IMPLEMENTASI PEMUNGUTAN RETRIBUSI PERPANJANGAN IZIN MEMPEKERJAKAN TENAGA KERJA ASING DI KABUPATEN BEKASI Rizkita Puteri Widyaningrum1 dan Inayati2 1.Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2.Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini membahas implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Kabupaten Bekasi setelah diterbitkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Retribusi IMTA di Kabupaten Bekasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif. Dengan mengaitkan pada teori implementasi Grindle, hasil penelitian terbagi menjadi isi kebijakan dan konteks implementasi. Hasil penelitian dari segi isi kebijakan menunjukkan dalam pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA masih terdapat kekurangan dalam hal SDM dalam bidang pelayanan serta pengawas ketenagakerjaan, dan adanya sejumlah hal yang dalam implementasi belum sejalan dengan peraturan perundang-undangan, yakni dalam pelaksanaan kewenangan pengesahan RPTKA Perpanjangan serta terkait dengan pembentukan Tim SIPORA sebagai pengawas orang asing dan TKA di Kabupaten Bekasi. Hasil lainnya menunjukkan bahwa terdapat mekanisme terkait dengan kondisi EPO dan pengajuan permohonan restitusi atas kelebihan pembayaran Retribusi Perpanjangan IMTA yang dilaksanakan tanpa dasar aturan yang jelas. Hasil penelitian dari segi konteks implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA menunjukkan adanya strategi berupa sosialisasi dan pengawasan terhadap pengguna TKA yang dilakukan oleh Disnaker Kabupaten Bekasi. Kata kunci: DPKK; IMTA; Retribusi Perizinan Tertentu; TKA
IMPLEMENTATION OF THE USER CHARGES ON THE EXTENTION OF WORK PERMIT IN KABUPATEN BEKASI ABSTRACT The focus of this research is the implementation of the user charges on the extention of work permit in Kabupaten Bekasi after the Regional Regulation No. 3 of 2013 published by using qualitative-descriptive approach. According to the implementation theory by Grindle, the results are divided into the content and context of the implementation of the policy. The results of the study in terms of policy content shows there is still a lack of human resources, and there is a number of issues in the implementation that has not been in line with legislation, it is related to the authority of publishing the extention of Expatriate Placement Plan and the forming of SIPORA team which has supervision role to the foreigners in Kabupaten Bekasi. Other results showed that there is a mechanism related to the conditions of application of EPO and restitution for the user charges on the extention of work permit overpayment that implemented without a clear basic rules. The results of the study in terms of the context of the implementation indicates there are two strategies that implemented by Regional Office of Manpower Department of Kabupaten Bekasi regarding to implementing of the user charges on the extention of work permit, the strategies are socialization and supervision. Keywords: DPKK Tax; Expatriate Placement Plan; License and Permit Fees; Work Permit.
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Sektor industri di Indonesia yang mulai dikembangkan sejak masa orde baru dan terus berkembang tentu tidak terlepas dari kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia pada saat itu. Salah satu kebijakan yang cukup memberikan pengaruh terhadap perkembangan pesat industri di Indonesia adalah dengan dikeluarkannya undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968 (Tambunan, 2006, 10). Nilai investasi di Indonesia kemudian terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, terutama investasi yang bersumber dari luar negeri. Investasi asing di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun selama periode 2010 hingga 2013. Porsi penanaman modal asing pada tahun 2010 dan 2011 mayoritas teralokasi pada sektor tersier, yakni sektor jasa. Namun keadaan menunjukkan perubahan yang cukup signifikan, bahwa pada tahun 2012 dan 2013, proporsi penanaman modal asing paling banyak teralokasi pada sektor industri dengan kenaikan yang cukup signifikan yakni hingga mencapai kurang lebih USD 4.000 setiap tahunnya (Realisasi Penanaman, 2013). Apabila ditinjau dari segi lokasi, maka daerah yang menjadi penyerap investasi asing terbanyak adalah Provinsi Jawa Barat dengan total penyerapan hingga 19% dari total keseluruhan investasi asing pada tahun 2013 (Realisasi Penyerapan, 2013). Hal ini menjadi sesuatu yang wajar mengingat di Provinsi Jawa Barat terdapat daerah Kabupaten Bekasi yang memiliki salah satu kawasan industri terbesar di Indonesia. Berkembangnya sektor Industri di Indonesia, dan didukung dengan kepemilikan kawasan industri yang besar tentu memberikan keuntungan tersendiri bagi Kabupaten Bekasi karena banyaknya investasi asing yang masuk membuat industri membutuhkan banyak tenaga kerja. Sebagai konsekuensinya, tenaga kerja yang terserap dari industri tersebut tidak hanya TKI namun juga TKA yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun sebagai representasi dari perusahaan-perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, maupun yang memang didatangkan untuk memberikan pengetahuan dan keahliannya dalam melaksanakan berbagai jenis pekerjaan di industri tersebut. Meningkatnya jumlah TKA yang masuk ke Indonesia dari tahun ke tahun diantisipasi oleh Pemerintah Indonesia melalui sejumlah kebijakan, terutama dengan instrumen peraturan perundang-undangan. Untuk tetap menjaga keseimbangan proporsi jumlah tenaga kerja lokal dan TKA di Indonesia, Pemerintah Indonesia menerbitkan aturan yang terkait dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenekertrans) Nomor PER.02/MEN/III/2008 s.t.d.t.d Permenakertrans No. 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Potensi yang besar dari sektor ketenagakerjaan sebagai konsekuensi dari perkembangan industri tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari aturan yang mengatur tentang kewenangan daerah, karena salah satu kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada daerah adalah kewenangan dalam urusan ketenagakerjaan dan ketransmigrasian. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) huruf n PP No. 38 Tahun 2007. Menindaklanjuti hal tersebut, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sebagai landasan pengalihan kewenangan mengenai TKA kepada daerah. Dengan dilandasi terbitnya PP No. 97 tahun 2012, dan menyadari bahwa potensi jumlah tenaga kerja asing cukup besar di Kabupaten Bekasi, Pemerintah Kabupaten Bekasi yang telah menyiapkan rancangan peraturan daerah kemudian segera melaksanakan pemungutan Retribusi IMTA berdasarkan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2013 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sejalan dengan kebijakan Pemerintah Pusat yang dipayungi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Respon yang sangat cepat atas peraturan pemerintah tersebut kemudian menjadikan Kabupaten Bekasi sebagai daerah pertama di Indonesia yang membuat Perda Retribusi Perpanjangan IMTA. Sejak diimplementasikannya Perda No. 3 Tahun 2013 tersebut, Retribusi Perpanjangan IMTA menjadi penyumbang terbesar kedua dalam komponen penerimaan retribusi Kabupaten Bekasi secara keseluruhan dari semua jenis retribusi setelah Retribusi IMB. Hal ini menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti mengingat bahwa pihak Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi merasa bahwa masih banyak perusahaan yang belum memahami benar perda terkait Retribusi Perpanjangan IMTA tersebut karena sosialisasi yang diberikan belum dapat menjangkau sasaran Wajib Retribusi secara menyeluruh sehingga dengan realisasi yang jumlahnya telah melampaui target tersebut, sebenarnya masih terdapat potensi yang tidak terjaring oleh Disnaker Kabupaten Bekasi. Dengan melihat pada proses implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi secara keseluruhan, maka akan dapat diperoleh informasi yang menyeluruh dan dapat dianalisis secara mendalam dengan mengacu pada konsep implementasi dari Grindle yang melihat implementasi dari segi konten kebijakan dan konteks implementasi sendiri mengenai hal-hal yang masih menjadi permasalahan di lapangan sehingga potensi-potensi yang belum sepenuhnya terjaring, dapat dioptimalkan agar dapat meningkatkan PAD Kabupaten Bekasi. Selain itu dari analisis mengenai kondisi di lapangan nantinya dapat diketahui apakah pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA ini telah berjalan sesuai dengan tujuan utamanya, yakni pengendalian terhadap masuknya TKA ke Indonesia,
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
khususnya ke Kabupaten Bekasi untuk menjaga keseimbangan jumlah TKI dan TKA yang bekerja di sektor industri agar kesempatan kerja bagi TKI di Kabupaten Bekasi tetap terbuka lebar dan dari tataran konseptual tidak menyimpang dari konsep retribusi daerah dan retribusi perizinan tertentu. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif sebagai upaya memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai fenomena yang akan diteliti, yakni mengenai implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi. Berdasarkan pada tujuan, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan manfaat penelitian murni karena murni dilakukan untuk kepentingan akademis tanpa disponsori pihak manapun serta dengan waktu penelitian yang ditentukan oleh peneliti yakni pada bulan Maret 2014 hingga Juni 2014. Penelitian mengenai implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi diawali dari proses pengumpulan data sebanyak-banyaknya mengenai implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA tersebut dengan melakukan wawancara mendalam kepada pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pemungutan, dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi, DPPKA Kabupaten Bekasi, Bank Jawa Barat dan Banten, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Perusahaan Pengguna TKA, serta Akademisi Perpajakan Daerah. studi literatur sebagai data sekunder dalam mengolah data. Data sekunder tersebut diperoleh dari berbagai sumber bahan cetak seperti buku, artikel ilmiah, jurnal ilmiah, majalah, penelitian terdahulu, serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Selain itu, data sekunder juga diperoleh melalui penelusuran internet terkait dengan data dan informasi yang dibutuhkan. Teknik pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan pemilahan data melalui coding, analisis dan penyajian data, dan simpulan serta triangulasi informasi dengan informan-informan terkait untuk memperoleh gambaran menyeluruh terkait pelaksanaan pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi. Hasil Penelitian dan Pembahasan Implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi dalam penelitian ini dianalisis dengan mengacu pada teori implementasi dari Grindle (1980, 3). Berdasarkan teori tersebut, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh isi dari kebijakan yang
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
akan diimplementasikan serta konteks dari implementasi itu sendiri. Dalam hal isi kebijakan, maka fokus dari penelitian ini adalah implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi terkait dengan kepentingan kelompok sasaran yang termuat dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi, sejauh mana perubahan yang diinginkan dari diberlakukannya Perda No. 3 Tahun 2013, dan sumber daya manusia yang terkait dengan ketersediaan sumber daya manusia dari implementor pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi. Selain itu juga akan dijelaskan hal-hal lain terkait isi kebijakan pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi yang dilihat dari sisi harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan mengenai IMTA di tingkat Pemerintah Pusat. Adapun pembahasan dari aspek isi kebijakan adalah sebagai berikut Arah Kebijakan Pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi Pada dasarnya pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA akan menjadi sumber PAD yang membawa manfaat bagi daerah yang memungut sepanjang dalam penerapan aturan yang menjadi landasan pemungutan memang benar-benar sesuai dengan apa yang telah diatur, dan tidak menghasilkan tindakan-tindakan di luar aturan yang telah ditetapkan yang nantinya akan menimbulkan keresahan bagi Wajib Retribusi, dalam hal ini pengguna TKA. Selain itu, alokasi atau penggunaan dari dana retribusi yang dipungut juga harus dilakukan secara jelas dan terarah, sesuai dengan tujuan peningkatan kualitas ketenagakerjaan yang nantinya akan diarahkan untuk menggantikan posisi yang mungkin saat ini masih diduduki oleh TKA. Selain itu alokasi dari dana retribusi juga sebisa mungkin diarahkan untuk meningkatkan nilai kompetitif dari TKI, agar perusahaan-perusahaan PMA lebih memilih untuk menggunakan TKI dibandingkan mengimpor TKA. Dalam melakukan alokasi dana retribusi ini pun, Pemda diharuskan untuk memiliki transparansi dan akuntabilitas sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada para pengguna TKA yang telah membayarkan dana retribusi. Pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi dengan dilandasi Perda No. 3 Tahun 2013 sebenarnya bertujuan untuk mengendalikan TKA yang masuk ke Kabupaten Bekasi agar jumlahnya tidak mendominasi pasar tenaga kerja di daerah tersebut. sebagaimana diketahui bahwa TKA yang didatangkan ke Indonesia umumnya memang memiliki kompetensi dan pengetahuan yang lebih tinggi yang dibutuhkan oleh industri di Kabupaten Bekasi. Kondisi ini tentu akan membawa konsekuensi yang kurang baik bagi TKI di Kabupaten Bekasi karena akan memperkecil kesempatan kerja yang mereka miliki. Sementara apabila dilihat dari kompetensi yang dimiliki, TKI di daerah tersebut masih cukup jauh tertinggal dan hal ini tentu dapat menjadi alasan bagi perusahaan untuk lebih memilih
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
mempekerjakan TKA. Pengenaan Retribusi Perpanjangan IMTA dengan besaran USD 100 per orang per bulan kemudian diharapkan dapat menjadi semacam hambatan bagi pengguna TKA untuk mempekerjakan TKA di Indonesia agar dalam jangka panjang perusahaan akan lebih memilih untuk mempekerjakan TKI karena kualitas yang dimiliki sudah jauh lebih baik, dan tidak berbeda jauh dengan kualitas TKA. Dalam praktiknya, diberlakukannya Perda No. 3 Tahun 2013 sendiri memiliki konsekuensi yang dapat diibaratkan seperti dua mata pisau. Di satu sisi, Perda mengenai Retribusi Perpanjangan IMTA ini diimplementasikan dengan tujuan untuk mengendalikan jumlah TKA yang masuk dan bekerja di Indonesia, khususnya yang pengguna TKA-nya berada dalam satu lokasi kerja yakni Kabupaten Bekasi. Sehingga, keberadaan perusahaanperusahaan PMA di Kabupaten Bekasi dapat memberikan lebih banyak kesempatan kerja bagi TKI dibandingkan dengan TKA, atau setidaknya menjaga keseimbangan jumlah TKA dan TKI yang bekerja. Namun di sisi lain dengan dipungutnya Retribusi Perpanjangan IMTA maka jenis retribusi ini menjadi penerimaan daerah yang harus memiliki target setiap tahunnya. Terlebih lagi target yang ditetapkan tentu akan selalu ditingkatkan setiap tahunnya. Namun apabila ditelaah lebih jauh, pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi pada kenyataannya telah sedikit memiliki pergeseran tujuan dari yang pada awalnya bersifat pengendalian menjadi pencapaian target penerimaan. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya ketegasan dari Disnaker Kabupaten Bekasi selaku implementor dalam mengimplementasikan klausul-klausul dalam aturan, yang pada dasarnya terkait erat dengan tujuan utama dari pemungutan retribusi tersebut, bahwa Disnaker Kabupaten Bekasi sejauh ini belum melakukan tindakan yang tegas dalam bentuk pengawasan setelah pengguna TKA membayarkan Retribusi Perpanjangan IMTA. Akibatnya di lapangan terjadi kondisi yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, salah satunya adalah bahwa kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh TKI untuk setiap satu orang TKA tidak selalu dilaksanakan oleh perusahaan pengguna TKA. Akibatnya, transfer ilmu yang seharusnya dilakukan dari TKA kepada TKI tidak terlaksana dengan baik. Kondisi-kondisi tersebut tentu akan menghambat tercapainya tujuan utama dari pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA, yakni peningkatan kualitas ketenagakerjaan di Kabupaten Bekasi. Apabila Disnaker Kabupaten Bekasi tidak benar-benar melaksanakan evaluasi dan monitoring atas program-program dan aktivitas yang seharusnya dilakukan oleh pengguna TKA setelah Retribusi Perpanjangan IMTA dibayarkan, dapat dipastikan tujuan utama pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi akan sangat sulit dicapai.
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Sumber Daya Manusia Implementor Pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi Berdasarkan amanat Perda No. 3 Tahun 2013, pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi dilaksanakan oleh Disnaker Kabupaten Bekasi. Disnaker dalam hal ini memegang peranan yang cukup sentral karena seluruh proses perpanjangan IMTA, termasuk proses pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA dilakukan oleh instansi tersebut. Dengan peranan yang sentral dalam pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA, maka sudah seharusnya SDM yang dimiliki oleh Disnaker Kabupaten Bekasi dapat diandalkan dari segi kualitas maupun kuantitas. Namun pada kenyataannya jumlah SDM yang dimiliki oleh Disnaker Kabupaten Bekasi masih belum memadai secara kuantitas, baik dalam bidang pelayanan maupun bidang pengawasan. Dalam bidang pelayanan perpanjangan IMTA, masih terdapat kekurangan jumlah petugas sehingga sebagai konsekuensinya petugas di bagian pelayanan harus memperpanjang jam kerjanya agar IMTA perpanjangan dapat diterbitkan sesuai waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Tindakan tersebut dapat dikatakan sudah tepat karena pelayanan terhadap masyarakat, dalam hal ini pengguna TKA, harus tetap menjadi prioritas. Terlebih lagi dalam rangka memperoleh IMTA perpanjangan tersebut, pengguna TKA sudah membayar retribusi yang apabila dikaitkan dengan teori license and permit fees (Zorn, 1991, 138) merupakan biaya pengganti atas proses penerbitan IMTA perpanjangan. Sehingga sudah menjadi hal yang wajar apabila penerbitan IMTA perpanjangan tetap sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan bagaimana pun kondisi yang dihadapi oleh implementor. SDM lainnya yang juga memegang peranan penting dalam pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA adalah pihak Pengawas Ketenagakerjaan. Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Kabupaten Bekasi melaksanakan fungsi pengawasan untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan maupun penyimpangan yang dilakukan oleh pengguna TKA. Dengan peranan tersebut maka sudah seharusnya juga jumlah dari Pengawas Ketenagakerjaan memadai untuk melaksanakan tugasnya. Namun sangat disayangkan hingga saat ini jumlah Pengawas Ketenagakerjaan di Kabupaten Bekasi masih sangat kurang bila dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang mempekerjakan TKA di wilayah tersebut, di mana jumlah Pengawas Ketenagakerjaan yang hanya berjumlah 28 orang harus mengawasi 400 perusahaan pengguna TKA dan 4.000 perusahaan di Kabupaten Bekasi secara keseluruhan. Hal ini tentu dapat menyebabkan tidak optimalnya pengawasan yang dilakukan. Untuk menyikapi kondisi tersebut, sejauh ini Disnaker Kabupaten Bekasi memanfaatkan personil selain Pengawas
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
dengan dibekali surat fungsional pengantar kerja yang ditandatangani oleh Kepala Dinas. Upaya tersebut sudah dapat dikatakan tepat untuk mengatasi kondisi-kondisi darurat. Namun cara ini tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang panjang karena personil yang dibekali surat fungsional pengantar kerja tersebut tidak memiliki kewenangan sebesar Pengawas Ketenagakerjaan. Fungsional selain Pengawas hanya memiliki kewenangan sebatas untuk melakukan wawancara kepada bagian personalia dari perusahaan pengguna TKA. Sehingga pengawasan yang dilakukan tetap menjadi tidak optimal. Exit Permit Only (EPO) Berdasarkan Permenakertrans No.12 Tahun 2013 untuk mempekerjakan TKA di Indonesia, perusahaan harus memiliki RPTKA yang memuat tentang identitas perusahaan beserta nama dan jumlah TKA yang dipekerjakan, dan jangka waktu penggunaan TKA yang bersangkutan. RPTKA menjadi dasar bagi pemerintah untuk memungut retribusi perpanjangan IMTA dengan jumlah satu tahun pembayaran di muka. Namun pada faktanya, di lapangan banyak terjadi kondisi di mana TKA bekerja tidak sesuai dengan RPTKA yang telah disahkan, dan kembali ke negara asal sebelum jangka waktu bekerja di Indonesia habis. Kondisi ini disebut dengan exit permit only (EPO). Kondisi EPO kemudian membawa konsekuensi tersendiri bagi dana Retribusi Perpanjangan IMTA yang telah disetorkan kepada pemerintah daerah. Menurut pihak Disnaker Kabupaten Bekasi, terdapat setidaknya dua mekanisme yang dapat diterapkan atas dana Retribusi Perpanjangan IMTA apabila terjadi kondisi EPO. Mekanisme pertama adalah dengan pengembalian dana retribusi (restitusi) atas dana yang jangka waktunya belum terpakai, dan mekanisme kedua adalah dengan pengalihan dana retribusi kepada TKA lain yang masih bekerja di pengguna TKA yang sama. Mekanisme restitusi atas Retribusi Perpanjangan IMTA yang telah dibayarkan oleh pengguna TKA dilakukan atas dana retribusi yang belum terpakai oleh TKA yang bersangkutan. Apabila pada saat permohonan perpanjangan IMTA seorang TKA diharuskan untuk membayar retribusi di muka untuk jangka waktu 12 bulan, dengan dasar jangka waktu kerja dalam RPTKA, maka Disnaker Kabupaten Bekasi akan terlebih dahulu melihat berapa bulan jangka waktu yang telah terpakai. Sedangkan sisa dari jumlah bulan yang belum terpakai akan dikalikan dengan USD 100, dan akan dikembalikan ke pihak pengguna TKA. Mekanisme pengalihan juga hampir sama dengan restitusi, di mana sisa jumlah bulan dalam satu tahun yang tidak terpakai oleh TKA untuk bekerja akan dikalikan dengan USD 100. Namun, sisa dana ini tidak dikembalikan ke rekening perusahaan melainkan dialihkan untuk
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
TKA lain dari perusahaan yang sama, yang juga akan melakukan perpanjangan. Sehingga perusahaan hanya akan menambah kekurangan pembayaran untuk TKA yang mendapat pengalihan tersebut. Pada dasarnya, mekanisme terkait EPO diimplementasikan oleh Pemda Kabupaten Bekasi karena dianggap memberikan kemudahan kepada pengguna TKA. Sejauh ini, sudah banyak pengguna TKA memilih untuk menggunakan mekanisme pengalihan dibandingkan restitusi karena mekanisme tersebut dinilai lebih mudah dan efisien. Efisiensi dalam hal ini terkait dengan waktu pengurusan. Dengan melakukan pengalihan dana Retribusi Perpanjangan IMTA kepada TKA yang masih bekerja di perusahaan yang sama dan juga akan melakukan perpanjangan, maka waktu yang dibutuhkan lebih singkat karena pengguna TKA hanya tinggal membayar kekurangan dana retribusi dari sisa jumlah bulan yang telah terpakai oleh TKA sebelumnya. Namun tidak semua pengguna TKA mengetahui adanya mekanisme pengalihan tersebut sehingga mereka hanya menggunakan mekanisme pengembalian. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata tidak semua pengguna TKA mengetahui bahwa ada mekanisme pengalihan untuk TKA yang melakukan EPO karena pada kenyataannya di lapangan, mekanisme yang telah diberlakukan oleh Pemda Kabupaten Bekasi terkait dengan pengurusan TKA yang akan melakukan EPO sejauh ini belum diatur secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun turunannya, termasuk Perda No.3 Tahun 2013. Perda No.3 Tahun 2013 hanya secara tersirat mengatur dalam Pasal 14 ayat (4) bahwa pengembalian kelebihan pembayaran retribusi akan langsung diperhitungkan untuk melunasi utang retribusi apabila pengguna TKA masih mempunyai utang retribusi lainnya. Namun dengan tidak adanya peraturan yang jelas mengenai EPO maka Disnaker Kabupaten Bekasi dapat dikatakan belum sepenuhnya antisipatif dalam melihat kemungkinan adanya EPO tersebut. Mekanisme restitusi dan pengalihan atas dana Retribusi Perpanjangan IMTA yang belum terpakai tersebut secara teknis diberlakukan oleh Disnaker Kabupaten Bekasi karena kondisi yang terjadi di lapangan. Dengan demikian sejauh ini peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam hal ini Kabupaten Bekasi, masih belum mengakomodasi kondisi yang sebenarnya sudah sering kali terjadi, yakni kondisi EPO. Kondisi demikian membawa konsekuensi pada ketidakpastian dari tata cara dan prosedur yang seharusnya dijalankan bagi pengguna TKA. Bahkan seharusnya aturan mengenai EPO dijelaskan hingga hal yang paling teknis karena menyangkut prosedur yang panjang, dan terlebih lagi menyangkut PAD Kabupaten Bekasi. Dengan adanya alternatif pengalihan maupun restitusi atas TKA yang melakukan EPO, maka akan melibatkan lebih banyak instansi dan berimplikasi pada
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
berkurangnya penerimaan daerah. Sehingga dengan tidak adanya klausul mengenai EPO ini akan merugikan kedua belah pihak, baik pengguna TKA maupun Kabupaten Bekasi. Restitusi Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi Restitusi Retribusi Perpanjangan IMTA merupakan bentuk pengembalian atas kelebihan pembayaran Retribusi Perpanjangan IMTA kepada Pemda Provinsi maupun Pemda kabupaten/kota. Untuk daerah Kabupaten Bekasi sendiri, restitusi atas Retribusi Perpanjangan IMTA diatur di dalam Pasal 14 Perda No. 3 Tahun 2013. Dalam pembahasan ini, restitusi atas Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi dapat dilihat dari dua sisi, yakni dari sisi konsep, dan dari sisi peraturan yang mengatur mekanisme restitusi tersebut. Sejauh ini, kondisi restitusi dilakukan sebagai konsekuensi atas adanya TKA yang melakukan EPO. Sehingga restitusi yang dilakukan oleh pengguna TKA adalah untuk mengupayakan pengembalian dana Retribusi Perpanjangan IMTA yang tersisa atau belum digunakan masa berlakunya oleh TKA yang sudah kembali ke negaranya. Dengan adanya proses restitusi dalam dana Retribusi Perpanjangan IMTA ini, maka sudah jelas bahwa harus ada peraturan yang secara teknis mengatur tentang bagaimana alur permohonan restitusi yang harus diikuti oleh pengguna TKA yang akan melakukan permohonan restitusi tersebut. Hal ini telah diatur dalam Pasal 14 ayat (7) yang mengatur bahwa tata cara restitusi atas retribusi Perpanjangan IMTA lebih lanjut diatur dalam peraturan bupati. Namun sangat disayangkan hingga saat ini, peraturan bupati yang mengatur tata cara restitusi tersebut belum dibuat sehingga menimbulkan ketidakpahaman dari pengguna TKA maupun agent yang selama ini ditugaskan oleh perusahaan untuk melakukan proses pengurusan perpanjangan IMTA dalam mengajukan permohonan restitusi, serta adanya ketidakseragaman dalam segi waktu pelayanan dan jangka waktu pengembalian yang diberikan kepada pengguna TKA yang melakukan pengurusan langsung dengan pengguna TKA yang menggunakan jasa agent. Kondisi-kondisi yang telah diuraikan sebenarnya merupakan konsekuensi dari tidak adanya aturan yang jelas mengenai tata cara dan prosedur restitusi sendiri yang berakibat pada tidak dimilikinya standar pelayanan yang baku oleh Disnaker sebagai pihak pemungut Retribusi Perpanjangan IMTA sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan pemrosesan dokumen untuk kepentingan restitusi. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa dalam hal permohonan restitusi atas Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi, sudah seharusnya diatur dalam peraturan bupati yang memang mengatur hal-hal yang paling teknis dari proses permohonan restitusi tersebut. Disnaker Kabupaten
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Bekasi tidak dapat mempertahankan kondisi ini dalam jangka waktu yang panjang karena restitusi pada dasarnya membawa konsekuensi yang penting bagi beberapa hal. Konsekuensi yang pertama adalah tentu bagi kepastian hukum untuk pengguna TKA yang mengajukan permohonan restitusi. Dengan tidak adanya payung hukum yang jelas terkait tata cara dan prosedur yang berlaku, tentu akan menimbulkan keresahan bagi pengguna TKA. Terlebih lagi terkait dengan efisiensi waktu dan biaya yang harus dikorbankan untuk mengajukan permohonan restitusi tersebut. Dengan belum diberlakukannya aturan teknis dari pengajuan permohonan restitusi tentu akan ada resiko terjadinya penyimpangan yang akan sangat mungkin dilakukan oleh petugas yang terlibat dalam proses pengurusan, misalnya mengarah kepada pungutan liar untuk pengurusan dokumen permohonan restitusi karena pihak pengguna sendiri tidak mengetahui bagaimana prosedur yang sebenarnya harus dilakukan, dan instansi mana saja yang terlibat atau harus diajukan permohonan untuk proses restitusi ini. Hal tersebut tentu akan menjadi bumerang bagi pihak Disnaker karena berimplikasi pada citra buruk pelayanan yang diberikan oleh Disnaker, dan citra buruk Pemda Kabupaten Bekasi yang dianggap koruptif terutama apabila pengguna TKA yang bersangkutan merupakan perusahaan PMA. Konsekuensi yang ketiga adalah dalam hal PAD Kabupaten Bekasi sendiri. Apabila kondisi-kondisi apa yang bisa diajukan permohonan restitusi tidak segera ditetapkan melalui peraturan bupati, maka tidak akan ada batasan yang jelas atas proses restitusi tersebut. Akibat yang sangat mungkin terjadi adalah pengguna TKA akan meminta restitusi dalam berbagai kondisi yang mungkin tidak terduga sebelumnya oleh Pemda Kabupaten Bekasi, sementara Disnaker Kabupaten Bekasi tidak memiliki payung hukum untuk membatasi hal tersebut. Kondisi yang demikian tentu akan menimbulkan kerugian bagi daerah Kabupaten Bekasi, karena terdapat PAD yang harus ditarik kembali dari kas daerah. Konsekuensi-konsekuensi di atas jelas mempertegas bahwa sebenarnya restitusi atas Retribusi Perpanjangan IMTA sendiri merupakan kondisi yang dilematis karena di satu sisi dengan tidak adanya aturan teknis yang jelas yang mengatur tata cara dan prosedur serta kriteria kondisi yang dapat diajukan permohonan restitusi tentu membawa konsekuensi besar bagi PAD Kabupaten Bekasi karena pada dasarnya retribusi tersebut telah dimasukkan ke dalam APBD dari Kabupaten Bekasi. Apabila restitusi tersebut selalu dilakukan terutama atas kondisi EPO yang sifatnya tidak terduga, tentu akan menyebabkan ketidakstabilan bagi PAD Kabupaten Bekasi karena jumlahnya dapat terus berkurang seiring dengan permohonan restitusi yang diajukan oleh pengguna TKA. Namun di sisi lain, apabila restitusi tidak dilakukan maka seolah telah terjadi pemungutan retribusi atas objek yang sebenarnya tidak
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
ada dengan asumsi bahwa adanya jangka waktu yang tidak dimanfaatkan oleh TKA yang bersangkutan untuk bekerja di Kabupaten Bekasi. Kondisi dilematis tersebut pada dasarnya dapat dikembalikan pada tataran konseptual dari pengenaan retribusi sendiri, bahwa secara konseptual retribusi merupakan harga yang harus dibayarkan oleh seseorang kepada pemerintah atas pelayanan maupun barang yang disediakan oleh pemerintah, yang dinikmati oleh orang tersebut. Lebih spesifik, Retribusi Perpanjangan IMTA yang masuk ke dalam jenis retribusi perizinan tertentu yang merupakan harga yang harus dibayar oleh seseorang atas izin yang diberikan oleh pemerintah untuk suatu kegiatan. Artinya, seseorang harus membayar ketika orang tersebut mendapatkan keuntungan atau benefit berupa izin yang dikeluarkan pemerintah untuk kegiatan yang akan diselenggarakan. Meskipun apabila ditinjau ke dalam konsep license and permit fees, pengenaan Retribusi Perpanjangan IMTA ini memang tidak bersifat voluntary melainkan bersifat wajib (compulsory) karena apabila pengguna TKA tidak membayarkan dana retribusi tersebut berarti Disnaker tidak dapat menerbitkan IMTA perpanjangan. Apabila IMTA perpanjangan tidak dimilikioleh TKA yang masa berlaku IMTA awalnya sudah habis, maka konsekuensi yang harus ditanggung adalah deportasi. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa dalam tataran konseptual, restitusi atas Retribusi Perpanjangan IMTA menjadi satu hal yang janggal mengingat konsep retribusi dalam penetapan harga sendiri telah memperhitungkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk pemberian izin tersebut. Artinya, atas harga yang telah dibayarkan oleh pengguna TKA di muka sebagai dana Retribusi Perpanjangan sudah menjadi biaya yang menutup cost Pemda Kabupaten Bekasi untuk mengeluarkan izin selama jangka waktu satu tahun, sesuai dengan masa berlakunya IMTA perpanjangan, dan dana ini menjadi janggal apabila harus dikembalikan kepada pengguna dengan salah satu alasan bahwa TKA yang dipekerjakan ternyata melakukan EPO sehingga waktu bekerjanya tidak sesuai dengan RPTKA yang dilampirkan pada proses perpanjangan IMTA. Pengawasan Terhadap TKA di Kabupaten Bekasi Pengawasan terhadap TKA diatur dalam Pasal 18 ayat (1) sampai (3) Perda No.3 Tahun 2013. Dalam aturan tersebut dikatakan bahwa pengawasan dilakukan oleh Disnaker melalui kerjasama dengan pihak Imigrasi, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), dan instansi lain yang terkait. Instansi-instansi tersebut kemudian disatukan dalam sebuah tim Koordinasi Pengawasan Orang Asing (SIPORA). Pengawasan yang dilakukan oleh SIPORA bersifat lebih luas dibandingkan dengan pengawasan yang dilakukan secara langsung oleh
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Pengawas Ketenagakerjaan Disnaker Kabupaten Bekasi. Pihak imigrasi dalam hal ini melakukan pengawasan terkait dengan penerbitan visa untuk bekerja (TA-01) dan penerbitan kartu izin tinggal sementara (KITAS) (TA-02). Sehingga untuk masalah penyalahgunaan visa kunjungan yang digunakan untuk bekerja, pihak imigrasi dalam Tim SIPORA yang melakukan fokus pengawasan. Sementara jika ada TKA yang ditemukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan tidak memiliki izin untuk tinggal dan bekerja di Kabupaten Bekasi, maka Polres Kabupaten Bekasi dalam hal ini unit Polisi Orang Asing (POA) akan melakukan penangkapan untuk kemudian dilakukan deportasi terhadap orang asing yang bersangkutan. Dengan peranan SIPORA terkait dengan pengawasan terhadap orang asing dan TKA di Kabupaten Bekasi, maka keberadaan tim ini sangat penting fungsinya untuk mendukung pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi. Namun fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang berbeda, bahwa sampai saat ini Tim SIPORA tersebut belum juga dibentuk tanpa alasan yang jelas. Belum dibentuknya tim ini menunjukkan bahwa implementasi yang dilakukan oleh Disnaker Kabupaten Bekasi belum sejalan dengan Perda No. 3 Tahun 2013 dalam hal pengawasan yang terkait dengan pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi. Padahal pengawasan yang dilakukan oleh Tim SIPORA yang sifatnya harus terintegrasi antara satu instansi anggota dengan instansi anggota lainnya. Informasi yang dimiliki oleh tiap instansi anggota tim juga tentu sudah harus terintegrasi agar tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan tindakan atas orang asing maupun TKA yang bekerja di Kabupaten Bekasi dalam hal terjadi pelanggaran maupun tidak terjadi pelanggaran. Apabila waktu untuk pembentukan tim ini masih belum dipastikan dan terusmenerus ditunda, maka implikasi yang akan terjadi adalah kemungkinan pelanggaran yang akan dilakukan oleh instansi-instansi yang menjalankan fungsi pengawasan itu sendiri. Hal ini tentu akan merugikan pihak pengguna TKA dan TKA yang bersangkutan. Konteks Implementasi Kebijakan Pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi Pada dasarnya proses implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan politik yang berkembang di Indonesia. Hal ini dikarenakan keberadaan TKA di Indonesia merupakan salah satu bentuk dari perwakilan negara-negara investor yang menanamkan modalnya melalui perusahaan-perusahaan yang salah satunya bergerak di bidang industri. Untuk itu, sebagai wilayah yang memiliki kawasan industri yang cukup besar kehadiran TKA di Kabupaten Bekasi juga akan sangat dipengaruhi oleh kondusivitas sosial dan politik di Indonesia secara umum. Untuk itu, dalam menetapkan
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
target penerimaan Retribusi Perpanjangan IMTA, Disnaker Kabupaten Bekasi sangat memperhatikan dan mempertimbangkan adanya kemungkinan kondisi EPO pada TKA yang bekerja di Kabupaten Bekasi. Penerimaan yang sangat dipengaruhi oleh iklim sosial politik di Indonesia tersebut membuat Disnaker Kabupaten Bekasi melakukan sejumlah strategi. Sejauh ini strategi yang telah dilakukan untuk memaksimalkan penerimaan dari TKA yang tercatat sedang bekerja di wilayahnya adalah dengan melakukan sosialisasi kepada perusahaan-perusahaan pengguna TKA di Kabupaten Bekasi dan melakukan kunjungan ke perusahaan pengguna TKA tersebut. Strategi yang Sosialiasi tersebut diadakan dalam bentuk forum terbuka di kawasan-kawasan industri yang berada di Kabupaten Bekasi. Perusahaan-perusahaan, terutama yang merupakan pengguna TKA tersebut diundang oleh Disnaker Kabupaten Bekasi untuk diberikan informasi terkait proses perpanjangan IMTA yang dana kompensasinya sudah dialihkan ke Pemda Kabupaten Bekasi dalam bentuk Retribusi Perpanjangan IMTA Namun peserta sosialisasi yang datang ke forum sebanyak 100 perusahaan untuk lima kawasan tidak pernah tercapai. Jumlah perwakilan perusahaan yang hadir tidak signifikan, yakni hanya 37 perusahaan dan maksimal 57 perusahaan. Dengan kondisi demikian, maka Disnaker kemudian menjalankan strategi lainnya untuk melakukan sosialisasi kepada perusahaan pengguna TKA. Strategi yang dilakukan oleh Disnaker untuk menjamin kelancaran pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA adalah dengan memberikan informasiinformasi yang diperlukan secara langsung pada saat proses pengurusan kepada pengguna TKA maupun agent yang diutus pengguna TKA untuk mengurus perpanjangan IMTA, terutama terkait dengan penyetoran dana retribusi tersebut agar tidak lagi ada kesalahan pembayaran. Sosialisasi yang dilakukan secara langsung biasanya juga dilengkapi dengan surat pemberitahuan dari Disnaker yang ditujukan kepada pengguna TKA. Dalam proses sosialisasi secara langsung, agent juga memegang peranan yang cukup penting dalam hal penyebaran informasi. Disnaker menggunakan bantuan agent-agent tersebut untuk menyampaikan surat pemberitahuan kepada pengguna TKA yang diurus oleh agent tersebut karena dianggap akan lebih efisien dalam hal waktu. Dengan jumlah petugas pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Disnaker Kabupaten Bekasi yang kurang memadai, terlebih dengan kondisi pekerjaan yang tumpang tindih tentu membuat kapabilitas dari Disnaker dalam proses sosialisasi menjadi tidak maksimal. Untuk itu, cara yang demikian dapat dikatakan sudah sangat membantu mengingat jumlah perusahaan yang harus diberikan informasi jauh lebih banyak dibandingkan personil Disnaker sendiri.
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Selanjutnya, strategi lain yang dilakukan oleh Disnaker Kabupaten Bekasi terkait dengan pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA adalah dengan dilakukannya kunjungan oleh Pengawas Ketenagakerjaan ke perusahaan-perusahaan di Kabupaten Bekasi, khususnya pengguna TKA, untuk memastikan jumlah TKA serta dokumen-dokumen yang dimiliki masih berlaku dan sesuai dengan aturan. Namun kembali terbentur dengan kuantitas SDM yang tidak memadai, tentu akan mengakibatkan kurangnya kapabilitas Pengawas Ketenagakerjaan. Dengan kondisi demikian tentu akan sangat sulit bagi Disnaker Kabupaten Bekasi untuk mengetahui sebenar-benarnya kondisi di lapangan. Simpulan Implementasi pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi dapat disoroti dari dua hal utama, yakni terkait dengan isi kebijakan pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA dan konteks implementasinya. Dari segi isi kebijakan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa terdapat kekurangan dari SDM implementor pemungutan Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi khususnya pada pegawai yang melayani perpanjangan IMTA dan Pengawas Ketenagakerjaan. Selanjutnya, terdapat komunikasi yang kurang baik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kabupaten Bekasi sehingga terdapat ketidakselarasan dalam pengimplementasian aturan. Terkait pengawasan, belum dibentuk Tim SIPORA oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi. Selanjutnya, belum dibuat aturan teknis yang jelas dan rinci terkait mekanisme Exit Permit Only (EPO) dan mekanisme pengajuan restitusi Retribusi Perpanjangan IMTA. Selain itu terdapat isu secara konseptual bahwa apabila dikaitkan dengan teori license and permit fees terdapat kejanggalan dari adanya mekanisme restitusi atas Retribusi Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi. Sementara dalam konteks impementasi
kebijakan,
untuk
memaksimalkan
penerimaan
pemungutan
Retribusi
Perpanjangan IMTA di Kabupaten Bekasi yang sangat dipengaruhi kondisi sosial dan politik secara umum di Indonesia, Disnaker telah menjalankan strategi sosialisasi dan kunjungan ke perusahaan pengguna TKA. Referensi Bird, Richard M. Local and Regional Revenues: Realities and Prospects. Washington: The Worldbank, 2003. Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000. Grindle, Merilee S., ed. Politics and Policy Implementation in the Third World. New Jersey: Princeton University Press, 1980.
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014
Irawan, Prasetya. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, 2006. Mikesell, John L. Fiscal Administration. Chicago: The Dorsey Press, 1986. Udoji, Chief J.O. The African Public Servant as a Public Maker, Public Policy in Africa. Addis Abeba: Africa Association for Publik Administration and Management, 1981. Zorn, C. Kurt. User Charges and Fees, dalam John F. Patersen dan Dennis F. Strachoto (Eds.), Local Government Finance: Concept and Practices. USA: Government Finance Officers Association, 1991. Alamsyah, Kamal. “Analisis Pengaruh Sistem Informasi Manajemen Terhadap Efektivitas Kerja Pegawai di Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten Subang.” Kebijakan Jurnal Ilmu Administrasi 9:2(2011): 227-240. Tambunan, Tulus. “Perkembangan Industri dan Kebijakan Industrialisasi di Indonesia Sejak Orde Baru Hingga Pasca Krisis.” Kamar Dagang Indonesia-Jetro, November 2006.
Badan Koordinasi Penanaman Modal.”Perkembangan Realisasi Investasi PMA Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Menurut Sektor, Q-4 2013. --------------------------------------------. “Perkembangan Realisasi Investasi PMA Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Menurut Lokasi Triwulan IV 2013.”
Implementasi pemungutan…, Rizkita Puteri Widyaningrum, FISIP UI, 2014