara itu demokrasi sangat mungkin memang sesuai dengan budaya mereka. Alasan lain yang dapat dikemukakan misalnya wilayah negara-negara tersebut tidak luas.
16
Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika, Sebuah Pengantar, penterjemah: Wishnu Basuki, Tatanusa, Jakarta, 2001, hlm.
17
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm. 96. Lili Rasjidi & I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.193.
8. 18
33
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
Pengenalan bangsa Indonesia tentang demokrasi langsung di negara-negara lain telah mempengaruhi keyakinan mereka tentang demokrasi. Sehubungan dengan itu, muncul pendapat dan keinginan untuk menerapkan demokrasi langsung di Indonesia. Keinginan itu mendapatkan kesempatan yang luas pada permulaan masa era reformasi seiring dengan keinginan melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Ketentuan ini merupakan salah satu ketentuan dalam UUD 1945 yang belum mengalami perubahan. Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan hasil perubahan dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Semula Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Secara umum dalam ilmu hukum diterima pandangan bahwa ketentuan yang berikut harus sesuai dengan ketentuan sebelumnya. Dengan kata lain ketentuan yang berikut harus merupakan ketentuan lebih lanjut dari ketentuan sebelumnya. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) itu dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dan sila-sila Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 seharusnya sesuai atau merupakan ketentuan lebih lanjut dari Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dan Pembukaan. Akan tetapi, jika Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dicermati lebih dalam akan dijumpai makna yang ambigu sehingga dapat melemahkan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Makna pelaksanaan kedaulatan rakyat harus dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar sangat mungkin dapat bermakna dibatasi bahkan dibatalkan melalui ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal lain UUD 1945. Hal ini sudah terjadi, misalnya dalam Pasal Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 dinyatakan: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Padahal di bagian lain atau ketentuan sebelumnya ditentukan demokrasi perwakilan. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 kemungkinan dipengaruhi pandangan Austin. Bagi Austin yang berdaulat adalah “legibus soluta”. Yang berdaulat adalah “pembentuk hukum yang 34
Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
tertinggi” (supreme legislator) dan hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh yang berdaulat itu. Karena itu sebagai konsekuensinya, yang berdaulat berada di atas hukum yang merupakan hasil ciptaannya sendiri. 19 Dengan demikian, jika mengikuti pendapat Austin maka lembaga yang berwenang membentuk dan/atau mengubah Undang-Undang Dasar leluasa untuk menyesuaikan kedaulatan rakyat itu sesuai keinginannya. Menurut J.J.H Bruggink, kaidah hukum dapat diungkapkan dengan banyak cara yang berbeda dalam aturan hukum. Dari sudut pandangan teori hukum, ada usaha untuk membela pendapat bahwa kaidah hukum itu adalah perintah. Pandangan ini telah dia tolak. Kaidah hukum tidak hanya memainkan peranan dalam hubungan antara pemberi perintah (pembentuk undang-undang) dan penerima perintah (justisiabel), melainkan mempunyai jangkauan yang lebih luas. Lebih lanjut menurut J.J.H Bruggink, kaidah hukum adalah kaidah sosial yang hidup dalam masyarakat hukum, yang berkaitan dengannya para justisiabel mempertautkan harapan-harapan (expectations) yang sah, terlepas dari apakah aturan hukum itu secara langsung ditujukan kepada mereka atau tidak. Juga dalil bahwa suatu perumusan tertentu dari kaidah hukum mewujudkan prototipe dari aturan hukum, hanya dapat dipertahankan dari sudut suatu teori hukum khusus tertentu. Aturan-aturan hukum tampil dalam berbagai perumusan yang berbeda-beda, dan orang hanya dapat mempertahankan teori hukum yang demikian dengan misalnya mengadakan pembagian artifisial antara aturan mandiri dan aturan tidak mandiri. Arti aturan hukum pada akhirnya tidak dapat dibaca hanya berdasarkan semata-mata bentuk sintaktik dari aturan itu sendiri. Tentu saja, jika ingin mempunyai arti, aturan hukum harus disusun (dirumuskan) dalam bentuk sintaktik yang tepat, tetapi kaidah hukum sebagai arti dari aturan hukum dibentuk oleh konteks bahasa maupun konteks luar-bahasa. Aturan hukum yang sama dibaca dari suatu optik yang berbeda oleh pembentuk undang-undang, para hakim dan para
19
Ni’matul Huda, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 171.
35
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
justisiabel, yang berdasarkannya mereka dapat menderivasi kaidah-kaidah hukum yang berbedabeda.20 Proses menafsirkan konstitusi untuk kemudian dituangkan ke dalam peraturan hukum dan peraturan perundangan-undangan yang lebih rendah adalah proses politik. Kekuatan-kekuatan politik dan kelompok-kelompok kepentingan saling berpacu untuk mempengaruhi hasil akhir suatu bentuk penafsiran. Dalam konteks ini, yang berlaku adalah logika politik. Kekuatan politik yang paling dominanlah yang pada akhirnya akan lebih banyak memberikan warna kepada penafsiran, betapapun semua golongan diajak turut serta dalam musyawarah untuk mencapai mufakat. Lebihlebih, jika keputusan diambil melalui pemungutan suara.21 Pendapat ini dapat digunakan juga ketika menafsirkan satu atau beberapa ketentuan konstitusi untuk diatur lebih lanjut dalam bagian lain konstitusi itu. Mengingat adanya tarikan atau tegangan yang terus menerus dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan itu, jawaban atas pertanyaan apakah kekuasaan tunduk pada hukum, ataukah hukum itu tunduk pada kekuasaan? Dapat dijawab dengan tegas bahwa menurut cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang bertekad menghapuskan penjajahan dari muka bumi, berikut segala akibatnya, yang diinginkan adalah bahwa Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum di mana kekuasaan tunduk pada hukum. 22 Dengan demikian, semua orang atau lembaga di Negara Republik Indonesia tunduk pada hukum, tidak terkecuali lembaga yang berwenang membentuk hukum. Studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi politik kelompok dominan (penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik. Dilihat dari
20
J.J.H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa: B. Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 117.BD Yusril Ihza Mahendra, “Politik dan Perubahan Tafsir Atas Konstitusi”, dalam Hendra Nurtjahjo (editor), Politik Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2004, hlm. 263. 21
36
Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
logika politik, maka upaya demokratisasi dalam kehidupan politik tidaklah mudah.23 Terlebih jika keputusan selalu diambil melalui pemungutan suara, bukan diambil melalui musyawarah untuk mencapai mufakat sebagaimana sila dalam Pancasila.
3) UUD sebagai Perlindungan Kepentingan Manusia Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Sehubungan dengan itu agar kepentingan manusia terlindungi maka hukum harus dilaksanakan. Undang-Undang Dasar pun berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia sehingga harus dilaksanakan juga. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadikan kenyataan. Dalam menegakkan hukum
ada
tiga
unsur
yang
selalu
harus
diperhatikan,
yaitu:
kepastian
hukum
(Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).24 Dari uraian yang telah disampaikan dapat diketahui bahwa ada ketentuan dalam UUD 1945 yang tidak atau belum dilaksanakan terutama sila-sila Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan dan Pasal 1 ayat (1) sehingga perlu penegakan hukum. Dalam hal ini penegakan hukum terutama dalam rangka memberikan kepastian hukum bahwa di negara ini rakyat yang berdaulat. Untuk itu perlu dilakukan lagi perubahan UUD 1945 dengan menyelaraskan seluruh ketentuan sehingga tidak ada kali inkonsistensi terutama yang berkaitan dengan kedaulatan.
KESIMPULAN Para pendiri negara
sejak semula menghendaki negara yang akan diproklamasikan
merupakan negara yang berkedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat itu dilaksanakan secara tidak langsung melalui wakil-wakil rakyat atau demokrasi perwakilan. Patut disayangkan
22
Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 43. 23 Moh. Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2001, hlm.381.
37
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
perubahan UUD 1945 yang dilakukan pada masa reformasi telah menimbulkan inkonsistensi pelaksanaan kedaulatan rakyat dengan membuka kemungkinan pelaksanaan demokrasi langsung. Sehubungan dengan itu perlu dilakukan lagi perubahan terhadap UUD 1945 sehingga menjadi Undang- Undang Dasar yang konsisten. Pembangunan daerah merupakan
DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta. __________, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. Bruggink, J.J.H, 1999, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa: B. Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung. Drury, Shadia B, 1986, Hukum dan Politik, Bacaan Mengenai Pemikiran Hukum dan Politik, Tarsito, Bandung. Hart, H.L.A, 2010, Konsep Hukum, The Concept of Law, penerjemah M. Khozim, Nusa Media, Bandung. Huda, Ni’matul, 2010, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta. Friedman, Lawrence M., 2001, Hukum Amerika, Sebuah Pengantar, penterjemah: Wishnu Basuki, Tatanusa, Jakarta. Kusumaatmadja, Mochtar & B. Arief Sidharta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Alumni, Bandung. Lijhart, Arend, 1984, Democracies, Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty One Countries, Yale University Press, New Haven and London.
24 R.M Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti bekerja sama dengan Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia Foundation, 1993, hlm. 1.
38
Inkonsistensi Kedaulatan Rakyat dalam UUD NRI Tahun 1945 Budiman NPD Sinaga
Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 59, Th. XV (April, 2013).
Mahendra, Yusril Ihza, 2004, “Politik dan Perubahan Tafsir Atas Konstitusi”, dalam Hendra Nurtjahjo (editor), Politik Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Mahfud M.D, Moh., 2001, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. Mertokusumo, R.M Sudikno & A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti bekerja sama dengan Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia Foundation, Bandung. Nurtjahjo, Hendra, 2005, Ilmu Negara, Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Purnama, Eddy, 2007, Negara Kedaulatan Rakyat, Analisis terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Nusa Media, Bandung. Rahardjo, Satjipto, 2004, Ilmu Hukum: Pencarian, Pembebasan, dan Pencerahan, Muhammadiyah University Press Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. __________, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Rasjidi, Lili & I.B Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung. Saragih, Bintan R, 1988, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta. Soemantri, Sri, 1989, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung. Suny, Ismail, 2004, “Kepastian Hukum Menuju Stabilitas Politik dan Ekonomi”, dalam Hendra Nurtjahjo (editor), Politik Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Wheare, K.C, 1971, Modern Constitutions, Oxford University Press, London.
Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 39