II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kakao Kakao termasuk tanaman perkebunan berumur tahunan. Tanaman tahunan ini dapat mulai berproduksi pada umur 3-4 tahun . Tanaman kakao menghasilkan biji yang selanjutnya bisa diproses menjadi bubuk cokelat. Sistematika tanaman kakao menurut Tjitrosoepomo (1988) adalah sebagai berikut: Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Ordo
: Malvales
Famili
: Sterculiaceae
Genus
: Theobroma
Spesies
: Theobroma cacao L. Kakao merupakan tanaman perkebunan di lahan kering, dan jika
diusahakan secara baik dapat berproduksi tinggi serta menguntungkan secara ekonomis. Sebagai salah satu tanaman yang dimanfaatkan bijinya, maka biji kakao dapat dipergunakan untuk bahan pembuat minuman, campuran gula-gula dan beberapa jenis makanan lainnya bahkan karena kandungan lemaknya tinggi biji kakao dapat dibuat cacao butter/mentega kakao, sabun, parfum dan obatobatan (Susanto, 1994). Susanto (1994) mengatakan bahwa sesungguhnya terdapat banyak jenis kakao, namun jenis yang paling banyak ditanam untuk produksi cokelat secara besar-besaran hanya tiga jenis, yaitu : 1. Jenis Criollo, yang terdiri dari Criollo Amerika Tengah dan
Criollo
Amerika Selatan. Jenis ini menghasilkan biji kakao yang mutunya sangat
4
5
baik dan dikenal sebagai kakao mulia. Jenis kakao ini banyak dibutuhkan oleh pabrik-pabrik sebagai bahan pembuatan produk-produk cokelat yang bermutu tinggi. Saat ini kakao mulia banyak dibudidayakan karena produksinya yang tinggi serta cepat mengalami fase generatif. 2. Jenis Forastero, banyak diusahakan di berbagai negara dan menghasilkan cokelat yang mutunya sedang atau bulk cacao, atau dikenal juga sebagai ordinary cacao. Jenis Forastero sering juga disebut sebagai kakao lindak. Kakao lindak memiliki pertumbuhan vegetatif yang lebih baik, relatif lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit dibandingkan dengan kakao mulia. Endospermanya berwarna ungu tua dan berbentuk bulat sampai gepeng, proses fermentasinya lebih lama dan rasanya lebih pahit daripada kakao mulia. 3. Jenis Trinitario, merupakan campuran atau hibrida dari jenis Criollo dan Forastero secara alami, sehingga kakao ini sangat heterogen. Kakao jenis Trinitario menghasilkan biji yang termasuk fine flavor cacao dan ada yang termasuk bulk cacao. Jenis Trinitario antara lain hybride Djati Runggo (DR) dan Uppertimazone Hybride (kakao lindak). Kakao ini memiliki keunggulan, yaitu pertumbuhannya cepat, berbuah setelah berumur dua tahun, masa panen sepanjang tahun, tahan terhadap penyakit VSD (Vascular Streak Dieback) serta aspek agronominya mudah. Tanaman kakao di Indonesia dapat tumbuh pada ketinggian kurang dari 800 m di bawah permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1100-3000 mm per tahun. Suhu ideal bagi tanaman kakao untuk tumbuh adalah maksimum 30-32oC dan minimum 18-21oC. tanaman kakao dapat tumbuh pada tanah yang memiliki
6
bahan organik tanah yang tinggi, keasaman pH 6-7,5 tidak lebih tinggi dari 8 dan tidak lebih rendah dari 6, kebutuhan air dan hara yang cukup serta membutuhkan naungan dalam pertumbuhannya (Anon., 2011). 2.2 Biji Kakao Pada dasarnya buah kakao terdiri atas 4 bagian, yakni : kulit, placenta, pulp dan biji. Buah kakao masak berisi 30-40 biji yang diselubungi oleh pulp dan placenta. Pulp merupakan jaringan halus berlendir yang membungkus biji kakao. Pulp tersusun dari 80-90 % air dan 8-14 % gula, sangat baik untuk pertumbuhan mikroba yang berperan dalam proses fermentasi (Bintoro, 1977). Kadar air merupakan sifat fisik yang sangat penting pada biji kakao. Selain sangat berpengaruh terhadap rendemen hasil (yield), kadar air berpengaruh pada daya tahan biji kakao terhadap kerusakan. Biji kakao yang mempunyai kadar air tinggi sangat rentan terhadap serangan jamur dan serangga sehingga cenderung menimbulkan kerusakan cita rasa dan aroma dasar yang tidak dapat diperbaiki pada proses berikutnya. Standar kadar air biji kakao mutu ekspor adalah 6-7 %. Jika lebih tinggi dari nilai tersebut, biji kakao tidak aman disimpan dalam waktu lama, sedangkan jika kadar air terlalu rendah, biji kakao cenderung menjadi rapuh (Anon.,2011). Perbedaan biji kakao dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perbedaan biji kakao (Anon., 2011).
7
Ukuran biji kakao merupakan karakteristik fisik penentuan rendemen hasil lemak, dimana semakin besar ukuran biji kakao, maka semakin tinggi rendemen lemak dari dalam biji. Ukuran biji kakao dinyatakan dalam jumlah biji (beans account) per 100 gram contoh uji yang diambil secara acak pada kadar air 6-7 %. Ukuran biji rata – rata yang masuk kualitas ekspor adalah antara 1,0-1,2 gram atau setara dengan 85-100 biji per 100 gram (Anon., 2011). Biji kakao dapat diolah menjadi berbagai macam produk. Produk utama dari biji kakao adalah bubuk dan lemak kakao yang kemudian dapat diolah menjadi beberapa produk baru yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini dikarenakan biji kakao mengandung cita rasa dan warna khas yang sangat digemari dan banyak diminati. Produk olahan kakao yang bermutu baik sangat dipengaruhi oleh mutu dari biji kakao yang digunakan. Bila biji kakao yang digunakan bermutu rendah, maka hasil yang diperoleh akan rendah pula (Wahyudi dkk, 2008). Pulp biji kakao, yaitu selaput berlendir berwarna putih yang membungkus biji kakao, mengandung 82-87% air, 10-13% gula, 2-3% pentosan, 1-2% asam sitrat dan 8-10% garam-garam (Lopez, 1986). Pembentukan senyawa gula pada pulp mencapai maksimal pada buah masak optimal (±170 hari), begitu pula dengan peningkatan kandungan asam-asam organik. Senyawa gula yang terbentuk pada buah muda masih sangat rendah sehingga mungkin akan berpengaruh pada kondisi pulp untuk difermentasi (Haryadi dan Supriyanto, 1991). Selama pemasakan buah, pada keping biji terjadi peningkatan kandungan tannin dan karbohidrat serta terjadi koversi asam-asam lemak bebas menjadi trigliserida (Lopez, 1986). Haryadi dan Supriyanto (1991) menambahkan bahwa
8
lemak netral akan terbentuk pada tahap akhir pemasakan. Berikut ini komposisi biji kakao segar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Biji Kakao Segar Komponen Jumlah (%) Air 6,43 Lemak 44,44 Theobromin 1,49 Karbohidrat 28,52 Protein 11,83 Abu 4,00 Lain-lain 3,29 Sumber : Anon., (1994) Biji kakao pada dasarnya mengandung asam-asam volatil dan non volatil. Diantara jenis asam yang paling dominan adalah asam asetat, asam sitrat dan asam laktat. Asam sitrat berkisar antara 1-2 % dan separuhnya hilang bersama aliran cairan fermentasi dan dimetabolisasi, sehingga yang tertinggal pada biji kering adalah 0,5 %. Asam asetat dan asam laktat terbentuk selama fermentasi, dan masuk ke dalam kotiledon. Jumlah asam laktat dan asam asetat pada biji kering bervariasi menurut metode fermentasi, pengeringan, varietas dan asal daerahnya. Asam asetat biasanya dapat terbentuk pada biji kering, mudah menguap sehingga dapat dihilangkan selama pembuatan cokelat. Asam laktat tidak dapat terbentuk pada biji kering, dan sangat sulit dihilangkan selama pembuatan makanan cokelat dan akan memberikan rasa asam pada produk makanan cokelat akhir (Anon., 2011). Pembentukan asam amino dan peptida adalah hasil dari proteolisis protein keping biji kakao. Proteolisis terjadi maksimum pada pH 3,5-4,5 karena eksopeptidase biji kakao bekerja optimal pada pH tersebut dan endopeptidase bekerja pada pH 3,5-5,5. Jika pH keping biji kakao turun sampai di bawah 4,5, eksopeptidase maupun endopeptidase bekerja secara optimum, sehingga kadar
9
asam amino dan peptida pada keping biji menjadi terlalu tinggi. Jika pH keping biji di atas 4,5 maka hanya endopeptidase yang bekerja secara optimum sehingga kadar asam amino dan peptida di dalam keping biji tidak terlalu tinggi (Anon., 2011).
2.3 Kapang Kapang (mould/filamentous fungi) merupakan mikroba anggota kingdom fungi yang membentuk hifa (Charlie & Watkinson, 1994). Kapang bukan merupakan kelompok taksonomi yang resmi, sehingga anggota-anggota dari kapang tersebar ke dalam filum Glomeromycota, Ascomycota, dan Basidiomycota (Hibbett dkk, 2007). Kapang merupakan jenis jamur multiseluler yang bersifat aktif karena merupakan organisme saprofit dan mampu memecah bahan-bahan organik kompleks menjadi bahan yang lebih sederhana. Di bawah mikroskop dapat dilihat bahwa kapang terdiri dari benang yang disebut hifa. Kumpulan hifa ini dikenal sebagai miselium. Kapang melakukan reproduksi dan penyebaran menggunakan spora. Spora kapang terdiri dari dua jenis, yaitu spora seksual dan spora aseksual. Menurut Anon. (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi sifat fisiologis kapang antara lain : 1) Kebutuhan Air Umumnya kapang membutuhkan aW minimal untuk pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan khamir dan bakteri. Kadar air bahan pangan kurang dari 14-15 %, misalnya pada beras dan serealia, dapat menghambat atau memperlambat pertumbuhan kebanyakan khamir. 2) Suhu Pertumbuhan
10
Kebanyakan kapang bersifat mesofilik, yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah sekitar 25-30o C tetapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 35-37o C atau lebih tinggi. Beberapa kapang bersifat psikofilik dan beberapa bersifat termofilik. 3) Kebutuhan Oksigen dan pH Semua kapang bersifat aerobik, yaitu membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Kebanyakan kapang dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas, yaitu 2-8,5 tetapi biasanya pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah. 4) Makanan Pada umumnya kapang dapat menggunakan berbagai komponen makanan, dari yang sederhana hingga kompleks. Kebanyakan kapang memproduksi enzim hidrolitik, misal amylase, pektinase, proteinase, dan lipase. Oleh karena itu, kapang dapat tumbuh pada makanan – makanan yang mengandung pati, pektin, protein atau lipid. 5) Komponen Penghambat Beberapa
kapang
mengeluarkan
komponen
yang
dapat
menghambat organisme lainnya. Komponen itu disebut antibiotik, misalnya penisilin yang diproduksi oleh Penicillium chrysogenum dan clavasin yang diproduksi oleh Aspergillus clavatus. Pertumbuhan kapang biasanya berjalan lambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan khamir dan bakteri. Oleh karena itu, jika kondisi pertumbuhan memungkinkan semua mikroba untuk tumbuh, kapang biasanya kalah dalam kompetisi
11
dengan khamir dan bakteri. Tetapi sekali kapang dapat mulai tumbuh, pertumbuhannya yang ditandai dengan pembentukan miselium dapat berlangsung dengan cepat. Menurut Timotius (1982), pertumbuhan kapang pada umumnya dan secara sederhana dapat dibagi dalam empat fase, yaitu : fase permulaan (fase lag), fase logaritma (fase eksponensial), fase maksimum, dan fase kematian. Fase permulaan Pada fase ini kecepatan pertumbuhannya nol atau lebih dari nol, tetapi belum mencapai maksimum. Kecepatan pertumbuhan dimulai dari nol kemudian meningkat mendekati maksimum. Fase ini merupakan gejala adaptasi terhadap lingkungan yang baru.dalam hal ini sel memerlukan bahan-bahan penting, enzimenzim yang perlu disintesis kembali. Fase ini diperlukan sebab inokulum berasal dari fase kematian, atau dari medium yang berbeda macamnya. Seringkali fase ini tidak dapat diketemukan, misalnya jika inokulum berasal dari biakan yang aktif membelah (fase logaritma) sehingga dapat langsung masuk ke fase logaritma Fase Logaritma Fase ini dimulai jika kecepatan pertumbuhan mencapai maksimum, dan selama fase ini kecepatan pertumbuhannya selalu maksimum. Massa dan jumlah sel bertambah secara eksponensial dengan waktu generasinya sebagai konstanta. Selama fase ini biakan dalam keadaan paling homogeny dengan sel-sel yang semuanya tumbuh pada kevepatan dan interval yang sama. Pertumbuhan sel pada fase logaritma seringkali disebut pertumbuhan eksponensial. Fase Tetap Maksimum
12
Setelah fase logaritma, kecepatan pertumbuhan berangsur-angsur turun dan akhirnya mencapai nol. Fase antara kecepatan pertumbuhan yang berangsurangsur menurun sebelum mencapai nol sering dipisahkan dan dinamakan fase pengurangan pertumbuhan. Adanya fase tetap maksimum disebabkan antara lain karena kekurangan nutrient, akumulasi hasil-hasil metabolisme akhir, dan lain-lain. Jika disebabkan karena kekurangan nutrien, maka jumlah sel-sel yang hidup dan/atau mati atau jumlah total sel(hidup dan mati) tetap. Jika dikarenakan akumulasi hasil-hasil metabolisme yang menghambat pertumbuhan, maka jumlah total mikrobanya akan makin bertambah banyak.
2.4 Enzim Enzim merupakan katalis biologis yang bekerja sebagai senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi dalam suatu reaksi kimia. Enzim merupakan unit fungsional metabolisme sel yang memiliki cara kerja dengan urutan yang teratur, mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang menguraikan molekul nutrient, reaksi yang menyimpan dan mengubah energi kimiawi, dan mampu membuat makromolekul sel dari prekursor sederhana. Molekul awal pada reaksi yang dikatalisis oleh enzim disebut sebagai substrat, dan enzim mengubah substrat tersebut menjadi produk berupa molekul-molekul yang berbeda (Anon., 2010). Semua enzim merupakan protein dan biasanya dilengkapi oleh komponen lain yang dibutuhkan enzim untuk melakukan fungsinya, yang disebut ko-faktor. Ko-faktor enzim dapat berupa ion logam dan komponen yang disebut dengan ko-
13
enzim. Ko-enzim merupakan komponen pendukung enzim yang berupa gugus organik, sedangkan ion logam yang mendukung enzim dapat berupa Cu2+, Mg2+, Fe2+, dan lain-lain. Selain ko-enzim dan ion logam, terdapat pula ko-faktor yang terikat dalam enzim dan susah dipisahkan tanpa merusak aktivitas enzim yang disebut dengan gugus prostetik. (Anon., 2010). Berdasarkan ada tidaknya komponen pendukung struktur enzim, enzim dibedakan menjadi apoenzim (berupa protein) dan holoenzim. Apoenzim merupakan enzim yang belum memiliki ko-faktor atau kehilangan kofaktor, sehingga bisa disebut dengan protein inaktif. Holoenzim merupakan enzim yang terdiri atas apoenzim dan ko-faktornya.. Beberapa sifat yang dimiliki enzim dalam mengkatalisis reaksi adalah sebagai berikut : 1. Bekerja secara spesifik 2. Berfungsi sebagai katalis, yaitu mempercepat terjadinya reaksi kimia tanpa mengubah kesetimbangan reaksi 3. Hanya diperlukan dalam jumlah sedikit 4. Dapat bekerja secara bolak – balik 5. Kerja enzim dipengaruhi oleh lingkungan, seperti suhu, pH, konsentrasi substrat, dan lain – lain. Klasifikasi dan penamaan enzim berdasarkan dengan fungsi dari enzim tersebut, yaitu sesuai dengan jenis reaksi yang dikatalisis. Berdasarkan tipe reaksi yang dikatalisis, enzim dibagi menjadi 6 kelas enzim, antara lain dapat dilihat pada Tabel 2.
14
Kelas Enzim Oksidoreduktase Transferase Hidrolase Liase
Isomerase Ligase
Tabel 2. Klasifikasi Enzim Tipe Reaksi Reaksi redoks (transfer elektron atau proton) Transfer atom atau gugus dari satu substrat ke lainnya (di luar reaksi kelas lainnya) Reaksi hidrolisis Penambahan gugus fungsi pada ikatan rangkap (adisi)atau pemutusan ikatan rangka pelepasan gugus fungsi Reaksi isomerisasi Pembentukan ikatan C-C, C-S, C-O, dan C-N yang disertai dengan pemutusan isofosfat ATP
Sumber: Hudiyono (2004) Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim a. Suhu Umumnya semakin tinggi suhu, semakin naik laju reaksi kimia, baik yang tidak dikatalisis maupun yang dikatalisis oleh enzim. Semakin tinggi suhu, proses inaktif enzim juga meningkat. Enzim tersusun dari protein, maka enzim sangat peka terhadap suhu. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan denaturasi protein (rusak). Suhu yang terlalu rendah dapat menghambat reaksi. Suhu optimum enzim pada umumnya adalah 30-40o C (Anon., 2009). Kebanyakan enzim tidak menunjukkan reaksi (tidak aktif) jika suhu turun sampai 0oC, namun enzim tidak rusak, bila suhu normal maka enzim akan aktif kembali. Enzim tahan pada suhu rendah, namun akan mengalami denaturasi (rusak) diatas suhu 50o C (Mulia, 2007). b. Perubahan pH Umumnya enzim bersifat amfolitik, yang
berarti enzim
mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun basa, terutama pada gugus residu terminal karboksil dan terminal aminonya. Aktivitas
15
enzim sangat dipengaruhi oleh pH. Perubahan pH dapat mempengaruhi perubahan asam amino pada sisi aktif enzim sehingga menghalangi sisi aktif berkombinasi dengan substratnya. Perubahan aktivitas enzim akibat perubahan pH lingkungannya disebabkan terjadinya perubahan ionisasi enzim, substrat, atau kompleks enzim substrat. Enzim menunjukkan aktivitas maksimum pada kisaran pH yang disebut pH optimum, umumnya pH 4,5 sampai 8,0. pH optimum yang diperlukan berbeda-beda tergantung jenis enzimnya (Anon., 2009). Sebagai contoh enzim pepsin, karena bekerja di lambung yang bersuasana asam, memiliki pH optimal 2. Contoh lain, enzim ptyalin, karena bekerja di mulut yang bersuasana basa, memiliki pH optimal 7,5-8 dan enzim lipase diproduksi di pankreas terbentuk di mulut dan perut memiliki pH optimum 7,5-8 (Mulia, 2007). c. Konsentrasi Enzim dan Substrat Perbandingan jumlah antara enzim dan substrat harus sesuai agar reaksi dapat berjalan dengan optimum (Anon., 2009). Menurut Mulia (2007), semakin tinggi konsentrasi enzim akan semakin mempercepat terjadinya reaksi, dan konsentrasi enzim berbanding lurus dengan kecepatan reaksi. Jika sudah mencapai titik jenuhnya, maka konsentrasi substrat berbanding terbalik dengan kecepatan reaksi. d. Kadar Air dan aW Kadar air dari bahan sangat mempengaruhi laju reaksi enzimatik. Jika kadar air bebas rendah, terjadi halangan sehingga difusi enzim atau substrat terhambat. Akibatnya, hidrolisis hanya terjadi pada bagian substrat yang langsung berhubungan dengan enzim.
16
e. Aktivator dan Inhibitor Aktivator adalah zat yang dapat mengaktifkan dan menggiatkan kerja enzim, contohnya ion klorida, yang dapat mengaktifkan enzim amilase. Inhibitor adalah zat yang dapat menghambat kerja enzim. Inhibitor enzim berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu inhibitor irreversibel dan inhibitor reversibel. Inhibitor irreversibel merupakan inhibitor yang terikat secara kuat dan tidak bisa dipisahkan dari enzim tanpa merusak atau menurunkan aktivitas enzim, sedangkan inhibitor reversibel merupakan inhibitor yang terikat secara reversibel dan dapat dilepas dengan cara dialisis atau dengan menambah komponen lain. Menurut Mulia (2007), berdasarkan cara kerjanya, inhibitor terbagi dua yaitu inhibitor kompetitif dan inhibitor nonkompetitif. -
Inhibitor kompetitif adalah inhibitor yang bersaing aktif dengan substrat untuk mendapatkan sisi aktif enzim, contohnya sianida bersaing dengan oksigen dalam pengikatan Hb.
-
Inhibitor nonkompetitif adalah inhibitor yang melekat pada sisi lain selain sisi aktif enzim, yang lama kelamaan dapat mengubah sisi aktif enzim.
Mekanisme Kerja Enzim Hipotesis yang dapat menjelaskan tentang mekanisme enzim yang bekerja secara spesifik, yaitu teori lock and key dan induced fit. Teori lock and key dikemukakan oleh ilmuwan Jerman bernama Emil Fischer. Dalam teori ini, terjadinya reaksi antara substrat dengan enzim akibat adanya kesesuaian bentuk
17
ruang antara substrat dengan sisi aktif (active site) dari enzim sehingga sisi aktif enzim cenderung kaku. Substrat yang berperan sebagai kunci masuk ke dalam sisi aktif yang berperan sebagai gembok sehingga terjadi kompleks enim – substrat. Saat ikatan kompleks enzim – substrat terputus, produk hasil reaksi akan dilepas dan enzim akan kembali pada konfigurasi semula (Anon., 2010). Model lock and key tidak dapat menjelaskan stabilisasi pada keadaan transisi yang enzim dapatkan. Koshland menyempurnakan model yang dibuat oleh Fischer pada tahun 1958. Dalam teori induced fit, sisi aktif enzim lebih fleksibel dalam menyesuaikan struktur substrat. Ikatan antara enzim dan substrat dapat berubah sedemikian rupa menyesuaikan dengan substrat sehingga keduanya merupakan struktur yang komplemen atau saling melengkapi. Teori mekanisme kerja enzim dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Teori Mekanisme Kerja Enzim (Anon., 2010) Sifat yang sangat khas dari enzim adalah selektivitasnya yang tinggi. Akan tetapi, aktivitas enzim dalam mengkatalisis reaksi dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah suhu, pH (tingkat keasaman), konsentrasi enzim dan substrat, serta aktivator dan inhibitor.
18
Setiap enzim mempunyai suhu dan pH optimal yang berbeda, sesuai dengan tempat kerjanya dan berhubungan dengan gugus fungsionalnya. Hal ini disebabkan enzim merupakan suatu protein yang dapat mengalami perubahan bentuk jika terjadi perunahan suhu dan pH pada sistem reaksi. Enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau strukturnya akan mengalami kerusakan apabila suhu dan pH tidak sesuai. Kerusakan yang terjadi pada struktur enzim akan mengakibatkan enzim kehilangan aktivitas katalitiknya. Semakin tinggi konsentrasi substrat akan mempercepat terjadinya reaksi. Konsentrasi substrat berbanding lurus dengan kecepatan reaksi. Jika sudah mencapai titik jenuhnya, maka konsentrasi substrat berbanding terbalik dengan kecepatan reaksi. 2.5 Enzim Lipase Enzim
lipase
disebut
juga
triasilgliserol
hidrolase
(E.C.3.1.1.3),
merupakan enzim yang dapat menjadi biokatalis pada reaksi hidrolisis triacilgliserol menjadi gliserol dan asam lemak. Enzim lipase cenderung bersifat polar, sedangkan subtratnya , triasilgliserol, berupa senyawa nonpolar sehingga enzim lipase bekerja pada bagian antar muka (interface) fasa air dan fasa minyak (Yapasan, 2008). Enzim lipase membutuhkan substrat khusus. Kekhususan ini menjadi faktor pertimbangan utama dalam analisa dan aplikasinya. Berdasarkan jenis substrat, enzim lipase digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu kekhususan pada asam lemak, posisi, alkohol, asigliserol, stereo dan kiral. Aplikasi enzim lipase untuk hidrolisis, interesterifikasi dan esterifikasi telah menjadi objek penelitian, dengan perhatian utama pada aplikasi minyak dan lemak. Enzim lipase
19
dapat digunakan dengan baik sebagai biokatalis dalam proses biologis (Dosanjh dan Kaur,2002). Enzim lipase dengan kekhususan asam lemak akan terpengaruh aktifitasnya oleh panjang rantai karbon dan jumlah ikatan rangkap dalam substrat. Enzim lipase posisi mempunyai kekhususan aktivitas pada posisi 1 dan 3 asilgliserol. Enzim lipase alkohol merupakan jenis yang dapat bekerja pada lingkungan dengan kandungan solven organic seperti alcohol atau senyawa fungsional yang lain. Enzim lipase asilgliserol mempunyai aktivitas berbeda jika subtrak berbeda (triasigliserol, diasilgliserol atau monoasilgliserol). Enzim lipase stero merupakan enzim dengan kemampuan membedakan posisi Sn-1 dan Sn-3 pada trisilgliserol. Jenis yang terakhir ini sangat penting untuk membuat isomer kiral murni yang dipergunakan sebagai intermediet obat (Long, 2009). Secara umum, struktur enzim lipase merupakan lipatan rantai polipeptida yang melindungi sisi aktif dengan terowongan hidrofobik yang dapat mengkomodasi rantai asam lemak sehingga memungkinkan pergerakan substrat untuk dapat berinteraksi dengan sisi aktif. Sisi aktif biasanya dicirikan sebagai senyawa triad yang terdiri dari serin, histidin, dan aspartat (glutamat) (Akoh dan Min, 1998). Enzim lipase mampu mengkatalisis berbagai reaksi diantaranya reaksi hidrolisis, esterifikasi, transesterifikasi (asidolisis, interesterifikasi, alkoholisis), dan aminolisis (Öztürk, 2001). Enzim lipase akan bertindak sebagai enzim yang mengkatalisis reaksi hidrolisis apabila berada dalam medium dengan kandungan air yang tinggi atau dengan kata lain medium yang digunakan adalah air. Namun, jika kondisi pelarut organik dan kandungan air sedikit, enzim lipase cenderung
20
bekerja dalam reaksi esterifikasi, transesterifikasi (asidolisis, interesterifikasi, alkoholisis) daripada reaksi hidrolisis (Adamopoulus, 2006). Reaksi yang dapat dikatalisis oleh enzim lipase adalah sebagai berikut.
Hidrolisis R1COOR2 + H2O → R1COOH + R2OH
Pembentukan Ester R1COOH + R2OH → R1COOR2 + H2O
Pemecahan Asam R1COOR2 + R3COOH → R3COOR2 + R1COOH
Interesterifikasi R1COOR2 + R3COOR4 → R3COOR2 + R1COOR4
Alkoholisis R1COOR2 + R3OH → R1COOR3 + R2OH
Aminolisis R1COOR2 + R3NH2 → R1CONHR3 + R2OH Enzim lipase dapat diperoleh dari mamalia, tumbuhan, dan mikroba.
Enzim lipase pada mamalia terdapat pada sistem pencernaan, air susu, serta beberapa jaringan seperti hati, paru-paru, jantung, dan ginjal, sedangkan enzim lipase yang berasal dari tumbuhan dapat diperoleh dari tanaman seperti jagung, minyak sawit, kentang, kol, dan gandum. Enzim lipase yang berasal dari bakteri, kapang, dan khamir. Contoh mikroba yang menghasilkan enzim lipase antara lain: -
Bakteri : Bacillus pseudomonas, Staphylococcus aureus, Escheria coli, Chromobacterium viscosum, Mycobacterium rubrum.
-
Kapang: Penicillium camberti, Geotrichum candidum, Mucor meihei
21
-
Khamir: Candida antarctica, Candida albicans, Candida rugosa Produksi enzim dari hewan dan tumbuhan memiliki kelemahan sehingga
industri umumnya menggunakan pembiakan mikroba untuk memperoleh enzim lipase. (Kulkarni, 2002; Yusnizar, 2001)
Aplikasi Enzim Lipase Kemampuan enzim lipase yang dapat dimanfaatkan sebagai katalis dengan reaksi dan substrat yang bermacam-macam, stabilitas tinggi terhadap suhu yang ekstrim, dapat mengkatalisis reaksi pada berbagai jenis pelarut organik sehingga penggunaan enzim lipase saat ini menjadi berkembang dengan pesat. Penggunaan enzim lipase di bidang industri dipandang cukup ekonomis jika dibandingkan dengan proses tradisional, apabila ditinjau dari segi konsumsi energi dan hasil samping reaksi (Kulkarni, 2002). Enzim lipase telah banyak diaplikasikan ke dalam bidang bioteknologi seperti biomedikal, pestisida, pengolahan limbah, industri makanan, biosensor, detergen, industri kulit dan industri oleokimia (memproduksi asam lemak dan turunannya) (Macrae, 1983). Enzim lipase juga digunakan untuk mempercepat degradasi limbah minyak/lemak, dan poliuretan. Enzim lipase merupakan salah satu enzim yang banyak digunakan dalam industri. Penggunaan enzim dalam industri dapat dilihat seperti pada Tabel 3.
22
Tabel 3. Contoh Aplikasi Enzim Lipase pada Berbagai Industri Bidang Industri Kegunaan Produk A. Pangan 1. Industri produk - Hidrolisis lemak susu Berbagai tipe keju susu - Flavorenchancement dalam produksi keju - Mempercepat kematangan keju 2. Industri kue Meningkatkan flavor, mencegah Produk kue stalling 3. Industri Meningkatkan aroma dan Produk alkohol minuman mempercepat fermentasi seperti wine dan sake beralkohol 4. Industri gelatin Hidrolisis lemak dalam proses Gelatin defatting tulang B. Non Pangan 1. Industri - Hidrolisis minyak/lemak Asam lemak bebas, oleokimia - Gliserolisis diasilgliserol, - Alkoholisis monoasilgliserol, dan gliserol 2. Industri deterjen Menghilangkan spot Deterjen minyak/lemak 3. Industri Mengubah lemak Kosmetik secara kosmetik umum 4. Industri kulit Menghilangkan lemak dari kulit Produk-produk kulit 5. Penggunaan Dekomposisi dan pengubahan Pembersih untuk terpadu substansi minyak pipa, penanganan limbah yang penggunaannya dikombinasikan dengan enzim-enzim lain. Sumber: Kotting and Eibl (1994)
Banyak enzim lipase yang bersifat spesifik terhadap substrat asam lemak tertentu. Sebagian besar enzim lipase dari sumber miikroba menunjukkan sedikit spesifitas terhadap jenis asam lemak sebagai substrat, tetapi enzim lipase dari Geotrichum candidum memiliki spesifitas terhadap jenis asam lemak rantai panjang yang mengandung ikatan rangkap cis-9. Enzim lipase Candida rugosa
23
spesifik untuk menghidrolisis asam lemak gliserida obligasi yang dibentuk oleh cis-9 asam lemak tak jenuh (oleat, linoleat, dan asam linolenat). Spesifitas enzim lipase terhadap substrat berdasarkan trigliserida dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Spesifitas substrat berdasarkan trigliserida Sumber Trigliserida C.viscosum C4-FA Bacillus spp. C8-FA G.candidum ∆9-C18-FA C8-FA C16-FA H.lanuginosa C12-FA P.nitens C8-FA S.lipolytica ∆9-C18-FA C.cylindracea ∆9-C18-FA P.cyclopium ∆9-C18-FA C16-FA Sumber: Fadõloğlu (1996)