DATABASE GOOD PRACTICE Initiatives for Governance Innovation merupakan wujud kepedulian civitas akademika terhadap upaya mewujudkan tata pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih baik. Saat ini terdapat lima institusi yang tergabung yakni FISIPOL UGM, FISIP UNSYIAH, FISIP UNTAN, FISIP UNAIR, DAN FISIP UNHAS.
Inisiasi Ruang Menyusui di Terminal Tirtonadi Kota Surakarta Sektor Sub-sektor
ASI Eksklusif
Provinsi
Jawa Tengah
Kota/Kabupaten Sekretriat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio-Justisia Bulaksumur Yogyakarta 55281 email:
[email protected]
igi.fisipol.ugm.ac.id
Kesehatan
Institusi Pelaksana Kategori Institusi Penghargaan Kontak
Mitra Peneliti
Surakarta UPT Terminal Tirtonadi Pemerintah Kota Djammila (Kepala UPT Terminal Tirtonadi) UPT Terminal Tirtonadi Alamat: Jalan Jenderal Ahmad Yani Banjarsari, Surakarta, 57314, Jawa Tengah PT Deltomed (sponsor) Hafid Rahardjo, Azhar Irfansyah, Joko Fendy Rusnanto Institusi: Fisipol UGM Email:
[email protected] (Hafid),
[email protected] (Azhar),
[email protected] (Fendy)
Mengapa program/kebijakan tersebut muncul? Ketiadaan ruang menyusui yang representatif di Terminal Tirtonadi Apa tujuan program/kebijakan tersebut? Menyediakan ruang khusus menyusui yang representatif dan mengedukasi ibu menyusui tentang ASI eksklusif. Bagaimana gagasan tersebut bekerja? Penyediaan ruang yang representatif yang khusus difungsikan untuk kegiatan menyusui. Pemberian fasilitas yang lengkap untuk membantu ibu menyusui melakukan aktivitasnya dengan nyaman. Edukasi cara menyusui yang baik dan benar lewat poster dan pamflet.
Siapa inisiatornya? Siapa saja pihak-pihak utama yang terlibat? Kepala UPT Terminal Tirtonadi, Djammila menginisiasi ruang menyusui menggunakan gudang yang dialihfungsikan. Ia lantas bekerjasama dengan PT Deltomed selaku sponsor untuk membangun ruang khusus yang lebih luas dan lengkap fasilitasnya. Apa perubahan utama yang dihasilkan? Tersedianya ruang khusus menyusui di terminal yang merupakan yang pertama di Indonesia. Sejak Maret 2011hingga Juni 2012, sudah 222 ibu menyusui yang memanfaatkan ruang tersebut. Siapa yang paling memperoleh manfaat? Ibu menyusui
Deskripsi Ringkas Terminal Tirtonadi telah mengakomodasi kebutuhan ibu menyusui dengan memberi ruang khusus di terminal. Ruang khusus menyusui ini muncul dari inisiatif pribadi kepala Terminal Tirtonadi Surakarta, Djammila, yang prihatin melihat banyaknya ibu menyusui yang terpaksa menyusui bayinya di tempat umum. Lingkungan terminal yang beroperasi 24 jam non-stop tidak ramah pada kepentingan ibuibu menyusui yang juga menjadi pengguna terminal. Asap rokok dan asap kendaraan yang lalu-lalang tanpa henti sangat menyiksa para ibu dan bayinya. Kesulitan makin lengkap saat si bayi meminta diberi ASI, padahal si ibu berada di tempat umum. Ketiadaan ruang khusus menyusui memaksa Djammila mencari akal untuk menyediakan ruang khusus yang berfungsi untuk membantu para ibu menyusui bayinya. Penyediaan ruang khusus menyusui secara umum bertujuan untuk mengakomodasi kebutuhan para ibu untuk menyusui bayinya saat berada di ruang publik. Ruang khusus menyusui juga mengedukasi para ibu menyusui agar mengetahui cara menyusui yang benar. Secara tidak langsung, keberadaan ruang menyusui juga meningkatkan persentase pemberian ASI eksklusif di Kota Surakarta yang masih rendah menurut parameter nasional. Ruang khusus menyusui di terminal Tirtonadi adalah ruangan seluas 2,5 x 2 meter yang berdiri di dalam lingkungan terminal. Ruang ini berdekatan dengan ruang pengelola terminal. Hal ini bertujuan agar ruang menyusui mudah diawasi oleh petugas keamanan dan ketertiban. Ruangan tersebut dilengkapi poster besar berisi petunjuk cara
menyusui yang benar dan manfaat ASI bagi bayi. Ruang itu juga dilengkapi tempat tidur bayi, wastafel, kulkas, alat pemerah ASI, dan perlengkapan bayi lainnya. Ruang tersebut dilapisi oleh kaca dengan gambar sponsor, sehingga orang luar tidak bisa mengintip. Ruangan ini tidak memungut biaya bagi para penggunanya. Penyediaan ruang khusus menyusui adalah inisiatif pribadi Djammila sebagai kepala terminal Tirtonadi. Meski begitu, Djammila juga berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk merealisasikan gagasannya ini. Dinas Kesehatan kota Surakarta membantu Djammila dengan memberikan desain teknis ruang menyusui sesuai standar Kementerian Kesehatan. Karena keterbatasan dana, Djammila mencari sponsor untuk membantu membiayai pengadaan ruang ini. Ia mendapat dukungan dari Antangin, produk andalan perusahaan PT Deltomed, yang sedang memperpanjang kontrak iklan produk mereka di terminal Tirtonadi. Perwakilan Antangin setuju dan memberikan beberapa fasilitas yang diperlukan oleh ruang khusus menyusui. Karena ruangan khusus menyusui bentuknya masih sederhana, maka Djammila mencari sponsor baru untuk mendanai pembangunan ruang yang lebih representatif. Dinas Kesehatan memfasilitasi dengan mengenalkan sponsor, yakni Nutrisi Sari Husada, sebuah program CSR dari perusahaan susu. Dukungan dari sponsor yang memadai berhasil mewujudkan gagasan Djammila membangun ruang khusus menyusui di terminal Tirtonadi yang representatif dengan fasilitas penunjang yang memadai.
Inisiasi Ruang Menyusui di Terminal Tirtonadi Kota Surakarta
2
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
Keberadaan ruang khusus menyusui mendapat respons positif dari penumpang terminal Tirtonadi. Berbagai catatan yang menyatakan rasa terima kasih dan salut tercatat dalam buku tamu ruang khusus menyusui. Perubahan yang paling nyata ialah para ibu menyusui tidak harus sembunyisembunyi saat hendak menyusui bayinya di tempat publik. Mereka bahkan bisa mendapatkan edukasi gratis mengenai cara menyusui yang benar
sekaligus mengetahui manfaat ASI bagi bayi. Ruang khusus menyusui di terminal Tirtonadi adalah ruang menyusui pertama di Indonesia yang berada di dalam lingkungan terminal. Atas inisiatif Djammila, maka ruang khusus menyusui ini mendapat kehormatan diresmikan langsung oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tanggal 7 Juni 2011.
Rincian Inovasi I.
LATAR BELAKANG MASALAH
Cakupan ASI eksklusif di kota Surakarta masih rendah jika dibanding dengan target nasional. Standar nasional pemberian ASI eksklusif mencapai 80 persen1. Sedangkan menurut data Dinas Kesehatan Kota Surakarta, pada tahun 2009 persentase pemberian ASI eksklusif baru mencapai 23%, dan 36% dari 3.970 bayi pada tahun 20102. Rendahnya angka persentase ini ditanggapi serius oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta. Menurut kepala bidang promosi kesehatan Dinkes Surakarta, Purwanti, memang ada beberapa permasalahan yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, ibu yang bekerja. Kesibukan sebagai pekerja menjadi alasan ibu enggan memberikan ASI. Banyak ibu yang enggan direpotkan karena alasan tidak bisa libur dan menyediakan waktu khusus untuk menyusui3. Alasan kedua adalah faktor lingkungan. Ini faktor yang kompleks, dimana secara umum lingkungan cenderung tidak bersahabat dengan kebiasaan memberi ASI. Banyak ibu setelah melahirkan yang tidak siap memberi ASI. Mereka cenderung tidak mau direpotkan saat mengeluarkan ASI. ASI memerlukan perlakuan khusus untuk dikeluarkan, dimana perlu kesiapan biologis dan mental dari ibu menyusui. Tentu ini berbeda dengan susu formula yang lebih mudah dikonsumsi bayi. Faktor kepraktisan inilah yang membuat ASI sulit bersaing dengan susu formula.
Gencarnya promosi dari produsen susu formula menjadi faktor penghambat. Seringkali, para pembantu persalinan di rumah sakit dan puskesmas berperan sebagai penjual/sales gelap yang membantu penjualan susu formula secara diamdiam4. Masalah lain yang dihadapi secara langsung oleh ibu-ibu yang bekerja ataupun bepergian ialah ketiadaan ruang menyusui di tempat publik. Padahal, seharusnya tempat-tempat publik seperti pasar, perkantoran, pusat perbelanjaan, bandara, pelabuhan, dan terminal, harus menyediakan ruang menyusui untuk mengakomodasi kebutuhan ibu menyusui5. Tentu saja, ruang menyusui bukan sembarang ruang yang langsung bisa dibangun. Ada berbagai persyaratan agar ruang khusus menyusui sesuai standar dan representatif. Ruang tersebut harus tertutup, menjamin sanitasi yang hieginis, kursi yang nyaman, dan petunjuk cara menyusui yang lengkap serta edukatif6. Kota Surakarta sebelum intervensi kebijakan dilakukan sama sekali tidak punya contoh ruang menyusui di tempat publik yang representatif. Upaya untuk mengatasi masalah ini bermacammacam. Solusi paling konkret yang mudah dilakukan ialah melakukan sosialisasi pentingnya pemberian ASI eksklusif. Namun solusi ini tidak efektif lantaran hanya bersifat normatif. Karena itu, muncullah intervensi kebijakan yang membantu meningkatkan kesadaran pemberian ASI eksklusif.
Selain itu berbagai upaya dilakukan agar bayi langsung mengonsumsi susu formula saja. 4
Ibid.
5
Fikawati, S. dan Syafiq A., (2010), Kajian Implementasi dan Kebijakan Air Susu Ibu Eksklusif dan Inisiasi Menyusui Dini di Indonesia, Makara, Kesehatan, Vol.14 No.1
Peraturan Pemerintan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. Khususnya pasal 30-36 yang mengatur mengenai kewajiban tersedianya ruang khusus menyusui di tempat publik, yakni di tempat kerja dan sarana umum.
2
6
1
Wawancara dengan Kepala Bidang Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Surakarta, Purwanti, 28 Juni 2012, dari pukul 14.00-14.45 3
Ibid.
Kriteria dan Fasilitasi Ruang Menyusui, berdasarkan Lampiran Surat Nomor 872/Menkes/XI/2006. Lampiran ini memuat desain teknis empat tipe ruang menyusui yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan.
Inisiasi Ruang Menyusui di Terminal Tirtonadi Kota Surakarta
3
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
Kebijakan tersebut ialah penyediaan ruang menyusui di terminal Tirtonadi. Tulisan ini secara khusus akan membahas mengenai pembentukan ruang khusus menyusui di terminal Tirtonadi yang diiniasi oleh pengelola terminal. Ketersediaan ruang khusus menyusui di tempat publik berperan penting dalam memudahkan pemberian ASI eksklusif bagi ibu-ibu yang sering bepergian. II.
INISIASI
Salah satu bentuk upaya untuk meningkatkan kesadaran menyusui dini dan pemberian ASI eksklusif di wilayah kota Surakarta adalah dengan pengadaan Ruang Khusus Menyusui di tempattempat publik. Contohnya yang paling awal didirikan adalah Ruang Khusus Menyusui di terminal bus Tirtonadi. Di terminal kebanggan warga Solo itulah kini berdiri sebuah ruangan representatif yang disediakan bagi ibu-ibu yang ingin menyusui anaknya selagi menunggu kedatangan bus. Pendirian Ruang Khusus Menyusui di Terminal Tirtonadi tidak lain adalah atas inisiatif dari kepala terminal yang juga seorang perempuan. Nama beliau adalah Djammila yang baru ditunjuk menjadi Kepala Terminal Tirtonadi oleh Walikota Joko Widodo pada 31 Agustus 2010. Sejatinya, ia mengemban jabatan strategis yang bisa dikatakan merupakan kursi panas dalam struktur pelayanan publik di Surakarta. Hal ini dikarenakan dua Kepala UPTD sebelumnya memiliki catatan kerja yang kurang baik. Sardjono, mantan Kepala UPTD Tirtonadi divonis selama satu tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Semarang karena terbukti melakukan pungutan liar (pungli) di terminal Tirtonadi7. Pengganti Sardjono, Muhammad Arif Muttaqin memiliki nasib yang kurang beruntung. Hanya tiga bulan bertugas, ia dicopot dan dimutasi oleh Walikota Surakarta, Joko Widodo. Ada berbagai alasan yang berkembang mengenai penyebab dimutasinya Arif. Djammila, karena itu ditunjuk dengan ekspektasi tinggi untuk mengelola Terminal Tirtonadi dengan baik8.
menjadi pegawai di Kecamatan Banjarsari dan Jebres. Di kedua kecamatan itu, ia mengabdi selama hampir 19 tahun sebelum dipindahkan lagi ke Kecamatan Pasar Kliwon. Hingga akhirnya kemudian ditunjuk menjadi seorang kepala terminal menurutnya merupakan suatu pengalaman yang baru dan terkesan aneh karena tidak banyak wanita yang menduduki posisi tersebut9. Namun berkat pengalaman panjangnya di berbagai instansi tidaklah mengherankan bila beliau cukup memiliki jiwa leadership yang dibutuhkan untuk memimpin Terminal Tirtonadi. Awalnya baru sesaat mulai bertugas, beliau sudah harus langsung bekerja keras karena pada waktu itu mulai mendekati hari raya Idul Fitri sehingga kesibukan transportasi di terminal mencapai puncaknya. Pada suatu hari di puncak kesibukan beliau sempat melihat seorang ibu yang kerepotan menyusui anaknya saat baru turun dari bus. Ibu tersebut lantas menyusui anaknya di ruang tunggu yang terbuka. Melihat hal tersebut Djammila berusaha agar pemandangan tersebut tidak jadi konsumsi publik dengan berusaha menghalangi pandangan orang. Beliau berusaha membujuk agar si ibu menyusui di ruang kerjanya saja, karena memang tidak ada ruangan khusus di terminal saat itu untuk menyusui10. Didorong oleh peristiwa di atas serta naluri alamiahnya sebagai seorang ibu maka selanjutnya Djammila mempunyai gagasan untuk mendirikan sebuah ruangan khusus bagi ibu-ibu yang ingin menyusui anaknya selagi di terminal. Djammila lantas berusaha mencari ruangan di terminal yang dapat difungsikan sebagai ruang untuk ibu menyusui. Beliau kemudian menemukan gudang yang tidak terpakai. Meski ruangan tersebut sempit dan kurang memadai, beliau tetap bersikeras mengubah fungsi ruang dari sebelumnya ruang penyimpanan barang menjadi ruang menyusui bagi ibu dan anak. Walau begitu, beliau masih kesulitan mewujudkan gagasannya lantaran tidak ada dana yang khusus dialokasikan11.
Wanita paruh baya berusia 55 tahun tersebut sebelum menjabat sebagai Kepala Terminal Tirtonadi telah banyak mengenyam pengalaman di berbagai instansi pemerintah. Mulai dari pegawai di Departemen Penerangan pada tahun 1980 hingga akhirnya di bagian Humas Pemkot Solo setelah Departemen Penerangan dilikuidasi. Setelah dari bagian Humas Pemkot Solo beliau dipindahkan
Ketiadaan dana inilah yang menghambat Djammila untuk sementara merealisasikan ruang khusus menyusui di terminal Tirtonadi. Selain itu, tidak mudah bagi Djammila untuk membuat ruang khusus menyusui yang representatif dan akomodatif. Hal ini disebabkan saat itu, pada tahun 2010, belum ada ruang khusus menyusui yang bisa
7
Kompas. (2012), „Otaki Pungli, Mantan Kepala Terminal Dibui Setahun‟ 22 Mei 2012, kompas.com, diakses 12 Juni 2012
9
8
10
Harian Joglosemar. (2010), „Mutasi Janggal Kepala Terminal‟ 5 September 2010, harianjoglosemar.com, diakses 26 Juni 2012
Harian Joglosemar. (2011), „Terminal Sebagai Rumah Kedua‟ 20 Agustus 2011, harianjoglosemar.com, diakses 26 Juni 2012 Wawancara dengan Kepala UPTD Terminal Tirtonadi, Djammila, 26 Juni 2012, dari pukul 10.30-11.15 11
Ibid.
Inisiasi Ruang Menyusui di Terminal Tirtonadi Kota Surakarta
4
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
ia contoh. Djammila mengaku sempat kebingungan mengenai desain teknis ruang khusus menyusui itu nantinya. Akhirnya, dengan berbagai keterbatasan, Djammila berusaha belajar sendiri untuk membuat poster besar yang berisi instruksi cara menyusui yang benar. Pada tahap awal inisiasi kebijakan ini, Djammila hanya mendapat dukungan dari para stafnya yang antusias dengan gagasan barunya ini12. III.
IMPLEMENTASI
Pada akhir Maret 2011, pihak Antangin, produk jamu dari perusahaan PT Deltomed, hendak memperpanjang reklame di Terminal Tirtonadi13. Melihat adanya peluang kerjasama, Djammila meminta agar pihak Antangin membuatkan tulisan dan gambar yang isinya memberitahu panduan cara menyusui yang baik. Beliau ingin agar ruang menyusui tersebut juga bisa mengedukasi ibu menyusui. Beliau lantas mendapat bantuan dari pihak Antangin berupa perlengkapan untuk mengisi Ruang Khusus Menyusui tersebut. Bantuan tersebut berupa banner besar yang memuat petunjuk cara menyusui yang benar, wastafel manual, serta kipas angin. Sebagai gantinya, pihak Antangin berhak memasang banner produknya di jendela dan pintu ruang tersebut. Banner itu berfungsi untuk menghalangi pandangan orang dari luar, meski dari dalam bisa melihat keluar. Ruangan khusus menyusui inilah yang pertamakali beroperasi, dengan mengambil ruangan yang tadinya gudang namun telah dialihfungsikan. Ruangan ini pertama kali beroperasi pada tanggal 30 Maret 2011 dan diresmikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Surakarta14. Selain menggandeng Antangin sebagai sponsor swasta, Djammila juga berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surakarta. Meskipun tak bisa membantu dalam pendanaan, Dinkes banyak membantu dalam persoalan teknis. Penyediaan brosur tentang cara menyusui yang benar dan mempertemukan Djammila dengan pihak sponsor Nutrisi Sari Husada untuk Ruang Khusus Mernyusui 12
Ibid.
13
Ada perbedaan data mengenai ruang menyusui yang pertama. Menurut wawancara dengan Djammila, bulan April 2011, sedangkan berdasarkan berita dari Harian Joglosemar, peresmian ruang menyusui terjadi tanggal 30 Maret 2011. Karena memang rentang waktu berada di akhir bulan, dituliskan Maret-April 2011. 14
Harian Joglosemar. (2011), „Dulu Risih Buka Baju, Sekarang Tak Terganggu‟, harianjoglosemar.com, 31 Maret 2011, diakses 29 Juni 2012
misalnya, adalah bantuan dari Dinkes. Selain itu Dinkes juga memberikan pedoman fasilitas Ruang Khusus Menyusui melalui lampiran surat 875/Menkes/XI/2006. Dengan pedoman dari Dinkes ini Djammila melengkapi Ruang Khusus Menyusui di Terminal Tirtonadi15. Ruang yang dicontoh Djammila tepatnya adalah ruang Tipe IV. Standard Ruang Khusus Menyusui Tipe IV yaitu luas 2,5x2 meter; dilengkapi tirai, pintu, 2 kursi untuk ibu, meja untuk mengganti pakaian bayi, wastafel untuk ibu mencuci tangan sebelum menyusui, poster posisi menyusui yang benar, buku tamu, papan nama ruangan, seorang petugas pengelola/tenaga kesehatan, dan petugas kebersihan; warna dinding dalam ruangan putih/biru muda/kuning muda. Ketentuan-ketentuan lain yaitu: tidak diperkenankan promosi susu formula atau sponsor lain, bebas asap rokok, dan tidak diperkenankan membawa hewan peliharaan dalam ruangan16. Hampir semua fasilitas standar ruang Tipe IV tersedia dalam Ruang Khusus Menyusui terminal Tirtonadi, kecuali petugas pengelola/tenaga kesehatan. Sedangkan tugas-tugas kebersihan diserahkan pada Satuan Keamanan dan Ketertiban Terminal. Sekalipun tak disertai tenaga kesehatan, Ruang Khusus Menyusui Terminal Tirtonadi dilengkapi dengan fasilitas tambahan diluar standar ruang Tipe IV, yaitu Air Conditioner, kulkas, dispenser, mainan bayi, tempat sampah, alat pemerah ASI, dan perlengkapan bayi lain seperti minyak telon, bedak bayi, bahkan pampers (popok bayi)17. Pada awalnya Ruangan Khusus Menyusui Terminal Tirtonadi bertempat di bekas gudang yang luasnya kurang dari standar 2,5x2 meter. Namun segera dipindahkan ke ruangan yang lebih luas menjelang diresmikan pada 7 Juni 2011 oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar. Peresmian tersebut memanfaatkan momentum konferensi di Surakarta sebagai model kota layak anak. Dalam pelaksanaan sponsorship Ruang Menyusui Terminal Tirtonadi juga sudah sesuai ketentuan. Sekalipun Nutrisi Sari Husada merupakan produsen susu formula, tak ada gambar promosi susu formula yang terpampang di dalam ruangan. Ruang Khusus Menyusui juga ditempatkan jauh dari Ruang Khusus Merokok. Hanya saja belum ada poster larangan membawa masuk peliharaan, hal ini mungkin mempertimbangkan tak 15
Kriteria dan Fasilitas Ruang Menyusui, (2006)
16
Ibid.
17
Wawancara Kepala UPTD Terminal Tirtonadi, (2012)
Inisiasi Ruang Menyusui di Terminal Tirtonadi Kota Surakarta
5
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
banyak pengunjung peliharaan.
terminal
yang
membawa
Keberadaan ruang menyusui disambut baik oleh pengguna terminal, terutama oleh ibu-ibu menyusui yang memanfaatkannya. Yeyen dari Pacitan misalnya, merasa ruang ini sangat berguna. “Sangat memuaskan bagi pengguna yang akan melanjutkan perjalanan,” ujar Yeyen. Pendapat yang senada dengan Yeyen juga diutarakan Rubiyanti. “Anak saya tadinya nangis jadi senang begitu masuk ruangan menyusui,” tutur ibu asal Lampung itu. Sedangkan Chofifah yang asli Solo berpendapat lain. Meski sudah nyaman, ia rupanya masih khawatir diintip saat menyusui. “Saya merasa degdegan karena takut diintip,” keluhnya18. Selama tahun 2011 Ruang Khusus Menyusui belum didanai anggaran daerah, melainkan didanai karyawan terminal secara kolektif. Djammila misalnya, sering membelikan peralatan bayi seperti minyak telon, bedak bayi, dan pampers jika habis atau hilang19. Baru mulai tahun 2012 ini pengeluaran-pengeluaran Ruang Khusus Menyusui akan dimasukkan dalam pos anggaran daerah. Hal ini dikarenakan ruang khusus menyusui baru berdiri pada tengah tahun anggaran. Selanjutnya, sebagai salah satu aset pemerintah daerah maka akan ada pos anggaran khusus guna melakukan pemeliharaan terhadap ruangan tersebut20. Keberadaan Ruang Khusus Menyusui tentu dievaluasi secara rutin untuk memastikan ruang tersebut dapat berfungsi secara optimal. Karena itu, sesuai instruksi Djammila, ia sendiri secara personal dibantu oleh para petugas Keamanan dan Ketertiban Terminal yang memantau dan mengawasi Ruang Khusus Menyusui tersebut setiap hari. Pengawasan yang berlangsung tiap hari sesuai dengan kondisi terminal yang beroperasi 24 jam setiap hari. Para petugas Keamanan dan Ketertiban harus memastikan Ruang Khusus Menyusui selalu bersih dan dalam keadaan rapi agar bisa dimanfaatkan dengan baik oleh ibu menyusui. Selain itu, mereka juga harus mengawasi agar ibu menyusui tidak kebingungan saat menggunakan ruang khusus menyusui itu, sekaligus menjaga agar pihak-pihak yang tidak berkepentingan tidak mengganggu saat si ibu sedang menyusui bayinya. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Djammila memang masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Seperti saat seorang ibu menyusui
dianjurkan menggunakan ruang khusus menyusui, ia malah keluar dari ruangan tersebut karena ketakutan bahwa akan dikenakan biaya setelah menggunakan ruangan khusus menyusui. Setelah kejadian itu, Djammila memasang tambahan tulisan “gratis” di ruang khusus menyusui itu, untuk menegaskan bahwa para pengguna ruang tersebut memang tidak dipungut biaya sama sekali21. Hasil evaluasi lain yang dilakukan oleh Djammila dan jajarannya adalah perilaku para pengguna yang kurang bijak dalam menggunakan fasilitas yang tersedia di ruang khusus menyusui tersebut. Selain soal kebersihan dan kerapian ruangan yang kurang terjaga setelah digunakan, berbagai fasilitas seperti mainan, minyak angin, bedak bayi, dan popok bayi malah dibawa pulang oleh ibu menyusui yang menggunakan ruangan tersebut. Tentu perilaku ini membuat Djammila hanya bisa mengelus dada karena prihatin. Selama ini, belum ada pos anggaran yang khusus dialokasikan untuk membiayai pemeliharaan ruangan khusus menyusui itu. Untuk pemeliharaan ruangan yang mencakup tersedianya fasilitas pendukung seperti bedak bayi, minyak telon, popok dan mainan anak-anak semuanya harus ditanggung oleh kantong pribadi Djammila sebagai pengelola terminal. Bahkan, mainan anak-anak disumbangkan oleh para karyawan terminal Tirtonadi untuk mendukung kelengkapan fasilitas ruang khusus menyusui. Untuk mengatasi masalah ini, Djammila berusaha meningkatkan kewaspadaan petugas Keamanan dan Ketertiban terminal untuk mengimbau agar fasilitas yang ada di ruang khusus menyusui tersebut tidak dibawa pulang oleh pengguna ruang tersebut. Djammila menolak memasang kamera pengawas (CCTV) guna memantau aktivitas yang terjadi di dalam ruangan khusus menyusui. Djammila menilai pemasangan kamera pengawas berpotensi memunculkan konten pornografi di tempat publik. Djammila berusaha menyiasati agar fasilitas di ruang khusus menyusui tidak dibawa pulang dengan menyediakan fasilitas seperti popok bayi, minyak telon, ataupun bedak bayi secukupnya saja. Dalam artian, fasilitas tersebut hanya disediakan dalam kuantitas kecil, seperti botol kecil, kemasan mungil dan seterusnya. Karena sebelumnya, fasilitas tersebut tersedia dalam kuantitas besar di ruang khusus menyusui, dan ternyata malah dibawa pulang oleh para pengguna yang kurang bertanggungjawab22. Itulah beberapa hasil evaluasi
18
Kesan pengguna ruang menyusui, tanggal 26 Juni 2012
19
Ibid.
21
Ibid.
20
Wawancara Dinas Kesehatan, (2012).
22
Ibid.
Inisiasi Ruang Menyusui di Terminal Tirtonadi Kota Surakarta
6
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
dan tindak lanjut yang dilakukan setelah evaluasi digelar oleh Djammila dan jajarannya. IV.
DAMPAK SUBSTANTIF
Hingga penelitiaan ini disusun, Ruang Khusus Menyusui Terminal Tirtonadi sudah beroperasi selama 16 bulan. Sejak 30 Maret 2011 hingga 28 Juni 2012 tercatat 222 pengunjung mengisi buku tamu Ruang Khusus Menyusui. Pengunjung ruangan sebenarnya lebih banyak dari jumlah yang tercatat. Menurut Djammila banyak pengunjung yang tidak mengisi buku tamu setelah menggunakan Ruang Khusus Menyusui. Dari 222 pengunjung yang mengisi buku tamu, hanya tujuh pengunjung yang merasa fasilitas Ruang Khusus Menyusui belum memuaskan. Sisanya mengaku puas dan sangat terbantu dengan fasilitas Ruang Khusus Menyusui23. Selain puas dan merasa terbantu, banyak juga pengunjung yang berharap fasilitas Ruang Khusus Menyusui di Terminal Tirtonadi juga dicontoh oleh intansi-instansi publik lain. Dengan demikian adanya Ruang Khusus Menyusui di Terminal Tirtonadi bukan hanya melayani kebutuhan ibu menyusui dalam terminal, tetapi juga menyebarkan gagasan Ruang Khusus Menyusui ke daerah-daerah lain. Hal ini mengingat Terminal Tirtonadi yang berkapasitas maksimal lebih dari 65 ribu penumpang per hari sering dikunjungi orang-orang dari berbagai daerah24. Dalam buku tamu Ruang Khusus Menyusui misalnya, bukan hanya terdapat pengunjung dari kota-kota di sekitar Surakarta seperti Wonogiri, Boyolali, Klaten, Sragen, dan Sukoharjo, tetapi juga pengunjung dari kota-kota di propinsi lain hingga luar pulau Jawa seperti Lampung, Balikpapan, Makassar, dan Papua. Pengalaman menggunakan Ruang Khusus Menyusui di Terminal Tirtonadi akan mendorong pengunjung-pengunjung dari daerah lain menuntut daerah asalnya untuk membuka fasilitas yang sama. Selain dampak kuantitatif, ada juga dampak kualitatif yang terjadi pasca pengadaan ruang khusus menyusui. Dampak yang bersifat kualitatif dari adanya ruang menyusui di tempat publik adalah 23
Buku Tamu Ruang Khusus Menyusui Terminal Tirtonadi, (2012). Para pengguna ruang khusus menyusui di terminal Tirtonadi wajib mengisi buku tamu, meski sesuai keterangan Djammila sebagai Kepala UPTD, banyak yang tidak mengisi buku tamu karena terburu-buru. 24
Harian Joglosemar. (2011), „Puncak Arus Balik, Penumpang Menumpuk di Terminal Tirtonadi‟, harianjoglosemar.com, 3 September 2011, diakses 29 Juni 2012
terjadinya proses pembelajaran bagi para ibu menyusui. Hal ini dikarenakan ruang menyusui harus memiliki poster tentang cara menyusui yang benar dan manfaat ASI bagi bayi. Fungsi edukasi yang terkandung dalam poster di ruang khusus menyusui memudahkan para ibu untuk mengeluarkan ASI secara tepat. Memang nampak sepele, namun masih banyak ibu menyusui yang tidak memahami bahwa selama menyusui bayi ada berbagai prosedur yang harus diikuti. Seperti keharusan mencuci tangan sebelum dan sesudah memberikan ASI. Tentu jika mengikuti prosedur standar pemberian ASI, ibu menyusui tidak bisa sembarangan memberikan ASI pada bayi. Ruang Khusus Menyusui selain memberi ruang yang terlindung dari pandangan orang banyak, juga membantu para ibu memberikan ASI kepada bayi sesuai prosedur standar yang dianjurkan. Sampai tulisan ini disusun, dua pusat perbelanjaan di Kota Surakarta, yakni Mall Solo Square dan Solo Grand Mall juga telah menyediakan ruang khusus menyusui. Mall Solo Square sendiri sudah memiliki ruang khusus menyusui sejak Januari 2010. Ruang khusus menyusui ini terbukti sangat membantu bagi para ibu menyusui, seperti diakui oleh salah satu ibu, bahwa sebelum ada ruang khusus menyusui ia terpaksa memberi ASI kepada bayinya secara sembunyi-sembunyi di kamar pas yang sebenarnya berfungsi untuk mencoba pakaian25. V.
INSTITUSIONALISASI TANTANGAN
DAN
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surakarta beserta elemen-elemen lainnya guna meningkatkan pemberian ASI eksklusif di wilayah Surakarta diteruskan dengan menyusun kerangka kebijakan yang legal. Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta secara bertahap mulai mengakomodasi arti penting pemberian ASI ekslusif dengan mencantumkan substansinya dalam Perda Perlindungan Anak Kota Surakarta yang baru saja disahkan pada 2 Mei 2012 lalu26. Meskipun tidak ada Perda khusus yang dirumuskan untuk mengatur tentang kewajiban pendirian ruang khusus menyusui di tempat publik, 25
Harian Joglosemar. (2010), „Pusat Perbelanjaan Perlu Sediakan Ruang Menyusui‟, harianjoglosemar.com, 14 Januari 2010, diakses 29 Juni 2012 26
www.kla.or.id, „Perda Perlindungan Anak Kota SurakartaDisahkan‟, diakses 30 Juni 2012 dan berdasarkan Wawancara Dinas Kesehatan, (2012)
Inisiasi Ruang Menyusui di Terminal Tirtonadi Kota Surakarta
7
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
namun menurut Kepala Bidang Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Surakarta, Purwanti, Perda Perlindungan Anak dinilai sudah cukup. Memang awalnya dirasakan perlu adanya perda khusus yang mengakomodasi pengadaan fasilitas menyusui di ruang-ruang publik. Namun, setelah pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) ASI no 33 tahun 2012 maka pemerintah kota Surakarta tidak perlu menyusun perda khusus lagi tentang hal itu. Dengan adanya PP ASI tahun no 33 tahun 2012 yang mendorong adanya ruang menyusui di ruang publik di seluruh daerah di Indonesia dinilai lebih memudahkan pekerjaan Dinas Kesehatan untuk mendorong terciptanya lebih banyak ruang khusus menyusui yang representatif di tempat publik27. Dengan adanya peraturan hukum yang mengatur soal pemberian ASI eksklusif dan penyediaan ruang menyusui, maka pihak terkait seperti dinas kesehatan sudah memiliki kepastian hukum yang mengikat. Tantangan-tantangan yang awalnya menghambat seperti kurangnya dana, SDM, dan lemahnya kesadaran masyarakat diharapkan bisa pelan-pelan diatasi. Secara umum, masih banyak tantangan yang menghadang agar ruang khusus menyusui bisa tersebar luas di tempat-tempat publik. Pertama, ketersediaan ruang yang bisa dijadikan ruang menyusui. Ruang khusus menyusui memang idealnya disediakan di semua tempat publik, namun realitas lapangan sulit diubah. Banyak tempat-tempat publik yang dikelola pemerintah maupun swasta sudah berdiri jauh sebelum kampanye intensif tentang inisiasi menyusui dini dan pemberian ASI eksklusif. Tempat-tempat seperti pasar, pusat perbelanjaan, kantor-kantor pemerintahan, bandara dan terminal sudah memiliki desain penggunaan lahan sesuai kepentingannya masing-masing. Mengalokasikan satu ruang tambahan saja berarti akan merombak tata ruang bangunan tersebut secara keseluruhan. Ruangan khusus menyusui juga harus dibangun mengikuti standar teknis yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan, dimana ada fasilitas-fasilitas lain di dalamnya yang harus dilengkapi. Artinya, ruang khusus menyusui memerlukan tidak hanya komitmen institusional semata, namun kecermatan teknis agar ruang tersebut berdiri sesuai fungsi teknis ruangan dan bangunan yang sudah terstandarisasi. Tantangan kedua ialah masih rendahnya kesadaran para ibu menyusui untuk memberi ASI 27
Wawancara Dinas Kesehatan, (2012)
eksklusif bagi para bayinya. Hal ini mengakibatkan banyak ibu yang memilih memberikan susu formula saja kepada bayinya karena lebih simpel dan praktis. Padahal, bayi yang sudah mengonsumsi susu formula, tidak akan mau meminum ASI lagi. Selain itu, meskipun telah disediakan ruang menyusui, banyak ibu menyusui yang tidak menggunakan ruang tersebut dengan benar. Seperti dipaparkan di bagian sebelumnya, banyak pengguna ruang khusus menyusui yang membawa pulang berbagai fasilitas yang disediakan di ruang tersebut. Ini berarti secara makro ruang khusus menyusui juga belum dipelihara dengan baik oleh para penggunanya, lantaran masih sebatas dimanfaatkan saja. Terlebih karena ruang khusus menyusui dapat diakses secara gratis, maka kecenderungan untuk memelihara ruang tersebut semakin kurang. Perlu edukasi yang massif tidak hanya mengenai cara pemberian ASI bagi ibu menyusui, namun juga petunjuk agar para pengguna ruang itu menggunakan fasilitas yang tersedia secara wajar dan seperlunya. VI.
LESSON LEARNED DAN CATATAN KRITIS
Ada beberapa catatan penting yang bisa dipelajari dari keberadaan ruang khusus menyusui di terminal Tirtonadi, yakni: Pertama, pentingnya inisiatif pejabat di lapangan untuk langsung mengeksekusi kebijakankebijakan konkret. Peran Djammila yang dominan dalam penyediaan Ruang Khusus Menyusui di Terminal Tirtonadi membuktikannya. Djammila sebagai Kepala Terminal Tirtonadi tidak hanya sibuk di dalam ruangannya, tetapi juga terjun di antara para penumpang terminal. Ketika terjun ke dalam kondisi karut-marut terminal pada masa lebaran, Djammila mendapat inspirasi untuk menyediakan ruang khusus menyusui guna membantu para ibu menyusui. Latar belakang Djammila sebagai seorang ibu juga menjadi faktor keberhasilan penyediaan Ruang Khusus Menyusui. Djammila mengakui bahwa dorongan naluriahnya sebagai seorang ibu membuatnya mudah berempati dengan kesulitan ibu-ibu menyusui di Terminal Tirtonadi. Hal ini membuktikan peran pejabat perempuan cukup signifikan terkait kebijakan-kebijakan yang membutuhkan wawasan gender. Kedua, pentingnya kemitraan strategis dengan swasta dalam pelaksanaan kebijakan. Pada awal penyediaan Ruang Khusus Menyusui di Terminal, Djammila menggandeng Antangin sebagai mitra
Inisiasi Ruang Menyusui di Terminal Tirtonadi Kota Surakarta
8
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
swasta. Hal tersebut dilakukan Djammila lantaran tak tersedianya anggaran dari Pemerintah Kota. Djammila sempat berkoordinasi dengan Dinkes Surakarta untuk mendapatkan tambahan dana, tetapi pihak Dinkes mengaku tak memiliki ketersediaan dana. Dinkes kemudian mempertemukan Djammila dengan pihak swasta, yakni Nutrisi Sari Husada yang merupakan dana CSR dari produsen susu, sebagai sponsor. Pendanaan swasta dalam konteks ini lebih cepat dioperasikan ketimbang pendanaan daerah. Agar kebijakan-kebijakan tidak tertunda karena kurangnya pendanaan, kemitraan dengan swasta sangat diperlukan. Namun kemitraan dengan swasta harus diikuti dengan ketentuanketentuan yang strategis. Dalam penyediaan Ruang Khusus Menyusui di Terminal Tirtonadi, Dinkes menekankan agar sponsor dilarang promosi susu formula. Ketentuan ini dipatuhi oleh Terminal Tirtonadi. Sekalipun salah satu sponsor yaitu Nutrisi Sari Husada merupakan produsen susu formula, tetapi sponsor tersebut tak memasang iklan susu formula di Ruang Khusus Menyusui. VII.
PELUANG REPLIKASI
Pembangunan dan pengelolaan Ruang Khusus Menyusui di Terminal Tirtonadi, menjadi pelopor penyediaan Ruang Khusus Menyusui di terminal bus. Pengalaman ini dapat dijadikan referensi sehingga instansi-instansi publik lain dapat mengikutinya. Inovasi ini sangat terbuka untuk direplikasi oleh daerah lain. Hal ini disebabkan lantaran secara nasional sudah adanya PP ASI Nomor 33 tahun 2012 sebagai kerangka regulasi yang mendorong pemberian ASI eksklusif. Secara spesifik, peraturan ini sudah menginstruksikan agar tempat-tempat publik menyediakan ruang khusus menyusui. Peraturan daerah harus secara aktif mengakomodasi tuntutan dari PP ASI, yakni mewajibkan pengelola tempat-tempat publik untuk menyediakan ruang khusus menyusui. Ketersediaan perda akan memudahkan pemerintah daerah untuk mengimplementasikan dan mengawasi tersedianya ruang khusus menyusui. Mengenai kelengkapan fasilitas dan spesifikasi teknis ruang khusus menyusui juga sudah tersedia petunjuk lengkapnya berdasarkan instruksi resmi dari Kementerian Kesehatan. Kendala yang mungkin menghambat proses replikasi ini ialah lemahnya komitmen pengelola tempat-tempat publik terhadap isu-isu kesehatan berbasis gender yang masih dipandang sebelah mata. Jika para pengelola tempat publik mengetahui dan menyadari pentingnya mengarusutamakan
kebijakan kesehatan yang pro gender, maka inovasi ini dapat direplikasi dengan baik. Karena itu, instansi seperti dinas kesehatan, sangat perlu memberi pelatihan mengenai wawasan isu-isu kesehatan dan gender kepada para pengelola tempat-tempat publik. Kesepahaman antara para pengambil kebijakan dan pengelola tempat publik akan memudahkan terwujudnya ruang khusus menyusui di tempat-tempat publik. Selain itu, harus ada sistem evaluasi yang terorganisasi dengan baik agar ruang menyusui ini memiliki fasilitas yang representatif dan dimanfaatkan oleh para penggunanya28. Lewat evaluasi dan kontrol yang rapi, maka ruang menyusui akan mampu melayani kebutuhan menyusui secara optimal dan berkesinambungan. Referensi Buku Tamu Ruang Khusus Menyusui Terminal Tirtonadi, (2012) Fikawati, S. dan Syafiq A., (2010), Kajian Implementasi dan Kebijakan Air Susu Ibu Eksklusif dan Inisiasi Menyusui Dini di Indonesia, Makara, Kesehatan, Vol.14 No.1 Harian Joglosemar. (2010), „Mutasi Janggal Kepala Terminal‟ 5 September 2010, harianjoglosemar.com, diakses 26 Juni 2012 Harian Joglosemar. (2010), „Pusat Perbelanjaan Perlu Sediakan Ruang Menyusui‟, harianjoglosemar.com, 14 Januari 2010, diakses 29 Juni 2012 Harian Joglosemar. (2011), „Dulu Risih Buka Baju, Sekarang Tak Terganggu‟, harianjoglosemar.com, 31 Maret 2011, diakses 29 Juni 2012 Harian Joglosemar. (2011), „Puncak Arus Balik, Penumpang Menumpuk di Terminal Tirtonadi‟, harianjoglosemar.com, 3 September 2011, diakses 29 Juni 2012 Harian Joglosemar. (2011), „Terminal Sebagai Rumah Kedua‟ 20 Agustus 2011, harianjoglosemar.com, diakses 26 Juni 2012 Kompas. (2012), „Otaki Pungli, Mantan Kepala Terminal Dibui Setahun‟ 22 Mei 2012, kompas.com, diakses 12 Juni 2012
28
Penulis pernah melihat sebuah ruang laktasi di sebuah stasiun kereta api di Jakarta yang kondisinya menyedihkan. Tidak ada fasilitas standar yang harusnya dimiliki oleh ruang laktasi. Kurangnya perhatian dan komitmen dari pengelola stasiun membuat ruang laktasi hanya „asal jadi‟ saja.
Inisiasi Ruang Menyusui di Terminal Tirtonadi Kota Surakarta
9
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
Media Indonesia. (2011), „Tingkat Pemberian ASI Eksklusif di Solo Masih Rendah‟ mediaindonesia.com, 4 Oktober 2011, diakses 20 Juni 2012. Peraturan Pemerintan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. Kriteria dan Fasilitasi Ruang Menyusui, berdasarkan Lampiran Surat Nomor 872/Menkes/XI/2006.
Narasumber Wawancara dengan Kepala Bidang Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Surakarta, Purwanti, 28 Juni 2012, pukul 14.00-14.45 Wawancara dengan Kepala UPTD Terminal Tirtonadi, Djammila, 26 Juni 2012, pukul 10.3011.15
www.kla.or.id, „Perda Perlindungan Anak Kota Surakarta Disahkan‟, diakses 30 Juni 2012
Inisiasi Ruang Menyusui di Terminal Tirtonadi Kota Surakarta
10
http://igi.fisipol.ugm.ac.id