Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia 2016 Vol. 1, No. 1, Hal 55-63
IDENTITAS SOSIAL MAHASISWA PAPUA DI KOTA MALANG Ahmad Maulana Rizky Mohammad Bisri Universitas Negeri Malang ABSTRAK Identitas sosial upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial dan konflik antar kelompok. Identitas sosial berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keangootaan dalam suatu kelompok tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaima identitas sosial mahasiswa Papua. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Berdasarkan analisis yang dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : a) Keterlibatan aktivitas kedaerahan membuat subjek tetap menjaga adat dan tradisi Papua. meskipun subjek bergaul dengan mahasiswa dari luar daerah Papua subjek tetap mempertahankan identitas subjek sebagai masyarakat asli Papua. b) Mempertahanan nilai-nilai kedarahan, nilai tersebut berasal dari tiga sumber yakni adat, organisasi kedaerahan dan orang tua. c) perasaan pertama kali subjek ke malang yakni cemas, takut menyinggung perasaan orang lain karena perbedaan kedaerahan. Subjek akan merasa tersingung jika subjek merasa terdiskriminasi. Kata Kunci: Identitas Sosial, Mahasiswa, Daerah Papua menganggap kelompoknya lebih baik dari kelompok lainya (in-group favoritism). Mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok pun akan cenderung melihat perbedaan kelompok mereka miliki dengan kelompok lainya. Identitas sosial merupakan suatu proses yang membutuhkan obyek dan subyek identifikasi. Diantara keduanya terdapat hubungan dialektik yang menyebabkan proses identitas sosial berkaitan dengan waktu dan syarat memungkinkan terjadinya stabilitas dan perubahan sosial. Proses ini tidak terjadi pada tingkat individu tapi individu menjadi bagian dari identitas sosial, subyek dalam identitas sosial yang bersifat aktif.
LATAR BELAKANG Seorang filsuf yunani yang bernama Plato berpendapat bahwa individu merupakan makhuk social sehingga setiap individu akan memiliki ketergantungan dengan individu lainya ( Hatta ,2006). Bahkan sejak awal perkembangan yaitu ketika manusia hidup nomaden, manusia telah hidup bersama dalam bentuk kelompokkelompok kecil. Seiring berjalan waktu, kelompok kecil-kecil tersebut berkembang dan membentuk kelompok atau gorup sosial yang lebih besar, seperti suku, etnik, bangsa maupun ras yang dimaksud dengan kelompok sosial bukanlah sekedar sekumpulan individu yang pada suatu tempat. Individu-individu yang menemukan banyaknya persamaan dalam diri mereka akan mementuk sebuah kelompok dimana setiap individu merasa merupakan bagian dari kelompok tersebut. Menurut Tajfel dan Turner (2004), perbedaan kelompok ini biasanya juga bersamaan dengan kecenderungan untuk
Hal ini pula yang terjadi pada mahasiswa asli papua yang menempuh pendidikan tinggi di kota Malang yang notabene didominasi oleh masyarakat Jawa yang secara kebiasaan sangatlah berbeda. budaya-budaya di Papua tersebar, tidak [55]
seperti yang terlihat pada budaya Jawa dan Bali dimana budaya-budaya fokus dan tidak tersebar Zolner (2006) dan Laksono (2009). Teori identitas sosial sendiri menyatakan bahwa, identitas diikat untuk menggolongkan keanggotaan kelompok, “teori identitas sosial dimaksudkan untuk melihat psikologi hubungan sosial antar kelompok, proses kelompok dan sosial diri. jadi identitas sosial yang positif adalah didasarkan pada perbandingan antar kelompok yang menguntungkan dan harus ada korelasi yang positif. Hal tersebut juga harus terwujudkan dalam proses sosial mahasiswa Papua dalam membentuk identitas sosialnya dalam kehidupan perguruan tinggi di kota Malang. Sehingga kerumitan-kerumitan dalam pada pembentukan identitas sosial pada mahasiswa asli daerah Papua sebagai representasi mahasiswa Papua dalam kehidupan perguruan tinggi di kota Malang.
mereka terhadap orang lain yang memiliki perbedaan kecil atau serupa. Teori identitas (identity theory) secara eksplisit lebih fokus terhadap srtuktur dan fungsi identitas individual, yang berhubungan dengan peran perilaku yang dimainkan di masyarakat. Untuk menjelaskan identitas social, terdapat konsep penting yang berkaitan dengan kategori social.Turner (dalam Tajfel, 1982) dan Ellemers dkk (2002) mengungkap ketegori sosial sebagai pembagian individu berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lainlain. Kategori social berkaitan dengan kelompok sosial yang diartikan sebagai sebagai dua orang atau lebih yang mengekspresikan diri atau menganggap diri mereka sebagai bagian satu kategori sosial yang sama. Seorang individu pada saat yang sama merupakan sebagai anggota dari berbagai anggota dari berbagai kategori dan kelompok sosial (Hogg dan Giles, 1985, Branscombe, 1993). Pada umumnya, individu-individu membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda yakni kita dan mereka. Kita adalah ingroup, sedangkan mereka adalah outgroup. Hal ini merupakan indikasi bahwa individu memang tak bisa lepas dari pengaruh lingkungan. Menurut Hogg dan Abrams (dalam Nuraeini, 2005) menjelaskan identitas sosial sebagai rasa keterikatan, peduli, bangga dapat berasal dari pengetahuan seseorang dalam berbagai kategori keanggotaan sosial dengan anggota yang lain, bahkan tanpa perlu memiliki hubungan personal yang dekat, mengetahui atau memiliki berbagai minat. Teori identitas sosial sendiri menyatakan bahwa identitas diikat untuk menggolongkan keanggotaan kelompok, (Hogg, 2000) “teori identitas sosial dimaksudkan untuk melihat psikologi hubungan sosial antar kelompok, proses kelompok dan sosial diri. Pendekatan dalam identitas sosial erat kaitannya dengan hubungan inter relationship, serta kehidupan alamiah masyarakat dan society (Hogg & Abrams, 2000). Menurut teori
1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika identitas sosial pada mahasiswa suku Papua di Kota Malang 2.
LANDASAN TEORI
3.1 Identitas Sosial Teori identitas social dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan social dan konflik antar kelompok. Menurut Tajfel (1982), identitas sosial adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok social bersama dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut. Identitas social berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keangootaan dalam suatu kelompok tertentu. Pada awalnya, teori identitas sosial berasal dari teori perbandingn sosial (social comparison theory) dari Festinger (dalam Hogg & Abrams, 2000), yang menyatakan bahwa individu akan berusaha melihat diri [56]
identitas sosial, individu bukanlah individu mutlak dalam suatu kehidupan. Disadari atau tidak, individu merupakan bagian dari suatu kelompok tertentu. Dalam hal ini, konsep identitas sosial adalah bagaimana seseorang itu secara sosial dapat didefinisikan (Verkuyten, 2005). Berdasarkan hal tersebut identitas sosial adalah ciri atau keadaan khusus dari suatu kelompok dimana individu menjadi bagian dari kelompok berdasarkan kesamaan nilai serta emosi yang didapat dari evaluasi dari individu yang bersangkutan.
Motifidentitas sosial yang lain adalah uncertainty reduction. Motif ini secara langsung berhubungan dengan kategorisasi sosial.Individu berusaha mengurangi ketidakpastian subjektif mengenai dunia sosial dan posisi mereka dalam dunia sosial.Individu suka untuk mengetahui siapa mereka dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku. Selain mengetahui dirinya, mereka juga tertarik untuk mengetahui siapa orang lain dan bagaimana seharusnya orang lain tersebut berperilaku. Kategorisasi sosial dapat menghasilkan uncertainty reduction karena memberikan group prototype yang menggambarkan bagaimana orang (termasuk dirinya) akan atau dan seharusnya berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam uncertainty reduction, anggota kelompok terkadang langsung menyetujui status keanggotaan mereka karena menentang status kelompok berarti meningkatkan ketidakpastian self-conceptual. Individu yang memiliki ketidakpastian selfconceptual akan termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian dengan cara mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang statusnya tinggi atau rendah. Kelompok yang telah memiliki kepastian self-conceptual akan dimotivasi oleh self-enhancement untuk mengidentifikasi dirinya lebih baik terhadap kelompoknya.
3.2 Motivasi Melakukan Identitas Sosial Burke ( 2006) identitas sosial dimotivasi oleh dua proses yaitu self-enhacement dan uncertainty reduction yang menyebabkan individu untuk berusaha lebih baik dibandingkan kelompok lain. Motivasi ketiga yang juga berperan adalah optimal distinctiveness. Ketiga motivasi ini akan dijelaskan sebagai berikut a. Self-enhancement dan positive distinctiveness Positive distinctiveness Mencakup keyakinan bahwa ”kelompok kita” lebih baik dibandingkan “kelompok mereka”. Kelompok dan anggota yang berada di dalamnya akan berusaha untuk mempertahankan positive distinctiveness tersebut karena hal itumenyangkut dengan martabat, status, dan kelekatan dengan kelompoknya. Positive distinctiveness seringkali dimotivasi oleh harga diri anggota kelompok. Ini berarti bahwa harga diri yang rendah akan mendorong terjadinya identifikasi kelompok dan perilaku antar kelompok. Dengan adanya identifikasi kelompok, harga diri akan mengalami peningkatan. Self-enhancement tak dapat disangkal juga terlibat dalam proses identitas sosial. Karena motif individu untuk melakukan social identity adalah untuk memberikan aspek positif bagi dirinya, misalnya meningkatkan harga dirinya, yang berhubungan dengan self enhancement. b. Uncertainty Reduction
c. Optimal Distinctiveness Motif ketiga yang terlibat dalam proses identitas sosial adalah optimal distinctiveness. Menurut Brewer (1991), individu berusaha menyeimbangkan dua motif yang saling berkonflik (sebagai anggota kelompok atau sebagai individu) dalam meraih optimal distinctiveness. Individu berusaha untuk menyeimbangkan kebutuhan mempertahankan perasaan individualitas dengan kebutuhan menjadi bagian dalam kelompok yang akan menghasilkan definisi dirinya sebagai anggota kelompok (Ellemers, 1999). 3. Komponen Identitas Sosial [57]
Tajfel (1978) mengembangkan teori identitas sosial sehingga terdiri dari tiga komponen yaitu cognitive component (self categorization), evaluative component (group self esteem), dan emotional component (affective component) yaitu: a. Cognitive Component Kesadaran kognitif akan keanggotaannya dalam kelompok, seperti self categorization. Individu mengkategorisasikan dirinya dengan kelompok tertentu yang akan menentukan kecenderungan mereka untuk berperilaku sesuai dengan keanggotaan kelompoknya. (dalam Ellemers, 1999). Hogg (2001) menjelaskan bahwa komponen ini juga berhubungan dengan self stereotyping yang menghasilkan identitas pada diri individu dan anggota kelompok lain yang satu kelompok dengannya. Self stereotyping dapat memunculkan perilaku kelompok. Namun orang tidak perlu mengambil seluruh rangkaian asosiasi yang menentukan kategori. Dari representasi masyarakat, orang mungkin mengadopsi beberapa aspek yang relevan dan tidak menerima orang lain . Selain itu, orang sering membuat definisi aneh mereka sendiri tentang apa artinya menjadi karakteristik tertentu. Kay Deaux, (2001) menejelaskan bahwa, komponen kognitif dari identitas sosial dapat dipahami sebagai kombinasi dari kepercayaan sosial dan atribut lainnya berdasarkan pengalaman pribadi b. Evaluative Component Merupakan nilai positif atau negatif yang dimiliki oleh individu terhadap keanggotaannya dalam kelompok, seperti group self esteem. Evaluative component ini menekankan pada nilai-nilai yang dimiliki individu terhadap keanggotaan kelompoknya (dalam Ellemers, 1999).
dimiliki individu terhadap kelompoknya (affective commitment).Komitmen afektif cenderung lebih kuat dalam kelompok yang dievaluasi secara positif karena kelompok lebih berkontribusi terhadap social identity yang positif. Ellemers (1999) Hal ini menunjukkan bahwa identitas individu sebagai anggota kelompok sangat penting dalam menunjukkan keterlibatan emosionalnya yang kuat terhadap kelompoknya walaupun kelompoknya diberikan karakteristik negatif. Menurut Henry Tajfel (Dalam Kay Deaux, 2001) bahwa makna emosional keanggotaan sebagai identifikasi sosial. Terutama dalam hal spesifik diyakini puas dengan pilihan identifikasi.Ada berbagai fungsi tentang identitas sosial Pertama, identitas sosial dapat berfungsi sebagai sarana definisi diri atau harga diri, membuat orang merasa lebih baik tentang diri.Kedua , identifikasi sosial dapat menjadi sarana berinteraksi dengan orang lain yang berbagi nilai-nilai dan tujuan seseorang , memberikan orientasi kelompok referensi dan aktivitas bersama. Fungsi ketiga, identifikasi sosial dapat berfungsi sebagai cara untuk mendefinisikan diri berbeda dengan orang lain yang menjadi anggota kelompok lain, cara posisi diri dalam komunitas yangang lebih besar. 4. Mahasiswa Mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Selanjutnya menurut Sarwono (1978) mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun. Mahasiswa merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam
c. Emotional Component Merupakan perasaan keterlibatan emosional terhadap kelompok, seperti affective commitment. Emotional component ini lebih menekankan pada seberapa besar perasaan emosional yang [58]
suatu lapisan masyarakat yang sering kali syarat dengan berbagai predikat. Mahasiswa menurut Knopfemacher (dalam Suwono, 1978) adalah merupakan insaninsan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan di harapkan menjadi calon-clon intelektual. Dari pendapat di atas bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan perguruan tinggi yang diharapkan menjadi calon-calon intelektual. 5.
yang berpotensi konflik, walaupun melalui pendekatan partisipatif dan kearifan lokal, hal ini seringkali berhasil diatasi oleh tokoh masyarakat adat setempat. Kualitas sumber daya manusia masyarakat Provinsi Papua perlu ditingkatkan, baik dalam konteks menghadapi persaingan global maupunnasional serta adanya tantangan ke depan, dimana Papua membutuhkan tenaga-tenaga profesional yang berpendidikan minimal diploma. Kondisi penduduk yang diwarnai dengan jumlah penduduk yang tingkat populasi, tingkat rata-rata pendidikan dan tingkat kesehatan yang rendah dengan akar budaya yang kuat, maka relokasi patut dipertimbangkan untuk mempermudah memberikan pelayanan. Lemhannas RI (2013) Perencanaan kegiatan berbasis Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM), dengan Tata Ruang sebagai alat kendali dengan batas wilayah administrasi dijadikan dasar dalam pelaksanaan tugas, peran dan tanggung jawab merupakan tujuan dari kebijakan pembangunan Papua. Survei yang di lakukan oleh Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS,2012) menunjukan bahwa Indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), sebagai ukuran kualitas hidup manusia, kedua provinsi di Papua memperlihatkan peningkatan di selama periode 2006-2010. Pada tahun 2010, IPM antarprovinsi di Wilayah Papua masih berada di bawah IPM nasional (72,27). IPM di Provinsi Papua Barat sebesar 69,15, lebih tinggi dibanding IPM di Papua sebesar 64,94. Berdasarkan nilai ranking IPM antarprovinsi di Indonesia, Provinsi Papua menduduki urutan terrendah (ranking 33), sementara di Papua Barat menduduki ranking ke 30. 6.3 Idiologi Pemahaman ideologi Pancasila yang dipahami masyarakat merupakan alat pemersatu bangsa yang dapat dilihat dari wujud toleransi, solidaritas sosial,
Daerah Papua
6.1 Geografis Papua adalah sebuah provinsi di indonesia yang terletak di Pulau nugini bagian barat atau West new Guinea. Provinsi ini sempat bernama Provinsi irian Barat (1969-1973) dimana saat itu berdirinya provinsi ini didasari oleh penyerahan kekuasaan dari UNTEA (United nation Temporary Executive Authority) kepada republik indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 dan sebagai hasil pelaksanaan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Agustus 1969. Provinsi ini kemudian diganti namanya menjadi irian Jaya oleh soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. nama provinsi ini diganti menjadi „Papua‟ sesuai UU no 21 Tahun 2001 otonomi Khusus Papua. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli. 6.2 Demografi Postur dan jumlah penduduk tidak sebanding jika dilihat dari luasnya daratan Provinsi Papua, tingkat kepadatan penduduk adalah suatu kondisi yang tidak ideal. Selain itu, struktur penduduk yang heterogen akan menimbulkan kesenjangan [59]
persatuan bangsa dan masyarakat yang religius. Pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Papua belum sepenuhnya terwujud, hal tersebut dapat dilihat dari hubungan antar etnis yang berjalan kurang toleran, dengan masih adanya perkelahian antar suku dan belum berasimilasinya antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial antara masyarakat asli terhadap masyarakat pendatang. Kerukunan hidup antar umat beragama masih berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari umat yang saling hormatmenghormati satu dengan lainnya dalam kegiatan keagamaan masingmasing.Pemahaman ideologi Pancasila perlu diwujudkan dalam aktualisasi nilainilai Pancasila yang tercermin kepada perilaku aparatur pemerintah dan tokoh masyarakat serta tercermin dalam setiap kebijakan (Lemhannas, 2013).
(S-1) berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Menetap di Malang maksimal 1,5 tahun. b) Tidak masuk dalam struktur kepengurusan organisasi kedaerahan papua. c)Tidak dari pindahan dari universitas lain, atau sebelumnya tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. d)Usia Maksimal 23 tahun. Selain itu, dalam penelitian ini juga dibutuhkan significant other dari subjek, yang akan melengkapi informasi yang diberikan subjek selama proses wawancara. Karakteristik significant other dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a)Mengetahui keseharian subjek secara umum. b)Mengetahui bahwa subjek adalah sebagai mahasiswa asli papua. c)Bersedia menjadi significant other dalam penelitian ini. 7.2 Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga metode pengumpulan data yakni dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Observasi atau pengamatan merupakan teknik pengumpulan data yang tidak hanya terpatok dalam satu objek melainkan sifatnya tidak terbatas hanya pada prilaku manusia yang diamati saja tetapi bendabenda sekecil apapun dalam bentuk apapun dapat diamati melalui observasi langsung kelapangan. Fungsi obeservasi sendiri ialah untuk mengetahui kecenderungan prilaku seorang terhadap suatu kegiatan dan pengamatan melaui observasi ini dapat dilakukan secara langsung dilapangan. Dengan cara inilah kita dapat mempercayai apa yang sesungguhnya terjadi karena peneliti akan melihat secara langsung terhadap fokus penelitiannya. Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data, dengan menggali informasi kepada subjek penelitian. Wawancara dilakukan dengan cara membuat panduan pertanyaan kepada subjek, untuk memudahkan peneliti dalam mengajukan pertanyaan kepada subjek penelitian. Pertanyaan tersebut berkisar
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Pendekatan fenomenologi diartikan sebagai proses pemecahan masalah yang diselidiki dengan melukiskan atau mendeskripsikan keadaan subjek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau bagaimana adanya. Penelitian ini untuk meneliti sebuah fenomena dan makna yang di kandung untuk suatu individu dengan lingkungan sosialnya. 7.1 Sumber Data Penentuan subjek dalam penelitian kualitatif pada umumnya menggunakan pendekatan purposive yaitu subjek yang memiliki karakteristik dan kriteria tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001). Karkteristik subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Subjek merupakan mahasiswa asal papua yang berstatus mahasiswa aktif [60]
tentang identitas sosial mahasiswa papua di Universitas Negeri Malang. Model wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum yang dilakukan secara mendalam, dengan asumsi dengan model wawancara ini dapat diperoleh data yang utuh dan mendalam tentang berbagai aspek dalam kehidupan subjek, yang dapat mendukung tema penelitian ini. Dokumentasi merupakan cara menghimpun atau pengambilan data. Data-data yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi merupakan data sekunder yang telah dipublikasikan oleh lembaga-lembaga yang terkait dalam penelitian ini dan tidak hanya itu saja dikumentasi juga meliputi media lainya yakni foto. 6. Pembahasan
berdasarkan pengalaman pribadi dari setiap subjek b. Evaluative Component Secara evaluatif yang berhubungan dengan nilai-nilai individu dengan keanggotaan, subjek tetap mempertahanan nilai-nilai tersebut, nilai tersebut berasal dari tiga sumber yakni adat, organisasi kedaerahan dan orang tua. Menurut subjek nilai-nilai yang berhubungan dengan adat dan organisasi kedaerahan bersifat lebih mengikat karena menurut subjek nilai-nilai tersebut dapat menjaga nama baik kedaerahan subjek, sedangkan nilai yang bersumber dari keluarga menurut subjek bersifat lebih fleksibel. Subjek memiliki evaluasi dan group self-esteem yang positif terhadap kelompok kedarahannya. c. Emotional Component Secara emosional waktu awal pertama kali subjek ke malang, subjek merasakan perasaan, cemas, takut menyinggung perasaan-perasaan orang lain karena perbedaan-perbedaan kedaerah. Ketakutan subjek juga dipicu karena adanya perbedaan kondisi antara di Papua dengan di Kota Malang, dimana di Papua memiliki suasan yang tidak terlalu ramai dibandingkan dengan suasana yang ada di Kota Malang. Subjek akan merasa tersingung jika subjek merasa dihina. Subjek akan merasakan bangga jika ada orang-orang diluar dari daerah papua bertnya mengenai kedaerahan subjek. Keterlibatan emosional yang kuat ini sejalan dengan teori Tajfel yang menyatakan bahwa komitmen afektif cenderung lebih kuat dalam kelompok yang dievaluasi secara positif karena kelompok lebih berkontribusi terhadap identitas sosial yang positif.
8.1 Komponen Pembentukan Identitas Sosial a. Cognitive Component Identitas yang terbentuk dari self stereotyping berupa pandangan bahwa bahwa masyarakat asli dari daerah Papua memiliki karakteristik dengan warna kulit, gaya rambut dan nada bicara yang keras. Dengan demikian, komponen kognitif dari identitas sosial dapat dipahami sebagai kombinasi dari kepercayaan sosial dan atribut lainnya berdasarkan pengalaman pribadi dari setiap subjek. Subjek asli dari daerah Papua secara kognitif menunjukan keterlibatan atau keikutsertaan pada aktivitas yang berhubungan dengan kedaerahan. Hal tersebut membuat subjek tetap menjaga adat dan tradisi atau adat yang mereka lakukan di Papua. Selain itu walaupun subjek bergaul dengan mahasiswa lain dari luar daerah Papua, hal ini tidak merubah logat bahasa subjek. Subjek tidak menutup diri dari orang-orang lain diluar dari daerah Papua. Subjek juga mampu mengkategorisasikan identitas kedaerahan subjek. Dengan demikian, komponen kognitif dari identitas sosial dapat dipahami sebagai kombinasi dari kepercayaan sosial dan atribut lainnya
7. PENUTUP 9.1 Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukan bahwa mahasiswa Papua di Kota Malang secara kognitif dapat dipahami sebagai kombinasi dari kepercayaan sosial dan atribut lainnya berdasarkan pengalaman pribadi dari setiap [61]
subjek. Subjek menunjukan keterlibatan atau keikutsertaan pada aktivitas yang berhubungan dengan kedaerahan. Hal tersebut membuat subjek tetap menjaga adat dan nilai-nilai kedaerahan subjek. subjek merasa ketika pertama kali di Kota Malang subjek merasa cemas dan takut, ketakutan subjek tersebut dikarenakan perbedaan kedaerahan namun subjek merasakan bangga ketika ditanya mengenai kedaerahannya. 9.2 Saran Bagi subjek penelitian Subjek seharusnya lebih bisa terbuka terhadap penelitian berikutnya. Sehingga keterbukaan informasi bisa digali lebih mendalam.
Universitas Cendrawasih Antropologi. ISS: 1693-(2099).
Jurusan
Bagi mahasiswa diluar dari dari Papua Sebaiknya tidak terlalu memberikan kesan diskriminatif terhadap mahasiswa asli dari daerah Papua dan hendaknya lebih membuka diri terhadap keperbedaan yang terjadi dengan mahasiswa asli dari daerah Papua.
Hatta, M. 2006. Alam Pemikirian Yunani. Jakarta: UI-Pers.
Bagi peneliti Agar peniliti agar menggali lebih dalam terhadap penelitian berikutnya sehingga mendapatkan data-data yang nantinya akan berguna bagi penelitian berikutnya
Hogg, M. Terry, D. White, T. (2002). A Tale of Theories:A Critical Camparison of Identity Theory with Social Identity Theory. Vol.58, No.4, 255-269. USA.JSTOR.
DTE. November (2011). Tanah Papua: Perjuangan Yang Berlanjut Untuk Tanah dan Penghidupan. No.89-90. Ellemers, N. , Spears, R., Doosje, B. (2002). Self And Social Identity. Annual Reviews 53:161-86. Hanurawan, F. (2010). Psikologi Sosial . Bandung : Rosda Karya. Hanurawan, Fattah. (2012). Metode Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu Psikologi. Surabaya: Pusat Studi Peningkatan Kinerja Masyarakat LPPM.
Hogg, M A., (2001). A Social Identity Theory of Leadership. Diperoleh dari School of Psychology University of Quensland. Vol 5, No 3, 184-200.
Herdiansyah, Haris. (2015). Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu Psikologi. Jakarta: Salemba Humanika
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Kajian Lemhanas. (2013). Optimalisai Percepatan Prmbangunan Derah Tertinggal di Papua guna Mendorong Peningkatan Kesejahteraan Sosial dalam Rangka Memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: Lemhanas.
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Baron, R. A & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial. Jilid 2 ( Edisi 10). Jakarta: Erlangga
Moleong. (2005). Metodologi Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Reamaja Rosdakarya
Deaux, K. (2001). Social Identity. University Of New York: Academic Press. Jurnal Antrophologi Papua, Vol 1. 3 April (2003)
Ongur, H.O., (2010). Toward a Scial Identity For Europe? A Social Psychological Approach to European Identity Sttudy,. Diperoleh dari Depertement of International Relations,
Dumatubun, A.E. (2009). Kebudayaan, Kesehatan Orang Papua Dalam Perspektif Antropologi kesehatan. Diperoleh dari [62]
Middle East Technical University, Turkey. Abstract Vol 2. No 2. Perturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Tinggi. Patton, M.Q. (1999). Ehancing the Quality and Credibility of Qualitative Analysis. Di peroleh dari Health Service Research 34:5 Part II, The Union Institut. Sabatini, G.H. (2013). Representasi Stereotype Terhadap Suku Papua Korowai (Analisis Semiotika tentang Rpresentasi Stereotype Terhadap Suku Karowai dalam Film Lost In Papua). Surakarta: Universitas Surakarta. Satori, D. Komariah, A. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Shirev, E,B. Levy, D.A. (2012). Psikologi Lintas Kultural (Pemikiran Kritis dan Terapan Modern). Jakarta: Kencana. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta. Tim Badan Standart Nasional Pendidikan. (2010). Paradigma Pendidika Nasional XXI. Jakarta: BNSP. Tim Revisi. (2010). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: UM Press. Widjojo, M.S. (2009). Papua Roap Map. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetetahuan Indonesia.
[63]