igi.fisipol.ugm.ac.id

DATABASE GOOD PRACTICE Initiatives for Governance Innovation merupakan wujud kepedulian civitas akademika terhadap upaya mewujudkan tata pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih baik. Saat ini terdapat lima institusi yang tergabung yakni FISIPOL UGM, FISIP UNSYIAH, FISIP UNTAN, FISIP UNAIR, DAN FISIP UNHAS. Sekretariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio-Justisia Bulaksumur Yogyakarta 55281 email: [email protected]

igi.fisipol.ugm.ac.id

Integrasi MBS di SDN Maron Wetan 1 Kabupaten Probolinggo Sektor Sub-sektor

Pendidikan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Provinsi

Jawa Timur

Kota/Kabupaten

Probolinggo

Institusi Pelaksana Kategori Institusi Penghargaan

Kontak

Mitra Peneliti dan Penulis

Dinas Pendidikan dan Sekolah Dasar Pemerintah Kabupaten Pilot Proyek Perintisan Sekolah MBS yang di pelopori UNICEF/UNESCO SDN Maron Wetan 1 Jl. Raya Asmali No. 1 Kec. Maron Kab. Probolinggo 67276 Telepon: ( 0335 ) 613522 email: [email protected] website: http://sdnmarwet1kabprob.blogspot.com UNICEF/UNESCO Philipus Keban

Mengapa program/kebijakan tersebut muncul? Model top-down dalam pengelolaan satuan pendidikan mengakibatkan kurangnya partisipasi masyarakat dan orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan. Apa tujuan program/kebijakan tersebut? Pengelolaan sekolah yang mandiri, partisipatif, transparan, dan akuntabel. Bagaimana gagasan tersebut bekerja? (1) Pelatihan tim pelatih tingkat kabupaten; (2) Pelatihan sekolah dan masyarakat (kepala sekolah, guru dan masyarakat); (3) Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPS) dan RAPBS oleh sekolah dan masyarakat; dan (4) Pelatihan untuk guru, termasuk pendampingan langsung di kelas oleh pelatih.

Siapa inisiatornya? Siapa saja pihak-pihak utama yang terlibat? UNICEF- Dinas Pendidikan Kab. Probolinggo Apa perubahan utama yang dihasilkan? 1. Sekolah menjadi mandiri karena bisa melakukan berbagai aktifitas tanpa intervensi dari pemerintah pusat. 2. Meningkatnya partisipasi masyarakat terbukti dengan adanya paguyuban kelas dan komite lintas kelas. 3. Sistem pengelolaan anggaran menjadi lebih transparan. Transparansi terjamin karena ada rapat koordinasi terpadu dengan Komite Sekolah. 4. Dengan pengelolaan yang transparan, maka sekolah bisa mempertanggungjawabkan seluruh aktifitasnya kepada masyrakat.. Siapa yang paling memperoleh manfaat? Orangtua Siswa dan Siswa

Ringkasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) telah menjadi mandat UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 51 Ayat 1. Ketentuan tersebut muncul karena dilatar belakangi oleh rendahnya partisipasi masyarakat akibat sistem pendidikan dikelola secara terpusat. Sehingga harapannya, MBS ini bisa mendesentralisasikan kewenangan bagi sekolah untuk menyusun program atau kegiatan sendiri. Dalam konteks penelitian ini, yakni di SDN Maron Wetan 1, sejak 2001 sekolah ini telah ditunjuk sebagai pilot project dari program UNICEF yang bernama Managing Basic Education (MBE). Pengelola sekolah tersebut telah diikutkan dalam berbagai workshop, pelatihan, maupun sebagai narasumber MBS dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Oleh karena itu, SDN Maron Wetan 1 ini merupakan sekolah acuan nasional untuk model integrasi MBS dalam penyelenggaraan pendidikan ditingkat sekolah dasar. Adapun desain yang digunakan terdiri dari tiga elemen pokok, yaitu (1) Manajemen Berbasis Sekolah (MBS); (2) Peran Serta Masyarakat (PSM), dan (3) program Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM). Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah peningkatan mutu pendidikan. Dengan adanya MBS, sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari atas. Mereka dapat mengembangkan suatu visi

pendidikan yang sesuai dengan keadaan setempat dan melaksanakan visi tersebut secara mandiri. Dalam prakteknya, SDN Maron Wetan ini mampu mensinkronisasikan tiga elemen penting dalam MBS. Pertama, sekolah mampu melakukan manajemen secara mandiri untuk menentukan program dan kegiatan, serta mengelola berbagai sumber daya untuk terlibat dalam kemajuan sekolah. Kedua, sekolah mampu melakukan terobosan berbagai model pengajaran untuk siswa. Ketiga, adanya keterlibatan masyarakat secara aktif yang mendorong kemajuan sekolah. Hasil yang dicapai dari intergrasi MBS di SDN Maron Wetan 1 ini adalah terwujudnya penelolaan sekolah yang partisipatif, transparan, akuntabel, dan mandiri. Partisipatif karena dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi setiap program masyarakat telah terlibat aktif di dalamnya. Transparan bisa ditunjukan dari proses pembuatan RAPBS yang dikelola secara bersama bahkan hasilnya dipajang di papan pengumuman. Akuntabel dibuktikan dari setiap stakeholder yang menunjukkan sikap “memiliki” untuk peningkatan mutu di sekolah. Mandiri merupakan akumulasi dari semua proses dimana ditunjukkan oleh adanya volunterisme warga untuk terlibat aktif dalam manajemen sekolah bahkan rela mengeluarkan biaya sukarela demi mendukung program-program sekolah.

Integrasi MBS di SDN Maron Wetan 1 Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur

2

http://igi.fisipol.ugm.ac.id

Profil Good Practice I. Latar Belakang Nyaris setiap daerah selalu menjadikan sektor pendidikan sebagai fokus kebijakan, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Probolinggo. Berbagai program peningkatan pelayanan pendidikan telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah (pemda) baik untuk pendidikan SD, SMP, hingga SMA. Bagi Pemda, hal tersebut telah menjadi bagian dari upaya mencapai visi Kabupaten Probolinggo yakni terwujudnya masyarakat yang sejahtera, mandiri, berwawasan lingkungan, dan berakhlak mulia. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan tonggak awal dari perubahan sistem pendidikan di negeri ini. Sebelum ada undang-undang tersebut, sistem pengelolaan satuan pendidikan (selanjutnya sekolah) dikelola secara sentralistik. Pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Pendidikan, memegang kendali penuh (top down) bagaimana sekolah menyelenggarakan pendidikan bahkan sampai pada model pengajaran. Model yang cenderung top-down dalam pengelolaan sekolah ini mengakibatkan pelibatan peran serta masyarakat dan orang tua siswa menjadi sangat terbatas. Orang tua siswa cenderung pasif dalam kegiatan anak-anaknya di sekolah. Dalam konteks ini, nyaris tidak ada partisipasi yang riil dari orang tua terhadap kehidupan anak di sekolah. Tidak hanya itu, sekolah praktis mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang sangat terbatas. Dengan lahirnya UU Sisdiknas, terutama pasal 51 ayat 1, muncul apa yang dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Kehadiran MBS ini menjadi angin segar bagi sekolah karena sekolah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengelola seluruh aktivitasnya secara mandiri. Selain itu, sekolah dituntut untuk melibatkan masyarakat dan orang tua dalam frame penyelenggaran pendidikan untuk siswa. Dengan adanya payung hukum itu banyak sekolah mulai menginisiasi pelaksanakaan MBS. Salah satu yang cukup serius menginisiasi MBS

adalah SDN Maron Wetan I. Pada tahun 2001, SD ini ditunjuk sebagai Pilot Project rintisan Sekolah MBS yang di pelopori UNICEF/UNESCO.

Papan Nama SDN Maron Wetan 1 (sumber: http://sdnmarwet1kabprob.blogspot.com)

Pada tahun yang sama SDN Maron Wetan I juga dipercaya sebagai sekolah pusat studi banding dan magang di Indonesia. II. Inisiasi Manajemen Berbasis Sekolah merupakan bagian dari proyek yang didanai UNICEF. Sejak tahun 2001, SDN Maron Wetan 1 telah ditunjuk sebagai pilot project sekaligus menjadi SD acuan untuk pembelajaran MBS. Pihak pengelola sekolah telah diikutkan dalam berbagai workshop, pelatihan, maupun sebagai narasumber MBS dan PAKEM. Pada awal inisiasi, program MBS diharapkan dapat meningkatkan kemampuan SDM daerah dalam mengelola program yang dirancangnya. Untuk mendukung pemetaan sekolah, sebuah tim yang terdiri atas staf dinas kabupaten dan kecamatan, termasuk pengawas dibentuk terlebih dahulu. Dengan dukungan lokakarya dan pendampingan langsung dari USAID yang saat itu juga sedang mengawal sebuah program yakni Managing Basic Education (MBE), tim ini memetakan kebutuhan data, mengumpulkan dan menganalisis data, serta membuat perencanaan untuk menangani masalah yang teridentifikasi dari analisis tersebut.

Program MBE yang dikawal USAID tersebut mengembangkan pendekatan-pendekatan secara inovatif di daerah binaan dan mendukung penyebarluasannya melalui lokakarya, studi banding antar daerah, ataupun melalui publikasi berupa buletin triwulanan. Mereka secara bersama mengembangkan rencana pengembangan sekolah yang terpadu dengan penekanan pada peningkatan mutu pembelajaran. Mereka juga mengembangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) yang terpadu sehingga menampilkan semua asal pendapatan dan belanja. APBS ini biasanya dipasang pada papan untuk dapat dilihat oleh semua orang. Keterbukaan ini memicu dukungan aktif dari masyarakat setempat. Beberapa kegiatan inisasi awal MBE tersebut masih bisa dilihat di website MBE, yakni mbeproject.net. Dorongan MBE ini kemudian ditindaklanjuti dengan membuat desain penyelenggaraan MBS yang akan dipraktikkan di SDN Maron Wetan I Kabupaten Probolinggo. Desain tersebut bisa diilustrasikan dari bagan di bawah ini. Bagan 1: Desain Integrasi MBS Dalam Penyelenggaraan Pendidikan di Sekolah1

Manajemen Berbasis Sekolah

PAKEM/ Pembelajaran Kontekstual

Peningkatan Mutu Pembelajaran

Peran Serta Masyarakat

Untuk mencapai tujuan meningkatkan mutu pembelajaran, maka tiga pilar yang penting yang harus dipertimbangkan adalah manajemen sekolah, pembelajaran kontekstual (PAKEM), dan 1

Lihat Menciptakan Masyarakat Peduli Anak, diunduh dari www.unicef.org/indonesia/id/MBS_14.pdf (10 Mei 2012)

peran serta masyarakat. Dengan adanya ketiga pilar tersebut, maka sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari atas. Mereka dapat mengembangkan suatu visi pendidikan yang sesuai dengan keadaan setempat dan melaksanakan visi tersebut secara mandiri. Guna melaksanakan ketiga pilar diatas, dilaksanakan beberapa program untuk membuat pondasi dasarnya. Beberapa program itu diantaranya: (1) Pelatihan tim pelatih tingkat kabupaten; (2) Pelatihan sekolah dan masyarakat (kepala sekolah, guru dan masyarakat); (3) Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPS) dan RAPBS oleh sekolah dan masyarakat; dan (4) Pelatihan untuk guru, termasuk pendampingan langsung di kelas oleh pelatih. Program pertama adalah pelatihan tim pelatih tingkat kabupaten. Program ini didukung oleh seorang koordinator program di tiap daerah yang bekerja di lingkungan kantor pemda. Koordinator ini memainkan peran penting untuk meyakinkan bahwa hasil pelatihan dan kegiatan lainnya dilaksanakan dengan menawarkan dukungan dan pengawasan. Mereka juga cepat menemukan masalah dan mengundang konsultan di tingkat propinsi dan pusat untuk memecahkan masalah tersebut. Tim konsultan teknis berada di tingkat pusat dan di setiap propinsi untuk mendukung program tersebut. Hasil pelatihan tim tingkat kabupaten ini akan menghasilkan tim fasilitator daerah bagi sekolahsekolah di daerahnya masing-masing. Tim Fasilitator yang terdiri atas pengawas, kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat dipilih di tiap daerah untuk mendukung program pelatihan sekolah dan masyarakat. Mereka dilatih oleh sebuah tim tingkat nasional yang berpengalaman dalam bidang MBS, PSM, dan PAKEM. Pelatihan bersifat praktik, termasuk melakukan kunjungan ke sekolah untuk melihat bentuk KBM yang baik. Pelatihan PAKEM berdasarkan pola pemodelan/modelling pelaksanaan KBM yang baik dan mempraktikkannya di sekolah. Tim Fasilitator daerah kemudian secara bersamasama melatih Kepala Sekolah, Komite Sekolah, dan guru untuk merancang RIPS dan RAPBS, serta meningkatkan peran serta masyarakat. Kepala sekolah dan semua guru di tingkat SD/MI dan 10 guru di tingkat SMP/MTs (5 mata pelajaran utama x 2 guru) dilatih PAKEM/Pembelajaran Konstektual. Pelatihan untuk fasilitator dan sekolah selalu berkelanjutan yakni paling tidak


4


masing-masing mendapatkan dua kali setahun. Hal ini didukung oleh pengawasan pada pelaksanaannya, pelatihan dan pendampingan oleh fasilitator, serta kegiatan rutin melalui KKG di SD dan MGMP di SMP. III. Tahap Implementasi a. Manajemen Berbasis Sekolah Dalam konteks MBS, sekolah diberi kewenangan untuk merancang dan melaksanakan kegiatankegiatannya sendiri tanpa ada instruksi yang memaksa dari atas. Hal ini merupakan esensi dari desentralisasi sekolah. Kegiatan pertama yang dilakukan SDN Maron Wetan 1, dalam hal ini kepala sekolah dan guru-guru, beserta dengan komite sekolah adalah menyusun Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPS) dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Dua dokumen inilah yang menjadi acuan bagi sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan.

Adapun beberapa contoh model pengajaran yang dilakukan antara lain: 1. Penyediaan Media Hasil Karya Siswa diajak oleh guru untuk mengarang tulisan atau membuat gambar. Hasil karangan atau gambar tersebut akan dipajang di media milik sekolah. Hal ini akan memberikan kesenangan dan kebanggan bagi murid karena karyanya dipajang dan dilihat banyak orang. Penghargaan terhadap karya siswa akan semakin memicu siswa untuk semakin kreatif dan berkarya lagi. 2. Pengajaran Berbasis Praktik Guru mulai melakukan pembelajaran dengan pola praktik didalam kelas. Misalkan, pelajaran IPA, siswa akan membahas mengenai materi perambatan energi. Caranya, siswa diajak mengamati langsung proses perambatan energi melalui pengamatan besi yang dipanaskan. Hal ini akan memberikan pemahaman yang lebih baik pada siswa tentang sebuah materi.

Pergeseran desentralisasi sekolah ini berdampak pada penggunaan dana dimana sekolah dapat memanfaatkan dana sesuai kebutuhan sekolah sendiri. Untuk membuat perencanaan dan mengambil inisiatif dalam meningkatkan mutu pendidikan, sekolah bisa melibatkan masyarakat sekitar. Sehingga kepala sekolah dan guru dapat bekerja lebih profesional dalam memberikan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak di sekolahnya. Disamping itu, sekolah menjadi lebih bertanggung jawab terhadap perawatan, kebersihan, dan penggunaan fasilitas sekolah, termasuk pengadaan buku dan bahan belajar. Kelas Peraga IPA di SDN Maron Wetan 1

b. Pembelajaran Kontekstual (PAKEM) Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar, SDN Maron Wetan menggunakan model Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM). Karakteristik model pembelajaran ini adalah: (1) pembelajarannya mengaktifkan peserta didik; (2) mendorong kreativitas peserta didik dan guru; (3) pembelajaran yang efektif; serta (4) pembelajaran menyenangkan utamanya bagi peserta didik.2 Dengan menggunakan model PAKEM, diharapkan daya serap siswa terhadap mata pelajaran akan lebih baik.

2

Lihat di http://www.sekolahdasar.net/2011/07/ciri-ciri-danprinsip-pembelajaran.html

(sumber: http://sdnmarwet1kabprob.blogspot.com)

3. Model Pengajaran interaktif Guru juga memberi model pengajaran interaktif. Hal ini dilakukan dengan cara siswa akan diminta untuk menilai terhadap karya temannya. Misalkan pelajaran menulis, siswa yang salah menuliskan kalimat akan dibenarkan oleh siswa lain yang kalimatnya benar. Hal ini melatih siswa untuk saling berbagi kepada temannya. Hal lain juga dilakukan dengan memberikan tugas-tugas kelompok yang bisa mendorong kerjasama antar siswa. c. Peran Serta Masyarakat (PMS) Peran Serta masyarakat bisa dilihat dari tiga komponen, yakni Komite Sekolah, Komite Lintas Kelas, dan Paguyuban Kelas. Masing-masing PSM memiliki peran yang strategis. Misalnya,


5


paguyuban kelas yang bertanggung jawab mengkoordinasikan wali murid dan guru kelas untuk memfasilitasi kebutuhan pembelajaran atau mengawal terlaksananya program sekolah di dalam pembelajaran. Sementara Komite Lintas Kelas mengkoordinasikan antar Paguyuban Kelas agar terjadi sinkronisasi pengembangan antar kelas dan Komite Sekolah. Hadirnya PSM di SDN Maron Wetan 1 dimaksudkan untuk memberikan masukan pemikiran, saran, dan kritik kepada sekolah, memberikan motivasi kepada sekolah, memberikan bantuan dana dan tenaga yaitu dengan cara membantu guru dalam mengelola kelas, ikut bersosialisai dalam kegiatan ekstrakurikuler, keagamaan, hari besar nasional serta kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam kerangka MBS, PSM inilah yang paling populer di SDN Maron Wetan 1.3 Ketika ada program apapun maka selalu ada komunikasi dengan wali murid. Pihak manajemen sekolah selalu terbuka dengan siapa saja. Sehingga ketika tingkat kepercayaan kepada sekolah menjadi tinggi, maka Peran Serta Masyarakat menjadi begitu besar. Misalnya, ketika mewujudkan tembok di sekeliling sekolah yang membutuhkan biaya cukup besar ternyata tidak mengalami kesulitan. Termasuk partisipasi untuk melakukan pavingisasi jalan dalam sekolah merupakan bagian dari kontribusi orang tua siswa. Para ibu, selain membantu anak-anaknya di rumah, juga memberikan kontribusinya di sekolah. Misalnya sebagai nara sumber, mengajar Bahasa Inggris, paduan suara, drum band, dan sebagainya. IV. Evaluasi Implementasi MBS di SDN Maron Wetan 1 Probolinggo telah memberikan kesempatan pada pengelola sekolah dan masyarakat untuk bekerja sama dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sekolah ini menciptakan akuntabilitas dalam pengelolaan sekolah yang terbuka, efektif, dan efisien. Keterbukaan inilah yang meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah. Adanya keterlibatan masyarakat, maka otomatis akan menghasilkan evaluasi horisontal. Artinya, masyarakat yang telah terlibat secara intens dalam kegiatan sekolah, akan menjadi kontrol bagi sekolah jika terjadi penyimpangan. Namun, hubungan evaluasi ini sangat cair. Evaluasi itu 3

bisa dilakukan di forum-forum atau rapat yang mempertemukan sekolah dengan masyarakat. Misalkan, rapat untuk membuat Rencana Pengembangan Sekolah dan penyusunan Rencana Anggaran Kegiatan Sekolah yang diikuti oleh kepala sekolah, guru, dan Komite Sekolah. Sedangkan proses evaluasi vertikal bisa dilakukan oleh dinas pendidikan dengan model penilaian yang biasa dilakukan oleh pengawas sekolah. Evaluasi semacam ini pasti dilakukan oleh dinas untuk mempertimbangkan bagaimana mengelola sekolah-sekolah yang ada di daerah tersebut. V. Capaian Hasil yang dicapai dari integrasi MBS di SDN Maron Wetan 1 ini bisa dilihat dari indikator: partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan kemandirian. Capaian yang akan diuraikan ini lebih bersifat diskriptif kualitatif. a. Partisipasi Partisipasi masyarakat sebenarnya bisa dilihat dari mekanisme kerja antara komite sekolah, komite kelas, dan paguyuban kelas. Ketiga komponen ini menjalin kerja yang saling sinergis untuk kemajuan sekolah. Dengan ditopang oleh tiga hal tersebut, diharapkan sekolah akan selalu mendapat dukungan untuk melakukan berbagai terobosan demi perbaikan kualitas penyelenggaraan pendidikan di SDN Maron Wetan 1. Sekolah dan masyarakat juga bekerja sama untuk menyusun Rencana Induk Pengembangan Sekolah. Rencana ini menjadi semacam blue print bagi pengembangan sekolah tiap tahunnya. Pada intinya, peran serta masyarakat pada proses manajemen sekolah dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi proses pendidikan di sekolah. b. Transparansi Dengan adanya MBS, sistem pengelolaan anggaran menjadi lebih transparan. Transparansi terjamin karena ada rapat koordinasi terpadu dengan Komite Sekolah. Kepala sekolah memprogramkan rencana kerja sekolah yang nanti pengalokasian dananya itu dari BOS atau sumber lain. Kalau ada program yang tidak tercukupi dari dana BOS maka hal tersebut akan disampaikan kepada Komite Sekolah dan para pengurus untuk mendapat jalan keluar.

Pernyataan Ketua Komite Sekolah SDN Maron Wetan


6


Dalam kebuntunan pendaanaan itulah, SDN Maron Wetan I menggunakan formula dana alokasi sekolah untuk mendukung biaya operasi dan perawatan. Formula ini dirundingkan oleh seluruh stakeholder sekolah, baik pihak sekolah maupun komite sekolah. Formula semacam ini biasanya digunakan untuk kegiatan seperti Gebyar Seni yang dilakukan oleh sekolah setiap akhir minggu dan Bazar. Kegiatan ini dilakukan sebagai ajang ajang pameran hasil karya anak didik. Selain itu, transparansi juga dibuktikan dengan memajang APBS di papan pengumuman. Hal ini untuk menunjukan bahwa sekolah memiliki berbagai kegiatan dan pengelolaan anggaran secara transparan. Ini sekaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penelolaan sekolah. c. Akuntabilitas Program Manajemen Berbasis Sekolah telah menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara terbuka pada papan sekolah. Program MBS pun telah memberikan pelatihan kepada masyarakat (termasuk Komite Sekolah) dan pihak sekolah untuk bekerja sama dalam mendukung sekolah mereka. Tujuannya adalah mendorong masyarakat setempat supaya mereka merasa "memiliki" sekolahnya dan lebih berperan dalam kegiatan sekolah. Sebelumnya, dukungan ini hanya terbatas pada pemberian dana ke sekolah, tetapi lambat laun masyarakat lebih bertanggung jawab dalam memperbaiki dan merawat gedung sekolah. Di SDN Maron Wetan 1, orang tua dan masyarakat telah membentuk paguyuban kelas untuk mendampingi kegiatan di kelas secara langsung, dan ada pula orang tua yang membantu guru di kelas. d. Kemandirian Kemandirian sesungguhnya merupakan akumulasi dari adanya partisipasi masyarakat serta pengtelolaan sekolah yang transparan dan akuntabel. Dari sisi perencanaan, sekolah didukung sepenuhnya oleh masyarakat untuk menentukan program-programnya sendiri, tanpa

harus diintervensi oleh pihak lain, misal dinas pendidikan. Dari segi pelaksanaan, tidak hanya guru yang terlibat aktif untuk pengajaran, namun masyarakat juga memiliki ruang untuk terlibat didalam proses pengajaran. Selain itu, secara otomatis, proses evaluasi bisa berjalan dengan baik karena ada rasa “memiliki” oleh masyarakat. Antusias masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan ini, merupakan nilai positif yang mestinya dilakukan banyak sekolah. Pada titik tertentu, sekolah semacam ini cukup kompetitif untuk menarik orang tua agar menyekolahkan anaknya disekolah tersebut. Hal ini dibuktikan oleh SDN Maron Wetan 1 dimana banyak masyarakat dari baik dari Kecamatan Gading, Banyuanyar, maupun Gending serta dari desa lain (Blumbungan, Maron Kulon, Maron Kidul)4 untuk menyekolahkan anaknya disana. VI. Institusionalisasi dan Tantangan Penyelenggaran MBS diakui tidak dihasilkan oleh proses yang singkat, namun proses yang panjang dengan menginstitusionalkan beberapa hal mendasar. Secara garis besar, proses institusionalisasi bisa dibagi menjadi dua, yakni secara internal maupun eksternal. Internal berkaitan dengan terobosan sekolah untuk mengembangkan model pengajaran. Sedangkan eksternal lebih pada mekanisme melembagakan masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Mekanisme institusionalisasi internal misalnya dilakukan dari beberapa hal berikut. a. Mengembangkan pendirian Kelas Model. Beberapa diantara kelas model itu adalah Kelas Model Matematika, IPA, maupun IPS. b. Memfasilitasi siswa mengkreasi hasil karya yang ditulis dengan kata-kata dan gagasannya sendiri. c. Memfasilitasi keterlibatan siswa dalam menilai dan memberikan saran terhadap hasil karya temannya d. Memfasilitasi pembelajaran secara berkelompok sehingga mendorong siswa untuk aktif bekerjasama e. Memfasilitasi siswa mempresentasikan hasil karyanya f. Memfasilitasi siswa memajangkan hasil karyanya di papan pajangan kelas. g. Memfasilitasi siswa mengembangkan diri

4

Pernyataan Wiwik, Kepala Sekolah SDN Maron Wetan 1


7


melalui kegiatan ekstrakurikuler seperti Tartil Qur'an, Olahraga, Pramuka, Seni Musik, Seni Tari, Seni Lukis, dan lain-lain yang dibantu oleh Komite Sekolah. h. Guru mengelola kelas sehingga menjadi menarik murid untuk senang belajar, termasuk memasang hasil karya anak sebagai pajangan. Sedangkan institusionalisasi eksternal dilakukan seperti beberapa hal berikut. a. Masyarakat diberi ruang untuk terlibat dalam proses belajar mengajar. Tidak ada jadwal khusus untuk pengajaran yang melibatkan masyarakat, namun jika ada masyarakat yang ingin terlibat, maka sekolah memfasilitasinya dengan tetap mempertimbangkan bahwa guru sebagai pengampu utama proses pembelajaran. Biasanya keterlibatan masyarakat dilakukan di kelas 1 dimana siswa cenderung mudah memahami pelajaran dengan model permainan. b. Sekolah membuka ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam mekanisme penganggaran. Tidak hanya dalam penyusunan RAPBS, namun juga pendanaan untuk hal-hal seperti perbaikan fisik maupun nonfisik. Dalam perbaikan fisik, wujud nyatanya adalah berupa pavingisasi jalan di dalam sekolah dan terbangunnya tembok yang mengelilingi sekolah. Sedangkan nonfisik misalkan orang tua murip mendanai sendiri kegiatan-kegiatan try out yang dilakukan sebanyak 12 kali. Meski telah ada pola institusionalisasi yang cukup baik, SDN Maron Wetan 1 tetap menyimpan banyak tantangan. Salah satu tantangan adalah bagaimana menjalin koordinasi yang efektif antara satuan pendidikan (SDN Maron Wetan 1) dengan Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan). Menurut Bu Wiwik selaku Kepala Sekolah SDN Maron Wetan 1, Dispendik harus terus mengikutsertakan guru dalam berbagai kegiatan workshop, seminar, dan sebagainya. Hal itu dalam rangka menjaga keberlangsungan MBS sejak awal pelaksanaannya pada tahun 2001. Tantangan lainnya adalah mensinergikan antara aktivitas program Manajemen Berbasis Sekolah dengan aspek kurikulum. Hal ini perlu dipertimbangkan lebih lanjut, misalnya memprogramkan alat-alat sumber pembelajaran, merencanakan standar kelulusan, serta menyediakan bahan ajar yang lebih baik. Upaya

mensinergikan program MBS dengan aspek kurikulum dimaksudkan agar meningkatkan kuantitas dan kualitas lulusan di SDN Maron Wetan 1. Tantang yang tidak kalah penting adalah bagaimana program MBS ini tetap berlanjut dengan baik, bahkan kalau perlu ditiru banyak sekolah. Untuk itu, pengembangan tim fasilitator/pelatih dapat digunakan oleh daerah dalam untuk melatih kecamatan atau pun sekolah di luar binaan program. Dalam rangka menjaga keberlanjutan program MBS, Dinas Pendidikan bekerja sama dengan UNICEF harus terus menggelar pertemuan tingkat pengawas. MBS juga perlu ditunjang dengan dana operasional sekolah, agar rencana yang dibuat oleh sekolah dan masyarakat dapat dilaksanakan. Saat ini dana yang diterima sekolah dari APBD pada umumnya sangat minim. Jumlah dana dari APBD yang diberikan kepada sekolah secara langsung perlu ditingkatkan. VII. Lesson Learned Ada banyak hal yang bisa dipetik dari cerita intergrasi MBS dalam penyelenggaraan pendidikan di SDN Maron Wetan 1. Beberapa lesson learned itu bisa dipilah kedalam dua hal, yakni bagaimana sekolah melakukan komunikasi dengan masyarakat, dan kedua bagaimana sekolah melakukan terobosan dalam model pengajaran. a. Segi komunikasi dengan masyarakat Hal pertama yang perlu dicermati adalah pentingnya berbagai forum bersama antara sekolah dan masyarakat. Sebagaimana telah diuraikan sebelunya, ada banyak sekali jenis forum antara sekolah dengan masyarakat, seperti rapat penyusunan RAPBS, RPIS, maupun forumforum yang sifatnya untuk membahas kegiatan spesifik seperti acara perpisahan atau pagelaran seni. Adanya forum-forum ini memaksa orang tua untuk selalu terlibat dalam proses pendidikan anaknya. Kedua, pentingnya pemberian ruang keterlibatan masyarakat dalam prose pengajaran. Hal ini akan mendorong aksi volunter masyarakat untuk mensukseskan kegiatan belajar mengajar dikelas. Dengan adanya keterlibatan orang tua, maka akan semakin meningkatkan kepedulian orang tua untuk selalu memperhatikan perkembangan proses pendidikan anaknya. Sebab bagaimanapun juga, keluarga tetap menjadi bagian terpenting untuk pendidikan anak.


8


b. Segi terobosan model pengajaran Terobosan model pengajaran ini bisa dipilah dalam dua katagori, yakni didalam kelas maupun diluar kelas. Didalam kelas, seorang guru bisa menerapkan banyak model pengajaran, seperti penggunaan kelas model (Matematika, IPA, IPS), pengajaran berbasi praktik, atau pola pengajaran interaktif sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Sedangkan diluar kelas, selain ekstrakurikuler, siswa juga mesti mendapat ruang apresiasi lain, seperti memajang karya-karya siswa dipapan sekolah atau mengadakan kegiatan pentas seni.

Referensi: “Implementasi MBS di SDN Maron Wetan 1”. Tanpa Tahun. Diunduh dari situs www.youtube.com/watch?v=6WTT0FL8C44 (11 Mei 2012)

VIII. Pertimbangan Replikasi Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah di SDN Maron Wetan 1 menarik perhatian berbagai pihak dari daerah lain untuk melakukan studi banding dan melihat pelaksanaan dan capaian program di lapangan. Menurut Kepala Sekolah SDN Maron Wetan 1, banyak pihak telah datang ke sekolah ini untuk berbagai kepentingan, seperi studi banding, magang, PKL, dan KKN. Dari sekian banyak kunjungan itu, ada yang bersal dari Provinsi Papua, Kabupaten Lombok Tengah, dan Kabupaten Nias. Dalam kunjungan tersebut, SDN Maron Wetan 1 telah siap untuk memfasilitasi proses pembelajaran kepada pihak lain, bahkan hal itu sudah cukup biasa terjadi. Seluruh stakeholder yang biasa terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah akan secara otomatis menjadi narasumber untuk melukiskan bagaimana proses integrasi MBS dalam pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sebagai contoh, ketika ada kunjungan dari Kabupaten Nias yang melakukan studi banding, maka cara yang dilakukan adalah langsung magang selama seminggu. Peserta magang pun dari banyak stakeholder, seperti dinas pendidikan, camat bahkan kepala desa. Mereka akan ditularkan pengetahuan sesuai dengan perannya masing-masing. Sebagai sekolah acuan nasional untuk MBS, SDN Maron Wetan 1 telah siap sepenuhnya untuk proses “getok tular” (replikasi) kepada pihak lain, bahkan mereka telah memvideokan secara sangat serius bagaimana mengimplementasikan MBS di sekolah. Video itu juga telah tersebar di internet.


9


igi.fisipol.ugm.ac.id

Recommend Documents