I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu dari kebijakan ekonomi terpenting dari sebuah pemerintahan di berbagai negara adalah untuk melihat perubahan dari variabel makroekonomi seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan mencoba memperbaikinya dengan menggunakan alat kebijakan yang efisien. Alat kebijakan yang digunakan tersebut adalah untuk mengontrol langsung harga, pendapatan, dan pajak. Jadi, kebijakan moneter adalah satu-satunya alat yang tersedia untuk pemerintah dalam mengejar sasaran utama ekonomi (Kiaee, 2007:3).
Kebijakan moneter merupakan salah satu kebijakan ekonomi, yakni suatu tindakan dari Bank Sentral selaku otoritas moneter yang dimaksudkan untuk mengendalikan besaran moneter yang meliputi suku bunga, jumlah uang beredar, kredit perbankan, dan besaran moneter lainnya yang bertujuan untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi rill dan harga melalui mekanisme yang terjadi agar dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang diinginkan. Dalam UU Perbankan yang telah diperbaharui dalam UU No. 3 Tahun 2004 yang ditandai dengan keleluasaan Bank Sentral dengan diberikannya independensi Bank Indonesia dalam menetapkan target-target yang akan dicapai (goal
2
independence) dan kebebasan dalam menggunakan berbagai instrumen kebijakan moneter untuk mencapai target yang akan dicapai tersebut.
Efektivitas kebijakan moneter diukur dengan dua indikator yaitu berapa besar kecepatan atau tenggang waktu (time lag) dan berapa kekuatan variabel-variabel pada masing-masing saluran merespons adanya perubahan (shock) instrumen kebijakan moneter dan variabel lainnya hingga terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter. (Natsir, 2008).
Untuk mencapai sasaran akhir dari sebuah kebijakan moneter, dibutuhkan instrumen atau alat yang digunakan dalam proses pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter tersebut. Instrumen atau alat tersebut digunakan untuk memenuhi tujuan akhir kebijakan moneter yang berupa menjaga dan memelihara kestabilan nilai tukar rupiah dan tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun saluran atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu. Pada Gambar 1 dijelaskan bagaimana alur transmisi kebijakan moneter melalui berbagai saluran transmisi moneter yang sasaran akhirnya Output atau produk domestik bruto dan Inflasi.
3
Suku bunga deposito dan kredit Kredit yang disalurkan
BI RATE
Konsumsi Investasi
Produk Domestik Bruto
Harga Aset (Saham dan Obligasi
Nilai Tukar
Ekspor
Ekspektasi Inflasi
Inflasi
Sumber: Situs Resmi Bank Indonesia (diolah): www.bi.go.id Gambar 1. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Warjiyo dan Juda, analis Bank Indonesia menjelaskan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter pada dasarnya menggambarkan bagaimana kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral mempengaruhi berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan sehingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan akhir yang ditetapkan. Secara spesifik, Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah “the process through which monetary policy decisions are transmitted into changes in real GDP and inflation”.
Mekanisme transmisi moneter dimulai dari tindakan bank sentral dengan menggunakan instrumen moneter, apakah operasi pasar terbuka atau yang lain, dalam melaksanakan kebijakan moneternya. Tindakan itu kemudian berpengaruh
4
terhadap aktivitas ekonomi dan keuangan melalui berbagai saluran transmisi kebijakan moneter, yaitu saluran uang, kredit, suku bunga, nilai tukar, harga asset dan ekspektasi (Warjiyo, 2004:4).
Bagi Indonesia, pemahaman mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter juga sangat penting untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dalam mencapai dan menjaga kestabilan harga dan nilai tukar rupiah yang diperlukan guna mendukung proses pemulihan ekonomi. Kebutuhan ini semakin mendesak terutama karena dua pertimbangan, yaitu pertama, perlunya menjaga stabilitas moneter pasca krisis 1997 dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional dan kedua, semakin besarnya tuntutan terhadap pelaksanaan kebijakan moneter dengan berlakunya UU Bank Indonesia yang baru.
Seperti diketahui bersama, sejak krisis pertengahan tahun 1997 upaya pemeliharaan stabilitas ekonomi makro untuk mendukung proses pemulihan ekonomi indonesia mengalami tantangan dengan adanya tekanan yang demikian besar terhadap nilai tukar rupiah dan inflasi. Nilai tukar rupiah melemah dan cenderung bergejolak terutama karena besarnya eksposur utang luar negeri indonesia yang diperberat dengan adanya spekulasi di pasar valuta asing dan ketidakstabilan kondisi sosial politik di dalam negeri. Tekanan inflasi meningkat karena kombinasi dari faktor melemahnya nilai tukar rupiah, kenaikan hargaharga diatur pemerintah indonesia (administered prices) dan meningkatnya ekspektasi inflasi di masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kebijakan moneter telah diarahkan untuk mengendalikan likuiditas di pasar uang melalui pengendalian sasaran operasional uang primer (base money) sesuai
5
dengan program International Monetary Fund (IMF). Namun demikian, efektivitas kebijakan moneter tersebut sangat ditentukan oleh bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam mempengaruhi berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan, khususnya dalam rangka mengendalikan inflasi dan mendukung proses pemulihan sektor riil. Permasalahan menjadi semakin berat dengan kebelumnormalan fungsi intermediasi perbankan yang memegang peran penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Pada saluran kredit, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi. Dua perbedaan kredit berdasarkan penjelasan yang ada dalam literatur ekonomi makro sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter: saluran kredit bank dan saluran neraca keseimbangan. Gambaran kredit perbankan (Bernanke and Blinder, 1998 dalam Diaz 2006) mempertahankan bahwa efek bebas kebijakan moneter beroperasi melalui sisi asset dari neraca keseimbangan bank. Penurunan dalam simpanan bank yang mengikuti setelah sebuah kontraksi moneter langsung mempengaruhi kemampuan bank untuk memberikan kredit dan penawaran dalam penurunan pinjaman. Guncangan moneter dapat bekerja dengan cara mereka melalui berbagai sub saluran yang berbeda seperti perubahan suku bunga yang mempengaruhi arus kas peminjam, atau perubahan harga asset keuangan yang mempengaruhi kekayaan bersih peminjam.
6
Saluran Kredit yang akan digunakan dalam penelitian ini lebih menekankan akan pentingnya harga di pasar keuangan terhadap berbagai aktivitas ekonomi di sektor riil. Dalam kaitan ini, kebijakan moneter yang akan dilaksanakan oleh bank sentral akan mempunyai efek terhadap perkembangan kondisi berbagai suku bunga di sektor keuangan dan juga akan berpengaruh pada tingkat inflasi dan output riil (Warjiyo, 2004:20). Jadi, mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran kredit digambarkan sebagai berikut.
Kebijakan Moneter
Suku Bunga: - SBI
Suku Bunga Deposito
Transmisi di sektor keuangan
Suku Bunga Kredit
Kredit Konsumsi
Transmisi di Sektor Riil
Inflasi Output Riil
Kredit Investasi
Output Gap
Kredit Modal Kerja
Sumber: Warjiyo (2004) Gambar 2. Mekanisme Transmisi Saluran Kredit Saluran pinjaman bank dari transmisi moneter berhipotesis bahwa selama kebijakan kontraktif di pengaruhi oleh bank sentral, akan ada penurunan substansial dalam simpanan dalam sistem perbankan Giro Wajib Minimum lebih tinggi dalam bank dan biaya alternatif memegang uang meningkat. Oleh karena itu jika bank tidak dapat menggantikan penurunan dana pinjaman melalui
7
likuidasi aset atau melalui bentuk-bentuk eksternal keuangan, kebijakan kontraktif akan menurunkan penawaran kredit bank dan, mengubah pengeluaran riil peminjamnya. Keberadaan saluran kredit bank diduga kritis bergantung pada dua asumsi yang diperlukan: (a) beberapa pengeluaran tergantung pada kredit bank dan (b) kebijakan moneter dapat mempengaruhi penawaran pinjaman bank dan menghasilkan penurunan penawaran pinjaman mengurangi pengeluaran agregat riil (Kashyap & Stein, 1995 dalam Saumitra & Goyal, 2012). Pemahaman mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter semakin diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas dan efektivitas kebijakan moneter sesuai dengan UU Bank Indonesia, yaitu UU No. 3 tahun 2004. Bank Indonesia untuk menerapkan kerangka kerja kebijakan moneter yang di dalam literatur ekonomi sering disebut Inflation Targeting Framework. Hal ini terutama dapat dilihat dengan adanya pengaturan di dalam UU tersebut bahwa kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia serta adanya pengumuman sasaran inflasi dimaksud. Untuk mencapai tujuan tersebut, kepada Bank Indonesia diberikan kewenangan penuh (instrument independent) dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter.
Otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia, melalui operasi pasar terbuka menggunakan instrumen tingkat suku bunga SBI untuk mempengaruhi permintaan pinjaman dan pada akhirnya akan mempengaruhi permintaan agregat. Mekanisme transmisi moneter melalui saluran interest rate berawal dari short term rate kemudian menjalar ke medium dan long term rate (Warjiyo, 2003). Saat terjadi
8
kebijakan moneter yang ketat, kenaikan pada tingkat bunga akan membuat penurunan di sektor-sektor yang terkait dengan perbankan akibat kenaikan harga.
Sejak Juli 2005 Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di Indonesia telah menerapkan full-fledged inflation targeting, yaitu framework kebijakan moneter yang dicirikan dengan pengumuman resmi target inflasi untuk rentang waktu tertentu dan kebijakan moneter dilaksanakan oleh bank sentral yang independen untuk mencapai target dengan tingkat transparansi dan kredibilitas yang tinggi. Inflation targeting framework telah diterapkan oleh sebagian besar bank sentral, khususnya di negara maju, dalam tujuh belas tahun terakhir, sehingga transmisi suku bunga (interest rate pass-through) telah lebih banyak menarik perhatian dari sebelumnya (Ascarya, 2012:1). Penerapan inflation targeting framework secara empiris terbukti di beberapa negara maju maupun negara berkembang dapat mengontrol inflasi pada tingkat yang relatif rendah.
Inflation targeting umumnya didefinisikan sebagai kerangka kebijakan moneter dimana bank sentral akan menyesuaikan tingkat bunga untuk menjaga kondisi perkiraan inflasi dekat dengan target inflasi, dan mencapai stabilitas harga dan inflasi yang rendah sebagai tujuan utama kebijakan moneter. Dalam tahap awal, inflation targeting diadopsi terutama di negara maju. Karena pengalaman sukses terutama dalam hal stabilisasi harga, pengenalan inflation targeting telah menyebar tidak hanya ke negara maju lainnya tetapi juga telah bermunculan di negara berkembang sekitar 30 negara saat ini (Inoue, 2012:1). Berikut adalah beberapa negara yang telah menerapkan inflation targeting framework.
9
Tabel 1.
Negara yang mengimplementasikan inflation targeting framework
No
Negara
Tahun Memulai ITF
Target
1.
New Zealand
1990
1-3%
2.
Canada
1991
2 plus/minus 1%
3.
United Kingdom
1992
2.5 plus/minus 1%
4.
Australia
1994
2-3%
5.
Korea
1998
3 plus/minus 1%
6.
Polandia
1998
Less than 4%
7.
Mexico
1999
3%
8.
Israel
1992
1-3%
9.
Brazil
1999
2.5 plus/minus 1%
10. Indonesia
2000
3.0 – 5.0%
11. Thailand
2000
0-3.5%
12. Philipina
2002
4.5-5.5%
Sumber: Hong Kong Institute For Monetary Research
Tahun 1992, ditandai dengan berdirinya bank syariah pertama yakni Bank Muamalat, di Indonesia terdapat dua sistem perbankan, yaitu sistem bunga (interest rate system) dan sistem bagi hasil atau yang lebih dikenal dengan sistem tanpa bunga (free interest rate system). Semenjak sistem syariah mempunyai instrumen SWBI (Sertifikat Wadiah Bank Indonesia) Indonesia mempunyai dual monetary system yakni mekanisme tingkat bunga dan bagi hasil. Sistem bagi hasil sebagai sebuah prinsip perhitungan berdasarkan pendapatan produsen atau peminjam mempunyai sifat fleksibel terhadap pengembalian bagi hasilnya (Rusydiana, 2009). Dalam penelitian ini yang menggunakan saluran kredit, terdapat pula saluran pembiayaan syariah yang diberlakukan oleh perbankan syariah menggunakan tingkat bagi hasil.
10
Sejak dikeluarkannya UU Perbankan yang baru tahun 1998, Indonesia secara de jure telah menerapkan sistem perbankan ganda, yaitu bank konvensional dan bank syariah dapat beroperasi berdampingan di seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan, sejak dikeluarkannya UU Bank Indonesia yang baru tahun 1999, Bank Indonesia telah diberi amanah sebagai otoritas moneter ganda yaitu otoritas yang dapat menjalankan kebijakan moneter konvensional maupun syariah. Sejak saat itu perbankan dan keuangan syariah berkembang pesat (Ascarya, 2012:1).
Sejarah perbankan syariah di Indonesia dimulai sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992. Saat ini, berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia Maret 2013, jumlah perbankan syariah telah bertumbuh dengan pesat yaitu sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 159 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Pertumbuhan pesat bank syariah dalam tempo 21 tahun ini difasilitasi dengan baik oleh Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dengan diterbitkan dan diundangkan beberapa peraturan keuangan syari’ah yang kondusif. Yaitu disyahkannya UU BI No. 23/1999 dan UU BI No. 3/2004 serta UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Kedua UU ini memberi ruang yang lapang bagi bertumbuhnya perbankan dan keuangan syariah. Dari Neraca Gabungan BUS dan UUS (BI, Maret 2013) dapat diketahui bahwa Total Pembiayaan sebesar Rp 161,08 trilyun sedangkan penyerapan Dana Pihak ketiga adalah sebesar Rp 156,96 trilyun hal ini berarti Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 103%. Angka LDR diatas 100% ini menandakan bahwa peranan intermediasi keuangan perbankan syariah adalah tinggi dan signifikan karena sudah melibatkan ekuitas bank dalam pembiayaan. Hal ini juga menunjukkan
11
bahwa pelibatan masyarakat dalam usaha pokok perbankan syariah di Indonesia sangat tinggi. Tidak nampak campur tangan pemerintah dalam mendukung secara langsung misalnya dalam penempatan uang di perbankan syariah termasuk danadana yang terhubung langsung dengan ibadah dan ritual umat Islam seperti Zakat, Infaq, Sodaqoh dan Haji. Namun peranan perbankan syariah dalam perekonomian Indonesia masih kecil dan belum signifikan. Total Aset perbankan syariah, sampai Maret 2013, adalah Rp 209,6 Trilyun. Bila dibandingkan dengan total aset perbankan nasional total aset perbankan syariah itu hanya 5%. Total Modal Inti perbankan syariah adalah Rp 7,49 Trilyun. Dari 11 BUS hanya 3 BUS saja yang mempunyai modal inti dalam kategori Buku II yaitu modal inti antara Rp 1 - Rp 5 Trilyun (BSM,BMI, BNIS), sehingga tidak banyak aktivitas jasa perbankan yang bisa dilakukannya, terbatas hanya pada layanan keuangan segmen ritel dan konsumer dengan kelas UMKM, belum bisa menjangkau segmen industri besar (Wahjono dkk, 2013:06). Dengan sistem ini pertambahan jumlah uang beredar akan mengikuti pertambahan output yang terjadi. Keberadaan sistem bagi hasil menimbulkan kemungkinan perpindahan konsumen peminjam dari sistem bunga ke bagi hasil. Mekanisme substitusi tersebut membuat terjadi nya lack di kebijakan moneter. Kemungkinan lainnya adalah hal tersebut dapat mereduksi efek negatif pengurangan pinjaman di sektor konvensional. Reduksi ini timbul sebagai akibat dari mekanisme pinjaman syariah yang membuat keseimbangan antara pertumbuhan di sektor moneter dan sektor riil sehingga penambahan proporsi pembiayaan syariah pada perekonomian dapat menekan tingkat inflasi (Rusydiana, 2009).
12
Sama seperti ekonomi konvensional, dalam ekonomi Islam juga kita hadapi semua makro ekonomi isu-isu seperti pertumbuhan dan inflasi, sehingga peran kebijakan moneter dalam ekonomi Islam tak terbantahkan. Pandangan dominan di kalangan ulama Islam bahwa karena tingkat bunga dilarang dalam Islam dan kita tidak bisa menggunakan instrumen dasar bunga untuk kebijakan moneter seperti operasi pasar terbuka, dalam ekonomi Islam kita harus berkonsentrasi hanya pada instrumen agregat moneter.
Dengan semakin berkembangnya perbankan syariah, transmisi kebijakan moneter tidak hanya mempengaruhi perbankan konvensional saja, namun juga mempengaruhi perbankan syariah, karena mekanisme transmisi dapat juga melewati saluran syariah. Instrumen kebijakan moneter ganda juga tidak terbatas hanya menggunakan suku bunga saja, tetapi dapat pula menggunakan bagi hasil. Begitu pula dengan pinjaman yang disalurkan tidak hanya melalui kredit bank konvensional. Namun juga menggunakan pembiayaan syariah. Perubahan tingkat suku bunga kebijakan moneter, haruslah diikuti pula oleh perubahan pada suku bunga tabungan dan suku bunga kredit perbankan di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya suku bunga-suku bunga perbankan tidak beriringan dengan suku bunga kebijakan moneter, terutama suku bunga-suku bunga kredit perbankan. Hal ini mengakibatkan respon perbankan terhadap perubahan beberapa suku bunga kebijakan moneter kurang efektif, sehingga mengakibatkan ketidakefektifan pula untuk mencapai sasaran utama dari kebijakan moneter ini yaitu tingkat inflasi. Berikut merupakan pengaruh suku
13
bunga kebijakan, perbankan, jumlah kredit, dan PDB terhadap inflasi dalam sistem moneter konvensional.
14
16
12
14 12
Inf
10
rBI
8
SBI
6
rDepk
4
LOAN
2
2
PDB
0
0
rkmk
10 8 6
2013:12
2013:08
2013:04
2012:12
2012:08
2012:04
2011:12
2011:08
2011:04
2010:12
2010:08
2010:04
2009:12
2009:08
2009:04
2008:12
2008:08
2008:04
4
Sumber: Bank Indonesia (Diolah) Gambar 3. Hubungan antara Inflasi dengan BI rate, suku bunga SBI, suku bunga deposito suku bunga kredit modal kerja, jumlah kredit, dan PDB dalam sistem moneter konvensional periode April 2008 - Desember 2013 Pada Gambar 3 terlihat bahwa BI rate, suku bunga SBI, dan suku bunga deposito, dan suku bunga kredit modal kerja yang telah ditentukan cukup fleksibel dalam merespon kenaikan ataupun penurunan tingkat inflasi, namun tetap terdapat lag yang menyebabkan keterlambatan suku bunga-suku bunga kebijakan moneter yang telah ditentukan untuk merespon pergerakan tingkat inflasi di Indonesia. Trend rata-rata suku bunga dan inflasi pada Gambar 3 cenderung menurun, sedangkan jumlah kredit stabil namun cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Ini menunjukan hubungan negatif antara suku bunga dengan jumlah kredit perbankan. Dalam sistem kebijakan moneter syari’ah, pergerakan grafik yang ditampilkan pada Gambar 4 tidak jauh berbeda dengan Gambar 3. Pada Gambar 4 terlihat bahwa BI rate, tingkat imbal hasil, dan tingkat bagi hasil deposito
14
mudharabah yang telah ditentukan cukup fleksibel dalam merespon kenaikan ataupun penurunan tingkat inflasi, namun tetap terdapat lag yang menyebabkan keterlambatan tingkat imbal/bagi hasil kebijakan moneter syariah yang telah ditentukan untuk merespon pergerakan tingkat inflasi di Indonesia. Berikut merupakan grafik tentang hubungan antara inflasi dengan BI rate, tingkat imbal hasil SBIS, tingkat bagi hasil deposito mudharabah, tingkat bagi hasil pembiayaan modal kerja, jumlah pembiayaan bank syariah, dan PDB. 14
18
12
16 14
10
12
8
10
6
8 6
4
4
rBI SBIS rDeps FINC PDB PLS
2013:12
2013:08
2013:04
2012:12
2012:08
2012:04
2011:12
2011:08
2011:04
2010:12
2010:08
2010:04
2009:12
2009:08
2009:04
0 2008:12
0 2008:08
2
2008:04
2
Inf
Sumber: Bank Indonesia (Diolah) Gambar 4. Hubungan antara inflasi dengan BI rate, tingkat imbal hasil SBIS, tingkat bagi hasil deposito mudharabah, tingkat bagi hasil pembiayaan modal kerja, jumlah pembiayaan bank syariah, dan PDB dalam sistem moneter syariah periode April 2008 Desember 2013 Tingkat Inflasi merupakan sasaran akhir dari kebijakan moneter. Dari grafik inflasi di atas dapat dilihat pergerakan inflasi dari April 2008 sampai Desember 2013 bergerak beriringan dengan suku bunga kebijakan moneter yang telah ditetapkan. Begitu juga dengan tingkat imbal/bagi hasil dalam sistem kebijakan
15
moneter syariah. Namun, keduanya memiliki waktu yang berbeda dalam merespon pergerakan inflasi. Perkembangan perbankan syariah dari waktu ke waktu dan peningkatan peranannya dalam perekonomian nasional idealnya akan mempengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter yaitu pengendalian inflasi dan sudah selayaknya dijadikan pemicu untuk memulai suatu studi atau kajian yang komprehensif dan mendalam mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter tidak hanya melalui perbankan konvensional namun juga melalui perbankan syariah.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian tentang mekanisme transmisi kebijakan moneter saluran kredit konvensional dan pembiayaan syariah untuk mengetahui efektivitas dari masing-masing kebijakan tersebut. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian mengenai “Analisis Komparasi Efektivitas antara Transmisi Kebijakan Moneter melalui Saluran Kredit Konvensional dengan Saluran Pembiayaan Syariah di Indonesia periode 2008:04 – 2013:12”. Dengan demikian akan dapat diketahui mana yang lebih efektif antara transmisi kebijakan moneter melalui Bank Syariah atau melalui Bank Konvensional. B.
Permasalahan
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik beberapa permasalahan yang dapat dimasukan dalam penelitian ini, diantaranya: 1. Bagaimana pengaruh variabel transmisi kebijakan moneter saluran kredit konvensional yaitu BI rate (RBI), suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), suku bunga deposito 1 bulan (RDEPK), suku bunga kredit modal
16
kerja (RKMK), total kredit bank konvensional (LOAN), dan output riil (PDB) terhadap sasaran akhir pengendalian inflasi? 2. Bagaimana pengaruh variabel transmisi kebijakan moneter saluran pembiayaan syariah yaitu BI rate (RBI), tingkat bagi hasil Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), tingkat bagi hasil deposito mudharabah bank syariah (RDEPS), tingkat bagi hasil pembiayaan modal kerja (PLS), total pembiayaan bank syariah (FINC), dan output riil (PDB) terhadap sasaran akhir pengendalian inflasi? 3. Bagaimana kontribusi dari variabel RBI, SBI, RDEPK, RKMK, LOAN, dan PDB dalam pengendalian Inflasi? 4. Bagaimana kontribusi dari variabel RBI, SBIS, RDEPS, PLS, FINC, dan PDB dalam pengendalian Inflasi? 5. Bagaimana perbandingan efektivitas antara transmisi moneter saluran kredit konvensional dan transmisi moneter saluran pembiayaan syariah dalam transmisi kebijakan moneter di Indonesia?
C.
Tujuan Penelitian
Dari permasalahan yang telah dijelaskan pada penelitian ini, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh variabel transmisi kebijakan moneter saluran kredit konvensional yaitu BI rate (RBI), suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), suku bunga deposito 1 bulan (RDEPK), suku bunga kredit modal kerja (RKMK), total kredit bank konvensional (LOAN), dan output riil (PDB) terhadap sasaran akhir pengendalian inflasi.
17
2. Untuk mengetahui pengaruh variabel transmisi kebijakan moneter saluran pembiayaan syariah yaitu BI rate (RBI), tingkat bagi hasil Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), tingkat bagi hasil deposito mudharabah bank syariah (RDEPS), tingkat bagi hasil pembiayaan modal kerja (PLS), total pembiayaan bank syariah (FINC), dan output riil (PDB) terhadap sasaran akhir pengendalian inflasi. 3. Untuk mengetahui kontribusi dari variabel RBI, SBI, RDEPK, RKMK, LOAN, dan PDB dalam pengendalian Inflasi. 4. Untuk mengetahui kontribusi dari variabel RBI, SBIS, RDEPS, PLS, FINC, dan PDB dalam pengendalian Inflasi. 5. Untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara transmisi kebijakan moneter saluran kredit konvensional saluran pembiayaan syariah dalam transmisi kebijakan moneter di Indonesia. D.
Kerangka Pemikiran
Mekanisme transmisi adalah saluran yang menghubungkan antara kebijakan moneter dengan perekonomian. Sejak diberlakukan sistem ganda perbankan di Indonesia yaitu sistem konvensional dan sistem syariah, alur tranmisi moneter di Indonesia pun berubah. Perbandingan efektivitas antara transmisi moneter saluran kredit konvensional dan transmisi moneter saluran pembiayaan syariah dalam transmisi kebijakan moneter di Indonesia dapat dilihat dari pergerakan dari masing-masing instrumen yang digunakan. Kerangka pemikiran konseptual yang dalam penelitian ini dijelaskan dalam Gambar 5 sebagai berikut.
18
Mekanisme Transimisi Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia melalui Bank Lending and Financing Channel
Saluran Kredit
Saluran Pembiayaan Sistem Syariah
Sistem Konvensional
- Suku bunga SBI - SukuBunga PUAB - Suku bunga kredit modal kerja
- Tingkat bagi hasil SBIS - Tingkat Bagi hasil PUAS - Tingkat bagi hasil pembiayaan
(RKMK)
- Jumlah Kredit (LOAN) - Suku bunga deposito(RDEPK)
(PLS)
- Jumlah pembiayaan (FINC) - Tingkat bagi hasil deposito mudharabah (RDEPS)
INFLASI Gambar 5. Kerangka Pemikiran E.
Hipotesis
1. Diduga variabel transmisi kebijakan moneter saluran kredit konvensional yaitu RBI, SBI, RDEPK, RKMK, LOAN, dan PDB berpengaruh signifikan terhadap sasaran akhir pengendalian inflasi. 2. Diduga variabel transmisi kebijakan moneter saluran pembiayaan syariah yaitu RBI, SBIS, RDEPS, PLS, FINC, dan PDB berpengaruh signifikan terhadap sasaran akhir pengendalian inflasi. 3. Diduga variabel RBI, SBI, RDEPK, RKMK, LOAN, dan PDB berkontribusi dalam pengendalian Inflasi.
19
4. Diduga variabel RBI, SBIS, RDEPS, PLS, FINC, dan PDB berkontribusi dalam pengendalian Inflasi. 5. Diduga transmisi moneter saluran pembiayaan syariah dalam transmisi kebijakan moneter di Indonesia lebih efektif dibandingkan transmisi moneter saluran kredit konvensional. F.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Penelitian ini dilakukan di negara Indonesia menggunakan beberapa variabel dengan periode penelitian bulan April 2008 hingga Desember 2013. Dalam kebijakan moneter terdapat beberapa saluran transmisi moneter, namun saya membatasi hanya saluran kredit dan pembiayaan yang dipilih dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan membandingkan antara transmisi kebijakan moneter melalui saluran kredit konvensional dengan saluran pembiayaan syariah di Indonesia. Variabel-variabel yang digunakan adalah BI rate (RBI), Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Tingkat imbal hasil Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah (SBIS), Suku bunga kredit (modal kerja) bank konvensional (RKMK), Tingkat bagi hasil pembiayaan bank syariah (PLS), Total kredit bank konvensional (LOAN), Total pembiayaan bank syariah (FINC), suku bunga deposito bank konvensional (RDEPK), tingkat imbal hasil deposito mudharabah bank syari’ah (RDEPS), Produk Domestik Bruto (PDB) dan data Inflasi (Inf).