II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1.
Limbah Peternakan Sapi Potong Limbah sapi potong adalah limbah peternakan yang merupakan buangan
dari usaha peternakan sapi potong yang berbentuk padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urine. Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi tergantung pada keadaan tingkat produksinya, macam, jumlah makanan yang dimakannya serta individu ternak sendiri (Abdulgani, 1988). Berkembangnya usaha peternakan sapi potong mengakibatkan banyaknya limbah yang dihasilkan yang secara umum memiliki potensi yang bersifat positif atau negatif. Salah satu sisi negatif dari limbah ternak adalah menimbulkan pencemaran yaitu meningkatkan kadar nitrogen yang menyebabkan polutan perairan (Farida, 2000). Untuk itu di perlukan penanganan untuk mengatasi pencemaran lingkungan akibat limbah feses sapi potong salah satunya adalah dengan mengubahnya menjadi biogas (Sugi Rahayu, 2009). 2.2.
Biogas dari Limbah Peternakan Sapi Potong Biogas merupakan gas campuran metana, karbondioksida dan gas lainnya
yang didapat dari hasil penguaian bahan organik (salah satu contohnya feses sapi potong) oleh bakteri metanogenik. Untuk menghasilkan biogas, bahan oganik yang dibutihkan ditampung dalam biodigester. Proses penguraian bahan organik terjadi secara anaerob (tanpa oksigen). Komposisi biogas yang dihasilkan dari
8
9
fermentasi tersebut terbesar adalah CH4 sekitar 50 – 70% serta CO2 sekitar 27 – 45% dan oksigen 0,1 – 0,5% (Nurhasanah dkk, 2008). Menurut Haryati (2006) proses pencernaan anaerobic merupakan dasar dari reactor biogas yaitu proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, feses manusia, dan sampah organik rumah tangga. Teknologi biogas pada dasarnya memanfaatkan proses pencernaan yang dilakukan oleh bakteri metanogenik yang produknya berupa gas metana. Gas metana hasil pencernaan bakteri tersebut dapat mencapai 60% dari keseluruhan gas hasil reactor biogas sedangkan sisanya di dominasi karbondioksida. Secara umum menurut Fontenot, dkk (1983) proses fermentasi limbah ternak di dalam tangki pencerna dapat berlangsung selama 60 – 90 hari, setelah 10 hari fermentasi sudah terbentuk kurang lebih 0,1 – 0,2 m3/kg dari berat bahan kering. Peningkatan penambahan waktu fermentasi dari 10 higga 30 hari dapat meningkatkan produksi biogas sebesar 50% (Hadi, 1980). Bakteri metanogenik secara alami dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti air bersih, endapan air laut, kotoran sapi, kambing, lumpur (sludge) kotoran anaerob ataupun TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Secara garis besar proses pembentukan biogas dibagi dalam tiga tahap yaitu: hidrolisis, asidifkasi, (pengasaman) dan pembentukan gas metana (Sutarno dkk, 2007).
10
2.2.1. Tahap Hidrolisis Pada tahap hidrolisis bahan organik di enzimatik secara eksternal oleh enzim ekstraseluler (selulosa, amylase, protease dan lipase) mikroorganisme. Bakteri memutuskan rantai panjang karbohidrat komplek, protein dan lipida menjadi senyawa rantai pendek. Sebagai contoh polisakarida diubah menjadi monosakarida sedangkan protein diubah menjadi peptide dan asam amino (Gijzen, 1987). 2.2.2. Tahap Asidifaksi (Pengasaman) Pada tahap ini bakteri menghasilkan asam, mengubah senyawa rantai pendek hasil proses pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hydrogen dan karbondioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerobic yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam. Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan oksigen dan karbon yang diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan. Pembentukan asam pada kondisi anaerobik tersebut penting untuk pembentukan gas metana oleh mikrooganisme pada proses selanjutnya. 2.2.3. Tahap Pembentukan Gas Metana Pada tahap ini bakteri metanogenik mendekomposisikan senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Bakteri penghasil asam dan gas metana bekerjasama secara simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan atmosfir yang ideal untuk bakteri penghasil metana. Sedangkan bakteri pembentuk gas metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Tanpa adanya proses simbiotik tersebut, akan
11
menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam. Metanogenesis terjadi pada digester tahap II (Demirel dan Yenigun, 2002). 2.3.
Sludge Hasil Pembuatan Biogas Hasil sludge dari pembuatan biogas yang akan digunakan sebagai pupuk
sebaiknya dibuat menjadi kompos. Kompos pada minggu ke-1 dan ke-2 akan mulai bekerja sehingga suhu mencapai 60 – 70 ºC (pada suhu sekitar 65 ºC selama 3 – 4 hari, bakteri patogen seperti protozoa akan mati) (Jonsson, H, 2004). Jikasulit mencaoai suhu tinggi pada penyimpanan/penimbunan, direkomendasikan waktu simpan yang lebih lama. Penyimpanan selama satu setengah sampai dua tahun dengan suhu 2 – 20 ºC akan menghilangkan bakteri penyebab penyakit dan mengurangi virus serta protozoa parasite sampai di bawah tingkat berisiko (Kuniyal dkk, 2004). 2.4.
Mikroorganisme yang terlibat dalam pembentukan Biogas Proses pembentukan gas metana secara anaerob melibatkan interaksi
komplek dari sejumlah bakteri yang berbeda, protozoa maupun jamur. Beberapa bakteri yang terlibat adalah Bacteriodes, Clostridium butyrinum, Escherichia coli dan beberapa bakteri usus lainnya, Methanobacterium dan Methanobacillus (Djumali dan Ani, 1994). Dua bakteri terakhir merupakan bakteri utama penghasil metana dan hidup secara anaerob. Proses pembuatan metana ini terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu: 1. Hidrolisis secara enzimatik, bahan-bahan organic tak larut menjadi bahanbahan organic dapat larut. Enzim utama yang terlibat adalah selulase yang
12
menguraikan selulosa. Bakteri yang berperan adalah Steptococci, Bacteriodes dan beberapa jenis Enterobactericeae 2. Perubahan bahan-bahan organic dapat larut menjadi asam organic. Pembentukan asam organic ini terjadi dengan bantuan bakteri non metanogenik, Desulfovibrio, protozoa dan jamur. 3. Perubahan asam organic menjadi gas metana dan karbondioksida. Proses perubahan ini dapat terjadi karena adanya bantuan bakteri metanogenik (Methanobacterium dan Methanobacillus). 2.5.
Protozoa Protozoa organisme parasite dipelajari dalam parasitology, yaitu ilmu
tentang hubungan parasite dan hospesnya juga tentang organisme yanghidup bersama. Parasitisme didefinisikan sebagai hubungan yang erat antara dua organisme, umumnya organisme parasite berukuran lebih kecil dari organisme inang dan metabilismenya tergantung kepada hospes. Parasite yang hidup di dalam tubuh seperti saluran cerna, hati, paru-paru dan empedu dikenal sebagai endoparasit. Sedangkan yang berada di permukaan tubuh hospes disebut ektoparasit. Organisme yang termasuk endoparasit diantaranya cacing dan protozoa (Cheng, 1973). Klasifikasi protozoa terus berkembang, kesepakatan dari komite Society of Protozoologist (Levine, 1985) yaitu protozoa diklasifikasikan dalam kingdom Protista dengan 5 filum: Filum Sarcomatigophora, Apicomplexa, Microspora, Myxozoa dan Ciliophora. Protozoa merupakan organisme kecil, satu sel dan mempunyai mekanisme biologi dan biokimia yang komplek dalam hidupnya (Krier dan Baker, 1991). Protozoa terdiri dari organela-organela yang
13
merupakan diferensiasi dari satu sel (Levine, 1978). Berbeda dengan bakteri, protozoa memiliki inti yang dibungkus membrane atau eukariotik. Menurut Gandahusada dkk (1998) inti protozoa berfungsi penting untuk mempertahankan hidup dan reproduksi. Inti terdiri dari membrane inti, cairan inti, kariosom dan butir-butir kromatin. Menurut Levine (1978) pergerakkan protozoa yaitu dengan flagella, silia, pseudopodia, membrane undulasi dan lainnya. Silia dapat berbentuk gabungan atau disebut sirus atau berjajar transversal yang dinamakan membranela, yang biasa ditemukan di sekitar mulut dari anggota filum Ciliophora. Terdapat tipe gerak seperti menggelinding, membengkok, menggertak atau meliukkan seluruh tubuh. Gandahusada dkk (1998) menyatakan bahwa alat pergerakkan berfungsi untuk mendapatkan makanan dan bereaksi terhadap rangsangan. Alat pergerakkan tersebut adalah bagian dari ektoplasma yang menonjol atau memanjang. Protozoa bereproduksi dengan cara yang bervariasi (Tampubulon, 2004). Reproduksi protozoa berlangsung secara aseksual dan seksual. Tipe aseksual yaitu pembelahan biner, pembelahan multiple dan pembentukan tunas. Tipe seksual yaitu konjugasi dan syngami. Levine (1978) menyebutkan bahwa terdapat sekitar 64.000 spesies protozoa telah diberi nama. Sekitar 7.000 spesies merupakan parasite pada bermacam-macam hewan. Protozoa parasitic yang ditemukan di saluran cerna hewan ternak antara lain pada sapi (Bos taurus): genus Giardia, Acanthamoeba, Entamoeba, Cryptosporidium, Eimeria, Buetschilia, Buxtonella, Charonina, Dasytricha, Diplodinium,
Diploplastron,
Endoplastron,
Eudiplodinium,
Isotricha,
Metadinium, Ophryoscolex, Ostracodinium dan Polyplastron (Levine, 1985).
14
2.6.
Protozoa Eimeria sp Klasifikasi protozoa Eimeria sp menurut Levine:
Filum
: Apicomplexa
Class
: Sporozoa
Sub-Class
: Coccidia
Ordo
: Eucoceidia
Sub-Ordo
: Eimeriina
Famili
: Eimeriidae
Genus
: Eimeria
Spesies
: E. tenella, E. necatrix, E. maxima, E. brunette, E. acervulina, E. mitis, E. mivati, E. praecox dan E. hagani.
2.7.
Siklus Hidup Eimeria sp Stadium infektif: ookista masuk ke saluran cerna lalu ookista pecah di
ventrikulus lalu sporokista keluar setelah itu sporokista masuk duodenum, terpengaruh trypsin dan cairan empedu lalu ujungnya sporokista menjadi lunak dan aktif. Sporozoit keluar dan masuk ke epitel usus, sporozoit membulat (tropozoit) dan inti membelah banyak lalu menjadi schizoet yang berisi merozoit setelah itu merozoit pecah menjadi mikrogamon menjadi zygot lalu menjadi ookista kembali dan keluar bersama feses.
15
Siklus hidup Eimeria sp pada umumnya terjadi di dalam tubuh hospes dan sebagian kecil di luar hospesnya dalam bentuk ookista. Periode prepaten yang dibutuhkan tergantung jenisnya. Periode prepaten adalah waktu yang diperlukan saat hospes menelan sporozoit sampai dengan ditemukannya di dalam feses. Seluruh proses sejak tertelannya ookista bersporulasi hingga akhirnya muncul ookista baru dalam feses memerlukan waktu 7 hari. Ookista bersifat tidak infektif ketika keluar bersama feses karena tidak mengandung sporozoit (ookista tidak bersporulasi). Setelah beberapa hari/minggu (tergantung jenisnya) di luar tubuh hospesnya ookista akan berkembang sehingga dihasilkan sporozoit. Bentuk ini adalah ookista yang bersporulasi yang nantinya infektif pada hospes selanjutnya. Reproduksi Eimeria sp bukan tidak terbatas tetapi suatu saat akan berhenti karena jumlah sel hospes terbatas dan adanya faktor imunitas hospes. Ookista ini akan keluar dari tubuh bersama feses dan membentuk sporokista, masing-masing sporokista berisi dua sporozoit. Jika ookista yang telah bersporulasi tersebut tertelan maka terjadi infeksi. Ookista akan mengalami sporulasi dalam waktu 24 – 48 jam dalam suhu kamar sampai terbentuk sporokista. Waktu yang dibutuhkan untuk siklus hidup Eimeria sp sangat bervarasi, berkisar antara 1 – 5 hari. Temperature optimum untuk bersporulasi yaitu antara 29 – 30 C tetapi untuk menginfeksi, kelembaban harus tinggi dan memiliki tekanan oksigen yang cukup (Marquardt dkk, 1960). Ookista akan gagal bersporulasi apabila di inkubasi pada suhu 28 ºC selama 26 minggu (Long, 1973). Eimeria termasuk dalam sub filum Apicomplexa. Seperti kebanyakan Apicomplexa, Eimeria memiliki stadium seksual maupun aseksual pada siklus hidupnya. Ookista merupakan hasil fertilisasi mikrogamet dan ,akrogamet pada stadium seksual. Saat fertilisasi zigot akan membentuk ookista, bentuknya
16
menyerupai telur yang lebar (Tampubulon, 1992). Kadang terdapat suatu tempat terbuka atau lunak yang disebut mikropil (Levine, 1985). Pada genus Eimeria setiap ookista mempunyai 4 sporokista yang mengandung 2 – 4 sporozoit. Ookista verukuran 14 – 31 µm x 9 – 25 µm (Levine, 1985) dengan dinding halus berlapis dua. Dinding sebelah dalam terdiri dari senyawa protein, tannin dan kinin. Lapis luar tersusun dari lapis lemak dan protein (Tampubulon, 1992). Ookista dapat bersporulasi tergantung dari pH, temperature, dan kelembaban. Sporulasi terjadi 1 – 2 hari pada kondisi optimum 25 – 32 ºC dengan pH > 5,9 (Gordon, 1977). Hamper semua anggota sporozoa adalah parasite, sehingga makanan diambil secara langsung dari hospesnya. Memiliki inti dan pada waktu melakukan pembelahan ganda, inti membelah berulang-ulang, setiap inti membentuk pembungkusnya dan akhirnya dihasilkan individu anak yang cukup banyak. Sporozoa tersebut melakukan respirasi dan ekskresi secara difusi (Levine, 1985). Wenyon (1965) mencirikan genus Eimeria dalam bentuk ookista dengan bentuk bulat, ellipsoidal atau seperti ovoid. Ookista matang mengandung 4 sporokista. Menurut Reginsson dan Richter (1997) spesies Eimeria diidentifikasi berdasarkan ukuran ookista, keberadaan mikropil, ukuran sporokista, warna dan tekstur. Koksidiosis atau penyakit akibat infeksi Eimeria merupakan masalah kesehatan yang umum dijumpai pada berbagai macam ternak. Tampubulon (2004) menyebutkan stadium resisten adalah ookista yang keluar bersama feses hewan terinfeksi dan ookista menjadi infektif bila bersporulasi. Sedikitnya terdapat 13 spesies Eimeria yang menyerang sapi. Spesies yang paling pathogen yaitu Eimeria bovis dan Eimeria zuernil (Riberio dkk, 2000). Kondisi ini dikarenakan Eimeria
17
mudah bertransmisi dari hewan ke hewan lainnya dengan rute per oral dari pakan, air dan tanah yang terkontaminasi. Eimeria sp merupakan parasit yang bersifat obligat yang dimana hidupnya mutlak sebagai parasit, jadi untuk kelangsungan hidupnya mutlak memerlukan hospes dan apabila tanpa hospes akan mati (Soulsby, E.J.I, 1982). Siklus hidup dari Eimeria tidak menular secara langsung. Penularan alami koksidiosis hanya terjadi dengan cara menelan ookista hidup yang telah bersporulasi. Hewan yang terinfeksi dapat mengeluarkan ookista bersama feses selama beberapa hari atau minggu. Ookista yang terdapat dalam feses akan menjadi infektif setelah proses sporulasi selama 2 hari. Penularan Eimeria antar kandang/peternakan dapat terjadi melalui pekerja atau peralatan yang berpindahoindah. Ookista juga dapat berpindah melalui debu (Marquardt, 1976). Genus Eimeria umumnya mengalami perkembangan siklus hidup secara lengkap di dalam dan di luar tubuh induk semangnya dan dapat dibagi menjadi siklus aseksual dan seksual. Siklus hidup ini dikenal dengan tiga stadium yaitu stadium skizogoni, gametogoni dan sporogoni. Siklus aseksual merupakan stadium skizogoni, siklus seksual meliputi stadium gametogoni. Sedangkan sporogoni adalah stadium pembentukan spora. Perkembangbiakan atau siklus hidupnya dapat dibagi atas tiga stadium: 1. Schizogoni, terbentuk secara membelah dan terjadi setelah menginfeksi inang 2. Gamogoni/gametogenesis, tahap pembentukan sel-sel gamet terjadi di dalam tubuh inang
18
3. Sporogoni, pembentukan spora di luar inang dan merupakan stadium efektif. Berikut adalah Eimeria yang berada pada sapi: 1. Eimeria alabamensis. Lokasi di usus halus, sekum, kolon sapi. Ditemukan di seluruh dunia. Ookista ovoid 13 – 25 x 11 – 17 µm. Pada kondisi lapangan dianggap tidak pathogen. Waku sporulasi 4 – 8 hari. 2. Eimeria aubumensis. Lokasi sepertiga bagian tengah dan bawah dari usus sapid an kerbau. Ookista ovoid 34 – 46 x 19 – 30 µm. Sporozoit memanjang seperti koma. Waktu sporulasi 2 – 3 hari. 3. Eimeria bovis. Lokasi di usus halus sapid an kerbau, merupakan koksidiosis paling patogen pada sapi. Penyebab diare, disentri, tenesmus dan temperature naik 18 p.i dan bahkan kematian. Mukosa oedem, menebal, rongga berisi darah, mukosa rusak dan terkelupas. Ookista ovoid 23 – 24 x 17 – 23 µm, dinding lapis 2. Waktu sporulasi 2 – 3 hari. Periode prepaten 16 – 21 hari. 4. Eimeria zuenii. Lokasi di usus halus sapid an kerbau di seluruh dunia. Ookista subsferikal (agak bulat) 12 – 29 x 10 – 21 µm. Dinding ookista berlapis satu. Dijumpai di lamina propis ileum bawah, merupakan spesies koksidia sapi paling pathogen. Penyebab diare akut dan berdarah pada anak sapi. Tinja encer dikeluarkan disertai batuk rejan, anemia, lemah, kurus, disertai infeksi sekunder dan pneumonia. Fase akut berlanjut hingga 3 – 4 hari, jika tidak mati dalam 7 – 10 hari akan sembuh sendiri. Penyebab diare menahun, gejala kurus, dehidrasi, lemah, lesu, bulu kasar dan kuping terkulai. Kombinasi antara E. zuenii dan E. bovis sangat sering
19
dan merupakan spesies paling patogen. Biasanya terjadi pada sapi muda umur 3 minggu sampai 6 bulan. Kondisi kandang yang berdesak-desakan akan meningkatkan bahaya penyakit ini (Duncan, LB dan K. W. Prasse, 1977). 2.8.
Batubara Batubara merupakan salah satu energi fosil yang berasal dari material
organik (organoclastic sedimentary rock), dapat dibakar dan memiliki kandungan seperti karbon, hidrogen, dan oksigen. Secara proses, batubara adalah lapisan yang merupakan hasil akumulasi tumbuhan dan material organik pada suatu lingkungan pengendapan tertentu, sehingga menghasilkan peringkat dan tipe tertentu (Haris, 2009).
Batubara dapat terlihat seperti berwarna hitam pekat
maupun kecoklatan, pada umumnya batubara diklasifikasi menjadi empat tipe utama berdasarkan kandungan karbon, yaitu batubara antrasit, bituminus, subbituminus dan lignit, sedangkan gambut tidak diklasifikasikan sebagai batubara, sehingga tidak dimasukan ke dalam tipe batubara (Speight, 1994). Batubara yang pada umumnya digunakan dalam proses gas metana batubara yaitu bituminus dan subbituminus. Bituminus merupakan kelas batubara yang paling sering untuk ditambang, komposisi air sangat kecil yaitu 8-10% dari beratnya, dan kandungan karbonnya sebanyak 45-80% (Tekmira, 2005). Subbituminus memiliki kandungan karbon sebanyak 35-45%, kandungan air tinggi, dan menghasilkan sumber panas yang kurang efisien dibanding bituminus (Tekmira, 2005).
20
2.9.
Gas Metan Batubara GMB merupakan gas metana yang terperangkap pada pori-pori dalam
batubara dan dapat dimanfaatkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 tahun 2009 gas metana batubara atau Coalbed Methane adalah gas bumi (hidrokarbon) dimana gas metana (CH4) merupakan komponen utamanya yang terjadi secara alamiah dalam proses
pembentukan batubara
(coalification) dalam kondisi terperangkap dan terserap atau terabsobsi di dalam batubara atau lapisan batubara. GMB ini merupakan energi terbaru yang sedang dikembangkan oleh pemerintah di seluruh dunia. Menurut Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi tahun 1998 Nomor: 1669K/30/MPE/1998 menjadi awal landasan hukum tentang pelaksanaan pengembangan GMB, kemudian pada tahun 2006 dikeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 33 tentang pengusahaan GMB. GMB terbentuk dan terjebak langsung di source rock, gas metana batubara merupakan gas alam dengan komposisi utama adalah metana. Gas ini terbentuk dengan pembentukan batubara terjebak dan terabsorpsi pada cleats dan matrix batubara (Abdassah, 2011) dan lebih dari 90% kandungan gasnya adalah metana, dan sangat mudah untuk di peroleh dengan menggunakan pipa komersial (Rice dan Levine, 1993). Menurut Suraatmadja (2006) potensi gas metana batubara dapat dilihat dari rank atau tingkat kematangan batubara, kedalaman lapisan batubara, tekanan, temperatur, mineral matter, moisture dan komposisi maceral batubara.
Batubara memiliki porositas untuk mengalirkan gas, yaitu rekahan
batubara, rekahan batubara terbentuk sebagai hasil dehidrasi dan penekanan tektonik yang mengiringi proses maturasi dari barubara (Saghafi, 2001 dan Karimi, 2005).
21
Gas metan (CH4) yang terbentuk karena proses anaerob oleh bakteri anaerob dan metanogenik mengurai bahan organik sehingga terbentuk gas metan yang apabila dibakar dapat menghasilkan energi panas. Kadar metana yang tinggi dalam suatu proses anaerob dapat dijadikan bahan bakar, biogas dapat digunakan kembali apabila mengandung kadar metan minimal 57% yang menghasilkan api biru (Hammond dkk., 1999), sedangkan menurut (Hessami,1996), biogas dapat digunakan kembali jika kandungan metan minimal mencapai 60%, mengeluarkan api biru dan tidak mengeluarkan asap.