DATABASE GOOD PRACTICE Initiatives for Governance Innovation merupakan wujud kepedulian civitas akademika terhadap upaya mewujudkan tata pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih baik. Saat ini terdapat lima institusi yang tergabung yakni FISIPOL UGM, FISIP UNSYIAH, FISIP UNTAN, FISIP UNAIR, DAN FISIP UNHAS.
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto Sektor Sub-sektor Provinsi Kota/Kabupaten
Sekretriat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio-Justisia Bulaksumur Yogyakarta 55281 email:
[email protected]
igi.fisipol.ugm.ac.id
Institusi Pelaksana Kategori Institusi Penghargaan Kontak
Mitra Peneliti
Tatakelola Pemerintahan Pengaduan Masyarakat Sulawesi Selatan Jeneponto Pusat Telaah Dan Informasi Regional (Pattiro) Jeneponto Lembaga Swadaya Masyarakat Yusnaeni website:
[email protected] Access Ausaid Yusnaeni (
[email protected]) Institusi: Pattiro Jeneponto
Mengapa program/kebijakan tersebut muncul? karena buruknya pelayanan publik dan tidak ada mekanisme komplain di masyarakat Apa tujuan program/kebijakan tersebut? (1) mendorong kesadaran kritis warga (2) Mendorong unit pelayanan penyelenggara layanan publik (3) meningkatkan implementasi pelayanan publik di masyarakat
Bagaimana gagasan tersebut bekerja? LPM sebagai wadah berkumpulnya warga untuk berjuang mendapatkan pelayan publik yang berkualitas. LPM melakukan kegiatan advokasi secara bersama-sama dengan warga, bermitra dengan SKPD penyedia layanan, dan DPRD. LPM juga mengajak warga untuk memperoleh pelayanan publik secara mandiri Siapa inisiatornya? Siapa saja pihak-pihak utama yang terlibat? Inisiator LPM adalah pusat telaah dan informasi regional (PATTIRO)
Jeneponto bekerjasama dengan Access Ausaid. Apa perubahan utama yang dihasilkan? meningkatnya pelayanan publik dan meluasnya akses masyarakat dalam memperoleh pelayan publik yang berkualitas serta terjadinya perubahan pola pikir warga tentang hak mereka dalam pelayanan publik Siapa yang paling memperoleh manfaat? Warga Jeneponto
Deskripsi Ringkas Keberadaan LPM adalah sebagai bentuk respon atas penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk, Pola pikir dan pola tindak aparatur Pemerintah yang masih ingin dilayani bukan melayani. Rendahnya pelayan publik mengakibatkan tingginya angka kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan. Pada sisi yang lain, kesadaran (pemahaman) masyarakat terhadap hak-hak dasarnya masih sangat rendah sehingga diperlukan upaya untuk membangun nalar kristis warga. Penguatan kapasitas LPM dalam memahami hakhak layanan publik. Tujuan pembentukan LPM ini adalah (1) Membangun kesadaran kritis untuk aktif memberdayakan LPM sebagai pusat pengaduan di tingkat desa/kelurahan (2) Mendorong unit pelayanan penyelenggara layanan publik untuk responsif membuka ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan komplain dan bisa diselesaikan secara cepat dan tepat (3) Secara internal Memiliki kemampuan dan kemauan kuat untuk mengimplementasikan pelayanan publik selain sebagai pusat pengaduan di tingkat desa/kelurahan juga sebagai pusat informasi dan pembelajaran ditingkat warga dan mengimplementasikan nilai-nilai transparansi, partisipatif dan akuntabilitas (4) Mendorong terbentuknya koalisi LPM untuk dapat mengadvokasi secara bersama-sama mendorong terwujudnya pelananan publik yang berkualitas yang berpihak kepada masyarakat miskin dan perempuan serta kelompok terpinggirkan (5) Mengadvokasi anggaran untuk Komisi Pelayanan Publik untuk
proses seleksi dan Pelayanan Publik.
untuk
kegiatan
Komisi
Peran LPM dalam menjalankan fungsinya untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik bersifat case by case atau berdasarkan pengaduan yang masuk, pengaduan yang masuk kemudian diproses. LPM kemudian bersama dengan fasilitator LPM mengajak dialog dengan institusi yang diadukan, jika tidak ada penyelesaian masalah yang jelas, maka masalah institusi atau person yang di adukan diambil langkah secara hukum atau sanksi administratif. Selain itu, LPM terus mendorong regulasi sebagai pendukung dalam kerja-kerjanya. Inisiator LPM adalah pusat telaah dan informasi regional (PATTIRO) jeneponto bekerjasama dengan Access Ausaid. Perubahan utama yang dihasilkan yakni adanya beberapa produk hukum berupa perda pelayanan publik No. 2 tahun 2007, piagam pelayan puskesmas dan implementasi nota kesepahaman antara bidan dan desa untuk kelahiran. Sedangkan perubahan pada tataran SKPD pemberi layanan yakni perubahan pola perilaku dan mekanisme dalam memberikan layanan selain itu ada pula perubahan pada tataran warga yakni adanya pola pikir kritis pada warga sehingga mereka mengetahui hak-hak merak atas pelayanan publik yang berkualitas, dan adanya keinginan untuk memperjuangkan haknya. Selian itu, Mereka lebih mudah mengkases pelayan publik sehingga meningkatnya angka kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik.
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
2
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
Rincian Inovasi I.
LATAR BELAKANG
Kabupaten jeneponto merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi selatan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) terendah yakni 64,04. Selain itu, Indeks pendidikan di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2008 tercatat sekitar 64,01 kemudian pada tahun 2009 menunjukkan peningkatan sekitar 0,52 poin menjadi sekitar 64,53. Angka ini merupakan angka terendah di Sulawesi Selatan. (IPM kabupaten jeneponto tahun 2009). Senada dengan indeks pendidikan, Pada tahun 2008 indeks kesehatan Kabupaten Jeneponto tercatat sekitar 66,17 atau meningkat 0,26 poin dibandingkan tahun 2007 (65,91). Meskipun demikian, indeks kesehatan Kabupaten Jeneponto masih menduduki peringkat terakhir bila dibandingkan dengan daerah lain di Sulawesi Selatan (IPM Kabupaten Jeneponto Tahun Data 2008: BPS Kab. Jeneponto (2009). Rendahnya IPM untuk sektor pendidikan dan kesehatan menunjukkan buruknya pelayanan publik di kabupaten jeneponto karena Pendidikan dan kesehatan merupakan hak dasar dalam pelayanan publik. Kebijakan penganggaran pun tidak menempatkan pelayanan publik dalam skala prioritas. Berdasarkan analisis anggaran yang di lakukanan oleh pattiro jeka, alokasi anggaran lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan aparatur dan pejabat daerah. Hal ini dapat di lihat dari komposisi perbandingan antara belanja langsung dengan tidak langsung Pengelolaan keuangan daerah yang buruk juga dapat menimbulkan terganggunya penyelenggaraan pelayanan publik. Berdasarkan analisis anggaran yang di lakukan oleh pattiro jeka dengan menggunakan beberapa dokumen antara lain dokumen APBD pokok tahun 2009, APBD perubahan tahun 2009, realisasi APBD tahun 2009, APBD pokok tahun 2010, dan rancangan APBD tahun 2010, RKPD, RPJMD, KAU-PPAS diketahui bahwa pada dari tahun ke tahun APBD di kabupaten jeneponto terus mengalami defisit. Tahun 2009 defisit APBD mencapai Rp.35.494.026.885,- dan meningkat tajam pada tahun 2010 dengan jumlah defisit sebesar Rp.77.714.883.057. Pada sisi penyelenggara penyedia layanan, Paradigma aparatur pemerintah masih menggunakan Pola pikir yang masih ingin dilayani bukan melayani. Respon terhadap komplain dari masyarakat pun terbilang cukup minim. Hal ini di tunjukkan dengan tidak adanya mekanisme
komplain dalam institusi pemerintah. Saat ini ini hanya Puskesmas dan Kantor Pelayanan Terpadu yang mempunyai mekanisme penanganan pengaduan. Keadaan mekanisme menjadikan penanganan pengaduan sifatnya case by case dan sangat tergantung political will pimpinan Penyelenggara Layanan. Ketiadaan complaint mechanism menjadikan perubahan (perbaikan) pelayanan tidak berlangsung secara sistemik, tidak menyentuh pada level kebijakan sehingga memungkinkan pengaduan yang sama akan terus berulang (Rosdinar, 2011 ). Selanjutnya dalam studi Rosdinar (2011) melaporkan bahwa dalam riset Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan (2009) tentang kepuasan pelanggan di 3 sektor (pendidikan, kesehatan, catatan sipil). menempatkan Kabupaten Jeneponto pada peringkat terendah untuk sektor kesehatan dan catatan sipil. Rendahnya kepuasan pelanggan tersebut bukan karena infrastrukturnya yang buruk, melainkan karena perilaku petugas layanan yang tidak ramah, tidak tepat waktu Selanjutnya, dalam penelitian Rosdinar (2011) menjelaskan bahwa Penyelenggaraan pelayanan publik yang buruk juga terindikasi dari belum adanya standar pelayanan publik. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan pelayanan tidak mempunyai kepastian prosedur, waktu dan biaya. Bahkan untuk sekedar information center ataupun call center-pun tidak ada. Belum adanya UndangUndang ataupun Perda yang mengatur secara khusus tentang penyelenggaraan pelayanan publik (seringkali) menjadi alasan atas buruknya sikap penyelenggara layanan, ketiadaan standar pelayanan dan tidak tersedianya complaint mechanism. Jaringan atau kelompok masyarakat sipil yang fokus dalam pemantauan pelayanan publik pun belum ada, sehingga masyarakat tidak mampu memperjuangkan haknya untuk memperoleh pelayanan publik yang berkualitas. Oleh karena itu oleh karena itu, Keberadaan lembaga pengaduan masyarakat (LPM) di kabupaten jeneponto merupakan respon terhadap kondisi pelayan publik yang tidak maksimal. II.
Inisiasi
Pembentukan LPM ini di awali dengan adanya Program Mekanisme Komplain terhadap pelayanan publik yang di lakukan oleh Pattiro Jeka (pusat telaah informasi dan regional jeneponto – jakarta)
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
3
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
bekerjasama dengan program The Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) dari Australian Agency for International Development (AusAID). Program mekanisme komplain ini merupakan bagian dari komitmen Pattiro Jeka pada Lokakarya Forum Lintas Aktor (FLA) di Malino Kabupaten Gowa untuk meningkatkan pelayanan publik yang bermutu dalam pemenuhan hak-hak dasar rakyat, dan media lokal berbasis komunitas. Pada pelaksanaan awal program mekanisme komplain (tahun 2006) hanya ada ada 5 LPM di Desa yang dibentuk (Desa Arungkeke, Kelurahan Sidenre, Desa Kayuloe barat, Desa Jenetalasa, dan Desa Garasikang). Pada pembentukan awal, LPM yang ada bersama Pattiro Jeka berhasil mendorong perda No.2 Tahun 2007 tentang pelayan publik pada tanggal 27 September 2007 (Rosdinar, dkk. 2012). Akan tetapi, dalam pelaksanaanya, implementasi Perda tentang Pelayanan Publik belum berjalan efektif, karena belum cukup kuat mendorong
meningkatnya kualitas Pelayanan publik bagi kelompok masyarakat miskin serta belum adanya mekanisme bagi kelompok masyarakat miskin untuk mengajukan keluhan atas pelayan publik yang diterimanya. Pembentukan LPM di 5 desa ini belum berjalan maksimal sehingga di rektrutlah fasilitator untuk selanjutnya mendampingi LPM di 20 desa (20102011) Pada acces phase II. Selanjutnya, di kembangkan kembali menjadi 45 LPM di desa dan kelurahan Serta mendampingi puskesmas pada rentang waktu 2011 – 2012. Disetiap pembentukan dan sosialisasi LPM melibatkan pemerintah desa/kelurahan sebagai bentuk kerjasama dan sharing pembelajaran sedangkan di tingkat Kabupaten Pattiro Jeka akan melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait serta Unit Pelaksana Tekhnis Daerah (UPTD) serta Kepala Daerah sebagai representasi pemberi layanan. Berikut ini adalah nama – nama LPM dan waktu pembentukanya:
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
4
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
DAFTAR NAMA LEMBAGA PENGADUAN MASYARAKAT ( LPM ) KABUPATEN JENEPONTO NO.
NAMA LPM
DESA/KELURAHAN
KECAMATAN
PEMBENTUKAN
1
LPM SIPAKAINGA'
ARUNGKEKE
ARUNGKEKE
FEBRUARI 2006
2
LPM SAMA SITURU
SIDENRE
BINAMU
FEBRUARI 2006
3
LPM GARASSIKANG
GARASSIKANG
BANGKALA BARAT
FEBRUARI 2006
4
LPM KAYULOE BARAT
KAYULOE BARAT
TURATEA
FEBRUARI 2006
5
LPM JE'NETALLASA
JE'NETALLASA
BANGKALA
FEBRUARI 2006
6
LPM EMPOANG SELATAN
EMPOANG
BINAMU
MARET 2008
7
LPM MONRO – MONRO
MONRO – MONRO
BINAMU
MARET 2008
8
LPM BULUSIBATANG
PABIRINGA
BINAMU
MARET 2008
9
LPM EMPOANG
EMPOANG
BINAMU
MARET 2008
10
LPM PANAIKANG
PANAIKANG
BINAMU
MARET 2008
11
LPM PA'RASANGENG BERU
PA'RASANGANG BERU
TURATEA
MARET 2008
12
LPM BULO KARISA
EMPOANG UTARA
BINAMU
MARET 2008
13
LPM BALANG TOA
BLANG TOA
BINAMU
MARET 2008
14
LPM PUNAGAYA
PUNAGAYA
BANGKALA
JANUARI 2012
15
LPM GUNUNG SILANU
GUNUNG SILANI
BANGKALA
JANUARI 2012
16
LPM BALANG
BALANG
BINAMU
JANUARI 2012
17
LPM KAYULOE TIMUR
KAYULOE TIMUR
TURATEA
JANUARI 2012
18
LPM SIPITANGARRI
BONTO UJUNG
TAROWANG
JANUARI 2012
19
LPM CINTA DAMAI
EMPOANG SELATAN
BINAMU
JANUARI 2012
20
LPM BA'BALA
TOGO – TOGO
BATANG
JANUARI 2012
21
LPM PANRANNUANTA
PALAJAU
ARUNGKEKE
JANUARI 2012
22
LPM TINGGIMAENG
BARAYYA
BONTO RAMBA
JANUARI 2012
23
LPM BULUSIBATANG
BULUSIBATANG
BONTO RAMBA
JANUARI 2012
24
LPM MATTATAKANG
BANGKALA LOE
BONTO RAMBA
JANUARI 2012
25
LPM GERSAMATA
MAERO
BONTO RAMBA
JANUARI 2012
26
LPM NAGA SAKTI
RUMBIA
RUMBIA
JANUARI 2012
27
LPM TOMPO BULU
TOMPOBULU
RUMBIA
JANUARI 2012
28
LPM MERAPI
BONTO TIRO
RUMBIA
JANUARI 2012
29
LPM HARAPAN BARU
BONTO MANAI
RUMBIA
JANUARI 2012
30
LPM BAJI MINASA
LEBANG MANAI
RUMBIA
JANUARI 2012
31
LPM BONTO CINI
BONTO CINI
RUMBIA
JANUARI 2012
32
LPM BIRINGKASSI
BIRINGKASSI
BINAMU
APRIL 2012
33
LPM TAMANROYA
TAMANROYA
TAMALATEA
APRIL 2012
34
LPM PALLENGU
PALLENGU
BANGKALA
MARET 2012
35
LPM MANJANGLOE
MANJANGLOE
TAMALATEA
FEBRUARI 2012
36
LPM TONROKASSI TIMUR
TONROKASSI TIMUR
TAMALATEA
MARET 2012
37
LPM TONROKASSI BARAT
TONROKASSI BARAT
TAMALATEA
MARET 2012
38
LPM BULUSUKA
BULUSUKA
BONTO RAMBA
MARET 2012
39
LPM BALANGLOE TAROWANG
BALANGLOE TAROWANG
TAROWANG
MARET 2012
40
LPM CAMBA-CAMBA
CAMBA-CAMBA
BATANG
MARET 2012
41
LPM BUNGENG
BUNGENG
BATANG
APRIL 2012
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
5
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
42
LPM TAROWANG
TAROWANG
TAROWANG
MARET 2012
43
LPM RUMBIA
RUMBIA
RUMBIA
JANUARI 2012
44
LPM TANJONGA
TANJONGA
TURATEA
MARET 2012
45
LPM BULULOE
BULULOE
TURATEA
MARET 2012
46
LPM JOMBE
JOMBE
TURATEA
APRIL 2012
47
LPM BORONGTALA
BORONGTALA
TAMALATEA
APRIL 2012
48
LPM PUNAGAYYA
PUNAGAYYA
RUMBIA
APRIL 2012
49
LPM KABUPATEN
FEBRUARI 2011
Sumber : Rodinar, dkk , 2012
Pada awal pembentukan, peran pattiro jeka lebih besar tetapi untuk selanjutnya permintaan membentuk LPM datang dari warga sendiri. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap LPM karena LPM cukup giat untuk mempublikasikan hasil-hasil kegiatanya kepada masyarakat.
III.
IMPLEMENTASI
a. Pembentukan dan pola kerja LPM Pada awal pembentukan LPM ini, kendala terberat yang di hadapi dari aparat pemerintah di desa sendiri yang cenderung menganggap lembaga pengaduan masyarakat ini sebagai lawan politik karena selalu kritis terhadap proses pelaksanaan pemerintahan di desa, kendala lain juga berasal dari sumber daya warga sendiri, butuh waktu dan proses yang panjang untuk menyakinkan untuk bergabung dengan lembaga pengaduan masyarakat ini, selain itu upaya menumbuhkan nalar kritis warga desa desa juga butuh waktu proses. Akan tetapi seiring berjalanya waktu, LPM sendiri telah mendapat kepercayaan dan tempat tersendiri di warga karena adanya beberapa keberhasilan-kebehasilan yang di capai ketika berada di desa. Pemerintah desa pun di beberapa LPM kini telah menjadi partner dalam menyukseskan program-program di desa Pembentukan LPM ini diawali dengan identifikasi tokoh – tokoh yang ada di desa yang terdiri dari tokoh pemuda, tokoh perempuan atau tokoh adat dan ulama di desa,. Identifikasi ini dilakukan oleh fasilitator pattiro jeka yang di tugaskan di desa tersebut, lalu tokoh yang telah teridentifikasi kemudian di ajak untuk mengikuti kegiatan yang di adakan oleh pattiro jeka. Setelah mereka di beri peningkatan kapasitas oleh pattiro jeka, mereka kemudian yang aktif di desa untuk melakukan kegiatan diskusi. Upaya lain yang di lakukan oleh fasilitator yakni mengadakan focus group discussion (FGD) di desa lalu dari FGD tersebut masyarakat di
berikan pencerahan akan pentingnya pelayanan publik dengan pentingnya pembentukan LPM, dari forum FGD ini pulalah di pilih orang-orang yang akan di pilih menjadi pengurus lembaga pengaduan masyakat (wawancara dengan Rahmawati, fasilitator pattiro jeka pada tahun 2011) Setelah identifikasi orang – orang yang akan terlibat dalam struktur maka dibentuklah Struktur LPM ada di tingkat desa/kelurahan. Pengurus LPM ini kemudian di lantik oleh pattiro jeka. Bahkan di beberapa tempat pengurus LPM ini di lantik oleh pejabat daerah kabupaten seperti sekda dan wakil bupati. Setelah LPM kabupaten terbentuk, pelantikan LPM desa di fasilitasi oleh LPM kabupaten. Dalam proses penyampaian pengaduan, LPM desa fokus pada penanganan pengaduan di level desa yang langsung berhubungan dengan Penyelenggara Layanan seperti Puskesmas. Sedangkan LPM kabupaten fokus pada penanganan pengaduan di level kabupaten yang berhubungan langsung dengan SKPD atau level Pemerintahan yang lebih tinggi. proses pengduan di LPM ini di lakukan dengan berbagai macam cara, bahkan ada beberapa warga yang mengidentikkan LPM dengan pattiro jeka sehingga warga yang datang mengadu biasanya langsung ke kantor pattiro jeka tetapi jika di desa ada LPM maka Proses penanganan pengaduan dilakukan oleh LPM. Warga yang akan mengadu terlebih dahulu mengisi form aduan, yang di siapkan oleh sekretariat LPM. Sumber pengaduan yang masuk biasanya melalui dua cara, yaitu pengadu individual dan pengaduan yang diperoleh dari proses petemuan rutin (proses diskusi bersama). Tahap selanjutnya adalah mendiskusikan strategi advokasi, pada tahap ini LPM selalu melibatkan pengadu/perwakilan masyarakat. Proses advokasi dimulai dengan menuliskan surat pengaduan sekaligus permintaan untuk berdialog langsung dengan Penyelenggara Layanan. Pada tahap ini Fasilitator pendamping memberikan support untuk menyiapkan bahan-bahan dialog, seperti kronologi
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
6
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
Sosialisasi pemasangan KWH di kolom rumah ketua LPM Bonto Ujung
dan analisa kasus, peraturan perundang-undangan, dsb. Meskipun sebetulnya kebutuhan bahan-bahan tersebut sudah didiskusikan bersama Tim LPM dan masyarakat. b. Proses advokasi LPM dan perubahanya Proses advokasi yang mampu terdokemuntasi dengan baik adalah proses advokasi LPM yang terjadi pada rentang waktu 2010-2012. Proses advokasi yang pertama yakni advokasi listrik di Desa Bonto Ujung yang di mulai 2010. Berikut catatan Rahmawati (fasilitator desa Bonto Ujung) dalam mendampingi warga mengadvokasi listrik. Proses advokasi ini di mulai ketika adanya keluhan dari masyarakat di tiga dusun di desa bonto ujung. Ketiga dusun tersebut adalah Dusun Bonto Katangka, Dusun Bonto Manai, dan Dusun Bungung Konci. Ketiga dusun ini sudah 65 tahun hidup tanpa listrik. Keluhan masyarakat ini pun di tindak lanjuti dengan melakukan audiensi dengan PLN Ranting Bulukumba pada 2 Maret 2011. Karena desakan dan audiensi yang di lakukan secara terus menerus tanpa kenal lelah, akhirnya pada 8 Maret 2012 PLN jeneponto yang merupakan perwakilan secara administratif dari PLN bulukumba melakukan sosialisasi pemasangan KWH. Kegiatan sosialisasi di tindak lanjuti dengan pemasangan tiang pancang PLN dan saat ini masyarakat di tiga dusun tersebut telah menikmati aliran listrik. LPM lain yang intens melakukan perubahan di
masyarakt adalah LPM di desa garassikang yang di damping oleh firmasnyah amal selaku fasilitator di desa tersebut. LPM yang bekerja sama dengan LSM lain di desa berusaha menyelesaikan masalah warga garassikang tepatnya di Dusun Karampuang dan Dusun La’bucingki, yang kesulitan terhadap akses sumber daya air. Pada forum musrembang 2011 masyarakat telah mengajukan permohonan untuk program air bersih tetapi kemudian di tolak. Lalu, LPM berusaha mengajak warga secara mandiri untuk mendatangkan air tersebut. Upaya ini di mulai dengan identifikasi sumber air, lalu masyarakat secara bergotong royong menggali sumur di daerah tersebut. Biaya pengadaan sumur ini pun di lakukan secara swadaya. Hingga akhirnya pada ramadhan 2011, air pun mengalir di desa tersebut dan pengelolaan pendanaanya di serahkan kepada koperasi pasir putih dari LSM AKUEP. Pada level pemerintahan, advokasi ditujukan kepada SKPD penyedia layanan. Misalnya adanya Advokasi e-KTP. Hal ini berawal dari adanya pengaduan dari ketua LPM Tamanroya yang bernama Abdul Rasyid. Bukan saja Abdul Rasyid yang mengeluh tapi beberapa fasilitator yang mengurus e-KTP juga menganggap bahwa ada sesuatu yang salah dalam pengurusan KTP. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang akan mengurus KTP diharuskan membayar Rp 65.000 dengan adanya peraturan tentang e-KTP. Ternyata
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
7
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
Honorer K1 jajaran Pemkab Jeneponto yang tidak lolos verifikasi menjadi CPNS melakukan aksi protes dengan membakar baju dinas di halaman kantor Bupati Jeneponto
yang diperoleh warga bukanlah e-KTP tapi masih KTP biasa sehingga harganya tidak seharusnya sama dengan pengurusan e-KTP. Advokasi ini dilanjutkan dengan mendatangi DPRD untuk mengadukan persoalan tersebut dan menuntut kepala dinas catatan sipil dan kependudukan agar melakukan peninjauan terkait persoalan e-KTP. Menindaklanjuti laporan dari LPM, pihak DPRD pun melakukan pemanggilan kepada pihak SKPD yang bersangkutan. Pasca adanya edvokasi tersebut, biaya pengurusan KTP tersebut menjadi berkurang. (http://www.fajar.co.id/read-20120701182317-kejarimulai-selidiki-pungli-ktp) Hampir bersamaan dengan advokasi e-KTP, proses advokasi juga di lakukan oleh LPM kabupaten. Advokasi ini di mulai karena adanya ketidakpuasan dari pegawai honorer K1 atas pengumuman kelulusan CPNS di lingkup pemda jeneponto. Dari 3.511 tenaga honorer Jeneponto, cuma 280 orang yang lolos verifikasi K1 dari BKN, selebihnya 3.231 dinyatakan tidak lulus. 280 yang lolos ini di anggap sebagai honorer siluman atau atau tidak memenuhi syarat untuk di luluskan. Lalu pada 5 april di lakukan
aksi pembakaran baju dinas oleh ratusan pegawai honorer di depan kantor bupati jeneponto (http://www.fajar.co.id/read20120406002532honorer-k1-bakar-baju-dinas). Aksi ini kemudian di mobilisasi oleh LPM bersama dengan Foum Bersama Tenaga Honorer Jeneponto (FBTHJ) ke DPRD dan BKD hingga di lakukan selama berharihari. Menindaklanjuti berbagai aksi demonstrasi dari masyarakat, 10 anggota komisi I DPRD Jeneponto langsung ke Jakarta pada 5 April 2012. 8 orang perwakilan dari FBTHJ juga berangkat ke Jakarta untuk berkomunikasi dengan BKN. Sampai saat ini keputusan terakhir adalah adanya perintah bupati jeneponto radjamilo untuk meneliti ulang berkas 280 orang yang dinyatakan lulus (http://www.fajar.co.id/read-20120418181600honorer-jeneponto-diverifikasi-ulang). c.
Peluang dan tantangan
Dalam pembentukan lembaga pengaduan masyarakat sebagai bagian dari pengembangan mekanisme komplain ini ada beberapa peluang dan tantangan dalam pelaksanaanya. Berikut peluang dan tantangan serta bagaimana memanfaatkanya :
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
8
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
Peluang UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Bagaimana Memanfaatkan Peluang dan mengatasi tantangan.
Tantangan Realisasi berupa Pelayanan Publik terbentuk
Komisi belum
Adanya Perda No. 2 Tahun 2007 tentang Pelayanan Publik
Piagam Pelayanan yang disepakati 17 Puskesmas tentang mekanisme pelayanan, hak dan kewajiban penyedia dan penerima layanan serta mekanisme
penyampaian keluhan dan banding yang belum berjalan
Program kesehatan dan pendidikan gratis
Inisiatif dari pemda yang belum maksimal untuk mengaplikasikan hal tersebut
Melakukan kajian mengenai UU dan korelasinya dengan Perda
Melakukan advokasi, lobby dan negosiasi kolaboratif dengan LPM dan pihak lain untuk mendorong implementasi Perda dan Pembentukan KPP
Melakukan sosialisasi kembali pada 18 puskesmas tentang isi Piagam Pelayanan
Melakukan training workshop kepada Puskesmas
Melakukan advokasi, lobby dan negosiasi mendorong peningakatan kualitas pelayanan di puskesmas
dan 18
Melakukan Negosiasi dengan eksekutif dan legislatif untuk menganggarkan anggaran pendidikan dan kesehatan yang lebih banyak
Mendorong pemerintah untuk membuat standar pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis
Rendahnya pengetahuan/kapasitas Pengurus LPM untuk memfasilitasi proses pengaduan masyarakat
Melakukan Training keterampilan fasilitasi dan pelatihan tentang mekanisme pengaduan
Melakukan asistensi/pendampingan yang intens bagi pengurus LPM dalam pelaksanaan program dilapangan oleh fasilitator pendamping
Masih rendahnya pemahaman anggota DPRD tentang tanggungjawabnya melakukan pengawasan terhadap layanan publik
Melakukan training dan workshop kepada anggota DPRD terkait tugas dan wewenangnya untuk melakukan
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
9
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
pengawasan
Rendahnya tingkat kepercayaan warga terhadap Pengurus LPM Karena adanya aduan yang terselesaikan.
Melakukan advokasi lobby dan negosiasi mendorong terbentuknya Komisi Pelayanan Publik (KPP)
Menjamin terlaksananya Monitoring dan evaluasi (MONEV) yang melibatkan berbagai pihak terhadap setiap tahapan/kegiatan LPM
Melakukan sosialisasi dan publikasi tentang hasilhasil yang telah dicapai,
Memastikan keterlibatan berbagai pihak utamanya kaum perempuan, laki-laki baik miskin maupun kaya dalam setiap kegiatan advokasi, lobby dan negosiasi
beberapa tidak
Sumber : Rencana aksi pattiro jeka (2010)
Untuk mengetahui tingkat pencapaian keberhasilan lembaga pengaduan masyarakat, maka penyusunan rencana monitoring dan evaluasi Monitoring Monitoring dilakukan bersama setiap bulan oleh Fasilitator LPM Pendamping dengan melakukan pertemuan-pertemuan rutin setiap bulan di Sekertariat LPM atau kunjungan ke puskesmas Hasil-hasil monitoring setiap bulan di dokumentasikan oleh manajemen program dan akan menjadi bahan pertemuan evaluasi. Monitoring apabila dilakukan dengan tepat, maka dapat menjaga konsistensi, memperbaiki berbagai strategi yang telah dirumuskan untuk melakukan advokasi peningkatan kualitas pelayanan publik di kabupaten Jeneponto khususnya di Puskesmas. Dalam kerangka monitoring dan evaluasi ini maka di lakukan pula monev dalam bentuk PPR. Menurut Nurfajri, PO Access Jeneponto (2012) PPR ini dilakukan ntuk mengukur dampak yang dirasakan oleh warga terhadap pelaksanaan program yang dilakukan oleh mitra (http://www.pattirojeka.org/ publication)
Evaluasi
Kegiatan evaluasi ini diformat dalam kegiatan lokakarya dengan dengan pihak penyedia layanan, seperti yang terjadi pada 23 februari 2012 ada Lokakarya Pelayanan Publik dengan Tema Peningkatan Pelayanan Publik Melalui Standar Pelayanan dengan menghadirkan PDAM, PLN dan puskesmas serta LPM. Dalam lokakarya ini juga di lakukan evaluasi terhadap piagam warga dan puskesmas dan disharingkan dengan SKPD lain dengan harapan bahwa SKPD yang lain memiliki Standar operasional pelayanan publik (SOP). Dalam lokakarya ini terjadi sharing antara penerima manfaat dan penyedia layanan. Selain itu, pada 2 februari 2012 juga di adakan lokakrya mini lintas sektoral yang di adakan oleh puskesmas. Kegiatan ini di laksanakan karena adanya permintaan dari LPM agar warga turut serta dalam pengembangan di bidang kesehatan (http://www.pattirojeka.org/ publication) IV.
Dampak Substantif
a. Dampak sasaran
langsung
terhadap
kelompok
Sejak kehadiran lembaga pengaduan masyarakat di desa, telah menghasilkan perubahan perilaku pada tingkatan warga desa. Perubahan perilaku yang di maksudkan disini adalah adanya keasadaran dari warga desa dimana LPM berada
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
10
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas. Seperti masuknya listrik, perubahan kebijakan dalam tataran SKPD seperti dalam kasus e-KTP dan honorer dan sebagainya. Kehadiran LPM di desa ini juga telah berperan dalam mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama meningkatkan pelayanan publik di daerahnya. Seperti perjuangan memperoleh air di Desa Garassikang. Dampak secara kualitatif terhadap kelompok sasaran yakni LPM berhasil melakukan perubahan pola pikir masyarakat terhadap hak-hak mendasar dalam pelayanan publik serta mengajak masyarakat untuk turut serta memperjuangkan palayan public yang berkualitas b.
Dampak bagi kelembagaan/institusi.
penguatan
secara kelembagaan LPM telah berkembang pesat baik secara kuantitas dan kualitas. Berawal dari 5 LPM di 5 desa dampingan, saat ini berkembang menjadi 48 LPM di 48 desa/kelurahan di Kabupaten Jeneponto. Bahkan telah dibentuk forum LPM di level Kabupaten Jeneponto. Terbentuknya LPM juga telah membawa dampak terhadap penguatan kelembagaan oleh pattiro jeka. Dengan adanya lembaga pengaduan masyarakat ini, pattiro jeka lebih di kenal sebagai salah satu LSM yang mapan di jeneponto. Selain itu, adanya partisipasi masyarakat untuk komplain dapat menguatkan institusi SKPD untuk melayani masyarakat c.
Upaya mobilisasi honorer untuk demonstrasi juga menunjukkan peran – peran politik LPM yang cukup signifikan. Peran-peran sosial politik LPM inilah yang menyebabkan Keberadaan LPM mendapatkan posisi yang sangat unik dalam relasinya dengan stakeholder. Pada awal pemerintahan Bupati Dr. H. Radjamilo, LPM mendapatkan tempat “istimewa”, tetapi kemudian terjadi terjadi “keterpisahan politik”. Pada periode pertama menjabat, bupati cukup responsif terhadap lembaga pengaduan masyarakat. Hal ini di buktikan dengan komitmen bupati untuk meningkatkan pelayanan publik dengan adanya perda pelayanan pelayan publik. Akan tetapi, ketika periode kedua menjabat ketika banyaknya advokasi kasus korupsi dan pelayan publik yang di lakukan oleh LPM menyebabkan LPM menjadi sebuah lembaga yang cukup di perhitungkan oleh pemerintah jeneponto. Sehingga pada periode kedua ini, LPM tidak lagi menjalin hubungan yang harmonis dengan bupati. Tetapi hal ini tidak berdampak pada relasinya dengan SKPD/Penyelenggara Layanan di lingkungan Pemerintah Jeneponto. Hal ini terbukti dengan semakin menguatnya engagement antara LPM dan Penyelenggara Layanan seperti implementasi nota kesepahaman antara bidan dan dukun sebagai komitmen puskesmas dalam pelayanan kesehatan, dan implementas piagam pelayanan pada puskesmas.
Dampak terhadap lingkungan sosial politik
Dalam tataran masyarakat, LPM berhasil menerapkan nilai-nilai demokrasi, keberpihakan terhadap kaum marginal dan kesetaraan dalam proses kerjanya di tengah-tengah masyarakat. LPM sejak pembentukannya selalu menerapkan kesetaraan gender dan berpihak kepada kelompok marginal. Terdapat mekanisme keterwakilan perempuan dalam struktur organisasinya. Isu keadilan gender dan pembelaan terhadap kelompok marginal (miskin) menjadi topik-topik yang selalu diperbincangkan dalam pertemuan LPM. Bahkan agenda-agenda tersebut menjadi prioritas dalam kerja advokasi seperti pengawasan penyaluran Jampersal, penyelenggaraan Posyandu, dll. LPM juga terus melakukan kerja-kerja prolitik seperti mendorong pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Hal ini di implementasikan ketika LPM bersama koalisi rakyat anti korupsi di jenponto melakukan advokasi kasus korupsi jembatan parappa dan membawa kasus tersebut ke KPK. Meskipun belum ada hasilnya secara tindakan hukum tetapi upaya tersebut telah mampu memberikan pencerahan kepada warga dan pemerintah tentang kondisi jeneponto saat ini.
V.
INSTITUSIONALISASI TANTANGAN
DAN
Pertama, pengembangan LPM ke beberapa desa dan kelurahan. Berawal dari 5 LPM di 5 desa dampingan, saat ini berkembang menjadi 48 LPM di 48 desa/kelurahan di Kabupaten Jeneponto. Bahkan telah dibentuk forum LPM di level Kabupaten Jeneponto. Semakin banyaknya LPM yang berkembang di desa tidak lepas dari adanya tantangan berupa sumber daya masyarakat desa yang akan bergabung dengan LPM tersebut. Saat ini, LPM di beberapa desa sudah tidak aktif lagi karena pattiro jeka selaku inisiator juga terkendala pada sumber daya fasilitator desa yang minim. Dari 45 LPM hanya di damping oleh 5 orang fasilitator. Sehingga warga terkadang tidak aktif melakukan advokasi jika tidak di dukung oleh keberadaan fasilitator. Selain itu, keaktifan LPM ini sendiri sangat di dukung oleh ketersediaan anggaran yang ada. Tidak bisa di pungkiri bahwa keberadaan LPM ini merupakan dukungan sepenuhnya dari project mekanisme komplain pattiro jeka kerjasama dengan acces, tantangan terbesar adalah ketika waktu project LPM selesai maka pattiro jeka selaku
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
11
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
pelaksana program harus berusaha mendorong kemandirian LPM di desa dan tentunya warga yang tegabung di LPM ini juga harus mandiri secara anggaran dan sumber daya untuk terus melakukan peningkatan kapasitas dan advokasi. Kedua, adanya Perda No.2 tahun 2007 tentang Pelayanan Publik di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Jeneponto. Kehadiran Perda Pelayanan Publik telah menghadirkan jaminan terhadap pemenuhan pelayanan publik yang baik, berkualitas dan non diskriminatif bagi masyarakat Jeneponto. Salah satu poin penting dalam perda pelayanan publik yakni dibentuknya komisi pelayanan publik (KPP). Komisi ini berfungsi sebagai partner LPM dalam melakukan pengaduan. Ketika ada aduan dari LPM maka komisi pelayan publik yang akan menindaklanjuti persoalan tersebut. Belum terbentuknya komisi ini karena belum adanya inisiatif anggaran dari legislatif dan insiatif untuk pembentukan struktur dari pihak eksekutif sehingga masih butuh perjuangan untuk mewujudkan hal tersebut. Kehadiran LPM tanpa komisi pelayanan publik menyebabkan perda pelayanan publik ini belum dapat di implementasikan secara maksimal. Ketiga adanya pertemuan rutin antara LPM dengan SKPD penyedia layanan untuk membahas masalah pelayan publik. Salah satunya adalaha Pada bulan April 2008, LPM di 13 desa intensif mengadakan pertemuan-pertemuan dengan 17 Puskesmas dan Dinas Kesehatan Jeneponto untuk membahas tentang standar pelayanan prima. Pertemuanpertemuan ini dalam bentuk workshop berseri dengan melibatkan perwakilan LPM, Kepala Puskesmas, Dinas Kesehatan dan jaringan masyarakat sipil yang lain seperti PATTIRO Jeka. Standar pelayanan prima ini disebut dengan piagam pelayanan. Setelah melalui beberapa kali pertemuan akhirnya pada bulan mei 2008, Piagam Pelayanan ditanda tangani oleh Kepala Puskesmas dan Kepala Rumah Sakit Daerah sebagai kesiapan untuk melaksanakan/mengimplementasikan Piagam Pelayanan dalam penyelenggaran pelayanan di Puskesmas dan RSUD. Keberhasilan LPM membuat piagam pelayanan ini pada tahun 2008 sedikit banyak telah mengubah sistem dan perilaku pelayanan di puskesmas. Berdasarkan laporan survey pattiro jeka terhadap pelayanan puskesmas menunjukkan Tingkat kepuasan responden terhadap pelayanan puskesmas mencapai 68,72 persen. Angka itu tergolong tinggi. Sementara yang tidak puas sekitar 31,28 persen. masih adanya Ketidakpuasan yang diterima masyarakat disebabkan karena pola budaya dari penyedia layanan itu sendiri yang belum memiliki kesadaran untuk mewujudkan
pelayan yang berkualitas. Selain itu, aturan piagam pelayanan ini tidak ada ikatan secara yuridisnya sehingga yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan reward and punishment untuk lebih memaksimalkan implementasi piagam tersebut. Selain adanya piagam pelayan puskesmas, pada awal 2012 ditandatangani pula nota kesepahaman antara bidan desa dan dukun dalam mempermudah proses kelahiran di desa (wawancara dengan firmansyah amal, pada 11 juni 2102). Program ini merupakan program dari kabupaten tetapi baru puskesmas tompobulu yang mengimplementasikanya (wawancara dengan rahmawati fasilitator desa tompobulu, pada 6 september 2012). Implementasi ini merupakan respon puskesmas terhadap pengaduan LPM dan masyarakat.
VI.
LESSON LEARNED CATATAN KRITIS
DAN
a. Pentingnya pendampingan masyarakat. Pada tahap inisisasi, ada poin penting yang dapat diperoleh yakni warga tidak boleh dibiarkan sendiri, mesti ada lembaga yang peduli dan aktif mendampingi dan mengadvokasi mereka agar warga memiliki keyakinan yang kuat untuk tetap semangat memperjuangkan hak-haknya. Oleh karena itu, kehadiran LPM bersama-sama warga melakukan advokasi kebijakan pelayanan publik, akan memberikan sumbangan yang berarti untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat terutama yang miskin dan perempuan. poin penting yang harus di perhatikan dalam inisiasi terbentuknya LPM ini yakni terbentunya bukan hanya di dasari oleh program oriented (berorientasi project). Butuh inisiatif yang kuat jika ada kelompok masyarakat yang akan mengimplementasi terbentuknya lembaga pengaduan masyarakat ini, karena tidak mudah mengubah pola pikir dan membangkitkan nalar kritis warga desa yang terbiasa untuk menerima apa yang ada saja dan mengubah mereka untuk berpikir menerima apa yang harus mereka terima Dalam perkembangan institusi LPM sebagai bagian dari pusat advokasi hak-hak rakyat ternyata menimbulkan sebuah gejala politik dalam internal LPM itu sendiri. Karena memiliki basis di desa, LPM ini kemudian sangat mudah di masuki oleh kepenting-kepentingan politik. Dalam beberapa pelantikan atau kegiatan LPM , kerap di hadiri oleh pejabat yang punya kepentingan untuk menguatkan konstituen. Ini tentu bukanlah sebuah hal yang menggembirakan, mengingat LPM sendiri meruakan
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
12
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
lembaga yang selalu kritis terhadap pemerintahan sehingga perlu menjaga independensinya. b. Pentingnya kemitraan Pada tahap implementasi, LPM banyak bermitra dengan pihak penyedia layanan (puskesmas dan SKPD). Pada tingkat mitra di semua level yang terkait juga akan melakukan pembelajaran mengenai pengelolaan pengaduan secara kolaboratif, Demoktaris, transparan dan akuntabel. Pembelajaran terpenting yang akan diperoleh oleh Pemerintah apabila dapat menerapkan prinsipprinsip Tata Kelola Kepemerintahan Lokal Yang Demokratis (Good Governance) adalah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan dan tentunya juga akan meningkatkan partisipasi warga terhadap pembangunan, sehingga akan lahirlah pemerintahan yang kuat. Yang terkadang menjadi kendala adalah meskipun sudah ada inisiatif untuk memberikan layanan prima kepada masyarakat, tetapi pihak pemerintah terkadang tidak memiliki standar pelayanan tersendiri sehingga mereka tidak mengetahui bahwa sampai dimana batas-batas standar pelayanan itu sendiri, yang ada hanyalah interpretasi dari penyedia layanan itu sendiri sehingga terkadang mereka mengatakan bahwa mereka sudah memberikan pelayanan prima tetapi pihak warga merasa belum mendapatkan pelayanan prima sehingga terjadi benturan pemahaman. Oleh karena itu, pihak LPM mesti terus berupaya untuk mendorong tersedanya SOP pelayan di tingkatan SKPD lain selain puskesmas. c.
dalam mengadukan persoalan pelayan publik. Ketika ada aduan yang masuk ke LPM maka LPM akan meneruskan ke KPP. KPP yang akan menindaklanjuti kasus tersebut apakah akan diteruskan ke ranah hukum atau memberikan sanksi secara administratif bagi penyedia layanan. Karena bagaimanapun, LPM hanyalaha koalisi warga dan kapasitasnya untuk menyelesaikan berbagai persoalan juga terbatas. I.
Keberadaan mekanisme komplain atau lembaga pengaduan masyarakat ini dapat di replikasi oleh daerah lain dengan beberapa persyaratan : a.
Adanya payung hukum berupa perda. Ketersediaan perda ini dapat menjadi payung hukum bagi adanya mekanisme komplain. Perda ini dapat menjamin adanya partisipasi masyarakat dalam proses kebijkan publik di daerahnya meskipun bentuknya bukan hanya dalam bentuk lembaga pengaduan masyarakat
b.
Adanya komunitas yang memiliki kesadaran akan pentingnya palayan publik sebagai insiator awal. Inisiator ini dapat di lakukan oleh para pegiat lembaga swadaya masyarakat, tokoh desa, tokoh pemuda, tokoh adat atau agama atapun orang – orang yang memiliki kepedulian terhadap peningkatan pelayanan public
c.
Adanya fasilitator lapangan yang selalu mendampingi warga desa. LPM ini tidak dapat berjalan tanpa adanya dukungan fasilitator yang selalu mendampingi warga untuk melakukan pengaduan disamping itu, fasilitator selalu bertindak sebagai orang yang membantu warga untuk meningkatkan kapasitas dan membangkitkan nalar kritis warga. Fasilitator yang di tugaskan untuk mendampingi warga adalah mereka yang telah terlatih dan dikembangkan kemampuan memfasilitasinya
d.
Adanya modul training warga dan fasilitator. Telah di sampaikan sebelumnya bahwa untuk meningkatkan kapasitas warga maka selalu di adakan training peningkatan kapasitas, sehingga di butuhkan modul traning advokasi, modul training pengelolaan administrasi dan pengaduan dan lain-lain.
e.
Syarat anggaran, keberadaan mekanisme komplain ini otomatis membutuhkan support anggaran dalam pelaksanaanya untuk membiayai berbagai operasional program. Hal ini berkaitan dengan upaya peningkatan kapasitas bagi pengurus LPM dan biaya operasional fasilitator yang mendampingi
pentingnya rule game yg mengatur dan menjamin sustainabilitas
Pembelajaran penting dari tahap ini adalah adanya beberapa produk hukum berupa perda pelayanan publik, dan piagam pelayanan. Yang belum terimpelmentasi yakni adanya komisi pelayan publik. Adanya produk hukum ini dianggap dapat menjadi payung hukum bagi pelaksanaan pelayanan publik di kabupaten jeneponto tetapi kendala terbesar adalah implementasi dari produk tersebut sehingga yang terjadi adalah produk hukum tersebut berhenti di atas kertas saja. Inisiatif dari pemerintah dan buruknya penyedia layanan terkadang memberikan rasa pesimisme pada tingkatan warga sendiri karena dari sekian banyak masalah yang mereka adukan hanya ada beberapa masalah saja yang mampu terselesaikan. Hal ini pun terkadang membuat turunya kepercayaan warga terhadap kehadiran LPM karena ternyata LPM tidak mampu menyelesaikan semua persoalan warga terkait dengan pelayanan publik. Sehingga yang mendesak untuk segera di bentuk adalah komisi pelayanan publik (KPP) sebagai mitra LPM
PELUANG REPLIKASI
Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
13
http://igi.fisipol.ugm.ac.id
pengurus LPM. Meskipun membutuhkan support anggaran yang besar, sebisa mungkin menghindari pendanaan dari pemerintah setempat untuk menjaga netralitas dan kemandirian LPM sebagai bagian dari mekanisme komplain. f.
g.
h.
i.
Keberadaan komisi pelayanan publik dan komisi informasi . kedua komisi ini akan sangat membantu LPM atau mennjadi mitra strategis LPM dalam proses penanganan pengaduan Adanya SOP pelayanan bagi SKPD dan piagam warga dan puskesmas atau mekanisme sosial . adanya SOP dan sebagainya dapat memudahkan SKPD sebagai mitra LPM untuk mengakses pelayanan publik yang lebih baik
http://www.fajar.co.id/read-20120418181600honorer-jeneponto-diverifikasi-ulang diakses tanggal 12 juni 2012 Harian ujung pandang ekspres edisi sabtu 12 Februari 2011 Harian Fajar edisi Maret 2012 Pattiro jeka. Laporan hasil penilaian warga terhadap pelayanan puskesmas tahun 2012 Pattiro Jeka . 2011. Policy breaf tentang APBD kabupaten jeneponto Perda nomor 2 tahun 2007 tentang pelayan publik Piagam Pelayanan Puskesmas tahun 2008 Peraturan Bupati No 8 Tahun 2008
Mencari champion-champion di desa sebagai kader LPM yang berasal dari beberapa komunitas masyarakat yang memang telah memiliki nalar kritis
NARASUMBER
Memiliki champion di eksekutif dan legislatef yang mendukung keberadaan lembaga pengaduan masyarakat.
Wawancara dengan Firmansyah Amal , koordinator program acces pada 11 juni 2012
REFERENSI Badan Pusat Statistik. angka.
2011. jeneponto dalam
Badan Pusat Statistik. 2009. Jeneponto dalam angka
Wawancara dengan Rahmawati, fasilitator Desa Bonto Ujung pada tahun 2012
Wawancara dengan Suryani Hajar, pegiat pattiro jeka pada juni 2012 Wawancara dengan adwin suttee, mantan direktur pattiro jeka pada 2012 Wawancara dengan verawati safitry, fasilitator desa tamanroya pada 2012
Rosdinar, H, dkk. 2012. Lembaga pengaduan masyarakat, Studi tentang Praktek Baik Partisipasi Warga dalam Perbaikan Pelayanan Publik di Kabupaten Jeneponto. Naskah dalam proses penerbitan Hajar, S, dkk. 2010. Rencana aksi Program Peningkatan Pelayanan Publik Berkualitas yang Berpihak pada Masyarakat Miskin dan Perempuan Serta Kelompok Marginal Lainnya. Draft proposal pattiro jeka kerjasama Access II http://www.fajar.co.id/read-20120521190814puskesmas-jemput-pasien-kurang-mampu#. diakses tanggal 12 juni 2012 http://www.pattirojeka.org/publication/berita/item/302 -pattiro-jeka-melaksanakan-ppr.html diakses tanggal 12 juni 2012 (http://www.fajar.co.id/read-20120701182317-kejarimulai-selidiki-pungli-ktp) diakses tanggal 12 juni 2012 Program Mekanisme Komplain Lembaga Pengaduan Masyarakat Kabupaten Jeneponto
14
http://igi.fisipol.ugm.ac.id