1
STAIN Palangka Raya
HUKUM DAN MASYARAKAT PINGGIRAN (Sekilas Kajian Hukum dan Ekonomi Nelayan Tradisional Saka Tumbang Nusa Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah) Sabian Utsman Abstract Law and the rural area people, is a kind of study on law and economy of a community of Saka fishermen at Tumbang Nusa Central Kalimantan. The community of fishermen depends on several numbers of small branch rivers (Saka) as place for looking for fish. Tumbang Nusa is an area in which the community as lower income. This satellite area has not been handled by the government adequately. One of the alternative solutions is the availability of the protection of law which functions effectively. Consequently, the poverty eradication can be done well based on the mandate of the constitution of Republic of Indonesia. Key Words: Law, Economy, and the Community of Traditional Fishermen Saka A. PENDAHULUAN Tidak dapat disangkal dalam hal apa dan bagaimanapun bahwa hukum sangatlah dibutuhkan untuk mengatur perikehidupan bermasyarakat dalam segala aspek, diantaranya; ekonomi, sosial, politik, budaya, dan pendidikan. Aktivitas dalam kehidupan tidaklah berada dalam kebebasan mutlak, alih-alih tidak diserahkan sepenuhnya kepada kemauan bebas oleh diri yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk mengaturnya agar selalu memenuhi sistem berhukum yang ideal, maka dapat dipaksa oleh pihak-pihak yang berkompeten. Dalam hal ini B. Arief Sidharta, menyatakan: Masalah hukum berintikan pertanyaan tentang apa hukumnya bagi situasi kongkret terberi, artinya apa yang menjadi hak dan kewajiban orang dalam situasi kemasyarakatan konkret tertentu, dan berdasarkan itu apa yang seharusnya dilakukan orang, yang kepatuhannya tidak diserahkan sepenuhnya kepada kemauan bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh otoritas publik (pemerintah dan aparatnya)1. Peran hukum dan sifat dasar manusia selalu berkaitan dengan perubahan sosial ekonomi, yaitu di sisi lain manusia perlu kebebasan untuk berkarya dalam waktu yang bersamaan juga diperlukan aturan dan pembatasan sehingga di samping sejahtera juga ada keteraturan yang membangun kondisi harmoni. Gunarto Suhardi menyatakan:
Dosen Ilmu Hukum Jurusan Syari’ah STAIN Palangka Raya, Email:
[email protected] Sidharta, Arief, B., 2007, Sari Kuliah Filsafat Hukum Pogram Doktor Ilmu Hukum PPs. FH. UII, Yogyakarta, hal. 11 1
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
2
STAIN Palangka Raya
Semua perubahan ini tidak mungkin terjadi bilamana manusia tidak mempunyai kesempatan dan keleluasaan untuk berpikir dan berkreasi. ... Kebebasanlah yang dikehendaki manusia. ... Sudah menjadi hukum alam bahwa di negara yang diperintah oleh diktator di situ ilmu pengetahuan terhambat bahkan berhenti dan akhirnya ekonomi juga terganggu. ... sebaliknya, tanpa aturan ... dapat saling mengganggu, saling cekcok, bahkan saling menghancurkan ... mengembangkan ilmu ... juga terhambat. Manusia akan kembali lagi pada tahapan sibuk mempertahankan diri dan tidak sempat untuk berfikir menemukan tehnologi yang baru 2. Secara substansi, dalam bahasan ini adalah fakta dan pengaturan (sistem hukum) dalam kegiatan ekonomi masyarakat nelayan Tumbang Nusa Kalimantan Tengah yang masih lemah. Pengaturan tersebut untuk terbangunnya kepastian, kesejahteraan, dan keadilan dalam proses penguatan ekonomi masyarakat setempat. Sejalan dengan evolusi filsafat hukum kaitannya dengan keadilan, secara terus menerus selalu berkembang tiada henti sepanjang problema hukum yang selalu muncul dalam kehidupan manusia. Disadari atau tidak, bahwa keadilanlah yang selalu banyak muncul sebagai problema hukum. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan tidak jarang yang seharusnya adil, namun pada kenyataannya tidak adil. Carl Joachim Friedrich dalam bukunya “Filsafat Hukum” menyatakan: … bahwa hukum, ... harusnya adil, tapi nyatanya sering tidak adil. Hukum terkait dengan keadilan tanpa sepenuhnya menyadarinya. Tidaklah mungkin memungkiri karakter hukum sebagai hukum yang tidak adil, sebagaimana dilakukan oleh Cicero dan pemikir Jaman pertengahan. Namun mustahil pula untuk mengidentikkan hukum dengan keadilan, …3. Kebajikan utama dalam institusi sosial adalah keadilan. Walau sebagus apapun sebuah teori haruslah ditolak dan atau direvisi, kalau senyatanya tidak memenuhi rasa keadilan. John Rawls dalam bukunya “A Theory of Justice” (Teori Keadilan) menyatakan: “Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar …” 4 Dalam filsafat hukum Islam, dikenal juga asas keadilan. Hal ini dikatakan Juhaya S.Praja dalam bukunya “Fisafat Hukum Islam”, berikut: Dalam Alquran banyak dijumpai kata al-‘adl yang sama pengertiannya dengan kata al-miza’n dan al-qisth. Kata al’adl atau keadilan. Kata al-miza’n berarti timbangan, yakni keseimbangan antara batu timbangan dengan benda yang ditimbang. Oleh karena itu, keadilan menjadi prinsip umum hukum Islam ... 5
2
Suhardi, Gunardi., 2002, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Yogyakarta: Univ. Atma Jaya, hal. 11 - 12 3 Friedrich, Joachim, Carl, 2004, Filsafat Hukum (perspektif Historis), Bandung : Nuansa & Nuansamedia, hal. 239 4 Rawls, John, 1995, A Theory of Jaustice, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, Hal. 3 5 S. Praja, Juhaya,(2004, Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya : PT. Latifah Press, hal, 111
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
3
STAIN Palangka Raya
Hukum sangat diperlukan, karena sumber ekonomi yang terbatas di satu pihak dan tidak terbatasnya permintaan di lain pihak. Keberadaan hukum berpotensi untuk mengelola konflik dalam memperebutkan sumber ekonomi yang selalu sering terjadi dan terusmenerus terjadi sebagaimana tesisnya Ralf Dahrendorf. Permasalahan juga ada pada penyusunan hukum itu sendiri dan pemerintahan suatu negara. Dalam hal membuat hukum, kaitan dengan pengelolaan masyarakat nelayan Saka pada khususnya, Montesquieu dalam bukunya “The Spirit of Laws” mengatakan bahwa orang-orang yang cukup jenius untuk membuat undang-undang sebaiknya memperhatikan dengan seksama tentang; susunannya ringkas, susunannya biasa dan sederhana, ungkapan langsung biasanya lebih mudah dipahami dari pada ungkapan tidak langsung. Unsur penting bahwa kata-kata hukum sebaiknya menarik gagasan yang sama pada setiap orang siapapun orangnya. Peraturan itu sebaiknya tidak rumit karena dirancang untuk orang-orang yang berpengetahuan biasa, dan tidak dirancang untuk seorang ahli logika. Namun, untuk orang yang memiliki nalar biasa seperti kepala rumah tangga6. Marc Galanter dalam A. A. G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto dalam bukunya “Hukum dan Perkembangan Sosial” Buku Teks Sosiologi Hukum (Buku II), menyatakan bahwa betapapun beragamnya hukum materiil yang diselenggarakan dengan sistem demikian itu, namun ciri-ciri menyolok dari suatu sitem hukum modern kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut: hukum uniform, hukum transaksional, hukum unuversal, hierarki, birokras, rasionalitas, profesionalisme, perantara, dapat diralat, pengawasan politik, dan pembedaan..7. Secara tegas Soetandyo Wignjosoebroto dalam tulisannya “Apa dan Mengapa Critical Legal Studies”, mengatakan: … Pertama, hukum perundang-undangan nasional itu terdiri dari normanorma yang dirumuskan ke dalam pasal-pasal dan ayat-ayat tertulis, jelas dan tegas, ... Kedua, hukum yang telah mengalami positivisasi, dan menjadi hukum perundang-undangan nasional, didudukan statusnya tertinggi ... Ketiga, hukum perundang-undangan nasional yang formal dan berstatus tertinggi dalam hierarki norma-norma yang ada dalam masyarakat memerlukan perawatan para ahli yang terdidik dan terlatih, dan … demi terlindunginya hakhak warga secara pasti pula. Keempat, sebagai konsekwensi profesionalisasi proses-proses hukum itu, hukum perundang-undangan nasional juga memerlukan back up suatu lembaga pendidikan professional pada tingkat universiter. 8. Sejalan dengan pendapat para ahli yang lain d’Anjo dalam Satjipto Rahardjo mengatakan: … Orang tidak membuat undang-undang dengan cara duduk dalam satu ruangan dan kemudian memikirkan undang-undang apa yang akan dibuat. 6
Montesquieu., 2007, The Spirit of Laws, Terj. M. Khoiril Anam, Bandung: Nusamedia, hal. 361 - 362 Peters, A. A. G. & Siswosoebroto, Koesriani., 1988, Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum (Buku II), Jakarta: UI. Hal. 147 - 149 8 Wignjosoebroto, Soetandyo., 2007, Hukum dalam Masyarakat (Perkembangan dan Masalah), Surabaya : FISIP Univ. Airlangga, hal. 13 7
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
4
STAIN Palangka Raya
Menurut d’Anjou ia merupakan proses panjang yang dimulai jauh dari dalam realitas kehidupan masyarakat. Terjadi suatu long march sejak dari kebutuhan dan keinginan perorangan, kemudian menjadi keinginan golongan, ...9. Terjadinya konflik dan kebiasaan masyarakat melanggar hukum, berkorelasi dengan karakteristik praktisi maupun teoritisi hukum yang tidak konsisten terhadap hakekat peradilan. Fakta, yang terjadi khususnya pada kepedulian terhadap kepentingan masyarakat nelayan Saka khususnya pengaturan nelayan Saka di kawasan Tumbang Nusa, yang seharusnya tidak pada senyatanya. Hal itu diperlukan keseriusan intervensi pemerintah, sehingga pembiaran terhadap lemahnya ekonomi mereka tidak perlu terjadi. Dengan demikian, sudah barang tentu haruslah mencari format yang tepat dalam menggagas hukum perekonomian sehingga menjamin seluruh pelaku ekonomi di Indonesia terutama para nelayan tradisional, dalam konteks ini adalah nelayan tradisional Saka Tumbang Nusa Kalimantan Tengah. B. GAMBARAN UMUM DAERAH DAN PEREKONOMIAN NELAYAN SAKA Sebelum membahas bagaimana kondisi perekonomian masyarakat nelayan Saka, ada baiknya penulis jelaskan sekilas gambaran umum tentang masyarakatnya. Desa Tumbang Nusa salah satu dari delapan desa yang termasuk wilayah teritorial hukum Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah. Desa Tumbang Nusa terletak di pinggiran sungai Kahayan10 yang membelah daratan Kalimantan Tengah bermuara ke laut Jawa, mengalir dari pedalaman Kalimantan Tengah melintasi antara lain; Kota Cantik Palangka Raya, Kabupaten Pulang Pisau, dan daerah Bahaur Kalimantan Tengah. Desa Tumbang Nusa berbatasan dengan Desa Mentaya sebelah utara, Kecamatan Sebangau sebelah selatan, Desa Taruna sebelah barat, dan Desa Pilang sebelah timur. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan sebagaimana tabel berikut: Tabel 1 Batas Wilayah Desa No Wilayah Perbatasan Keterangan 1 Sebelah Utara Desa Mentaya 2 Sebelah Selatan Kec. Jabiren Raya 3 Sebelah Barat Desa Taruna 4 Sebelah Timur Desa Pilang Sumber: Data diperoleh dari Kantor Kepala Desa Tumbang Nusa, 2009
-
Luas wilayah desa Tumbang Nusa secara keseluruhan mencapai 154 km² merupakan bagian dari luas wilayah 8.977 km² Kabupaten Pulang Pisau dan 153.564 km2 dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Tumbang Nusa berpenduduk 1002 jiwa dari keseluruhan 111.488 jiwa penduduk Kabupaten Pulang Pisau dari 2,1 juta jiwa penduduk 9
Rahardjo, Satjipto., 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas, hal. 85 - 86 Sungai Kahayan adalah salah satu dari 10 sungai besar di wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Nama dari 10 sungai tersebut; 1. Sungai Lamandau, 2. Sungai Arut, 3. Sungai Mentaya, 4. Sungai Sempaga, 5. Sungai Sebangau, 6. Sungai Katingan, 7.Sungai Kahayan, 8. Sungai Kapuas, 9. Sungai Barito, dan 10. Sungai Martapura. 10
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
5
STAIN Palangka Raya
Kalimantan Tengah 11 . Penduduk keseluruhan Tumbang Nusa tersebar di 5 Rukun Tetangga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat seperti tabel berikut: Tabel 2 Rincian Jumlah Penduduk dalam Setiap Rukun Tetangga No 1 2 3 4 5
RT RT 1 RT 2 RT 3 RT 4 RT 5 Jumlah
Laki-laki 134 136 109 128 23 530
Jumlah Penduduk Perempuan 122 116 111 104 19 472
Jumlah 256 252 220 232 42 1002
Keterangan
Sumber: Kantor Kepala Desa Tumbang Nusa, tahun 2010.
Pemukiman penduduk rata-rata di pinggiran sungai Kahayan dengan jarak antara tepian sungai dengan rumah-rumah penduduk sekitar 5 meter sampai dengan 10 meter bahkan ada yang berdempetan dengan posisi berhadap-hadapan dengan dibelah oleh jembatan kayu selebar 2 meter berjarak antara rumah satu dengan lainnya antara 1 meter sampai dengan 5 meter. Kondisi topografi (keadaan tanah) desa, Tumbang Nusa terletak pada tanah rawa dan terdapat ratusan sungai-sungai kecil yang biasa disebut Saka (sebagai anak dari sungai induknya yaitu sungai Kahayan), sehingga semua Saka tersebut bermuara ke sungai Kahayan. Keberadaan hutan, tanah, sungai besar, serta Saka adalah relatif beragam. Secara umum sejumlah Saka-lah yang dominan dan utama untuk menyanggah perekonomian mereka bahkan Saka dijadikan sebagai “Food Security”. Hidup dan kehidupan mereka sangat tergantung dan sudah menyatu dengan karakteristik Saka di samping fungsi tanah dan hutan hanyalah sebagai pendukung dalam perekonomian mereka. Dalam hal fungsi sunga besar (Aliran Sungai Kahayan), fungsi sungai besar sebelum adanya jalan darat tembus (antara kota Banjarmasin, Kapuas, Pulang Pisau, dan Palangka Raya), sebagai sarana utama transportasi yang menghubungkan antara kota-kota tersebut terutama mengangkut barang-barang dagangan kebutuhan pokok masyarakat (kebutuhan sembilan bahan pokok) sehingga lalu-lintas alat transportasi di air sungai dan danau sangat padat dan ramai. Setelah jalan poros lintas antar Provinsi sudah tembus, maka sangat terasa dampak lalu lintas di sungai Kahayan menjadi sangat sepi, bahkan pengusaha di bidang jasa angkutan air berpindah pekerjaan. Keadaan demikian menjadikan fungsi sungai besar menjadi dominan sebagai tempat penangkapan ikan yang dimanfaatkan oleh siapa saja yang berkeinginan (sepanjang secara bersama-sama menjaga ketertiban dalam menjalankan usaha ikan (me’iwak).
11
Data penduduk dan luas wilayah Provinsi Kalimantan Tengah diambil dari tulisan Mumu Muhajir dalam bukunya berjudul Seri Hukum dan Keadilan Iklim (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation di Indonesia Kemana akan Melangkah), Jakarta, HuMa, (2010), hlm.184. Menyatakan bahwa “Secara geografis, Provinsi Kalimantan Tengah merupakan Provinsi terluas ketiga setelah Provinsi Papua dan Provinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah 153.564 km2. Dari luas wilayah itu, 69,9% diantaranya masih berupa hutan seluas:10.735.935 hektar …”.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
6
STAIN Palangka Raya
Dalam hal fungsi sungai kecil atau anak sungai (Saka), sebagaimana fungsi sungai besar yang dipaparkan di atas, Saka juga dimanfaatkan sebagai tempat penangkapan ikan bagi nelayan tradisional, namun, Saka dalam pemanfaatannya tidaklah sebebas sungai besar atau danau. Dari segi historis, Saka sejak turun temurun bahkan sebelum kemerdekaan (setidaknya keberadaan Saka sudah ada sejak tahun 1900-an) pemanfaatannya dikuasai dan dimiliki orang-orang tertentu (kelompok keluarga tertentu), yaitu setiap Saka dan atau beberapa Saka dalam satuan kelompok pemilikan selalu dimiliki oleh masing-masing satuan keluarga tertentu dengan pengaturan yang dibuat dan disepakati oleh masyarakat setempat serta fungsional. Letak geografis Saka adalah tersebar di pinggiran kiri dan kanan sungai Kahayan khususnya di Tumbang Nusa Pulang Pisau Kalimantan Tengah. Di kawasan Tumbang Nusa ada sejumlah tidak kurang dari 157 unit Saka. Sejumlah Saka tersebut relatif mempunyai kepanjangan antara 100 meter sampai dengan 500 meter, lebarnya antara 3 meter sampai dengan 5 meter, serta kedalaman antara 1 meter sampai dengan 5 meter. Pada musim kemarau kadang airnya tidak seberapa bahkan ada sejumlah Saka mengalami kekeringan. Saka juga dimanfaatkan sebagai sarana transportasi dengan menggunakan perahu kecil yang disebut Jukung atau perahu Tingkung yang biasa dipakai untuk sarana penangkapan ikan. Fungsi pokok Saka secara ekonomis adalah tempat pencaharian nafkah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagai tempat penangkapan ikan atau biota lainnya. Di rumah-rumah penduduk Tumbang Nusa rata-rata memiliki alat penangkapan ikan darat antara lain: Buwu, Tempirai, Lunta, Suar, Serapang, Jaring, Tangguk, Seriwit, dan Pancing. Kecuali Tuba, Potas, Setrum, dan sejenisnya berdasarkan kesepakatan mereka dilarang untuk dipergunakan. Dalam hal penguasaan dan kepemilikan Saka tidaklah secara otomatis yang bersangkutan menguasai atau memiliki tanahnya. Hal ini bisa dilihat di kiri dan di kanan sungai dijumpai sebagian Saka yang terbentang di atas ladang orang lain (yang bukan pemilik Saka). Mereka yang menguasai atau memiliki Saka tidak sama dengan menguasai atau memiliki ladang yang merupakan tempatan Saka kebetulan di atas ladang, namun tidak sedikit sejumlah penduduk dalam penguasaan maupun pemilikan Saka di atas ladangnya sendiri, tetapi penguasaan dan pemilikan Saka berada di atas tanah orang lain suatu hal yang biasa di masyarakat setempat. Jenis ikan yang merupakan tangkapan para nelayan tradisional tersebut antara lain, Haruan, Pepuyu, Tebakang, Patin, Seluang, Tempahas, Lais, dan lain-lain sebagainya. Alat yang dipergunakan untuk penangkapan sejumlah ikan dapat di rinci sebagai berikut: Tabel 3 Nama dan Tempat Pemanfaatan Alat Tangkap Nelayan Saka No. 1.
Nama Alat Tangkap
Buwu atau Lukah
2. 3.
Tempirai Lunta
4.
Suar
5. 6. 7.
Serapang Jaring Tangguk
Tempat Penggunaan Digunakan pada masing-masing Saka atau anak Saka. Digunakan pada masing-masing Saka atau anak Saka. Digunakan di tengah-tengah Saka atau sungai besar, di pinggiran sungai dan di tengah sungai/Saka/Bedje. Digunakan pada malam hari untuk alat penerangan menuju sasaran tombak dengan serapang. (untuk menombak ikan atau biota lainnya) Digunakan malam hari untuk alat menombak ikan atau biota lainnya. Digunakan di dalam Saka, Bedje, bahkan tidak jarang di sungai besar. Di dalam Saka, anak Saka, dan Bedje.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
7
8. 9. 10.
STAIN Palangka Raya
Seriwit Pancing Kolang
Di pinggiran Saka, anak Saka, Bedje & sungai besar. Dimana saja bias, baik di dalam Saka, anak Saka, Bedje, maupun sungai besar. Buwu besar khusus sungai Kahayan (terbuat dari nylon dan ataupun rotan)
Penangkapan biota yang ada dalam Saka, nelayan setempat menggunakan alat transportasi sejenis perahu sampan yaitu perahu tingkung atau ada juga sebagian kecil kelotok kecil (sejenis sampan dengan mesin kecil sebagai penggerak). Perahu yang dipergunakan hanya dimuati 2 orang nelayan yang biasanya dikendalikan oleh seorang ibu dibantu satu orang atau dua orang anak kandungnya atau kerabat dekatnya yang bekerja mulai dari pukul 04.00 WIB. sampai dengan pukul 17.00 WIB. (menghabiskan waktu tidak kurang dari 12 jam setiap harinya). Untuk lebih jelasnya, di samping fungsinya perlu juga diketahui letak geografis Saka, sebagian dari posisi Saka serta letak pemukiman penduduk masyarakat Tumbang Nusa, sebagaimana digambarkan pada gambar letak geografis berikut: 1
U
2 3
B
4
T S
Gambar 1: letak Geografis sebagian Saka di Tumbang Nusa Keterangan: 1. Sungai Kahayan (salah satu dari 10 sungai besar di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan). 2. Konsentrasi pemukiman dan pusat pemerintahan desa Tumbang Nusa. 3. Saka Nusa dan Saka Tambok (dua unit Saka dari 157 Saka di Tumbang Nusa) 4. Anak Saka yang juga berfungsi untuk area penangkapan ikan.
Sebagai gambaran umum kondisi ekonomi nelayan tradisional Saka Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah dapat dilihat pada paparan berikut ini. 1. Solidaritas dan Konflik serta Ketergantungan Ekonomi Solidaritas masyarakat, dengan adanya pertentangan atau konflik sekecil apapun antara kelompok luar (out-group) dan kelompok dalam (in-group), maka kadang tanpa disadari justru membuat solidaritas pada masing-masing kelompok yg bertikai sangatlah tinggi. Dalam hal ini konflik tidak kekerasan, adalah masyarakat Tanjung Taruna yang berada di luar daerah Tumbang Nusa, sangat terlihat betapa solidaritas sesama mereka. Di dalam kelompok mereka antara sesama warga masyarakat nelayan itu sendiri sebenarnya tidak sepi dengan konflik bahkan terkadang relatif sangat lama. Sebagai contoh konflik antara Taruna Atas denga Taruna Bawah (Tanjung Taruna adalah nama Desa yang dulu berpusat di Tumbang Nusa dan sekarang saat dibuatnya tulisan ini kembali pusat pemerintahan di Tumbang Nusa). Sebagai contoh, salah satu sumber konfliknya, yaitu Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
8
STAIN Palangka Raya
sebelum kembali pemerintahan desa ke Tumbang Nusa. Terkadang setiap mendekati HUT RI, masing-masing daerah sama-sama mmenginginkan untuk pusat kegiatan HUT RI, sementara kepala desanya berkedudukan di Taruna Atas. Selain itu, masih ada lagi sumber konflik lainnya, baik konflik di dalam keluarga maupun antara masyarakat secara umum. Dalam menghadapi lawan dari luar, para masyarakat nelayan tersebut untuk sementara memfokuskan perhatiannya kepada satu titik perlawanan mereka yaitu terhadap kelompok luar (out-group). Sehingga betapapun banyaknya konflik antara mereka selalu diabaikan untuk sementara waktu dan sesama mereka menjalin sistem kebersamaan baru dengan semangat baru dan mengatur strategi sebaik mungkin dalam upaya mengatasi pertentangan dari luar tersebut, tanpa harus mengutak-atik konflik yang sedang terjadi di kalangan mereka sendiri. Adapun kepentingan dibalik terjadinya konflik sehingga begitu besar perjuangan dan solidaritas mereka memfokuskan kepada persoalan tersebut, hal ini memanglah tidak mudah mengungkap kalau hanya sekadar sekilas berupa bahasan jurnal ini. Namun, penulis berupaya setidaknya memberikan gambaran kecil yang setahu dan sebisa penulis ungkapkan. Kepentingan dibalik konflik yang sebenarnya, baik konflik secara tidak kekerasan dan maupun konflik secara kekerasan, adalah masing-masing memperjungkan dalam konteks dan makna berhukum. Sebagai titik kulminasinya, berfungsinya hukum kepada perlunya tingkat kesejahteraan dan atau perekonomian masyarakat setempat. Hal itu diperlukan, setidaknya mereka bisa bertahan untuk hidup dan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik, adalah terpenuhi kebutuhan dasar baik keluarga unit terkecil maupun keluarga dalam lingkup yang besar yaitu kebutuhan desa. Mengapa nelayan tradisional bagian dari masyarakat pinggiran, baru beberapa waktu terakhir ini begitu kerasnya menuntut atau memperjuangkan masing-masing kepentingannya, hal itu disebabkan semakin berkurangnya sumber daya atau kekayaan biota ikan yang ada di Saka yang mereka miliki karena sudah beberapa lama dieksploitasi dari dulu sampai sekarang. Dengan semakin berkurangnya hasil tangkapan mereka, para nelayan tradisional semakin merasa khawatir akan semakin punahnya sumber daya ikan pada Saka-saka yang menjadi pokok dalam mata pencaharian dan atau sumber perekonomian mereka dan mereka belum siap dan memang tidak pernah mereka menyiapkannya. Hal itu, termasuk pemerintah daerah selama ini tidak ada perencanaan merubah mata pencaharian lain selain sebagai nelayan tradisional yang serba manual. Belum pernah merubah pola nelayan dari tradisional kepada cara membudidayakan (merubah dari nelayan menjadi petani nelayan). Banyak cara yang bisa dilakukan, sekiranya mau menyiapkan, apakah dengan cara membuat tambak atau dengan cara-cara lain yang memungkinkan untuk dilakukan. 2. Kondisi Perekonomian Masyarakat dan Perlunya Proteksi Hukum Kalau dikatakan bahwa salah satu fungsi hukum adalah untuk kesejahteraan, nampaknya konsep itu belumlah terlalu tepat bagi masyarakat nelayan tradisional yang menggantungkan ekonominya pada biata ikan khususnya yang berada di anak-anak sungai (Saka) dipinggiran aliran Sungai Kahayan. Umumnya kondisi masyarakat Tumbang Nusa adalah hidup di bawah garis kemiskinan, yang mana dalam berbagai segi kehidupannya relatif jauh tertinggal dengan ibu kota kecamatan, lebih jauh lagi dari ibu kota kabupaten, sangat lebih jauh lagi dari ibu kota propinsi, serta sangat dan sangat lebih jauh tertinggal Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
9
STAIN Palangka Raya
kalau dibandingkan dengan ibu kota negara. Sebagaimana menurut Walt Restow, bahwa masyarakat tradisional perubahan dan perbaikan ekonomis tidak mencukupi untuk meningkatkan output perkapita dan kebanyakan produksi hanyalah diarahkan kepada produk primer yaitu; pertanian, minyak, dan kehutanan, serta bahan baku. Sesuai fakta kebijakan pembangunan hukum sosial ekonomi daerah nelayan Tumbang Nusa, mereka belum sampai lagi kepada masyarakat petani nelayan, mereka baru sebagaai nelayan. “Petani nelayan” sangat berbeda dengan hanya sebagai “Nelayan” perbedaan itu bisa dilihat sebagai berikut; kalau Petani Nelayan, adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan maupun non ikan yang merupakan biota yang hidup di Saka (kalau berada diperairan anak sungai yang saya sebut Saka) yaitu untuk memelihara, membesarkan dan atau membiakan ikan serta memanen hasilnya dengan alat atau cara apapun termasuk menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan untuk tujuan komersial. Sedangkan Nelayan, adalah orang yang mata pencahariannya hanya melakukan penangkapan ikan atau non ikan yang hidup secara alami di perairan. Dari segi penghasilan dan jaminan kedua macam antara petani nelayan dengan nelayan jelas berbeda. Kalau petani nelayan, di samping mempunyai penghasilan yang relatif lebih besar dan mudah diprediksi dan atau dikalkulasi secara matematik karena di samping melalui perencanaan, pengontrolan, perawatan, serta pengevaluasian yang dilakukan secara teratur. Dengan demikian penghasilanpun relatif bisa diorganisir serta dikelola sedemikian rupa, sejauh mana ketelatenan dalam mengelola biota tersebut, maka dimungkinkan sejauh itu pula jaminan kesejahteraan yang ditawarkan dari hasil tani nelayan tersebut. Sangat berbeda dengan hanya sebagai nelayan saja, di samping ketergantungannya dengan alam dan lingkungan sangat tinggi, mereka juga adalah tidak lebih hanyalah mesin produksi uang bagi para penampung12 yang mana secara fungsional para nelayan Saka Tanjung Nusa tersebut adalah sebagai pemakai alat-alat tangkap yang diperoleh sebagiannya secara berhutang dan sebagai konsekwensinya di samping hasil tangkapan harus dijual dengan penampung, maka yang lebih menyakitkan lagi biasanya harga yang diterima dari penampung pasti lebih murah karena alasan jasa penampung yang mau memberi piutang kepada nelayan. Karena mereka hanya sebagai nelayan, yang penghasilannya tergantung kondisi alam dan perubahan musim. Daerah Tumbang Nusa mengenal ada beberapa musim, antara lain; Musim Kemarau (yaitu musim dimana air Saka mengalami pendangkalan, pada musim ini para nelayan lebih besar dapat hasil meiwak13 (memasang pukat atau alat angkap ikan). Kemudian ada yang disebut Musim Penghujan, yaitu suatu musim yang air Saka mencapai atau menggenangi seluruh Saka-saka di Tumbang Nusa, kondisi alam seperti inilah mengalami pengurangan penghasilan dalam meiwak. Hal ini juga ada hubunganya, karena menyesuaikan dengan peralatan mereka yang menggunakan pukat tangkap yang masih tradisional dan juga menggunakan perahu tingkung dan atau alkon14 (dalam istilah bahasa mereka disebut dengan “Kelutuk”). Perahu-perahu yang dimiliki masyarakat nelayan tradisional ini jauh lebih ketinggalan kalau dibanding dengan nelayan-nelayan modern yang beroperasi di perairan laut. 12
penampung adalah orang yang menjadi penerima dan atau penukar hasil tangkapan nelayan. meiwak adalah sebutan lain dari pekerjaan nelayan (pekerja nelayan). 14 alkon adalah nama sebuah perahu kecil biasanya dipakai untuk mencari ikan di dalam Saka. 13
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
10
STAIN Palangka Raya
Dilihat dari segi ketergantungan dengan alam, keterbatasan sarana tangkap ikan dan atau non ikan, ketergantungan struktural fungsional dengan penampung, maka secara sistemik menjadikan kondisi pembangunan perekonomian masyarakat nelayan tradisional Tumbang Nusa sangat memprihatinkan, walaupun ada sebagian kecil beberapa keluarga agak lebih baik dari pada keluarga lainnya. lebih parah lagi daerah tersebut (sampai sa’at penulisan ini) tidak ada penerangan listrik masuk desa dan jalanpun masih jalan darurat (tidak bisa dilewati kendaraan roda empat). Untuk penghasilan nelayan dalam setiap harinya dalam keadaan yang relatif normal dimana keadaan alam sedang mendukung, baik keadaan musim maupun peralatan nelayan relatif bersahabat, yaitu; sekitar Rp.15.000,- (lima belas ribu rupiah) sampai dengan Rp.35.000, (tiga puluh lima ribu rupiah) pendapatan dalam setiap perahu tingkung (sebuah perahu kecil) yang biasanya digunakan mencari ikan para perempuan-perempuan Tumbang Nusa. Biasanya sebuah perahu terdapat rata-rata 2 orang atau satu orang perempuan. Uang sejumlah tersebut itulah yang dikumpulkan dari hari-kehari kemudian sampai kepada musim yang tidak bisa meiwak, maka dengan uang itu pula yang dipakai untuk masa tidak ada penghasilan, kondisi seperti ini berarti sangat memprihatinkan. Tidak bisa dibayangkan secara pasti, seperti apa kondisi perekonomian nelayan tradisional Tumbang Nusa. Dalam kesempatan ini setidaknya sekitar sejumlah 100-150 buah perahu tingkung yang tersebar di seluruh Tumbang Nusa tersebut, kalau terus dan terus dalam kondisi demikian. Yang lebih parah lagi, sehingga menambah ketidak berdayaan para nelayan tersebut, yaitu tidak adanya akses jalan yang memadai (mereka terisolir mendiami dengan rumah-rumah yang seadanya dipinggiran sungai Kahayan Kalteng tersebut). Kawasan ini sebenarnya sangat menantang terhadap penstudi ilmu huum, untuk lahan penelitian hukum secara seksama. Hal ini dikarenakan bukan saja mengupayakan adanya protektektif hukum terhadap perkembangan ekonominya yang jauh ketertinggalan dengan daerah-daerah lain. Hal itu memungkinkan merubah paradigma dari hanya sekadar nelayan menjadikan mereka sebagai petani nelayan, namun karakteristik masyarakat nelayan Tumbang Nusa dalam berhukum yang hidup secara turun-temurun (suatu misal cara-cara kepemilikan anak sungai (Saka). Kepemilikan demikian, juga merupakan kontribusi yang sangat potensial sebagai sesungguhnya identitas hukum nasional Indonesia yang selama ini hampir tak tersentuhkan dalam keikutsertaan merumuskan hukum nasional kita. Daerah tersebut kalau dikelola dengan memperhatikan hukum (kepastian, manfaat, dan keadilan dari berhukum) sangat potensial sebagai kawasan petani nelayan yang handal sebagai kawasan perikanan darat dengan pengelolaan mutakhir. Dari beberapa pendapat bahwa daerah yang terkebelakang adalah paling cocok bagi kawasan industrialisasi dipimpin permintaan pertanian, sebagai mana dikatakan oleh Adelman dalam Kotler, dkk. (1997:177). Bahwa ”… pertanian skala kecil dan menengah adalah yang paling cocok bagi ekonomi yang terkebelakang, strategi ini dikenal sebagai industrialisasi yang dipimpin permintaan pertanian”. Dengan demikian rumitnya masalah, maka dinamai apakah fakta sosial hukum, konflik, dan ekonomi yang senyatanya berproses pada nelayan tradisional Tumbang Nusa Kalimantan Tengah (saat ini) yang mana mereka masih jauh kalau disebut petani nelayan. Sekiranya sepakat, penulis menamainya ”masyarakat pinggiran yang terlupakan”. 3. Solusi Pemulihan Perekonomian Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
11
STAIN Palangka Raya
Sejalan dengan hanya didengungkannya reformasi di negeri ini (reformasi senyatanya hanyalah dalam tataran wacana dan atau dalam kondisi stagnan terutama keadaan hukum kaitannya ekonomi di kawasan Tumbang Nusa), tidaklah berlebihan kalau penulis masih mempunyai harapan ke depan kondisi pembangunan hukum kaitan perekonomian masyarakat nelayan pada saatnya nanti akan mengalami dimana kondisinya pada aras ideal yang juga dicita-citakan oleh nelayan setempat. Dalam upaya untuk mencapai kondisi pembangunan hukum kaitan perekonomian kondisi ideal di kawasan dimaksud, setidaknya dalam suatu pemikiran harus membuka kunci-kunci keberhasilan. Hal itu merupakan lingkaran setan membentengi dengan kuncikunci permasalahan yang relatif untuk dijawab dengan tidak hanya mengandalkan fotensi diri dari nelayan itu sendiri, namun juga hal-hal lain yang terkait. Secara keseluruhan proses yang saling kait-mengkait antara varian satu dengan yang lainnya dapatlah digambarkan sebagai simpul-simpul lingkaran kunci penghalang. Adapun kunci-kunci yang menjadi lingkaran penghalang itu antara lain dapat digambarkan sebagai berikut:
Intervensi pemerintah tidak memadai Atau kurang intensif dan perlunya perlindungan hukum secara khusus
Keluarga besar
Pertumbuhan ekonomi kecil
Produktivitas rendah
Akan terjadi konflik berkepanjangan akibat sumb. ekonomi terbatas dan kurang perhatian negara
Kurang modal investasi
Kurang gizi/ Kesehatan buruk
Pendapatan perkapita rendah
Kemiskinan fungsional
Pendidikan masyarakat nya rendah
Kondisi hidup tidak sehat
Sebagian besar rumah dan perencanaan keluarga tak layak
Ketergantungan Penampung/ Pemilik alat produksi
Gambar 4: Simpul-simpul Lingkaran Kunci Penghalang Sebagaimana gambaran jaring-jaring lingkaran penghalang terkadang berdaulat dan sangat kompleks secara fungsional saling mengunci antara satu elemen dengan elemen Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
12
STAIN Palangka Raya
yang lainnya. Kondisi yang demikian, kalau tanpa bantuan dari luar masyarakat nelayan itu sendiri terutama perlindungan hukum negara yang membumi (sebagai langkah-langkah intervensi yang bijak dan ideal), saya yakin masyarakat nelayan tradisional Tumbang Nusa ini tidak akan bisa membebaskan diri dari simpul-simpul lingkaran pengunci tersebut. Dari simpul-simpul tersebut yang paling potensial sehingga menentukan proses yang lainnya adalah tentang “akan berprosesnya konflik yang berkepanjangan akibat terbatasnya sumber ekonomi dan kurangnya perhatian negara terhadap pembangunan wilayah-wilayah terisolir dan produktivitas yang rendah” sebagai bagian penentu sehingga alur perbaikan pembangunan perekonomian tidak tersumbat. Dalam hal memperbaiki produktivitas masyarakat nelayan yang berada di kawasan terisolir tersebut haruslah mempunyai konsep hukum yang jelas dan tepat serta dinamis. Kepulihan pembangunan ekonomi yang keberpihakan kepada masyarakat nelayan tradisional Saka sebenarnya sangat tergantung kepada sistem perbaikannya. Adapun langkah-langkah perbaikan dimaksud, setidaknya antara lain sebagai berikut; perlunya langkah-langkah konkrit pemerintah secara intensif dalam intervensi pengelolaan masyarakat nelayan dengan payung hukum dinamis yang berbasis kerakyatan dan memfungsikan konflik dengan sebaik-baiknya, perlunya manajemen dan atau kepemimpinan baik dari pemerintah maupun tokoh masyarakat (tokoh lokal ataupun tokoh kosmopolitan), perlunya penataan dan atau pelatihan-pelatiahn tenaga kerja sebagai modal utama (manpower), perlunya modal keuangan yang cukup, perawatan atau dengan budidaya dan atau ketersediaan material (sumber kekayaan alam Saka baik ikan maupun non ikan). Agar lebih pesat dan lebih berakar, maka diperlukan pengembangan ilmu pengetahuan hukum dan teknologi yang betul-betul tepat guna sesuai kondisi pada kawasan pedesaan tersebut, pemberdayaan sarana dan prasarana informasi sebagai bagian agensi perubahan kearah modernisai, perlunya pengembangan sistem pemasaran yang luas dan tepat sasaran (kalau tidak keluar negeri, paling tidak memanfaatkan dan mengelola pasar domistik). Sebagai pokok jawaban persoalan, juga perlu adanya sistem yang baik (perencanaan, pelaksanaan, pengontrolan, dan pengevaluasian) dalam setiap tahapan dan atau dalam setiap satuan kegiatan sehingga lebih memungkinkan pencapaian titik kulminasi pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai. Kalau konsepsi yang ditawarkan di atas terlaksana dengan baik, maka sangat memungkinkan penghasilan dan atau produktivitas masyarakat nelayan Tumbang Nusa akan meningkat. Kalau produktivitas meningkat paling tidak bisa mengelola pasar domistik, yang selanjutnya tidak mustahil mendapat keuntungan yang lebih banyak dan dengan keuntungan yang banyak, maka sangat berfotensi meningkatkan investasi yang sebesar-besarnya. Dengan demikian secara sistematis dengan pengelolaan yang baik dan dinamis tentunya produktivitas dan hasil akan secara mudah dikuasai. Dari sederetan permasalahan pembangunan perekonomian, sebagaimana penulis gambarkan dengan berbagai simbul-simbul kunci penghambatnya, kemudian ditawarkan konsepsi untuk membangkitkannya. Dengan cara demikian, sekiranya dilaksanakan secara gradual dan penuh kecermatan serta yang paling pokok dengan tersedianya payung hukum yang fungsional. Hukum dibuat dengan proses yang tepat, mengembangkan kejujuran, dan kepribadian utama, serta pengabdian yang tinggi. Dengan mengembangkan strategis persaingan tinggi, maka akan menghasilkan yang lebih baik dari sekadar nelayan tradisional. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
13
STAIN Palangka Raya
Perekonomian pedesaan nelayan tradisional tersebut bermata pencaharian pokok, bahkan ketergantungan dengan sejumlah anak sungai sebagai tempat mencari nafkah (food security). Menurut hasil penelitian penulis, masyarakat Tumbang Nusa yang sejak lama berada di kawasan penghasilan rendah (law income earners), kalau secara konsisten mampu berupaya lepas dari jeratan kunci-kunci penghalang tersebut di atas, maka akan terlepas dari lingkaran setan kemiskinan dan akan menjadi petani nelayan Saka yang berwawasan kepada pembangunan hukum perekonomian masa depan sangat stabil. Dengan demikian, mempunyai intensitas persaingan yang sangat baik, bisa menyesuaikan terhadap trend-trend global, bahkan bukan tidak mungkin menciptakan trend-trend yang berstandart global, serta pada akhirnya sangat memungkinkan untuk membangun perekonomian yang dahsyat atas kekuatan yang bertumpu kepada kemampuan sendiri yang progressif. Adapun perkembangan kualitas proses sistem pemberdayaan perekonomian masyarakat pinggiran khususnya pada nelayan tradisional di Tumbang Nusa, tidak akan maju dan fungsional, kalau tidak dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang tepat (setidaknya adanya ketetapan Kepala Desa terkait). Pembuatan peraturan perundangundangan yang tepat, sudah seharusnya memperhatikan beberapa kepentingan dari yang terecil sekalipun sampai kepentingan masyarakat nelayan Tumbang Nusa yang lebih besar. Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 sudah dengan tegas mengamanahkan bahwa kemiskinan itu, di samping tanggungjawab masing-masing individu, namun juga menjadi tanggungjawab negara. Salah satu pelaksanaan tanggungjawab negara adalah membuat peraturan perundang-undangan organiknya tentang bagaimana pengaturan untuk mensejahterakan masyarakat yang berada dipinggiran atau daerah satelit sekalipun. Dalam pembuatan peraturan terkait mensejahterakan masyarakat nelayan tradisional Tumbang Nusa Kalimantan Tengah, sesuai Pasal 8 Ayat (1) Undang Undang No.12 Tahun 2011, setidaknya harus ada ketetapan Kepala Desa yang mengaturnya, kalau tidak ketentuan yang lebih tinggi. Dengan demikian di samping bisa dipastikan proses pemberdayaan pembangunan perekonomiannya, maka dengan kehadiran konstitusi dengan segala ketentuan organiknya, terwujudlah kemakmuran yang menempatkan keutamaan dalam keadilannya. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat gambaran kemungkinan pembuatan peraturan perundang-undangan yang ditentukan Pasal 8 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagai gambaran sberikut:
Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain selain Pasal 7 (1) UU No.12/2011, Sesuai Pasal: 8(1) UU No.12/2011
Mencakup Peraturan yg ditetapkan:
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah Mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi Badan Pemeriksa Keuangan Komisi Yudisial Bank Indonesia, Menteri Badan, Lembaga, Komisi setingkat yg dibentuk dgn UU atau Pemerintah atas perintah UU DPRD Provinsi Gubernur DPRD Kabupaten/Kota Bupati/Walikota Kepala Desa atau yang sederajat
Ketetapan Pengaturan Ekonomi Saka
Gambar 5: Jenis Alternatif Peraturan Perundang-undangan Pengaturan Saka. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
14
STAIN Palangka Raya
C. PENUTUP Dari paparan dalam bahasan tentang ”Hukum dan Masyarakat Pinggiran” ini, dapat penulis simpulkan secara sederhana sebagai berikut: 1. Solidaritas dan ketergantungan ekonomi terhadap karakteristik alam dan para penampung hasil tangkapan ikan pada masyarakat nelayan di daerah anak-anak sungai tersebut sangat tinggi. Hal itu terjadi, diantaranya sebagai akibat dari kebijakan hukum dan pemerintah tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat nelayan tradisional setempat. 2. Lemahnya kondisi perekonomian masyarakat nelayan tradisional Tumbang Nusa, yang perlu perlindungan hukum responsif n progresif adalah suatu hal yang harus segera diperhatikan oleh pihak-pihak yang berkompeten. Yang perlu dilakukan para pihak terkait, utamanya harus mengintervensi secara totalitas sebagai wujud pelaksanaan Undang Undang Dasar 1945. Kondisi kemiskinan masyarakat setempat, dengan adanya langkah bijak utnutk memfungsionalkan konstitusi negara, diharapkan adanya perubahan yang signifikan kearah perbaikan kesejahteraan masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, (1995). Ilmu Hukum, Teori Hukum, undangan,Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
dan
Ilmu
Perundang-
Alkostar, Artidjo, dkk, (1997), Identitas Hukum Nasional, Yogyakarta: FH. UII Bossu, Benny, (1996), Aspek-aspek Merosotnya Kewibawaan Hukum di Indonesia (Suatu Renungan bagi Pencari dan Pemerhati Keadilan), Malang: Doma Bakry, H. Oemar, (1983), Tafsir Rahmat, Jakarta: Mutiara. Friedrich, Joachim, Carl, (2004) Filsafat Hukum (perspektif Historis) Diterjemahkan oleh: Raisul Muttaqien dari The Philosophy of Law in Historical Perspective karya Carl Joachim Friedrich, The University of Chicago Press.1969, Bandung: Nuansa & Nuansamedia. Friedman, M. Lawrence, (1975), The Legal System, New York: Russel Sage Foundation Faisal, S., (2001), Metodologi Penelitian Sosial bagi Dosen dan Ilmuwan Sosial, Makalah diajukan dalam Seminar "Marginal International College (MIC)", Surabaya: --------
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
15
STAIN Palangka Raya
Hasan, Ahmadi, (2007), Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional,(Disertasi), Yogyakarta: PPs. FH. UII. Kusnadi, (2002), Konflik Sosial Nelayan (Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan), Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. Kotler, P., dkk. (1997), The Marketing of Nations (Pemasaran Keunggulan Bangsa), Indonesia: Victory Jaya Abadi. Muhajir, Mumu, (2010), Seri Hukum dan Keadilan Iklim (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation di Indonesia Kemana akan Melangkah), Jakarta, HuMa. Montesquieu, (2007), The Spirit of Laws, (Terj. M. Khoiril Anam), Bandung: Nusamedia Nonet, Philippe & Selznick, Philip, (2007), Law and Society in Transition:Toward Resvonsive L aw,(Terj.Raisul Muttaqien), Bandung: Nusamedia. Rawls, John, (1995), A Theory of Jaustice, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. Rahardjo, Satjipto, (2007), Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas ----------------------, (2006), Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakarta: UKI Press Sidharta, Arief, B., (2007), Sari Kuliah Filsafat Hukum Pogram Doktor Ilmu Hukum PPs. FH. UII, Yogyakarta, Suhardi, Gunardi, (2002), Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Yogyakarta: Univ. Atma Jaya S. Praja, Juhaya, (2004), Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya, PT. Latifah Press Soeprapto, Riyadi, (2002), Interaksionisme Simbolik, Malang: Everroes Press-Pustaka Pelajar. Soekanto, Soerjono, (1999), Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Swasono, Edy, Sri, dkk, (1987), Sekitar Kemiskinan dan Keadilan, Jakarta: UI Press Taher, P.E. (1994), Demokrastisasi Politik, Budaya dan Ekonomi-Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Yayasan Paramadina Thontowi, Jawahir, (2006), Sosiologi Hukum Perspektif Teoritis dan Praktis dalam Masyarakat Muslim (Sebuah Kompilasi), Yogyakarta: PPs FH. UII Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
16
STAIN Palangka Raya
Utsman, Sabian, (2005), Mengenal Sosiologi Hukum, Malang: Mediasi Pustaka. -------------------, (2007), Anatomi Konflik dan Solidaritas Masyarakat Nelayan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. -------------------, (2008), Menuju Penegakkan Responsif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar -------------------, (2009), Dasar Dasar Sosiologi Hukum (Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat), Yogyakarta: Pustaka Pelajar. -------------------, (2011), Living Law, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Usman S., (1998), Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Peters, A. A. G. & Siswosoebroto, Koesriani (1988), Hukum dan Perkembangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum (Buku II), Jakarta: UI. Wignjosoebroto, Soetandyo, (2007), Hukum dalam Masyarakat (Perkembangan dan Masalah), Surabaya: FISIP Univ. Airlangga.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013