I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di
kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan tingkat kesuburan yang rendah. Ciri khas tanah sulfat masam adalah adanya bahan sulfidik yang banyak mengandung pirit. Pirit ini mempunyai sifat yang unik dan bergantung pada keadaan air. Keberadaan pirit di lahan sulfat masam menjadi kendala berat dalam pengembangan lahan rawa untuk budidaya padi. Pirit umumnya dijumpai pada tanah sulfat masam yang kaya akan bahan sulfidik hasil dari endapan marin. Bahan sulfidik adalah bahan tanah mineral atau organik yang mengandung senyawa belerang mudah teroksidasi, memiliki pH 3,5 dan jika diinkubasi dengan ketebalan 1 cm pada keadaan kapasitas lapangan, aerob, dan suhu ruangan selama delapan minggu, akan mengalami penurunan pH 0,5 satuan dan penurunan pH tersebut mencapai nilai 4,0 (Soil Survey Staff, 2010). Permasalahan muncul ketika pirit terpapar oleh oksigen akibat kekeringan yang panjang maupun setelah dilakukan drainase atau penggalian saluran yang mengakibatkan pirit teroksidasi. Satu mol pirit teroksidasi akan menghasilkan 4 mol asam sulfat sehingga mengakibatkan pemasaman tanah (Dent and Ponds, 1995). Faktor yang memiliki peranan penting dalam keberhasilan usahatani di lahan sulfat masam diantaranya adalah pemanfaatan bahan organik dan
1
pengelolaan air. Keberadaan bahan organik di lahan rawa memiliki fungsi untuk mempertahankan suasana reduksi sehingga oksidasi pirit dapat ditekan. Reddy and DeLaune (2008) mengatakan bahan organik berperan sebagai donor elektron dan mempengaruhi nilai potensial redoks tanah dan merupakan indikator yang menunjukkan kondisi oksidatif dan reduktif tanah. Selain itu bahan organik memiliki kemampuan mengkhelat unsur-unsur meracun dalam tanah seperti Fe2+ (besi ferro) yang merupakan hasil reduksi Fe3+. Dobermann and Faihurst (2000) mengatakan pada kondisi tergenang keracunan Fe lebih sering terjadi dibandingkan keracunan Al karena ion OH- yang dilepaskan dalam proses reduksi akan bereaksi dengan Al terlarut menjadi Al hidroksida yang sukar larut. Pengikatan logam ataupun ion yang ada di dalam larutan tanah dipengaruhi oleh keberadaan asam humat dan asam fulvat. Asam humat dan fulvat yang dapat menyumbangkan muatan negatif tanah dan berfungsi sebagai koloid organik. Gugus fenolat dan karboksilat dari asam fulvat ini membentuk cakar yang mempunyai afinitas yang sangat kuat bagi ion-ion logam trivalen seperti Al dan Fe (Bourbonniere and Creed, 2006). Produksi padi di lahan rawa juga ditentukan oleh pemberian air yang cukup dan waktu penggenangan (Kongchum, 2005). Pengaturan air melalui sistem satu arah (one-way flow system) selain dapat mencegah dan menekan teroksidasinya pirit karena penggenangan kondisi tanah menjadi reduktif dan pencucian/penggelontoran dapat mengurangi akumulasi unsur-unsur meracun. Sistem satu arah dilakukan dengan memasukkan air ke petakan sebelum tanah
2
dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai dan pencucian akan berjalan baik bila air cukup tersedia, baik dari hujan maupun air pasang (Subagyono et al., 1999 cit Suriadikarta, 2005). Masyarakat tradisional Kalimantan Selatan (Suku Banjar) untuk mempertahankan kondisi reduktif terhadap tanah adalah dengan melakukan konservasi air yaitu membuat tabat (dam overflow) di sepanjang saluran handil (tersier) dengan memanfaatkan luapan air pada saat pasang besar (dua kali dalam sebulan pada saat pasang besar) sehingga oksidasi pirit dapat dicegah atau ditekan dan proses penggelontoran juga berjalan lancar. Residu tanaman berupa jerami padi sisa panen dan gulma lokal purun (Eleocharis dulcis) adalah sumber utama bahan organik di lahan sulfat masam yang telah lama dimanfaatkan masyarakat lokal di desa Tanjung Harapan Kabupaten Barito Kuala sebagai bahan organik. Pola pengelolaan bahan organik oleh masyarakat lokal pada kondisi tergenang akan mengakibatkan terjadinya proses dekomposisi anaerobik dan bakteri metanogen hidup pada kondisi tersebut. Metanogen merupakan bakteri penghasil metana (CH4). Tanaman padi tidak hanya sebagai media fluks CH4 tetapi juga fluks CO2 karena eksudat akar merupakan salah satu sumber energi bagi bakteri metanogen dan metana hasil proses metanogenesis serta biomassa akar merupakan sumber karbon dan energi bagi bakteri metanotrof di zona perakaran. Upaya mitigasi emisi CH4 dan CO2 dari lahan pertanian telah banyak dilakukan melalui beberapa teknik budidaya seperti pengelolaan air dan bahan
3
organik dapat memperkecil emisi gas rumah kaca. Ada tiga macam pengelolaan air yang diterapkan pada pertanian di Indonesia yaitu: tergenang terus menerus, irigasi berselang dan irigasi tadah hujan (Setyanto and Hidayat, 2001). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggenangan tanah secara terus menerus dengan tinggi 5 cm memberikan emisi metana 254 kg CH4 ha-1 musim-1 dan irigasi berselang memberikan emisi metana 136 kg CH4 ha-1 musim-1. Sedangkan upaya mitigasi gas rumah kaca melalui pengelolaan bahan organik pada budidaya padi di lahan sawah dapat dilakukan dengan proses pengomposan yang dapat memperbaiki kualitas bahan organik. Hasil penelitian Wihardjaka (2012) menunjukkan pemberian kompos jerami padi di lahan padi sawah melepaskan emisi sebesar 73.2 ± 6.6 kg CH4 ha-1 musim-1 lebih rendah dibandingkan dengan pemberian jerami padi segar sebesar 93.5 ± 4.0 CH4 ha-1 musim-1. Selain itu kontribusi dekomposisi seresah juga mempengaruhi produksi CO2 pada permukaan tanah. Hasil penelitian Sampanpanish (2012) emisi CO2 dari lahan sawah di Thailand yang diberi bahan organik pupuk kandang sebesar 377,35 mg/m2/hari lebih rendah dibandingkan lahan sawah yang diberi pupuk kimia emisi CO2 yang dilepaskan sebesar 534,11 mg/m2/hari. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas diperlukan informasi yang lebih terperinci dan akurat tentang pengelolaan bahan organik dan pengelolaan air di lahan sulfat masam agar menjadi berkelanjutan. Lahan rawa pasang surut berbeda dengan lahan sawah lainnya dalam beberapa aspek yang terkait dengan emisi gas rumah kaca yaitu: pH tanah yang
4
sangat masam, keberadaan unsur Al dan Fe yang afinitasnya terhadap bahan organik kuat serta pengelolaan air yang hanya tergantung pada pasang surut air laut, sehingga dipandang perlu untuk melakukan penelitian yang difokuskan pada lahan sulfat masam dengan intensitas penggunaan lahan yang berbeda terhadap pengelolaan bahan organik dan pengelolaan air dalam upaya meningkatkan produktivitas tanaman padi sawah serta menekan emisi gas CH4 dan CO2. 1.2.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui karakteristik tanah sulfat masam alami dan tanah sulfat masam intensif yang menjadi tapak penelitian serta bahan bahan organik lokal yang digunakan sebagai bahan penetral kemasaman 2. Mendapatkan jenis bahan organik dan sistem pengelolaan air yang tepat dalam memperbaiki watak tanah sulfat masam dan meningkatkan pertumbuhan tanaman padi 3. Mengkaji pengaruh bahan organik lokal dan pupuk N, P, K dalam meningkatkan produktivitas tanaman padi dan menekan emisi CH4 dan CO2 di lahan sulfat masam
5