hurri raffery hurri raffery Tuesday, April 30, 2013
Halimun dan Ekspedisi Fortuga Rencana keberangkatan menuju Ujung Genteng yang diteruskan menuju areaTaman Nasional Gunung Halimun pada Jumat, 26 April 213 sebenarnya menyisakan satu ingatan lupa di benak saya. Ada apa dengan Halimun, kenapa memori ini seakan menyangkut dengan satu kejadian tentang Halimun. Suatu pertanyaan yang terjawab setelah perjalanan berakhir. Setelah menelisik berbagai hal, pepohonan tinggi, tanjakan dan turunan curam, areal kebun karet serta kata kunci Abah Anom, mengarah pada satu hal : Ya, dua belas tahun lalu satu tim dari Jakarta News FM pernah menjelajahi kawasan Halimun termasuk Cipta Gelar dan bertemu dengan Abah Anom (alm). Saat itu Ugi (abah Ugi), sang putra yang kini menggantikan ayahnya sebagai kepala Adat baru masuk sekolah SMA. Sekian tahun berselang, tak sengaja saya menjelajahi sebagian dari apa yang pernah dilakukan tim Jakarta News FM, melalui sebuah kegiatan memperingati Milad ke 40 angkatan 1973 ITB bertajuk Ekspedisi Fortuga. Sebagaimana tersuratkan dalam siaran persnya, Forum Tujuh Tiga (Fortuga) adalah komunitas warga ITB angkatan 73 yang anggotanya terdiri dari kaum professional dengan berbagai disiplin ilmu. Dalam menyambut reuni ke 40 salah satu acaranya adalah mengadakan ekspedisi di Jawa Barat yang akan dilakukan dari selatan (Ujung Genteng) ke utara (Kepulauan Seribu) dan akan terbagi menjadi dua Lintasan. Lintasan pertama adalah Lintasan Darat sepanjang 250 km akan ditempuh dengan sepeda gunung + motor trail + mendaki gunung. Ekspedisi dimulai dari Ujung Genteng -- Mengunjungi Kasepuhan Cipta Gelar, komunitas Banten tradisional -- Mendaki 4 puncak (Halimun, Salak, Gede dan Pangrango) -- mengunjungi situs pra-sejarah piramida G. Padang dan situs masyarakat Bandung Purba di Gua Pawon -- berakhir di Cekungan Bandung. Lintasan kedua sejauh 300 km menyusuri Citarum dengan menggunakan kayak dan perahu karet. Mulai dari hulunya di Danau Cisanti, lereng G. Wayang – Waduk Saguling – Waduk Cirata – Waduk Jatiluhur – kota bersejarah Rangasdengklok – situs bersejarah Batujaya, kompleks candi paling tua di Indonesia – Muara Citarum – berakhir di Kepulauan Seribu. Bakti sosial, penanaman pohon bakau dan bibit karang akan dilakukan di Muara Citarum dan P. Seribu. Selain membuat dokumentasi foto dari darat, ekspedisi juga akan membuat film dari udara. Ekspedisi sedang merintis kerjasama dengan TV-One untuk mengisi acara “Bumi dan Manusia.” Dalam tayangan TV para ahli dari Fortuga dan beberapa ahli tamu akan menjadi nara sumber untuk membahas berbagai hal menarik yang akan ditemukan sepanjang lintasan darat maupun lintasan sungai dan laut. Dokumentasi Ekspedisi Fortuga akan diterbitkan dalam bentuk buku dan film. Untuk pelaksanaan Ekspedisi ini Fortuga juga dibantu oleh Wanadri. Misi ini secara ringkas terucap sebagai Rekam Fakta Cari Solusi. Tim terbagi atas tim inti, pendukung, medis, anggota Fortuga dan keluarga, wartawan serta partisipan. Saya termasuk jenis yang disebut terakhir, hanya sebagai bagian pelaku rekreasi sains dan budaya. “...I swear, by the moon and the star in the skies, ill be there. and i swear like the shadow that's by your side I'll be there. For better or worse, 'till death do us part. I'll
love you with every beat of my heart. And I swear...” Dijadwalkan berangkat dari sekretariat di Rumah Fortuga, Jl. Cisanggiri 4 no. 17, pada Jumat, 26 April 213 pukul 23.00 WIB, terlambat 20 menit. Setelah dipimpin doa oleh pak Agus, kami start menuju Ujung Genteng pukul 23.20 dengan harapan moga selamat di perjalanan. 24 peserta yang menggunakan dua bus 3/4 serta jip dan kendaraan 4x4 itu mulai memasuki tol dalam kota Jakarta. Lantunan I Swear dari kelompok musik Boyz To Men mengawali deretan lagu yang mengiringi perjalan menuju Ujung Genteng. Memasuki perempatan Ciawi, dimulailah kepadatan jalur menuju Sukabumi. Jalanan yang rusak dihantam air musim penghujan mulai menggoyang-goyang kendaraan wisata itu. Setelah sampai Cibadak, kami berbelok ke arah Pelabuhan Ratu dan sejenak berhenti di di Mesjid Nurul Huda untuk sejenak melaksanakan ibadah Sholat Subuh pukul 04.50. Melihat identitas wilayah, kami baru sampai Citarik, Cisaat, artinya masih jauh perjalanan menuju Ujung Genteng yang menurut jadwal harusnya kami tiba pukul 07.00. Usai sholat perjalanan dilanjutkan dan memasuki waktu terang tanah, kami mulai naik perbukitan. Planet besar berwarna bulat merah yang cantik menarik perhatian, sehingga sekretaris Fortuga pak Aam mulai mengarahkan kameranya menembak obyek. Tepat pukul 06.00, bus mulai masuk kawasan perbukitan Ciawitali Loji dan 15 menit kemudian rombongan mulai masuk Jl. raya Cigaru kecamatan Simpenan. Setelah melewati areal perkebunan teh , matahari mulai menyapa terang. Dua orang emak pemetik teh nampak jalan bergegas, ekonomi mulai menggeliat di antara hamparan teh. Hari sudah sangat terang ketika rombongan memasuki pom bensin kecamatan Surade tepat pukul 08.02 pagi. Setelah meluruskan punggung, matahari mulai menyengat sementara pantai Ujung Genteng masih 25 KM lagi. Rombongan kembali bergerak pukul 08.20 dan akhirnya dua menit sebelum pukul 9 pagi kami sampai di pos retribusi pariwisata. Setelah menyelesaikan urusan bebayaran, perjalanan berlanjut dan tepat sampai lapangan pos TNI AU pukul 09.08, terlambat lebih dari dua jam. Di lapangan ini kami bertemu tim gowes ekspedisi yang dipimpin pak Joey Sumual. Setelah acara tetepangan, rombongan mendapat paparan awal ekspedisi tentang penambangan pasir besi dan emas dari pak Sumardiman DW. Penambangan pasir besi ini permasalahannya bukan semata soal lingkungan tetapi angkutan truknya dikeluhkan masyarakat karena merusak jalan aspal. Tim sepeda memulai persiapan gowes menuju Pelabuhan Ratu. Bendera ekspedisi diserahkan ketua Panitia Ekspedisi pak Jusman kepada pak Joey Sumual. Tepat pukul 10.22 tim berdoa dan dua menit kemudian tim gowes menuju pelabuhan Ratu dipimpin pak Joey. Kami sendiri sejenak menikmati sarapan pagi yang terlambat dengan nasi Krawu, sementara beberapa anggota Fortuga menyasar tempat penjualan ikan untuk dibawa naik ke Cipta Gelar Gunung Halimun. Tepat pukul 10.50 rombongan meninggalkan pos TNI AU Ujung Genteng menuju Pelabuhan Ratu. Sejenak perjalanan dibelakang kami terkendala karena Jip merah pembawa logistik menabrak tiga sepeda motor karena pengemudinya mengantuk. Lebih dari dua juta rupiah akhirnya keluar sebagai pengganti reparasi. Akhirnya Profesor Seno ambil alih kemudi dan tak diduga beliau adalah pembalap ekstrim. Sempat tertinggal jauh, beliau menyalip sehingga tiba duluan di Pelabuhan Ratu. Memasuki waktu Dhuhur, mendung terlihat menggayut diatas perjalanan. Setelah lebih dari tiga jam kami berada di kawasan jalan sempit yang ngepas jika berpapasan kendaraan roda empat. Tak lama rombongan mulai melihat Power Plant Pelabuhan Ratu dari Jl. Bojong Kopo di atas bukit. Pemandangan yang indah membuat kami sejenak berhenti pukul 14.22 siang itu untuk sekedar membidik lembah pantai yang indah. Beberapa orang memesan kopi pelawan penat. Setelah sebelas menit rehat, kami beranjak lagi menuju Pelabuhan Ratu yang sudah dekat di mata. ”Pan baheula si eta bogoh,” kata pak Aam Dan mulailah roman-roman lucu masa kuliah era 73-an di kampus ITB bertabur diatas meja lesehan restoran Saridona. Tepat pukul 15.12 kami sampai di sana, di bibir pantai Pelabuhan Ratu. Ikan bakar dan karedok mendominasi menu makan siang. Para pedagang golok dan pisau menawarkan bawaannya dan beberapa anggota Fortuga menyambut dengan mengeluarkan lembaran merah. Chief panitia Pak Jusman malah dipijit oleh tukang yang menawarkan refleksi, sementara beberapa anggota Fortuga mencari pijit gratisan dari pak Dwitjahjadi. Pak Dwi dulu kuliah Biologi, jadi dianggap tahu anatomi, padahal alasan apalagi kalau bukan ingin pijat gratis.
Setelah sekitar satu setengah jam, tepat pukul 16.42 kami mulai beranjak menuju Cisolok - Cikadu. Sebetulnya menuju Cipta Gelar lebih dekat lewat Cipta Rasa, tapi truk yang membawa rombongan tak berani melewati terjalnya rute Cipta Rasa – Cipta Gelar. Tim Gowes belum ada tanda sampai dimananya. Dari sana akan dilanjutkan naik ke Cipta Gelar dengan berganti kendaraan. Hari mulai gelap ketika kami sudah dekat Cikadu. Jam menunjukkan pukul 18.08 dan hujan turun. Jalan yang sempit serta bebatuan kali yang memenuhi pinggir jalan untuk perbaikan selokan menciutkan nyali supir bis. Akhirnya bis berhenti di kampung Cicadas pukul 18.37 dan berganti kendaraan disana. Hujan yang mengguyur tak menghentikan gelora untuk mencapai Cipta Gelar. Truk yang kami naiki segera meluncur pukul 20.42 menuju Cipta Gelar. Setelah melalui jalan yang cukup mulus, truk mulai memasuki jalanan berbatu yang terjal. Dag dig dug yang menyertai gelapnya malam tak berlaku bagi Chief Ekspedisi pak Jusman. Dengan santai beliau rebahan di dasar bak. Menjelang tanjakan curam nan panjang, truk berhenti dan sopir menyingkir, memetik ranting berdaun dan meletakkan dibawah untuk alas duduk. Tampaknya ia berdoa dulu sebelum balik ke truk dan menancap gas dalam curamnya perbukitan. Hujan kembali mendera dan akhirnya dalam dua jam dua menit kami sampai di Cipta Gelar. Di alun-alun nampak sejumlah kendaraan pengunjung Kasepuhan. Tampaknya ada dua rombongan datang sebelum kami tiba, tak masalah, Imah Gede sanggup menampung hingga seratus orang tidur didalam. Hujan masih menghiasi malam. Malam itu kami segera masuk Imah Gede dan berkenalan dengan kepala adat Abah Ugi serta emak istrinya. Ia masih muda, kelahiran tahun 1985, sementara emak kelahiran tahun 1988. Mereka sangat ramah, termasuk kang Oyo, orang kepercayaan abah Ugi. Oyo sendiri bukanlah warga asli adat, ia pendatang dan karena saking cintanya pada Cipta Gelar, tak pernah lagi ia menginjak dunia di luar kampung adat. Imah Gede sangat menarik. Bagian dapur adalah favorit, karena dihangatkan oleh tungku kayu bakar. Kami berbincang dengan abah Ugi dan emak sampai larut, sebelum semua orang beranjak tidur. Keberadaan Kasepuhan Banten Kidul di kawasan Halimun sebenarnya membawa banyak kearifan lokal, sayang mereka terdesak aturan. Semestinya aturan bisa bersesuaian dengan hak tanah ulayat karena mereka sendiri telah ada sejak 600 tahun lalu. Aku sendiri diajak kang Oyo menginap di rumahnya, sekitar 30 meter di depan Imah Gede. Rumah yang tampak sederhana dari luar namun begitu menginjak kedalam tampaklah intelektualitas sang pemilik. Berbagai buku berderet di rak. Pemancar, komputer, dan sederet barang elektronik tersedia. Hebatnya pula, di puncak gunung seperti ini ada kampung yang punya stasiun TV. Abah Ugi menamainya ”Ciga TV”, yang dalam bahasa Indonesia berarti ”seperti TV”. Keesokan hari geliat kehidupan langsung terasa sejak pagi buta. Para abdi Imah Gede telah bersibuk di dapur menyiapkan sarapan. Ikan yang dibawa dari Ujung Genteng segera diolah untuk dinikmati bersama. Seremoni pelepasan pendaki dilakukan. Chief ekspedisi pak Jusman. Beliau melepas rombongan naik puncak Halimun pada pukul 11.23. Para pendaki adalah enam anggota Fortuga yaitu pak Iwan Bungsu, pak Vicky, pak Gume, pak Darman, pak Agus dan beberapa anggota Wanadri. Kami sendiri malah dipersilakan makan siang sebelum Dhuhur memanggil. Usai menjalankan ibadah duhur, rombongan bergerak menuju Cipta Rasa. Sembilan kilometer rute yang harus dilalui kami tempuh dengan riang. Betapa tidak, hutan eksotik dengan kayu-kayu yang menjulang sangat tinggi lurus membuat kami mengucap takbir. Luar biasa indah dan segarnya hutan ini. Beberapa kali truk mini tak kuat menanjak, sehingga sekali waktu Jip Jepang harus menariknya dari terjal. Pukul 13.53 kami sampai di Cipta Rasa ”Punten bapak, parantos teu portalna?” tanya emak muda penjaga Imah Gede Ciptarasa ”Oh kunaon kitu?” tanya saya ”Buka portal kanggo pemeliharaan jalan per mobil disuhunkeun Rp. 15.000” ”Oh muhun. Ieu aya genep mobil, nyak” Tapi bukannya membuka dompet, saya malah mengabari bu Fati. Seorang peserta diperiksa tensi darah karena nampak pucat. Chief Jusman juga memeriksakan tensinya.
Dalam hal ini, beliau hanya ingin tahu apakah ada pengaruh penggunaan ikat kepala Kasepuhan dengan urusan kesehatan. Dan nampak ada hubungannya. Tak berlama kami lanjutkan perjalanan. Rute Cipta Rasa-Pelabuhan Ratu tak seterjal dari Cipta Gelar tadi. Kami juga menikmati perjalanan paruh kedua ini, bersapa dengan penduduk kampung dan pukul 16.04 sampailah rombongan di Pelabuhan Ratu. Bus yang membawa rombongan telah menunggu disana. Enam menit kemudian kami meluncur menuju Jakarta dan menyempatkan singgah di restoran Sunda untuk santap malam. Perjalanan yang mantap. Kami menunggu kabar para Fortuga-er pendaki Halimun.