8
II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Fermentasi Fermentasi berasal dari kata ferment yang berarti enzim, sehingga
fermentasi dapat diartikan sebagai peristiwa atau proses berdasarkan atas kerja enzim (Said, 1987). Fermentasi adalah suatu proses bioteknologi dengan memanfaatkan mikroba untuk mengawetkan pakan dan tidak mengurangi kandungan zat nutrien pakan dan bahkan dapat meningkatkan kualitas dan daya tahan pakan itu sendiri. Mikroba yang umumnya terlibat dalam fermentasi adalah bakteri, khamir dan kapang. Prinsip dasar fermentasi adalah mengaktifkan kegiatan mikroba tertentu untuk tujuan mengubah sifat bahan agar dapat dihasilkan sesuatu yang bermanfaat. Hasil-hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis substrat, macam mikroba dan kondisi di sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikroba tersebut. (Winarno., dkk 1980). Keuntungan proses fermentasi dengan memanfaatkan jasa mikroba dibandingkan melalui proses kimiawi adalah selain prosesnya sangat spesifik, suhu yang diperlukan relatif rendah dan tidak memerlukan katalisator logam yang mempunyai sifat polutan (Bachruddin, 2014). Menurut Judoamidjojo dkk. (1989) menyatakan bahwa beberapa langkah utama yang diperlukan dalam melakukan suatu proses fermentasi diantaranya adalah : a. Seleksi mikroba atau enzim yang sesuai dengan tujuan. b. Seleksi media sesuai dengan tujuan. c. Sterilisasi semua bagian penting untuk mencegah kontaminasi oleh mikroba yang tidak dikehendaki.
9
2.2
Tipe Fermentasi Menurut Jenis Substrat Fermentasi menurut jenis subtrat atau mediumnya dibedakan atas dua
golongan yaitu fermentasi substrat padat dimana proses fermentasinya menggunakan medium padat tetapi cukup mengandung air, sedangkan fermentasi substrat cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi dalam fase cair (Chalal, 1985). Keuntungan dari fermentasi substrat cair ini adalah komposisi dan konsentrasi inokulum dapat diatur dengan mudah, tidak memerlukan takaran atau jumlah inokulum yang tinggi, serta penanganan suhu dan kelembaban selama proses fermentasi lebih mudah. 2.3
Pengaruh Lama Waktu Fermentasi dalam Proses Fermentasi Pertumbuhan
mikroba
pada
proses
fermentasi
ditandai
dengan
peningkatan jumlah masa sel seiring dengan lamanya waktu yang digunakan sehingga konsentrasi metabolik semakin tinggi sampai akhirnya menjadi terbatas yang kemudian dapat menyebabkan laju pertumbuhan menurun. Lama fermentasi dipengaruhi oleh faktor‐faktor yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap proses fermentasi. Menurut Kunaepah (2008), ada banyak faktor yang mempengaruhi fermentasi antara lain substrat, suhu, pH, oksigen, dan mikroba yang digunakan. Lama fermentasi berkaitan dengan fase pertumbuhan mikroba yang akan terus berubah dari waktu ke waktu selama proses fermentasi berlangsung. Menurut Aisjah (1995) waktu inkubasi yang singkat mengakibatkan terbatasnya kesempatan mikroba untuk terus tumbuh dan berkembang biak sehingga jumlah komponen substrat yang dapat diubah menjadi massa sel juga sedikit. Sebaliknya
10
dengan waktu inkubasi yang lebih lama berarti akan semakin banyak kesempatan mikroba untuk tumbuh dan berkembang biak. 2.4
Mikroba yang digunakan dalam Proses Fermentasi Mikroba dalam fermentasi merupakan faktor utama sehingga harus
memenuhi syarat-syarat tertentu seperti murni, unggul, stabil, dan bukan patogen. Pada kondisi fermentasi yang diberikan, mikroba harus mampu menghasilkan perubahan-perubahan yang dikehendaki secara cepat dan hasil yang besar. Sifat unggul yang ada harus dapat dipertahankan karena berkaitan dengan kondisi proses yang diharapkan. Mikroba harus mempunyai sifat-sifat yang tetap, tidak mengalami perubahan karena mutasi atau lingkungan. Mikroba yang digunakan adalah bukan patogen bagi manusia maupun hewan, kecuali untuk produksi bahan kimia tertentu. 2.4.1
Bakteri Bacillus licheniformis Bacillus licheniformis merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang
dengan panjang antara 1,5 μm sampai 3 μm dan lebar antara 0,6 μm sampai 0,8 μm dan mempunyai ciri-ciri bersifat saprofit dengan suhu tumbuh optimum 4550oC, dan dapat bertahan hidup pada suhu yang lebih tinggi tetapi diatas suhu 65oC tidak terjadi pertumbuhan (William, dkk, 1990).
Bacillus licheniformis
merupakan species bakteri yang mampu menghasilkan protease dalam jumlah yang relatif tinggi. Jenis protease yang dihasilkan oleh bakteri ini adalah enzim ekstraselular yang tergolong proteinase serin karena mengandung serin pada sisi aktifnya. Bacillus licheniformis juga menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler yaitu amilase, amino peptidase, protease, laktamase, endo-N-asetilglukoaminidase dan lipase (Soeka, dkk., 2011).
11
Adapun klasifikasi Bacillus licheniformis menurut Buchanan, dkk (1974) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Procaryotae
Divisio
: Protophyta
Klas
: Schizomycetes
Ordo
: Eubacteriales
Family
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Species
: Bacillus licheniformis
Bakteri Bacillus licheniformis bersifat fakultatif anaerob yang artinya bakteri ini dapat hidup baik pada kondisi terdapat oksigen maupun tidak terdapat oksigen namun pada kondisi anaerob pertumbuhan bakteri lebih tinggi dibandingkan kondisi aerob sehingga produksi asam amino bebaspun lebih banyak diproduksi pada kondisi anaerob (Williams., dkk, 1990). Menurut Helard dan Komala (2005), Bacillus licheniformis tumbuh menyebar dengan pinggiran koloni tidak rata dan berwarna putih buram. 2.4.2
Khamir Saccharomyces cereviseae Saccharomyces cereviseae adalah fungi uniseluler yang juga disebut ragi,
berbentuk bulat atau oval, berukuran 5-20 mikron, bermultifikasi membentuk bud, dan set elah dewasa akan pecah menjadi sel induk (Abdullah, 2010). Strukturnya mempunyai
dinding
polisakarida
tebal
yang
menutup
protoplasma.
Saccharomyces cerevisiae merupakan khamir yang paling popular dalam pengolahan makanan. Khamir ini telah lama digunakan dalam industri wine dan
12
bir. Dalam bidang pangan, khamir digunakan dalam pengembangan adonan roti dan dikenal sebagai ragi roti (Hidayat, 2006). Penampilan makroskopik dari khamir ini mempunyai koloni berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat. Saccharomyces cereviseae tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan aktifitasnya pada suhu 28-35ºC. Khamir ini mempunyai ukuran sel yang lebih besar dan dinding sel yang lebih kuat dari pada bakteri yaitu berkisar 5–10 kali lebih besar dari ukuran bakteri ( Pelczar dan Chan, 2006). Saccharomyces cereviseae bersifat non-patogenik dan non-toksik sehingga banyak digunakan dalam berbagai proses fermentasi seperti pembuatan roti dan alkohol (Buckle dkk., 2007). Khamir mudah
ditumbuhkan
dan
jenis Saccharomyces cerevisiae sangat
membutuhkan
nutrisi
yang
sederhana,
laju
pertumbuhannya sangat cepat dan stabil, dan aman digunakan sebagai food grade organism. Saccharomyces cereviseae dapat berkembang biak dalam gula sederhana seperti glukosa, maupun gula kompleks dan dapat menghasilkan enzim ekstraseluler.
Enzim
yang
dihasilkan
diantaranya
amilase,
glukosidase,
glukoamilase, kitinase, fosfolipase, katalase, invertase, protease (Lampen, 1968; Ahmad, 2007). Taksonomi Saccharomyces cerevisiae menurut Sanger (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Eukaryota
Phylum
: Fungi
Subphylum
: Ascomycota
Class
: Saccharomycetes
Ordo
: Saccharomycetales
13
Family
: Saccharomycetaceae
Genus
: Saccharomyces
Species
: Saccharomyces cerevisiae
2.5
Perubahan dalam Proses Fermentasi Produk fermentasi biasanya mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi
daripada bahan asalnya. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh sifat mikroba yang katabolik maupun mengubah bahan organik komplek seperti protein, karbohidrat, dan lemak menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna, tetapi juga dapat mensintesis beberapa vitamin yang komplek seperti riboflavin, piridoksin (vitamin B6), niasin, vitamin B12, asam panthotenat, dan provitamin A. Perubahan rasa dan aroma yang tidak disukai menjadi disukai juga dapat terjadi, mempercepat pematangan dan dalam beberapa hal tertentu menambah daya tahan, serta terjadinya perbaikan nilai ekonomi bahan tersebut. Produk dari suatu proses fermentasi adalah sel-sel mikroba atau biomassa enzim, metabolit primer dan metabolit sekunder, serta senyawa-senyawa kimia hasil proses fermentasi oleh mikroba (Anshori, 1989). 2.5.1
Protein Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien, strukturnya
selain mengandung N, C, H, O, kadang mengandung S, P, dan Fe (Sudarmadji, 1984). Unsur nitrogen jumlahnya adalah 16% dari berat protein. Molekul protein lebih kompleks daripada karbohidrat dan lemak dalam hal berat molekul dan keanekaragaman unit-unit asam amino yang membentuknya (Almatsier. S, 1989). Molekul protein terdiri atas rantai-rantai asam amino yang saling dirangkaikan melalui reaksi gugusan karboksil asam amino yang satu dengan gugusan amino dari asam amino yang lain, sehingga terjadi ikatan yang disebut ikatan peptida.
14
Molekul protein adalah suatu polipeptida, dimana sejumlah besar asam-asam aminonya saling dipertautkan dengan ikatan peptida tersebut (Gaman, 1992). Protein dalam pakan ternak unggas sangat penting bagi kehidupan ternak karena zat tersebut merupakan protoplasma aktif dalam sel hidup. Ternak yang memperoleh protein dari pakan yang dikonsumsi, sanggup untuk memperbaiki jaringan, pertumbuhan jaringan baru, metabolisme untuk energi, enzim-enzim yang esensial bagi fungsi tubuh normal, dan hormon-hormon tertentu (Murtidjo, 1987). 2.5.2
Glukosa Glukosa adalah suatu gula monosakarida, yang merupakan karbohidrat
terpenting yang digunakan sebagai sumber tenaga utama dalam tubuh. Glukosa adalah suatu aldoheksosa dan sering disebut dekstrosa, karena mempunyai sifat dapat memutar cahaya terpolarisasi ke arah kanan. Glukosa sebagai unsur makanan umumnya terdapat dalam bentuk gabungan. Glukosa merupakan komponen tunggal dari pembentukan maltosa (disakarida), pati, glikogen, dan selulosa (polisakarida). Glukosa merupakan prekursor untuk sintesis semua karbohidrat lain di dalam tubuh seperti glikogen, ribose dan deoxiribose dalam asam nukleat, galaktosa dalam laktosa susu, dalam glikolipid, dan dalam glikoprotein dan proteoglikan (Murray, dkk., 2003). Glukosa sebagai sumber energi utama yang diperoleh dari pakan dapat dipergunakan untuk melakukan gerak hidup serta proses-proses produksi lainnya, baik untuk bekerja aktif dan bergerak bebas, dapat diubah menjadi jaringan-jaringan tubuh seperti bentuk otot-otot daging, bulu, produksi daging atau telur dan pemeliharaan tubuh (Murtidjo, 1987).
15
2.6
Limbah Udang Indonesia tercatat sebagai negara penghasil udang terbesar ketiga di
dunia. Peningkatan produksi udang nasional dalam kurun lima tahun terakhir meningkat cukup signifikan yaitu 13,9 % per tahun dimana produksi udang tahun 2014 mencapai angka 592 ribu ton (Direktorat Jenderal Perikanan Indonesia, 2015) dan diperkirakan produksi udang nasional tahun 2015 sebesar 785.900 ton, atau meningkat sekitar 32 persen dari produksi udang tahun 2014. Udang sebagai salah satu komoditi ekspor terbagi atas tiga macam yaitu produk yang terdiri dari bagian badan dan kepala secara utuh, badan tanpa kepala dan dagingnya saja. Pengolahan produksi udang berdasarkan ketiga macam produk tersebut menyebabkan terdapat bagian-bagian udang yang terbuang seperti kepala, ekor dan kulitnya. Bagian tersebut merupakan limbah industri pengolahan udang beku yang disebut limbah udang. Limbah udang yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang dan pengolahan kerupuk udang sangat besar sehingga jumlah bagian yang terbuang dan menjadi limbah dari usaha pengolahan udang tersebut sangat tinggi. Limbah mengandung konstituen utama yang terdiri atas protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen dan abu (Rao, dkk., 1996). Bagian kulit mengandung kitin lebih banyak dan protein lebih sedikit, sedangkan bagian kepala mengandung kitin lebih sedikit tetapi protein lebih banyak (No, dkk., 1989). 2.7
Kitin Kitin merupakan polisakarida kedua terbanyak di alam setelah selulosa
dan di alam setiap tahunnya dihasilkan sekitar 108 ton kitin (Muzzarelli, 1985). Kitin dapat ditemukan pada eksoskeleton serangga, Molusca, Coelenterata, Nematoda, Crustaceae dan dinding sel jamur. Unit monomer kitin memiliki rumus
16
molekul (C8H13NO5)n dan merupakan biopolimer yang tersusun oleh unit-unit Nasetil-D-glukosamin, termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan polimer berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2asetamida-2-dioksi-D-glukosa (Hirano, 1986). Kitin merupakan suatu polisakarida struktural yang mengandung nitrogen dan bergabung dengan protein sebagai bahan dasar pembentuk kerangka luar (eksoskeleton) invertebrata (Rahayu dkk, 1999), dan melekat pada suatu matriks dari CaCO3 dan fosfat yang menyebabkan kerasnya kulit crustaceae (udang) dan molusca (kerang). Tingginya kandungan serat kasar yang berasal dari kitin dan mineral terutama kalsium, yang berikatan erat dalam bentuk ikatan kitin-protein-kalsium karbonat merupakan kendala dalam pemanfaatan limbah udang ini. Kandungan protein yang terikat dalam kitin tersebut bisa mencapai 50-95% dan kalsium karbonatnya sampai 15-30%. Adanya ikatan khitin-protein-kalsium karbonat yang kuat akan menurunkan daya cerna protein limbah udang ini, sehingga pemanfaatannya belum optimal dibanding dengan potensi nilai gizinya. Struktur kitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi β-(1-4). Perbedaan antara kitin dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon nomor dua digantikan oleh gugus asetamida (NHCOCH2), sehingga kitin menjadi sebuah polimer berunit N-asetilglukosamin (Fernandez, 1982).