i
IDENTIFIKASI LAHAN SAGU DAN POTENSI PEMANFAATANNYA SECARA BERKELANJUTAN DI KABUPATEN JAYAPURA
SAMSUL BACHRI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini menyatakan bahwa tesis Identifikasi Lahan Sagu dan Potensi Pemanfaatannya secara Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura
adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun terbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Samsul Bachri NRP. A156090061
iii
ABSTRACT SAMSUL BACHRI. Identification of Sago Land and Potential of Sustainable Sago Utilization in the Jayapura regency. Under direction of D. P. TEJO BASKORO, BABA BARUS and BOEDI TJAHJONO. Sago is one important alternative food diversification. Determination sago land as a sustainable food farming land needs to consider sago food needs, distribution, productivity and level of sago utilization. The purposes of this study are (1)To identify the food needs of local sago, (2)To identify of distribution and utilization of sago forest as other its utilization by people, and (3) To develop scenarios to determine the sago forest area that deserve to be recommended as sustainable agricultural food carried out in Jayapura Papua Province. The result showed there are four of vegetated sago area of 2909.8 ha of sago which is comprised of the
Harapan area, Kehiran, Sosiri and Maribu. Types of sago
based on habitat and cultivation consists of sago cultivation areas (dusun sagu), sago natural forest, sago swamps, and the sago mixture. Types of sago based on morphology diversity
just on dusun sagu area while in other areas only
forest sago (mano/manino). The highest productivity is the Kehiran region with clump density 711 clump/ha and 133 stands ready for harvest/ha. Use type of sago utilization is same for all areas only on the intensity of their use are different.
Requirement sago land for the consumption of sago in location of
research and contribution to the Jayapura regency is sufficient from of sago land existing. 950.1 ha of sago cultivation areas
for LP2B plan, especially
development on the fringes of Sentani Lake. 1.508,3 ha of potential sago land for LCP2B plan other than those already proposed for plan of LP2B areas. KP2B includes LP2B, LCP2B, sago swamps and supporting elements of an area of 2.458,4 ha. Keywords: identification, sago land , utilization, sustainable
iv
RINGKASAN SAMSUL BACHRI. Identifikasi Lahan Sagu dan Potensi Pemanfaatannya secara Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura. Dibimbing oleh D. P. TEJO BASKORO, BABA BARUS and BOEDI TJAHJONO. Sagu merupakan salah satu alternatif diversifikasi pangan yang penting. Lahan sagu yang akan dijadikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan perlu mempertimbangkan kebutuhan pangan sagu, sebaran, produktifitas dan tingkat
pemanfaatan
sagu.
Tujuan
yang
ingin
dicapai
adalah
(1)
Mengindentifikasi kebutuhan pangan sagu daerah; (2) Mengindentifikasi sebaran hutan sagu dan keragamannya serta pemanfaatan masyarakat; dan (3) Menyusun skenario untuk menentukan luasan hutan sagu yang layak untuk direkomendasikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan. Ditemukan empat daerah bervegetasi sagu berupa hamparan dengan total luas 2909,8 ha terdiri dari daerah Harapan, Kehiran, Sosiri dan Maribu. Berdasarkan klasifikasi tipe ekosistem sagu ditemukan areal dusun sagu, hutan sagu alam, rawa sagu, dan campuran sagu. Secara alami,
semua fase
pertumbuhan tipe tegakan sagu ditemukan pada semua tipe ekosistem areal sagu di setiap sebaran sagu kecuali rawa sagu dan dusun sagu yang telah dijual. Keragaman jenis-jenis sagu hanya pada areal sagu dusun sedangkan pada areal lain hanya sagu hutan (mano/manino). Produktifitas tertinggi pada kawasan Kehiran dengan jumlah 133 tegakan siap panen pada kerapatan 711 rumpun. Jenis pemanfaatan hutan sama hanya pada intensitas pemanfaatannya saja yang berbeda. Kecenderungan tingkat pemanfaatan hutan sagu oleh penduduk semakin berkurang dengan semakin dekatnya letak kampung dengan pusat kota . Kebutuhan lahan sagu untuk konsumsi sagu hingga 2030 di lokasi penelitian hanya terpakai 36,0 persen untuk konsumsi aktual (skenario 1) dan 23,0 persen untuk konsumsi ideal (skenario 2). Masih terdapat kelebihan lahan seluas 745,1 ha dari sisa lahan untuk konsumsi aktual dan 897,1 ha dari sisa lahan
untuk konsumsi aktual. Kelebihan lahan sagu dapat digunakan untuk
kontribusi pangan sagu di tingkat Kabupaten Jayapura. Kontribusi yang dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu di tingkat Kabupaten Jayapura masih mencukupi bahkan masih ada surplus lahan 412,3 ha (35,4 persen) untuk skenario 1 dan 684,9 ha (58,8 persen) untuk skenario 2.
v
Hasil penilaian kesesuaian lahan sagu diperoleh lahan yang sesuai untuk sagu sebesar 11.967,5 ha
10,9
persen dari luas lokasi penelitian
atau seluas
termasuk lahan bervegetasi sagu. Berdasarkan keberadaannya di
RTRW diperoleh bahwa lahan sesuai untuk sagu berada kawasan lindung 523,1 ha (4,4 %) dan kawasan budidaya 11.422,0 ha (95,6 %). Melihat besarnya luas lahan yang ada di kawasan budidaya melebihi
kebutuhan lahan sagu untuk
pangan yang telah diproyeksikan, maka pemilihan lahan untuk pengembangan sagu cukup pada kawasan budidaya. Setelah dikurangi lahan terbangun diperoleh lahan yang dapat tersedia pada kawasan budidaya yang dapat dijadikan sebagai arahan pemanfaatan sagu seluas 8.463,2 ha. Pemanfaatan awal lahan sesuai arahan pengembangan sagu lebih baik memilih lahan yang sudah ada vegetasi sagu, terutama pada lahan sagu yang telah dikelola oleh masyarakat untuk dikembangkan dengan intensifikasi. LP2B dipilih dari dusun sagu yang berada di kawasan budidaya dan campuran seluas 950,1 ha. Urutan prioritas pengembangan lahan-lahan dusun umumnya
berada di pinggiran danau sentani yang cukup jauh dari pusat
pemerintahan sehingga tidak mudah terkonversi ke penggunaan lainnya. Selain letaknya yang cukup jauh dari pusat pemerintahan, lahan sagu yang berada dipinggiran danau mempunyai peran yang penting sebagai penyangga danau sentani selain pertimbangan keragaman sagunya. LCP2B diusulkan hanya dari lahan potensial bervegetasi sagu seluas 1.508,3 ha karena ketersediaan lahan sagu yang ada (usulan LP2B) telah melebihi proyeksi kebutuhan dan juga untuk menyediakan ruang bagi kebutuhan lahan untuk penggunaan lainnya. KP2B mencakup LP2B, LCP2B, rawa sagu dan unsur penunjang seluas 2.458,4 ha. pengelolaan KP2B dibagi menjadi 5 yang menyebar sesuai batas distrik yang mencakup 2 kepemilikan hak ulayat tanah adat. Unsur penunjang meliputi jalan, sumber air, dermaga dan tempat pengelolaan sagu. Kata kunci: identifikasi, lahan sagu, pemanfaatan, berkelanjutan
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan
hanya
untuk
kepentingan
pendidikan,
penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vii
IDENTIFIKASI LAHAN SAGU DAN POTENSI PEMANFAATANNYA SECARA BERKELANJUTAN DI KABUPATEN JAYAPURA
SAMSUL BACHRI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
viii
Judul Tesis
:
Identifikasi Lahan Sagu dan Potensi Pemanfaatannya secara Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura
Nama
:
Samsul Bachri
NRP
:
A156090061
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Anggota
Dr. Boedi Tjahjono Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 26 Juli 2011
Tanggal Lulus:
ix
Penguji Luar Komisi pada UjianTesis: Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro, M.Agr
x
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala karunia-Nya sehingga karya ilimiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak September 2010 ini adalah Identifikasi lahan sagu dan potensi pemanfaatannya secara berkelanjutan di Kabupaten Jayapura. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Ketua Jurusan Tanah, Ketua Program Studi PWL (Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr), dan seluruh staf administrasi dalam lingkup IPB yang telah memberi pelayanan yang baik untuk kelancaran administrasi studi penulis di IPB. 2. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL). 3. Dr. Ir. D. P. Tejo Baskoro, M.Sc, Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc dan Dr. Boedi Tjahjono selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, petunjuk dan dorongan sejak penulisan proposal penelitian sampai penyusunan tesis ini. 4. Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro, M.Agr selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. 5. Pimpinan program beasiswa Nuffic - 4 AGRI UNIPA yang telah membiayai sekolah. 6. Rektor Unipa yang telah member ijin menempuh pendidikan Magister Sains dan Staf pengajar Ilmu Tanah Unipa yang mendukung selama ini. 7. Kepala Balai besar DAS Memberamo dan staf yang telah membantu selama kegiatan survei. 8. Pemerintah Kabupaten Jayapura (Bappeda, BPS, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan Dinas Ketahanan Pangan) yang telah menyediakan data-data yang diperlukan selama penelitian. 9. Rekan-rekan peserta Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) angkatan tahun 2009 atas kebersamaan, kekompakan dan saling memberi semangat dalam proses belajar hingga penyusunan tesis. 10. Semua pihak yang berperan dalam proses pengajaran dan penulisan karya ilmiah ini. Penulis menghaturkan hormat dan terimakasih yang tak terhingga kepada istri dan anak-anak tercinta, serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan yang telah dilimpahkan selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2011
Samsul Bachri
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 30 Desember 1978 di Balikpapan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Ayahanda Marzuki dan Ibunda Norma. Penulis menamatkan Sekolah Dasar Negeri 1 Arso pada tahun 1992, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Arso tahun 1995 dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 4 Jurusan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikutura (BTPH) tahun 1998 semuanya di Kabupaten Jayapura. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Negeri Papua (minat ilmu tanah) di Manokwari lulus tahun 2003. Sejak tahun 2003 penulis diterima menjadi pengajar di Universitas Negeri Papua pada Jurusan Ilmu Tanah. Tahun 2009 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Nuffic - 4 AGRI UNIPA.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI....................................................................................................... xii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvi PENDAHULUAN ................................................................................................ 1 Latar belakang ......................................................................................... 1 Perumusan masalah ................................................................................ 3 Tujuan penelitian ...................................................................................... 4 Manfaat penelitian .................................................................................... 5 Kerangka pemikiran ................................................................................. 5 Ruang lingkup .......................................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 8 Sagu......................................................................................................... 8 Habitat Sagu .................................................................................... 8 Budidaya Sagu ................................................................................ 9 Manfaat Sagu ................................................................................ 10 Penginderaan Jauh ................................................................................ 12 Identifikasi Sagu ............................................................................ 13 Google Earth ................................................................................. 14 GeoEye ......................................................................................... 15 Pola pangan harapan ............................................................................. 17 Lahan pangan berkelanjutan .................................................................. 20 METODE PENELITIAN .................................................................................... 23 Tempat dan waktu penelitian .................................................................. 23 Bahan dan Alat ....................................................................................... 23 Prosedur Penelitian ................................................................................ 25 1. Persiapan ....................................................................................... 25 2. Survei............................................................................................. 26 3. Analisis Data .................................................................................. 27
xiii
KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA ................................................ 37 Letak dan Luas ...................................................................................... 37 Penduduk............................................................................................... 38 Pola Konsumsi Pangan .......................................................................... 39 Rencana Tata Ruang ............................................................................ 40 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 45 Identifikasi dan Pemetaan Sagu ............................................................. 45 Sebaran Sagu ............................................................................ 45 Tipe Sagu ................................................................................... 51 Kondisi Lingkungan Sagu ........................................................... 58 Tegakan Sagu ............................................................................ 59 Jenis Sagu.................................................................................. 61 Pemanfaatan Hutan Sagu .......................................................... 62 Kebutuhan Lahan Sagu ......................................................................... 66 Arahan Pengembangan Lahan Pertanian Sagu ..................................... 72 Identifikasi dan Pemetaan LP2B ............................................................ 76 Identifikasi dan Pemetaan LCP2B .......................................................... 80 Identifikasi dan Pemetaan KP2B ............................................................ 83 SIMPULAN DAN SARAN................................................................................. 89 Simpulan ................................................................................................ 89 Saran ..................................................................................................... 89 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 90 LAMPIRAN ...................................................................................................... 93
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi kandungan tepung sagu dan beberapa bahan makanan dalam 100 bagian yang dapat dimakan ........................................................................... 11 2. Contoh Interpretasi visual sagu ...................................................................... 14 3. Karakteristik parameter satelit GeoEye .......................................................... 16 4. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional ...................................................... 19 5. Data yang diperlukan dan cara memperolehnya ........................................... 23 6. Kelas intensitas pemanfaatan hutan sagu ...................................................... 27 7. Penentuan arahan pengembangan ................................................................ 32 8. Kriteria penilaian lahan untuk LP2B dan LCP2B ........................................... 34 9. Nilai Skor dan bobot operasi tumpangsusun ................................................. 35 10. Luas dan jumlah kampung tiap distrik di Kabupaten Jayapura .................... 37 11. Jumlah dan kepadatan penduduk tiap distrik tahun 2009 ............................. 38 12. Perkembangan jumlah penduduk dari tahun 2000-2009 ............................. 39 13. Kontribusi energi menurut kelompok pangan .............................................. 39 14. Pembagian wilayah pembangunan ............................................................. 41 15. Luas lahan sagu.......................................................................................... 48 16. Perbedaan penampakan tiap tipe sagu ........................................................ 53 17. Luas lahan tipe hutan sagu yang ada setiap hamparan .............................. 56 18. Jumlah siap panen dan kerapatan di daerah sagu ...................................... 60 19. Jenis-jenis sagu ......................................................................................... 61 20. Pemanfaatan sagu ...................................................................................... 62 21. Tingkat pemanfaatan hutan sagu ................................................................ 64 22. Proyeksi kebutuhan lahan sagu di lokasi penelitian .................................... 67
xv
23. Proyeksi kebutuhan lahan sagu di Kabupaten Jayapura ............................. 69 24. Luas lahan berdasarkan tutupan/penggunaan lahan ................................... 73 25. Luas lahan usulan LP2B tiap kampung berdasarkan urutan prioritas .......... 79 26. Luas lahan potensial berdasarkan tutupan/penggunaan ............................. 81 27. Luas kawasan KP2B berdasarkan hak ulayat suku dan distrik ..................... 84
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran ........................................................................................ 6 2. Pemanfaatan sagu untuk berbagai industri .................................................... 12 3. Layer GeoEye pada Google Earth ................................................................. 17 4. Lokasi penelitian ............................................................................................ 24 5. Alur pemetaan sebaran sagu ......................................................................... 26 6. Alur pembuatan peta kawasan sagu ............................................................. 28 7. Alur proyeksi kebutuhan luas lahan sagu ...................................................... 29 8. Alur pementaan ketersediaan lahan .............................................................. 32 9. Konsep pemetaan LP2B dan LCP2B ............................................................. 34 10. Konsep pemetaan KP2B ............................................................................. 36 11. Rencana pemanfaatan ruang kawasan budidaya ........................................ 43 12. Rencana pemanfaatan ruang kawasan lindung........................................... 44 13. Penampakan sagu dan bukan sagu ............................................................ 47 14. Penampakan sagu dan kelapa .................................................................... 47 15. Sebaran lahan bervegetasi sagu .................................................................. 49 16. Sebaran tipe sagu ....................................................................................... 57 17. Tingkat pemanfaatan sagu ........................................................................... 65 18. Proyeksi kebutuhan lahan sagu di lokasi penelitian .................................... 69 19. Proyeksi kebutuhan lahan sagu Kabupaten Jayapura ................................. 70 20. Arahan pemanfaatan lahan ......................................................................... 74 21 Urutan prioritas LP2B ................................................................................... 79 22. Lahan LCP2B ............................................................................................. 82 23. Lahan KP2B................................................................................................ 85
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Proses
pembangunan
yang
dilakukan
menuntut
adanya
sistem
ketahanan pangan nasional yang lebih baik. Upaya ketahanan pangan ini bertujuan untuk dapat mempertahankan stabilitas ketersediaan pangan untuk kebutuhan secara nasional yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Di sisi lain, terdapat permasalahan degradasi lingkungan
serta alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain sehingga
diperlukan
kebijakan tentang adanya lahan pangan yang bersifat abadi. Masalah penyediaan lahan pertanian skala nasional berkaitan erat dengan kapasitas produksi pangan yang ditentukan oleh luas lahan produksi, produktifitas lahan, tingkat kebutuhan konsumsi pangan (ketergantungan pada beras), laju luasan konversi, dan jumlah penduduk. Berdasarkan proyeksi konsumsi pangan penduduk hingga tahun 2030 di Indonesia dibutuhkan penambahan lahan sawah hingga 9,666 juta hektar (Rustiadi dan Wurgensi, 2007).
Mengingat besarnya angka tersebut maka perlu dilakukan orientasi
produksi pangan lain yang tidak tergantung dibutuhkan
hanya pangan beras sehingga
adanya diversifikasi pangan lainnya. Selain untuk pangan, Sagu
merupakan komoditas yang potensial menjadi bahan pangan baku industri pangan, industri kimia dan obat-obatan, industri tekstil, industri pakan, dan penghasil energi. Sagu merupakan salah satu alternatif diversifikasi pangan yang penting diperhatikan selain sebagai bahan baku industri. Menurut BBKP Papua (2007) dibandingkan dengan tanaman pangan lain, keunggulan utama tanaman sagu adalah produktifitasnya yang tinggi. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/hektar/tahun setara dengan tebu dan lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang (10-15 ton/hektar/tahun). Sagu juga merupakan tanaman tahunan dengan sekali tanam akan tetap berproduksi secara berkelanjutan selama puluhan tahun. Lebih lanjut menurut Hutapea (1990) dalam Rusli (2007) sagu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi (85,9 g/100 g) lebih tinggi dibandingkan dengan beras (80,4 g/100 g) atau jagung (71,7 g/100 g), ubi kayu (23,7 g/100 g) maupun kentang (16,3 g/100 g). Sebagian besar areal sagu di Indonesia merupakan tegakan alami. Potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta ton pati kering per
2
tahun. Konsumsi pati sagu dalam negeri hanya sekitar 210 ton atau baru 4-5 persen dari potensi produksi. Salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi sagu terbesar, bahkan terluas di seluruh dunia adalah Papua yang memiliki luas lahan sagu sekitar 771.716 hektar atau sekitar 85 persen dari luas hutan sagu nasional (BBKP Papua, 2007). Selain banyak ditemukan di Papua, sagu telah lama dikenal dan menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Hutan sagu mempunyai arti penting sebagai sumber makanan dan juga kebutuhan lainnya sebagai bagian dari budaya misalnya adalah untuk upacara adat, bahkan di beberapa tempat hutan sagu dijadikan tempat keramat secara budaya. Pemanfaatan sagu untuk diolah secara umum masih bersifat subsisten dan hasil olahan berupa tepung sagu umumnya digunakan sebagai bahan makanan dan sebagian kecil dijual. Hasil lain dari hutan sagu yakni ulat sagu dan jamur sagu juga banyak digunakan sebagai sumber protein nabati. Selain itu, hutan sagu juga sebagai tempat berburu dan mencari ikan dan ada bagian-bagian dari pohon sagu yang digunakan sebagai bahan bangunan rumah. Berkaitan dengan
ketahanan
menerbitkan Undang-Undang Nomor
pangan
nasional,
pemerintah
telah
41 tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penataan ruang wilayah untuk menyediakan lahan pertanian
dilakukan dengan menetapkan
kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Dengan adanya undang-undang ini kiranya perhatian terhadap lahan hutan sagu saat sekarang perlu ditingkatkan. Bukan saja sagu sebagai sumber alternatif pangan yang mempunyai potensi tinggi tetapi juga sebagai wadah kehidupan sosial-budaya masyarakat dan ada kecenderungan terjadinya konversi lahan sagu ke penggunaan lain. Selain untuk bahan pangan pokok, pemanfaatan sagu terbesar saat ini untuk bahan baku industri pangan, industri kimia dan obat-obatan, industri tekstil, industri pakan, dan penghasil energi. Kabupaten Jayapura merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua yang
memiliki
lahan
sagu.
Beberapa
kajian
yang
telah
dilakukan
(Miftahorochman dan Novirianto, 2003; Rauf dan Martina, 2009) menunjukkan bahwa lahan sagu di Kabupaten Jayapura merupakan lahan sagu yang paling baik produktifitasnya dan paling beragam jenis sagu terutama yang ada di pinggiran Danau Sentani namun keberadaannya saat ini yang memprihatikan.
3
Pusat pemerintahan yang berada di Sentani
sebagai Ibukota Kabupaten
Jayapura menyebabkan banyak lahan-lahan sagu ada sekitar Danau Sentani berubah menjadi lahan terbangun dan lahan pertanian. Lahan-lahan sagu yang berada di daerah datar menjadi pilihan untuk aktifitas pembangunan seperti perumahan, jalan, perkantoran dan pembukaan lahan pertanian. Walaupun telah dikeluarkannya peraturan daerah (Perda) Kabupaten Jayapura Nomor 3 tahun 2000 tentang pelestarian kawasan sagu. Kurangnya sosialisasi dan lemahnya pengawasan serta belum ditetapkan dalam RTRW Kabupaten Jayapura menjadi penyebab masih sering lahan sagu digunakan untuk aktivitas pembangunan. Dengan adanya Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 diharapkan lahan pangan sagu yang ada dapat dilindungi dengan menetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan dimasukkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Jayapura. Perumusan Masalah Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menerapkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan terutama pada lahan pangan budidaya. Penelitian Christina (2011) pada lahan sawah di Propinsi Jawa Barat dengan pembobotan pada 2 model (pesimis dan optimis) menggunakan peta kesesuaian lahan, status irigasi, intensitas penanaman, penggunaan/tutupan lahan dan kawasan hutan. Syamson (2011) pada lahan sawah di Kabupaten Barru mengindentifikasi KP2B berdasarkan 3 skenario berdasarkan batas administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal. Kajian yang telah ada hanya dilakukan pada lahan sawah sedangkan pada lahan pangan lainnya belum pernah dilakukan termasuk pada lahan pangan sagu. Penetapan lahan pangan sagu untuk menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak dapat dilakukan seperti yang telah dilakukan pada lahan pangan budidaya (sawah). Hal ini karena lahan pangan sagu di Papua sebagian besar merupakan hutan sagu, belum menjadi sumber ekonomi dan bagian dari sosial budaya masyarakat. Pada lahan pangan sagu berupa hutan sagu, aspek ekologi dan ekonomi tidak sepenting aspek sosial. Secara ekologi, sagu yang ada adalah hutan sagu yang tumbuh alami dan telah membentuk habitat sendiri sehingga tidak perlu pengamatan secara langsung (primer) untuk evaluasi kesesuaian lahan. Sagu masih dimanfaatkan secara subsisten dan belum dibudidayakan sebagai sumber
4
pendapatan sehingga secara ekonomi belum jadi perhatian. Keterkaitan atau ketergantungan masyarakat terhadap hutan sagu dalam kehidupan sehari-hari sangat kuat. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup (pangan dan papan), sagu telah merupakan bagian dari budaya masyarakat Papua seperti dalam upacara adat sebagai bagian dari mas kawin untuk pernikahan dan di beberapa tempat hutan sagu dianggap keramat. Lahan pangan sagu yang akan ditetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan perlu mempertimbangkan kebutuhan pangan sagu, sebaran, produktifitas dan tingkat pemanfaatan sagu seperti diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 untuk ditetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (LCP2B) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B). Oleh karenanya, perlu mengetahui kebutuhan sagu dan pertumbuhan penduduk pada skala wilayah dan waktu tertentu menjadi skenario untuk menyusun luasan hutan sagu. Analisis mengenai sebaran hutan sagu serta keragaman tegakan dan kerapatan sehingga dapat diketahui produktifitasnya serta dayadukung lahan agar tetap lestari. Pemilihan lahan sagu yang akan ditetapkan menjadi lahan pangan pertanian berkelanjutan perlu mempertimbangkan pemanfaatan sagu yang selama ini telah ada dimasyarakat yang tinggal disekitar hutan sagu agar tidak terganggu. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dijadikan dasar adalah: 1. Berapa luas lahan sagu yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu ? 2. Di mana saja lahan-lahan sagu berada dan bagaimana keragamannya?. bagaimana pemanfaatan dan ketergantungan masyarakat (sebagai sumber: pangan, pendapatan, tempat berburu, papan dan adat) terhadap hutan sagu. 3. Berapa luas dan dimana hutan sagu yang dapat direkomendasikan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (LCP2B) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B).
Tujuan penelitian Berdasarkan perumusan tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengindentifikasi kebutuhan pangan sagu daerah
5
2. Mengindentifikasi sebaran hutan sagu dan keragamannya (tegakan dan kerapatan) serta pemanfaatan masyarakat (sebagai sumber pangan, sumber pendapatan, tempat berburu, sumber papan dan adat) terhadap hutan sagu. 3. Menyusun skenario untuk menentukan luasan lahan sagu yang layak untuk direkomendasikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (LCP2B) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B).
Manfaat penelitian 1. Sebagai arahan dalam pengusulan lahan sagu yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan. 2. Sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan perencanaan tata ruang. 3. Sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan yang terkait dengan ketahanan pangan daerah dan potensi pemanfaatan sagu untuk kebutuhan industri. Kerangka Pemikiran Tempat tumbuh sagu alam (hutan sagu) yang tipikal pada tempat tertentu, mengakibatkan penyebarannya terbatas seperti di pinggiran sungai, danau, pantai dan rawa. Tempat tumbuh sagu sangat rentan kerusakan dibandingkan dengan tempat tumbuh tanaman lain dan tidak dapat atau sulit diperbaiki sehingga diperlukan kehati-hatian dalam penggunaannya. Konversi lahan sagu kepenggunaan lain menyebabkan lahan sagu berupa lahan bergambut yang ada di sekitarnya mengalami penurunan permukaan air dan dapat terjadi intrusi air laut. Hal ini karena konversi lahan sagu ke penggunaan lain menyebabkan lahan tersebut lebih kering (permukaan air tanah menjadi lebih dalam) sehingga mempengaruhi kandungan air tanah lahan sagu yang ada disekitar lahan sagu yang terkonversi terutama lahan sagu bergambut. Penurunan permukaan air menyebabkan terjadinya proses subsiden gambut pada lahan sagu yang tidak dapat balik sehingga lahan sagu mudah mengalami kebakaran. Adanya intrusi air laut pada lahan sagu yang berair tawar menyebabkan tanaman di atasnya menjadi mati. Sagu yang tumbuh di lahan datar sering menjadi pilihan terbaik untuk lokasi aktifitas pembangunan karena sebagian besar daerah Papua berbukit
6
hingga bergunung. Konversi lahan pangan sagu ke penggunaan lain untuk kegiatan pembangunan bukan saja untuk pemukiman dan saran prasarana fisik (jalan, bandara) tapi juga digunakan menjadi lahan-lahan pertanian. Kebijakan penanaman kakao di Kabupaten Jayapura dan harga kakao yang lebih baik menjadi salahsatu penyebab banyak lahan pangan sagu yang berubah menjadi lahan pertanian kakao. Oleh karena itu, saat sekarang sangat diperlukan adanya perlindungan terhadap lahan pangan sagu. Selain sebagai sumber alternatif pangan, juga menjaga ekosistem sagu dan daerah sekitar serta keberadaan sosial budaya masyarakat di sekitarnya. Dengan adanya Udang-undang Nomor 41 tahun 2009 diharapkan segera dilakukan penetapan perlindungan lahan sagu menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dari uraian di atas menjadi dasar pemikiran untuk melakukan perlindungan lahan sagu seperti disajikan pada Gambar 1.
Lahan Sagu
Tempat tumbuh tipikal
Mudah rusak
Konversi lahan
Perhatian lahan sagu perlu ditingkatkan
UU No 41 tahun 2009
Sumber pangan alternatif
Bagian dari sosial budaya masyarakat
Keragaman plasma nutfah
Perlu adanya perlindungan lahan pangan sagu
Gambar 1. Kerangka pemikiran
Ruang lingkup Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka identifikasi lahan
7
sagu lebih dititikberatkan pada bagaimana memilih lahan sagu untuk penyusunan usulan perencanaan dan merekomendasikan penetapan suatu lahan sagu menjadi LP2B, LCP2B dan KP2B. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini meliputi: 1. Konsumsi pangan sagu. 2. Karakteristik lahan pertanian tanaman sagu (fisik, ekonomi dan budaya). 3. Luasan LP2B, LCP2B dan KP2B. Beberapa pengertian yang diambil dari Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 dijadikan acuan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah 1. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. 2. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali
untuk
dimanfaatkan
sebagai
Lahan
Pertanian
Pangan
wilayah
budidaya
Berkelanjutan pada masa yang akan datang. 3. Kawasan Pertanian
Pangan
Berkelanjutan adalah
pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
8
TINJAUAN PUSTAKA Sagu Deskripsi Sagu Tanaman sagu atau Metroxylon sagu Rottboell termasuk family Palmae genus Metroxylon. Nama Metroxylon berasal dari dua kata yaitu Metro berarti empulur dan xylon berarti xylem (Anonim, 1979), sedangkan sagu adalah pati. Metroxylon sagu berarti tanaman yang menyimpan pati pada batangnya. Spesies yang mempunyai nilai ekonomi adalah M. sagu R yang tidak berduri dan M. rumphii yang pelepah dan daun ditutupi duri. Satu siklus hidup tanaman sagu dari biji sampai membentuk biji diperlukan waktu 11 tahun dalam empat fase pertumbuhan yaitu fase awal pertumbuhan atau gerombol (russet) diperlukan waktu 3,75 tahun, fase batang diperlukan waktu 4,5 tahun, fase infolorensia (pembungaan) diperlukan waktu satu tahun dan fase pembentukan biji diperlukan waktu selama satu tahun (Flach, 2005). Tajuk pohon sagu terdiri dari 6 sampai 15 rangkaian daun dan setiap rangkaian daun terdapat pelepah daun, tangkai daun dan kira-kira 20 pasang helai daun. Batang sagu bulat panjang dengan diameter bervariasi antara 35 sampai 60 cm. Tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai pangkal bunga berkisar 10 -15 meter. Pada waktu panen batang sagu biasa mencapai berat sampai 1 ton (Anonim, 1979). Menurut Bintoro (2008) dalam satu batang umumnya terdapat 200-400 kg pati kering. Saitoh et al. (2003) dalam Bintoro (2008), mengemukakan bahwa sagu unggul di Sentani mengandung pati kering seberat 838 kg/pohon dan Yamamoto melaporkan adanya sagu unggul juga di Sentani yang mengandung 947 kg pati kering/pohon. Pada rumpun sagu ratarata terdapat 1-8 batang, pada setiap pangkal batang tumbuh 5-7 batang anakan. Pada kondisi liar, rumpun sagu ini akan melebar dengan jumlah anakan yang sangat banyak dalam berbagai tingkat pertumbuhan. Anakan tersebut sedikit sekali yang tumbuh menjadi pohon dewasa. Habitat Sagu Sagu dapat tumbuh sampai pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl), namun produksi sagu terbaik ditemukan sampai ketinggian 400 m dpl. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, tipe iklim A dan B sangat ideal untuk
9
pertumbuhan sagu dengan rata-rata hujan tahunan 2.500−3.000 mm/tahun. Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,5 0C − 29 0C dan suhu minimal 15 0C, dengan kelembapan nisbi 90 persen. Sagu dapat hidup pada keadaan lengas tanah terjamin cukup tinggi, baik oleh genangan berkala, daya tanah menyimpan air banyak maupun oleh air tanah dangkal (Notohadiprawiro dan Louhenapessy, 1992). Sebaran sagu utama di Indonesia adalah Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan (Kalimatan Barat) dan Sumatera (Riau). Luasan sagu berdasarkan angka pendekatan dari berbagai sumber yang dibuat Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) menyebutkan bahwa kawasan sagu di Papua 800.000 ha, di Maluku 50.000 ha, di Sulawesi 30.000 ha, di Kalimantan 45.000 ha, di Sumatera 72.000 ha dan di Jawa 2.000 ha. Hutan sagu alam terluas ditemukan di Papua di sepanjang dataran rendah pantai dan muara sungai. Luasan sagu di Papua terdiri atas 3 persen tanaman (budidaya) dan 97 persen hutan alam. Budidaya Sagu Pada umumnya petani sagu di Papua kurang perhatian terhadap pertumbuhan sagu sejak anakan sampai siap panen. Namun demikian para petani sagu di daerah sebaran sagu yang biasa menangani sagu, menggunakan kriteria atau ciri-ciri tertentu yang dapat menandakan bahwa sagu tersebut siap panen. Ciri-ciri pohon sagu siap panen pada umumnya dilihat dari perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk, dan batang. Umumnya tanaman sagu siap panen menjelang pembentukan kuncup bunga sudah muncul tetapi belum mekar. Pada saat tersebut daun-daun terakhir yang keluar mempunyai jarak yang berbeda dengan daun sebelumnya dan daun terakhir juga sedikit berbeda, yaitu lebih tegak dan ukurannya kecil. Perubahan lain adalah puncak pohon menjadi agak menggelembung. Disamping itu duri semakin berkurang dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin dibandingkan dengan pohon yang masih muda. Pemanenan sagu di Papua masih dilakukan secara sederhana dan dengan tenaga manual. Setelah dipilih pohon sagu yang ditebang, biasanya penebangan dilakukan dengan kampak atau gergaji mesin (chainsaw). Setelah pohon tumbang, pelepahnya dibersihkan dan sebagian ujung batang dibuang karena kandungan patinya rendah. Pohon yang sudah dibersihkan dipotongpotong menjadi bagian yang pendek-pendek dengan ukuran 0,5 m - 1 m.
10
Gelondongan tersebut lalu dibawa ke sumber air terdekat langsung ditokok (diekstraksi). Untuk mendapatkan pati sagu, maka dari empulur batang sagu dilakukan ekstraksi pati dengan bantuan air sebagai perantara. Sebelumnya empelur batang dihancurkan terlebih dahulu dengan cara ditokok atau diparut. Di Papua, sagu mempunyai peranan sosial, ekonomi, dan budaya yang penting terutama yang bermukim di daerah pesisir karena merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat. Pertanaman sagu di Papua cukup luas, namun luas areal yang pasti belum diketahui. Flach (1983) dalam Kanro et al. (2003), memperkirakan luas hutan sagu di Papua mencapai 980.000 ha dan kebun sagu 14.000 ha, yang tersebar pada beberapa daerah, yaitu Salawati, Teminabuan, Bintuni, Mimika, Merauke, Wasior, Serui, Waropen, Membramo, Sarmi, dan Sentani. Hutan sagu merupakan komunitas yang terdiri atas campuran tanaman sagu dan tanaman bukan sagu. Pemeliharaan kebun sagu yang dipraktekkan oleh petani di Papua masih sangat sederhana, yaitu berupa pemangkasan pohon yang menaungi sagu dan pembersihan gulma. Pemupukan, pengaturan air, dan teknik budidaya lainnya belum dipraktekkan sehingga hasilnya juga belum maksimal. Selain itu, usahausaha pengembangan sagu secara budidaya belum banyak mendapat perhatian sehingga suatu saat hutan sagu akan terancam punah. Tanaman sagu yang tumbuh di Papua terdiri atas banyak jenis, dan sampai saat ini telah diidentifikasi 60 jenis pada empat tempat di Papua (Widjono et al., 2000). Dari jenis-jenis ini ada yang berpotensi hasil tinggi dan ada pula yang berpotensi hasil rendah dan sedang. Manfaat Sagu Tanaman sagu mempunyai banyak manfaat mulai dari pati, daun, pelepah daun hingga kulit batang. Tepungnya digunakan untuk bahan makanan pokok di Papua yang disebut papeda, di samping untuk kue dan bahan baku untuk pembuatan spirtus atau alkohol. Daunnya digunakan sebagai atap rumah, pelepah untuk dinding rumah, dan ampasnya dapat dimanfaatkan sebagai pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak. Sagu sebagai salah satu bahan makanan pokok dapat dijadikan sebagai alternatif sumber makanan pokok selain beras. Sebagai bahan substitusi, sagu dapat dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Harga sagu yang murah dan bisa disimpan lama jika diolah dengan baik. Perbandingan
11
komposisi kandungan tepung sagu dan beberapa bahan makanan dalam 100 bagian yang dapat dimakan (Hutapea,1990 dalam Rusli, 2007) disajikan di Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kandungan tepung sagu dan beberapa bahan makanan dalam 100 bagian yang dapat dimakan No 1 2 3 4 5
Jenis Bahan Beras Jagung kering Ubi Kentang Sagu
Kalori (Kal) 366 349 98 71 357
Protein (g) 6,4 9,1 0,7 1,7 1,4
Lemak (g) 0,8 4,2 0,1 0,1 0,2
Karbohidrat (mg) 80,4 71,7 23,7 16,3 85,9
Ca (mg)
Fe (mg)
24 14 19 8 15
1,9 2,8 0,6 0,7 1,4
Sumber: Hutapea,1990 dalam Rusli, 2007 Menurut Bintoro (1999), beberapa manfaat sagu selain untuk pangan diantaranya adalah: 1. Bahan baku industri non pangan Pati sagu dapat diolah menjadi sagu mutiara, tepung campuran, pati termodifikasi, gula cair, asam amino, sorbitol, asam organik, dan bahan penyedap yang dapat dijadikan bahan baku industri. 2. Sagu sebagai bahan energi Untuk dapat digunakan sebagai bahan energi, tepung sagu diolah menjadi etanol terlebih dahulu melalui proses hidrolisis dan fermentasi. Secara teoritis 1 ton tepung sagu dapat menjadi 715 liter etanol. 3. Sagu sebagai bahan baku industri pangan Pati sagu dapat digunakan sebagaimana tepung beras, jagung, gandum, tapioka dan kentang seperti siklodektrin. Sagu juga dapat dijadikan makanan kecil seperti sagu gula, sinoli, ongol-ongol, kue serut dan krupuk sagu. 4. Sagu sebagai pakan ternak Penggunaan jagung dan serelia lainnya untuk pangan ternak dapat digantikan dengan tepung sagu atau sebagai pencampur makanan ternak unggas dan ruminansia. Rincian lengkap pemanfaatan tanaman sagu dilihat pada Gambar 2.
12
Pohon Sagu
Daun
Atap rumah Kerajinan tangan
Pelepah daun
Dinding rumah
Kulit batang
Lantai dan arang
Batang
Ampas
- Kompos, - Media tanam, - Pakan ternak, - Industri, - Kayu bakar
Pati
-
Sagu mutiara Tepung campuran Industri pangan, Industri pakan, Pati modifikasi (dekstrin) Gula cair, Alkohol Asam Amino Sorbitol Asam Organik Penyedap (MSG) Protein sel tunggal
Gambar 2. Pemanfaatan sagu untuk berbagai industri ( Enie, 1992 dalam Bintoro, 1999) Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu, seni dan tehnik untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji. Peranan penginderaan jauh sangat besar peranannya didalam sistem informasi data dan pengelolaannya. Peranannya antara lain untuk mendeteksi perubahan, kalibrasi bagian lain pada sistem yang sama, substitusi data lain sesudah dilakukan kalibrasi dan pengembangan model baru dalam suatu disiplin ilmu.
13
Penggunaan penginderaan jauh semakin banyak digunakan karena citra penginderaan jauh (citra) menggambarkan objek, daerah, dan gejala di permukaan bumi yang mirip dengan yang ada di lapangan. Pengambilan gambar citra meliputi daerah yang luas, dapat dibuat secara cepat untuk daerah yang sulit dijelajah dan daerah bencana. Tiap objek yang tidak terlalu kecil ukurannya dan tidak terlindung oleh objek lain, tergambar pada citra. Gambaran yang lengkap ini memungkinkan penggunaannya untuk berbagai bidang. Pengenalan objek yang tergambar citra disebut dengan interpretasi citra yang terdiri atas deteksi (global), identifikasi (setengah rinci) dan analisis (rinci). Deteksi adalah pengamatan atas adanya suatu objek. Identifikasi adalah upaya mencirikan obyek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup. Pada tahap analisis dikumpulkan keterangan lebih lanjut. Menurut Simonett et al. (1983), resolusi spasial pada tingkat identifikasi harus mencapai tiga kali lipat resolusi spasial pada tingkat deteksi, sedangkan resolusi spasial pada tingkat analisis harus meningkat sepuluh kali lipat atau lebih. Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual yakni interpretasi secara visual dan dapat pula dilakukan dengan cara numerik atau cara digital. Interpretasi data digital berupa klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya. Interpretasi secara visual menurut Susanto (1986) meliputi interpretasi awal, pekerjaan medan dan interpretasi akhir. Interpretasi dimulai dari memisahkan objek yang mempunyai warna, rona dan karakteristik spasial, diikuti dengan delineasi. Untuk menjaga ketelitian hasil interpretasi diperlukan pekerjaan medan untuk menambah data yang diperlukan atau yang tidak disadap oleh citra. Kemudian dilakukan interpretasi ulang atau interpretasi akhir. Analisis visual menunjukkan kemampuan pandangan binokuler (mata) yang dimiliki oleh manusia. Oleh karenanya ketelitian hasil interpretasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan pengalaman interpreternya. Identifikasi sagu Identifikasi keberadaan sagu berupa tegakan dapat dilakukan dengan interpretasi citra. Interpretasi citra adalah sebagai cara untuk memperoleh informasi kualitatif dan kuantitatif dari sebuah citra, melalui pengenalan bentuk, lokasi, tekstur, fungsi, kualitas, kondisi, hubungan antar objek yang ada dan lainlain yang menggunakan pengetahuan dan pengalaman manusia. Elemen yang
14
digunakan dalam inptrepretasi citra adalah ukuran, bentuk, bayangan, rona, warna, tekstur, pola, asosiasi dan konvergensi bukti. Konvergensi bukti adalah teknik interpretasi dengan menggabungkan beberapa elemen interpretasi untuk menentukan objeknya. Menurut Sutanto (1986), sagu dapat diinterpretasi pada pohon yang berbentuk bintang dengan pola yang tidak teratur dan ukurannya 10 meter dan tumbuh di daerah payau (situsnya) sehingga dapat dipastikan bahwa pohon tersebut adalah sagu (Tabel 2). Menurut penulis sagu umumnya tumbuh pada daerah air tawar, sangat jarang dan sedikit jumlahnya yang tumbuh di daerah payau sehingga pada Tabel 2 dimodifikasi dengan menambahkan dominan air tawar. Selanjutnya
teknik
interpretasi sangat tergantung pada citra yang digunakan. Pada citra berupa data digital interpretasi dapat dimulai dari situsnya. Tabel 2. Contoh Interpretasi visual sagu BENTUK (tajuk berbentuk bintang)
POLA (tidak teratur)
UKURAN (tinggi > 10 m)
SITUS (dominan air tawar)
Kelapa Kelapa sawit
Nipah Enau
Nipah Enau Sagu
Enau Sagu
Sagu
Sagu
Sumber: modifikasi dari Sutanto (1986) Google Earth Google Earth adalah aplikasi untuk mengakses database pencitraan bumi yang didapat dari satelit. Awalnya dikenal sebagai Earth Viewer, Google Earth dikembangkan oleh Keyhole, Inc., dan pada tahun 2004 diambil alih oleh Google. Kemudian diganti namanya menjadi Google Earth tahun 2005, dan sekarang tersedia untuk komputer pribadi yang menjalankan Microsoft Windows 2000, XP, atau Vista, Mac OS X 10.3.9 dan ke atas, Linux dan FreeBSD (Google Earth, 2011). Google Earth tersedia dengan 3 jenis pilihan, yaitu versi gratis (free), versi Plus dan versi Pro. Versi Plus dan Pro menyediakan fasilitas pencetakan gambar dengan definisi yang lebih tinggi, interaksi dengan alat penerima GPS
15
(Global Positioning System), serta beberapa kelebihan lainnya dibandingkan dengan versi gratisnya. Dengan Google Earth, dapat dilihat citra satelit, peta, medan, bangunan 3D (belum semua tempat), dari galaksi di angkasa luar sampai ke palung lautan dan
dapat menjelajahi konten geografis lengkap, menyimpan tempat yang
dikunjungi dan berbagi-pakai dengan orang lain. Resolusi yang tersedia tergantung pada tempat yang dituju, tetapi kebanyakan daerah dicakup dalam resolusi global (15 meter). Di beberapa tempat (perkotaan) mempunyai resolusi tinggi (1 m, 0,6 m, 0,3 m) bahkan di negara Las Vegas, Nevada dan Cambridge, Massachusetts memiliki resolusi tertinggi hingga 0,15 m (Google Earth, 2011) Google Earth juga memiliki data model elevasi digital (DEM) yang dikumpulkan oleh Misi Topografi Radar Ulang Alik NASA sehingga gambar bisa nampak dalam tiga dimensi. Google Earth memperlihatkan rumah, warna mobil, dan bahkan bayangan orang dan rambu jalan Google Earth dapat digunakan untuk mencari alamat (untuk beberapa negara), memasukkan koordinat, atau menggunakan mouse untuk mencari lokasi. Banyak pengguna menggunakan aplikasi ini menambah datanya sendiri dan menjadikan mereka tersedia melalui sumber yang berbeda, seperti BBS atau blog. Google Earth mampu menunjukkan semua gambar permukaan Bumi. dan juga merupakan sebuah klien Web Map Service. Google Earth mendukung pengelolaan data Geospasial tiga dimensi melalui Keyhole Markup Language (KML).
GeoEye GeoEye-1 merupakan Satelit pengamat bumi yang pembuatannya disponsori oleh Google dan National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) yang diluncurkan pada 6 September 2008 dari Vandenberg Air Force Base, California, AS. Satelit ini mampu memetakan gambar dengan resolusi gambar yang sangat tinggi dan merupakan satelit komersial dengan pencitraan gambar tertinggi yang ada di orbit bumi saat ini. GeoEye adalah perusahaan yang menaungi IKONOS dan OrbView-2. GeoEye-1 mampu menghasilkan image dengan resolusi 0,41 meter panchromatic (black & white) dan 1,65 meter multispectral.
Satelit ini
dalam sehari bisa melakukan scanning sebesar 700.000 kilometer persegi untuk sensor panchromatic dan hingga 350.000 kilometer persegi untuk sensor pan-
16
sharpened multispectral. Kemampuan ini sangat ideal untuk pekerjaaan pemetaan dengan skala besar (GeoEye, 2011) GeoEye-1 akan mengunjungi kembali obyek yang sama di Bumi dalam 3 hari atau lebih cepat dari itu. Konsumen bisa memesan image termasuk dengan DEM (digital elevation model) dan DSM (digital surface model). GeoEye1 mengorbit 12 hingga 13 orbit per hari, terbang dengan ketinggian 684 kilometer dengan kecepatan orbit 7,5 km/detik. Tabel 3. Karakteristik parameter satelit GeoEye Spesifikasi GeoEye-1 Resolusi spasial Sensor pankromatik
0,41 m x 0,41 m
Sensor multispektral
1,65 m x 1,65 m
Kisaran spektral
450-800 nm 450-510 nm (biru) 510-580 nm (hijau) 655-690 nm (merah) 780-920 nm (infra merah)
Jarak sapuan
15,2 km
Medan pandang
Di atas 60 o
Dynamic range
11 bits per pixel
Misi hidup yang diharapkan
> 10 tahun
Waktu kembali
< 3 hari
Ketinggian terbang
681 km
Waktu pengambilan
10.30 a.m
Sumber: GeoEye (2011) Sejak peluncuran satelit GeoEye-1 tahun 2008, Google telah menambahkan GeoEye-1 dan citra IKONOS ke Google Earth selain citra beresolusi menengah (Landsat, Aster, Spot). Untuk mendapatkan informasi lebih rinci tentang gambar GeoEye-1, Google memiliki GeoEye Featured Imagery di layer Google Earth (Gambar 2). Termasuk dalam layer ini adalah letak feature citra, link untuk melihat gambar dalam resolusi penuh, dan informasi resolusi, tanggal koleksi, dan narasi tentang lokasi.
17
Gambar 2. Layer GeoEye pada Google Earth
Pola Pangan Harapan Pola pangan harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dan kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dan suatu pola ketersediaan atau pola konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai berikut : “Pola Pangan Harapan adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya.
PPH pertama kali
diperkenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1988, yang kemudian dikembangkan oleh Departemen Pertanian RI melalui workshop yang diselenggarakan Departemen Pertanian bekerjasama dengan FAO (FAO-MOA, 1989; Suhardjo, 1992). Tujuan
utama
penyusunan
PPH
adalah
untuk
membuat
suatu
rasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi aneka ragam pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai citarasa (FAORAPA, 1989).
Untuk pertama
kali PPH untuk kawasan
Asia
Pasifik
dikembangkan berdasarkan data pola pangan (pola ketersediaan pangan) dari Neraca Bahan Makanan, karena data ini mudah tersedia secara berkala setiap tahun. Sementara data konsumsi pangan dari berbagai negara di kawasan Asia Pasifik tidak tersedia secara berkala. Sejak diperkenalkannya konsep PPH pada awal dekade 90 di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro. PPH juga dpakai sebagai salah satu indikator hasil pembangunan pangan termasuk evaluasi penyediaan pangan, konsumsi pangan, dan diversifikasi pangan. Meski demikian, kehadiran PPH tidak lepas dari kelemahan metodologis seperti yang
18
juga disadari oleh tim pakar penyusun PPH. Tim FAO-RAPA (1990) juga menyadari bahwa proporsi kalori dalam PPH perlu diadaptasi sesuai kondisi/pola pangan masing-masing negara/daerah dan sistem skor yang dikembangkan oleh tim FAO-RAPA belum divalidasi. Kritik terhadap PPH juga muncul sehubungan dengan adanya perbedaan rekomendasi pola energi (terutama dari pangan hewani dan lemak) antara PPH dan Pedoman Gizi Seimbang (PUGS). Pada tahun 2000, Badan Urusan Ketahanan Pangan-Deptan telah melakukan diskusi pakar dan lintas subsektor dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi
PPH
dan
PUGS.
Pertemuan
ini
menjadi
dasar
untuk
penyempurnaan PPH yang disebut PPH 2020. Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary score). Semakin tinggi skor mutu pangan, menunjukan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya. Penilaian keragaman dan mutu pangan dengan PPH atau Skor PPH dapat dilakukan pada tingkat ketersediaan pangan dan tingkat konsumsi pangan. Pada prinsipnya tata cara penghitungan untuk penilaian keragaman dan mutu pangan pada kedua tingkat tersebut adalah sama, yang membedakannya adalah data yang digunakan. Untuk penilaian keragaman dan mutu ketersediaan pangan digunakan data Ketersediaan Pangan yang disajikan dalam neraca bahan makanan (NBM) dan menggunakan Angka Kecukupan Energi (AKG) pada tingkat penyediaan, yaitu 2200 kkal/kapita/hari. Sedangkan untuk penilaian keragaman dan mutu konsumsi pangan digunakan data konsumsi pangan yang disajikan dalam SUSENAS dan menggunakan AKG pada tingkat konsumsi, yaitu 2000 kkal/kapita/hari. Oleh karena itu keberadaan data konsumsi pangan atau ketersediaan pangan menjadi syarat mutlak untuk menggunakan PPH dan menghitung skor PPH. Sebaiknya diusahakan untuk menggunakan data konsumsi pangan yang paling mutakhir bila dimaksudkan untuk menilai situasi terkini dari keragaman dan mutu gizi konsumsi pangan.
19
Tabel 4. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional Kelompok pangan
Komposisi PPH Deptan 2001 Persen
Bobot
Skor
Gram/Kap/Hr
1
Padi-padian
50,0
0,5
25,0
275
2
Umbi-umbian
6,0
0,5
2,5
100
3
Pangan Hewani
12,0
2,0
24,0
150
4
Minyak dan Lemak
10,0
0,5
5,0
20
5
Buah/biji Berminyak
3,0
0,5
1,0
10
6
Kacang-kacangan
5,0
2,0
10,0
35
7
Gula
5,0
0,5
2,5
30
8
Sayur dan Buah
6,0
5,0
30,0
250
9
Bumbu-bumbuan
3,0
0,0
0,0
Jumlah
100,0
100,0
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura 2009 Pada umumnya telah diketahui bahwa lima kelompok zat gizi selain air yang esensial diperlukan tubuh manusia adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Dari tiga macam zat gizi yang pertama tersebut (protein, karbohidrat, dan lemak), tubuh akan memperoleh energi sehingga manusia mampu mempertahankan kerja alat-alat tubuh dan melakukan kegiatan fisik sehari-hari. Berbagai zat gizi ini dapat disediakan oleh beragam pangan yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Sejumlah golongan bahan makanan yang tersusun secara seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi. Golongan pangan tersebut mencakup: (1) padi-padian, (2) umbi-umbian, (3) pangan hewani, (4) minyak dan lemak, (5) buah dan biji berminyak, (6) kacangkacangan, (7) gula, (8) sayuran dan buah-buahan, (9) lain-lain (Kantor Menteri Negara Urusan Pangan, 1994). Oleh karena itu, dalam penentuan PPH, bahan pangan dikelompokan menjadi sembilan: (1) padi-padian (beras, jagung, terigu dan hasil olahannya); (2) umbi-umbian/pangan berpati (ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas, sagu, dan hasil olahannya); (3) pangan hewani (ikan, daging, telur, susu, dan olahannya); (4) minyak dan lemak (minyak kelapa, minyak jagung, minyak goreng/kelapa sawit, dan margarin); (5) buah dan biji berminyak (kelapa, kemiri, kenari, mete, coklat); (6) kacang-kacangan (kedele, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kacang polong, kacang tunggak dan kacang lainnya); (7) gula (gula pasir, gula merah/mangkok, dan sirup); (8) sayuran dan buah (semua jenis sayuran dan buah-buahan) (FAO-RAPA, 1989).
20
Tiap negara mempunyai potensi pangan dan sosial budaya yang berbeda-beda. Bagi Indonesia, menurut hasil Workshop on Food and Agriculture Planning for Nutritional Adequance di Jakarta tanggal 11-13 Oktober 1989 direkomendasikan sebagai berikut : kelompok padi-padian sekitar 50 persen, makanan berpati sekitar 5 persen, pangan hewani 15-20 persen, minyak dan lemak lebih dari 10 persen, kacang-kacangan sekitar 5 persen, gula 6-7 persen, buah dan sayur 5 persen (FAO-MOA, 1989).
Lahan pangan pertanian berkelanjutan Meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
dengan
mengedepankan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Berdasarkan hal di atas maka dikeluarkan undang-undang tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nomor 41 tahun 2009 yang disahkan pada tanggal 14 oktober 2009. Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penataan ruang wilayah. Untuk itu, perlindungan lahan pertanian pangan perlu dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Kawasan pertanian pangan merupakan bagian dari penataan kawasan perdesaan pada wilayah kabupaten. Dalam kenyataannya lahan-lahan pertanian pangan berlokasi di wilayah kota juga perlu mendapat perlindungan. Perlindungan kawasan pertanian pangan dan lahan pertanian pangan meliputi perencanaan dan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan dan pembinaan, pengendalian, pengawasan, pengembangan sistem informasi, perlindungan
dan pemberdayaan
petani,
peran
serta
masyarakat, dan
pembiayaan. Perlindungan kawasan dan lahan pertanian pangan dilakukan dengan menghargai kearifan budaya lokal serta hak-hak komunal adat.
21
Perlindungan
Lahan
Pertanian
Pangan
Berkelanjutan
dilakukan
berdasarkan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan pada: a. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan c. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diamanatkan pada UU No 41 tahun 2009 didasarkan pada: a. pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk; b. pertumbuhan produktivitas; c. kebutuhan pangan nasional; d. kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan; e. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan f. musyawarah petani. Lahan pertanian pangan yang sudah ada dan lahan cadangan didasarkan atas kriteria: a. kesesuaian lahan; b. ketersediaan infrastruktur; c. penggunaan lahan; d. potensi teknis lahan; dan/atau e. luasan kesatuan hamparan lahan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencoba menerapkan UU ini terutama pada lahan sawah. Christina (2011) melakukan penelitian pada lahan sawah di tingkat propinsi (Propinsi Jawa Barat) dan kabupaten (Kabupaten Garut)
dengan
metode
pembobotan
melalui
proses
overlay
peta
tutupan/penggunaan lahan, kawasan hutan, kesesuaian lahan, status irigasi dan intensitas penanaman. Hasil penelitian ini menunjukkan kebutuhan lahan sawah untuk Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri maupun untuk kontribusi pada tingkat lebih tinggi masih mencukupi hingga 20 tahun akan datang. Identifikasi lahan pertanian sawah pada penelitian tersebut menggunakan data spasial lama (sekunder) perlu
22
pembaharuan data dan informasi sehingga hasil analisis lebih sesuai dan akurat. Syamson (2011) melakukan juga pada lahan sawah di Kabupaten Barru mengindentifikasi KP2B berdasarkan 3 skenario berdasarkan batas administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal berdasarkan pada kesesuaian lahan, status peruntukkan lahan dan jaringan jalan. Pada penelitian Syamson (2011) belum menggunakan data jaringan irigasi.
23
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan
16 kampung di
Kabupaten Jayapura. Daerah ini dipilih karena mempunyai produktifitas sagu dan pemanfaatannya yang paling baik dibandingkan daerah lainnya di Jayapura dan wilayah ini paling terancam oleh konversi lahan ke penggunaan non pertanian karena berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten Jayapura (Lampiran Gambar 1 dan 2). Penelitian ini (survei lapang) dilaksanakan selama 6 bulan pada bulan September
2010 sampai Februari 2011. Lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 4. Bahan dan Alat Bahan penelitian bersumber dari data primer dan data sekunder berupa data tabular dan data spasial. Data primer berupa data spasial yang diperoleh dari survei dan wawancara yakni sebaran sagu, tegakan, kerapatan dan jenis sagu, produktifitas serta pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Data sekunder berupa data tabular yang diperoleh dari instansi pemerintah dan hasilhasil penelitian terkait berupa data jumlah penduduk dan konsumsi sagu. Selengkapnya data yang diperlukan, cara memperoleh dan keluarannya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Data yang diperlukan dan cara memperolehnya Sumber
Primer
Sekunder
Jenis Data
Cara memperoleh
Sebaran sagu, penggunaan lahan
Digitasi citra GeoEye 2010 dari Google Earth dan hasil survei
Tegakan, kerapatan dan jenis tanaman sagu
Petak pengamatan
Pemanfaatan tanaman sagu, produksi, jenis sagu
Wawancara dengan penduduk
Peta RTRW dan batas administrasi
Bapeda
Peta tutupan lahan Kabupaten Jayapura
Dinas Kehutanan
Jumlah penduduk, dan konsumsi sagu
BPS, Dinas Ketahanan Pangan dan laporan hasil-hasil penelitian
24
Gambar 4. Lokasi penelitian
25
Prosedur Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam 3 tahap yakni 1). persiapan, 2) survei dan (3) analisis data 1. Persiapan Kegiatan tahap persiapan terdiri atas: a) studi literatur dan pengumpulan data sekunder serta b) penyusunan peta lahan bervegetasi sagu a. Studi literatur dan pengumpulan data sekunder Studi literatur atau studi pustaka yang dilakukan berkaitan dengan sagu yakni habitat sagu, fungsi sagu secara ekonomi, ekologi dan budaya, konsep pengelolaan sagu, kajian dilakukan melalui buku terkait, jurnal, artikel, penelusuran melalui internet. Pengumpulan data sekunder berupa data tabular dan spasial. Data tabular dari laporan hasil-hasil penelitian dan laporan dari instansi pemerintah (BPS, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Bappeda) meliputi data produksi sagu, konsumsi sagu, budidaya tanaman sagu, data penduduk sedangkan data spasial berupa peta tutupan lahan, RePPProT dan peta administrasi untuk membatasi areal penelitian. b. Pemetaan sebaran sagu Pemetaan sebaran sagu adalah pemetaan lahan-lahan bervegetasi sagu, diperlukan saat pengamatan (survei) potensi tegakan sagu. Lahan bervegetasi sagu diidentifikasi lebih lanjut dengan pengecekan lapang. Pencarian lahan
bervegetasi melalui informasi hasil-hasil penelitian atau
laporan serta dari informasi letak areal hutan sagu dari sebagai sumber di dinas-dinas terkait dan masyarakat setempat dan mengambil titik GPSnya. Setelah diperoleh lokasi letak hutan sagu lalu disiapkan citra GeoEye dari Google Earth
untuk melihat sebaranya (Gambar 5). Interpretasi citra
GeoEye dengan metode on screen yakni mendelineasi pola-pola sebaran sagu yang ada secara visual secara online.
26
Pengecekan lapang / penentuan lokasi
Studi literatur
Informasi masyarakat/dinas
Interpretasi dari Citra GeoEye
Sebaran sagu
Gambar 5. Alur pemetaan sebaran sagu Peta lahan sebaran sagu menjadi peta lapang tentang sebaran tanaman sagu untuk rencanakan lokasi petak pengamatan saat survei tegakan tanaman sagu dilakukan.
2. Survei Survei terdiri dari: a) pengamatan keragaman tanaman sagu, dan b) wawancara responden. a) Pengamatan keragaman tanaman sagu Pengamatan keragaman tanaman sagu dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan dan kerapatan tanaman sagu berdasarkan peta lahan sebaran sagu (yang dibuat pada tahap persiapan). Setiap sebaran sagu dibuat 4 petak pengamatan berukuran 15 m x 15 m. Penempatan petak pengamatan mewakili keragaman sagu yang ada dengan pertimbangan kemudahan dijangkau. Data yang dikumpulkan meliputi tipe sagu (dusun sagu, atau dusun sagu campuran), potensi tegakan (tegakan siap panen), kerapatan (rumpun), jenis sagu dan deskripsi kondisi lingkungan tumbuh. b) Wawancara responden Wawancara dilakukan untuk mengetahui sebaran jenis sagu dan pemanfaatan hutan sagu oleh masyarakat sekitar lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi jenis pemanfaatan
dan intensitas pemanfaatannya.
Untuk memudahkan dalam menentukan intensitas pemanfaatan dibuat kelas pemanfaatan (Tabel 6). Pemilihan responden berasal dari kampung yang berada di kawasan tanaman sagu. Data tersebut diperoleh melalui wawancara terhadap responden yang ditemui di kampung maupun di lahan sagu.
27
Wawancara juga dilakukan untuk memastikan penyebaran tipe sagu yang ada di lapang sesuai pengetahuan masyarakat dengan bantuan peta lahan sebaran sagu. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan mendelineasi
sebaran tipe sagu selain dari pengamatan lapang (titik GPS) dan analisis visual citra. Tabel 6. Kelas intensitas pemanfaatan hutan sagu Kelas Sangat Tinggi
:
Tinggi
:
Menengah
:
Rendah
:
Sangat Rendah
:
Kriteria Jika lebih dari 75 % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu Jika sebesar 51-75 % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu Jika sebesar 26-50 % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu Jika sebesar 1-25 % jumlah penduduk memanfaatkan hutan sagu Jika tidak terdapat penduduk yang memanfaatkan hutan sagu
Sumber: Modifikasi dari Genting Oil Kasuri (2009) 3. Analisis Data Analisis data meliputi: a) pemetaan kawasan sagu; b) proyeksi kebutuhan lahan sagu; c) pemetaan arahan pengembangan pertanian pangan sagu; dan d) identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk LP2B, LCP2B dan KP2B a. Pemetaan kawasan sagu Pemetaan
kawasan
sagu
diperlukan
untuk
mendapatkan
informasi tentang lahan-lahan sagu khususnya yang telah berproduksi (dimanfaatkan) untuk menghasilkan pangan sagu.
Dilakukan dengan
mendetailkan peta sebaran sagu yang dibuat pada tahapan sebelumnya (tahap persiapan) dengan data hasil survei dengan memasukkan data atribut tentang tipe sebaran sagu, rumpun, tegakan siap panen dan pemanfaatan (Gambar 6).
Pemetaan tipe sebaran sagu mengacu
klasifikasi tipe sebaran sagu oleh Matanubun et al. (2008), yakni dusun sagu, dusun sagu campuran, hutan sagu, hutan sagu campuran dan rawa sagu. Dusun sagu merupakan hutan sagu yang telah dimanfaatkan atau dikelola oleh masyarakat. Rawa sagu adalah rawa permanen yang ditumbuhi sagu. Hutan sagu adalah hamparan hutan yang ditumbuhi sagu (sagu 80 – 100 %) dan diselingi pohon hutan lainnya. Hutan sagu
28
campuran merupakan hutan sagu (sagu 30 – 80 %) yang diantaranya terdapat beberapa jenis-jenis pohon lainnya menyebar dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Dari tipe sebaran sagu diinput data atribut jumlah tegakan siap panen dan jumlah rumpun. Untuk informasi pemanfaatan dibuat dengan menumpangsusunkan peta tipe sebaran sagu dengan peta administrasi kampung. Dari hasil tumpangsusun tersebut menjadi dasar untuk mengisi data atribut pemanfaatan setiap kampung yang memiliki lahan sagu.
Sebaran sagu
Interpretasi dari Citra GeoEye
Hasil survei dan Informasi masyarakat
Input data tegakan dan rumpun
Tipe sebaran sagu Peta administrasi
Input data Intensitas pemanfaatan
Pemanfaatan sagu
Kawasan sagu
Gambar 6. Alur pembuatan peta kawasan sagu b. Proyeksi kebutuhan lahan sagu Proyeksi kebutuhan lahan sagu digunakan untuk mengetahui kebutuhan lahan sagu dalam wilayah tertentu dan dalam jangka waktu pula. Analisis ini akan digunakan sebagai dasar dalam menyusun LP2B. Jangka waktu yang digunakan adalah tahunan hingga 20 tahun akan datang sesuai dengan penyusunan RTRW. Untuk menentukan luasan lahan sagu disusun skenario luasan berdasarkan asumsi
jumlah
penduduk, tingkat konsumsi dan produktifitas sagu untuk tingkat lokasi penelitian dan kontribusi di tingkat lebih tinggi yakni Kabupaten dan Propinsi Papua (Gambar 7).
29
Proyeksi pertumbuhan penduduk
Proyeksi kebutuhan pangan sagu aktual
Proyeksi kebutuhan pangan sagu PPH
Asumsi Produktifitas sagu
Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu
Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu
Gambar 7. Alur Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu Jumlah penduduk (Y) Perhitungan proyeksi jumlah penduduk menggunakan persamaan regresi dengan mencari model terbaik (nilai R tertinggi). Persamaan regresi
menggunakan
trend
penduduk
masa
yang
lalu
untuk
memperkirakan jumlah penduduk masa yang akan datang. Model yang digunakan adalah model linear dikarenakan berdasarkan data BPS (2000-2009) pertambahan penduduk akan bertambah sebesar jumlah absolut yang sama/tetap (β) atau
rata-rata pertambahan penduduk
sama. Pt =α + βT Dimana :
Pt
=
penduduk pada tahun proyeksi t
α
=
intercept (penduduk pada tahun dasar)
β
=
koefisien ( rata-rata pertambahan penduduk)
T
=
periode waktu proyeksi
Kebutuhan konsumsi sagu (KKS) Kebutuhan konsumsi sagu adalah perkalian dari konsumsi sagu (tepung sagu) perkapita dengan jumlah penduduk pada tahun tertentu
30
KS= KS * Yt Dimana :
KKS
=
Kebutuhan konsumsi sagu (Kg)
KS
=
Konsumsi sagu (kg/kapita/tahun)
Yt
=
Jumlah penduduk tahun ke-t (jiwa)
KS atau konsumsi sagu perkapita menggunakan data persediaan pangan dalam bentuk jumlah pangan perkapita pertahun dihitung dengan membagi jumlah pangan yang tersedia dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan. Perhitungan KS mengunakan 2 (dua) asumsi yakni konsumsi aktual dan konsumsi ideal/harapan. Estimasi
kebutuhan
konsumsi
sagu
aktual
berdasarkan
permintaan waktu yang lalu bertujuan untuk menyediakan sesuai kecenderungan permintaan berdasarkan selera konsumen. Data untuk proyeksi konsumsi aktual digunakan dari Neraca Bahan Makanan (NBM) Kabupaten Jayapura 4 tahun terakhir (2002-2005) berdasarkan yang naik rata-rata 0,06 %. Konsumsi ideal/harapan adalah pemenuhan kebutuhan pangan yang dikonsumsi seimbang diantara jenis pangan yang dikonsumsi. Data yang gunakan berdasarkan skor dari penetapan pola pangan harapan (PPH) yakni 15,11 kg/kap/tahun. Kebutuhan Luas lahan Sagu (KLS) Kebutuhan luas lahan sagu adalah jumlah penduduk dikali kebutuhan konsumsi sagu terhadap produktifitas sagu. KLS = KKS/ PS Dimana :
KLS
= Kebutuhan Luas lahan Sagu (ha)
KKS
= Kebutuhan konsumsi sagu (Kg/tahun)
PS
= Produktifitas Sagu (kg/ha/tahun)
Produktifitas sagu diperoleh asumsi hasil pati sagu yang dipanen penduduk tiap tegakan siap panen (hasil wawancara) dikalikan dengan jumlah tegakan siap panen per hektar (hasil survei tegakan).
31
c. Pemetaan ketersediaan lahan sagu (arahan pengembangan pertanian pangan sagu) Penyusunan peta ketersediaan lahan sagu untuk mengetahui dimana lokasi yang sesuai berdasarkan aspek fisik dan spasial untuk pengembangan pertanian pangan termasuk lahan yang bervegetasi sagu maupun yang tidak bervegetasi sagu.
Pembuatan peta
tersebut
menggunakan software ArcGIS 9.3 dilakukan dengan mengoverlay peta kesesuaian lahan, peta RTRW dan peta penggunaan lahan (Gambar 8 dan Tabel 7). Identifikasi kesesuaian lahan sagu (termasuk lahan bervegetasi sagu) dilakukan dengan proses tumpangtindih (overlay) terhadap peta-peta tematik yang ada yaitu: peta kemiringan lereng, peta kedalam air tanah tanah dan peta ketinggian tempat (Gambar 6) untuk mendapatkan lahan yang sesuai untuk sagu. Langkah-langkah penyusunan data spasial lahan sagu potensial berdasarkan studi literatur melalui pendekatan dari berbagai sumber karena belum tersedianya kriteria baku penilaian kesesuaian lahan sagu. Kriteria tempat tumbuh sagu menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) yakni ketinggian idealnya <400 m dpl walaupun dapat tumbuh hingga 700 m dpl. Sagu tumbuh di antara tanah-tanah mineral dan gambut yang berada di dataran rawa, pasang surut, dataran banjir, cekungan dan lembah sungai. Hampir semua jenis tanah ditumbuhi sagu dengan syarat kedalaman air tanah < 100 cm atau tidak tergenang permanen. Oleh karena itu, tempat tumbuh sagu sangat ditentukan oleh kedalaman air tanah bukan jenis tanah. Kedalaman air tanah diperoleh dari peta landsystem. Terkait dengan kedalaman air tanah tersebut maka tempat tumbuh sagu diasumsikan pada kemiringan lereng < 2 %. Berdasarkan
hal
di
atas dibuat
kelas
kesesuaian
dengan
tumpangtindih peta kemiringan lereng, ketinggian tempat, kedalaman air tanah yang klasifikasikan menjadi sesuai dan tidak sesuai. -
Peta
kemiringan
lereng
diperoleh
dari
Citra
Aster
Gdem
diklasifikasikan menjadi dua yakni sesuai: 0-2 % dan tidak sesuai >2 % -
Peta ketinggian tempat dari Citra Aster Gdem diklasifikasikan menjadi 2 ketinggian tempat yakni sesuai: 0 - 400 m dpl dan tidak sesuai > 400 m dpl.
32
-
Dari
peta
landsystem
diekstrak
kedalaman
air
tanah
dan
diklasifikasikan menjadi 2 yakni sesuai: < 100 cm dan tidak sesuai > 100 cm. Ketinggian tempat
Kemiringan lereng
Kedalaman air tanah
Kesesuaian lahan sagu
RTRW
Arahan pengembangan
Penggunaan lahan
Ketersediaan lahan
Gambar 8. Alur pemetaan ketersediaan lahan
Tabel 7. Penentuan arahan pengembangan Kesesuaian lahan Sesuai
RTRW Kawasan budidaya pertanian (campuran dan budidaya)
Sesuai
Kawasan budidaya pertanian (campuran dan budidaya)
Sesuai dan tidak sesuai
Kawasan budidaya non pertanian (pemukiman, industri, pertambangan) dan kawasan lindung (hutan lindung dan sempadan danau)
Penggunaan lahan Hutan, semak, lahan pertanian, lahan terbuka Areal terbangun (pemukiman, bandara) Hutan, semak, lahan pertanian, lahan terbuka, areal terbangun (pemukiman, bandara)
Kategori Lahan tersedia
Tidak tersedia
Bukan arahan
33
Peta kesesuaian lahan dioverlay dengan peta RTRW untuk mendapatkan peta arahan pengunaan lahan. Peta arahan penggunaan lahan menginformasikan tentang keberadaan lahan-lahan sesuai yang di kawasan lindung dan budidaya. Setelah itu, peta arahan pengembangan dioverlay lagi peta penggunaan lahan untuk mendapatkan peta ketersediaan lahan.
Peta
penggunaan
lahan
dibuat
dengan
mendelineasi
penggunaan/tutupan lahan di lokasi penelitian secara visual menggunakan citra GeoEye dari Google Earth. Peta ketersediaan lahan menginformasikan penggunaannya lahan-lahan arahan pengembangan saat ini. d. Identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk LP2B, LCP2B dan KP2B Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam PP No 1 tahun 20011 Pasal 2 huruf a meliputi: Kawasan Pertanian
Pangan
Berkelanjutan
Berkelanjutan
(LP2B),
dan
(KP2B),
Lahan
Lahan
Cadangan
Pertanian
Pangan
Pertanian
Pangan
Berkelanjutan (LCP2B). LCP2B adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. LCP2B ditetapkan dari peta ketersediaan lahan dari lahan sagu yang belum memproduksi pangan sagu.
LP2B adalah
bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan yang akan menjadi LP2B ditetapkan dari lahan pertanian pangan yang telah ada (aktual) dan berproduksi. Konsep pemetaan LCP2B dan LP2B dilakukan dengan pengoverlay peta kawasan sagu dan peta arahan pengembangan dengan teknik Union (Gambar 9) lalu dipisahkan sesuai kriteria penilaian lahan untuk LP2B dan LCP2B (Tabel 8).
34
Peta ketersediaan lahan
Peta kawasan sagu
Union
Lahan produksi
Lahan belum produksi
LP2B
LCP2B
Proyeksi kebutuhan lahan
Gambar 9. Konsep pemetaan LP2B dan LCP2B Tabel 8. Kriteria penilaian lahan untuk LP2B dan LCP2B Peta Arahan pengembangan
Peta Tipe Sagu Dusun sagu
Ketersediaan lahan
dusun sagu campuran, hutan sagu, hutan sagu campuran
Status LP2B LCP2B
Jika lahan produksi yang tersedia lebih luas dibandingkan kebutuhan lahan pangan sagu hasil proyeksi untuk jadi LP2B perlu dibuat urutan prioritas pemilihan lebih lanjut. Metode identifikasi urutan prioritas dibuat dengan indeks terbobot dihitung dengan teknik indeks
overlay. Indeks
terbobot dibangun berdasarkan pada tiap layer memiliki bobot (weight) dan tiap kelas di layer memiliki nilai (skor) sesuai dengan hasil pengamatan lapang. Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun seperti ditampilkan Tabel 9.
35
Tabel 9. Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun No
Kriteria
1
Rumpun Harapan Kehiran Sosiri Maribu Pohon siap tebang Harapan Kehiran Sosiri Maribu jenis sagu Harapan Kehiran Sosiri Maribu Pemanfaatan Sangat Tinggi Tinggi Menengah Rendah Sangat Rendah
2
3
4
Skor setelah Faktor standarisasi Bobot 0,15 0,33 0,60 0,48 1,00 0,30 0,83 1,00 0,83 0,92 0,05 0,30 1,00 0,52 0,70 0,50 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20
Keterangan Total skor telah distandarisasi dan bobot berkisar 0-1
Tahap pertama yakni penetapan layer-layer yang akan di overlay lalu layer-layer tersebut distandarisasi. Standarisasi dilakukan untuk mendapatkan nilai bersama antar layer karena nilai dari masing-masing layer berbeda-beda. Dalam hal ini standar dinilai dari perbedaan nilai maksimum dan minimum, sehingga nilainya berkisar dari 0 – 1 atau dengan persamaan: X’ij = (xij)/xjmax Dimana :
X’ij
= Nilai yang distandarisasi
(xij)
= Nilai ke I kriteria ke j
xjmax
= Nilai tertinggi kriteria ke j
Setelah standarisasi, dilakukan penetapan bobot untuk setiap layer. Pembobotan ini dibangun secara logika karena belum ada data mengenai pengaruh antar kriteria tersebut. Pemanfaatan mempunyai bobot lebih tinggi dibandingkan kriteria lain karena lahan sagu yang tidak dimanfaatkan tidak punya arti dibandingkan dimanfaatkan. Setelah itu, bobot tegakan siap panen lebih tinggi dibandingkan rumpun dan jenis karena tanpa tegakan
36
siap panen tidak dapat menghasilkan pati sagu. Bobot rumpun lebih tinggi dibandingkan jenis karena tiap rumpun akan menghasilkan tegakan siap panen. Setelah pembobotan dilakukan overlay. Hasil overlay ini diurutkan dari nilai tertinggi hingga nilai terendah. Urutan pemilihan lebih lanjut LP2B dimulai dari urutan terbaik dari hasil overlay layer-layer tersebut hingga sesuai dengan kebutuhan lahan hasil proyeksi. KP2B adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Pemetaan KP2B dilakukan berdasarkan hasil pemetaan LP2B dan LCP2B ditambah dengan unsur penunjang. Unsur penunjang yang dimaksud adalah sarana prasarana untuk menunjang aktivitas produksi pangan sagu yang telah ada dilokasi LP2B dan LCP2B. Peta sarana prasarana dibuat dengan mendelineasi sarana prasarana secara visual menggunakan citra GeoEye dari Google Earth. Konsep pemetaan KP2B seperti tersaji pada Gambar 10. Peta saran prasarana
LP2B
LCP2B
Union
KP2B
Gambar 10. Konsep pemetaan KP2B
37
KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA
Letak dan Luas Kabupaten Jayapura secara yuridis sudah dimekarkan sesuai UndangUndang Nomor 26 Tahun 2002 menjadi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Jayapura dengan Ibukota Sentani, Kabupaten Sarmi dengan Ibukota Sarmi dan Kabupaten Keerom dengan Ibukota Arso. Setelah pemekaran, Kabupaten Jayapura terletak pada koordinat 139 o25’32.4” – 140o38’38.53” BT dan 3o45’7.28” - 2o19’21.82” LS dengan luas wilayah 17.516,6 km2. Adapun batas-batas wilayah administrasi Kabupaten Jayapura adalah:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sarmi dan Samudera Pasifik
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Pegunungan Bintang
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Memberamo Raya
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Keerom dan Kota Jayapura Tahun 2006, Kabupaten Jayapura memekarkan wilayahnya menjadi 19
distrik (Bappeda, 2009). Ibukota kabupaten terletak di Sentani, berjarak 33 km dari Kota Jayapura. Luas dan jumlah kampung dari masing-masing distrik di Kabupaten Jayapura tertera pada Tabel 10. Tabel 10. Luas dan jumlah kampung tiap distrik di Kabupaten Jayapura No
Distrik
Ibukota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Kaureh Kemtuk Kemtuk Gresi Nimboran Nimbokrang Unum Guay Demta Depapre Sentani Barat Sentani Sentani Timur Waibu Ebungfauw Namblong Yapsi Airu Yokari Raveni Rara Gresi Selatan
Lapua Sama Klaisu Tabri Nembukrang Garusa Demta Waiya Dosay Hinekombe Nolokla Doyo lama Ebungfaw Karya Bumi Bumi Sahaja Hulu Atas Meukisi Necheibe Bangai
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura (2010)
Luas Wilayah (km2) (persen) 4.357,9 24,88 258,3 1,47 182,4 1,04 710,2 4,05 774,8 4,42 3.131,3 17,88 497,5 2,84 404,3 2,31 129,2 0,74 225,9 1,29 484,3 2,76 258,3 1,47 387,4 2,21 193,7 1,11 1.291,3 7,37 3.099 17,69 519,5 2,97 467,4 2,67 143,9 0,82
Jumlah Kampung 5 12 11 13 9 6 7 8 5 7 7 7 5 9 9 4 5 4 4
38
Penduduk Jumlah penduduk di Kabupaten Jayapura tahun 2009 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) berjumlah 118.715 orang, yang terdiri dari 62.072 penduduk laki-laki dan 56.643 penduduk perempuan. Berarti tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Jayapura dengan wilayah seluas 17.516,6 km persegi adalah 6,78 jiwa/km2. Distrik Sentani merupakan distrik yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk tertinggi (81,35 jiwa/km2) dan Distrik Gresi Selatan merupakan distrik dengan tingkat kepadatan penduduk terendah (0,38 jiwa/km2). Laju pertumbuhan penduduk berdasarkan data BPS dari tahun 2000 sampai tahun 2009 adalah 4,16 persen per tahun. Jumlah dan kepadatan penduduk dari masing-masing distrik di Kabupaten Jayapura disajikan pada Tabel 11, sedangkan perkembangan jumlah penduduk disajikan pada Tabel 12. Tabel 11. Jumlah dan kepadatan penduduk tiap distrik tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Distrik Kaureh Kemtuk Kemtuk Gresi Nimboran Nimbokrang Unum Guay Demta Depapre Sentani Barat Sentani Sentani Timur Waibu Ebungfauw Namblong Yapsi Airu Yokari Raveni Rara Gresi Selatan
Ibukota Lapua Sama Klaisu Tabri Nembukrang Garusa Demta Waiya Dosay Hinekombe Nolokla Doyo lama Ebungfaw Karya Bumi Bumi Sahaja Hulu Atas Meukisi Necheibe Bangai
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura (2010)
Luas wilayah (km2)
Jumlah penduduk (Jiwa)
4.357,9 710,2 774,8 497,5 129,2 225,9 484,3 387,4 1.291,3 519,5 143,9 3.099 467,4 404,3 182,4 258,3 258,3 193,7 3.131,3
14.363 3.489 4.868 3.758 6.548 1.844 3.476 3.806 4.110 42.259 7.073 4.917 2.872 2.763 5.686 988 3.184 1.511 1.200
Kepadatan (jiwa/km2) 3,30 4,91 6,28 7,55 50,68 8,16 7,18 9,82 3,18 81,35 49,15 1,59 6,14 6,83 31,17 3,83 12,33 7,80 0,38
39
Tabel 12. Perkembangan jumlah penduduk dari tahun 2000-2009 Tahun
Jumlah (jiwa)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata pertumbuhan 4,16 persen
91.361 96.940 100.853 104.059 107.368 109.786 111.807 113.437 116.046 118.715
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura
Pola Konsumsi Pangan Tingkat konsumsi pangan pokok penduduk perkapita secara kuantitas merupakan salah satu informasi yang diperlukan dalam perencanaan produksi atau penyediaan bahan pangan. Laporan BPS dalam NBM (Neraca bahan makanan) tahun 2009 bahwa kontribusi energi menurut kelompok pangan PPH (pola pangan harapan) di Kabupaten Jayapura tahun 2008 seperti pada Tabel 13. Tabel 13. Kontribusi energi menurut kelompok pangan No
Kelompok pangan
Kalori
1 2 3 4 5 6 7
Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Kacang-kacangan Gula Sayuran dan buah Jumlah
1156 347 127 11 100 91 139 2114
Kontribusi (persen) 54,67 16,41 6,02 0,51 4,71 4,29 6,60 100,00
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura (2009) Tabel 13 terlihat bahwa kelompok padi-padian (beras, jagung, tepung terigu) memberikan kontribusi energi yang paling besar, sedangkan kelompok minyak/lemak memberikan kontribusi energi paling kecil. Untuk kelompok umbiumbian hanya menyumbang 347 kalori/kapita/hari. Sagu termasuk dalam
40
kelompok umbi-umbian selain singkong, ubi jalar, kentang dan ini berarti untuk sagu secara khusus kurang dari 347 kalori/kapita/hari. Sagu pada mulanya merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk di wilayah Papua, namun saat ini peran tersebut sudah mulai berkurang. Secara aktual berdasarkan data NBM Kabupaten Jayapura diketahui konsumsi sagu penduduk berdasarkan produksinya dari tahun 2006 hingga 2008 yakni, 17,72 kg/kapita/tahun, 17,72 kg/kapita/tahun dan 17,95 kg/kapita/tahun atau rata-rata naik 1,27 persen per tahun. Pola konsumsi sagu secara bertahap telah bergeser ke arah beras. Kecenderungan ini juga secara umum terjadi di seluruh wilayah di Papua seperti yang dilaporkan Hutapea (2003) bahwa konsumsi sagu di Papua berkurang dari 126 kg pada 1994 menjadi 95,53 kg/kapita/tahun pada 1997. Salah satu penyebabnya adalah kesan inferior yang melekat pada sagu. Untuk itu perlu upaya mengubah bahan pangan sagu menjadi makanan yang populer. Berdasarkan pendekatan PPH dapat diketahui skor pangan dengan cara mengalikan persentase kontribusi energinya setiap kelompok pangan dengan rating (bobot)nya. Hasil analisis PPH Kabupaten Jayapura pada tingkat ketersediaan masih belum memenuhi standar yaitu sebesar 83,7 atau 16,3 persen dibawah standar, artinya penyediaan pangan kurang beragam dan belum berimbang ketersediaan gizinya. Hal ini dapat dilihat dari kelompok pangan yang skornya melebihi atau kurang dari skor maksimum. Salah satunya konsumsi yang belum ideal berdasarkan pendekatan PPH adalah komsumsi pangan sagu masih tinggi (17,95 kg/kapita/tahun) dari standar ketersediaannya
harus
diturunkan menjadi 15,11 kg/kapita/tahun. Rencana Tata Ruang Wilayah Rencana Struktur Ruang Di tingkat Nasional, Kabupaten Jayapura dikategorikan dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN).
Untuk skala pelayanan
kota-kota di Kabupaten
Jayapura dapat dibedakan atas : a. Kota orde I adalah Ibukota Distrik Sentani (Sentani Kota). Kota orde I ini akan berperan sebagai
pusat regional, dengan wilayah pelayanan seluruh
kabupaten. b. Kota orde II adalah Ibukota Distrik Depapre (Waiya), Ibukota Distrik Kemtuk (Sabron),
dan
Ibukota Distrik Yapsi (Ongan Jaya). Kota Orde II ini akan
41
berperan sebagai pusat sub-regional, dengan wilayah pelayanan hanya beberapa distrik saja. c. Kota orde III adalah semua
Ibukota
Distrik
(IKD),
dengan
wilayah
pelayanan distrik masing-masing. Berdasarkan kebijakan pemerintah Kabupaten dengan DPRD Kabupaten Jayapura, ditetapkan sistem perwilayahan pembangunan di Kabupaten Jayapura seperti disajikan pada Tabel 14. Untuk daerah penelitian mencakup wilayah pembangunan I dan II. Tabel 14. Pembagian wilayah pembangunan Wilayah Pembangunan (WP)
Kawasan
Distrik
Prioritas
I
Cagar Alam Cycoop dan Danau Sentani
-
Sentani Timur Sentani Ebungfau Waibu
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
II
Cagar Alam Cycloop dan Pesisir
-
Raveni Rara Depapre Sentani Barat Yokari Demta
1. Pengembangan Pelabuhan Peti Kemas 2. Perikanan laut 3. Pariwisata 4. Industri 5. Pertambangan 6. Kehutanan
III
Grime
-
Kemtuk Kemtuk Gresi Gresi Selatan Nimboran Nimbokrang Namblong
1. Pertanian skala rakyat 2. Peternakan skala rakyat 3. Perkebunan (Program Agropolitan) skala rakyat 4. Pertambangan 5. Industri
IV
Nawa
-
Unurum Guay Yapsi Kaureh Airu
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sumber : Bappeda (2009)
Pusat Pemerintahan Perdagangan dan jasa Bandar Udara Pariwisata Industri Kecil dan Rumah Tangga Kehutanan Perikanan darat/danau
Kehutanan Perkebunan skala besar PLTA Pertanian skala besar Peternakan skala besar Prasarana Transportasi Industri
42
Rencana Pola Ruang Berdasarkan dokumen RTRW 2008-2028 bahwa untuk tahun 2028 kawasan lindung untuk Kabupaten Jayapura luasnya adalah 41% dari luas Kabupaten Jayapura yaitu seluas 716.769,30 ha. Luas Kawasan Budidaya yang direncanakan adalah seluas 59 % dari luas Kabupaten Jayapura yaitu seluas 1.034.630,70 ha (Gambar 11 dan 12).
Gambar 11. Rencana pemanfaatan ruang kawasan budidaya
43
44
Gambar 12. Rencana pemanfaatan ruang kawasan lindung
45
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Pemetaan Sagu Sebaran Sagu Tanaman sagu di Kabupaten Jayapura berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Papua (2006) seluas 25.488 ha atau 4,97 persen dari luas tanaman sagu di Provinsi Papua. Penyebaran tanaman sagu sebagian besar adalah tegakan alami berupa hamparan/kawasan yang kompak dan luas. Berdasarkan penafsiran peta tutupan lahan Kabupaten Jayapura, sagu yang ada di Kabupaten Jayapura berada di pinggiran danau Sentani, Maribu, Nimbokrang (di sekitar sungai Grime dan Sermo) dan Kaureh (di sekitar sungai Nawa). Untuk penelitian ini lokasi difokuskan hanya pada lahan sagu yang ada di sekitar danau Sentani yakni di pinggiran danau Sentani meliputi 5 distrik yakni Distrik Sentani, Sentani Timur, Sentani Barat, Waibu dan Ebungfauw. Lahan sagu di daerah Nimbokrang dan Kaureh tidak dilakukan pengamatan karena letaknya yang jauh dan jenis serta produktifitas produski tidak sebaik kawasan sekitar Danau Sentani dan Maribu. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman jenis dan produktifitas sagu di sekitar Danau Sentani lebih baik dibandingkan daerah lain. Hasil penelitian Matanubun et al. (2005), di Distrik Kaureh menemukan hanya terdapat 16 jenis sagu saja dan ini lebih rendah dibandingkan di Kawasan Kehiran (Distrik Sentani) ditemukan paling tidak
18 jenis sagu berdasarkan
penelitian Miftahorochman dan Novirianto (2003). Hasil Penelitian Unipa (2005) dalam
PT. Freeport Indonesia (2010) menemukan 31 jenis sagu di daerah
Sentani.
Produktifitas sagu di Sentani juga tergolong tinggi seperti dilaporkan
Saitoh et al. (2003) dalam Bintoro, (2008) menemukan beberapa jenis unggul yang menghasilkan pati kering sagu hingga mendekati 1 ton per batang. Lahan bervegetasi sagu diinterpretasi secara bertahap yakni: (1) deteksi (global) ada tidaknya tanam yang bertajuk bintang; (2) identifikasi (setengah rinci) untuk memisahkan dari berbagai jenis tanaman yang bertajuk bintang; (3) Analisis (rinci) untuk membedakan lagi lebih rinci lahan sagu berdasarkan tipenya. Tahap ketiga berupa analisis dibahas pada sub sub bab tipe ekosistem sagu. Deteksi dilakukan dengan mencari lahan yang bervegetasi dan bertajuk bintang. Deteksi terhadap tanaman bertajuk bintang sangat mudah dilakukan
46
dengan bantuan citra GeoEye dari Google Earth karena sebagian besar tanaman bertajuk bintang di lokasi penelitian berupa hamparan/kawasan (Gambar 13). Setelah diperoleh adanya tanaman bertajuk bintang lalu dibedakan lagi (identifikasi) berbagai tanaman
yang bertajuk bintang yang ditemukan pada
tahap deteksi di lokasi penelitian. Jenis-jenis tanaman bertajuk bintang yang ada di lokasi penelitian berdasarkani literatur dan pengamatan lapang. Berdasarkan studi literatur dan pengamatan lapang, tanaman yang bertajuk bintang sebagai landasan untuk interpretasi sagu di lokasi penelitian hanya ada tanaman sagu, kelapa (Cocos nucifera) dan pinang (Areca catechu L.). Perbedaan tanaman sagu dengan tanaman lainnya (kelapa dan pinang) di lokasi penelitian yakni tanaman sagu belum sepenuhnya menjadi tanaman budidaya sedangkan kelapa dan pinang merupakan tanaman budidaya sehingga terlihat berbeda dari pola tumbuhnya. Sagu umumnya mempunyai pola tumbuh tidak teratur, gerombol dan agak jauh dari pemukiman karena belum dibudidaya (sagu alam) sedangkan kelapa dan pinang berpola tumbuh teratur dalam luasan sempit, tidak gerombol dan berada dekat dengan pemukiman. Umumnya kelapa dan pinang pada masyarakat asli Papua merupakan dijadikan tanaman pekarangan yang ditanam beberapa pohon saja di sekitar rumah atau kebun dengan jarak tanam tidak teratur (tidak ada jarak tanam). Jumlah yang sedikit dan hanya merupakan tanaman pekarangan yang tidak ditanam bersama sagu, tanaman kelapa dan pinang dapat diabaikan. Penampakan kelapa dan pinang dibandingkan dengan sagu dibedakan juga dari penampakan fisik. Pohon kelapa lebih kecil dibandingkan sagu dan pinang lebih kecil dibandingkan kelapa. Warna daun kelapa lebih terang dibandingkan sagu. Saat identifikasi sagu, kelapa dan pinang, resolusi spasial diperbesar mencapai beberapa kali lipat resolusi spasial pada tingkat deteksi sehingga tampak jelas perbedaan fisik sagu dan kelapa (Gambar 14). Setelah teridentifikasi sagu lalu dilakukan pemetaaan melalui citra untuk mengetahui sebarannya. Areal yang didelineasi dari citra merupakan areal yang memiliki tanaman sagu minimal 30 persen dari penampakan vegetasi yang ada. Areal yang dinominasi
tanaman selain sagu atau hanya dijumpai beberapa
rumpun tanaman sagu dalam jumlah yang sedikit tidak dimasukkan dalam areal sagu yang didelineasi.
Selain itu, areal sempit (< 0,25 ha) dan menyebar
berjauhan (sporadis) tidak didelineasi.
47
Bukan sagu Sagu
Gambar 13. Penampakan sagu dan bukan sagu
Sagu Kelapa
Gambar 14. Penampakan sagu dan kelapa Berdasarkan identifikasi citra GeoEye dari Google Earth ditemukan empat daerah berupa hamparan bervegetasi sagu berupa hutan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dan Distrik Maribu seluas 2909,8 ha terdiri dari daerah Harapan, Kehiran, Sosiri dan Maribu. Pemberian nama tersebut disesuaikan dengan salah satu kampung yang terdapat di daerah tersebut. Sebagian besar tanaman sagu masih merupakan tanaman liar (hutan sagu) yang tumbuh dengan sendirinya. Sedikit yang sudah melakukan penanaman dengan budidaya yang sangat sederhana (tipe dusun sagu)
tanpa jarak tanam dan pemeliharaan
intensif hanya pemangkasan daun-daun tua.
48
Penyebaran sagu di lokasi penelitian setelah ditumpangtindihkan dengan peta administrasi diketahui daerah administrasi yang masuk dalam daerah sagu seperti tersaji pada Gambar 15 dan Tabel 15. Dari gambar dan tabel diketahui bahwa penyebaran sagu paling luas pada daerah Kehiran meliputi 13 kampung sedangkan daerah Sosiri merupakan yang paling sempit luasnya dan hanya meliputi 1 kampung. Tabel 15. Luas lahan sagu Hamparan Harapan
Distrik
Kampung
Sentani Timur
Asei Besar Asei Kecil Nendali
Ebungfauw
Babrongko Imporo Dobonsolo
Hektar 170,8 22,8 57,9 251,6 151,3 73,0 125,5
Hinekombe Ifale
2,6 290,3
Ifar Besar Sentani Kota
132,4 31,3
Yoboy Nendali
763,3 8,7
Donday Doyo Baru Doyo Lama Kwadeware
69,7 58,9 232,0 428,4
Luas Kehiran
Sentani
Sentani Timur Waibu
Luas Maribu
Sentani Barat
Maribu Panjang Rejo
Luas Sosiri
Luas
Waibu
Luas Luas Keseluruhan
Sosiri
2367,4 35,6 163,6 199,2 91,7 91,7 2909,8
Persen
8,6
81,4
6,8 3,2 100,0
Gambar 15. Sebaran lahan sagu
49
50
Di daerah Harapan terdapat Kampung Asei Kecil, Asei Besar dan Nendali (Harapan) Distrik Sentani Timur, berjarak ± 1 km dari kantor distrik dan jarak dari pusat pemerintahan kabupaten adalah 10 km yang dapat di tempuh dengan kendaraan beroda dua atau beroda empat selama ± 10 menit. Secara geografis, sebelah Utara berbatasan dengan Cagar Alam Pegunungan Syclop, sebelah Selatan dengan Kampung Takiwa, sebelah Timur dengan Kelurahan Waena dan sebelah Barat dengan Kampung Ifar Besar. Daerah ini terletak pada ketinggian 70-100 m di atas permukaan laut. Sagu yang ditemukan pada daerah ini 251,6 hektar. Pada daerah Kehiran terdapat 4 (empat) distrik dan 12 kampung. Daerah ini berjarak ± 1 km dari kantor distrik
dan jarak dari pusat pemerintahan
kabupaten adalah 3 km, yang ditempuh dengan kendaraan beroda dua atau beroda empat selama ± 5 menit.
Secara geografis, sebelah Utara daerah
Kehiran berbatasan dengan Kampung Hinekombe dan Sereh sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Kemtu, sebelah Timur dengan Distrik Sentani Timur dan sebelah Barat dengan Kampung Sosiri. Daerah sagu Kehiran terletak pada ketinggian 70-100 m di atas permukaan laut. Sagu yang ditemukan pada daerah ini 2367,4 hektar. Pada daerah Sosiri hanya terdapat Kampung Sosiri dari sepuluh kampung yang ada Distrik Sentani Barat, berjarak ± 8 km dari kantor distrik sedangkan jarak dari pusat pemeritahan kabupaten adalah 10 km, yang ditempuh dengan kendaraan beroda dua atau beroda empat selama ± 20 menit. Secara geografis, sebelah Utara daerah Sosiri berbatasan dengan Distrik Sentani Barat sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Donday, sebelah Timur dengan Kampung Doyo Lama dan sebelah Barat dengan Kampung Yakonde. Kampung Sosiri terletak pada ketinggian 70-100 m di atas permukaan laut. Sagu yang ditemukan pada daerah ini 91,7 hektar. Pada daerah Maribu terdapat Kampung Panjang Rejo dan Maribu Tua merupakan dua kampung dari sepuluh kampung yang ada Distrik Sentani Barat, yang berjarak ± 4 km dari kantor distrik. Jarak dari pusat pemeritahan kabupaten adalah 15 km, yang ditempuh dengan kendaraan beroda dua atau beroda empat selama ± 30 menit. Secara geografis, sebelah Utara berbatasan dengan daerah Sosiri sebelah Selatan berbatasan dengan Cagar Alam Pegunungan Syclop, sebelah Timur dengan Kampung Doyo Lama dan sebelah Barat dengan Distrik
51
Depapre. Hamparan sagu ini terletak
pada ketinggian 90 – 120 m di atas
permukaan laut. Sagu yang ditemukan seluas 199,2 hektar. Data luasan lahan bervegetasi sagu dari interpretasi citra lebih rendah dibandingkan data lahan sagu dari Dinas Kehutanan. Data dari Dinas Kehutanan menyebutkan lahan bervegetasi sagu di lokasi penelitian seluas 4.160 ha. Keadaan ini terjadi karena data penelitian hanya dihitung dari luas sagu berupa hamparan sedangkan areal sagu berupa spot-spot dan luasan kurang dari 0,25 ha tidak didelineasi. Selain itu, interpretasi yang dilakukan hanya pada lahan bervegetasi yang mempunyai sagu lebih dari 30 persen. Lahan-lahan berupa kebun yang
ditanami (penyulaman) sagu oleh Dinas Kehutanan tidak dapat
dideteksi dari citra karena tutupan lahannya dominan (> 30 persen) bukan sagu dan tidak adanya data (peta) mengenai sebaran sagu tanam. Untuk data lahan sagu dari Dinas Kehutanan sangat besar karena hasil interpretasi citra yang digunakan
untuk
menghitung
luasan
sagu
adalah
hasil
interpretasi
tutupan/penggunaan lahan (citra Landsat). Tutupan lahan berupa rawa dianggap sebagai
habitat sagu walaupun kenyataannya rawa belum tentu ada sagu
sehingga hasil hitungan terlalu besar. Selain itu, data luas penanaman sagu di setiap kegiatan sagu dari dinas merupakan penjumlahan luas penanaman sagu seluruh kegiatan tanpa melihat tumpangtindih pada lokasi yang sama termasuk dengan lahan dusun sagu masyarakat.
Tipe Sagu Setelah pemetaan sebaran sagu, dilakukan lagi interpretasi lebih rinci berupa tahap analisis untuk mengetahui sebaran tipe sagu yang ada di setiap hamparan sagu. Resolusi spasial pada tingkat analisis ini tidak lebih tinggi lagi dari pada tahap identifikasi sagu. Mengacu klasifikasi tipe sagu menurut Matanubun et al. (2008), ditemukan 4 (empat) tipe sagu yaitu areal hutan sagu budidaya (masyarakat setempat biasa menyebutnya dusun sagu), hutan sagu alam, rawa sagu, dan sagu campuran. Pembagian tipe sagu tersebut berdasarkan tempat tumbuh dan pengaruh dari aktivitas manusia. Sagu di lokasi penelitian ditemukan tumbuh di daerah tergenang permanen, tergenang sesaat hingga daerah tidak tergenang (kering). Ada yang murni hanya sagu saja maupun bercampur tumbuh dengan tanaman lain. Ada yang telah dibudidayakan dan belum dibudidayakan.
52
Hutan sagu budidaya (dusun sagu) merupakan hutan sagu yang telah dimanfaatkan atau dikelola oleh masyarakat. Rawa sagu adalah rawa permanen yang ditumbuhi sagu. Hutan sagu adalah hamparan hutan yang ditumbuhi sagu (sagu 80 – 100 persen) dan diselingi
pohon hutan lainnya.
Hutan sagu
campuran merupakan hutan sagu (sagu 30 – 80 persen) yang diantaranya terdapat beberapa jenis-jenis pohon lainnya menyebar dalam jumlah yang tidak terlalu banyak (Matanubun et al., 2008). Sebaran tipe sagu diperoleh dari interpretasi citra disesuaikan dengan hasil
pengamatan
kondisi
sagu
(pengamatan
lapang)
dan
wawancara
masyarakat. Saat interpretasi sebaran tipe sagu lebih mudah karena telah diketahui
sebaran
lahan
bervegetasi
sagu.
Cakupan
lokasi
penelitian
menggunakan beberapa lembar citra dengan resolusi spasial citra tinggi (Citra GeoEye) namun kondisi kecerahan citra yang berbeda-beda menimbulkan kesulitan dalam interpretasi. Tingkat kecerahan citra tergantung pada keadaan cuaca saat pengambilan gambar, waktu pengambilan (pagi, siang atau sore) dan sebagainya.
Kesulitan saat interpretasi citra secara visual karena
kemampuan mata membedakan warna yang terbatas. Penggunaan layanan gratis dari Google Earth menyebabkan kecerahan citra tidak dapat diperbaiki walapun resolusi spasialnya baik dan hanya bisa interpretasi secara visual. Kesulitan ini diatasi dengan menambah titik pengamatan (titik GPS). Kesulitan awalnya ditemukan untuk membedakan sagu hutan dan sagu rawa pada daerah peralihan yang lebar antara tipe tersebut. Keterbatasan mata pada interpretasi visual menyebabkan perbedaan batas di daerah peralihan sagu rawa dan sagu hutan hanya diperkirakan di tengah-tengah daerah peralihan tersebut. Demikian pula untuk membedakan hutan sagu dan dusun sagu. Pada kondisi sagu dusun yang terawat mudah dibedakan dengan hutan sagu karena perbedaan
permukaan tekstur tajuk tanaman yang mencolok. Tekstur tajuk
dusun sagu yang terawat lebih kasar dibandingkan dengan hutan sagu karena. Kesulitan ditemukan saat membedakan hutan sagu dan dusun sagu yang tidak terawat. Penampakan tekstur kanopinya hampir sama. Kesulitan ini diatasi dengan
bantuan
hasil wawancara
dengan penduduk untuk membantu
membedakan dusun sagu dan hutan sagu. Interpretasi citra untuk membedakan tipe-tipe areal sagu menggunakan beberapa unsur interpretasi yakni warna, tekstur, pola dan ukuran. Di lapangan tipe sagu dikenali dari tempat tumbuh, tegakan dan posisinya. Perbedaan
53
penampakan masing-masing tipe sagu dari citra dan di lapang disajikan pada Tabel 16. Penampakan warna sagu pada citra GeoEye nampak jelas pada berbeda pada hutan sagu dengan rawa sagu sedangkan hutan sagu dan dusun sagu tidak semuanya dapat dibedakan. Dusun sagu nampak berwarna hijau ketuaan sedangkan rawa sagu berwarna hijau muda dan rawa sagu berwarna hijau muda kekuningan. Perbedaan warna ini karena tempat tumbuh yang berbeda. Warna daun sagu pada dusun sagu lebih hijau ketuaan karena tempat tumbuhnya lebih kering sehingga pertumbuhannya lebih baik dibandingkanpada hutan sagu. Sagu pada hutan sagu yang lebih hijau muda karena air tanah lebih dangkal sehingga agak terganggu pertumbuhannya walaupun tidak tergenang seperti rawa sagu. Rawa sagu yang berada di tempat tumbuh yang tergenang menyebabkan pertumbuhannya terhambat sehingga warna daun lebih berwarna hijau kekuningan. Tekstur tajuk nampak pada dusun sagu lebih kasar dibandingkan hutan sagu. Pada rawa sagu tekstur tajuk lebih halus. Selain itu, ketinggian tajuk pada dusun sagu lebih tinggi dibandingkan hutan sagu . Rawa sagu memiliki tinggi tajuk paling rendah karena tidak memiliki tegakan pohon. Di lapang, hal ini dapat dilihat bahwa tajuk tegakan pohon lebih besar. Jumlah tegakan pohon lebih bnayak, diameter dan tinggi batang pohon pada dusun sagu lebih besar dibandingkan hutan sagu. Hal ini karena jenis sagu yang ditanam pada dusun sagu berbeda dan tempat tumbuhnya lebih kering sehingga pertumbuhan sagu lebih baik dibandingkan pada hutan sagu yang tempat tumbuhnya lebih basah dan hanya ada jenis sagu hutan dan belum dibudidaya.
Hutan mempunyai
jumlah tegakan pohon sangat sedikit dan diameter, tinggi dan lebar tajuk lebih kecil. Pada rawa sagu, tegakan pohon tidak ditemukan hanya berupa tegakan semai. Dusun sagu dengan dusun sagu campuran dapat diketahui dari penampakan tajuk. Pada dusun sagu umumnya tajuk berbintang yang terlihat dominan (>80 persen) sagu sedangkan dusun sagu campuran, tajuk bintang bercampur dengan tajuk (vegetasi) lainnya. Hasil analisis sebaran tipe sagu yang ada di setiap daerah sagu disajikan Tabel 17 dan Gambar 16.
54
Tabel 16. Perbedaan penampakan tiap tipe sagu Tipe Dusun sagu (a)
Penampakan Citra GeoEye Warna hijau tua, permukaan kanopi nampak lebih kasar, diameter tajuk lebih besar, tinggi tajuk lebih tinggi dan berada dekat dengan pemukiman
c
Di lapangan Tanah lebih kering dan tidak rapat, jumlah tegakan pohon lebih banyak, tinggi dan diameter batang tegakan pohon lebih besar, warna daun lebih hijau tua.
a
a
Hutan Sagu alam (b)
Warna lebih hijau muda, rapat dan permukaan kanopi agak kasar, berada agak jauh dari pemukiman (setelah dusun sagu)
Tanahlebih basah, rumpun rapat, hanya ditemukan beberapa tegakan pohon dengan tinggi dan diameter batang tegakan pohon lebih kecil, warna daun lebih terang
a b
b
55
Rawa sagu (c)
Warna lebih hijau kekuningan, permukaan kanopi Lebih halus dan lebih rendah dari sagu alam
Tempat tumbuh rawa (tergenang), tidak ditemukan tegakan pohon hanya anakan.
d
c
a
Sagu campuran (d)
c
berselang-seling dengan pohon hutan lainnya, permukaan kanopi bercampur bukan saja bintang (sagu). Berada paling dekat dengan pemukiman dan jalan
Tanah lebih kering dari dusun sagu dan rumpun sagu berselangseling dengan tanaman lain, banyak tanaman lain di lantai hutan.
d
d a
56
Dusun sagu ditemukan pada semua hamparan sagu di lokasi penelitian. Ini berarti penduduk di sekitar daerah sagu semua memanfaatkan hutan sagu sebagai bagian dari kebutuhan hidup. Dusun sagu terluas terdapat di daerah Kehiran. Dusun sagu yang ditemukan ada yang murni dusun sagu dan ada juga dusun sagu campuran dengan tanaman lain atau pohon hutan lainnya (dusun sagu campuran). Hal ini dikarenakan dusun sagu murni yang sudah tidak terawat ditanami dengan tanaman lainnya seperti kakao (Theobroma cacao L), pinang, pisang (Musa sp) atau ditumbuhi pohon hutan. Banyak ditemukan di sekitar perkampungan di daerah Kehiran. Dusun sagu campuran ini menjadi awal permulaan konversi lahan sagu ke penggunaan lain. Tabel 17. Luas lahan tipe hutan sagu yang ada setiap hamparan Tipe
Harapan
Dusun Sagu Campuran Dusun Sagu Hutan Sagu Campuran Hutan Sagu Rawa Sagu Luas
Daerah Kehiran Maribu 604,4 0,0
247,3
777,5
48,1 14,9 136,1
4,3 251,6
942,7 42,8 2367,4
199,2
Sosiri
91,698
91,7
Luas Hektar Persen 604,4 20,8 1164,6 14,9
40,0 0,5
1078,8 47,1 2909,8
37,1 1,6 100,0
Hutan sagu alam hanya tersisa di daerah Kehiran dan Maribu sedangkan daerah Harapan dan Sosiri tidak ditemukan lagi. Walaupun sebelumnya daerah Harapan
dan
Sosiri
juga
mempunyai
hutan
sagu
alam
dikarenakan
meningkatnya jumlah penduduk yang memanfaatkan sagu dan terbatas luasan hutan sagu maka hutan sagu alam telah digantikan dengan hutan sagu budidaya (dusun sagu). Hutan sagu terluas terdapat di daerah Kehiran. Pada daerah Maribu ditemukan hutan sagu campuran dengan pohon hutan lainnya selain hutan sagu murni. Hutan sagu campuran ditemukan secara berangsur-angsur ke arah daerah yang semakin kering. Daerah yang kering populasi sagu semakin berkurang dikarena kecepatan tumbuhnya kalah dengan pohon hutan. Areal rawa sagu ditemukan sporadis pada pinggiran danau dan rawa permanen yang tidak kering sepanjang tahun dalam luasan yang sempit. Pada daerah Maribu tidak ditemukan rawa sagu. Secara keseluruhan areal tipe sagu yang paling luas ditemukan yakni dusun sagu dan yang paling sedikit luasnya yakni rawa sagu.
Gambar 16. Sebaran tipe sagu
57
58
Secara aktual, dusun sagu merupakan tipe areal sagu yang telah dibudidayakan dan menghasilkan pangan sagu walaupun teknik budidaya dari pembukaan lahan, pemeliharaan dan pemanenan masih sederhana.
Teknik
pembukaan areal dusun sagu baru umumnya dipilih dari areal hutan sagu yang dekat dengan dusun sagu yang telah ada dengan luas yang sempit (kurang dari 0,25 ha). Areal hutan sagu dibersihkan dengan cara membakar sagu saat musim kemarau hingga tidak ada lagi tanaman di atasnya. Setelah bersih, ditanami dengan anakan sagu yang berasal dari dusun sagu yang telah ada. jenis-jenis sagu yang ditanam beberapa jenis dan bercampur tanpa jarak tanam teratur. Pemeliharaan hanya berupa pembersihan daun-daun tua dan menanam kembali bekas tegakan yang telah dipanen dengan anakan baru (menyulam). Kondisi lingkungan sagu Wilayah sebaran sagu di lokasi penelitian dapat dikelompokkan ke dalam ekosistem rawa (swamp) dan hutan hujan lahan rendah (lowland rainforest), Bentuk lahan wilayah ini terdiri atas (1) rawa lahan rendah dan (2) dataran lahan rendah. Daerah Harapan meliputi ekosistem rawa belakang dan dataran banjir, terletak secara sporadis di pinggiran danau Sentani. Rawa belakang (backswamp) dan dataran banjir dengan lereng kurang dari 2 persen. Bahan induk tanah berasal dari aluvium dan vegetasi yang telah mati, dengan lapisan bahan organik yang mempunyai kematangan fibrik–hemik.
Bentuk wilayahnya datar
sampai agak datar, dengan drainase sangat terhambat. Tanah pada daerah ini terdiri atas tanah mineral, mineral bergambut dan gambut. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai Inceptisols dan Histosols. Inceptisols pada daerah ini mempunyai lapisan atas yang kaya akan bahan organik, berwarna hitam kecoklatan sampai coklat. Kedua ordo tanah ini berasosiasi dengan batas yang lebih jelas ke arah danau Sentani. Tanah Histosols dengan luasan meningkat cenderung terletak lebih dekat ke arah danau Sentani. Sagu tumbuh lebih baik pada tanah Inceptisols yang mempunyai drainase sangat terhambat dari pada tanah Histosols yang mengalami genangan dalam periode yang lama maupun permanen. Daerah Kehiran meliputi dataran aluvium berdrainase sangat terhambat, air tanah sangat dangkal.
Tanah mineral dan mineral bergambut berwarna
coklat terang ditemui pada areal ke arah danau Sentani. Tekstur liat berlempung
59
sampai pasir liat berdebu. Bentuk wilayahnya datar sampai agak datar. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai
Aquepts dan Humaquept. Aquepts adalah
Subordo dari Ordo Inceptisols yang mempunyai air tanah berada di dalam kedalaman 100 cm dari permukaan tanah. Humaquepts adalah Subordo dari ordo Inceptisols yang mempunyai horison histic. Tanah-tanah seperti ini relatif tidak subur. Daerah Sosiri meliputi ekosistem tanah mineral bergambut kearah danau Sentani, sedangkan ke arah perbukitan hanya terdiri atas tanah mineral berdrainase sangat terhambat sampai agak terhambat. Tekstur tanah sangat beragam mulai dari liat berlempung, lempung liat berpasir sampai lempung. Bahan induk tanah berasal dari aluvium dan vegetasi yang telah mati, dengan lapisan bahan organik yang mempunyai kematangan fibrik–hemik.
Bentuk
wilayahnya datar sampai agak datar. Asosiasi antara Aquept dan Hemist berangsur-angsur ditemui pada areal pengamatan ke arah danau. Inceptisols pada kawasan ini mempunyai lapisan atas yang kaya akan bahan organik, berwarna coklat tua. Sagu tumbuh lebih baik pada tanah Aquepts yang mempunyai drainase sangat terhambat atau tidak mengalami genangan permanen. Daerah Maribu meliputi ekosistem rawa semi permanen ditemui pada cekungan-cekungan dengan luasan sempit di antara tanah mineral.
Tekstur
lempung, liat berlempung, lempung liat berpasir, lempung berpasir sampai pasir. Bahan induk tanah berasal dari aluvium dan vegetasi hutan sagu, pandanus dan vegetasi hutan campuran yang belum terdekomposisi sempurna dan mempunyai kematangan fibrik–hemik. Bentuk wilayahnya datar sampai agak datar, dengan drainase sangat terhambat sampai baik. Air tanah ditemui pada kedalam 10 cm50 cm dari permukaan. Tanah pada daerah ini terdiri atas tanah mineral, mineral bergambut dan gambut. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai Entisols, Inceptisols dan Histosols yang berasosiasi pada luasan yang sempit. Tanah lapisan atas berwarna hitam sampai coklat kemerahan. Tegakan sagu Secara alami, semua fase pertumbuhan tipe tegakan sagu (semaian, tiang, pohon dan pohon siap panen) ditemukan pada semua tipe areal sagu di setiap sebaran sagu kecuali rawa sagu. Pada rawa sagu hanya ada semai dan tiang sedangkan fase batang gagal terbentuk. Fase batang gagal terbentuk
60
dikarenakan sagu tumbuh di lahan yang tergenang permanen. Menurut Flach (1977, 1983) dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) apabila genangan merendam akar nafas terus menerus, pertumbuhan sagu terhambat dan dengan sendirinya akan menghambat pembentukan karbohidrat berupa pati dalam pokok batangnya. Terkadang ditemukan tegakan pada dusun sagu hanya semai dan tiang sedangkan pohon (termasuk pohon siap panen) sudah tidak ada lagi. Tegakan siap panen termasuk tegakan pohon yang belum siap panen tersebut telah ditebangi untuk diambil patinya (dipanen) karena lahan dusun sagu tersebut telah dijual. Kondisi rumpun paling padat ditemukan pada areal tipe hutan sagu dibandingkan areal tipe sagu lainnya dikarenakan jenis sagu hutan mempunyai banyak anakan dibandingkan jenis sagu lainnya. Rumpun paling sedikit ditemukan pada tipe areal dusun sagu campuran dan hutan sagu campuran. Dusun sagu yang tidak dirawat atau segaja ditanami tanaman budidaya didalamnya, menyebabkan tanaman sagu ternaungi dari sinar matahari. Demikian pula dengan hutan sagu campuran yang berada dilahan kering menyebabkan banyak pepohonan hutan lainya tumbuh. Menurut Flach dan Scuiling (1986) dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992), tanaman sagu memerlukan sinar matahari banyak atau tidak tahan naungan sehingga pertumbuhannya kalah bersaing dalam memperoleh sinar matahari dengan tanaman lainya. Dari berbagai tipe areal sagu yang ditemukan hanya tipe dusun sagu saja yang telah dibudidaya dan menghasilkan pangan sedangkan tipe lainnya tidak umum dimanfaatkan. Oleh karnanya, pengamatan potensi tegakan
dan
kerapatan hanya pada areal dusun sagu. Hasil pengamatan potensi tegakan dan kerapatan di dusun sagu setiap sebaran sagu disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Jumlah siap panen dan kerapatan di daerah sagu Daerah
Jumlah siap panen (Tegakan/ha)
Kerapatan (rumpun/ha)
Harapan Kehiran Sosiri Maribu
89 133 89 133
356 711 444 1333
Tabel 18 menunjukkan bahwa semua sebaran mempunyai jumlah tegakan siap panen tergolong tinggi dibandingkan sagu budidaya umumnya 80 pohon/ha/tahun. Hal ini dikarenakan sagu yang ada di lokasi penelitian tidak
61
ditanam menggunakan jarak tanam sehingga tidak teratur dan rapat. Jumlah tegakan siap panen tertinggi pada daerah Kehiran serta Maribu. Untuk kerapatan rumpun tertinggi hanya pada daerah Maribu. Jika membandingkan jumlah siap panen terhadap kerapatan rumpun maka produktifitas tertinggi pada daerah Kehiran dengan jumlah 133 tegakan siap panen pada kerapatan 711 rumpun. Jenis Sagu Jenis sagu yang dikenal oleh masyarakat berdasarkan ciri morfologi yang ada pada bagian tanaman sagu. Informasi tentang jenis sagu diperoleh lebih banyak dari wawancara sedangkan pada saat pengamatan sagu (survei lapang) tidak semua jenis yang diketahui masyarakat setempat ditemui. Keragaman jenis sagu antar kampung di dalam sebaran sagu sama jumlah jenisnya dikarenakan antar penduduk sering tukar menukar anakan sagu seperti
saat acara adat
pernikahan. Pertukaran anakan sagu antar penduduk menyebabkan jumlah jenis yang ditemui tiap kampung bahkan sama di dalam daerah sebaran. Perbedaan jumlah jenis sagu hanya antar daerah seperti disajikan Tabel 19. Tabel 19. Jenis-jenis sagu di sebaran sagu Daerah
Jenis Sagu
Harapan
7 jenis (Mambo, Layar, Super, Yamaha, Rondo, Mano (Sagu Hutan) 18 jenis (Osoghulu, Ebesung, Yebha, Follo, Wanni, Yaghalobe, Ruruna, Hobolo, Phui, Fikhela, Rondo, Yakhali, Yoghuleng, Manno, Hili, Habela, phane,phara )* 12 jenis (Yeba, Bata, Para, Wani, Ojokuru, Nandea, Dondo, Ebenuksun, Yohari, Wakenoko, Manimo (sagu hutan), Denah) 16 jenis (Kutusaipren, Kutuprup, Wani, Njam, Bakroy, Njamkut, Dasiabu, Dimisba, Wami 2, Marangkra, Yekrum, Srom, Dano, Emperi, Mamakutu, Dundu.)
Kehiran
Sosiri Maribu
*) Hasil survei; Miftahorochman dan Novirianto (2003) Keragaman jenis-jenis sagu hanya pada areal dusun sagu sedangkan pada areal rawa sagu, hutan sagu alam dan hutan sagu campuran hanya ada satu jenis saja yakni sagu hutan atau dikenal dengan nama sagu mano (manino). Berdasarkan tabel di atas, jenis sagu yang paling beragam terdapat
pada
daerah Kehiran (18 jenis) sedangkan keragaman jenis pada daerah Harapan yang paling sedikit (7 jenis). Jenis sagu yang ditemukan saat survei dan wawancara
hanya 8 jenis dikarenakan responden yang diwawancara tidak
62
mengetahui secara pasti semua jenis sagu yang ada diakui masih ada jenis yang tidak diketahuinya. Oleh karenanya, jenis sagu pada daerah Kehiran disesuaikan dengan hasil penelitian Miftahorochman dan Novirianto (2003). Nama-nama jenis sagu tiap daerah sebaran sagu tampak terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut lebih banyak karena bahasa/dialek bahasa yang berbeda walaupun sebenarnya jenis sagu tersebut sama jenisnya seperti penyebutan jenis dondo di daerah Sosiri, pada daerah Maribu disebut dundu sedangkan di daerah Kehiran dan daerah Harapan disebut rondo. Selain perbedaan bahasa dan dialek, tingkat pemahaman untuk membedakan jenis sagu antar daerah berbeda-beda. Misalnya masyarakat di daerah Sosiri membedakan lagi jenis wani menjadi wani dan wani 2. Pemanfaatan Hutan Sagu Pemanfaatan hutan sagu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal di areal sagu adalah sama yakni untuk kebutuhan hidup (pangan dan papan), tempat berburu hewan dan ikan serta bagian dari mas kawin untuk pernikahan. Dusun sagu merupakan tipe sagu yang paling banyak dimanfaatkan terutama sebagai sumber pangan selain sumber bahan bangunan rumah (pelepah dan kulit sagu), tempat berburu hewan dan ikan serta bagian dari mas kawin untuk pernikahan. Hutan sagu tidak diambil pati sagunya hanya sebagai tempat untuk mencari ulat sagu dan memasang jerat untuk berburu hewan (terutama babi). Rawa sagu kadangkala dimanfaatkan sebagai tempat mencari ikan atau buaya. Perbedaan hanya pada intensitas pemanfaatannya saja. Jenis pemanfaatan hutan sagu untuk pangan dan papan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Pemanfaatan sagu Kegunaan
Pemanfaatan Pati sagu
Olahan makan (papeda/kapurung, sagu bakar)
Ulat sagu
Sumber lauk
Jamur sagu
Sumber sayuran
Daun
Atap
Kulit Pelepah
Lantai / Dinding rumah - Tali jahit atap - Tempat meremas sagu - Dinding rumah dan pagar
63
Semua jenis sagu dapat diambil sebagai sumber bahan makanan, kecuali jenis Mano atau Manino (jenis sagu hutan) karena tidak umum dikonsumsi dan hasil patinya sedikit. Diantara jenis sagu sebagai sumber makanan tiap-tiap masyarakat ada jenis yang sangat disukai. Sebagai contoh, masyarakat Sosiri menyukai jenis Yeba dan Para karena warnanya putih dan produktifitasnya tinggi. Untuk masyarakat Maribu lebih menyukai jenis sagu Kutusaipren, Kutuprup, Wani dan Njam. Sebagai sumber bahan makanan karbohidrat, sagu umumnya dijadikan sebagai makanan pokok yang diolah sebagai papeda (kapurung). Selain itu, dari tepung sagu dapat dibuat bahan makanan lain, seperti porno (sagu bakar), kue-kue kering, ongol-ongol, dan lain-lain. Selain empulurnya, dari sagu dapat juga diambil ulat sagu. Ulat sagu adalah organisme hidup yang terdapat pada batang sagu yang telah mati. Umumnya masyarakat mengambil ulat sagu ini dari batang yang tidak diambil pati (tidak dipanen). Ulat sagu ini dimakan karena enak rasanya dan mengandung protein tinggi. Sebagai sumber makanan dari sagu adalah jamur sagu. Jamur sagu diambil dari tempat ampas sagu berada. Untuk
bahan
bangunan, tidak semua jenis sagu bagian-bagian tanaman dapat digunakan sebagai bahan rumah dengan baik. Sebagai contoh, daun sagu jenis Denah (Sosiri) lebih disukai untuk atap karena lebih awet dan lebar. Kulit sagu jenis Wani pada kawasan Sosiri sangat baik untuk dinding atau lantai karena kuat. Sebagai sumber bahan makanan, bagian tanaman sagu yang diambil adalah batangnya yaitu bagian empelurnya. Manfaat lain dari sagu adalah sebagai sumber pendapatan. Sebagai sumber pandapatan, sagu diambil tepungnya kemudian dijual di pasar. Untuk ini tepung ditempatkan dalam karung yang dahulu menggunakan daun sagu yang diayam disebut tumang. Selain dijual di pasar, adakalanya orang atau pedagang memesan langsung ke rumah-rumah. Satu karung (beras 20 kg) tepung sagu dijual seharga Rp. 300.000.-. Tidak setiap waktu secara periodik orang menjual tepung sagu. Memanen sagu untuk di jual, hanya pada saat membutuhkan biaya untuk rumah tangga atau pendidikan anak. Masyarakat Sentani umumnya harus menggunakan sagu untuk acara acara adat. Pertemuan-pertemuan adat, ibadah orang meninggal, syukuran, pernikahan, mas kawin salah satu makanan/bahan makanan adalah sagu. Hal ini menunjukkan sagu merupakan simbol legalitas untuk acara-acara adat.
64
Dari hasil wawancara didapatkan tingkat pemanfaatan masing-masing kampung di tiap daerah sebaran sagu berdasarkan kriteria pemanfaatan hutan sagu. Tingkat pemanfaatan masing-masing kampung di tiap daerah sebaran sagu disajikan pada Tabel 21 Gambar 17. Tabel 21 menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sangat rendah tidak ditemukan. Ini berarti semua kampung yang berada di daerah sebaran sagu di lokasi
penelitian
memanfaatkan
hutan
sagu.
Kecenderungan
tingkat
pemanfaatan hutan sagu oleh penduduk semakin berkurang dengan semakin dekatnya letak kampung dengan pusat kota (Sentani).
Kampung di daerah
Harapan dan Kehiran yang letaknya paling dekat dengan pusat kota masih ditemukan intensitas pemanfaatan hutan sagu masih tinggi hingga sangat tinggi. Hal ini dikarenakan aksesibilitas kampung-kampung tersebut untuk menuju pusat kota harus menyeberang danau hingga perlu biaya yang lebih mahal.
Oleh
karenanya kampung-kampung tersebut masih sangat tergantung pada hutan sagu. Kampung Panjang Rejo pada daerah Maribu tingkat pemanfaatan rendah dikarenakan daerah ini merupakan eks transmigran sehingga hanya sebagian besar penduduknya berasal dari luar papua (Pulau Jawa) yang tidak memanfaatkan hutan sagu. Tabel 21. Tingkat pemanfaatan hutan sagu No
Daerah sebaran sagu
- Kampung Asei Kecil - Kampung Asei Besar - Kampung Nendali - Kampung Sentani Kota - Kampung Ifar Besar - Kampung Dobonsolo - Kampung Ifale - Kampung Yoboy - Kampung Kwadeware - Kampung Doyo Lama - Kampung Doyo Baru - Kampung Donday - Kampung Babrongko - Kampung Imporo
Tingkat pemanfaatan Menengah Sangat Tinggi Rendah Rendah Tinggi Rendah Menengah Sangat Tinggi Tinggi Menengah Rendah Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi
Kampung
1
Harapan
2
Kehiran
3
Sosiri
- Kampung Sosiri
Sangat Tinggi
4
Maribu
- Kampung Maribu - Kampung Panjang Rejo
Sangat Tinggi Rendah
Gambar 17. Tingkat pemanfaatan lahan sagu
65
66
Kebutuhan Lahan Sagu Untuk Pangan Perlindungan
Lahan
Pertanian
Pangan
Berkelanjutan
dilakukan
berdasarkan perencanaan. Perencanaan kebutuhan lahan pertanian pangan berkelanjutan didasarkan pada pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk, pertumbuhan produktivitas serta kebutuhan pangan nasional. Jumlah penduduk
yang meningkat akan diiringi dengan peningkatan
kebutuhan luasan lahan sagu untuk memenuhi kebutuhan pangan termasuk pangan sagu. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Jayapura 10 tahun terakhir adalah 4,16 persen per tahun (BPS, 2010). Sejauh ini tidak ada program khusus dari pemerintah Kabupaten Jayapura yang ditunjukkan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk yang meningkat akan diiringi dengan peningkatan kebutuhan konsumsi sagu. Kebutuhan konsumsi sagu
dibuat dua skenario yakni skenario 1,
konsumsi aktual sagu rata-rata naik 1,27 persen per tahun berdasarkan Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 2008 dan skenario 2 berdasarkan standar Pola Pangan Harapan (PPH) yakni 15,11 kg/kapita/tahun. Konsumsi ideal sagu pada penetapan PPH sangat kecil dibandingkan
beras
mencapai
bagian dari umbi-umbian 50
persen.
Hal
ini
hanya 6 persen menyebabkan
ada
kecenderungan usaha penurunkan konsumsi sagu aktual yang masih tinggi (17,95
kg/kapita/tahun)
dari
standar
ketersediaannya
menjadi
15,11
kg/kapita/tahun. Penetapan PPH bersifat nasional tanpa melihat keragaman pangan tiap daerah. Oleh karenanya pemerintah belum mempunyai kebijakan untuk meningkatkan konsumsi sagu karena masih dianggap tinggi jika dibandingkan dengan konsumsi ideal bahkan cenderung menurunkan konsumsi hingga mencapai konsumsi ideal PPH. Data produktifitas sagu
diperoleh dari hasil wawancara dengan cara
menghitung kemampuan petani sagu di lokasi penelitian untuk memanen sagu. Tiap pohon rata-rata diperoleh 184 kg tepung sagu dan tiap hektar rata-rata dapat dipanen 48 pohon/ha/tahun maka dari setiap hektar akan diperoleh 8,8 ton tepung sagu/ha/tahun.
Kebutuhan luas lahan sagu hingga tahun 2030
berdasarkan jumlah penduduk di lokasi penelitian dan kontribusinya untuk tingkat lebih tinggi tersaji pada Tabel 22 dan Gambar 18.
67
Tabel 22. Proyeksi kebutuhan luasan sagu di lokasi penelitian Tahun ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kebutuhan luas Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
Surplus Lahan
*) Skenario 1 (ha)
*) Skenario 2 (ha)
*) Skenario 1 (ha)
*) Skenario 2 (ha)
152,2 160,5 169,3 178,6 188,4 198,7 209,6 221,1 233,2 246,0 259,5 273,7 288,7 304,5 321,2 338,9 357,4 377,0 397,7 419,5
123,3 128,5 133,8 139,4 145,2 151,2 157,5 164,0 170,9 178,0 185,4 193,1 201,1 209,5 218,2 227,3 236,7 246,6 256,8 267,5
1012,4 1004,1 995,3 986,0 976,2 965,9 955,0 943,5 931,4 918,6 905,1 890,9 875,9 860,1 843,4 825,7 807,2 787,6 766,9 745,1
1041,3 1036,1 1030,8 1025,2 1019,4 1013,4 1007,1 1000,6 993,7 986,6 979,2 971,5 963,5 955,1 946,4 937,3 927,9 918,0 907,8 897,1
Kecukupan lahan sagu di suatu wilayah dapat diketahui dengan memperbandingkan
ketersediaan lahan sagu dan kebutuhannya. Lahan yang
menghasilkan sagu (dusun sagu) di lokasi penelitian
luas 1.164,6 hektar.
Luasan dusun sagu yang digunakan adalah luas dusun sagu aktual yang ada di lokasi penelitian dan belum melihat arahan pemanfaatan ruang pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada (peruntukan untuk hutan lindung, sempadan danau dan kawasan budidaya). Kebutuhan untuk lahan sagu untuk memenuhi konsumsi sagu saja berdasarkan jumlah penduduk di lokasi penelitian hingga 20 tahun akan datang berdasarkan skenario 1 dan skenario 2 masing-masing 419,5 ha dan 267,5 ha.
68
Gambar 18. Proyeksi kebutuhan luasan sagu Secara umum kebutuhan sagu untuk konsumsi saja berdasarkan luas lahan sagu yang menghasilkan (dusun sagu) masih tercukupi. Jika dibandingkan luas lahan yang menghasilkan sagu dengan kebutuhan lahan, hanya terpakai 36,0 persen untuk konsumsi aktual dan 23,0 persen untuk konsumsi ideal (PPH) hingga 2030 untuk penduduk di lokasi penelitian.
Masih terdapat kelebihan
lahan seluas 745,1 ha dari sisa lahan untuk konsumsi aktual dan 897,1 ha dari sisa lahan untuk konsumsi aktual. Kelebihan luasan sagu yang ada setelah mencukupi kebutuhan lahan sagu di daerah penelitian dapat digunakan untuk kontribusi kebutuhan pangan sagu daerah di tingkat lebih tinggi. Kelebihan lahan sagu dapat digunakan untuk kontribusi pangan sagu di tingkat Kabupaten Jayapura. Kontribusi kebutuhan lahan sagu untuk Kabupaten Jayapura dihitung menggunakan data konsumsi kebutuhan pangan dan asumsi produktifitas sagu seperti pada tingkat lokasi penelitian. Berdasarkan data BPS Jumlah penduduk Kabupaten Jayapura hingga tahun 2010 mencapai 118.715 jiwa dengan laju rata-rata 4,16 persen dari tahun 2000 hingga 2009. Proyeksi penduduk Kabupaten Jayapura hingga tahun 2030 mencapai 279.400 jiwa sehingga kebutuhan luas lahan sagu 752,3 ha untuk skenario 1 dan 479,7 ha untuk skenario 2 (Tabel 23 dan Gambar 19). Kontribusi yang dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu di tingkat
69
Kabupaten Jayapura masih mencukupi bahkan masih ada surplus lahan 412,3 ha (35,4 persen) untuk skenario 1 dan 684,9 ha (58,8 persen) untuk skenario 2. Tabel 23. Proyeksi kebutuhan luasan sagu Kabupaten Jayapura No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
Kebutuhan luas *) Skenario 1 *) Skenario 2 (ha) (ha) 258,7 212,3 272,9 221,2 287,8 230,4 303,6 239,9 320,2 249,9 337,8 260,3 356,3 271,1 375,9 282,4 396,5 294,2 418,2 306,4 441,1 319,2 465,3 332,4 490,8 346,3 517,7 360,7 546,1 375,7 576,1 391,3 607,7 407,6 641,0 424,5 676,1 442,2 713,2 460,6
Surplus Lahan *) Skenario 1 *) Skenario 2 (ha) (ha) 905,9 952,3 891,7 943,4 876,8 934,2 861,0 924,7 844,4 914,7 826,8 904,3 808,3 893,5 788,7 882,2 768,1 870,4 746,4 858,2 723,5 845,4 699,3 832,2 673,8 818,3 646,9 803,9 618,5 788,9 588,5 773,3 556,9 757,0 523,6 740,1 488,5 722,4 451,4 704,0
Gambar 19. Proyeksi kebutuhan luasan sagu di Kabupaten Jayapura
70
Surplus lahan yang masih ada setelah dihitung untuk kebutuhan pangan sagu di lokasi penelitian dan ditingkat Kabupaten Jayapura dapat digunakan untuk memasok kebutuhan pangan sagu di kabupaten lain di Propinsi Papua yang tidak memiliki lahan sagu. Kabupaten yang berada di dataran tinggi Papua tidak memiliki lahan sagu dan
tidak sesuai untuk budidaya sagu seperti
Kabupaten Wamena, Puncak Jaya, dan Lani Jaya. Kabupaten-kabupaten ini potensial untuk dijadikan tempat untuk memasarkan kelebihan produksi tepung sagu dari surplus lahan yang ada. Kelebihan tepung sagu tersebut juga dapat dimanfaatkan (dijual) untuk kebutuhan industri selain untuk memenuhi kebutuhan pangan, sehingga nantinya sagu dapat disajikan sebagai sumber penghasilan. Untuk meningkatkan kontribusi
kebutuhan pangan sagu ditingkat
Propinsi Papua perlu dilakukan intensifikasi untuk meningkatkan produktifitas. Asumsi produktifitas yang digunakan pada proyeksi ini 8,8 ton/ha/tahun masih sangat mungkin ditingkatkan menjadi 30 ton/ha/tahun bahkan lebih tinggi lagi jika dilakukan teknik budidaya sagu dengan baik dengan tetap memperhatikan daya dukung lahan. Salah satu cara intensifikasi yakni penanaman jenis sagu unggul yang menghasilkan pati tinggi. Jenis unggul lokal dapat digunakan seperti yang dilaporkan Saitoh et al. (2003), dalam Bintoro (2008) bahwa sagu unggul di Sentani mengandung pati kering seberat 838 kg/pohon dan Yamamoto melaporkan adanya sagu unggul juga di Sentani yang mengandung 947 kg pati kering/pohon. Kebutuhan luasan sagu untuk konsumsi sagu di atas akan berkurang jika tidak ada kebijakan pemerintah kabupaten jayapura untuk meningkatkan jumlah konsumsi sagu dimasyarakat, karena ada kecenderungan konsumsi sagu semakin menurun setiap tahunnya yang beralih ke beras. Seperti yang dilaporkan Hutapea (2003) bahwa konsumsi sagu di Papua berkurang dari 126 kg/kapita/tahun pada 1994 menjadi 95,53 kg/kapita/tahun pada 1997. Salah satu penyebabnya adalah kesan inferior yang melekat pada sagu dan program beras murah untuk rakyat miskin (raskin). Untuk itu perlu upaya mengubah bahan pangan sagu menjadi makanan yang popular dan mengganti beras murah menjadi pangan murah. Demikian pula dengan produktifitas sagu jika ditingkatkan dari asumsi yang dibuat akan mengurangi luas sagu yang dibutuhkan. Konversi lahan potensial sagu ke penggunaan lain sangat mudah terjadi karena lahan potensial sagu merupakan lahan datar yang mempunyai daya jual
71
tinggi dibandingkan lahan tidak datar. Perlu adanya pengawasan lahan-lahan potensial sagu sehingga tetap terjaga penggunaannya. Perhitungan proyeksi kebutuhan lahan sagu di atas mempunyai beberapa kekurangan karena asumsi yang digunakan dan keterbatasan memperoleh data yang valid. Data luasan sagu yang digunakan adalah data luasan lahan dusun sagu berupa hamparan. Kenyataanya luasan dusun sagu yang ada di lokasi penelitian lebih luas. Lahan-lahan dusun sagu atau yang bercampur dengan vegetasi (dusun sagu campuran) yang sempit hanya terdapat beberapa rumpun sagu lain tidak dihitung karena kesulitan mendelineasi secara visual disebabkan keterbatasan mata merinci warna. Asumsi luas lahan yang digunakan dalam proyeksi kebutuhan lahan sagu hanya lahan dusun sagu. Padahal lahan yang berproduksi menghasilkan sagu selain dusun sagu adalah dusun sagu campuran. Walaupun terdapat sagu dan dimanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu namun secara bertahap dusun sagu campuran akan berubah menjadi lahan pertanian lain karena ditanami komoditas yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi (seperti tanaman kakao) pada saat ini sehingga tidak dipilih dalam penentuan luasan LP2B. Oleh karenanya, dusun sagu campuran tidak dimasukkan dalam menghitung kebutuhan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Data konsumsi aktual sagu yang digunakan diperoleh dari laporan Neraca Bahan Makanan (NBM). merupakan hasil perbandingan produksi sagu dengan jumlah penduduk. Data yang digunakan hanya menggambarkan konsumsi
rata-rata
penduduk
seluruh
Kabupaten
Jayapura,
tidak
menggambarkan pola konsumsi sagu masyarakat yang sebenarnya. Tidak adanya data jumlah penduduk berdasarkan suku dan data produksi sagu di setiap distrik di Kabupaten Jayapura sehingga sulit menghitung konsumsi aktual sagu. Padahal tidak semua penduduk di Kabupaten Jayapura mengkonsumsi sagu. Penduduk di Kabupaten Jayapura terdiri dari penduduk asli (Papua) dan penduduk pendatang (luar Papua). Kebanyakan yang mengkonsumsi pangan sagu sehari-hari hanyalah penduduk asli Sentani dan penduduk asli lainya yang berasal dari pesisir Papua. Penduduk yang berasal dari luar Papua dan penduduk asli papua dari daerah pengunungan tidak dominan mengkonsumsi sagu. Data produksi sagu yang tercatat dalam NBM hanya data sagu yang dijual di pasar sedangkan produksi sagu yang langsung dikonsumsi tidak dihitung.
72
Oleh karenanya data konsumsi sehari-hari
sagu pada penduduk asli Papua
masih lebih tinggi lagi dari pada data komsumsi aktual di NBM.
Arahan Pengembangan Lahan Pertanian Sagu Arahan pengembangan lahan pertanian sagu memberi informasi lokasi ketersediaan
lahan
sagu
yang
sesuai
berdasarkan
aspek fisik
untuk
pengembangan pertanian pangan sagu didasarkan pada kesesuaian lahan, rencana pemanfaatan/penggunaan ruang (RTRW) dan penggunaan saat ini. Kesesuaian lahan untuk sagu diperlukan untuk mendapatkan lahan-lahan potensial yang sesuai untuk sagu selain lahan yang telah ada tanaman sagunya (lahan aktual sagu). Kesesuaian lahan tersebut dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) dan belum mempertimbangkan tingkat pengelolaan serta faktor penghambat berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman sagu. Standar penilaian kesesuaian untuk tanaman sagu hingga saat ini belum tersedia sehingga pendekatan yang dilakukan berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang tempat tumbuh sagu alam. Kriteria yang dihasilkan untuk penilaian kesesuaian lahan sagu diklasifikasikan menjadi sesuai dan tidak sesuai karena terbatasnya data atau informasi tentang penilaian. Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992)
mengusulkan dalam
pengharkatan lahan sagu menggunakan dua kriteria pembeda harkat yaitu tegakan dan sifat-sifat lahan. Sifat-sifat lahan sagu terdiri dari sifat-sifat tanah dan perilaku hidrologi lahan tempat tumbuh sagu. Lebih lanjut menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) tanaman sagu berupa hamparan tumbuh ditempat datar hingga ketinggian 700 m dpl namun idealnya kurang dari 400 m dpl. Sagu tumbuh di antara tanah-tanah mineral dan gambut yang berada di dataran rawa, pasang surut, dataran banjir, cekungan dan lembah sungai yang terpenting dari tanah adalah kedalaman air tanah kurang dari 100 cm atau tidak tergenang permanen. Hasil pengecekan lapang diperoleh bahwa sebaran sagu ditemukan hingga pada lahan berlereng 15 %. Hal tersebut diperoleh setelah menumpangsusunkan sebaran sagu dengan peta lereng dari dibuat dari citra Aster Gdem. Sebenarnya sagu tidak tumbuh pada lereng 15 % dikarenakan menggunakan peta lereng dari Aster Gdem yang kurang detail untuk maka lereng yang ada adalah lereng global. Pada lereng global tersebut, secara mikro
73
(lebih detail) terdapat tempat-tempat datar dengan lereng kurang dari 2 % sehingga memungkinkan sagu tumbuh. Berdasarkan sifat tempat tumbuh sagu tersebut di atas dilakukan pencarian tempat-tempat yang sama dengan tempat tumbuh sagu alam dengan mengtumpangtindihkan peta kemiringan lereng, kontur, dan kedalaman air tanah dengan model SIG. Hasil penilaian kesesuian lahan sagu diperoleh lahan yang sesuai untuk sagu sebesar 10,9 persen dari luas lokasi penelitian atau seluas 11.967,5 ha termasuk lahan bervegetasi sagu. Untuk mengetahui peruntukan lahan sesuai sagu pada rencana tataruang Kabupaten Jayapura (RTRW Kabupaten Jayapura), peta kesesuaian lahan untuk sagu tersebut ditumpangtindihkan dengan peta rencana tata ruang
(RTRW)
Kabupaten Jayapura. Hasil tumpangtindih peta kesesuaian lahan sagu dan peta RTRW diperoleh bahwa lahan sesuai untuk sagu berada kawasan lindung 523,1 ha (4,4 %) dan kawasan budidaya 11.422,0 ha (95,6 %). Melihat besarnya luas lahan yang ada di kawasan budidaya dan melebihi dari kebutuhan lahan sagu untuk
pangan
yang
telah
diproyeksikan
maka
pemilihan
lahan
untuk
pengembangan sagu cukup pada kawasan budidaya. Hal tersebut juga mempermudah untuk menambahkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan dalam
RTRW nantinya. Setelah dikurangi dengan kawasan budidaya non
pertanian dan kawasan lindung diperoleh lahan sesuai yang berada di kawasan budidaya pertanian seluas 9.223,8 ha. Untuk mengetahui ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk penggunaanya pada kawasan budidaya pertanian perlu tumpangtindih lagi dengan peta penggunaan lahannya. Hasil tumpangtindih peta
lahan arahan pemanfaatan sesuai tutupan/penggunaan lahan pada
kawasan budidaya tersaji pada Tabel 24 dan Gambar 20. Tabel 24. Luas lahan berdasarkan tutupan/penggunaan lahan pada kawasan budidaya Penggunaan lahan Hutan Lahan pertanian Lahan Terbangun Lahan Terbuka Sagu Semak Luas (ha)
Kawasan budidaya Campuran Hutan Budidaya 20,2 246,0 3819,1 1425,3 645,2 115,4 288,0 51,4 2219,4 263,4 129,8 0,6 7121,7 2102,1
Luas (ha) 266,2 5244,4 760,6 339,4 2482,8 130,4 9223,8
74
Gambar 20. Arahan pemanfaatan untuk sagu
75
Dari Tabel di atas diketahui bahwa tutupan/pengunaan saat ini lahan sesuai sagu yang berada di kawasan budidaya pertanian terdiri dari hutan, lahan pertanian, lahan terbuka, lahan terbangun, semak dan sagu. Lahan terbangun merupakan lahan yang tidak lahan tersedia sehingga perlu dikeluarkan dalam menghitung lahan tersedia. Setelah dikurangi lahan terbangun diperoleh lahan tersedia yang dapat dimanfaatkan untuk sagu seluas 8.463,2 ha. Lahan pertanian merupakan
penggunaan lahan pada terluas sedangkan tutupan
berupa semak paling sedikit dari lahan tersedia. Lahan terbangun yang ada di kawasan budidaya pertanian seharusnya tidak ada. Adanya lahan terbangun pada kawasan budidaya pertanian menunjukkan penyimpangan rencana pemanfaatan ruang (inkonsistensi). Hal ini jika tidak dikendalikan atau dilakukan pengawasan akan semakin banyak lahan tersedia untuk sagu berubah penggunaanya menjadi lahan terbangun sehingga semakin mengurangi keberadaan lahan tersedia untuk sagu. Penggunaan lahan berupa lahan terbangun tidak mungkin (sulit) berubah menjadi lahan pertanian lagi. Pemanfaatan awal lahan sesuai arahan pengembangan sagu lebih baik memilih lahan yang sudah ada vegetasi sagu, terutama pada lahan sagu yang telah dikelola oleh masyarakat untuk dikembangkan dengan intensifikasi. Selebihnya digunakan untuk perluasan lahan sagu
(ekstensifikasi) nantinya.
Dalam upaya menjaga keberadaan lahan arahan tersebut dari penggunaan lain terutama lahan terbangun perlu adanya tindak lanjut setelah perencanaan dan penetapan lahan sagu menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Tindak lanjut yang diamanat pada ruang lingkup undang-undang ini yakni pembinaan, pengendalian, pengawasan dan peran serta masyarakat. Salahsatu cara mengendalikan perubahan penggunaan lahan sagu dengan melibatkan masyarakat adat. Hal ini karena masyarakat adat berpendapat bahwa tanah dan hutan dijaga oleh seseorang yang dianggap kramat dan memiliki kekuatan yakni kepala suku atau kepala adat. Oleh karenanya kepemilikan tanah dan hutan di Papua secara umum berupa komunal dan pribadi. Kepemilikan tanah adat komunal berdasarkan kepemilikan bersama dalam satu klen atau fam berupa hutan, sungai, atau tempat yang dikramatkan. Kepemilikan tanah pribadi didasarkan pada keluarga inti seperti tanah kebun (ladang) atau pekarangan. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang bersifat komunal diatur oleh seorang dituakan yakni kepala suku. Oleh karna itu
76
dalam aspek pembinaan dapat berupa pelibatan masyarakat adat terutama pelibatan tokoh adat dalam sosialisasi. Dalam perkembangannya, beberapa kepala suku yang menjual tanah komunal kepihak luar (pendatang) sehingga masyarakat adat sekarang lebih menghormati kepala suku yang mempunyai banyak harta. Harta yang banyak dilihat dari luas tanah, hutan, ladang dan jumlah babi. Penekanan yang harus dilakukan terhadap pelestarian lahan sagu yaitu dengan menjadikan norma adat dan tradisi budaya masyarakat adat sebagai muatan dalam peraturan daerah dalam penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan nantinya. Identifikasi dan pemetaan LP2B Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Perencanaan kawasan LP2B diharapkan dari lahan sagu yang telah ada menghasilkan pangan sagu. Dari tipe sebaran sagu, lahan dusun sagu merupakan lahan pangan sagu yang telah berproduksi secara aktual. Untuk itu, dalam menentukan LP2B dipilih sebaran sagu yang bertipe dusun sagu. Dusun sagu merupakan hutan sagu yang telah ada kegiatan budidaya dan telah dimanfaatkan untuk menghasilkan produksi pangan sagu. Dusun sagu juga yang dipilih karena memiliki jenis sagu yang paling beragam dan produktifitas paling tinggi sehingga dengan menetapkannya menjadi LP2B maka secara langsung menjaga keragaman plasma dan memberdayakan petani sagu yang telah ada. lahan bervegetasi sagu diketahui tipe dusun seluas 1164,6 hektar atau 40,0 persen dari
luas
lahan bervegetasi sagu. Lahan dusun sagu tersebut ada berada di kawasan lindung dan kawasan budidaya sedangkan Lahan yang akan diusulkan untuk perencanaan LP2B berada di kawasan budidaya. Oleh karena itu, lahan dusun sagu yang akan dipilih menjadi LP2B hanya yang berada di kawasan budidaya khususnya budidaya pertanian. Hasil tumpangsusun peta tipe dusun sagu dengan peta ketersediaan lahan diperoleh dusun sagu yang berada di kawasan budidaya dan campuran yang akan dipilih menjadi LP2B seluas 950,1 ha atau 81,6 persen dari dusun sagu yang ada. Penetapan LP2B berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk, produktifitas dan tingkat konsumsi.
77
Oleh karenanya, berdasarkan hasil proyeksi diketahui bahwa kebutuhan lahan sagu untuk ditetapkan sebagai LP2B di Kabupaten Jayapura sesuai skenario yang telah dibuat seluas 590,2 hektar untuk konsumsi aktual (skenario 1) dan 173,6 hektar untuk konsumsi ideal (skenario 2). Dari luasan dusun sagu yang akan ditetapkan untuk LP2B ternyata lebih luas (950,1 ha) dari kebutuhannya (590,2 ha dan 173,6 ha) maka perlu dilakukan urutan prioritas penetapan dusun sagu yang akan ditetapkan menjadi LP2B. Urutan prioritas dilakukan dengan mempertimbangkan keragaman dari masing-masing dusun sagu yang ada. Keragaman yang dipertimbangankan meliputi produktivitas (rumpun dan pohon siap panen), jenis dan intensitas pemanfaatan. Produktivitas sagu digambarkan dengan jumlah rumpun dan pohon siap panen per hektar. Semakin tinggi jumlah rumpun dan pohon siap panen per hektar semakin tinggi pula produksi panennya. Diharapkan dusun sagu yang dipilih adalah dusun sagu yang mempunyai produktifitas yang tinggi sehingga dusun sagu yang terpilih adalah dusun sagu yang memiliki rumpun dan pohon siap panen terbanyak. Keragaman jenis mengambarkan banyaknya jenis sagu di setiap kawasan. Semakin banyak jenis sagu yang ditemukan semakin beragam plasma nutfah sagu yang ada. Diharapkan dusun sagu yang terpilih memiliki jumlah jenis sagu tinggi sehingga keragaman plasma nutfa sagu yang ada tetap terjaga. Intensitas pemanfaatan mengambarkan tingkat pemanfaatan masyarakat terhadap hutan sagu dari paling tinggi hingga tidak dimanfaatkan. Urutan prioritas yang dipilih terlebih dahulu untuk menjadi lahan LP2B berturut-turut adalah sangat
tinggi hingga sangat rendah. Hal ini dikarenakan lahan-lahan
yang pemanfaatannya masih tinggi berarti pemilik lahan memiliki mata pencaharian sebagai petani sagu sehingga lebih mudah dilakukan pembinaan nantinya. Selain itu, lahan sagu yang masih tinggi pemanfaatannya tidak akan mudah terkonversi ke penggunaan lain (dijual) dikarenakan ketergantungan penduduk masih tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masing-masing keragaman di atas ditumpangsusunkan sesuai skor dan bobot yang telah dibuat sebelumnya sehingga memperoleh total bobot. Hasil tumpang susun berdasarkan total bobot pada masing-masing kampung tersaji pada Tabel 25 dan Gambar 21. Berdasarkan hasil peringkat total bobot diperoleh urutan prioritas lahan-lahan sagu untuk usulan pengembangan menjadi LP2B. Lahan-lahan sagu yang mempunyai bobot tertinggi (0,79) umumnya berada di
78
pinggiran danau sentani yang cukup jauh dari pusat pemerintahan sehingga tidak mudah terkonversi ke penggunaan lainnya. Selain letaknya yang cukup jauh dari pusat pemerintahan, lahan sagu yang berada di pinggiran danau mempunyai peran yang penting sebagai penyangga Danau Sentani selain pertimbangan keragaman sagunya. Tabel 25. Luas lahan usulan LP2B tiap kampung berdasarkan urutan prioritas Kampung Asei Besar Asei Kecil Babrongko Dobonsolo Donday Doyo Lama Hinekombe Ifale Ifar Besar Imporo Kwadeware Maribu Nendali Panjang Rejo Sentani Kota Sosiri Yoboy Luas (ha)
0,48
0,49
0,56
Total bobot * 0,59 0,69
0,76 119,4
0,78
0,79 10,3
15,8 73,1 75,6 10,4 0,2 2,6 123,3 114,3 42,1 1,6 1,1 47,2 10,9 31,3 0,1
6,3
6,3
168,8
15,8
123,5
115,9 119,4
0,7
22,3
0,7
80,1 161,3 399,5
Luas (ha) 129,7 15,8 73,1 75,6 10,4 0,2 2,6 123,3 114,3 42,1 1,6 24,1 47,2 17,2 31,3 80,1 161,3 950,1
*) Semakin tinggi total bobot semakin tinggi urutan prioritas pengembangan LP2B
Sagu yang berada di pinggiran danau berperan secara fisik dan ekologi. Secara fisik lahan-lahan sagu sebagai penjaga garis Danau Sentani dan erosi sehingga danau tidak mudah mengalami penyempitan dan pendangkalan. Angin yang bertiup langsung dari danau biasanya menyebabkan kerusakan daerah di belakangnya dengan adanya sagu dapat mengurangi terpaan angin. Secara ekologi berperan sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, kerang dan biota danau lainnya selain sumber plasma nutfah sagu yang sudah ada.
Gambar 21. Urutan prioritas LP2B
79
80
Selama hutan sagu dieksploitasi masih secara tradisional atau hanya untuk
memenuhi
kebutuhan
penduduk
setempat,
masalah
degradasi
pertumbuhan hutan sagu atau penurunan produksi tidak perlu dirisaukan. Nantinya setelah penetapan hutan sagu menjadi LP2B akan menjadikan hutan sagu di \eksplotasi secara terus menerus (sagu budidaya) dan dalam jumlah yang besar sehingga perlu adanya pembudidayaan sagu. Berdasarkan UndangUndang Nomor 41 tahun 2009 setelah penetapan menjadi LP2B perlu adanya pengembangan hutan sagu meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Intensifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan: a. peningkatan kesuburan tanah; b. peningkatan kualitas benih/bibit; c. pendiversifikasian tanaman pangan; d. pencegahan dan penanggulangan hama tanaman; e. pengembangan irigasi; f. pemanfaatan teknologi pertanian; g. pengembangan inovasi pertanian; h. penyuluhan pertanian; dan/atau
i. jaminan akses
permodalan. Tindakan pemuliaan perlu dilakukan agar sifat-sifat sagu baik dan berekonomi tinggi yang dikehendaki dapat dipertahankan. Contohnya jenis Para dan Folo mempunyai produksi tinggi perlu dipertahankan. Pemupukan tidak pernah dilakukan pada hutan sagu karena tidak semua pohon dipanen untuk diambil tepungnya. Bila pohon mati tanpa dipanen maka siklus hara masih di sekitar pohon tersebut. Oleh karena itu tanpa pemupukan produksi pati sagu masih sangat tinggi. Namun jika sagu dikelola secara intensif maka pemupukan perlu dilakukan dalam tindakan pemeliharaan. Menurut Flach (1983) dalam Bintoro (1999), dalam satu hektar di panen 136 batang, maka unsur hara yang terangkut sebanyak 100 kg N, 70 Kg P 2O5, 260 Kg K2O, 200 Kg Ca2O dan 50 Kg MgO. Hama dan penyakit sagu pada hutan sagu belum mengganggu karena masih dalam keadaan seimbang. Identifikasi dan pemetaan LCP2B Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap
terkendali untuk dimanfaatkan
sebagai Lahan Pertanian
Berkelanjutan pada masa yang akan datang.
Pangan
Berdasarkan peta arahan
pemanfaatan lahan sagu diperoleh lahan potensial sagu seluas 7.488,7 (Tabel 26).
ha
81
Tabel 26. Luas lahan potensial berdasarkan tutupan/penggunaan di kawasan budidaya Penggunaan lahan Hutan Lahan pertanian Lahan Terbuka Sagu Semak Luas (ha)
Kawasan budidaya Campuran Hutan Budidaya 20,2 246,0 3819,1 1425,3 288,0 51,4 1388,2 120,1 129,8 0,6 5645,3 1843,4
Luas (ha) 266,2 5244,4 339,4 1508,3 130,5 7488,7
Lahan potensial sagu terdiri dari lahan yang telah ada tanaman sagunya (lahan sagu) maupun belum ada tanaman sagu (lahan bukan sagu). Lahan potensial sagu tidak bervegetasi sagu pengunaan atau tutupan lahannya berupa kebun, lahan terbuka, dan semak belukar namun sesuai untuk pertumbuhan sagu. Lahan potensial bervegetasi sagu berupa lahan hutan sagu dan hutan sagu campuran. Lahan potensial sagu tersebut nantinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu jika kebutuhan sagu yang telah ada (usulan LP2B) tidak mencukupi. Luas lahan sagu yang ada sekarang (usulan LP2B) melebihi kebutuhan luas lahan pangan sagu berdasarkan proyeksi hingga tahun 2030. Oleh sebab itu, lahan cadangan yang disiapkan cukup dari lahan yang telah ada vegetasi sagu yang tidak diusulkan menjadi LP2B. Selain untuk memudahkan pengawasan dan menyediakan ruang untuk penggunaan lainnya. Dari segi kesesuaian lahan sagu, lahan yang telah ada tanaman sagunya kemungkinan lebih baik dibandingkan lahan potensial lainnya yang tidak ditumbuhi sagu. Dari lahan potensial sagu diperoleh bahwa lahan bervegetasi sagu yang akan diusulkan menjadi LCP2B seluas 1.508,3 ha yang sebagian besar peruntukannya di dokumen RTRW saat ini berada di kawasan budidaya campuran (Gambar 22). Saat ini lahan sagu tersebut belum dikelola untuk menghasilkan pangan sagu atau belum dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Lahan potensial sagu LCP2B akan digunakan untuk ekstensifikasi, saat lahan LP2B sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan penduduk. Diharapkan keberadaan lahan potensial sagu LCP2B dijaga dari penggunaan yang akan merusak sehingga dapat digunakan lagi saat diperlukan.
82
Gambar 22. Sebaran LCP2B
83
Rawa sagu tidak diusulkan masuk dalam usulan LCP2B agar fungsi rawa sagu sebagai tempat cadangan air untuk daerah sekitarnya termasuk untuk lahan sagu tetap terjaga dan tidak diubah menjadi lahan budaya sagu nantinya. Kesesuaian lahan rawa sagu saat ini (aktual) untuk budidaya tergolong tidak sesuai karena tergenang permanen namun dengan teknik pengelolaan saluran drainase akan menjadikan kesesuaian lahan potensialnya menjadi sesuai sehingga dikawatirkan nantinya rawa sagu akan diubah menjadi lahan budidaya sagu jika ditetapkan dalam usulan LCP2B. Agar tetap terjaga fungsi rawa sagu dan dilindungi keberadaannya maka rawa sagu diusulkan dalam usulan penetapan
KP2B.
Keberadaan
sagu
rawa perlu
dipertahankan
karena
mempengaruhi keberadaan lingkungan sekitarnya termasuk lahan sagu. Hal ini karena habitat sagu rawa mempunyai peran ekologi untuk daerah sekitarnya sebagai tempat sumber cadangan air. Peran dan manfaat hutan rawa sagu sebagai sumber cadangan air, dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya sehingga tidak terjadi banjir dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering.
Identifikasi dan pemetaan KP2B KP2B adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah pedesaan yang memiliki hamparan lahan pertanian berkelanjutan (LP2B) dan atau hamparan lahan cadangan pertanian berkelanjutan (LCP2B) serta unsur penunjang dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Berdasarkan definisi tersebut pada UU Nomor 41 tahun 2009 maka pemetaan KP2B mencakup LP2B, LCP2B, rawa sagu dan unsur penunjang. Unsur penunjang yang dimaksud adalah sarana prasarana yang mendukung aktivitas produksi pangan sagu seperti jalan, sumber air dan tempat pengelolaan sagu. Hasil gabungan lahan LP2B, LCP2B, rawa sagu dan unsur penunjang yang berada di kawasan budidaya pertanian seluas 2.458,4 ha. Untuk
memudahkan
pengelolaan
KP2B
tersebut,
perlu
adanya
manajemen pengelolaan berupa pembagian KP2B. Penelitian Syamson (2011) pada
lahan
sawah
di
Kabupaten
Barru
mengindentifikasi
manajemen
pengelolaan KP2B berdasarkan 3 skenario yakni batas administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal. Skenario pengelolaan berdasarkan
batas kecamatan
yang paling mudah dilaksanakan karena
84
kebijakan
perencanaan
pembangunan
biasanya
mengikuti
batas-batas
administrasi namun terbagi menjadi banyak kawasan. Sebaliknya, berdasarkan kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal didapat luas hamparan yang terpadu sehingga keberlanjutan kawasan akan lebih terjaga, hambatan nantinya adalah
pengelolaannya
sulit
karena
berada
dalam
beberapa
wilayah
administrasi. Berdasarkan kriteria yang dikemukan oleh Syamson (2011) maka untuk memudahkan pengelolaan KP2B nantinya maka KP2B yang ada di lokasi penelitian dibagi berdasarkan batas administasi dengan memperhatikan sebaran kepemilikan tanah adat yang bersifat komunal. Hal tersebut untuk mencegah konflik pertanahan yang sering terjadi
terkait kepemilikan bersifat komunal
sering terjadi di Propinsi Papua. Penguasaan lahan di Propinsi Papua masih didominasi penguasaan lahan komunal yang bersifat hak ulayat adat. Kepemilikan komunal merupakan kepemilikan tanah bersama berdasarkan fam/klen atau lebih luas lagi berdasarkan suku dimana pengelolaannya dipercayakan pada orang yang disebut kepala suku atau kepala adat. Informasi tentang sebaran kepemilikan lahan secara komunal hingga sekarang hanya ada sebaran berdasarkan suku atau bahasa yang dikeluarkan oleh SIL (Summer Insitute of Linguistics). Pada peta sebaran bahasa (SIL, 2004), diketahui suku yang ada di lokasi penelitian terdiri dari dua suku yakni suku Sentani dan suku Moi.
Sebaran hak ulayat tanah adat suku Sentani menyebar pada Distrik
Sentani, Sentani Timur, Waibu dan Ebungfauw dan suku Moi menyebar pada Distrik Sentani Barat. Hasil pembagian diperoleh sebanyak 5 kawasan KP2B yang menyebar sesuai batas distrik yang mencakup 2 kepemilikan hak ulayat tanah adat (Gambar 23 dan Tabel 27). Lahan KP2B terluas terdapat di Distrik Sentani seluas dan terkecil pada Distrik Ebungfauw. Kepemilikan hak ulayat terluas pada suku Sentani meliputi 4 distrik dan suku Moi hanya pada distrik Sentani Barat saja. Tabel 27. Luas kawasan KP2B berdasarkan kepemilikan hak ulayat suku dan distrik Suku Sentani Moi
Ebungfauw 173,8
Sentani
Distrik Sentani Barat
1.211,2 185,0
Sentani Timur 184,4
Waibu 708,8
Luas (ha) 2.458,4 185,0
Gambar 23. Sebaran KP2B
85
86
Manajemen pengelolaan yang dibagi berdasarkan distrik dan hak ulayat akan membagi hamparan sagu menjadi beberapa kawasan karena berbeda distrik dan kepemilikan hak ulayat tanah adat namun
diharapkan akan
mempermudah dalam pelaksanaan pengawasan nantinya. Pihak pemerintah setempat (pemerintahan tingkat distrik) lebih mudah merencanakan sesuai wilayah kerja masing-masing dan menghindari terjadinya konflik tanah yang tersering terjadi antar pemilik hak ulayat. Pemerintah dan masyarakat setempat (masyarakat adat) akan bersama-sama melakukan pengawasan terutama mencegah konversi lahan sagu ke penggunaan lain. Sarana prasarana sebagai unsur penunjang dalam KP2B untuk pangan sagu berupa
jalan usaha, pelabuhan, tempat pengolahan pasca panen dan
sungai atau parit-parit pengatur air. Jalan yang telah ada di lokasi rencana KP2B hanya jalan-jalan yang menghubungkan antar kampung belum ada jalan khusus usaha tani. Membangun jalan usaha tani di lahan sagu perlu diperhatikan perencanaannya sesuai hanya untuk kegiatan usaha tani sagu karena dampak pembukaan jalan akan memicu terhadap konversi lahan sagu. Pelabuhan pendaratan perahu-perahu sebagai salahsatu sarana yang harus disiapkan. Sebagian lahan dusun sagu berada di pinggiran danau yang hanya dapat dicapai menggunakan perahu karena belum adanya jalan darat. Tempat pengolahan pasca panen perlu dibuat pada tempat khusus yang mudah dijangkau petani dan tersedia sumber air untuk ekstraksi pati sagu. Selama ini pengolahan pati sagu sudah sebagian menggunakan mesin seperti mesin parut kelapa dengan kapasitas rendah. Parit-parit pengatur air perlu disiapkan jika nanti diusahakan dengan intensif. Lahan-lahan sagu setelah dijadikan lahan budidaya intensif cenderung lebih kering sehingga perlu parit-parit pengatur air untuk menjaga ketersediaan air bagi tanaman sagu serta mencegah kebakaran yang sangat mudah terjadi. Selama ini lahan dusun sagu belum diusahakan intensif sehingga keberadaan air masih tersedia sehingga pengaturan air belum diperlukan. Strategi pengembangan sagu Sagu merupakan komoditas yang potensial menjadi bahan pangan pokok serta bahan baku industri pangan, industri kimia dan obat-obatan, industri tekstil, industri pakan, dan penghasil energi. Areal lahan sagu aktual yang luas di lokasi penelitian hanya sebagian kecil saja yang telah digunakan untuk menghasilkan
87
tepung sagu. Hasil dari tepung sagu tersebut hanya untuk kebutuhan konsumsi pangan keluarga dan dijual pada pasar-pasar di sekitar Jayapura. Oleh karenanya jumlah dipanen disesuaikan dengan kebutuhan pangan keluarga dan kebutuhan permintaan sagu di pasar hanya untuk industri kecil (pembuatan kue, tepung sagu kering) sehingga harga jual tepung sagu di Jayapura relatif tidak berubah.
Hal ini menyebabkan petani sagu tidak menjadikan sagu sebagai
sumber penghasilan tetap. Penetapan lahan sagu menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan akan terkendala atau tidak terwujud jika sagu belum menjadi sumber pendapatan petani. Jika hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu yang masih rendah, sagu belum bisa menjadi sumber pendapatan yang menarik bagi petani sagu. Hal ini akan berakibat banyak lagi lahan sagu akan diubah menjadi penggunaan lain yang lebih menguntungkan atau dijual kepihak lain. Oleh karena itu, perlu adanya arahan pengembangan sagu pada awal setelah penetapan lahan sagu menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan bukan saja untuk kebutuhan pangan namun juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tepung sagu untuk industri. PT. Sampoerna Bio Fuels merupakan perusahaan yang memegang izin IUPHHK-HT seluas 51.000 ha berdasarkan SK Bupati nomor 231 Tahun 2010. IUPHHK-HT adalah izin usaha memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam hutan tanaman (HT) pada hutan produksi melalui kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran (Santoso, 2010). PT. Sampoerna akan membuka lahan hutan sagu diubah menjadi perkebunan sagu di daerah Distrik Kaureh Kabupaten Jayapura dan membangun pabrik pengolahan tepung sagu. Terkait hal tersebut, PT. Sampoerna juga berminat membeli tepung sagu dari petani yang ada di lokasi penelitian1. Diharapkan dengan adanya PT. Sampoerna ini hasil panen sagu petani dapat ditampung sehingga petani sagu dapat memanen dan menjual sagu secara terus-menerus. Hasil panen sagu yang ditampung dan dijual secara terus menerus dapat menjadi sagu sebagai sumber pendapatan selain untuk kebutuhan pangan keluarga. Perlu adanya rencana pengembangan jika sagu dijadikan sebagai sumber pendapatan karena sagu akan dipanen terus menerus sehingga teknik budidaya dan pasca panen harus diperbaiki untuk menjaga keseimbangan 1
) Hasil wawancara penulis dengan staf dari PT. Sampoerna
88
produksi. Karafir (2007), menawarkan dua sistem pengembangan sagu di Papua, yaitu usaha mikro dan usaha makro. Usaha mikro dibagi lagi menjadi dua yakni usaha mikro cara tradisional yang telah ada berabad-abad di masyarakat pemakan sagu dan usaha mikro modifikasi dengan memasukkan teknologi baru (tindak teknologi produksi, teknik budidaya dan organisasi pemasaran). Usaha makro, umumnya perusahaan besar Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan kini yang disarankan untuk dikembangkan yaitu mengubah hutan-hutan sagu menjadi perkebunan sagu. Dari
sistem
pengembangan
karakteristik
lokasi
sagu
yang
sagu
akan
di
atas perlu
dikembangkan.
memperhatikan
Areal
yang
akan
dikembangkan di lokasi penelitian adalah areal lahan sagu aktual (hutan sagu), telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, berdekatan dengan pemukiman masyarakat dan tersebar dibeberapa hamparan. Potensi sagu di tingkat petani saat ini belum optimal pemanfaatannya yang ditandai dengan banyak tanaman sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen dan akhirnya rusak. Pemanfaatan potensi sagu masih rendah hanya terbatas pada skala petani untuk kebutuhan pangan keluarga dan kebutuhan industri kecil (tepung sagu kering untuk pembuatan aneka kue). Cara pengolahan hasil panen yang sebagian masih secara tradisional dan sebagian lagi telah menggunakan alat parut namun rendemen sagu masih rendah. Pemasaran tepung sagu masih terbatas di sekitar Kabupaten Jayapura dan hanya untuk memenuhi kebutuhan untuk industri kecil disekitarnya. Sebaliknya menurut
Novarianto dan Hosang (2008), eksploitasi sagu yang
dilakukan industri skala menengah besar kurang mempehatikan keseimbangan produksi, sebagai akibatnya terjadi degradasi pertumbuhan sagu, yang pemulihannya membutuhkan waktu cukup lama sekitar 5 – 7 tahun. Jika kerusakan ini dibiarkan berlangsung terus, maka secara langsung akan mengganggu ketersediaan sumber pangan karbohidrat bagi masyarakat sekitar areal sagu yang dieksploitasi. Berdasarkan pertimbangan
di atas,
sistem pengembangan
yang
digunakan adalah usaha mikro modifikasi. Usaha mikro modifikasi adalah tetap usaha mikro dengan memasukkan teknologi produksi, teknik budidaya dan organisasi pemasaran. Usaha mikro modifikasi ini pernah dikembangkan pemda Kabupaten Jayapura tahun 1991 namun gagal karena beberapa kendala (Karafir, 2007). Lebih lanjut menurut Karafir (2007), berdasarkan pengalaman tersebut
89
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam sistem usaha mikro modifikasi pengembangan sagu yakni pemilihan teknologi pengelolaan disesuaikan dengan produktifitas lahan sagu agar produksi berkelanjutan. Alat pengelola hasil panen (mesin pemarut dan mesin mengekstrak sagu) harus disesuaikan dengan luas areal dan produktifitas lahan sagu untuk keberlanjutan produksi. Mesin parut mudah dibawa (portable) sehingga dapat dibawa ke areal sagu sehingga jarak areal tebang dan mesin pemarut tidak jauh.
90
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Analisis kebutuhan luas lahan sagu untuk konsumsi sagu di lokasi penelitian dan kontribusinya ke Kabupaten Jayapura mencukupi selama 20 tahun akan datang dan masih terdapat surplus lahan untuk daerah lain. 2. Ditemukan empat hamparan sagu yakni di daerah Harapan, Kehiran, Sosiri dan Maribu seluas 2909,8 ha terdiri atas areal hutan sagu budidaya (dusun sagu), hutan sagu alam, rawa sagu, dan sagu campuran dengan produktifitas tegakan dan keragaman jenis tertinggi pada daerah Kehiran. 3. Berdasarkan peta kesesuaian lahan, RTRW dan penggunaan lahan diperoleh arahan pemanfaatan lahan untuk pengembangan sagu seluas 8.463,2 ha yang penggunaannya saat ini berupa hutan, lahan pertanian, lahan terbuka, semak dan sagu. 4. Kriteria yang digunakan untuk identifikasi lahan pangan berkelanjutan adalah sebaran tipe sagu, tingkat pemanfaatan sagu, potensi tegakan dan rumpun sagu, kesesuaian lahan sagu dan penggunaan lahan aktual 5. LP2B yang disarankan dari areal dusun sagu seluas 950,1 ha dengan orientasi pengembangan terutama di pinggiran danau sentani. LCP2B yang disarankan dari lahan bervegetasi sagu seluas 7.488,7 ha. KP2B seluas 8.463,2 ha terdiri dari 5 kawasan yang menyebar sesuai batas distrik dan mencakup 2 kepemilikan hak ulayat tanah adat. Saran 1. Proyeksi kebutuhan lahan sagu menggunakan data konsumsi dari BPS hasil dari rata-rata konsumsi penduduk dan produktifitas berdasarkan wawancara. Perlu adanya data konsumsi yang lebih detail berdasarkan suku yang ada dan produktivitas yang diukur langsung di lapangan. 2. Luasan KP2B yang digunakan berdasarkan luas arahan pemanfaatan, perlu penentuan kriteria lebih lanjut untuk menentukan batasan luas KP2B. 3. Kebutuhan sagu untuk pangan saat ini masih rendah, perlu adanya pengembangan pemanfaatan tepung sagu untuk kebutuhan industri. 4. Perlu menjadikan norma adat dan tradisi budaya masyarakat ada sebagai muatan dalam peraturan daerah untuk menjaga pelestarian lahan sagu dari perubahan penggunaan lainnya.
91
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979. Pedoman bercocok tanam palawija dan sagu. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta. [Bappeda] Bappeda Kabupaten Jayapura. 2010. Laporan Akhir Rencana Detail Tata Ruang BWK A dan BWK B. Jayapura. [BBKP] Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua. 2007. Neraca Bahan Makanan Provinsi Papua. Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua, Jayapura. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Neraca Bahan Makanan Kabupaten Jayapura tahun 2009. Badan Pusat Statistik kabupaten Jayapura. Jayapura ___________________. 2010. Jayapura dalam angka 2010. Badan Pusat Statistik kabupaten Jayapura. Jayapura ___________________. 2010. Papua dalam angka 2010. Badan Pusat Statistik Propinsi Papua. Jayapura Bintoro, H. M. H. 2008. Bercocok tanam sagu. IPB Press Bintoro, H. M.H. 1999. Pemberdayaan tanaman sagu sebagai penghasil bahan pangan alternatif dan bahan baku agroindustri yang potensial dalam rangka ketahanan pangan nasional. Orasi ilmiah guru besar tetap ilmu tanaman perkebunan fakultas pertanian institute pertanian bogor. Bogor, 11 september 1999. Christina, Dwi R. 2011. Indentifikasi Lahan Potensial Untuk Mendukung Usulan Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. FAO-RAPA. 1989. Report of the regional expert consultation of the asian network for food and nutrition on nutrition and urbanization, Bangkok. Flach M. 1995. Research priorities for sago palm development in Indonesia and Sarawak: an agenda for research. ISHS Acta Horticulturae International Sago Symposium. http://www.actahort.org/books/389. Genting Oil Kasuri. 2009. Analisis Dasar lingkungan Blok Kasuri PSC di Kabupaten Fak-fak dan Bintuni. Laporan akhir. Kerjasama BP Migas dan Unipa Manokwari. Google Earth. 2011. http://www.googleearth.com. [10 Maret 2011]
92
GeoEye. 2011. http://www.geoeye.com. [10 Maret 2011] Haryanto, B dan P. Pangloli. 1998. Sagu manfaat dan kegunaannya. BPPT Jakarta. Kanro, M. Z, Aser Rouw, A. Widjono, Syamsuddin, Amisnaipa, dan Atekan. 2003. Tanaman sagu dan pemanfaatannya Di propinsi papua. Jurnal Litbang Pertanian, 22(3), 2003. Karafir, Y.P .2007. Model Pengembangan Sagu di Papua. Prosiding Lokakarya Pengembangan sagu di Indonesia. Batam 25-26 Juli 2007. Hlm 25-49. Matanubun H, Santoso B, Abdullah Y, Bachri S, Darmawanto S, Yoga. 2008. Studi Kelayakan Pengembangan Perkebunan dan Industri Sagu di Distrik Kais, Inanwatan dan Kokoda Kabupaten Sorong Selatan. Universitas Negeri Papua. Manokwari. Matanubun H, Santoso B, Nauw M, Rochani A, Palit MAP, Irbayanti DN and Kurniawan A. 2005. Feasibility study of the natural sago forest for the establishment of the commercial sago palm plantation at Kaureh District, Jayapura, Papua, Indonesia. Abstracts of The Eight International Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Spciety for the Promotion Science. Miftahorrochman dan H. Novirianto. 2003. Jenis-jenis sagu potensial di sentani, Irian jaya. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado. 6 oktober 2003. Notohadiprawiro, T dan Louhenapessy, J.E. 1992. Potensi sagu dalam penganekaragaman bahan pangan poko ditinjau dari persyaratan lahan. Prosiding Simposium Sagu Nasional. Ambon 12-13 Oktober 1992. [Perda Kabupaten Jayapura No 26/2007] Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu. Jayapura. [Perda Kabupaten Jayapura No 21/2009] Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jayapura Tahun 2008-2028. Jayapura. Rauf A. W dan Martina S. L. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal sebagai Sumber Pangan Alternatif Di Papua. Laporan Hasil Penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua.
93
Rusli, Y. 2007. Pengembangan Sagu di Indonesia: Strategi, potensi dan penyebarannya.. Prosiding Lokakarya Pengembangan sagu di Indonesia. Batam 25-26 Juli 2007. Hlm 14-24 Rustiadi, E dan Reti Wurgensi. 2007. Pengembangan lahan pertanian pangan abadi
dalam
prespektif
ketahanan
pangan.
Semiloka
kebijakan
pengembangan lahan pertanian pangan abadi, medan. Santoso, B. 2010. Potensi Pengembangan Sagu sebagai Hasil Hutan Non Kayu di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Sagu. Bogor, 14 Oktober 2010. Hlm 23-29. [SIL] Summer Insitute of Linguistics. 2004. Peta Sebaran Bahasa. Jayapura. Sofyan Ritung, W Supriatna, A Hidayat. 2007. Kriteria Biofisik untuk penetapan Lahan Pertanian Abadi dalam Mencegah Konversi Lahan Pertanian, Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Lampung. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Bogor: BBPPSLP – Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian. Hlm 311-322. Sofyan Ritung, A Hidayat, Wahyunto. 2008. Penyusunan Peta lahan abadi 15 juta hektar lahan sawah dan 15 juta hektar lahan kering dan Reforma Agraria. Laporan akhir penelitian. Bogor: BBPPSLP – Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian. Susanto. 1986. Penginderaan Jauh (jilid 1). Gadjah Mada
University Press.
Yogyakarta. Syamson, A. Buana. 2011. Identifikasi Potensi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) untuk Penyusunan RTRW Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [PTFI] PT. Freeport Indonesia .2010. Pembangunan Dusun Sagu Tanam sebagai Strategi Pemberdayaan Masyarakat Suku Kamoro di Kabupaten Mimika, Papua. Prosiding Lokakarya Nasional Sagu. Bogor, 14 Oktober 2010. [UU No 26/2007] Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang [UU No 41/2009] Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
94
Widjono, A., R. Aser, dan Amisnaipa. 2000. Identifikasi, karakterisasi, dan koleksi jenis-jenis sagu. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Sistem Usaha Tani Papua. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 9-16.
95
Lampiran 1.
Gambar 1. Awal mula konversi lahan sagu (pohon sagu ditebang)
Gambar 1. Konversi lahan sagu kepenggunaan lainnya (untuk jalan, pemukiman)
89
Lampiran 2. Proyeksi kebutuhan lahan sagu di lokasi penelitian tahun 2011 – 2030 Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
Konsumsi per kapita Total Kebutuhan Jumlah Penduduk *) Skenario 1 *) Skenario 2 *) Skenario 1 *) Skenario 2 Produktivitas (jiwa) (kg/kap/th) (kg/kap/th) (ton) (ton) tetap 71822 18,64 15,11 1338,96 1085,24 8,80 74810 18,88 15,11 1412,37 1130,38 8,80 77922 19,12 15,11 1489,81 1177,41 8,80 81164 19,36 15,11 1571,49 1226,39 8,80 84540 19,61 15,11 1657,65 1277,40 8,80 88057 19,86 15,11 1748,54 1330,54 8,80 91720 20,11 15,11 1844,41 1385,89 8,80 95536 20,36 15,11 1945,53 1443,55 8,80 99510 20,62 15,11 2052,20 1503,60 8,80 103650 20,88 15,11 2164,72 1566,15 8,80 107962 21,15 15,11 2283,41 1631,30 8,80 112453 21,42 15,11 2408,61 1699,16 8,80 117131 21,69 15,11 2540,67 1769,85 8,80 122003 21,97 15,11 2679,97 1843,47 8,80 127079 22,25 15,11 2826,91 1920,16 8,80 132365 22,53 15,11 2981,90 2000,04 8,80 137872 22,81 15,11 3145,39 2083,24 8,80 143607 23,10 15,11 3317,85 2169,90 8,80 149581 23,40 15,11 3499,76 2260,17 8,80 155804 23,69 15,11 3691,65 2354,19 8,80
Kebutuhan luas *) Skenario 1 (ha) 152,2 160,5 169,3 178,6 188,4 198,7 209,6 221,1 233,2 246,0 259,5 273,7 288,7 304,5 321,2 338,9 357,4 377,0 397,7 419,5
Sisa Lahan Data luas *) Skenario 2 lahan *) Skenario 1 *) Skenario 2 (ha) (ha) (ha) (ha) 123,3 1164,6 1012,4 1041,3 128,5 1164,6 1004,1 1036,1 133,8 1164,6 995,3 1030,8 139,4 1164,6 986,0 1025,2 145,2 1164,6 976,2 1019,4 151,2 1164,6 965,9 1013,4 157,5 1164,6 955,0 1007,1 164,0 1164,6 943,5 1000,6 170,9 1164,6 931,4 993,7 178,0 1164,6 918,6 986,6 185,4 1164,6 905,1 979,2 193,1 1164,6 890,9 971,5 201,1 1164,6 875,9 963,5 209,5 1164,6 860,1 955,1 218,2 1164,6 843,4 946,4 227,3 1164,6 825,7 937,3 236,7 1164,6 807,2 927,9 246,6 1164,6 787,6 918,0 256,8 1164,6 766,9 907,8 267,5 1164,6 745,1 897,1
Asumsi-asumsi dalam perhitungan proyeksi kebutuhan lahan sagu di lokasi penelitian (1) Proyeksi jumlah penduduk menggunakan tahun dasar 2009 (2) Asumsi pertambahan penduduk 4,16 % per tahun (konstan) dari jumlah penduduk tahun 2000-2009 (4) Asumsi produktivitas Sagu Budidaya 8,8 ton per ha pertahun (5) Asumsi laju konversi tidak diperhitungkan (6) Asumsi data luas baku lahan tahun 2010 dianggap konstan (hanya dusun sagu di daerah survei saja)
97
Lampiran 3. Proyeksi kebutuhan lahan sagu di Kabupaten Jayapura tahun 2011 – 2030 Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
Konsumsi per kapita Total Kebutuhan Jumlah Penduduk *) Skenario 1 *) Skenario 2 *) Skenario 1 *) Skenario 2 Produktivitas (jiwa) (kg/kap/th) (kg/kap/th) (ton) (ton) tetap 128798 18,64 15,11 2401,12 1946,13 8,80 134156 18,88 15,11 2532,77 2027,09 8,80 139736 19,12 15,11 2671,64 2111,42 8,80 145549 19,36 15,11 2818,12 2199,25 8,80 151604 19,61 15,11 2972,63 2290,74 8,80 157911 19,86 15,11 3135,62 2386,04 8,80 164480 20,11 15,11 3307,54 2485,29 8,80 171322 20,36 15,11 3488,89 2588,68 8,80 178449 20,62 15,11 3680,18 2696,37 8,80 185873 20,88 15,11 3881,95 2808,54 8,80 193605 21,15 15,11 4094,80 2925,38 8,80 201659 21,42 15,11 4319,31 3047,07 8,80 210048 21,69 15,11 4556,13 3173,83 8,80 218786 21,97 15,11 4805,93 3305,86 8,80 227888 22,25 15,11 5069,43 3443,39 8,80 237368 22,53 15,11 5347,38 3586,63 8,80 247242 22,81 15,11 5640,57 3735,83 8,80 257528 23,10 15,11 5949,83 3891,24 8,80 268241 23,40 15,11 6276,05 4053,12 8,80 279400 23,69 15,11 6620,16 4221,73 8,80
Kebutuhan luas *) Skenario 1 (ha) 272,9 287,8 303,6 320,2 337,8 356,3 375,9 396,5 418,2 441,1 465,3 490,8 517,7 546,1 576,1 607,7 641,0 676,1 713,2 752,3
Sisa Lahan Data luas *) Skenario 2 lahan *) Skenario 1 *) Skenario 2 (ha) (ha) (ha) (ha) 221,2 1164,6 891,7 943,4 230,4 1164,6 876,8 934,2 239,9 1164,6 861,0 924,7 249,9 1164,6 844,4 914,7 260,3 1164,6 826,8 904,3 271,1 1164,6 808,3 893,5 282,4 1164,6 788,7 882,2 294,2 1164,6 768,1 870,4 306,4 1164,6 746,4 858,2 319,2 1164,6 723,5 845,4 332,4 1164,6 699,3 832,2 346,3 1164,6 673,8 818,3 360,7 1164,6 646,9 803,9 375,7 1164,6 618,5 788,9 391,3 1164,6 588,5 773,3 407,6 1164,6 556,9 757,0 424,5 1164,6 523,6 740,1 442,2 1164,6 488,5 722,4 460,6 1164,6 451,4 704,0 479,7 1164,6 412,3 684,9
Asumsi-asumsi dalam perhitungan proyeksi kebutuhan lahan sagu di Kabupaten Jayapura (1) Proyeksi jumlah penduduk menggunakan tahun dasar 2009 (2) Asumsi pertambahan penduduk 4,16 % per tahun (konstan) dari jumlah penduduk tahun 2000-009 (4) Asumsi produktivitas Sagu Budidaya 8,8 ton per ha pertahun (5) Asumsi laju konversi tidak diperhitungkan (6) Asumsi data luas baku lahan tahun 2010 dianggap konstan (hanya dusun sagu di daerah survei saja)
98