IMPLEMENTASI PASAL 138 AYAT (2) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA TENTANG PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA DARI PENUNTUT UMUM KEPADA PENYIDIK (Studi Di Kejaksaan Negeri Nganjuk)
Penulisan Hukum (skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Oleh Lina Rosita NIM: E0004202
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi ) IMPLEMENTASI PASAL 138 AYAT (2) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA TENTANG PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA DARI PENUNTUT UMUM KEPADA PENYIDIK ( Studi di Kejaksaan Negeri Nganjuk )
Disusun Oleh : LINA ROSITA NIM : E.0004202
Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
Edy Herdyanto, S.H., M.H. NIP. 131 472 194
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi ) IMPLEMENTASI PASAL 138 AYAT (2) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA TENTANG PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA DARI PENUNTUT UMUM KEPADA PENYIDIK ( Studi di Kejaksaan Negeri Nganjuk ) Disusun oleh : LINA ROSITA NIM :E. 0004202
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Hari Tanggal
Pada: : Selasa : 29 Januari 2008
TIM PENGUJI 1. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. Ketua
: …………………………………….
2. Edy Herdyanto, S.H., M.H. Sekretaris
: …………………………………….
3. Kristiyadi, S.H., M.H. Anggota
: …………………………………….
MENGETAHUI Dekan,
Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum NIP. 131 570 154
MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto : v “ Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui ( tanpa ilmu pengetahuan ). Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’ 36) v “ Dan katakanlah, ‘kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap’. Sungguh yang batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isra’ 81)
Sepenuh cinta dalam hati, Penulisan Hukum ini kupersembahkan krepada: · Bapak ( Alm ) dan Ibu tercinta, yang telah mencurahkan cinta dan kasih sayangnya tanpa henti, semoga ALLah SWT memberikan balasan surga bagi kalian kelak · Kakak-kakakku tersayang, semoga hidayah Allah membersamai langkah kita dalam mengarungi hidup. · Keluarga Drs. Jumali yang telah membuatku tegak berdiri sampai saat ini. Semoga Allah memberikan balasan yang terbaik. · Semua keluargaku, tiada yang lebih membahagiakan diri ini bila mampu membahagiakan kalian dunia akhirat.
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah S.W.T penguasa seluruh alam atas seluruh nikmat dan taufik-Nya. Shalawat atas penghulu para rosal, Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “IMPLEMENTASI PASAL 138 AYAT (2) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA TENTANG PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA DARI PENUNTUT UMUM KEPADA PENYIDIK”. Penulisan hukum ini disusun dan diajukan guna melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh derajat sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Banyak permasalahan dan hambatan baik secara langsung maupun tidak langsung yang penulis alami dalam menyusun penulisan hukum ini, namun akhirnya dapat terselesaikan juga berkat bantuan dan uluran dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati dan ketulusan mendalam, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Moch. Jamin, S.H.,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Kristiyadi, S.H.,M.Hum. selaku Pembimbing Akademik Penulis selama penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang selalu memotivasi Penulis untuk segera lulus. 3. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian hukum Acara sekaligus Pembimbing Skripsi. Terimakasih atas bimbingannya selama penulisan skripsi hingga selesai. 4. Bapak Agoes S. Prasetyo, S.H., M.H. selaku Kepala Kejaksaan Negeri Nganjuk dan bapak Dwi Setyadi, S.H. selaku kepala Seksi Tindak Pidana Umum yang telah memberikan ijin penulis untuk melakukan penelitian dan mengambil data di Kejaksaan Negeri Nganjuk. 5. Bapak dan ibu dosen pengajar di FH UNS serta seluruh kaeyawan dan karyawati di lingkungan Fakultas hukum Universitas Sebelas Maret. 6. Semua guru-guruku yang telah mengajariku berbagai macam ilmu.
7. Ayahanda Suhadi, semoga mendapatkan tempat terbaik disisi-Nya. 8. Ibunda tercinta Sri Banun, terimakasih yang tiada terhingga atas cinta dan kasih sayang yang telah kau berikan dengan tulus, kau adalah wanita terhebat yang pernah ada. 9. Keluarga Drs. Djumali yang telah memberikan kasih sayangnya, sehingga membuatku berdiri tegak sampai saat ini, semoga di berikan balasan olehNya dengan balasan yang lebih baik. 10. Keluarga Dachlan, B.A. terima kasih telah menjadikan aku sebagai salah satu dari anggota keluarga yang penuh rahmat-Nya. 11. Kakak-kakakku tersayang Johan Mustofa, S.H. dan Arif Usman, S.H serta kakak iparku Naning, M.S.E. S.H. yang selalu membuatku ingin menjadi orang yang lebih baik kala penulis mengingat kalian. 12. Keluarga besar H. Usman, Bu Puh, Pak Puh, Bulek serta keponakankeponakan yang telah memberikan semangat dan energi untuk terus melangkah. 13. Sahabat-sahabatku Dewi, Dilla, Diana (3D) yang telah menyemangati dan menemaniku saat suka maupun dukaku, kalian adalah terbaik. 14. Keluarga besar FOSMI yang telah memaknai dan yang telah memberikan siraman rohani bagi penulis. Irma, Nani, Umi, Mila. Semoga semangat kalian tak akan pernah redup. 15. Kusumawati Crew Cyla, Whike, Dhini, Vina, Anjar, Mega, Nunik, Yani, MooT, Beta, M. Anik, WW, dan Ikedo yang jauh diujung sana. Sungguh kebersamaan kita selama ini begitu indah. 16. Buat teman-temanku Dhaning, Anita, Fadli, Eka “twinsku”, Very, ( semoga sukses dengan MCCnya, Semangatz!!!). dan Andina Elok, Nurul, Dian Endah, Dian Utami, Deni, Fani, Rika, Anisa, Rosana, Putri Endah, Putri NH terimakasih atas keceriaan yang telah kau berikan selama ini. 17. Keluarga besar angkatan ’04 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 18. Semua pihak yang turut membantu serta memperlancar penyusunan Penulisan Hukum ini. Semoga yang telah diberikan akan mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah, SWT.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran ke arah perbaikan. Semoga Penulisan Hukum ini memberi sedikit banyak manfaat bagi kita semua, amin. Surakarta, Januari 2008 Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN HALAMAN JUDUL............................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI........................................................... iii HALAMAN MOTTO.......................................................................................... iv ABSTRAK............................................................................................................. v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi DAFTAR ISI......................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah.................................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian........................................................................................ 7 D. Manfaat Penelitian...................................................................................... 8 E. Metodologi Penelitian................................................................................ 9 F. Sistematika Penulisan Hukum................................................................... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 17 A. Kerangka Teori.......................................................................................... 17 1. Tinjauan Tentang Pasal 138 ayat (2)................................................... 17 a. Isi Pasal 138 ayat (2)..................................................................... 17 b. Pengertian Prapenuntutan............................................................. 18 2. Tinjauan tentang Berkas Perkara........................................................ 19 a. Pengertian berkas perkara............................................................. 19 b. Isi berkas perkara.......................................................................... 20 c. Ketentuan Umum berkas perkara................................................. 21 d. Syarat kelengkapan berkas perkara............................................... 22 3. Tinjauan tentang Penyidikan............................................................... 23 a. Pengertian Penyidikan................................................................... 23 b. Pejabat Penyidik............................................................................ 24 i. Penyidik Polri........................................................................... 25 ii. Penyidik PNS........................................................................... 28
c. Tugas dan wewenang pejabat Penyidik......................................... 29 i. Penyidik .................................................................................. 29 ii. Penyidik Pembantu.................................................................. 30 d. Macam-macam Upaya penyidikan................................................ 31 i.
Pemeriksaan tersangka............................................................ 31
ii
Penangkapan........................................................................... 33
iii. Penahanan............................................................................... 35 iv. Penggeledahan........................................................................ 40 v.
Penyitaan................................................................................. 41
vi. Pemasukan rumah................................................................... 42 vii. Pemeriksaan surat................................................................... 42 viii. Pemeriksaan saksi.................................................................. 42 ix. Pemeriksaan ditempat kejadian................................................ 43 e. Penyerahan berkas penyidikan...................................................... 43 4. Tinjauan tentang Penuntutan............................................................... 47
a. Pengertian Penuntutan................................................................... 47 b. Penuntut Umum............................................................................. 47 c. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum......................................... 47 B. Kerangka Pemikiran................................................................................... 49 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.............................. 51 A. Implementasi Pasal 138 ayat (2) KUHAP.................................................. 51 B. Kriteria pengembalian berkas perkara........................................................ 55 1. Penyerahan berkas perkara tahap pertama............................................ 60 2. Penyerahan berkas perkara tahap kedua............................................... 62 C. Masalah yang ada dalam Pengembalian Berkas Perkara oleh Penuntut Umum kepada Penyidik.......................................................................................... 67 D. BAB IV PENUTUP................................................................................... 72 1. Kesimpulan........................................................................................... 72 2. Saran..................................................................................................... 73 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara hukum, Demikian penegasan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dengan predikat sebagai negara yang berdasarkan atas hukum tersebut, maka segala tindakan negara harus didasarkan atas hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam negara hukum terdapat aparat penegak hukum yang berfungsi sebagai penegak hukum dan menciptakan keadaan yang adil dan tentram. Aparat penegak hukum tersebut terdiri dari polisi, hakim dan jaksa. Dalam menjalankan tugasnya mereka mempunyai peran dan tugas masing-masing yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Ditinjau dari segi manajemen, pelaksanaan penegakan hukum yang melibatkan beberapa instansi organisasi dalam proses pelaksanaan sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing, jelas memerlukan “modifikasi” pola dan “klarifikasi”. Namun dalam peningkatan modifikasi dan klarifikasi fungsi dan wewenang, jangan sampai menimbulkan instansi sentris. Setiap instansi aparat harus merupakan subsistem yang mendukung total sistem proses penegakan hukum dalam suatu kesatuan menyeluruh, serta harus dipikirkan langkah-langkah yang menuju suatu pelembagaan alat-alat kekuasaan penegak hukum dalam suatu pola law enforcement centre, yaitu suatu lembaga yang menghimpun mereka dalam sistem penegakan yang
terpadu dalam suatu sentra penegakan hukum. Dalam sentra tadilah berlangsung proses penegakan hukum, mulai dari penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Sehingga dalam penertiban aparat, yang pertama dulu dilakukan ialah tindakan pembentukan dan penjernihan fungsi dan wewenang diantara sesama instansi aparat penegak hukum. Kalau ini sudah terbentuk dan terjernihkan, baru menyusul pembagian tugas dan wewenang yang jelas dalam lingkungan interen instansi yang bersangkutan (Yahya Harahap, 2002: 62). Pengaturan terhadap pelaksanaan tersebut diatur dalam hukum pidana dan hukum acara pidana. Hukum pidana adalah semua peraturan-peraturan yang meliputi seluruh peraturan yang jika diancam dengan hukuman badan atau denda (Moch. Faisal salam, 2001:2). Dalam rangka memelihara dan mempertahankan tata tertib dan keamanan negara, tidak cukup hanya diatur oleh hukum pidana saja. Karena, agar pelaku kejahatan dapat diajukan kemuka sidang pengadilan, harus melalui prosedur tertentu yang diatur oleh peraturan tersendiri. Ketentuan-ketentuan perundangundangan yang mengatur prosedur agar pelaku pelanggaran dan kejahatan dapat dihadapkan kemuka sidang pengadilan dinamakan hukum pidana formil. Dengan kata lain hukum pidana formil adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur hal-hal sebagai berikut: 1. Tindakan-tindakan apa yang harus diambil apabila ada dugaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang. 2. Apabila benar telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, maka perlu diketahui, siapa pelakunya dan cara bagaimana melakukan penyelidikan terhadap pelaku. 3. Apabila telah diketahui pelakunya maka penyelidik perlu menangkap, menahan kemudian dilanjutkan dengan pemeriksan permulaan atau dilakukan penyidikan.
4. Untuk membuktikan apakah tersangka benar-benar melakukan suatu tindak
pidana,
maka
perlu
mengumpulkan
barang-barang
bukti,
menggeledah badan dan tempat-tempat serta menyita barang-barang bukti yang diduga ada hubungannya dengan perbuatan tersebut. 5. Setelah selesai dilakukan pemeriksaan permulaan atau penyidikan oleh polisi, maka berkas perkara diserahkan pada Kejaksaan Negeri, selanjutnya pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana (Moch. Faisal Salam, 2001:3). Sedangkan hukum acara pidana sebagai pelaksana hukum pidana mengandung pengertian norma hukum berwujud wewenang yang diberikan kepada negara untuk bertindak, apabila ada persangkaan terjadinya pelanggaran hukum pidana. Jadi hukum acara pidana harus dapat membatasi kekuasaan penguasa agar tidak menjadi sewenang-wenang di satu pihak dan di lain pihak kekuasaan penguasa merupakan jaminan bagi berlakunya hukum, sehingga hak-hak asasi manusia terjamin. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya memeriksa pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa tersebut dapat dipersalahkan (Moch. Faisal Salam, 2001:1). Dalam hukum acara pidana ada suatu proses awal yang menyertai sebelum acara persidangan, yaitu penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dalam hal ini adalah wewenang Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan penuntutan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Berdasarkan pasal 1 butir 2 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sedangkan jaksa (Jaksa Penuntut Umum) dalam melakukan penuntutan diberikan wewenang-wewenang dan didalam materi Bab IV KUHAP wewenang tersebut dapat diinventarisir antara lain sebagai berikut: 1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindakan pidana pasal 109 ayat (1) dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun penyidik PNS (Pegawai Negeri Sipil), yang dimaksud oleh pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum. 2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh pasal 8 ayat (3) huruf a dan b. Dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (pasal 12). 3. Mengadakan pra penuntutan (pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan ketentuan materi pasal 110 ayat (3), (4), dan pasal 138 ayat (1), dan (2). 4. Memberikan perpanjangan penahanan (pasal 24 ayat (2), pasal 25 dan pasal 29), melakukan penahanan kota (pasal 22 ayat (3)), serta mengalihkan jenis penahanan (pasal 23). 5. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (pasal 31). 6. Mengadakan penjualan lelang barang sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (pasal 45 ayat (1)). 7. Melarang atau mengurangi kebebasan hubungan antara Penasehat Hukum dengan tersangka sebagai akibat disalahgunakan haknya (pasal 70 ayat (4),
mengawasi hubungan antara Penasehat Hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan (pasal 71 ayat (1)) dan dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara dapat mendengar isi pembicaraan tersebut (pasal 71 ayat (2)). Pengurangan kebebasan hubungan antara Penasehat Hukum dan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan oleh Penuntut Umum untuk disidangkan (pasal 74). 8. Meminta dilakukan pra peradilan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk menerima sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh Penyidik (pasal 81). Pasal ini dimaksudkan untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal. 9. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, maka penuntut umum menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang (pasal 91 ayat (1)). 10. Menentukan sikap, apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidaknya untuk dilimpahkan ke Pengadilan (pasal 139). 11. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku Penuntut Umum (pasal 14 huruf i). Yang dimaksud tindakan lain ahli meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan tindakan lain ialah meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara Penyidik, Penuntut Umum dan pengadilan. 12. Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (pasal 140 ayat (1)). 13. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan pasal 140 ayat (2) huruf a, dikarenakan: a. tidak terdapat cukup bukti, b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, c. perkara ditutup demi hukum.
Sehingga Penyidik pada finalnya menyerahakan berkas hasil penyelidikan kepada Penuntut Umum. Itu sebabnya, seandainya Penuntut Umum berpendapat pemeriksaan belum sempurna, dan belum dapat diajukan ke persidangan pengadilan, berkas dikembalikan kepada Penyidik untuk menambah dan menyempurnakan penyidikan sesuai dengan petunjuk yang diberikan Penuntut Umum (Yahya Harahap, 1985: 357). Oleh karena itu dapat dipahami bahwa antara Penyidik dan Penuntut Umum serta Hakim dalam rangka melaksanakan penegakan hukum di bidang hukum acara pidana ini dapatlah dikatakan sebagai suatu kegiatan yang satu sama lain saling menunjang. Sehingga tak jarang dalam menjalankan tugasnya sering terjadi beda penafsiran terhadap suatu pasal dalam ranah hukum. Dalam sebuah majelis hakim, misalnya, kerap terjadi perbedaan pendapat antara sesama anggota sehingga muncul dissenting yang dituangkan dalam putusan. Begitu juga dalam konteks hubungan Penyidik dan Penuntut Umum, beda penafsiran yang kerap terjadi diantara mereka seringkali berakibat bolakbaliknya berkas perkara. Sehingga tidak jarang satu perkara yang dilimpahkan penyidik ke Penuntut Umum dalam proses pra penuntutan, bisa memakan waktu lebih dari enam (6) bulan. Padahal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita telah mengatur secara tegas dalam pasal 138 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, Penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum.” Oleh karena itu penulis menuangkan tulisan dalam penulisan hukum yang berjudul yaitu: “IMPLEMENTASI PASAL 138 AYAT (2) KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA TENTANG PENGEMBALIAN BERKAS
PERKARA OLEH PENUNTUT UMUM KEPADA PENYIDIK (Studi di Kejaksaan Negeri Nganjuk)”
B. Rumusan Masalah Perumusan
masalah
dalam
suatu
penelitian
dimaksudkan
untuk
mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil yang diharapkan. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah implementasi pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana di Kejaksaan Negeri Nganjuk? 2. Apa kriteria pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Nganjuk? 3. Apa masalah yang ada dalam pengembalian berkas perkara pidana oleh Penuntut Umum kepada Penyidik? C. Tujuan Penelitian. Dalam suatu kegiatan penelitian tentunya harus mempunyai tujuan-tujuan tertentu, sehingga dari penelitian yang dilakukan dapat memberikan data yang akurat sehingga dapat memberikan manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berdasarkan landasan tersebut, maka penelitian ini mempunyai tujuan: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui tentang pelaksanaan dari pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana di Kejaksaan Negeri Nganjuk. b. Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
menjadi
kriteria
dikembalikannya berkas perkara Penuntut Umum kepada Penyidik di Kejaksaan Negeri Nganjuk. c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dialami, sehingga mengakibatkan suatu berkas perkara dikembalikan Penuntut Umum kepada Penyidik.
2. Tujuan subyektif a. Untuk menambah serta mengembangkan pengetahuan yang didapat penulis selama di bangku kuliah. b. Untuk memeperdalam pengetahuan penulis mengenai hukum acara pidana, khususnya tentang pengembalian berkas berkara serta prapenuntutan. c. Untuk memperoleh data-data yang akan digunakan dalam penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. D. Manfaat Penelitian. Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat diambil manfaatnya, antara lain: 1. Manfaat Teoritis a. Dimaksudkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya, dan hukum acara pidana pada khususnya. b. Diharapkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat memberikan gambaran yang nyata mengenai proses pra penuntutan dalam hal ini mengenai proses pengembalian berkas perkara berdasarkan pasal 138 ayat (2) KUHAP. 2. Manfaat praktis a. Untuk mengembangkan daya pikir dan analisis yang akan membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mencocokkan bidang keilmuan yang selama ini diperoleh dalam teori dengan praktek. b. Dapat
memberikan
data
dan
informasi
tentang
pelaksanaan
prapenuntutan dalam khususnya mengenai prosedur pengembalian berkas perkara berdasarkan pasal 138 ayat (2) KUHAP. c. Memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti.
E. Metodologi Penelitian. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa, dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten (Soerjono Soekanto, 1986: 42). Sedangkan penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul, dengan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan deskripsi mengenai apa yang seyogianya ada atas isu yang diajukan (Peter Mahmudi Marjuki, 2006:41). Agar
data
dari
suatu
penelitian
yang
diperoleh
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah perlu adanya ketepatan dalam memilih metode penelitian supaya sesuai dan mengenai pada masalah yang menjadi obyek penelitian. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian. Penelitian ini termasuk
penelitian hukum empiris, yaitu suatu
penelitian yang berusaha mengidentifikasikan hukum yang terdapat dalam masyarakat dengan maksud untuk mengetahui gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 1986: 10, 15). Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan mengenai implementasi Pasal 138 ayat (2) KUHAP tentang pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum kepada Penyidik di Kejaksaan Negeri Nganjuk. 2. Sifat Penelitian Dalam melakukan penelitian ini dipilih penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 1986:10). Dalam penelitian ini, penulis ingin
menemukan dan memahami gejala-gejala yang diteliti dengan cara penggambaran yang seteliti-telitinya untuk mendekati obyek penelitian maupun permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu mengenai implementasi Pasal 138 ayat (2) KUHAP tentang pengembalian berkas perkara dari Penuntut Umum kepada Penyidik di Kejaksaan Negeri Nganjuk. 3. Lokasi Penelitian Penelitian dengan judul “Implementasi Pasal 138 ayat (2) KUHAP tentang pengembalian berkas perkara dari Penuntut Umum kepada Penyidik (studi di Kejaksaan Negeri Nganjuk)” ini dilakukan dengan mengambil lokasi penelitian di kantor Kejaksaan Negeri Nganjuk yang beralamat di Jl. Dermojoyo Nomor. 24 Nganjuk. Pengambilan lokasi ini dengan pertimbangan bahwa sumber data yang dimungkinkan dan memungkinkan untuk dilakukan penelitian. 4. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini bersifat kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan mendasarkan pada data-data yang dinyatakan responden secara lisan atau tertulis, dan juga perilakunya yang nyata, diteliti, dipelajari sebagai suatu yang utuh. Dengan menggunakan data yang dinyatakan secara verbal dan kualifikasinya bersifat teoritis yang diolah dan ditarik kesimpulannya dengan metode berfikir induktif. Penyajian secara induktif adalah metode penyajian yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat umum untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. 5. Jenis Data Dalam sebuah penelitian suatu data dibedakan menjadi dua yaitu: data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Yang pertama disebut data primer atau data dasar (primary data atau basic data), dan data yang kedua dinamakan data sekunder (secondary data).
Data primer diperoleh dari sumber pertama, yaitu perilaku warga masyarakat melalui penelitian. Data sekunder, antara lain mencakup dokumen-dokumen
resmi,
buku-buku,
hasil-hasil
penelitian
yang
berwujud laporan, buku-buku harian, dan seterusnya. (Soerjono Soekanto, 1986: 12) Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Data Primer. Merupakan data atau fakta-fakta yang diperoleh langsung melalui penelitian di lapangan termasuk keterangan dari responden yang berhubungan dengan obyek penelitian dan praktek yang dapat dilihat serta berhubungan dengan objek penelitian. Adapun yang termasuk dalam data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara terhadap Pejabat terkait yang berkaitan dengan pengimplementasian Pasal 138 ayat 2 KUHAP tentang pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Nganjuk. b. Data Sekunder Merupakan data yang tidak secara langsung diperoleh dari lokasi penelitian, atau keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh tetapi cara diperolehnya melalui studi pustaka, buku-buku literatur, dokumen-dokumen, peraturan perundang-undangan, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian hukum ini. 6. Sumber Data Penelitian. Berdasarkan jenis data, maka dapat ditentukan sumber data yang digunakan untuk penelitian, sehingga untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan arah penelitian ini, sumber data yang penulis gunakan adalah: a. Sumber data primer.
Sumber data primer merupakan sumber data yang terkait langsung dengan permasalahan yang diteliti. Dalam hal ini yang menjadi sumber data primer adalah pejabat atau pegawai Kejaksaan Negeri Nganjuk. b. Sumber data sekunder. Sumber data sekunder merupakan sumber data yang secara tidak langsung memberikan keterangan dan bersifat melengkapi sumber data primer. Dalam hal ini yang menjadi sumber data sekunder adalah buku-buku
ilmiah,
peraturan
perundang-undangan,
dokumen-
dokumen, dan sumber-sumber yang lain yang mendukung penelitian. 7. Tekhnik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah tahap yang penting dalam melakukan penelitian. Alat pengumpul data (instrument) menentukan kualitas data, dan kualitas data menentukan kualitas penelitian. Karena itu alat pengumpul data harus mendapat penggarapan yang cermat. Agar data penelitian mempunyai kualitas yang cukup tinggi, alat pengumpul datanya harus dapat mengukur secara cermat, harus dapat mengukur apa yang dapat diukur, dan harus dapat memberikan kesesuaian hasil pada pengulangan pengukuran. (Amiruddin. 2006: 65) Dalam rangka mendapatkan data yang tepat, penulis menggunakan tekhnik pengumpulan data, sebagai berikut: a. Interview (wawancara) Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka, ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah yang diteliti kepada seorang responden. (Amiruddin 2006 : 82). Wawancara dilakukan dengan situasi formal maupun informal. Wawancara dilakukan terhadap nara sumber, yaitu pejabat atau pegawai di Kejaksaan Negeri Nganjuk.
b. Studi Kepustakaan yaitu cara memperoleh data dengan mempelajari data dan menganalisa atas keseluruhan isi pustaka dengan mengkaitkan pada permasalahan yang ada. Adapun pustaka yang menjadi acuan adalah, buku-buku literatur, surat kabar, daftar atau tabel, kamus, peraturan perundang-undangan, maupun dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan dalam penulisan hukum ini. 8. Tekhnik Analisis Data Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif empirik, dimana analisis sudah dilakukan bersama dengan proses pengumpulan data selanjutnya terus sampai dengan waktu penulisan laporan dengan menjabarkan data-data yang diperoleh berdasarkan norma hukum atau kaidah hukum serta doktrin hukum yang akan dikaitkan dengan permasalahan ini. Dan apabila dirasakan kesimpulannya kurang, maka perlu ada verifikasi kembali untuk mengumpulkan data dari lapangan. Untuk lebih jelasnya, maka akan penulis uraikan model analisis tersebut dalam suatu bagan atau skema sebagai berikut. “Ketiga komponen tersebut aktifitasnya berbentuk interaksi baik antar komponen maupun dengan proses pengumpulan data. Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak di antara ketiga komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama kegiatan-kegiatan pengumpulan data berlangsung.” (HB. Soetopo, 2002 : 95)
Pengumpulan data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan atau Verivikasi
Gambar 1. Bagan Analisis Model Interaktif Kegiatan dari komponen itu dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Pengumpulan data Merupakan proses pengumpulan data yang berupa data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian dilapangan berupa hasil wawancara, informasi, keterangan, dan sikap atau perilaku serta segala hal yang berhubungan dengan pengembalian berkas perkara dari Penuntut Umum kepada Penyidik. Selain itu digunakan pula data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, literatur, makalah, jurnal hukum dan buletin. b. Data Reduksi. Merupakan proses pemilahan, pemusatan perhatian kepada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis dilapangan dengan menggunakan tolak ukur perumusan masalah. Reduksi data berlangsung terus menerus
bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sampai sesudah penelitian dilapangan dan sampai laporan akhir tersusun lengkap.
c. Sajian data. Merupakan sekumpulan informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. d. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi. Apabila semua data telah dianggap lengkap dan telah terkumpul, maka dilakukan penarikan kesimpulan dari apa yang telah diketahui di awal. F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan hukum ini terbagi dalam empat bab, juga termasuk daftar pustaka. Masing-masing bab terbagi lagi dalam sub-sub bab. Sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : BAB I: PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab II tentang Tinjauan Pustaka ini akan dijelaskan mengenai Tinjauan Umum tentang Pasal 138 ayat (2), Tinjauan Umum tentang berkas perkara, Tinjauan Umum tentang Penyidikan, dan Tinjauan Umum tentang Penuntutan BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hasil penelitian dan data dari lapangan dan kajian pustaka yang diperoleh peneliti. Selain itu, akan diuraikan pembahasan mengenai implementasi Pasal 138 ayat (2)
KUHAP di Kejaksaan negeri Nganjuk, kriteria-kriteria pengembalian Berkas Perkara oleh Penuntut Umum kepada Penyidik, dan masalahmasalah Berkas Perkara dikembalikan oleh Penuntut Umum kepada Penyidik. BAB IV: PENUTUP Dalam bab ini akan dikemukakan tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang relevan dari peneliti. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Pasal 138 ayat (2) KUHAP a. Isi Pasal 138 ayat (2) KUHAP Pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memuat isi yang berbunyi: “ Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, Penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum.” Pada
lampiran
Keputusan
Menteri
Kehakiman
RI
Nomor:
M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 Bidang Penyidikan Bab III, memuat antara lain sebagai berikut: Kemungkinan selalu terbuka timbulnya permasalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi yaitu antara lain, sebagai berikut: 1. Dengan tidak ditentukan batas berapa kali penyerahan atau penyampaian kembali berkas perkara secara timbal balik dari Penyidik kepada Penuntut Umum atau sebaliknya, maka kemungkinan selalu bisa terjadi, bahwa atas dasar pendapat Penuntut Umum hasil penyidikan tambahan dinyatakan belum lengkap, mondar-mandir dari Penyidik kepada Penuntut Umum atau sebaliknya. Keadaan demikian jelas tidak menguntungkan tersangka. Demi kepastian hukum bagi pencari keadilan, maka pengembalian hasil penyidikan atau hasil penyelidikan tambahan oleh Penuntut Umum kepada Penyidik, hendaklah ada suatu kriteria pembatasannya,
17
misalnya apabila petunjuk-petunjuk umum yang wajib dilengkapi dan menyangkut persyaratan unsur pembuktian, baik secara hukum maupun atas dasar perlindungan dan jaminan hukum terhadap hak asasi manusia, tindakan pengembalian itu dapat dipertanggungjawabkan. 2. Dalam waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas Penyidik harus sudah melengkapi hasil penyidikannya sesuai dengan petunjuk Penuntut Umum, bagaimana bila dalam 14 hari Penyidik belum berhasil melengkapi hasil penyidikan (Leden Marpaung,1992: 136137). b. Pengertian Prapenuntutan. Dalam doktrin belum diperoleh kesepakatan tentang pengertian prapenuntutan. KUHAPpun tidak memberikan batasan pengertian prapenuntutan. Di dalam Pasal 1 yang berisi definisi-definisi istilah yang dipakai oleh KUHAP tidak memuat definisi prapenuntutan. Harjono Tjitrosubomo, advokat senior Indonesia berpendapat: Polisi menyerahkan berkas yang tidak lengkap atau kurang. Jika tidak lengkap dikembalikan kepada polisi dengan petunjuk-petunjuk apa yang kurang dan polisi melengkapi lagi, hal ini merupakan ketentuanketentuan prosedur antara wewenang polisi dan jaksa (Andi Hamzah, 2002:153-154). Pendapat
lain
tentang
pengertian
prapenuntutan
adalah
mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik karena ternyata belum lengkap disertai petunjuk-petunjuk yang akan dilakukan Penyidik. Hal ini oleh Pasal 14 KUHAP disebut “Prapenuntutan” (Leden Marpaung:1992). Dalam Pasal 14 butir (b) KUHAP disebutkan bahwa untuk mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan
memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik. Dalam ketentuan yang terdapat dalam pasal 110 KUHAP: Ayat (3) adalah: dalam hal Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan
untuk
dilengkapi,
Penyidik
wajib
segera
melakukan
penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum. Ayat (4) adalah: penyidikan dianggap telah sesuai apabila dalam waktu empat belas hari Penuntut Umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari Penuntut Umum kepada Penyidik. Sedangkan dalam pasal 138 ayat (2) KUHAP disebutkan dalam hal
hasil
penyidikan
ternyata
belum
lengkap,
Penuntut
Umum
mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari
sejak
tanggal
penerimaan
berkas,
Penyidik
harus
sudah
menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum. 2. Tinjauan Umum Tentang Berkas Perkara. a. Pengertian Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
yang
dikeluarkan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tercantum arti berkas sebagai berikut: a) Kumpulan b) Ikatan c) Bendel (surat-surat) (Balai Pustaka, 1989) Dalam bahasa Inggris disebut “sheaf”, “bundle” yang diterjemahkan juga dengan “bungkusan”. Pemberkasan dimaksudkan dikumpulkan atau
diikat dalam satu kesatuan yang menyangkut semua yang berkenaan dengan perkara tersebut (Leden Marpaung, 1992: 130). Sedangkan menurut Yahya Harahap yang dimaksud berkas perkara adalah jilidan berkas acara penyidikan dan lampiran-lampiran yang bersangkutan. Pada umumnya urutan-urutan yang terdapat dalam berkas perkara adalah sebagai berikut: 1. Daftar isi 2. Maksud perkara 3. Resume 4. Laporan/ laporan penyelidikan 5. Surat Perintah Penyelidikan 6. Berita Acara Pemeriksaan di tempat Kejadian Perkara 7. Berita acara Pemeriksaan: a. saksi b. ahli c. tersangka 8. Lampiran-lampiran 9. Daftar barang bukti. b. Isi dari Berkas Perkara. Sesuai dengan isi Pasal 75 ayat (1) KUHAP meliputi berita-berita acara dari serangkaian tindakan-tindakan yang diperlukan selama proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik, sesuai dengan isi pasal 75 ayat (1) KUHAP, yaitu: 1.
Pemeriksaan tersangka
2.
Penangkapan
3.
Penahanan
4.
Penggeledahan
5.
Pemasukan Rumah
6.
Penyitaan benda
7.
Pemeriksaan surat
8.
Pemeriksaan Saksi
9.
Pemeriksaan ditempat kejadian, dan serangkaian tindakan-tindakan lain yang sesuai dengan undang-undang ini.
c. Ketentuan Umum tentang Berkas Perkara. Dalam hal ini Penyidik diharuskan menyesuaikan pemeriksaan perkara dengan ketentuan pasal undang-undang yang menggariskan pembuatan berita acara pemeriksaan penyidikan seperti yang ditentukan dalam pasal 121 KUHAP, yaitu: “Penyidik atas kekuatan sumpah jabatan segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang bersangkutan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal tersangka dan atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.” Sehingga setelah Penyidik berpendapat segala sesuatu pemeriksaan yang dianggap cukup, Penyidik “atas kekuatan jabatan” segera membuat berita acara dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam pasal 121 KUHAP: 1. Memberi tanggal pada berita acara 2. Memuat tindak pidana yang disangkakan dengan menyebut waktu, tempat, dan keadan sewaktu tindak pidana dilakukan 3. Nama dan tempat tinggal tersangka dan saksi-saksi 4. Keterangan mengenai tersangka dan saksi (umur, agama, dan lain-lain) 5. Catatan segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
d. Syarat Kelengkapan Berkas Perkara Untuk kelengkapan berita acara harus dihubungkan dengan ketentuan pasal 75 KUHAP. Hal ini berarti setiap pemeriksaan yang berita acaranya
telah
dibuat
tersendiri
dalam
pemeriksaan
penyidikan,
dilampirkan dalam pemriksaan penyidikan, dilampirkan dalam berita acara penyidikan. Pasal 75 ayat (2) “Berita acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.” Pasal 75 ayat (3) Berita acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2) ditandatangani pula oleh pejabat tersebut pada ayat (1). Menurut pasal 75 ayat (2) dan (3) ada ketentuan bahwa berita acara harus dibuat atas kekuatan sumpah jabatan dan harus ditandatangani oleh pejabat tersebut dan pihak-pihak yang bersangkutan dengan tindakan yang terebut dalam ayat (1) pada pasal ini. Setelah semua berkas perkara dianggap lengkap, biasanya dilakukan penggandaan sebagian ada yang melaksanakan, sebagian ada yang menjilid. Belum ada keseragaman maupun ketentuannya. Biasanya “penyidik” mengirimkan kepada “penuntut umum” dalam rangkap dua yang maksudnya 1 (satu) untuk Pengadilan Negeri (Hakim) dan yang satu lagi diperuntukkan Penuntut Umum. Jika hal tersebut terjadi, sebaiknya digandakan lagi 1 (satu) eksemplar yang dijadikan berkas yang manfaatnya untuk pengendalian atas Penuntut Umum yang berfungsi sebagai “arsip”. Hal yang sama yakni Penyidik wajib menyimpan 1 (satu) eksemplar berkas perkara sebagai “arsip”.
3. Tinjauan Umum tentang Penyidikan. a. Pengertian Penyidikan. Pada Pasal 1 butir 2 KUHAP tercantum: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Tahap
penyidikan
ini
dilakukan
setelah
selesai
dilakukan
penyelidikan dan hasil penyelidikan itu telah pula dilaporkan dan diuraikan secara rinci, maka dari hasil penyelidikan itu dianggap cukup bukti-bukti penanganan
permulaan
untuk
selanjutnya
dilakukan
adalah
penyidikan,
melakukan
maka
tahap
penindakan
yaitu
dilaksanakannya penyidikan. Dalam hal ini tindakan penyelidikan penekanannya diletakkan pada tingkatan “mencari dan menemukan sesuatu peristiwa”. Tahap ini dilaksanakan setelah yakin bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan untuk memperjelas segala sesuatu tentang tindak pidana tersebut diperlukan tindakan-tindakan tertentu yang berupa pembatasan dan “pelanggaran” hak-hak asasi seseorang yang bertanggung jawab terhadap terjadinya tindak pidana. Keyakinan tersebut di atas diperoleh dari hasil penyelidikan sebelumnya. Menurut istilah hukumnya dari hasil penyelidikan yang telah dilakukan terdapat bukti permulaan yang cukup kuat bahwa tindak pidana telah terjadi dan bahwa seseorang dapat dipersalahkan sebagai pelaku (Moch. Faisal Salam: 49). Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-
hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut: 1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. 2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik 3. Pemeriksaan di tempat kejadian 4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa 5. Penahanan Sementara 6. Penggeledahan 7. Pemeriksaan atau interogasi 8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan tempat) 9. Penyitaan 10. Penyampingan perkara 11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada Penyidik untuk disempurnakan (Andi Hamzah, 2002:118-119). b. Pejabat Penyidik Orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat seperti yang tercantum dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP, Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Kemudian dipertegas dan diperinci lagi dalam pasal 6 KUHAP yang disebut: 1) Penyidik adalah: a. pejabat Polisi Negara republik Indonesia, b. pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. 2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Selain diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan Pasal 6, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang: 1) Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini. 2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak sebagai Penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan, ditegaskan dalam Pasal 6 KUHAP. Dalam Pasal tersebut ditentukan instansi dan kepangktan seorang Pejabat Penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6 dimaksud, yang berhak diangkat sebagai Pejabat Penyidik: 1. Pejabat Penyidik Polri. Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah “pejabat Polisi Negara”. Memang dari segi difrensiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai Penyidik, harus memenuhi “syarat kepangkatan” sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2). Syarat kepangkatan yang diatur dalam pasal 6 lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah untuk itu, penjelasan Pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalam menetapkan kepangkatan Pejabat Penyidik, disesuaikan dengan kepangkatan Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri. Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan Pejabat Penyidik sebagaimana yang dikehendaki ketentuan Pasal 6 sudah ada, dan telah ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 1983, berupa PP No. 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan Pejabat Penyidik diatur
dalam bab II. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab II PP dimaksud, syarat kepangkatan dan pengangkatan Pejabat Penyidik kepolisian dapat dilihat dalam uraian berikut: a.
Pejabat Penyidik Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik” harus memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan: 1. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi, 2. Berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat Penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua, 3. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI. Dari bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983, sekalipun pada prinsipnya syarat kepangkatan pejabat Penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua, namun mengingat kurangnya tenaga personel yang belum memadai terutama di daerah-daerah atau kantor sektor kepolisian, Peraturan Pemerintah memperkenankan jabatan Penyidik dipangku oleh seorang
anggota
kepolisian
yang
“berpangkat
bintara”.
Kepangkatan yang serupa ini memang tidak serasi jika ditinjau dari sudut keseimbangan kepangkatan Penuntut Umum maupun Hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri. Apalagi dari segi kemampuan pengetahuan
hukum
seorang
bintara
kurang
dapat
dipertanggungjawabkan segi kemampuan dan pengalaman. Itu sebabnya sering dijumpai penyidikan yang tidak memadai dan tidak terarah (Yahya Harahap, 2002: 111). b.
Pejabat Penyidik Pembantu. Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur dalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1983. menurut
ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu: 1. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi 2. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a) 3. Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing. Penyidik pembantu tidak harus terdiri dari anggota polri, tetapi bisa diangkat dari kalangan Pegawai Negeri Sipil Polri, sesuai keahlian khusus dalam bidang tertentu yang harus dimiliki. Berdasarkan logika, dengan adanya pejabat Penyidik, tidak perlu dibentuk suatu eselon yang bernama penyidik pembantu, sebab secara rasio, dengan adanya jabatan penyidik berdasarkan syarat kepangkatan tertentu, semua anggota polri yang berada di bawah jajaran pejabat Penyidik adalah pembantu bagi pejabat penyidik. Apalagi jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 11 KUHAP yaitu penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik. Pengklasifikasian antara Penyidik dengan penyidik pembantu semakin mengherankan. Sebab berdasarkan ketentuan Pasal 11, penyidik pembantu mempunyai wewenang yang sama dengan pejabat penyidik, kecuali sepanjang penahanan, wajib diberikan dengan pelimpahan wewenangnya sebagaimana yang diperinci pada pasal 7 ayat (1). Untuk mendapat penjelasan atas klasifikasi Penyidik, mungkin dapat diterima alasan yang dikemukakan pada buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, yang menjelaskan latar belakang urgensi pengangkatan pejabat penyidik pembantu, yang dapat disimpulkan:
a. Disebabkan terbatasnya tenaga polri yang berpangkat tertentu sebagai pejabat Penyidik. Terutama daerah-daerah sektor kepolisian di daerah terpencil, masih banyak yang dipangku pejabat kepolisian yang berpangkat bintara, b. Oleh karena itu, syarat kepangkatan Pejabat Penyidik sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polri, sedangkan yang berpangkat demikian belum mencukupi kebutuhan yang diperlukan sesuai dengan banyaknya jumlah sektor Kepolisian, hal seperti ini akan menimbulkan hambatan bagi pelaksanaan fungsi penyidikan di daerah-daerah, sehingga besar kemungkinan, pelaksanaan fungsi penyidikan tidak berjalan di daerah-daerah (Yahya Harahap, 2002:112). 2.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai Penyidik, pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Disamping pejabat Penyidik Polri, undang-undang pidana khusus tersebut memberi wewenang kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan untuk dilakukan penyidikan. Misalnya, Undang-undang Merek No. 19 Tahun 1992 (diubah menjadi undangundang No. 14 tahun 1997). Pasal 80 undang-undang ini menegaskan: kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana merek yang disebut dalam pasal 81, 82, dan 83 dilimpahkan kepada PPNS. Demikian juga yang kita jumpai pada ketentuan Pasal 17 Undang-undanng darurat No. 7 Tahun 1955, antara lain menunjuk pegawai negeri sipil sebagai penyidik dalam peristiwa tindak pidana ekonomi. Penyidik pegawai negeri sipil dalam tindak pidana ekonomi, pelimpahannya diberikan kepada pejabat duane. Akan tetapi harus diingat, wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil
hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang tindak pidana khusus itu. c. Tugas dan Wewenang Pejabat Penyidik. 1. Penyidik Berdasarkan pasal 1 butir (2) KUHAP tugas pokok dari penyidik adalah: a. Mencari dan mengumpulakan bukti yang dengan bukti-bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. b. Menemukan tersangka. Pada Pasal 7 KUHAP, diberikan kewenangan-kewenangan melaksanakan kewajibannya sebagai berikut: 1). Penyidik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian, c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka d. Melakukan
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan
dan
penyitaan, e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang, g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, i. Mengadakan penghentian penyidikan, j. Mengadakan
tindakan
bertanggungjawab.
lain
menurut
hukum
yang
2). Melakukan koordinasi dan pengawasan baik Penyidik pejabat kepolisian maupun Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu (Pasal 107 ayat 2 KUHAP) 3). Wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku (Pasal 7) 4). Membuat berita acara setiap pemeriksaan tindakan: a. Berita Acara Pemeriksaan Tersangka b. Berita Acara Penangkapan c. Berita Acara Penahanan d. Berita Acara Penggeledahan e. Berita Acara Pemasukan Rumah f. Berita Acara Penyitaan Benda g. Berita Acara Pemeriksaan Surat h. Berita Acara Pemeriksaan Saksi i. Berita Acara Pemeriksaan ditempat kejadian j. Berita Acara Pelaksanaan Penetapan k. Berita Acara Pelaksanaan tindakan lainnya (Pasal 8 ayat 1, jo. Pasal 75) 5). Penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. 2.
Penyidik Pembantu Wewenang dan kewajiban Penyidik Pembantu diatur dalam Pasal 11 dan 12 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: Penyidik Pembantu mempunyai wewenang seperti diatur dalam Pasal 11 KUHAP, yaitu: Penyidik Pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam pasal 7 ayat (1) mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik. Sedangkan berdasarkan Pasal 12 KUHAP tugas Penyidik Pembantu adalah membuat berita acara dan penyerahan berkas perkara kepada Penyidik, kecuali dalam acara pemeriksaan singkat yang dapat langsung diserahkan kepada Penuntut Umum.
d. Macam-macam Upaya Penyidikan. 1. Pemeriksaan Tersangka. Dalam proses penyidikan keterangan tersangka menjadi sangat penting, karena dengan keterangan tersangkalah akan diketahui peristiwa tindak pidana yng sesungguhnya yang sedang diperiksa. Namun demikian perlakuan terhadap seorang tersangka juga harus diperhatikan. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat martabat, yaitu sebagai subyek pemeriksaan bukan selaku objek pemeriksaan. Selain itu tersangka, harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan prinsip hukum “praduga tidak bersalah” atau persumtion of innoccent sampai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan asas ini maka KUHAP pada Bab 6 yaitu pasal 50 s/d pasal 68 memuat hak-hak tersangka/terdakwa, antara lain: a. Berhak segera diproses perkaranya yakni tingkat penyidikan, tingkat penuntutan maupun tingkat persidangan (pasal 50 KUHAP). b. Berhak mengetahui dengan jelas yang disangkakan/didakwakan padanya (pasal 51 KUHAP) c. Berhak mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (pasal 54 KUHAP). d. Berhak memberi keterangan secara bebas (pasal 52 KUHAP). e. Tersangka/terdakwa yang ditahan berhak: 1) meneriman kunjungan dokter 2) menerima kunjungan rohaniawan 3) menerima kunjungna sanak keluarga f. Berhak mengajukan saksi-saksi yang menguntungkan dirinya g. Berhak ganti rugi dan rehabilitasi jika ternyata tidak bersalah. Pasal 1 butir 14 dinyatakan: “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Rumusan diatas pada rumusan resmi tertulis “cukup
jelas” dari segi ilmu hukum pidana, rumusan tersebut tidak tepat, karena bukan “pelaku tindak pidana” saja yang dapat jadi tersangka. Oleh kartena itu Prof. Pompe menyatakan bahwa yang harus dipandang sebagai pelaku itu adalah semua orang yang disebut dalam pasal 55 KUHP yaitu: 1). Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: a. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan, b. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. 2). Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Cara pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan dari segi yuridis, yaitu: a.
Jawaban atau keterangan yang diberikan tersangka kepada Penyidik, diberikan tanpa tekanan dari siapapun juga dan dalam bentuk apapun. Sesuai Pasal 117 ayat (1) KUHAP.
b.
Penyidik mencatat sedetil-detilnya keterangan tersangka. (1) Sesuai dengan rangkaian kata-kata yang dipergunakan tersangka (Pasal 117 ayat (2)) (2) Dicatat dalam berita acara pemeriksaan tersangka oleh Penyidik, dan Penyidik menanyakan atau meminta persetujuan tersangka tentang isi berita acara pemeriksaan tersangka tersebut (3) Apabila tersangka telah menyetujuinya tersangka dan Penyidik membubuhkan tanda tangan pada berita acara tersebut (4) Apabila tersangka tidak mau menandatangani dalam berita acara pemeriksaan, Penyidik dapat membuat catatan yang menjelaskan kenapa tersangka tidak mau menandatangani berita acara tersebut
(5) Jika tersangka hendak diperiksa bertempat tinggal diluar daerah hukum Penyidik, Penyidik dapat membebankan pemeriksaan kepada Penyidik yang berwenang di daerah tempat tinggal tersangka atau “pendelegasian penyidikan” (Pasal 113 KUHAP) (6) Pemeriksaan tersangka ditempat tinggal tersangka dilakukan dengan cara, yaitu Penyidik datang sendiri ke tempat tinggal tersangka dengan alasan yang patut dan wajar, tidak dapat datang ke tempat pemeriksan yang ditentukan Penyidik. Tentang hak tersangka memberi keterangan dengan bebas oleh para pakar sependapat bahwa tersangka tidak mau/diam/tidak mau bicara mencakup pengertian ini hanya menurut doktrin, tersangka/terdakwa yang tidak mau menjawab pertanyaan akan diambil kesimpulan yang merugikan tersangka/terdakwa (Leden Marpaung, 1992: 45) 2. Penangkapan. Pasal 1 butir 20 KUHAP menerangkan bahwa, “Penangkapan adalah suatu tindakan Penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan atau peradilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Cara-cara penangkapan diatur dalam: Pasal 16 ayat (2) KUHAP Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik dan Penyidik Pembantu berwenang melakukan penangkapan. Pasal 17 KUHAP Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan.
Pasal 18 KUHAP 1. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka Surat Perintah Penangkapan yang mencantumkan penangkapan
identitas dan
uraian
tersangka singkat
dan
menyebutkan
perkara
kejahatan
alasan yang
dipersangkakan serta tempat tersangka diperiksa. 2. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada Penyidik atau Penyidik Pembantu terdekat. 3. Tembusan Surat Perintah Penangkapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) harus segera diberikan kepada keluarganya segera setelah dilakukan penangkapan. Pasal 19 KUHAP 1. Penangkapan sebagaimana dimaksud pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. 2. Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah Ketentuan dalam pasal 19 ayat (1) KUHAP menyebutkan batas waktu lamanya penangkapan tidak boleh lebih dari “satu hari”. Lewat dari satu hari berarti telah terjadi pelanggaran hukum, dan dengan sendirinya
penangkapan
dianggap
“tidak
sah”,
konsekuensinya,
tersangka harus dibebaskan demi hukum. Atau jika batas waktu itu dilanggar, tersangka, penasehat hukumnya, atau keluarga dapat meminta pemeriksan kepada praperadilan tentang sah tidaknya penangkapan dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi.
3.
Penahanan Pasal 1 butir 21 KUHAP menyatakan, Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pengaturan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum, maupun hakim dalam KUHAP, adalah: Pasal 20 2. untuk kepentingan penyidikan, Penyidik atau Penyidik Pembantu atas perintah Penyidik, sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 berwenang melakukan penahanan. 3. untuk kepentingan penuntutan, Penuntut Umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. 4. untuk kepentingan pemeriksaan Hakim disidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan. Pasal 21 1. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap seorang terangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. 2. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan Surat Perintah Penahanan atau penetapan Hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan. 3. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.
4. Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut, dalam hal: a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun lebih. b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296, pasal 225 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 ayat (1), pasal 371, pasal 378, pasal 379, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480, dan pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal 25 dan pasal 26 rechtordonantie (pelanggaran ordonansi Bea dan Cukai, yang diubah dengan Staatblad tahun 1931 nomor 471), pasal 1, pasal 2, dan pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (undang-undang No. 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara tahun 1955 No. 8), pasal 30 ayat (7), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47, pasal 48 UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 No. 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). Pasal 22 1. Jenis penahana dapat berupa: a. Penahanan Rumah Tahanan Negara b. Penahanan rumah c. Penahanan kota. 2. Penahanan rumah dilaksanakan dirumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kesulitan
dalam
penyidikan,
penuntutan,
atau
pemeriksaan di sidang pengadilan. 3. Penahanan kota dilakukan dikota tempat tinggal atau kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.
4. Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. 5. Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan. Pasal 23. 1. Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 22. 2. Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari Penyidik atau Penuntut Umum atau penetapan Hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarga dan kepada instansi yang berkepentingan. Pasal 24 1. Perintah penahanan yang diberikan kepada Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. 2. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. 3. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2), tidak menutup kemungkinan tersangka ditahan sebelum berakhir waktu penahanan, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. 4. Setelah waktu lima puluh hari tersebut, Penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Pasal 25 1. Perintah penahanan yang diberikan oleh Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
2. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari. 3. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. 4. Setelah waktu lima puluh hari tersebut, Penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Pasal 26 1. Hakim Pengadilan Negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari. 2. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari. 3. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (10) dan (2) tidak menutup kemungkinana dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. 4. Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 27 1. Hakum Pengadilan Tinggi yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 87, guna kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tigapuluh hari
2. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan paling lama enam puluh hari. 3. Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. 4. Setelah waktu sembilan puluh hari walaupunn perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Pasal 28 Perintah dan perpanjangan penahanan oleh MA pada perkara yang dimintakan kasasi. Pasal 29 Perpanjangan penahanan seperti yang dimaksud dalm pasal 24, 25, 26, 27, dan 28 beserta alasan yang dimungkinkan menurut undang-undang ini. Tenggang waktu penahanan adalah sebagai berikut: 1. Penyidikan: a. 20 hari b. Diperpanjang Penuntut Umum: 40 hari c. Diperpanjang Ketua Pengadilan Negeri 2 kali, masing-masing: 30 hari 2. Penututan: a. 20 hari b. Diperpanjang Ketua Pengadilan negeri: 30 hari c. Diperpanjang Ketua Pengadilan Negeri: 2 kali, masing-masing: 30 hari. 3. Pemeriksaan di Pengadilan Negeri: a. 30 hari
b. Diperpanjang Ketua Pengadilan Negeri: 60 hari c. Diperpanjang Ketua Pengadilan Tinggi 2 kali, masing- masing: 30 hari. 4. Pemeriksaan Banding. a. 30 hari b. Diperpanjang Ketua Pengadilan Tinggi: 60 hari c. Diperpanjang Mahkamah agung 2 kali, masing-masing: 30 hari. 5. Pemeriksaan Kasasi a. 50 hari b. Diperpanjang Ketua Mahkamah Agung: 60 hari c. Diperpanjang Mahkamah agung 2 kali, masing-masing: 30 hari 6. Pemeriksaan penyidikan tindak pidana Subversi -
Jaksa Agung: 1 tahun
Pasal 30 Ganti kerugian apabila ada kesalahan penahanan. Pasal 31 tentang penangguhan penahanan. 4.
Penggeledahan. Penggeledahan rumah berdasarkan Pasal 1 butir 17 KUHAP adalah tindakan Penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut acara yang diatur dalam undangundang ini. Penggeledahan badan berdasarkan Pasal 1 butir 8 KUHAP adalah tindakan Penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.
Dalam keadaan mendesak, ketika Penyidik harus bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat ijin terlebih dahulu, dapat melakukann penggeledahan: a. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya. b. Pada setiap lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada. c. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya. d. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya. 5.
Penyitaan. Penyitaan berdasarkan Pasal 1 butir 16 KUHAP adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam suatu penyidikan. Dalam melakukan penyitaan harus mendapatkan ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, namun apabila tertangkap tangan, Penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindakan pidana atau benda lain sebagai barang bukti tanpa perlu surat ijin dari Ketua Pengadilan setempat, tetapi langsung membuat berita acara yang ditandatangani oleh tersangka. Barang-barang yang dapat disita atau yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil suatu tindak kejahatan. b. Benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya c. Benda yang digunkan untuk menghalangi suatu penyidikan tindak pidana. d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan suatu tindak pidana.
e. Benda lain yang berhubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. 6.
Pemasukan Rumah. Pemasukan
rumah
dapat
dikatakan
merupakan
bagian
dari
penggeledahan rumah, yaitu pemasukan rumah dimaksudkan untuk memasuki rumah tersangka atau tempat kediaman, atau tempat keberadaan tersangka. 7.
Pemeriksaan Surat. Dalam Pasal 47 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi atau pengangkutan. Sedangkan “surat lain” yang dimaksud dalam Pasal tersebut adalah surat yng secara tidak langsung mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa akan tetapi dicurigai dengan alasan yang kuat. Tata cara pemeriksaan surat harus memenuhi ketentuan dalam pasal 47, 48, 49, 131 dan 132 KUHAP. Pasal 47 mengenai hak Penyidik untuk membuka, memeriksa dan menyita surat, beserta tata cara pemeriksaannya. Pasal 48 mengenai isi surat yang dibuka dan diperiksa apabila ada hubungan dengan tindak pidana yang diperiksa maka, harus dilampirkan dalam berita acara pemeriksaan, dan bila tidak ada hubungannya maka harus dikembalikan, dan Penyidik harus merahasiakan isi surat tersebut.
8.
Pemeriksaan Saksi. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi harus memperhatikan tentang keselamatan saksi serta harus mendapatkan perlindungan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Keterangan saksi ada dua macam, yaitu: a. Keterangan saksi yang mendengar dan atau melihat dan atau mengalami sendiri peristiwa tindak pidana yang diperiksa. b. Keterangan saksi ahli, keterangan yang diperoleh dari seorang saksi karena pengetahuan dan kemampuannya dalam hal yang berhubungan dengan kasus yang sedang diperiksa. 9.
Pemeriksaan di Tempat Kejadian. Merupakan pemeriksaan awal setelah Penyidik menerima laporan atau mengetahui terjadinya tindak pidana pada suatu tempat. Kemudian Penyidik melakukan tindakan pengamanan pada tempat kejadian dan berusaha
mencari
bukti-bukti
atau
keterangan-keterangan
yang
memperjelas tindak pidana yang telah terjadi. Yang dapat dilakukan Penyidik di tempat kejadian perkara, antara lain: a. memotret tempat kejadian b. memeriksa sidik jari c. menanyai saksi di sekitar tempat kejadian, dll. 10. Tindakan-tindakan lain yang dimungkinkan demi tercapainya tujuan hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya, sesuai dengan tindak pidana yang diperiksa. e. Penyerahan Berkas Penyidikan Dalam
melaksanakan
mekanisme
penyerahan
berkas
perkara
penyidikan, dilakukan dengan dua cara: 1. Penyerahan Tahap Pertama. Dalam penyerahan tahap pertama Penyidik secara fisik dan nyata menyampaikan berkas perkara kepada Penuntut Umum, dan Penuntut Umum menerima dari tangan Penyidik. Namun demikian, penyerahan berkas perkara secara nyata dan fisik, belum merupakan kepastian penyelesaian pemeriksaan penyidikan, sebab ada kemungkinan besar
hasil penyidikan yang diserahkan, dikembalikan oleh Penuntut Umum kepada Penyidik, dengan petunjuk agar Penyidik melakukan pemeriksaan tambahan penyidikan. Proses pengembalian berkas perkara penyidikan tahap pertama yang belum lengkap dari Penuntut Umum ini dapat dikatakan sebagai “prapenuntutan”. Dalam melakukan pemeriksaan penyidikan terdapat ketentuanketentuan pelaksanaannya, seperti yang tercantum pasal 110 dan 138 KUHAP, yaitu: a) Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, “wajib” segera menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Penyerahan
berkas
perkara
ini,
belum
menghilangkan
kemungkinan berkas perkara dikembalikan lagi oleh Penuntut Umum untuk melakukan tambahan pemeriksaan penyelidikan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 110 ayat (2) KUHAP: Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. b) Apabila Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan berkas perkara untuk dilengkapi: Penyidik “wajib” segera melakukan Penyidikan tambahan. Dalam tempo 14 hari sesudah penerimaan pengembalian dari Penuntut Umum, Penyidik harus menyelesaikan pemeriksaan penyidikan tambahan dan mengembalikan berkas kepada Penuntut Umum. Apabila batas waktu tersebut dilampaui oleh Penyidik, tidak terdapat sanksi yang tegas, hanya Penuntut Umum menegur dan mengingatkan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 138 ayat (2) KUHAP.
c) Penyidikan tambahan harus dilakukan Penyidik “sesuai” dengan petunjuk Penuntut Umum. Apabila
Penuntut
Umum
berpendapat
terdapat
kekuranglengkapan pada berkas perkara, Penuntut Umum berhak mengembalikan kepada Penyidik untuk dilakukan “penyidikan tambahan” dengan petunjuk yang ditentukan Penuntut Umum. Jika pengembalian berkas perkara dilakukan oleh Penuntut Umum tanpa diberikan petunjuk yang jelas sebagaimana ketentuan dalam Pasal 110 ayat (3) dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP, maka pengembalian berkas perkara tersebut dianggap tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang, dan dengan sendirinya penyidikan telah dianggap selesai. d) Apabila dalam waktu tujuh hari setelah penerimaan berkas perkara. Penuntut Umum telah menyampaikan pemberitahuan kepada Penyidik, bahwa hasil penyidikan yang terdapat dalam berkas perkara sudah lengkap (Pasal 138 ayat (1)). Sebaliknya, dalam tempo 7 hari setelah penerimaan berkas, Penuntut Umum menyampaikan pemberitahuan kepada Penyidik bahwa hasil penyidikan belum lengkap, berarti penyidikan belum selesai, dan harus dilakukan penyelidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Penuntut Umum, dan dalam tempo 14 hari terhitung sejak penerimaan pengembalian berkas dari Penuntut Umum, Penyidik harus mengirim kembali berkas perkara beserta hasil penyidikan tambahan kepada Penuntut Umum. e) Penyidikan telah dianggap selesai, apabila dalam jangka waktu 14 hari, dengan pemberitahuan dari Penuntut Umum. Sebaliknya, apabila sebelum jangka waktu 14 hari dari tanggal penerimaan berkas prerkara, Penuntut Umum masih berhak mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik. Sebagaimana bunyi pasal 110 ayat (4), yaitu apabila sebelum batas waktu 14 hari tersebut berakhir,
telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari Penuntut Umum kepada Penyidik. f) Menurut hukum penyidikan dianggap lengkap dan selesai apabila tenggang waktu 14 hari dari tanggal penerimaan berkas perkara Penuntut Umum: (1) tidak ada pemberitahuan kekuranglengkapan hasil penyidikan, (2) selama jangka waktu 14 hari tersebut Penuntut Umum tidak mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik. Dalam
jangka
waktu
14
hari,
ternyata
tidak
ada
pemberitahuan kekuranglengkapan atau tidak ada pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum, berarti berkas perkara tersebut dapat dikatakan sah, lengkap, serta selesailah fungsi penyidikan, maka berakhirlah tanggung jawab Penyidik atas kelanjutan penyelesaian berkas perkara kepada instansi Penuntut Umum. Dari sini tenggang waktu “prapenuntutan” berakhir menjadi tahap “penuntutan.” 2. Penyerahan Tahap Kedua. Setelah penyerahan berkas perkara tahap pertama dianggap selesai, sah dan lengkap, yang artinya dalam tempo 14 hari tidak ada pemberitahuan kekuranglengkapan atau tidak ada pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum. Maka telah terjadi perpindahan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara dari tangan Penyidik kepada Penuntut Umum, yang meliputi: berkas perkaranya sendiri, tanggung jawab hukum atas tersangaka, dan tanggung jawab hukum atas segala barang bukti atau benda sitaan. Penyerahan dan peralihan disini dititik beratkan pada penyerahan dan tanggung jawab yuridis, sekalipun hal ini tidak mengurangi arti penyerahan dan peralihan tanggung jawab secara fisik terhadap tersangka dan barang bukti.
4. Tinjauan Umum Penuntutan a. Pengertian Penuntutan Berdasarkan Pasal 1 butir 7 KUHAP, yang dimaksud penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan. Dalam pasal 137 KUHAP menyatakan bahwa Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke Pengadilan yang berwenang mengadili. b. Penuntut Umum. Yang berwenang bertindak sebagai Penuntut Umum adalah sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 1 butir 6 huruf b KUHAP, yaitu penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan dan melaksanakan penetapan Hakim. Yang dipertegas kembali dalam pasal 13 KUHAP dengan bunyi yang sama. Dari sini diketahui bahwa yng bertindak sebagai Penuntut Umum adalah Jaksa, berdasarkan Pasal 1 butir 6 huruf a, “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap c. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum Berdasarkan Pasal 14 KUHAP, wewenang seorang Jaksa sebagai Penuntut Umum adalah: 2. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari Penyidik atau Penyidik Pembantu,
3. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (2) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik, 4. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh Penyidik, 5. Membuat surat dakwaan, 6. Melimpahkan perkara ke Pengadilan, 7. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan, 8. Melakukan penuntutan, 9. Menutup perkara demi kepentingan hukum, 10. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan undang-undang ini, 11. Melaksanakan penetapan Hakim
B. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana
Penyidikan
Kriteria pengembalian
Penyerahan
Berkas Perkara
Berkas Perkara
Didasarkan ketentuan pasal 138 ayat (2) bila terdapat Masalah-masalah
Penuntutan Gambar 2. Kerangka Pemikiran Dari skema diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: Dalam proses penanganan terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Terhadap suatu tindak pidana yang telah dilakukan seseorang, dan diterima oleh polisi, maka tindak pidana tersebuut berikutnya akan ditangani oleh Penyidik guna mendapatkan penyidikan selanjutnya untuk memperoleh keterangan lebih lanjut. Setelah dilakukan penyidikan dan dianggap bahwa terhadap hasil penyidikan tersebut dianggap telah lengkap, maka dibuatlah berkas perkara terhadap hasil penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik, apabila terhadap berkas perkara tersebut dianggap telah lengkap dan sempurna oleh Penyidik dilakukan penyerahan secara fisik dan nyata kepada Penuntut Umum. Apabila dalam hal ini Penuntut Umum
berpendapat terdapat masalah-masalah terhadap berkas perkara tersebut, dalam hal ketidaklengkapan berkas perkara tersebut berdasarkan ketentuan dan tata cara pengembalian berkas perkara yang terdapat dalam Pasal 138 ayat (2), maka Penuntut Umum berhak mengembalikan berkas perkara tersebut kepada Penyidik untuk dilakukan pemeriksaan tambahan guna melengkapi berkas perkara yang dinyatakan kurang lengkap. Dan terhadap berkas perkara yang ditangani oleh Penyidik dan dilakukan kelengkapan berkas perkara tersebut dalam waktu 14 hari. Dan kemudian dikembalikan lagi kepada Penuntut Umum setelah dirasakan kelengkapannya dan Penuntut Umum telah merasa kelengkapan berkas perkara tersebut lengkap, sah, dan selesai dengan tidak adanya pemberitahuan dan pengembalian berkas perkara tersebut kapada Penyidik oleh Penuntut Umum, berarti telah terjadi perpindahan tanggung jawab penuh secara yuridis dari Penyidik ke Penuntut Umum. Dari sinilah telah berakhir tenggang waktu “prapenuntutan”, dan beralih ke tahap “penuntutan”.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Implementasi Pasal 138 ayat (2) KUHAP di Kejaksaan Negeri Nganjuk. Terhadap Pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi “Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk
dilengkapi dan
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas, Penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum”. Di Kejaksaan Negeri Nganjuk berjalan dengan lancar sebagai mana disebutkan dalam peraturan yang ada. Di Kejaksaan Negeri Nganjuk, terhadap pembuatan berkas perkara yang dimulai dari proses penyidikan sampai dengan pembuatan berkas perkara oleh Penyidik dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Sehingga batasan waktu yang disampaikan oleh Pasal 138 ayat (2) KUHAP “...dalam waktu 14 (empat belas) hari...” dapat dicapai oleh Penyidik. Bahkan pada umumnya dalam waktu tujuh hari atau kurang dari 14 (empat belas) hari Penyidik sudah dapat menyelesaikan berkas perkara yang dimaksud. Sedangkan terhadap adanya berkas perkara yang dinyatakan kurang lengkap, untuk dilengkapi kembali oleh Penyidik juga tidak sampai memakan waktu 14 (empat belas) hari. Karena terhadap permasalahan tersebut diselesaikan dengan koordinasi langsung antara Penuntut Umum dengan Penyidik untuk langsung diselesaikan bersama, sehingga tidak ada pengendapan berkas berkara. Salah satu kasus kekurang lengkapan berkas yang pernah ada di Kejaksaan Negeri Nganjuk dan di kembalikan Penuntut Umum kepada Penyidik adalah kasus dengan Nomor Register Perkara No. PDM-237/ Ep.1/ 2007 tanggal 25 Juli 2007 dengan terdakwa:
51
Nama
: JUMADI bin PANIMAN
Umur
: 46 tahun
Tempat tanggal lahir
: Nganjuk 31 Desember 1961
Alamat
: Desa Mlandangan, Kec. Pace, Kab. Nganjuk
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Kewarganegaraan
: Indonesia
Pekerjaan
: Swasta
Pendidikan terakhir
:-
Perkara yang telah dilakukan adalah bahwa terdakwa JUMADI bin PANIMAN pada hari jumat 13 Juli 2007 sekitar pukul 06.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu yang masih termasuk dalam bulan Juli 2007 bertempat di Desa Mlandangan Kecamatan Pace Kabupaten Nganjuk atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah wilayah hukum Pengadilan negeri Nganjuk, telah mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa dengan cara, pada awalnya terdakwa
JUMADI bin PANIMAN
memesan kayu pinus pada SUKIMAN (DPO) yang kemudian pada hari Jumat tanggal 13 Juli 2007 pukul 13.00 WIB, terdakwa mengambil kayu pesanan tersebut yang berupa 24 (dua puluh empat) batang kayu pinus dengan panjang 200 cm seharga Rp. 285.000,- (dua ratus delapan puluh lima ribu rupiah). Kemudian terdakwa mengangkut kayu pinus tersebut dengan menggunakan truk dan terdakwa memberikan imbalan sebesar Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) yang kemudian menurunkannya di pekarangan milik saksi Dasa Meichran yang berjarak 50 meter dari rumah terdakwa JUMADI bin PANIMAN. Kemudian pada pukul 07.00 WIB, petugas kepolisian Pace datang dan setelah diperiksa, 24 (dua puluh empat) batang kayu pinus dengan panjang 200 cm tidak dilengkapi dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) dari pihak yang berwenang sehingga dilakukan penangkapan terhadap terdakwa dan penyitaan terhadap barang bukti.
Perbuatan terdakwa tersebut menurut hukum melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf h Jo Pasal 78 ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan diancam dengan pidana. Dari hasil penyidikan yang telah dilakukan Penyidik Polri Wilayah Kediri Resor Nganjuk Polsek Pace tersebut diatas dan telah dirasa memenuhi kelengkapan yang telah dibutuhkan dalam berkas perkara. Dilimpahkan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum pada tanggal 7 Agustus 2007. Dari hasil pelimpahan berkas perkara oleh Penyidik kepada Penuntut Umum, dan Penuntut Umum telah melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan berkas perkara yang bersangkutan. Maka berdasarkan Pasal 110 dan 138 (1) KUHAP, ternyata hasil penyidikannya belum lengkap dan dilimpahkan kembali oleh Penuntut Umum kepada Penyidik untuk dilengkapi atas kekurang lengkapan berkas perkara tersebut pada tanggal 9 Agustus 2007 dengan dikeluarkannya P-18 oleh Kejaksaan Negeri Nganjuk. Untuk selanjutnya Kejaksaan Negeri Nganjuk mengeluarkan P-19 kepada Penyidik tertanggal 15 Agustus 2007. Sehubungan dengan surat Nomor: B1021/0.5.29/ Ep.1/ 8/ 2007 tanggal 9 Agustus 2007, sesuai dengan Pasal 110 (2), (3) dan 138 (2) KUHAP, Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara pidana atas tersangka JUMADI BIN PANIMAN Nomor BP/ 15/ VII/ 2007 Polsek tanggal 25 Juli 2007 yang telah diterima Penuntut Umum tanggal 7 Agustus 2007 untuk dilengkapi Penyidik dalam waktu 14 (empat belas hari) seterimanya berkas perkara ini dengan petunjuk-petunjuk. Petunjuk-petunjuk
yang
di
berikan
Penuntut
Umum
terhadap
kekuranglengkapan berkas perkara berupa kelengkapan formil dan materiil, yaitu: FORMIIL: 1. Agar melengkapi berkas perkara a.n. JUMADI BIN PANIMAN yang disangka melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf f dan h UU. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang untuk mengetahui jenis kayu dan ukuran kayu yang dijadikan barang bukti pada perkara ini yaitu berupa 24 (duapuluh empat) batang kayu pinus dan dibuatkan berita acaranya. 2. Agar dimintakan keterangan saksi ahli dari Dinas Kehutanan berkaitan dengan barang bukti pada perkara ini untuk mengetahui apakah jenis kayu tersebut perlu dilengkapi dengan SKSHH dan jumlah kerugian negara akibat perbuatan tersangka. 3. Agar berkas perkara a.n. JUMADI BIN PANIMAN yang tersangka melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mencantumkan Pasal ancaman pidananya yaitu pasal 78 ayat (5) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. MATERIIL: 1. Agar ditanyakan kepada saksi WIYONO dan SUPARDJO kapan, dimana dan apa yang dilakukan tersangka pada saat penangkapan. 2. Agar ditanyakan kepada saksi DASA PUTRA MEICHRAN: a. Jenis, warna dan No. Polisi truk yang mengangkut kayu di pekarangan saksi. b. Saksi melihat tersangka ikut menurunkan kayu tersebut. c. Pernah menanyakan kepada tersangka bahwa kayu tersebut adalah milik tersangka JUMADI BIN PANIMAN. 3. Agar dicarikan saksi yang mengetahui bahwa kayu tersebut benar-benar milik tersangka. Setelah dilengkapi sesuai dengan petunjuk, agar segera disampaikan kepada Penuntut Umum untuk penyelesaian selanjutnya. Sebelum batas waktu 14 (empat belas hari) sebagaiman disebutkan dalam pasal 138 ayat (2) KUHAP. Yaitu diserahkan kembali kepada Penuntut Umum oleh Penyidik setelah dilengkapi lagi pada tanggal 29 Agustus 2007, yang berarti terhitung 14 (empat belas) hari sejak tanggal 15 Agustus dikeluarkannya P-19 untuk
melengkapi berkas perkara lagi. Jadi tidak sampai melebihi batas waktu 14 (empat belas hari ). Dan untuk berikutnya siap untuk diajukan P21 atas kelengkapan berkas perkara yang telah diteliti kembali. Dari hasil penelitian tersebut, terdapat pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum kepada Penyidik setelah diadakan pemeriksaan oleh Penuntut Umum terhadap hasil pelimpahan berkas perkara hasil penyidikan oleh Penyidik dikarenakan berkas dianggap tidak lengkap. Pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum tersebut juga disertai petunjuk-petunjuk yang harus dilengkapi oleh Penyidik terhadap berkas yang belum lengkap berupa kelengkapan formiil maupun kelengkapan materiil dengan jelas sehingga dapat dimengerti oleh Penyidik dengan jelas. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui mengenai pelaksanaan pasal 138 ayat (2) telah berjalan dengan baik sesuai prosedur yang benar, sehingga dengan prosedur dan penerapan aturan yang benar, hal-hal yang tidak diinginkan seperti bolak-baliknya berkas perkara karena tidak lengkapi dapan dihindari, karena ada aturan dan jangka waktu pengembalian berkas perkara tersebut selama 14 (empat belas hari), sehingga dapat memaksimalkan kinerja dan waktu yang ada dengan lebih baik. B. Kriteria-kriteria pengembalian Berkas Perkara oleh Penuntut Umum kepada Penyidik. Sebelum berkas perkara dilimpahkan atau diserahkan kepada Penuntut Umum, pembuatan berkas perkara tersebut harus memenuhi ketentuanketentuan kelengkapan berkas perkara yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencegah terjadi bolak-baliknya berkas perkara dari Penuntut Umum kepada Penyidik. Oleh karena itu Penyidik harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi kelengkapan berkas perkara. Kelengkapan berkas perkara harus diketahui dan dikuasai oleh Penyidik dan Penuntut Umum peneliti diwilayah hukum Pengadilan Negeri Nganjuk,
dalam hal ini tidak terdapat permasalahan. Baik Penyidik maupun Penuntut Umum peneliti dalam menentukan kelengkapan berkas perkara selalu berdasarkan Pasal 75 KUHAP (kelengkapan formil) serta beberapa petunjuk pelaksanaan yang berwenang maupun yang diterbitkan oleh instansi masingmasing. Disamping itu untuk memperoleh kelengkapan berkas perkara juga ditentukan oleh kemampuan dan keterampilan dari masing-masing petugas. Adapun berkas perkara yang dapat dinyatakan lengkap antara lain harus memenuhi syarat-syarat antara lain yaitu : a. Syarat-syarat Formal; b. Syarat-syarat Materiil. Dimana syarat- syarat tersebut mencakup adanya: Ad. a. Syarat Formal 1.
Sampul berkas perkara - Nama Tersangka - Tempat lahir - Umur / Tanggal lahir - Jenis kelamin - Kebangsaan - Tempat tinggal - Agama - Pekerjaan - Identitas lain kalau ada 1. Pendidikan 2. Nomor KTP 3. Nomor SIM 4. Nomor Passport 5. Lain-lain
2.
Daftar Isi Berkas Perkara
3.
Resume ( Pasal 121 KUHAP)
4.
Surat Pengaduan
5.
Laporan Polisi (Pasal 5 (1) jo Pasal 130 KUHAP)
6.
Surat Perintah Penyidikan
7.
Berita Acara Pemeriksaan TKP (Pasal 75 ayat (1) huruf 1 KUHAP)
8.
Surat Pemberitahuan Dimulainya DIK (Pasal 109 ayat (1) KUHAP)
9.
Surat Panggilan Tersangka / Saksi
10. Surat Perintah Membawa Tersangka / Saksi 11. Berita Acara Pemeriksaan Saksi / Ahli (Pasal 76 jo Pasal 120 jo Pasal 160 KUHAP) 12. Berita Acara Penyumpahan Saksi / Ahli ( Pasal 76 jo Pasal 120 jo Pasal 160 KUHAP) 13. Berita Acara Pemeriksaan Tersangka 14. Surat Kuasa Tersangka kepada Penasihat Hukum 15. Berita Acara Konfrontasi (Pasal 75 ayat (1) huruf k KUHAP) 16. Berita Acara Rekontruksi (Pasal 75 ayat (1) huruf k KUHAP) 17. Surat Permintaan Visum Et Repertum 18. Surat Keterangan Dokter / VER 19. Berita Acara Pemeriksaan
oleh Ahli (pemeriksaan forensic /
laboratorium ). (Pasal 120 jo Pasal 187 huruf b KUHAP) 20. Surat Perintah Penangkapan (Pasal 18 KUHAP) 21. Berita Acara Penangkapan (Pasal 75 ayat (1) huruf b KUHAP) 22. Surat Perintah Penahanan (Pasal 21 KUHAP) 23. Berita Acara Penahanan (Pasal 75 ayat (1) huruf c KUHAP) 24. Surat Perintah Penangguhan Penahanan (Pasal 31 KUHAP) 25. Berita Acara Penangguhan Penahanan (siapa, apa dan berapa jaminannya dicatat dalam keterangan). (Pasal 75 ayat (1) KUHAP) 26. SP. Pencabutan Penangguhan Penahanan 27. BA. Pencabutan Penangguhan Penahanan 28. SP. Pengalihan Jenis Penahanan 29. BA. Pencabutan Penangguhan Penahanan 30. Surat Permintaan Perpanjangan Penahanan kepada Kepala Kejaksaan
Negeri 31. Surat Ketetapan Perpanjangan
Penahanan dari Kepala Kejaksaan
Negeri 32. Surat Penolakan Permintaan Perpanjangan
Penahanan dari Kepala
Kejaksaan Negeri (Pasal 24 ayat (2) KUHAP) 33. Surat Permintaan Perpanjangan Penahanan ke Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 29 KUHAP) 34. Surat Penetapan Perpanjangan Penahanan dari Ketua Pengadilan Negeri 35. Surat Penolakan Permintaan Perpanjangan
Penahanan dari Ketua
Pengadilan Negeri 36. Surat Perintah Membawa Tahanan 37. BA. Pelaksanaan Membawa Tahanan 38. Surat Perintah Pengeluaran Tahanan 39. BA. Pengeluaran Tahanan 40. Laporan/Surat Permintaan Ijin Pengeledahan kepada Ketua Pengadilan Negeri 41. Surat Persetujuan / Ijin Pengeledahan dari Ketua Pengadilan Negeri 42. Surat Perintah Pengeledahan Rumah, Badan / Pakaian dll. 43. Berita Acara Penggeledahan Rumah, Badan / Pakaian dll. 44. Laporan/Surat Permintaan Ijin Penyitaan
kepada Ketua Pengadilan
Negeri 45. Surat Persetujuan / Ijin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri 46. Surat Perintah Penyitaan Barang Bukti 47. Berita Acara Penyitaan Barang Bukti (Pasal 75 jo Pasal 45 KUHAP) 48. Surat Perintah Penyisihaan Barang Bukti 49. Berita Acara Penyisihaan Barang Bukti 50. Berita Acara Pembungkusan dan atau Penyegelan Barang Bukti (Pasal 75 jo 130 KUHAP) 51. Surat Perintah Pelelangan Barang Bukti 52. B.A. Penerimaan Hasil Pelelangan Barang Bukti 53. Surat Perintah Pengembalian Barang Bukti
54. Berita Acara Pengembalian Barang Bukti (Pasal 75 jo Pasal 46 KUHAP) 55. Surat Perintah Pemeriksaan Surat 56. Berita Acara Pemeriksaan Surat 57. Surat Perintah Penyitaan Surat 58. Berita Acara Penyitaan Surat (Pasal 75 jo Pasal 45 KUHAP) 59. Surat Tanda Terima Surat / Barang Bukti 60. Daftar Perincian Barang Bukti berupa Dokumen atau uang 61. Petikan Putusan Pemidanaan terdahulu 62. Daftar Saksi 63. Daftar Tersangka 64. Daftar Barang Bukti 65. Berita Acara Tindakan Hukum lain (Pasal 75 ayat (1) huruf k KUHAP)
Ad.b Persyaratan Materiil 1.
Tindak Pidana yang disangkakan
2.
Unsur Delik apakah sudah diuraikan secara a. Cermat b. Jelas c. Lengkap
3.
Tempus delictie
4.
Locus delictie
5.
Peran kedudukan masing-masing tersangka terhadap tindak pidana yang disangkakan
6.
Alat Bukti a. Keterangan Saksi b. Surat c. Keterangan Ahli d. Petunjuk e. Keterangan Tersangka
7.
Pertanggung-jawaban pidana dari Tersangka
8.
Berkaitan dengan kekayaan negara
9.
Lain-lain a. Kopentensi Absolut b. Kopentensi Relatif
A. Penyerahan berkas perkara tahap pertama Pada penyerahan tahap pertama, Penyidik secara nyata dan fisik menyampaikan berkas perkara kepada Penuntut Umum, dan Penuntut Umum secara nyata dan fisik menerima dari tangan Penyidik. Namun demikian, sekalipun telah terjadi penyerahan secara nyata dan fisik kepada Penuntut Umum, belum merupakan kepastian penyelesaian pemeriksaan penyidikan, sebab kemungkinan besar hasil penyidikan yang diserahklan, dikembalikan oleh Penuntut Umum kepada Penyidik, dengan petunjuk agar Penyidik melakukan tambahan pemeriksaan penyidikan. Apabila berkas perkara tersebut telah dilengkapi dengan persyaratan formil dan materiil diatas. Proses berikutnya Penyidik menyerahkan berkas perkara tersebut kepada Penuntut Umum. Pada tahap ini Penuntut Umum mempelajari dan melakukan
penelitian secara seksama terhadap kelengkapan berkas
perkara. Penerimaan berkas perkara tersebut dicatat dalam register penerimaan Berkas Perkara tahap Pertama (RP-10) dan pelaporannya menggunakan LP-6. penelitian berkas perkara tahap pertama difokuskan kepada: 1. Kelengkapan formal, yakni meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan formallitas/ persyaratan, tata cara penyidikan yang harus dilengkapi dengan Surat Perintah, Berita Acara, Izin/ Persetujuan Ketua Pengadilan. Disamping penelitian kuantitas kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula segi kualitas kelengkapan tersebut, yakni keabsahannya sesuai ketentuan Undang-Undang.
2. Kelengkapan materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kriteria yang dapat digunakan sebagai tolak ukur kelengkapan materiil antara lain: a. Apa yang terjadi (tindak pidana beserta kwalifikasi dan pasal yang dilanggar) b. Siapa pelaku, siapa-siapa yang melihat, mendengar, mengalami peristiw itu (tersangka, saksi-saksi/ahli) c. Bagaimana perbuatan itu dilakukan (modus operandi) d. Dimana perbuatan dilakukan (locus delicti) e. Bilamana perbuatan dilakukan (tempus delicti) f. Akibat apa yang ditimbulkan (ditinjau secara victimologis) g. Apa yang hendak dicapai dengan perbuatan itu (motivasi yang mendorong pelaku). Kelengkapan materiil terpenuhi bila segala sesuatu yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian telah tersedia sebagai hasil penyidikan. Pelaksanaan penelitian tersebut dilakukan oleh Jaksa Peneliti yang tercantum dalam P-16 dan hasil penelitiannya dituangkan dalam bentuk check list. Proses penelitian dan pemberitahuan lengkap atau tidaknya berkas perkara di Kejaksan Negeri Nganjuk membutuhkan waktu tujuh hari. Bahkan jika terdapat kekurangan, dilakukan pengembalian berkas perkara dengan Surat Pemberitahuan
Hasil
Penyidikan
belum
Lengkap
(P-18)
beserta
pemberitahuan petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan (P-19) yang dilakukan
bersamaan
dengan
pemberitahuan
itu.
Dengan
demikian
pengembalian berkas perkara beserta pemberian petunjuk dilakukan juga selama tujuh hari dan tidak sampai menghabiskan waktu empat belas hari. Apabila menurut hasil penelitian ternyata hasil penyidikan telah lengkap, maka dikeluarkan Surat Pembeitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap (P21). Pengembalian berkas perkara kepada Penyidik dilakukan lewat kurir, atau dalam hal terlaksana pertemuan dimaksud, berkas perkara dapat diserahkan langsung kepada Penyidik. Kedua bentuk penyerahan kembali berkas perkara
tersebut dilengkapi dengan P-21 dan Tanda Terima Pengembalian berkas Perkara. Dalam P-19 diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap tentang hal apa yang harus dilengkapi oleh Penyidik sesuai ketentuan pasal 138 ayat (2) jo pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP. Petunjuk disusun dalam bahasa sederhana dengan menggunakan kalimat-kalimat efektif. Untuk akuratnya aplikasi petunjuk tersebut oleh Penyidik, sebaiknya Penyidik diundang untuk bertemu dengan Jaksa Peneliti guna membahas petunjuk-petunjuk dimaksud. Apabila Penyidik masih mengalami kesulitan untuk memenuhi petunjuk yang diberikan oleh Penuntut Umum dalam tenggang waktu empat belas hari, maka Penyidik segera memberitahukan kesulitann yang dihadapi Penyidik kepada Penuntut Umum dan penyelesaiannya diserahkan pada forum Penyidik dan Penuntut Umum. Hasil penyidikan tambahan dan berkas perkara yang diserahkan oleh Penyidik, dipelajari lagi oleh Penuntut Umum peneliti apakah petunjukpetunjuk yang disampaikan telah terpenuhi. Apabila petunjuk tersebut belum terpenuhi, maka Penuntut Umum melaporkannya kepada Kepala Kejaksaan Negeri atau pejabat yang dikuasakan untuk itu, jalan apa yang akan ditempuh untuk terhadap berkas perkara tersebut. Pelaksanaan pekerjaan ini harus sudah selesai dalam satu hari. Untuk mencegah berkas perkara bolak-balik lebih dari dua kalil antara Penyidik dan Penuntut Umum. Maka menurut tambahan pedoman Pelaksanaan KUHAP butir 5 harus mengintensifkan koordinasi antar penegak hukum di daerah. B. Penyerahan berkas perkara tahap kedua Sesuai ketentuan Pasal (3) huruf a jo pasal 110 (2) dan (3), pasal 138 (2) dan Pasal 139 KUHAP, apabila menurut hasil penelitian atas berkas perkara yang diserahkan pada tahap pertama ternyata hasil penyidikan belum lengkap, maka Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dalam batas waktu 14 (empat belas) hari
setelah penerimaan atas pengembalian berkas perkara. Dalam rangka mengembalikan berkas perkara dimaksud, diterbitkan pemberitahuan bahwa hasil penyidikan belum lengkap (P-18) dan pengembalian berkas perkara dengan petunjuk dilaksanakan dengan menerbitkan P-19. Setelah berkas perkara tersebut diterima kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, dilakukan penelitian ulang atas hasil penyidikan tambahan. Dalam hal hasil penyidikan telah lengkap diterbitkan P-21 (surat Pemberitahuan Hasil Penyidikan Sudah Lengkap). Sebaliknya apabila ternyata hasil penyidikan masih belum lengkap, Jaksa Penuntut Umum melaporkan hal itu kepada Kepala Kejaksaan Negeri disertai usul untuk melengkapi berkas perkara dengan melakukan Pemeriksaan Tambahan. Hasil penelitian ulang tersebut dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pendapat hasil Penelitian Berkas Perkara (P-24). Sebelum dikeluarkan surat Perintah Melengkapi Berkas Perkara Dengan Melakukan Pemeriksaan Tambahan (P-25), dilakukan konsultasi berjenjang antara Jaksa Penuntut Umum Kasi PIDUM (Pidana Umum) dan Kepala Kejaksaan Negeri. Dalam hal batas waktu penyidikan tambahan hampir berakhir. Jaksa Penuntut Umum mengingatkan Penyidik dengan menerbitkan P-20. setelah berakhirnya batas waktu penyidikan tambahan dan tidak ada jaminan bahwa hasil penyidikan sesuai dengan harapan, diterbitkan P-22 guna meminta penyerahan berkas perkara, tersangka dan barang bukti untuk pelaksanaan Pemeriksaan Tambahan. Setelah berkas perkara, tersangka dan barang bukti berada ditangan Jaksa Penuntut Umum, Kepala Kejaksaaan Negeri menerbitkan Surat Perintah melengkapi berkas perkara (P-25). Penyerahan berkas perkara tahap kedua ini dilakukan oleh Penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum peneliti terhadap tersangka dan barang bukti
apabila dalam hasil Penyidikan telah dianggap selesai dan lengkap oleh Penyidik. Penyerahan tersangka dan barang bukti ini berarti telah terjadi perpindahan tanggung jawab dari Penyidik beralih ke Penuntut Umum. Berkas perkara yang diserahkan sebanyak dua buah berkas perkara dalam keadaan sudah dibendel. Berkas perkara tersebut, satu untuk Penuntut Umum dan yang satu lagi diserahkan kepada Hakim. Penerimaan tanggung jawab atas tersangka dilkukan per-Berita Acara Penerimaan dan penelitian Tersangka (BA-15) oleh Penyidik kepada kepala Kejaksaan Negeri Nganjuk. Penelitian tersangka tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kebenaran tentang: 1. Keterangan-keterangan tersangka dalam BAP 2. Identitas tersangka guna mencegah terjadinya error in persona 3. Status tersangka (ditahan/tidak) 4. Apakah tersangka pernah dihukum/tidak (residive/bukan) 5. Apakah ada keterangan yang perlu ditambahkan. BA-15 berfungsi sebagai: 1. Bahan pertimbangan penahanan 2. Bila terdakwa mangkir dipersidangan sedang pada tahap penyidikan dan prapenuntutan ia mengakui terus terang perbuatannya, BAP tersangka dan BA-15 dapat difungsikan sebagai alat bukti surat (sesuai ketentuan pasal 187 KUHAP), atau setidak-tidaknya sebagai petunjuk kesalahan terdakwa (sesuai ketentuan pasal 188 KUHAP dan yurisprudensi tetap), atau sebagai keterangan yang diberikan diluar sidang sesuai ketentuan pasal 189 (2) KUHAP 3. Bila diperlukan penahanan, digunakan dokumen-dokumen penahanan. Berita acara ini digunakan untuk mempertimbangkan apakah tersangka dapat dilakukan penahanan berdasarkan Pasal 21 KUHAP, dan kemudian menetapkan tersangka untuk ditahan atau tidak, atau mengalihkan jenis penahanan atau penangguhan penahanannya. Bila tersangka akan dilakukan
penahanan lanjutan agar dibuatkan surat perintah penahanan/penahanan lanjutan dengan menggunakan formulir model T-2 dengan tembusan disampaikan kepada keluarga tersangka, Penyidik, rutan dan dilampirkan dalam berkas perkara. Kemudian oleh Sub Seksi Penuntutan dicatat dalam register yang keluarganya tidak ada di Indonesia. Tembusan dimaksud disampaikan kepada perwakilan Negaranya sebagai pengganti keluarganya. Praktek yang telah terjadi selama ini sisa penahanan Penyidik oleh Penuntut Umum tidak diperhitungkan, tetapi penahanan lanjutan diterbitkan. Dan pelaksanaan penahanan/penahanan lanjutan dibuatkan berita acara dengan menggunakan formulir model BA-10, kemudian dicatat dalam register model RT-2. Tersangka yang ditahan, untuk menyampaikan tembusan surat perintah penahanan kepada keluarganya yang tidak diketahui kejelasan alamatnya, dibuatkan berita acara tentang ketiadaan alamat keluarganya tersebut dan dilampirkan dalam berkas perkara. Kemudian kepada penyidik yang berkepentingan dibuatkan tanda terima dengan menggunakan T-2. bila dilakukan pengalihan jenis penahanan dengan model T-2 dengan tembusan kepada keluarga tersangka, Penyidik dan rutan. Kemudian dibuatkan berita acara pelaksanaan pengalihan jenis penahanan dengan menggunakan formulir model BA-11 dan dicatat dalam register RT-5. Dalam penangguhan penahanan, segera dilakukan pembuatan surat perintah dengan menggunakan formulir model T-8 dengan tembusan kepada keluarga, Penyidik dan rutan serta dicatat dalam register RT-4. sebagai pelaksanaannya dibuatkan berita acara dengan menggunakan formulir BA-12. Peneriman tanggung jawab atas barang bukti juga dilakukan per-Berita Acara Penerimaan dan penelitian Barang Bukti (BA-18), hal ini dilakukan setelah kegiatan yang berkaitan dengan tersangka selesai. Hal-hal yang perlu diteliti meliputi: 1. kuantitas (jumlah, ukuran, takaran/timbangan atau satuan lainnya)
2. kualitas (harga/nilai, mutu, kadar dan lain-lain) 3. kondisi (baik, rusak, lengkap/tidak) 4. identitas/spesifikasi lainnya. Tolak ukur penelitian tersebut menggunakan: 1. daftar adanya barang bukti yang terlampir dalam berkas perkara 2. dokumen-dokumen penyitaan (SP, BA izin/ persetujuan penyitaan). Setelah penelitian dibuat Label Barang Bukti (B-11), pencatatan dalam Register Barang Bukti (RB-12). Bila dalam penelitian tersebut diperlukan bantuan instansi lain, bantuan tersebut dimintakan dengan menggunakan B-12. dan apabila diperlukan penitipan barang bukti, pelaksanaannya dilengkapi dengan Surat Perintah Penitipan Barang Bukti (B-5) dan Berita Acara Penitipan Barang Bukti (B-17). Setelah tuntas proses penerimaan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti, berkas perkara dicatat dalam register Perkara Tahap Penuntutan (RP-12). Selanjutnya setelah penelitian terhadap penerimaan dan penelitian terhadap berkas perkara, tersangka dan barang bukti tersebut diatas. Penuntut Umum membuat Berita Acara penelitian tersangka dengan menggunakan formulir model BA-15. Apabila terjadi suatu barang bukti atau benda sitaan dipinjamkan kepada orang lain, maka apabila terjadi sesuatu perbedaan pendapat dalam hal peminjamannya antara Penyidik dan Penuntut Umum mengenai benda sitaan pada saat perkara tersebut dilimpahkan dari Penyidik kepada Penuntut Umum, maka putusan akhir ada pada instansi yang bertanggungjawab secara yuridis, sesuai dengan tahap penyelesaian perkara, dalam hal ini adalah Kejaksaan Negeri Nganjuk. Dalam hal ini pelimpahan berkas perkara tahap kedua serta tugas Penuntut Umum dalam melakukan tugas pra penuntutan telah usai. Dan tugas
selanjutnya adalah melakukan kegiatan penuntutan pada sidang pengadilan yakni membuat surat pelimpahan ke pengadilan dan membuat surat dakwaan. Dalam hal kriteria kelengkapan berkas perkara yang dilakukan oleh Penyidik dan Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Nganjuk, berjalan dengan lancar. Penyelesaian kelengkapan berkas perkara yang dilakukan oleh Penyidik
POLRI
tidak
pernah
melebihi
empat
belas
hari
dalam
penyelesaiannya. Selain itu koordinasi antara Penyidik dan penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Nganjuk berjalan dengan baik dan lancar. Apabila terjadi kekuranglengkapan terhadap berkas perkara, Penuntut Umum segera memanggil Penyidik yang bersangkutan ke Kejaksaan Negeri Nnganjuk untuk diberikan petunjuk dan pengarahan-penngarahan terkait hal tersebut sehingga segera dapat segera diperbaiki bersama untuk keefektifan dan efisiensi waktu. Sehingga berkas perkara tidak terlalu lama bolak balik antara Penyidik dan Penuntut Umum. C. Masalah yang ada dalam pengembalian berkas perkara pidana oleh Penuntut Umum kepada Penyidik. Dalam pengembalian berkas perkara yang telah dilakukan, koordinasi antara Penyidik dan Penuntut Umum yang baik sangat diperlukan terhadap kelancaran pengembalian berkas perkara. Karena berhasil atau tidaknya penuntutan bukan saja dipengaruhi oleh pandai atau trampilnya Penuntut Umum menyusun Surat Dokumen atau Surat Tuntutan, tetapi yang lebih penting adalah sempurna atau tidaknya penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik (Polisi). Bahkan penyidikan perkara yang baik dapat berperan dalam pencegahan kejahatan yang terjadi. Berkaitan dengan hal tersebut maka tugas prapenuntutan akan berhasil jika aparat Penyidik mampu melakukan penyidikan dengan baik. Dengan demikian akan dihasilkan Berita Acara Penyidikan yang baik dan sempurna.
Selain itu antara Penyidik dengan Penuntut Umum, dalam menjalankan tugasnya juga saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Jika koordinasi dan kerjasama antara keduanya berjalan dengan baik. Proses perkara yang ditangani akan segera berakhir, tidak hanya mengendap dalam salah satu instansi saja. Sehingga koordinasi yang baik dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas pengembalian berkas perkara. Kendala-kendala yang ada dalam proses pembuatan berkas perkara sampai pada akhirnya pengembalian berkas perkara tak dipungkiri masih tetap ada, akan tetapi tidak sampai menjadi masalah yang serius dalam pengembalian berkas perkara yang ada. Hanya sebatas kesalahan teknis bukan menyangkut kesalahan prosedural. Kendala tersebut antara lain menyangkut: A. Aparat Penyidik mempunyai masalah: 1) Perubahan sistem penyidikan berdasarkan KUHAP belum diimbangi dengan peningkatan kemampuan teknis yaitu profesional dan yuridis yang memadai. 2) Sering tidak dipahaminya petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum, karena kebanyakan aparat penegak hukum mempunyai latar belakang pendidikan formal di bidang hukum 3) Kurangnya kuantitas aparat penyidik dan kecilnya anggaran serta terbatasnya sarana penyidikan yang tersedia 4) Belum terpenuhinya penyesuaian administratif penyidikan yang mantap selaras
dengan
mekanisme pelaksanaan
penyidikan
berdasarkan
KUHAP. 5) Dalam hal Penghentian Penyidikan, penyidik segera menerbitkan Surat ketetapan Penghentian Penyidikan (SKPP/ Formulir model SERSE A.3.02) berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu penghentian penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
6) Penyidik memberitahukan secara tertulis kepada Penuntut Umum bahwa penyidikan tambahan yang dilakukkan sudah optimal/maksimal dan oleh karena itu menyerahkan tindakan hukum lebih lanjut kepada Penuntut Umum. Berkaitan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Penyidik sebagai Prosedur pada huruf a, apabila dianggap perlu Penuntut umum dapat memanfaatkan haknya yang diatur dalam Pasal 80 KUHAP yaitu meminta kepada Hakim Praperadilan untuk memeriksa tentang sah atau tidaknya tindakan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik. B. Aparat Penuntut Umum mempunyai masalah antara lain: 1. Keterangan-keterangan terhadap Penyidik
serta
petunjuk-petunjuk
yang
diberikan
kurang jelas sehingga sulit dimengerti oleh
Penyidik (POLISI), sehingga mengakibatkan sering terjadinya bolakbaliknya berkas perkara dari Penyidik ke Penuntut Umum atau sebaliknya. 2. Berkaitan dengan tindakan hukum Penyidik seperti tersebut pada huruf 6 diatas, maka Penuntut Umum melakukan sendiri pemeriksaan tambahan berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 Pasal 27 ayat (1) huruf d dan tata caranya sesuai dengan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) No: SE-003/JA/12/1991 (tanggal 14 Desember 1991). Apabila dari hasil pemeriksaan tambahan oleh Penuntut Umum berkas perkara tersebut dinilai telah memenuhi persyaratan untuk dilakukan penuntutan, maka Penuntut Umum secepatnya melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri (PN). Akan tetapi apabila dari hasil pemeriksaan tambahan tersebut ternyata berkas perkara tersebut masih dinilai belum lengkap maka Penuntut Umum segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP/Formulir model P-26) berdasarkan pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP. SK Penghentian Penyidikan maupun SK
Penghentian Penyidikan tersebut dikemudian hari masih dapat dicabut kembali berdasarkan alasan/fakta pembuktian baru (novum) atau berdasar Putusan Hakim Praperadilan (Pasal 80 jo 82 ayat (3) KUHAP). Dalam keadaan demikian maka tindakan penyidikan atau penuntutan wajib dilakukan kembali sebagaimana mestinya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Kejaksaan Negeri Nganjuk, terhadap masalah-masalah tentang pembuatan berkas perkara sampai dengan dikembalikannya berkas perkara karena dinyatakan kurang lengkap oleh Penuntut Umum kepada Penyidik ataupun sebaliknya hanya sebatas permasalahan tekhnis sehingga tidak begitu serius karena tidak menyangkut aturan dasar atau ketentuan dasar pengembalian berkas perkara. Sehingga terhadap kendala serta permasalahan tersebut masih bisa diatasi dengan baik, seperti kekurangjelasan petunjuk yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap berkas perkara yang dikembalikan kepada Penyidik. Dan dapat segera diselesaikan dengan koordinasi dan kerjasama yang erat antara Penyidik dan Penuntut Umum. Sebagaimana dari hasil wawancara yang telah dilakukan antara penulis dengan Jaksa Penuntut Umum Naning Marini SE, S.H. selama melakukan penelitian baik secara formal maupun informal terhadap kasus yang berkas perkaranya dinyatakan belum lengkap setelah dilakukan pemeriksaan atas pelimpahan oleh Penyidik kepada Penuntut Umum. Berkas perkara tersebut dikembalikan lagi kepada Penyidik untuk dilengkapi lagi berdasarkan ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP.
Dikejaksaan Negeri
Nganjuk terhadap kekuranglengkapan
berkas perkara dilakukan prosedur dengan memberikan surat P-18 dan P19, dan dengan prosedur tersebut biasanya sudah memenuhi agar berkas perkara tersebut lengkap sehingga bisa langsung di P-21. jadi tidak sampai ada berkas berkara bolak-balik beberapa kali karena ada koordinasi antara Penuntut Umum dan Penyidik, apalagi ada Mahkejapol, jadi bisa dibuat dasar antara instansi Kehakiman, Kerjaksaan dan Kepolisian diharapkan ada kerjasama yang baik.
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Simpulan yang dapat ditarik dari uraian hasil penelitian adalah: 1. Implementasi terhadap Pasal 138 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di Kejaksaan Negeri Nganjuk, terhadap hasil pelimpahan berkas perkara oleh Penyidik kepada Penuntut Umum dan telah dilakukan Pemeriksaan oleh Penuntut Umum dan dinyatakan bahwa berkas perkara tersebut dianggap belum lengkap maka sesuai ketentuan Pasal 110 dan Pasal 138 ayat (2) KUHAP, maka Penuntut Umum mengembalikan lagi berkas perkara tersebut kepada Penyidik untuk melengkapi berkas perkara yang bersangkutan. Dalam pengembalian berkas perkara tersebut Penuntut Umum
juga
diwajibkan
memberikan
petunjuk-petunjuk
tentang
kekuranglengkapan berkas perkara tersebut baik mengenai kelengkapan formil maupun kelengkapan materiil dengan jelas sehingga dapat dipahami oleh Penyidik. 2. Kriteria-kriteria pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum kepada Penyidik yang dikarenakan berkas perkara dinyatakan belum lengkap
setelah
dilakukan
pemeriksaan
oleh
Penuntut
Umum.
Dikarenakan karena berkas perkara tersebut tidak memenuhi kelengkapan formil dan kelengkapan materiil. Kelengkapan formil adalah kelengkapan mengenai hukum acara pidan abersifat nyata atau konkret seperti identitas terdakwa, tanggal dan tanda tangan oleh JPU. Sedangkan kelengkapan materiil adalah yang bersifat isi atau substansi hukumnya. Tanpa adanya kelengkapan berkas perkara secara formil dan kelengkapan materiil maka berkas perkara tersebut tidak sah. 3. Kendala-kendala atau masalah dalam pembuatan berkas perkara sampai dengan pengembalian berkas perkara oleh Penuntut Umum kepada Penyidik dikarenakan kekuranglengkapan berkas perkara tidak mengalami masalah yang serius, hanya menyangkut kendala tekhnis aparatnya karena
71
tidak menyangkut aturan pokok pengembalian berkas perkara, sehingga dapat diselesaikan dengan koordinasi yang baik antara Penyidik dan Penuntut Umum.
B. Saran 1. Dalam hal terdapat pengembalian berkas perkara dikarenakan berkas perkara tersebut dianggap belum lengkap. Penuntut Umum dan Penyidik harus melakukan kerjasama dan koordinasi dengan baik, sehingga dalam melaksanakan tugas masing-masing dapat berjalan dengan lancar. Selain itu untuk efektifitas dan efisiensi dalam mencegah bolak-baliknya berkas perkara dari Penuntut Umum kepada Penyidik dilakukan koordinasi langsung antara Penuntut Umum dengan Penyidik. Koordinasi antara Jaksa Penuntut Umum dilakukan setelah dikeluarkannya P-16, Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan secara aktif membina koordinasi dan kerjasama positif dengan penyidik melalui Forum Konsultasi Penyidik Penuntut Umum. Forum tersebut digunakan secara optimal untuk memberikan bimbingan/arahan kepada Penyidik, dengan maksud agar kegiatan penyidikan mampu menyajikan segala data dan fakta yang diperlukan bagi kepentingan penuntutan dan bolak-baliknya berkas perkara dapat dihindari. Namun demikian selain koordinasi dan kerjasama secra fungsional tersebut, dibina pula koordinasi dan kerjasama positif secara instansional melalui Forum Rapat Koordinasi Antar Penegak Hukum (RAKORGAKKUM/DILJAPOL) di tingkat daerah. 2. Penuntut Umum dalam memberikan petunjuk tentang permasalahan dalam kekuranglengkapan berkas perkara untuk dilengkapi, diberikan petunjuk dengan jelas agar Penyidik dapat mengerti tentang apa yang kurang dalam berkas perkara yang di kembalikan. Sehingga dapat meminimalisir bolakbaliknya berkas perkara. 3. Dalam melaksanakan tuganya Penyidik dan Penuntut Umum harus melakukan konsultasi secara rutin atas kasus yang ditangani, sehingga
dapat mencegah dan menutup kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan yang ada terhadap pengembalian berkas perkara.
DAFTAR PUSTAKA Amiruddin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Andi Hamzah. Edisi revisi 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Djoko Prakoso, dkk.1987. Mengenai Lembaga Kejaksaan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Hamrat
Hamit, dkk. 1997. Pembahasan Penyidikan. Jakarta: Sinar Grafika.
Permasalahan
KUHAPdengan
HB. Sutopo. 1990. Metodologi penelitian Hukum Bagian II. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kitab Himpunan Tata Naskah dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik indonesia. Jakarta. 2005. Kitab MAHKEJAPOL I,II dan CIBOGO I,II,III Mahkamah Agung R.I. Jakarta. 1997. Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Moch. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Mandar Maju. Nico Ngani, dkk.1984. Mengenai Hukum Acara Pidana Bagian Umum dan Penyidikan. Yogyakarta: Liberti. Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Tim PPH. 2007. Buku Pedoman Penulisan Hukum Mahasiswa Fakulatas Hukum. Surakarta:UNS Press Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor. 8 Tahun tentang Hukum Acara Indonesia. Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2004 tentang Kepolisian