INDEKS SINKRONISASI PELEPASAN N-PROTEIN DAN ENERGI DALAM RUMEN SEBAGAI BASIS FORMULASI RANSUM TERNAK RUMINANSIA DENGAN BAHAN LOKAL
HERMON
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Indeks Sinkronisasi Pelepasan NProtein dan Energi sebagai Basis Formulasi Ransum Ternak Ruminansia dengan Bahan Lokal adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini
Bogor, Januari 2009
Hermon NIM D061050061
3
ABSTRACT HERMON. Synchrony Index of Releasing N-Protein and Energy in the Rumen as a Basis of Ruminant Diet Formulation with Local Feedstuffs. Under direction of SURYAHADI, KOMANG G. WIRYAWAN, and SOEDARMADI H. The experiments were conducted to prove the diet formulation technique which was based on the synchronization of releasing N-protein and energy in addition to energy and protein requrement in diet for efficiency of rumen microbial N synthesis and animal production. Exp. 1. Nylon bag technique was adopted to determine ruminal characteristic of protein and organic matter (OM) degradation of feedstuffs (forage and concentrate diet) for which the synchrony index of N-protein and OM fermented in the rumen might be determined based on synchronization ratio of 20 (I20), 25 (I25), and 30 g N/kg OM (I30) fermented in the rumen. Exp. 2. By using randomized block design, twelve local cattle were arranged into four groups according to average body weight of the animals. Each group was fed three types of diet that was different in synchronization ratio of supplying N-protein and fermented OM in rumen, namely 20 g N/kg OM (R20); 25 g N /kg OM (R25); and 30 g N /kg MO (R30). The diets had iso-energy and iso-protein contents and had the same synchrony index. Exp 3. By using randomized block design with a factorial of 3 x 2. The first factor was three diferent protein levels i.e. 10, 12, and 14 %; the second factor was two deferent levels of TDN (total digestible nutrients) (65 and 70 %). Eighteen local cattles were arranged into three groups according to average body weight of the animals. Each group was fed six types of diet that was different in level of CP or TDN. The diets had the same synchrony index, namely 0,560. The results of exp.1; Feedstuff of grass and concentrate of energy sources had high synchrony index in I20 whereas legumes and concentrate of protein sources had high synchrony index in I30. Exp. 2 showed that the type of diet had no effect (P>0.05) on intake and digestibility of nutrients, N retention, average daily gain (ADG), and feed efficiency. But R20 had higher allantoin concentration in the urine than that of R25 and R30 (P<0.01). Exp. 3 showed that except the crude fat digestion, there was no interaction between protein and energy on the other parameters (P>0.05). Compared to diet with 70% TDN, diet with 65% TDN produced higher rumen microbial N, consumption and digestion of nutrients, and N retention (P<0.05). Diet with protein level of 12% tend to have better allantoin concentration in the urine, consumption and digestion of nutrients, N retention and blood urea nitrogen (BUN) than that of either 10% or 14%. It can be concluded that the diet having 65% TDN and 12% protein with synchrony index of 0.560 in the synchronization ratio of 20 g N/kg OM fermented in the rumen will generate more efficient N synthesis of rumen microbes and average daily gain of local cattle. Keywords : synchrony index, degradation, N retention, intake of nutrients, digestibity of nutrients
4
RINGKASAN HERMON. Indeks Sinkronisasi Pelepasan N-Protein dan Energi dalam Rumen sebagai Basis FormulasiRansum Ternak Ruminansia dengan Bahan Lokal. Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G. WIRYAWAN,dan SOEDARMADI H Berdasarkan asumsi para ahli dari negara subtropis bahwa nisbah yang optimal sinkronisasi degradasi protein dan bahan organik (BO) sebesar 25 g N/kg BO terfermentasi dalam rumen akan dihasilkan efisiensi sintesis N mikroba rumen, atau dikategorikan mempunyai nilai indeks sinkronisasi 1. Perbedaan jenis dan komposisi kimia bahan pakan dengan di Indonesia dan di daerah tropis lainnya diduga akan berbeda pula tingkat dan laju degradasi protein dan BO selanjutnya akan berbeda pula nisbah sinkronisasi kedua nutrien tersebut. Penggunaan indeks sinkronisasi selain kebutuhan energi dan protein dalam memformulasi ransum ternak ruminasia diharapkan akan dihasilkan efisiensi sintesis N mikroba dan produksi ternak yang optimal. Penelitian ini dilakukan tiga tahap. Tahap I, Melalui tehnik in sacco ditentukan karakteristik degradasi protein dan BO bahan pakan kelompok hijauan rumput, leguminosa, konsentrat sumber energi, dan konsentrat sumber protein. Selanjutnya dapat dihitung “ indeks sinkronisasi” bahan pakan tersebut pada nisbah 20 g N/kg BO (I20), 25 g N/kg BO (I25), dan pada nisbah 30 g N/kg BO (I30). Tahap II, Sesuai dengan rancangan acak kelompok (RAK), tiga macam ransum yang berbeda nisbah sinkronisasinya yakni 20 g N/kg BO (R20), 25 g N/kg BO (R25), dan 30 g N/kg BO (R30) yang disusun dari bahan pakan yang sama tetapi berbeda indeks sinkronisasinya pada I20, I25, dan I30. Ketiga ransum tersebut diberikan kepada empat kelompok sapi lokal dan dilihat pengaruhnya. Tahap III; Menggunakan RAK pola faktorial 3 x 2. Faktor pertama adalah protein yang terdiri dari tiga level protein yakni 10, 12, dan 14 %, dan faktor kedua adalah total didestible nutrients (TDN) dengan dua level TDN yakni 65 dan 70%. Dengan demikian diperoleh enam macam ransum yang berbeda level protein atau TDN satu sama lainnya. Keenam ransum diberikan kepada tiga kelompok sapi lokal dan dilihat pengaruhnya. Indeks sinkronisasi ransum tersebut relatif sama (0,560) pada nisbah sinkronisasi 20 g N/BO (nisbah optimal hasil penelitian tahap II). Hasil Tahap I; Hijauan rumput dan konsentrat sumber energi mempunyai indeks sinkronisasi yang tinggi pada I20, yakni masing-masing berkisar 0.538 – 0.918 dan 0.211 – 0.660; sedangkan leguminosa dan konsentrat sumber protein mempunyai indeks sinkronisasi yang tinggi pada I30 yakni berkisar -0.243 – 0.840 dan -0.098 – 0.580. Tahap II; R20 memproduksi kadar allantoin dalam urin sangat nyata lebih tinggi (120.46 mg/100 ml, P<0.01) dibandingkan dengan R25 (80.62 mg/100 ml) dan R30 (92.87 mg/100ml), serta cenderung memberikan pertambahan bobot badan (PBB) lebih tinggi (509.89 g/ekor/hari) dibandingkan dengan R2 (348.21 g/ekor/hari) dan R3 (437.50 g/eko/hari). Tahap III; ransum dengan 65% TDN menghasilkan produksi N mikroba (16.27 g N/hari), konsumsi dan kecernaan nutrien dan retensi N (14.93%) lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan ransum dengan 70% TDN. Level protein
5
ransum (10, 12, dan 14%) berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap parameter tersebut, tetapi ransum dengan 12% protein cenderung menghasilkan kadar allantoin dalam urin, kon-sumsi dan kecernaan nutrien, retensi N, dan blood urea nitrogen (BUN) terbaik. Ransum dengan 12 % protein dan 65 % TDN serta indek sinkronisasinya 0.560 pada nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO menghasilkan efisiensi sintesis N mikroba dan pertambahan bobot badan sapi lokal yang optimal. Kata kunci : indeks sinkronisasi, degradasi, retensi N, konsumsi nutrien, kecernaan nutrien
6
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
7
INDEKS SINKRONISASI PELEPASAN N-PROTEIN DAN ENERGI DALAM RUMEN SEBAGAI BASIS FORMULASI RANSUM TERNAK RUMINASIA DENGAN BAHAN LOKAL
HERMON
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
8
Penguji diluar komisi pembimbing : 1. Penguji pada ujian tertutup : Prof.Dr.Ir. Toto Toharmat, MAgr.Sc 2. Penguji pada ujian terbuka : Dr.Ir. Kartiarso, M.Sc Dr.Ir. Listyani Wijayanti
9
Judul Disertasi : Indeks Sinkronisasi Pelepasan N-Protein dan Energi dalam Rumen sebagai Basis Formulasi Ransum Ternak Ruminansia Dengan Bahan Lokal Nama : Hermon NIM : D061050061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Suryahadi, DEA. Ketua
Prof. Dr.Ir. Soedarmadi H, MSc. Anggota
Dr.Ir. Komang G. Wiryawan Anggota
Mengetahui
Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dr.Ir. Idat G. Permana, MSc.Agr
Tanggal Ujian : 19 Desember 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus :
10
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penelitian dan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan sebagai persyaratan meraih gelar doktor pada Program Studi Ilmu Ternak di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Indeks Sinkronisasi Pelepasan N-Protein dan Energi dalam Rumen sebagai Basis Formulasi Ransum Ternak Ruminansia dengan Bahan Lokal; yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2006 sampai dengan 28 Januari 2008. Terimakasih disampaikan kepada Bapak Rektor Universitas Andalas dan Bapak Dekan Fakultas Peternakan Universitas Andalas yang telah memberikan izin tugas belajar kepada penulis. Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Suryahadi, DEA. selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Komang G. Wiryawan dan Bapak Prof. Dr. Soedarmadi H, MSc. selaku anggota komisi pembimbing yang dengan tulus ikhlas dan penuh keakraban dalam membimbing dan memberi petunjuk kepada penulis. Terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada yang terhormat Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Ilmu Ternak yang telah berkenan menerima penulis untuk mengikuti pro-gram S3 di Institut Pertanian Bogor. Demikian pula kepada Pengelola Beasiswa Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Jenderal Pendi-dikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah berkenan memberikan beasiswa. Terimakasih penulis sampaikan kepada para Dosen yang telah membe-rikan ilmu yang berarti dalam memperluas wawasan keilmuan, kepada teknisi dan karyawan di lingkungan IPB yang telah membantu sehingga proses belajar dan penelitian berjalan lancar. Demikian pula kepada para mahasiswa dan tehnisi La-boratorium Nutrisi Ternak Ruminansia Fakultas Peternakan Universitas Andalas yang banyak membantu penulis dilapangan. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberi bantuan biaya penelitian ini melalui dana penelitian Hibah Bersaing.
11
Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada istriku tercinta Afriyullatiza dan anaku tersayang Wanda Primaria SSi, Runi Rahmawati dan Hana Raissya yang telah banyak berkorbandan selalu memberikan dukungan doa, semoga
pe-ngorbanan
kalian menjadi pemacu untuk mencapai kebahagiaan kita bersama dunia dan akhirat. Kepada yang terhormat ayahanda H.Yoebhar St. Rajo Endah (alm) dan ibunda tercinta Hj.Lainar, dengan tetesan air mata penulis haturkan banyak terimakasih atas didikan dan doa yang selalu engkau panjatkan serta selalu membukakan pintu maaf. Penulis menyadari betapa selama ini belum banyak memberikan balas budi yang telah engkau berikan selama ini, hanya ucapan doa yang tulus yang bisa penulis berikan, semoga amal dan budi baik ayahanda dan ibunda tercinta diterima oleh Alloh SWT. Penulis berharap semoga amal dan budi baik dari semua pihak yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dan pahala yang berlimbah dari Alloh SWT, amiin. Akhir kata semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pemerhati dan praktisi peternakan.
Bogor, Januari 2009
Hermon
12
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bandung Jawa Barat pada tanggal 24 Juli 1957. Merupakan anak ke enam dari sepuluh bersaudara. Ayah bernama H. Yoebhar St. Rajo Endah (alm) dan Ibu bernama Hj. Lainar. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Banjarsari Bandung pada tahun 1970, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri II Bandung pada tahun 1973, dan sekolah menengah atas di SMA Negeri IV Bandung pada tahun 1976. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Peternakan (Ir) pada tahun 1983 di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Pada tahun 1988 penulis mengikuti pendidikan pascasarjana di Obihiro University of Agriculture and Veterinary Medicine – Obihiro Japan, dan memperoleh gelar Master of Agiculture (M.Agr) pada tahun 1990. Melalui ikatan dinas khusus (TIDK) sejak tahun 1984 penulis diterima bekerja sebagai dosen pada Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang, dan terhitung semenjak tahun 2005 penulis mengikuti program Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak – Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menikah dengan Afriyullatiza pada tahun 1984 dan dikaruniai tiga orang putri Wanda Primaria SSi, Runi Rahmawati, dan Hana Raissya.
Bogor, Januari 2009 Penulis,
Hermon
13
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................. Manfaat Penelitian ................................................................................
1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Sintesis N Mikroba dalam Rumen ........................................................ Metabolisme Protein dalam Rumen ...................................................... Nitrogen yang Dibutuhkan Mikroba Rumen ........................................ Kebutuhan Protein dan Energi Mikroba Rumen ................................... Efisiensi Sintesis N Mikroba Rumen ................................................... Sinkronisasi Pelepasan N-Protein dan Energi Makanan dalam rumen.. Retensi Nitrogen .................................................................................... Pertambahan Bobot Badan (PBB) ......................................................... Kebutuhan Energi dan Protein Ternak Sapi .......................................... Sapi Pesisir di Sumatera Barat ..............................................................
5 10 13 15 18 20 23 25 25 28
BAHAN DAN METODE Tahap I : Penentuan Koefisien dan Indeks Sinkronisasi Degradasi Protein dan BO Bahan Pakan dalam Rumen ................................................ Bahan Pakan ......................................................................................... Hewan Percobaan ................................................................................. Prosedur Inkubasi .................................................................................
30 30 31 31
Tahap II : Penentuan Nisbah Optimum Sinkronisasi Degradasi protein dan BO dalam Rumen .....................................................................
33
Tahap III : Kandungan Energi dan Protein dalam Ransum Berbasis Sinkronisasi Degradasi Protein dan BO Ransum dalam Rumen Sapi Lokal ..... 35 Waktu dan Tempat Penelitian ..............................................................
41
HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Koefisien dan Indeks Sinkronisasi Degradasi Protein dan BO Bahan Pakan dalam Rumen Koefisien Degradasi Protein dan BO Bahan Pakan dalam Rumen ...... Indeks Sinkronisasi Degradasi Protein dan BO Bahan Pakan ..............
42 45
14
Penentuan Nisbah Optimum Sinkronisasi Degradasi protein dan BO dalam Rumen Profil Cairan Rumen dan Sintesis N Mikroba Rumen ......................... Konsumsi dan Kecernaan serta Pertambahan Bobot Badan ...............
49 53
Kandungan Energi dan Protein dalam Ransum Berbasis Sinkronisasi Degradasi Protein dan BO Ransum dalam Rumen Sapi Lokal Profil Cairan Rumen ........................................................................... Sintesis N Mikroba Rumen ................................................................. Konsumsi Nutrien ............................................................................... Kecernaan Nutrien .............................................................................. Pertumbuhan Sapi ...............................................................................
55 59 61 63 65
PEMBAHASAN UMUM .............................................................................
69
SIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................
73
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... LAMPIRAN ............................................................................................
74 82
15
DAFTAR TABEL Halaman 1
Pengaruh dilution rate terhadap produksi N dan efisiensi mikroba ..........
2
Rataan bobot badan sapi Pesisir Sumatera Barat (kg) ................................ 28
3
Komposisi kimia (%) bahan pakan hijauan dan konsentrat yang dievaluasi secara in sacco..........................................................................
Komposisi kimia (%) dan indeks sinkronisasi bahan pakan ransum penelitian ....................................................................................... 5 Komposisi pakan dan kimia (%) serta indeks sinkronisasi ransum penelitian .......................................................................................
9
31
4
6
34 34
Komposisi pakan dan kimia (%) serta indeks sinkronisasi ransum penelitian .......................................................................................
36
Rataan koefisien degradasi protein dan bahan organik pakan dalam rumen ....................................................................................
42
Rataan indeks sinkronisasi dan penyediaan g N/kg BO terfermentasi per jam bahan pakan dalam rumen ............................................................
46
Profil cairan rumen dan allantoin urin sapi yang diberi ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO dalam rumen ......
49
10 Konsumsi dan kecernaan nutrien serta pertumbuhan sapi yang diberi ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO dalam rumen ........................................................................................
53
11 Profil cairan rumen sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein .....................................................
56
12 Kadar allantoin dan sintesis N mikroba rumen sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein ...................
60
13 Konsumsi nutrien ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein ......................................................................................
61
14 Kecernaan nutrien ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein ......................................................................................
64
15 Retensi N, PBB, efisiensi ransum, dan PER ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein ........................................
66
7 8 9
16
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Ilustrasi populer mengenai saling ketergantungan fermentasi dan produksi protein mikroba rumen ...............................................................
8
2
Proteolisis dalam rumen dan proses produk akhir fermentasi ...................
12
3
Sapi Pesisir betina berfistula rumen ..........................................................
28
4 Bagan alir tahap penelitian ........................................................................
30
5 Kadar NH3 cairan rumen sapi yang diberi ransum dengan nisbah 20, 25, dan 30 g N/kg BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan .........
50
6 Kadar VFA cairan rumen sapi yang diberi ransum dengan nisbah 20, 25, dan 30 g N/kg BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan .........
51
7 pH cairan rumen sapi yang diberi ransum dengan nisbah 20, 25, dan 30 g N/kg BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan .........
52
NH3 cairan rumen sapi dengan ransum R1 = 10% PK, 65% TDN; R2 = 10%PK, 70%TDN; R3 = 12%PK, 65%TDN; R4 = 12%PK, 70%TDN; R5 = 14%PK, 65%TDN; R6 = 14%PK, 70%TDN .................
56
VFA cairan rumen sapi dengan ransum R1 = 10% PK, 65% TDN; R2 = 10%PK, 70%TDN; R3 = 12%PK, 65%TDN; R4 = 12%PK, 70%TDN; R5 = 14%PK, 65%TDN; R6 = 14%PK, 70%TDN .................
58
10 pH cairan rumen sapi dengan ransum R1 = 10% PK, 65% TDN; R2 = 10%PK, 70%TDN; R3 = 12%PK, 65%TDN; R4 = 12%PK, 70%TDN; R5 = 14%PK, 65%TDN; R6 = 14%PK, 70%TDN .................
59
8
9
17
DAFTAR LAMPIRAN
1 Pemasangan canula pada rumen sapi dan memasukan sampel pakan......
Halaman 82
2 Korelasi antara sintesis N mikroba rumen dan konsumsi/kecernaan nutrien, retensi N, PBB, efisiensi ransum, PER dan BUN ......................
83
3 Recommended guidelines for ruminal in situ digestion prosedure ..........
84
4 Analisis statistika ......................................................................................
85
18
PENDAHULUAN Latar Belakang Berbeda dengan ternak berlambung tunggal (hewan monogastrik), sumber energi utama dan protein bagi ternak ruminansia berturut-turut berasal dari asam-asam lemak terbang (volatile fatty acids atau disingkat VFA) dan protein yang berasal dari protein mikroba rumen dan protein pakan yang lolos
degradasi mikroba rumen
(bypass protein) atau RUP (rumen undegraded protein).
Peran mikroba rumen
sangat penting yakni selain sebagai penyedia protein (protein mikroba) juga sebagai penye-dia energi
utama bagi ternak ruminansia berupa VFA terutama hasil
fermentasi kar-bohidrat, khususnya serat kasar yang tidak dapat dicerna ternak ruminansia. Pada fer-mentasi karbohidrat atau bahan organik (BO) pakan akan dilepaskan energi dalam bentuk ATP dan ATP ini oleh mikroba rumen digunakan untuk membentuk protein mikroba dengan menggunakan N-protein yang tersedia terutama dalam bentuk N-protein hasil degradasi protein pakan (rumen degradable protein/RDP) dan atau dari urea saliva di dalam rumen. Sebagai kerangka karbonnya berupa asam alfa keto hasil fermentasi karbohidrat, sementara kerangka karbon bercabang adalah hasil degradasi protein pakan. Penyediaan N-protein yang lebih cepat daripada penyediaan energi menyebabkan kelebihan N-protein akan diangkut via pembuluh darah portal ke hati dibentuk urea sebagian sebagai
bahan siklus ke dalam saluran pencernaan dan sebagian lagi dibu-
ang melalui urin. Hal ini juga akan menurunkan konsumsi pakan ataupun merugikan terutama bila protein yang terdegradasi tersebut berasal dari bahan pakan yang berkualitas dan mahal harganya. Demikian pula bila energi yang dilepaskan lebih banyak daripada N-protein yang tersedia akan menyebabkan penurunan efisiensi pertumbuhan mikroba dan pencernaan serat kasar yang selanjutnya menurunkan konsumsi. Dengan demikian agar pertumbuhan mikroba rumen lebih efisien, penyediaan Nprotein
hasil degradasi protein pakan harus sinkron
dengan penyediaan energi
terutama hasil fermentasi karbohidrat atau BO pakan dalam rumen. Keseimbangan
19
laju penyediaan N-protein dan energi yang dihasilkan pakan untuk mikroba rumen ditujukan untuk memaksimalkan pemanfaatan protein yang
terdegradasi dalam
rumen, untuk pertumbuhan mikroba rumen yang optimal dan efisiensi pakan. Sedikit perhatian dalam memformulasi ransum berdasarkan kepada laju penyediaan N-protein dan energi yang diekspresikan sebagai BO atau karbohidrat terfermentasi di dalam rumen (Sinclair et al. 1993). Pada umumnya dalam penyusunan ransum untuk ternak ruminansia didasarkan kebutuhan akan protein kasar (PK)/protein dapat dicerna (Prdd) dan energi dalam bentuk TDN (total digestible nutrients), tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang efektif bagi pertumbuhan mikroba dalam rumen. Sehingga kadang kala dijumpai perbedaan yang signifikan penampilan produksi diantara ternak ruminansia percobaan, walaupun ransum masing-masing ternak tersebut disusun relatif sama kandungan protein dan energi (iso-protein dan iso-energi). Nilai yang tersedia dalam rumen adalah gabungan dan integrasi daripada rate of degradation (laju degradasi) , lag time dan rate of passage (laju makanan) (Orskov dan McDonald 1979). Keseimbangan laju penyediaan N-protein hasil protein dan laju penyediaan
degradasi
energi hasil degradasi BO atau karbohidrat suatu
makanan dalam rumen, ditujukan agar jumlah gram N-protein yang tersedia setiap kg BO yang terdegradasi
dalam rumen setiap jam (hourly degradation) adalah
sinkron dengan efisiensi sintesis N mikroba yang optimal, yakni 25 g N-protein /kg BO terdegradasi dalam rumen (Sinclair et al. 1993). Penentuan indeks sinkronisasi suatu pakan yakni dengan membandingkan penyediaan per jam N-protein dan energi pakan tersebut dengan nilai efisiensi sintesis N mikroba tersebut. Bila penyediaan Nprotein/kg BO terfermentasi dalam rumen suatu pakan adalah sama dengan nilai efisiensi protein mikroba (25g N-protein/BO terfermentasi dalam rumen) maka indeks sinkronisasi pakan tersebut adalah 1 (Sinclair et al.1993). Adanya perbedaan jenis dan komposisi kimiawi pakan antara daerah sub tropis dan daerah tropis akan berbeda pula penyediaan N-protein dan energi bagi pertumbuhan dan efisiensi sintesis N mikroba rumen. Stern et al. (2006) melaporkan bahwa rentang nilai efisiensi sintesis N mikroba rumen adalah 10 – 50 g N/kg BO
20
terfermentasi dalam rumen. Dengan demikian kemungkinan besar nisbah sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi untuk efisiensi sintesis N mikroba rumen akan berbeda antara daerah tropis dan sub tropis, terutama karena berbedanya sumber protein makanan yang selanjutnya akan berbeda pula tingkat dan laju degradasi protein. Blumel et al. (2003) melaporkan, bahwa sumber dan karakteristik fermentasi protein dan karbohidrat dapat mempengaruhi efisiensi sintesis N mikroba rumen, dengan demikian menolak anggapan
bahwa efisiensi sintesis N mikroba rumen
biasanya konstan. Dengan memasukkan variabel sinkronisasi ini disamping variabel kebutuhan zat pakan lain misalnya protein kasar (PK) dan total digestible nutriens (TDN) dalam menyusun ransum, diharapkan dicapai pemanfaatan protein pakan yang optimal khususnya untuk sintesis N mikroba rumen sehingga produksi ternak ruminansia dapat ditingkatkan. Nilai indeks sinkronisasi tersebut di atas didapat setelah diketahui nilai koefisien (karakteristik) degradasi protein dan BO bahan pakan dalam rumen. Penentuan karakteristik degradasi protein dan BO bahan pakan ini diperoleh melalui evaluasi bahan pakan tersebut dengan metode in sacco (Orskov dan McDonald 1979), yaitu menggunakan hewan yang berfistula rumen. Dengan demikian hasil metode evaluasi pakan secara in sacco ini dapat diaplikasikan dalam cara memformulasi ransum yang sinkron penyediaan N-protein dan energi untuk efisiensi sintesis N mikroba rumen dan efisiensi ransum. Sumber protein pada ternak ruminansia tidak semata berasal dari protein mikroba saja tetapi juga berasal dari protein makanan yang lolos degradasi dalam rumen (bypass protein). Ternak yang mempunyai pertumbuhan yang cepat atau berproduksi tinggi sangat memerlukan bypass protein selain protein mikroba rumen yakni untuk menunjang produksi ternak yang tinggi tersebut. Agar dicapai pertumbuhan protein mikroba maupun produksi ternak yang optimal perlu tersedia protein dan energi makanan yang optimal pula untuk menunjang kebutuhan kedua hal tersebut. Aplikasi cara formulasi ransum ini disertai pemanfaatan bahan pakan yang tidak biasa diberikan kepada ternak ruminansia (inkonvensional) akan menekan biaya
21
produksi dari pakan dan gilirannya akan menguntungkan peternak. Pakan nonkonvensional ini adalah pakan yang berasal dari limbah/hasil ikutan (waste/byproduct) agro-industri. Misalnya jerami padi, limbah onggok dan ikan asin afkir di Sumatra Barat telah dimanfaatkan menjadi pakan
ternak sapi walaupun belum
memasyarakat. Tujuan Penelitian 1. Mengklarifikasi cara penyusunan ransum dengan memperhitungkan sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi ransum untuk mikroba di dalam rumen selain memperhitungkan kandungan protein dan energi yang dibutuhkan dalam ransum, sehingga diperoleh efisiensi pertumbuhan mikroba rumen dan produksi ternak ruminansia yang optimal serta menguntungkan. 2. Mengetahui nilai indeks sinkronisasi bahan pakan
hijauan dan konsentrat yang
yang dihitung berdasarkan koefisien degradasi protein dan BO bahan pakan tersebut dalam rumen, kemudian nilai itu dijadikan basis penyusunan ransum yang sinkron penyediaan N-protein dan energi untuk efisiensi ransum dan efisiensi sintesis mikroba dalam rumen.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan masukan dalam penyusunan ransum dengan memperhitungkan
sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi
ransum selain memperhitungkan kandungan protein dan energi yang dibutuhkan dalam ransum, agar diperoleh efisiensi sintesis N mikroba rumen dan produksi ternak ruminansia yang optimal serta menguntungkan.
22
TINJAUAN PUSTAKA Kajian terakhir di Eropa menunjukkan bahwa biaya tidak tetap (variable cost) yang terbesar untuk produksi susu atau produksi daging ternak ruminansia adalah biaya pakan yakni lebih dari 50% dan bahwa menyempitnya nisbah harga komoditi tersebut dengan harga pakan sebagai akibat meningkatnya permintaan bahan pakan ternak, maka hendaknya peternak perlu meningkatkan sistem penyusunan ransum yang akurat sehingga akan sangat efisien penggunaan bahan pakan yang tersedia (Cottrill 1998). Khampa dan Wanapat (2007) menyatakan, bahwa di daerah tropis umumnya ternak ruminansia diberi makanan berupa hijauan berkualitas rendah, jerami tanaman pertanian, hasil ikutan (by-products) industri yang pada dasarnya mengandung materi ligno-selulosa yang tinggi, karbohidrat terfermentasi yang rendah atau kualitas protein yang rendah. Disamping itu pada musim kemarau, tanah yang tidak subur, dan sedikitnya makanan yang tersedia akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas fermentasi rumen.
Atas dasar tersebut dapat dikatakan bahwa untuk
meningkatkan pendapatan peternak, yaitu selain perbaikan dalam penyusunan ransum dari bahan pakan konvensional juga ditingkatkan lagi pemanfaatan waste/by-product agro-industri sebagai bahan pakan, misalnya onggok, limbah darah rumah potong hewan (RPH) dan ikan asin afkir yang sampai saat ini di Sumatra Barat belum dimanfaatkan secara luas. Sintesis N Mikroba dalam Rumen Pada ternak ruminansia nutrien dibutuhkan untuk mikroba dalam rumen dan untuk metabolisme antara (intermediatary metabolism), yaitu untuk kedua hal tersebut zat pakan dibutuhkan untuk penyediaan energi dalam bentuk ATP dan sebagai bahan (precursor) untuk sintesis lemak, protein dan karbohidrat dalam tubuh. Dengan demikian ransum hendaknya dalam keadaan seimbang jumlah zat-zat pakan yang tersedia untuk kedua hal tersebut (Taminga dan Williams 1998). Lebih lanjut Fellner (2005) menyatakan, bahwa untuk memaksimalkan produktivitas ternak ruminansia yaitu dengan memenuhi kebutuhan nutrien untuk ternak ruminansia dan mikroba rumen. Berdasarkan tinjauan literatur diindikasikan, perhitungan kebutuhan
23
protein untuk ternak ruminan berdasarkan PK ransum adalah tidak cukup karena ruminally degradable protein (RDP) akan menentukan sintesis N mikroba yang mana sebagai sumber protein utama bagi ternak ruminansia (Karsli dan Russell 2002). Rumen telah dikenal sebagai tempat terjadinya proses fermentasi yang esensial yaitu berkemampuan menyediakan hasil ahir berupa volatile fatty acids (VFA) dan protein mikroba sebagai sumber energi dan protein ternak ruminansia itu sendiri (Fellner 2005; Khampa dan Wanapat 2007) Sel mikroba dan protein makanan yang lolos dari degradasi dalam rumen (bypass protein) adalah sumber utama protein dan asam amino yang dibutuhkan ternak ruminansia. Protein mikroba menyumbang protein dalam jumlah besar masuk ke dalam usus halus, karena protein mikroba dapat mensuplai 50% lebih dari kebutuhan sapi perah, perlu memaksimalkan produksi mikroba (Fellner 2005). Dengan demikian kondisi dalam rumen harus optimal untuk pertumbuhan mikroba rumen apabila asam amino yang masuk ke dalam usus halus dan produksi susu serta komponen air susunya maksimal (Hoover dan Stoke 1991). Sasaran daripada nutrien dalam rumen adalah untuk memaksimalkan pertumbuhan mikroba rumen dan pengikatan RDP kedalam sel mikroba rumen, memaksimalkan pengikatan RDP tersebut tidak hanya memperbaiki penyediaan asam amino ke dalam usus halus tetapi juga menurunkan N terbuang (Stern et al. 2006). Dengan demikian pertimbangan nutrien yang dibutuhkan mikroorganisma rumen adalah sangat penting untuk dipahami metabolisma N dalam rumen demikian juga faktor-faktor yang memodifikasinya (Bach et al. 2005). Defisiensi suatu nutrien dapat menurunkan sintesis N mikroba dalam rumen, aliran asam amino ke usus halus, dan menurunkan produksi ternak ruminansia, tetapi dua faktor nutrisi yang sangat memungkinkan membatasi sintesis N mikroba rumen adalah energi dan protein (Clark et al. 1992). Sintesis N mikroba dalam rumen bergantung padaenergi yang tersedia, dan estimasi penyediaan energi dan N-protein yang dapat difermentasi dalam rumen dibutuhkan untuk memprediksi hasil protein mikroba (Cottrill 1998). Penyediaan energi dalam rumen (BO yang terdegradasi dalam rumen) adalah faktor pembatas
24
utama untuk memanfaatkan N-protein dalam rumen (Shabi et al. 1998). Karsli dan Russel (2002) melaporkan bahwa sintesis N mikroba dan pertumbuhan mikroba rumen bergantung padakecukupan energi (ATP) hasil fermentasi BO serta kecukupan N-protein hasil degradasi NPN (non-protein nitrogen) dan protein pakan dalam rumen, juga membutuhkan zat pakan lain seperti sulfur, phosphor dan mineral lain serta vitamin. Di negara berkembang makanan untuk produksi ternak ruminansia berasal dari padang penggembalaan, jerami tanaman dan biomasa selulosa lainnya, makanan tersebut umumnya rendah total protein dan N yang terfermentasi serta sering kali defisien mineralnya (Leng 1997). Di daerah iklim tropis dan subtropis umumnya dikaitkan dengan rendahmya kandungan mineral yakni P, S, K, Ca, Mg, Cu, Mo, Co, Se (Kerridge et al. 1986) dan tinggi Al atau keasamannya yang mana membatasi pertumbuhan akar (Chen et al. 1992). Selanjutnya Leng (1997) menyatakan, bahwa tanah daerah tropis biasanya defisiensi mineral P. Sementara hasil penelitian Scott et al. (1994) menunjukkan, bahwa kekurangan mineral selain menurunkan sintesis N mikroba adalah faktor utama penyebab penurunan laju pembentukan tulang pada kambing yang diberi makan rendah P. Defisiensi setiap nutrien dapat menurunkan sintesis N mikroba dalam rumen, laju asam-asam amino (AA) ke dalam usus halus dan menurunkan produksi susu sapi perah (Clark et al. 1992). Stern dan Hoover (1979) melaporkan, bahwa sulfur dibutuhkan mikroba rumen untuk sintesis metionin dan cytein dan konsumsi sulfur dapat membatasi sintesis N mikroba bila memakai NPN dalam jumlah banyak, dan diperkirakan nisbah yang optimum nitrogen : sulfur adalah 10 : 1 untuk pertumbuhan mikroba yang maksimal. Energi dalam bentuk ATP berasal dari fermentasi karbohidrat yang mengasilkan VFA dan methan sebagai produk akhir, adalah sebagai pengendali dan memasukan NPN kedalam sel mikroba rumen (Gambar 1)(Orskov 1982). Clark et al. (1992) melaporkan, bahwa campuran struktural dan non-struktural karbohidrat adalah umumnya sebagai sumber energi yang terbaik untuk pertumbuhan bakteri karena pada proses fermentasi, karbohidrat menghasilkan lebih banyak energi per unit berat
25
Gambar 1 Ilustrasi populer mengenai saling ketergantungan fermentasi dan produksi protein mikroba (Orskov 1982) daripada protein. Energi berasal dari lemak makanan dapat dikonsumsi bakteri rumen, tetapi lemak tidak cukup mepenyediaan energi untuk mesintesis N mikroba (Van Soest 1982).
Karbohidrat adalah komponen utama dalam makanan ternak
ruminasia dan sangat bervariasi tingkat dan laju fermentabilitasnya dalam rumen (Fellner 2005). Selulosa dan hemiselulosa yang jumlahnya berkisar dari 15 – 66 % dari makanan ternak ruminansia adalah insoluble dan sebagian yang tidak tersedia (tidak terfermentasi), pektin walaupun bagian dari structural carbohydrate (dinding sel) bersama dengan karbohidrat yang soluble (fruktosan dan sukrosa) difermentasi secara keseluruhan dan cepat, sementara pati sebagai cadangan karbohidrat yang insoluble dan dapat lolos dari degradasi dalam rumen (NRC 1985). Dewasa ini kajian mengenai keadaan N dan carbon dari AA dalam rumen menunjukkan bahwa beberapa AA disintesis oleh mikroorganisma rumen dengan sangat sulit dibandingkan dengan AA yang lain (Atasoglu et al. 2004). Selanjutnya mengkonfirmasi teori bahwa bakteri rumen sulit mesintesis Phe, Leu, dan Ile, dan dinyatakan bahwa Lys adalah suatu AA yang potensial yang membatasi pertumbuhan bakteri rumen. Bach et al. (2005) melaporkan bahwa selain kecukupan penyediaan sumber karbohidrat (CHO) dan N, faktor nutrisi lain maupun faktor non-nutrisi yakni pH
26
rumen dan dilution rate, termasuk juga mepunyai peranan penting dalam sintesis N mikroba rumen. Bila jumlah bahan organik (BO) yang difermentasi meningkat, sintesis N mikroba meningkat pula dan hasilnya adalah adanya korelasi yang negatif antara pH dan sintesis N mikroba yaitu konsekuensi penyediaan energi yang meningkat pada ransum yang tinggi terfermentasi (Hoover dan Stokes 1991). Selama ini dianggap komponen penghasil energi merupakan hal sangat penting untuk produksi mikroba rumen, tetapi hasil penelitian Gosselink et al. (2003) menunjukkan bahwa meskipun dalam makanan terbatas jumlah karbohidrat yang tersedia untuk difermentasi mikroba, nitrogen yang tersedia dalam rumen adalah sangat penting dalam memprediksi produksi mikroba. Sesuai dengan yang dinyatakan Maeng et al. (1999) bahwa penyediaan nitrogen PK meningkatkan produksi dan efisiensi mikroba lebih tinggi dibandingkan penyediaan baik serat maupun pati (Tabel 1) dan kejadian ini konsisten hasilnya pada peningkatan dilution rate rumen. Pertumbuhan dan produksi mikroba biasanya meningkat dengan meningkatnya dilution rate,bila dilution rate rendah akan lebih banyak jumlah mikroba tinggal dalam rumen dan selanjutnya akan mekonsumsi energi yang tersedia untuk hidup pokok Tabel 1 Pengaruh dilution rate terhadap produksi N dan efisiensi mikroba1 Dilution rate, fraksi/jam . Produksi N mikroba, g/hr 100 % soy hulls Mixed diet2 100 % isolated soy protein Efisiensi Mikroba3 100 % hulls Mixed diet 100 % isolated soy protein
0.025
0.050
0.075
0.10
0.15
0.20
0.80 0.27 1.38
1.25 0.45 1.67
1.44 0.54 2.27
1.69 0.67 2.65
1.66 0.68 3.12
1.23 0.67 3.18
16.6 11.2 27.0
23.6 18.9 34.8
26.6 23.9 47.1
32.0 31.1 56.2
37.0 41.8 65.2
36.5 49.8 71.7
1) Maeng et al. 1990 2) 78% corn, 14% soy hulls, and 8% isolated soy protei 3) Grams of micrrobial N/kg of organic matter truly digested in the rumen dan akan menurunkan efisiensi secara keseluruhan (Block 2006). Dilution rate didefinisikan sebagai proporsi dari total volume rumen yang mengalir dari rumen per
27
jam. Faktor yang mempengaruhinya adalah makanan, infus buffer intraruminal, tingkat konsumsi, dan kondisi lingkungan (Stern dan Hoover 1979). Perubahan makanan pada sapi jantan muda dari seluruhnya konsentrat menjadi terkandung 14% hijauan di dalamnya terjadi peningkatan dilution rate (0.03 menjadi 0.05/jam) disertai peningkatan sintesis N mikroba rumen (7.5 menjadi 11.8 g/100 g bahan kering terfermentasi dalam rumen) (Cole et al. 1976). Stern dan Hoover (1979) melaporkan, bahwa pemberian monensin kepada ternak domba terjadi penurunan dilution rate
dari 0.07 menjadi 0.04/jam disertai penurunan sintesis
mikroba dari 24.5 menjadi 20.2 g N/kg BO terfermentasi.
Infus saliva buatan
kedalam rumen telah meningkatkan dilution rate dari 0.03 menjadi 0.08/jam, bersamaan terjadi peningkatan sintesis total AA per mol heksosa yang difermentasi yakni 25.4 menjadi 29.8 gram. Selanjutnya dilaporkan, bahwa pemeliharaan ternak domba dari teperatur udara 18 menjadi 21 oC adalah kurang efisien dibandingkan dengan yang dipelihara dari temperatur -1 menjadi 1 oC, yaitu dalam sintesis N mikroba (47.9 vs 54.9 g N/kg BO terfermentasi). Faktor adanya hubungan yang positif antara dilution rate dan sintesis N mikroba, adalah menurunnya autolysis bakteria berkurang, menurunnya konsumsi bakteria oleh protozoa, perubahan struktur populasi mikroba yang dipicu oleh perubahan substrat atau kemungkinan karena pencucian oleh organisma yang waktu perkembangannya lambat. Metabolisme Protein dalam Rumen Estimasi metabolisme
protein yang akurat
dalam rumen adalah sangat
penting karena sebanyak 70% atau lebih asam amino yang diabsorbsi usus berasal dari protein mikroba rumen (Gustafsson et al. 2006). Sistem evaluasi protein bahan pakan terbaru yakni sistem metabolizable protein (MP), bahwa protein pakan terbagi menjadi protein terdegradasi dalam rumen (rumen degradable protein/RDP) dan yang tidak terdegradasi dalam rumen (rumen undegraded protein disingkat RUP). Produk RDP (terutama N-protein) digunakan oleh mikroorganisma rumen untuk sintesis N mikroba. Dengan demikian absorpsi asam amino di usus ternak ruminansia berasal dari RUP dan dari protein mikroba rumen (Cottrill 1998; Taminga dan
28
Williams 1998; Gustafsson et al. 2006). RUP dibutuhkan dalam jumlah besar dari protein tambahan (feed supplement) pada makanan ternak ruminansia berproduksi tinggi (Stern et al. 2006). Sementara sistem evaluasi protein dengan protein kasar (total crude protein) dan digestible crude protein (DCP) keduanya mempunyai kelemahan terutama terhadap perhitungan transaksi nitrogen dalam rumen (Cottrill 1998). Dibandingkan dengan sistem DCP, sistem MP mepunyai korelasi lebih erat dengan produksi dan juga adanya kemungkinan yang lebih besar untuk mengkombinasikan bahan pakan agar meminimalis surplus protein terdegradsi dalam rumen (Bertilsson et al. 1991). Metabolisma protein dalam rumen dapat dibagi menjadi 2 peristiwa yang berbeda yaitu degradasi protein yang menyediakan sumber N untuk bakteria, dan sintesis N mikroba (Baach et al. 2005). Selanjutnya dinyatakan metabolisme protein dalam rumen ini adalah hasil aktifitas metabolisma daripada microorganisma rumen. Tamminga (1979) menyatakan bahwa mekanisme pemecahan protein makanan adalah sangat komplek dan belum dipahami secara menyeluruh. Degradasi protein dalam rumen diawali menempelnya bakteria pada partikel makanan, diikuti oleh aktifitas enzim protease mikroba (Brock et al. 1982). Sekitar 70-80% mikroba rumen menempel pada partikel makanan dalam rumen (Craig et al. 1987), dan 30-50% nya mempunyai aktivitas proteolitik (Prins et al. 1983). Sejumlah besar spesies mikroba yang berbeda berkongsi menempel pada partikel makanan untuk bekerja secara simbiosis mendegradasi dan memfermentasi nutrien termasuk protein yang menghasilkan AA dan peptida, karena sejumlah ikatan pada protein menyebabkan aktivitas yang sinergis dari pada protease yang berbeda diperlukan untuk medegradasi protein yang lengkap (Wallace et al. 1997). Peptida dan AA hasil dari aktifitas proteolitik ekstraseluler kemudian diangkut kedalam sel mikroba. Selanjutnya peptida dapat didegradasi enzim peptidase menjadi AA dan AA ini dapat bersatu kedalam protein mikroba atau dideaminasi menjadi VFA, CO2, dan ammonia (Tamminga 1979). Nasib peptida dan AA dalam sel mikroba bergantung padaketersediaan energi. Bila energi tersedia, AA akan ditransaminasi atau digunakan langsung untuk sintesis N mikroba. Tetapi bila energi
29
Gambar 2 Proteolisis dalam rumen dan proses produk akhir fermentasi (Bach et al. 2005) terbatas, AA akan dideaminasi dan kerangka karbonnya difermentasi menjadi VFA (Gambar 2) (Bach et al. 2005) . Sebagian mikroba kurang baik mekanisma pengangkutan AA dari sitoplasma ke lingkungan ekstra-selular dan AA yang berlebihan ini harus diekresi dari sitoplasma berupa ammonia (Tamminga 1979). Faktor yang mempengaruhi degradasi protein adalah natural dan solubilitas protein makanan, laju makanan melalui rumen, level konsumsi makanan (Tamminga 1979).
Lebih lanjut Bach et al. (2005) menyatakan bahwa faktor yang sangat
berpengaruh terhadap degradasi protein adalah type protein, interaksi dengan nutrien lain (terutama dengan karbohidrat dalam bahan pakan yang sama dan dalam isi rumen), dominasi populasi mikroba yang bergantung padatipe ransum, laju makanan rumen, dan pH rumen. Prolamin dan glutelin adalah protein yang tidak larut (insoluble) dan lambat didegradasi, tetapi globulin adalah mudah larut (soluble) dan cepat didegradasi (Romagnolo et al. 1994). Adanya ikatan disulfida dalam dan antara ikatan protein dan ikatan-ikatan peptida yang spesifik menyebabkan resisten terhadap degradasi mis. sebagian albumin adalah soluble tetapi mengandung ikatan disulfida sehingga lambat didegradasi dalam rumen (Bach et al. 2005); peptida yang tersusun
30
dari Lys-Pro dihidrolisis dalam rumen 5x lebih lambat daripada peptida Lys-Ala, dan peptida yang tersusun dari Pro-Met didegradasi 2.5x lebih lambat daripada peptida Met-Ala (Yang dan Russell 1992). Lana et al. (1998) melaporkan, bahwa bakteri rumen yang mendapat makanan 100% hijauan dan
pH rumen diturunkan dari 6.5 menjadi 5.7 menyebabkan
penurunan konsentrasi ammonia, sementara bakteri rumen pada sapi potong dengan pakan 90% kosentrat mempunyai konsentrasi ammonia rendah dengan mengabaikan pH. Assoumani et al. (1992) menyatakan, bahwa pati berperan terhadap degradasi protein yakni dengan penambahan amilase telah meningkatkan degradasi protein. Bach et al. (2005) menyatakan, bahwa protein tanaman banyak yang terikat pada matrik serat yang perlu didegradasi terlebih dahulu sebelum protease mengakses protein untuk didegradsi. Lebih lanjut menyatakan suatu hipotesis bahwa penurunan bakteri selulolitik sebagai konsekuensi pH yang rendah menyebabkan penurunan degradasi serat, menurunkan akses bakteri proteolitik terhadap protein yang tidak langsung penurunan degradasi protein.
Degradasi protein berhubungan terbalik
dengan laju makanan melalui rumen (Orskov dan McDonald 1979). Penyebab rendahnya energi yang tersedia didaerah tropis menurut Khampa dan Wanapat (2007),
di daerah tropis umumnya ternak ruminansia diberi makanan
berupa hijauan berkualitas rendah, jerami tanaman pertanian, hasil ikutan (byproducts) industri yang pada dasarnya mengandung materi ligno-selulosa yang tinggi, karbohidrat terfermentasi yang rendah atau kualitas protein yang rendah.
Nitrogen yang Dibutuhkan Mikroba Rumen Mikroba rumen memproduksi proteinnya karena perkembanganya saat berlangsung
fermentasi karbohidrat (fibrous dan non-fibrous) dan menggunakan
RDP sebagai sumber nitrogen (Block 2006). Sebagian besar mikroba rumen menggunakan nitrogen-ammonia (N-protein)
sebagai sumber N untuk sintesis
protein tubuhnya (Karsli dan Russell 2002; Bach et al. 2005; Fellner 2005). Agar
31
diperoleh efisiensi sintesis N mikroba yang maksimal dalam rumen, penyediaan AA, peptide dan nucleotida (DNA dan RNA) diperlukan juga (Jones et al. 1998; SanchezPozo dan Gil 2002; Block 2006). Mikroba yang mendegradasi structural carbohydrates (dinding sel) (selulolitik) mempunyai kebutuhan hidup pokoknya rendah, tumbuh lambat, dan menggunakan N-protein sebagai mendegradasi
sumber
N
utamanya,
sedangkan
mikroorganisma
yang
non-structural carbohydrates (karbohidrat isi sel) (amilolitik)
mempunyai kebutuhan hidup pokok yang tinggi, tumbuh cepat, dan menggunakan Nprotein, peptida, dan AA sebagai sumber N (Russell et al. 1992). Sesuai menurut Fellner (2005) bakteria yang memfermentasi non-structural carbohydrates (NSC) menyukai asam amino dan peptida dan bakteri yang memfermentasi serat terutama menyukai ammonia sebagai sumber nitrogen. Tetapi penambahan AA atau peptida menunjukkan peningkatan pertumbuhan bakteri selulolitik dan amilolitik (Maeng dan Baldwin 1976; Argyle dan Baldwin 1989). Hal yang sama bahwa kecernaan serat oleh bakteri selulolitik meningkat dengan penambahan AA (Griswold et al. 1996; Carro dan Miller 1999), dan penambahan peptida (Crus Soto et al. 1994). Atasoglu et al. ( 2001) melaporkan bahwa bakteri selulolitik lebih suka mengikat N-AA daripada N-peptida ke dalam selnya, tetapi pada konsentrasi AA dan peptida tertentu dalam rumen, sekitar 80% N selnya berasal dari N-protein. Peningkatan pertumbuhan mikroba dengan penambahan AA dan atau peptida dapat disebabkan bergabungnya secara langsung AA kedalam protein mikroba dan atau disebabkan penyediaan kerangka carbon yang meningkat (hasil deaminasi AA) yang mana dapat digunakan untuk produksi energi atau sebagai kerangka karbon untuk AA mikroba yang baru (Bryant 1973). Atasoglu et al. (2004) menduga, bahwa beberapa AA diantaranya lysin dapat membatasi pertumbuhan bakteri rumen. Demeyer dan Fieves (2004) menduga bahwa konsentrasi AA dan peptida yang rendah berpotensi membatasi pertumbuhan mikroba bila pemberian makan yang kaya pati dengan partikel yang halus, yaitu menyebabkan pH rumen yang rendah. Atasoglu et al. (1999) melaporkan bahwa proporsi N bakteri yang berasal dari N-protein menurun karena nisbah N-protein : total N yang tersedia menurun.
32
Sementara pada penelitian lain melaporkan bahwa adanya hubungan yang negatif antara konsentrasi N-protein dan persentase protein mikroba yang berasal dari NPN (Siddon et al. 1985; Firkins et al. 1987). Bach et al. (2005) memperkirakan bahwa akumulasi N-protein dalam rumen adalah hasil penggunaan pilihan peptida atau AA oleh mikroba, baik sebagai sumber N atau sebagai sumber energi. Selanjutnya dinyatakan bahwa proposi N bakteria yang berasal dari N-protein adalah bukan nilai tetap. Pertumbuhan sel mikroba rumen memerlukan nucleotida baik yang disintesis atau yang didapat (Block 2006). Nucleotida disintesis dari AA dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba dengan mengonsumsi pada porsi yang cukup energi dan nitrogen yang tersedia (Sanchez-Pozo dan Gil 2002). Pemberian urea sebagai sumber N pada makanan yang semi bebas protein pada domba meningkatkan konsentrasi N dari 0.95 menjadi 1.82% dan meningkatkan produksi protein mikroba, tetapi tidak ada peningkatan sintesis N mikroba bila konsentrasi N makanan meningkat sampai 3.2% (Hume et al. 1970). Kemungkinan mikroba rumen memperoleh N melalui pengikatan N dalam bentuk gas. Pendikteksian fiksasi N secara in vivo dapat dilakukan dengan menggunakan isotop 15
N (Moisio et al. 1969). Dengan menggunakan acetylene-reduction screening test,
Hardy et al. (1968) mengestimasi bahwa seekor sapi (steer) dapat mengikat 10 mg N per hari. Kebutuhan Protein dan Energi Protein kasar, nonstructural dan structural carbohydrates adalah komponen makanan yang potensial dapat dimanipulasi untuk mengoptimalkan fermentasi dalam rumen dan untuk meningkatkan aliran AA ke usus halus (Clark et al. 1992). Selanjutnya dinyatakan, ketersediaan energi dan N adalah menentukan sekali terhadap jumlah protein mikroba yang disintesis dalam rumen. Manipulasi protein yang tersedia dalam rumen kelihatannya sangat menguntungkan apabila sapi dalam keadaan keseimbangan energi dan cukup lemak tubuh yang tersedia untuk kebutuhan energi (Nocek dan Russell 1988). Hume et al. (1970) menyatakan, bahwa sintesis N mikroba terhambat bila konsentrasi protein kasar (PK) dalam rumen dibawah 11%. Satter dan Roffler (1975)
33
mengindikasikan, bahwa konsentrasi PK makanan dimana pertumbuhan mikroba yang maksimum terjadi pada ternak sapi sekitar dua persen lebih tinggi dari ternak domba yang diberi makan yang hampir sama.
Diperkirakan bahwa sintesis N
mikroba akan mencapai puncak bila makan sapi mengandung sekitar 12-13% PK, kisaran ini tidak baku tetapi akan bervariasi menurut kandungan energi terfermentasi makanan, jumlah NPN makanan, tingkat degradasi protein makanan, efisiensi pertumbuhan mikroba rumen, dan input N saliva ke dalam rumen (Satter et al. 1977). Selanjutnya dinyatakan bahwa penurunan protein yang tersedia dalam rumen meningkatkan produksi susu bila konsumsi PK adalah marginal (<14% CP), tetapi tidak ada respon bila PK lebih dari 16%. Setelah dicapai kandungan PK optimal dalam ransum, peningkatan lebih lanjut konsentrasi PK ransum tidak akan meningkatkan sintesis N mikroba tetapi dapat meningkatkan total asam amino ke usus halus karena lolos dari degradasi protein dalam rumen (Stern et al. 1978). Gustafsson et al. (2006) melaporkan, bahwa surplus PK dalam ransum sapi perah dapat membebani lingkungan dan menurunkan penampilan reproduksi (fertilitas), dan kerusakan akibat kelebihan N ini dapat dikurangi melalui peningkatan pengikatan N yang terdegradasi dalam rumen. Selanjutnya
dinyatakan,
bahwa
protein
yang
berlebihan
mengakibatkan meningkatnya biaya energi secara khusus yakni
dalam
ransum
kelebihan N
dikonversi menjadi urea dan diekresi dalam urin keduanya membutuhkan energi. Keuntungan yang utama dalam sistim formulasi ransum yang terbaru adalah mengindentifikasi makanan dimana sapi perah akan merespon suplemen rumen undegraded protein (RUP) (Broderick 2006). Selanjutnya dilaporkan, bahwa ransum di daerah Midwestern sering mempunyai kandungan PK yang tinggi, NPN silase alfalfa yang tinggi, mengupayakan bypass protein yang tinggi dengan cara perlakuan pemanasan terhadap SBM atau soybeans, atau melalui proses manufaktur yang khusus yakni penurunan kandungan protein yang mudah larut pada tepung ikan. Gustafsson et al. (2006) melaporkan, bahwa peningkatan RUP dari 5 % menjadi 7% dari BK ransum dengan kadar PK ransum 18% untuk sapi pada awal laktasi adalah menguntungkan untuk produksi susu.
34
Pelepasan energi (ATP) hasil fermentasi terutama karbohidrat oleh mikroba digunakan untuk memproduksi sel baru, enzim dsb. Tingkat energi yang dihasilkan fermentasi tersebut dipengaruhi oleh komposisi makanan, karbohidrat yang berbeda akan berbeda pula tingkkat dan laju fermentasinya (Gustafsson et al. 2006). Clark et al. (1992) melaporkan, bahwa campuran structural dan nonstructural carbohydrates secara normal adalah sumber energi yang terbaik untuk pertumbuhan bakteri karena pada proses fermentasi karbohidrat menghasilkan lebih banyak energi per satuan berat daripada protein. Sedangkan energi yang tersedia dalam makanan berupa lemak dapat dikonsumsi oleh bakteri rumen, tetapi tidak menyediaan energi untuk sintesis protein (Van Soest 1982). Asam lemak bebas yang tinggi yang dihasilkan ketika hidrolisis lemak akan menghambat pencernaan serat, kemungkinan melalui coating (menyelimuti) partikel makanan dan preventing baterial kontak (Orskov dan Ryle 1990). Mikroba rumen yang memfermentasi non-fiber carbohydrate (NFC) (terutama gula-gula yang mudah larut dan pektin) dilaporkan mempunyai kontribusi yang besar terhadap sintesis N mikroba per satuan karbohidrat terfermentasi (Russell et al. 1992). Chamberlain et al. (1993) mendapatkan, bahwa suplemen gula lebih efektif dibandingkan pati pada ransum silase rumput untuk meningkatkan ekskresi derivat purin dalam urin ternak domba, efekifitas karbohidrat secara berurutan
adalah
sukrosa > laktosa > fruktosa > xylosa > pati gandum. Trevaskis et al. (2001) melaporkan, bahwa infus sukrosa ke dalam rumen adalah efektif untuk mestimulir pembentukan protein mikroba yaitu disinkronkan dengan konsentrasi amonia yang mencapai puncak pada waktu 1-2 jam setelah makan. Penurunan ukuran partikel makanan butiran meningkatkan pembentukan protein mikroba, bersamaan dengan itu pH rumen tidak menurun (Broderick 2006). Hasil penelitian Shabi et al. (1998), ketersediaan energi dalam rumen (BO yang dapat didegradasi dala rumen) adalah faktor yang sangat membatasi terhadap pemanfaatan N. Karsli dan Russell (2002) melaporkan, bahwa bila penyediaan N tidak terbatas pertimbangan selanjutnya pada produksi protein mikroba adalah tergantung ketersediaan energi. Selanjutnya dilaporkan, bahwa penambahan karbo-
35
hidrat yang mudah terfermentasi (readily fermentable carbohydrates) ke dalam rumen akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, tetapi penambahan energi melebihi tingkat optimal tidak lagi meningkatkan pertumbuhan mikroba. Penurunan aliran protein mikroba rumen ke dalam usus halus akibat ransum mengandung konsentrat lebih dari 70% dan hal ini dapat terjadi karena laju degradasi yang cepat dari pada karbohidrat nonstruktural, selanjutnya terjadi fermentasi uncoupled. Uncoupled fermentation terjadi karena laju pelepasan energi lebih cepat dibandingkan dengan laju pengikatan dan pemanfaatan oleh bakteri rumen (Karsli dan Russell 2001). Leng (1997) menyatakan, bahwa uncoupling
adalah reaksi
pelepasan energi dalam sel mikroba yang dapat juga menyebabkan pelepasan energi ATP berupa panas tanpa adanya pembelahan sel dan pertumbuhan, hal ini terjadi bila defisiensi mineral, amonia atau nutrien lain yang esensial untuk pertumbuhan mikroba dan juga bila sel mikroba lisis dalam rumen. Makanan yang tinggi total digestible nutrients (TDN) pada umumnya lebih terfermentasi daripada yang rendah TDN, oleh karena itu banyak ammonia (NPN) dapat dimanfaatkan dengan makanan yang tinggi TDNnya (Satter dan Roffler 1975). Dalam hal ini dinyatakan bahwa peningkatan TDN merupakan “opens the gates” dan memudahkan bayak ammonia yang digunakan untuk menunjang perkembangan mikroba lebih tinggi. Tetapi yang tidak menguntungkan penggunaan TDN sebagai indikator fermentabilitas yang jelek adalah bila ransum mengandung lemak atau minyak yang tinggi .
Efisiensi Sintesis N Mikroba Rumen Efisiensi
sintesis
mikroba
didefinisikan
sebagai
gram
protein
kasar
mikroba/100 gram BO terfermentasi dalam rumen (Stern dan Hoover 1979; Karsli dan Russell
2001). Van Soest (1982) mendefinisikan efisiensi microba adalah
sebagai proporsi energi substrat yang terikat dalam sel mikroba, dengan demikian berhubungan terbalik dengan produksi VFA. Sementara menurut Block (2006) efisiensi mikroba dihitung sebagai jumlah gram N mikroba yang dihasilkan per kg BO terfermentasi dalam rumen, dengan kata lain seberapa banyak mikroba
36
menggunakan BO untuk membuat protein. Penentuan efisiensi mikroba penting karena efisiensi ini adalah bagian daripada kalkulasi produksi mikroba (mirobial yield) dan penentuan produksi mikroba ini penting karena merupakan suatu indeks sejumlah protein mikroba yang tersedia bagi sapi setiap hari (Fellner 2005) Faktor yang mempengaruhi sintesis N mikroba rumen adalah sumber dan konsentarsi nitrogen dan karbohidrat, dilution rate rumen, sulfur makanan, dan frekuensi pemberian makan (Stern dan Hoover 1979); konsumsi bahan kering (BK), nisbah hijauan : konsentrat dalam ransum, laju degradasi protein dan karbohidrat, sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi, laju pakan, dan faktor lain yakni vitamin dan mineral (Karsli dan Russell 2001). Konsumsi, rumen turnover dan efisiensi mikroba adalah berkorelasi positif.
Peningkatan konsumsi akan
meningkatkan rumen turnover selanjutnya menyebabkan peningkatan pertumbuhan mikroba (Fellner 2005). Peningkatan efisiensi sintesis N mikroba dicapai dengan peningkatan konsumsi BK dan laju pakan, laju degradasi sumber protein dan karbohidrat yang sama-sama lambat dan sebaliknya, sinkronisasi laju penyediaan N-protein dan karbohidrat yang sama-sama lambat atau yang sama-sama cepat, campuran hijauan dan konsentrat (Karsli dan Russell
2001). Lebih lanjut dinyatakan bahwa efisiensi sintesis N
mikroba yang maksimal diperoleh
untuk sumber protein yang RDP nya tinggi
dibandingkan yang rendah, adanya sumber asam amino atau peptida selain pemakaian NPN (urea) dalam ransum, dan pencampuran sumber karbohidrat yang struktural dan non-struktural karbohidrat. Blumel et al. (2003) melaporkan, bahwa sumber dan karakteristik fermentasi protein dan karbohidrat dapat mempengaruhi efisiensi sintesis N mikroba rumen, dengan demikian menolak anggapan bahwa efisiensi sintesis N mikroba rumen biasanya konstan. Hasil penelitian Warly et al. (1998) menunjukkan bahwa penurunan nisbah jerami padi amoniasi : konsentrat, dari 80 : 20 sampai 20 : 80 (% BK ransum) mempunyai pengaruh yang tidak nyata (P > 0.05) terhadap efisiensi sintesis N mikroba rumen yakni berkisar 9.55 – 10.32 g N/kg BO terfermentasi dalam rumen, walaupun cenderung meningkat efisiensi tersebut dengan penurunan nisbah tersebut.
37
Karsli dan Russell (2001) melaporkan, bahwa rata-rata efisiensi sintesis N mikroba adalah 13.0 dengan kisaran 7.5 – 24.3 untuk makanan dasar hijauan (hasil 34 studi), 17.6 dengan kisaran 9.1 – 27.9 untuk makanan campuran hijauan dan konsentrat (hasil 36 studi), dan 13.2 denga kisaran 7.0 -23.7 g protein mikroba/100 g BO terfermentasi dalam rumen untuk makanan konsentrat (hasil 14 studi). Nocek dan Russell (1988) melaporkan, bahwa makanan hijauan (roughage) menghasilkan sintesis 45 g mikroba/kg karbohidrat tercerna dan
hasilnya lebih rendah (29 g
mikroba/kg karbohidrat tercerna) bila digunakan makanan konsentrat. Semakin tinggi efisiensi sintesis N mikroba semakin besar kontribusi protein mikroba tersebut terhadap kebutuhan protein total ternak sapi, kontribusinya lebih tinggi pada sapi potong dibandingkan sapi perah
karena kemungkinan
kurang
meningkatnya konsumsi BK pada sapi potong sebagai akibat ADG (average daily gain) yang meningkat (Stern et al. 2006). Selanjutnya dinyatakan, bahwa efisiensi sintesis N mikroba rumen pada sapi potong lebih rendah daripada sapi perah kemungkinan besar disebabkan populasi bakteria amilolitik yang tinggi. Penambahan AA branced-chain (rantai cabang) akan difermentasi menjadi FVA rantai cabang, dan penambahan peptida ke dalam rumen telah meningkatkan kecernaan serat , produksi protein mikroba , dan efisiensi pertumbuhan mikroba (Russell dan Sniffen 1984; Thomsen 1985).
Sinkronisasi Pelepasan N-protein dan Energi Makanan dalam Rumen Dewasa ini sistem yang digunakan untuk formulasi ransum untuk ternak ruminansia berdasarkan kepada penyediaan RDP dan RUP serta berdasarkan tingkat fermentasi BO atau ME terfermentasi dalam rumen (ARC 1984). Bila laju degradasi protein melebihi laju fermentasi karbohidrat akan banyak N yang terbuang sebagai ammonia (N-protein), dan sebaliknya bila laju fermentasi karbohidrat melebihi laju degradasi protein dapat menurunkan sintesis N mikroba rumen (Nocek dan Russell 1988). Sinkronisasi penyediaan zat makan yang tersedia dalam rumen adalah penting untuk memacu pertumbuhan mikroba dan untuk memaksimalkan pengikatan RDP kedalam sel mikroba (Valkeners 2004; Stern et al. 2006)
38
Sinclair et al. (1993) menyatakan bahwa
formulasi ransum menggunakan
koefisien degradasi protein dan BO bahan pakan yaitu membuat ransum yang sinkron dalam hal pelepasan N-protein dan energi per jam (hourly ) untuk fraksi mikroba dalam rumen,
dimana nisbah yang optimal
degradasi protein dan BO yang
terfermentasi dalam rumen adalah 25 g N-protein/kg BO (Czerkawski 1986 diacu Sinclair et al. (1993); atau 32 g N-protein/kg karbohidrat (Sinclair et al. 1991). Selanjutnya dinyatakan, bahwa ransum yang sinkron tersebut bertujuan untuk memaksimalkan sintesis N mikroba dari RDP yang tersedia, menurunkan kebutuhan akan sumber RUP yang mahal harganya dan juga menurunkan ekskresi N-protein urin. Ekresi N-protein melalui urin sebagai akibat kelebihan protein ransum memerlukan energi (energy cost) untuk pembentukan urea sebelum dibuang melalui urin (Gustafsson et al. 2006). Untuk memperdalam konsep sinkronisasi, mikroba rumen membutuhkan sumber N-protein, energi, mineral, vitamin dan faktor-faktor pertumbuhan untuk pertumbuhannya. Tetapi N-protein dan energi dibutuhkan dalam jumlah yang besar dan harus tersedia secara simultan untuk merangsang pertumbuhan yang cepat (Huber dan Herrera-Saldana 1994). Kebutuhan terhadap kedua komponen (energi dan N-protein) tersebut pada aktifitas mikroba rumen tercermin adanya korelasi parsial yang erat (r = 0.95, P < 0.01) antara degradasi protein dan BO ransum dalam rumen (Hermon dan Warly, 2001); demikian juga pada silase rumput, yaitu antara degradasi protein dan bahan kering serta degradasi serat kasar dalam rumen (0.69 vs 0.42 ; P < 0.01) (Hermon 1999). Sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi dalam rumen merupakan teknik yang disarankan untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan bakteri dan meningkatkan efisiensi penggunaan zat pakan (Huber dan Herrera-Saldana 1994). Selanjutnya dinyatakan bahwa sinkronisasi dapat dikaitkan dengan “assosiative effect” dalam memanfaatkan unsur A dan B dalam rumen secara sederhana karena bakteri mendapat kebutuhan zat pakan (N-protein dan energi) pada waktu yang bersamaan dalam konsentrasi yang diperlukan dan kejadian sinkronisasi ini merupakan assosiative effect yang positif. Bila terjadi perbedaan pelapasan zat pakan A dan B
39
dengan kebutuhan untuk pertumbuhan mikroba, sinkronisasi tidak terjadi dan merupakan suatu assosiative effect yang negatif. Richardson et al. (2003) melaporkan bahwa dewasa ini sistem formulasi ransum berdasarkan sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi dalam rumen per jam menunjukan adanya keuntungan terhadap peningkatan produksi dan efisiensi mikroba rumen serta terhadap produksi ternak, tetapi hasil peneliti lain menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan mikroba atau sangat dipengaruhi oleh energi ransum daripada sinkronisasi. Hasil penelitian Richardson et al. (2003) menunjukkan bahwa baik ransum sinkron maupun sumber energi berpengaruh tidak nyata terhadap laju pertumbuhan kambing. Walaupun demikian ransum tidak sinkron menyebabkan efisiensi penggunaan energi ransum rendah, dan upaya formulasi ransum yang sinkron penyediaan zat pakan dalam rumen dapat meningkatkan efisiensi energi pada kambing muda. Pengaruh ransum yang sinkron penyediaan N-protein dan energi untuk mikroba rumen terhadap penampilan ternak adalah tidak konsisten (Bach et al. 2005). Beberapa kajian in vivo (Casper dan Schingoethe 1989; Herrera-Saldana et al. 1990; Matras et al. 1991) menunjukkan respon yang positif terhadap penampilan ternak pada ransum yang sinkron, sementara penelitian batch culture (Henning et al. 1991; Newbold dan Rust 1992) menunjukkan tidak ada pengaruhnya. Interpretasi kedua macam kajian tersebut sulit dilakukan karena laju penyediaan energi dan protein sering kali dikacaukan dengan total penyediaan energi dan protein (Bach et al. 2005). Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsep sinkronisasi protein dan energi berbasis teoritis semata, hal ini
kemungkinan pada ekosistim yang komplek daripada
campuran mikroba rumen ketika disinkronkan penyediaan nutrien
untuk sub-
populasi yang spesifik tetapi kemungkinan tidak sinkron untuk populasi lainnya. Dengan demikian rataan efisiensi sintesis mikroba adalah tetap stabil, dan juga recycling N ke dalam rumen dapat menyebabkan stabilitas pertumbuhan mikroba walaupun penyediaan N tidak sinkron (Bach et al. 2005).
Bahan pakan yang
terfermentasinya dalam jumlah banyak dapat menyebabkan konsentrasi metabolit berfluktuasi sekali
meskipun adanya sinkronisasi penyediaan BO dan PK,
40
selanjutnya mengakibatkan pH lebih rendah (Satter dan Baumgardt 1962) dan sintesis mikroba menurun (Robinson 1989). Hasil penelitian Biricik et al. (2006), sinkronisasi degradasi pati dan protein dalam rumen tidak berpengaruh terhadap konsumsi dan daya cerna nutrien dalam rumen dan seluruh saluran pencernaan pada ternak domba. Broderick (2006) melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan sedikit atau tidak ada kenutungan produksi hasil manipulasi sinkronisasi degradasi protein dan fermentasi energi dalam rumen, tetapi penelitian tersebut tidak mencoba untuk meminimalkkan konsumsi PK. Selanjutnya dinyatakan, bahwa pemberian makan yang rendah PK akan membatasi RDP untuk pembentukan protein mikroba dan dapat diupayakan melalui sinkronisasi fermentasi energi dengan penyediaan N dalam rumen. Retensi Nitrogen Retensi nitrogen merupakan salah satu metode untuk menilai suatu kualitas protein ransum dengan jalan mengukur konsumsi nitrogen dan pengeluaran nitrogen ekskreta, sehingga dapat diketahui banyaknya nitrogen yang tertinggal dalam tubuh (Lioyd et al. 1978).
Pengukuran neraca nitrogen menurut Tillman dkk. (1991)
dilakukan dengan menghitung selisih antara jumlah nitrogen yang dikonsumsi dengan jumlah nitrogen yang keluar melalui feses dan urin, sehingga dapat diketahui jumlah nitrogen yang dapat tertinggal dalam tubuh. Selanjutnya dinyatakan, bahwa neraca nitrogen dapat dirumuskan dengan persamaan : B = I – (U + F) , dimana : B = neraca nitrogen I = konsumsi nitrogen U = nitrogen urin F = nitrogen feses Neraca nitrogen mempunyai nilai positif, nol , dan negatif (Maynard et al. 1969). Selanjutnya dinyatakan bahwa bila neraca nitrogen bernilai positif, sistem kehidupan mengalami pertumbuhan jaringan baru atau peletakan protein di dalam jaringan. Bila bernilai sama dengan nol, maka sistem dalam keadaan seimbang
41
artinya nitrogen yang dikonsumsi hanya cukup untuk kebutuhan hidup pokok saja. Tetapi bila neraca nitrogen bernilai negatif, ini berarti terjadi suatu kehilangan nitrogen jaringan melalui metabolisme sebagai akibat nitrogen makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan hidup pokok ternak yang bersangkutan. Menurut Orskov (1982) faktor-faktor yang mempengaruhi deposit protein pada bobot hidup yang relatif sama, adalah 1) Genotype; yaitu laju deposit protein pada sapi dengan bobot hidup relatif sama akan berbeda antara bangsa sapi ukuran kecil dan ukuran besar; 2) Jenis kelamin;
pertambahan bobot hidup pada ternak
ruminansia dengan bobot dan genotype yang relatif sama, pada sapi betina lebih banyak lemak dan sedikit protein dibandingkan sapi jantan; 3) Pengaruh nutrisi sebelumnya; pada bangsa dan jenis kelamin yang sama kebutuhan protein dikaitkan dengan bobot hidup dapat bervariasi sekali akibat nutrisi sebelumnya apakah cukup atau kekurangan protein.; 4) Level nutrisi; peningkatan konsumsi energi akan meningkatkan retensi protein sampai suplai protein menjadi pembatasnya. Peningkatan retensi protein ini bergantung padafase dewasa ternak, jenis kelamin, dan genotype. Bani et al. (1991) melaporkan bahwa level urea darah (blood urea) pada ternak ruminansia umumnya diduga sebagai ekspresi dari amonia rumen, dengan demikian urea darah yang sangat tinggi dapat merupakan suatu indeks kelebihan protein dan resiko yang potensial terhadap kesuburan yang rendah (low fertility). Selanjutnya berdasarkan hasil penelitiannya dinyatakan bahwa penyerapan amonia rumen dan glukoneogenesis dari absorbsi asam-asam
amino menyebabkan kan-
dungan urea darah bervariasi, tetapi glukoneogenesis nampaknya sangat berperan terutama ketika pemberian protein relatif tinggi. Kandungan Blood urea nitrogen (BUN) atau amonia plasma yang tinggi kemungkinan bertalian dengan perubahan fisiologi ovary dan uterus yang mengakibatkan tidak cukupnya luteal dan kematian embrio (Sinclair et al. 2000). Metode untuk evaluasi kualitas protein selain pengukuran retensi N diantaranya adalah PER, yaitu didefinisikan sebagai pertambahan bobot badan per gram protein yang dikonsumsi (Fuller 2000).
42
Pertambahan Bobot Badan (PBB) Ukuran komersil untuk pertumbuhan ternak adalah pertambahan bobot badan, yakni sebagai penimbunan energi dalam karkas. Kuantitas penimbunan energi dalam satuan berat ini bergantung pada komposisi kimia pertambahan bobot badan, yakni air, tulang, protein (daging), dan lemak.
Energi yang terkandung pada
pertambahan bobot badan hampir sepenuhnya diwujudkan oleh protein dan lemak, dengan demikian komposisi pertambahan bobot badan tidak konstan sepanjang fase pertumbuhan (Davies 1982). Kenaikan berat badan dengan mudah dilakukan dengan penimbangan yang berulang-ulang untuk menentukan pertambahan bobot badan tiap hari, tiap minggu, atau tiap waktu tertentu lainnya (Tillman dkk. 1991). Maynard et al. (1969) menyatakan bahwa semakin baik kualitas makanan, semakin efisien pembentukan energi dan semakin cepat proses penambahan bobot badan. Selanjutnya dinyatakan bahwa nutrien utama yang dibutuhkan ternak adalah energi dan protein, kelebihan energi dan protein dari kebutuhan hidup pokok digunakan untuk pertumbuhan atau pertambahan bobot badan.
Demikian pula menurut Van Soest (1982) bahwa
meningkatnya konsumsi protein dan energi akan meningkatkan pertambahan bobot badan, dan tidak seluruh energi yang tersedia dalam makanan dapat dimanfaatkan oleh ternak karena sangat erat hubungannya dengan kapasitas dan kemampuan alat pencernaan terhadap kualitas bahan makanan. Tillman dkk. (1991) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan, konsumsi pakan, total protein yang dikonsumsi tiap hari, jenis atau bangsa ternak dan manajemen ternak. Menurut Davies (1982) umumnya pertambahan bobot badan pada ternak
muda mempunyai kandungan
energi yang rendah karena mengandung air dan tulang yang tinggi dengan sedikit lemak, sedangkan pertambahan bobot badan ternak dewasa sangat tinggi kandungan energi yang direfleksikan dengan proporsi lemak yang tinggi. Kebutuhan Energi dan Protein Ternak Sapi Ternak menggunakan makanan untuk hidup pokok maupun untuk produksi. Kebutuhan untuk hidup pokok adalah nutrien yang dibutuhkan oleh ternak untuk
43
mempertahankan kesehatan tubuh dan untuk memelihara temperatur tubuhnya tanpa penambahan atau kehilangan bobot badan, sementara kebutuhan untuk produksi adalah nutrien yang dibutuhkan ternak selain untuk hidup pokok juga untuk proses produksi diantaranya pertumbuhan, penggemukan, dan pembentukan air susu (Nelson 1979). Selanjutnya dinyatakan bahwa dua nutrien utama untuk kedua hal tersebut, yaitu suplai energi dan prortein. Nutrien yang dibutukan ternak adalah energi, protein, mineral, dan vitamin (Davies 1982). Kebutuhan energi untuk hidup pokok bergantung pada ukuran atau bobot tubuh, bangsa sapi, temperatur udara dan aktifitas. Kebutuhan ini erat hubungannya dengan fungsi bobot tubuh atau dikenal bobot metabolis, yakni W0,73. Kebutuhan energi untuk hidup pokok di daerah tropis (temperatur udara panas) dan yang dikandangkan adalah lebih rendah dibandingkan di daerah temperate (udara dingin) dan yang tidak dikandangkan (Davies 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa jumlah protein yang dibutuhkan bergantung padakecernaannya dan efisiensi penggunaannya dalam tubuh; pada ternak ruminansia, proporsi rumen degradable protein (RDP) dan rumen undegradable protein (RUP) adalah penting ketika laju pertambahan bobot badan yang cepat. Kebutuhan energi didasarkan kepada bobot tubuh, pertambahan bobot badan (PBB), jenis kelamin dan kondisi tubuh. Sapi tipe besar atau mempunyai PBB yang tinggi atau sapi jantan kebutuhannya lebih tinggi dibandingkan dengan sapi tipe kecil, PBB yang rendah, sapi betina pada periode yang sama
(NRC 1984).
Laju
pertumbuhan terutama ditentukan oleh konsumsi energi, pada laju pertumbuhan tersebut dibutuhkan berbagai asam amino untuk berlangsungnya sintesis protein jaringan yang baru (Davies 1982). Konsumsi energi besarnya sebanding dengan konsumsi bahan kering ransum, dengan demikian kosumsinya dipengaruhi oleh hal yang sama terhadap konsumsi bahan kering, yaitu bervariasi antara/dalam bangsa sapi, periode/bobot badan, daya cerna bahan kering, nisbah konsentrat dan hijauan, pemrosesan pakan, kandungan air, dan suhu udara (NRC 1987).
Church dan Pond (1982) melaporkan bahwa
konsumsi energi dibatasi oleh kepadatan kalori (caloric density) yang tinggi,
44
keambaan (bulk density yaitu berat/satuan volume) yang rendah, lemak yang tinggi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsentrasi energi yang tinggi menurunkan konsumsi makanan dan konsumsi energi, kemungkinan disebabkan fermentasi dalam rumen tidak normal atau hambatan cita rasa (appetite) oleh faktor kimiawi yang dihasilkannya atau yang ada dalam saluran pencernaan. Peningkatan konsumsi ransum sebagai resultan dari kecernaan dan passage rate akan meningkatkan pula ketersediaan nutrien (terutama protein dan energi) untuk proses produksi ternak. Faktor yang sangat penting mempengaruhi produksi ternak adalah total nutrien diserap. Dengan demikian konsumsi dan daya cerna adalah parameter kunci dalam system efaluasi makanan, diantara keduanya konsumsi sangat penting karena sangat berbeda antara type makanan (Poppi et al. 2000). Selanjutnya dinyatakan, bahwa ada hubungan yang erat antara konsumsi dan daya cerna walaupun secara keseluruhan tidak selalu ada hubungan. Hubungan antara konsumsi dan daya cerna ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bila kecernaan zat makanan tinggi akan cepat laju makan selanjutnya akan cepat pula pengosongan perut dan gilirannya akan cepat mengkonsumsi makanan yang mengandung nutrien tersebut. Konsumsi diregulasi oleh laju pengosongan digesta dari rumen oleh proses pencernaan dan proses pengaliran (passage). Protein digunakan dalam tubuh ternak terutama untuk unsur pembangun dan pengatur tubuh (prekursor enzim dan hormon), sehingga kebutuhannya lebih besar untuk sapi muda dari pada sapi yang telah mencapai dewasa tubuh, untuk sapi yang mepunyai pertambahan bobot badan yang tinggi daripada yang rendah, untuk sapi type besar daripada type kecil (NRC 1984) Varhegyi and Varhegyi (1991) melaporkan bahwa konsumsi energi berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan sapi jantan dibandingkan dengan protein, suplai protein yang tinggi menghasilkan pertambahan bobot badan sangat nyata bila konsumsi energi yang tinggi. Selanjutnya dinyatakan bahwa peningkatan level protein meningkatkan konsumsi makanan, dan suplai protein yang rendah berpengaruh negatif terhadap efisiensi penggunaan makanan.
45
Sapi Pesisir di Sumatera Barat Di Sumatera Barat terutama di Kabupaten Pesisir Selatan terdapat sapi lokal yang disebut masyarakat sebagai sapi Pesisir (Sarbaini 2004). Menurut Merkens (1926) yang diacu Sarbaini (2004),
bahwa di Padang dan dataran tinggi sekitarnya
tedapat sapi dengan ciri-ciri : pejantannya memiliki kepala pendek; bertanduk pendek dan mengarah ke luar; lehernya lebar, kokoh dan pendek. Punuknya cukup berkembang, daerah pinggulnya pendek dan oval. Bagian depan badannya lebih ringan
Gambar 3 Sapi Pesisir betina berfistula rumen dibandingkan bagian belakangnya, dan kakinya relatif pendek. Pada sapi betina kepalanya lebih panjang dan kecil, pundak dan dadanya kurang berkembang, selangkangnya miring ke belakang, pendek dan kecil. Warnanya coklat muda sampai coklat tua, atau sampai hitam. Sekitar mata, mulut dan sebelah dalam kaki-kakinya, Tabel 2 Rataan bobot badan (kg) sapi Pesisir Sumatera Barat Umur (th) 0.5 – 1.0 1.0 – 2.0 2.0 – 2.5 3.0 – 3.5 4.0 – 6.0 Sumber : Sarbaini (2004)
Sapi jantan 88.91 131.95 149.22 168.87 186.10
Sapi betina 84.81 119.88 142.16 163.87 174.80
46
perut bagian bawah berwarna lebih muda. Tinggi pundak pada sapi jantan berkisar 1 – 1.26 m (rata-rata 1.15 m) dan pada sapi betina sekitar 1.05 m. Sejak umur muda sampai dewasa, sapi jantan mempunyai bobot badan yang lebih berat dibandingkan sapi betina (Tabel 2). Berdasarkan bobot badan pada setiap periode umur tersebut dapat ditentukan rataan pertambahan bobot badan per hari (PBB), yaitu berturut-turut untuk sapi jantan dan betina adalah 72.3 dan 73.4 g/ekor /hari. Apabila sampai umur 2 tahun, maka pertambahan bobot badan sapi jantan dan betina berturut-turut sebesar 119.6 dan 97.4 g/ekor/hari.
47
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap ; Penelitian Tahap I Penentuan Koef.dan Indeks Sinkr. Deg. Protein & BO Bahan Pakan dlm umen. Tujuan : Mengetahui indeks sinkr. deg protein dan BO pd. nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO (20, 25, dan 30 g N/kg BO) bahan pakan dlm rumen. Penelitian Tahap II Penentuan Nisbah Optimum Sinkr.Deg. Protein dan BO Ransum dalam Rumen. Tujuan : Mengetahui nisbah optimum sinkr.deg. protein dan degradasi BO (20, 25, dan 30 g N/kg BO) untuk efisiensi sintesis N mikroba rumen & efi.ransum.
Penelitian Tahap III Penentuan Kebutuhan Energi dan Protein Ransum dlm. Ransum yang Sinkron Degradasi Protein dan BO ransum dalam Rumen Tujuan : Mengetahui kebutuhan energi dan protein yg optimal dlm.ransum yg sinkron untuk efisiensi sintesis Nmikroba rumen dan efisiensi ransum. Gambar 4 Bagan alir tahap penelitian. Tahap I : Penentuan Koefisien dan Indeks Sinkronisasi Degradasi Protein dan BO Bahan Pakan dalam Rumen. Tujuan percobaan ini adalah untuk menentukan koefisien degradasi protein dan BO bahan pakan secara in sacco (Orskov adan McDonald 1979) yang digunakan untuk menentukan indeks sinkronisasi penyediaan N dan BO terfermentasi berdasarkan nisbah degradasi protein dan BO per jam (hourly degradation) dalam rumen, selanjutnya indeks sinkronisasi ini dijadikan dasar dalam formulasi ransum yang sinkron penyediaan N-protein dan energi untuk sintesis protein mikroba rumen yang efisien. Bahan Pakan Terdiri atas dua kategori, yakni bahan pakan hijauan dan pakan konsentrat baik yang konvensional (biasa diberikan) maupun yang inkonvensional berupa hasil ikutan /limbah agroindustri (onggok, ikan asin afkir dan jerami yang diolah) (Tabel 3).
48
Tabel 3 Komposisi kimia (%) bahan pakan hijauan dan konsentrat yang dievaluasi secara in sacco Kelompok Bahan Pakan Konsentrat : Sumber energi : Dedak Onggok Silase onggok+) Singkong Ubi jalar Jagung Sumber protein: Ampas tahu Bk. kedele Bk. kelapa Bk.in.sawit/BIS Tep. ikan Hijauan : Rumput : R. lapangan R. g a j a h R. r a j a Jr.padi moniasi*) Leguminosa : Jer. kac. tanah Jer. kedele D.turi D.gamal D.lamtoro D. kaliandra
BK
BO
SK
PK
LK
Abu
BETN
TDN
92.14 83.32 90.32 47.35 38.24 88.90
90.27 99.15 97.37 99.83 98.80 97.13
13.57 11.74 14.34 1.29 0.82 1.18
13.81 3.15 3.15 6.60 3.33 10.27
11.49 0.90 1.03 1.10 0.97 4.01
9.73 0.85 2.63 0.17 1.20 2.87
51.40 83.36 78.85 90.84 93.68 81.17
74.50 83.84 76.32 87.96 85.97 77.35
80.70 88.58 89.21 90.73 87.21
96.61 92.26 79.74 87.59 59.89
13.02 5.60 9.73 13.85 11.20
28.16 48.81 17.62 18.04 22.66
6.12 1.26 9.65 4.14 3.35
3.39 7.74 20.26 12.41 40.14
49.31 36.59 42.74 51.56 22.68
78.26 81.63 65.29 63.92 12.30
. 34.28 31.71 25.52 44.28
93.01 92.14 96.93 82.52
26.10 29.80 34.32 26.05
11.22 12.44 13.61 10.95
2.86 0.33 2.00 0.70
6.98 7.85 3.07 17.48
52.83 49.57 47.00 44.82
69.51 67.12 59.25 61.48
19.25 29.53 33.90 28.44 22.90 28.43
88.04 92.35 95.31 93.54 93.64 95.39
21.74 16.92 11.28 15.21 17.54 17.61
18.99 19.83 20.81 17.37 13.97 21.08
3.08 3.44 4.53 4.25 2.43 5.91
11.96 7.64 4.68 6.46 6.36 4.61
44.23 52.16 58.69 56.71 59.70 50.79
65.53 66.61 76.27 63.54 83.12 75.23
Keterangan : *) Amoniasi dengan 4% N-protein-urea/kg jerami padi, dan menggunakan kotoran ayam sebagai sumber urease (Warly et al. 1997). +) Ensilase onggok untuk menurunkan kadar HCN (Yerizal 2001).
Hewan Percobaan Dua ekor sapi berfistula rumen dengan berat sekitar 140 kg, ditempatkan dalam kandang individu (2.5 x 1.2 m) yang dilengkapi tempat makan dan minum. Pemberian pakan sebanyak 1.1 x kebutuhan energi hidup pokok (rekomendasi AFRC 1993; diacu Richardson et al. 2003) dilakukan 2 x sehari pukul 8.00 dan 16.30. Air minum tersedia setiap saat (ad libitum). Prosedur Inkubasi Sebagai persiapan, sampel pakan konsentrat digiling sementara sampel pakan
49
hijauan diris-iris sepanjang 5 mm agar lewat saringan 2 mm untuk diperoleh ukuran partikel > 45 µm. Sekitar 5 gram sampel dimasukkan ke dalam kantong nilon berukuran 14 x 9 cm. Sebanyak 8 kedalam
rumen
kantong
berisi sampel
tersebut dimasukan
sebelum pemberian makan pagi. Kemudian diambil setelah
interval waktu inkubasi tertentu, yaitu untuk pakan hijauan adalah 2, 4, 6, 12, 24, 48, 72 jam sementara untuk pakan konsentrat adalah 2, 4, 6, 8, 12, 24, 48 jam. Selanjutnya kantong dicuci dengan air mengalir. Kantong nilon yang berisi sampel tanpa diinkubasi dalam rumen, dicuci seperti tersebut di atas untuk menentukan jumlah komponen yang cepat larut pada waktu t = 0 (fraksi a). Setelah pencucian, kantong yang berisi residu sampel dikeringkan dalam oven 60o C dan ditimbang lagi, selanjutnya diketahui nilai degradasi protein dan degradasi BO. Koefisien degradasi ditentukan dengan memasukkan data nilai degradasi protein dan atau BO tersebut ke dalam persamaan menurut Orskov dan McDonald (1979), sebagai berikut :
p = a + b (1 – e-ct)
(1)
dimana : p adalah jumlah kumulatif yang terdegradasi pada waktu t, a adalah fraksi yang cepat terlarut, b adalah fraksi yang potensial didegradasi dalam rumen, c adalah laju degradasi fraksi b, dan t adalah waktu dalam jam. Tingkat degradasi efektif yakni menggunakan persamaan : p = a + ((bc)/(c+k)) (1-e-(c-k)t)
(2)
dimana : k adalah laju pakan yang solid dari rumen, besarnya untuk konsentrat diasumsikan sebesar 5 %/jam dan hijauan 3 %/jam (Nocek dan Russell 1988). Bila ada lag phase, tingkat degradasi efektif tersebut dihitung sebagai berikut; p = a + b ((bc)/(c+k)(1-e-(c-k) (t-lag))(e-klag)
(3)
dimana :a, b, dan c adalah yang tersebut di atas dan lag phase dalam jam. Keterangan : Urea diasumsikan mempunyai fraksi a sebesar 0.90 dan sisanya yang terdegradasi 0.10 dengan laju degradasi (c) sebesar 0.5 %/jam (Richardson et al. 2003). “Hourly degradation” protein dan BO dihitung sebagai perbedaan degradasi antara waktu yang berurutan dan dialokasikan pada jumlah jam sehari (Sinclair et al. 1993).
50
Indeks sinkronisasi dihitung dari nilai “hourly” protein dan BO yang didegradasi tersebut menggunakan persamaan (Sinclair et al. 1993) sebagai berikut : 25 − ∑
1− 24
Indeks Sinkronisasi =
(25 − hourlyN / OM ) 2 24 25
(4)
dimana : 25 = 25 gr N-protein/kg BO terfermentasi dalam rumen, diasumsikan rasio yang optimal. Indeks sinkronisasi dengan nilai 1 menunjukkan sinkronisasi sempurna antara penyediaan N-protein dan BO selama sehari dan nilai < 1 diindikasikan tidak sinkron. Angka ”25” pada persamaan (4) diganti dengan angka 20 dan 30 untuk menentukan indeks sinkronisasi pakan pada nisbah 20 g N/kg BO dan pada nisbah 30 g N /kg BO terfermentasi dalam rumen. Sehingga setiap bahan pakan mempunyai tiga macam nilai indeks sinkronisasi yakni indeks sinkronisasi pada nisbah 20 g N /kg BO terfermentasi (I20),
nisbah 25 g N /kg BO terfermentasi (I25), dan indeks
sinkronisasi pada nisbah 30 g N/kg BO terfermentasi (I30). Selanjutnya dapat disusun tiga macam ransum yang mana bahan pakannya sama tetapi berbeda nisbah sinkronisasi degradasi protein dan degradasi BO dalam rumen (20, 25, dan 30 g N /kg BO terfermentasi dalam rumen). Ketiga ransum tersebut digunakan untuk penelitian tahap II. Tahap II : Penentuan Nisbah Optimum Sinkronisasi Degradasi Proteina dan BO dalam Rumen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nisbah optimum sinkronisasi degradasi protein dan degradasi BO untuk efisiensi sintesis N mikroba rumen dan efisiensi ransum. Menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan ; Sebagai perlakuan adalah tiga macam ransum yang berbeda nisbah N terse-dia dan BO terfermentasi dalam rumen,yaitu : 20, 25 dan 30 g N /kg BO ransum yang terfermentasi dalam rumen.
Ketiga ransum tersebut disusun dari bahan pakan yang
sama (Tabel 4) dan mempunyai kandungan protein dan TDN serta indeks sinkronisasi yang relatif sama (Tabel 5). Dua belas ekor sapi berumur 1 – 1.5 tahun dengan bobot badan 82 – 113 kg
51
Tabel 4 Komposisi kimia (%) dan indeks sinkronisasi bahan pakan ransum penelitian Pakan R.lap Dedak Jagung Bk.kel. Tp.ikan
BK 35.6 87.8 85.8 89.2 87.2
Mineral 100
BO 94.3 90.8 99.1 79.7 59.8
PK 10.2 13.0 7.7 17.6 22.7
SK 27.8 11.6 0.9 9.7 11.2
LK 2.0 8.6 3.5 9.7 3.4
Abu 5.7 9.2 0.9 20.3 40.2
TDN 63.7 66.8 81.9 65.3 12.3
I20 1) 0.538 0.277 0.660 0.827 -0.167
I25 0.430 0.621 0.528 0.695 0.266
I30 0.359 0.851 0.440 0.580 0.555
.
-
-
-
100
-
-
-
-
Keterangan : 1) indeks sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi pakan dikaitkan dengan efisiensi sintesis N mikroba, yakni sebesar 20, 25, 30 g N/kg BO terfermentasi dalam rumen
Tabel 5 Komposisi pakan dan kimia (%) serta indeks sinkronisasi ransum penelitian Pakan Rumput lapangan Dedak Jagung Bungkil kelapa Tepung ikan Mineral
R20 27.24 21.52 38.55 5.50 6.68 0.50
Bahan kering Bahan organik Protein Serat kasar Lemak kasar Abu BETN TDN Indeks sinkronisasi ransum
72.93 91.83 11.04 11.70 4.50 8.17 6.59 6.69 0.500
R25 27.16 29.03 34.30 0.21 8.80 0.50
R30 50.00 30.67 14.02 2.10 2.71 0.50
72.98 91.41 11.23 12.23 4.55 8.59 63.40 65.98 0.503
61.52 92.19 11.16 18.09 4.43 7.81 58.51 65.50 0.529
,
Keterangan : R20; R25; R30 adalah ransum berturut-turut disusun bahan pakan mempunyai I20, I25, dan I30.
dan dibagi menjadi empat kelompok. Sapi tersebut digunakan sebagai hewan percobaan (in vivo) untuk mengetahui pengaruh ransum perlakuan tersebut. Periode penelitian adalah selama 37 hari, 14 hari untuk periode adaptasi, 14 hari periode penggemukan dan 7 hari menjelang akhir penelitian untuk periode koleksi. Setiap ransum perlakuan diberikan kepada 4 ekor sapi yang ditempatkan secara acak pada kandang individu (2.5 x 1.5 m). Pemberian ransum dilakukan 2x sehari dengan takaran sama pada pukul 8.00 dan 16.30.
Air minum tersedia setiap saat (ad libitum).
52
Penimbangan dilakukan pada awal/akhir periode sebelum pemberian makan pagi dan dilakukan 3 hari berturut-turut untuk mendapatkan berat rata-rata. Pada periode koleksi setiap harinya dilakukan pengukuran konsumsi ransum (selisih yang diberikan dengan sisa pakan), pengumpulan feses dan urin. Feses yang terkumpul ditimbang, diambil contoh sebanyak 10% untuk dianalisis. Pada penampung urin ditambah sekitar 25 ml 10% H2SO4 untuk menghindari terjadinya penguapan N-urin dan kerusakan derivat purin oleh bakteri. Cairan rumen diambil dari sapi berfistula rumen yang diberi makan ransum perlakuan, yaitu sebelum diberi makan pagi (0 jam) dan 3, 6, 9 setelah pemberian makan. Peubah yang diamati adalah konsumsi dan daya cerna bahan kering (BK), BO dan protein ransum, retensi N; allantoin dalam urin (Chen dan Gomes 1992), parameter cairan rumen (VFA, NH3, dan pH rumen) pertambahan berat badan (PBB), dan efisiensi ransum. Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam untuk rancangan acak kelompok (RAK) dengan menggunakan Prosedur GLM SAS (2004). Ransum perlakuan yang memberikan pengaruh terbaik dijadikan rujukan untuk penelitian tahap III, yaitu ransum yang mempunyai nisbah degradasi protein dan BO yang sinkron sebesar 20 N-protein/kg BO terfermentasi dalam rumen. Tahap III : Kandungan Energi dan Protein dalam Ransum Berbasis Sinkronisasi Degradasi Protein dan BO Ransum dalam Rumen Sapi Lokal Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kebutuhan energi dan protein yang optimal dalam ransum yang nisbah sinkronisasi degradasi protein dan bahan organik dalam rumen sebesar 20 g N/kg BO terfermentasi dalam rumen, agar diperoleh efisiensi sintesis N mikroba rumen dan pertumbuhan sapi lokal serta efisiensi ransum. Menggunakan bahan yang telah dianalisis proksimat dan diketahui nilai indeks sinkronisasinya (I20) (Tabel 4), disusun 6 macam ransum mengikuti rancangan acak kelompok (RAK) pola faktorial 2 x 3. Faktor A adalah level TDN ransum, yaitu A1 = 65%; A3 = 70%. Faktor B adalah level protein ransum, yaitu B1 = 10%; B2 = 12%; B3 = 14%. Semua ransum tersebut sinkron dalam hal penyediaan N-protein dan energi untuk fraksi mikroba dalam rumen, yaitu nisbah yang optimal sinkronisasi degradasi protein dan BO yang terfermentasi dalam rumen yakni 20 g N/kg BO (Tabel 6).
53
Tabel 6 Komposisi pakan dan kimia (%) serta indeks sinkronisasi ransum penelitian Pakan R.lapangan Dedak Jagung Bk.kelapa Tp.ikan Mineral
R1 86.28 6.73 6.48 0.01 0.50
R2 43.43 6.27 37.97 8.08 3.75 0.50
R3 32.95 6.06 28.27 23.67 8.55 0.50
R4 22.15 23.09 29.12 23.02 2.12 0.50
R5 13.17 21.70 20.04 37.57 7.02 0.50
R6 8.98 32.64 18.96 36.76 2.16 0.50
BK BO PK SK LK Abu
38.98 93.15 10.45 24.67 2.60 6.85
53.51 92.96 10.45 14.35 3.64 7.04
59.16 88.58 12.44 13.38 4.74 11.42
66.18 90.34 12.05 11.57 5.74 9.65
73.69 86.15 13.93 10.80 6.69 13.84
77.71 87.51 13.60 10.27 7.27 12.49
BETN TDN R D P 1) R U P 2) Fermented OM Unfermented OM Ind.sinkr.
55.43 64.67 7.27 3.18 66.33 26.82 0.562
64.52 68.65 6.38 4.07 62.04 30.92 0.562
58.02 64.67 6.74 5.70 56.77 31.81 0.562
60.99 68.65 6.84 5.21 57.60 32.74 0.562
54.74 64.67 7.17 6.76 52.64 33.51 0.562
56.37 67.30 7.27 6.33 53.66 33.85 0.564
Keterangan : R1= ransum 10% PK, 65% TDN; R2 = ransum 10% PK, 70% TDN; R3 = ransum 12% PK, 65% TDN; R4 =ransum 12% PK, 70% TDN; R5 = ransum 14% PK, 65% TDN; R6 = ransum 14% PK, 70% TDN; 1)RDP = rumen degradable protein; 2) RUP = rumen undegraded protein
Setiap ransum diberikan kepada 3 ekor sapi (umur 1-1.5 tahun dan bobot badan 90–135 kg) yang ditempatkan secara acak pada kandang individu (2.5 x 1.5 m). Pemberian ransum untuk pertumbuhan yang optimal, diberikan 2 x sehari dengan takaran sama pada pukul 8.00 dan 16.30.Air minum tersedia setiap saat (ad libitum). Periode penelitian adalah selama 37 hari, 14 hari untuk periode adaptasi terhadap ransum perlakuan,14 hari periode penggemukan dan 7hari menjelang akhir penelitian untuk periode koleksi. Pada periode koleksi setiap harinya dilakukan pengukuran konsumsi ransum, pengumpulan feses dan urin. Feses yang terkumpul ditimbang, disampling sebanyak 10% untuk dianalisis. Pada penampung urin ditambah sekitar 25 ml 10% H2SO4 untuk menghidari terjadinya penguapan N-urin dan kerusakan derivat purin oleh bakteri. Penimbangan dilakukan seminggu sekali sebelum pemberian makan pagi. Cairan rumen diambil dari sapi berfistula rumen yang diberi makan ransum perlakuan, yaitu sebelum diberi makan pagi (0 jam) dan 3, 6, 9 jam setelah
54
pemberian makan. Keenam ransum tersebut dilihat pengaruhnya terhadap konsumsi dan kecernaan BK, BO, PK dan serat kasar (SK) ransum, retensi N, allantoin urin, blood urea nitrogen (BUN), parameter cairan rumen, pertambahan berat badan (PBB), dan efisiensi ransum. Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam untuk rancangan acak kelompok (RAK) dengan menggunakan Prosedur GLM SAS (2004).
Pengukuran Peubah Pengukuran Konsentrasi VFA Cairan Rumen Konsentrasi VFA diukur dengan menggunakan metode steam destilation (GLP 1966). Sebanyak supernatan cairan rumen dimasukan kedalam tabung destilasi kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4 15%. Tabung secepatnya ditutup sumbat karet yang telah dihubungkan dengan pipa destilasi berdiameter ± 0.5 cm. Kemudian ujung pipa yang lain dihubungkan dengan alat pendingin Leibig. Tabung destilasi dimasukkan kedalam labu destilasi yang telah berisi air mendidih tanpa menyentuh permukaan air tersebut. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 500 ml yang telah diisi 5 ml NaOH 0.5 N. Destilasi selesai pada saat jumlah destilat yang tertampung mencapai 300 ml. Destilat yang tertampung ditambahkan indikator phenolphthalein (pp) sebanyak 2-3 tetes lalu dititrasi dengan HCL 0.5 N sampai terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi tidak berwarna (bening). Kadar VFA total dapat dihitung sebagai berikut : VFA total (mM) = (ml HCL – ml blanko) x N HCl x 1000/5 Pengukuran Konsentrasi NH3 Cairan Rumen Analisis konsentrasi NH3 cairan rumen dilakukan dengan metode destilasi. Reagen yang digunakan adalah trichloro acid (TCA) 20 %; indikator asam borat 2 %; Na tetra borat jenuh; dan H2SO4 0.02 N. Sampel cairan rumen sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung centrifuge kemudian ditambahkan TCA 20% sebanyak 3 ml. Selanjutnya dilakukan centrifuge
55
selama 15 menit. Kemudian pada supernatan diambil 3 ml dan dimasukkan ke dalam labu destilasi. Pada labu destilasi ditambahkan Na tetra borat jenuh sebanyak 15 ml. Destilat ditampung dalam gelas piala yang berisi 5 ml indikator asam borat 2 % sampai volume keseluruhannya sebanyak 20 ml. Setelah itu destilat dititer dengan H2SO4 0.02 N sampai larutan berwarna biru. Konsentrasi NH3 cairan rumen dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Konsentrasi NH3 cairan rumen (mg/100ml) = 0.28 x volume titer x 100 Pengukuran pH Cairan Rumen Pengukuran pH cairan rumen dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sintesis N Mikrobial Sintesis N mikroba rumen diestimasikan berdasarkan ekskresi total derivate purin (DP) urin yakni allantoin. Estimasi sintesis N mikroba rumen dihitung menurut Chen dan Gomes (1992), yakni dengan rumus : Y = 0.85 X + 0.385 BB0.75 N mikroba rumen (gN/hr) =
X (mmol / hari) x70 = 0.727 X 0.116 x0.83 x1000
Keterangan : Y
= ekskresi DP (mmol/hari)
X
= absorbsi purin
0.85
= proporsi DP melalui plasma dan diekskresikan lewat urin
0.385 BB0.75 = kontribusi endogenus pada ekskresi DP 0.83
= koefisien cerna untuk N mikroba rumen
70
= kandungan N purin (mg/mmol)
0.116
= rasio N purin : total N pada biomas mikroba rumen
Konsentrasi allantoin dalam urin diukur dengan spektrofotometer dengan ppanjang gelombang 522 nm. Allantoin dihidrolisis dalam kondisi alkali pada suhu 100 0C menjadi asam allantoat yang kemudian akan didegradasi menjadi urea dan asam glioksilat dalam larutan asam. Asam glioksilat akan bereaksi dengan phe-
56
nilhidrazin hidroklorid menjadi phenilhidrazon yang akan membentuk senyawa berwarna dengan potassium ferrisianida. Reagen yang digunakan adalah NaOH 0.5 M; HCL 0.5 M; Phenilhidrazin hidroclorid 0.023 M yang dipreparasi segar sebelum digunakan (0.1663 g phenilhidrazin hidroklorid dilarutkan dengan aquades sampai volume 50ml). Urin diencerkan yakni 1 ml urin diencerkan 10 - 40 kali tergantung kepekatannya sehingga dapat masuk dalam kisaran larutan standar yang digunakan. Sebanyak 1 ml urin yang telah diencerkan dimasukkan dalam tabung reaksi ditambah 5 ml aquades dan 1 ml 0.5 M NaOH, dicampur sehingga homogen dengan vortex. Tabung dimasukkan dalam oil bath bersuhu 100 0C selama 7 menit kemudian didinginkan. Selanjutnya ditambahkan 1 ml HCL 0.5 M dan 1 ml phenilhidrazin dan dicampur sehingga homogen dengan vortex, diinkubasikan kembali dalam oil bath bersuhu 100 0C selama 7 menit dan didinginkan dalam alcohol ice. Sebanyak 3 ml HCl pekat dingin dan 1 ml potassium ferrisianida dicampur dengan vortex, dan setelah 20 menit dilakukan pembacaan pada panjang gelombang 522 nm. Konsumsi Nutrien
Konsumsi nutrien diperoleh dengan menimbang makanan yang diberikan dikalikan dengan kandungan nutrien (BK, BO, SK, PK), kemudian dikurangi sisa makanan yang dikalikan kandungan nutrien tersebut. Kecernaan Nutrien
Kecernaan nutrien dihitung berdasarkan selisih antara nutrien (BK, BO, SK, PK) yang dikonsumsi dengan jumlah nutrien tersebut dalam feses, kemudian dibagi dengan nutrien yang dikonsumsi dan dikalikan 100%. Kecernaan (%) =
nutrien yang dikonsumsi - nutrien dalam feses x100% nutrien yang dikonsumsi
Pertambahan Bobot Badan Harian Sapi
Pertambahan bobot badan (PBB) harian diperoleh dari selisih antara bobot badan akhir periode pengamatan dengan bobot badan awal periode pengamatan
57
dibagi waktu periode pengamatan. Pertambahan bobot badan harian sapi dihitung dengan menggunakan rumus berikut : PBBH =
W2 - W1 t2 - t1
Keterangan : PBBH = pertambahan bobot badan harian sapi W2
= bobot badan sapi pada akhir periode pengamatan
W1
= bobot badan sapi pada awal periode pengamatan
t2
= waktu akhir periode pengamatan
t1
= waktu awal periode pengamatan
Retensi Nitrogen (Nitrogen Retention)
Retensi nitrogen diketahui dengan cara menghitung jumlah nitrogen makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan nitrogen yang keluar melalui feses dan urin. Efisiensi Penggunaan Ransum
Efisiensi penggunaan ransum dihitung berdasarkan perbandingan antara pertambahan bobot badan harian dan konsumsi bahan kering (BK) ransum. Protein Efficiency Ratio (PER)
Protein efficiency ratio dihitung berdasarkan perbandingan antara pertambahan bobot badan harian dan konsumsi protein ransum. Pengukuran Blood Urea Nitrogen (BUN)
Analisis konsentrasi urea plasma darah dilakukan dengan metode Berthelot (Chaney dan Marbach 1962). Membuat tiga macam larutan : 1) plasma darah diencerkan dengan cara 20 µl plasma darah + 500 µl larutan NaCl fisiologis, diambil 50 µl plasma darah yang telah diencerkan + 20 µl urease suspension; 2) 20 µl larutan standar urea diencerkan dengan 500 µl larutan NaCl fisiologis, diambil 50 µl larutan standar yang telah diencerkan + 20 µl urease suspension; 3) reagen blank dibuat dengan mengencerkan 20 µl urease suspension dengan 50 µl aquabidest.
58
Ketiga macam larutan di atas diinkubasikkan pada suhu 37 0C selama 15 menit. Kemudian ditambahkan 500 µl phenol reagen dan 500 µl hypoclorit solution. Selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu 37 0C selama 10 menit. Absorban sampel dan standar dibaca diselingi dengan blank untuk mengenolkan. Pembacaan absorban dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer coleman 44 dengan panjang gelombang 578 nm. Konsentrasi urea plasma darah dihitung sebagai berikut : Konsentrasi urea plasma darah (mg/100ml) = Absorban sampel x
40 Absorban standar
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dimulai pada bulan Desember 2006 sampai dengan 28 Januari 2008, dan dilaksanakan di Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang dan laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP) Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
59
HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Koefisien dan Indeks Sinkronisasi Degradasi Protein dan Bahan Organik (BO) Bahan Pakan dalam Rumen Koefisien Degradasi Protein dan BO Bahan Pakan dalam Rumen
Pada penelitian ini bahan pakan dibagi mejadi dua kelompok yakni konsentrat dan hijauan. Kelompok konsentrat terdiri atas sumber energi dan sumber protein, sementara kelompok hijauan terdiri atas rumput dan leguminosa. Tabel 7 Rataan1) koefisien degradasi protein dan bahan organik pakan dalam Rumen a I. Konsentrat: Sumber Energi: Dedak Onggok Silase Onggok Singkong Ubi Jalar Jagung Sumber Protein: Ampas Tahu Bk. Kedele Bk. Kelapa B.Inti Sawit Tep. Ikan II. H i j a u a n : Rumput : R. Lapangan R. G a j a h R. R a j a Jr. Padi amoniasi Leguminosa : Jr. kac. tanah Jr. kac. kedele Daun turi Lamtoro Daun Gamal Kaliandra
18.62 20.60 49.19 23.34 36.29 24.61 32.44 16.17 14.14 2.53 19.58
46.95 47.04 22.25 10.17 . 10.51 1.43 15.47 48.65 75.79 52.73
Koefisien Degradasi2) dalam Rumen ( %) BO PK b c a+b a b c
49.01 59.04 37.87 57.89 45.94 51.57 . 6.56 7.38 57.97 55.27 31.60
0.169 0,174 0.159 0.172 0.167 0.170 . 0.173 0.174 0.169 0.170 0.159
30.64 35.71 32.47 41.64
0.052 0.085 0.095 0.097 . 0.106 0.092 0.092 0.095 0.092 0.093
66.95 64.55 70.91 30.14 15.37 20.12
67.63 79.64 87.06 81.23 82.23 76.18
22.41 27.54 12.08 29.22 40.39 6.53
50.31 48.58 40.04 45.21 37.63 40.49
0.177 0.170 0.158 0.165 0.163 0.164
97.00 90.55 72.11 57.80 51.18
14.78 6.28 22.56 13.10 30.48
82.49 82.45 27.83 16.16 22.44
0.174 0.177 0.158 0.162 0.152
77.59 82.75 54.72 51.81
44.07 15.23 42.91 7.62
26.56 66.82 20.31 36.18
0.054 0.061 0.092 0.096
77.46 65.98 86.38 78.79 91.16 72.85
35.47 3.37 13.17 34.43 59.48 39.37
54.53 77.08 75.60 37.13 33.67 42.87
0.087 0.096 0.095 0.101 0.098 0.084
a+b
72.72 76.12 52.12 74.43 78.02 46.02 . 97.27 88.73 50.39 29.26 52.92
70.63 82.05 63.22 43.80 . 90.00 80.45 88.77 71.56 93.15 82.24
Keterangan : 1) n=2 ; 2) p = a + b (1 – e –ct), dimana : p = tingkat degradasi pada waktu t, a = fraksi yang cepat terdegradasi, b = fraksi yang sebenarnya terdegradasi, c= laju degradasi fraksi b (%/jam); 3) rataan penyediaan g N/kg BO terfermentasi dalam rumen
60
Tabel 7 menunjukkan koefisien degradasi protein maupun bahan organik sangat bervariasi antar bahan pakan terutama dapat disebabkan perbedaan kandungan protein khususnya maupun perbedaan komposisi kimia antar bahan pakan tersebut. Tingkat protein didegradasi dalam rumen bergantung padatipe protein (solubility dan struktur protein), interaksi nutrien lain terutama dengan karbohidrat (dalam pakan yang sama atau dalam isi rumen) (Bach et al. 2005), kandungan serat kasar (protein tanaman terikat matrik serat) yang membatasi akses protease mikroba rumen (NRC 1985; Bach et al. 2005). Pada Tabel di atas terlihat bahwa fraksi ”c” yakni laju degradasi BO maupun protein kelompok konsentrat lebih tinggi dibandingkan kelompok hijauan. Hal ini terutama dapat disebabkan komponen serat (dinding sel) (Tabel 3) pada kelompok konsentrat lebih rendah dibandingkan kelompok hijauan, dengan demikian kelompok konsentrat mempunyai komponen isi sel (soluble) yang lebih tinggi dan selanjutnya lebih mudah/cepat didegradasi dibandingkan kelompok hijauan. Demikian pula halnya kelompok leguminosa umumnya mempunyai laju degradasi protein dan BO yang lebih cepat dibandingkan kelompok rumput, yaitu disebabkan kandungan serat pada leguminosa lebih rendah (Tabel 3) atau komponen isi selnya lebih tinggi dibandingkan kelompok rumput. Isi sel diantaranya glukosa, material yang larut dalam air, NPN, dan protein yang mudah larut akan lebih mudah terfermentasi dibandingkan komponen dinding sel (Van Soest 1965). Selama pengeringan atau pelayuan (wilting) suatu hijauan yang dipanen akan terus berlangsung proses respirasi dan juga aktifitas protease yang meningkatkan komponen nitrogen yang mudah larut (peptida, asam amino bebas, amida dan sedikit ammonia bebas) (McDonald 1982). Lebih lanjut dinyatakan, bahwa proteolisis akan berhenti pada saat kandungan bahan kering (BK) sebesar 400 g/kg (40% BK). Pada pakan konsentrat, antara sumber energi dan sumber protein tidak memperlihatkan perbedaan yang menyolok tingkat degradasi (a+b) maupun laju degradasi (c) BO dan protein. Tetapi pakan konsentrat sumber protein sebenarnya mempunyai jumlah yang lebih tinggi baik tingkat maupun laju degradasi protein, karena kan-
61
dungan proteinnya relatif lebih tinggi dibandingkan pakan konsentrat sumber energi (Tabel 3). Dengan demikian nisbah degradasi protein dan degradasi BO per satuan waktu pada pakan konsentrat sumber protein lebih tinggi dibandingkan dengan pakan konsentrat sumber energi. Hal yang sama hijauan leguminosa mempunyai tingkat dan laju degradasi serta kandungan protein yang relatif tinggi dibandingkan hijauan rumput (Tabel 3), dengan demikian hijauan leguminosa mempunyai nisbah degradasi protein dan degradasi BO yang lebih tinggi dibandingkan hijauan rumput. Pada kedua pakan konsentrat sumber energi, dedak mempunyai tingkat degradasi protein (72.72%) dan laju degradasi protein (0.177%/jam) (Tabel 7) serta kandungan protein (13.81%, Tabel 3) yang lebih tinggi dibandingkan dengan jagung yakni berturut-turut sebesar 46.02%, 0.164%/jam, dan 10.27%. Tetapi tingkat degradasi BO (67.63%) dan laju degradasi
BO (0.169%/jam) serta kandungan BO
(90.27%) dedak lebih rendah dibandingkan dengan jagung, yakni berturut-turut sebesar 76.18%, 0.170%/jam, dan 97.13%. Hal ini menyebabkan nisbah degradasi protein dan degradasi BO dedak lebih tinggi dibandingkan dengan jagung. Pada kedua pakan konsentrat sumber protein, bungkil kelapa mempunyai tingkat degradasi protein (50.39%,Tabel 7) dan kandungan protein (17.62%,Tabel 3) yang lebih rendah dibandingkan tepung ikan yakni berturut-turut sebesar 52.92% dan 22.66%.
Sementara tingkat degradasi BO (72.11%) dan laju degradasi
BO
(0.169%/jam) serta kandungan BO (79.74%) bungkil kelapa lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ikan, yakni berturut-turut sebesar 51.18%, 0.159%/jam, dan 59.89%. Hal ini menyebabkan nisbah degradasi protein dan degradasi BO bungkil kelapa adalah lebih rendah dibandingkan dengan tepung ikan. Hal yang sama antara bungkil kelapa dan bungkil inti sawit, yaitu tingkat dan laju degradasi protein lebih rendah dibandingkan tingkat dan laju degradasi BO. Dengan demikian nisbah degradasi protein dan degradasi BO bungkil inti sawit adalah lebih rendah dibandingkan dengan tepung ikan. Pada kedua pakan hijauan rumput, rumput lapangan mempunyai tingkat degradasi protein (70.63%) dan fraksi ”b” protein (26.56%) (Tabel 7) serta kandungan protein (11.22%, Tabel 3) yang lebih rendah dibandingkan dengan rumput gajah,
62
yakni berturut-turut sebesar 82.05%, 66.82%, dan 12.44%.
Sementara rumput
lapangan mempunyai tingkat degradasi BO (77.59%) dan fraksi ”b” (30.64%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat degradasi dan fraksi ”b” proteinnya, sedangkan rumput gajah mempunyai tingkat degradasi BO (82.75%) relatif sama tetapi mempunyai fraksi ”b” BO (35.71%) yang lebih rendah dibandingkan dengan fraksi ”b” proteinnya. Hal ini menyebabkan nisbah degradasi protein dan degradasi BO rumput lapangan adalah lebih rendah dibandingkan dengan rumput gajah. Pada kedua hijauan leguminosa, daun lamtoro mempunyai tingkat degradasi protein (71.56%, Tabel 7) dan kandungan protein (13.97%, Tabel 3) yang lebih rendah dibandingkan dengan daun kaliandra, yakni berturut-turut sebesar 82.24% dan 21.08%. Sementara tingkat degradasi BO (78.79%) dan laju degradasi BO (0.095%/ jam) daun lamtoro lebih tinggi dibandingkan dengan daun kaliandra, yakni berturutturut sebesar 72.85%, dan 0.093%/jam. Hal ini menyebabkan nisbah degradasi protein dan degradasi BO daun lamtoro adalah lebih rendah dibandingkan dengan daun kaliandra.
Indeks Sinkronisasi Degradasi Protein dan BO Bahan Pakan dalam Rumen
Indeks sinkronisasi degradasi protein dan bahan organik bahan pakan pada nisbah sinkronisasi penyediaan N dan BO terfermentasi dalam rumen sebesar 20, 25 dan 30 g N/kg BO, terlihat pada Tabel 8 berikut. Pada Tabel 8 menunjukkan pada umumnya hijauan leguminosa dan pakan konsentrat sumber protein mempunyai indeks sinkronisasi degradasi protein dan bahan organik yang tinggi pada nisbah degradasi protein dan BO sebesar 30 g N/kg BO terfermentasi dalam rumen (I30), sedangkan hijauan rumput dan pakan konsentrat sumber energi mempunyai indeks sinkronisasi degradasi protein dan BO yang tinggi pada I20. Sebagaimana yang telah diutarakan di atas bahwa nisbah degradasi protein dan degradasi BO hijauan leguminosa dan pakan konsentrat sumber protein adalah lebih tinggi dibandingkan nisbah degradasi protein dan BO hijauan rumput dan pakan konsentrat sumber energi. Hal ini disebabkan hijauan leguminosa dan pakan konsentrat
63
Tabel 8 Rataan 1) indeks sinkronisasi dan penyediaan g N/kg BO terfermentasi per jam bahan pakan dalam rumen
I20
Indeks Sinkronisasi2) I25
I30
0.277 0.211 0.278 0.430 0.222 0.660
0.621 0.169 0.222 0.343 0.178 0.528
0.851 0.141 0.185 0.286 0.148 0.440
24.7 5.2 5.5 8.6 4.5 13.5
± ± ± ± ± ±
4.05 1.37 1.97 1.75 0.01 2.14
-0.975 -2.510 0.827 0.504 -0.167
-0.380 -0.717 0.695 0.403 0.266
0.017 -0.098 0.580 0.336 0.555
75.6 93.0 17.4 10.1 43.3
± ± ± ± ±
9.11 3.44 4.76 0.31 7.31
± 0.84 ± 8.57 ± 0.98 ± 1.74
g N/kg BO per jam3)
I. Konsentrat: Sumber Energi : Dedak Onggok Silase Onggok Singkong Ubi Jalar Jagung Sumber Protein : Ampas Tahu Bk. Kedele Bk. Kelapa B.Inti Sawit Tep. Ikan II. H i j a u a n : Rumput : R. Lapangan R. G a j a h R. R a j a Jr. Padi amoniasi. Leguminosa : Jr.kac.tanah J.kac.kedele
0.538 0.541 0.469 0.918
0.430 0.722 0.376 0.739
0.359 0.790 0.313 0.616
10.8 28.2 9.4 18.5
0.698 -0.109
0.860 0.313
0.840 0.595
25.7 ± 3.51 42.2 ± 5.81
Daun turi Lamtoro Daun Gamal Kaliandra
0.099 0.326 -1.364 -1.312
0.479 0.660 -0.691 -0.650
0.732 0.819 -0.243 -0.208
38.0 33.0 67.3 66.2
± ± ± ±
3.46 6.72 7.77 5.54
Keterangan : 1) n=2 ; 2) indeks sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi pakan dikaitkan dengan nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO sebesar 20, 25, 30 g N per kg BO terfermentasi dalam rumen; 3) rataan penyediaan g N/kg BO terfermentasi dalam rumen
sumber protein mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi (Tabel 3). Tingkat degradasi (a+b, Tabel 7) protein yang lebih tinggi dibandingkan tingkat degradasi BO atau laju degradasi (c, Tabel 7) protein yang lebih cepat dibandingkan laju degradasi BO. Pada Tabel 8 terlihat penyediaan g N/kg BO terfermentasi per jam dalam rumen adalah lebih tinggi pada hijauan leguminosa dan pakan konsentrat sumber protein dibandingkan dengan pada hijauan rumput dan pakan konsentrat sumber energi.
64
Selanjutnya terlihat nisbah penyediaan g N/kg BO terfermentasi per jam pada hijauan leguminosa dan pakan sumber protein mendekati nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO dalam rumen sebesar 30 g N/kg BO, dan kedua kelompok pakan tersebut mempunyai indeks sinkronisasi degradasi protein dan BO yang lebih tinggi pada I30 dibandingkan dengan indeks sinkronisasinya pada I25 maupun pada I20. Sedangkan nisbah penyediaan g N/kg BO terfermentasi per jam pada hijauan rumput dan pakan sumber energi mendekati nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO sebesar 20 g N/kg BO, dan kedua kelompok pakan tersebut mempunyai indeks sinkronisasi degradasi protein dan BO yang lebih tinggi pada I20 dibandingkan dengan indeks sinkronisasinya pada I25 maupun pada I30. Ini menunjukkan hijauan leguminosa dan pakan konsentrat sumber protein memberikan efisiensi sintesis N mikroba yang lebih tinggi dibandingkan dengan hijauan rumput dan pakan konsentrat sumber energi. Pada kedua pakan konsentrat sumber energi, dedak mempunyai nisbah penyediaan g N/kg BO terfermentasi per jam yang mendekati nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO dalam rumen sebesar 30 g N/kg BO. Sementara jagung mempunyai nisbah penyediaan g N/kg BO terfermentasi per jam yang mendekati nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO dalam rumen sebesar 20 g N/kg BO. Dengan demikian indeks sinkronisasi degradasi protein dan BO yang tertinggi adalah pada I30 untuk dedak yakni 0.851; dan pada I20 untuk jagung yakni 0.660. Ini menunjukkan dedak meberikan efisiensi sintesis protein yang rendah pada I20, karena tidak sinkron penyediaan N-protein dan energi walaupun keduanya sama-sama cepat penyediaannya. Sedangkan jagung mempunyai efisiensi sintesis yang redah pada I30, karena tidak sinkron penyediaan N-protein dan energi walaupun keduanya sama-sama lambat penyediaanya. Pada pakan konsentrat sumber protein, bungkil kelapa dan bungkil inti sawit mempunyai nisbah penyediaan g N/kg BO terfermentasi per jam mendekati nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO dalam rumen sebesar 20 g N/kg BO terfermentasi dalam rumen. Sementara tepung ikan mendekati nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO dalam rumen sebesar 30 g N/kg BO. Pada Tabel 8 terlihat in-
65
deks sinkronisasi bungkil kelapa dan bungkil inti sawit adalah tertinggi pada I20, yaitu berturut-turut sebesar 0.827 dan 0.504. Sementara tepung ikan mempunyai indeks sinkronisasi yang tertinggi pada I30, yaitu 0.555. Ini menunjukkan bungkil kelapa dan bungkil inti sawit mempunyai efisiensi sintesis protein yang rendah pada I30, karena tidak sinkron penyediaan N-protein dan energi walaupun keduanya sama-sama lambat penyediaannya. Sedangkan tepung ikan mempunyai efisiensi sintesis yang rendah pada I20, karena tidak sinkron penyediaan N-protein dan energi walaupun keduanya sama-sama cepat penyediaanya. Pada kedua pakan hijauan rumput, rumput lapangan mempunyai nisbah penyediaan g N/kg BO terfermentasi dalam rumen per jam mendekati nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO dalam rumen sebesar 20 g N/kg BO. Sementara rumput gajah mempunyai nisbah penyediaan g N/kg BO per jam mendekati nisbah sinkronisasi 30 g N/kg BO. Dengan demikian indeks sinkronisasi degradasi protein dan BO yang tertinggi adalah pada I20 untuk rumput lapangan yakni 0.84, dan pada I30 untuk rumput gajah yakni 0.790. Ini menunjukkan rumput lapangan mempunyai efisiensi sintesis protein yang rendah pada I30, karena tidak sinkron penyediaan Nprotein dan energi walaupun keduanya sama-sama lambat penyediaannya. Sedangkan rumput gajah mempunyai efisiensi sintesis yang rendah pada I20, karena tidak sinkron penyediaan N-protein dan energi walaupun keduanya sama-sama cepat penyediaannya. Pada kedua hijauan leguminosa, daun lamtoro dan daun kaliandra keduanya mempunyai nisbah penyediaan g N/kg BO terfermentasi per jam diatas 30 g N/kg BO. Tetapi daun lamtoro nilainya lebih mendekati nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO dalam rumen sebesar 30 g N/kg BO (I30), sehingga indeks sinkronisasi degradasi protein dan BO daun lamtoro lebih tinggi (0.819) dibandingkan dengan daun kaliandra (-0.208) (Tabel 8). Ini menunjukkan kedua hijauan tersebut mempunyai efisiensi sintesis protein yang rendah pada I20, karena tidak sinkron penyediaan N-protein dan energi walaupun keduanya sama-sama cepat penyediaannya. Berdasarkan indeks sinkronisasi bahan pakan disusun tiga macam ransum yang mana bahan pakannya sama tetapi berbeda nisbah sikronisasi degradasi protein dan
66
degradasi BO dalam rumen (20, 25, dan 30 g N-protein/kg BO terfermentasi dalam rumen). Ketiga ransum tersebut digunakan pada penelitian tahap II berikut ini.
Penentuan Nisbah Optimum Sinkronisasi Degarasi Protein dan BO dalam Rumen
Penelitian ini berujuan untuk menentukan nisbah sinkronisasi degradasi protein dan degradasi BO mana yang paling optimum terhadap efisiensi sintesis N mikroba rumen dan efisiensi makanan pada ternak sapi. Peubah yang diukur adalah profil cairan rumen, allantoin/efisiensi sintesis N mikroba rumen, konsumsi dan kecernaan nutrien, pertambahan bobot badan (PBB) dan efisiensi makanan. Profil Cairan Rumen dan Sintesis N Mikroba Rumen Tabel 9 Profil cairan rumen dan allantoin urin sapi yang diberi ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO dalam rumen Parameter Profil cairan rumen : NH3, mg/100 ml TVFA, mM pH Allantoin : mg/100 ml g /hari Sintesis N mikroba : Efisiensi (gN/kgBO) Produksi (gN/hari)
Ransum perlakuan R25
R30
25.96a 66.53b 5.92b
19.88b 78.33a 5.81b
16.66b 58.75b 6.77a
5.67 13.71 0.34
120.46a 2.68
80.62b 2.06
92.87b 2.50
14.85 0.94
9.48 14.17
11.48 20.97
4.32 7.92
R20
12.32 20.12
SE
Keterangan : Huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.01)
Aktifitas mikroba rumen terhadap makanan yang diberikan adalah untuk penyediaan nutrien untuk perkembangannya atau sintesis protein tubuhnya disertai dengan terbentuknya hasil ikutan berupa VFA, NH3 dan pH cairan rumen. Hasil penelitian ini terhadap profil cairan rumen , allantoin dan sintesis mikroba disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 menunjukkan rataan konsentrasi N-NH3 cairan rumen sapi yang diberi ransum dengan nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO adalah tertinggi (25.96 mg/100ml, P<0.01) dibandingkan dengan sapi yang diberi kedua ransum lainnya.
67
35 R20
NH3 (mg/100ml)
30 25
R25
20 15
R30
10 5 0 0
3
Waktu (jam)
6
9
Gambar 5 Kadar NH3 cairan rumen sapi yang diberi ransum dengan nisbah 20, 25, dan 30 g N/kg BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan
Pada Gambar 5 menunjukkan terjadi penurunan konsentrasi N-NH3 pada ransum dengan nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO dan 30 g N/kg BO selama 6 jam setelah pemberian makan, tetapi terjadi sebaliknya pada ransum dengan nisbah sinkronisasi 25 g N/kg BO. Konsentrasi N-NH3 yang tinggi serta terjadi penurunan selama 6 setelah pemberian makan ini sesuai dengan hasil penelitian lain untuk ransum yang sinkron dibandingkan ransum yang tidak sinkron (Sinclair et al. 1993; Chumpawadee et al. 2006). Hal ini terjadi karena energi lebih tersedia untuk menggunakan N-NH3 dalam sintesis protein mikroba pada ransum dengan nisbah 20 atau 30 g N/kg BO dibandingkan ransum dengan nisbah 25 g N/kg BO. Energi yang lebih tersedia pada ransum dengan nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO dapat disebabkan pemakaian jagung dan bungkil kelapa lebih banyak (Tabel 5),sementara indeks sinkronisasi kedua bahan pakan tersebut pada nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO (I20) adalah tinggi yakni berturut-turut sebesar 0.666 dan 0.827 (Tabel 4). Shabi et al.(1998) menyatakan bahwa ketersediaan energi dalam rumen adalah faktor yang sangat membatasi pemanfaatan N dalam rumen. Energi yang kurang tersedia pada ransum dengan nisbah sinkronisasi 25 g N/kg BO
memacu mikroba
rumen mefermentasi BO untuk memanfaatkan NH3 yang berlebih terutama karena pemakaian tepung ikan tinggi (Tabel 5), terlihat pada Tabel 9 dan Gambar 5 bahwa
68
90 R25
80
VFA (mM)
70
R20
60
R30
50 40 30 20 10 0 0
3
Waktu (jam)
6
9
Gambar 6 Kadar VFA cairan rumen sapi yang diber ransum dengan nisbah 20, 25, dan 30 g N/kg BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makanan
konsentrarsi TVFA pada ransum dengan nisbah sinkronisasi 25 g N/kg BO adalah tertinggi (P<0.01). Pada Gambar 6 terlihat terjadi penurunan TVFA selama 3 jam setelah makan pada ketiga ransum perlakuan. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan ketiga ransum mempunyai indeks sinkronisasi pelepasan N-protein dan energi relatif sama (Tabel 5) untuk dihasilkan efisiensi sintesis N mikroba. Sintesis mikroba yang efisien ini menurut Van Soest (1982) akan banyak
pemanfaatan VFA sebagai kerangka karbon
untuk sintesis mikroba dan menghasilkan VFA yang minimal. Pada gambar tersebut terlihat ransum dengan nisbah 25 g N/kg BO mempunyai TVFA yang konsisten lebih tinggi pada setiap waktu dibandingkan kedua ransum lainnya, ini menunjukkan ransum dengan nisbah 25 g N/kg BO menghasilkan efisiensi sintesis mikroba yang relatif rendah dibandingkan kedua ransum lainnya. Pada Tabel 3 terlihat ransum dengan nisbah 20 g N/kg BO mempunyai kandungan allantoin urin tertinggi (120.46 mg/100ml, P<0.01) dari kedua ransum lainnya yang satu sama lainnya berbeda tidak nyata. Walaupun ketiga ransum perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap sintesis N mikroba rumen (Tabel 3), ransum dengan nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO mempunyai efisiensi sintesis N mikroba rumen yang cenderung tertinggi (12.32 g N/kg BO terfermentasi ) diikuti ransum
69
dengan nisbah sinkronisasi 30 g N/kg BO (11.48 g N/kg BO terfermentasi) dan yang terendah pada ransum dengan nisbah 25 (9.48 g N/kg BO terfermentasi).
Faktor pakan
yang mempengaruhi jumlah dan efisiensi sintesis N mikroba rumen, diantaranya nisbah campuran hijauan dan konsentrat dalam ransum, sinkronisasi suplai N-protein dan energi, pencampuran sumber karbohidrat struktural dan non-struktural dan faktor lain yakni vitamin dan mineral (Karsli dan Russell 2001). Efisiensi sintesis N mikroba yang cenderung tinggi pada ransum dengan nisbah 20 g N/kg BO menunjukkan
lebih cepat pertumbuhan mikroba rumen per
satuan waktu dibandingkan dengan ransum dengan nisbah sinkronisasi 25 g N/kg BO dan nisbah sinkronisasi 30 g N/kg BO, walaupun ketiga ransum tersebut mempunyai indeks sinkronisasi yang relatif sama (Tabel 2). Hal ini dapat terjadi karena pemakaian jagung maupun bungkil kelapa lebih banyak pada ransum dengan nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO (Tabel 2), sementara indeks sinkronisasi jagung dan bungkil kelapa adalah lebih tinggi pada nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO yakni berturut-turut sebesar 0.660 dan 0.827. Pada jenis sapi lokal yang sama, hasil penelitian Warly et al.(1998) menunjukkan peningkatan nisbah jerami padi amoniasi: konsentrat, dari 20 : 80 sampai 80 : 20 (% BK ransum) mempunyai pengaruh yang tidak nyata (P > 0.05) terhadap efisiensi sintesis N mikroba rumen yakni berkisar 9.55 – 10.32 g N/kg BO terfermentasi dalam rumen. 8 7
R30
6
R20 R25
pH
5 4 3 2 1 0 0
3
Waktu (jam)
6
Gambar 7 pH cairan rumen sapi yang diberi ransum dengan nisbah 20, 25,dan 30 g N/kg BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan
9
70
Pemakaian rumput yang banyak pada ransum dengan nisbah sinkronisasi 30 g N/kg BO mempunyai SK yang tinggi dibandingkan ransum lainnya (Tabel 5) dan ini menyebabkan penurunan tingkat degradasi BO dan selanjutnya TVFA yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan ransum lainnya. Kedua menyebabkan pH cairan rumennya tertinggi (6.77, P<0.01) dan ini dapat disebabkan sekresi saliva yang tinggi sebagai akibat konsumsi serat yang tinggi (Bach et al. 2005). Konsumsi dan Kecernaan Nutrien serta Pertambahan Bobot Badan (PBB)
Pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi dan kecernaan zat makanan serta terhadap pertambahan bobot badan sapi disajikan pada Tabel 10. Pada penelitian ini ransum perlakuan menunjukkan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0.05) terhadap hampir seluruh peubah yang diukur (Tabel 10), hal ini terutama dapat disebabkan ketiga ransum tersebut mempunyai kandungan protein dan energi serta mempunyai indeks sinkronisasi yang hampir sama (Tabel 5). Biricik et al. (2006) melaporkan bahwa sinkronisasi degradasi pati dan protein dalam rumen tidak berpengaTabel 10 Konsumsi dan kecernaan zat makan serta pertumbuhan sapi yang diberi ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO dalam rumen BK Konsumsi, kg/hari Kecernaan, % BO Konsumsi, kg/hari Kecernaan, % PK Konsumsi, kg/hari Kecernaan, % SK Konsumsi, kg/hari Kecernaan, % TDN, % Retensi N, % PBB, g/ekor/hari Efisiensi ransum, %
R20
Ransum perlakuan R25
R30
3.54 73.92
3.24 74.95
4.04 71.94
0.42 4.60
3.25 75.93
2.96 77.08
3.71 74.54
0.38 4.00
0.39 73.41
0.37 76.44
0.46 73.49
0.05 4.67
0.40b 55.13 74.61 61.39 505.89 18.82
0.39b 53.97 75.15 59.31 348.21 14.32
0.69a 62.12 73.45 59.43 437.50 15.23
0.04 10.93 3.98 5.85 199.84 6.69
Keterangan :Huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.01)
SE
71
ruh terhadap konsumsi dan daya cerna nutrien dalam rumen dan seluruh saluran pencernaan pada ternak domba. Sebagaimana yang diutarakan di atas bahwa kurang tersedianya energi untuk memanfaatkan N-protein pada ransum dengan nisbah sinkronisasi 25 g N/kg BO akan memacu mikroba memfermentasi BO, dan ini ditandai dengan cenderung tingginya kecernaan BO dibandingkan dengan ransum dengan nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO maupun nisbah sinkronisasi 30 g N/kg BO (Tabel 10). Demikian pula pemberian hijauan yang tinggi pada ransum dengan nisbah sinkronisasi 30 g N/kg BO (Table5), telah meningkatkan konsumsi SK (0.69 kg/hari, P< 0.01) dibandingkan dengan ransum dengan nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO (0.40 kg/hari) dan ransum dengan nisbah sinkronisasi 25 g N/kg BO (0.39 kg/hari). Ketiga ransum perlakuan ini berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap kecernaan SK. Hal ini dapat terjadi karena populasi selulolitik proporsional dengan kandungan SK setiap ransum, yaitu adanya predominan mikroba selulolitik bila suatu ransum kaya akan serat dan sebaliknya bila ransum kaya akan pati (Bach et al. 2005). Seperti yang telah diutarakan, bahwa perkembangan mikroba rumen yang cenderung tinggi pada ransum dengan nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO akan menyediakan banyak protein yang berkualitas (Block 2006), sehingga banyak pula yang diretensi ditandai dengan PBB yang cenderung lebih tinggi daripada yang lain. Menurut Orskov (1982) salah satu faktor yang mempengaruhi deposit protein pada bobot hidup yang relatif sama adalah level nutrisi, yaitu peningkatan konsumsi energi akan meningkatkan retensi protein sampai suplai protein menjadi pembatasnya. Demikian pula efisiensi ransum dengan nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO (18.82%) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan ransum dengan nisbah sinkronisasi 25 g N/kg BO (14.32%) maupun nisbah sinkronisasi 30 g N/kg BO (15.23%) (Tabel 10). Pada penelitan ini hampir semua peubah tidak nyata (P>0.05, Tabel 10) dipengaruhi ransum perlakuan, hal ini terutama dapat disebabkan ketiga ransum tersebut mempunyai indeks sinkronisasi yang hampir sama (Tabel 5). Biricik et al. (2006) melaporkan bahwa sinkronisasi degradasi pati dan protein dalam rumen tidak berpengaruh terhadap konsumsi dan daya cerna nutrien dalam rumen dan seluruh
72
saluran pencernaan pada ternak domba. Kenyataan ini disertai uraian di atas, menunjukkan bahwa ransum dengan nisbah sinkronisasi sebesar 20 g N/kg BO mempunyai efisiensi sintesis N mikroba dan efisiensi ransum yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kedua ransum lainnya. Nisbah ini lebih rendah dari yang rekomendasikan Sinclair et al. (1993) yakni sebesar 25 g N/kg BO. Kecernaan yang rendah pakan hijauan maupun pakan konsentrat akibat proporsi lignin tinggi di daerah tropis (Ibrahim et al. 1995), hal ini dapat menyebabkan pelepasan N-protein dan energi sama-sama
lambat dan sedikit dan selanjutnya membatasi N-protein yang dapat dimanfaatkan untuk sintesis N mikroba dalam rumen. Berdasarkan uraian diatas dapat dinyatakan bahwa nisbah sinkronisasi degradasi protein dan bahan organik yang optimal adalah 20 g N-protein/kg BO terfermentasi dalam rumen. Nisbah sinkronisasi ini digunakan untuk menentukan indeks sinkronisasi bahan pakan yang dipakai dalam ransum perlakuan pada penelitian tahap III berikut ini.
Kandungan Energi dan Protein yang Optimal dalam Ransum Berbasis Sinkronisasi Degradasi Protein dan BO Ransum dalam Rumen Sapi Lokal
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kebutuhan energi dan protein yang optimal dalam ransum yang nisbah sinkronisasi degradasi protein dan bahan organik dalam rumen sebesar 20 g N/kg BO terfermentasi dalam rumen, agar diperoleh efisiensi sintesis N mikroba rumen dan pertumbuhan sapi lokal yang optimal serta efisiensi ransum. Peubah yang diukur adalah profil cairan rumen, allantoin/efisiensi sintesis N mikroba rumen, konsumsi dan kecernaan nutrien, pertambahan bobot badan (PBB) dan fisiensi makanan. Profil Cairan Rumen
Pada Tabel 11 menunjukkan ransum perlakuan dengan TDN yang berbeda pada level protein yang sama, berpengaruh tidak nyata (P > 0.05) terhadap konsentrasi NH3 cairan rumen. Nilai konsentrasi NH3 ransum R1 (14.96 mg/100ml) cenderung
73
Tabel 11 Profil cairan rumen sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein Cairan rumen TVFA, mM NH3, mg/100ml pH
R2
R1
116.25a 109.58ab 14.96 7.45a
19.08 6.97b
R3
R4
R5
R6
SE
89.59b
97.50ab
90.84b
108.33ab
14.88
15.37 7.46a
15.47 6.96b
19.31 6.49c
17.85 6.15d
4.57 0.13
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05); R1= ransum 10% PK, 65% TDN; R2 = ransum 10% PK, 70% TDN; R3 = ransum 12% PK, 65%TDN; R4 =ransum 12% PK, 70% TDN; R5 = ransum 14% PK,65% TDN; R6 = ransum 14% PK,70% TDN
terendah dari ransum lainnya, bahkan cenderung lebih rendah
dibandingkan R2
(19.08 mg /100ml) yang mempunyai kandungan energi yang lebih tinggi (70% TDN). Demikian pula hal yang sama antara R3 dan R4 kecuali antara R5 dan R6. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa bahan pakan dengan nilai indeks sinkronisasi relatif tinggi dan pemakaiannya dalam ransum relatif banyak akan dihasilkan konsentrasi NH3 yang rendah, dan sebaliknya. Pada ransum R1 dan R3 pemakaian rumput relatif banyak dan mepunyai nilai indeks sinkronisasi relatif tinggi (0.538,Tabel 4), sementara pemakaian dedak relatif sedikit dan nilai indeks sinkronisasinya relatif rendah (0.277). Dengan demikian ransum R1 dan R3 menghasilkan konsentrasi NH3 relatif rendah dibandingkan dengan ransum R2 dan R4. Pemakaian rumput dan de30 R2 NH3 (mg/100ml
25 R6 R5 R4
20 15
R3 R1
10 5 0 0
3
6
9
Waktu (jam) Gambar 8 NH3 cairan rumen sapi dengan ransum R1=10%PK, 65%TDN;R2=10%PK,70%TDN;R3=12% PK,65%TDN; R4=12%PK,70%TDN;R5=14%,65%TDN; R6=14%PK, 70%TDN, pada 0,3,6, dan 9 jam setelah makan
74
dak antara R5 dan R6 tidak menyolok perbedaannya, tetapi R5 memakai tepung ikan lebih banyak dibandingkan R6. Indeks sinkronisasi tepung ikan relatif sangat rendah (-0.167, Tabel 4) sehingga R5 menghasilkan konsentrasi NH3 lebih tinggi dibandingkan R6. Pada Gambar 8 terlihat R1 mengalami penurunan konsentrasi NH3 yang lebih tinggi selama 3 jam setelah makan dibandingkan R2, bahkan terjadi penurunan kembali pada periode 6-9 jam setelah makan. Sedangkan R2 mengalami peningkatan konsentrasi NH3 pada periode tersebut. Walaupun R3 mempunyai konsentrasi NH3 relatif tinggi selama 3 jam setelah makan dibandingkan R4, tetapi R3 mengalami penurunan konsentrasi NH3 secara drastis pada periode 3-9 jam setelah makan. Sedangkan R4 konsentrasinya relatif konstan pada periode yang sama. Demikian halnya R5 dibandingkan dengan R6, R5 mengalami penurunan konsentrasi NH3 lebih tinggi selama 6 jam setelah makan dan mengalami peningkatan lebih kecil pada periode 6-9 jam setelah makan. Sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa penurunan konsentrasi NH3 sebagai akibat penggunaan NH3 untuk sintesis N mikroba karena energi yang lebih tersedia. Seperti yang telah diutarakan di atas bahwa pada ransum dengan 65% TDN (R1, R3, dan R5) dibandingkan dengan ransum dengan 70% TDN (R2, R4, dan R6), pemamakaian rumput relatif banyak dan indeks sinkronisasi rumput relatif tinggi (0.538, Tabel 4). Sebaliknya pemakaian dedak relatif sedikit dan indeks sinkronisasi dedak relatif rendah (0.227, Tabel 4). Shabi et al. (1998) menyatakan, bahwa ketersediaan energi dalam rumen adalah faktor yang sangat membatasi pemanfaatan N dalam rumen. Tabel 11 terlihat ransum yang berbeda kandungan energi pada setiap level protein menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0.05) terhadap konsentrasi TVFA. Pada R1, R3 dan R5 pemakaian rumput lebih banyak tetapi pemakaian dedak lebih sedikit. Kedua pakan tersebut mepunyai kandungan karbohidrat yang tinggi dan bila difermentasi dihasilkan VFA yang sama-sama banyak, sebaliknya pada R2, R4 dan R6 pemakaian rumput lebih sedikit tetapi pemakaian dedak lebih banyak. Dengan demikian antara ransum 65% TDN dan ransum 70% TDN menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) konsentrasi TVFA yang dihasilkannya.
75
Sedangkan ransum yang berbeda kandungan protein pada setiap level TDN menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap konsentrasi TVFA. R1 mempunyai konsentrasi TVFA tertinggi (116.25 mM) dibandingkan R3 (89.59 mM) dan R5 (90.84 mM), sedangkan antara R3 dan R5 menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05). Hal ini disebabkan pemakaian rumput yang lebih banyak pada R1 dibandingkan dengan R3 dan R5. Walaupun R3 memakai rumput lebih banyak tetapi pemakai dedak lebih sedikit dibandingkan R5, sehingga kedua ransum tersebut menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) terhadap konsentrasi TVFA. Gambar 9 menunjukkan perbedaan yang kontras antara R1 dan R2, yaitu R1 terjadi penurunan konsentrasi TVFA selama 9 jam setelah pemberian makan, sebaliknya R2 terjadi peningkatan. R3 mempunyai konsentrasi TVFA yang lebih rendah selama
140 R2 R3 R1 R6 R4 R5
VFA (mM)
120 100 80 60 40 20 0 0
3
Waktu (jam)
6
9
Gambar 9 VFA cairan rumen sapi dengan ransum R1=10%PK,65% TDN;R2=10%PK,70%TDN;R3=12%PK,65%TDN; R4= 12%PK,70%TDN;R5=14%PK,65%TDN;R6=14%PK,70% TDN; pada 0,3,6,dan 9 jam setelah makan
6 jam setelah makan dibandingkan dengan R4, demikian pula R5 secara konsisten mempunyai konsentrasi TVFA yang lebih rendah pada setiap waktu dibandingkan dengan R6. Rendahnya konsentrasi VFA menunjukkan lebih tersedia energi untuk memanfaatkan N-protein dalam sintesis N mikroba. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa ransum yang efisien dalam sintesis N mikroba mempunyai konsentrasi TVFA yang relatif lebih rendah hampir setiap waktu setelah makan diban-
76
dingkan ransum yang tidak efisien. Van Soest (1982) menyatakan bahwa efisiensi mikroba merupakan proporsi energi substrat yang terikat dalam sel mikroba sehingga berhubungan terbalik dengan produksi VFA. Penurunan konsentrasi VFA ini dapat pula akibat penggunaan VFA sebagai kerangka karbon (baik yang lurus maupun bercabang) dalam sintesis protein mikroba. FVA dibutuhkan sebagai kerangka karbon rantai lurus maupun bercabang untuk sintesis N mikroba (Van Soest 1982; Stern et al. 2006). Tinggi-rendahnya konsentrasi VFA yang dihasilkan tersebut akan tampak sebaliknya terhadap pH yang dihasilkan ransum tersebut. Tabel 11 menunjukkan R2
pH
mempunyai pH yang sangat nyata lebih rendah (6.97, P< 0.01) dibandingkan R1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
R3 R1 R4 R2 R5 R6
0
3
6
Waktu (jam) Gambar 10 pH cairan rumen sapi dengan ransum R1=10%PK 65%TDN;R2=10%PK,70%TDN;R3=12%,65%;R4= 12%PK,70%TDN;R5=14%PK,65%TDN;R6=14% PK,70%TDN; pada 0,3,6, dan 9 jam setelah makan
9
(7.45); R4 lebih rendah (6.96, P<0.01) dibandingkan R3 (7.46); demikian pula R6 mempunyai pH lebih rendah (6.15, P<0.01) dibandingkan R5 (6.49).Tinggi/rendahnya pH antara kedua ransum tersebut akan tetap konsisten tinggi/ren-dahnya selama 9 jam setelah makan (Gambar 10). Sintesis N Mikroba Rumen
Pada Tabel 12 menunjukkan ransum dengan 65% TDN mempunyai produksi N mikroba yang tinggi (16.27 g N/hari, P< 0.05) dibandingkan ransum dengan 70%
77
Tabel 12 Kadar allantoin dan sintesis N mikroba rumen sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein TDN (%) Allantoin : mg/100ml
65 70
Rataan g/hari
Rataan Sin.N Mikroba : Ef.Sin N Mikroba, (g N/kg BO) : Rataan Prod.N Mikroba, (g N/hari) : Rataan
65 70
65 70
65 70
10
Protein (%) 12
14
Rataan
151.03 96.10
129.17 10.85
128.60 117.76
123.57
115.51
123.18
2.72 2.09
2.26 1.78
2.49 1.59
2.40
2.02
2.04
12.50 9.60 11.05
10.41 8.21 9.31
11.46 7.30 9.38
11.46 8.37
16.86 11.78 14.32
15.71 9.06 12.38
16.25 4.04 10.15
16.27a 8.29b
SE
136.27 105.24 46.22 2.49 1.82 0.70
3.22
6.00
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
TDN (8.29 g N/hari). Demikian pula ransum dengan 65% TDN cenderung mempunyai kadar allantoin urin dan efisiensi sintesis mikroba yang tinggi dibandingkan ransum dengan 70% TDN. Sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa ransum yang banyak memakai bahan pakan dengan indeks sinkronisasi yang tinggi akan dihasilkan efisiensi sintesis protein mikroba yang tinggi. Ransum dengan 65% TDN (R1, R3, dan R5) banyak memakai rumput yang indeks sinkronisasinya sebesar 0.538 (Tabel 4), sedangkan ransum dengan 70% TDN (R2, R4, dan R6) banyak memakai dedak (Tabel 6) sementara indeks sinkronisasinya sebesar 0.277 (Tabel 4). Ransum dengan 65% TDN mempunyai kadar lemak yang rendah (Tabel 6) karena pemakaian dedak dan bungkil yang rendah pula dibandingkan dengan ransum dengan 70% TDN (Tabel 5). Harfoot dan Hazlewood (1997) menyatakan bahwa lemak menurunkan pencernaan nutrien (karbohidrat dan protein) dan sintesis sel mikroba rumen. Walaupun level protein dalam ransum menunjukkan pengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap kadar allantoin maupun terhadap sintesis protein mikroba, tetapi
78
ransum dengan 10% protein cenderung mempunyai kadar allantoin urin dan sintesis N mikroba tertinggi diikuti ransum dengan 12% protein dan yang terendah ransum dengan 14% protein. Hal ini dapat terjadi karena R1 dan R2 lebih banyak memakai rumput (indek sinkronisasinya tinggi) tetapi lebih sedikit memakai tepung ikan yang indeks sinkronisasinya sangat rendah yakni -0.167 (Tabel 4). Sedangkan ransum lainnya pemakaian rumput sedikit tetapi banyak memakai tepung ikan. Demikian pula pemakaian bungkil kelapa yang meningkat selain meningkatkan level protein juga meningkat pula kandungan lemak ransum (Tabel 6), selanjutnya dapat menyebabkan rendahnya sintesis N mikroba rumen. Konsumsi Nutrien
Tabel 13 menunjukkan ransum perlakuan dengan kadar protein dan TDN yang rendah umumnya menunjukkan konsumsi nutrien yang tinggi, kecuali konsumsi leTabel 13 Konsumsi nutrien ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein Konsumsi Nutrien Bahan Kering, kg :
TDN (%) 65 70
Rataan Bahan Organik, kg :
65 70
Rataan Serat Kasar, kg :
65 70
Rataan Protein Kasar, kg :
65 70
Rataan Lemak kasar, kg : Rataan
65 70
10 2.06 1.97 2.02
Protein (%) 12 2.49 1.79 2.14
14 2.46 1.14 1.80
1.90 1.79 1.85
2.32 1.55 1.94
2.28 1.00 1.64
2.16a 1.45b
0.52 0.25 0.39
0.36 0.21 0.28
0.33 0.12 0.23
0.40a 0.20b
0.22 0.24 0.23
0.26 0.25 0.26
0.31 0.16 0.23
0.26 0.22
0.05 0.11 0.08
0.09 0.11 0.10
0.12 0.08 0.10
0.09 0.10
Rataan
SE
2.34a 1.63b 0.44
0.37
0.07
0.06
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama pada setiap peubah menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
0.03
79
mak kasar. Sebagaimana yang telah diutarakan bahwa ransum 70% TDN adalah kontribusi pemakaian dedak halus dan jagung (ransum R2) dalam jumlah banyak (Tabel 6). Peningkatan pemakaian dedak menyebabkan peningkatan kadar lemak ransum, karena bahan pakan tersebut mengandung lemak tinggi (Tabel 6). Penurunan konsumsi nutrien dapat disebabkan kadar lemak yang tinggi, karena lemak mempunyai caloric density yang tinggi sehingga akan membatasi konsumsi nutrien. Menurut Van
Soest (1982) faktor yang membatasi konsumsi adalah mengkonsumsi makanan yang mempunyai caloric density tinggi. Sebaliknya ransum dengan 65% TDN memakai rumput dalam jumlah banyak yang selanjutnya meningkatkan palatabilitas ransum. Dengan demikian ransum yang semakin meningkat pemakaian rumput akan semakin banyak dikonsumsi, selanjutnya akan semakin tinggi pula konsumsi nutrien yang memang tinggi pada rumput lapangan (konsumsi SK). Sapi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi lokal atau dikenal ”sapi pesisir” yang biasanya dilepas di lapang penggembalaan atau disabitkan rumput. Ransum 10% protein khususnya ransum 10% protein 65% TDN (R1) memakai rumput lapangan dalam jumlah banyak (86.28%), sehingga mempunyai kandungan serat kasar yang tertinggi (24.67%) dari ransum lainnya (berkisar 10.27 -14.35%) (Tabel 6). Kandungan serat yang tinggi menyebabkan ransum tersebut mempunyai keambaan yang tinggi (bulky) dan selanjutnya akan membatasi konsumsi. Konsumsi ransum yang rendah ini akan rendah pula konsumsi nutrien yang terkandung dalam ransum tersebut (konsumsi bahan kering, protein dan lemak kasar). Terbatasnya konsumsi ransum yang keambaan yang tinggi ini sebagai akibat distensi terhadap saluran pencernaan (Van Soest 1982). Sedangkan ransum dengan protein 14% memakai bungkil kelapa dalam jumlah banyak (36.80 – 37.60 %), sehingga mempunyai kandungan lemak yang tinggi (6.70-7.30 %) dari ransum lainnya (berkisar 2.60 – 5.74). Kandungan lemak yang tinggi ini menyebabkan tingginya calori density dan selanjutnya akan membatasi konsumsi bahan kering (Church dan Pond 1982). Pada Lampiran 2 menunjukkan adanya korelasi yang positif antara konsumsi nutrien (BK, BO, SK dan protein) dan efisiensi sintesis N mikroba/produksi N mikroba. Nilai korelasi antara produksi N mikroba dan konsumsi nutrien adalah sangat
80
erat dibandingkan dengan nilai korelasi antara efisiensi N mikroba dan parameter tersebut. Tingginya nilai korelasi produksi N mikroba dibandingkan dengan nilai korelasi efisiensi sintesis N mikroba terutama karena sama-sama data harian yang dikorelasikan, sedangkan efisiensi sintesis N mikroba merupakan indikasi kemampuan per satuan energi memanfaatkan N-protein yang tersedia pada sintesis N mikroba dalam rumen.
Menurut Block (2006) efisiensi mikroba dihitung sebagai jumlah gram N
mikroba yang dihasilkan per kg BO terfermentasi dalam rumen, dengan kata lain seberapa banyak mikroba menggunakan BO untuk membuat protein. Penentuan produksi N mikroba ini penting karena merupakan suatu indeks sejumlah protein mikroba yang tersedia bagi sapi setiap hari (Fellner 2005) Hal ini menunjukkan semakin meningkat konsumsi ransum akan meningkat pula sintesis N mikroba. Konsumsi ransum yang meningkat ini adalah termasuk konsumsi BO, bila jumlah BO yang difermentasi meningkat akan meningkat pula sintesis N mikroba (Bach et al. 2005).
Kecernaan Nutrien
Pada Tabel 14 menunjukkan ransum perlakuan dengan kadar protein dan TDN yang rendah umumnya menghasilkan daya cerna nutrien yang tinggi (P<0.05). Seperti yang telah diutarakan, bahwa pemakaian dedak halus dan bungkil kelapa meningkatkan kadar protein ransum perlakuan, sedangkan peningkatan kadar TDN ransum perlakuan adalah kontribusi pemakaian dedak halus dan jagung (ransum R2)(Tabel 6). Demikian pula peningkatan pemakaian dedak dan bungkil kelapa menyebabkan peningkatan kadar lemak ransum karena keduanya mengandung lemak tinggi (Tabel 6). Kandungan lemak yang tinggi dalam ransum ini menyebabkan penurunan daya cerna serat kasar (karbohidrat) maupun protein. Sapi potong biasa diberikan 3-4% lemak dalam ransum dan bila diberikan diatas 5% akan menurunkan penampilan ternak (Shirley 1986). Harfoot dan Hazlewood (1997) melaporkan bahwa konsentrasi lemak dalam rumen mempengaruhi biohidrogenasi, metanogenesis, kecernaan secara keseluruhan, fermentasi karbohidrat, deaminasi protein dan sintesis sel mikroba dalam rumen. Selanjutnya dilaporkan bahwa dua teori menjelaskan pengaruh lemak yang
81
Tabel 14 Kecernaan nutrien ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein Daya Cerna Nutrien Bahan Kering, % :
TDN (%) 65 70
Rataan Bahan Organik, % :
65 70
Rataan Serat Kasar, % :
65 70
Rataan Protein Kasar, % :
65 70
Rataan Lemak kasar, % :
65 70
Rataan TDN, % : Rataan
65 70
10 71.12 67.52 69.32a
Protein (%) 12 67.67 57.27 62.47a
14 65.02 52.69 58.85b
75.37 72.08 73.73a
72.58 63.34 67.96b
70.61 58.46 64.53b
72.85a 64.63b
76.49 52.22 64.35a
51.04 22.45 36.74b
43.08 23.94 33.51b
56.87a 32.87b
72.97 64.43 68.70a
64.57 62.12 63.35b
64.29 56.55 60.42b
67.28a 61.03b
69.03b 81.55a 75.29
69.87b 73.86b 71.86
79.11a 77.81a 78.45
72.67 77.74
72.45 69.78 74.71a
67.22 76.96 65.29b
60.79 56.90 62.23b
69.81 65.00
Rataan
SE
67.93a 59.16b 3.57
3.28
3.02
9.12
2.82
6.55
Keterangan : huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama pada seiap peubah menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)
menghambat hal tersebut. Pertama, yaitu lemak menyelimuti (coat) mikroorganisma dengan suatu film yang hidropobik untuk menghambat metabolisma dan menyelimuti serat selulosa dari interfensi bakteri sehingga terhambat hidrolisis selulosa. Hambatan lain, yaitu pengaruh asam lemak tidak jenuh yang mempengaruhi fluidity membrane sitoplasma yang selanjutnya mempengaruhi permeabilitas membran mikroorganisma. Sedangkan pemakaian jagung yang tinggi pada R2 menyebabkan tingginya crystalline amylopectin matrix dan matriks protein yang kuat pada endosperm (Nocek dan Russell 1988) atau tingginya fibrous coat (Orskov 2002), yang selanjutnya akan menurunkan kecernaan pati atau protein jagung. Pada Tabel 14 terlihat adanya interaksi kadar protein dan TDN ransum perlaku-
82
an terhadap daya cerna lemak kasar. Sebagaimana yang telah diutarakan, bahwa peningkatan kadar protein ransum perlakuan adalah kontribusi pemakaian dedak halus dan bungkil kelapa, sedangkan peningkatan kadar TDN ransum perlakuan adalah kontribusi pemakaian dedak halus dan jagung (ransum R2) (Tabel 6). Ransum yang memakai jagung lebih banyak daripada dedak menunjukkan kecernaan lemak kasar yang tinggi, demikian pula ransum yang banyak memakai dedak daripada bungkil kelapa menunjukkan kecernaan lemak kasar yang tinggi. Pada Tabel 14 terlihat ransum yang rendah kandungan protein dan TDN menunjukkan total digestible nutrients (TDN) ransum yang tinggi, dan ransum 10% protein menunjukkan TDN tertinggi (74.71%, P<0.05) dibandingkan dengan ransum dengan 12% protein (65.29%) maupun ransum dengan 14% protein (62.23%). Hal ini disebabkan ransum dengan 10% protein mempunyai kecernaan nutrien lainnya yang tinggi pula (P<0.05). Adanya korelasi yang positif baik antara efisiensi sintesis N mikroba maupun produksi N mikroba dan kecernaan BK, BO, SK, PK, dan total digestible nutrients (TDN). Seperti halnya pada korelasi antara sintesis mikroba dan konsumsi nutrien, nilai korelasi antara produksi N mikroba dan konsumsi nutrien sangat erat dibandingkan dengan nilai korelasi antara efisiensi N mikroba dan parameter tersebut. Adanya korelasi positif antara produksi N mikroba dan parameter kecernaan dapat disebabkan semua nutrien (diantaranya karbohidrat, protein dan lemak) mengalami degradasi akibat aktifitas mikroba rumen. Misalkan protein makanan dalam rumen akan mengalami metabolisma, yaitu menurut Bach et al. (2005) adalah hasil aktifitas mikroorganisma dalam rumen yang besarnya dipengaruhi oleh pH dan predominan spesis dari populasi mikroba.
Pertumbuhan Sapi
Pengaruh ransum perlakuan terhadap retensi N, pertambahan bobot badan (PBB), efisiensi ransum, dan protein efficiency ratio (PER) disajikan pada Tabel 15. Pada Tabel 15 menunjukkan ransum perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap seluruh parameter, kecuali ransum 65% TDN mempunyai retensi N yang lebih
83
Tabel 15 Retensi N, PBB, efisiensi ransum, dan PER ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein
Retensi N :
TDN (%) 65 70
10 9.54 10.09 9.82
Rataan P B B, g/ekor/hari :
65 70
Rataan Ef. Ransum, (%) :
Rataan
4.46
336.00 79.33 207.67
219.67 167.89
4.58 10.37 7.47
6.46 8.29 6.37
13.85 3.60 8.73
8.30 7.42
0.44 0.87 0.65
0.89 0.42 0.66
1.11 0.26 0.69
0.81 0.52
41.90 32.31 37.11
29.86 49.32 39.59
36.74 32.72 34.73
36.17 38.12
65 70
65 70
65 70
Rataan
SE
14.93a 8.62b
229.67 178.33 204.00
Rataan B U N, mg/dl :
14 18.73 4.86 11.80
93.33 246.00 169.67
Rataan PER :
Protein (%) 12 16.52 10.90 13.71
155.86
8.46
0.61
11.54
Keterangan : huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama pada setiap peubah menunjukkan berbeda nyata (P<0.05); PER = protein efficiency ratio; BUN = blood nitrogen urea
tinggi (14.93%, P<0.05) dibandingkan dengan
ransum
70% TDN
(8.62%).
Sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa pada ransum yang sinkron akan tinggi perkembangan mikroba rumen dan tinggi pula yang diretensi yang ditandai dengan PBB yang cenderung lebih tinggi. Demikian pula ransum yang sinkron mempunyai efisiensi ransum yang cenderung tinggi. Retensi N yang tinggi pada ransum 65% TDN disebabkan konsumsi energi yang tinggi pula pada ransum tersebut (Tabel 13). Menurut Orskov (1982) salah satu faktor yang mempengaruhi deposit protein pada bobot hidup yang relatif sama adalah level nutrisi, yaitu
peningkatan konsumsi
energi akan meningkatkan retensi protein sampai suplai protein menjadi pembatasnya. Menurut NRC (1987) konsumsi energi besarnya sebanding dengan konsumsi bahan kering ransum. Walaupun ransum perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap hampir seluruh parameter, tetapi ransum 65% TDN menunjukkan pengaruh yang cende-
84
rung lebih tinggi dibandingkan dengan ransum 70% TDN. Hal ini terutama disebabkan ransum dengan 65% TDN menyebabkan konsumsi energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ransum dengan 70% TDN. Konsumsi energi yang tinggi ini sesuai dengan konsumsi bahan kering yang lebih tinggi pula pada ransum 65% TDN dibandingkan dengan ransum 70% TDN (P<0.05, Tabel 13). Sebaliknya ransum 10% protein khususnya ransum 10% protein TDN 65 pengaruhnya terhadap seluruh parameter (diantaranya PBB) cenderung lebih rendah dibandingkan dengan ransum 12% protein dan ransum 14% protein. Sebagaimana yang telah diutarakan bahwa konsumsi bahan kering ransum 10% protein cenderung lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi bahan kering ransum 12% protein sebagai akibat pemakaian rumput yang banyak. Walaupun konsumsi bahan kering ransum 14% protein cenderung lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi bahan kering ransum 10% protein, tetapi ransum 14% protein menunjukkan hasil yang cenderung lebih baik. Hal ini dapat disebabkan ransum 14% protein mempunyai bypass sumber energi (bahan organik) yang lebih tinggi dibandingkan dengan ransum 10% protein. Pada Tabel 6 terlihat bahwa rumen undegraded protein (RUP) pada ransum protein dengan 10, 12 dan 14% berturut-
turut berkisar 3 – 4; 5 – 6; dan 6 – 7 %, sementara bahan organik yang lolos terdegradasi dalam rumen (unfermented OM) berkisar 27-31; 32-33; dan 33-34%. Hal ini menunjukkan ransum dengan 14 % protein selain banyak tersedia protein juga banyak tersedia karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi, karena banyak memakai dedak dan bungkil kelapa dalam ransumnya. RUP dibutuhkan dalam jumlah besar dari protein tambahan (feed supplement) pada makanan ternak ruminansia berproduksi tinggi (Stern et al. 2006). Dengan demikian ransum 14% protein akan banyak proteinnya yang termanfaatkan untuk pertumbuhan sapi karena banyak tersedia sumber energinya, ditandai PBB (207.67 g/ekor/hari) dan efisiensi protein/ransum yang cenderung tinggi. Sedangkan kadar blood urea nitrogen (BUN) cenderung rendah (34.73 mg/dl) (Tabel 15). Sesuai menurut Fuller (2000) bila konsumsi karbohidrat dan lemak banyak tersedia dalam tubuh, oksidasi asam amino diminimalisir tetapi dimanfaatkan secara
85
maksimal. Sebaliknya bila konsumsi karbohidrat dan lemak terbatas, oksidasi asam amino meningkat. Selanjutnya Bani et al. (1991) melaporkan hasil penelitiannya, bahwa penyerapan amonia rumen dan glukoneogenesis dari absorbsi asam-asam amino menyebabkan kandungan urea darah bervariasi, tetapi glukoneogenesis nampaknya sangat berperan terutama ketika pemberian protein relatif tinggi. Pada penelitian ini sapi yang diberi ransum 14% protein 65% TDN memberikan respon pertumbuhan yang cederung lebih baik, tetapi kadar BUN cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan ransum 12% protein 65% TDN. Dengan demikian pemberian ransum 12% protein 65% TDN dengan RUP 5.7 % (Tabel 6) pada sapi percobaan ini dapat menunjang pertumbuhan yang optimal dan dihasilkan kadar BUN yang lebih rendah (29.86 mg/dl). Ternak sapi yang berproduksi susu tinggi dan yang pertumbuhannya cepat (sapi muda) perlu banyak tersedia RUP selain dari protein mikroba (NRC 1988; Broderick 2006). RUP dari 5 % menjadi 7% dari BK ransum dengan kadar PK ransum 18% untuk sapi awal laktasi adalah menguntungkan untuk produksi susu (Gustafsson et al. 2006). Pemberian ransum 14% protein 65% TDN dengan RUP 6.8 % (Tabel 6) dihasilkan kadar BUN yang lebih tinggi (36.74 mg/dl, Tabel 15) dan dikhawatirkan menimbulkan gangguan reproduksi, yaitu resiko yang potensial terhadap kesuburan yang rendah (low fertility) (Bani et al. 1991); kemungkinan bertalian dengan perubahan fisiologi ovary dan uterus yang mengakibatkan tidak cukupnya luteal dan kematian embrio (Sinclair et al. 2000). Adanya korelasi yang erat antara produksi N mikroba dan retensi N, PBB dan protein efisiensi ratio (PER), terutama dapat disebabkan 70% atau lebih sumber protein sapi perah (ternak ruminansia) berasal dari protein mikroba rumen (Gustafsson et al. 2006); profil asam amino (AA) protein mikroba sangat konsisten dan ideal
untuk memenuhi kebutuhan sapi perah (Block 2006).
86
PEMBAHASAN UMUM
Pada ternak ruminansia nutrien dibutuhkan untuk mikroba dalam rumen dan untuk metabolisme antara (intermediatary metabolism), yaitu untuk kedua hal tersebut zat pakan dibutuhkan untuk penyediaan energi dalam bentuk ATP dan sebagai bahan (precursor) untuk sintesis lemak, protein dan karbohidrat dalam tubuh. Dengan demikian ransum hendaknya dalam keadaan seimbang jumlah zat pakan yang tersedia untuk kedua hal tersebut (Taminga dan Williams 1998). Lebih lanjut Fellner (2005) menyatakan bahwa untuk memaksimalkan produktivitas ternak ruminansia, yaitu dengan memenuhi kebutuhan nutrien untuk ternak ruminansia dan mikroba rumen. Pada umumnya dalam penyusunan ransum untuk ternak ruminansia didasarkan kebutuhan akan protein kasar (PK)/protein dapat dicerna (Prdd) dan energi dalam bentuk TDN (total digestible nutrients), tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang efektif bagi pertumbuhan mikroba dalam rumen. Sehingga kadang kala dijumpai perbedaan yang signifikan penampilan produksi diantara ternak ruminansia percobaan, walaupun ransum masing-masing ternak tersebut disusun relatif sama kandungan protein dan energi (iso-protein dan iso-energi). Sistem protein kasar (total crude protein) dan digestible crude protein (DCP) keduanya mempunyai kelemahan terutama terhadap perhitungan transaksi nitrogen dalam rumen (Cottrill 1998). Dewasa ini sistem yang digunakan untuk formulasi ransum untuk ternak ruminansia berdasarkan kepada penyediaan RDP (rumen degradable protein) dan RUP (rumen undegraded protein) serta berdasarkan tingkat fermentasi BO atau ME (metabolizable energy) terfermentasi dalam rumen (ARC 1984). Berdasarkan tinjauan
literatur diindikasikan perhitungan kebutuhan protein untuk ternak ruminansia berdasarkan PK ransum tidak cukup karena RDP akan menentukan sintesis N mikroba yang mana sebagai sumber protein utama bagi ternak ruminansia (Karsli dan Russell 2002). Sistim evaluasi protein yang mana protein pakan terbagi menjadi RDP dan UDP dikenal sebagai sistem metabolizable protein (MP). Penyusunan ransum dengan memasukan variabel RDP karena N-protein hasil degradasi protein makanan dalam rumen digunakan untuk sintesis N mikroba rumen, sementara RUP merupakan bypass protein digunakan untuk menunjang kebutuhan
87
protein selain protein mikroba rumen bagi ternak ruminansia yang berproduksi tinggi (produksi susu atau pertumbuhan).
Sesuai menurut Bertilsson et al. (1991) diban-
dingkan dengan sistem DCP, sistem MP mepunyai korelasi lebih erat dengan produksi dan juga adanya kemungkinan yang lebih besar untuk mengkombinasikan bahan pakan agar meminimalis surplus protein terdegradsi dalam rumen. Demikian pula Stern et al. ( 2006) menyatakan bahwa RUP dibutuhkan dalam jumlah besar dari protein tambahan (feed supplement) pada makanan ternak ruminansia berproduksi tinggi. Penyusunan ransum dengan mempertimbangkan RDP dan RUP tampaknya belum memperhitungkan secara kwantitas keseimbangan antara penyediaan RDP dan penyediaan energi hasil fermentasi BO atau karbohidrat untuk efisiensi sintesis N mikroba. Menurut Nocek dan Russell (1988) bila laju degradasi protein melebihi laju fermentasi karbohidrat akan banyak N yang terbuang sebagai ammonia (N-protein), dan sebaliknya bila laju fermentasi karbohidrat melebihi laju degradasi protein dapat menurunkan sintesis N mikroba rumen. Penyediaan N-protein dan energi secara simultan dan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan bagi pertumbuhan mikroba rumen akan dicapai efisiensi sintesis N mikroba. Sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi dalam rumen merupakan teknik yang disarankan untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan bakteri dan meningkatkan efisiensi penggunaan zat pakan (Huber dan Herrera-Saldana 1994). Sinclair et al. (1993) menyatakan bahwa formulasi ransum yang sinkron dalam hal penyediaan N-protein dan energi per jam (hourly ) ditujukan untuk memaksimalkan sintesis N mikroba, dan diasumsikan nisbah optimal sinkronisasi pelepasan N-protein dan energi dalam rumen sebesar 25 g N-protein/kg BO. Pada penelitian ini menunjukkan nisbah yang optimal sinkronisasi penyediaan N-protein dan energi dalam rumen adalah 20 g N/kg BO, yaitu ditandai dengan kadar allantoin urin yang lebih tinggi (120.46 mg/100 ml, P<0.01) serta cenderung memberikan efisiensi ransum yang tinggi (18.82 %, P>0.05) dibandingkan dengan nisbah 25 g N/kg BO yaitu kedua hal tersebut berturut-turut sebesar 80.62 mg/100ml dan 14.17%. Hal ini berarti lebih sedikit N-protein yang termanfaatkan per satuan energi yang dihasilkan untuk efisiensi sintesis N mikroba rumen. Selanjutnya dapat dikata-
88
kan bahwa kualitas pakan di Indonesia atau daerah tropis umumnya lebih rendah dibandingkan dengan kualitas pakan daerah sub-tropis/temperate. Rendahnya kualitas pakan di daerah tropis ini sesuai dengan pernyataan para ahli (Ibrahim et al. 1995; Leng 1977; Khampa dan Wanapat 2000). Rendahnya kwalitas pakan konvensional di Indonesia dapat ditunjukan dari hasil evaluasi bahan pakan pada penelitian ini. Umumnya hijauan rumput dan pakan sumber energi mempunyai nilai indek sinkronisasi pelepasan N-protein dan energi yang tinggi pada nisbah sinkronisasi 20 g N/kg BO (I20). Demikian pula pakan sumber protein (bungkil kelapa dan bungkil inti sawit) mempunyai nilai indek sinkronisasi yang tinggi pada I20. Walaupun hijauan leguminosa mempunyai indek sinkronisasi yang tinggi pada I30, tetapi pemakaiannya biasanya sedikit bahkan jarang dalam ransum sapi terutama karena penyediaanya lebih terbatas dari pada hijauan rumput. Ampas tahu dan bungkil kedele sangat rendah nilai indek sinkronisasinya baik pada I20 maupun pada I30, karena tinggi nisbah penyediaan g N/kg BO terfermentasi dalam rumen (Tabel 8). Nisbah penyediaan g N/kg BO yang tinggi pada ampas tahu dan bungkil kedele (termasuk urea) terutama disebabkan selain kadar protein yang tinggi, tingkat dan laju degradasi proteinnya tinggi pula. Dengan demikian pemakaian bahan tersebut hendaknya dikombinasikan dengan bahan pakan sumber energi yang rendah nisbah penyediaan g N/kg BO terfermentasi dalam rumen, atau mempunyai tingkat dan laju degradasi BO yang tinggi pula. Hal ini sesuai menurut Karsli dan Russel (2001) peningkatan efisiensi sintesis N mikroba dicapai dengan mengkobinasikan bahan pakan yang laju degradasi sumber protein dan karbohidrat yang sama-sama lambat dan atau sebaliknya serta sinkronisasi laju penyediaan N-protein dan karbohidrat yang samasama lambat atau yang sama-sama cepat. Jumlah yang sedikit N-protein yang termanfaatkan per satuan energi yang dihasilkan untuk efisiensi sintesis N mikroba rumen pada sapi di daerah tropis, yaitu sebagai akibat kwalitas yang rendah pakan konvensional rumput dan konsentrat. Hal ini terlihat pada hasil penelitian selanjutnya bahwa peningkatan level TDN (65% dan 70%) dan level protein (10, 12, dan 14%) dalam ransum sapi pada nisbah sinkronisasi
89
20 g N/kg BO tidak meningkatkan efisiensi sintesis N mikroba rumen dan efisiensi ransum. Tetapi ransum dengan 10% protein dan 65 % TDN menghasilkan efisiensi sintesis N yang terbaik. Walaupun ransum dengan 10% protein dan 65% TDN menunjukkan efisiensi sintesis N mikroba yang baik, tetapi memberikan retensi N, PBB, efisiensi ransum, dan PER yang cenderung rendah sedangkan BUN cenderung tinggi. Ini dapat terjadi karena pada ransum tersebut proporsi rumput dalam ransum tertinggi (keambaan tinggi) yang akan membatasi konsumsi nutrien atau konsumsi energi. Demikian pula ransum ini mempunyai RUP maupun Unfermented OM terendah dibandingkan ransum lainnya (Tabel 6) yang selanjutnya akan rendah retensi N, PBB, efisiensi ransum, dan PER tetapi tinggi kadar BUN. Pada penelitian ini sapi yang digunakan adalah sapi lokal yang biasa diberi rumput saja dan umurnya relatif muda (1 – 1,5 tahun) sehingga sangat respon terhadap protein dan energi yang tinggi (NRC 1987). Kekurangan energi pada ransum dengan 10% protein dan 65 % ditandai dengan Unfermented OM yang terendah dapat menyebakan protein yang tersedia (protein
mikroba dan RUP) bagi sapi akan dioksidasi dan selanjutnya akan banyak terbentuk BUN. Hal ini sesuai menurut Fuller (2000) bila energi tersedia (karbohidrat dan lemak) asam amino akan ditimbun dalam tubuh (retensi N) sebaliknya bila kekurangan energi maka asam amino akan dioksidasi dan kadar amonia plasma darah meningkat. Penyediaan RUP yang relatif tinggi (5.7%, Tabel 6) yaitu pada ransum dengan protein 12 % dan 65 % TDN pada indek sinkronisasi 0.560 dihasilkan efisiensi sintesis N mikroba, retensi N, PBB dan BUN yang relatif baik. Pemberian RUP yang tinggi ini selain dapat menunjang pertumbuhan sapi yang masih muda, juga sebagian lagi dapat digunakan sebagai cadangan energi. Sebagai ilustrasi Gustafsson et al. (2006) melaporkan, bahwa peningkatan RUP dari 5 % menjadi 7% dari BK ransum dengan kadar PK ransum 18% untuk sapi awal laktasi adalah menguntungkan untuk produksi susu.
90
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1. Ransum dengan nisbah sinkronisasi 20 g N-protein/kg BO merupakan nisbah yang tepat dengan menghasilkan efisiensi sintesis N mikroba (12.32 g N/kg BO) dan efisiensi ransum (18.82%) sapi lokal yang lebih baik dibandingkan dengan ransum dengan nisbah sinkronisasi yang direkomendasikan peneliti lain sebesar 25 g N-protein/kg BO terfermentasi dalam rumen. 2. Pada ransum dengan nisbah sinkronisasi 20 g N-protein/kg BO, peningkatan protein dari 10% sampai 14% tidak memperlihatkan perbaikan sintesis mikroba rumen dan penampilan produksi ternak. Sebaliknya ransum dengan TDN 65% memberikan sintesis mikroba rumen dan penampilan produksi ternak yang lebih baik dibandingklan dengan ransum dengan TDN 70%. 3. Ransum yang mampu memberikan sintesis N mikroba rumen, pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum yang baik dicirikan mempunyai kandungan protein 12%, TDN 65% dan indeks sinkronisasi 0.560; berdasarkan nisbah sinkronisasi pelepasan N dan energi sebesar 20 g N-protein/kg BO terfermentasi dalam rumen. 4. Berdasarkan hasil analisis kimiawi, karakteristik degradasi dan indeks sinkronisasi bahan pakan lokal Indonesia, maka penggunaan indeks sinkronisasi pada nisbah sinkronisasi 20 g N-protein/kg BO lebih memungkinkan dibandingkan dengan penggunaan indeks sinkronisasi pada nisbah sinkronisasi 25 g N/kg BO. Saran
Pada penelitian ini penggunaan indeks sinkronisasi pada nisbah sinkronisasi 20 g N-protein/kg BO (I20) dengan menggunakan bahan lokal belum mencapai nilai indeks 1, disebabkan nilai indeks sinkronisasinya berkisar -2.510 – 0.918. Dengan demikian dari penelitian ini indek sinkronisasi penting diperhatikan yaitu untuk mencapai nilai mendekati 1, sehingga diperlukan penelitian mencari bahan-bahan suplement yang indeks sinkronisasinya relatif tinggi atau melakukan pengolahan bahan pakan lokal agar indek sinkronisasinya meningkat.
91
DAFTAR PUSTAKA
[ARC] Agricultural Research Council. 1984. The Nutrient Requirement of Ruminant Livestock. Slough, U.K. : Commonwealth Agricultural Bureaux. Argyle JL, RL Baldwin. 1989. Effect of amino acid and peptides on rumen microbial growth yields. J Dairy Sci 72:2017-2027. Assoumani MB, F Vedeau, L Jacquot, CJ Sniffen. 1992. Refinement of an enzymatic method for estimating the theoretical degradability of protein in feedstuffs for ruminants. Anim. Feed Sci Technol 39: 357-368. Atasoglu C, C Valdes, CJ Newbold, RJ Wallace. 1999. Influence of peptides and aminoacids on fermentation rate and de novo synthesis of amino acids by mixed micro-organisms from the sheep rumen. Br J Nutr 81: 307-314. Atasoglu C, CJ Newbold, RJ Wallace. 2001. Incorporation of [15N] ammonia by cellulolytic ruminal bacterial Fibrobacter succinogenes BL2, Ruminococcus albus SY3, and Ruminococcus flavefacient 17. Appl Environ Microbiol 67:2819-2822. Atasoglu C, AY Guliye, RJ Wallace. 2004. Use of stable isotopes to measure de novo synthesis and turnover of amino acids-C and –N in mixed micro-organisms from the sheep rumen in vitro. Br J Nutr 91:235-261. Bach A, S Calsamiglia, MD Stern. 2005. Metabolism in the rumen. J Dairy Sci 88:E9-E21. Bani P, G Bertoni, L Calamari, V Cappa. 1991. Relationship among dietary protein, rumen ammonia and blood ammonia and urea. Di dalam: Protein Metabolism and Nutrition. Proceeding of the 6th International Symposium on Protein Metabolism and Nutrition. Herning Denmark. Bertilsson J, JE Lindberg, H Gonda. 1991. Different protein levels to dairy cowseffect of reduced protein degradability and lower nitrogen supply on animal performance. Di dalam : Protein metabolism and Nutrition. Proceeding of the 6th International Symposium on Protein Metabolism and Nutrition. Herning Denmark. Biricik H, II Turkmen, G Deniz, BH Gulmez, H Gencoglu, B Bozan. 2006. Effects of synchronizing starch and protein degradation in rumen on fermentation, nutrient utilization and total tract digestibility in sheep. Ital J Anim Sci 5 : 341-348. Block E. 2006. Rumen microbial protein production: Are we missing an opportunity to improve dietary and economic efficiencies in protein nutrition of the high producing dairy cow?.High Plains Dairy Conference. http//www.highplainsdairy.org/2006/Block-pdf [27 Feb 2008].
92
Blummel M, A Karsli, JR Russel. 2003. Influence of diet on growth yields of rumen micro-organisms in vitro and in vivo: influence on growth yield of variable carbon fluxes to fermentation products. Br J Nutr 90 : 625–634. Brock FM, CW Forsberg, JG Buchanan-Smith. 1982. Proteolytic activity of rumen microorganisms and effect of proteinase inhibitor. Appl Environ Microbiol 44:561-569. Broderick GA. 2006. Nutritional strategies to reduce crude protein in dairy diets. 21st Annual Southwest Nutrition & Management Conference. hlm 1-6. Bryant MP. 1973. Nutritional requirement of the predominant rumen cellulolytic bacteria. Fed Proc 32: 1809-1813. Carro DM, EL Miller. 1999. Effect of supplementing a fiber basal diet with different nitrogen forms on ruminal fermentation and microbial growth in a in vitro semi-continuous culture system (RUSITEC). Br J Nutr 82:149-157. Casper DP, DJ Schingoethe.1989. Lactational response of dairy cows to diets varying in ruminal solubilities of carbohydrate and crude protein. J Dairy Sci 72: 928-941. Chamberlain DG, S Robertson, JJ Choung. 1993. Sugars versus starch as supplement to grass silage : Effects of ruminal fermentation and supply of microbial protein to the small intestine, estimated from the urinary excretion of purine derivatives in sheep. J Sci Food Agrc 63 : 189-194. Chaney AQL, Marbach EP. 1962. Modified reagent for determination of urea and ammonia. Clinical Chemistry 8: 130-132. Chumpawadee S, K Sommart, T Vongpralub, V Pattarajinda. 2005. Effect of synchronizing the rate of degradation of dietary energy and nitrogen release on growth performance in Brahman cattle. Songklanakarin J Sci Technol 28 : 59-68. Church, D.C. 1988. Salivari function and production. In : The Ruminant Animal Digestive Physiology and Nutrition. New Jersey: A Reston Book. Prentice Hall. Englewood Cliff.. Chen XB, MJ Gomes. 1992. Estimationof Microbial Protein Supply to Sheep and Cattle on Urinary Excretion of Purine Derivates, An Overview of The Technical Details. Aberdeen UK: International Feed Resources, Rowett Research Institute. Clark JH, TH Klusmeyer, MR Cameron. 1992. Microbial protein synthesis and flows of nitrogen fractions to the duodenum of dairy cows. Symposium: Nirogen Metabolism and Amino Acid Nutrition in Dairy Cattle. J Dairy Sci 75: 23042323. Cole NA, RR Johnson, FN Owens, JR Males. 1976. Influence of roughage level and corn processing methodon microbial protein synthesis by beef steers. J Anim Sci 43: 497.
93
Cottrill BR. 1998. A review of current nutritional models : what we need to measure. In vitro techniques for measuring nutrient supply to ruminants. Di dalam: Occasional Publication No. 22. London : British Society of Animal Science. hlm 21-31. Craig WM, GA Broderick, DB Ricker. 1987. Quantification of microorganisms associated with the particulate phase of ruminal ingesta. J Nutr 117:56-62 Cruz Soto R, SA Muhammed, CJ Newbold, CS Stewart, RJ Wallace. 1994. Influence of peptides, aminoacids and urea on microbial activity in the rumen of sheep receiving grass hay on the growth of rumen bacteria in vitro. Anim Feed Sci Technol 49:151-161. Davies PJ. 1982. Animal nutrition. Di dalam: The Agricultural Notebook. 17th Ed. London : Butterworths & Co. Demeyer D, V Fievez. 2004. Is the synthesis of rumen bacterial protein limited by the availability of pre-formed amino acids and/or peptides?. Br J Nutr 91: 175176. Fellner V. 2005. Rumen Microbes and Nutrient Management. Carolina : Carolina State University. Fuller MF. 2000. Protein and amino acid requerement. Di dalam: Stipanuk MH. Editor. Biochemical and Physiologycal Aspect of Human Nutrition. London : By WB Saunders Co. Firkins JL, LL Berger, NR Merchen, GC Fahey, RL Mulvaney. 1987. Ruminal nitrogen metabolism in steer s as affected by intake and dietary urea consentration. J Dairy Sci 70:2302-2311. [GLP] General Laboratory Procedure. 1966. Report of Dairy Science. Madison : University Wisconsin. Gosselink JMJ, C Poncet, JP Duplhy, JW Cone. 2003. Estimation of duodenal flow of microbial nitrogen in ruminant based on the chemical composition of forage: a literature review. Anim Res. 52: 229-243. Griswold KE, WH Hoover, TK Miller, WV Thayne. 1996. Effect of form of nitrogen on growth of ruminal microbes in continuous culture. J Anim Sci 74:483-491. Gustafsson AH, M Helander, E Lindgren, EMG Nadeau. 2006. Methods for Improving Nitrogen Efficiency in Dairy Production by Dietary Protein Changes. http://www.Scientdirect.com [12 Okt 2006]. Hardy RWF, RD Holsten, EK Jackson, RC Burns. 1968. The acetylene-ethylene assay for nitrogen fixation: Laboratory and field evaluation.Plant Physiol 43: 1185. Harfoot CG, GP Hazlewood. 1997. Lipid metabolism in the rumen. Di dalam: The Rumen Microbial Ecosystem. Snd Ed. London : Chapman & Hall.
94
Henning PH, DG Steyn, HH Meissner.1991. The effect of energy and nitrogen supply pattern on rumen bacterial growth in vitro. Anim Prod 53:165-175. Herrera-Saldana R, R Gomez, M Torabi, JT Huber. 1990. Influence of synchronizing protein and starch degradation in the rumen on nutrient utilization and microbial protein synthesis. J Dairy Sci 73:142-148. Hermon. 1999. Interelasi antara dgradasi bahan kering, serat kasar dan protein silase rumput dalam rumen. J Peternakan dan Lingkungan 5 (2) : hlm 47–52. Hermon dan L Warly. 2001. Hubungan antara degradasi protein dengan degradasi bahan organik dan degradasi serat kasar ransum dalam rumen. J Peternakan dan Lingkungan 9 (3) : hlm 24-29. Hermon, Maramis dan Erpomen. 2007. Sinkronisasi suplai NH3-protein dan energi dalam rumen sebagai basis formulasi ransum ternak ruminansia dengan bahan lokal [ Laporan Penelitian Hibah Bersaing]. Jakarta : Ditjen Dikti, Depdiknas. Hoover WH, SR Stokes. 1991. Balancing carbohydrates and proteinsfor optimum rumen microbial yield. J Dairy Sci 74:3630 Huber JT, R Herrera-Saldana. 1994. Synchrony of protein and energy supply to enhance fermentation. Di dalam : John Malcolm Asplund, editor. Principles of Protein Nutrition of Ruminants. Missouri : Animal Science Research Center, Univ. of Missouri Columbia, Hume ID, RJ Moir, M Somers.1970. Synthesis of microbial protein in the rumen. I. Influence of the level of nitrogen intake. Australian J Agr Res 21 : 283. Hussein HS, RM Jordan. 1991. Fish meal as a supplement in ruminant diets : A review. J Anim Sci 69 : 2147-2156. Jones FD, WH Hoover, TK Miller W. 1998. Effect of peptides on microbial metabolism in continuous culture. J Anim Sci 76: 611-616. Khampa S, M Wanapat. 2007. Manipulation of rumen fermentation with organic acids supplementation in ruminants raised in the tropics. Pakistan Jur Nutr 6(1) : 20-27. Karsli MA, JR Russell. 2001. Effects of some dietary faktor on ruminal microbial protein synthesis. Turk J Vet Anim Sci 25 : 681-686. Karsli MA. 2002. effects of source and concentrations of nitrogen and carbohydrate on ruminal microbial protein synthesis. Turk J Vet Anim Sci 26 : 201-207. Lana RP, JB Russel, ME Van Amburgh. 1998. The role of pH in regulating ruminal methane and ammonia production. J Anim Sci 76: 2190-2196. Leng RA. 1997. Tree Foliage in Ruminant Nutrition. Rome : FAO Animal Production and Health Paper 139 Lyoid LE, E McDonald, EW Crampton. 1978. Fundamentals of Nutrition. 2nd Ed. Sanfransisco: WH Freeman and Co.
95
Maeng WJ, RL Baldwin. 1976. Dynamics of fermentation of a purified diet and microbial growth in the rumen. J Dairy Sci 59: 636-642. Maeng Q, MS Kerley, PA Ludden, RL Belyea. 1999. Fermentation substrate and dilution rate interact to affect microbial growth and efficiency. J Anim Sci 77: 206-214. Matras J, SJ Bartle, RL Preston. 1991. Nitrogen utilization in growing lambs: Effect of grain (starch) and protein sources with various rate of ruminal degradation. J Anim Sci 69: 339-347. McDonald P. 1982. The effect of conservation processes on the nitrogenous components of forages. Di dalam : DJ Thomson, DE Beever, RG Gunn., editor. Forage Protein in Ruminant Animal Production. Proceedings of a symposium organized jointly by The British Society of Animal Production and The British Grassland Society, and held. The University of Leeds Maynard LA, JK Loosli, HF Hintz, RG Warner. 1969. Animal Nutrition. 7th Ed. New York : McGrow-Hill Book Co. Moisio R, M Kreula, AI Virtanen. 1969. Experiments on nitrogen fixation in the cow rumen. Soumen Kemistilehti B42 : 432. Nelson RH. 1979. An Introduction to Feeding Farm Livestock. 2nd Ed. Oxford : Pergamon Press. Newbold JR, SR Rust. 1992. Effect of asynchronous nitrogen and energy supply on growth of ruminal bacteria in batch culture. J Anim Sci 70: 538-546. Nocek JE, Russell JB. 1988. Protein and energy as an integrated system. Relationship of ruminal protein and carbohydrate availability to microbial synthesis and milk production. J Dairy Sci 77: 2070-2107. [NRC] National Research Council. 1984. Nutrient Requerements of Beef Cattle. Washington DC : National Academic Press. [NRC] National Research Council. 1985. Ruminant Nitrogen Usage. Washington DC : National Academic Press. [NRC] National Research Council. 1987. Predicting Feed Intake of Food-Producing Animal. Washington DC : National Academic Press. [NRC] National Research Council. 1988. Nutrient Requerement of Dairy Cattle. Sixth Revised Ed. Washington DC : National Academic Press. Orskov ER, I McDonald. 1979. The estimating of protein degradability in the rumen from incubation measurement weighted activating to rate of passage. J Agr Sci Camb 92 : 499-503. Orskov ER.1982. Protein Nutrition in Ruminants. London : Academic Press. Orskov ER. 1990.Energy Nutrition Science.
in Ruminants. London : Elsevier Applied
96
Orskov ER. 2002. Alkali-treated grain for cattle. Di dalam : Trails and Trails in Livestock Reasearch. Yogyakarta. Printed by Andi Offset. Poppi DP, J France, SR McLennan. 2000. Intake, passage and digestibility. Di dalam : MK Theodorou, J France., editor. London Feeding Systems and Feed Evaluation Models. London : CAB International. Prins RA, DL van Rheenen, AT van Klooster. 1983. Characterization of microbial proteolytic enzymes in the rumen. A van Leeuwenhoek 49: 585-595. Richardson JM, RG Wilkinson, LA Sinclair. 2003. Synchrony of nutrien supply to the rumen and dietary energy source and their effects on the growth and metabolism of lambs. J Anim Sci 81 : 1332-1347. Robinson PH. 1989. Dynamic aspects of feeding management for dairy cow. J Dairy Sci 72: 1197-1209. Romagnolo LC, CE Polan, WE Barbeau. 1994. Electrophoretic analysis of ruminal degradability of corn proteins. J Dairy Sci 77: 1093-1099. Russel JB, JD O’Connor, DG Fox, PJ Van Soest, CJ Sniffen. 1992. A net carbohydrate and protein system for evaluating cattle diets: I. Ruminal fermentation. J Anim Sci 70: 3551-3561. Russel JB, CJ Sniffen. 1984. Effect of carbon-4 and carbon-5 volatile fatty acids on growth of mixed rumen bacteria in vitro. J Dairy Sci 67:987-994. Sanchez-Pozo A, A Gil. 2002. Nucleotides as semiessential nutritional component. Br J Nutr 87 (Suppl.1): Ss135-S137. Sarbaini. 2004. Kajian keragaman karakter eksternal dan DNA mikrosatelit sapi pesisir di Sumatera Barat [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. SAS User’s Guide: Statistic, Version 9.1.2 Edition. 2004. SAS Procedures Guide, for Personal Computer. North Carolina : SAS Institut Inc., Cary, NC 27513. Satter LD, BR Baumgardt. 1962. Changes in digestive physiology of the bovine associated with various feeding frequencies. J Anim Sci 21: 897-900. Satter LD, RE Roffler. 1975. Nitrogen requirement and utilization in dairy cattle. J Dairy Sci 58: 1219-1234. Satter LD,LW Whitlow, GL. Beardsley. 1977. Resistence of protein to rumen fer degradation and its significance to the dairy cow. Proc Distillers feed Res Council 32: 23. Scott D, SP Robins, P Nicol, XB Chen, W Buchan. 1994. Effects of low phosphate intake on bone and mineral metabolism dan microbial protein synthesis in lambs. Exp Physiology 79: 183-187. Shabi Z, A Arieli, I Bruckental, Y Aharoni, S Zamwel, A Bor, H Tagari. 1998. Effect of synchronization of the degradation of dietary crude protein and organic
97
matter and feeding frequency on ruminal fermentation and flow of digesta in the abomasumof dairy cows. J Dairy Sci 81: 1991-2000. Shirley RL. 1986. Nitrogen and Energy Nutrition of Ruminants. Florida : Academic Press, Inc. Siddon RC,JV Nolan, DE Beever, JC MacRae. 1985. Nitrogen digestion and metabolism in sheep consuming diets contrasting forms and levels of N. Br J Nutr 54: 175-187. Sinclair LA, PC Garnsworthy, JR Newbold, PJ Buttery. 1993. Effect of synchronizing the rate of dietary energy and nitrogen release on rumen fermentation and microbial protein synthesis in sheep. J Agr Sci Camb 120 : 251-263. Sinclair KD, LA Sinclair, JJ Robinson. 2000. Nitrogen metabolism and fertility in cattle : I. Adaptive changes in intake and metabolism to diets differing in their rate of energy and nitrogen release in the rumen. J Anim Sci 78 : 2659-2669. Stern MD, LM Rode, RW Prange, R I I Tauffacher, LD Satter. 1978. Ruminal protein degradation of cor gluten meal in lactating dairy cattle fitted with duodenal Ttype cannulae. J Anim Sci 56 : 194-201. Stern MD, WH Hoover. 1979. Methods for determining and faktors affecting rumen microbial protein synthesis: A review. J Anim Sci 49 : 1590-1600. Stern MD,A Bach, S Calsamiglia. 2006. New Consepts in Protein Nutrition of Ruminants. St.Paul USA: Department of Animal Science, University of Minnesota. Tamminga S. 1979. Protein degradation in the forestomachs of ruminants. J Anim Sci 56: 194-205. Tamminga S,BA Williams. 1998. In vitro techniques as tools to predict nutrient supply in ruminants. Di dalam : Occasional Publication No. 22. London : British Society of Animal Science. hlm 1-11. Tillman AD, H Hartadi, S Reksohardiprodjo, S Pawirokusumo, Leobdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan kedua. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Thomsen KV.1985. The specific nitrogen requirements of rumen microorganisms. Acta Agr Scand Suppl 25: 125-130. Trevaskis LM, WJ Fulkerson, J Gooden. 2004. Provision of certain carbohydratebased supplements to pasture-fed sheep, as well as time of harvesting of the pasture, influences pH, ammonia concentration and microbial protein synthesis in the rumen. Aust J Exp Agric 41: 21-27. Valkeners D, A Thewis, F Piron, Y Beckers. 2004. Effect of inbalance between energy and nitrogen supplies on microbial protein synthesis and nitrogen
98
metabolism in growing double-muscled Belgian Blue bulls. J Anim Sci 82: 1818-1825. Van Soest PJ. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. Oregon : O&M Books.Inc. Varhegyi I, J Varhegyi. 1991. Interactions between protein and energy supply on performance of growing-finishing bulls. Di dalam : Protein Metabolism and Nutrition. Proceeding of the 6th International Symposium on Protein Metabolism and Nutrition. Herning Denmark. hlm 324-326. WallaceRJ, R Onodera, MA Cotta. 1997. Metabolism of nitrogen-containing coumpounds. Di dalam : The Rumen Microbial Ecosystem. 2nd ed. London : Chapman & Hall. Warly L, A Kamaruddin, Hermon, Rusmana WSN, Elihasridas. 1997. Pemanfaatan hasil ikutan agro – industri sebagai bahan pakan ternak ruminansia [Laporan Penelitian Hibah Bersaing]. Jakarta : Ditjen Dikti, Depdiknas. Warly L,A Kamaruddin, Hermon, Rusmana WSN, Elihasridas. 1998. Sintesis N mikroba rumen pada sapi pesisir yang mengkonsumsi ransum jerami padi amoniasi. J Peternakan dan Lingkungan 4 (3) : 30-43. Yang CM, JB Russel. 1992. Resistance of proline-containing peptides to ruminal degradation in vitro. Appl Environ Microbiol 58: 3954-3958. Yerizal. 2001. Pengaruh level silase onggok pada pembuatan tepung darah terhadap kandungan PK, BK, BO dan HCN [skripsi]. Padang : Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang
99
Lampiran 1 Pemasangan canula pada rumen dan memasukan sampel pakan
Lampiran 2 Korelasi antara sintesis protein mikroba dan konsumsi/kecernaan zat makanan, retensi N, pertambahan bobot badan (PBB), efisiensi ransum, protein efficiency ratio (PER), dan blood urea nitrogen (BUN) ransum perlakuan R1 Ef.Sint.N Mikr. vs : Konsumsi BK Konsumsi BO Konsumsi SK Konsumsi PK Kecernaan BK Kecernaan BO Kecernaan SK Kecernaan PK Retensi N pbb Ef. Ransum PER BUN Prod.N Mikr. vs : Konsumsi BK Konsumsi BO Konsumsi SK Konsumsi PK Kecernaan BK Kecernaan BO Kecernaan SK Kecernaan PK Retensi N pbb Ef. Ransum PER BUN
R2
R3
R4
R5
R6
Seluruh ransum
0,896 (29) 0,883 (31) 0,913 (27) 0,865 (33) -0,588 (60) -0,561 (62) -0,467 (69) -0,245 (84) 0,544 (63) 0,911 (27) -0,812 (40) -0,805 (40) 0,875 (32)
0,980 (13) 0,979 (13) 0,972 (15) 0,989 (9,4) -0,656 (54) -0,732 (48) -0,857 (34) -0,707 (51) 0,929 (24) 0,937 (15) 0,984 (11) 0,983 (12) -0,823 (38)
0,115 (93) 0,115 (93) 0,173 (89) 0,157 (90) -0,204 (87) -0,131 (92) -0,113 (93) -0,860 (34) -0,732 (48) 0,968 (16) -0,384 (75) 0,693 (51) 0,419 (72)
0,899 (29) 0,897 (29) 0,797 (41) 0,907 (28) -0,999 (1,4) -0,998 (4,1) -0,962 (18) -0,999 (0,4) 0,825 (38) 0,590 (60) 0,341 (78) 0,763 (45) -0,920 (26)
0,229 (81) -0,190 (88) 0,224 (86) 0,224 (86) -0,716 (49) -0,679 (52) 0,981(12) -0,266 (83) -0,891 (30) 0,198 (87) 0,121 (92) 0,126 (92) -0,916 (26)
0,829 (38) 0,815(39) 0,794 (42) 0,846 (36) 0,481 (68) 0,403 (74) 0,590 (60) 0,577 (61) 0,947 (21) 0,891 (30) 0,963 (17) 0,964 (17) -0,950 (20)
0,723 (0,07) 0,701 (0,12) 0,766 (0,02) 0,626 (0,55) 0,341 (17) 0,345 (16) 0,398 (10) 0,317 (20) 0,485 (4,1) 0,439 (6,8) 0,305 (21,8) 0,458 (5,6) -0,201 (42)
0,956 (19) 0,948 (21) 0,967 (16) 0,935 (23) -0,449 (70) -0,419 (72) -0,604 (59) -0,084 (95) 0,673 (53) 0,966 (17) -0,896 (29) -0,891 (30) 0,785 (43)
0,999 (2,2) 0,999 (2,2) 0,997 (4,5) 0,999 (1,2) -0,521 (65) -0,609 (58) -0,760 (45) -0,573 (61) 0,978 (13) 0,997(4,2) 0,999 (0,9) 0,999 (1,2) -0,717 (49)
0,572 (61) 0,572 (61) 0,619 (58) 0,606 (59) 0,284 (82) 0,354 (77) 0,371 (76) -0,515 (66) -0,322 (79) 0,733 (48) -0,776 (43) 0,269 (83) 0,799 (41)
0,958 (19) 0,958 (19) 0,884 (31) 0,963 (17) -0,983 (12) -0,974 (14) -0,905 (28) -0,988 (10) 0,905 (28) 0,713 (49) 0,488 (68) 0,857 (34) -0,845 (36)
0,382 (75) -0,091 (94) 0,320 (79) 0,320 (79) -0,782 (43) -0,749 (46) 0,957 (19) -0,360 (77) -0,841 (36) 0,099 (94) 0,022 (99) 0,027 (98) -0,871 (33)
0,982 (12) 0,977 (14) 0,969 (16) 0,988 (10) 0,787 (42) 0,730 (48) 0,860 (34) 0,852 (35) 0,997 (4,8) 0,998 (4,4) 0,991 (8,3) 0,991 (8,6) -0,751 (46)
0,879 (0,0002) 0,864 (0,0001) 0,818 (0,003) 0,770 (0,02) 0,411 (9,0) 0,422 (8,1) 0,415 (8,6) 0,336 (17,2) 0,674 (2,2) 0,544 (2,0) 0,322 (19,3) 0,505 (3,3) -0,176 (49)
Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan nilai probabilitas (P) R1= ransum 10% PK, 65% TDN; R2 = ransum 10% PK, 70% TDN; R3 = ransum 12% PK, 65% TDN; R4 =ransum 12% PK, 70% TDN; R5 = ransum 14% PK, 65% TDN; R6 = ransum 14% PK, 70% TDN
Lampiran 3 Recommended guidelines for ruminal in situ digestion prosedure (Nocek dan Russell 1988) Recommendation Variable A .Bag porosity 40 to 60 µm B. Paritcle size Protein and energi suppl. 2 mm; whole cereal grains, by-produc, 5mm; Hay, 5mm; C. Sample size Silase (60-70% DM or freeze dry, then grind), 5 mm. 10 to 20 mg/cm2 Feed to meet nutrient requirements of test animal; document ration D. Diet ingredient composition. E.Animal/period At least two time period replication should be used if only one animal; insert bags At the same time in relation to feeding for each animal and period. F. Preruminal Soak bags in water or buffer prior to ruminal incubation. incubation G. Bag insertion Insert at specific time interval and retrieve as a group H. Postruminal Rinse in tap water until rinse water is clear washing I. Incubation 0 to 6 h : 3 to 6 time points times 6 to 24 h : 3 to 6 times > 25 h : 6 to 12-h intervals J. Standard One bag per each incubation time, suspended with test feeds ingredients K.Expression of Estimated ruminal availability as per Orskov and McDonald or Van Soest et.al result
102
Lampiran 4 Analisis statistika kadar NH3 cairan rumen sapi yang diberi ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: NH3 Source Model Error Corrected Total
DF 7 28 35 R-Square 0.476588
Source INKUBASI ULANGAN RANSUM
DF 3 2 2
Squares 818.708878 899.145644 1717.854522
Sum of Mean Square 116.958411 32.112344
Coeff Var 27.20125 Type I SS 98.5896333 185.0250889 535.0941556
Root MSE 5.666775
F Value 3.64
Pr > F 0.0065
NH3 Mean 20.83278
Mean Square 32.8632111 92.5125444 267.5470778
F Value 1.02 2.88 8.33
Pr > F 0.3972 0.0728 0.0014
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for NH3 NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 28 Error Mean Square 32.11234 Number of Means Critical Range
2 4.739
3 4.979
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 25.958 12 20 B 19.880 12 25 B 16.660 12 30
Lampiran 5 Analisis statistika kadar pH cairan rumen sapi yang diberi ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: PH Source Model Error Corrected Total
DF 7 28 35 R-Square 0.726340
Source INKUBASI ULANGAN RANSUM
DF 3 2 2
Sum of Squares 8.39336667 3.16233333 11.55570000
Mean Square 1.19905238 0.11294048
Coeff Var 5.451195
Root MSE 0.336066
Type I SS 1.68823333 0.08886667 6.61626667
Mean Square 0.56274444 0.04443333 3.30813333
F Value 10.62
Pr > F <.0001
PH Mean 6.165000 F Value 4.98 0.39 29.29
Pr > F 0.0068 0.6784 <.0001
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for PH NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 28 Error Mean Square 0.11294
103
Number of Means Critical Range
2 .2810
3 .2953
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 6.7683 12 30 B 5.9150 12 20 B 5.8117 12 25
Lampiran 6 Analisis statistika kadar allantoin urin sapi yang diberi ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan (mg/100ml) The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Allantoin (mg/100ml) Sum of Source DF Squares Mean Square Model 5 7314.719575 1462.943915 Error 6 1323.893850 220.648975 Corrected Total 11 8638.613425 R-Square 0.846747 Source BLOK RANSUM
DF 3 2
Coeff Var 15.16011 Type I SS 3983.840825 3330.878750
Root MSE 14.85426
F Value 6.63
Pr > F 0.0197
ALLML Mean 97.98250
Mean Square 1327.946942 1665.439375
F Value 6.02 7.55
Pr > F 0.0306 0.0230
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for Allantoin NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
0.05 6 220.649
2 25.70
3 26.64
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 120.46 4 20 B 92.87 4 30 B 80.62 4 25
Lampiran 7 Analisis statistika kadar allantoin urin sapi yang diberi ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan (g/hari) The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Allantoin (g/hari) Source Model Error Corrected Total
DF 5 6 11 R-Square 0.455735
Source BLOK RANSUM
DF 3 2
Squares 4.43478333 5.29628333 9.73106667
Sum of Mean Square 0.88695667 0.88271389
Coeff Var 38.93074
Root MSE 0.939529
Type I SS 3.62966667 0.80511667
Mean Square 1.20988889 0.40255833
F Value 1.00
Pr > F 0.4873
ALLG Mean 2.413333 F Value 1.37 0.46
Pr > F 0.3387 0.6541
104
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for Allantoin/hari NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 0.882714 Number of Means Critical Range
2 1.626
3 1.685
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 2.6800 4 20 A 2.4975 4 30 A 2.0625 4 25
Lampiran 8 Analisis statistika efisiensi sintesis protein mikroba rumen sapi yang diberi ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Efisiensi Sintesis N mikroba (gN/kg BO terfermentasi) Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Model 5 94.0119167 18.8023833 1.01 Error 6 112.0533500 18.6755583 Corrected Total 11 206.0652667 R-Square 0.456224 Source BLOK RANSUM
DF 3 2
Coeff Var 38.95603 Type I SS 76.94360000 17.06831667
Root MSE 4.321523
Pr > F 0.4864
EFMIK Mean 11.09333
Mean Square 25.64786667 8.53415833
F Value 1.37 0.46
Pr > F 0.3380 0.6535
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for Ef.Sin.Mikr. NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 18.67556 Number of Means Critical Range
2 7.477
3 7.749
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 12.320 4 20 A 11.483 4 30 A 9.478 4 25
Lampiran 9 Analisis statistika produksi mikroba rumen sapi yang diberi ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Produksi mikroba (gN/hari) Sum of Source DF Squares Mean Square Model 5 411.9547500 82.3909500
F Value 1.31
Pr > F 0.3697
105
Error Corrected Total
Source BLOK RANSUM
6 11 R-Square 0.522807
376.0128167 787.9675667 Coeff Var 42.98089
DF 3 2
Type I SS 301.9476333 110.0071167
62.6688028 Root MSE 7.916363
PRODMIK Mean 18.41833
Mean Square 100.6492111 55.0035583
F Value 1.61 0.88
Pr > F 0.2841 0.4631
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for PRODMIK NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 62.6688 Number of Means Critical Range
2 13.70
3 14.20
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 20.973 4 30 A 20.118 4 20 A 14.165 4 25
Lampiran 10 Analisis statistika konsumsi bahan kering (BK) ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Konsumsi BK (KBK) Sum of Source DF Squares Mean Square Model 5 1.96008333 0.39201667 Error 6 1.04061667 0.17343611 Corrected Total 11 3.00070000 R-Square 0.653209 Source BLOK RANSUM
DF 3 2
Coeff Var 11.55219
Root MSE 0.416457
Type I SS 0.66463333 1.29545000
Mean Square 0.22154444 0.64772500
F Value 2.26
Pr > F 0.1747
KBK Mean 3.605000 F Value 1.28 3.73
Pr > F 0.3640 0.0884
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for Konsumsi KBK NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 0.173436 Number of Means 2 3 Critical Range .7206 .7468 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 4.0350 4 30 B A 3.5425 4 20 B 3.2375 4 25
Lampiran 11 Analisis statistika konsumsi bahan organik (BO) ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure
106
Dependent Variable: Konsumsi BO (KBO) Source Model Error Corrected Total
DF 5 6 11
Squares 1.72605000 0.86241667 2.58846667
R-Square 0.666823 Source BLOK RANSUM
DF 3 2
Sum of Mean Square 0.34521000 0.14373611
Coeff Var 11.46549
Root MSE 0.379125
Type I SS 0.56673333 1.15931667
Mean Square 0.18891111 0.57965833
F Value 2.40
Pr > F 0.1581
KBO Mean 3.306667 F Value 1.31 4.03
Pr > F 0.3537 0.0776
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for KBO NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise Error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 0.143736 Number of Means Critical Range
2 .6560
3 .6799
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 3.7125 4 30 B A 3.2500 4 20 B 2.9575 4 25
Lampiran 12 Analisis statistika konsumsi serat kasar (SK) ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure
Dependent Variable: Konsumsi SK (KSK) Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 0.24494167 Error 6 0.00875000 Corrected Total 11 0.25369167 R-Square 0.965509 Source BLOK RANSUM
DF 3 2
Source
DF
0.04898833 0.00145833
Coeff Var 7.780264
Root MSE 0.038188
Type I SS 0.01842500 0.22651667
Mean Square 0.00614167 0.11325833
33.59
0.0003
KSK Mean 0.490833 F Value 4.21 77.66
Pr > F 0.0635 <.0001
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for KSK NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 0.001458 Number of Means Critical Range
2 .06607
3 .06848
Means with the same letter are not significantly different.
107
Duncan Grouping A B B
Mean 0.68500 0.40000 0.38750
N 4 4 4
RANSUM 30 20 25
Lampiran 13 Analisis statistika konsumsi protein kasar (PK) ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan Dependent Variable: Konsumsi PK (KPK) Source Model Error Corrected Total
Source BLOK RANSUM
DF 5 6 11 R-Square 0.635476 DF 3 2
The SAS System The GLM Procedure
Squares 0.02603333 0.01493333 0.04096667 Coeff Var 12.42044 Type I SS 0.00816667 0.01786667
Sum of Mean Square 0.00520667 0.00248889 Root MSE 0.049889
F Value 2.09
Pr > F 0.1976
KPK Mean 0.401667
Mean Square 0.00272222 0.00893333
F Value 1.09 3.59
Pr > F 0.4212 0.0944
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for KPK NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise Error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 0.002489 Number of Means Critical Range
2 .08632
3 .08946
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 0.45500 4 30 B A 0.38500 4 20 B 0.36500 4 25
Lampiran 14 Analisis statistika kecernaan BK ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Kecernaan BK (KCBK) Source Model Error Corrected Total
DF 5 6 11 R-Square 0.144077
Source BLOK RANSUM
DF 3 2
Squares 21.3949500 127.1016500 148.4966000 Coeff Var 6.253486 Type I SS 2.67940000 18.71555000
Sum of Mean Square 4.2789900 21.1836083 Root MSE 4.602565
F Value 0.20
Pr > F 0.9500
KCBK Mean 73.60000
Mean Square 0.89313333 9.35777500
F Value 0.04 0.44
Pr > F 0.9873 0.6623
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for KCBK NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 21.18361 Number of Means 2 3 Critical Range 7.963 8.253 Means with the same letter are not significantly different.
108
Duncan Grouping A A A
Mean 74.948 73.915 71.938
N 4 4 4
RANSUM 25 20 30
Lampiran 15 Analisis statistika kecernaan BO ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Kecernaan BO (KCBO) Source Model Error Corrected Total
DF 5 6 11 R-Square 0.144407
Source BLOK RANSUM
DF 3 2
Squares 16.2326917 96.1770000 112.4096917 Coeff Var 5.278484 Type I SS 3.34342500 12.88926667
Sum of Mean Square 3.2465383 16.0295000 Root MSE 4.003686
F Value 0.20
Pr > F 0.9497
KCBO Mean 75.84917
Mean Square 1.11447500 6.44463333
F Value 0.07 0.40
Pr > F 0.9741 0.6857
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for KCBO NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 16.0295 Number of Means Critical Range
2 6.927
3 7.179
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 77.078 4 25 A 75.928 4 20 A 74.543 4 30
Lampiran 16 Analisis statistika kecernaan SK ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Kecernaan SK (KCSK) Source Model Error Corrected Total
DF 5 6 11 R-Square 0.236306
Source BLOK RANSUM
DF 3 2
Squares 221.6880167 716.4503833 938.1384000 Coeff Var 19.14739 Type I SS 66.1448667 155.5431500
Sum of Mean Square 44.3376033 119.4083972 Root MSE 10.92741 Mean Square 22.0482889 77.7715750
F Value 0.37
Pr > F 0.8518
KCSK Mean 57.07000 F Value 0.18 0.65
Pr > F 0.9031 0.5546
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for KCSK NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 119.4084 Number of Means
2
3
109
Critical Range
18.91
19.60
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 62.118 4 30 A 55.125 4 20 A 53.968 4 25
Lampiran 17 Analisis statistika kecernaan PK ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan Dependent Variable: Kecernaan PK (KCPK) Source Model Error Corrected Total
DF 5 6 11
Squares 37.6694167 130.6210833 168.2905000
R-Square 0.223836 DF 3 2
Source BLOK RANSUM
The SAS System The GLM Procedure Sum of Mean Square 7.5338833 21.7701806
F Value 0.35
Pr > F 0.8678
Root MSE 4.665853 Mean Square 4.61285556 11.91542500
KCPK Mean 74.44500 F Value 0.21 0.55
Pr > F 0.8847 0.6049
Coeff Var 6.267516 Type I SS 13.83856667 23.83085000
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for KCPK NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 21.77018 Number of Means Critical Range
2 8.073
3 8.367
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 76.438 4 25 A 73.485 4 30 A 73.413 4 20
Lampiran 18 Analisis statistika TDN ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure
Dependent Variable: TDN Source Model Error Corrected Total
DF 5 6 11
Squares 9.2138083 95.1052167 104.3190250
R-Square 0.088323 Source BLOK RANSUM
DF 3 2
Sum of Mean Square 1.8427617 15.8508694
Coeff Var 5.351050
Root MSE 3.981315
Type I SS 3.13515833 6.07865000
Mean Square 1.04505278 3.03932500
F Value 0.12
Pr > F 0.9840
TDN Mean 74.40250 F Value 0.07 0.19
Pr > F 0.9760 0.8304
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for TDN NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 15.85087
110
Number of Means 2 3 Critical Range 6.889 7.139 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 75.150 4 25 A 74.613 4 20 A 73.445 4 30
Lampiran 19 Analisis statistika retensi N ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Retensi N (RETN) Source Model Error Corrected Total
Source BLOK RANSUM
DF 5 6 11 R-Square 0.461083 DF 3 2
Squares 175.9446917 205.6455333 381.5902250 Coeff Var 9.750463 Type I SS 165.0592917 10.8854000
Sum of Mean Square 35.1889383 34.2742556 Root MSE 5.854422
F Value 1.03
Pr > F 0.4777
RETN Mean 60.04250
Mean Square 55.0197639 5.4427000
F Value 1.61 0.16
Pr > F 0.2842 0.8566
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for RETN NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 34.27426 Number of Means Critical Range
2 10.13
3 10.50
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 61.388 4 20 A 59.433 4 30 A 59.308 4 25
Lampiran 20 Analisis statistika pertambahan bobot badan (PBB) sapi yang diberi ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Pertambahan bobot badan (PBB) Sum of Source DF Squares Mean Square Model 5 97393.0458 19478.6092 Error 6 239608.1747 39934.6958 Corrected Total 11 337001.2205 R-Square 0.288999 Source BLOK RANSUM
DF 3 2
Coeff Var 46.41589 Type I SS 47376.01363 50017.03215
Root MSE 199.8367 Mean Square 15792.00454 25008.51607
F Value 0.49
Pr > F 0.7760
PBB Mean 430.5350 F Value 0.40 0.63
Pr > F 0.7613 0.5662
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for PBB NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6
111
Error Mean Square 39934.7 Number of Means 2 3 Critical Range 345.8 358.4 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 505.9 4 20 A 437.5 4 30 A 348.2 4 25
Lampiran 21 Analisis statistika efisiensi ransum dengan berbagai nisbah sinkronisasi degradasi protein dan BO selama 0, 3, 6, dan 9 jam setelah makan The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Efisiensi ransum (EFRAN) Source Model Error Corrected Total
DF 5 6 11 R-Square 0.196393
Source BLOK RANSUM
DF 3 2
Squares 65.6672750 268.6986167 334.3658917
Sum of Mean Square 13.1334550 44.7831028
Coeff Var 41.51161
Root MSE 6.692018
Type I SS 20.28895833 45.37831667
F Value 0.29
Pr > F 0.9003
EFRAN Mean 16.12083
Mean Square 6.76298611 22.68915833
F Value 0.15 0.51
Pr > F 0.9253 0.6262
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for EFRAN NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 6 Error Mean Square 44.7831 Number of Means Critical Range
2 11.58
3 12.00
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 18.820 4 20 A 15.228 4 30 A 14.315 4 25
Lampiran 22 Analisis statistika kadar VFA cairan rumen sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure
Dependent Variable: VFA Source Model Error Corrected Total
DF 8 15 23 R-Square 0.432724
Source INKUBASI RANSUM
DF 3 5
Squares 2533.131567 3320.781617 5853.913183
Sum of Mean Square 316.641446 221.385441
Coeff Var 14.58526
Root MSE 14.87903
Type I SS 133.974083 2399.157483
Mean Square 44.658028 479.831497
F Value 1.43
Pr > F 0.2619
VFA Mean 102.0142 F Value 0.20 2.17
Pr > F 0.8936 0.1129
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for VFA NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 15 Error Mean Square 221.3854 Number of Means
2
3
4
5
6
112
Critical Range 22.43 23.51 24.18 24.64 24.97 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 116.25 4 R1 B A 109.58 4 R2 B A 108.33 4 R6 B A 97.50 4 R4 B 90.84 4 R5 B 89.59 4 R3
Lampiran 23 Analisis statistika kadar NH3 cairan rumen sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: NH3 Source Model Error Corrected Total
DF 8 15 23 R-Square 0.349418
Source INKUBASI RANSUM
DF 3 5
Squares 168.0401833 312.8742000 480.9143833 Coeff Var 26.85600 Type I SS 89.86765000 78.17253333
Sum of Mean Square 21.0050229 20.8582800 Root MSE 4.567087 Mean Square 29.95588333 15.63450667
F Value 1.01
Pr > F 0.4702
NH3 Mean 17.00583 F Value 1.44 0.75
Pr > F 0.2716 0.5990
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for NH3 NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 15 Error Mean Square 20.85828 Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 6.883 7.216 7.422 7.563 7.664 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 19.313 4 R5 A 19.075 4 R2 A 17.850 4 R6 A 15.470 4 R4 A 15.368 4 R3 A 14.960 4 R1
Lampiran 24 Analisis statistika pH cairan rumen sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: PH Source Model Error Corrected Total
DF 8 15 23 R-Square 0.959829
Source INKUBASI RANSUM
DF 3 5
Squares 5.88853333 0.24645000 6.13498333
Sum of Mean Square 0.73606667 0.01643000
Coeff Var 1.854763
Root MSE 0.128180
Type I SS 0.49115000 5.39738333
Mean Square 0.16371667 1.07947667
F Value 44.80
Pr > F <.0001
PH Mean 6.910833 F Value 9.96 65.70
Pr > F 0.0007 <.0001
The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for PH NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the xperimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 15 Error Mean Square 0.01643
113
Number of Means Critical Range
2 .1932
3 .2025
4 .2083
5 .2123
6 .2151
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N RANSUM A 7.45750 4 R3 A 7.44500 4 R1 B 6.96750 4 R2 B 6.95750 4 R4 C 6.49000 4 R5 D 6.14750 4 R6
Lampiran 25 Analisis statistika kadar allantoin urin sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein (mg/100 ml) The SAS System The GLM Procedure
Dependent Variable: ALML (mg/100 ml) Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17 R-Square 0.516737 DF 2 1 2 2
Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
Squares 21291.66718 19912.36927 41204.03645 Coeff Var 37.56010 Type III SS 14670.16893 1257.17694 4293.66343 1070.65788
Sum of Mean Square 3041.66674 1991.23693
F Value 1.53
Pr > F 0.2621
Root MSE 44.62328 Mean Square 7335.08447 1257.17694 2146.83172 535.32894
ALML Mean 118.8050 F Value 3.68 0.63 1.08 0.27
Pr > F 0.0633 0.4453 0.3767 0.7696
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70
ALML LSMEAN 127.162222 110.447778
PROTEIN 10 12 14
Standard Error 14.874426 14.874426
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| <.0001 <.0001
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.4453
ALML LSMEAN
Standard Error
Pr > |t|
LSMEAN Number
140.103333 112.350000 103.961667
18.217377 18.217377 18.217377
<.0001 0.0001 0.0002
1 2 3
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j Dependent Variable: ALML i/j 1 2 3 1 0.3067 0.1909 2 0.3067 0.7514 3 0.1909 0.7514 ENERGI
PROTEIN
65 65 65 70 70 70
10 12 14 10 12 14
ALML LSMEAN
Standard Error
Pr > |t|
LSMEAN Number
151.033333 128.600000 101.853333 129.173333 96.100000 106.070000
25.763261 25.763261 25.763261 25.763261 25.763261 25.763261
0.0002 0.0005 0.0027 0.0005 0.0039 0.0021
1 2 3 4 5 6
114
i/j 1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: ALML 2 3 4 5 0.5518 0.2068 0.5619 0.1626 0.4797 0.9878 0.3933 0.4797 0.4706 0.8777 0.9878 0.4706 0.3854 0.3933 0.8777 0.3854 0.5502 0.9102 0.5402 0.7899
1 0.5518 0.2068 0.5619 0.1626 0.2454
6 0.2454 0.5502 0.9102 0.5402 0.7899
NOTE: To ensure overall protection level, only probabilities associated with preplanned comparisons should be used.
Lampiran 26 Analisis statistika kadar allantoin urin sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein (g/hari) The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Allantoin (g/ekor/hari) Sum of Source DF Squares Mean Square Model 7 4.91122222 0.70160317 Error 10 4.41748889 0.44174889 Corrected Total 17 9.32871111 R-Square 0.526463 DF 2 1 2 2
Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
Coeff Var 30.94556 Type III SS 2.06324444 0.59042222 2.21967778 0.03787778
F Value 1.59
Pr > F 0.2445
Root MSE ALTOT Mean 0.664642 2.147778 Mean Square F Value 1.03162222 2.34 0.59042222 1.34 1.10983889 2.51 0.01893889 0.04
Pr > F 0.1471 0.2745 0.1306 0.9582
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70
ALTOT LSMEAN 2.32888889 1.96666667
PROTEIN
ALTOT LSMEAN
10 12 14
Standard H0:LSMEAN=0 Error Pr > |t| 0.22154731 <.0001 0.22154731 <.00 Standard Error Pr > |t|
2.49000000 2.28833333 1.66500000
0.27133893 0.27133893 0.27133893
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.2745
<.0001 <.0001 0.0001
LSMEAN Number 1 2 3
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: ALTOT i/j
i/j 1 2 3 4
ENERGI
PROTEIN
65 65 65 70 70 70
10 12 14 10 12 14
1 0.6807 0.1162 0.4230
1 2 3
1 0.6107 0.0571
2 0.6107
3 0.0571 0.1354
0.1354
ALTOT LSMEAN
Standard Error
Pr > |t|
LSMEAN Number
2.71666667 2.48666667 1.78333333 2.26333333 2.09000000 1.54666667
0.38373119 0.38373119 0.38373119 0.38373119 0.38373119 0.38373119
<.0001 <.0001 0.0009 0.0002 0.0003 0.0024
1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: ALTOT 2 3 4 5 0.6807 0.1162 0.4230 0.2750 0.2241 0.6894 0.4816 0.2241 0.3972 0.5845 0.6894 0.3972 0.7560
6 0.0565 0.1139 0.6720 0.2161
115
5 0.2750 0.4816 0.5845 0.7560 0.3403 6 0.0565 0.1139 0.6720 0.2161 0.3403 NOTE: To ensure overall protection level, only probabilities associated with preplanned comparisons should be used.
Lampiran 27 Analisis statistika efisiensi sintesis N mikroba rumen sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure
Dependent Variable: EFMIK Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17
Squares 104.2933722 93.5107222 197.8040944
Sum of Mean Square 14.8990532 9.3510722
F Value 1.59
Pr > F 0.2431
R-Square 0.527256 DF 2 1 2 2
Coeff Var Root MSE EFMIK Mean 30.94919 3.057952 9.880556 Source Type III SS Mean Square F Value Pr > F BLOK 43.72954444 21.86477222 2.34 0.1469 ENERGI 12.71760556 12.71760556 1.36 0.2706 PROTEIN 47.03914444 23.51957222 2.52 0.1304 ENERGI*PROTEIN 0.80707778 0.40353889 0.04 0.9579 The GLM Procedure Least Squares Means H0:LSMean1= Standard H0:LSMEAN=0 LSMean2 ENERGI EFMIK LSMEAN Error Pr > |t| Pr > |t| 65 10.7211111 1.0193174 <.0001 0.2706 70 9.0400000 1.0193174 <.0001 Standard LSMEAN PROTEIN EFMIK LSMEAN Error Pr > |t| Number 10 11.4566667 1.2484038 <.0001 1 12 10.5266667 1.2484038 <.0001 2 14 7.6583333 1.2484038 0.0001 3 Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: EFMIK i/j 1 2 3 1 0.6098 0.0569 2 0.6098 0.1353 3 0.0569 0.1353 Standard LSMEAN ENERGI PROTEIN EMIK LSMEAN Error Pr > |t| Number 65 10 12.5000000 1.8592198 <.0001 1 65 12 10.4133333 1.8592198 0.0003 2 65 14 11.4566667 1.8592198 0.0002 3 70 10 9.5966667 1.8592198 0.0006 4 70 12 8.2066667 1.8592198 0.0017 5 70 14 7.2996667 2.3517477 0.0126 6
i/j 1 2 3 4 5 6
1 0.4478 0.7008 0.2981 0.1369 0.1168
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: EMIK 2 3 4 5 0.4478 0.7008 0.2981 0.1369 0.7008 0.7632 0.4231 0.7008 0.4972 0.2477 0.7632 0.4972 0.6098 0.4231 0.2477 0.6098 0.3261 0.1989 0.4632 0.7691
6 0.1168 0.3261 0.1989 0.4632 0.7691
NOTE: To ensure overall protection level, only probabilities associated with preplanned comparisons should be used.
Lampiran 28 Analisis statistika produksi mikroba rumen sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: PRODMIK
116
Source Model Error Corrected Total
Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 7 10 17
Squares 544.2763556 331.3125556 875.5889111
R-Square 0.621612 DF 2 1 2 2
Coeff Var 46.11339 Type III SS 218.3861778 44.6827556 271.9469444 9.2604778
Sum of Mean Square 77.7537651 33.1312556
F Value 2.35
Pr > F 0.1071
Root MSE PRODMIK Mean 5.755976 12.48222 Mean Square F Value 109.1930889 3.30 44.6827556 1.35 135.9734722 4.10 4.6302389 0.14
Pr > F 0.0795 0.2725 0.0500 0.8712
The GLM Procedure Least Squares Means PRODMIK LSMEAN 14.0577778 10.9066667
ENERGI 65 70 PROTEIN 10 12 14
ENERGI 65 65 65 70 70 70
Standard Error 1.9186585 1.9186585
LSMEAN 16.2850000 14.0183333 7.1433333
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| <.0001 0.0002
Error 2.3498672 2.3498672 2.3498672
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.2725
Pr > |t| <.0001 0.0001 0.0125
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: PRODMIK i/j 1 2 3 1 0.5107 0.0204 2 0.5107 0.0654 3 0.0204 0.0654 Standard PROTEIN LSMEAN Error Pr > |t| 10 16.8633333 3.3232141 0.0005 12 16.2533333 3.3232141 0.0006 14 9.0566667 3.3232141 0.0214 10 15.7066667 3.3232141 0.0008 12 11.7833333 3.3232141 0.0053 14 5.2300000 3.3232141 0.1466
Number 1 2 3
LSMEAN Number 1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: PRODMIK i/j 1 2 3 4 5 6
1 0.8993 0.1277 0.8106 0.3051 0.0328
2 0.8993 0.1567 0.9097 0.3640 0.0410
3 0.1277 0.1567 0.1875 0.5746 0.4345
4 0.8106 0.9097 0.1875 0.4233 0.0499
5 0.3051 0.3640 0.5746 0.4233
6 0.0328 0.0410 0.4345 0.0499 0.1934
0.1934
NOTE: To ensure overall protection level, only probabilities associated with preplanned comparisons should be used.
Lampiran 29 Analisis statistika konsumsi BK ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: KBK Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17 R-Square 0.760223
Squares 5.54856667 1.75003333 7.29860000 Coeff Var 20.95162
Sum of Mean Square 0.79265238 0.17500333 Root MSE 0.418334
F Value 4.53 KBK Mean 1.996667
Pr > F 0.0160
117
Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
Type III SS 2.17363333 2.06722222 0.29190000 1.01581111
Mean Square 1.08681667 2.06722222 0.14595000 0.50790556
F Value 6.21 11.81 0.83 2.90
Pr > F 0.0177 0.0064 0.4624 0.1014
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70
Standard Error 0.13944467 0.13944467
KBK LSMEAN 2.33555556 1.65777778
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| <.0001 <.0001
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.0064
PROTEIN
KBK LSMEAN
Standard Error
Pr > |t|
LSMEAN Number
10 12 14
2.01666667 2.14166667 1.83166667
0.17078414 0.17078414 0.17078414
<.0001 <.0001 <.0001
1 2 3
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KBK i/j 1 2 3 1 0.6160 0.4614 2 0.6160 0.2283 3 0.4614 0.2283 ENERGI
PROTEIN
KBK LSMEAN
Standard Error
Pr > |t|
LSMEAN Number
65 65 65 70 70 70
10 12 14 10 12 14
2.06000000 2.49000000 2.45666667 1.97333333 1.79333333 1.20666667
0.24152525 0.24152525 0.24152525 0.24152525 0.24152525 0.24152525
<.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.0005
1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KBK i/j 1 2 3 4 5 6
1 0.2367 0.2725 0.8048 0.4531 0.0315
2 0.2367 0.9242 0.1613 0.0687 0.0037
3 0.2725 0.9242 0.1874 0.0808 0.0044
4 0.8048 0.1613 0.1874 0.6097 0.0486
5 0.4531 0.0687 0.0808 0.6097 0.1166
6 0.0315 0.0037 0.0044 0.0486 0.1166
Lampiran 30 Analisis statistika konsumsi BO ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Konsumsi BO (KBO) Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17 R-Square 0.779403
Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
Squares 4.80245556 1.35925556 6.16171111 Coeff Var 20.45701 Type III SS 1.77707778 0.10275556 2.19924444 0.72337778
Sum of Mean Square 0.68606508 0.13592556 Root MSE 0.368681 Mean Square 0.88853889 0.10275556 1.09962222 0.36168889
The GLM Procedure Least Squares Means
F Value 5.05
Pr > F 0.0111
KBO Mean 1.802222 F Value 6.54 0.76 8.09 2.66
Pr > F 0.0153 0.4050 0.0081 0.1184
118
ENERGI
KBO LSMEAN
Standard Error
65 70
1.87777778 1.72666667
0.12289361 0.12289361
PROTEIN 10 12 14
ENERGI 65 65 65 70 70 70
i/j 1 2 3 4 5 6
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| <.0001 <.0001
Standard Error 0.15051332 0.15051332 0.15051332
KBO LSMEAN 2.11000000 1.98333333 1.31333333
Pr > |t| <.0001 <.0001 <.0001
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.4050 LSMEAN Number 1 2 3
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KBO i/j 1 2 3 1 0.5650 0.0038 2 0.5650 0.0104 3 0.0038 0.0104 Standard PROTEIN KBO LSMEAN Error Pr > |t| 10 1.90333333 0.21285798 <.0001 12 2.17666667 0.21285798 <.0001 14 1.55333333 0.21285798 <.0001 10 2.31666667 0.21285798 <.0001 12 1.79000000 0.21285798 <.0001 14 1.07333333 0.21285798 0.0005
LSMEAN Number 1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KBO 2 3 4 5 0.3852 0.2720 0.1997 0.7144 0.0652 0.6518 0.2279 0.0652 0.0296 0.4500 0.6518 0.0296 0.1108 0.2279 0.4500 0.1108 0.0044 0.1419 0.0020 0.0386
1 0.3852 0.2720 0.1997 0.7144 0.0202
6 0.0202 0.0044 0.1419 0.0020 0.0386
Lampiran 31 Analisis statistika konsumsi SK ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Konsumsi SK (KSK) Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17
Squares 0.30695000 0.04870000 0.35565000
R-Square 0.863068 Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
Coeff Var 23.13328
Sum of Mean Square 0.04385000 0.00487000 Root MSE 0.069785
Type III SS 0.05303333 0.04400556 0.20143333 0.00847778
F Value 9.00
KSK Mean 0.301667
Mean Square 0.02651667 0.04400556 0.10071667 0.00423889
F Value 5.44 9.04 20.68 0.87
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70
KSK LSMEAN 0.35111111 0.25222222
PROTEIN
KSK LSMEAN
10 12
0.43666667 0.29000000
Standard H0:LSMEAN=0 Error Pr > |t| 0.02326180 <.0001 0.02326180 <.0001 Standard Error Pr > |t| 0.02848976 0.02848976
Pr > F 0.0013
<.0001 <.0001
Pr > F 0.0251 0.0132 0.0003 0.4482
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.0132 LSMEAN Number 1 2
119
14
0.17833333
0.02848976
<.0001
3
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KSK i/j 1 2 3 1 0.0045 <.0001 2 0.0045 0.0197 3 <.0001 0.0197
ENERGI 65 65 65 70 70 70
PROTEIN 10 12 14 10 12 14
KSK LSMEAN 0.51666667 0.32666667 0.21000000 0.35666667 0.25333333 0.14666667
Standard Error 0.04029061 0.04029061 0.04029061 0.04029061 0.04029061 0.04029061
Pr > |t| <.0001 <.0001 0.0004 <.0001 <.0001 0.0045
LSMEAN Number 1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KSK i/j 1 2 3 4 5 6
1
2 0.0076
0.0076 0.0003 0.0185 0.0009 <.0001
3 0.0003 0.0678
0.0678 0.6100 0.2271 0.0102
0.0277 0.4645 0.2924
4 0.0185 0.6100 0.0277 0.0998 0.0042
5 0.0009 0.2271 0.4645 0.0998
6 <.0001 0.0102 0.2924 0.0042 0.0907
0.0907
Lampiran 32 Analisis statistika konsumsi PK ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Konsumsi PK (KPK) Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17
Squares 0.06598889 0.02938889 0.09537778
R-Square 0.691869 Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
Coeff Var 22.69319 Type III SS 0.03187778 0.00642222 0.01267778 0.01501111
Sum of Mean Square 0.00942698 0.00293889 Root MSE 0.054212 Mean Square 0.01593889 0.00642222 0.00633889 0.00750556
F Value 3.21
Pr > F 0.0469
KPK Mean 0.238889 F Value 5.42 2.19 2.16 2.55
Pr > F 0.0254 0.1701 0.1664 0.1271
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70 PROTEIN 10 12 14
KPK LSMEAN 0.25777778 0.22000000
Standard Error 0.01807051 0.01807051
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| <.0001 <.0001
Standard KPK LSMEAN Error Pr > |t| 0.23833333 0.02213176 <.0001 0.27166667 0.02213176 <.0001 0.20666667 0.02213176 <.0001 Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KPK i/j 1 2 3 1 0.3119 0.3355 2 0.3119 0.0645 3 0.3355 0.0645 Standard
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.1701 LSMEAN Number 1 2 3
LSMEAN
120
ENERGI 65 65 65 70 70 70
PROTEIN 10 12 14 10 12 14
KPK LSMEAN 0.21666667 0.30666667 0.25000000 0.26000000 0.23666667 0.16333333
Error 0.03129904 0.03129904 0.03129904 0.03129904 0.03129904 0.03129904
Pr > |t| <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.0004
Number 1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KPK i/j 1 2 3 4 5 6
1
2 0.0694
0.0694 0.4688 0.3507 0.6610 0.2560
3 0.4688 0.2294
0.2294 0.3166 0.1449 0.0089
0.8258 0.7694 0.0787
4 0.3507 0.3166 0.8258 0.6096 0.0539
5 0.6610 0.1449 0.7694 0.6096
6 0.2560 0.0089 0.0787 0.0539 0.1286
0.1286
Lampiran 33 Analisis statistika konsumsi LK ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Konsumsi LK (KLK) Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17 R-Square 0.661124
Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
Squares 0.01391667 0.00713333 0.02105000 Coeff Var 28.11400 Type III SS 0.00520000 0.00000556 0.00490000 0.00381111
Sum of Mean Square 0.00198810 0.00071333 Root MSE 0.026708 Mean Square 0.00260000 0.00000556 0.00245000 0.00190556
F Value 2.79
Pr > F 0.0692
KLK Mean 0.095000 F Value 3.64 0.01 3.43 2.67
Pr > F 0.0647 0.9314 0.0732 0.1176
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70
KLK LSMEAN 0.09444444 0.09555556
PROTEIN 10 12 14
KLK LSMEAN 0.07333333 0.11333333 0.09833333
Standard H0:LSMEAN=0 Error Pr > |t| 0.00890277 <.0001 0.00890277 <.0001 Standard Error Pr > |t| 0.01090362 <.0001 0.01090362 <.0001 0.01090362 <.0001
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.9314 LSMEAN Number 1 2 3
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KLK i/j 1 2 3 1 0.0268 0.1360 2 0.0268 0.3536 3 0.1360 0.3536 ENERGI 65 65 65 70 70 70
PROTEIN 10 12 14 10 12 14
KLK LSMEAN 0.05333333 0.11666667 0.11333333 0.09333333 0.11000000 0.08333333
Standard Error 0.01542004 0.01542004 0.01542004 0.01542004 0.01542004 0.01542004
Pr > |t| 0.0061 <.0001 <.0001 0.0001 <.0001 0.0003
LSMEAN Number 1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KLK i/j 1 2
1 0.0157
2 0.0157
3 0.0204 0.8816
4 0.0965 0.3098
5 0.0266 0.7661
6 0.1989 0.1574
121
3 4 5 6
0.0204 0.0965 0.0266 0.1989
0.8816 0.3098 0.7661 0.1574
0.3807
0.3807 0.8816 0.1989
0.8816 0.4624
0.4624 0.6564
0.1989 0.6564 0.2494
0.2494
NOTE: To ensure overall protection level, only probabilities associated with preplanned comparisons should be used.
Lampiran 34 Analisis statistika kecernaan BK ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Kecernaan BK (KCBK) Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17 R-Square 0.875859 DF 2 1 2 2
Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
Squares 887.505856 125.791656 1013.297511 Coeff Var 5.604102 Type III SS 31.9882111 25.0632000 772.0098111 58.4446333
Sum of Mean Square 126.786551 12.579166
F Value 10.08
Pr > F 0.0008
Root MSE 3.546712 Mean Square 15.9941056 25.0632000 386.0049056 29.2223167
KCBK Mean 63.28778 F Value 1.27 1.99 30.69
Pr > F 0.3221 0.1884 <.0001
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70
Standard Error 1.1822373 1.1822373
KCBK LSMEAN 64.4677778 62.1077778
PROTEIN
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| <.0001 <.0001
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.1884
KCBK LSMEAN
Standard Error
Pr > |t|
LSMEAN Number
69.3916667 66.2683333 54.2033333
1.4479391 1.4479391 1.4479391
<.0001 <.0001 <.0001
1 2 3
10 12 14
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KCBK i/j 1 2 3 1 0.1582 <.0001 2 0.1582 0.0002 3 <.0001 0.0002 ENERGI 65 65 65 70 70 70
PROTEIN 10 12 14 10 12 14
KCBK LSMEAN 71.1166667 65.0200000 57.2666667 67.6666667 67.5166667 51.1400000
Standard Error 2.0476951 2.0476951 2.0476951 2.0476951 2.0476951 2.0476951
Pr > |t| <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
LSMEAN Number 1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KCBK i/j 1 2 3 4 5 6
1 0.0615 0.0007 0.2610 0.2422 <.0001
2 0.0615 0.0232 0.3823 0.4088 0.0007
3 0.0007 0.0232 0.0049 0.0054 0.0605
4 0.2610 0.3823 0.0049 0.9597 0.0002
5 0.2422 0.4088 0.0054 0.9597 0.0002
6 <.0001 0.0007 0.0605 0.0002 0.0002
122
Lampiran 35 Analisis statistika kecernaan BO ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Kecernaan BO (KCBO) Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17
Squares 743.0297333 104.6690667 847.6988000
R-Square 0.876526 Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
ENERGI 65 70
Coeff Var 4.721169
Standard Error 1.0784200 1.0784200
73.9783333 71.3416667 60.2600000
Pr > F 0.0008
KCBO Mean 68.52667 F Value 1.68 2.68 30.38 2.10
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| <.0001 <.0001
Standard Error
KCBO LSMEAN
10 12 14
Root MSE 3.235260
F Value 10.14
Type III SS Mean Square 35.1745333 17.5872667 28.0250889 28.0250889 635.8960333 317.9480167 43.9340778 21.9670389 The GLM Procedure Least Squares Means
KCBO LSMEAN 69.7744444 67.2788889
PROTEIN
Sum of Mean Square 106.1471048 10.4669067
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.1328
Pr > |t|
1.3207893 1.3207893 1.3207893
Pr > F 0.2349 0.1328 <.0001 0.17
<.0001 <.0001 <.0001
LSMEAN Number 1 2 3
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KCBO i/j
1 1 2 3
ENERGI
PROTEIN
65 65 65 70 70 70
10 12 14 10 12 14
0.1884 <.0001
2 0.1884 0.0001
3 <.0001 0.0001
KCBO LSMEAN
Standard Error
Pr > |t|
LSMEAN Number
75.3733333 70.6066667 63.3433333 72.5833333 72.0766667 57.1766667
1.8678782 1.8678782 1.8678782 1.8678782 1.8678782 1.8678782
<.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KCBO i/j 1 2 3 4 5 6
1 0.1013 0.0011 0.3157 0.2405 <.0001
2 0.1013 0.0205 0.4715 0.5901 0.0005
3 0.0011 0.0205 0.0057 0.0079 0.0417
4 0.3157 0.4715 0.0057 0.8517 0.0002
5 0.2405 0.5901 0.0079 0.8517
6 <.0001 0.0005 0.0417 0.0002 0.0002
0.0002
Lampiran 36 Analisis statistika kecernaan SK ransum yang sinkron dengan berbagai
123
kandungan energi dan protein Dependent Variable: Kecernaan SK (KCSK) Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17
Squares 6276.747772 750.096389 7026.844161
R-Square 0.893253 Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
The SAS System The GLM Procedure
Coeff Var 19.34200 Type III SS 99.745678 118.118450 5078.895511 979.988133
Sum of Mean Square 896.678253 75.009639 Root MSE 8.660811
F Value 11.95
KCSK Mean 44.77722
Mean Square 49.872839 118.118450 2539.447756 489.994067
F Value 0.66 1.57 33.85 6.53
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70
KCSK LSMEAN 47.3388889 42.2155556
PROTEIN 10 12 14
ENERGI 65 65 65 70 70 70
i/j 1 2 3 4 5 6
1 0.0008 <.0001 0.0049 0.0064 <.0001
Standard Error 2.8869368 2.8869368
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| <.0001 <.0001
Standard Error 3.5357611 3.5357611 3.5357611
KCSK LSMEAN 63.7616667 47.6516667 22.9183333
0.0153 0.2870 0.2254 0.0193
3 <.0001 0.0153
Pr > |t| <.0001 <.0001 <.0001
0.0023 0.0018 0.8965
4 0.0049 0.2870 0.0023 0.8704 0.0029
Pr > F 0.5357 0.2381 <.0001 0.0153
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.2381
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KCSK i/j 1 2 3 1 0.0091 <.0001 2 0.0091 0.0006 3 <.0001 0.0006 Standard PROTEIN KCSK LSMEAN Error Pr > |t| 10 76.4866667 5.0003213 <.0001 12 43.0833333 5.0003213 <.0001 14 22.4466667 5.0003213 0.0012 10 51.0366667 5.0003213 <.0001 12 52.2200000 5.0003213 <.0001 14 23.3900000 5.0003213 0.0009 Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KCSK 2 0.0008
Pr > F 0.0004
5 0.0064 0.2254 0.0018 0.8704
LSMEAN Number 1 2 3
LSMEAN Number 1 2 3 4 5 6
6 <.0001 0.0193 0.8965 0.0029 0.0022
0.0022
Lampiran 37 Analisis statistika kecernaan PK ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein Dependent Variable: Kecernaan PK (KCPK) Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17
The SAS System The GLM Procedure
Squares 501.6531556 118.7270889 620.3802444
Sum of Mean Square 71.6647365 11.8727089
F Value 6.04
Pr > F 0.0059
124
R-Square 0.808622 Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
Coeff Var 5.392675 Type III SS 4.4867111 118.3747556 315.1983444 63.5933444
Root MSE 3.445680 Mean Square 2.2433556 118.3747556 157.5991722 31.7966722
KCPK Mean 63.89556 F Value 0.19 9.97 13.27 2.68
Pr > F 0.8307 0.0102 0.0015 0.1171
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70
Standard Error 1.1485599 1.1485599
KCPK LSMEAN 66.4600000 61.3311111
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| <.0001 <.0001
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.0102
Standard KCPK LSMEAN Error Pr > |t| 68.7716667 1.4066929 <.0001 64.3616667 1.4066929 <.0001 58.5533333 1.4066929 <.0001 Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KCPK
PROTEIN 10 12 14
i/j
1 1 2 3
ENERGI
PROTEIN
65 65 65 70 70 70
10 12 14 10 12 14
0.0510 0.0004
2 0.0510
LSMEAN Number 1 2 3
3 0.0004 0.0153
0.0153
KCPK LSMEAN
Standard Error
Pr > |t|
LSMEAN Number
72.9700000 64.2933333 62.1166667 64.5733333 64.4300000 54.9900000
1.9893641 1.9893641 1.9893641 1.9893641 1.9893641 1.9893641
<.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KCPK i/j 1 2 3 4 5 6
1 0.0116 0.0032 0.0137 0.0126 <.0001
2 0.0116 0.4570 0.9227 0.9622 0.0079
3 0.0032 0.4570 0.4030 0.4301 0.0297
4 0.0137 0.9227 0.4030 0.9604 0.0067
5 0.0126 0.9622 0.4301 0.9604
6 <.0001 0.0079 0.0297 0.0067 0.0073
0.0073
Lampiran 38 Analisis statistika kecernaan LK ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: Kecernaan LK (KCLK) Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17 R-Square 0.848257
Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
Squares 431.7681056 77.2382556 509.0063611 Coeff Var 3.687514 Type III SS 22.0664778 33.6473389 363.3218778 12.7324111
Sum of Mean Square 61.6811579 7.7238256 Root MSE 2.779177 Mean Square 11.0332389 33.6473389 181.6609389 6.3662056
F Value 7.99
Pr > F 0.0020
KCLK Mean 75.36722 F Value 1.43 4.36 23.52 0.82
Pr > F 0.2847 0.0634 0.0002 0.4663
125
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70
Standard Error 0.9263924 0.9263924
KCLK LSMEAN 74.0000000 76.7344444
PROTEIN 10 12 14
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| <.0001 <.0001
Standard Error 1.1345943 1.1345943 1.1345943
KCLK LSMEAN 69.4500000 80.3300000 76.3216667
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.0634 LSMEAN Number 1 2 3
Pr > |t| <.0001 <.0001 <.0001
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KCLK i/j 1 2 3 1 <.0001 0.0016 2 <.0001 0.0315 3 0.0016 0.0315 ENERGI 65 65 65 70 70 70
PROTEIN 10 12 14 10 12 14
KCLK LSMEAN 69.0333333 79.1066667 73.8600000 69.8666667 81.5533333 78.7833333
Standard Error 1.6045587 1.6045587 1.6045587 1.6045587 1.6045587 1.6045587
LSMEAN Number 1 2 3 4 5 6
Pr > |t| <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: KCLK i/j 1 2 3 4 5 6
1
2 0.0013
0.0013 0.0593 0.7211 0.0003 0.0016
3 0.0593 0.0433
0.0433 0.0022 0.3063 0.8895
4 0.7211 0.0022 0.1089
0.1089 0.0069 0.0552
5 0.0003 0.3063 0.0069 0.0004
0.0004 0.0028
6 0.0016 0.8895 0.0552 0.0028 0.2502
0.2502
Lampiran 39 Analisis statistika TDN ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure
Dependent Variable: TDN Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17 R-Square 0.688215
Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
Squares 849.897772 385.032522 1234.930294 Coeff Var 9.213289 Type III SS 19.5741444 5.1093389 654.8127444 170.4015444
Sum of Mean Square 121.413967 38.503252 Root MSE 6.205099 Mean Square 9.7870722 5.1093389 327.4063722 85.2007722
F Value 3.15
Pr > F 0.0492
TDN Mean 67.34944 F Value 0.25 0.13 8.50 2.21
Pr > F 0.7804 0.7232 0.0070 0.1601
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70 PROTEIN
TDN LSMEAN 66.8166667 67.8822222 TDN LSMEAN
Standard Error 2.0683663 2.0683663 Standard Error
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| <.0001 <.0001 Pr > |t|
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.7232 LSMEAN Number
126
10 12 14
71.1166667 72.0933333 58.8383333
2.5332210 2.5332210 2.5332210
<.0001 <.0001 <.0001
1 2 3
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: TDN i/j
1 1 2 3
ENERGI 65 65 65 70 70 70
2 0.7907
0.7907 0.0065
PROTEIN 10 12 14 10 12 14
TDN LSMEAN 72.4500000 67.2233333 60.7766667 69.7833333 76.9633333 56.9000000
3 0.0065 0.0041
0.0041 Standard Error 3.5825155 3.5825155 3.5825155 3.5825155 3.5825155 3.5825155
Pr > |t| <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
LSMEAN Number 1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: TDN i/j 1 2 3 4 5 6
1
2 0.3266
0.3266 0.0440 0.6101 0.3939 0.0119
3 0.0440 0.2320
0.2320 0.6243 0.0835 0.0689
4 0.6101 0.6243 0.1058
0.1058 0.0096 0.4618
5 0.3939 0.0835 0.0096 0.1868
0.1868 0.0292
6 0.0119 0.0689 0.4618 0.0292 0.0027
0.0027
NOTE: To ensure overall protection level, only probabilities associated with preplanned comparisons should be used.
Lampiran 40 Analisis statistika retensi N ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: RETN Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17
Squares 1832.971239 714.636256 2547.607494
R-Square 0.719487 Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
Coeff Var 30.05255 Type III SS 639.7291444 51.9860056 526.8026778 614.4534111
Sum of Mean Square 261.853034 71.463626 Root MSE 8.453616
F Value 3.66
Pr > F 0.0316
RETN Mean 28.12944
Mean Square 319.8645722 51.9860056 263.4013389 307.2267056
F Value 4.48 0.73 3.69 4.30
Pr > F 0.0409 0.4137 0.0632 0.0449
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70 PROTEIN 10 12 14
RETN LSMEAN 29.8288889 26.4300000 RETN LSMEAN 32.5066667 31.3750000 20.5066667
Standard Error 2.8178720 2.8178720 Standard Error 3.4511743 3.4511743 3.4511743
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| <.0001 <.0001 Pr > |t| <.0001 <.0001 0.0001
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: RETN
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.4137 LSMEAN Number 1 2 3
127
i/j
1 1 2 3
ENERGI 65 65 65 70 70 70
2 0.8213
0.8213 0.0338
PROTEIN 10 12 14 10 12 14
3 0.0338 0.0501
0.0501
RETN LSMEAN 26.0566667 38.3300000 25.1000000 38.9566667 24.4200000 15.9133333
Standard Error 4.8806975 4.8806975 4.8806975 4.8806975 4.8806975 4.8806975
LSMEAN Number 1 2 3 4 5 6
Pr > |t| 0.0003 <.0001 0.0004 <.0001 0.0005 0.0086
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: RETN i/j 1 2 3 4 5 6
1
2 0.1057
0.1057 0.8925 0.0912 0.8174 0.1724
3 0.8925 0.0843
0.0843 0.9295 0.0715 0.0088
4 0.0912 0.9295 0.0725
0.0725 0.9235 0.2128
5 0.8174 0.0715 0.9235 0.0614
0.0614 0.0075
6 0.1724 0.0088 0.2128 0.0075 0.2460
0.2460
Lampiran 41 Analisis statistika PBB sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: PBB Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17
Squares 212063.2222 243391.8889 455455.1111
R-Square 0.465607 Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
Coeff Var 80.50986 Type III SS 69060.77778 1386.88889 88270.77778 53344.77778
Sum of Mean Square 30294.7460 24339.1889 Root MSE 156.0102
F Value 1.24
Pr > F 0.3639
PBB Mean 193.7778
Mean Square 34530.38889 1386.88889 44135.38889 26672.38889
F Value 1.42 0.06 1.81 1.10
Pr > F 0.2868 0.8162 0.2128 0.3713
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70
PBB LSMEAN 202.555556 185.000000
PROTEIN 10 12 14
ENERGI 65 65
PBB LSMEAN 161.500000 291.000000 128.833333
Standard Error 52.003407 52.003407 Standard Error 63.690906 63.690906 63.690906
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| 0.0030 0.0052
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.8162
Pr > |t| 0.0296 0.0010 0.0707
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: PBB i/j 1 2 3 1 0.1811 0.7244 2 0.1811 0.1020 3 0.7244 0.1020 Standard PROTEIN PBB LSMEAN Error Pr > |t| 10 93.333333 90.072543 0.3245 12 336.000000 90.072543 0.0039
LSMEAN Number 1 2 3
LSMEAN Number 1 2
128
65 70 70 70
i/j 1 2 3 4 5 6
14 10 12 14
178.333333 229.666667 246.000000 79.333333
90.072543 90.072543 90.072543 90.072543
0.0759 0.0289 0.0212 0.3991
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: PBB 2 3 4 5 0.0859 0.5197 0.3096 0.2584 0.2441 0.4233 0.4960 0.2441 0.6954 0.6069 0.4233 0.6954 0.9005 0.4960 0.6069 0.9005 0.0716 0.4550 0.2652 0.2200
1 0.0859 0.5197 0.3096 0.2584 0.9147
3 4 5 6
6 0.9147 0.0716 0.4550 0.2652 0.2200
Lampiran 42 Analisis statistika efisiensi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure
Dependent Variable: EFRAN Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17
Squares 491.062722 922.214656 1413.277378
R-Square 0.347464 Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
Coeff Var 102.0411 Type III SS 130.9551444 12.1032000 257.6593444 90.3450333
Sum of Mean Square 70.151817 92.221466 Root MSE 9.603201 Mean Square 65.4775722 12.1032000 128.8296722 45.1725167
F Value 0.76
EFRAN Mean 9.411111 F Value 0.71 0.13 1.40 0.49
The GLM Procedure Least Squares Means ENERGI 65 70
EFRAN LSMEAN 8.5911111 10.2311111
Standard Error 3.2010669 3.2010669
Pr > F 0.6315
H0:LSMEAN=0 Pr > |t| 0.0229 0.0096
Pr > F 0.5148 0.7247 0.2917 0.6267
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.7247
Standard LSMEAN EFRAN LSMEAN Error Pr > |t| Number 8.3450000 3.9204903 0.0592 1 14.4850000 3.9204903 0.0041 2 5.4033333 3.9204903 0.1982 3 Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: EFRAN i/j 1 2 3 1 0.2940 0.6073 2 0.2940 0.1325 3 0.6073 0.1325 Standard LSMEAN PROTEIN EFRAN LSMEAN Error Pr > |t| Number 10 4.5833333 5.5444106 0.4277 1 12 14.1166667 5.5444106 0.0291 2 14 7.0733333 5.5444106 0.2309 3 10 12.1066667 5.5444106 0.0539 4 12 14.8533333 5.5444106 0.0231 5 14 3.7333333 5.5444106 0.5160 6
PROTEIN 10 12 14
ENERGI 65 65 65 70 70 70
i/j 1 2 3 4 5
1 0.2520 0.7573 0.3599 0.2196
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: EFRAN 2 3 4 5 0.2520 0.7573 0.3599 0.2196 0.3902 0.8029 0.9270 0.3902 0.5354 0.3445 0.8029 0.5354 0.7334 0.9270 0.3445 0.7334
6 0.9158 0.2149 0.6792 0.3107 0.1865
129
6
0.9158
0.2149
0.6792
0.3107
0.1865
Lampiran 43 Analisis statistika protein efficiency ratio (PER) ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: PER Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17
Squares 2.37015556 3.72215556 6.09231111
R-Square 0.389040 Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
ENERGI 65 70
Coeff Var 88.13567
Root MSE 0.610095
Type III SS Mean Square 0.82257778 0.41128889 0.00888889 0.00888889 0.95154444 0.47577222 0.58714444 0.29357222 The GLM Procedure Least Squares Means
PER LSMEAN 0.71444444 0.67000000
PROTEIN 10 12 14
Sum of Mean Square 0.33859365 0.37221556
PER LSMEAN 0.66833333 0.98500000 0.42333333
F Value 0.91
Pr > F 0.5358
PER Mean 0.692222 F Value 1.10 0.02 1.28 0.79
Standard H0:LSMEAN=0 Error Pr > |t| 0.20336490 0.0056 0.20336490 0.0081 Standard Error Pr > |t| 0.24907012 0.0230 0.24907012 0.0027 0.24907012 0.1200
Pr > F 0.3685 0.8803 0.3204 0.4808
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.8803 LSMEAN Number 1 2 3
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: PER i/j
1 1 2 3
ENERGI 65 65 65 70 70 70
PROTEIN 10 12 14 10 12 14
0.3898 0.5026 PER LSMEAN 0.43666667 1.11000000 0.59666667 0.90000000 0.86000000 0.25000000
2 0.3898 0.1419 Standard Error 0.35223835 0.35223835 0.35223835 0.35223835 0.35223835 0.35223835
3 0.5026 0.1419
Pr > |t| 0.2434 0.0103 0.1211 0.0286 0.0348 0.4941
LSMEAN Number 1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: PER i/j 1 2 3 4 5 6
1 0.2063 0.7547 0.3742 0.4153 0.7157
2 0.2063 0.3271 0.6823 0.6266 0.1150
3 0.7547 0.3271
4 0.3742 0.6823 0.5561
0.5561 0.6086 0.5023
0.9376 0.2212
5 0.4153 0.6266 0.6086 0.9376 0.2488
6 0.7157 0.1150 0.5023 0.2212 0.2488
Lampiran 44 Analisis statistika blood urea nitrogen (BUN) sapi yang diberi ransum yang sinkron dengan berbagai kandungan energi dan protein The SAS System The GLM Procedure Dependent Variable: BUN Source Model Error
DF 7 10
Squares 898.834072 1332.579956
Sum of Mean Square 128.404867 133.257996
F Value 0.96
Pr > F 0.5040
130
Corrected Total
17
2231.414028
R-Square 0.402809 Source BLOK ENERGI PROTEIN ENERGI*PROTEIN
DF 2 1 2 2
ENERGI 65 70
Coeff Var 31.07844
Type III SS Mean Square 98.2200444 49.1100222 546.5920056 546.5920056 140.7262111 70.3631056 113.2958111 56.6479056 The GLM Procedure Least Squares Means
BUN Mean 37.14389 F Value 0.37 4.10 0.53 0.43
Standard H0:LSMEAN=0 Error Pr > |t| 3.8479142 <.0001 3.8479142 <.0001 Standard Error Pr > |t| 4.7127132 <.0001 4.7127132 <.0001 4.7127132 <.0001
BUN LSMEAN 42.6544444 31.6333333
PROTEIN 10 12 14
Root MSE 11.54374
BUN LSMEAN 35.8833333 34.5283333 41.0200000
Pr > F 0.7008 0.0704 0.6053 0.6650
H0:LSMean1= LSMean2 Pr > |t| 0.0704 LSMEAN Number 1 2 3
Least Squares Means for effect PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: BUN i/j
ENERGI 65 65 65 70 70 70
PROTEIN 10 12 14 10 12 14
1 2 3
1 0.8430 0.4587 BUN LSMEAN 41.9033333 36.7433333 49.3166667 29.8633333 32.3133333 32.7233333
2 0.8430
3 0.4587 0.3530
0.3530 Standard Error 6.6647830 6.6647830 6.6647830 6.6647830 6.6647830 6.6647830
Pr > |t| <.0001 0.0003 <.0001 0.0012 0.0007 0.0006
LSMEAN Number 1 2 3 4 5 6
Least Squares Means for effect ENERGI*PROTEIN Pr > |t| for H0: LSMean(i)=LSMean(j) Dependent Variable: BUN i/j 1 2 3 4 5 6 1 0.5961 0.4498 0.2303 0.3329 0.3530 2 0.5961 0.2118 0.4822 0.6484 0.6788 3 0.4498 0.2118 0.0660 0.1014 0.1088 4 0.2303 0.4822 0.0660 0.8002 0.7678 5 0.3329 0.6484 0.1014 0.8002 0.9662 6 0.3530 0.6788 0.1088 0.7678 0.9662 NOTE: To ensure overall protection level, only probabilities associated with preplanned comparisons should be used.