IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG TATA TERTIB LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN NEGARA (Studi Kasus Penanganan Pelanggaran Tata Tertib Warga Binaan Pemasyarakatan di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi)
JURNAL ILMIAH Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Diajukan oleh : YOGA BAHTIAR NPM : 12100005
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2016 1
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara pada Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi.Untuk mengetahui apa implikasi hukum yang timbul terhadap pelaksanaan peraturan tersebut. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Thun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara merupakan instrumen hukum yang mengelaborasi peraturan-peraturan sebelumnya terkait dengan tata tertib di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara. Selama kurun waktu lima tahun terakhir, kejadian instabilitas keamanan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara di Indonesia merupakan fenomena yang menorehkan catatan buruk bagi institusi tersebut. Hal ini menjadi bahan kontemplasi bagi seluruh jajaran Pemasyarakatan untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap potensi kerusuhan yang sangat riskan. Upaya untuk mereduksi ancaman kerusuhan yang masif bisa dilakukan dengan melakukan penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh warga binaan pemasyarakatan sebagai langkah antisipatif. Instrumen regulasi tersebut selama ini belum secara eksplisit tercantum pada peraturan-peraturan yang ada sebelumnya. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Lokasi penelitian ini di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi. Data yang penulis gunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data penulis lakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara terhadap petugas terkait. Penulis melakukan wawancara sebagai keterangan tambahan dan validasi terhadap datatertulis di perpustakaan. Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif dengan menggunakan metode logika deduktif yang berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor.Selanjutnya dari kedua premis ini akan ditarik suatu kesimpulan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa prosedur pelaksanaan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat tehadap narapidana di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, terdapat beberapa kesalahan penulisan dan penomoran dalam produk hukum yang diterbitkan dalam proses pelaksanaan penjatuhan hukuman disiplin. Hendaknya proses administrasi dilakukan dengan kehati-hatian dalam penulisan nama dan nomor surat. Karena setiap keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pejabat publik memiliki unsur pokok yaitu, konkret, individual dan final. Kata Kunci: penjatuhan hukuman disiplin, narapidana, implikasi hukum.
2
A. Latar Belakang Masalah Jenis tindak kejahatan yang terjadi di masyarakat semakin beragam dan kompleks, misalnya pencurian, perampokan, penipuan, pembunuhan, korupsi, narkoba dan sebagainya. Dari semua tindak kejahatan tersebut terjadi dikarenakan berbagai macam faktor yang mempengaruhinya, seperti keterpaksaan seseorang melakukan tindak kejahatan pencurian yang dikarenakan faktor ekonomi, faktor terpengaruh dengan lingkungan yang ada di sekitarnya dan sebagainya. Tindak kejahatan yang terjadi tersebut harus mendapat ganjaran yang setimpal atau seimbang, sehingga dengan demikian dapat tercapai ketertiban, ketenteraman dan rasa keadilan bagi masyarakat. Zaman dulu, ketika kehidupan masyarakat masih sederhana, setiap pelanggaran hukum dapat diselesaikan pada saat itu juga. Setiap pemimpin formal yang juga biasa bertindak sebagai Hakim, dapat menyelesaikan konflik segera setelah perbuatan dilakukan, sehingga tidak diperlukan tempat untuk menahan para pelanggar hukum untuk menunggu pelaksanaan hukuman. Seiring semakin kompleksnya kehidupan masyarakat, fungsi tempat penahanan bagi pelanggar hukum merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan, karena para hakim membutuhkan waktu untuk memutuskan suatu perkara sambil menunggu suatu putusan, para pelanggar hukum ditempatkan dalam suatu bangunan. Dulu jenis hukuman masih bersifat pidana fisik, misalnya pidana cambuk, potong tangan dan bahkan pidana mati (pemenggalan kepala) atau gantung. Dengan lahirnya pidana hilang kemerdekaan, hukuman berubah menjadi pidana penjara selama waktu yang ditentukan oleh Hakim. Seiring dengan itu, eksistensi bangunan tempat penahanan sementara semakin krusial, apalagi dengan adanya pidana pencabutan kemerdekaan.
3
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjara adalah “bangunan tempat mengurung orang hukuman; bui, lembaga pemasyarakatan (lapas).” Istilah yang terakhir, yaitu lapas, kurang akrab di telinga, tapi kedengarannya tidak seseram dengan penjara. Lapas adalah bangunan tempat mengurung orang yang sudah divonis, sedangkan orang yang belum divonis ditempatkan di rumah tahanan (Rutan). Lembaga Pemasyarakatan dan rumah tahanan negara kedudukannya kini dalam kondisi yang paradoks, dimana pada satu sisi harus memperhatikan hak-hak penghuni (baca: napi dan tahanan) dan di sisi lain petugas harus dapat melaksanakan ketertiban dan penegakan hukum. Apalagi sekarang seiring era reformasi bergulir di negeri ini, wacana hak asasi manusia begitu gencarnya ditegakkan, baik itu dari lembaga swadaya masyarakat (lsm), praktisi hukum, bahkan sampai pada masyarakat umum dengan penerapan program bernama keluarga sadar hukum (kadarkum). Narapidana adalah orang yang melakukan kejahatan sehingga mengharuskan dirinya di kurung dalam penjara. Betapapun, napi adalah manusia, dan sangat wajar kalau mereka tetap ingin diperlakukan sebagai manusia. Sebagaimana pernah ditegaskan Dr. Sahardjo S.H., tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat, tidak boleh ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya, ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia Pandangan ini yang menjadi dasar dari Lambang Pemasyarakatan bagi lembaga pemasyarakatan, yaitu “griya winaya jamna miwarga laksa dharmmesti”, yang artinya rumah untuk pendidikan manusia yang salah jalan agar patuh kepada hukum dan berbuat baik. Lambang Pemasyarakatan ini ditetapkan dalam Keputusan Menkeh RI No. M.09.KP.10.10 Tahun 1997.
4
Namun demikian sejarah dari penjara ke lembaga pemasyarakatan tak serta-merta ada begitu saja, tapi ternyata telah melalui proses panjang yang cukup berliku-liku dimulai sejak bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang itu tentu dalam upaya perbaikan terhadap pelanggar hukum baik yang berada dalam penahanan sementara maupun yang sedang menjalani pidana. Upaya tersebut tidak hanya terjadi pada bangsa kita, tapi juga pada bangsa-bangsa lain sejalan dengan pergerakan kemerdekaannya terutama setelah perang dunia kedua. Tahun-Tahun penting yang menjadi tonggak sejarah dunia dalam upaya perbaikan tersebut, yaitu pertama, Tahun 1933 ketika The International Penal dan Penitentary Commision (IPPC), sebuah komisi Internasional mengenai pidana dan pelaksanaan pidana itu pada tahap merencanakan. Kemudian, kedua, Tahun 1934 dimana IPPC mulai mengajukan untuk disetujui oleh The Asembly of The Leaque of Nation, yaitu rapat umum organisasi bangsa-bangsa. Ketiga, Tahun 1955, naskah IPPC yang diperbaiki oleh sekretariat PBB disetujui oleh Kongres PBB, yang dijadikan Standart Minimum Rules (SMR) dalam pembinaan napi. Keempat, Tahun 1957, tepatnya tanggal 31 Juli 1957, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Resolusi No. 663C XXIV) menyetujui dan menganjurkan
pada
pemerintahan
dari
setiap
negara
untuk
menerima
dan
menerapkannya. Adapun upaya perbaikan di Indonesia diawali Tahun 1963, tepatnya 5 Juli 1963, di Istana Negara RI ketika Sahardjo, S.H., Menteri Kehakiman mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa bidang hukum dengan pidatonya “Pohon Beringin Pengayoman”; yang antara lain dinyatakan bahwa tujuan dari pidana penjara adalah “Pemasyarakatan” dan juga mengemukakan konsep tentang hukum nasional, yang digambarkan sebuah “Pohon Beringin” untuk melambangkan “Tugas hukum ialah memberi pengayoman agar
5
cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara. Dr. Sahardjo, S.H. adalah seorang tokoh yang menancapkan tiang pancang perubahan dalam bidang pemasyarakatan. Pidana penjara sebagai pidana pengekangan kebebasan kemerdekaan seharusnya adalah mengekang kemerdekaan Individu ditambah dengan memberi kesempatan bertobat kepada narapidana. Selain itu Saharjo juga telah menetapkan konsop-konsep pokok konsepsi pemasyarakatan, yaitu : 1. Orang yang tersesat diayomi juga dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna dalam masyarakat. 2. Menjatuhkan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. 3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih jahat daripada sebelum ia masuk penjara. 5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. 6. Pekerjaan yang diberikan pada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan negara sewaktu saja. 7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila. 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. 9. Narapidana hanya dijatuhi hukuman hilang kemerdekaan. 10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan dari program pembinaan dan pemidanaan lembaga-lembaga
6
yang ada di tengah-tengah kota ke tempat-tempat yang sesuai dengan proses pemasyarakatan.1 Berdasarkan pokok prinsip yang telah dikemukakan oleh Sahardjo, salah satu prinsip pokok dalam pembinaan narpidana adalah “Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan”. Untuk membuat seseorang tobat itu dapat dilakukan dengan melakukan bimbingan kepada narapidana dalam bidang agama, sehingga diharapkan apabila seorang narapidana telah selesai menjalani hukumannya maka narapidana tersebut tobat dan tidak melakukan perbuatan kejahatan lagi. Gagasan tentang pemasyarakatan mencapai puncaknya pada 27 April 1964 dalam Konferensi Nasional Kepenjaraan di Grand Hotel Lembang, Bandung. Konferensi yang diikuti oleh direktur penjara seluruh Indonesia ini didahului oleh Amanat Presiden Republik Indonesia, yang dibacakan oleh Astrawinata, SH yang menggantikan kedudukan Almarhum Dr. Sahardjo, S.H. sebagai Menteri Kehakiman. Nah, istilah kepenjaraan mulai saat itu diganti dengan Pemasyarakatan, dan tanggal 27 April akhirnya ditetapkan sebagai Hari Pemasyarakatan. Sistem Pemasyarakatan merupakan perkembangan dari pelaksanaan sistem kepenjaraan berasaskan pembalasan dan penyiksaan-penyiksaan badan yang tidak manusiawi dengan harapan agar si terpidana betul-betul merasa tobat dan jera sehingga tidak
mengulangi
lagi
perbuatan-perbuatan
yang
melanggar
hukum,
Sistem
Pemasyarakatan berasaskan pembinaan sesuai dengan Pancasila. Pembinaan bertujuan agar Narapidana setelah selesai menjalani masa pidananya tidak akan mengulangi perbuatannya (kejahatan) dan dapat hidup bermasyarakat secara wajar serta ikut berpartisipasi di dalam pembangunan. Oleh karena itu, maka setiap 1
Saharjo. Pohon Beringin Pengayoman.1963. Hlm. 23
7
Narapidana didalam Lembaga Pemasyarakatan di bina dan di didik agar menyesali perbuatannya dan mengembangkannya menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan yang baik dan taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral serta di bina dalam hal kemandirian sebagai bekal hidup dikemudian hari apabila sudah pulang dari Lembaga Pemasyarakatan. Harus
diketahui,
narapidana
sewaktu
menjalani
pidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan dalam beberapa hal kurang mendapat perhatian, khususnya perlindungan hak-hak asasinya sebagai manusia. Dengan pidana yang dijalani narapidana itu, bukan berarti hak-haknya dicabut. Pemidanaan pada hakekatnya mengasingkan dari lingkungan masyarakat serta sebagai pembebasan rasa bersalah. Penghukuman bukan bertujuan mencabut hak-hak asasi yang melekat pada dirinya sebagai manusia. Untuk itu, sistem pemasyarakatan secara tegas menyatakan, narapidana mempunyai hak-hak seperti hak untuk surat menyurat, hak untuk dikunjungi dan mengunjungi, remisi, cuti, asimilasi serta bebas bersyarat, melakukan ibadah sesuai dengan agamanya,menyampaikan keluhan, mendapat pelayanan kesehatan, mendapat upah atas pekerjaan, dan memperoleh bebas bersyarat. Sebagai negara hukum hak-hak narapidana itu dilindungi dan diakui oleh penegak hukum, khususnya para petugas di Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana juga harus harus diayomi hak-haknya walaupun telah melanggar hukum. Disamping itu juga ada ketidakadilan perilaku bagi narapidana, misalnya penyiksaan, tidak mendapat fasilitas yang wajar dan tidak adanya kesempatan untuk mendapat remisi. Pada dasarnya hak antara narapidana perempuan dan narapidana pria adalah sama, hanya dalam hal ini karena narapidananya adalah wanita maka ada beberapa hak yang mendapat perlakuan khusus dari narapidana pria yang berbeda dalam beberapa hal, diantaranya karena wanita mempunyai kodrat yang tidak dipunyai oleh narapidana pria 8
yaitu menstruasi, hamil,melahirkan, dan menyusui maka dalam hal ini hak-hak narapidana wanita perlu mendapat perhatian yang khusus baik menurut Undang-Undang maupun oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan diseluruh wilayah Indonesia. Khusus untuk Remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat merupakan hak seorang Narapidana, baik dewasa maupun anak, sebagai warga binaan pemasyarakatan. Pelaksanaan perolehan Remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2006, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam pelaksanaan proses pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) seringkali terdapat kendala yang mengakibatkan gangguan keamanan dan ketertiban dalam lingkungan Lapas/Rutan. Selama kurun waktu 2013 tercatat berbagai kejadian instabilitas keamanan di Lapas/ Rutan di Indonesia diantaranya kerusuhan di lapas terjadi tiga bulan silam, tepatnya 11 Juli 2013. Lapas Kelas I Tanjung Gusta, Medan, rusuh. Gedung lapas dibakar, seluruh dokumen dan surat-surat penting milik narapidana ludes terbakar. Kerusuhan yang berujung pembakaran tersebut merenggut lima korban jiwa. Diduga, pemicunya kemarahan ribuan warga binaan akibat padamnya listrik sejak subuh hingga malam.Sebanyak 218 napi melarikan diri. Polisi berhasil meringkus 93 orang napi yang kabur malam itu, 20 di antaranya menyerahkan diri. Ada yang diminta oleh keluarganya untuk kembali ke lapas, ada juga yang meminta dijemput. Setelah terjadi insiden kerusuhan itu, Kamis malam, 25 Juli 2013, kembali terjadi keributan kecil di Lapas Tanjung Gusta, saat para narapidana meminta bebas. Sebagian
9
besar napi yang menuntut pembebasan itu beranggapan bahwa data-data mereka ikut terbakar ludes saat kerusuhan. Mereka mengklaim masa tahanan telah berakhir. Kerusuhan lain terjadi di Lapas Salemba, Jakarta, 21 Januari 2013. Bentrokan dipicu masalah sepele, kecemburuan penghuni sejumlah blok terhadap perlakukan istimewa yang diberikan petugas terhadap penghuni blok S. Penghuni blok S dituduh kerap melakukan intimidasi terhadap kelompok lain. Kerusuhan ini menyebabkan dua napi terluka parah yakni, Robin dari blok S dan Badri dari blok C. Kerusuhan serupa juga pernah terjadi di Lapas Kerobokan, Denpasar, Bali, Selasa malam 21 Febuari 2012, pukul 23.00 WITA. Para napi mengamuk dan membakar lapas. Sebagian kantor petugas lembaga pemasyarakatan juga tampak hangus terbakar. Kerusuhan di Lapas Kerobokan ini bukan kali pertama terjadi. Minggu lalu, 19 Februari 2012, kerusuhan sudah mulai muncul. Kerusuhan itu dipicu oleh perkelahian antarnarapidana. Seorang narapidana terluka dalam kerusuhan itu. Pada 25 Juni 2011, Lapas Kerobokan juga terjadi kerusuhan. Rentetan kejadian instabilitas keamanan tersebut harus dijadikan bahan kontemplasi bagi seluruh jajaran Pemasyarakatan untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap potensi kerusuhan yang sangat riskan. Instrumen regulasi penertiban di Lapas / Rutan sudah dituangkan dalam beberapa peraturan diantaranya yang paling eksplisit termaktub dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis akan mencoba melekukan sebuah penelitian terhadap “Implementasi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik
10
Indonesia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Pada Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi.” B. Pembatasan Masalah Kajian penerapan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara difokuskan pada Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi dengan menganalisis jejak kasus dugaan pelanggaran tata tertib yang dilakukan oleh salah satu warga binaan pemasyarakatan di dalam Rutan Purwodadi. Setelah itu dilakukan proses analisis kesesuaian terhadap prosedur hukum yang dilakukan oleh petugas dalam penindakan penjatuhan hukuman disiplin sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. C. Perumusan Masalah Berdasarkan hal di atas maka dapat penulis rumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Implementasi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara terhadap pelanggaran tata tertib oleh narapidana pada Rumah Tahanan Negara pada Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi? 2. Apa saja implikasi hukum yang timbul dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara pada Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya, maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan dari suatu penelitian. Tujuan 11
penelitian dikemukakan secara deklaratif dan merupakan pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam dalam penelitian tersebut.2 Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu: tujuan objektif dan tujuan subjektif. Dalam penelitian ini, tujuan objektif dan tujuan subjektif adalah: 1. TujuanObjektif Tujuan objektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum yang mendasari penulis dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini, tujuan objektifnya adalah sebagai berikut. a. Untuk mengetahui implementasi Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara pada Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi. b. Untuk mengetahui apa implikasi hokum yang timbul terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara pada Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi. 2. TujuanSubjektif Tujuan subjektif yaitu tujuan penelitian diihat dari tujuan pribadi penulis dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini, tujuan subjektifnya adalah sebagai berikut. a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti di bidang ilmu hokum secara teoritis maupun praktis dalam lingkup Hukum Administrasi Negara khususnya
2
Soerjono Soekanto.PendekatanSosiologiTerhadapHukum. 2007. Hal.118-119
12
mengenai implementasi penanganan pelanggaran tata tertib pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. b. Untuk melengkapi syarat akademis guna meraih gelar sarjana bidang ilmu hokum pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini berguna untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam membangun argumentasi dan menuangkan dalam suatu karya tulis yang sistematis dan ilmiah. Serta untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat luas tentang Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara pada Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi khususnya dalam penertiban perilakuWarga Binaan Pemasyarakatan selama menjalani masa pidana di dalam Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi sehingga mereka menjalani hukuman dengan baik menciptakan situasi yang kondusif dan tidak mengulangi kesalahan yang pernah mereka lakukan ketika mereka bebas kelak. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Gambaran Umum Rutan Purwodadi memiliki area seluas 27.155 m2 dan bangunan seluas 9.208 m2. Kapasitas maksimal untuk narapidana dan tahanan sebanyak 195 orang yang ditampung dalam 64 kamar di empat blok penghuni pria dan satu blok penghuni wanita. Dalam melaksanakan fungsi pengamanan, dilakukan oleh 4 regu jaga yang terdiri dari 7 orang petugas untuk setiap regu dan dilengkapi dengan sarana pengamanan sebagai berikut. a. Satu ruangan komandan jaga; b. Satu ruangan satuan tugas pengamanan pintu utama (Satgas P2U); 13
c. Empat pos pemantauan atas pada setiap sudut bangunan Rutan; d. Dua pos pemantauan bawah/ pos blok; e. Satu ruang penyimpanan senjata api dan peralatan pengamanan; f. Dua sel pengasingan; dan g. Bangunan dikelilingi oleh pagar beton setinggi 2,98 meter lengkap dengan kawat berduri pada bagian atas pagar. Rutan Purwodadi memiliki beberapa ruangan untuk melaksanakan fungsi administrasi dan teknis antara lain sebagai berikut. a. Ruangan Kepala Rutan Purwodadi; b. Ruangan Subseksi Pengelolaan; c. Ruangan Subseksi Pelayanan Tahanan; d. Ruangan dapur; e. Ruangan poliklinik; f. Ruangan bimbingan keterampilan; g. Ruangan pendidikan/ perpustakaan;dan h. Masjid. 1. Jumlah Pegawai Dalam melaksanakan fungsinya, Rutan Purwodadi memiliki 43 orang pegawai. Berikut dibawah ini demografi pegawai pada Rutan Purwodadi berdasarkan jabatan dan tingkat pendidikan pada bulan April 2016.
14
NO
KLASIFIKASI
JUMLAH
1
Total SDM Pria
39
2 3
Total SDM Wanita Struktural
5 4
4
Satuan Pengamanan
29
5
Pembina PAS
4
6
Dukungan Teknis
6
7
Kesehatan
1
8
SD atau SMP
3
9
SMA atau SMK
29
10
Diploma
11 12 13
1 Strata 1
10
Strata 2 Strata 3
14
2 0 AKIP
1
Jumlah Total Pegawai
44
Sumber data:http://smslap.ditjenpas.go.id/public/sdm/detail/monthly/upt/ (laporan online- Rutan Purwodadi)
Tabel. 1
2. Jumlah Tahanan dan Narapidana Penghuni di Rutan Purwodadi meliputi tahanan dan narapidana. Penghuni pada Rutan Purwodadi baik narapidana ataupun Tahanan disebut warga binaan pemasyarakatan (WBP). Dalam menjalankan hak dan kewajibannya warga binaan pemasyarakatan
tidak
terdapat
perbedaan 15
yang
substantif.
Warga
binaan
pemasyarakatan mendapatkan fasilitas, pemenuhan hak hidup dasar, dan perlakuan yang sama oleh petugas Rutan Purwodadi. Sedangkan untuk pengurusan administratif dan proses pembinaannya, dilakukan assassmen yang diatur lebih lanjut dalam peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Adapun demografi penghuni Rutan Purwodadi periode bulan April 2016 sebagai berikut.
NO
KLASIFIKASI
JUMLAH
1
Tahanan Dewasa Laki-Laki
38
2
Tahanan Dewasa Perempuan
3
3
Tahanan Dewasa
41
4
Tahanan Anak Laki-Laki
1
5
Tahanan Anak Perempuan
0
6
Tahanan Anak
1
Jumlah Tahanan
42
8
Napi Dewasa Laki-Laki
107
9
Napi Dewasa Perempuan
1
10
Napi Dewasa
108
11
Napi Anak Laki-Laki
0
12
Napi Anak Perempuan
0
13
Napi Anak
0
Jumlah Napi
108
16
Total
150
Sumber data: http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/status/daily (laporan online- Rutan Purwodadi) Tabel. 2
KLASIFIKASI PEMBINAAN, NO
JENIS PIDANA DAN
JUMLAH
PERAWATAN 1
Cuti Bersyarat
11
2
Cuti Menjelang Bebas
7
3
Cuti Mengunjungi Keluarga
0
4
Pembebasan Bersyarat
8
5
Narkoba
11
6
Teroris
0
7
Illegal logging
4
8
Human Trafficking
0
9
Money Laundering
0
10
Genosida
0
11
Penderita HIV
1
12
Penderita TBC
1
Sumber data: http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/status/monthly (laporan online- Rutan Purwodadi Tabel. 3
17
A.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat terhadap narapidana Mulyono bin Nurman di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi telah dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan di setiap lini konstitusional khususnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Terkait dengan proses pelaksanaan pemeriksaan awal, pembentukan Tim Pemeriksaan serta pembuatan Berita Acara Pemeriksaan Pelanggaran Tata Tertib Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi Nomor W13.PAS.PAS.26.PK.01.04 – 98e, rapat Tim Pengamat Pemasyarakatan hingga penerbitan Keputusan Kepala Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi Nomor W13.PAS.PAS.26.01.10 - 128 tentang Hukuman Disiplin Atas Pelanggaran Tata Tertib Oleh Narapidana tanggal 31 Maret 2016 disertai resume hasil BAP Nomor : W13.PAS.PAS.26.01.10 – 98f dan pencatatan pada register F dilakukan dalam jangka waktu 2 (dua) hari mulai tanggal 19 Maret 2016 S.D 31 Maret 2016 merupakan bentuk profesionalitas dan efisiensi terhadap implementasi.
B.
Pelaksanaan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat terhadap narapidana Mulyono
bin Nurman di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi menimbulkan implikasi hukum yang berkenaan dengan pencabutan hak yang dimilikinya sebagai narapidana. Narapidana Mulyono bin Nurman tidak memenuhi kelengkapan syarat substantif dan administratif sehingga tidak bisa mendapatkan hak pengurangan masa pidana (remisi), cuti bersyarat (CB), cuti menjelang bebas (CMB), cuti mengunjungi keluarga (CMK), pembebasan bersyarat 18
(PB), dan asimilasi. Berdasarkan hal tersebut, Pelaksanaan penjatuhan hukuman disiplin tingkat berat terhadap narapidana Mulyono bin Nurman di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Purwodadi sebagai implikasi hukum terhadap haknya sebagai narapidana telah memenuhi asas kepastian hukum, asas kemanfaatan dan telah memenuhi rasa keadilan.
DAFTAR PUSTAKA A Widia Gunakarya S.A., S.H., 1998. Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan. Bandung: Amico. Koesnoen. 1961. Politik Penjara Nasional. Majalah Kepenjaraan.
Drs P.A.F. Lamintang. S.H. 1984. Hukum Penitasier Indonesia. Amico: Bandung Saharjo, S.H. 1979. Pohon Beringin Pengayoman. Bandung: Rumah Pengayoman SukaMiskin. Abdul Wahab, Solochin. 2008. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Edisi kedua. Jakarta : PT. Bumi Aksara Amirudduin dan Zainal Asikin. 2004. PengantarMetodePenelitianHukum. Jakarta: Raja Grafindo. Amrah Muslimin. 1985. Beberapa Asas Dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi Dan Hukum Administrasi. Bandung: Alumni. C.S.T. Kansil. 1984. Hukum Tata Pemerintahan Indonesia. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia. .1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka .1997. Modul Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Pradnya Paramita E. Utrecht. 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing. Lexy J Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remja Rosdakarya. Peter Mahmud Marzuki. Group.
2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
19
Philipus M. Hadjon dkk., 2005. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. R. Wiyono. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika. Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. SF. Marbun dkk., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soewarno Handayaningrat. 1982. Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Gunung Agung. Titik Triwulan Tutik. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka. Andi Hamzah. 1986. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1996. Hukum Acara Pidana Indnesia. Jakarta: CV Sapta Artha Jaya. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hari Sasongko dan Lily Rosita. 2003. Komentar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Buku Pedoman Mahasiswa dan Praktisis. Bandung: CV. Mandar Maju. Komariah Emong sapardjaja. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Alumni. Loebby Loqman. 1978. Praperadilan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. L. Sumartini. 1996. Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang Hukuk Acara Pidana. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Marwan Effendi. 2005. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Mien Rukmini. 2007. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bandung: Alumni.
20
Moh. Hatta. 2008. Menyongsong Penegakan hukum Responsif Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Dalam Konsepesi dan Implementasi Kapita Selekta). Yogyakarta: Galang Press. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril. 2004. Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia. M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntunan. Jakarta: Sinar Grafika. Ramelan. 2004. Hukum Acara Pidana Teori dan Implementasi. Jakarta: Sumber Ilmu Jaya. R. Atang Ranoemihardjo. 1983. Hukum Acara Pidana Studi Perbandingan Antara Hukum Acara Pidana Lama (HIR) dengan Hukum Acara Pidana Baru. Bandung: Tarsito. Soerjono Soekamto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
21