ISSN 2252-4401
INFO BPK MANADO Vol. 2 No. 1, Juni Tahun 2012
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO MANADO – SULAWESI UTARA INFO BPK MANADO
VOL. 2
No. 1
Hal 1-80
i
Manado Juni 2012
ISSN 2252-4401
ISSN
UCAPAN TERIMA KASIH Dewan Redaksi INFO BPK MANADO mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada mitra bestari (peer reviewers) yang telah menelaah analisa/naskah yang dimuat pada edisi Vol. 2 No. 1 tahun 2012: Dr. Ir. Martina Langi, M.Sc. (Program Studi Kehutanan UNSRAT, Manado)
ii
ISSN 2252-4401
INFO BPK MANADO Vol. 2 No. 1, Juni 2012
DAFTAR ISI Persepsi Masyarakat terhadap Taman Nasional dan Sumberdaya Hutan : Studi Kasus Blok Aketajawe Taman Nasional Aketajawe Lolobata Nurlita Indah W. & Rinna Mamonto ......................................................
1-16
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) Di Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara Diah Irawati & Julianus Kinho ................................................................
17-40
Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau berdasarkan Pendekatan Kebutuhan Oksigen menggunakan Citra Satelit EO-1 ALI (Earth Observer-1 Advanced Land Imager ) di manado Erwin Hardika Putra ...............................................................................
41-54
Asosiasi Eboni (Diospyros spp.) dengan Jenis-jenis Pohon Dominan di Cagar Alam Tangkoko Sulawesi Utara Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara Anita Mayasari, Julianus K. & Ady Suryawan .........................................
55-72
Pembangunan Kebun Pangkas Jati sebagai Salah Satu Sumber Benih untuk mendapatkan Bibit Unggul Guna Mendukung Keberhasilan Program Penanaman Sugeng Pudjiono, Hamdan A.A. & Mahfudz .........................................
73-80
iii
INFO BPK MANADO ISSN 2252-4401
Vol. 2 No. 1, Juni 2012
ABSTRAK Nurlita Indah Wahyuni & Rinna Mamonto (Balai Penelitin Kehutanan Manado) Persepsi Masyarakat Terhadap Taman Nasional Dan Sumberdaya Hutan: Studi Kasus Blok Aketawaje, Taman Nasional Aketajawe Lolobata INFO BPK MANADO. Juni. 2012, Vol.2 No. 1, hlm. 1-16
Kelestarian taman nasional sebagai suatu ekosistem sumberdaya alam sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi dan perkembangan perilaku sosial ekonomi masyarakat yang berada di sekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi tentang sumberdaya hutan dan taman nasional dalam jumlah yang hampir sama. Masyarakat memiliki persepi sedang hingga baik tentang sumberdaya hutan, serta persepsi baik dan tidak baik tentang keberadaan TNAL. Namun secara keseluruhan masyarakat setuju dengan keberadaan TNAL dan menganggapnya berdampak positif bagi hutan dan masyarakat sekitar. Kata kunci : persepsi, masyarakat, sumberdaya hutan, taman nasional Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho (Balai Penelitian Kehutanan Manado) Keragaman Jenis Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara INFO BPK MANADO. Juni. 2012, Vol.2 No. 1, hlm. 17-40
Tumbuhan paku memiliki keragaman jenis yang unik dan potensi pemanfaatan yang luar biasa misalnya untuk bahan pakan, pengobatan dan tanaman hias. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 41 jenis tumbuhan paku yang terdiri dari 19 famili. Jenis yang paling banyak dijumpai berasal dari famili Polypodiaceae sebanyak 8 jenis. Kata kunci : tumbuhan paku, Pteridophyta, Gunung Ambang, keragaman.
iv
Erwin Hardika Putra (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano) Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Pendekatan Kebutuhan Oksigen Menggunakan Citra Satelit Eo-1 Ali (Earth Observer-1 Advanced Land Imager) di Kota Manado INFO BPK MANADO. Juni. 2012, Vol.2 No. 1, hlm. 41-54
Hasil analisis menggunakan NDVI menunjukkan bahwa kondisi aktual Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Manado adalah seluas ±12.594 ha. Kecamatan Mapanget merupakan wilayah yang memiliki RTH paling luas, yakni seluas ±5.359 ha, sedangkan Kecamatan Sario memiliki RTH yang paling sedikit, yakni seluas ± 4 ha. Sementara itu hasil analisis kebutuhan RTH di Kota Manado menggunakan pendekatan kebutuhan oksigen adalah seluas ± 892 ha. Kata kunci : Jahe, jenis, morfologi, melindungi, identifikasi, menjelajah. Kata kunci: citra EO-1 ALI, RTH (ruang terbuka hijau), oksigen Anita Mayasari, Julianus Kinho & Ady Suryawan (Balai Penelitian Kehutanan Manado) Asosiasi Eboni (Diospyros Spp.) dengan Jenis-Jenis Pohon Dominan di Cagar Alam Tangkoko Sulawesi Utara INFO BPK MANADO. Juni. 2012, Vol.2 No. 1, hlm. 55-72
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari asosiasi antara eboni (Diospyros spp.) dengan pohon-pohon dominan di kawasan Cagar Alam Tangkoko. Dengan menggunakan metode kombinasi antara metode jalur dan metode garis berpetak diperoleh hasil bahwa ada kecenderungan eboni (Diospyros spp.) yang terdapat di kawasan CA.Tangkoko tidak memiliki ketergantungan atau hubungan timbal balik secara sparsial dengan jenis pohon dominan yang menunjukan adanya toleransi untuk hidup bersama pada area yang sama, khususnya dalam pembagian ruang hidup sehingga jenis pohon dominan yang terdapat dikawasan ini tidak dapat digunakan sebagai pohon indikator tentang kehadiran atau keberadaan eboni (Diospyros spp.). Kata kunci: asosiasi, eboni, Diospyros, Cagar Alam Tangkoko
v
Sugeng P., Hamdan A.A. & Mahfudz (Balai Penelitian Kehutanan Manado) Pembangunan Kebun Pangkas Jati sebagai Salah Satu Sumber Benih untuk Mendapatkan Bibit Unggul Guna Mendukung Keberhasilan Program Penanaman INFO BPK MANADO. Juni. 2012, Vol.2 No. 1, hlm. 73-80 Penggunaan bibit unggul memberikan harapan akan keberhasilan tujuan penanaman yang akan diperoleh pada akhir daur. Untuk mendapatkan sumber bibit unggul perlu dibangun sumber benih, salah satunya adalah kebun pangkas. Penelitian Jati berupa uji klon telah dilakukan dan menghasilkan klon yang pertumbuhannya baik. Dari klon yang terbaik itu dibuatlah kebun pangkas sebagai salah satu sumber benih unggul Jati. Klon yang akan dikembangkan berasal dari hasil uji klon di Gunung Kidul sebanyak 5 klon dan dari uji klon di Wonogiri juga 5 klon. Kata kunci : bibit unggul, klon, uji klon, sumber benih, kebun pangkas.
vi
Persepsi Masyarakat terhadap Taman nasional…… Nurlita Indah & Rinna Mamonto
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP TAMAN NASIONAL DAN SUMBERDAYA HUTAN: STUDI KASUS BLOK AKETAWAJE, TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA (Communities Perception toward National Park and Forest Resources: Case Study at Aketajawe Block, Aketajawe Lolobata National Park) Nurlita Indah Wahyuni1, Rinna Mamonto2 Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Manado Telp. 0431-3666683 1 2 Email:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK The sustainable of national park as the ecosystem of natural resources was influenced by the change and developing of socio economic communities’ behavior who lived surround forest. This study aimed to know community’s perception toward the existence of Aketajawe Lolobata National Park (ALNP) and forest resource within. Data collection was conducted used interview method to communities in two villages which verged with forest area. Respondents were elected by purposive random sampling, i.e. they who farmed surround and within forest area, and also they who often harvest forest products. The result showed that there is perception difference toward two topics above at the equal amount. They have medium to good perception about forest resources, while good and bad perception about national park. However it can be concluded that they agree with the existence of ALNP because it gave positive impact for forest and communities. The difference might be caused by education rate and less socialization about the advantages of national park. Keywords: perception, community, forest resource, national park
ABSTRAK Kelestarian taman nasional sebagai suatu ekosistem sumberdaya alam sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi dan perkembangan perilaku sosial ekonomi masyarakat yang berada di sekitarnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) serta sumberdaya hutan di dalamnya. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara masyarakat di dua desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNAL. Responden dipilih secara purposive random sampling. yaitu masyarakat yang menggarap lahan di sekitar dan dalam kawasan serta sering mengambil hasil hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi tentang sumberdaya hutan dan taman nasional dalam jumlah yang hampir
1
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
sama. Masyarakat memiliki persepi sedang hingga baik tentang sumberdaya hutan, serta persepsi baik dan tidak baik tentang keberadaan TNAL. Namun secara keseluruhan masyarakat setuju dengan keberadaan TNAL dan menganggapnya berdampak positif bagi hutan dan masyarakat sekitar. Perbedaan persepsi ini dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat pendidikan dan kurangnya sosialisasi tentang manfaat taman nasional. Kata kunci : persepsi, masyarakat, sumberdaya hutan, taman nasional
I. PENDAHULUAN Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ciri khas dan berfungsi sebagai pelindung ekosistem penyangga kehidupan. Salah satu keunggulan Taman Nasional dibandingkan dengan kawasan konservasi lainnya adalah pengelolaan berdasarkan sistem zonasi yang memungkinkan dibangunnya sistem pengelolaan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Menurut UU No. 5 tahun 1990, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilaksanakan melalui : (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Keberadaan masyarakat di dalam maupun sekitar taman nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan ekosistem taman nasional. Permasalahan yang kerap dialami oleh pengelola kawasan taman nasional sebagian besar terkait dengan masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui persepsi masyarakat yang terlibat langsung dalam pemanfaatan sumberdaya hayati hutan. Penelitian ini mencoba menjawab bagaimana persepsi masyarakat sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata terhadap keberadaan taman nasional dan sumberdaya hutan untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi khususnya taman nasional. Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian Pola Pemanfaatan Lahan di Dalam Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, yang dilaksanakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado pada tahun 2010.
2
Persepsi Masyarakat terhadap Taman nasional…… Nurlita Indah & Rinna Mamonto
II. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2010, berlokasi di Desa Binagara dan Desa Kobe Kulo yang keduanya berbatasan langsung dengan kawasan Blok Aketajawe, Taman Nasional Aketajawe Lolobata. B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini terdiri dari masyarakat sekitar TN Aketajawe Lolobata. Alat yang digunakan adalah peta kerja berupa peta lokasi kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata, kuesioner, kamera, alat tulis dan komputer untuk pengolahan data. C. Prosedur Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua desa yang penduduknya banyak beraktivitas di dalam hutan yaitu di Desa Binagara (Kab. Halmahera Timur) dan Desa Kobe Kulo (Kab. Halmahera Tengah). Pengambilan sample penduduk (responden) ditentukan secara purposive random sampling yaitu masyarakat yang menggarap lahan di sekitar dan dalam kawasan hutan serta sering masuk ke dalam hutan. Data primer diperoleh melalui wawancara 30 responden tiap desa dengan menggunakan daftar kuesioner. Data sekunder diambil dari monografi desa, informasi dari Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan studi literatur. D. Analisis Data Pengolahan data dilakukan dalam bentuk tabulasi dan kemudian dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan persepsi masyarakat. Pertanyaan dalam kuisioner terbagi menjadi dua, yaitu pertanyaan terbuka dan pertanyaan tertutup. Pertanyaan terbuka memberikan kesempatan pada responden untuk bebas menentukan jawaban. Poin-poin pertanyaan terbuka adalah tentang pekerjaan responden, definisi sumberdaya hutan, definisi taman nasional, persepsi terhadap keberadaan taman nasional, serta dampak taman nasional bagi hutan dan masyarakat. Sedangkan pertanyaan tertutup memberikan beberapa pilihan jawaban bagi
3
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
responden. Pertanyaan tertutup ditujukan pada poin asal responden dan tingkat pendidikan. Persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan taman nasional didefinisikan berdasarkan Ngakan (2006), yaitu: a. Persepsi tinggi: apabila mereka memahami dengan baik bahwa sumberdaya hayati hutan sangat penting dalam menopang kebutuhan hidup baik langsung maupun tidak langsung dan mengharapkan agar sumberdaya tersebut dikelola secara berkelanjutan. b. Persepsi sedang : apabila responden menyadari sumberdaya hayati hutan penting untuk menopang kehidupan, namun tidak memahami bagaimana cara mengelola sumberdaya tersebut agar tersedia secara berkelanjutan c. Persepsi rendah: apabila responden tidak mengetahui peranan sumberdaya hutan serta tidak bersedia terlibat dalam pelestarian hutan yang ada di sekitarnya III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Deskripsi Lokasi Penelitian Taman Nasional Aketajawe Lolobata, khususnya Blok Aketajawe
secara administratif pemerintahan masuk dalam wilayah Provinsi Maluku Utara yang terbagi dalam 3 Kabupaten/Kota, yaitu Kabupaten Halmahera Tengah, Kota Tidore Kepulauan dan kabupaten halmahera Timur. Secara umum, kawasan TN. Aketajawe Lolobata mempunyai topografi datar dan bergelombang. Blok Aketajawe berada pada ketinggian 0-1.100 meter di atas permukaan laut. Daerah terendah untuk Blok Aketajawe berada di sisi utara yaitu sekitar daerah Binagara dan daerah tertinggi berada di sisi barat di sekitar daerah Pasigau, Noramaake, dan Fumalolahi (Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata, 2009). Desa-desa sekitar blok Aketajawe berada di pesisir pantai di luar kawasan dengan jarak antara 4 – 25 km dari batas kawasan. Jumlah keseluruhan penduduk di sekitar TN. Aketajawe Lolobata + 65.937 jiwa dengan luas wilayah desa + 4.939, 57 km2 atau kepadatan sekitar 13
4
Persepsi Masyarakat terhadap Taman nasional…… Nurlita Indah & Rinna Mamonto
jiwa/km2. Sebaran penduduk tertinggi terutama berada di desa-desa transmigrasi yang merupakan penduduk pendatang baik transmigran lokal maupun dari luar daerah seperti dari Pulau Jawa maupun Nusa Tenggara. 2.
Karakteristik Responden Karakteristik masyarakat Desa Binagara dan Desa Kobe Kulo meliputi
asal penduduk, pendidikan dan pekerjaan yang disajikan pada Tabel 1. Asal penduduk dan pekerjaan terkait dengan ketrampilan bertani, karena seluruh responden menggarap lahan di dalam kawasan hutan. Tingkat pendidikan akan memperlihatkan pemahaman responden terhadap definisi sumberdaya hutan dan taman nasional. Tabel 1. Karakteristik masyarakat Desa Binagara dan Desa Kobe Kulo No.
1.
2.
3.
Karakteristik
Desa Binagara,
Desa Kobe Kulo,
Kec. Wasile Tengah, kab.
Kec. Weda Tengah,
Halmahera Timur
Kab. Halmahera Tengah
Asal
Asli (10%),
Asli (80%),
penduduk
Pendatang (90%)
Pendatang (20%)
SD (53,33%),
SD (43,33%),
SMP (13,33%),
SMP (10%),
Pendidikan
Pekerjaan
SMA (13,33%),
SMA (3,33%),
Tidak sekolah (20%)
Tidak sekolah (43,33%)
Petani dan Buruh tani
Petani dan Buruh tani
(96,67%)
(76,67%)
Guru (3,33%)
Operator chain saw (10%) Buruh tani ( 6,67% ) Pengrajin anyaman (6,67%)
Sebagian besar masyarakat Desa Binagara merupakan pendatang dari Pulau Jawa sejak tahun 1980-an melalui proses transmigrasi, pada saat itu TNAL belum ditetapkan. Sedangkan masyarakat Desa Kobe Kulo terdiri dari suku asli Pulau Halmahera seperti Suku Sawai, Weda dan Tobelo, sebagian besar dari mereka merupakan pindahan dari Kampung Kulo – sebuah kampung yang berada di dalam kawasan Taman Nasional – dan Kecamatan
5
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Weda dengan alasan untuk mencari kehidupan yang lebih baik serta supaya anak-anak mereka mendapatkan pendidikan. 3. Persepsi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan Persepsi masyarakat menyangkut pengelolaan kekayaan sumberdaya alam daerah yang berorientasi pada peningkatan sosial ekonomi berhadapan dengan misi perlindungan yang diemban kawasan konservasi taman nasional (Wiratno, et al., 2004). Seringkali perbedaan persepsi inilah yang memicu permasalahan antara lain gangguan hutan mulai dari perburuan ilegal, pemungutan hasil hutan tanpa ijin hingga perambahan lahan. Sehingga kondisi masyarakat tersebut perlu diketahui agar pengelolaan potensi kawasan konservasi dapat diarahkan pada sistem kolaborasi yang dapat dilaksanakan oleh berbagai pihak yaitu masyarakat, pemerintah daerah dan pengelola kawasan. Persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan dalam hal ini dijelaskan dengan definisi hutan terdapat dalam Tabel 2. Tabel 2. Persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan Frekuensi (orang) No. 1.
2.
3.
4.
6
Uraian Hutan merupakan tempat perlindungan kehidupan satwa dan tumbuhan Hutan dapat menghasilkan udara yang sejuk, penghasil air, mencegah erosi, dan banjir Hutan merupakan tempat mengambil hasil hutan seperti kayu baik untuk bangunan maupun kayu bakar, damar, rotan dan berburu Hutan merupakan lahan usaha dan berkebun
Kategori Persepsi (orang)
Binagara
Kobe Kulo
Tinggi
Sedang
Rendah
12
0
12
0
0
12
2
14
0
0
2
12
0
14
0
0
13
0
13
0
Persepsi Masyarakat terhadap Taman nasional…… Nurlita Indah & Rinna Mamonto Frekuensi (orang) No. 5.
Uraian
Binagara
Tinggi
Sedang
Rendah
4
3
0
0
7
30
30
26
27
7
Tidak tahu definisi hutan Jumlah
Berdasarkan
Tabel
Kategori Persepsi (orang)
Kobe Kulo
2
di
atas,
persepsi
responden
dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, pertama persepsi responden pada tiap desa dan kedua persepsi responden secara menyeluruh. Sebagian besar masyarakat Binagara memiliki persepsi tinggi, mereka memandang hutan tidak hanya dari fungsi ekonomi dan sosial, tetapi fungsi ekologis sebagai habitat satwa dan tumbuhan serta penghasil jasa lingkungan. Mereka juga menyadari bahwa kehidupan mereka dipengaruhi oleh hutan, sehingga kelestariannya harus dijaga. Di lain pihak, sebagian besar masyarakat Kobe Kulo memiliki persepsi sedang yang mendefinisikan hutan sebgai tempat untuk mengambil hasil hutan dan tempat berkebun. Mereka memandang hutan dari manfaat ekonomi, bahwa keberlangsungan hidup mereka berasal dari hutan, namun mereka belum memahami bahwa sumberdaya hutan tersebut perlu dikelola secara lestari agar manfaatnya bisa diperoleh secara berkelanjutan. Secara
keseluruhan
terdapat
dua
persepsi
pokok
tentang
sumberdaya hutan, yaitu persepsi tinggi dan sedang. Dua persepsi ini memiliki implikasi pada perilaku masyarakat yang merasa tergantung pada hutan dan berusaha menjaga kelestarian hutan. Dari Tabel 2 di atas, dapat diketahui pula bahwa ada sebagian kecil masyarakat yang memiliki persepsi rendah, selain tidak mengetahui definisi hutan mereka juga tidak menyadari ketergantungan mereka terdahap sumberdaya hutan. Hal ini dapat berakibat pada sikap acuh yang membuat mereka cenderung beranggapan bahwa tidak perlu menjaga kelestarian hutan. Persepsi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya sosialisasi pembinaan masyarakat penyangga kawasan oleh pihak Balai Taman Nasional.
7
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
4. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Taman Nasional Persepsi masyarakat terhadap keberadaan taman nasional terbagi menjadi dua, pertama persepsi masyarakat tentang definisi taman nasional dan kedua persepsi masyarakat terhadap keberadaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Informasi tentang persepsi masyarakat ini sangat penting karena selain terkait dengan keberhasilan pengelolaan taman nasional, pemahaman masyarakat akan keberadaan dan fungsi taman nasional juga mempengaruhi partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan taman nasional itu sendiri. Persepsi masyarakat tentang definisi taman nasional tercantum dalam Tabel 3, sedangkan persepsi mansyarakat terhadap keberadaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata terdapat dalam Tabel 4. Tabel 3. Persepsi masyarakat tentang definisi Taman Nasional Frekuensi (orang) No 1.
2.
3.
4.
Uraian Taman nasional adalah kawasan yang berfungsi sebagai perlindungan tumbuhan, satwa dan sumberdaya hayati yang ada didalamnya Taman nasional adalah hutan milik negara yang dilindungi Taman nasional adalah lembaga yang menjaga dan melestarikan hutan Tidak tahu definisi taman nasional Jumlah
Binagara
Kobe Kulo
Kategori Persepsi (orang) Tinggi
Sedang
Rendah
6
0
6
0
0
7
2
9
0
0
13
5
18
0
0
4
23
0
0
27
30
30
33
0
27
Dari Tabel 3 di atas, terlihat bahwa hampir seluruh responden dari Desa Binagara dapat mendefinisikan Taman Nasional. Sebagian besar responden mendefinisikan taman nasional sebagai suatu lembaga yang menjaga dan melestarikan hutan. Pendapat ini mungkin muncul karena
8
Persepsi Masyarakat terhadap Taman nasional…… Nurlita Indah & Rinna Mamonto
masyarakat melihat petugas taman nasional (Polisi Hutan, Penyuluh Kehutanan atau Pengendali Ekosistem Hutan) yang sedang bertugas. Selain itu ada sebagian responden yang mendefinisikan taman nasional dari segi fungsi ekologis dan status hutan milik negara. Namun ada juga sebagian kecil responden yang tidak mengetahui definisi taman nasional, bahkan mereka baru kali ini mendengar istilah taman nasional. Di lain pihak, sebagian besar responden Desa Kobe Kulo tidak tahu definisi taman nasional, hanya sebagian kecil saja yang mendefinisikannya dari segi status hutan dan lembaga. Secara keseluruhan persepsi dari masyarakat Binagara dan Kobe Kulo dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu persepsi tinggi dan persepsi rendah dengan jumlah yang hampir sama. Persepsi baik didominasi oleh masyarakat Binagara, sebaliknya persepsi rendah didominasi oleh masyarakat Kobe Kulo. Perbedaan tingkat persepsi di kedua desa tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, karena lebih banyak responden Binagara yang mengenyam tingkat pendidikan lanjutan seperti SMP dan SMA.
9
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Tabel 4. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata No. 1.
2.
Uraian
Respon
Bagaimana pendapat masyarakat terhadap keberadaan Taman Nasional Jumlah
Setuju
Apa dampak yang dirasakan masyarakat dengan keberadaan Taman Nasional bagi hutan dan masyarakat sekitar Jumlah
Frekuensi (orang) Binagara Kobe Kulo 29 18
Kategori Persepsi (orang) Tinggi
Sedang
Rendah
47
0
0
Tidak setuju
0
6
0
0
6
Tidak tahu
1
6
0
7
0
30
30
47
7
6
Positif
29
24
53
0
0
Negatif
1
6
0
0
7
30
30
53
0
7
Persepsi masyarakat tentang definisi taman nasional dilanjutkan dengan pertanyaan tentang keberadaan dan dampak Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) bagi masyarakat sekitar hutan. Berbeda dengan pertanyaan tentang definisi taman nasional, baik masyarakat Binagara dan Kobe Kulo memiliki pendapat yang hampir sama tentang keberadaan dan dampak TNAL. Sebagian besar responden setuju dengan keberadaan TNAL dengan alasan agar kelestarian hutan tetap terjaga dan ada pula yang berpendapat karena sudah menjadi kebijakan pemerintah. Masyarakat yang tidak setuju menganggap keberadaan TNAL dengan segala peraturannya akan membatasi akses mereka untuk mengambil sumberdaya hutan. Sedangkan masyarakat yang menjawab tidak tahu, menganggap keberadaan TNAL tidak memiliki pengaruh bagi kehidupan mereka. Persepsi masyarakat secara keseluruhan dapat digambarkan pada grafik persentase sebagaimana Gambar 1 berikut.
10
Persepsi Masyarakat terhadap Taman nasional…… Nurlita Indah & Rinna Mamonto
Gambar 1. Grafik tingkat persepsi masyarakat terhadap taman nasional
Persepsi responden tentang keberadaan TNAL berkorelasi positif dengan persepsi tentang dampak TNAL bagi hutan dan masyarakat sekitar, yaitu sebanyak 88,33% atau hampir sebagian besar masyarakat menilai TNAL berdampak positif. Dampak positif ini berupa harapan agar dengan keberadaan TNAL, sumberdaya hutan tetap terjaga kelestariannya sehingga masyarakat dapat tetap memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan tersebut. Sedangkan masyarakat yang memiliki persepsi rendah sebanyak 11,67% berpendapat keberadaan TNAL mengurangi luas lahan garapan mereka. Walaupun hanya berjumlah kecil, namun jika terus menerus berlangsung hal ini bisa berdampak negatif terhadap kelestarian hutan serta menghambat program pengelolaan hutan oleh pihak Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL). Adanya perbedaan persepsi dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat pendidikan serta kurangnya sosialisasi dari pengelola taman nasional. Hal ini diindikasikan oleh jumlah responden Binagara yang mengenyam tingkat pendidikan lanjutan seperti SMP dan SMA, lebih banyak dibandingkan responden dari Kobe Kulo. Merupakan tugas rumah bagi Balai TNAL untuk bisa merubah persepsi sedang (tidak
11
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
tahu keberadaan dan manfaat taman nasional) menjadi persepsi tinggi, melalui kegiatan sosialisasi dan pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan program pengelolaan. 5. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Terdapat perbedaan persepsi masyarakat tentang sumberdaya hutan dan taman nasional. Secara keseluruhan ada dua persepsi pokok tentang sumberdaya hutan, yaitu persepsi tinggi pada masyarakat Binagara dan persepsi sedang pada masyarakat Kobe Kulo. Persepsi terhadap keberadaan TNAL terbagi menjadi dua yaitu persepsi tinggi yang didominasi oleh masyarakat Binagara dan persepsi rendah oleh masyarakat Kobe Kulo dengan jumlah yang hampir sama. Persepsi tentang keberadaan TNAL berkorelasi positif dengan persepsi tentang dampak TNAL bagi hutan dan masyarakat sekitar, yaitu secara keseluruhan sebagian besar masyarakat menilai positif keberadaan TNAL. Persepsi masyarakat tentang sumberdaya hutan dan taman nasional berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan, persepsi sedang sampai baik mencerminkan masyarakat merasa tergantung pada hutan dan akan berusaha menjaga kelestarian hutan. B. Saran Perbedaan persepsi masyarakat tentang keberadaan dan fungsi taman nasional serta sumberdaya hutan mengindikasikan diperlukannya penyuluhan dan sosialisasi termasuk informasi tata batas kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata. DAFTAR PUSTAKA Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. 2009. Buku Statistik 2009. Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Ternate. Ngakan, dkk. 2006. Ketergantungan, Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hayati Hutan Studi Kasus di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Center for International Forestry Research Wiratno, dkk. 2004. Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Departemen Kehutanan, The Gibbon Foundation, Forest Press, dan PILI-NGO Movement.
12
Persepsi Masyarakat terhadap Taman nasional…… Nurlita Indah & Rinna Mamonto
LAMPIRAN Kuisioner Pola Pemanfaatan Lahan di Dalam Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Keterangan: poin yang digunakan dalam kajian Persepsi Masyarakat Terhadap Taman Nasional Dan Sumberdaya Hutan adalah pertanyaan yang dicetak tebal Karakteristik Responden Nama responden : Umur Status pernikahan Kedudukan dalam RT Jumlah anggota RT Pendidikan Pendapatan Pengeluaran Pekerjaan utama : Asal
: : Nikah/belum nikah/pernah menikah : Kepala RT/ ibu/ anak : :SD/ SMP/ SMA : : : Asli/ Pendatang
Persepsi Masyarakat Tentang Sumberdaya Hutan 1. Apa yang anda ketahui tentang hutan atau definisi sumber daya hutan ? ________________________________________________________________ ________________________________________________________________ ____________________ 2. Jarak tempat tinggalnya dari hutan : _____________ km 3. Seberapa sering saudara masuk ke hutan a. Tiap hari b. Sekali seminggu c. Sekali sebulan d. Lain-lain 4. Apa tujuan anda masuk kedalam hutan? a. Mencari kayu c. Berladang/berkebun d. Yang lain, sebutkan b. Berburu d. Menggembalakan ternak 5. Sejak kapan saudara mengelola lahan di sekitar hutan atau di dalam hutan a. Kurang dari 2 tahun b. 2 – 4 tahun c. Lebih dari 4 tahun 6. Berapa luas lahan yang saudara miliki : a. 0,25 ha b. 0,5 ha c. > 1 ha 7. Status lahan yang saudara garap a. Milik sendiri b. Milik orang lain c. Sewa d. Yang lain, sebutkan 8. Jenis-jenis lahan yang saudara dimiliki : a. Sawah, luasnya..... c. Ladang,luasnya......
9.
b. Kebun, luasnya...... ... Asal usul lahan yang saudara dimiliki : a. Beli b. Warisan dari orang tua sebutkan
d. Lainnya sebutkan
c. Tanah adat
d.
Lainnya
13
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
10. Tanaman apa yang terdapat di dalam lahan yang saudara olah : a. Pohon b. Buah-buahan d. Campuran b. Tanaman kebun c. Palawija 11. Bagaimana cara saudara memanfaatkan hasil panen a. Di komsumsi sendiri b. Di jual 12. Selain lahan, apa lagi yang saudara ambil dari hutan : a. Kayu bakar b. Kayu un. Rumah c. Satwa sebutkan 13. Seberapa banyak anda ambil barang tersebut di atas (No.11) ? 14. Dalam jangka waktu berapa lama anda ambil ? a. Setiap hari d. Dua minggu sekali b. Seminggu dua kali e. Sebulan sekali c. Seminggu sekali f. Lainnya, sebutkan.............
c. Lainnya d. Lainnya
Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata 15. Apa saudara mengetahui apa Taman Nasional ? ________________________________________________________________ ________________________________________________________________ ____________________ 16. Apa saudara tahu manfaat Taman Nasional ? ________________________________________________________________ ________________________________________________________________ ____________________ 17. Apakah Anda setuju dengan keberadaan Taman Nasional? ________________________________________________________________ ________________________________________________________________ ____________________ 18. Menurut anda keberadaan Taman Nasional memberikan dampak positif atau negatif bagi hutan dan masyarakat, mengapa ? ________________________________________________________________ ________________________________________________________________ ____________________ 19. Bagaimana kondisi hutan disekitar anda saat ini ? a. Baik (lebih baik dari pada dahulu), alasannya __________________________________ b. Buruk (lebih buruk daripada dahulu), alasannya ________________________________ c. Biasa-biasa saja (tidak ada perubahan), alasannya ______________________________ 20. Apakah anda setuju dengan pemanfaatan lahan hutan untuk pertanian/kebun/ladang ? a. Setuju, alasannya _________________________________________________________ b. Tidak, alasannya _________________________________________________________
14
Persepsi Masyarakat terhadap Taman nasional…… Nurlita Indah & Rinna Mamonto
21. Menurut pendapat anda, kelembagaan apa saja yang ada di desa anda ? a. Lembaga Formal : _________________________________________________________ b. Lembaga informal : ________________________________________________________ 22. Lembaga mana yang paling berperan atau peduli dengan kelestarian hutan ? ________________________________________________________________ __________ 23. Apakah anda menjadi anggota salah satu lembaga/kelompok tersebut diatas (no.20) ? a. Ya; Nama Lembaga: _________________ b. Tidak 24. Apakah anda merasakan manfaat dari lembaga/kelompok tersebut ? a. Ya b. Tidak 25. Apa sudah ada pertemuan tetap kelompok tani ? a. Ya b. Tidak/belum 26. Apakah ada kegiatan ritual adat yang berhubungan keberadan atau hasil hutan? a. Ya b. Tidak 27. Jika ya, kegiatan ritual apa namanya ? ___________________________________________ 28. Apakah masyarakat adat ataupun individu mengeksploitasi/mengambil hasil hutan untuk mendukung upacara/kegiatan adat tersebut ? a. ya b. tidak c. tidak tahu 29. Jika ya, apa yang diambil ?____________________________________________________
15
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
16
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku…… Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho
KERAGAMAN JENIS TUMBUHAN PAKU (PTERIDOPHYTA) DI CAGAR ALAM GUNUNG AMBANG SULAWESI UTARA (The Pteridhopyta Diversity in Gunung Ambang Nature Reserve North Sulawesi) Diah Irawati Dwi Arini dan Julianus Kinho Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget Manado Telp: (0431) 3666683, email:
[email protected]
ABSTRACT Gunung Ambang Natural Reserve Park is one of the conservation areas in North Sulawesi which no doubt has a very diverse community of flora and fauna. The diversity of Pteridophyta family or ferns is one of floral potentials that are not being awared by most people due to the lack of the data and information on species diversity and utilization. These kinds of species were believed to spread widely in Indonesia regions. Ferns are unique and have potential use, such as materials for feed, medicinal or ornamental plants. The study aimed to obtain reliable data and information about fern diversity and its characteristics at Gunung Ambang Natural Reserve Park as well as their traditional utilization performed mainly by local people living around the conservation area. The research was conducted through exploration method by collecting many fern species that were found and grown inside the area of Gunung Ambang Natural Reserve Park. The species identification was conducted in LIPI Herbarium Bogoriensis using descriptive analytical methods. The obtained data were presented in the forms of tabels dan figures. Results showed that there were 41 fern species consisting of 19 families. The types that were mostly found came from Polypodiaceae familiy (8 species). Based on the potential utilization, those which can be used as ornamental plants were Asplenium pellucidum. Lam., and Dipteris conjugata Reinw. Elevenspecies from Lecanopteris carnosa (Reinw.) Blume. and Selaginella Plana (Desv.ex Poir) Hieron. were used for medicinal herbs. One species, Gleichenia hispida Mett.ex Kuhn. can be used for handycraft material, while other 5 species from Pteris mertensioides Willd and Diplazium accendens Blume can be used for food material. Keywords : Ferns, Pteridhopyta, Gunung Ambang, diversity.
17
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
ABSTRAK Cagar Alam Gunung Ambang merupakan salah satu kawasan konservasi di Sulawesi Utara yang tidak diragukan lagi menyimpan kekayaan flora dan fauna yang sangat beragam. Kelompok tumbuhan paku atau Pteridophyta merupakan salah satu potensi flora yang belum banyak diminati karena kurangnya data dan informasi mengenai keragaman jenis dan manfaatnya. Jenis tumbuhan ini memiliki penyebaran yang sangat luas di wilayah Indonesia. Tumbuhan paku memiliki keragaman jenis yang unik dan potensi pemanfaatan yang luar biasa misalnya untuk bahan pakan, pengobatan dan tanaman hias. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang keragaman jenis tumbuhan paku di kawasan CA. Gunung Ambang, serta potensi pemanfaatannya terutama oleh masyarakat sekitar kawasan. Penelitian ini dilakukan melalui kegiatan eksplorasi dengan mengumpulkan sebanyak mungkin jenis yang dijumpai dan tumbuh di dalam kawasan CA. Gunung Ambang. Identifikasi jenis tumbuhan paku dilakukan di Herbarium Bogoriensis LIPI. Hasil identifikasi selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 41 jenis tumbuhan paku yang terdiri dari 19 famili. Jenis yang paling banyak dijumpai berasal dari famili Polypodiaceae sebanyak 8 jenis. Berdasarkan potensi pemanfaatannya, yang dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan hias sebanyak 9 jenis diantaranya Asplenium pellucidum Lam., dan Dipteris conjugata Reinw. Sebagai tumbuhan obat sebanyak 11 jenis diantaranya Lecanopteris carnosa (Reinw.) Blume. dan Selaginella plana (Desv.ex Poir) Hieron., sebagai bahan kerajinan sebanyak 1 jenis yaitu Gleichenia hispida Mett.ex Kuhn. dan sebagai bahan pangan sebanyak 5 jenis diantaranya Pteris mertensioides Willd dan Diplazium accendens Blume. Kata Kunci: tumbuhan paku, pteridophyta, Gunung Ambang, keragaman.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan salah satu golongan tumbuhan yang hampir dapat dijumpai pada setiap wilayah di Indonesia. Tumbuhan paku dikelompokkan dalam satu divisi yang jenis-jenisnya telah jelas mempunyai kormus dan dapat dibedakan dalam tiga bagian pokok yaitu akar, batang, dan daun. Bagi manusia, tumbuhan paku telah banyak dimanfaatkan antara lain sebagai tanaman hias, sayuran dan bahan obatobatan. Namun secara tidak langsung, kehadiran tumbuhan paku turut
18
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku…… Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho
memberikan manfaat
dalam memelihara ekosistem hutan antara lain
dalam pembentukan tanah, pengamanan tanah terhadap erosi, serta membantu proses pelapukan serasah hutan. Loveless (1989) dalam Asbar (2004) menjelaskan bahwa tumbuhan paku dapat tumbuh pada habitat yang berbeda. Berdasarkan tempat hidupnya, tumbuhan paku ditemukan tersebar luas mulai daerah tropis hingga dekat kutub utara dan selatan. Mulai dari hutan primer, hutan sekunder, alam terbuka, dataran rendah hingga dataran tinggi, lingkungan yang lembab, basah, rindang, kebun tanaman, pinggir jalan paku dapat dijumpai. Tumbuhan paku dapat dibedakan menjadi dua bagian utama yaitu organ vegetatif yang terdiri dari akar, batang, rimpang, dan daun. Sedangkan organ generatif terdiri atas spora, sporangium, anteridium, dan arkegonium. Sporangium tumbuhan paku umumnya berada di bagian bawah daun serta membentuk gugusan berwarna hitam atau coklat. Gugusan sporangium ini dikenal sebagai sorus. Letak sorus terhadap tulang daun merupakan sifat yang sangat penting dalam klasifikasi tumbuhan paku.
Menurut
Tjitrosoepomo
(1994)
divisi
Pteridophyta
dapat
dikelompokkan ke dalam empat kelas yaitu Psilophytinae, Lycopodiinae, Equisetinae dan Filiciane; dan menurut Steennis (1988), tumbuhan pakupakuan dapat dibagi ke dalam 11 famili yaitu Salviniceae, Marsileaceae, Equicetaceae, Selagillaceae, Lycopodiaceae, Ophiglossaceae, Schizaeaceae, Gleicheniaceae, Cyatheaceae, Ceratopteridaceae, dan Polypodiaceae. Kawasan Cagar Alam Gunung Ambang sebagai bagian dari zona Wallacea,
dan
berada
di
Sulawesi
Utara
menyimpan
pesona
keanekaragaman hayati yang tinggi. Keunikan flora dan fauna serta bentang alam yang khas yang ada di dalam kawasan ini mampu menarik perhatian para wisatawan dalam negeri maupun asing untuk berkunjung. Kawasan yang ditetapkan pada tahun 1978 ini berada pada tipe ekosistem dataran rendah hingga hutan pegunungan (BKSDA Sulut, 2005). Beragamnya tipe ekosistem ini sangat mendukung sebagai habitat satwa maupun flora khususnya berbagai jenis tumbuhan paku-pakuan.
19
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Beberapa jenis tumbuhan paku yang berasal dari CA. Gunung Ambang ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan sebagai tanaman hias seperti jenis Asplenium pellucidum Lam., dan Dipteris conjugata Reinw., digunakan sebagai tali atau bahan pengikat seperti jenis Gleichenia hispida Mett.ex Kuhn dan digunakan sebagai sayur seperti jenis Pteris mertensioides Willd. Terbatasnya informasi tentang jenis tumbuhan paku di wilayah Sulawesi Utara dan aspek pemanfaatannya menjadi tantangan untuk dilakukannya eksplorasi terkait. Hasil dari kegiatan ini diharapkan akan diketahuinya ragam jenis dan manfaat tumbuhan paku di kawasan CA. Gunung Ambang. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang keragaman jenis tumbuhan paku di kawasan CA. Gunung Ambang yakni mencakup jenis dan deskripsinya, pemanfaatan yang telah dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan, serta potensi pemanfaatan yang dapat dilakukan. II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian berlokasi di kawasan CA. Gunung Ambang yakni wilayah sekitar Desa Sinsingon, Puncak Gn. Ambang, dan Danau Alia, dan dilaksanakan pada bulan November–Desember 2008. Peta lokasi penelitian disajikan dalam Gambar 1. B. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan terdiri atas alkohol 70%, amplop spesimen, kotak spesimen, kertas koran, plastik spesimen, kamera digital, GPS, parang, pisau, peta kawasan, kaliper, lembar isian data, dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan adalah jenis tumbuhan paku yang ada di dalam kawasan CA. Gunung Ambang. C. Prosedur Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat eksploratif, yaitu dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi jenis tumbuhan paku yang dijumpai dalam
20
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku…… Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho
jalur pengamatan. Jalur pengamatan mengikuti jalur jalan atau track yang sudah ada. Data yang dicatat terdiri atas nama jenis, bentuk pertumbuhan, ciri dan ukuran morfologi tumbuhan, bentuk, ukuran dan letak sorus, lokasi tempat tumbuh, serta potensi pemanfaatan oleh masyarakat setempat. Pengambilan spesimen secara lengkap dilakukan untuk kepentingan identifikasi jenisnya. Identifikasi dilakukan di Herbarium Bogoriense (BO), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Bogor.
Sekitar Ds. Singsingon
Danau Alia
Puncak Gn. Ambang
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di kawasan CA. Gunung Ambang
D. Analisis Data Data yang dikumpulkan selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel, gambar, dan uraian deksripsi jenis. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Ragam Jenis Tumbuhan Paku Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 41 jenis tumbuhan paku yang tercatat dari kegiatan eksplorasi dapat dikelompokkan ke dalam 19 famili. Famili Polypodiaceae memiliki jumlah jenis terbanyak yaitu delapan jenis, diikuti oleh Famili Aspleniaceae sebanyak enam jenis. Jenis
21
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
tumbuhan paku yang ditemukan di CA. Gunung Ambang selengkapnya disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Jenis tumbuhan paku di CA. Gunung Ambang Potensi Pemanfaatan No
1
2
3
Famili
ADIANTACEAE
Spesies TO
TH
KR
SY
1. Syngramma alismifolia (Pr.) J. Sm 1. Asplenium belangeri Bory. 2. Asplenium dicranurum C.Chr. 3. Asplenium nidus L.
√
√
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
4. Asplenium pellucidum Lam. 5. Asplenium spathulinum J.Sm. 6. Asplenium unilaterale Lam. 1. Diplazium accendens Blume. 2. Diplazium cordifolium Blume. 3. Diplazium sorzgonense C.Presl. 1. Blechnum capense (L.) Schltdl. 1. Davallia denticulata (Burm.f.) Kuhn var.denticulata 2. Davallia pentaphylla Blume 1. Dipteris conjugata Reinw.
-
√
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
√
-
-
√
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
√
-
-
-
-
-
-
√
-
√
-
ASPLENIACEAE
ATHYRIACEAE
4
BLECHNACEAE
5
DAVALLIACEAE
6
DIPTERIDACEAE
7
DRYOPTERIDACEAE
8
GLEICHENIDACEAE
1. Didymochlaena lunuata Desv. 1. Gleichenia hispida Mett.ex Kuhn.
-
22
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku…… Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho Potensi Pemanfaatan No
9
10
11
Famili
TH
KR
SY
(Baker)
-
-
-
-
GRAMMITIDACEAE
-
-
-
-
HYMENOPHYLLACEAE
2. Ctenopteris contigua (Forst.) Copel. 1. Hymenophyllum sp.
√
-
-
-
-
√
-
-
LINDSACACEAE
1. Lindsaea repens (Bory.) Thw.var.pectinata (Blume) Mett.ex Kuhn 2. Lindsaea sp.
-
√
-
-
1. Elaphoglossum blumeanum (Fee) J.Sm. 1. Angiopteris evecta (Forst.) Hoffm. 1. Nephrolepis hirsutula (G.Fobt.) C.Presl. 1. Belvisia spicata (L.f) Copel. 2. Drynaria quercifolia (L.) J.Sm. 3. Drynaria rigidula Bedd.
-
√
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
√
-
-
-
-
-
-
4. Lecanopteris carnosa (Reinw.) Blume. 5. Loxogramme avenia (Blume) Presl. 6. Phymatodes commutata (Blume) Ching. 7. Selliguea albidosquamata (Blume) Parris. 8. Selliguea taeniata (Sw.) Parris. 1. Pteris mertensioides Willd. 2. Pteris biaurita L.
√
-
-
-
-
√
-
-
√
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
√
-
-
-
-
LOMARIOPSIDACEAE
13
MARATTIACEAE
14
NEPROLEPIDACEAE
16
TO 1. Ctenopteris barathrophylla Parris.
12
15
Spesies
POLYPODIACEAE
PTERIDACEAE
23
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Potensi Pemanfaatan No
17
18
19
Famili
Spesies TO
TH
KR
SY
√
-
-
-
√
-
-
-
√
-
-
-
√
√
-
√
√
-
-
√
TECTARIA GROUP
1. Selaginella intermedia (Blume) Spring. 2. Selaginella involvens (Sw.) Spring. 3. Selaginella latupana Alderw. 4. Selaginella plana (Desv.ex Poir) Hieron. 1. Tectaria crenata Cav.
-
-
-
-
THELYPTERIDACEAE
1. Sphaerostephanos cf. appendiculatus (Blume) Holttum. Tectaria crenata Cav. 2. Sphaerostephanos sp.
-
-
-
√
SELAGINELLACEAE
Keterangan : TO = Tumbuhan Obat TH = Tumbuhan Hias KR = Kerajinan Tangan SY = Bahan pangan/Sayuran
B. Deskripsi Jenis Tumbuhan Paku 1. Famili Adiantaceae Jenis paku untuk famili Adiantaceae ini hanya dijumpai satu jenis yaitu Syngramma alismifolia (Pr.) J. Sm. Jenis paku ini adalah paku terestrial yang dapat mencapai tinggi 90 cm. Pengamatan di lapangan menunjukkan tumbuhan ini hidup pada habitat berpasir. Memiliki bentuk daun tunggal dan bergerombol dimana daunnya terdapat lapisan bulu-bulu kasar dan kaku. Panjang dan lebar daun rata-rata 21 cm dan 9 cm. Pertulangan daun tampak sejajar dan tersusun sangat rapat, memanjang di sepanjang tulang anak daun, berbentuk garis dan panjangnya mengikuti lebar tulang daun. Akar berizoma pendek dan agak muncul di permukaan tanah dengan diameter hanya 4 mm. Paku Syngramma alismifolia (Pr.) J. Sm disebut sebagai paku Arjuna, berpotensi sebagai tanaman hias dan menurut As (2005) jenis ini dapat dimanfaatkan sebagai obat penyakit lemah syahwat.
24
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku…… Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho
2. Famili Aspleniaceae Famili Aspleniaceae yang dijumpai di CA. Gunung Ambang terdiri atas enam jenis yaitu Asplenium belangeri Bory., Asplenium dicranurum C.Chr., Asplenium nidus L., Asplenium pellucidum Lam., Asplenium spathulinum J.Sm., dan Asplenium unilaterale Lam. Jenis Asplenium pellucidum Lam. menurut catatan The Environment Protection and Biodiversity Conservation Act (1999), termasuk ke dalam salah satu spesies tumbuhan paku dengan kategori rentan (vulnerable). Paku terestrial ini tidak jarang dijumpai sebagai epifit yang menempel pada batu-batu atau pohon. Di CA. Gunung Ambang jenis ini banyak dijumpai pada tempat yang lembab atau berlumut, tepi sungai, dan sekitar air terjun. Jenis Asplenium pellucidum Lam. memiliki batang berwarna coklat hingga kehitaman dan berbulu, tinggi hanya mencapai sekitar 60 cm. Daun majemuk dengan lebar daun rata-rata 12 cm. Anak daun memiliki rata-rata panjang dan lebar 5 cm dan 2 cm. Daun berbentuk elips menyempit dengan bentuk tepi daun bergerigi. Daun memiliki kedudukan berselang-seling, berwarna hijau terang. Sorus ditemukan di bawah permukaan daun namun juga nampak jelas jika dilihat dari atas permukaan daun dalam bentuk memanjang searah dengan pertulangan anak daun. Spora memiliki panjang rata-rata 0.5 cm.
Gambar 2. Asplenium pellucidum Lam.
25
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
3. Famili Athyriaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini sebanyak tiga jenis dari marga Diplazium terdiri atas Diplazium accendens Blume., Diplazium cordifolium Blume., dan Diplazium sorzgonense C.Presl. Diplazium accendens Blume., termasuk golongan paku terestrial yang dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 150 cm. Batang berwarna hijau dan memiliki duri. Daun majemuk berwarna hijau dan memiliki duri halus pada permukaan dan tepi. Daun memiliki panjang dan lebar rata-rata 50 cm dan 21 cm, sedangkan anak daun memiliki panjang dan lebar 12 cm dan 3 cm. Sorus berada di bawah permukaan daun dengan bentuk memanjang mengikuti tulang cabang daun tingkat satu dan berwarna hitam. Heyne (1992) menjelaskan bahwa tumbuhan ini memiliki khasiat sebagai obat pasca persalinan, di kalangan masyarakat Minahasa, tumbuhan paku ini dimanfaatkan sebagai sayuran.
Gambar 3. Diplazium accendens Blume.
4. Famili Blechnaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini hanya satu jenis yaitu Blechnum capense (L.) Schltdl. Paku ini dijumpai hidup pada habitat berpasir yang dekat dengan kawah Gunung Ambang yaitu di atas ketinggian 1.200 mdpl. Keunikan jenis paku ini adalah pada warna daunnya, pada saat kuncup daun
26
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku…… Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho
tertutup oleh sorus berwarna coklat, pada waktu muda, daun yang berwarna terbuka berwarna merah dan lama kelamaan akan berubah berwarna hijau. Termasuk dalam jenis paku terestrial yang hidup pada suhu yang sangat rendah. Bentuk pertumbuhan tegak antara 50 hingga 80 cm. Batang berwarna coklat dan lunak dengan diameter mencapai 1 cm. Bulubulu halus berwarna coklat ditemukan menempel di sepanjang batang. Daun adalah daun majemuk dengan panjang dan lebar 75 cm dan 40 cm. Anak daun berbentuk lanset. Sorus terletak di bawah permukaan daun dengan bentuk memanjang. Daun yang masih kuncup, akan terbungkus penuh dengan sorus yang berwarna coklat.
Gambar 4. Blechnum capense (L.) Schltdl
5. Famili Davalliaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini sebanyak dua jenis yaitu Davallia denticulata (Burm.f.) Kuhn var.denticulata dan Davallia pentaphylla Blume. Hasil kajian menunjukkan bahwa jenis Davallia denticulata dilaporkan mengandung asam hidrosianik yang dapat menghasilkan racun (As, 2005). Jenis ini dikelompokkan dalam paku terestrial yang tumbuh ditempattempat terbuka maupun ternaungi. Tingginya dapat mencapai lebih dari 100 cm. Daun majemuk dan berbentuk segitiga. Sorus berada di bawah
27
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
permukaan daun yaitu pada tepi daun berwarna kuning hingga kuning kecoklatan. Sedangkan untuk jenis Davallia pentaphylla Blume termasuk dalam golongan paku epifit dengan bentuk daun menjari panjang. Sorus berada di bawah permukaan daun dan menempel pada tepian daun. 6. Famili Dipteridaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini hanya ditemukan satu jenis yaitu Dipteris conjugata Reinw. termasuk ke dalam golongan paku terestrial dengan bentuk pertumbuhan tegak, tingginya dapat mencapai hingga 130 cm atau lebih. Hidup pada hutan dataran rendah yaitu pada ketinggian 800 hingga 1000 mdpl. Daun berbentuk tunggal, dan membundar menjari. Daun berwarna hijau terang. Sorus terletak di bawah permukaan daun berwarna kuning dan tersebar di bagian bawah daun. Dari segi bentuknya, paku ini memiliki bentuk khas dan sangat unik sehingga memiliki potensi sebagai tumbuhan hias.
Gambar 5. Dipteris conjugata Reinw
28
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku…… Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho
7. Famili Dryopteridaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini hanya satu jenis yaitu Didymochlaena lunuata Desv. Termasuk jenis paku terestrial yang sangat menyukai habitat lembab dengan akar berbentuk serabut, batang berwarna hijau dan sedkit berbulu, tinggi tumbuhan dapat mencapai 150 cm. Daun berbentuk majemuk dengan lebar daun 45 cm, panjang dan lebar anak daun 25 cm dan 3 cm. Dalam satu tangkai, biasanya daun berjumlah daun 46 helai dan anak daun berjumlah 62 helai. Daun pada permukaan atas berwarna hijau tua dan hijau muda pada bawah permukaan. Pada saat muda daun berwarna merah dan diselimuti oleh benang-benang halus keperakan. Daun bertekstur agak keras dengan bentuk persegi. Kedudukan anak daun berselang-seling. Sorus berada di permukaan daun, berbentuk memanjang. 8. Famili Gleichenidaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini hanya satu jenis yaitu Gleichenia hispida
Mett.ex Kuhn. dikelompokkan dalam paku terestrial dengan
pertumbuhan merambat dan akar serabut. Rimpang menjalar, sangat menyukai habitat yang terbuka yang langsung terkena sinar matahari. Daun majemuk berwarna hijau pada atas permukaan dan hijau keperakan pada bagian bawah, berbentuk menjari, tangkai daun memiliki percabangan khusus, cabang utama terdiri dari dua anak cabang, anak cabang tersebut akan bercabang lagi hingga tumbuh menutupi tempat tumbuhnya. Ratarata panjang dan lebar daun adalah 39 cm dan 3 cm. Jumlah anak daun dalam satu batang utama berjumlah 167 daun. Anak daun memiliki panjang dan lebar 1 cm dan 0.5 cm. Sorus berada di bawah permukaan daun berwarna hijau hingga coklat kehitaman. Batang memiliki tekstur yang sangat kuat sehingga biasa digunakan sebagai tali atau bahan-bahan kerajinan. Menurut Anonim (1980) kulit batang dari jenis ini dapat dimanfaatkan sebagai obat.
29
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
9. Famili Grammitidaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini sebanyak dua jenis yaitu Ctenopteris barathrophylla (Baker) Parris dan Ctenopteris contigua (Forst.) Copel. Jenis Ctenopteris barathrophylla dan Ctenopteris contigua dikelompokkan dalam jenis paku epifit. Ctenopteris barathrophylla memiliki tinggi mencapai 25 cm, akar serabut. Daun berbetuk tunggal, berwarna hijau dan agak tebal. Panjang dan lebar daun adalah 14 cm dan 3 cm. Sorus berbentuk bulat dan berbintik kecil, berwarna coklat jika sudah matang atau tua, berwarna merah jika masih muda. Sedangkan jenis Ctenopteris barathrophylla biasa menempel pada pohon inang atau batu. Daun adalah daun majemuk. Panjang dan lebar daun rata-rata adalah 45 cm dan 5 cm. Anak daun memiliki lebar dan panjang 2 cm dan 0,2 cm. Permukaan daun kasar, sorus biasanya berjumlah tiga dan terletak di bawah permukaan daun dan menempel pada ujung anak daun. 10. Famili Hymenophyllaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini hanya satu jenis yaitu Hymenophyllum sp. Digolongkan sebagai paku epipit yang banyak ditemukan menempel pada batu atau batang-batang pohon tumbang. Sangat menyukai habitat yang basah dan lembab seperti di tepi-tepi sungai dan genangan air serta tumbuh di sela-sela lumut. Memiliki penampilan kecil dan pendek. Akar serabut hitam. Daun berukuran kecil dan berbentuk seperti jarum, berwarna hijau tua. Daun berjumlah kira-kira 25 di setiap helai, sedangkan anak daun berjumlah 12 helai. Daun memiliki panjang dan lebar rata-rata 14,5 cm dan 10 cm. Tinggi tumbuhan hanya sekitar 25-30 cm. Sorus ditemukan pada tepi daun dan ujung daun. As (2005) menjelaskan bahwa paku jenis ini bermanfaat dalam meredam luka karena mengandung zat antiseptik. 11. Famili Lindsacaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini sebanyak dua jenis yaitu Lindsaea repens (Bory.) Thw.var.pectinata (Blume) Mett.ex Kuhn dan Lindsaea sp., kedua jenis ini tergolong jenis paku epipit yang hidup di batang-batang pohon. Memiliki bentuk pertumbuhan merambat. Daun majemuk, Lindsaea
30
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku…… Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho
repens memiliki panjang rata-rata 40 cm dan lebar daun 5 cm. Daun berbentuk oval dan tepi bergerigi. Sedangkan panjang dan lebar anak daun adalah 2 cm dan 1 cm. Daun berwarna hijau dimana tangkai anak daun tersusun sangat berdekatan sehingga terlihat sangat padat. Sorus berwarna kecoklatan, terletak di bagian bawah daun. Lindsaea sp. memiliki bentuk daun memanjang menyirip dengan panjang dan lebar daun adalah 7 cm dan 1 cm. Anak daun sangat kecil dan berbentuk seperti kipas. Dalam satu tangkai terdapat sekitar 30 helai anak daun. Sorus terdapat pada tepi anakanak daun, berwarna kekuningan dan berbentuk bulat. Kedua spesies paku ini memiliki penampilan yang sangat menarik sehingga berpotensi sebagai tanaman hias yang ditanam dalam pot-pot kecil. 12. Famili Lomariopsidaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini hanya satu jenis yaitu Elaphoglossum blumeanum (Fee) J.Sm. Jenis ini termasuk dalam golongan paku epipit, menempel pada batang pohon. Daun panjang dengan tepi daun rata, batang berwarna hijau kekuningan. Tulang daun tersusun sangat rapat dan sejajar. Panjang dan lebar daun rata-rata 25 cm dan 4 cm. Memiliki sorus yang terletak di bawah permukaan daun berbentuk panjang seperti garis. Memiliki penampilan unik sehingga sangat berpotensi sebagai tanaman hias. 13. Famili Marattiaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini hanya satu jenis yaitu Angiopteris evecta (Forst.) Hoffm. Digolongkan ke dalam paku terestrial yang tumbuh tegak hingga mencapai 1.5 meter. Seringkali ditemukan tumbuh di bawah tegakan, di tepi aliran sungai dan tanah berpasir (Kinho, 2011). Paku ini banyak dijumpai di kawasan CA. Gunung Ambang. Daun berwarna hijau mengkilap dan majemuk. Daun berbentuk oblong dengan ujung bergerigi. Tulang daun sejajar rapat. Kedudukan daun berhadapan, panjang dan lebar daun adalah 30 cm dan 14 cm. Jumlah anak daun sekitar 10-20 helai, panjang dan lebar anak daun 8 cm dan 2 cm. Sorus atau spora ditemukan di bawah permukaan daun dengan bentuk panjang dan tersusun sangat rapat,
31
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
spora berwarna coklat tua. Akar serabut, batang berwarna hijau dan bergetah. 14. Famili Neprolepidaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini hanya satu jenis yaitu Nephrolepis hirsutula (G.Fobt.) C.Presl, hidup terestrial dan epipit yang banyak dijumpai hidup menempel pada pohon-pohon tumbang dan batu. Spesies ini dapat tumbuh hingga 50 cm, dengan panjang dan lebar daun 50 cm dan 7 cm. Anak daun memiliki panjang dan lebar 14 cm dan 2 cm. Anak daun memiliki kedudukan berselang-seling dengan jumlah anak daun mencapai 35 atau lebih. Daun berwarna hijau dan berbentuk oval dengan permukaan daun licin dan halus. Akar serabut dan menjalar. 15. Famili Polypodiaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini sebanyak delapan jenis. Belvisia spicata (L.f) Copel. merupakan jenis paku epipit menempel pada tumbuhan hidup dan batu-batu. Tinggi tumbuhan dapat mencapai 18 cm. Daun merupakan daun tunggal, berwarna hijau muda. Panjang dan lebar daun masing-masing 15 cm dan 2 cm. Daun berbentuk lanset dengan ujungnya menyirip dan tepi rata. Sorus atau spora berada di ujung daun dengan bentuk memanjang berwarna coklat kehitaman. Drynaria quercifolia (L.) J.Sm. digolongkan ke dalam paku terestrial dan epipit. Daun tunggal yang dapat tumbuh tinggi hingga mencapai 150 cm atau lebih. Permukaan daun berwarna hijau kusam dan kaku. Jenis tumbuhan ini tidak memiliki batang, daun memenuhi seluruh tulang daun utama. Kedudukan anak daun berselang-seling. Kedudukan spora menyebar di seluruh bawah permukaan daun, dengan bentuk bulat. Pada saat masih muda spora memiliki warna hijau sedangkan jika sudah matang berwarna coklat. Dikenal dengan nama lokal paku daun kepala tupai dan banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias. Berdasarkan penelitian Kandhasamy et al. (2008) paku ini berpotensi sebagai obat antibakteri dan obat penyakit kulit (Anti Dermatophytic) (Nejad & Deokule, 2009).
32
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku…… Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho
Gambar 6. Drynaria quercifolia (L.) J.Sm.
Drynaria rigidula Bedd. digolongkan dalam kelompok paku epipit. Tumbuh pada tempat yang banyak mendapatkan sinar matahari. Termasuk daun majemuk dengan lebar daun 13 cm, anak daun berjumlah 6-18 setiap helainya. Daun berwarna hijau tua dan tekstur keras. Tepi daun bergerigi halus. Terdapat perbedaan pada kedudukan daun antara daun muda dan daun tua. Kedudukan daun muda sejajar sedangkan pada daun tua kedudukan daun menjadi selang-seling. Lecanopteris carnosa (Reinw.) Blume, termasuk jenis paku epipit yang menempel pada pohon-pohon. Sangat dikenal oleh masyarakat setempat sebagai paku sarang semut. Bentuk pertumbuhan tegak. Tumbuhan dapat mencapai tinggi 30 – 40 cm dan berdiameter 2 mm. Berwarna hijau sampai kecoklatan dan keras. Daun majemuk, panjang dan lebar daun 59 cm dan lebar 7 cm dan berwarna hijau. Anak daun berbentuk bulat dan letaknya berselang seling. Panjang dan lebar anak daun masing-masing 2 cm dan 4 cm. Jumlah anak daun dalam satu tangkai dapat mencapai 23 helai. Spora terletak di tepi anak daun yang membentuk seperti kantung sorus. Berbentuk bulat dan berwarna coklat hingga oranye. Paku ini memiliki bentuk yang menarik dan sangat berpotensi dimanfaatkan sebagai tanaman
33
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
hias. Sedangkan akar yang merupakan sarang semut banyak digunakan sebagai obat.
Gambar 7. Lecanopteris carnosa (Reinw.) Blume
Loxogramme avenia (Blume) Presl., jenis paku epipit yang menumpang
pada pohon-pohon besar. Memiliki rimpang pendek dan
memiliki banyak akar berwarna coklat. Daun berbentuk ensiform dengan ujung daunnya runcing. Jenis daun tunggal berwarna hijau muda. Tangkai daun seperti tidak nyata karena anak daun langsung tumbuh dari rimpang. Spora berbentuk panjang dengan panjang sekitar 0,5 – 2 cm. Berwarna coklat mengikuti tulang daun sehingga letak sorus berada di bawah permukaan daun. Menurut As (2005), jenis paku ini berpotensi sebagai tanaman hias dan biasanya ditempatkan di tembok pagar. Phymatodes commutata (Blume) Ching., termasuk paku terestrial dan epipit. Terkadang dijumpai menempel pada batu-batu, pohon mati atau pada pohon yang masih hidup. Hidup pada kondisi habitat terbuka dan banyak mendapat sinar matahari. Tinggi tumbuhan dapat mencapai 64 cm atau lebih. Batang berwarna hijau kecoklatan. Daun berwarna hijau sampai hijau terang dengan tangkai daun hijau keunguan. Lebar daun dapat mencapai 20 cm. Helaian daun berbagi menyirip, permukaan atas daun
34
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku…… Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho
berbenjol-benjol sesuai dengan letak sorusnya. Spora terdapat di bawah permukaan daun dan tersebar tidak beraturan. Panjang sorus bisa mencapai ukuran 1-2 mm. Berbentuk bulatan. Spesies ini banyak dimanfaatkan dalam pengobatan khususnya untuk obat malaria karena daun mudanya yang memiliki rasa pahit (Anonim, 1980). Selliguea albidosquamata (Blume) Parris., termasuk jenis paku epipit yang dapat tumbuh hingga 50 cm. Memiliki rimpang yang berbentuk seperti umbi dan cukup keras. Bentuk pertumbuhan merambat. Batang berwarna kehitaman dan keras. Daun terdapat perbedaan pada tumbuhan paku muda dan yang telah tua. Pada daun yang masih muda dan belum memiliki spora daun berbentuk oval sedangkan pada daun yang telah berspora daun berbentuk lebih panjang. Ciri khas yang dimiliki oleh jenis tumbuhan ini adalah terdapat semacam titik berwarna putih yang terletak di sepanjang tepi daun. Daun berwarna hijau kusam, tebal dan agak kaku. Spora berwarna coklat dan terletak secara teratur dibawah permukaan daun. Jumlah anak daun 10 – 20 helai dengan kedudukan anak daun berselangseling. Selliguea taeniata (Sw.) Parris., dikelompokkan sebagai jenis paku epipit. Daun berjumlah10 helai dalam satu tangkai. Panjang dan lebar daun 35 dan 25 cm. Daun berbentuk panjang dengan tepi bergelombang. Spora terletak di bagian bawah permukaan daun. 16. Famili Pteridaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini yaitu Pteris mertensioides Willd., merupakan jenis paku terestrial yang tumbuh di tanah dan batu-batu. Tinggi tumbuhan dapat mencapai 150 cm. Daun merupakan daun majemuk yang memiliki panjang hingga 50 cm dan lebar 3 cm. Sedangkan anak daun berjumlah 100 di setiap helai dengan panjang dan lebar anak daun 3 cm dan 0,5 cm. Batang berwarna hitam dan beralur. Spora atau sorus berada di tepi daun dan tersusun beraturan. Beberapa jenis dari marga Pteris banyak dimanfaatkan sebagai sayuran terutama daun muda termasuk Pteris mertensioides Willd. Pteris biaurita L. dikelompokkan sebagai paku terestrial, dengan tinggi tumbuhan mencapai 102 cm, daun majemuk
35
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
dengan lebar 39 cm dan panjang 51 cm, daun utama berjumlah 11 daun dalam satu tangkai, setiap daun utama tersusun dari anak daun yang berjumlah 67 helai. Kedudukan daun utama sejajar. Daun berwarna hijau berbentuk lanset memanjang. Spora dapat ditemukan pada tepi daun, memanjang mengikuti bentuk tepi daun. 17. Famili Selaginellaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini ditemukan sebanyak empat jenis yaitu Selaginella intermedia (Blume) Spring., Selaginella involvens (Sw.) Spring., Selaginella latupana Alderw., dan Selaginella plana (Desv.ex Poir) Hieron. Pada umumnya termasuk jenis paku epipit yang menempel pada batu atau pohon-pohon besar. Pertumbuhan merambat, daun berwarna hijau terang dan berukuran sangat kecil tersusun melingkari batang, daun fertil lebih lancip dengan susunan yang sangat rapat. Berwarna hijau pada permukaan atas, kedudukan daun berseling. Spora terdapat pada ujung terminalia. Pada jenis Selaginella intermedia batang berwarna merah. Jenis paku ini berpotensi sebagai tanaman obat, menurut Anonim (1980) jenis paku ini sangat potensial menjadi tumbuhan hias dan di beberapa daerah di Indonesia, jenis paku ini sering dimanfaatkan sebagai obat penambah darah serta nyeri pada ulu hati. Berdasarkan penelitian Kinho et al. (2009), di daerah Minahasa Sulawesi Utara, paku ini dimanfaatkan akarnya sebagai campuran ramuan obat pasca persalinan. 18. Tectaria Group Jenis yang dijumpai dari famili ini yaitu Tectaria crenata Cav. yang merupakan jenis paku terestrial. Tumbuh di sekitar pinggiran sungai atau di tempat-tempat lembab. Memiliki rimpang pendek. Diameter batang berukuran 0,6 – 1 cm. Tangkai daun berbulu halus dan berwarna coklat. Daun majemuk menyirip gasal. Lebar daun 49 cm, panjang daun 68 cm. Panjang anak daun 21 cm dan lebar anak daun 5 cm. Spora terletak di bawah permukaan daun tersusun dalam satu dereten sepanjang anak-anak tulang daun dan berbentuk bulat. Permukaan daun kasar berwarna hijau tua sedangkan bawah permukaan berwarna lebih muda. As (2005)
36
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku…… Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho
menjelaskan daun muda jenis ini dapat dipakai untuk sayur dan merupakan campuran bahan obat-obatan. 19. Famili Thelypteidaceae Jenis yang dijumpai dari famili ini sebanyak dua jenis yaitu Sphaerostephanos
cf.
Appendiculatus
(Blume)
Holttum.,
dan
Sphaerostephanos sp. Sphaerostephanos cf. Appendiculatus (Blume) Holttum digolongkan dalam jenis paku terestrial yang dapat tumbuh hingga 100 cm. Daun merupakan daun majemuk berwarna hijau tua hingga kuning. Panjang dan lebar anak daun 20 cm dan 2 cm. Kedudukan anak daun berhadapan. Daun mulai tumbuh dari pangkal tangkai. Bentuk tepi daun bergerigi. Batang berwarna coklat kehijauan, diameter batang 0,6 – 0,8 cm. Sphaerostephanos sp. termasuk jenis paku terestrial, ketinggian mencapai hingga 184 cm. Bentuk pertumbuhan menjalar. Memiliki rimpang bersisik kecil. Daun majemuk berwarna hijau, dan berbentuk lanset, memiliki lebar 33 cm, sedangkan anak daun memiliki lebar dan panjang 1 cm dan 21 cm. Tepi daun bergerigi, jumlah daun dalam satu tangkai mencapai 114 helai atau lebih. Spora terletak dibawah permukaan daun, berbentuk bulat, berwarna oranye terang. Sorus terlihat menonjol, sehingga dapat dengan mudah dilihat dari permukaan daun. Diameter sorus 1,5 mm. Beberapa spesies dari genus ini daun mudanya dapat digunakan untuk sayuran (As, 2005). IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Selama kurun waktu penelitian, ditemui 41 jenis tumbuhan paku di kawasan CA. Gunung Ambang, yang selanjutnya dapat dikelompokan ke dalam 19 famili. 2. Di antara ke-19 famili itu, Famili Polypodiaceae dan Aspleniaceae memiliki jumlah jenis tertinggi, masing-masing 8 dan 6 jenis. 3. Berbagai jenis tumbuhan paku tersebut memiliki berbagai potensi seperti sebagai tumbuhan berkhasiat obat sebanyak 11 jenis diantaranya yaitu Syngramma alismifolia (Pr.) J. Sm., Diplazium
37
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
accendens
Blume.,
Gleichenia
hispida
Mett.ex
Kuhn.,
Hymenophyllum sp. 4. Jenis tumbuhan paku yang berpotensi sebagai tumbuhan hias sebanyak 9 jenis diantaranya Syngramma alismifolia (Pr.) J. Sm., Asplenium pellucidum Lam., Dipteris conjugata Reinw., Lindsaea repens (Bory.) Thw.var.pectinata (Blume) Mett.ex Kuhn. 5. Jenis tumbuhan paku yang dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan sebanyak 1 jenis yaitu Gleichenia hispida Mett.ex Kuhn. Sedangkan digunakan sebagai bahan pangan/sayuran sebanyak 5 jenis diantaranya
Diplazium accendens Blume., Pteris mertensioides
Willd., Selaginella plana (Desv.ex Poir) Hieron. B. SARAN Tumbuhan paku memiliki potensi pemanfaatan yang cukup baik untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai bahan obat, bahan makanan dan tanaman hias sehingga perlu dilakukan kegiatan eksplorasi pada bagian lain dari kawasan CA. Gunung Ambang untuk melengkapi data keanekaragaman jenis tumbuhan khususnya tumbuhan paku yang terdapat didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1980. Jenis Paku Indonesia., LBN-17, SDE-76, LIPI Bogor. Bogor. Anonim, 1999. Approved Conservation Advice for Asplenium pellucidum. The Environment Protection and Biodiversity Conservation Act. Queensland. Asbar. 2004. Jenis Paku-pakuan (Pteridophyta) di Sekitar Air Terjun Tirta Rimba Hutan Wana Osena Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Haluoleo. Kendari (Tidak diterbitkan). As, M. 2005. Keanekaragaman dan Potensi Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di Hutan Desa Lampeapi Kecamatan Wawonii Barat Kabupaten Konawi. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Haluoleo. Kendari (Tidak diterbitkan). BKSDA Sulut. 2005. Rencana Pengelolaan Cagar Alam Gunung Ambang Propinsi Sulawesi Utara. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. Manado.
38
Keragaman Jenis Tumbuhan Paku…… Diah Irawati Dwi Arini & Julianus Kinho Heyne, K. 1992. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 1. Terjemahan Balithut, Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Kinho, J., Arini, D.I.D., Tabba, S., Kama, H., Kafiar., Y., & Shabri, S. 2009. Tumbuhan Obat Tradisional di Sulawesi Utara Jilid 1. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado Kinho, J. 2011. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Paku di Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. Nejad, B.S and Deokule, S.S. 2009. Anti-dermatophytic activity of Drynaria quercifolia (L.) J. Smith. Jundishapur Journal of Microbiology. 2(1) : 25-30. Steennis, Van C.G.G.J. 1988. Flora Untuk Sekolah di Indonesia. Terjemahan Moeso Surjowinoto. Edisi 7. Pradnya Paramita. Jakarta. Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
39
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
40
Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka…… Erwin Hardika Putra
ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN PENDEKATAN KEBUTUHAN OKSIGEN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT EO-1 ALI (EARTH OBSERVER-1 ADVANCED LAND IMAGER) DI KOTA MANADO Green Space Analysis Based On Oxygen Demands Using the EO-1 ALI (Earth Observer-1 Advanced Land Imager) in Manado City Erwin Hardika Putra Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano Jl. Tololiu Supit II/10 Tingkulu Manado Email:
[email protected]
ABSTRACT This study describes the use of remote sensing and geographic information system technology trough the EO-1 ALI imagery to asses the green space in Manado City. By using the NDVI method, results show that the actual condition of green space in the study area reached 12.594 ha. Mapanget subdistrict has the largest green space area in Manado City, that is approximately 5.359 ha, whereas Sario subdistrict has the least green space area, that is about 4 ha. Meanwhile, based on oxygen demand approach, it is shown that Manado City needs about 892 ha of green space. Overall, existing green space area in Manado City currently exceeds the need of oxygen consumption. Keywords: Citra EO-1 ALI, green space, NDVI, manado
ABSTRAK Studi ini menggambarkan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) menggunakan citra EO-1 ALI untuk menganalisis kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Manado. Hasil analisis menggunakan NDVI menunjukkan bahwa kondisi aktual Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Manado adalah seluas ±12.594 ha. Kecamatan Mapanget merupakan wilayah yang memiliki RTH paling luas, yakni seluas ±5.359 ha, sedangkan Kecamatan Sario memiliki RTH yang paling sedikit, yakni seluas ± 4 ha. Sementara itu hasil analisis kebutuhan RTH di Kota Manado menggunakan pendekatan kebutuhan oksigen adalah seluas ± 892 ha. Dengan demikian, luas RTH saat ini secara keseluruhan masih melampaui kebutuhan konsumen oksigen di Kota Manado. Kata kunci: Citra EO-1 ALI, ruang terbuka hijau, NDVI, manado
41
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan perekonomian dan peningkatan jumlah penduduk di Kota Manado mendorong meningkatnya kebutuhan penduduk akan lahan untuk pemukiman dan sarana perekonomian, seperti sarana transportasi, industri, pusat perbelanjaan, dan lainnya. Akibatnya banyak lahan-lahan bervegetasi yang telah dialihfungsikan menjadi permukiman, kompleks perbelanjaan, dan perkantoran. Jumlah penduduk Kota Manado pada tahun 2003 adalah 401.410 jiwa dan bertambah menjadi 439.660 jiwa pada tahun 2009. Keberadaan
Ruang
Terbuka
Hijau
(RTH)
diperlukan
guna
meningkatkan kualitas lingkungan hidup di wilayah perkotaan secara ekologis, estetis, dan sosial. Secara ekologis, ruang terbuka hijau berfungsi sebagai pengatur iklim mikro kota yang menyejukkan. Vegetasi pembentuk hutan merupakan komponen alam yang mampu mengendalikan iklim melalui pengendalian fluktuasi atau perubahan unsur-unsur iklim yang ada di sekitarnya misalnya suhu, kelembapan, angin dan curah hujan. Ruang terbuka hijau memberikan pasokan oksigen bagi makhluk hidup dan menyerap karbon serta sumber polutan lainnya. Secara ekologis ruang terbuka hijau mampu menciptakan habitat berbagai satwa, misalnya burung. Secara estetis, ruang terbuka hijau menciptakan kenyamanan, harmonisasi, kesehatan, dan kebersihan lingkungan. Secara sosial, ruang terbuka hijau mampu menciptakan lingkungan rekreasi dan sarana pendidikan alam. Ruang terbuka hijau yang dikelola sebagai tempat pariwisata dapat membawa dampak ekonomis seperti meningkatkan pendapatan masyarakat. Analisis pendekatan kebutuhan oksigen untuk mengestimasi kebutuhan hutan kota atau RTH dalam suatu wilayah menggunakan metode Gerakis (1974), telah digunakan dalam berbagai penelitian, diantaranya adalah Lestari dan Jaya (2005) yang mengambil lokasi penelitian di Kota Bogor dengan menggunakan teknologi citra SPOT 5 dan Ikonos; Septriana, Indrawan, Dahlan, dan Jaya (2004) yang mengambil lokasi penelitian di Kota Padang dengan menggunakan bantuan citra Landsat; Setyowati (2008)
42
Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka…… Erwin Hardika Putra
mengambil lokasi penelitian di Kota Semarang; Brontowiyono, Wijaya dan Lupiyanto (2009) mengambil lokasi penelitian di Yogyakarta; dan Suminarti dan Ariffin (1997) yang mengambil lokasi penelitian di Kota Malang. Dalam tulisan ini akan dikaji mengenai kebutuhan RTH di Kota Manado dengan pendekatan yang sama melalui citra satelit EO-1 ALI. Citra Satelit EO-1 ALI adalah produk yang dihasilkan dari satelit EO-1, yang
diluncurkan
oleh
NASA
(National
Aeronautics
and
Space
Administration) pada tanggal 21 November 2000, yang membawa sensor utama ALI (Advanced Land Imager). Setelah dibandingkan dengan Landsat 7, citra EO-1 ALI memiliki keunggulan dalam hal resolusi spasial, resolusi temporal, kualitas citra, kedalaman bit yang tinggi, dan radiometrik yang akurat. Perbandingan ini akan berdampak pada perbaikan pengembangan generasi Landsat selanjutnya (Lencioni et.al., 2005). Citra Satelit EO-1 ALI memiliki beberapa band yang terdiri dari 9 band multispektral resolusi spasial 30mx30m dan 1 band pankromatik resolusi spasial 10m x 10m. Resolusi radiometrik EO-1 ALI adalah 16 bit sehingga memiliki tingkat kecerahan antara 1 – 32767. (Chander, Markham, dan Helder, 2009). Untuk melihat perbedaan antara vegetasi dan non vegetasi digunakan pendekatan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) (Rouse, et.al, 1973 dalam Ritchie, 2003). Dalam kaitannya dengan citra EO-1 ALI, indeks vegetasi NDVI menggunakan band 3 yang memiliki panjang gelombang 0,633 – 0,690 µm (kanal merah) dan band 4 yang memiliki panjang gelombang 0,755 – 0,805 µm (kanal infra merah) (Chander, Markham, dan Helder, 2009). Tulisan ini mengkaji kondisi aktual RTH dan mengestimasi kebutuhan RTH saat ini, berdasarkan kebutuhan oksigen agar terjadi keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan oksigen. Keseimbangan tersebut diperlukan agar terjadi peningkatan kualitas lingkungan hidup di perkotaan. B. Maksud dan Tujuan Maksud dari pembuatan tulisan ini adalah untuk mengestimasi kebutuhan RTH di Kota Manado. Tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Memetakan RTH aktual menggunakan citra satelit EO-1 ALI
43
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
2. Mengestimasi kebutuhan RTH menggunakan pendekatan berbasis kebutuhan oksigen II. METODOLOGI A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara, yang terletak pada koordinat 124° 40' 40.80'' hingga 124° 55' 54.48'' Bujur Timur dan 1° 26' 15.00'' hingga 1° 38' 58.56'' Lintang Utara dengan luasan sekitar 16.500 ha. B. Bahan dan alat Data yang digunakan dalam analisis ini bersumber dari data statistik Kota Manado dalam Angka dan Sulawesi Utara dalam Angka Tahun 2008, 2009, 2010 dari BPS, Peta batas administrasi wilayah dari BPS, Peta Rupa Bumi Indonesia Tahun 1991, Citra EO-1 ALI liputan tanggal 18 Mei 2012 dan 30 Juli 2011 (untuk wilayah Pulau Manado Tua, Pulau Siladen dan Pulau Bunaken serta untuk mengganti penutupan awan di Gunung Tumpa), yang didapatkan dari USGS (United States Geological Survey) melalui situs : http://glovis.usgs.gov.
Gambar 1. Lokasi Studi dan Citra EO-1 ALI liputan tahun 2011 dan 2012
44
Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka…… Erwin Hardika Putra
C. Pengolahan dan Analisis Data Penentuan luas hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen menggunakan rumus Gerakis (1974) yang telah dimodifikasi oleh Wisesa (1988) dalam Lestari dan Jaya (2005) adalah sebagai berikut :
dimana, Lt = Luas RTH pada tahun ke-t At = Jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk pada tahun ke-t Bt = Jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor pada tahun ke-
t
Ct = Jumlah kebutuhan oksigen bagi hewan ternak pada tahun ke-t Dt = Jumlah kebutuhan oksigen bagi genset hotel pada tahun ke-t 54 = nilai konstanta yang menunjukkan bahwa 1m luas lahan bervegetasi 2
menghasilkan 54 gram berat kering tanaman per hari (konstanta ini merupakan hasil rata-rata dari semua jenis tanaman baik berupa pohon, semak/belukar, perdu atau padang rumput) 0,9375 = nilai konstanta yang menunjukkan bahwa 1 gram berat kering tanaman adalah setara dengan produksi 0,9375 gram.
45
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Tabel 1. Jumlah kebutuhan oksigen setiap konsumen oksigen Konsumen
Kategori
Manusia
Hotel
Keterangan
0,864*
Kendaraan bermotor
Ternak
Kebutuhan O2 (kg/hari)
Mobil penumpang
11,63*
3 jam/hari
Bus
45,76*
2 jam/hari
Truk
22,88*
2 jam/hari
Sepeda Motor
0,58*
1 jam/hari
Sapi
1,702*
Kambing
0,314*
Ayam
0,167*
Babi
1,24**
Mesin genset
529*
5 jam/hari
Massa jenis Oksigen = 1,429 gram/liter Sumber : * Wisesa (1988) dalam Lestari dan Jaya (2005), **Hannon.et.al (1989) menyebutkan rata-rata per kilogram berat badan babi membutuhkan oksigen sebesar 6,7 ml/menit. Sution (2010) menyebutkan bahwa babi dalam peternakan yang siap panen rata-rata berat badannya adalah 80-100 kg, sehingga dalam analisis ini diambil nilai tengahnya 90 kg.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam studi ini adalah sebagai berikut : Setiap orang mengkonsumsi oksigen dalam jumlah yang sama setiap hari, yaitu
600 liter atau 0,864 kg perhari.
Kebutuhan oksigen oleh kendaraan bermotor yaitu 11,63 kg/jam untuk mobil penumpang dengan waktu operasi 3 jam/hari, mobil beban (truk) 22,88 kg/jam, bus 45,76 kg/jam dan sepeda motor 0,58 kg/jam Waktu kendaraan aktif kendaraan bermotor yakni kendaraan penumpang 3 jam/hari, kendaraan bus dan kendaraan beban 2 jam/hari, serta sepeda motor 1 jam/hari. Kendaraan bermotor hanya beroperasi di Kota Manado Kebutuhan oksigen bagi ternak adalah sebagai berikut : kerbau dan sapi 1,702 kg/hari, kambing 0,314 kg/hari, dan ayam 0,167 kg/hari. Kebutuhan oksigen bagi hotel menggunakan mesin genset 529 kg/hari dengan waktu aktif 5 jam/hari. Kebutuhan oksigen bagi industri tidak diperhitungkan.
46
Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka…… Erwin Hardika Putra
Suplai oksigen hanya oleh tanaman Tahapan pra pengolahan citra untuk citra ini menggunakan koreksi radiometrik absolut sebagaimana yang telah dilakukan oleh Chander, Markham, dan Helder (2009), kemudian ditajamkan menjadi resolusi 10m menggunakan metode Brovey Transform. Koreksi geometrik dilakukan setelah citra ditajamkan. Tahapan klasifikasi pembedaan antara vegetasi dan non vegetasi menggunakan rumus NDVI, sebagai berikut : NDVI = NIR-RED/ NIR +RED dimana; NDVI
= Nilai Indeks vegetasi, nilai klasifikasi untuk non vegetasi dan non vegetasi dilakukan cross check dengan lokasi lapangan. Hal yang perlu dilakukan verifikasi lapangan adalah nilai NDVI untuk pembedaan tanah terbuka tanpa vegetasi penutup, dan dengan vegetasi penutup.
NIR
= Nilai reflektansi pada kanal inframerah dekat
RED
= Nilai reflektansi pada kanal merah.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil kajian menunjukkan bahwa vegetasi berhutan, seperti pada lokasi Gunung Tumpa, memiliki nilai NDVI pada kisaran lebih dari 0,7. Nilai ini serupa dengan lahan dengan vegetasi penutup berupa perkebunan kelapa yang ditumbuhi dengan semak belukar maupun kebun campuran. Lahan dengan penutup vegetasi rerumputan, padang golf, alang-alang, memiliki nilai NDVI sekitar 0,5. Lahan terbuka tanpa vegetasi penutup tanah, seperti pada jalan tanah, lapangan kosong, tanpa dilapisi dengan aspal atau paving memiliki nilai NDVI sekitar 0,1 hingga 0,5. Permukiman, lahan terbuka yang dilapisi dengan beton, paving maupun jalan aspal memiliki nilai NDVI sekitar 0 hingga 0,1. Tubuh air seperti sungai, memiliki nilai NDVI kurang dari 0.
47
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Gambar 2. Hasil analisis NDVI Citra EO-1 ALI Kota Manado
Berdasarkan analisis menggunakan metode NDVI pada Citra EO-1 ALI, lahan bervegetasi atau RTH aktual di Kota Manado diidentifikasi seluas ±12.549,44 ha sedangkan yang tidak bervegetasi seluas ±3.967,54 ha. Kecamatan Sario merupakan daerah yang memiliki kawasan RTH paling sedikit, kemudian disusul oleh Kecamatan Wenang dan Kecamatan Tuminting. Wilayah kecamatan ini merupakan daerah pusat kota, dimana RTH di wilayah ini telah dikonversi menjadi lahan-lahan permukiman, pusat perdagangan dan lain-lain, sehingga keberadaan RTH sangat sedikit. Pada wilayah ini, keberadaan RTH ditunjang melalui penyediaan tanaman pohon di kiri kanan jalan. Keberadaan RTH di Kota Manado yang paling besar adalah pada wilayah Kecamatan Mapanget dan Kecamatan Bunaken. Tabel 2. Hasil analisis citra EO-1 ALI menggunakan NDVI di Kota Manado Kecamatan
Non vegetasi (ha)
Vegetasi (ha)
Total (ha)
Bunaken
368,55
4134,61
4503,16
Malalayang
588,65
999,71
1588,36
Mapanget
792,14
5359,49
6151,63
Sario
189,76
4,84
194,6
Singkil
252,63
237,87
490,5
48
Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka…… Erwin Hardika Putra Kecamatan
Non vegetasi (ha)
Vegetasi (ha)
Total (ha)
Tikala
672,18
1418,74
2090,92
Tuminting
260,29
82,84
343,13
Wanea
511,63
292,39
804,02
Wenang
331,71
18,95
350,66
3967,54
12549,44
16516,98
Total
Lahan bervegetasi di Kota Manado masih relatif luas, yakni sekitar 75% dari luas total wilayah ini. Hal ini didukung oleh keberadaan perkebunan kelapa dan kebun campuran serta hutan lindung di kecamatan Mapanget. Kecamatan Bunaken pun turut andil dalam memberikan pasokan oksigen di wilayah ini, mengingat keberadaan hutan bakau, dan Taman Nasional di Pulau Manado Tua dan Pulau Bunaken dimana vegetasi pepohonannya masih terjaga. Jumlah kebutuhan oksigen di Kota Manado setiap tahunnya mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, kendaraan bermotor, ternak dan industri. Industri di Kota Manado tidak dimasukkan dalam perhitungan karena tidak memiliki lokasi pabrik-pabrik dalam skala luas, namun digantikan oleh perhotelan yang tumbuh menjamur di wilayah ini. Perkiraan kebutuhan oksigen pada tahun 2003 di Kota Manado berdasarkan jumlah penduduk saja sebesar 346.818,24 kg/hari selanjutnya pada tahun 2009 perkiraan kebutuhan oksigen meningkat menjadi 379.866,24 kg/hari. Perkiraan kebutuhan oksigen berdasarkan jumlah kendaraan adalah sebesar 37.308,63 kg/hari. Untuk sektor peternakan, total kebutuhan oksigen untuk jenis ternak sapi, kambing, ayam dan babi adalah sebesar
34.490 kg/hari. Perhotelan
membutuhkan oksigen sebanyak 1.542 kg/hari. Dengan demikian, jumlah oksigen total yang dibutuhkan di Kota Manado, adalah sebesar 445.603 kg/hari. Berdasarkan kebutuhan oksigen tersebut maka dapat diestimasi bahwa kebutuhan RTH di Kota Manado adalah seluas 892 ha. Jumlah kebutuhan oksigen terbesar adalah jumlah penduduk. Besarnya jumlah penduduk akan menentukan luas kebutuhan RTH yang diharapkan. Keseimbangan RTH masing-masing kecamatan maupun
49
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
kelurahan akan berbeda sesuai dengan ketersediaan dan kebutuhan oksigen di wilayah kecamatan dan desa tersebut. Selisih antara ketersediaan dan kebutuhan oksigen akan menghasilkan luas RTH yang dibutuhkan. Tabel 3. Analisa Kebutuhan Oksigen di Kota Manado Parameter
Jumlah
1,2)
439.660
Jumlah Kebutuhan Oksigen 3) (g/hari) 379866240
3783
3666357.5
72422
6579
25087920
495564
249
949520
18756
*)
4512440
89135
*)
3092125
61079
- Sapi
2574
4380948
86537
- Kambing
1411
443054
8752
144827
24186109
477750
4417
5480742,93
108262
14
1542917
30477
445603808
8921787
Jumlah Penduduk
Jumlah RTH yang dibutuhkan 2 4) (m ) 7503531
Kendaraan - Mobil penumpang dan mikrolet - Mobil barang (truk) - Bus - Kendaraan pribadi - Motor
4656 12795
Ternak
- Ayam - Babi Hotel Berbintang Keterangan :
*) didapatkan dari rata-rata jumlah kendaraan pada Kec. Malalayang, Sario dan Tikala (Kecamatan dalam Angka 2009, BPS) kemudian dikalikan sebanyak 9 kecamatan di Kota Manado
Sumber data :
1. Kota Manado dalam Angka Tahun 2010 2. Sulawesi Utara dalam Angka Tahun 2010 3. Dihitung berdasarkan perkalian antara jumlah dan dan kebutuhan oksigen perhari untuk tiap-tiap jenis konsumen oksigen 4. Hasil analisa kebutuhan RTH Kota Manado menggunakan rumus Gerakis (1974) yang telah dimodifikasi oleh Wisesa (1988) dalam Lestari dan Jaya (2005)
50
Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka…… Erwin Hardika Putra
Tabel 4. Kebutuhan oksigen dan RTH berdasarkan jumlah penduduk pada tingkat kecamatan Kecamatan Luas RTH aktual (ha) Jumlah Penduduk* Kebutuhan Oksigen (kg/hari) Kebutuhan RTH (ha) Selisih RTH**
Sario
Malalayang
Wanea
Wenang
Tikala
Tuminting
Singkil
Mapanget
Bunaken
4.84
999.71
292.39
18.95
1418.74
82.84
237.87
5359.49
4134.61
25279
64172
59409
35133
72537
55314
49462
56347
22007
21841
55445
51329
30355
62672
47791
42735
48684
19014
43.14
109.52
101.39
59.96
123.80
94.40
84.42
96.17
37.56
-38.30
890.19
191.00
-41.01
1294.94
-11.56
153.45
5263.32
4097.05
Sumber data : * Kabupaten dalam Angka Manado 2010 (BPS, 2010), ** selisih luas RTH aktual dan kebutuhan RTH (tanda minus (-) adalah defisit oksigen)
51
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Berdasarkan hasil analisis, hanya dengan menggunakan parameter jumlah penduduk, Kecamatan Wenang merupakan kecamatan yang paling banyak membutuhkan RTH yakni seluas 41 ha kemudian disusul oleh Kecamatan Sario seluas 38 ha. Kecamatan lain yang defisit jumlah RTH-nya adalah Kecamatan Tuminting seluas 11 ha. Sementara itu Kecamatan Mapanget memiliki surplus RTH yang paling besar. Luas RTH saat ini masih melampaui yang dibutuhkan oleh konsumen oksigen di Kota Manado.
Namun demikian, pada beberapa wilayah
kecamatan masih diperlukan keberadaan RTH, baik berupa RTH Privat maupun RTH Umum. Bentuk RTH Umum yang diperlukan yakni berupa penanaman pohon di kiri kanan jalan. Taman di pusat kota maupun di pusat perbelanjaan dapat dioptimalkan dengan tanaman pepohonan yang memberikan tutupan tajuk optimal bagi penyerapan karbon maupun penghasil oksigen. Kondisi saat ini banyak lahan-lahan parkir di berbagai pusat perbelanjaan hanya ditanami dengan tanaman palem-paleman, padahal area ini dapat dioptimalkan menjadi RTH apabila ditanami dengan tanaman pepohonan, seperti jenis trembesi (Samanea saman), angsana (Pterocarpus indicus), ketapang (Terminalia catappa), mahoni (Swietenia macrophylla), tanjung (Mimusops elengi) dan lain-lain. Namun pemilihan jenis ini harus memperhatikan aspek arsitektural, visual, dan fungsi. Banyak lokasi pusat-pusat perbelanjaan dan perhotelan berada pada kecamatan yang minus RTH, sehingga pihak pengelola perlu dilibatkan dalam pengembangan RTH di wilayah ini. Pada RTH Privat diharapkan tersedianya halaman pekarangan yang ditumbuhi oleh pepohonan maupun pembuatan green wall maupun green roof bagi rumah yang minim lahan. Prabawasari dan Suparman (1999) telah mengklasifikasikan jenis-jenis tanaman berdasarkan aspek arsitektural, artistik-visual, dan hortikultura dan hal ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam membuat RTH di wilayah perkotaan.
52
Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka…… Erwin Hardika Putra
V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Lahan RTH aktual di Kota Manado diidentifikasi seluas ±12.549,44 ha sedangkan yang tidak bervegetasi seluas ±3.967,54 ha. Kecamatan Sario merupakan daerah yang memiliki kawasan RTH paling sedikit, kemudian disusul oleh Kecamatan Wenang dan Kecamatan Tuminting. 2. Berdasarkan faktor-faktor jumlah penduduk, kendaraan, ternak dan perhotelan, maka kebutuhan minimal RTH di Kota Manado adalah seluas 892 ha sehingga masih memenuhi kebutuhan. Kecamatan yang memiliki RTH tertinggi adalah Mapanget, sedangkan kecamatan yang memiliki RTH terendah adalah Wenang, Sario, dan Tuminting. Saran yang diajukan dari hasil kajian ini adalah sebagai berikut : 1. Pengembangan RTH perlu diarahkan pada kecamatan-kecamatan defisit oksigen yang memerlukan penghijauan. 2. Perlu kajian lebih lanjut untuk menganalisis kebutuhan RTH berdasarkan penyerapan karbon dan kebutuhan air maupun dengan penggunaan citra satelit yang lebih detil, seperti IKONOS dan Quickbird. DAFTAR PUSTAKA Brontowiyono, W., Wijaya, D., dan Lupiyanto, R.2009.Analysis Of The Need For Green Space In Yogyakarta in The Context Of Climate Change.The First International Seminar on Science and Technology (ISSTEC 2009) 24 Januari 2009.UII, Yogyakarta Chander, G., Markham, B.L., and Helder, D.L.2009.Summary of Current Radiometric Calibration Coefficients For Landsat Mss, Tm, Etm+, And EO-1 ALI Sensors.In Press, Remote Sensing Of Environments, Manuscript Number RSE-D-08-00684.US Hannon, J.P, Wade, C.E., Bossone, C.A., Hunt, M.M. and Loveday, J.A. 1989. Oxygen Delivery and Demand in Conscious Pig Subjected To Fixed Volume Hemorrhage and Resuscitated With 7.5% NaCl in 6% Dextran. Alan R. Liss, Inc. Lestari, R.A.E dan Jaya, I.N.S.2005.Penggunaan Teknologi Penginderaan Jauh Satelit dan SIG untuk menentukan luas hutan kota : Studi Kasus di Kota Bogor, Jawa Barat.Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XI No.2:55-69(2005).
53
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Lencioni, D.E., D.R. Hearn, C.J. Digenis, J.A. Mendenhall, and W.E. Bicknell. 2005. The EO-1 Advanced Land Imager : An Overview. Lincoln Laboratory Journal. Volume 15, Number 2, 2005 Prabawasari,V.W. dan Suparman, A.1999.Tata Ruang Luar 01. Penerbit Gunadarma.Jakarta Ritchie, G.L.2003.Use of Ground Based Canopy Reflectance to Determine Radiation Capture, Nitrogen and Water Status and Final Yield in Wheat.Utah State University.Logan,Utah Setyowati, D.L.2008. Iklim Mikro dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Jurnal Manusia dan Lingkungan Vol.15 No.3 November 2008:125-140 Suminarti, N.E., dan Ariffin.1997.Analisis Serapan Oksigen dan Estimasi Kebutuhan Taman Kota di Kodia Malang. Habitat Volume 8 No.99 Juni 1997 Sution.2010. Beternak Babi.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat. Pontianak Utara
54
Asosiasi Eboni dengan Jenis-jenis…… Anita Mayasari, Julianus Kinho & Ady Suryawan
ASOSIASI EBONI (DIOSPYROS SPP.) DENGAN JENIS-JENIS POHON DOMINAN DI CAGAR ALAM TANGKOKO SULAWESI UTARA The Association of Ebony (Diospyros spp.) and Dominant Tree Species in Tangkoko Nature Reserve North Sulawesi Anita Mayasari1, Julianus Kinho2, dan Ady Suryawan3 Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp. (0431)3666683 1 2 3 email:
[email protected];
[email protected];
[email protected];
ABSTRACT Black wood or ebony high economic value; it’s increasingly scarce in its natural habitat. The high price of this wood species causes excessive exploitation in nature, whereas the species shows a slower growth rate (low growing species). Cultivation outside the natural habitat should consider the growing requirements, including interactions with other species. The purpose of this study was to examine the association between ebony (Diospyros spp.) and the dominant trees in Tangkoko Nature Reserve (TNR). Sampling occurs at two different locations based on the altitude below 500 m asl and above 500 m asl. The method used is a combination between line and block. Observations were made on trees with diameter >20 cm and pole (Ø ≤ 10 cm). The Importance Value Index (IVI) was calculated. Associations were analyzed with 2 x 2 contingency table, Chi Square Test, and Test Ochiai index. The results showed that most pairs of associates (including a positive association, negative association, and non-associated) have a very low degree of association. It means that ebony (Diospyros spp.) showed a reciprocal relationship; the dominant tree species show the tolerance to live together in the same area. This indicates that the tree species within the region cannot be used as an indicator to the presence of ebony (Diospyros spp.). Keywords: association, ebony, diospyros, Tangkoko Nature Reserve
ABSTRAK Kayu hitam atau kayu eboni adalah jenis kayu yang bernilai ekonomi tinggi dan semakin langka pada habitat alaminya. Tingginya harga jenis kayu ini menyebabkan terjadinya exploitasi yang berlebihan di alam, padahal jenis pohon dari genus Diospyros ini termasuk kelompok jenis kayu dengan tingkat pertumbuhan yang
55
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
lambat (slow growing species). Budidaya di luar habitat alami harus mempertimbangkan persyaratan tumbuh, termasuk interaksinya dengan jenis lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari asosiasi antara eboni (Diospyros spp.) dengan pohon-pohon dominan di kawasan Cagar Alam Tangkoko. Pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang berbeda berdasarkan ketinggian tempat tumbuh yaitu pada ketinggian < 500 m dpl dan ketinggian > 500 m dpl. Metode yang digunakan adalah metode kombinasi antara metode jalur dan metode garis berpetak. Pengamatan dilakukan pada vegetasi tingkat pohon (Ø ≥ 20 cm) dan tiang (Ø ≤ 10 cm). Analisis data menggunakan Analisis vegetasi untuk menghitung Indeks Nilai Penting (INP). Asosiasi dianalisis dengan metode Tabel Kontingensi 2 x 2, Uji Chi Square, dan Uji Indeks Ochiai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pasangan asosiasi (termasuk yang berasosiasi positif, asosiasi negatif maupun yang tidak berasosiasi) mempunyai derajat asosiasi yang sangat rendah. Artinya bahwa ada kecenderungan eboni (Diospyros spp.) yang terdapat di kawasan CA.Tangkoko tidak memiliki ketergantungan atau hubungan timbal balik secara sparsial dengan jenis pohon dominan yang menunjukan adanya toleransi untuk hidup bersama pada area yang sama, khususnya dalam pembagian ruang hidup sehingga jenis pohon dominan yang terdapat dikawasan ini tidak dapat digunakan sebagai pohon indikator tentang kehadiran atau keberadaan eboni (Diospyros spp.). Kata kunci: Asosiasi, Eboni, Diospyros, Cagar Alam Tangkoko
I. PENDAHULUAN Kayu hitam atau yang lebih dikenal dengan kayu eboni adalah salah satu jenis kayu kelas kuat, mewah, indah, dan bernilai ekonomi tinggi yang kini semakin langka. Dalam perdagangan kayu, eboni diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu eboni hitam (black ebony), eboni hitam bergaris (streaked ebony) dan eboni putih (white ebony) (Martawijaya dkk, 1981). Tingginya harga di pasaran menyebabkan terjadinya exploitasi yang berlebihan terhadap kayu eboni di alam, sementara jenis-jenis pohon eboni (Diospyros spp.) termasuk jenis yang memiliki sifat pertumbuhan yang lambat (slow growing species). Eboni terdapat dalam daftar jenis yang dilindungi (PP No 7 Tahun 1999); dan pada skala internasional (IUCN), statusnya tergolong rentan (vulnerable) untuk jenis D.celebica. Eboni juga diusulkan dalam Apendix II CITES yang artinya perdagangannya diatur
56
Asosiasi Eboni dengan Jenis-jenis…… Anita Mayasari, Julianus Kinho & Ady Suryawan
dalam skala internasional.
Tidak hanya secara regulasi, tetapi juga
seharusnya ada upaya konservasi eboni secara ex situ maupun in situ. Eboni dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah mulai dari tanah berkapur, tanah berpasir, tanah liat, dan tanah berbatu yang bersifat permeabel, pada ketinggian tempat tumbuh 50-400 m dpl namun dapat mencapai 700 m dpl dengan pertumbuhan yang kurang baik. Eboni dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan curah hujan tahunan 1.230 mm di wilayah Tomini (Sulawesi Tengah) dan daerah bermusim dengan curah hujan tahunan 1.700 mm (Parigi) sampai 2.400-2.750 mm (Malili, Mamuju, dan Poso) (Wihermanto, 2003).
Dengan demikian, budidaya eboni
sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan seluruh aspek persyaratan tumbuhnya di alam, termasuk interaksinya dengan jenis tumbuhan lainnya. Dalam suatu komunitas tumbuhan hutan terjadi interaksi antar spesies anggota populasi (Indriyanto, 2006).
Misalnya ada spesies
tumbuhan yang harus hidup menumpang pada tumbuhan lain, ada pula yang membutuhkan naungan dari tumbuhan lain untuk hidup, sehingga mereka dapat tumbuh berdampingan membentuk sebuah komunitas hutan. Hubungan ketertarikan untuk tumbuh bersama ini dikenal dengan asosiasi (Kurniawan, 2008), yang dapat bersifat positif, negatif, atau tidak berasosiasi. Asosiasi positif terjadi bila suatu jenis tumbuhan hadir bersamaan dengan jenis tumbuhan lainnya; atau pasangan jenis terjadi lebih sering daripada yang diharapkan. Asosiasi negatif terjadi bila suatu jenis tumbuhan tidak hadir bersamaan dengan jenis tumbuhan lainnya; atau pasangan jenis terjadi kurang daripada yang diharapkan (Kurniawan, 2008). Informasi ini penting sebagai bahan pertimbangan dalam upaya untuk mengoptimalkan budidaya eboni. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asosiasi jenis eboni (Diospyros spp.) dengan pohon-pohon dominan di CA.Tangkoko pada ketinggian dibawah 500 m dpl dan diatas 500 m dpl. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari asosiasi antara eboni (Diospyros spp.) dengan pohon-pohon dominan di kawasan Cagar Alam Tangkoko.
57
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada tanggal 18 – 28 Agustus 2010. Lokasi penelitian di CA. Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara, dengan unit pengamatan dari hutan dataran rendah pada ketinggian < 500 m dpl dan hutan pegunungan rendah pada ketinggian > 500 m dpl. Unit sampling pertama (< 500 m dpl) berada di sekitar kawasan air terjun yang terletak pada 1250 9’-1250 10’LU dan 1031’ - 1032’BT dan unit sampling kedua (> 500 m dpl) terletak pada 1250 10’ 44” – 1250 10’ 50” LU dan 10 31’ 44” – 10 32’ 00” BT. B. Bahan dan Alat Bahan penelitian terdiri dari alkohol 70%, kertas koran, kapas dan tally sheet. Alat yang digunakan yaitu meteran roll, solatip, plastik trash bag, haga meter, clinometer, termohygrometer, soil pH tester, tali nylon besar dan kecil, tali rafia, gunting stek, camera, altimeter, peta kerja, GPS, parang, kompas, alat tulis menulis, papan lapangan dan peralatan penunjang lainnya. C. Metode Teknik pengambilan contoh dilakukan dengan metode kombinasi antara metode jalur dan garis berpetak (Kusmana, 1997 dan Indriyanto, 2006). Setiap unit sampling dibuat 5 jalur pengamatan yang memotong kontur dengan baseline searah garis kontur. Setiap jalur pengamatan lebarnya 41 m dengan asumsi terdapat petak pengamatan berukuran 20 x 20 m pada bagian kiri arah rintisan dan petak 20 x 20 m pada bagian kanan arah rintisan dengan melewati satu petak contoh di dalam jalur pengamatan, dan lebar jalur rintisan 1 m. Setiap jalur pengamatan terdiri atas 15 petak pengamatan berukuran 20 m x 20 m untuk mengukur vegetasi tingkat pohon (diameter ≥20 cm), yang di dalamnya terdapat sub petak pengamatan berukuran 10 m x 10 m untuk mengukur vegetasi tingkat tiang (diameter ≥10 - < 20 cm) yang diletakkan secara sistematis dengan jarak antar jalur 50 m. Jumlah total petak adalah 150 yang tersebar pada dua satuan contoh seluas 6 ha.
58
Asosiasi Eboni dengan Jenis-jenis…… Anita Mayasari, Julianus Kinho & Ady Suryawan
Desain petak pengamatan dalam unit sampling pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Base line Jalur 1
1
3
2
Jalur 2,
dst
1
5
4
3
2
7
6
11
9
8
6
5
4
s/d Jalur 5
dst
Ket : ……..
7
10
12
11
9
8
13
10
15
14
13
12
15
14
= Batasa jalur pengamatan = Arah rintisan = Jarak antar jalur (50 m) = Jarak antar petak (20 m) Gambar 1. Desain petak pengamatan dalam unit sampling
Desain petak pengamatan dan sub petak dalam jalur pengamatan pada lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 2.
59
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Arah Rintisan dengan lebar 1 m
Gambar 2. Desain petak dan sub petak pengamatan dalam setiap jalur pengamatan Keterangan : A
: plot pengamatan tingkat pohon (20 m x 20 m)
B
: plot pengamatan tingkat tiang (10 m x 10 m)
C
: plot pengamatan tingkat pancang (5 m x 5 m)
D
: plot pengamatan tingkat semai (2 m x 2 m)
1,2,3,4,….15 : no petak pengamatan
Analisis vegetasi diperoleh dengan menghitung nilai Kerapatan (K), Frekuensi (F), dan Dominansi (D). Selanjutnya, Indeks Nilai Penting (INP) dari setiap spesies diperoleh dari Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Dominansi Relatif (DR). Untuk menentukan derajat asosiasi dua jenis, digunakan metode Tabel Kontingensi 2x2 (Tabel 1). Tabel. 1. Tabel Kontingensi 2x2
Jenis A
Jenis B Ada
Tidak ada
Jumlah
Ada
a
b
a+b
Tidak ada
c
d
c+d
Jumlah
a+c
b+d
N=a+b+c+d
60
Asosiasi Eboni dengan Jenis-jenis…… Anita Mayasari, Julianus Kinho & Ady Suryawan
Keterangan: a: jumlah unit sampel yang mengandung spesies A dan spesies B, b: jumlah unit sampel yang mengandung spesies A saja, B tidak hadir, c: jumlah unit sampel yang mengandung spesies B saja, A tidak hadir, d: jumlah unit sampel yang tidak mengandung spesies A dan spesies B, N: jumlah unit sampel pengamatan.
Selanjutnya diuji dengan chi-square test (χ2) dan tingkat kekuatan asosiasi diuji dengan Indeks Ochiai (Indriyanto, 2006; Mulyaningsih dkk., 2008; Kurniawan, dkk., 2008), yaitu:
Semakin mendekati nilai 1, maka asosiasi akan semakin maksimum. Sebaliknya semakin mendekati nilai 0, maka asosiasi akan semakin minimum bahkan tidak ada hubungan. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada hutan dataran rendah dengan ketinggian < 500 m dpl
ditemukan sebanyak 7 (tujuh) jenis Diospyros yaitu Diospyros cauliflora Blume., Diospyros ebenum Koen., Diospyros khortalsiana Hiern., Diospyros malabarica (Desr.) Kostel., Diospyros maritima Blume., Diospyros minahassae Bakh., dan Diospyros pilosanthera Blanco. Lima jenis pohon dominan pada ketinggian < 500 m dpl ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis-jenis pohon dominan pada hutan dataran rendah (< 500 m dpl) No.
Nama Jenis
FR
KR
DR
INP (%)
1 Cananga odorata Hook.f.et Th
0,09
0,16
0,15
40,20
2 Homalium foetidum Benth.
0,02
0,02
0,06
18,79
3 Alstonia scholaris R. Br.
0,03
0,03
0,10
15,69
4 Palaquium obtusifolium Burk
0,04
0,04
0,02
10,51
5 Spathodea campanulata Beauv.
0,06
0,09
0,05
10,38
Keterangan: FR: Frekuensi Relatif, KR: Kerapatan Relatif, DR: Dominansi Relatif, INP: Indeks Nilai Penting
61
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Cananga odorata merupakan jenis dengan dominansi tertinggi. Hasil penelitian ini berbeda dengan Cendrawasih et al. (2005) dan Kurniawan (2008) yang mengatakan bahwa pada hutan dataran rendah CA. Tangkoko didominasi oleh Palaquium sp., dari suku Sapotaceae. C. odorata tumbuh dengan baik pada dataran rendah hingga 1200 m dpl, iklim panas, sinar matahari yang cukup dengan suhu 21-27oC, tanah berpasir dan cukup terbuka. Jenis ini berbunga sepanjang tahun dan buahnya yang berminyak sangat disukai oleh tupai, kelelawar, monyet dan burung-burung. Jenis dominan yang terakhir adalah S.campanulata. Jenis ini mudah ditemukan karena morfologi pohon yang mencolok dengan bunga berwarna oranye merah, keberadaannya cukup melimpah dan muncul hampir di seluruh petak pengamatan. Tumbuhan ini hidup mulai dari dataran rendah hingga 2.000 m dpl, toleran terhadap lingkungan yang ekstrim, termasuk fast growing species, berbunga selama 5 - 6 bulan, mulai menyebarkan biji selama 5 bulan setelah berbunga, penyebaran biji oleh angin (Steenis dkk, 2008). Tumbuhan ini berbiji banyak dan bijinya bersayap seperti selaput sehingga mudah disebarkan angin. Dari hasil uji chi-square (Tabel 3), D. cauliflora berasosiasi secara negatif dengan C. odorata. Jenis D. minahassae berasosiasi secara negatif dengan jenis C. odorata. Tingkat kekuatan asosiasi adalah asosiasi negatif, yaitu pasangan jenis terjadi bersama kurang daripada yang diharapkan. Berdasarkan pengamatan, pasangan jenis D. cauliflora dengan C. odorata ditemukan bersama-sama di 6 (enam) petak ukur. Pasangan jenis D. minahassae dengan C. odorata ditemukan bersama-sama di 2 (dua) petak ukur; sedangkan D. pilosanthera dengan C. odorata ditemukan bersamasama di 8 (delapan) petak ukur. Hasil perhitungan asosiasi antara eboni (Diospyros spp.) dengan lima jenis pohon dominan di kawasan CA.Tangkoko pada ketinggian < 500 m dpl ditampilkan pada tabel 3.
62
Asosiasi Eboni dengan Jenis-jenis…… Anita Mayasari, Julianus Kinho & Ady Suryawan
Tabel. 3. Hasil perhitungan asosiasi antara Diospyros spp., dengan jenisjenis pohon dominan pada ketinggian < 500 m dpl χ2 hitung
a
E(a)
Asosiasi
D.cauliflora dg C. odorata
6,81
6
10,48
D.cauliflora dg H. foetidum
0,41
1
1,71
D.cauliflora dg A.scholaris
1,97
1
2,89
D.cauliflora dg Palaquium sp.
0,12
4
4,55
D.cauliflora dg S.campanulata
2,00
3
5,30
D.ebenum dg C. odorata
0,29
1
1,35
D.ebenum dg H. foetidum
0,17
-
0,15
D.ebenum dg A.scholaris
0,62
1
0,52
D.ebenum dg Palaquium sp.
0,45
-
0,31
D.ebenum dg S.campanulata
0,68
-
0,40
D.khortalsiana dg C. odorata
2,15
-
0,68
D.khortalsiana dg H. foetidum
0,17
-
0,15
D.khortalsiana dg A.scholaris D.khortalsiana dg Palaquium sp. D.khortalsiana dg S.campanulata
0,34
-
0,25
0,34
1
0,62
0,08
1
0,81
D.malabarica dg C. odorata
0,29
1
1,35
D.malabarica dg H. foetidum
0,17
-
0,15
D.malabarica dg A.scholaris D.malabarica dg Palaquium sp.
0,34
-
0,25
0,45
-
0,31
ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan
Jenis
-
Nilai Indeks Asosiasi 0,20
-
0,09
-
0,07
-
0,21
-
0,14
-
0,10
-
0,00
+
0,16
-
0,00
-
0,00
-
0,00
-
0,00
-
0,00
+
0,14
+
0,13
-
0,10
-
0,00
-
0,00
-
0,00
Tipe asosiasi
63
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
χ2 hitung
a
E(a)
0,08
1
0,81
D.maritima dg C. odorata
1,67
1
2,03
D.maritima dg H. foetidum
0,35
-
0,29
D.maritima dg A.scholaris
0,70
-
1,27
D.maritima dg Palaquium sp.
0,91
-
0,61
D.maritima dg S.companulata
1,37
-
0,80
D.minahassae dg C. odorata
5,16
2
4,70
Jenis D.malabarica S.companulata
dg
Asosiasi Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan
Ditemukan Tidak D.minahassae dg H. foetidum 0,82 2 1,15 ditemukan Tidak D.minahassae dg A.scholaris 1,82 1,27 ditemukan D.minahassae dg Palaquium Tidak sp. 0,64 1 1,87 ditemukan D.minahassae dg Tidak S.companulata 1,51 1 2,42 ditemukan Tidak D.pilosanthera dg C. odorata 9,15 8 13,77 ditemukan Tidak D.pilosanthera dg H. foetidum 0,02 2 2,80 ditemukan Tidak D.pilosanthera dg A.scholaris 0,71 3 4,35 ditemukan D.pilosanthera dg Palaquium Tidak sp. 1,63 3 5,14 ditemukan D.pilosanthera dg Tidak S.companulata 3,65 3 6,36 ditemukan Keterangan: χ2 hitung: Chi square test, E(a): tingkat kekuatan asosiasi
Tipe asosiasi
Nilai Indeks Asosiasi
+
0,13
-
0,08
-
0,00
-
0,00
-
0,00
-
0,00
-
0,10
+
0,21
-
0,00
-
0,08
-
0,07
-
0,23
-
0,20
-
0,16
-
0,15
-
0,13
Tipe asosiasi positif jika nilai a > E (a) dan negatif jika a < E(a). Hubungan asosiasi antara jenis akan semakin kuat atau maksimum apabila nilai indeks asosiasi mendekati nilai 1 (Ludwig dan Reynold, 1988). Tabel 3 menunjukan bahwa pada ketinggian < 500 m dpl terdapat dua pasangan
64
Asosiasi Eboni dengan Jenis-jenis…… Anita Mayasari, Julianus Kinho & Ady Suryawan
yang berasosiasi yaitu D.cauliflora dengan C.odorata dan D.minahassae dengan C.odorata pada tingkat yang sangat rendah, sedangkan dengan pasangan jenis pohon dominan lainnya tidak berasosiasi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa D.cauliflora dan D.minahassae tidak menunjukan adanya toleransi untuk hidup bersama dengan pasangannya pada ketinggian < 500 m dpl karena tidak ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan khususnya dalam pembagian ruang hidup. MuellerDombois dan Ellenberg (1974); Barbour et al. (1999) menyatakan bahwa selain pengaruh interaksi pada suatu komunitas, setiap jenis tumbuhan saling memberi tempat hidup pada suatu area dan habitat yang sama. Perhitungan nilai indeks asosiasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar derajat asosiasi Diospyros spp., terhadap lima jenis pohon dominan berdasarkan ketinggian tempat tumbuh yang dibedakan (Tabel 4 dan Tabel 7). Tabel 4. Indeks asosiasi antara Diospyros spp. dengan jenis-jenis pohon dominan pada ketinggian < 500 m dpl No.
Indeks Asosiasi
Keterangan
Jumlah
Persentase
Kombinasi
(%)
1
1,00-0,75
Sangat Tinggi (ST)
0
0
2
0,74-0,49
Tinggi (T)
0
0
3
0,48-0,23
Rendah (R)
1
2,86
4
<0,22
Sangat Rendah (SR)
34
97,14
35
100
Jumlah
Pada ketinggiaan > 500 m dpl ditemukan tiga jenis Diospyros yaitu D.maritima Blume., D. minahassae Bakh., dan D.pilosanthera Blanco. Lima jenis pohon dominan pada ketinggian > 500 m dpl ditampilkan pada Tabel 5.
65
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Tabel 5. Jenis-jenis pohon dominan pada ketinggian > 500 m dpl No.
Jenis
FR
KR
DR
INP (%)
1
Siphonodon celastrinew Griff.
0,07
0,12
0,06
24,58
2
Homalium celebicum Koord.
0,06
0,08
0,09
22,94
3
Palaquium obtusifolium Burck.
0,05
0,04
0,12
21,32
4
Acalypha caturus Bl.
0,06
0,09
0,03
18,01
5
Spathodea campanulata Beauv.
0,04
0,08
0,04
16,32
Keterangan: FR: Frekuensi Relatif, KR: Kerapatan Relatif, DR: Dominansi Relatif, INP: Indeks Nilai Penting
Pada ketinggian diatas 500 m dpl jenis pohon yang paling mendominasi yaitu S.celastrinew dari famili Anonacea, sementara jenis pohon dominan yang terakhir yaitu S.campanulata dari famili Bignoniaceae. Hasil pengamatan di lapangan dan hasil analisis data menunjukan bahwa di kawasan CA.Tangkoko jenis C. odorata yang sebelumnya mendominasi pada ketinggian < 500 m dpl sudah tergantikan oleh jenis S. celastrinew. Hasil uji chi-square (Tabel 6) D. maritima tidak berasosiasi dengan pasangan jenis pohon dominan karena nilai a < E(a) dengan indeks asosiasi sangat rendah dengan < 0,22. Hal ini menunjukan bahwa D. Maritima tidak memiliki keterikatan dengan jenis pohon dominan pada ketinggian > 500 m dpl, artinya bahwa jenis pohon dominan yang terdapat pada daerah tersebut bukan merupakan pohon indikator tentang kehadiran atau keberadaan dari jenis D. Maritima. Jenis D. Minahassae tidak berasosiasi dengan Palaquium sp., dan berasosiasi negatif dengan S.celastrinew dan H.celebicum. Asosiasi positif yang terjadi yaitu dengan jenis A.caturus dan S.campanulata. Meskipun D.minahassae
berasosiasi positif dengan jenis A.caturus dan
S.campanulata, namun derajat asosiasinya sangat rendah sehingga D.minahassae tidak memiliki hubungan ketergantungan dengan salah satu jenis pohon dominan tertentu. Artinya bahwa pohon dominan yang terdapat di daerah ini bukan merupakan pohon indikator keberadaan atau kehadiran D. minahassae. Tercatat bahwa pasangan D.minahassae dengan S.celastrinew ditemukan bersama-sama di 12 petak ukur, pasangan
66
Asosiasi Eboni dengan Jenis-jenis…… Anita Mayasari, Julianus Kinho & Ady Suryawan
D.minahassae dengan H.celebicum ditemukan bersama-sama di 2 petak ukur. Pasangan D.minahassae dengan A.caturus ditemukan bersama-sama di 6 (enam) petak ukur dan pasangan D.minahassae dengan S. companulata ditemukan bersama-sama di 2 petak ukur. Jenis D.pilosanthera tidak berasosiasi dengan H.celebicum, P. obtusifolium dan S.campanulata.
S.celastrinew,
Asosiasi positif yang
terjadi yaitu dengan jenis A.caturus. Meskipun D.pilosanthera berasosiasi positif dengan jenis A.caturus, namun derajat asosiasinya sangat rendah sehingga dapat dikatakan bahwa jenis D. pilosanthera tidak memiliki hubungan ketergantungan dengan salah satu jenis pohon dominan tertentu di daerah ini. Artinya bahwa pohon dominan yang terdapat di daerah ini bukan
merupakan
pohon
indikator
keberadaan
atau
kehadiran
D.pilosanthera. Frekuensi relatif (FR) dari jenis S.celastrinew, H.celebicum dan P.obtusifolium lebih besar dari A.caturus namun demikian hanya A.caturus dari lima jenis pohon dominan lainnya yang terdapat pada ketinggian > 500 m dpl yang berasosiasi dengan eboni (D. pilosanthera). Tercatat bahwa D. pilosanthera dengan A. caturus ditemukan bersamasama di 2 petak ukur. Hal ini menunjukan bahwa pasangan jenis yang memiliki frekuensi tinggi tidak selalu menghasilkan asosiasi positif maupun asosiasi negatif dengan eboni (D. pilosanthera). Pada uji Indeks Ochiai Tabel 7, diperoleh kombinasi yang menunjukkan asosiasi dengan derajat asosiasi rendah dan sangat rendah. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tidak selalu pasangan jenis yang berasosiasi secara positif mempunyai nilai derajat asosiasi lebih besar dari yang berasosiasi secara negatif. Pasangan jenis yang berasosiasi secara negatif derajat indeks asosiasinya berada di kisaran rendah dan sangat rendah. Sedangkan pasangan jenis yang berasosiasi secara positif, derajat indeks asosiasinya berada di kisaran sangat rendah. Hal lain yang menarik disini yaitu bahwa D.maritima yang seharusnya tumbuh pada hutan pantai namun di lokasi ini ditemukan pada ketinggian > 500 m dpl. Hal ini diduga bahwa biji D.maritima ini dibawa oleh satwa, sebagaimana diketahui bahwa CA. Tangkoko merupakan rumah bagi sejumlah satwa endemik seperti Yaki
67
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
(Macaca nigra), Burung Taon (Aceros cassidix), Kuse (Aliurops ursinus) dan lain sebagainya. Tabel 6. Hasil perhitungan asosiasi antara Diospyros spp. dengan jenis-jenis pohon dominan pada ketinggian >500 mdpl Asosiasi Jenis
χ2 h
A
E(a) /Tidak
Tipe asosiasi
Nilai Indeks Asosiasi
D.maritima dg S. celastrinew
3,77
1
3.27
tidak
-
0,06
D.maritima dg H. celebicum D.maritima dg Palaquium sp. D.maritima dg A.caturus D.maritima dg S.companulata
1,03 0,55 2,57 2,37
2 2 1 0
3.28 2.92 2.88 1.53
tidak tidak tidak tidak
-
0,12 0,13 0,07 0,00
D.minahassae dg S. celastrinew
5,87
2
17.67
asosiasi
-
0,29
D.minahassae dg H.celebicum D.minahassae dg Palaquium sp. D.minahassae dg A.caturus D.minahassae dg S.campanulata
5,32 2,93 10,64
9 8 6
14.19 32.09 2.88
asosiasi tidak asosiasi
+
0,25 0,24 0,18
7,90
2
1.53
asosiasi
+
0,08
D.pilosanthera dg S. celastrinew
2,16
6
8.64
tidak
-
0,22
-
0,14 0,25 0,09
-
0,21
D.pilosanthera dg H.celebicum 3,53 3 6.10 tidak D.pilosanthera dg Palaquium sp. 0,20 6 6.80 tidak D.pilosanthera dg A.caturus 6,33 2 6.00 asosiasi D.pilosanthera dg S.companulata 0,12 4 4.55 tidak Keterangan: χ2 hitung: Chi square test, E(a): tingkat kekuatan asosiasi
Tabel 7. Indeks asosiasi antara Diospyros spp. dengan jenis-jenis pohon dominan pada ketinggian >500 mdpl No. 1 2 3 4
Indeks Asosiasi 1,00-0,75 0,74-0,49 0,48-0,23 <0,22 Jumlah
Keterangan Sangat Tinggi (ST) Tinggi (T) Rendah (R) Sangat Rendah (SR)
Jumlah Kombinasi 0 0 5 10 15
Persentase (%) 0 0 33,33 66,67 100
68
Asosiasi Eboni dengan Jenis-jenis…… Anita Mayasari, Julianus Kinho & Ady Suryawan
Hasil perhitungan asosiasi antara jenis Diospyros spp., dengan jenis pohon dominan di dua lokasi pengamatan menunjukkan peluang terjadinya asosiasi sangat kecil. Di hutan dataran rendah hanya terjadi 3 pasang asosiasi negatif dari sebanyak 35 pasangan jenis; di hutan pegunungan rendah terjadi 2 pasang asosiasi positif dan 3 pasang asosiasi negatif dari sebanyak 15 pasangan jenis. Sebagian besar pasangan jenis yang lain menunjukkan tidak adanya asosiasi (tidak ada hubungan). Schluter (1984) menyatakan bahwa asosiasi tidak jelas atau tidak ada hubungan mungkin dihasilkan oleh penyeimbangan kekuatan positif dan negatif (Mulyaningsih dkk., 2008). Hasil perhitungan indeks asosiasi semakin menguatkan perhitungan tabel kontingensi 2x2 bahwa peluang terjadinya asosiasi antara pasangan jenis Diospyros spp., dengan jenis pohon dominan lainnya dalam komunitas sangat kecil. Semakin mendekati nilai 1, maka asosiasi mendekati maksimal, sebaliknya semakin mendekati nilai 0, maka asosiasi akan semakin minimal hingga tidak ada hubungan. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasangan asosiasi (termasuk yang berasosiasi positif, asosiasi negatif maupun yang tidak berasosiasi) mempunyai derajat asosiasi yang sangat rendah. Artinya bahwa ada kecenderungan Diospyros spp., yang terdapat di kawasan CA.Tangkoko tidak memiliki ketergantungan atau hubungan timbal balik secara sparsial dengan jenis pohon dominan yang menunjukan adanya toleransi untuk hidup bersama pada area yang sama, khususnya dalam pembagian ruang hidup. Hal ini mungkin disebabkan oleh kelimpahan Diospyros spp., di kawasan CA.Tangkoko relatif rendah dibandingkan jenis yang lain. Eboni (Diospyros spp.) merupakan jenis pohon dengan tipe pertumbuhan yang lambat (low growing species) dan tingkat keberhasilan permudaan alaminya di alam rendah. Hal ini disebabkan karena eboni (Diospyros spp.) memiliki sifat semitoleran sehingga eboni (Diospyros spp.) pada tingkat semai membutuhkan naungan yang cukup atau tidak terlalu membutuhkan penyinaran matahari, namun kebutuhan akan penyinaran matahari akan meningkat seiring dengan pertumbuhannya sampai akhirnya
69
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
hanya akan bertahan hidup atau tumbuh pada tempat terbuka. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa semai eboni (Diospyros spp.) dengan ukuran tinggi kurang dari 20 cm banyak dijumpai dibawah tegakan induknya di kawasan CA.Tangkoko, namun yang berhasil tumbuh sampai pada tingkat pancang dan tiang sangat sedikit. Hal ini diduga karena kebutuhan akan penyinaran matahari kurang memadai karena terhalangi oleh penutupan tajuk yang cukup rapat. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Hendromono et al., (2008) bahwa jumlah vegetasi eboni tingkat pancang dan tiang di dalam kelompok pohon eboni sangat rendah diduga karena intensitas cahaya yang masuk dan menembus sampai ke lantai hutan sangat kurang. Menurut Allo et al., (1991) pertumbuhan dan perkembangan eboni (D.celebica) pada waktu anakan jumlahnya melimpah tetapi mulai berkurang apabila anakan ini tumbuh mendekati ukuran pancang. Santoso dan Sumardjito (1991) menyatakan bahwa pembebasan vertikal dan horizontal dapat mempercepat pertumbuhan tinggi anakan eboni (D.celebica) di alam, namun tidak ada informasi lebih lanjut mengenai perubahan intensitas cahaya setelah pembebasan tersebut. Sifat dasar eboni (D.celebica) mengenai tingkat kebutuhan cahaya yang berpengaruh terhadap keberhasilan regenerasi alaminya di alam, diduga berlaku juga untuk eboni jenis lainnya (Diospyros spp.). Populasi eboni (Diospyros spp.) di CA. Tangkoko pada ketinggian > 500 m dpl lebih tinggi dibandingkan pada ketinggian < 500 m dpl, walaupun dari segi kekayaan jenis pada ketinggian > 500 m dpl jumlah jenisnya lebih sedikit (5 jenis) sedangkan pada ketinggian < 500 m dpl sebanyak 8 (delapan) jenis eboni (Diospyros spp.). Hal ini di duga karena pada ketinggian < 500 m dpl tingkat kerapatan tajuknya lebih tinggi sehingga regenerasi eboni menjadi terhambat, sedangkan pada ketinggian > 500 m dpl tingkat kerapatan tajuknya lebih rendah sehingga regenerasi alami eboni lebih baik. IV.
KESIMPULAN Hasil
analisa
pasangan
asosiasi
menunjukan
kecenderungan
Diospyros spp., yang terdapat di kawasan ini tidak memiliki ketergantungan
70
Asosiasi Eboni dengan Jenis-jenis…… Anita Mayasari, Julianus Kinho & Ady Suryawan
atau hubungan timbal balik berdasarkan distribusi jenis secara sparsial dengan jenis pohon dominan yang menunjukan adanya toleransi untuk hidup bersama pada area yang sama, khususnya dalam pembagian ruang hidup. Tiga pasangan berasosiasi secara negatif di ketinggian < 500 m dpl yaitu jenis D.cauliflora, D.minahassae, dan D.pilosanthera dengan jenis C.odorata. Sedangkan pada ketinggian > 500 m dpl tiga pasangan jenis yang berasosiasi negatif yaitu jenis D.minahassae dengan S.celastrinew, D.minahassae dengan jenis H. celebicum dan D. pilosanthera dengan jenis A.caturus. Dua pasangan jenis yang berasosiasi secara positif yaitu D.minahassae dengan jenis A.caturus dan D.minahassae dengan jenis S.campanulata. Kesimpulan yang diperoleh yaitu jenis pohon dominan di CA Tangkoko tidak dapat digunakan sebagai pohon indikator tentang kehadiran atau keberadaan eboni (Diospyros spp.). DAFTAR PUSTAKA Allo, M.K dan M.K. Sallata, 1991. Asosiasi Jenis Vegetasi Di Cagar Alam Kalaena. Jurnal Penelitian Kehutanan Vol.V. No.2. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang, Ujung Pandang. Anonim, 2005. Atlas Kayu Indonesia: Jilid I. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian Pengembangan Kehutanan. Bogor. Barbour, B.M., J.K. Burk, and W.D. Pitts. 1999. Terrestrial Plant Ecology. The Benjamin/Cummings. New York. Cenderawasih, P., A.D.. Masikki dan I. Muslih. 2005. Mengenal BKSDA Sulut dan Konservasi. Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Utara. Manado Hendromono, dan M.K. Allo, 2008. Konservasi Sumberdaya Genetika Eboni Di Sulawesi Selatan. Info Hutan Vol. V No.2 : 177-187. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Kurniawan, A., N.K.E, Undaharta dan I.M.R. Pendit. 2008. Asosiasi Jenis-jenis Pohon Dominan di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara, Jurnal Biodiversitas Vol, 9 Nomor 3 p (199-203), Surakarta, Ludwig, J.A. and J.F. Reynold. 1988. Statistical Ecology, A Premier on Methods and Computing. John Wiley and Sons Inc. New York. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, S.A. Prawira, 1981. Atlas Kayu Indonesia: Jilid I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Mueller-Dombois, D. and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley and Sons Inc. New York. Santoso, B., dan Z.Sumardjito. 1991. Pengaruh Pembebasan Secara Mekanis Terhadap Pertumbuhan anakan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Ponda-Ponda, Mangkutana, Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan
71
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
5 (1) : 14-18. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Ujung Pandang. Steenis, C.G.G. J., dkk. 2008. Flora. Pradnya Paramita, Jakarta. Wihermanto, 2003. Dispersi Asosiasi dan Status Populasi Tumbuhan Terancam Punah di Zona Submontana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jurnal Biodiversitas Volume 5 Nomor 1 p (17-22), Surakarta.
72
Pembangunan Kebun Pangkas Jati…… Sugeng P., Hamdan A.A. & Mahfudz
PEMBANGUNAN KEBUN PANGKAS JATI SEBAGAI SALAH SATU SUMBER BENIH UNTUK MENDAPATKAN BIBIT UNGGUL GUNA MENDUKUNG KEBERHASILAN PROGRAM PENANAMAN The construction of the garden teak trim as one source of seed to get seeds in order to support the succes of planting Sugeng Pudjiono1, Hamdan Adma Adinugraha1 dan Mahfudz2 1
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, E-mail :
[email protected] 2 Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota manado
ABSTRACT The success of a planting one of which situated at the selection of superior seedlings. The goal of planting one billion trees (OBIT) one of which is the provision of the raw material wood processing industry. The use of seeds gives hope to the success of the objectives of the planting will be retrieved at the end of the cycle. To get the source of seeds, the seed sources need to be built, one of which is the prune. Teak research of test clones has been performed and produced the clones growing well. Of the best clones that made the cut as one of the preeminent source of Teak seed. Clones that will be developed is derived from test results of clones in Mount of Kidul as much as 5 clones and clone test in Wonogiri also 5 clones. Key Words: seeds, clones, clone test, the source of the seed, the crop.
ABSTRAK Keberhasilan suatu penanaman salah satunya terletak pada pemilihan bibit yang unggul. Tujuan penanaman satu milyar pohon (OBIT) salah satunya adalah penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu. Penggunaan bibit unggul memberikan harapan akan keberhasilan tujuan penanaman yang akan diperoleh pada akhir daur. Untuk mendapatkan sumber bibit unggul perlu dibangun sumber benih, salah satunya adalah kebun pangkas. Penelitian jati berupa uji klon telah dilakukan dan menghasilkan klon yang pertumbuhannya baik. Dari klon yang terbaik itu dibuatlah kebun pangkas sebagai salah satu sumber benih unggul Jati. Klon yang akan dikembangkan berasal dari hasil uji klon di Gunung Kidul sebanyak 5 klon dan dari uji klon di Wonogiri juga 5 klon. Kata kunci : bibit unggul, klon, uji klon, sumber benih, kebun pangkas.
73
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
I. PENDAHULUAN Program penanaman 1 milyar pohon dengan motto ”Satu Milyar pohon Indonesia untuk Dunia” atau ”One Billion Indonesian Trees for the World” merupakan salah satu upaya menumbuhkan budaya menanam di masyarakat. Program ini merupakan program kelanjutan serupa yang dilakukan pada tahun 2010. Realisasi Program Penanaman 1 Miliar Pohon tahun 2010 tercapai 1,7 milyar pohon, atau setara dengan 10.675.000 ton CO2. (Kemenhut RI, 2011). Untuk memenuhi kebutuhan bibit dalam rangka penanaman tersebut, perlu dilakukan upaya dalam hal penyediaan bibit. Tujuan One Billion Indonesian Trees for the World (OBIT) salah satunya adalah untuk penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu. Untuk itu maka bibit yang diproduksi seharusnya menggunakan bibit yang berkualitas ataupun bibit unggul.
Penggunaan bibit yang berkualitas maupun bibit unggul
diharapkan akan diperoleh hasil pada akhir daur sesuai harapan. Untuk mendapatkan bibit yang unggul salah satunya adalah pembangunan sumber benih. Sumber benih yang akan dibangun akan menentukan kualitas bibit yang dihasilkan. Salah satu jenis bibit yang akan digunakan dalam program 1 Milyar pohon adalah bibit Jati.
Kebutuhan bibit Jati yang diperlukan oleh
masyarakat sangat tinggi untuk jenis ini. Untuk menanggulangi keperluan bibit unggul jenis Jati maka perlu dibangun sumber benih. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta telah melakukan penelitian untuk mendapatkan klon Jati yang unggul. Dari klon unggul tersebut nantinya akan dibangun kebun pangkas sebagai salah satu sumber benih yang menghasilkan bibit unggul. II. UJI KLON JATI DAN PEMANFAATANNYA Untuk mendapatkan klon yang unggul untuk dikembangkan di suatu tempat maka dilakukan uji klon. BBPBPTH telah dan sedang melakukan uji klon yang dimulai pada tahun 2002.
Uji klon dilakukan di Watusipat
Gunung Kidul dan Wonogiri Jawa Tengah.
Dari serangkaian kegiatan
74
Pembangunan Kebun Pangkas Jati…… Sugeng P., Hamdan A.A. & Mahfudz
penelitian yang dilakukan telah diperoleh informasi dari data-data pengamatan untuk mendapatkan klon yang terbaik dari uji klon tersebut. Uji klon di Watusipat Gunung Kidul dilakukan dengan menggunakan klon awal sebanyak 31 klon. Dari klon tersebut diperoleh 5 klon yang menempati urutan teratas untuk dikembangkan sebagai materi genetik untuk pembangunan kebun pangkas. Demikian pula dari uji klon yang terdapat di Wonogiri, dari 20 klon yang diuji diambil 5 klon dengan pertumbuhan terbaik untuk diambil materi genetiknya sebagai sumber materi genetik untuk pembangunan kebun pangkas Jati. Data dan informasi pada umur 5 tahun yang diperoleh, kemudian diolah dihasilkan rerata pertumbuhan tinggi dan diameter serta volume untuk masing-masing uji klon di Watusipat Gunung Kidul dan Wonogiri Jawa Tengah seperti yang ditampilkan dari gambar 1 sampai 6 dibawah ini (Pudjiono,
2007).
Volume Jati diperoleh dengan menghitung volume
batang kayu Jati menggunakan angka bentuk 0,64 (Arsa, 2008).
Gambar 1. Grafik pertumbuhan tinggi klon umur 5 tahun di Watusipat Gunung Kidul
75
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Gambar 2. Grafik pertumbuhan diameter klon umur 5 tahun di Watusipat Gunung Kidul
Gambar 3. Grafik pertumbuhan diameter klon umur 5 tahun di Watusipat Gunung Kidul
Gambar 4. Grafik pertumbuhan tinggi klon umur 5 tahun di Wonogiri Jawa Tengah
76
Pembangunan Kebun Pangkas Jati…… Sugeng P., Hamdan A.A. & Mahfudz
Gambar 5. Grafik pertumbuhan diameter klon umur 5 tahun di Wonogiri Jawa Tengah
Gambar 6. Grafik volume klon umur 5 tahun di Wonogiri Jawa Tengah
III. PENGEMBANGAN KLON UNGGUL Dari serangkaian data dan informasi yang diperoleh dari uji klon yang dilakukan, ada kecenderungan bahwa pertumbuhan klon-klon yang diuji menunjukkan pertumbuhan yang sudah stabil. Jadi 5 klon yang pertumbuhannya terbaik dapat digunakan sebagai materi klon untuk dikembangkan dalam rangka pembangunan kebun pangkas jati. Klon 5 terbaik dari Watusipat Gunung Kidul adalah klon no 1, 2, 10, 28 dan 31. Sedangkan Lima klon terbaik dari Wonogiri Jawa Tengah adalah klon 6,7,9,11 dan 18.
77
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
Tahapan pertama adalah pengambilan materi genetik dari uji klon yaitu pengambilan mata tunas dari klon yang telah diseleksi yang terbaik sebanyak 5 klon dari masing-masing lokasi uji klon. Tahapan ini adalah tahapan permulaan untuk mengembangkan klon unggul dengan cara perbanyakan vegetatif yaitu okulasi. Hasil okulasi ini akan dikembangkan lebih banyak lagi, masing-masing klon ditargetkan untuk mendapatkan 100 tanaman hasil perbanyakan okulasi sebagai materi genetik untuk pembangunan kebun pangkas Jati ini. Dari 2 lokasi uji dimana masingmasing akan dikembangkan 5 klon terbaiknya dan masing-masing klon 100 ramet maka diharapkan akan menghasilkan sebanyak 1000 tanaman untuk bahan tanaman pembangunan kebun pangkas Jati. Dengan jarak tanam masing-masing 1 meter x 1 meter maka diharapkan akan terbangun kebun pangkas jati seluas 1000 m2 atau 0,1 ha. Selanjutnya adalah produksi yang diharapkan dari kebun pangkas yang akan dibangun berupa pucuk/tunas jati dari tanaman hasil okulasi tersebut sebagai materi tanaman stek pucuk. Kapasitas produksi kebun pangkas Jati seluas 0,1 ha dengan 1000 ramet akan dihasilkan tunas sebanyak 160.000 dengan persentase keberhasilan 75% maka diharapkan akan menghasilkan plances yang siap tanam sebanyak 120.000 plances stek pucuk setiap tahunnya (Puslitbang Perhutani Cepu, 2007). Bila setiap hektarnya diperlukan bibit Jati 1000 plances maka dengan luasan kebun Pangkas Jati 0,1 ha akan mampu mensuplai bibit unggul Jati untuk 120 hektar. Langkah kecil ini akan menjadikan langkah-langkah berikutnya yang lebih baik lagi karena kebutuhan bibit unggul adalah suatu keharusan yang harus dilakukan untuk mendapatkan
tanaman-tanaman
dikemudian
hari
menghasilkan
produktivitas yang tinggi untuk mengoptimalkan luas hutan yang ada dengan hasil yang maksimal. IV. PENUTUP Keberhasilan suatu penanaman merupakan gabungan dari beberapa aspek kegiatan yang berkaitan satu sama lainnya. Pembangunan kebun pangkas jati sebagai salah satu sumber benih unggul merupakan salah satu upaya
untuk
mendapatkan
keberhasilan
penanaman
yang
tinggi
78
Pembangunan Kebun Pangkas Jati…… Sugeng P., Hamdan A.A. & Mahfudz
produktivitasnya sebagai salah satu solusi untuk mewujudkan tujuan OBIT ini yaitu untuk penyediaan bahan baku industri pengolahan kayu yang berkualitas. DAFTAR PUSTAKA Arsa, R.D. 2008. Pendugaan Volume Batang Bebas Cabang Pohon Jati Menggunakan Persamaan Taper di KPH Kendal Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Kemenhut. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P. 61/Menhut-II/2011. Tentang Panduan Penanaman Satu Milyar Pohon Tahun 2011. Berita Negara Republik Indonesia tahun 2011 No. 529. 22 Agustus 2011. Jakarta. Kemenhut. 2011. Sukseskan Pananaman 1 Milyar Pohon tahun 2011. Siaran Pers No.540/PHM-1/2011. 25 Nopember 2011.< http://www.dephut.go.id > (Diakses tanggal 1 Pebruari 2012) Perum Perhutani. 2007. Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengelolaan Kebun Pangkas dan Pembuatan Bibit Stek Pucuk Jati Plus Perhutani (JPP). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perum Perhutani Cepu. Pudjiono, S. 2007. Evaluasi Uji Klon Jati (Tectona grandis). Laporan Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2007. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Tidak dipublikasikan.
79
Info BPK Manado Volume 2 No 1, Juni 2012
80
INFO BPK MANADO
ISSN
Vol. 2 No. 1, Juli Tahun 2012
INFO BPK Manado memuat karya tulis ilmiah dari hasil penelitian, karya ilmiah atau pandangan ilmiah bidang kehutanan. Majalah ini terbit secara berkala dua kali dalam setahun. Susunan Dewan Redaksi ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado No. SK. 15/VIII/BPKMND/DIPA/2012 Tanggal 27 Januari 2012 Penanggung Jawab
: Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado
Dewan Redaksi Ketua Merangkap anggota : Dr. Ir. J.S. Tasirin, M.Sc. Anggota : 1. Dr. Ir. Martina A. Langi, M.Sc. 2. Ir. H. Walangitan, MP 3. Kristian Mairi, S.Hut, M.Sc.
Sekretariat Redaksi Ketua merangkap anggota : Kepala Seksi Data, Informasi dan Kerjasama Anggota : 1. Lulus Turbianti, S.Hut 2. M. Farid Fahmi, S.Kom
Diterbitkan oleh: Balai Penelitian Kehutanan Manado Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Alamat Telepon Email Website
: Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Manado 95119 : (0431) 3666683 :
[email protected] : www.bpk-manado.litbang.dephut.go.id
Percetakan
: IPB Press
PETUNJUK PENULISAN NASKAH “INFO BPK MANADO” 1. Judul harus jelas dan menggambarkan isi tulisan, ringkas tidak lebih dari dua baris (tidak lebih dari 13 kata), ditulis dengan huruf Times New Roman font 12 dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. 2. Naskah yang dikirim terdiri dari 10-20 halaman, 2 spasi, ukuran kertas A4 dan font ukuran 12. 3. Nama penulis ditulis dibawah judul dan dicantumkan tanpa gelar, dicantumkan pula alamat instansi, No. Telp/faks serta alamat email penulis. 4. Abstrak tidak lebih dari 200 kata, berisi intisari secara menyeluruh mengenai permasalahan, tujuan, metodologi dan hasil yang dicapai, dapat merangsang pembaca untuk mendapat informasi lebih lanjut, diketik dengan font 10 spasi satu. Ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. 5. kata kunci ditulis di bawah abstrak dan maksimal lima kata kunci diketik miring dengan jarak satu spasi. 6. Tubuh naskah, diatur dalam Bab dan Sub bab secara konsisten sesuai dengan kebutuhan. Semua nomor ditulis rata di batas kiri tulisan, seperti: I,II,III, dst untuk Bab A, B, C, dst untuk Sub Bab 1, 2, 3, dst untuk Sub subbab a, b, c, dst untuk Sub sub subbab 7. Sistematik penulisan adalah sebagai berikut: Judul : Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Abstrak : Bahasa Inggris Abstrak : Bahasa Indonesia I. Pendahuluan II. Bahan dan Metode III. Hasil dan Pembahasan IV. Kesimpulan dan Saran Daftar Pustaka 8. Tabel, gambar, grafik dan sejenisnya diberi nomor, judul dan keterangan. Penomoran tabel dan gambar digunakan angka internasional secara berurutan. Hanya kata pertama dari nama tabel dan gambar dimulai dengan huruf besar. Dibawah tabel atau gambar dicantumkan sumber data atau gambar. 9. Daftar pustaka merupakan referensi yang dirujuk dalam naskah dan disajikan secara alphabetik nama belakang penulis pertama. Pustaka yang dirujuk diusahakan terbitan paling lama sepuluh tahun terakhir. Pustaka dapat berasal antara lain dari buku, jurnal, prosiding dan internet.