I.
PENDAHULUAN Banyak masalah yang terjadi pada berbagai kasus bisnis
yang ada saat ini melibatkan profesi akuntan. Sorotan yang diberikan kepada profesi ini disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya praktik-praktik profesi yang mengabaikan standar akuntansi bahkan etika. Perilaku tidak etis merupakan isu yang relevan bagi profesi akuntan saat ini (Husein, 2008). Banyak pihak yang kemudian mulai menuntut para akuntan untuk dapat menjaga kredibilitas profesi mereka. Majalah
Akuntan
Indonesia
(Agustus,
2009)
mengungkapkan, “Berbagai kalangan menganggap manakala setiap terjadi krisis ataupun kasus keuangan seperti Enron dan krisis keuangan Amerika yang berimbas pada krisis global maka akuntan ikut dipersalahkan mempunyai peran dan tanggung jawab besar sebagai salah satu penyebabnya. Demikian halnya yang terjadi di Indonesia seperti kasus jebolnya Bapindo di era Orde Baru, Bank Bali, BLBI dan yang paling gress Bank Century - semua pihak menatap kinerja profesionalitas akuntan Indonesia, baik sektor akuntan publik, akuntan keuangan maupun akuntan pemerintah. Posisi peran dan keberadaan akuntan Indonesia dipertanyakan.” Auditor internal adalah seseorang yang melakukan aktivitas pengujian yang memberikan keandalan atau jaminan yang independen, dan objektif serta aktivitas konsultasi yang
dirancang untuk memberikan nilai tambah dan melakukan perbaikan terhadap operasi organisasi. Sehingga, seorang auditor internal yang profesional dalam melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang profesi yang bersangkutan, dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi yang ditetapkan (Siswati, 2012). Auditor internal merupakan bagian integral dalam perusahaan yang melakukan audit internal. Pengertian audit internal
menurut
“Professional
Practise
Framework”:
Internal Standards for The Professional Practice of Internal Audit,
IIA (2014) adalah aktivitas
independen,
yang
memberikan jaminan keyakinan serta konsultasi (consulting) yang dirancang untuk memberikan suatu nilai tambah (to add value) serta
meningkatkan (improve)
kegiatan operasi
organisasi. Hal ini membantu organisasi mencapai tujuannya dengan membawa sistematis, disiplin pendekatan untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola. Dalam Asian Confederation of Intitude of
Internal
Auditors (ACIIA) Conference Di Bali (24-25 November 2014), menyatakan adanya nilai-nilai kegiatan audit internal yaitu
memberikan
keyakinan
(assurance),
independen
(objectivity) dan sebagai katalisator (insight). Saat ini auditor
internal mengalami peningkatan dalam peran selain menjadi pengawas (watchdog) dan konsultan (consultan), auditor internal juga memiliki peran sebagai katalisator (catalyst) dalam perusahaan (IIA, 2014). Peran yang dijalankan auditor internal
sebagai
katalisator
adalah
mengarahkan
agar
pelaksanaan quality management dapat sesuai dengan yang direncanakan. Peran auditor internal sebagai katalisator bertindak sebagai fasilitator dan agent of change (IIA, 2014). Sedangkan tanggung jawab auditor eksternal adalah memberikan opini atas kewajaran pelaporan keuangan organisasi. Kedua profesi ini memiliki keterkaitan dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Auditor eksternal memiliki kemungkinan untuk meningkatkan efesiensi dalam mengaudit laporan keuangan. Begitu juga dengan pihak internal audit merasa terjamin mengaudit laporan keuangan ditambah informasi yang penting dalam penilaian resiko kontrol (Dobroteanu dan Dobroteanu, 2002 dalam Danescu dan Spatacean, 2012). Fungsi pokok auditor eksternal adalah melakukan pemeriksaan umum atas laporan keuangan perusahaan dan memberi opini atas kewajaran laporan keuangan setelah melakukan prosedur audit (Agoes dan Ardana, 2009). Sebagai akuntan profesional, auditor eksternal pun tentunya harus bertanggung jawab untuk meyakinkan stakeholders dengan
menyajikan laporan keuangan yang fair dan opini yang independen, jika tidak demikian, stakeholders mungkin tidak dapat mengambil kesimpulan yang valid dan membuat keputusan yang tepat (Al-Aidaros et al., 2011). Ludigdo (2007) mengatakan dalam melakukan audit keuangan, dimana ini merupakan salah satu bidang keahlian akuntan, akuntan dituntut untuk tidak saja mempunyai kompetensi teknis tetapi juga harus bebas secara moral dari konflik kepentingan (independen). Zarkasyi (2009), Dunia bisnis dan para pengambil keputusan yang menggunakan audited financial statement sangat mengharapkan agar auditor bekerja dengan independen, jujur, dan memiliki orientasi etika (ethical orientation) yang tinggi. Dalam situasi kondusif seperti itulah maka para pengguna jasa akuntan publik akan percaya terhadap kinerja akuntan publik yang pada akhirnya akan membawa public trust (kepercayaan masyarakat) terhadap Kantor Akuntan Publik (CPA Firm). Seiring dengan tuntutan untuk menghadirkan suatu proses bisnis yang terkelola dengan baik, sorotan atas kinerja akuntan terjadi dengan begitu tajamnya. Ini tidak dapat dilepaskan dari terjadinya beberapa skandal besar “malpraktik bisnis” yang telah melibatkan profesional akuntan. Peristiwa bisnis
yang
melibatkan
akuntan
tersebut
seharusnya
memberikan pelajaran untuk mengutamakan etika dalam
melaksanakan praktik profesional akuntansi (Ludigdo, 2006). Baik auditor internal maupun auditor eksternal harus dapat melaksanakan tanggung jawab profesinya sesuai dengan standar profesi dan etika yang berlaku. Namun seringkali akuntan menghadapi dilema etis (ethical dilemma) pada saat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Dilema yang dihadapi oleh akuntan berbeda-beda tergantung masing-masing tugas, tanggung jawabnya dan kondisi yang dihadapi. Dilema etis ini terjadi ketika ada konflik dari pertimbangan-pertimbangan dan teori etika muncul untuk memecahkan dilema (Duska et al., 2011). Seorang auditor internal mungkin menghadapi suatu dilema etis, ketika berada dalam kondisi tekanan dari pihak manajemen yang memberikan imbalan dan merupakan bagian dari organisasi padahal harus bertanggung jawab kepada pihak eksternal, seperti auditor eksternal dan publik. Sedangkan dalam situasi setting audit atas penugasan oleh suatu perusahaan, auditor eksternal akan berhadapan dengan konflik yang berasal dari klien yang ditangani tersebut. Akuntan dituntut untuk dapat mengambil keputusan yang etis dalam menghadapi dilema. Pengambilan keputusan etis merupakan suatu proses kognitif yang harus dikelola secara efektif di dalam kondisi krisis (Hagan dan Long, 2005). Keputusan etis ini muncul dari penilaian tentang yang “baik”
dan “buruk”. Kemudian penilaian yang dilakukan dapat menentukan tindakan yang diambil yang diwujudkan dalam perilaku. Keputusan etis dapat diambil tergantung pada kemampuan individu untuk menalar apa yang benar dan salah dalam kondisi tertentu. Hal ini dapat diartikan bahwa keputusan etis membutuhkan kemampuan kognitif dalam penalaran terhadap dilema etis yang dihadapi. Proses pengambilan keputusan etis secara kognitif digunakan dalam mengidentifikasi isu moral dan aktivitasaktivitas yang membutuhkan proses pengambilan keputusan (Hagan dan Long, 2005). McPhail dan Walters (2010) dalam Ionescu (2011), mengatakan bahwa akuntan merespon masalah-masalah etika yang sama dengan mengambil cara yang berbeda-beda tergantung pada konteks kognitif yang mereka alami atau jumpai. Model
perkembangan
moral
kognitif
Lawrence
Kohlberg (1969), menekankan pada aspek pengambilan keputusan moral, dan ia memformulasikan model 6 tahap dari perkembangan moral yang diklasifikasikan dalam tiga level: pre-conventional,
conventional
dan
post-conventional
(Trevino, 1986). Sedangkan instrumen pengukuran yang sering digunakan untuk mengukur level perkembangan moral individu adalah Defining Issues Test oleh James Rest. Meskipun berbeda dengan struktur penilaian interview yang
dibuat oleh Kohlberg, Rest mendasarkan struktur penilaiannya dari komponen-komponen pendekatan teori Kohlberg. Sama halnya dengan interview pertimbangan moral Kohlberg, Rest menggunakan cerita-cerita yang memfokuskan partisipan dalam dilema moral (Thoma dan Dong, 2012). Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengukur tingkat perkembangan moral dalam pengambilan keputusan etis di bidang akuntansi. Penelitian atas persoalan moral dalam akuntansi difokuskan pada tiga kelompok utama, yaitu: 1) Pengembangan Moral (Ethical developement) seperti Trevino (1986), Hagan dan Long (2005), Tarigan dan Satyanugraha (2005), Sheppard dan Young (2007), Loh dan Wong (2009), 2) Pertimbangan Moral (Ethical Judgment) seperti Throne et al. (2002), Dellaportas et al. (2006), Koumbadis dan Okpara (2008), Hidayat dan Handayani (2010), Gaffikin dan Lindawati (2012) dan 3) Pendidikan Etika (Ethics Education) seperti, Venezia et al. (2011), Burks dan Sellani (2011), Liburd dan Porco (2011), Wilhelm dan Czyzewski (2012). Riset-riset di bidang akuntansi telah difokuskan pada kemampuan para akuntan dalam membuat keputusan etika dan berperilaku etis (Febryanti, 2011). Dalam Zarkasyi (2009), teori Kohlberg menunjukkan bahwa: (1) Orientasi etika setiap individu berkembang dengan menggunakan pola (pattern) tahapan yang sama, (2) Tidak ada
jaminan bahwa semua orang dapat mencapai stage 6 (enam); pada umumnya berhenti di stage 4 (Law and Order Orientation); (3) Individu yang berada pada stage yang lebih tinggi mempunyai pertimbangan yang lebih baik pada saat melakukan keputusan etis (ethical decission) dibandingkan dengan individu yang berada pada tahap atau stage yang lebih rendah. Instrumen yang sering digunakan dalam mengukur perkembangan moral Kohlberg adalah Defining Issues Test (DIT) yang disusun oleh James Rest. Tidak seperti interview yang
disusun
memberikan
oleh respon,
Kohlberg DIT
dimana
merupakan
individu sebuah
harus ukuran
pengakuan. Di dalam DIT partisipan diminta untuk menilai dan kemudian merangking 12 pernyataan dari kasus yang dijabarkan. Pernyataan-pernyataan tersebut menggambarkan fitur-fitur
penjelasan
tentang
dilema
moral
yang
mencerminkan ke enam tahap dari teori perkembangan moral Kohlberg (Thoma dan Dong, 2012). Banyak penelitian-penelitian terdahulu yang membahas tentang perkembangan moral kognitif hanya menitik beratkan pada satu profesi akuntansi saja. Penelitian ini menggunakan dua profesi akuntan yaitu auditor internal dan auditor eksternal.
Keterkaitan
hubungan
antara
kedua
profesi
akuntansi tersebut dalam menjalankan tugas masing-masing
menjadi alasan penggunaan kedua profesi tersebut sebagai subyek. Penelitian ini menduga bahwa auditor internal dan auditor eksternal memiliki perbedaan perkembangan moral kognitif
dalam
mengambil
keputusan
etis
pada
saat
menghadapi dilema etis. Hal ini dengan melihat perbedaan karakteristik, peran dan tanggung jawab yang dimiliki oleh setiap profesi akuntan tersebut. Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji seberapa tinggi level
perkembangan
moral
kognitif
akuntan
dalam
pengambilan keputusan saat menghadapi dilema etis. Penelitian ini memfokuskan pada bidang pengembangan moral kognitif dan ingin membuktikan pernyataan teori Kohlberg yang menyatakan bahwa adanya individu yang berada pada tahap perkembangan moral yang lebih tinggi mempunyai pertimbangan yang lebih baik pada saat melakukan keputusan etis (ethical decision). Penelitian ini menggunakan instrumen dari Rest yaitu DIT untuk mengukur setiap tahap-tahap perkembangan moral kognitif dari akuntanakuntan tersebut berdasarkan teori Kohlberg.