I.
A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fisher effect atau pengaruh Fisher adalah suatu teori yang mendeskripsikan hubungan jangka panjang antara inflasi dan suku bunga. Pengaruh Fisher menyatakan bahwa suku bunga riil sama dengan suku bunga nominal minus laju inflasi, dan jika suku bunga riil dijaga agar tetap konstan, maka suku bunga nominal dan suku bunga riil dapat disesuaikan berdasarkan basis satu-untuk-satu. Artinya, suatu kenaikan inflasi akan menyebabkan suatu kenaikan suku bunga nominal. Sebagai contoh, apabila suku bunga riil diupayakan konstan pada tingkat 5.5% dan inflasi naik dari 2% menjadi 3%, maka Fisher Effect mengindikasikan bahwa suku bunga nominal akan naik dari 7.5% (suku bunga riil 5.5% + laju inflasi 2% ) menjadi 8.5% (suku bunga riil 5.5% + laju inflasi 3%).1 Dengan kata lain, teori ini menyatakan bahwa tingkat suku bunga nominal dibentuk oleh dua komponen yakni ekspektasi inflasi ( te ) dan tingkat suku bunga riil (rt ) : it rt te
(1.1)
Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan Fisher Effect adalah bahwa suku bunga nominal berubah satu-untuk-satu dengan inflasi dalam jangka panjang.
1
Lihat Fisher, I. (1930), The Theory of Interest, Macmillan, New York.
Persamaan Fisher menunjukan bahwa tingkat bunga nominal adalah jumlah tingkat bunga riil dan tingkat inflasi.2 Studi mengenai Fisher Effect, dalam ilmu ekonomi merupakan landasan dari banyak model teoritis yang menghasilkan teori netralitas moneter dan penting untuk memahami pergerakan suku bunga nominal (Lungu, 1998).3 Karena cukup penting dalam kebijakan moneter, telah banyak studi mengenai hubungan antara tingkat suku bunga dan inflasi di berbagai negara.
Sejumlah besar model-model teoritis mengasumsikan bahwa hipotesis Fisher berlaku. Meskipun demikian, walaupun dukungan empirik atas hipotesis tersebut, telah banyak dilakukan, namun tampaknya masih sukar dibuktikan, karena masih terdapat berbagai studi di sejumlah negara yang menolak hipotesis dari Fisher Effect.
Weber (1994)4, King dan Watson (1997)5, Koustas dan Serletis (1999)6, dan Rapach (2003)7 menolak netralitas inflasi jangka panjang terhadap laju suku bunga riil, dengan menggunakan kerangka yang dikembangkan oleh Fisher dan
2
N. Gregory Mankiw, 2003, Teori Makroekonomi, Erlangga.
6
Laurian Lungu, 1998, “Is There Evidence of The Fisher Effect”, University Of Liverpool.
4
Weber, A. (1994), “Testing long-run neutrality: Empirical evidence for G7 countries with special emphasis on Germany,” Carnegie-Rochester Conference Series on Public Policy, 41, 67–117. 5
King, R., and Watson, M. (1997), “Testing long-run neutrality,” Federal Reserve Bank of Richmond Economic Quarterly, 83, 69–101. 6
Koustas, Z., and Serletis, A. (1999), “On the Fisher effect,” Journal of Monetary Economics, 44, 105–130. 7
Rapach, D.E. (2003), “International evidence on the long run impact of inflation,”Journal of Money, Credit, and Banking, 35, 23–48.
Seater (1993) dan sejumlah besar negara-negara anggota OECD.8 Engsted (1995)9, Koustas and Serletis (1999)10, Atkins and Serletis (2003)11, dan Rapach (2003)12, diantara para peneliti lainnya, secara formal menguji kointegrasi dan menemukan tidak adanya dukungan atas kointegrasi antara inflasi dan suku bunga nominal. Penelitian Shigeyoshi Miyagawa and Yoji Morita (2003)13, tidak menemukan adanya Fisher Effect di ketiga negara yakni Jepang, Swedia dan Italia. Didapat bahwa, tingkat suku bunga nominal tidak dapat merespon tingkat inflasi point-to-point. Sama halnya dengan Miyagawa, Mark J. Jensen (2006)14 menemukan bahwa pengujian dari Fisher Effect dalam jangka penjang tidak valid dan tidak informatif sebagai keadaan yang sebenarnya dari hipotesis Fisher Effect untuk jangka panjang.
Selain itu, penelitian Divino and Rocha (2002) dalam Henry Alexander MitchellInnes (2006)15 yang melakukan penelitian di negara dengan tingkat inflasi yang tinggi pada tiga negara yakni Brazil, Meksiko dan Argentina, juga memberikan bukti bahwa Fisher Effect hanya ditemukan pada Argentina dan Brazil. 8
All of these studies used a bi-variate model with inflation and nominal interest rates, except for Rapach who used a tri-variate model that includes in addition real GDP. 9
Engsted, T. (1995), “Does the long-term interest rate predict future inflation? A multi-country analysis,“ Review of Economics and Statistics, 77, 42-54. 10
Koustas, Z., and Serletis, A. (1999), op cit.
11
Atkins F.J., and Serletis, A. (2003), “Bounds tests of the Gibson paradox and the Fisher effect: evidence from low frequency international data,” The ManchesterSchool, 71, 673-679. 12
Rapach, D.E. (2003), op. Cit.
13
Shigeyoshi Miyagawa, Yoji Morita, 2003, “The Fisher Effect and The Long–Run Phillips Curve. in the case of Japan, Sweden and Italy”. Working Papers in Economics no 77, Kyoto Gakuguen University, Departement of Economics. 14
Mark J. Jensen, 2006, “The Long-Run Fisher Effect: Can It Be Tested?”, Working Paper Series, Federal Reserve Bank Of Atlanta. 15
Divino and Rocha, 2002 dalam Henry Alexander Mitchell-Innes, 2006, “The Relationship between interest rate and inflation in South Afrika” : Revisting Fisher’s Hipothesis, Thesis, Rhodes University.
Di lain pihak,diantara para peneliti lainnya, Mishkin (1991), Evans and Lewis (1995)16, dan Crowder and Hoffman (1996)17, menemukan adanya bukti yang mendukung kointegrasi dengan data pasca perang di AS. Beyer and Farmer (2007) juga menemukan adanya kointegrasi antara laju suku bunga dana Federal dan inflasi. Mishkin (1991)18 menemukan bukti bahwa terdapat Fisher Effect dalam jangka panjang dimana terdapat hubungan yang terkointegrasi antara inflasi dan U.S Treasury bills di Amerika Serikat. Sedangkan dalam penelitiannya, hubungan Fisher Effect dalam jangka pendek tidak ditemukan. Penelitian Fisher Effect di Amerika juga dilakukkan oleh Fahmi dan Kandhil (2003:459-461) 19 dalam Henry Alexander Mitchell-Innes (2006) yang tidak dapat menolak hubungan kointegrasi antara suku bunga nominal dan inflasi dalam jangka panjang.
Penelitian mengenai Fisher Effect di Australia yang dilakukan oleh Mishkin dan John Simon (1995)20 menemukan bahwa terdapat hubungan antara inflasi dan tingkat suku bunga (treasury note) dimana dalam jangka panjang inflasi dan tingkat suku bunga dalam trend yang bersamaan, sedangkan dalam jangka pendek Fisher Effect tidak ditemukan di Australia. Perubahan dalam jangka pendek pada 16
Evans, M.D.D., and Lewis, K.K. (1995), “Do expected shifts in inflation affect estimates of the long-run Fisher relation?” Journal of Finance, 50, 225–253. 17
Crowder, W.J., and Hoffman, D.L. (1996), “The long-run relationship between nominal interest rates and inflation: the Fisher equation revisited,” Journal of Money, Credit, and Banking, 28, 102118. 18
Frederic S. Mishkin, 1991, “Is the Fisher Effect For Real? A Reexamination of The Relationship between inflation and interest rate”, NBER Working Papers. 19
Fahmi dan Kandhil, 2003 dalam Henry Alexander Mitchell-Innes, 2006, The Relationship between interest rate and inflation in South Afrika : Revisting Fisher’s Hipothesis, Thesis, Rhodes University. 20
Frederic S. Mishkin, John Simon, 1995, An Empirical Examination Of The Fisher Effect In Australia, NBER Working Papers.
tingkat suku bunga merefleksikan perubahan dalam suku bunga riil dari pada ekspektasi inflasi dan hal ini penting sebagai refleksi stance kebijakan moneter dimana tingkat suku bunga jangka pendek tidak dapat secara tepat memberikan gambaran bagi kebijakan moneter dengan tetap mempertahankan tingkat bunga yang tinggi dalam periode tertentu sebagai sebuah indikasi ekspektasi inflasi yang tinggi. Paul R. Krugman dan Maurice Obstfeld (2005)21 membuktikan bahwa Efek fisher dalam jangka panjang ditemukan pada tiga negara dimana inflasionernya sejak tahun 1970 berlainan satu sama lain, yakni Swiss, Amerika Serikat, dan Italia. Di setiap negara suku bunganya cenderung mengalami peningkatan segera setelah terjadinya kenaikan tingkat inflasi seiring dengan berlangsungnya proses penyesuaian harga-harga dan tumbuhnya perkiraan di masyarakat akan adanya tingkat inflasi yang lebih tinggi lagi. Demikian pula, atas dasar yang sama, pengurangan inflasi pada akhirnya akan menurunkan suku bunga. Di samping itu, suku bunga rata-rata yang paling rendah dialami Swiss yang tingkat inflasi rataratanya juga paling rendah. Sedangkan tingkat bunga rata-rata tertinggi ada di Italia yang tingkat inflasi rata-ratanya ternyata juga paling tinggi. Ekaterini Panopoulou (2005)22 menemukan bukti empiris yang cukup kuat untuk dapat melihat keberadaan Fisher Effect di 14 negara OECD dalam jangka panjang dimana tingkat suku bunga bergerak one-to-one dengan inflasi. Penelitian yang
21
Paul R. Krugman dan Maurice Obstfeld, 2005, “Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan”, Jilid dua, PT. Indeks Kelompok Geamedia. 22
Ekaterini Panopoulo, 2005, “A Resolution of the Fisher Effect Puzzle: A Comparison of Estimators”, National University of Ireland, Maynooth and University of Piraeus, Greece.
dilakukan oleh Andrea Bayer, Alfred A. Haug, William G. Dewald (2009)23 juga dengan menggunkan data dari 15 negara OECD yakni Australia, Kanada, Perancis, Italia, Netherland, Noorwegia, Switzerland, Amerika, Belgia, Denmark, Jerman, Jepang, New Zealand, Swedia, dan Inggris dapat membuktikan secara empiris adanya Fisher Effect dalam jangka panjang.
Untuk Indonesia sendiri, penelitian tentang Fisher Effect ini juga sudah pernah dilakukan oleh Agustinus Ardhitya dan Kurniartanto (2008)24 yang menemukan bahwa Fisher Effect terjadi di Indonesia pasca deregulasi sistem keuangan pada periode pengamatan 1989:2- 2006:12 dan sub-periode 1989:2-1998:2. Penelitian yang dilakukan oleh Henry Alexander Mitchell-Innes (2006)25 mengemukakan tiga hal mengenai pentingnya Fisher Effect. Pertama, menurut Hawtrey (1997:337)26 tingkat suku bunga rill memainkan peranan yang sangat penting didalam variabel ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi, serta berpengaruh tehadap perdagangan dan aliran modal yang pada gilirannya mempengaruhi nilai tukar. Kedua, terdapat bukti yang cukup banyak, seperti yang dikemukakan oleh Fama (1975)27, bahwa tingkat suku bunga nominal dapat digunakan sebagai determinan ekspektasi inflasi dimasa mendatang.
23
Andrea Bayer, Alfred A. Haug, William G. Dewald, 2009, “Structural Breaks, Cointegration and The Fisher Effect”, Workoing Paper Series no 1013, European Central Bank. 24
Agustinus Ardhitya dan Kurniartanto, 2008, “Pengujian Efek Fisher di Indonesia Pasca Deregulasi Keuangan”, Undergarduate Theses FE UGM. 25
Henry Alexander Mitchell-Innes, 2006, “The Relationship between interest rate and inflation in South Afrika” : Revisting Fisher’s Hipothesis, Thesis, Rhodes University. 26
Hawtrey, 1997 dalam Henry Alexander Mitchell-Innes, 2006, “The Relationship between interest rate and inflation in South Afrika” : Revisting Fisher’s Hipothesis, Thesis, Rhodes University. 27
Fama, 1975 dalam Henry Alexander Mitchell-Innes, 2006, “The Relationship between interest rate and inflation in South Afrika” : Revisting Fisher’s Hipothesis, Thesis, Rhodes University.
Ketiga, Hipothesis Fisher juga faktor yang sangat penting sebagai salah satu pertimbangan bagi Bank Sentral.
Secara umum, hubungan jangka panjang antara tingkat suku bunga nominal dan tingkat inflasi bagi seluruh Asia timur yakni China, Hong Kong, India, Indonesia, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Thailand dan Philipina telah dapat teridentifikasi, implikasinya adalah kebijakan moneter dapat digunakan sebagai cara yang efektif untuk mempengaruhi tingkat suku bunga jangka panjang pada 28
perekonomian Asia Timur (Ling, Tai-Hu, Liew, et.al 2007).
Dari berbagai sumber literatur dan penelitian yang ada, hubungan jangka panjang antara inflasi dan suku bunga nominal yang cenderung bergerak beriringan inilah yang disebut dengan Fisher Effect yang dikenalkan oleh Irving Fisher diawal abad 29
20 . Dimana suku bunga memainkan peranan penting dalam kebijakan moneter dan inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter. Sejak tahun 1999, kebijakan moneter di Indonesia mengalami perubahan besar dengan diberlakukannya UU Bank Sentral Republik Indonesia. Dalam UU BI tahun 1999 yang pada tahun 2001 diamandemen menjadi UU Bank Indonesia disebutkan bahwa tujuan utama kebijakan moneter adalah bersifat single objective, yaitu untuk menjaga kestabilan rupiah. Tujuan tunggal tersebut berdimensi dua. Dalam konteks ekonomi domestik (internal) tujuan kebijakan moneter adalah menjaga agar inflasi berada pada level yang rendah dan stabil. Sedangkan secara eksternal tujuan kebijakan
28
Ling, Thai-hu, Liew, Venus Khim-Sen, Syed Khalid Wafa, Syed Azizi Wafa, 2007, “Fisher Hypothesis: East Asean Evidence from panel unit root test”, Labuan School of Internasinal Business and Finance, University Malaysia Sabah. 29
Paul R. Krugman dan Maurice Obstfeld, 2005, “Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan”, PT Indeks Kelompok Gramedia.
moneter adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar AS (Alamsyah dkk. 2001. 311)30. Adapun Saat ini Indonesia melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan konsep infation targeting framework (ITF) yang dimulai tahun 2005, dimana Bank Indonesia sebagai Otoritas Moneter melaksanakan kebijakan moneter melalui targetan tertentu setiap tahunnya, GDP dan Inflasi menjadi variabel yang ditargetkan jumlahnya dalam setiap tahunnya dan pengendalian moneter melalui suku bunga sebagai sasaran operasional dalam konsep inflation targeting.
Dalam penelitian ini, analisis terhadap Fisher Effect dilakukan pada periode sebelum penerapan Inflation Targeting Framework (ITF) dan pada periode penerapan Inflation Targeting Framework. Persamaan Fisher digunakan untuk menguji hubungan antara suku bunga nominal dan ekspektasi inflasi baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek pada periode sebelum penerapan Inflation Targeting Framework dan pada periode penerapan Inflation Targeting Framework.
Di indonesia, jika dilihat tingkat Suku Bunga SBI dalam 10 tahun terakhir yakni pada periode 2001.01-2009.12 mengalami volatilitas yang cukup signifikan, hal ini terlihat dari data yang diperoleh dari Bank Indonesia dari www.bi.go.id dimana tingkat suku bunga SBI dari tahun 2000-2002 terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan inflasi, pada tahun 2002-2004 menunjukkan trend penurunan. Sedangkan pada tahun 2005 hingga 2006, tingkat suku bunga SBI menunjukan trend yang cenderung mengalami kenaikan. 30
Alamsyah, Halim. 2001. Towards Implementation of Inflation Targeting in Indonesia. Bulletin Of Indonesian Economic Study Vol 37. Bank Indonesia. 309 – 324
Namun hal tersebut tidak diikuti oleh tahun selanjutnya, kenaikan suku bunga SBI ditunjukan pada tahun 2008 kuartal kedua dan terjadi hingga 2009 kuartal pertama. Sedangkan Dari sisi tingkat inflasi, semenjak krisis moneter yang melanda Indonesia pada periode 1997-1998 dimana harga barang dan jasa secara keseluruhan naik, sehingga mengakibatkan nilai uang turun, yang pada gilirannya mengakibatkan inflasi secara berkepanjangan. Gambar 1. Inflasi dan Suku Bunga SBI (2001.01 – 2005.06)
35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
SBI
Jun'05
Sep'04
Mei'04
Jan'04
Sep'03
Mei'03
Jan'03
Sep'02
Mei'02
Jan'02
Sep'01
Mei'01
Inflas i
Jan'01
(%)
Inflasi dan Suku Bunga SBI (2001.01-2005.06)
Peiode
Sumber : www.bi.go.id
Pada periode sebelum penerapan ITF khususnya pada 2001.01-2005.6, data dari situs resmi Bank Indonesia menunjukan bahwa pada Desember 2000 Tingkat suku bunga SBI adalah sebesar 14.53%, dan mengalami peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2001 sebesar 17.61% di bulan desember, dan sebesar 12.93% pada desember 2002 yang menurun menjadi 8.31% pada tahun 2003, dan kembali menurun menjadi 7.43% pada tahun 2004 dan berada pada pada kisaran 7% di tahun 2005. Pergerakan suku bunga juga diikuti oleh pergerakan inflasi pada periode tersebut, tingkat inflasi di tahun 2001 mengalami peningkatan dimana pada Desember 2000 sebesar 9.35%, dan mengalami
peningkatan pada Desember 2001 menjadi 12.55%, turun kembali pada Desember 2002 menjadi 9.20%, 5.16% pada tahun 2003, 6.40% 2004, seperti halnya suku bunga, inflasi juga berada pada kisaran 7% di tahun 2005. Gambar 2. Inflasi dan Suku Bunga SBI (2005.06 – 2009.12)
35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
SBI
Des'09
Nov'08
Jul'08
Mar'08
Nov'07
Jul'07
Mar'07
Nov'06
Jul'06
Mar'06
Nov'05
Inflas i
Jul'05
(%)
Inflasi dan Suku Bunga SBI (2005.06-2009.12)
Periode
Sumber : www.bi.go.id Pada periode penerapan ITF yakni pada 2005.07-2009.12, suku bunga SBI dan inflasi mengalami volatilitas yang beriringan. Tetapi pada Desember 2005 mengalami kenaikan sebesar 12.75%, dan kembali menurun pada tahun 2006 menjadi 9.75%, 8.00% pada tahun 2007, dan kembali meningkat pada tahun 2008 menjadi 10.83%, dan pada tahun 2009 tingkat suku bunga SBI juga mengalami penurunan seriring dengan penurunan tingkat inflasi yakni 8.21% pada maret 2009 dan 6.58 pada agustus 2009. Inflasi mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2005 menjadi 17.11% dan ditahun 2006 sebesar 17.92% pada bulan februari. Hal tersebut dapat terlihat dari data tingkat inflasi yang diperoleh dari situs Bank Indonesia www.bi.go.id dimana inflasi meningkat drastis. Adanya peningkatan ini dipicu oleh kondisi politik Indonesia yang masih belum stabil. Pada Desember 2006 tingkat inflasi kembali menurun menjadi 6.60%, 6.59%
pada tahun 2007, dan kembali mengalami peningkatan menjadi 11.06% akibat imbas dari krisis keuangan di Amerika pada tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009, inflasi menunjukan trend penurunan, dapat dilihat bahwa pada Maret 2009 tingkat inflasi sebesar 7.92% dan terus menurun sebesar 2.83% pada september 2009.
Jika dilihat dari data yang ada menunjukan bahwa tingkat inflasi dan suku bunga nominal baik sebelum pada periode sebelum penerapan inflation targeting pada tahun 2001.01 – 2005.06 maupun pada periode penerapan inflation targeting pada tahun 2005.07-2009.12 yang cenderung bergerak beriringan sebagaimana yang dinyatakan oleh konsep Fisher Effect. Dapat dilihat bahwa suku bunga nominal cenderung meningkat mengikuti peningkatan tingkat inflasi dan cenderung menurun mengikuti penurunan tingkat inflasi seiring dengan berlangsungnya proses penyesuaian harga-harga, dan tumbuhnya ekspektasi dimasyarakat akan adanya tingkat inflasi yang lebih tinggi lagi (ekspektasi inflasi), namun hal tersebut selanjutnya harus dapat dibuktikan secara empiris, seperti penelitian-penelitian yang lalu dimana Fisher Effect dapat dibuktikan kuat pada suatu negara, namun Fisher Effect juga tidak dibuktikan di negara lainnya dan apakah Fisher Effect dapat dibuktikan secara empiris terjadi di Indonesia pada periode sebelum penerapan inflation targeting maupun pada periode penerapan inflation targeting.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan analisis apakah terdapat hubungan point-to-point antara inflasi dan tingkat suku bunga yakni hubungan antara ekspektasi inflasi dan tingkat suku bunga SBI atau dengan kata lain apakah
Fisher Effect terjadi di Indonesia pada periode sebelum penerapan inflation targeting maupun pada periode penerapan inflation targeting.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang yang ada, penulis merumuskan permasalahan yaitu : ”Apakah Fisher Effect dapat dibuktikan secara empiris di Indonesia pada periode sebelum penerapan inflation targeting pada tahun 2001.01 – 2005.06 maupun pada periode penerapan inflation targeting pada tahun 2005.07-2009.12?”
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui apakah Fisher Effect dapat dibuktikan secara empiris yakni adanya hubungan point-to-point antara ekspektasi inflasi dan tingkat suku bunga SBI di Indonesia pada periode sebelum penerapan inflation targeting pada tahun 2001.01 – 2005.06 maupun pada periode penerapan inflation targeting pada tahun 2005.07-2009.12?”
D.
Kerangka Pemikiran
Menurut Edward dan Khan (1985)31 ada dua jenis faktor yang menentukan nilai suku bunga, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputipendapatan nasional, jumlah uang beredar (JUB), dan inflasi yang diduga. Sedangkan faktor eksternal merupakan suku bunga luar negeri dan tingkat perubahan nilai tukar valuta asing yang diduga. 31
Edward, S. dan M.S. Khan. 1985. Interest Rate Determination in Developing Countries.IMF Staff Paper no. 32. September.
Menurut Laksmono (2001)32, nilai suku bunga domestik di Indonesia sangat terkait dengan suku bunga internasional. Hal ini disebabkan oleh akses pasar keuangan domestik terhadap pasar keuangan internasional dan kebijakan nilai tukar yang kurang fleksibel.
Suku bunga SBI sebagai sasaran operasional kebijakan moneter mempengaruhi suku bunga lainnya, sebab suku bunga SBI merupakan acuan bagi perbankan dalam menentukan tingkat suku bunga, baik suku bunga tabungan maupun suku bunga pinjaman. Paul R. Krugman dan Maurice Obstfeld (2005)33 menjelaskan bahwa terjadinya kenaikan tingkat inflasi seiring dengan berlangsungnya proses penyesuaian hargaharga dan tumbuhnya perkiraan di masyarakat akan adanya tingkat inflasi yang lebih tinggi lagi, maka pemerintah akan melakukan kebijakan moneter melalui peningkatan suku bunga, Pemerintah menganggap bahwa menaikkan suku bunga melalui kenaikkan suku bunga SBI, dapat menekan tingkat inflasi. Menurut pemerintah, naiknya tingkat suku bunga akan dapat menekan inflasi. Untuk itu tingkat suku bunga menjadi penting, karena bisa digunakan untuk menganalisa ekspektasi inflasi.
Penggunaan suku bunga sebagai indikator ekspektasi inflasi sejalan dengan kebutuhan akan suatu instrumen yang secara efektif dapat menjelaskan fenomena
32
Laksmono, R, Didy. 2001. “Suku Bunga Sebagai Salah Satu Indikator Ekspektasi Inflasi”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Maret. hal. 130-137. 33
Paul R. Krugman dan Maurice Obstfeld, 2005, “Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan”, PT Indeks Kelompok Gramedia.
pergerakan inflasi sebagai sasaran akhir bagi kebijakan moneter ( Neny Erawati dan Richard Llewelyn, 2002)34 Fisher Effect, yakni hubungan jangka panjang antara inflasi dan suku bunga tercermin dari ekspektasi masyarakat terhadap inflasi di masa yang akan datang antara lain dapat dilihat dari perkembangan suku bunga nominal. Suku bunga nominal ini mencerminkan suku bunga riil ditambah ekspektasi inflasi. Dengan demikian, perkembangan suku bunga nominal dapat digunakan sebagai indikator 35
ekspektasi masyarakat. Menurut Laksmono (2001) , beberapa penelitian di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya juga telah menemukan hubungan yang dekat antara suku bunga dengan proyeksi perubahan inflasi. Apabila Fisher effect berlaku, maka suatu perubahan inflasi yang permanen akan menyebabkan suatu perubahan suku bunga nominal jangka panjang satu-untuk-satu. Inflasi kemudian menunjukkan netralitas jangka panjang terhadap suku bunga riil.
Model Fisher menentukan bahwa suku bunga riil adalah perbedaan antara suku bunga nominal dan laju ekspektasi inflasi. Jika suku bunga nominal dan laju inflasi terintegrasi dalam orde satu, atau I(1), maka kedua variable tersebut berkointegrasi dengan koefisien kemiringan satu kovarians sehingga suku bunga riil stasioner. Atau, sebaliknya, jika kedua variable tersebut tidak berkointegrasi, maka berbagai uji netralitas jangka panjang yang dikembangkan Fisher and Seater
34
Neny Erawati dan Richard Llewelyn, 2002, “Analisa Pergerakan Suku Bunga dan Laju Ekspektasi Inflasi Untuk Menentukan Kebijakan Moneter di Indonesia”, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 4, No. 2. 35
R. Didy Laksmono, 2001, “Suku Bunga Sebagai Salah Satu Indikator Ekspektasi Inflasi, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan”, hal. 130-137.
(1993)36 dapat diaplikasikan sepanjang kedua variable tersebut I(1). Apabila Fisher effect berlaku, maka suatu perubahan inflasi yang permanen akan menyebabkan suatu perubahan suku bunga nominal jangka panjang satu-untuksatu. Inflasi kemudian menunjukkan netralitas jangka panjang terhadap suku bunga riil.
Faktor Internal : Pendapatan Nasional Jumlah Uang Beredar Inflasi Faktor Eksternal : Suku Bunga Luar Negeri Nilai Tukar Valuta Asing
SUKU BUNGA
Inflasi = Suku Bunga Nominal Suku Bunga Rill
Suku Bunga Nominal = Suku bunga Rill + ekspektasi inflasi
it rt te
Fisher Effect
Gambar 3. Kerangka Pemikiran 36
Fisher, M.E., and Seater, J.D. (1993), “Long-run neutrality and superneutrality in an ARIMA framework,” American Economic Review, 83, 402-415.
E.
Hipotesis
Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan teori maka dirumuskan hipotesis : a.
Diduga Ekspektasi inflasi memiliki pengaruh positif terhadap suku bunga SBI baik pada periode sebelum penerapan ITF yakni pada periode 2001.01-2005.06 maupun pada periode penerapan ITF yakni pada periode 2005.07-2009.12.
b.
Diduga Fisher Effect dapat dibuktikan di Indonesia baik pada periode sebelum penerapan ITF yakni pada periode 2001.01-2005.06 maupun pada periode penerapan ITF yakni pada periode 2005.07-2009.12.
F.
Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan ini terdiri dari : Bab I.
Pendahuluan. Bagian ini terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan, kerangka pemikiran, hipotesis, dan sistematika penulisan.
Bab II. Tinjauan Pustaka. Berisikan teori-teori tentang Fisher Effect, Suku Bunga dan inflasi. Bab III. Metode penelitian berisikan tahapan penelitian, data dan sumber data, batasan variabel, alat analisis, serta model penelitian. Bab IV. Hasil perhitungan dan pembahasan berisikan analisis hasil perhitungan secara desktiptif kuantitatif. Bab V. Simpulan dan saran. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN