6
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1
Karakteristik Semen Kambing Semen adalah cairan yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa
dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari suspensi tersebut yang terbentuk pada ejakulat disebut plasma semen (Hafez, 1993). Semen terdiri atas dua bagian yaitu spermatozoa yang merupakan sel kelamin jantan dan suatu cairan yang disebut plasma semen. Spermatozoa dibentuk di dalam tubuli seminiferi melalui proses yang disebut spermatogenesis, lalu mengalami pematangan lebih lanjut di dalam epididimis dimana sperma disimpan sampai ejakulasi. Tiap spermatozoa terdiri dari bagian kepala dimana terkumpul bahan-bahan genetik dan bagian ekor yang mengandung sarana penggerak sehingga menyebabkan spermatozoa dapat bergerak maju sendiri. Sel spermatozoa mempunyai fungsi dalam pembuahan ovum hewan betina (Feradis, 2010). Plasma
semen
kambing
secara
normal
berwarna
kuning
yang
kemungkinan disebabkan karena kandungan riboflavin yang disekresikan kelenjar vesikularis. Hafez (1993) mengemukakan bahwa plasma semen sangat esensial sebagai komponen dalam perkawinan alami karena berperan sebagai pembawa dan protektor bagi spermatozoa. Plasma semen mempunyai fungsi utama sebagai medium pembawa sperma dari saluran reproduksi hewan jantan ke dalam saluran reproduksi hewan betina (Toelihere, 1993). Fungsi ini dapat berjalan dengan baik kerena
plasma
semen
mengandung
bahan-bahan
penyanggah
untuk
mempertahankan pH dan makanan yang merupakan sumber energi bagi spermatozoa.
Semen
hasil
penampungan
selanjutnya
dievaluasi
secara
7
makroskopis dan mikroskopis sebagai sarana penilaian apakah semen tersebut layak untuk diproses lebih lanjut menjadi semen beku (Toelihere, 1993). Rataan volume semen kambing berkisar antara 0,8-1,2 mL per ejakulat (Garner dan Hafez, 2000). Sedangkan menurut Evans dan Maxwell (1987) volume semen kambing berkisar antara 0,5-1,5 mL. Kondisi tubuh ternak mempengaruhi terhadap volume semen (Toelihere, 1993). Semen kambing pada uumnya berwarna putih susu sampai krem, baunya khas, dengan konsistensi atau derajat kekentalan dari encer sampai kental (Evan dan Maxwell, 1987). Toelihere (1993) menyatakan bahwa semen dengan konsistensi krem mempunyai konsentrasi 1000 juta-2000 juta atau lebih sel spermatozoa per mL. Gerakan massa sangat berkaitan erat dengan motilitas sperma. Gerakan massa bernilai (+++) apabila sperma yang diamati gerakannya cepat berpindah dan berbentuk gumpalan tebal dan gelap. Gerakan massa bernilai (++) apabila semen yang diamati gerakannya cepat berpindah dan berbentuk gumpalan terang. Partodihardjo (1980) juga menyatakan bahwa gerakan massa berhubungan erat dengan konsentrasi dan motilitas spermatozoa, apabila semen segar memiliki gerakan massa +++ artinya tingkat kepadatan spermatozoa tinggi, gelombang bergerak cepat, dan terdapat 90% bahkan lebih spermatozoa yang aktif. Derajat keasaman (pH) juga merupakan salah satu faktor penting dalam penilaian semen segar kambing PE, standar derajat keasaman semen kambing yang baik untuk dijadikan semen beku adalah 6,2-7,2 (Hafez, 1993). Sedangkan motilitas sperma kambing yang baik memiliki persentase sperma motil antara 6080%, dari angka tersebut menunjukkan bahwa semen dapat diproses menjadi semen beku (Garner dan Hafez, 2000). Rataan abnormalitas pada semen segar kambing menurut Evan dan Maxwell (1987) yang menyatakan bahwa,
8
penggunaan semen untuk inseminasi buatan, tingkat abnormalitas spermatozoa hendaknya tidak lebih dari 15%. 2.2
Evaluasi Semen Post Thawing Setelah proses pembekuan semen, selanjutnya dilakukan pencairan
kembali terhadap semen beku untuk dievaluasi. Evaluasi semen post thawing dilakukan untuk mengetahui peranan gliserol dalam mempertahankan motilitas dan abnormalitas sperma kambing peranakan etawah. 2.2.1 Motilitas Spermatozoa Motilitas atau daya gerak merupakan salah satu kriteria untuk menilai kualitas spermatozoa sehingga layak untuk digunakan dalam proses inseminasi buatan. Motilitas atau daya gerak spermatozoa merupakan ukuran yang digunakan sebagai kesanggupan spermatozoa untuk membuahi sel telur (Toelihere, 1993). Kemampuan spermatozoa untuk mencapai tempat fertilisasi dan terutama untuk menembus dinding ovum harus didukung oleh motilitas dan sarana pendukungnya yang terdapat pada ekor spermatozoa (Tambing, 1999). Bagian tengah ekor merupakan sumber energi untuk kehidupan dan gerak spermatozoa, yang dihasilkan melalui proses metabolik yang berlangsung pada mitokondria. Bagian utama ekor mengandung sebagian besar mekanisme daya gerak spermatozoa dan memiliki peranan penting terhadap motilitas (Toelihere, 1993). Spermatozoa akan selalu bergerak apabila tidak berada dalam dalam keadaan beku dan melakukan proses metabolisme. Pergerakan spermatozoa memerlukan energi yang dihasilkan dari perombakan adenosin trifosfat (ATP) dalam selubung mitokondria yang diaktifkan oleh enzim-enzim tertentu sehingga ikatan fosfat pertama yang mengandung banyak energi akan terurai. Energi yang dilepaskan akan digunakan sebagai energi mekanik (motilitas). Apabila
9
mitokondria rusak dan rantai oksidasi putus akan mengakibatkan spermatozoa berhenti bergerak karena tidak ada pasokan energi dari organel mitokondria. Pembentukan kristal es dapat menyebabkan rendahnya motilitas spermatozoa karena rusaknya membran plasma. Kerusakan pada membran plasma dapat menyebabkan hilangnya enzim yang diperlukan dalam proses metabolisme sehingga tidak dihasilkan energi dan motilitas menjadi rendah (Rizal, dkk. 2003). Semen beku yang layak digunakan untuk progam inseminasi buatan harus memiliki persentase motilitas paling sedikit 40% (Toelihere, 1993). 2.2.2 Abnormalitas Spermatozoa Abnormalitas merupakan suatu penyimpangan morfologik terhadap spermatozoa yang mana dapat menurunkan daya fertilitas spermatozoa.. Abnormalitas pada spermatozoa dapat dibedakan menjadi abnormalitas primer dan sekunder. Abnormalitas primer terjadi karena adanya kelainan pada tubuli seminiferi dan gangguan testikuler yang ditandai kepala terlalu besar (macrocephalic) atau terlalu kecil (microcephalic), kepala ganda (double head), dan ekor ganda (double tail). Abnormalitas sekunder terjadi setelah spermatozoa meninggalkan tubuli seminiferi, dapat terjadi dikarenakan pemanasan yang berlebihan, pendinginan terlalu cepat, cold shock, kontaminasi dengan air, urine atau antiseptik. Abnormalitas sekunder ditandai dengan ekor yang terputus, kepala tanpa ekor, ekor patah dan bagian tengah melipat. Pejantan yang terlalu sering ditampung semennya juga dapat meningkatkan abnormalitas pada spermatozoa dikarenakan sperma terlalu cepat diangkut melalui epididymis. Peningkatan abnormalitas spermatozoa setelah proses pembekuan dapat disebabkan oleh pengaruh fisik spermatozoa yang menyebabkan spermatozoa abnormal. Perubahan suhu dapat menyebabkan perubahan pada permeabilitas
10
membran sel dinding spermatozoa dan kondisi demikian dapat menyebabkan peningkatan abnormalitas spermatozoa. Abnormalitas pada spermatozoa masih dianggap normal apabila berkisar dibawah 20% (Toelihere, 1993). Sedangkan menurut Hafez (1993) semen yang mempunyai lebih 15% spermatozoa abnormal didalamnya akan menunjukkan gejala infertilitas. Untuk tujuan inseminasi buatan, abnormalitas pada spermatozoa hendaknya tidak lebih dari 15% (Evan dan Maxwell, 1987). Abnormalitas dapat diminimalisir dengan menambahkan zat krioprotektan sebagai anti cold shock yaitu gliserol. Gliserol akan bekerja secara maksimal apabila penambahannya dalam konsentrasi yang optimal. Kemampuan gliserol dalam mempertahankan keutuhan pada membran plasma juga berkaitan dengan tingkat abnormalitas pada spermatozoa. Membran plasma yang tetap utuh akan menyebabkan morfologi spermatozoa tetap normal sehingga meminimalisir abnormalitas. Penambahan level gliserol terlalu tinggi akan menimbulkan yang sebaliknya. Hal ini disebabkan karena penambahan level gliserol yang terlalu banyak dapat menjadi racun bagi spermatozoa, sehingga lebih banyak menimbulkan kerusakan morfologi pada spermatozoa. Kerusakan morfologi inilah yang menyebabkan terjadinya abnormalitas pada spermatozoa. 2.3
Fenomena Pembentukan Kristal Es Proses pembuatan semen beku berkaitan dengan proses kriopreservasi.
Kriopreservasi adalah teknik penyimpanan materi genetik dalam keadaan beku pada temperatur rendah atau suatu teknik penyimpanan sel hewan, tumbuhan dan materi genetika lainnya (termasuk semen dan oosit) dalam keadaan beku melalui reduksi aktivitas metabolisme tanpa mempengaruhi organel-organel di dalam sel, fungsi fisiologi, biologi, dan morfologi (Supriatna dan Pasaribu, 1992). Kerusakan
11
yang sering terjadi pada semen kambing selama proses pembekuan dapat disebabkan karena pembentukkan kristal-kristal es, sehingga dapat terjadi penurunan kualitas semen. Pembentukan kristal-kristal es berkaitan erat dengan perubahan tekanan osmotik dalam fraksi yang tidak beku (Watson, 2000). Pengaruh pembentukan kristal-kristal es terhadap sel spermatozoa dapat menyebabkan terjadinya penurunan motilitas dan viabilitas spermatozoa, peningkatan pengeluaran enzim-enzim intraseluler ke ekstraseluler dan kerusakan pada organel-organel sel, seperti mitokondria dan lisosom. Menurut Gao dan Crister (2000), kerusakan sel selama proses pembekuan terjadi pada saat sel yang didinginkan hingga mencapai suhu -15 °C, kristal es mulai terbentuk di ruang ekstraseluler sedangkan sel itu sendiri tidak ikut membeku, hal ini disebabkan karena membran plasma menahan perkembangan kristal es di dalam sitoplasma sel. Air yang terdapat di dalam sel kemudian berdifusi keluar karena meningkatnya konsentrasi cairan ekstraseluler yang disebabkan oleh membekunya sebagian besar air yang ada di ruang ekstraseluler. Kerusakan yang ditimbulkan akibat pembentukan kristal es dapat diminimalisir dengan penambahan zat krioprotektan. Krioprotektan merupakan suatu zat kimia non elektrolit yang berperan dalam proses kriopreservasi sel baik yang berupa efek larutan maupun pembentukan kristal es ekstraseluler dan intraseluler, sehingga dapat menjaga viabilitas sel setelah kriopreservasi (Herdis dan Darmawan, 2013). Krioprotektan yang umum digunakan dalam proses pembekuan semen ternak yaitu gliserol. Gliserol merupakan anti cold shock yang paling banyak digunakan dalam pengencer semen (Salamon dan Maxwell, 2000).
12
2.4
Gliserol dalam Pengencer Semen Penambahan bahan pengencer dalam proses kriopreservasi bertujuan untuk
mempertahankan kehidupan spermatozoa selama penyimpanan pada suhu dan kondisi yang diinginkan. Secara garis besar pengencer memiliki fungsi mekanis, fisik dan biokimia (Supriatna dan Pasaribu, 1992). Salah satu jenis pengencer yang dapat digunakan dalam proses kriopreservasi yaitu sitrat. Pengencer semen secara praktis harus mengandung kuning telur atau susu sebagai unsur dasar. Sitrat kuning telur mengandung lecitin dan lippoprotein yang dapat digunakan sebagai bahan penyangga (buffer) semen dan mencegah terjadinya cold shock akibat penurunan temperatur yang mendadak (Trias, 2001). Cold shock atau cekaman dingin dapat terjadi karena adanya penurunan temperatur secara mendadak dari temperatur tubuh ke temperatur rendah (dibawah 00C). Cold shock yang terjadi dalam proses kriopreservasi dapat menyebabkan penurunan kualitas pada semen kambing sehingga motilitas menjadi rendah. Guna meminimalisir hal tersebut dapat ditambahkan zat krioprotektan didalam pengencer sebagai perlindungan bagi spermatozoa terhadap efek letal pada saat pembekuan. Gliserol atau disebut juga gliserin merupakan senyawa alkohol trihidrat dengan rumus bangun C3H5(OH)3. Salah satu pemanfaatan gliserol sebagai krioprotektan telah ditemukan sejak tahun 1950 sampai sekarang masih digunakan untuk pembekuan sel. Penambahan krioprotektan seperti gliserol merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi rendahnya kualitas semen beku kambing. Hal ini didasarkan pada peranan gliserol dalam melindungi membran plasma, mencegah kerusakan fisik dan fungsional sel spermatozoa selama proses pembekuan semen akibat terbentuknya kristal-kristal es. Beberapa kendala yang membatasi penggunaan teknologi ini yaitu perbedaan fisiologis dan biokimia spermatozoa
13
pada setiap spesies dan adanya mekanisme transport sperma dalam saluran reproduksi betina (Holt, 2000). Kadar gliserol yang dimasukkan kedalam pengencer untuk pembekuan semen dibatasi oleh sifat toksiknya yang mana tergantung pada tingkat pendinginan dan pembekuan, komposisi pengencer dan metode penambahan gliserol (gliserolisasi) (Fahy, 1986). Kemampuan gliserol untuk mengikat air cukup kuat karena adanya tiga gugus hidroksil yang dimilikinya. Mekanisme kerja dari gliserol adalah gliserol dapat berdifusi ke dalam sel dan mampu mengubah kristal es menjadi membran sel sehingga tidak mudah rapuh (Supriatna dan Pasaribu, 1992). Gliserol juga dapat menggantikan air menjadi elektrolit-elektrolit intraseluler dan dapat mengurangi konsentrasi spermatozoa yang rusak oleh kristal es yang terbentuk (Toelihere, 1993). Gliserol dapat langsung masuk kedalam sel menembus membran plasma karena larut dalam lemak, dapat mengubah secara fisik kristalkristal es yang terbentuk menjadi lebih lembut dan juga ikut melindungi membran plasma sel. Gliserol
akan
memberikan
perlindungan
yang
efektif
terhadap
spermatozoa selama proses pembekuan bila konsentrasinya di dalam pengencer dalam jumlah yang optimal. Konsentrasi gliserol yang tidak optimal akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas spermatozoa (Tambing, dkk. 2000). Penambahan gliserol yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan osmotik pada spermatozoa (Purdy, 2006). Dosis optimum gliserol dalam pengenceran semen sapi sebesar 7% (Viswanath dan Shannon, 2000) dan semen kerbau 6% (Kumar, dkk. 1992). Pemberian gliserol pada kadar 6% memberikan pengaruh terbaik sebagai pencegah cold shock dan krioprotektan (Amoah dan Gelaye, 1997). Menurut penelitian Tambing, dkk. (2000), penambahan gliserol dalam pengencer
14
tris sebanyak 6% mempertahankan motilitas sebesar (52,60%) lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi 5% dan 7%. Penelitian yang telah dilakukan oleh Deka dan Rao (1986) terlihat penambahan gliserol 6,4% menghasilkan motilitas lebih besar yaitu (66,92%) dibandingkan dengan konsentrasi 4% (64,00%) dan 9% (63,65%). Sedangkan menurut Dihan, dkk. (2010) gliserol 6% pada pengencer tris menghasilkan motilitas dan abnormalitas paling optimal yaitu sebesar (25%) dan (15,75%) dibandingkan gliserol 3% (12,5%) dan (17,13%), gliserol 9% (22,5%) dan (16,9%), gliserol 12% (15%) dan (18,4%).