DATABASE GOOD PRACTICE Initiatives for Governance Innovation merupakan wujud kepedulian civitas akademika terhadap upaya mewujudkan tata pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih baik. Saat ini terdapat lima institusi yang tergabung yakni FISIPOL UGM, FISIP UNSYIAH, FISIP UNTAN, FISIP UNAIR, DAN FISIP UNHAS.
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Sektor Sub-sektor Provinsi Kota/Kabupaten
Sekretriat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio-Justisia Bulaksumur Yogyakarta 55281 email:
[email protected]
igi.fisipol.ugm.ac.id
Institusi Pelaksana Kategori Institusi Penghargaan Kontak
Mitra
Peneliti
Pendidikan Manajemen Berbasis Sekolah Jawa Tengah Salatiga Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Jln. Raden Mas Said No. 12 Kalibening, Tingkir, Salatiga, Jawa Tengah 50744 telepon: 0298-311438 website: http://www.kbqt.co.cc email:
[email protected] Japan Social Development Fund (JSDF); Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah; Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Salatiga. Agung Prihantoro (
[email protected]) FKIP Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
Mengapa program/kebijakan tersebut muncul? Ketiadaan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berkualitas, murah dan berbasis komunitas di Salatiga. Apa tujuan program/kebijakan tersebut? Menyelenggarakan pendidikan yang mengembangkan kecerdasankecerdasan warga belajar berbasis komunitas dalam rangka mengatasi masalah-masalah masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya di Desa Kalibening, Tingkir, Salatiga. Bagaimana gagasan tersebut bekerja? (1) Mendirikan SMP Terbuka Qaryah Thayyibah, (2) Mengubah SMPTQT jadi Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah supaya lebih otonom dan benarbenar berbasis komunitas.
Siapa inisiatornya? Siapa saja pihak-pihak utama yang terlibat? Inisiatornya adalah Ahmad Bahruddin. Masyarakat Desa Kalibening; Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah; Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Salatiga. Apa perubahan utama yang dihasilkan? (1) Anak-anak usia sekolah dari keluarga kurang mampu di Desa Kalibening dan sekitarnya bisa belajar di KBQT, (2) KBQT menghasilkan lulusan-lulusan yang berprestasi sesuai dengan kecerdasan-kecerdasan mereka. Siapa yang paling memperoleh manfaat? (1) Masyarakat Desa Kalibening dan (2) warga belajar KBQT.
Deskripsi Ringkas Masalah utama dalam bidang pendidikan yang dihadapi oleh penduduk Desa Kalibening, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga adalah ketiadaan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berkualitas dan murah. SMP-SMP di Salatiga dan di banyak tempat lain cenderung hanya mengembangkan kecerdasan matematis-logis dan mengabaikan kecerdasan-kecerdasan lain. Selain itu, biaya pendidikan di SMP-SMP negeri di Salatiga tidak terjangkau oleh sebagian penduduk Desa Kalibening. KBQT berdiri untuk menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Untuk menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas dengan biaya terjangkau, KBQT berbasis komunitas, dan bentuknya ialah komunitas belajar. Dalam jangka pendek, KBQT bertujuan untuk menyelesaikan masalah praktis masyarakat Desa Kalibening, yakni kebutuhan akan sekolah yang berkualitas dan murah. KBQT menyelenggarakan pendidikan yang mengembangkan kecerdasankecerdasan warga belajar berbasis komunitas dalam rangka mengatasi masalah-masalah masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya di Desa Kalibening dan sekitarnya. Dalam jangka panjang, KBQT bertujuan untuk mengembangkan dan membangun learning society dan advanced society, masyarakat yang secara terus-menerus belajar bersama-sama untuk menyelesaikan masalah-masalah dan memajukan kehidupan mereka dengan swadaya. Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, Ahmad Bahruddin mengambil inisiatif dengan mengajak bermusyawarah tetangga-tetangganya yang tidak
mampu menyekolahkan anak-anak mereka di SMP. Akhirnya, mereka sepakat untuk mendirikan Sekolah Menengah Pertama Terbuka Qaryah Thayyibah (SMPTQT). Saat itu, SMPTQT menginduk ke SMP N 10 Salatiga. Supaya lebih otonom dan benar-benar berbasis pada komunitas, pada 2006 SMPTQT berubah jadi Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah sebagai sebuah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Dalam mendirikan dan mengelola KBQT bermitra dengan Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT); Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Salatiga. Jaringan SPPQT sangat membantu dalam hal perekrutan fasilitator KBQT dan pengembangan KBQT secara keseluruhan. Dengan model pendidikan dan manajemen berbasis komunitas ini, KBQT telah berhasil melahirkan remaja dan pemuda yang mandiri, kreatif dan berprestasi dalam banyak bidang. Anak-anak desa dari keluarga kurang mampu, setelah belajar di KBQT, berubah jadi remaja dan pemuda yang mandiri dalam cara berpikir dan cara hidup. Mereka juga kreatif dalam menyalurkan kecerdasankecerdasan mereka. Pihak yang paling banyak memperoleh manfaat dari manajemen berbasis komunitas di KBQT adalah masyarakat Desa Kalibening dan sekitarnya dan anak-anak yang belajar di KBQT. Bagi masyarakat Desa Kalibening yang mampu dan kurang mampu, KBQT menjadi tempat belajar yang murah dan berkualitas bagi anak-anak mereka. Keluargakeluarga yang mampu mengirim anak-anak mereka ke KBQT untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Sementara itu, keluarga-keluarga yang
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
2
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
kurang mampu menemukan solusi yang tepat untuk menyekolahkan anak-anak mereka di desa mereka sendiri. Masalah pendidikan anak-anak mereka selesai dengan keberadaan KBQT. Anak-anak yang
belajar di KBQT menjadi remaja-remaja pemuda-pemuda yang mandiri, kreatif berprestasi dalam kehidupan nyata.
dan dan
Rincian Inovasi I.
Latar Belakang
Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah, sekarang menjadi lembaga pendidikan yang sangat otonom, melakukan sejumlah inovasi pendidikan dan berhasil meningkatkan proses pembelajaran dan kualitas lulusannya. KBQT terletak di Desa Kalibening, sebuah desa yang berjarak tiga kilometer ke arah selatan dari Kota Salatiga. Kebanyakan penduduk desanya bekerja sebagai petani sawah, tetapi kemudian sebagian berubah jadi pegawai dan buruh di Kota Salatiga (Bahruddin, 2007, p. 53). Di desa ini terdapat Pondok Pesantren Hidayatul Mubtabdi’in yang didirikan oleh K.H. Abdul Halim. Masalah utama dalam bidang pendidikan yang dihadapi oleh penduduk Desa Kalibening, menurut Bahruddin dalam wawancara pertama, adalah ketiadaan sekolah yang berkualitas dan murah. Sekolah-sekolah yang ada di Salatiga dan di banyak tempat lain cenderung hanya mengembangkan kecerdasan matematis-logis dan mengabaikan kecerdasan-kecerdasan lain dalam teori kecerdasan majemuk atau multiple intelligences (Gardner, 1985). Selain itu, uang masuk di sekolah-sekolah negeri di Salatiga pada 2003 mencapai Rp. 750.000 dan SPP bulanannya Rp. 35.000, dan belum lagi biaya seragam sekolah dan perlengkapan belajar. Biaya sebesar ini tidak terjangkau oleh sebagian penduduk Desa Kalibening (Bahruddin, 2007, p 27). Masalah utama ini disebabkan oleh konsep dan praktik yang salah tentang pendidikan, lanjut Bahruddin. Konsep dan praktik pertama yang salah adalah komersialisasi pendidikan, yakni
memperdagangkan pendidikan demi motif ekonomi. Sekolah-sekolah yang dianggap menyelenggarakan “pendidikan berkualitas” memungut biaya mahal. Akibatnya, hanya keluarga-keluarga kaya yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka di sekolahsekolah tersebut, sedangkan keluarga-keluarga miskin bahkan tidak bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Jumlah anak-anak usia sekolah yang tidak sekolah ini terlihat pada angka partisipasi murni (APM) SD/MI, SMP/MTs, dan SMU/SMK/MA Kota Salatiga pada Tabel 1. Rata-rata APM SD/MI selama lima tahun (2006-2010) sebesar 94,52%. Artinya, 5,48% anak usia SD/MI di Kota Salatiga tidak sekolah. Rata-rata APM SMP/MTs selama lima tahun (20062010) sebesar 83,91%. Artinya, 16,09% anak usia SMP/MTs di Kota Salatiga tidak sekolah. Rata-rata APM SMU/SMK/MA selama lima tahun (2006-2010) sebesar 89,10%. Artinya, 10,90% anak usia SMU/SMK/MA tidak sekolah. Di antara tiga jenjang pendidikan dasar, menengah dan atas ini, persentase tertinggi anak usia sekolah yang tidak sekolah di Kota Salatiga pada 2006-2010 adalah anak usia SMP/MTs, yaitu 16,09%. Sebagai perbandingan, di seluruh Indonesia anak-anak usia sekolah yang tidak sekolah pada 2009-2010 di tingkat SD/MI sebesar 5-50%, di tingkat SMP/MTs sebesar 30-50%, dan di tingkat SMU/SMK/MA sebesar 50-80% (Puspitawati, 2009, p. 17). Pada 2006-2010 di Kota Salatiga, angka kelulusan SD-SMA di atas 84%, dan angka partisipasi kasar (APK)-nya pun di atas 100%. Tabel 1 juma menunjukkan bahwa jumlah siswa yang diterima di SMU/SMK/MA selalu lebih banyak daripada jumlah
Tabel 1. Angka Kelulusan Siswa di Kota Salatiga 2006-2010 SD/MI
SMP/MTs
SMU/SMK/MA
APM (%)
Thn
Jml Peserta
Jml Lulus
%
Jml Peserta
Jml Lulus
%
Jml Peserta
Jml Lulus
%
SD/ MI
SMP/ MTs
2006 2007 2008 2009 2010
2.642 2.680 2.764 2.709 2.694
2.642 2.680 2.764 2.694 2.668
100 100 100 99,4 99,0
3.025 3.636 3.162 3.223 3.223
2.764 3.412 2.964 3.158 3.166
91,37 93,84 93,74 97,98 98,23
2.789 4.561 4.234 4.338 4.338
2.269 4.127 3.565 4.189 4.191
81,36 90,48 84,20 96,57 96,61
97,49 101,51 100,66 86,48 86,48
87,22 88,01 86,61 78,86 78,86
APK (%) SMU/ SMK/ MA 105,72 74,51 118,29 73,49 73,49
SD/ MI
SMP/ MTs
116,97 118,32 120,10 109,20 101,92
124,39 125,65 104,24 108,63 108,63
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (2010), Profil Daerah Kota Salatiga.
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
3
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
SMU/ SMK/ MA 131,62 102,62 106,32 106,33
lulusan SMP/MTs, dan jumlah siswa yang diterima di SMP/MTs juga selalu lebih banyak daripada lulusan SD/MI. Namun, rata-rata APM-nya selama lima tahun di bawah 95%. Dibandingkan dengan APK, APM merupakan indikator daya serap yang lebih baik (daya sekolah terhadap anak usia sekolah), karena APM melihat partisipasi penduduk kelompok usia standar pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan standar tersebut (Puspitawati, 2009, p. 15). Kedua, pendidikan disederhanakan jadi pengajaran yang menempatkan peserta didik sebagai obyek dan guru sebagai subyek. Di sini hampir tidak ada pemelajaran (aktivitas belajar). Ketiga, lembaga pendidikan terasing dari masyarakat dalam arti fisik dan non-fisik. Secara fisik, sekolah-sekolah dikelilingi tembok yang tinggi sehingga sivitas akademis sekolah tidak tahu-menahu perihal masyarakat sekitarnya dan problem-problemnya dan begitu juga sebaliknya. Secara non-fisik, seolah-olah hanya siswa-siswa sekolah yang boleh belajar, sedangkan masyarakat tidak boleh belajar. Pada 2003, anak-anak di Desa Kalibening yang sudah tamat dari SD akan melanjutkan pendidikan di SMP, tetapi sebagian orangtua mereka tidak sanggup membayar biaya sekolah di SMP dengan besaran tersebut di atas. Para orangtua ini bekerja sebagai petani dan buruh, dan penghasilan mereka tidak cukup untuk membayar biaya sekolah anakanak mereka guna melanjutkan ke SMP. Karena kendala biaya ini, sebagian anak lulusan SD di Desa Kalibening itu tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka ke SMP.
ini. Mereka beralasan bahwa SMPTQT hanyalah uji coba, dan mereka tidak mau anak-anak mereka dijadikan “kelinci percobaan” di sekolah yang akan dibentuk itu. Mereka memilih mendaftarkan dan menyekolahkan anak-anak mereka di SMP-SMP di Kota Salatiga meskipun dengan biaya yang mahal (Bahruddin, 2007, p. 204). Maka, pada Juni 2003 berdirilah SMPTQT dan siswanya berjumlah 12 orang. Waktu itu, SMPTQT tidak mempunyai gedung sekolah, dan siswasiswanya belajar di salah satu ruangan sederhana di rumah Bahruddin. SMPTQT menginduk pada SMP Negeri 10 Salatiga. Namun, SMP Terbuka ini belum sepenuhnya otonom karena masih harus mengikuti ketentuan-ketentuan pemerintah dalam hal kurikulum, ujian nasional, dan peraturanperaturan lain yang kental dengan komersialisasi pendidikan. Agar lebih otonom, SMP Terbuka ini berubah jadi Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah pada 2006 dan perubahan ini tercatat secara legal di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Salatiga. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 ayat 4, komunitas belajar sebagai lembaga pendidikan nonformal ini disebut pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). KBQT ini berada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Non-Formal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
II.
Inisiasi
Masalah tersebut diketahui oleh Ahmad Bahruddin, seorang pengurus Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) yang saat itu menjadi Ketua Rukun Warga (RW). Anak pertama Bahruddin juga baru saja lulus SD dan akan meneruskan ke SMP. Bahruddin merasa prihatin dengan masalah itu dan mencoba untuk turut menyelesaikannya. Maka, dia mengundang tetangga-tetangganya yang anak-anak mereka akan melanjutkan sekolah ke SMP untuk membicarakan masalah ini. Kemudian, berkumpullah 30 kepala keluarga (KK) dalam beberapa kali pertemuan untuk mencari pemahaman bersama dan menemukan solusinya. Setelah beberapa kali berembuk, 12 KK (termasuk Bahruddin) sepakat untuk membentuk SMP Terbuka Qaryah Thayyibah (SMPTQT) dan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah bentukan mereka sendiri ini. Nama “Qaryah Thayyibah” sesuai dengan nama organisasi Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (Bahruddin, 2007, p. 203-204).
Inisiatif pendirian SMP Terbuka Qaryah Thayyibah dan perubahannya jadi KBQT berasal dari Ahmad Bahruddin. Dia adalah anak keempat dari almarhum K.H. Abdul Halim, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mubtabdi’in di Desa Kalibening. K.H. Abdul Halim merupakan salah satu tokoh Nahdhatul Ulama (NU) di Salatiga. Bahruddin kuliah sampai lulus di Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Selama kuliah dan setelah lulus, dia bergiat di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan organisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat. Selanjutnya, pada 10 Agustus 1999 di Salatiga, Jawa Tengah, dia bersama sejumlah anggota kelompok-kelompok petani dan aktivisaktivis gerakan membentuk Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT), sebuah organisasi massa petani non-partisan, independen dan non-profit. Qaryah Thayyibah dalam bahasa Arab berarti “desa yang berdaya”.
Sementara itu, 18 KK lainnya menolak untuk menyekolahkan anak-anak mereka di SMP Terbuka
Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (n.d) menyatakan bahwa SPPQT merupakan organisasi
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
4
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
yang terbuka dan pluralis. Anggota-anggota dan calon anggotanya mempunyai beragam latar belakang suku, agama, golongan, status sosial dan jenis kelamin. Keanggotaan SPPQT bersifat kolektif melalui paguyuban petani (organisasi petani di tingkat desa) dan kelompok tani (organisasi petani di tingkat dusun/dukuh). Kelompok tani beranggotakan petani penggarap, buruh tani, dan petani lahan sempit—laki-laki dan perempuan. Sampai tahun 2011, SPPQT memiliki anggota sejumlah 16.456 petani yang tergabung dalam 55 paguyuban dan 45 calon paguyuban yang terdiri dari 416 kelompok tani dan 87 kelompok perempuan. Anggota-anggota ini tinggal di 189 desa yang tersebar di 10 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, yakni Kabupaten Semarang, Kendal, Magelang, Temanggung, Wonosobo, Batang, Boyolali, Sragen, Grobogan, dan Kota Salatiga. SPPQT menjalin kerja sama dengan organisasiorganisasi lain di tingkat nasional dan internasional, misalnya ILO (International Labor Organization). SPPQT juga menggalang dana (fundraising) dari organisasi-organisasi penyandang dana internasional untuk menyelenggarakan kegiatankegiatannya. Dari paparan di atas, tampak jelas bahwa Bahruddin dan SPPQT memiliki jaringan yang cukup luas dan legitimasi sosial. Bahruddin juga mempunyai jiwa kepemimpinan yang bisa menggerakkan dan memimpin masyarakat. Dia mengaku dalam sebuah wawancara pertama dengan penulis bahwa apa yang paling memengaruhi dirinya dalam mendirikan dan mengelola KBQT adalah pengalamannya selama berkiprah di organisasi non-pemerintah. Pada tahun 2003 ketika anak pertama Bahruddin dan sejumlah anak dari anggota-anggota SPPQT di Desa Kalibening lulus sekolah dasar (SD) dan akan melanjutkan pendidikan ke SMP, Bahruddin dan anggota-anggota SPPQT itu merasa bahwa SMPSMP di Salatiga kurang berkualitas dan berbiaya mahal. Sebagian anggota SPPQT bahkan tidak mampu membiayai anak-anak mereka untuk melanjutkan sekolah. Kemudian, berkumpullah 30 kepala keluarga (KK) untuk membicarakan masalah ini dan mencari solusinya. Akhirnya, mereka menemukan solusinya, yakni mendirikan SMP Terbuka Qaryah Thayyibah (SMPTQT) sendiri dan memilih Bahruddin sebagai kepala sekolahnya. Nama sekolah ini sama dengan nama Serikat Paguyuban Petani-nya. Dua belas KK sepakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka di SMPTQT, sedangkan 18 KK lainnya tetap mengirim anak-anak mereka ke SMP-SMP yang ada di Salatiga. Pendirian SMPTQT juga dilatari oleh alasan lain,
sebagaimana dikatakan Bahruddin dalam wawancara pertama dengan penulis. Dia mengatakan bahwa SMPTQT merupakan learning community (komunitas belajar), dan learning community (masyarakat belajar) merupakan bagian dari learning society yang mengarah pada advanced society (masyarakat maju). Komunitas belajar adalah sekelompok orang yang anggotaanggotanya saling belajar dan mengajar secara bersama-sama untuk menyelesaikan masalahmasalah kehidupan sehari-hari dan memajukan kehidupan mereka. Dalam lingkup yang lebih luas, masyarakat yang selalu belajar untuk tujuan-tujuan tersebut disebut masyarakat belajar. Jika seluruh anggota masyarakat terus belajar, dapat menyelesaikan masalah-masalah kehidupan mereka secara swadaya, dan berhasil mencapai kehidupan yang maju dan sejahtera, mereka bisa dinamakan sebagai masyarakat maju. Ide masyarakat belajar berasal dari Torsten Husen (Masyarakat Belajar, 1988), seorang ahli pendidikan Eropa. Masyarakat belajar yang dikemukakan Husen berada dalam konteks perkembangan teknologi yang luar biasa cepat. Masyarakat pada semua lapisan usia harus selalu belajar ihwal teknologi supaya bisa mengikuti kemajuan teknologi dan tidak ketinggalan zaman. Aktivitas belajar berlangsung tidak hanya di sekolah, tetapi di seluruh lapisan masyarakat. Orang-orang yang belajar bukan hanya anak-anak sekolah, melainkan seluruh anggota masyarakat. Sebagai sebuah komunitas belajar, SMPTQT dalam proses pendidikannya menerapkan tujuh prinsip belajar sebagai berikut: (1) pendidikan yang membebaskan, (2) keberpihakan pada seluruh warga belajar, (3) partisipatif, (4) kurikulum berbasis kebutuhan masyarakat sekitar, (5) kerja sama, (6) evaluasi yang berpusat pada subyek didik, dan (7) percaya diri (Bahruddin, 2007, p. xiv-xv). Membebaskan berarti bahwa pendidikan harus membebaskan murid-muridnya dari belenggu pendidikan pada umumnya yang bersifat formalistik dan menjadikan murid tidak kritis dan tidak kreatif. Proses pendidikan harus dilandasi dengan semangat perubahan untuk menjadikan murid kritis dan kreatif. Keberpihakan pada seluruh warga belajar berarti bahwa pendidikan dan pengetahuan merupakan hak seluruh warga belajar. Partisipatif berarti melibatkan pengelola, murid, keluarga dan masyarakat dalam merancang sistem dan praktik pendidikan, supaya sistem dan praktik pendidikannya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan nyata masyarakat. Pendidikan yang tidak partisipatif tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan nyata masyarakat. Pendidikan yang partisipatif merancang
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
5
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
kurikulumnya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan nyata masyarakat dan sumber daya lokal yang tersedia. Sehingga, pendidikan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan nyata masyarakat dan memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya lokal untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Lebih lanjut, Bahruddin menjelaskan bahwa proses belajar berlangsung dalam bentuk kerja sama antara murid dan guru dalam hubungan yang egaliter tanpa dikotomi. Dalam hubungan seperti ini, semuanya sebenarnya menjadi murid (orang yang mau belajar). Kerja sama ini berlangsung antarindividu dan—dalam konsep masyarakat belajar—juga antarkelompok, antardaerah, antarnegara, antarbenua, serta antarsemuanya. Evaluasi yang berpusat pada subyek didik berarti bahwa subyek didik itu sendirilah yang harus mengevaluasi dirinya sendiri untuk mengetahui dan mengembangkan potensinya. Pendidikan mendorong subyek didik untuk memiliki kemampuan evaluasi diri. Percaya diri berarti bahwa keberhasilan pendidikan bergantung pada subyek didik sendiri. Indikasi keberhasilan pendidikan adalah peningkatan kapasitas subyek didik dan kebermanfaatan subyek didik bagi orang lain. Jika kapasitasnya meningkat dan bermanfaat bagi orang lain, pengakuan (termasuk ijazah) akan datang dengan sendirinya. Selain menerapkan tujuh prinsip pendidikan tersebut, komunitas belajar yang sebagian besar warganya berusia anak-anak sekolah ini juga mengaplikasikan teori kecerdasan majemuk untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang menonjol pada diri setiap warga belajar, sebagaimana penuturan Bahruddin dalam wawancara pertama. Alasan-alasan pembentukan KBQT dan tujuh prinsip pendidikan yang diperkaya dengan teori kecerdasan majemuk di atas jelas merupakan konsep manajemen berbasis komunitas.
III.
Implementasi
Bagian ini memaparkan implementasi inisiatifinisiatif manajemen berbasis komunitas yang telah diuraikan sebelumnya. Implementasi manajemen berbasis komunitas di KBQT dibagi jadi dua tahap. Tahap pertama adalah pendirian sekolah terbuka, yakni SMPTQT. Tahap kedua berupa perubahan sekolah terbuka jadi komunitas belajar, dari SMPTQT jadi KBQT. A. Tahap SMP Terbuka Pada tahap pertama, implementasi manajemen berbasis komunitas di KBQT berupa pendirian SMPTQT (Bahruddin, 2007). Setelah 12 KK
bersepakat untuk mendidik anak-anak mereka di sekolah yang mereka dirikan dan kelola sendiri, langkah-langkah berikutnya yang mereka tempuh adalah menyediakan tempat belajar, merekrut guruguru (pendamping), merumuskan kurikulum, menyediakan sumber belajar, menyediakan alat-alat belajar, mencari dana operasional, dan mengurus izin untuk memperoleh status legal. Ihwal tempat, SMPTQT berkedudukan di rumah Bahruddin dan menginduk pada SMP Negeri 10 Salatiga. Warga belajarnya belajar di dua ruang sederhana yang sebelumnya menjadi sekretariat SPPQT di rumah Bahruddin. Mereka juga belajar di seluruh wilayah Desa Kalibening dan kadang-kadang mengadakan kegiatan di luar desa itu. Alam, kondisi fisik dan kehidupan sosial Desa Kalibening merupakan tempat belajar mereka. Mereka menyatu dengan kehidupan masyarakat desa, dan rumah Bahruddin tidak dikelilingi pagar yang memisahkan SMPTQT dan masyarakat sekitarnya. Alam Desa Kalibening berupa kawasan permukiman, persawahan dan perkebunan. Kondisi fisiknya berupa bangunan-bangunan rumah, pondok pesantren, tempat ibadah (masjid) dan warung. Kehidupan sosialnya bercirikan pedesaan dan religius. Warga belajar SMPTQT akrab dengan semua sumber daya alam ini dan juga dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Desa Kalibening. Perihal persoalan-persoalan masyarakat, warga belajar SMPTQT mencoba untuk turut menyelesaikannya dengan sumber daya alam setempat. Salah satu persoalan itu ialah ketiadaan bahan bakar untuk memasak selain kayu bakar, gas dan minyak. Maka, beberapa warga belajar SMPTQT melakukan percobaan untuk menciptakan briket dari daun dan pelepah bambu sebagai bahan bakar yang menghasilkan panas yang tinggi. Percobaan ini belum berhasil, tetapi apa yang dilakukan oleh beberapa warga belajar SMPTQT merupakan praktik komunitas dan masyarakat belajar dan penerapan tujuh prinsip belajar di atas. Dalam merekrut guru-guru atau pendamping, pengelola SMPTQT memanfaatkan jaringan SPPQT dan jaringan mereka lainnya. Aktivis-aktivis SPPQT, guru-guru di Salatiga, sarjana-sarjana, dan mahasiswa-mahasiswa direkrut untuk menjadi pendamping di SMPTQT. Para pendampingnya merupakan sarjana dan mahasiswa dalam banyak bidang, misalnya ilmu pengetahuan alam (IPA), bahasa Inggris, bahasa Arab, musik, dan matematika. Kesungguhan mereka untuk mendampingi warga belajar SMPTQT dan belajar bersama dengan imbalan ala kadarnya menjadikan aktivitas pembelajaran di SMPTQT berlangsung
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
6
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
dengan tulus, menarik dan menyenangkan. Pendamping utamanya berperan untuk memotivasi, memfasilitasi dan mengajak diskusi warga belajar SMPTQT. Pendamping memotivasi warga belajar untuk belajar dan maju, memfasilitasi proses pembelajaran warga belajar dan mengajak diskusi warga belajar tentang hal ihwal warga belajar, masyarakat dan kehidupan nasional dan internasional. Kadang, pendamping menjadi sumber belajar, tetapi peran semacam ini tidak mendominasi. Sehingga, hubungan antara pendamping dan warga belajar bersifat egaliter dan akrab. Dalam mengemban peran-peran tersebut, pendamping menyesuaikan diri dengan karakteristik dan keinginan warga belajar. Waktu, tempat, materi dan metode belajar ditentukan sepenuhnya oleh warga belajar SMPTQT. Pada tahun pertama berdiri, SMPTQT hanya terdiri dari satu kelas, tetapi pada tahuntahun berikutnya setiap angkatan membentuk kelas sendiri. Setiap kelas bebas menentukan jam berapa dan berapa kali dalam satu pekan mereka belajar. Warga belajar dalam satu kelas berembuk untuk memilih tempat belajar, materi dan metode belajar mereka. Pendamping mendampingi mereka dalam kegiatan belajar hanya jika warga belajar menghendakinya. Pada tahap awal, pengelola SMPTQT mengadopsi kurikulum nasional karena SMPTQT terikat dengan peraturan Departemen Pendidikan Nasional dan mereka belum mampu merumuskan kurikulum sendiri. Kurikulum nasional menjadi acuan terutama bagi warga belajar yang ingin mengikuti Ujian Nasional (UN). Perlu diketahui, warga belajar SMPTQT dibolehkan untuk mengikuti atau tidak mengikuti (UN). Materi-materi di luar kurikulum nasional dicari sendiri oleh warga belajar dalam buku, internet dan sumber-sumber belajar lainnya. Dalam menyediakan sumber belajar, pengelola SMPTQT lagi-lagi memanfaatkan jaringan mereka. Mereka menggandeng seorang pengusaha Salatiga di bidang komunikasi, yakni Roy Budhianto Handoko, yang bersedia memberikan fasilitas internet gratis. Internet ini bisa diakses oleh warga belajar selama 24 jam non-stop. Sumber-sumber belajar lainnya, seperti buku, majalah dan produkproduk consumer goods dibeli sendiri dan disumbang oleh para donatur. Alat-alat belajar belajar semisal pensil, pulpen, penghapus, papan tulis, meja, kursi, komputer, dan alat-alat percobaan dan musik dibeli sendiri, dipinjami oleh warga belajar yang memilikinya, dan disumbang oleh para donatur. Warga belajar yang mempunyai alat-alat musik membawanya ke
SMPTQT untuk belajar bermain musik. Jika mereka ingin memiliki alat-alat belajar tertentu, mereka berusaha untuk mencari uang guna membelinya. Usaha mereka ini menjadi aktivitas belajar yang afektif dan melatih mereka hidup mandiri. Dana operasional operasional SMPTQT diperoleh dari iuran sukarela warga belajar dan sumbangan dari donatur. Pada mulanya, orangtua warga belajar SMPTQT berembuk bersama dan memutuskan untuk membayar iuran sukarela sebesar Rp. 10.000 per bulan. Mereka juga memberi uang saku anak Rp. 4.000 per hari, yang digunakan untuk mencicil pembelian komputer Rp. 2.000, untuk mencicil pembelian gitar dan menabung Rp. 1.000, dan untuk biaya makan Rp. 1.000. SMPTQT juga menerima sumbangan yang tidak mengikat dari para donatur. Dana bagi SMPTQT tidak menjadi masalah, karena SMPTQT hendak membuktikan bahwa pendidikan yang berkualitas bisa diselenggarakan dengan murah atau dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Untuk memperoleh pengakuan legal dari pemerintah, SMPTQT mengurus izin sebagai lembaga pendidikan formal SMP Terbuka dan menginduk pada SMPN 10 Salatiga. Proses perizinan ini berlangsung lancar, sehingga SMPTQT bisa melangsungkan aktivitas pendidikan, pemelajaran dan pembelajaran secara legal. Warga belajarnya bisa mengikuti UN dan mendapatkan ijazah dari SMP induknya, meskipun pengelola SMPTQT menyilakan warga belajarnya untuk mengikuti UN atau tidak. Pada tahun keempat, yaitu tahun 2006, seluruh siswa SMPTQT berjumlah 94 orang yang terdiri dari 75 siswa SMA dan 19 siswa SMP. Saat itu, model pendidikan alternatif SMPTQT dan prestasi-prestasi kreatif para siswanya sudah mendapat pengakuan dari kalangan pemerintah, pengusaha dan praktisi pendidikan. Namun, selama ini dirasakan adanya campur tangan pemerintah yang terlalu banyak dan membuat SMPTQT jadi lembaga pendidikan yang tidak otonom. Kendala ini diatasi dengan mengubah SMP Terbuka jadi Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah dengan otonomi yang besar untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis komunitas dalam rangka menciptakan learning society (masyarakat belajar) dan advanced society (masyarakat maju) Indonesia. B. Tahap Komunitas Belajar Dengan status sebagai PKBM, KBQT mempunyai otonomi yang sangat luas untuk menyelenggarakan
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
7
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
pendidikan, pengajaran, dan pemelajaran.1 KBQT tidak lagi menggunakan kurikulum nasional, tetapi menyelenggarakan kegiatan belajarnya sesuai dengan kesepakatan warga belajarnya. Materi ajar yang akan dipelajari diserahkan sepenuhnya kepada warga belajar dengan kesepakatan setiap kelas, seperti dijelaskan Bahruddin dalam wawancara pertama.
boleh berbicara untuk menyampaikan masalah dan mengusulkan jalan keluarnya. Evaluasi komunitas ini menghasilkan solusi-solusi atas masalahmasalah di KBQT secara keseluruhan dan menentukan perkembangan KBQT selanjutnya. KBQT tidak mengenal istilah “tinggal kelas”, sehingga semua warga belajar naik kelas setiap tahunnya.
Ketentuan legal yang masih mengikat mereka hanyalah Ujian Paket B dan C dan akreditasi. Namun, KBQT tidak memaksa warga belajarnya untuk mengikuti Ujian Paket B dan C. Warga belajar boleh mengikuti dan boleh tidak mengikuti Ujian Paket B dan C. Bagi warga belajar yang akan mengikuti Ujian Paket B dan C, para pendamping di KBQT siap untuk memfasilitasi persiapan mereka. Mengenai akreditasi, sampai saat ini belum ada pembicaraan di kalangan pengelola KBQT.
Ihwal evaluasi lembaga, para pengelola melakukannya dalam forum rapat dan kemudian menindaklanjuti hasil-hasilnya. Menurut Bahruddin dalam wawancara kedua, rapat pengelola ini mirip dengan diskusi, yang mereka adakan hampir setiap hari di KBQT. Karena jumlah pengelolanya sedikit, rapat atau diskusi ini bisa dilakukan dengan mudah, dan hasilnya merupakan keputusan-keputusan yang ditindaklanjuti.
Ihwal evaluasi warga belajar, mereka melakukannya dalam dua tingkat: kelas dan komunitas, sebagaimana penuturan Bahruddin, Fina Af’idatussofa dan Mujab dalam wawancara pertama. Evaluasi pada kedua tingkat ini dilakukan secara informal setiap pekan. Fina Af’idatussofa (warga belajar KBQT angkatan pertama tahun 2003 dan kini pendamping di KBQT) dan Mujab (pendamping di KBQT), menjelaskan evaluasi pada tingkat kelas. Evaluasi dilakukan oleh warga belajar dari satu kelas secara lisan dalam sebuah pertemuan, biasanya pada akhir pekan. Warga belajar bisa juga meminta kehadiran pendamping dalam forum evaluasi ini. Metode evaluasinya adalah warga belajar memaparkan apa saja yang telah kelas mereka lakukan selama satu minggu terakhir. Mereka mengaitkan apa yang sudah mereka lakukan selama seminggu itu dengan rencana belajar yang mereka susun pada awal pekan sebelumnya juga secara lisan. Dalam evaluasi ini, mereka membicarakan pula rencana belajar pada pekan berikutnya. Di sini, tidak ada standar atau kriteria evaluasi yang eksplisit dan tertulis. Pada tingkat komunitas, Bahruddin menjelaskan, evaluasi dilakukan setiap hari Senin. Seluruh warga belajar, pendamping dan pengelola berkumpul di Resource Center KBQT untuk mengevaluasi aktivitas-aktivitas KBQT selama satu pekan. Mereka membahas perkembangan-perkembangan KBQT dan masalah-masalah yang muncul dan mencari solusi-solusinya. Semua peserta evaluasi komunitas 1
“Pemelajaran” berarti “proses, cara, perbuatan mempelajari”. Kata dasarnya adalah “ajar”, yang membentuk kata-kata turunannya: “mengajar” (kata kerja), “pengajaran” (kata benda)”; “belajar” (kata kerja), “pemelajaran” (kata benda) (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, 2008, p. 23).
Evaluasi informal yang dilakukan di KBQT sesuai dengan penjelasan Robert E. Stake, salah seorang ahli evaluasi pendidikan, yang juga disepakati oleh Egon Guba dan Yvonna Lincoln (1983, p. 27). Stake (1967) mengatakan bahwa evaluasi informal menggunakan observasi tanpa rencana, tujuan yang bersifat implisit, intuisi, dan penilaian subyektif. Hasil evaluasi ini kadang mendalam, tetapi kadang dangkal dan distorsif. Lain halnya, evaluasi formal, menurut Stake, memakai tes psikometrik yang dirancang terutama untuk membedakan prestasi siswa. Soal dana, para pendamping KBQT mendapat honor yang diterima setahun sekali dari pemerintah. Bahruddin dalam wawancara pertama dan kedua dengan penulis mengatakan bahwa pendamping yang merupakan pendidik di PKBM memperoleh honor dari Pemerintah Kota Salatiga. Keberadaan KBQT beserta para pendampingnya telah diakui secara resmi oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kota Salatiga, dan Pemerintah Kota Salatiga mempunyai anggaran untuk honor pendidik di PKBM. Bahruddin tidak menyebut angka, tetapi hanya mengatakan bahwa honornya sangat kecil. KBQT pernah ditawari sumbangan dana dari lembaga donor luar negeri untuk membangun gedung dan mengelola perpustakaan sesuai dengan keinginan lembaga donor tersebut. Pengelola KBQT bersedia untuk menerima dana tersebut asal penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada warga belajar KBQT. Awalnya, lembaga donor itu batal untuk memberikan dananya karena KBQT tidak mau mengikuti keinginannya. Namun, setahun kemudian lembaga dono tersebut menyerahkan sumbangan dananya, yang akhirnya digunakan untuk membangun Resource Center yang didesain, dibangun dan dikelola oleh warga belajar KBQT.
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
8
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
Persoalan-persoalan yang muncul di KBQT antara lain adalah (1) sebagian orangtua warga belajar KBQT dan sebagian penduduk Desa Kalibening belum bisa menerima kegiatan belajar yang diserahkan sepenuhnya kepada warga belajar dan yang tidak disertai dengan ijazah sebagai tanda kelulusan; (2) godaan untuk “menjual” programprogram KBQT kepada lembaga-lembaga donor luar negeri. Hingga kini, persoalan-pesoalan ini dapat diselesaikan dengan musyawarah mufakat di antara para pengelola KBQT. Sejak awal pendirian KBQT yang melibatkan 30 KK, sebagian warga (18 KK) tidak mau menyekolahkan anak-anak mereka di KBQT. Sampai sekarang pun, hanya sebagian kecil lulusan SD di Desa Kalibening yang melanjutkan pendidikan di KBQT. Alasan pokok orangtua yang tidak menyekolahkan anakanak mereka di KBQT adalah KBQT tidak mengeluarkan ijazah bagi warga belajar yang telah menamatkan pendidikannya. Mereka memilih sekolah-sekolah yang memberikan ijazah kepada anak-anak mereka yang telah tamat. Padahal, Bahruddin menerangkan dalam wawancara kedua dengan penulis, warga belajar KBQT membutuhkan ijazah yang dapat digunakan untuk melanjutkan ke SMA/SMK/MA atau melamar pekerjaan juga bisa mendapatkan ijazah KBQT. Ijazah ini dibuat sendiri oleh warga belajar dan ditandatangani oleh pemimpin KBQT. KBQT juga memberi kesempatan dan dukungan kepada warga belajarnya yang ingin mengikuti ujian nasional (UN) dan UN penyetaraan. Warga belajar yang mengikuti Ujian Penyetaraan Paket B dan C memperoleh ijazah dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Salatiga. Terbukti, sejumlah alumni KBQT meneruskan ke SMA dan bahkan kuliah di Universitas Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Muhammadiyah Surakarta Alasan lainnya adalah anggapan bahwa kegiatan belajar di KBQT tidak jelas. Warga belajar KBQT dianggap hanya berkumpul-kumpul, duduk-duduk dan bersenda gurau. Mereka tidak belajar seperti di sekolah-sekolah umumnya: di ruang kelas dengan guru, buku, meja dan kursi, serta seragam. KBQT pun dianggap hanya menghasilkan pengangguran. Satu orangtua yang anaknya sekolah di KBQT menyampaikan alasan ini dalam sebuah percakapan dengan penulis. Bahruddin dalam wawancara pertama menyadari persoalan ini dan tetap mengembangkan KBQT untuk menciptakan masyarakat belajar demi memajukan kehidupan— terutama—penduduk Desa Kalibening. Mengenai persoalan kedua, Bahruddin dalam wawancara pertama menyampaikan bahwa ada lembaga-lembaga donor dari luar negeri yang
tertarik untuk memberikan sumbangan dana kepada KBQT, tetapi KBQT harus mengikuti ketentuanketentuan lembaga-lembaga donor tersebut. Salah satu lembaga donor, seperti telah ditulis di atas, menawarkan sumbangan dana untuk membangun gedung dan mengelola perpustakaan sesuai dengan konsep gedung perpustakaan dan manajemen lembaga itu. Pengelola KBQT menolak konsep tersebut karena tidak selaras dengan prinsip pendidikan KBQT dan, konsekuensinya, tidak mendapatkan sumbangan dana. Namun, pada tahun berikutnya, lembaga donor itu mengalah dan tidak memaksakan konsepnya, serta mau menyumbangkan dana kepada KBQT untuk membangun Resource Center yang didesain, dibangun dan dikelola oleh warga belajar KBQT sendiri. Sebagai aktivis yang sudah berpengalaman di organisasi non-pemerintah, Bahruddin mengetahui dilema organisasi non-pemerintah di antara dua kepentingan: konsisten untuk memajukan kehidupan masyarakat atau mendapatkan dana sebanyak-banyaknya dari lembaga-lembaga donor. Dua kepentingan ini bisa seiring sejalan, tetapi kadang berbenturan. Ketika dua kepentingan ini berbenturan, KBQT memilih untuk konsisten memajukan kehidupan masyarakat dengan prinsipprinsip pendidikannya. IV.
Dampak Substantif
Sebelum SMPTQT/KBQT didirikan, masyarakat Desa Kalibening yang kurang mampu tidak bisa menyekolahkan anak-anak mereka di SMP-SMP di Kota Salatiga, karena mereka tidak sanggup membayar biaya sekolah yang tinggi. Masyarakat berkecukupan bisa menyekolahkan anak-anak mereka di SMP-SMP yang ada, tetapi masalahnya adalah sistem pendidikan di sekolah-sekolah tersebut tidak bisa menghasilkan lulusan-lulusan yang mandiri, kreatif dan berprestasi dalam kehidupan nyata. Di dunia ini terdapat lembaga-lembaga pendidikan alternatif yang menawarkan konsep dan praktik pendidikan yang berbeda dengan lazimnya. Lembaga-lembaga pendidikan itu antara lain ialah Sekolah Tomoe di Jepang, Summerhill School di Inggris, dan Sekolah Kayu Tanam di Sumatra. Sekolah Tomoe dan Sekolah Kayu Tanam yang mati serta Summerhill School yang masih hidup tetapi jauh dari jangkauan masyarakat Indonesia seolaholah meniscayakan bahwa pendidikan sama dengan sekolah-sekolah negeri dan swasta galibnya, bahwa sekolah-sekolah yang berkualitas itu mahal. Sampai SMPTQT/KBQT berhasil menarik perhatian banyak kalangan nasional, seakan tidak ada lembaga
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
9
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
pendidikan baru di Indonesia yang mampu menunjukkan praktik pendidikan alternatif yang berkualitas dan murah. Dengan model pendidikan dan manajemen berbasis komunitas ini, SMPTQT/KBQT telah berhasil melahirkan remaja dan pemuda yang mandiri, kreatif dan berprestasi dalam banyak bidang. Anakanak desa dari keluarga kurang mampu, setelah belajar di SMPTQT/KBQT, berubah jadi remaja dan pemuda yang mandiri dalam cara berpikir dan cara hidup. Mereka juga kreatif dalam menyalurkan kecerdasan-kecerdasan mereka. Fina Afrika’idatussofa, warga belajar angkatan pertama, pernah pentas baca puisi bersama W.S. Rendra. Fina juga sudah menulis buku Antologi Puisi Dialog Tanpa Kata (2010) dan Pinangan Buat Naura (2007). Teater Gedhek KBQT tampil bersama Bengkel Teater pada 2011 di Universitas Kristen Satya Wacana. Warga belajar-warga belajar lainnya pun menghasilkan karya: Maia Rosyida, Bunga di Serambi Mekkah (2011); Luluk Nur Sa’diyah, Luluk’s Gallery (2007) dan Promise (2010). Seorang pendamping, Sujono Samba menulis buku Lebih Baik Tidak Sekolah: Suara Hening dari Kalibening (2010). Dua lagu ciptaan Sujono juga dijadikan Mars Pendidikan Kesetaraan dan Himne Pendidikan Kesetaraan oleh Direktur Jenderal PNF. Warga belajar dan para pendamping KBQT telah merilis cakram padat (compact disc) album video lagu-lagu daerah Jawa Tengah, yang berjudul Kidang Talun. Selain itu, sebagian warga belajar meneruskan kuliah di universitas-universitas negeri dan swasta. Masih banyak lagi prestasi yang sudah dicapai oleh warga belajar dan pendamping KBQT di tingkat nasional. Bahruddin menuturkan dalam wawancara kedua bahwa warga belajar yang membutuhkan ijazah untuk meneruskan sekolah ke tempat lain atau kuliah atau melamar pekerjaan membuat ijazah sendiri yang kemudian ditandatangani oleh pemimpin KBQT. (Sampai saat ini, tidak ada warga belajar yang membutuhkan ijazah KBQT untuk melamar pekerjaan.) Tidak ada format ijazah KBQT yang baku, sehingga mereka membuatnya sesuai dengan kreativitas mereka sendiri. Seorang warga belajar KBQT yang kini sudah bekerja di sebuah toko serba ada tidak melamar pekerjaan itu dengan ijazah. Warga belajar yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan yang setara dengan SMP dan SMA dan tidak kuliah tetap menjadi warga belajar KBQT untuk bekerja (Bahruddin memakai istilah “berproduksi”). Mereka bertani, bekerja di perusahaan, dan berwiraswasta. Fina Af’idatussofa
dan teman-teman seangkatannya, misalnya, mendirikan usaha penerbitan buku. Mereka tetap menjadi warga belajar KBQT yang terus belajar untuk berproduksi guna meningkatkan kualitas kehidupan mereka. Mereka yang meninggalkan Kota Salatiga belajar bersama melalui jejaring sosial, seperti facebook, twitter, blog, dan sebagainya. Setelah sembilan tahun berdiri, KBQT mulai bisa membangun sistem pendidikan yang relatif mapan. Kegiatan-kegiatan harian bisa berjalan sendiri tanpa terlalu banyak melibatkan pengelola. Warga belajar dan pendamping melaksanakan kegiatan-kegiatan harian dan menyelesaikan masalah-masalah yang mengemuka. Lembaga KBQT makin kuat dalam hal manajemen dan sistem pendidikan dan pembelajarannya. Bagi masyarakat Desa Kalibening yang mampu dan kurang mampu, KBQT menjadi tempat belajar yang murah dan berkualitas bagi anak-anak mereka. Keluarga-keluarga yang mampu mengirim anakanak mereka ke KBQT untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Sementara itu, keluarga-keluarga yang kurang mampu menemukan solusi yang tepat untuk “menyekolahkan” anak-anak mereka di desa mereka sendiri. Masalah pendidikan anak-anak mereka selesai dengan keberadaan KBQT. Sekarang, warga belajar KBQT berasal bukan hanya dari Desa Kalibening, melainkan juga dari luar daerah dan luar Pulau Jawa. Anak-anak dari luar Salatiga dan luar Jawa tertarik untuk “sekolah” di KBQT dengan dukungan dari orangtua mereka. Bahruddin dalam wawancara kedua menyebutkan bahwa persentase warga belajar yang berasal dari Desa Kalibening 10%, yang berasal dari luar Desa Kalibening 80%, dan yang berasal dari luar Kota Salatiga 10%. KBQT menjadi salah satu alternatif pendidikan yang keluar dari pakem (out of the box) yang menyedot perhatian banyak pihak (Bahruddin, 2007). Mediamedia massa nasional dan daerah, seperti Kompas, Tempo Online, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat dan Pontianak Post, memuat laporan tentang praktik pendidikan alternatif ini. Pada 2005, Kepala Kantor Dinas Pendidikan Kota Salatiga dan seorang peneliti dari Asia Pacific Telecommunity memuji praktik pendidikan KBQT yang murah dan bermutu. Bahruddin dalam wawancara pertama juga menuturkan bahwa lembaga-lembaga pemerintah dan swasta sering melakukan kunjungan ke KBQT; bahwa KBQT juga menjadi tempat penelitian skripsi, tesis dan disertasi. KBQT membuktikan bahwa pendidikan yang berkualitas bisa diselenggarakan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
10
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
V.
Institusionalisasi dan Tantangan
Upaya pelembagaan KBQT dilakukan dengan mengurus perizinan, menyusun struktur pengelola, membangun sistem dan kultur pendidikan di KBQT, dan membuat peraturan-peraturan di lingkungan KBQT. Upaya untuk menjadikan KBQT sebagai lembaga yang diakui secara resmi oleh pemerintah dilakukan dengan mengurus izin ke Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Salatiga. Sebagaimana telah disampaikan di depan, lembaga ini awalnya merupakan SMP Terbuka dan kemudian berubah jadi PKBM. Pengurusan izin ini tidak menemui hambatan dari pihak internal lembaga, dan perizinannya pun berlangsung lancar. Syarat pokok untuk menjadi SMP Terbuka dan PKBM, sebagaimana penuturan Bahruddin dalam wawancara kedua, adalah jumlah siswa, yakni minimal 20 orang. Syarat ini dipenuhi SMPTQT pada tahun kedua, dan pada tahun keempat Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Salatiga mengeluarkan surat izin pembentukan PKBM kepada KBQT. Surat izin ini berlaku satu tahun, tetapi KBQT tidak memperpanjangnya. Meski demikian, KBQT tetap diakui oleh pemerintah. Buktibukti pengakuan pemerintah ini adalah (1) KBQT sampai sekarang tetap mendapat kiriman modulmodul pendidikan kesetaraan dari pemerintah; (2) tujuh pendamping KBQT sampai sekarang tetap mendapat honor dari pemerintah; (3) Bahruddin sebagai pemimpin KBQT diundang oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Non-Formal untuk turut merumuskan ketentuan-ketentuan akreditasi pendidikan non-formal. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non-Formal (2011) mengeluarkan kebijakan tentang pelaksanaan dan mekanisme akreditasi satuan pendidikan non-formal. Sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 60 ayat 1, akreditasi adalah kegiatan yang “dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan”. BANPNF menambahkan bahwa “sebagai upaya untuk mengenali dan mendeteksi program dan satuan PNF yang perlu ditingkatkan kelayakannya, maka program dan satuan PNF yang ada perlu diakreditasi” (cetak tebal dari BANPNF). Selanjutnya, BANPNF menjelaskan bahwa pelaksanaan akreditasi didasarkan pada kriteria delapan standar nasional pendidikan, yakni standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Satuan pendidikan non-formal yang diakreditasi
adalah lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD), lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, dan pendidikan anak usia dini berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), serta satuan pendidikan yang sejenis. Satuan pendidikan non-formal yang akan mengikuti akreditasi harus memenuhi kriteria delapan standar pendidikan seperti yang tercantum dalam butir-butir Instrumen Akreditasi PKBM (2009). Siswa atau warga belajarnya juga harus mempunyai kompetensi lulusan yang dirumuskan oleh satuan pendidikan secara tertulis. Perihal akreditasi ini, Bahruddin dalam wawancara kedua menyatakan bahwa KBQT tidak peduli dan tidak akan mengikuti akreditasi karena, menurutnya, akreditasi mengekang kebebasan KBQT. Bahruddin optimis bahwa meskipun tidak terkreditasi, KBQT bisa bertahan hidup dan tetap memiliki warga belajar. Dalam hal ini, KBQT mempunyai tiga strategi atau siasat. Pertama, jika KBQT tidak mempunyai warga belajar yang berusia sekolah, warga belajarnya adalah orang-orang dewasa yang pernah terlibat di KBQT dan SPPQT. Warga belajar dewasa ini bekerja (Bahruddin menggunakan istilah “berproduksi”) untuk mencari penghasilan dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Karena belajar itu sepanjang hayat, mereka juga terus belajar selama berproduksi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya. Dengan atau tanpa warga belajar usia sekolah, KBQT mempunyai warga belajar dewasa sebagai komunitas dan masyarakat belajar. Kedua, KBQT akan mengajak anggota SPPQT untuk mengirim anak-anak mereka jadi warga belajar KBQT. Anak-anak mereka boleh sekolah di SMP, MTs, SMA, SMK atau MA, tetapi juga menjadi warga belajar KBQT. Mereka belajar bersama di KBQT kapan saja di luar jam sekolah. Jadi, anakanak yang menjadi warga belajar KBQT tidak harus berhenti dari sekolah formal mereka. Ketiga, KBQT akan membantu mengembangkan komunitas-komunitas belajar lain yang berada di bawah payung SPPQT dan yang pernah berinteraksi dengan KBQT. Jadi, pemikiranpemikiran yang lahir di KBQT bisa disampaikan dan diimplementasikan di komunitas-komunitas belajar lain. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran tersebut tidak mandek dan justru bisa berkembang dan terimplementasi. Struktur organisasi pengelola KBQT sederhana saja sesuai dengan kebutuhan komunitas. Struktur ini terdiri dari Kepala Pengelola, Sekretaris, Bagian Administrasi dan anggota. Kepala Pengelola bertanggung jawab atas seluruh kegiatan KBQT;
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
11
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
Gambar Aktivitas Tawasi dan Aktivitas Belajar KBQT
Sekretaris bertugas mengurus surat-menyurat, agenda dan hasil kegiatan KBQT; dan Bagian Administrasi mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi dan keuangan pihakpihak internal dan eksternal KBQT. Pengambilan keputusan-keputusan melibatkan seluruh pengelola KBQT. Dalam membangun sistem dan kultur pendidikan sesuai dengan konsep dan prinsip yang diusung oleh KBQT, pengelolanya menerapkan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada warga belajar (learner-centered), melakukan kegiatan-kegiatan bersama yang melibatkan seluruh warga belajar, dan mengadakan proyek pada setiap kelas. Pembelajaran yang berpusat pada warga belajar berarti memberi tanggung jawab kepada warga belajar untuk merencanakan dan mengelola kegiatan belajar. Seperti telah diutarakan di atas, warga belajar di setiap kelas bermusyawarah untuk menentukan jadwal kegiatan belajar, tempat belajar, materi yang akan dipelajari, metode belajar, dan peraturan-peraturan kelas. Mereka jugalah yang memutuskan apakah akan menghadirkan pendamping atau tidak dalam kegiatan belajar mereka. Kegiatan-kegiatan bersama yang melibatkan seluruh warga belajar adalah (1) Tawasi, (2) Evaluasi Komunitas, dan (3) Pendidikan Kesehatan. Tawasi berupa salat dzuhur berjamaah bagi warga belajar yang beragama Islam di Masjid Mustashfa di lokasi KBQT, kemudian membaca Alquran secara bergantian di serambi masjid, presentasi oleh seorang warga belajar, dan diskusi. Tawasi dilakukan setiap hari kecuali hari Ahad sebagai hari libur. Evaluasi Komunitas dilaksanakan setiap hari Senin untuk membicarakan dan menyelesaikan masalah-masalah komunitas. Pendidikan Kesehatan diadakan pada hari Jumat untuk belajar
meningkatkan dan menjaga kesehatan badan warga belajar karena, menurut Bahruddin, kesehatan badan merupakan modal pokok untuk hidup. Proyek untuk setiap kelas adalah menerbitkan buletin Elalang sebulan sekali. Penerbitan setiap edisinya diserahkan kepada kelas-kelas secara bergiliran. Jadi, setiap kelas harus mencari materi tulisan, menyeting, dan mencetaknya. Peraturan di KBQT dibuat seminimal mungkin karena peraturan merupakan instrumen kekuasaan, sementara KBQT mengedepankan pendekatan sistem dan kultur yang mendewasakan warga belajar. Peraturan yang ada di KBQT antara lain adalah kewajiban untuk membayar iuran bagi yang mampu, kewajiban untuk mematuhi kesepakatankesepakatan kelas dan komunitas, dan larangan merokok. Peraturan-peraturan ini tidak ditulis, tetapi warga belajar mengetahui dan memahaminya. Semua upaya institusionalisasi ini dimaksudkan untuk membangun sistem manajemen dan pendidikan KBQT. Institusionalisasi tidak bertujuan untuk memperkuat lembaga semata-mata—karena hal ini justru dihindari oleh KBQT—tetapi juga memperkuat komunitas dan masyarakat belajar. KBQT tidak ingin mengulangi kegagalan sekolahsekolah pada umumnya yang kuat secara institusional tetapi terpisah dari masyarakat. Dalam melakukan institusionalisasi dan membangun sistem kelembagaan, KBQT menghadapi empat tantangan berikut. Pertama, ketokohan dan gagasan-gagasan Ahmad Bahruddin sangat menonjol, sehingga sampai sekarang kebergantungan KBQT padanya amat besar. KBQT sepatutnya mengurangi kebergantungan ini dan kemudian mengandalkan pada sistem kelembagaan yang mapan. Membangun sistem dan kultur pendidikan di KBQT sebaiknya disertai dengan
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
12
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
membangun sistem kelembagaannya. Kedua, kebijakan pemerintah untuk mengatur semua lembaga dan segala macam urusan, misalnya akreditasi lembaga pendidikan nonformal, di satu sisi sebenarnya membelenggu kebebasan KBQT. Ketiga, tidak semua anggota masyarakat Desa Kalibening memahami dan menerima konsep, prinsip dan praktik pendidikan KBQT. Cara pikir mereka masih kental sekali dengan sistem pendidikan pada umumnya, misalnya dalam hal aktivitas belajar konvensional di kelas dan sekolah untuk mendapatkan ijazah dan pekerjaan. Sehingga, sebagian anak usia SMP dan SMA di Desa Kalibening tidak belajar di KBQT. Dalam wawancara kedua dengan Bahruddin dikatakan bahwa anak-anak Desa Kalibening yang lulus SD setiap tahun sekitar 30-40 orang, dan yang masuk dan menjadi warga belajar KBQT kurang lebih 3 anak. Keempat, para pengelola dan pendamping di KBQT mengurusi komunitas ini berdasarkan kesamaan ide dan komitmen dan kesukarelaan, bukan berdasarkan kerja profesional yang digaji secara mencukupi. Pertanyaannya adalah sampai berapa lama mereka bisa bertahan dengan kesamaan ide dan komitmen dan kesukarelaan tanpa gaji yang mencukupi? VI.
Lesson Learned dan Catatan Kritis
Pelajaran-pelajaran yang bisa dipetik dari good practice KBQT ini adalah sebagai berikut. Pertama, pendidikan yang berkualitas bisa diselenggarakan dengan biaya yang murah dan terjangkau oleh masyarakat. Pendidikan yang berkualitas dan murah ini bertolak belakang dengan tren yang terjadi dalam dunia pendidikan. Tren ini tampak mencolok pada Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) yang berbiaya mahal. Kedua, konsep dan praktik learning community, learning society dan advanced society menjadi pilihan lain dalam memberdayakan dan membangun bangsa dan negara Indonesia. Konsep dan praktik ini berakar pada karakteristik, kebutuhan dan sumber daya lokal yang belakangan sering diabaikan karena arus globalisasi, yang sebetulnya merupakan penjajahan Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan multinasional dan lembaga-lembaga keuangan internasional terhadap negara-negara berkembang (Petras dan Veltmeyer, 2001). Ketiga, KBQT yang mengutamakan kompetensi dan karya menjadi budaya tanding (counter culture) terhadap kecenderungan sebagian orang dan
lembaga pendidikan untuk lebih mengejar ijazah dan formalitas. KBQT tidak memberikan ijazah atau semacamnya kepada warga belajar yang telah belajar di komunitas ini. Meskipun demikian, KBQT juga tidak anti terhadap ijazah, dan warga belajarnya yang menginginkan ijazah difasilitasi untuk memperolehnya sesuai dengan peraturan pemerintah, yakni mengikuti Ujian Kesetaraan Paket B dan C. Warga belajar mengikuti dan lulus Ujian Kesetaraan Paket B dan C akan mendapatkan ijazah dari pemerintah, sebagaimana penuturan Bahruddin dalam wawancara kedua. Selain memberikan pelajaran yang berharga bagi bangsa Indonesia, KBQT juga perlu mendapat catatan kritis. Pertama, KBQT mempunyai warga belajar yang relatif sedikit dibandingkan dengan sekolah-sekolah formal. Artinya, manajemen institusional dan manajemen belajarnya lebih mudah. Apakah model pendidikan KBQT bisa dipraktikkan pada warga belajar yang jumlahnya besar, misalnya 450 orang sebagaimana di SMP dan SMA umumnya? Kedua, lulusan KBQT—kalau boleh disebut demikian—yang paling awal masih berusia mahasiswa. Mereka memang telah menghasilkan prestasi dan karya yang hebat untuk remaja seusia mereka. Sebagian masih kuliah dan sebagian lagi sudah bekerja. Artinya, lulusan KBQT belum banyak berkiprah dalam kehidupan nyata di masyarakat. Dengan perkataan lain, masih harus ditunggu dan dibuktikan bahwa KBQT menghasilkan lulusanlulusan yang memberi banyak kontribusi bagi masyarakat dalam rangka menciptakan advanced society.
VII.
Peluang Replikasi
Konsep dan praktik KBQT sudah direplikasi di tempat-tempat lain. Setidaknya tercatat sembilan komunitas belajar yang jelas merupakan replikasi dari KBQT. Komunitas-komunitas belajar ini berbentuk SMP dan PKBM dalam majalah Tempo (30 April-6 Mei 2007) dan wawancara dengan Din Arif, yakni Komunitas Belajar Kampung Pingin Maju di Desa Bangsri, Bangsri, Jepara; SMP Terbuka Otek Makmur di Desa Kendel, Kemusuk, Boyolali; SMP Alternatif Setyo Tunggal di Desa Tarubatang, Selo, Boyolali; SMP Terbuka Mandiri di Desa Bandongan, Bandongan, Magelang; SMP Terbuka Bumi Madania di Desa Tingkir Lor, Tingkir, Salatiga; Kejar Paket B SMP Alternatif Al Barokah di Desa Ketapang, Susukan, Semarang; SMP Candi Laras Merbabu di Desa Batur, Getasan, Semarang; dan SMP QT Desa Krandon Lor, Suruh, Semarang. Komunitas-komunitas belajar ini dikembangkan oleh
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
13
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
SPPQT dan orang-orang bersinggungan dengan KBQT.
yang
pernah
Sembilan komunitas belajar tersebut membuktikan bahwa KBQT bisa direplikasi di daerah-daerah lain di Indonesia. Syarat-syarat yang dibutuhkan untuk melakukan replikasi ini adalah (1) perintis dan pemimpin, (2) jaringan, (3) dukungan masyarakat dan pemerintah, dan (4) sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan memiliki visi dan misi pendidikan. Perintis dan pemimpinnya haruslah seorang tokoh atau lebih atau lembaga yang sudah cukup mapan untuk merintis pendirian komunitas belajar. Jaringan yang luas sangat bermanfaat untuk memfasilitasi dan menghemat biaya operasional komunitas belajar. Dukungan masyarakat dan pemerintah berguna untuk memayungi keberadaan komunitas. SDM diperlukan untuk mengembangkan dan mempertahankan kelangsungan komunitas belajar. KBQT dan sembilan komunitas belajar ini bisa bertahan di tengah lemahnya dukungan masyarakat dan pemerintah karena tiga hal. Pertama, selalu saja ada anak-anak usia sekolah yang tidak cocok untuk mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah formal dengan berbagai alasan (ekonomi, sosial, psikologis). Mereka memerlukan tempat aktivitas yang tepat, dan komunitas-komunitas belajar ini merupakan salah satu tempat yang tepat. Lalu, mereka masuk dan menjadi warga belajar di komunitas-komunitas tersebut, yang kemudian menjadi hidup dengan aktivitas-aktivitas mereka. Kedua, warga belajar yang belajar di komunitaskomunitas tersebut bukan hanya mereka yang berusia sekolah, melainkan juga pendamping dan pengelola. Warga belajar usia sekolah belajar sesuai dengan tingkat usia mereka terutama untuk mengembangkan potensi-potensi mereka. Sementara itu, warga belajar usia dewasa belajar dalam komunitas untuk meningkatkan produksi (aktivitas kerja), menyelesaikan masalah-masalah hidup dan memajukan kualitas kehidupan mereka. Sehingga, ketiga, komunitas belajar ini membawa manfaat bagi anggota-anggota komunitas. Masalahmasalah produksi yang dihadapi oleh individu atau komunitas diselesaikan secara bersama-sama. Gagasan-gagasan untuk meningkatkan produksi dan memajukan kehidupan mereka pun didiskusikan bersama untuk diimplementasikan secara individual atau kolektif. Warga belajar dewasa di KBQT merasakan manfaat ini, sebagaimana penjelasan Bahruddin dalam wawancara kedua. Daya tahan KBQT dan komunitas-komunitas belajar lainnya untuk bertahan hidup sampai sekarang dan
juga prestasi-prestasi mereka sebenarnya merupakan bukti nyata akan keberhasilan manajemen berbasis komunitas. Bukti keberhasilan ini seharusnya digunakan oleh organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok strategis dan kalangan kampus untuk (1) menekan pemerintah dan (2) menyadarkan masyarakat guna meningkatkan dukungannya kepada komunitas-komunitas belajar itu. Pengalaman banyak organisasi dan kalangan dalam menekan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengalokasikan 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di bidang pendidikan dapat dipakai lagi untuk melakukan hal yang sama pada pemerintah dan DPR demi kelangsungan hidup komunitas-komunitas belajar. Dukungan pemerintah kepada komunitas belajar bisa berupa dana, fasilitas dan kebijakan yang memudahkan komunitas-komunitas belajar itu berkembang. Pun, organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok strategis—terutama organisasi non-pemerintah—dan kalangan kampus yang kuat menjadi pilar-pilar pokok untuk menyadarkan dan memberdayakan masyarakat sipil (Gellner, 1995, p. 6) guna mendukung dan menjadi komunitaskomunitas dan masyarakat belajar dan maju. VIII.
Referensi
Af’idatussofa, Fina, dan Doni Riadi. 2010. Dialog Tanpa Kata. Semarang: KomunitasWedangjae. Af’idatussofa, Fina. 2007. Pinangan Buat Naura. Yogyakarta: Matapena. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non-Formal, 2009, Instrumen Akreditasi PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), Jakarta. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non-Formal, 2011, Kebijakan Akreditasi Pendidikan Non-Formal, Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, 2010, Profil Daerah Kota Salatiga, Salatiga. Bahruddin, Ahmad. 2007. Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah. Yogyakarta: LKiS. Gardner, Howard. 1985. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books, Inc., Publishers. Gellner, Ernest. 1995. Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan. Guba, Egon G.,dan Yvonna S. Lincoln. 1983. Effective Evaluation: Improving the Usefulness of Evaluation Results through Responsive and Naturalistic Approaches. San Francisco: JosseyBass Publishers.
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
14
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
Hasan, Ahmad M. N. A. 2010. Desaku Sekolahku: Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Kalibening Salatiga. Salatiga: Pustaka Q-Tha. Husen, Torsten. 1988. Masyarakat Belajar. Terj. P. Surono Hargosewoyo dan Yusufhadi Miarso. Jakarta: Rajawali. Kuroyanagi, Tetsuko. 1985. Totto-Chan: Si Gadis Kecil Di Tepi Jendela. Terj. Latiefah H. Rahmat dan Nandang Rahmat. Jakarta: PT Pantja Pati. Neill, Alexander Sutherland. 1992. Summerhill School: A New View of Childhood. New York: St. Martin’s Press. Petras, James, dan Henry Veltmeyer. 2001. Globalization Unmasked: Imperialism in the 21st Century. New York: Zed Books. Puspitawati, Herien. 2009. Data Individu dan Keluarga Indonesia. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, diakses pada 1 Agustus 2012 dari http://iirc.ipb.ac.id. Rosyida, Maia. 2011. Bunga di Serambi Mekkah. Semarang: Emboen Imaji. Sa’diyah, Luluk Nur. 2007. Luluk’s Gallery. Salatiga: Pustaka Q Tha. Sa’diyah, Luluk Nur. 2010. Promise. Salatiga: Pustaka Q Tha. Samba, Sujono. 2010. Lebih Baik Tidak Sekolah: Suara Hening dari Kalibening. Salatiga: Pustaka Q Tha.
Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah. n.d. “Profil Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah”, http://sppqt.or.id/?lang=id&rid=2. www.sppqt.or.id. diakses 11 Juni 2012. Stake, Robert. E. 1967. “The Countenance of Educational Evaluation.” Teachers College Record, Volume 68, No. 7, April 1967, http://www.ed.uiuc.edu/CIRCE/Publications/Counten ance.pdf. Diakses 24 April 2012. Tim Redaksi. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia. Wawancara dengan Din Arif, seorang pendamping, di KBQT pada 25 Oktober 2011 pukul 14.00-15.00 WIB. Wawancara dengan Fina Af’idatussofa, warga belajar angkatan pertama dan kini pendamping di KBQT pada 26 Oktober 2011 pukul 13.00-14.00 WIB. Wawancara dengan Mujab, seorang pendamping di KBQT pada 26 Oktober 2011 pukul 11.00-12.00 WIB. Wawancara dengan Sujono Samba, seorang pendamping di KBQT pada 25 Oktober 2011 pukul 15.30-17.00 WIB. Wawancara kedua dengan Ahmad Bahruddin, pemimpin KBQT, pada 1 Agustus 2012 pukul 09.0509.37 WIB. Wawancara pertama dengan Ahmad Bahruddin, pemimpin KBQT, pada 25 Oktober 2011 pukul 10.00-12.00 WIB.
Manajemen Berbasis Komunitas di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah
15
http://igi.fisipol.ugm.ac.id