8
II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1 Mengkudu (Morinda citrifolia) Mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) tergolong tanaman yang multiguna, karena hampir semua bagiannya mengandung zat kimia dan nutrisi yang berguna bagi kesehatan. Pengobatan tradisional telah banyak digunakan sebagai pengobatan alternatif. Masyarakat dunia telah kembali menggali potensi kemampuan pengobatan tradisional dengan dukungan penelitian komponen zat aktifnya (Winarno, 2003). Adapun klasifikasi buah mengkudu menurut Waha (2002), sebagai berikut: Filum
: Angiospermae
Sub filum
: Dycotiledones
Divisi
: Sphermatophita
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Morinda
Species
: Citrifolia
Nama ilmiah : Morinda citrifolia L. Mengkudu merupakan tumbuhan tropis, dapat tumbuh diberbagai tipe lahan dan iklim pada ketinggian tempat dataran rendah sampai 1.500 dpl (Heyne, 1987). Areal tanaman mengkudu yang dibudidayakan di 15 provinsi seluas 23 hektar dengan produksi sekitar 1.910 ton dan meningkat menjadi 73 hektar pada tahun 2004 dengan produksi sebesar 3.509 ton. Pemanfaatan mengkudu sebagai obat tradisional baik di dalam maupun luar negeri sebenarnya sudah sejak ribuan tahun yang lalu (BPS, 2005).
9
Zat-zat nutrisi yang terkandung dalam buah mengkudu terdiri atas protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin. Kandungan air buah mengkudu matang sekitar 52% sisanya berupa komponen-komponen yang terdiri dari enzim, vitamin, mineral, senyawa-senyawa asam (Bangun dan Sarwono, 2002). Selain itu, senyawa yang terkandung dalam buah mengkudu yaitu asam askorbat yang cukup tinggi dan merupakan sumber vitamin C yang luar biasa sehingga berkhasiat sebagai antioksidan yang sangat baik. Antioksidan berkhasiat untuk menetralisir partikel-partikel berbahaya (radikal bebas) yang terbentuk dari hasil sampingan dalam proses metabolisme. Radikal bebas dapat merusak sistem kekebalan tubuh dan materi genetik (Solomon, 1998). Senyawa terpenoid yang terkandung dalam mengkudu merupakan senyawa yang sangat penting bagi tubuh, zat-zat terpen berfungsi membantu sintesa organik dan pemulihan sel-sel dalam tubuh (Waha, 2001). Zat-zat tersebut terbukti sebagai zat anti bakteri infeksi dan juga dapat mengontrol jenis-jenis bakteri yang mematikan (patogen) seperti Sallmonella dan Sigella (Waha, 2001). Selanjutnya dikemukakan bahwa adanya zat scopeletin yang dapat membunuh beberapa tipe bakteri dan bersifat fungisida terhadap bakteri Pythium sp dan bersifat anti peradangan dan alergi. Buah mengkudu mengandung zat proxeronin dalam jumlah besar yang dapat dibentuk menjadi xeronin (Heinicke, 2000). Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam usus terdapat enzim proxeronase yang dapat mengubah proxeronin menjadi xeronin. Fungsi utama xeronin dalam tubuh adalah mengatur bentuk dan kekerasan (rigiditas) protein-protein spesifik di dalam sel. Bila fungsi proteinprotein menyimpang, maka tubuh akan mengalami gangguan kesehatan.
10
2.2 Puyuh Klasifikasi ternak puyuh menurut Vali (2008), dapat digolongkan sebagai berikut: Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Aves
Ordo
: Galilformes
Famili
: Phasianidae
Genus
: Cortunix
Spesies
: Cortunix-cortunix japonica
Puyuh disebut juga gamak (Jawa), merupakan bangsa burung liar yang pertama kali diternakan di Amerika Serikat pada tahun 1870, akhirnya berkembang ke penjuru dunia. Di Indonesia puyuh mulai dikenal dan dibudidayakan akhir 1979, dan sejak itu mulai berkembang sebagai peternakan komersial. Puyuh (Cortunix-cortunix japonica) merupakan salah satu komoditi unggas sebagai penghasil telur dan daging yang mendukung ketersediaan protein hewani yang murah serta mudah didapat (Permetan, 2008). Selain telur dan daging, bulu dari puyuh dapat digunakan sebagai pakan sumber protein, kotoran puyuh juga dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik, selain itu puyuh sering digunakan sebagai hewan percobaan dikarenakan siklus hidup puyuh yang relatif singkat. Puyuh mudah dipelihara, pemeliharaan puyuh tidak memerlukan lahan yang luas, tahan penyakit dan ternak yang renponsif. Telur puyuh memiliki kandungan lemak yang tinggi dibandingkan dengan ayam. Produksi telur puyuh mencapai 250-300 butir per tahun dengan rata-rata 10 gram per butir dan biasanya
11
berproduksi penuh pada umur 50 hari. Puyuh juga dimanfaatkan daging dan kotorannya (Hartono, 2004). Puyuh dewasa mengkonsumsi ransum sekitar kurang lebih 20 gram/hari. Puyuh tumbuh dengan cepat sehingga pada umur enam minggu dapat mencapai 90-95% bobot tubuh dewasa kelaminnya (Randall, 1986). Selanjutnya pada fase produksi ini kebutuhan nutrien puyuh disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kebutuhan Nutrien dan Energi Metabolis Puyuh Fase Produksi. Zat-zat Makanan dan NRC (1994) NRC (1997) Energi Metabolis Energi Metabolis (kkal/kg) 2900 2700 Protein (%) 20 18 Lemak (%) 2,70 3,96 Serat Kasar (%) 7 6 Calcium (%) 2,50 2,75 Phosphor (%) 0,35 1,00 Sumber : NRC (1994) dan NRC (1997). 2.3 Energi Metabolis Menurut Scott dkk. (1982), energi berasal dari bahasa Yunani yaitu en berarti di dalam dan ergon berarti kerja. Istilah energi menurut McDonald dkk. (2002) adalah kapasitas untuk melakukan kerja. Hewan mempergunakan makanannya tidak lain untuk kebutuhan energi yaitu untuk fungsi-fungsi tubuh dan untuk melancarkan reaksi-reaksi sintesis dari tubuh. Energi diperoleh dari konsumsi makanan, pencernaan dan metabolis untuk pelepasan energi. Satuan Joule (J) lebih sering digunakan sebagai satuan energi dibanding dengan satuan kalori (kal). Kal = 4,184 KJ. Satuan kilokalori dan megakalori banyak digunakan sebagai satuan bioenergetik di Amerika Utara, sedangkan satuan Joule lebih sering digunakan di Eropa (Leeson dan Summers, 2001).
12
Energi basal sangat dibutuhkan oleh ternak untuk mengatur tekanan darah, denyut jantung dan sintesis komponen-komponen tubuh (Parakkasi, 1983). Energi juga diperlukan untuk pertumbuhan jaringan tubuh, menyelenggarakan aktifitas fisik, dan mempertahankan suhu yang normal (Wahju, 2004). Kebutuhan energi dijadikan standar dalam penyusunan ransum, sehingga pengetahuan kandungan energi bahan baku secara kualitatif sangatlah penting (McDonald dkk., 2002). Dalam menyusun ransum untuk unggas, selain kandungan zat-zat makanan seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral, perlu juga diperhatikan kandungan energinya mengingat tingkat energi ransum sangat menentukan banyaknya makanan yang dikonsumsi (Wahju, 2004). Penggunaan bahan pakan akan lebih baik apabila kandungan energi metabolis dari bahan pakan tersebut diketahui (Sibbald, 1980). Energi dalam bahan pakan yang dikonsumsi tidak seluruhnya digunakan oleh tubuh, minimal ada 4 nilai energi yaitu energi bruto (Gross energy), energi dapat dicerna, energi metabolis, dan energi netto (Wahyu, 2004). Energi yang dikosumsi oleh ternak akan menjadi energi dapat dicerna dan sisanya dibuang dalam kotoran (ekskreta). Selanjutnya energi dapat dicerna dirombak menjadi energi metabolis serta energi dalam urin. Energi metabolis akan diubah oleh tubuh menjadi panas dari proses metabolisme zat-zat makanan dan energi netto. Energi netto oleh tubuh digunakan untuk hidup pokok produksi. Menurut Blakely dan Bade (1991) bahwa energi bruto dinyatakan sebagai jumlah panas yang dihasilkan jika suatu zat teroksidasi sempurna menjadi karbondioksida dan air dalam bomb calorimeter dengan tekanan 25-30 atm oksigen. Energi metabolis menurut Wolynetz dan Sibbald (1984) adalah pengurangan energi bruto bahan pakan dengan energi ekskreta, sedangkan energi
13
netto adalah selisih antara energi metabolis dengan heat increament atau panas yang dikeluarkan oleh tubuh. Penentuan kebutuhan energi yang lazim digunakan pada unggas melalui nilai energi metabolis. Energi metabolis merupakan energi total dikurangi energi ekskreta (feses, urine, dan methan). Nilai energi metabolis lebih mudah ditentukan karena saluran feses dan urine bermuara pada tempat yang sama yaitu di kloaka, sedangkan untuk memisahkan kedua saluran tersebut diperlukan operasi. Oleh karena itu dilakukan perhitungan energi metabolis dengan pengambilan urin dan feses (ekskreta) secara bersamaan (Leeson dan Summers, 2001). Perhitungan energi metabolis perlu dikoreksi terhadap jumlah nitrogen yang diretensi karena kemampuan ternak dalam memanfaatkan energi bruto dari protein pakan sangat bervariasi. Perubahan dalam tingkat protein ransum yang diberikan pada unggas dapat menyebabkan perbedaan jumlah protein yang diretensi sehingga menghasilkan perbedaan dalam nilai energi metabolis (McDonald dkk., 2002).
2.4 Retensi Nitrogen Menurut Tilman dkk. (1998) bahwa kualitas makanan dapat ditentukan dengan analisis kimia, tetapi nilai sebenarnya dari makanan untuk ternak ditunjukkan dengan bagian yang hilang setelah pencernaan, penyerapan, dan metabolismenya. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa nitrogen yang diretensi merupakan bagian nitrogen dari makanan yang tidak diekskresikan dalam feses dan urin. Nitrogen yang dimaksud adalah nitrogen yang berasal dari protein ransum setelah retensi nitrogen dapat digunakan untuk menilai protein ransum.
14
Perhitungan melalui keseimbangan nitrogen yang masuk dan nitrogen yang keluar dapat menentukan besarnya nitrogen yang diretensi. Metode ini merupakan perulasan pengukuran daya cerna dengan mengukur kehilahan-kehilangan lain karena penggunaan makanan. Menurut Tillman dkk. (1998) menyatakan bahwa retensi nitrogen yang terkendali menghasilkan suatu pengukuran kuantitatif terhadap metabolisme protein dan menunjukkan apakah hewan tersebut dalam keadaan bertambah atau berkurang kadar protein di dalam tubuhnya. Nitrogen yang diretensi dapat dihitung dari selisih antara nitrogen yang masuk dengan nitrogen yang keluar bersama feses dan urin. Semakin tinggi konsumsi ransum, maka retensi nitrogen akan semakin tinggi pula. Menurut Wahyu (1997) bahwa meningkatnya konsumsi ransum akan memberikan kesempatan kepada tubuh untuk meretensi lebih banyak makanan sehingga kebutuhan protein untuk pertumbuhan terpenuhi. Scott dkk. (1982) bahwa faktor utama yang mempengaruhi jumlah makanan yang dikonsumsi adalah kandungan energi metabolis dalam ransum, besarnya unggas, suhu, dan iklim setempat serta serat kasar pada pakan. Retensi nitrogen tertinggi diperoleh pada tingkat protein yang cukup tinggi dan pada umumnya cenderung akan lebih besar pada unggas sehat. Retensi nitrogen yang menurun dengan adanya peningkatan protein dalam ransum dikarenakan sebagian protein digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya konsumsi energi yang cukup jika unggas digunakan untuk mengevaluasi kualitas protein berdasarkan retensi nitrogen. Menurut Anggorodi (1994) bahwa kualitas protein ditentukan oleh asam amino esensial dan kesanggupan untuk menunjang pertumbuhan unggas. Wahyu (1997) menyatakan bahwa hal yang penting pada terensi nitrogen adalah efisiensi
15
penggunaan protein. Sejalan dengan pendapat Parakkasi (1983) bahwa retensi nitrogen akan negatif apabila nitrogen yang dikeluarkan melebihi konsumsi nitrogen, sebaliknya retensi nitrogen akan positif apabila nitrogen yang dikonsumsi melebihi nitrogen yang dikeluarkan melalui ekskreta.