HUBUNGAN ASUPAN ZAT GIZI (ENERGI, PROTEIN, BESI DAN SENG), STUNTING DAN STIMULASI PSIKOSOSIAL DENGAN STATUS MOTORIK ANAK USIA 3-6 TAHUN DI PAUD WILAYAH BINAAN PUSKESMAS KECAMATAN KEBAYORAN LAMA TAHUN 2014
SKRIPSI OLEH : AMEILIA AMANDA 109101000071
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2014 M
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Ameilia Amanda
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 6 Mei 1991
Alamat
: Komp. Taman Mangu Indah Blok B1 No. 4 RT 001 / 006 Pondok Aren Tangerang Selatan
Telepon/Hp
: 081287553806
Email
:
[email protected]
Tahun 1997 – 2003
: SDN 02 Pagi Pesanggrahan Jakarta
Tahun 2003 – 2006
: SMPN 177 Pesanggrahan Jakarta
Tahun 2006 – 2009
: SMAN 86 Bintaro Jakarta
Tahun 2009 – 2014
: Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada ALLAH SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan nikmat yang tiada terkira kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam teruntuk yang tersayang Nabi Muhammad SAW, semoga kita semua termasuk golongan umat yang mendapat syafaatnya. Aamiin. Skripsi yang berjudul “Hubungan Asupan Zat Gizi, Stunting dan Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik Anak Usia 3-6 tahun di PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014” ini dibuat sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi kesehatan masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan, dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Pada kesempaatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Allah SWT, yang selalu memberikan segalanya dalam proses pembuatan skripsi hingga selesai. 2. Kedua orang tua, papa Syafei Arifin serta mama Mulyani Muchtar yang tanpa lelah memberikan doa dan semangat. Juga untuk kakak-kakak tersayang Marisa dan Silvi serta para sepupu yang selalu memberi semangat. 3. Prof. DR (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Fajar Ariyanti, Ph.D, selaku kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. vi
5. Ibu Febri, M. Si, selaku Pembimbing Akademik dan Pembimbing I skripsi. Terima kasih atas bimbingan, arahan, dan sarannya yang sangat berharga selama proses perkuliahan dan proses penyusunan laporan skripsi ini. 6. Ibu Riastuti Kusumawardani SKM, M.KM, selaku dosen pembimbing II skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran yang berharga dalam proses penyusunan laporan skripsi ini. 7. Kepala sekolah dan Guru PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan kebayoran lama yang telah membantu selama proses penelitian berlangsung. 8. Teman – teman Kesmas 2009 yang telah memberikan semangat dan bantuan selama masa perkuliahan dan saat proses penyusunan skripsi ini terutama sahabat – sahabat terbaik yang selalu memberi semangat. 9. Teman – teman di luar kampus yang juga turut membantu dan memberi semangat dalam proses penyelesaian laporan skripsi ini. Penulis menyadari penulisan ini masih kurang dari sempurna, sehingga sangat diharapkan saran dan masukkannya. Semoga laporan skripsi ini dapat bemanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, Juli 2014
Penulis vii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT GIZI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, 2014 AMEILIA AMANDA, NIM : 109101000071 Hubungan Asupan Zat Gizi (Energi, Protein, Zat Besi dan Seng), Stunting Dan Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik Di PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan kebayoran Lama Tahun 2014 xviii + 106 halaman, 24 tabel, 5 gambar, 5 lampiran ABSTRAK Hasil survei Departemen Kesehatan RI tahun 2008 diketahui 19% balita mengalami gangguan perkembangan motorik, namun sebarannya di setiap provinsi belum memiliki data yang pasti. Berdasarkan studi pendahuluan pada 30 anak secara acak di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada anak diperoleh 36% kurang (11 anak) dan cukup (15 anak) sementara status gizi berdasarkan TB/U diperoleh 40% (12 anak) dengan kategori stunting. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi yaitu energi, protein, zat besi (Fe), zat seng (Zn), stunting dan stimulasi psikososial terhadap status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross sectional, dengan mengisi kuesioner. Penelitian ini dilakukan di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 85 orang. Sebanyak 30,6% responden memiliki status motorik halus yang terganggu dan 42,4% memiliki status motorik kasar yang terganggu. 63,5% responden memiliki asupan energi kurang, 60% memiliki asupan protein kurang, 38,8% memiliki asupan zat besi kurang, 52,9% memiliki asupan seng kurang. Ada 57,6% responden yang memiliki tubuh pendek (stunting) sebanyak 9,4% menerima stimulasi baik dan 22,4% menerima stimulasi kurang dari keluarga. Dapat disimpulkan bahwa variabel yang berhubungan dengan status motorik kasar dan halus adalah asupan (energi, protein dan besi), stunting dan stimulasi psikososial sedangkan variabel yang tidak berhubungan dengan status motorik kasar dan halus adalah asupan seng. Maka dari pihak Puskemas wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, PAUD dan orang tua atau pengasuh sebaiknya dapat berkerjasama dengan baik dalam memperbaiki asupan, status gizi serta mengoptimalkan pemberian stimulasi psikososial kepada anak. Kata Kunci Daftar Bacaan
: motorik, stunting, zat gizi, stimulasi psikososial, siswa PAUD : (2000-2014) viii
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY MAJOR OF COMMUNITY HEALTH NUTRITION UNDERGRADUATED THESIS, 2014 AMEILIA AMANDA, NIM : 109101000071 The Relationship of Nutrient Intake, Stunting and Psychosocial Stimulation of Motoric Status In Early Childhood Education with the Patronage Region Kebayoran Lama Sub-District Health Centers in 2014 xviii + 106 Pages, 24 Tables, 5 Pictures, 5 Attachments ABSTRACT The results of the Ministry of Health survey in 2008 approximately 19% of infants known to impaired motor development, but spreading in every province does not yet have definitive data. And based on the preliminary study of 30 children randomly assigned in early childhood target area of Kebayoran Lama sub-district health centers in 2014 psychosocial stimulation given to the child's parents earned 36% less (11 children) and sufficient (15 children) while nutritional status based on H/A obtained 40% (12 children) with stunting category. This study aims to determine the relationship of the nutrient intake of energy, protein, iron (Fe), zinc (Zn), stunting and psychosocial stimulation of the motor status of children aged 3-6 years in the early childhood area of Kebayoran Lama sub-district health center built in 2014. The study was conducted with cross-sectional design, data retrieval way to fill out a questionnaire. This research was conducted in the early childhood area of Kebayoran Lama sub-district health centers built by the number of samples are 85 people. A total of 30.6% of respondents have impaired fine motor status and 42.4% have impaired gross motor status, 63.5% less energy intake, 60% have less protein intake, 38, 8% have less iron intake, 52.9% have less zinc intake. A total of 57.6% respondents had a short stature (stunting) and 9.4% received good stimulation and 22.4% received less stimulation from their family. We can conclude variables related to the status of gross and fine motor include intake (energy, protein and iron), stunting and psychosocial stimulation, while variables not related to the status of gross and fine motor is the intake of zinc. Therefore, from the health centers target area Kebayoran Lama sub-district health centers, early childhood education and the parents or care giver should be able to cooperate well in improving the intake and nutritional status of the
ix
child as well as to optimize the provision of psychosocial stimulation to the child. Refferences Key Words
: (2000-2014) : motoric, stunting, nutrient, psychosocial stimulation, early childhood education.
x
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv RIWAYAT HIDUP......................................................................................... v KATA PENGANTAR .................................................................................... vi ABSTRAK ....................................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... xix BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 6 1.3 Pertanyaan Penelitian ...................................................................... 7 1.4 Tujuan Penelitian ........................................................................... 9 1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................... 11 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 13 2.1 Perkembangan Anak Usia Dini ...................................................... 13 2.1.1 Pengertian Perkembangan Anak Usia Dini ............................ 13 2.2 Motorik ........................................................................................... 14 2.2.1 Pengertian dan Prinsip Motorik ............................................ 14 2.2.2 Pengertian Motorik Kasar ..................................................... 15 2.2.3 Kemampuan Motorik Kasar anak usia 3-6 Tahun ................ 16 2.2.4 Pengertian Motorik Halus ..................................................... 17 2.2.5 Kemampuan Motorik Halus anak usia 3-6 Tahun ................ 18 2.2.6 Kuesioner Pra Skrining Pra Perkembangan (KPSP) ............. 20 2.3 Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ..................... 22 2.3.1 Pengertian PAUD ................................................................. 22 2.3.2 Ruang Lingkup Lembaga PAUD ......................................... . 22 2.4 Pengaruh Status Gizi berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) terhadap status motorik ......................................................... 24 2.4.1 Penilaian Status Gizi ............................................................. 24 2.4.2 Indeks Antropometri ............................................................. 24 2.4.3 Stunting ................................................................................. 25 2.5 Pengaruh Asupan Zat Gizi (Energi, Protein, Besi dan Seng) dengan Status Motorik .................................................................................... 28 xi
2.5.1 Energi ................................................................................... 2.5.2 Protein ................................................................................... 2.5.3 Besi (Fe) ................................................................................ 2.5.4 Seng (Zn) .............................................................................. 2.5.5 Metode Food Recall 24 Jam ............................................... 2.6 Pengaruh Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik ................... 2.6.1 Mekanisme Kerja Stimulasi terhadap Motorik ................... 2.6.2 Pengertian Stimulasi Psikososial ........................................ 2.6.3 Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) ............................................................................... 2.7 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Anak .............. 2.7.1 Pengasuhan Anak ................................................................. 2.7.2 Gizi ...................................................................................... 2.7.3 Lingkungan Anak ............................................................... 2.8 Kerangka Teori ................................................................................... BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ....................................................................................... 3.1 Kerangka Konsep .............................................................................. 3.2 Definisi Operasional .......................................................................... 3.3 Hipotesis ............................................................................................. BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................. 4.1 Desain Penelitian ............................................................................... 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................. 4.3 Populasi dan Sampel .......................................................................... 4.3.1 Populasi .................................................................................... 4.3.2 Sampel dan Teknik Sampling ................................................... 4.4 Instrumen Penelitian ..................................................................... 4.5 Pengumpulan Data.............................................................................. 4.6 Pengolahan Data ................................................................................ 4.6 Analisis Data .................................................................................... 4.6.1 Analisis Univariat ................................................................... 4.6.2 Analisis Bivariat ..................................................................... BAB V HASIL PENELITIAN.................................................................... 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................. 5.2 Analisis Univariat ............................................................................. 5.2.1 Gambaran Status Motorik Halus ..................................... 5.2.2 Gambaran Status Motorik Kasar ..................................... 5.2.3 Gambaran Asupan Energi ............................................... 5.2.4 Gambaran Asupan Protein .............................................. xii
31 31 32 34 35 37 37 39 39 41 41 41 42 42 45 45 49 54 56 56 56 57 57 57 60 62 63 65 65 66 68 68 69 69 70 70 71
5.2.5 Gambaran Asupan Zat Besi ............................................ 71 5.2.6 Gambaran Asupan Seng .................................................. 72 5.2.7 Gambaran Stimulasi Psikososial ..................................... 73 5.2.8 Gambaran Stunting .......................................................... 73 5.3 Analisis Bivariat ............................................................................... 74 5.3.1 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Energi………………..………………… 74 5.3.2 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Protein.................................................... 75 5.3.3 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Besi.................................................. 76 5.3.4 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Seng........................................................ 76 5.3.5 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stunting................................................................ 77 5.3.6 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stimulasi Psikososial........................................... 78 5.3.7
Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi………………………………….. 79 5.3.8 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein.................................................... 79 5.3.9 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Besi.................................................. 80 5.3.10 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Seng........................................................ 81 5.3.11 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stunting................................................................ 81 5.3.12 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stimulasi Psikososial............................................ 82 BAB VI PEMBAHASAN... .............................................................................. 84 6.1. Keterbatasan Penelitian ............................................................... 84 6.2 Gambaran Status Motorik Halus dan Kasar ................................ 84 6.3 Gambaran dan Hubungan Asupan Energi dengan Status Motorik Kasar dan Halus ............................................................ 86 6.4 Gambaran dan Hubungan Asupan Protein dengan Status Motorik Kasar dan Halus............................................................. 90 6.5 Gambaran dan Hubungan Asupan Zat Besi dengan Status Motorik Kasar dan Halus ............................................................ 92 xiii
6.6 Gambaran dan Hubungan Asupan Seng dengan Status Motorik Kasar dan Halus ............................................................ 6.7 Gambaran dan Hubungan Stunting dengan Status Motorik Kasar dan Halus .......................................................................... 6.8 Gambaran dan Hubungan Asupan Protein dengan Status Motorik Kasar dan Halus............................................................ BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 7.1 Kesimpulan ................................................................................... 7.2 Saran ............................................................................................. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiv
95 98 100 104 104 106
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel 2.1 3.1 4.1 4.2 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9
5.10
5.11
5.12
5.13
Halaman Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks TB/U.............................................................................................................. Definisi Operasional..................................................................................... Data siswa PAUD di Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014......................................................................................... Proporsi Jumlah Siswa PAUD DI Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014...................................................................... Distribusi Berdasarkan Status Motorik Halus pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014...........…….. Distribusi Berdasarkan Status Motorik Kasar pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014..................... Distribusi Berdasarkan Berdasarkan Asupan Energi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014...... Distribusi Berdasarkan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014..................... Distribusi Berdasarkan Asupan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014..................... Distribusi Berdasarkan Asupan Seng pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014................................. Distribusi Berdasarkan Stimulasi Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014……............. Distribusi Berdasarkan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014................................. Analisis Hubungan antara Status Motorik Haus dengan Asupan Energi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014......................................................................................... Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 ...................................................................................... Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014................................................................................................... Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Seng pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014................................................................... ....................................... Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014.................................................................................................
xv
26 50 58 61 70 71 71 72 73 73 74 75
75
76
77
77
78
5.14
5.15
5.16
5.17
5.18
5.19
5.20
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stimulasi Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014....................................................................... Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014......................................................................................... Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 ...................................................................................... Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014............................................................................................... Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Seng pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014........................................................................................................... Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014............................................................................................ Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stimulasi Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014.......................................................................
xvi
79
80
80
81
82
82
83
DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar
Halaman
2.1
Jalur dan jenjang PAUD……..................................................
24
2.2
Gambaran siklus neurotransmitter menghasilkan motorik ....
32
2.3
Gambaran mekanisme kerja stimulasi……………………….
40
2.4
Kerangka teori……………………………………………….
45
3.1
Kerangka konsep…………………………………………….
49
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
Judul Lampiran
1
Formulir Food Recall 24 Jam
2
Kuesioner HOME Inventory
3
Kuesioner Pra Skrining Perkembangan
4
Analisis Univariat
5
Analisis Bivariat
xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hasil survei Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008 diketahui sekitar 19% balita mengalami gangguan perkembangan namun sebarannya di setiap provinsi belum memiliki data yang pasti. Prevalensi tersebut apabila dibiarkan akan memberikan dampak pada status perkembangan di wilayah tersebut tidak optimal dan akan berpengaruh kepada keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa yang ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) (Azwar, 2004). SDM yang berkualitas atau tidak berawal pada kualitas otak, khususnya pada anak karena otak pada anak usia prasekolah bersifat plastis dengan kata lain peka
terhadap
lingkungan
sehingga
untuk
mempertahankan
sekaligus
meningkatkan kualitasnya adalah dengan upaya kesehatan pada anak usia prasekolah (0-6 tahun) berupa mendapatkan gizi yang baik dan stimulasi yang memadai serta terjangkau (Departemen Kesehatan RI, 2008). Kekurangan akan kebutuhan gizi pada masa anak usia prasekolah selain akan mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan jasmaninya juga akan menyebabkan gangguan perkembangan anak, dalam hal ini adalah perkembangan motorik (Sutarta, 2008). Perkembangan motorik berkaitan erat dengan pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi (Hurlock, 2000). Menurut Herawati (2009) terdapat tiga tahapan perkembangan 1
sel dan jaringan saraf dalam otak. Tahap pertama, pada periode pertama sekitar masa kehamilan 32 minggu dan periode kedua sekitar berumur 15 bulan. Masa ini disebut masa kritis karena merupakan fase pesat tumbuh kembang yang terjadi pembelahan sel otak. Tahap kedua, usia 0-2 tahun dimana periode yang paling krusial paska kelahiran terjadi dimana terjadi pembesaran sel otak yang amat pesat. Tahap ketiga, usia 3-6 tahun juga merupakan masa kritis, pada usia ini pertumbuhan dan perkembangan sel dan jaringan syaraf berlangsung pesat untuk melanjutkan dan memantapkan potensi yang sudah dibangun pada usia sebelumnya. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam pemantauan tumbuh kembang anak adalah Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK). Berdasarkan data SDIDTK dimana Penyimpangan perkembangan yang dideteksi melalui Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) yang dilakukan oleh petugas Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, diperoleh motorik kasar sebanyak 41 anak, motorik halus sebanyak 17 anak, kemampuan bahasa sebanyak 5 anak dan sosialisasi kemandirian sebanyak 5 anak pada tahun 2012 sedangkan pada tahun 2013 diperoleh motorik kasar sebanyak 38 anak, motorik halus sebanyak 13 anak, kemampuan bahasa sebanyak 5 anak dan sosialisasi kemandirian sebanyak 2 anak. Menurut Rumini dan Sundari (2004) prinsip perkembangan motorik adalah perkembangan motorik tidak akan terjadi sebelum matangnya sistem syaraf dan otot yaitu pada periode prenatal dimana perkembangan motorik akan terjadi sebelum periode prenatal dan berlangsung saat sistem syaraf mengalami 2
perkembangan yaitu anak pada usia 0-6 tahun. Namun Zaviera (2008) menjelaskan semakin berkembangnya sistem saraf otak yang mengatur otot memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak. Variasi siswa di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama juga pada usia 3-6 tahun sehingga populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 3-6 tahun. Terkait dengan kematangan sistem syaraf dan otot, hal ini berkaitan erat dengan keadaan gizi anak pada masa lampau. Dimana ketidakmampuan untuk mencapai perkembangan optimal atau stunting merupakan keadaan malnutrisi kronik yang berkaitan dengan perkembangan otak anak. Hal ini disebabkan oleh adanya keterlambatan kematangan sel-sel saraf terutama di bagian cerebellum yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik sehingga koordinasi sel saraf dengan otot menjadi kurang baik (Georgieff, 2001). Pada penelitian Kartika et al (2002) didapatkan anak usia 3-6 tahun mengalami kemampuan motorik kasar lebih rendah pada anak yang mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang tidak stunting, dimana anak yang mengalami stunting mempunyai risiko 6 kali lebih besar mengalami gangguan perkembangan motorik kasar dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stunting dengan motorik kasar pada anak usia 3-6 tahun. Hal yang serupa juga dibuktikan pada penelitian Olney et al (2007) bahwa di daerah Zanzibar, Afrika Timur, anak yang stunting memiliki skor Total Motor Activity (TMA) atau jumlah
3
aktivitas motorik lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lama dalam melakukan gerakan-gerakan perpindahan. Selain keadaan gizi masa lampau pada anak, pemberian asupan gizi yang seimbang juga harus diperhatikan karena untuk mengembangkan kemampuan saraf motoriknya (Zaviera, 2008). Menurut Gerorgieff (2001) asupan zat gizi yang berperan dalam motorik diantaranya adalah energi, protein, besi (Fe) dan seng (Zn). Dimana energi berperan dalam mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang sering disebut neurotransmitter. Protein pada asam amino tirosin berkaitan dengan neurotransmitter dan serotonin berperan dalam menstimulasi tidur yang penting untuk perkembangan otak dalam memproses informasi sedangkan catecholamine berkaitan dengan keadaan siaga yang membantu menyerap
informasi di otak. Besi (Fe) berperan dalam sintesis monoamine,
metabolisme energi di neuron serta mielinisasi dan seng (Zn) berperan dalam pelepasan neurotransmitter. Pada penelitian Susanty (2012) dengan uji korelasi menunjukkan adanya hubungan asupan energi dan protein tehadap status motorik anak dengan p<0,05. Pada penelitan Black et al (2005) bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat seng (Zn) yang diberikan terhadap status motorik anak. Pada penelitian Black et al (2004) juga menunjukkan bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat besi yang diberikan terhadap status motorik anak. Disamping pengaruh gizi, stimulasi juga berpengaruh terhadap status motorik. Melakukan stimulasi yang memadai artinya merangsang otak balita sehingga kemampuan gerak atau motorik anak berlangsung secara optimal sesuai 4
dengan umur anak (Depertemen Kesehatan RI, 2008). Menurut Soetjiningsih (2002) stimulasi psikososial merupakan rangsangan dari peristiwa-peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak sehingga dapat mempengaruhi kualitas perkembangan anak. Pada penelitian Gustiana et al (2011) dipaparkan bahwa anak pada umur 3-5 tahun mengalami status motorik kasar kurang baik lebih banyak pada anak yang jarang diberi stimulasi psikososial yaitu sebesar 56%, sedangkan pada anak yang sering distimulasi psikososial yang mengalami gangguan motorik kasar hanya sebesar 24%. Anak yang mengalami status motorik kasar mempunyai risiko 4,03 kali mendapatkan stimulasi psikososial yang jarang dibandingkan yang cukup, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan status motorik kasar. Pada penelitian Gardner et al (2007) dengan uji anova juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan status motorik pada p<0.01 dan dengan derajat kepercayaan 95%. Suyadi (2013) menjelaskan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakandasar ke arah perkembangan, yaitu koordinasi motorik (halus dan kasar) sehingga lokasi penelitian adalah di PAUD. Berdasarkan wawancara dan observasi dengan 3 kepala sekolah dan 5 guru dari 3 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, ditemukan 12 anak mengalami gangguan status motorik seperti kesulitan menggambar dan
5
memegang suatu benda dan keterlambatan menulis dimana seharusnya sudah bisa dilakukan sesuai dengan tahapan usia masing-masing anak. Disamping itu, peneliti juga melakukan studi pendahuluan terhadap 30 anak yang dipilih secara acak di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada bulan Januari 2014. Dari hasil studi pendahuluan tersebut, diperoleh 60% (18 anak) dengan asupan energi kurang, 43,3% (13 anak) dengan asupan protein kurang, 76,6% (24 anak) dengan asupan zat besi kurang, 53,3% (16 anak) dengan asupan zat seng kurang berdasarkan AKG (2012). Sedangkan stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada anak diperoleh 36% kurang (11 anak), 54,7% cukup (15 anak) dan 9,3% baik (4 anak), status gizi berdasarkan TB/U diperoleh 40% (12 anak) dengan kategori stunting dan diperoleh 43,4% (13 anak) memiliki status motorik halus dengan kategori normal dan 56,6% (17 anak) dengan kategori terganggu dan 36,7% (11 anak) memiliki status motorik kasar dengan kategori normal dan 63,3% (19 anak) dengan kategori terganggu. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi, stunting dan stimulasi psikososial terhadap status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan wawancara dan observasi dengan 3 kepala sekolah dan 5 guru dari 3 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada bulan Januari 2014, ditemukan 12 dari anak mengalami gangguan status motorik seperti kesulitan menggambar dan memegang suatu benda dan keterlambatan menulis. Disamping itu, peneliti juga 6
melakukan studi pendahuluan terhadap 30 anak yang dipilih secara acak di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama. Dari hasil studi pendahuluan tersebut, diperoleh 60% (18 anak) dengan asupan energi kurang, 43,3% (13 anak) dengan asupan protein kurang, 76,6% (24 anak) dengan asupan zat besi kurang, 53,3% (16 anak) dengan asupan zat seng kurang berdasarkan AKG (2012). Sedangkan stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada anak diperoleh 36% kurang (11 anak), 54,7% cukup (15 anak) dan 9,3% baik (4 anak), status gizi berdasarkan TB/U diperoleh 40% (12 anak) dengan kategori stunting dan diperoleh 43,4% (13 anak) memiliki status motorik halus dengan kategori normal dan 56,6% (17 anak) dengan kategori terganggu dan 36,7% (11 anak) memiliki status motorik kasar dengan kategori normal dan 63,3% (19 anak) dengan kategori terganggu. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi, stunting dan stimulasi psikososial terhadap status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1.
Bagaimana gambaran asupan energi anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
2.
Bagaimana gambaran asupan protein anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
3.
Bagaimana gambaran asupan zat besi (Fe) anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
7
4.
Bagaimana gambaran asupan zat seng (Zn) anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
5.
Bagaimana gambaran stimulasi psikososial anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
6.
Bagaimana gambaran stunting anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
7.
Bagaimana gambaran status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
8.
Bagaimana gambaran status motorik halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
9.
Bagaimana hubungan asupan energi dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
10. Bagaimana hubungan asupan protein dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014? 11. Bagaimana hubungan asupan zat besi (Fe) dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014? 12. Bagaimana hubungan asupan zat seng (Zn) dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014?
8
13. Bagaimana hubungan stimulasi psikososial dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014? 14. Bagaimana hubungan stunting dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014? 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Diketahuinya hubungan asupan zat gizi yaitu energi, protein, besi dan seng, stunting dan stimulasi psikososial dengan status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran asupan energi anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 2. Diketahuinya gambaran asupan protein anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 3. Diketahuinya gambaran asupan zat besi (Fe) anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 4. Diketahuinya gambaran asupan zat seng (Zn) anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 9
5. Diketahuinya gambaran stunting anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 6. Diketahuinya gambaran stimulasi psikososial anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 7. Diketahuinya gambaran status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 8. Diketahuinya gambaran status motorik halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 9. Diketahuinya hubungan asupan energi dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 10. Diketahuinya hubungan asupan protein dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 11. Diketahuinya hubungan asupan zat besi (Fe) dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 12. Diketahuinya hubungan asupan zat seng (Zn) dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 10
13. Diketahuinya hubungan stimulasi psikososial dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 14. Diketahuinya hubungan stunting dengan status motorik kasar dan halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 1.5 Manfaat penelitian 1.5.1 Bagi PAUD 1. Memberikan informasi bagi PAUD tentang hubungan asupan zat gizi dan stimulasi psikososial dengan status motorik anak. 2. Sebagai
bahan
masukan
dan
pertimbangan
untuk
kebijakan
selanjutnya dalam pelaksanaan kegiatan pemantauan asupan zat gizi, stimulasi psikososial dan upaya peningkatan kemampuan motorik anak. 1.5.2 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat 1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan untuk penelitian berikutnya dengan mengembangkan metode yang lebih luas ruang lingkupnya. 2. Lembaga pendidikan dapat memperoleh tolak ukur proses belajar mahasiswa dengan keadaan yang nyata. 3. Memberikan informasi kepada institusi yang terkait sehingga dapat menjadi bahan masukan untuk membuat kebijakan selanjutnya.
11
1.5.3 Bagi Peneliti Lain 1.
Dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk peneliti selanjutnya.
2.
Dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk penelitian berikutnya.
1.5.4 Bagi Penulis 1.
Merupakan suatu kesempatan untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh selama di bangku kuliah.
2.
Menambah pengalaman bagi penulis dalam melakukan penelitian ilmiah di bidang gizi kesehatan masyarakat.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan studi cross sectional dengan judul “Hubungan Asupan Zat Gizi, Stunting dan Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik Anak Usia 3-6 Tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014”. Penelitian ini dilakukan dengan cara pengisian kuesioner baik untuk mengetahui variabel dependen maupun untuk mengetahui variabel independen penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni tahun 2014 dan lokasi penelitian dilakukan di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Anak Usia Dini 2.1.1 Pengertian Perkembangan Anak Usia Dini Terdapat hubungan yang sangat erat sekaligus perbedaan yang cukup signifikan antara pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan lebih mengandung unsur kuantitatif, yaitu adanya penambahan ukuran fisik pada struktur tubuh. Anak menjadi lebih besar secara fisik dan organ-organ dalam juga meningkat seperti tangan, kaki, badan, otak, dan lain-lain (Suyadi, 2013). Sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
Sehingga
dapat
disimpulkan
bahwa
pertumbuhan
mempunyai dampak terhadap aspek fisik sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ atau individu (Suyadi, 2013). Usia dini yaitu 0-6 tahun merupakan masa perkembangan dan perttumbuhan yang sangat menentukan bagi anak di masa depannya atau 13
disebut juga masa keemasan (the golden age) sekaligus periode yang sangat kritis yang menentukan tahap pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya (Suyadi, 2013). 2.2 Motorik 2.2.1 Pengertian dan Prinsip Motorik Perkembangan bentuk kegiatan motorik yang sejalan dengan perkembangan daerah sistem syaraf. Karena perkembangan pusat syaraf yang lebih rendah, yang bertempat dalam urat syaraf tulang belakang, pada waktu lahir berkembangnya lebih baik ketimbang pusat syaraf yang lebih tinggi yang berada dalam otak, maka gerak refleks pada waktu lahir lebih baik dikembangkan dengan sengaja ketimbang dibiarkan berkembang sendiri. Cerebellum atau otak yang lebih bawah yang mengendalikan keseimbangan, berkembang dengan cepat selama tahun awal kehidupan dan praktis mencapai ukuran kematangan pada waktu anak berusia 5 tahun. Demikian juga otak yang lebih atas atau cerebrum, khususnya ruang masuk depan yang mengendalikan gerakan terampil berkembang dalam beberapa tahun permulaan. Gerakan terampil belum dapat dikuasai sebelum mekanisme otot anak berkembang (Hurlock, 2000). Maka, Hurlock (2000) menyimpulkan bahwa perkembangan motorik merupakan perkembangan dari pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi. Pengendalian tersebut berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan masa yang ada pada waktu lahir. Dan menurut Rumini dan Sundari (2004) juga menyatakan 14
bahwa pada perkembangan motorik bergantung pada kematangan otot dan syaraf. Motorik kasar berkembang terlebih dahulu, selanjutnya diikuti perkembangan motorik halus. Motorik kasar melibatkan sebagian besar bagian tubuh dan biasanya memerlukan tenaga karena itu dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar sedangkan mototik halus hanya melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot kecil karena itu tidak begitu memerlukan tenaga. Menurut Rumini dan Sundari (2004) ada empat prinsip motorik, diantaranya adalah pertama, keterampilan motorik tergantung pada kematangan otot dan syaraf. Kedua, perkembangan motorik mengikuti pola yang dapat diramalkan. Ketiga, berdasarkan umur rata-rata suatu awal perkembangan motorik dimungkinkan untuk menentukan norma bentuk kegiatan motorik lainnya. Keempat, perbedaan individu juga mempengaruhi laju perkembangan motorik. 2.2.2 Pengertian Motorik Kasar Menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik kasar adalah bagian dari aktivitas motor yang melibatkan keterampilan otot-otot besar. Gerakangerakan seperti tengkurap, duduk, merangkak dan mengangkat leher. Sedangkan menurut Adriana (2011) motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan perkembangan pergerakan dan sikap tubuh. Aktivitas motorik yang mencakup keterampilan otot-otot besar seperti merangkak, berjalan, berlari, melompat atau berenang.
15
2.2.3 Kemampuan Motorik Kasar 3-6 Tahun Kemampuan motorik kasar yang harus dicapai anak sesuai usianya berdasarkan Departemen Kesehatan RI (2009) adalah sebagai berikut: a. Kelompok usia 36 bulan -
Dapat melempar bola lurus ke arah perut atau dada pengasuh dari jarak 1,5 meter
-
Dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari
-
Dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter
b. Kelompok usia 42 bulan -
Dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter
-
Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan
-
Dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari
c. Kelompok usia 48 bulan -
Dapat mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter
-
Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan
-
Dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari
16
d. Kelompok usia 54 bulan -
Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan
e. Kelompok usia 60 bulan -
Dapat mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau lebih saat anak berdiri satu kaki tanpa berpegangan
-
Dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki tanpa berpegangan
f. Kelompok usia 66 bulan -
Dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki tanpa berpegangan
-
Dapat menangkap bola kecil (bola tenis) hanya dengan menggunakan kedua tangannya
g. Kelompok usia 72 bulan -
Dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki tanpa berpegangan
-
Dapat menangkap bola kecil (bola tenis) hanya dengan menggunakan kedua tangannya
-
Dapat berdiri satu kaki tanpa berpegangan dan mempertahankan keseimbangan dalam waktu minimal 11 detik
2.2.4 Pengertian Motorik Halus Menurut Adriana (2011) bahwa gerak atau motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu serta dilakukan oleh otot-otot kecil. Sedangkan menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik halus merupakan aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, 17
melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot kecil tetapi memerlukan koordinasi yang cermat misalnya kemampuan untuk menggambar dan memegang suatu benda. 2.2.5 Kemampuan Motorik Halus anak usia 3-6 Tahun Kemampuan motorik halus yang harus dicapai anak sesuai usianya berdasarkan Departemen Kesehatan RI (2009) adalah sebagai berikut: a. Kelompok usia 36 bulan -
Dapat mencoret-coret kertas tanpa petunjuk saat diberi pensil
-
Dapat meletakkan 4 buah kubus satu persatu di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubusnya
-
Dapat membuat garis lurus ke bawah sepanjang sekurangkurangnya 2,5 cm
b. Kelompok usia 42 bulan -
Dapat menggambar lingkaran dengan memberikan contoh tanpa membantu anak dan jangan menyebut lingkaran
-
Dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubusnya
c. Kelompok usia 48 bulan -
Dapat menggambar lingkaran dengan memberikan contoh tanpa membantu anak dan jangan menyebut lingkaran
-
Dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubusnya
18
d. Kelompok usia 54 bulan -
Dapat meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubusnya
-
Dapat menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak tiga kali dengan benar
-
Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar
e. Kelompok usia 60 bulan -
Dapat menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak tiga kali dengan benar
-
Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar
f. Kelompok usia 66 bulan -
Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar
-
Dapat
menggambar
sedikitnya
3
bagian
tubuh
ketia
diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak -
Dapat
menggambar
sedikitnya
6
bagian
tubuh
ketia
diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak g. Kelompok usia 72 bulan -
Dapat
menggambar
sedikitnya
3
bagian
tubuh
ketika
diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak
19
-
Dapat
menggambar
sedikitnya
6
bagian
tubuh
ketika
diperintahkan “Buatlah gambar orang” tanpa membantu anak -
Dapat menggambar seperti contoh gambar yang diberikan tanpa membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar
2.2.6 Kuesioner Pra Skrining Pra Perkembangan (KPSP) Departemen Kesehatan RI (2008) menjelaskan bahwa KPSP (Kuesioner Pra Skrining Perkembangan) adalah alat atau instrumen yang digunakan untuk mengetahui perkembangan anak normal atau ada penyimpangan. Jadwal skrining atau pemeriksaan KPSP rutin adalah pada umur 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60, 66 dan 72 bulan. Cara penggunaan KPSP adalah sebagai berikut: a. Pada waktu pemeriksaan anak harus dibawa. b. Tentukan umur anak dengan menanyakan tanggal, bulan dan tahun anak lahir. Bila umur ank lebih dari 16 hari dibulatkan menjadi 1 bulan, contoh : bayi umur 3 bulan 16 hari, dibulatkan menjadi 4 bulan. Bila umur bayi 3 bulan 15 hari, dibulatkan menjadi 3 bulan. c. Setelah menentukan umur anak, pilih KPSP yang sesuai dengan umur anak. d. KPSP terdiri dari 2 macam pertanyaan, yaitu : 1.
Pertanyaan yang dijawab oleh ibu/pengasuh anak. Contoh: “Dapatkah bayi makan kue sendiri?”
20
2.
Perintah kepada ibu/pengasuh anak atau petugas untuk melaksanakan tugas yang tertulis pada KPSP. Contoh: “pada posisi bayi anda terlentang, tariklah bayi pada pergelangan tangannya secara perlahan-lahan ke posisi duduk”.
e. Baca dulu dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang ada. Bila tidak jelas atau ragu-ragu tanyakan lebih lanjut agar mengerti sebelum melaksanakan. f. Pertanyaan dijawab berurutan satu persatu. g. Setiap pertanyaan hanya mempunyai satu jawaban YA atau TIDAK. h. Teliti kembali semua pertanyaan dan jawaban. Dan setelah melakukan pemeriksaan petugas memulai penilaian hasil yang diperoleh telah melakukan pemeriksaan dengan menggunakan interpretasi hasil KPSP sebagai berikut: 1. Hitung jawaban Ya (bila dijawab bisa atau sering atau kadangkadang). 2. Hitung jawabab Tidak (bila jawaban belum pernah atau tidak pernah). 3. Bila jawaban YA = 9-10, perkembangan anak sesuai dengan tahapan perkembangan (S). 4. Bila jawaban YA = 7 atau 8, perkembangan anak meragukan (M). 5. Bila jawaban YA = 6 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan (P). 6. Rincilah jawaban TIDAK pada nomor berapa saja.
21
2.3 Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) 2.3.1 Pengertian PAUD Secara yuridis, yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapam dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Suyadi, 2013). Sedangkan secara institusional, PAUD juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan, baik koordinasi motorik (halus dan kasar), kecerdasan emosi, kecerdasan jamak maupun kecerdasan spiritual. Oleh karena itu penyelenggaraan PAUD disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini itu sendiri (Suyadi, 2013). 2.3.2 Ruang Lingkup Lembaga PAUD Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan bahwa ruang lingkup lembaga-lembaga PAUD terbagi ke dalam tiga jalur, yakni formal, non formal dan informal. Ketiganya merupakan jejaring pendidikan yang diselenggarakan
sebelum
pendidikan
dasar.
Gambar
berikut
mengilustrasikan bentuk penyelenggaraan lembaga PAUD tersebut.
22
ini
Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul
Jalur Formal
Athfal (RA), atau bentuk lain sederajat Kelompok Bermain (KB)
Jalur Non Formal
Tempat Penetipan Anak (TPA) atau
Jalur Informal
bentuk lain sederajat Gambar 2.1 Jalur dan Jenjang PAUD Gambar di atas menjelaskan bahwa PAUD jalur pendidikan formal diselenggarakan pada Taman Kanak-Kanak, Raudhatul Athfal atau bentuk lain yang sederajat dengan rantang usia anak 4-6 tahun. Selanjutnya, pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non formal diselenggarakan pada kelompok bermain dengan rentang usia 2-4 tahun. Terakhir, pendidikan anak usia dini jalur pendidikan informal diselenggarakan pada tempat penitipan anak dengan rentang usia anak 3 bulan sampai dengan 2 tahun atau bentuk lain yang sederajat (Satuan PAUD Sejenis/SPS) dengan rentang usia anak 3-6 tahun. Berdasarkan penjelasan di atas, maka PAUD di wilayahbinaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama termasuk Satuan PAUD Sejenis. Dimana menurut Suyadi (2013) satuan PAUD Sejenis (SPS) adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan diluar Taman Kanak Kanak, Kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak dengan rentang usia anak 3-6 tahun. Contohnya: Bina Keluarga Balita (BKB), Posyandu, Pos PAUD, Taman Pendidikan Al Qur’an, Taman Pendidikan Anak Sholeh, Sekolah Minggu dan Bina Iman.
23
2.4 Pengaruh Status Gizi berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) terhadap Status Motorik 2.4.1 Penilaian Status Gizi Menurut Supariasa (2002) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu, dan dapat diartikan pula sebagai keadaan tubuh berupa hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh dan juga perwujudan manfaatnya. Menurut Supariasa (2002), penilaian status gizi secara langsung yaitu antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri
secara
umum
digunakan
untuk
melihat
ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, 2002). 2.4.2 Indeks Antropometri Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Menurut WHO (2005) standar antropometri penilaian status gizi anak berdasarkan TB/U dan ambang batasnya adalah sebagai berikut:
24
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak berdasarkan Indeks TB/U Indeks
Kategori Status Gizi
Sangat Pendek Pendek Normal Sumber: Kemenkes RI, 2011 Tinggi Badan/ Umur Anak
Ambang Batas (Z-Score) <-3 SD -3 SD s/d <-2 SD -2 SD s/d 2 SD
Indeks TB/U memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan sebagai berikut (Supariasa, 2002): a. Kelebihan 1. Baik untuk menilai status gizi masa lampau. 2. Ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. b. Kekurangan 1. Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun. 2. Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya. 3. Ketepatan umur sulit didapat. 2.4.3 Stunting Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa, 2002). Menurut penjelasan Hurlock (2000) status gizi lampau yaitu stunting berkaitan erat dengan status motorik karena status motorik merupakan
25
perkembangan dari pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi sehingga pengendalian tersebut berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan masa yang ada pada waktu lahir. Kaitan status motorik dengan status gizi lampau juga dijelaskan oleh Georgieff (2001) dimana ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal merupakan keadaan malnutrisi kronik juga berkaitan dengan perkembangan otak anak. Hal ini disebabkan oleh adanya keterlambatan kematangan sel-sel saraf terutama di bagian cerebellum yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik sehingga koordinasi sel saraf dengan otot menjadi kurang baik. Menurut Herawati (2009) tahapan perkembangan sel dan jaringan saraf dalam otak dibagi menjadi beberapa tahap, diantaranya adalah: 1.
Periode pertama sekitar masa kehamilan 32 minggu dan periode kedua sekitar anak berumur 15 bulan. Gizi yang cukup selama kehamilan akan menghasilkan bayi dengan berat otak dan jumlah sel otak yang optimal. Pada saat lahir 2/3 jumlah sel otak telah terbentuk tapi berat otak baru mencapai sepertiganya. Hal ini memberikan indikasi bahwa sebagian besar pembelahan sel otak terjadi pada saat janin dalam kandungan. Dalam kandungan, sel-sel otak janin bertambah banyak dengan kecepatan sekita 250 ribu sel setiap menit.
2.
Periode kedua yang paling krusial paska kelahiran terjadi pada usia dini khususnya pada usia 0-2 tahun. Pada masa ini selain terjadi 26
pembesaran sel otak yang amat pesat, juga masih terjadi pembelahan sel otak untuk melanjutkan 2/3 jumlah sel otak yang telah ternbentuk pada saat anak lahir. 3.
Periode ketiga, Usia 3-6 tahun adalah masa kritis ketiga. Pada usia ini pertumbuhan dan perkembangan juga berlangsung pesat untuk melanjutkan dan memantapkan potensi yang sudah dibangun pada usia sebelumnya. Menurut Rumini dan Sundari (2004) prinsip perkembangan motorik adalah perkembangan motorik tidak akan terjadi sebelum matangnya sistem syaraf dan otot yaitu pada periode prenatal dimana perkembangan motorik akan terjadi sebelum periode prenatal dan berlangsung saat sistem syaraf mengalami perkembangan yaitu anak pada usia 0-6 tahun. Namun Zaviera (2008) menjelaskan semakin berkembangnya sistem saraf otak yang mengatur otot memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak. variasi siswa di PAUD wilayah Kecamatan Kebayoran Lama juga pada usia 36 tahun sehingga populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 3-6 tahun. Pada penelitian Kartika et al (2002) didapatkan anak usia 3-5 tahun mengalami perkembangan motorik kasar lebih rendah pada anak yang mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang tidak stunting, dimana anak yang mengalami stunting mempunyai risiko 6 kali lebih besar mengalami gangguan perkembangan motorik kasar 27
dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stunting dengan perkembangan motorik kasar pada anak usia 3-5 tahun. Hal yang serupa juga dibuktikan pada penelitian Olney et al (2007) bahwa anak di daerah Zanzibari, Afrika Timur yang stunting memiliki skor Total Motor Activity (TMA) atau jumlah aktivitas motorik lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lama dalam melakukan gerakan-gerakan perpindahan. Sedangkan pada penelitian Susanty (2012) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat stunting dengan perkembangan motorik halus dan kasar anak balita. 2.5 Pengaruh Asupan Zat Gizi (Energi, Protein, Besi dan Seng) dengan Status Motorik Asupan gizi merupakan kebutuhaan anak yang berperan dalam proses tumbuh kembang terutama dalam perkembangan otak. Kemampuan anak untuk dapat mengembangkan kemampuan saraf motoriknya adalah melalui pemberian asupan gizi yang seimbang. Pemberian asupan gizi seimbang ini sangat berperan dalam tumbuh kembang anak mulai dari janin dalam kandungan, balita, anak usia sekolah, remaja bahkan sampai dewasa (Zaviera, 2008). Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh dan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh, dalam hal ini untuk perkembangan motorik, di dalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Dikatakan konsumsi atau asupan gizi adekuat dimana tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan 28
gizi yang baik, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama, 2000). Kecukupan gizi anak meningkat seiring dengan pertambahan usia. Menurut Angka Kecukupan Gizi (2013) kecukupan anak dibedakan menjadi kelompok usia, untuk anak usia 3 tahun kecukupan energinya sebesar 1125 kkal, 26 gram untuk protein, 8 mg untuk kecukupan besi, sedangkan seng 4 mg. Pada usia 4-6 tahun kecukupan energinya sebesar 1600 kkal, 35 gram untuk protein, 9 mg untuk kecukupan besi, sedangkan seng 5 mg. Namun dalam mengonsumsi makanan tidak hanya jumlah dan kualitas makanan yang harus diperhatikan akan tetapi harus diperhatikan juga cara mengonsumsinya. Selain untuk memenuhi kebutuhan gizi juga untuk menghindari interaksi yang terjadi antara zat gizi yang masuk ke dalam tubuh. Interaksi antar zat gizi bisa berdampak positif dan negatif. Interaksi zat gizi dapat terjadi pada tiga tempat. Pertama, dalam bahan makanan (produk pangan). Kedua, dalam saluran pencernaan dan ketiga, dalam jaringan, sistem transpor dan jalur ekskresi tubuh. Masing-masing interaksi dapat bersifat positif, negatif dan kombinasi antara keduanya (Sulistyoningsih, 2011). 1. Interaksi dalam produk pangan Zat gizi tertentu, terutama mineral dapat berinteraksi negatif dengan zat non gizi yang terdapat dalam bahan makanan. Asam fitat dalam sayuran, serealia atau umbi-umbian dapat mengikat mineral besi, seng atau magnesium. Akibatnya, mineral-mineral itu tidak dapat diserap oleh tubuh. 29
2. Interaksi dalam saluran pencernaan Sebagian besar interaksi zat gizi terjadi di dalam saluran pencernaan. Interaksi itu dapat menguntungkan atau merugikan. Contoh yang menguntungkan adalah interaksi atara vitamin C dengan Fe. Vitamin C dapat meningkatkan kelarutan Fe sehingga Fe lebih mudah diserap tubuh. Peningkatan penyerapan Fe juga dapat dibantu vitamin A dan vitamin B12. Konsumsi protein yang relatif tinggi dapat meningkatkan penyerapan Ca dan Zn, meskipun ekskresi Zn dalam urine menjadi meningkat. 3. Interaksi dalam metabolisme Interaksi antara beberapa mineral dapat merugikan tubuh. Khususnya untuk mineral, terdapat dua tipe interaksi yang terjadi, yaitu kompetisi dan koadaptasi. Interaksi yang bersifat kompetisi ditentukan oleh kemiripan sifat fisik dan kimia mineral itu satu sama lain, contohnya adalah Fe dengan Zn, Fe dengan Cr, dan Zn dengan Cu. Mekanisme kompetisi terjadi karena satu mineral yang dikonsumsi dalam jumlah berlebihan akan menggunakan alat ranspor mineral lain sehingga akan terjadi kekurang salah satu mineral itu. Misalnya transferrin merupakan alat transpor bagi Fe, ternyata dapat digunakan oleh Zn, Ca dan Cr. Sedangkan koadaptasi merupakan upaya adaptasi yang dilakukan usus dalam menyerap mineral tertentu. Koadaptasi dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama, bila suplai atau persediaan mineral tubuh rendah, maka usus akan beradaptasi untuk meningkatkan efisiensi dan transfer satu mineral. Kedua, apabila persediaan mineral dalam tubuh
30
berlebihan, usus akan beradaptasi untuk mengurangi penyerapan mineral tersebut. 2.5.1 Energi Energi berfungsi mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang disebut neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (Georgieff, 2001). Westermack et al (2000) menjelaskan neurotransmitter merupakan pelepasan senyawa melalui sinaps dari akson ke dendrit yang berfungsi memicu rangsangan, yang berjalan menuruni dendrit ke badan sel dan keluar melalui akson, seperti yang tertera pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.2 Gambaran Siklus Neurotransmitter Menghasilkan Motorik Hasil penelitian Susanty et al (2012) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik kasar dan halus. Demikian juga penelitian Kartika (2002) menunjukkan ada hubungan antara energi dengan status motorik. Semakin rendah asupan energi maka semakin rendah kemampuan motoriknya.
31
2.5.2 Protein Georgieff (2001) menjelaskan protein merupakan prekursor untuk neurotransmitter yang mendukung perkembangan otak. Dimana protein disusun oleh asam amino yang terdiri dari esensial dan non esensial. Asam amino tirosin merupakan jenis asam amino yang berhubungan dengan mekanisme gerak motorik yang berfungsi sebagai neurotransmitter. Westermack et al (2000) menjelaskan neurotransmitter bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (lihat gambar 2.1). Georgieff (2001) juga menjelaskan fungsi otak yang baik tergantung pada
kapasitas
menyerap
dan
memproses
informasi.
Neurotransmitter catecholamies dibentuk dari asam amino dan Tyrosine dan neurotransmitter serotonin dibentuk dari Tryptophan. Serotonin menstimulasi tidur yang penting untuk perkembangan otak dalam memproses informasi, sedangkan catecholamine berkaitan dengan keadaan siaga yang membantu menyerap informasi di otak. Hasil penelitian Susanty et al (2012) membuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara asupan protein dengan status motorik, baik motorik kasar maupun motorik halus. Demikian juga penelitian Herwan (2005) menunjukkan bahwa adanya hubungan asupan protein dengan perkembangan motorik di Bengkulu pada bayi usia 6-12 bulan.
32
2.5.3 Besi (Fe) Mineral besi merupakan zat gizi esensial yang berperan dalam fungsi motorik. Fungsi yang pertama adalah besi (Fe) berperan dalam sintesis monoamine (Georgieff, 2001). Monoamine merupakan enzim mitokondria yang terdapat di semua bagian berhubungan dengan metabolisme aerobik dari makanan yang menghasilkan energi, dengan kata lain sebagai pusat pembangkit energi (Sadikin, 2002). Westermack et al (2000) menjelaskan bahwa energi dapat mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang sering disebut neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (lihat gambar 2.1). Kedua, besi berfungsi sebagai metabolisme energi di neuron (Georgieff, 2001). Tambayong (2001) menjelaskan neuron adalah satuan fungsional susunan saraf atau biasa disebut sel saraf. Neuron berfungsi membawa pesan dari satu bagian tubuh ke bagian lain. Neuron terdiri dua jenis yaitu neuron sensoris dan neuron motoris. Neuron sensoris berfungsi membawa rangsangan dari organ sensoris, yaitu kulit, otot dan organ dalam ke medulla spinalis atau otak. Sedangkan neuron motoris adalah neuron yang membawa respons dari interneuron ke otot, kelenjar dan organ dalam tubuh. Ketiga, besi berfungsi sebagai mielinisasi (Georgieff, 2001). Mielinisasi merupakan proses pembalutan neuron, yang berfungsi
33
mempercepat rangsangan ke otot, kelenjar dan organ dalam tubuh (Tambayong, 2001). Keempat, besi berfungsi sebagai sistem neurotransmitter, yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (Westermack et al, 2000). Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Olney et al (2007) yang menunjukkan bahwa ada hubungan asupan zat besi dengan perkembangan motorik, dimana anak yang kekurangan zat besi memiliki skor kemampuan kasar lebih rendah. Hal yang sama juga dibuktikan pada penelitan Black et al (2004) bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat besi yang diberikan terhadap perkembangan motorik anak. 2.5.4 Seng Asupan zat gizi merupakan kebutuhan anak yang berperan dalam proses tumbuh kembang terutama tumbuh kembang otak. Dimana zat seng (Zn) berperan dalam pelepasan neurotransmitter (Georgieff, 2001). Seperti yang telah dijelaskan oleh Westermack et al (2000) bahwa neurotransmitter bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (lihat gambar 2.1). Dan Black (1998) menyatakan bahwa kekurangan zat seng akan berakibat fatal terutama pada pembentukan struktur otak, fungsi otak dan mengganggu respon tingkah laku dan emosi, yang artinya akan berakibat fatalpada perkembangan motorik juga. Demikian pada penelitian Black 34
(2003) yang menunjukkan bahwa ada hubungan asupan zat seng dengan perkembangan motorik. Hal yang sama juga dibuktikan pada penelitan Black et al (2005) bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat seng yang diberikan terhadap perkembangan motorik anak. 2.5.5 Metode Food Recall 24 Jam Salah satu cara untuk survei konsumsi adalah dengan recall 24 jam. Recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu, pencatatan di deskripsikan secara mendetail oleh pewawancara, meliputi semua makanan dan minuman yang dikonsumsi serta cara pengolahannya, tetapi terkadang responden lupa akan apa yang telah dikonsumsinya, maka dari itu perlu dibantu dengan penjelasan waktu kegiatannya dan sebaiknya dilakukan berulang pada hari yang berbeda (tidak berturut-turut), tergantung dari variasi menu keluarga dari hari ke hari (Gibson, 2005). Menurut Gibson (2005) metode untuk menilai asupan makanan atau zat gizi dapat dilakukan berdasarkan pada tujuan dari penelitian. Metode tersebut dibagi dalam empat tingkat, diantaranya adalah: 1.
Tingkat 1 Tingkat satu adalah tingkat paling sederhana. Tujuannya adalah untuk menentukan rata-rata asupan suatu kelompok yang dilakukan pengambilan recall 24 jamsebanyak 1 kali.Dimana semua hari dalam seminggu harus terepresentasi secara keseluruhan dan besar sampel ditentukan oleh tingkat presisi yang dibutuhkan. 35
2.
Tingkat 2 Tujuannya adalah untuk menentukan proporsi suatu populasi yang beresiko ketidakcukupan asupan gizinya sehingga membutuhkan pengukuran lebih dari satu hari yaitu dilakukan selama 2 hari secara tidak berurutan.
3.
Tingkat 3 Tujuannya adalah untuk menentukan peringkat asupan gizi pada individu dalam suatu kelompok dan juga digunakan untuk menguhubungkan asupan makanan dengan resiko dari penyakit kronis sehingga membutuhkan pengukuran lebih dari dua hari secara tidak berurutan.
4.
Tingkat 4 Tujuannya adalah untuk menentukan asupan makanan atau gizi pada individu untuk konseling atau analisis korelasi dan regresi dengan pengukuran
biokimia
tiap
individu
sehingga
membutuhkan
pengukuran lebih dari dua hari secara tidak berurutan. Metode recall 24 jam memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan sebagai berikut (Supariasa, 2002): a. Kelebihan : 1. Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden. 2. Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas untuk wawancara.
36
3. Cepat. Sehingga dapat mencakup banyak responden. 4. Dapat digunakan pada responden yang buta huruf. 5. Dapat memberikan gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari. b. Kekurangan : 1. Tidak dapat menggambarkan asupan sehari-hari bila hanya dilakukan recall satu hari. 2. Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden. 3. The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan lebih banyak dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit. 4. Membutuhkan tenaga atau petugas yang terampil dan terlatih dalam menggunakan alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat. 5. Untuk mendapatkan gambaran konsumsi sehari-hari jangan dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari pekan, dll. 2.6 Pengaruh Stimulasi Psikososial dengan Status Motorik 2.6.1 Mekanisme Kerja Stimulasi terhadap Motorik Status motorik sangat berkaitan erat dengan stimulasi yang diberikan oleh pengasuh kepada anak. Kesempatan untuk menggerakkan semua anggota tubuh perlu mendapat stimulasi sehingga akan mempercepat tercapainya kemampuan motorik (Departemen Kesehatan RI, 2009). Hal ini dapat disimpulkan bahwa stimulasi berperan terhadap perkembangan 37
motorik dimana Hurlock (2000) menjelaskan stimulasi sangat penting untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan perkembangan otak. Dimana perkembangan motorik merupakan perkembangan dari pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi. Pada penelitian Gustiana et al (2011) dipaparkan bahwa anak pada umur 3-5 tahun mengalami status motorik kasar kurang baik lebih banyak pada anak yang jarang diberi stimulasi yaitu sebesar 56%, sedangkan pada anak yang sering distimulasi yang mengalami gangguan motorik kasar hanya sebesar 24%. Anak yang mengalami status motorik kasar mempunyai risiko 4,03 kali mendapatkan stimulasi yang jarang dibandingkan yang cukup, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi dengan status motorik kasar, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi dengan status motorik kasar. Dan pada penelitian Gardner et al (2007) dengan uji anova juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan perkembangan motorik pada p<0.01 dan derajat kepercayaan 95%. Mekanisme kerja stimulasi hingga terjadinya kontraksi atau sebuah motorik atau gerakan yaitu seperti yang dijelaskan oleh Tambayong (2001) yaitu bahwa stimulasi yang diterima dan diteruskan melalui saraf ke otak dan medulla spinalis, tempat pesan-pesan itu dianalisis, digabungkan, dibanding-bandingkan dan dikoordinasikan oleh proses yang disebut integrasi. Setelah dipilih, pesan-pesan itu diteruskan oleh saraf ke otot dan 38
kelenjar tubuh, menyebabkan otot berkontraksi atau relaksasi, dan kelenjar bersekresi atau tidak menyekresi produknya.
Gambar 2.3 Gambaran Mekanisme Kerja Stimulasi 2.6.2 Pengertian Stimulasi Psikososial Menurut Soetjiningsih (2002) stimulasi adalah sebuah rangsangan dari luar atau dari lingkungan yang merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapatkan stimulasi. Dan psikososial menurut Supartini (2002) adalah peristiwa-peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka dapat disimpulkan bahwa stimulasi psikososial adalah rangsangan dari peristiwa-peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
39
2.6.3 Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) Latifah (2007) menjelaskan salah satu metode untuk mengukur stimulasi orang tua terhadap anaknya menggunakan kuesioner HOME (Home Observation for Measurement of the Environment) dari Bettye M. Caldwell dan Robert H. Bradley (1983). Chandriyani (2009) menjelaskan kualitas lingkungan anak dilihat dari apakah orangtua memberikan reaksi emosi yang tepat, apakah orangtua mambu memberikan dorongan positif kepada anak, apakah orangtua memberikan suasana yang nyaman kepada anak, menunjukkan kasih sayang, menyediakan sarana tumbuh kembang dan belajar bagi anak, turut berpartisipasi dan ikut serta dalam kegiatan positif bersama anak, terlibat aktif dalam kegiatan bersama anak, dan juga apakah orangtua memberikan lingkungan fisik yang nyaman di rumah serta mengikuti kegiatan belajar. Kuesioner ini dirancang untuk mengukur kuantitas dan kualitas stimulasi dan penyediaan dukungan untuk anak di lingkungan rumah. Fokusnya adalah pada anak di dalam lingkungan, anak sebagai penerima masukan dari objek, peristiwa dan interaksi yang terjadi dalam hubungan
dengan
lingkungan.
Kuesioner
ini
dirancang
untuk
penggunaan selama masa kanak-kanak (3-6 tahun). Kuesioner ini terdiri dari 55 buah pertanyaan yang dilakukan dengan wawancara dan observasi dan terbagi menjadi 8 sub skala yaitu: stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan,
40
stimulasi akademik, modelling, variasi stimulasi kepada anak, dan hukuman positif (Latifah, 2007). 2.7 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Anak 2.7.1 Pengasuhan Anak Pengasuhan anak didefinisikan sebagai perilaku yang dipraktikan oleh pengasuh (ibu, bapak, nenek atau orang lain) dalam memberikan makanan, pemeliharaan kesehatan, stimulasi serta dukungan emosional yang dibutuhkan anak untuk tumbuh kembang, juga termasuk di dalamnya tentang kasih sayang dan tanggung jawab orang tua (Rumini dan Sundari, 2004). Caldwell dan Bradley (1983) dalam Latifah (2007) menjelaskan bagian dari cara pengasuhan terhadap anak yang menentukan kualitas motorik anak adalah stimulasi psikososial. Stimulasi psikososial tidak hanya terdiri dari stimulasi sensorik namun juga meliputi stimulasi afektif. Stimulasi sensorik yaitu berperan untuk merangsang aktivitas otot sedangkan stimulasi afektif meliputi aspek sosial dan kognitif yang berperan
untuk
terwujudnya
perkembangan
motorik
secara
optimal.Stimulasi psikososial merupakan stimulasi yang diberikan orang tua dan keluarga yang terdiri dari memberikan kehangatan, suasana penerimaan, pemberian teladan atau contoh, pemberian pengalaman, dorongan belajar dan berbahasa serta dorongan bagi kemampuan akademik anak.
41
2.7.2 Gizi Anak yang mengalami kekurangan gizi dapat menyebabkan isolasi diri, yaitu mempertahankan untuk tidak mengeluarkan energi yang banyak dengan
mengurangi
kegiatan
interaksi
sosial,
aktivitas,
perilaku
eksploratori, perhatian dan motivasi. Pada keadaan ini, anak menjadi tidak aktif, apatis, pasif dan tidak mampu bekonsentrasi. Akibatnya anak dalam melakukan kegiatan eksplorasi terhadap lingkungan fisik di sekitarnya hanya mampu sebentar saja. Hal ini jika dibiarkan berlanjut akan menghambat perkembangan motoriknya (Rumini dan Sundari, 2004). Keadaan kurang gizi juga berhubugan dengan keterlambatan perkembangan motorik, dalam hal ini panjang badan atau tinggi badan terhadap umur. Apabila keadaan kurang gizi diperbaiki dengan pemberian asupan makanan yang adekuat maka perkembangan motorik bertambah baik. Sebaliknya apabila keadaan kurang gizi diperparah dengan pemberian asupan makanan yag tidak adekuat maka perkembangan motorik bertambah buruk. Keadaan ini dapat disimpulkan bahwa perkembangan motorik berhubungan erat dengan keadaan gizi (Husaini, 2002). 2.7.3 Lingkungan anak Lingkungan anak adalah tempat dimana pengasuh mempraktikkan pengetahuan yang dipunyainya dalam kehidupan sehari-hari serta hubungan emosional anggota keluarga lainnya, tetangga dan masyarakat, semuanya berakumulasi dalam membentuk kualitas tumbuh kembang anak (Rumini dan Sundari, 2004). 42
2.8 Kerangka Teori Berdasarkan penjelasan teori di atas, Rumini dan Sundari (2004) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik anak meliputi pengasuhan anak, gizi dan lingkungan anak. Penjelasan lebih lanjut oleh Georgieff (2001) mengenai hubugan asupan makanan yang cukup yaitu terdiri dari energi, protein, lemak, seng (Zn) dan zat besi (Fe), dan stunting terhadap perkembangan motorik. Dan Caldwell dan Bradley (1983) dalam Latifah (2007) menjelaskan stimulasi psikososial merupakan bagian dari cara pengasuhan anak. Dan juga dijelaskan lebih lanjut mengenai stimulasi psikososial oleh Depkes RI (2009) dan Hurlock (2000). Namun menurut Soetjiningsih, dkk (2002) perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, yang merupakan bawaan anak yaitu potensi anak yang akan menjadi ciri khasnya seperti kerdil. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada bagan dibawah ini:
43
Gambar 2.4 Kerangka Teori Genetik Pengasuhan Anak Stimulasi
Perkembangan
Psikososial
Motorik Anak
1. Status GiziTB/U (stunting) 2. Asupan gizi a. Energi b. Protein c. Seng (Zn) d. Besi (Fe)
a. Motorik Kasar (Impuls Syaraf dan Otot) b. Motorik Halus (Impuls Syaraf dan Otot)
Gizi
LingkunganAnak Sumber : Modifikasi Rumini dan Sundari (2004), Soetjiningsih, dkk (2002), Caldwell dan Bradley (2003) dalam Latifah (2007), Hurlock (2000) dan Georgieff (2001).
44
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep Tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi, stunting dan stimulasi psikososial terhadap status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. Berdasarkan teori, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik terdiri dari genetik, pengasuhan anak, gizi yang terdiri dari satus gizi berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U), asupan gizi (energi, protein, besi dan seng) dan lingkungan anak. Dalam penelitian ini ada dua variabel yang tidak diteliti, diantaranya adalah variabel genetik dan lingkungan anak. Alasannya variabel genetik tidak diteliti namun dikontrol karena keterbatasan peneliti untuk melakukan test genetik dan keterbatasan orang tua atau pengasuh dalam mengingat kejadian masa lalu yang berhubungan dengan perkembangan. Dan variabel lingkungan anak tidak diteliti karena lingkungan anak menurut Rumini dan Sundari (2004) adalah tempat dimana pengasuh mempraktikkan pengetahuan yang dipunyainya dalam kehidupan sehari-hari serta hubungan emosional anggota keluarga lainnya, tetangga dan masyarakat, dimana variabel tersebut sudah terwakili dengan variabel stimulasi psikososial yang mencakup pemberian kehangatan, suasana penerimaan, teladan atau contoh, pengalaman, dorongan belajar dan berbahasa serta dorongan bagi kemampuan akademik anak. 45
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah status motorik. Sedangkan variabel independen yang diteliti dalam penelitian ini yaitu : a. Energi Energi mempengaruhi status motorik karena energi berperan dalam mempengaruhi neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik. b. Protein Asupan protein mempengaruhi status motorik karena asam amino tirosin berfungsi sebagai neurotransmitter yangmenghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sedangkan serotonin berperan penting untuk perkembangan otak dalam memproses informasi dan catecholamine berperan dalam mebantu menyerap informasi di otak. c. Seng (Zn) Asupan zat seng dapat mempengaruhi status motorik karena zat seng berperan dalam pelepasan neurotransmitter dan kekurangan zat seng akan berakibat fatal terutama pada pembentukan struktur otak, fungsi otak dan mengganggu respon tingkah laku dan emosi yang akan mempengaruhi status motorik juga. d. Besi (Fe) Asupan zat besi dapat mempengaruhi status motorik karena zat besi berperan sebagai
sintesis
mempengaruhi
monoamine
yang
neurotransmitter,
menghasilkan
metabolisme
mielinisasi. e. Stimulasi psikososial 46
energi
energi
di
yang neuron
dapat dan
Stimulasi psikososial adalah rangsangan yang diberikan oleh pengasuh kepada anak yang berfungsi mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan perkembangan otak sehingga semakin sering anak mendapat stimulasi psikososial semakin mempercepat tercapainya kemampuan motorik. f. Stunting Keadaan stunting mempengaruhi status motorik karenaterjadi keterlambatan kematangan sel-sel saraf terutama di bagian cerebellum yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik sehingga koordinasi sel saraf dengan otot menjadi kurang baik. Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Asupan Energi
Asupan Protein
Status Motorik
Asupan zat besi (Fe)
(Kasar dan Halus) Asupan zat seng (Zn)
Stimulasi Psikososial
Stunting
47
3.2 Definisi Operasional
No
Variabel Dependen
1.
Status Motorik Tingkat kemampuan anak Kasar
Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Skala
Wawancara
Ordinal
Kuesioner Pra Jika skor jawaban :
dalam melakukan pergerakan
Skrining
a. Kode 1 (Normal)
yang melibatkan otot-otot
Perkembangan
Jika skor perkembangan anak sesuai
besar seperti seperti
(KPSP)
dengan tahap usia perkembanganya
berjalan, berlari, menendang,
(Depkes RI,
= ≥ median
melempar dan melompat .
2008).
b. Kode 2 (Terganggu) Jika skor perkembangan anak terlambat tidak
sesuai
dengan
tahap
usia
perkembangannya = < median 2.
Status Motorik Tingkat kemampuan anak Halus
Wawancara
Kuesioner Pra
Jika skor jawaban :
dalam melakukan pergerakan
Skrining
a. Kode 1 (Normal)
yang melibatkan otot-otot
Perkembangan
48
Jika skor perkembangan anak sesuai
Ordinal
kecil seperti menggambar
(KPSP)
dengan tahap usia perkembanganya
dan memegang suatu benda.
(Depkes RI,
= ≥ median
2008).
b. Kode 2 (Teganggu) Jika skor perkembangan anak terlambat tidak
sesuai
dengan
tahap
usia
perkembangannya = < median Independen 1.
Asupan Energi
Jumlah rata-rata kalori dari
Wawancara
Food Recall
Jika skor jawaban :
makanan yang dikonsumsi
3 x 24
a. Kode 1 (Kurang)
anak selama tiga hari secara
Jam(Gibson,
tidak berurutan.
2005).
Ordinal
Jika skor asupan energi <EAR b. Kode 2 (Cukup) Jika skor asupan energi ≥ EAR
2.
Asupan Protein Jumlah rata-rata makanan
Wawancara
Food Recall
Jika skor jawaban :
yang dikonsumsi anak yang
3 x 24 Jam
a. Kode 1 (Kurang)
mengandung protein selama
(Gibson,
49
Jika skor asupan protein < distribusi
Ordinal
tiga hari secara tidak
2005).
berurutan.
presentase energi dari protein b. Kode 2 (Cukup) Jika skor asupan
protein ≥
distribusi
presentase energi dari protein 3.
Asupan Zat
Jumlah rata-rata makanan
Besi (Fe)
Wawancara
Food Recall
Jika skor jawaban :
yang dikonsumsi anak yang
3 x 24 Jam
a. Kode 1 (Kurang)
mengandung zat besi selama
(Gibson,
tiga hari secara tidak
2005).
Asupan Zat
Jumlah rata-rata makanan
Seng (Zn)
Wawancara
Stimulasi
b. Kode 2 (Cukup)
Food Recall
Jika skor jawaban :
yang dikonsumsi anak yang
3 x 24 Jam
a. Kode 1 (Kurang)
mengandung zat seng selama
(Gibson,
tiga hari secara tidak
2005).
Rangsangan dari peristiwa-
Ordinal
Jika skor asupan zat seng
berurutan. 5.
Jika skor asupan zat besi
Jika skor asupan zat besi ≥ AKG
berurutan. 4.
Ordinal
Wawancara
Kuesioner
50
Jika skor jawaban :
Ordinal
Psikososial
peristiwa sosial atau
HOME
psikologis yang diberikan
inventory
pengasuh berupa
(Latifah,
memberikan kehangatan,
2007).
suasana penerimaan,
a. Kode 0 (Stimulasi psikososial kurang) Jika skor 0-29 b. Kode 1 (Stimulasi psikososial cukup) Jika Skor 30-45 c. Kode 2 (Stimulasi psikososial baik)
pemberian teladan atau
Jika skor 46-55
contoh, pemberian pengalaman, dorongan belajar dan berbahasa serta dorongan bagi kemampuan akademik anak. 6.
Stunting
Hasil status gizi anak pada
Mengukur
Microtoisedan
masa lalu dengan
tinggi badan
menanyakan
pengukuran tinggi badan
dan
umur anak
anak pada masa sekarang
menanyakan
(Supariasa,
Jika skor jawaban : a. Kode 1 (Ya) Jika Z score -2 SD sd 2 SD b. Kode 2 (Tidak) Jika Z score <-2 SD
51
Ordinal
dimana kurang dari indikator
umur anak.
2002).
yang telah ditentukan oleh WHO (2005).
52
3.3 Hipotesis 1. Ada hubungan antara asupan energi dengan status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 2. Ada hubungan antara asupan energi dengan status motorik halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 3. Ada hubungan antara asupan protein dengan status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 4. Ada hubungan antara asupan protein dengan status motorik halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 5. Ada hubungan antara asupan zat besi (Fe) dengan status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 6. Ada hubungan antara asupan zat besi (Fe) dengan status motorik halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 7. Ada hubungan antara asupan zat seng (Zn) dengan status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.
53
8. Ada hubungan antara asupan zat seng (Zn) dengan status motorik halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 9. Ada hubungan antara stimulasi psikososial dengan status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 10. Ada hubungan antara stimulasi psikososial dengan status motorik halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 11. Ada hubungan antara stunting dengan status motorik kasar anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 12. Ada hubungan antara stunting dengan status motorik halus anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014.
54
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional, dimana pengumpulan data dan pengukuran variabel independen dan variabel dependen dilakukan pada waktu yang bersamaan (Hastono, 2010). Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan asupan zat gizi yaitu energi, protein, besi dan seng, stunting dan stimulasi psikososial dengan status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di PAUD yang termasuk ke dalam wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, yaitu PAUD Anyelir I dan II, Cempaka, Seruni Ceria dan Nusa Indah. Waktu penelitian dilaksanakan selama bulan April sampai dengan Juni 2014. 4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Populasi merupakan keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang akan kita lakukan (Hastono, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak atau siswa yang berusia
55
3-6 tahun yang ada di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada tahun 2014 yaitu: Tabel 4.1 Data siswa PAUD di wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 No. Nama PAUD
Jumlah Siswa
1.
Anyelir I
24
2.
Anyelir II
30
3.
Cempaka
35
4.
Seruni Ceria
36
5.
Nusa Indah
31
Jumlah Populasi
156
Sumber : Data Base PAUD 4.3.2 Sampel dan Teknik Sampling Sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hastono, 2010). Penelitian ini dilakukan di PAUD yang termasuk dalam kelompok PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada tahun 2014. Jumlah sampel (n) pada penelitian ini diperoleh dengan menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi (Ariawan, 1998) sebagai berikut : n =
1-α/2√
(
) + Z 1-β √P1(1-P1)+P2(1-P2) ]2 (P1-P2)2
Keterangan :
56
-
n
= Besar sampel.
-
α
= Tingkat kemaknaan, nilainya 5%.
-
β
= Kekuatan uji, nilainya 95%.
-
Z1-α/2= Nilai Z pada derajat kepercayaan 1- α/2 atau derajat kepercayaan α pada uji dua sisi (two tail), yaitu sebesar 95%= 1,96.
- Z 1-β = Nilai Z pada kekuatan uji 1- β, yaitu sebesar 80% = 0,84. - P1
= Proporsi yang diadaptasi untuk anak dengan faktor resiko stimulasi psikososial sebesar 0.56 (56%) pada penelitian sebelumnya (Gustiana, 2011).
- P2
=
Proporsi yang diadaptasi untuk anak tanpa faktor resiko resiko stimulasi psikososial sebesar 0.24 (24%) pada penelitian sebelumnya (Gustiana, 2011).
Maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah: n=
1-α/2√
(
) + Z 1-β √P1(1-P1)+P2(1-P2)]2 (P1-P2) 2
n=[1,96 √ (
)(
) + 0,84 √
(
)
(
)]2
(0,56-0,24)2 n = 38 Karena memakai rumus uji beda dua proporsi maka sampel yang diperlukan adalah 76 anak, untuk menghindari terjadinya
57
sampel yang drop out dan sebagai cadangan maka sampel minimal yang dibutuhkan sebesar 85 anak. Pengambilan sampel dilakukan dengan acak sederhana (proportional random sampling) yaitu pengambilan sampel dari tiap-tiap PAUD diambil secara proporsional sesuai dengan jumlah siswa pada tiap-tiap PAUD dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ni = Ni/N x n Keterangan : ni : Ukuran tiap proporsi sampel Ni : Jumlah populasi setiap kelompok PAUD N : Jumlah populasi kelompok PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama n :
Jumlah sampel yang diinginkan
Tabel 4.2 Proporsi Jumlah Siswa PAUD di Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 No. Nama PAUD Jumlah Siswa Jumlah Sampel (n) 1.
Anyelir I
24
n=24/156 x 85 = 13
2.
Anyelir II
30
n=30/156 x 85 = 16
3.
Cempaka
35
n=35/156 x 85 = 20
4.
Seruni Ceria
36
n=36/156 x 85 = 20
5.
Nusa Indah
31
n=31/156 x 85 = 17
156
85
Jumlah
Sumber : Hasil Analisis Perhitungan Sampel Penelitian
58
4.4 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Food Recall 3 x 24 jam digunakan untuk mengetahui asupan energi, protein, zat besi (Fe) dan zat seng (Zn).
b.
Kuesioner instrumen HOME inventory digunakan untuk menilai stimulasi psikososial yang diberikan oleh keluarga kepada anaknya.
c.
Untuk mengetahui status gizi kategori stunting dengan menggunakan indeks TB/U kemudian menyesuaikan hasil pengukuran indeks dengan pengklasifikasian z-score menurut WHO (2005). Untuk rumus perhitungan z score adalah sebagai berikut: Z score = Nilai individu Subjek – Nilai Median Baku Rujuk Nilai Simpang Baku Rujukan Dan alat pengukur tinggi badan anak yaitu microtoise. Syarat-
syarat posisi sewaktu mengukur anak, yaitu: 1. Posisi Anak sewaktu diukur, anak tidak boleh memakai alas kaki dan penutup kepala 2. Posisi anak berdiri membelakangi dinding dengan microtoise berada di tengah bagian kepala. 3. Posisi anak tegak bebas 4. Tangan dibiarkan tergantung bebas menempel ke badan 5. Tumit rapat, tetapi ibu jari kaki tidak rapat 6. Kepala, tulang belikat, pinggul dan tumit menempel ke dinding 59
7. Anak menghadap dengan pandangan lurus ke depan Sedangkan cara penggunaan microtoise dan membaca angkanya adalah sebagai berikut (Supariasa, 2002): 1. Segitiga siku-siku diletakkan di atas kepala. 2. Satu sisi menempel di bagian tengah kepala anak dan satu sisi lainnya menempel ke pita meteran di dinding 3. Hasil pengukuran dibaca sebelum segitiga siku-siku yang menempel di kepala anak digerakkan 4. Pembacaan angka dilakukan setelah anak selesai diukur pada skala yang ditunjuk oleh sudut segitiga siku-siku d.
Kuesioner
yang
digunakan
untuk
menilai
kemampuan
Perkembangan anak adalah KPSP (Kuesioner Pra Skrining Perkembangan). KPSP merupakan kuesioner denver II yang telah dimodifikasi.
Instrumen
ini
digunakan
untuk
mengetahui
perkembangan anak normal atau ada penyimpangan. Alat dan bahan yang diperlukan adalah: 1. Kubus berukuran 2-2.5 cm 2. Bola plastik berdiameter 5 cm 3. Pensil 4. Kertas kosong atau buku 4.5 Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan untuk mengetahui asupan zat gizi anak dengan 60
mengisi formulir food recall, untuk mengetahui stunting pada anak dengan mengukur tinggi badan anak dengan microtoise dan untuk mengetahui stimulasi psikososial yang diberikan oleh keluarga yang dikumpulkan
dengan
menggunakan
kuesioner
HOME
inventory
sedangkan untuk mengetahui perkembangan motorik anak menggunakan kuesioner Pra Skrining Perkembangan yang telah dimodifikasi. Data sekunder dikumpulkan untuk melihat data umum anak dari PAUD dan data umum lokasi penelitian. 4.6 Pengolahan Data Pengolahan data yang telah dikumpulkan, dilakukan dengan proses komputerisasi, melalui beberapa langkah sebagai berikut: 1) Editing Data yang telah dikumpulkan diperiksa kelengkapannya terlebih dahulu. 2) Coding Sebelum dimasukkan ke komputer, dilakukan proses pemberian kode pada setiap jawaban yang terdiri variabel asupan zat gizi, stimulasi psikososial dan status motorik anak. a. Status Motorik 1.
Kode 1 Skor ≥ median = status motorik anak sesuai dengan tahap usia anak (Normal)
61
2.
Kode 2 Skor < median = status motorik anak sesuai dengan tahap usia anak (Terganggu)
b. Asupan Energi 1.
Kode 1 Skor ≥ EAR = Asupan energi baik (Cukup)
2.
Kode 2 Skor <EAR = Asupan energi kurang (Kurang)
c. Asupan Protein 1.
Kode 1 Skor ≥ distribusi presentase energi dari protein = Asupan protein baik (Cukup)
2.
Kode 2 Skor < distribusi presentase energi dari protein = Asupan protein kurang (Kurang)
d. Asupan Zat Besi (Fe) 1.
Kode 1 Skor ≥ Angka Kecukupan Gizi = Asupan zat besi baik (Cukup)
2.
Kode 2 Skor < Angka Kecukupan Gizi = Asupan zat besi kurang (Kurang)
62
e. Asupan Zat Seng (Zn) 1.
Kode 1 Skor ≥ Angka Kecukupan Gizi = Asupan zat seng baik (Cukup)
2.
Kode 2 Skor < Angka Kecukupan Gizi = Asupan zat seng kurang (Kurang)
f. Stimulasi Psikososial 1.
Kode 1 Skor 0-29 = Stimulasi Pikososial kurang (Kurang)
2.
Kode 2 Skor 30-45 = Stimulasi Pikososial cukup (Cukup)
3.
Kode 3 Skor 46-55 = Stimulasi psikososial baik (Baik)
g. Stunting 1. Kode 1 Jika Z score -2 SD s/d 2 SD (Normal) 2. Kode 2 Jika Z score <-2 SD (stunting / pendek) 3) Entry Memasukkan data dengan menggunakan komputer untuk analisa lebih lanjut. 4) Cleaning 63
Pengecekkan kembali, untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan pada data yang sudah dimasukkan, baik dalam pengkodean maupun kesalahan dalan membaca kode. Dengan demikian data telah siap dianalisis program software analisa data komputer. 4.7 Analisis Data 4.7.1 Analisis Univariat Analisis
univariat
dilakukan
untuk
menyajikan
dan
menggambarkan distribusi frekuensi dari setiap variabel yang diteliti dalam bentuk presentase dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis univariat dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran variabel independennya, yaitu asupan zat gizi, stunting dan stimulasi psikososial. Selain itu juga dilakukan untuk mengetahui gambaran variabel dependennya yaitu status motorik. 4.7.2 Analisis Bivariat Analisis bivariat digunakan untuk menguji hipotesis yang ada antara variable dependen dengan variabel independen. Analisis bivariat yang dilakukan menggunakan uji Chi-Square untuk melihat hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen, dengan tingkat kemaknaan
sebesar 0,05. Uji Chi-Square dapat
menggunakan rumus sebagai berikut : X2Σ =
(O – E)2 E
DF = (k-1) (b-1) 64
Keterangan : X2 = Chi Square O = Nilai observasi E
= Nilai ekspektasi
k
= Jumlah kolom
b
= Jumlah baris Melalui uji statistik chi-square akan diperoleh nilai P,
dimana dalam penelitian ini digunakan tingkat kemaknaan sebesar 0,05. Penelitian antara dua variabel dikatakan berhubungan jika mempunyai nilai p<0,05 dan dikatakan tidak berhubungan jika p>0,05. Pada uji chi-square ini merupakan tabel lebih dari 2x2, maka digunakan uji “Pearson Chi Square”. Namun jika tidak memenuhi kriteria uji Chi Square, maka dilakukan pengurangan cells dengan cara collaps.
65
BAB V HASIL
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama dalam melakukan kinerjanya selain mengkoordinasikan kinerja atau program di seluruh puskesmas kelurahan, puskesmas kecamatan kebayoran lama juga memiliki wilayah binaan yaitu wilayah RW 01, 08, 09, 10 dan 11. Wilayah yang termasuk ke dalam Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama memili PAUD. Lokasi penelitian dilaksanakan di PAUD yang termasuk ke dalam wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan, yaitu PAUD Nusa Indah, Anyelir I dan II, Cempaka dan Seruni Ceria. PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama adalah PAUD yang berada dibawah Kementerian Kesehatan dalam melaksanakan program tumbuh kembang anak (SDIDTK) yang bekerjasama dengan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di PAUD sebanyak tiga kali dalam seminggu selama 2 jam per hari. Jumlah keseluruhan siswa di PAUD binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada tahun ajaran 2013/2014 adalah 156 anak dimana masing-masing PAUD memiliki jumlah siswa yang berbeda, yaitu Anyelir I (24 anak), Anyelir I (30 anak), Cempaka (35 anak), Seruni ceria (36 anak) dan Nusa indah (31 anak). Pembagian kelas setiap PAUD binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama terdiri dari
66
kelas A yang diikuti oleh anak usia 3-4 tahun dan kelas B yang diikuti oleh anak usia 4-6 tahun. 5.2 Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi variabel dependen, yaitu status motorik halus dan kasar dan variabel independen terdiri dari asupan energi, protein, besi dan seng, stunting dan stimulasi psikososial. 5.2.1 Gambaran Status Motorik Halus Dalam penelitian ini status motorik halus dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu normal dan terganggu. Seperti yang terlihat pada tabel 5.1 berikut ini: Tabel 5.1 Distribusi Berdasarkan Status Motorik Halus pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 Status Motorik Halus Jumlah (n) Persen (%) Normal 59 69.4 Terganggu 26 30.6 Total 85 100 Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.1 diketahui paling banyak responden yang memiliki status motorik halus yang normal yaitu 59 orang (69.4%) dibandingkan dengan responden yang memiliki status motorik halus yang terganggu yaitu 26 orang (30.6%).
67
5.2.2 Gambaran Status Motorik Kasar Dalam penelitian ini status motorik kasar dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu normal dan terganggu. Seperti yang terlihat pada tabel 5.2 berikut ini: Tabel 5.2 Distribusi Berdasarkan Status Motorik Kasar pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014 Status Motorik Kasar Jumlah (n) Persen (%) Normal 49 57.6 Terganggu 36 42.4 Total 85 100 Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.2 diketahui paling banyak responden yang memiliki status motorik kasar yang normal yaitu 49 orang (57.6%) dibandingkan dengan responden yang memiliki status motorik kasar yang terganggu yaitu 36 orang (42.4%). 5.2.3 Gambaran Asupan Energi Dalam penelitian ini asupan energi dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu kurang dan cukup. Seperti yang terlihat pada tabel 5.3 berikut ini: Tabel 5.3 Distribusi Berdasarkan Asupan Energi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014 Asupan Energi Jumlah (n) Persen (%) Cukup 31 36.5 Kurang 54 63.5 Total 85 100 Sumber: Data Primer
68
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui paling banyak responden yang memiliki asupan energi kurang yaitu 54 orang (63.5%) dibandingkan dengan responden yang memiliki asupan energi cukup yaitu 31 orang (36.5%). 5.2.4 Gambaran Asupan Protein Dalam penelitian ini asupan protein dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu kurang dan cukup. Seperti yang terlihat pada tabel 5.4 berikut ini: Tabel 5.4 Distribusi Berdasarkan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014 Asupan Protein Jumlah (n) Persen (%) Cukup 34 40 Kurang 51 60 Total 85 100 Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.4 diketahui paling banyak responden yang memiliki asupan protein kurang yaitu 51 orang (60%) dibandingkan dengan responden yang memiliki asupan protein cukup yaitu 34 orang (40%). 5.2.5 Gambaran Asupan Zat Besi Dalam penelitian ini asupan zat besi dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu kurang dan cukup. Seperti yang terlihat pada tabel 5.5 berikut ini:
69
Tabel 5.5 Distribusi Berdasarkan Asupan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014 Asupan Zat Besi Jumlah (n) Persen (%) Cukup 52 61.2 Kurang 33 38.8 Jumlah 85 100 Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.5 diketahui paling banyak responden yang memiliki asupan zat besi cukup yaitu 52 orang (61.2%) dibandingkan dengan responden yang memiliki asupan zat besi kurang yaitu 36 orang (38.8%). 5.2.6 Gambaran Asupan Seng Dalam penelitian ini asupan zat seng dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu kurang dan cukup. Seperti yang terlihat pada tabel 5.6 berikut ini: Tabel 5.6 Distribusi Berdasarkan Asupan Zat Seng pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014 Asupan Zat Seng Jumlah (n) Persen (%) Cukup 40 47.1 Kurang 45 52.9 Jumlah 85 100 Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.6 diketahui paling banyak responden yang memiliki asupan zat seng kurang yaitu 45 orang (52.9%) dibandingkan dengan responden yang memiliki asupan zat seng cukup yaitu 40 orang (47.1%).
70
5.2.7 Gambaran Stimulasi Psikososial Dalam penelitian ini stimulasi psikososial dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu kurang, cukup dan baik. Seperti yang terlihat pada tabel 5.7 berikut ini: Tabel 5.7 Distribusi Berdasarkan Stimulasi Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014 Stimulasi Psikososial Jumlah (n) Persen (%) Kurang 19 22.4 Cukup 58 68.2 Baik 8 9.4 Total 85 100 Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.7 diketahui lebih banyak responden yang menerima stimulasi psikososial cukup yaitu 58 orang (68,2%) dibandingkan dengan responden yang menerima stimulasi psikososial baik yaitu 8 orang (9.4%) dan responden yang menerima stimulasi psikososial kurang yaitu 19 orang (22.4%). 5.2.8 Gambaran Stunting Dalam penelitian ini stunting dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu ya dan tidak. Seperti yang terlihat pada tabel 5.8 berikut ini: Tabel 5.8 Distribusi Berdasarkan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama pada Tahun 2014 Stunting Jumlah (n) Persen (%) Ya 49 57.6 Tidak 36 42.4 Total 85 100 Sumber: Data Primer
71
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui paling banyak responden yang memiliki status gizi pendek (stunting) yaitu 49 orang (57.6%) dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki status gizi pendek (stunting) yaitu 36 orang (42.4%). 5.3 Analisis Bivariat Pada analisis bivariat, peneliti akan menghubungkan antara faktor independen terdiri dari asupan energi, protein, zat besi dan zat seng, stunting, stimulasi psikososial dengan faktor dependen yaitu status motorik pada anak 3-6 tahun. 5.3.1
Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Energi Tabel 5.9 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Energi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 Status Motorik Halus Total Asupan Normal Terganggu P-value Energi N % N % N % 29 53.7 25 46.3 54 100 Kurang 0.000 30 96.8 1 3.2 31 100 Cukup 59 69.4 26 30.6 85 100 Total Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.9 diketahui dari 54 anak dengan asupan energi
kurang sebanyak 29 anak (53.7%) memiliki status motorik halus normal. Sedangkan dari 31 anak dengan asupan energi cukup sebanyak 30 anak (96.8%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik halus.
72
5.3.2 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Protein Tabel 5.10 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran LamaTahun 2014 Status Motorik Halus Total Asupan Normal Terganggu P-value Protein N % N % n % Kurang 26 51 25 49 51 100 0.000 33 97.1 1 2.9 34 100 Cukup 59 69.4 26 30.6 85 100 Total Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.10 diketahui dari 51 anak dengan asupan protein kurang sebanyak 26 anak (51%) memiliki status motorik halus normal. Sedangkan dari 34 anak dengan asupan protein cukup sebanyak 33 anak (97.1%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik halus. 5.3.3 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Besi Tabel 5.11 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran LamaTahun 2014 Status Motorik Halus Total Asupan Normal Terganggu P-value Zat Besi N % N % n % Kurang 9 27.3 24 72.7 33 100 50 96.2 2 3.8 52 100 0.000 Cukup 59 69.4 26 30.6 85 100 Total Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.11 diketahui dari 33 anak dengan asupan zat besi kurang sebanyak 9 anak (27.3%) memiliki status motorik halus normal.
73
Sedangkan dari 52 anak dengan asupan zat besi cukup sebanyak 50 anak (96.2%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara asupan zat besi dengan status motorik halus. 5.3.4 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Seng Tabel 5.12 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Seng pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 Status Motorik Halus Total Asupan Normal Terganggu P-value Zat Seng N % N % n % Kurang 28 62.2 17 37.8 45 100 0.16 31 77.5 9 22.5 40 100 Cukup 59 69.4 26 30.6 85 100 Total Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.12 diketahui dari 45 anak dengan asupan zat seng kurang sebanyak 28 anak (62.2%) memiliki status motorik halus normal. Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 31 anak (77.5%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0.16, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan zat seng dengan status motorik halus.
74
5.3.5 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stunting Tabel 5.13 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 Status Motorik Halus Total Stunting Normal Terganggu P-value N % N % n % Ya 34 94.4 2 5.6 36 100 0.000 25 51 24 49 49 100 Tidak 54 69.4 26 30.6 85 100 Total Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.13 diketahui dari 36 anak dengan status gizi pendek (stunting) sebanyak 34 anak (94.4%) memiliki status motorik halus normal. Sedangkan dari 49 anak tidak dengan status gizi pendek (stunting) sebanyak 25 anak (77.5%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stunting dengan status motorik halus. 5.3.6 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stimulasi Psikososial Tabel 5.14 Analisis Hubungan antara Status Motorik Halus dengan Stimulasi Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 Status Motorik Halus Total Stimulasi Normal Terganggu P-value Psikososial N % N % n % Kurang 8 42.1 11 57.9 19 100 44 75.9 14 24.1 58 100 Cukup 0.011 7 87.5 1 12.5 8 100 Baik 54 69.4 26 30.6 85 100 Total Sumber: Data Primer
75
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui dari 19 anak yang menerima stimulasi psikososial kurang sebanyak 8 anak (42.1%) memiliki status motorik halus normal dan dari 58 anak yang menerima stimulasi psiksososial cukup sebanyak 44 anak (75.9%) memiliki status motorik halus normal. Sedangkan dari 8 anak yang menerima stimulasi psikososial baik sebanyak 7 anak (77.5%) memiliki status motorik halus normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0.011, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stimulasi psikososial dengan status motorik halus. 5.3.7 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi Tabel 5.15 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 Status Motorik Kasar Normal Terganggu N % N % 19 35.2 35 64.8 Kurang 30 96.8 1 3.2 Cukup 49 57.6 36 42.4 Total Sumber: Data Primer Asupan Energi
Total n 54 31 85
% 100 100 100
P-value
0.000
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui dari 54 anak dengan asupan energi kurang sebanyak 19 anak (35.2%) memiliki status motorik kasar normal. Sedangkan dari 31 anak dengan asupan energi cukup sebanyak 30 anak (96.8%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik halus.
76
5.3.8 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein Tabel 5.16 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 Status Motorik Halus Total Asupan Normal Terganggu P-value Protein N % N % n % Kurang 17 33.3 34 66.7 51 100 32 94.1 2 5.9 34 100 0.000 Cukup 49 57.6 36 42.4 85 100 Total Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.15 diketahui dari 51 anak dengan asupan protein kurang sebanyak 17 anak (33.3%) memiliki status motorik kasar normal. Sedangkan dari 34 anak dengan asupan protein cukup sebanyak 32 anak (94.1%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan status motorik kasar. 5.3.9 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Besi Tabel 5.17 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Besi pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran LamaTahun 2014 Status Motorik Kasar Total Asupan Normal Terganggu P-value Zat Besi N % N % n % Kurang 1 3 32 97 33 100 4 7.7 52 100 0.000 Cukup 48 92.3 49 57.6 36 42.4 85 100 Total Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.16 diketahui dari 33 anak dengan asupan zat besi kurang sebesar 1 anak (3%) yang memiliki status motorik kasar normal.
77
Sedangkan dari 52 anak dengan asupan zat besi cukup sebanyak 48 anak (92.3%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara asupan zat besi dengan status motorik kasar. 5.3.10 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Seng Tabel 5.18 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Seng pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 Status Motorik Kasar Total Asupan Normal Terganggu P-value Zat Seng N % N % N % Kurang 21 46.7 24 53.3 45 100 0.25 28 70 12 30 40 100 Cukup 49 57.6 36 42.4 85 100 Total Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.17 diketahui dari 45 anak dengan asupan zat seng kurang sebanyak 21 anak (46.7%) memiliki status motorik kasar normal. Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 28 anak (70%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0.25, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan zat seng dengan status motorik kasar.
78
5.3.11 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stunting Tabel 5.19 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stunting pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 Status Motorik Halus Total Stunting Normal Terganggu P-value N % N % N % Ya 34 94.4 2 5.6 36 100 0.000 15 30.6 34 69.4 49 100 Tidak 49 57.6 36 42.4 85 100 Total Sumber: Data Primer Berdasarkan tabel 5.18 diketahui dari 36 anak dengan status gizi pendek (stunting) sebanyak 34 anak (94.4%) memiliki status motorik kasar normal. Sedangkan dari 49 anak tidak dengan status gizi pendek (stunting) sebanyak 15 anak (30.6%) memiliki status motorik kasar normal. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0.000, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stunting dengan status motorik kasar. 5.3.12 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stimulasi Psikososial Tabel 5.20 Analisis Hubungan antara Status Motorik Kasar dengan Stimulasi Psikososial pada Siswa PAUD Wilayah Binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama Tahun 2014 Status Motorik Halus Total P-value Stimulasi Normal Terganggu Psikososial N % N % n % Kurang
5
26.3
14
73.7
19
100
4 37 63.8 Cukup 7 7 87.5 Baik 5 49 57.6 Total Sumber: Data Primer
21 1 36
36.2 12.5 42.4
58 8 85
100 100 100
79
0.003
Berdasarkan tabel 5.14 diketahui dari 19 anak yang menerima stimulasi psikososial kurang sebanyak 5 anak (26.3%) memiliki status motorik kasar normal dan dari 58 anak yang menerima stimulasi psikososial cukup sebanyak 37 anak (63.8%) memiliki status motorik kasar normal. Sedangkan dari 8 anak yang menerima stimulasi psikososial baik sebanyak 7 anak (87.5%) memiliki status motorik kasar sesuai. Dari hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0.003, artinya pada α= 5% dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stunting dengan status motorik halus.
80
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian Berdasarkan teori untuk menggunakan kuesioner KPSP seharusnya didampingi dengan dokter anak namun dikarenakan waktu penelitian yang tidak sama dengan jadwal dokter maka digantikan dengan petugas puskesmas yang sudah terlatih. Selain itu di dalam kuesioner HOME Inventory ada beberapa pertanyaan yang menanyakan bagaimana kondisi fisik lingkungan responden namun dikarenakan keterbatasan waktu maka peneliti tidak mendatangi semua rumah responden sehingga pada saat responden mengisi kuesioner peneliti menanyakan langsung bagaimana kondisi fisik lingkungan responden. Dan pada penelitian ini pengumpulan data konsumsi makanan terkait konsumsi energi, protein, zat besi dan seng dilakukan dengan menggunakan metode recall 3x24 jam. Metode tersebut dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 3 x 24 jam yang menggunakan teknik wawancara dan hanya mengandalkan ingatan responden. 6.2 Gambaran Status Motorik Halus dan Kasar Menurut Adriana (2011) bahwa gerak atau motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu serta dilakukan oleh otot-otot kecil. Sedangkan menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik halus merupakan aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian 81
tubuh tertentu saja dan dilakukan otot kecil tetapi memerlukan koordinasi yang cermat misalnya kemampuan untuk menggambar dan memegang suatu benda. Dari hasil analisis univariat didapatkan bawa paling banyak responden yang memiliki status motorik halus yang normal yaitu 59 orang (69.4%) dibandingkan dengan responden yang memiliki status motorik halus yang terganggu yaitu 26 orang (30.6%). Pada penelitian ini, responden yang paling banyak memiliki status motorik kasar yang terganggu adalah usia tiga hingga lima tahun dibandingkan dengan responden yang berusia lima hingga enam tahun. Menurut Zaviera (2008) semakin berkembangnya sistem saraf otak yang mengatur otot memungkinkan berkembangnya kompetensi atau kemampuan motorik anak. Hal ini sejalan dengan penelitian Mumtahanah (2004) yang menyatakan bahwa responden balita cenderung memiliki status motorik halus terganggu dibandingkan dengan balita berusia di atas lima tahun. Akibat dari anak yang memiliki motorik halus terganggu adalah ketidakmampuan mengatur keseimbangan. Anak-anak yang mengalami kesulitan dalam mengatur keseimbangan tubuhnya biasanya juga memiliki kesulitan dalam mengontrol gerakan anggota tubuh. Masalah pengaturan keseimbangan tubuh ini berhubungan dengan sistem vestibular yang akan berdampak pada kemampuan anak dalam membaca dan menulis (Rumini dan Sundari, 2004). Menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik kasar adalah bagian dari aktivitas motor yang melibatkan keterampilan otot-otot besar. Gerakan-gerakan seperti tengkurap, duduk, merangkak dan mengangkat leher. Berdasarkan hasil 82
analisis univariat bahwa paling banyak responden yang memiliki status motorik kasar yang normal yaitu 49 orang (57.6%) dibandingkan dengan responden yang memiliki status motorik kasar yang terganggu yaitu 36 orang (42.4%). Hal ini sejalan dengan penelitian Dewi dan Kartika (2010) yang menyatakan bahwa responden yang berusia lima tahun kebawah cenderung memiliki status motorik kasar terganggu dibandingkan dengan responden berusia di atas lima tahun. Menurut Adriana (2011) gangguan pada motorik kasar adalah yang berhubungan dengan perkembangan pergerakan dan sikap tubuh yaitu keterlambatan dalam keterampilan otot-otot besar seperti merangkak, berjalan, berlari, melompat atau berenang. Apabila dibandingkan dengan target program SDIDTK tingkat puskesmas yaitu presentase kasus perkembangan anak yang ditemukan sebesar 90% maka dapat disimpulkan bahwa status motorik kasar dan halus di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama masih belum merupakan masalah serius namun jika kasus motorik dibiarkan akan terus meningkat dan akan berdampak pada perkembangan anak yang lainnya seperti perkembangan kognitif, sosial dan bahasa. Oleh karena itu dari pihak Puskesmas wilayah Kecamatan Kebayoran Lama mewajibkan setiap PAUD wilayah binaannya untuk mengikuti program SDIDTK setiap tahunnya untuk memantau perkembangan anak khususnya perkembangan motorik. 6.3 Gambaran dan Hubungan Asupan Energi dengan Status Motorik Kasar dan Halus Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan
83
protein (Kemenkes RI, 2014). Konsumsi energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan kesehatan jangka panjang (Mustika, 2011 dalam Kemenkes RI , 2014). Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak atau gajih dan minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah (kacang tanah dan kacang kedele) dan aneka pangan produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya kaya karbohidrat antara lain beras, jagung, oat, serealia lainnya, umbiumbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang dan kurma) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya protein antara lain daging, ikan telur, susu dan aneka produk turunannya (Kemenkes RI, 2014). Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa paling banyak responden yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal yaitu 54 orang (63.5%) sedangkan responden yang mengkonsumsi energi di atas kebutuhan minimal yaitu 31 orang (36.5%). Konsumsi energi yang masih kurang tersebut dimungkinkan karena kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Kualitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh dan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh, di dalam suatu susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Dikatakan konsumsi atau asupan gizi adekuat dimana tubuh akan mendapatkan kondisi kesehatan gizi yang baik, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Sebaliknya
84
konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisit (Sediaoetama, 2000). Hal ini sejalan dengan penelitian Hendrawan (2003) yang menyatakan bahwa ada hubungan anatara asupan energi dengan kualitas pangan yang dikonsumsi. Pada Penelitian Suhardjo (2007) juga menyatakan bahwa kualitas serta kuantitas pangan berperan besar dalam asupan kalori seseorang. Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan, sehingga tubuh akan mengalami keseimbangan energi. Akibatnya berat badan kurang dari berat badan seharusnya. Bila terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan. Gejala yang ditimbulkan pada anak-anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi (Mustika, 2011 dalam Kemenkes RI, 2014). Dari hasil uji Chi-square, didapat bahwa status asupan energi secara signifikan berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue 0,000). Hal tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus dan kasar yang terganggu cenderung karena menurut pengamatan peneliti berdasarkan data recall 3 x 24 jam responden, rendahnya asupan energi pada siswa PAUD dikarenakan umumnya jenis makanan yang dikonsumsinya tidak bervariasi dan kebanyakan makanan yang dikonsumsi oleh responden bukan makanan yang mengandung sumber energi yang adekuat tetapi jenis makanan yang bersumber dari karbohidrat, baik dari makanan utama maupun kudapannya 85
seperti biskuit, ciki, kue bolu dan permen sehingga dapat mempengaruhi status motorik halus dan kasar siswa. Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik, didapatkan bahwa 46,3% siswa yang memiliki status motorik halus terganggu juga mempunyai asupan energi yang kurang. Menurut Adriana (2011) gerak atau motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu serta dilakukan oleh otot-otot kecil. Sedangkan menurut Soetjiningsih, dkk (2002) motorik kasar adalah bagian dari aktivitas motor yang melibatkan keterampilan otot-otot besar. Otot tersebut dikendalikan oleh neurotransmitter yang dipengaruhi oleh energi sehingga menghasilkan gerak motorik. Energi berfungsi mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang disebut neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (Georgieff, 2001). Hal tersebut didukung oleh penelitian Susanty et al (2012) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status motorik kasar dan halus. Demikian juga penelitian Kartika (2002) menunjukkan ada hubungan antara energi dengan status motorik kasar dan halus. Semakin rendah asupan energi maka semakin rendah kemampuan motorik kasar dan halusnya. Disimpulkan bahwa kondisi asupan energi pada siswa PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang serius yaitu terdapat 54 orang (63.5%) jika dibandingkan dengan kebijakan dan strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47% dan dari hasil uji bivariat 86
menujukkan bahwa asupan energi secara signifikan berhubungan dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan status motorik halus p=0,00 (p<0,05). Oleh karena itu pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang mengandung energi yang adekuat dan memberikan simulasi kepada orang tua tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan energi dalam sehari dengan tepat yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing anak. 6.4 Gambaran Asupan Protein dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar dan Halus Protein adalah salah satu makronutrien yang memiliki peranan penting dalam pembentukan biomolekul. Protein merupakan makromolekul yang menyusun lebih dari separuh bagian sel. Protein menentukan ukuran dan struktur sel, komponen utama dari enzim yaitu biokatalisator berbagai reaksi metabolisme dalam tubuh (Kemenkes RI, 2014). Pangan sumber protein hewani meliputi daging, telur, susu, ikan, seafood dan hasil olahannya. Pangan sumber protein nabati meliputi kedele, kacangkacangan dan hasil olahannya seperti tempe, tahu dan susu kedele. Secara umum mutu protein hewani lebih baik dibanding protein nabati (Kemenkes RI, 2014). Mutu protein makanan ditentukan salah satunya oleh komposisi dan jumlah asam amino esensial. Pangan hewani mengandung asam amino lebih lengkap dan banyak dibanding pangan nabati, karena itu pangan hewani mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan pangan nabati (Gibney, 2002).
87
Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa paling banyak responden yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal yaitu 51 orang (60%) sedangkan responden yang mengkonsumsi protein di atas kebutuhan minimal yaitu 34 orang (40%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermina dan Prihatini (2010) konsumsi protein pada anak balita umur 24-59 bulan di Indonesia masih dibawah standar angka kecukupan gizi dengan hasil rata-rata menggunakan pengukuran recall 1 x 24 jam sebesar 111,5%. Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak di bawah lima tahun. Kekurangan protein ditemukan secara bersamaan dengan keurangan energi yang menyebabkan kondisi yang dinamakan marasmus. Sindroma gabungan antara dua jenis kekurangan ini dinamakan KEP (Kurang Energi Protein) (Almatsier, 2001). Georgieff (2001) menjelaskan protein merupakan perkursor untuk neurotransmitter yang mendukung perkembangan otak. Dimana Asam amino tirosin merupakan jenis asam amino yang berhubungan dengan mekanisme gerak motorik yang berfungsi sebagai neurotransmitter. Westermack et al (2000) menjelaskan neurotransmitter bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik. Dari hasil uji Chi-square, didapat bahwa asupan protein secara signifikan berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue 0,000). Hal tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus dan kasar yang 88
terganggu cenderung karena asupan protein yang kurang yang disebabkan oleh mutu protein. Mutu protein adalah protein dengan nilai biologi tinggi atau bermutu tinggi dimana protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang ses uai. Mutu protein beberapa bahan makanan diantaranya adalah telur, susu sapi, ikan, daging sapi, beras tumbuk, kacang tanah, beras giling, gandum utuh, jagung, kacang kedelai dan biji-bijian (Almatsier, 2001). Sedangkan bahan makanan yang dikonsumsi responden cenderung bahan makanan seperti sayuran hijau, daging ayam, mie, tahu dan tempe sehingga dapat mempengaruhi status motorik halus dan kasar siswa. Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik, didapatkan bahwa 49% siswa yang memiliki status motorik halus terganggu juga mempunyai asupan protein yang kurang. Dan didapatkan bahwa 66,7% siswa yang memiliki status motorik kasar terganggu juga mempunyai asupan protein yang kurang. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian Susanty et al (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara asupan protein dengan status motorik halus dan kasar. Dan pada penelitian Antoni (2005) juga menunjukkan proporsi bayi yang mengalami keterlambatan perkembangan motorik sebagian besar pada bayi dengan asupan kurang dari AKG yaitu sebesar 85% dengan menggunakan analisis statistik dengan uji Chi-square yang menunjukkan adanya hubungan antara asupan protein dengan perkembangan motorik bayi (p <0.05). Disimpulkan bahwa kondisi asupan protein pada siswa PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang 89
serius yaitu terdapat 50 orang (61%) jika dibandingkan dengan kebijakan dan strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47% dan dari hasil uji bivariat menujukkan bahwa asupan protein secara signifikan berhubungan dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan status motorik halus p=0,00 (p<0,05). Oleh karena itu pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang mengandung protein yang adekuat dan memberikan simulasi kepada orang tua tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan protein dalam sehari dengan tepat yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing anak. 6.5 Gambaran Asupan Zat Besi dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar dan Halus Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Meskipun luas, namun masih mengalami kekurangan zat besi yang sangat berpengaruh terhadap produktifitas kerja, penampilan kognitif dan sistem kekebalan tubuh (Almatsier, 2001). Sumber besi dalam makanan hewani adalah daging, hati, unggas dan ikan sedangkan dalam makanan nabati adalah kacang-kacangan dan hasil olahannya, sayuran hijau dan rumput laut. Besi dalam makanan hewani terdapat dalam bentuk hem, sedangkan yang terdapat di dalam nabati dalam bentuk non-hem. Ketersediaan biologis besi dalam bentuk hem lebih tinggi daripada besi non-hem (Soetardjo dkk, 2011).
90
Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa diketahui paling banyak responden yang mengkonsumsi zat besi di atas kebutuhan minimal yaitu 52 orang (61.2%) dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi besi di bawah kebutuhan minimal yaitu 33 orang (38.8%). Hal ini sejalan dengan penelitian Dewi, dkk (2012) yang menyatakan bahwa terdapat 29,16% atau 14 siswa prasekolah yang mengalami defisiensi zat besi dengan menggunakan wawancara berpedoman Semi Qualitative Food Frequency Qustionaire ( SQ-FFQ). Kekurangan besi akan menyebabkan anemia gizi besi yang ditandai dengan kulit pucat, letih dan nafasnya pendek akibat kekurangan oksigen. Kekurangan zat besi juga sangat berpengaruh terhadap produktifitas kerja, penampilan kognitif dan sistem kekebalan tubuh (Mustika, 2011 dalam Kemenkes RI, 2014). Mineral besi merupakan zat gizi esensial yang berperan dalam fungsi motorik. Fungsi yang pertama adalah besi (Fe) berperan dalam sintesis monoamine (Georgieff, 2001). Monoamine merupakan enzim mitokondria yang terdapat di semua bagian berhubungan dengan metabolisme aerobik dari makanan yang menghasilkan energi, dengan kata lain sebagai pusat pembangkit energi (Sadikin, 2002). Westermack et al (2000) menjelaskan bahwa energi dapat mempengaruhi zat kimia yang ada di otak yang sering disebut neurotransmitter yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik. Kedua, besi berfungsi sebagai metabolisme energi di neuron (Georgieff, 2001). Tambayong (2001) 91
menjelaskan neuron adalah satuan fungsional susunan saraf atau biasa disebut sel saraf. Neuron berfungsi membawa pesan dari satu bagian tubuh ke bagian lain. Neuron terdiri dua jenis yaitu neuron sensoris dan neuron motoris. Neuron sensoris berfungsi membawa rangsangan dari organ sensoris, yaitu kulit, otot dan organ dalam ke medulla spinalis atau otak. Sedangkan neuron motoris adalah neuron yang membawa respons dari interneuron ke otot, kelenjar dan organ dalam tubuh. Ketiga, besi berfungsi sebagai mielinisasi (Georgieff, 2001). Mielinisasi merupakan proses pembalutan neuron, yang berfungsi mempercepat rangsangan ke otot, kelenjar dan organ dalam tubuh (Tambayong, 2001). Keempat, besi berfungsi sebagai sistem neurotransmitter, yang bertugas dalam menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik (Westermack et al, 2000). Dari hasil uji Chi-square didapatkan bahwa status asupan besi secara signifikan berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue 0,000). Hal tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus yang terganggu cenderung karena asupan besi yang kurang yang disebabkan oleh interaksi antara zat besi dengan zat gizi lainnya. Menurut (Soetardjo dkk, 2011) sumber besi dalam makanan hewani adalah daging, hati, unggas dan ikan sedangkan dalam makanan nabati yaitu kacang-kacangan dan hasil olahannya, sayuran hijau dan rumput laut. Konsumsi makanan yang kaya dengan vitamin C, seperti sayur dan buah dapat membantu penyerapan besi sedangkan penyerapan besi menurun karena adanya antacid, teh dan serat kasar. Hal ini terbukti pada 92
konsumsi responden yang cenderung jarang menkonsumsi makan sumber zat besi yang disebutkan di atas dan cenderung mengkonsumsi daging dan diiringi dengan mengkonsumsi teh, hal ini yang meyebabkan kurangnya konsumsi zat besi kurang dan penyerapan besi terhambat. Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa 72,7% siswa yang memiliki status motorik halus terganggu juga mempunyai asupan besi yang kurang. Dan didapatkan bahwa 97% siswa yang memiliki status motorik kasar terganggu juga mempunyai asupan besi yang kurang. Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Olney et al (2007) yang menunjukkan bahwa ada hubungan asupan zat besi dengan perkembangan motorik, dimana anak yang kekurangan zat besi memiliki skor kemampuan kasar lebih rendah. Hal yang sama juga dibuktikan pada penelitan Black et al (2004) bahwa terdapat dampak positif pada suplementasi zat besi yang diberikan terhadap perkembangan motorik anak. Disimpulkan bahwa kondisi asupan zat besi pada siswa PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang serius yaitu terdapat 33 orang (38,8%) jika dibandingkan dengan kebijakan dan strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47% dan dari hasil uji bivariat menujukkan bahwa asupan besi secara signifikan berhubungan dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan status motorik halus p=0,00 (p<0,05). Oleh karena itu pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang mengandung zat besi yang adekuat dan memberikan simulasi kepada orang tua 93
tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan besi dalam sehari dengan tepat yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing anak. 6.6 Gambaran Asupan Seng dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar dan Halus Seng adalah mineral mikro esensial baik pada manusia. Mineral ini diperlukan dalam pembentukan jaringan mata sehingga dapat tetap melihat di kegelapan, pembentukan sel darah putih dalam sistem kekebalan tubuh, fungsi lambung, kesehatan kulit, pertumbuhan dan fungsi sistem reproduksi, pertumbuhan janin dan sistem pusat saraf (Kemenkes RI, 2014). Pangan sumber seng diantaranya adalah ikan terutama kerang dan daging sedangkan dari tumbuhan adalah serealia. Seng dari sumber nabati umumnya rendah dibanding sumber hewani (Hotz, 2004 dalam Kemenkes RI, 2014). Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa diketahui paling banyak responden yang mengkonsumsi seng di bawah kebutuhan minimal yaitu 45 orang (52,9%) dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi seng di atas kebutuhan minimal yaitu 40 orang (47,1%). Hal ini sejalan dengan penelitian Ferdiansyah, dkk (2009) yang menyatakan bahwa masih tinggi defisiensi seng dimana terdapat 62% balita usia 37-60 bulan yang mengalami defisiensi seng dengan menggunakan pengukuran recall 2 x 24 jam. Defisiensi seng dikarenakan kurangnya asupan seng, atatu kurangnya absorsi seng ke dalam tubuh. Tanda-tanda defisiensi seng meliputi rambut rontok, luka pada kulit, diare, kehilangan jaringan tubuh dan akhirnya kematian.
94
Defisiensi seng dapat menyebabkan rusaknya organ dan fungsi penglihatan, pengecap,
bau
dan
ingatan,
gangguan
pertumbuhan,
luka
kulit
dan
perkembangan jenis kelamin yang tidak normal pada remaja laki-laki. Selain itu defisiensi seng juga dapat menyebabkan anemia, rendahnya daya tahan terhadap infeksi, sintesis kolagen tidak normal, menurunya fungsi pencernaan dan pengecapan serta gangguan sitem otak saraf yang dapat menyebabkan kemunduran mental (Soetardjo dkk, 2011). Bedasarkan hasil analisis bivariat diketahui dari 45 anak dengan asupan zat seng kurang sebanyak 28 anak (62,2%) memiliki status motorik halus normal. Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 31 anak (77,5%) memiliki status motorik halus normal. Pada hasil uji Chi-square didapatkan bahwa status asupan besi tidak berhubungan dengan status motorik halus pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue 0,16). Dan berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui dari 45 anak dengan asupan zat seng kurang sebanyak 21 anak (46.7%) memiliki status motorik kasar normal. Sedangkan dari 40 anak dengan asupan zat seng cukup sebanyak 28 anak (70%) memiliki status motorik kasar normal. Pada hasil uji Chi-square didapatkan bahwa status asupan seng tidak berhubungan dengan status motorik kasar pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue 0,25). Hal ini Hal ini tidak sesuai dengan teori Georgieff (2001) dimana seng berperan dalam proses tumbuh kembang terutama tumbuh kembang otak dalam 95
pelepasan neurotransmitter dimana neurotransmitter merupakan zat kimia yang ada di otak yang dipengaruhi oleh energi yang bertugas menghantarkan impuls dari satu saraf ke saraf yang lainnya sehingga menghasilkan gerak motorik. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan pada responden yang rendah asupan seng memiliki asupan energi yang rendah juga. Soetardjo (2011) menjelaskan bahwa seng berperan dalam reaksi yang berkaitan dengan karbohidrat, protein, lipida, dan asam nukleat. Dalam hal ini seng berperan sebagai katalisator energi dalam sistem neurotransmitter untuk menghasilkan gerak motorik sehingga semakin besar asupan energi maka semakin besar pula asupan seng yang diperlukan untuk mepercepat sistem neurotransmitter. Dapat disimpulkan bahwa kondisi asupan zat seng pada siswa PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang serius yaitu terdapat 45 orang (52,9%) jika dibandingkan dengan kebijakan dan strategi pangan dan gizi nasional periode 2011-2015 diantaranya adalah tercapainya konsumsi zat gizi sebesar 74,47% dan dari hasil uji bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan seng dengan status motorik kasar p=0,25 (p>0,05) dan dengan status motorik halus p=0,16 (p>0,05). Namun dari pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua atau pengasuh siswa berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang mengandung zat seng yang adekuat dan memberikan simulasi kepada orang tua tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan zat seng dalam sehari dengan tepat yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing anak. 96
6.7 Gambaran Stunting dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar dan Halus Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu, dan dapat diartikan pula sebagai keadaan tubuh berupa hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang msuk ke dalam tubuh dan juga perwujudan manfaatnya. Penilaian status gizi secara langsung yaitu antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2002). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu (Supariasa, 2002). Menurut Gibson (2005) stunting merupakan hasil dari jangka panjang pada ketidakcukupan asupan makanan, kualitas diet yang buruk, angka kematian yang meningkat atau kombinasi dari ketiganya. Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa paling banyak responden yang memiliki status gizi pendek (stunting) yaitu 49 orang (57.6%) dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki status gizi pendek (stunting) yaitu 36 orang (42.4%).
97
Hal ini sejalan dengan penelitian Muljati, dkk (2010) bahwa prevalensi stunting masih tinggi dimana angka kejadian stunting pada anak usia 3-6 tahun di DKI Jakarta adalah sebesar 27,4%. Dari hasil uji Chi-square, didapatkan bahwa stunting secara signifikan berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue 0,000). Hal tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus dan kasar yang terganggu cenderung karena stunting yang disebabkan oleh keadaan gizi masa lalu sehingga dapat mempengaruhi status motorik halus. Stunting adalah akibat dari ketidakcukupan asupan makanan dalam jangka waktu yang lama, kualitas asupan makanan yang buruk, meningkatnya angka kematian atau kombinasi dari ketiganya (Gibson, 2005). Hal ini terbukti dari banyaknya responden yang memiliki asupan energi kurang yaitu 54 orang (63,5%), asupan protein kurang yaitu 51 orang (60%), asupan zat besi cukup yaitu 52 orang (61,2%) dan asupan zat seng kurang yaitu 45 orang (52,9%) dari 85 responden. Status
motorik
berkaitan
dengan
status
gizi
lampau
dimana
ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan optimal merupakan keadaan malnutrisi kronik juga berkaitan dengan perkembangan otak anak yang disebabkan oleh adanya keterlambatan kematangan sel-sel saraf terutama di bagian cerebellum yang merupakan pusat koordinasi gerak motorik sehingga koordinasi sel saraf dengan otot menjadi kurang baik (Georgieff, 2001). Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa 49% siswa yang stunting memiliki status motorik halus terganggu dan didapatkan bahwa 30,6% 98
siswa yang tidak stunting sebanyak 15 anak (30.6%) memiliki status motorik kasar normal. Hal ini sejalan dengan penelitian Kartika, dkk (2011) didapatkan anak usia 3-5 tahun mengalami perkembangan motorik kasar lebih rendah pada anak yang mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang tidak stunting, dimana anak yang mengalami stunting mempunyai risiko 6 kali lebih besar mengalami gangguan perkembangan motorik kasar dibandingkan dengan anak dengan status gizi normal. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stunting dengan perkembangan motorik kasar pada anak usia 3-5 tahun. Hal yang serupa juga dibuktikan pada penelitian Olney et al (2007) bahwa anak di daerah Zanzibari, Afrika Timur yang stunting memiliki skor Total Motor Activity (TMA) atau jumlah aktivitas motorik lebih rendah dan membutuhkan waktu yang lama dalam melakukan gerakan-gerakan perpindahan. Disimpulkan bahwa kondisi stunting pada siswa PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama merupakan masalah gizi yang serius terdapat 36 orang (42,4%) jika dibandingkan Rencana Strategi Kementerian Kesehatan tahun 2010-2014 yaitu target menurunnya prevalensi anak yang pendek (stunting) adalah kurang dari 32% dan dari hasil uji bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stunting dengan status motorik kasar p=0,00 (p>0,05) dan dengan status motorik halus p=0,00 (p>0,05). Oleh karena itu dari pihak PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama menyediakan alat ukur tinggi badan dan orang tua atau pengasuh sebaiknya rutin
99
mengukur tinggi badan anak yaitu setiap satu bulan sekali dan diarsipkan dalam buku perkembangan siswa. 6.8 Gambaran Stimulasi Psikososial dan Hubungannya dengan Status Motorik Kasar dan Halus Menurut Soetjiningsih (2002) stimulasi adalah sebuah rangsangan dari luar atau dari lingkungan yang merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapatkan stimulasi. Dan psikososial menurut Supartini (2002) adalah peristiwa-peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka dapat disimpulkan bahwa stimulasi psikososial adalah rangsangan dari peristiwaperistiwa sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Dari hasil penelitian pada anak usia 3-6 tahun menunjukkan bahwa diketahui lebih banyak responden yang menerima stimulasi psikososial cukup yaitu 58 orang (52,9%) dibandingkan dengan responden yang menerima stimulasi psikososial baik yaitu 8 orang (9,4%) dan responden yang menerima stimulasi psikososial kurang yaitu 19 orang (22,4%). Hal ini sejalan dengan penelitian Salimar, dkk (2009) bahwa anak usia 3-6 tahun pada keluarga miskin di kabupaten Bogor yang kurang menerima stimulasi psikososial dari orang tua sebesar 49,3%, cukup sebesar 26% dan baik sebesar 24,7% dengan menggunakan kuesioner HOME Inventory.
100
Menurut Soetjiningsih (2002) stimulasi adalah sebuah rangsangan dari luar atau dari lingkungan yang merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapatkan stimulasi. Dari hasil uji Chi-square, didapatkan bahwa stimulasi psikososial secara signifikan berhubungan dengan status motorik halus dan kasar pada siswa PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 (Pvalue 0,011). Hal tersebut dapat terjadi karena siswa dengan status motorik halus dan kasar yang terganggu cenderung karena stimulasi psikososial yang diberikan keluarga kurang disebabkan oleh kurangnya keluarga menyediakan alat bermain sebagai penunjang kegiatan stimulasi seperti bola, buku-buku, boneka, alat musik dan kurangnya perhatian orang tua terhadap anak sehingga dapat mempengaruhi status motorik halus. Menurut Supartini dan Soetjiningsih (2002) Stimulasi psikososial adalah rangsangan dari peristiwa-peristiwa sosial atau psikologis yang datang dari lingkungan luar diri seseorang atau anak yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Status motorik sangat berkaitan erat dengan stimulasi yang diberikan oleh pengasuh kepada anak. Kesempatan untuk menggerakkan semua anggota tubuh perlu mendapat stimulasi sehingga akan mempercepat tercapainya kemampuan motorik (Departemen Kesehatan RI, 2009). Hal ini dapat disimpulkan bahwa stimulasi berperan terhadap perkembangan motorik dimana Hurlock (2000) menjelaskan stimulasi sangat penting untuk mengoptimalkan 101
fungsi-fungsi organ tubuh dan rangsangan perkembangan otak. Dimana perkembangan motorik merupakan perkembangan dari pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat saraf, urat saraf dan otot yang terkoordinasi. Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa 49% siswa yang menerima stimulasi psikososial kurang (57,9%) dan cukup (24,1%) dari keluarga memiliki status motorik halus terganggu. Hal ini sejalan dengan penelitian Gustiana et al (2011) bahwa anak pada umur 3-5 tahun mengalami status motorik halus dan kasar kurang baik lebih banyak pada anak yang jarang diberi stimulasi psikososial yaitu sebesar 56%, sedangkan pada anak yang sering distimulasi psikososial yang mengalami gangguan motorik halus hanya sebesar 24%. Anak yang mengalami status motorik halus mempunyai risiko 4,03 kali mendapatkan stimulasi psikososial yang jarang dibandingkan yang cukup, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan status motorik halus, hasil ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan status motorik halus. Pada penelitian Gardner et al (2007) dengan uji anova juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan perkembangan motorik halus pada p<0.01 dan derajat kepercayaan 95%. Disimpulkan bahwa dari hasil uji bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara stimulasi psikososial dengan status motorik kasar p=0,003 (p<0,05) dan dengan status motorik halus p=0,011 (p<0,05) pada siswa PAUD wilayah binaan puskesmas kecamatan Kebayoran Lama. Oleh
102
karena itu dari Pihak PAUD sebaiknya memberikan saran kepada orang tua agar lebih rajin mengenalkan macam bentuk kepada anak melalui waktu makan.
103
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan asupan zat gizi (energi, protein, zat besi dan seng), stunting, dan stimulasi psikososial dengan status motorik anak usia 3-6 tahun di PAUD wilayah binaan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Lama tahun 2014 maka didapatkan : 1. Dari analisis univariat yang telah dilakukan, responden yang memiliki status motorik kasar yang normal (69,4%) dan terganggu (30,6%), motorik halus yang normal (69,4%) dan terganggu (30,6%), asupan energi kurang (63,5%) dan cukup (36.5%), asupan protein kurang (60%) dan cukup (40%), asupan besi cukup (61,2%) dan kurang (38,8%), asupan seng kurang (52,9%) dan cukup (47,1%), stunting (57,6%) dan tidak stunting (42,4%), stimulasi psikososial cukup dari keluarga (68,2%) yang menerima stimulasi psikososial baik dari keluarga (9,4%) dan yang menerima stimulasi psikososial kurang dari keluarga yaitu 22,4%. 2. Dari analisis bivariat yang telah dilakukan, determinan yang berhubungan dengan status motorik kasar dan halus diantaranya adalah sebagai berikut : a. Asupan energi dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan dengan status motorik halus p=0,00 (p<0,05). b. Asupan protein dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan dengan status motorik halus p=0,00 (p<0,05).
104
c. Asupan zat besi dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan dengan status motorik halus p=0,00 (p<0,05). d. Stunting dengan status motorik kasar p=0,00 (p<0,05) dan dengan status motorik halus p=0,00 (p<0,05). e. Stimulasi psikososial dengan status motorik kasar p=0,003 (p<0,05) dan dengan status motorik halus p=0,011 (p<0,05). Sedangkan determinan yang tidak berhubungan dengan status motorik kasar dan halus adalah asupan seng, tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan seng dengan status motorik kasar p=0,25 (p>0,05) dan dengan status motorik halus p=0,16 (p>0,05). 7.2 Saran 1. Puskesmas wilayah Kecamatan Kebayoran Lama mewajibkan setiap PAUD wilayah binaannya untuk mengikuti program SDIDTK setiap tahunnya untuk memantau perkembangan anak khususnya perkembangan motorik. 2. Pihak PAUD diharapkan dapat memberikan edukasi kepada orang tua atau pengasuh siswa PAUD berupa penyuluhan mengenai bahan pangan apa saja yang mengandung sumber zat gizi (energi, protein, besi dan seng) dan memberikan simulasi kepada orang tua tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan energi dalam sehari dengan tepat yang dibutuhkan oleh anak sesuai umur masing-masing anak serta memberikan konseling kepada orang tua apabila memiliki kesulitan dalam memberikan makanan pada anak.
105
3. Pihak PAUD sebaiknya menyediakan mewajibkan orang tua atau pengasuh agar mengukur tinggi badan anak yaitu setiap satu bulan sekali dan diarsipkan dalam buku perkembangan siswa. 4. Pihak PAUD sebaiknya memberikan saran kepada orang tua agar lebih rajin mengenalkan macam bentuk kepada anak melalui waktu makan.
106
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Djaeni, Sediaoetama. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat Adriana, Dian. 2011. Tumbuh Kembang dan Terapi Bermain Pada Anak. Jakarta: Salemba Medika AKG. Angka Kecukupan Gizi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi WNPG X. https://docs.google.com/file/d/0B_8e76vgfxWLUlhvOWRkX3JGQk0/edit?pli =1 diakses tanggal 20 September 2013. Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ariawan, I. 1998. Besar dan Metoda Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok: Jurusan Biostatistik dan Kependudukan FKM-UI Azwar, Saifuddin. 2004. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Black, M. 1998. Zinc Deficiency and Child Development. American Journal of Clinical Nutrition. Diakses pada tanggal 13 Spetember 2013 dari http://ajcn.nutrition.org Caldwell & Bradley. 2003. Home Observation and Measurment of Environment (HOME). Arkansas. Depkes RI. 2008. Instrumen Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak. Depkes RI. 2009. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Georgieff, MK. 2001. Nutrition and Developing Brain: Nutrient Priorities and Measurement. American Journal of Clinical Nutrition. Diakses pada tanggal 15 Spetember 2013 dari http://ajcn.nutrition.org Gibson, R.S., 2005. Principle of Nutritional and Assessment. Oxford University Press. Newyork :625. Gustiana,et al. 2011. Hubungan Stunting dan stimulasi dengan perkembangan motorik kasar pada Anak Taman Kanak-Kanak Usia 3-5 Tahun di Banda
Aceh. Nutrition department of Health Politechnic of Aceh. Diakses pada tanggal 19 September 2013 dari http://www.nasuwakes.poltekkesaceh.ac.id/download/GUSTIANA%20S.SiT,M.Kes(2).pdf Hastono, SP. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta: UI Press Henningham, et al. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC Hurlock, Elizabeth. 2000. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga Husaini. 2002. Pernan Gizi Dan Pola Asuh Dalam Meningkatkan Kualitas Tumbuh Kembang. Jakarta: Dian Rakyat Kartika, Latinulu S. 2002. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Motorik Anak Usia 3-6 Tahun Di Keluarga Miskin Dan Tidak Miskin. Jurnal penelitian gizi dan makanna. 25, 38-48. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 20112015. Diakses pada tanggal 3 april 2014 dari http://www.bappenas.go.id/files/2013/5228/1645/4-konsep-paparan-ran-pg2011-2015revisi-28-feb__20110301150611__1.pdf Kementerian Kesehatan RI. 2014. Prosiding: Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Idonesia. Latifah, M. 2007. Stimulasi Perkembangan Anak serta Pengukurannya. Institut Pertanian Bogor Mansyur, Herawati. 2009. Psikologi Ibu dan Anak untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika Nursalam.2005. Asupan Keperawatan Bayi dan anak. Jakarta: Salemba Medika Olney, K. et al. 2007. Young Zanzibari Children with Iron Deficiency, Iron Deficiency Anemia, Stunting, or Malaria have Lower Motor Activity Scores and Spend Less Time in Locomotion. The Journal of Nutrition. Diakses pada tanggal 14 September 2013 dari http://jn.nutrition.org/content/suppl/2007/11/20/137.12.2756.DC1.html Papalia, et al. 1998. Human Development. Boston: McGraw-Hill Pudjadji. 2005. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak, Edisi Keempat. Depok: Balai Penerbit FKUI
Riyanto, Agus. 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika Rosmana. 2003. Hubungan Pola Gizi dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 bulan di Kabupaten Serang Propinsi Banten Tahun 2004, Tesis, Program Pasca Sarjana FKM UI, Depok. Rumini, Sundari. 2004. Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: Rineka Cipta Sadikin, Moh. 2004. Biokimia Enzim. Jakarta: Widya Medika Sally, et al. 2005. Zinc supplementation and Psychosocial Stimulation: Effects on the Development ofUndernourished Jamaican Children. American Journal of Clinical Nutrition. Diakses pada tanggal 28 Oktober 2013 dari http://ajcn.nutrition.org/content/82/2/399.full.pdf+html?sid=51c20296-851c4920-aa72-7bebd71a516a Schmidt, et al. 2004. Mental and Psychomotor Development in Indonesian Infants of Mothers Supplemented with Vitamin A in Addition to Iron During Pregnancy. British Journal of Nutrition. Diakses pada tanggal 20 September 2013 dari http://journals.cambridge.org/action/displayFulltext?type=1&pdftype=1&fid= 912440&jid=BJN&volumeId=91&issueId=02&aid=912428 Soenardi, T. 2000. Makanan untuk Bayi. Jakarta: Gramendia Pustaka Utama Soetardjo,dkk. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : Gramedia Soetjiningsih, dkk. 2002. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC Sulistyoningsih, Hariyani. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Sumantri, Arif. 2011. Yogyakarta: Graha Ilmu. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Prenada Media Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC Susanty, M dan Margawati, A. 2012. Hubungan Derajat Stunting, Asupan Zat Gizi dan Sosial Ekonomi Rumah Tangga dengan Perkembangan Motorik Anak Usia 24-36 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Bugangan Semarang. Journal of Nutrition College. Vol. 1, No. 1, diakses pada 13 September 2013 dari http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnc Sutarta, 2008. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta: UI Press Suyadi, M dan Ulfah M. 2013. Konsep Dasar PAUD. Bandung: Remaja Rosdakarya Tambayong, Jan. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Westermack T, Antila E. 2000. Diet in Relation to the Nervous System. Human Nutrition and Dietetik. New York: Churchill Living Stone. Zaviera, Ferdinand. 2008. Mengenali dan Memahami Tumbuh Kembang Anak. Yogyakarta: KATAHATI
LAMPIRAN 1
1FORMULIR FOOD RECALL 24 JAM
Tanggal
:
Hari ke
:
Waktu Makan
PAGI
SIANG
MALAM
Menu Makanan
Banyaknya Berat URT (gram)
LAMPIRAN 2
Koesioner HOME Inventory A. E1.
E2.
E3.
E4.
STIMULASI PSIKOSOSIAL (Jika “Ya” beri tanda checklist) STIMULASI PEMBELAJARAN Anak mempunyai mainan yang mengajarkan warna Anak mempunyai mainan yang mengajarkan ukuran (kecil sampai besar) Anak mempunyai tiga buah atau lebih puzzle Anak mempunyai permainan rekaman, sedikitnya ada lima rekaman anak-anak Anak mempunyai mainan yang memungkinkan berekspresi bebas (dokter, polisi, masak-masakan dll) Anak mempunyai mainan yang membantu mengajarkan angka Anak mempunyai sedikitya 10 buku anak-anak Sedikitnya ada 10 buku anak-anak tersedia di rumah Keluarga membeli dan membaca koran setiap hari Keluarga berlangganan sedikitnya satu majalah Anak mempunyai mainan yang membantu mengajarkan nama-nama binatang Subtotal STIMULASI BAHASA Anak didiorong untuk belajar bentuk (bola, kubus, tabung dll) Anak didorong untuk mempelajari alfabet/huruf (A sampai Z) Orang tua mengajarkan anak cara bebrbicara sederhana (misal: silahkan, terimakasih, ucapakan salam). Ibu menggunakan tata bahasa dan pengucapan yang benar Orang tua mendorong anak untuk berbicara dan meluangkan waktu untuk mendengar Suara orang tua dengan penyampaian perasaan positif pada anak (lembut dan ramah). Anak diizinkan untuk memilih menu sarapan atau makan siang Subtotal LINGKUNGAN FISIK Bangunan rumah aman dan baik Lingkungan bermain di luar rumah aman Kondisi rumah tidak gelap dan membuat anak jenuh Tetangga menyenangkan dan ramah Luas rumah cukup dan sesuai untuk penghuni (tidak sempit) Ruangan tidak terlalu penuh dengan perabotan Rumah bersih dan jauh dari kekacauan/gangguan Subtotal KEHANGATAN DAN PERHATIAN Orang tua memeluk anak 10-15 menit perhari Orang tua berbicara dengan anak sedikitnya 3 kali setiap sehari Orangtua menjawab pertanyaan anak secara verbal/bicara Orangtua merespon setiap ucapan atau permintaan anak Orang tua memuji kemampuan dan kualitas yang dimiliki anak
Orangtua mencium, memeluk dan menggendong anak setiap hari Orangtua mengajarkan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan Subtotal E5.
E6.
E7.
E8.
STIMULASI AKADEMIK Anak didorong untuk belajar warna Anak didorong untuk belajar pola bicara (menyanyi, bercerita dll) Anak didorong untuk belajar komunikasi dengan temannya Anak didorong untuk belajar angka Anak didorong untuk belajar beberapa kata baru (misal: belajar kosa kata bahasa Inggris). Subtotal MODELING Anak tidak memiliki masalah kurang nafsu makan Anak menonton acara anak di TV Orang tua memperkenalkan orang lain kepada anak Anak selalu mengungkapkan perasaan negatif/masalah pada orangtua Anak dapat memukul orangtua tanpa ada balasan yang kasar dari orang tua Subtotal VARIETAS DAN PENGALAMAN Anak memiliki alat musik mainan atau sungguhan Anak di bawa keluar oleh anggota keluarga sedikitnya 2 kali dalam seminggu (misal: jalan-jalan atau piknik) Anak pernah melakukan perjalanan jauh Anak pernah diajak ke museum Anak diajak untuk membereskan mainannya tanpa bantuan Orang tua selalu menambahakan dan mengajarkan kata-kata baru pada anak (misalkan mulai mengajarkan kosa kata Bahasa Inggris) Anak dapat memperlihatkan hasil karya seni yang telah dibuatnya Anak makan bersama ayah dan ibu sedikitnya sekali dalam sehari Orang tua membiarkan anak memilih beberapa makanan di toko Subtotal PENERIMAAN Orang tua tidak menhina atau mengejek anak lebih dari satu kali Orang tua tidak menghukum anak dengan hukuman fisik Orangtua tidak memukul atau menampar anak saat anak nakal. Tidak lebih dari satu kali melakukan hukuman fisik dalam seminggu terakhir Subtotal Total Skor
LAMPIRAN 3 No. Motorik Halus 1. 2.
Bila diberi pensil, apakah anak mencoret-coret kertas tanpa bantuan/ petunjuk? (O) Dapatkah anak meletakkan 4 buah kubus satu persatu di atas kubus yang lain tanpa menjatuhkan kubus itu? Kubus yang digunakan 2.5 – 5 cm. (O)
3.
Buat garis lurus ke bawah sepanjang sekurang – kurangnya 2.5 cm. Suruh anak menggambar garis lain di samping garis ini. (O) Jawab YA bila ia menggambar garis seperti ini :
Ya
Tidak
Jawab TIDAK bila ia menggambar garis seperti ini :
No.
Motorik Kasar
1.
Dapatkah anak melempar bola lurus kea rah perut atau dada dari jarak 1.5 meter (O)
2.
Letakkan selembar kertas seukuran buku ini di lantai. Apakah anak dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari? (O)
3. Dapatkah anak mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? (W) Umur 42-47 bulan No. Motorik Halus 1. Jangan membantu anak dan jangan menyebut lingkaran. Suruh anak menggambar seperti contoh ini di kertas kosong yang tersedia. Dapatkah anak menggambar lingkaran? (O)
Jawab : YA
Jawab : TIDAK
Ya
Tidak
2.
Dapatkah anak meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain tanpa menjatuhkan kubus tersebut? Kubus yang digunakan 2.5 – 5 cm. (O) No. Motorik Kasar 1. Dapatkah anak mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? (W) 2. Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpeangan. Jika perlu tunjukkan caranya dan beri anak kesempatan melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau lebih? (O) 3 Letakkan selembar kertas seukuran buku ini di lantai. Apakah anak dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari? (O) Umur 48-53 bulan No. Motorik Halus Ya 1. Jangan membantu anak dan jangan menyebut lingkaran. Suruh anak menggambar seperti contoh ini di kertas kosong yang tersedia. Dapatkah anak menggambar lingkaran? (O)
Tidak
Jawab : YA
Jawab : TIDAK 2.
Dapatkah anak meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain tanpa menjatuhkan kubus tersebut? Kubus yang digunakan 2.5 – 5 cm. (O) Motorik Kasar 1. Dapatkah anak mengayuh sepeda roda tiga sejauh sedikitnya 3 meter? (O) 2. Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpeangan. Jika perlu tunjukkan caranya dan beri anak kesempatan melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 2 detik atau lebih? (O) 3 Letakkan selembar kertas seukuran buku ini di lantai. Apakah anak dapat melompati bagian lebar kertas dengan mengangkat kedua kakinya secara bersamaan tanpa didahului lari? (O) Umur 54-59 bulan No. Motorik Halus Ya 1. Dapatkah anak meletakkan 8 buah kubus satu persatu di atas yang lain tanpa menjatuhkan kubus tersebut? Kubus yang digunakan 2.5 – 5 cm. (O)
Tidak
2.
3.
Jangan mengoreksi/membantu anak. Jangan menyebut kata “lebih panjang”. Perlihatkan gambar kedua garis ini pada anak. (O) Tanyakan: “Mana garis yang lebih panjang?” Minta anak menunjuk, putar lembar ini dan ulangi pertanyaan tersebut. Setelah anak menunjuk, putar lembar ini lagi dan ulangi pertanyaan tadi. Apakah anak dapat menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak 3 kali dengan benar? Jangan membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar ini, suruh anak menggambar seperti contoh ini di kertas kosong yang tersedia. Berikan 3 kali kesempatan. (O) Apakah anak dapat menggambar seperti contoh ini?
Jawablah : YA
Jawablah: TIDAK Motorik Kasar 1. Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpeangan. Jika perlu tunjukkan caranya dan beri anak kesempatan melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau lebih? (O) Umur 60 bulan No. Motorik Halus 1. Jangan mengoreksi/membantu anak. Jangan menyebut kata “lebih panjang”. Perlihatkan gambar kedua garis ini pada anak. (O) Tanyakan: “Mana garis yang lebih panjang?” Minta anak menunjuk, putar lembar ini dan ulangi pertanyaan tersebut. Setelah anak menunjuk, putar lembar ini lagi dan ulangi pertanyaan tadi.
Ya
Tidak
Ya
Tidak
2.
Apakah anak dapat menunjuk garis yang lebih panjang sebanyak 3 kali dengan benar? Jangan membantu anak dan jangan memberitahu nama gambar ini, suruh anak menggambar seperti contoh ini di kertas kosong yang tersedia. Berikan 3 kali kesempatan. (O) Apakah anak dapat menggambar seperti contoh ini?
Jawablah : YA
1. 2.
Jawablah : TIDAK Motorik Kasar Suruh anak berdiri satu kaki tanpa berpeangan. Jika perlu tunjukkan caranya dan beri anak kesempatan melakukannya 3 kali. Dapatkah ia mempertahankan keseimbangan dalam waktu 6 detik atau lebih? (O) Suruh anak melompat dengan satu kaki beberapa kali tanpa berpegangan (lompatan dengan dua kaki tidak ikut dinilai). Apakah ia dapat melompat 2-3 kali dengan satu kali? (O)
LAMPIRAN 4. ANALISIS UNIVARIAT 1. Status Motorik Halus motorik_halus Cumulative Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
sesuai
59
48.4
69.4
69.4
terlambat
26
21.3
30.6
100.0
Total
85
69.7
100.0
System
37
30.3
122
100.0
Total
2. Status Motorik Kasar motorik_kasar Cumulative Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
sesuai
49
40.2
57.6
57.6
terlambat
36
29.5
42.4
100.0
Total
85
69.7
100.0
System
37
30.3
122
100.0
Total
3. Asupan Energi asupan_energi Cumulative Frequency Valid
Missing Total
Percent
Valid Percent
Percent
kurang
54
44.3
63.5
63.5
cukup
31
25.4
36.5
100.0
Total
85
69.7
100.0
System
37
30.3
122
100.0
4. Asupan Protein asupan_protein Cumulative Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
kurang
54
44.3
63.5
63.5
cukup
31
25.4
36.5
100.0
Total
85
69.7
100.0
System
37
30.3
122
100.0
Total
5. Asupan Zat Besi asupan_besi Cumulative Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
kurang
33
27.0
38.8
38.8
cukup
52
42.6
61.2
100.0
Total
85
69.7
100.0
System
37
30.3
122
100.0
Total
6. Asupan Seng asupan_seng Cumulative Frequency Valid
Missing Total
Percent
Valid Percent
Percent
Kurang
45
36.9
52.9
52.9
Cukup
40
32.8
47.1
100.0
Total
85
69.7
100.0
System
37
30.3
122
100.0
7. Stunting stunting Cumulative Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Percent
normal
36
29.5
42.4
42.4
stunting
49
40.2
57.6
100.0
Total
85
69.7
100.0
System
37
30.3
122
100.0
Total
8. Stimulasi Psikososial stimulasi_PsiKlp Cumulative Frequency Valid
Stimulasi psikososial kurang
Percent
15.6
22.4
22.4
58
47.5
68.2
90.6
8
6.6
9.4
100.0
Total
85
69.7
100.0
System
37
30.3
122
100.0
Stimulasi psikososial cukup Jika skor 30-45 Stimulasi psikososial baik Jika skor 46-55
Total
Valid Percent
19
Jika skor 0-29
Missing
Percent
LAMPIRAN 5. ANALISIS BIVARIAT 1. Hubungan Status Motorik Halus dengan Asupan Energi asupan_energi * motorik_halus Crosstabulation motorik_halus sesuai asupan_energi
kurang
Count % within asupan_energi
cukup
Total
25
54
53.7%
46.3%
100.0%
30
1
31
96.8%
3.2%
100.0%
59
26
85
69.4%
30.6%
100.0%
Count % within asupan_energi
Total
29
Count % within asupan_energi
terlambat
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.000
15.238
1
.000
21.282
1
.000
17.207 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.000 17.005
b
1
.000
85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.48. b. Computed only for a 2x2 table
95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for asupan_energi (kurang /
.039
.005
.304
.555
.430
.717
14.352
2.043
100.812
cukup) For cohort motorik_halus = sesuai For cohort motorik_halus = terlambat
.000
95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for asupan_energi (kurang /
.039
.005
.304
.555
.430
.717
14.352
2.043
100.812
cukup) For cohort motorik_halus = sesuai For cohort motorik_halus = terlambat N of Valid Cases
85
2. Hubungan Status Motorik Halus dengan Asupan Protein asupan_protein * motorik_halus Crosstabulation motorik_halus sesuai asupan_protein
kurang
Count % within asupan_protein
cukup
Total
25
51
51.0%
49.0%
100.0%
33
1
34
97.1%
2.9%
100.0%
59
26
85
69.4%
30.6%
100.0%
Count % within asupan_protein
Total
26
Count % within asupan_protein
terlambat
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.000
18.288
1
.000
24.976
1
.000
20.400 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.000 20.160
1
.000
85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.40. b. Computed only for a 2x2 table
.000
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for asupan_protein (kurang /
.032
.004
.248
.525
.399
.692
16.667
2.369
117.274
cukup) For cohort motorik_halus = sesuai For cohort motorik_halus = terlambat N of Valid Cases
85
3. Hubungan Status Motorik Halus dengan Asupan Zat Besi asupan_besi * motorik_halus Crosstabulation motorik_halus sesuai asupan_besi
kurang
Count % within asupan_besi
cukup
Count % within asupan_besi
Total
Count % within asupan_besi
terlambat
Total
9
24
33
27.3%
72.7%
100.0%
50
2
52
96.2%
3.8%
100.0%
59
26
85
69.4%
30.6%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.000
41.928
1
.000
49.053
1
.000
45.114 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.000 44.583 85
1
.000
.000
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.09. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for asupan_besi
.003
.075
.284
.162
.496
18.909
4.781
74.784
For cohort motorik_halus = sesuai
terlambat
Upper
.015
(kurang / cukup)
For cohort motorik_halus =
Lower
N of Valid Cases
85
4. Hubungan Status Motorik Halus dengan Asupan Seng asupan_protein * motorik_kasar Crosstabulation motorik_kasar sesuai asupan_protein
kurang
Count % within asupan_protein
cukup
Total
34
51
33.3%
66.7%
100.0%
32
2
34
94.1%
5.9%
100.0%
49
36
85
57.6%
42.4%
100.0%
Count % within asupan_protein
Total
17
Count % within asupan_protein
terlambat
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.000
28.432
1
.000
35.702
1
.000
30.871 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.000 30.508 85
1
.000
.000
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.40. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for asupan_protein (kurang /
.031
.007
.146
.354
.238
.527
11.333
2.913
44.089
cukup) For cohort motorik_kasar = sesuai For cohort motorik_kasar = terlambat N of Valid Cases
85
5. Hubungan Status Motorik Halus dengan Stunting stunting * motorik_halus Crosstabulation motorik_halus sesuai Stunting
normal
Count % within stunting
stunting
Count % within stunting
Total
Count % within stunting
terlambat
Total
34
2
36
94.4%
5.6%
100.0%
25
24
49
51.0%
49.0%
100.0%
59
26
85
69.4%
30.6%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.000
16.443
1
.000
21.324
1
.000
18.431 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
b
.000 18.214 85
1
.000
.000
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.01. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for stunting (normal / stunting)
Lower
Upper
16.320
3.526
75.530
1.851
1.391
2.463
.113
.029
.449
For cohort motorik_halus = sesuai For cohort motorik_halus = terlambat N of Valid Cases
85
6. Hubungan Status Motorik Halus dengan Stimulai Psikososial stimulasi_PsiKlp * motorik_halus Crosstabulation motorik_halus sesuai stimulasi_PsiKlp
Stimulasi psikososial kurang Count Jika skor 0-29
% within stimulasi_PsiKlp
Stimulasi psikososial cukup Jika skor 30-45
Count % within stimulasi_PsiKlp
Stimulasi psikososial baik
Count
Jika skor 46-55
% within stimulasi_PsiKlp
Total
Count % within stimulasi_PsiKlp
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
2
.011
Likelihood Ratio
8.679
2
.013
Linear-by-Linear Association
8.012
1
.005
Pearson Chi-Square
9.042
terlambat
Total
8
11
19
42.1%
57.9%
100.0%
44
14
58
75.9%
24.1%
100.0%
7
1
8
87.5%
12.5%
100.0%
59
26
85
69.4%
30.6%
100.0%
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
2
.011
Likelihood Ratio
8.679
2
.013
Linear-by-Linear Association
8.012
1
.005
Pearson Chi-Square
9.042
N of Valid Cases
85
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.45.
Risk Estimate Value Odds Ratio for stimulasi_PsiKlp (Stimulasi psikososial kurang Jika skor
a
0-29 / Stimulasi psikososial cukup Jika skor 30-45) a. Risk Estimate statistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells.
7. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Energi asupan_energi * motorik_kasar Crosstabulation motorik_kasar sesuai asupan_energi
kurang
Count % within asupan_energi
cukup
Count % within asupan_energi
Total
Count % within asupan_energi
terlambat
Total
19
35
54
35.2%
64.8%
100.0%
30
1
31
96.8%
3.2%
100.0%
49
36
85
57.6%
42.4%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.000
28.127
1
.000
36.956
1
.000
30.597 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.000
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
30.237
b
1
.000
.000
85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.13. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for asupan_energi (kurang /
.018
.002
.143
.364
.252
.525
20.093
2.893
139.551
cukup) For cohort motorik_kasar = sesuai For cohort motorik_kasar = terlambat N of Valid Cases
85
8. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Protein asupan_protein * motorik_kasar Crosstabulation motorik_kasar sesuai asupan_protein
kurang
Count % within asupan_protein
cukup
Count % within asupan_protein
Total
Count
terlambat
Total
32
22
54
59.3%
40.7%
100.0%
17
14
31
54.8%
45.2%
100.0%
49
36
85
asupan_protein * motorik_kasar Crosstabulation motorik_kasar sesuai asupan_protein
kurang
Count % within asupan_protein
cukup
Total
22
54
59.3%
40.7%
100.0%
17
14
31
54.8%
45.2%
100.0%
49
36
85
57.6%
42.4%
100.0%
Count % within asupan_protein
Total
32
Count % within asupan_protein
terlambat
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.691
.029
1
.866
.157
1
.692
.158 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.820
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.156
b
1
.693
85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.13. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for asupan_protein (kurang /
1.198
.491
2.922
1.081
.733
1.594
.902
.545
1.493
cukup) For cohort motorik_kasar = sesuai For cohort motorik_kasar = terlambat N of Valid Cases
85
.432
9. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Zat Besi asupan_besi * motorik_kasar Crosstabulation motorik_kasar sesuai asupan_besi
kurang
Count % within asupan_besi
cukup
Total
32
33
3.0%
97.0%
100.0%
48
4
52
92.3%
7.7%
100.0%
49
36
85
57.6%
42.4%
100.0%
Count % within asupan_besi
Total
1
Count % within asupan_besi
terlambat
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.000
62.299
1
.000
78.673
1
.000
65.905 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.000
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
65.130
b
1
.000
85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.98. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for asupan_besi (kurang / cukup) For cohort motorik_kasar = sesuai For cohort motorik_kasar = terlambat N of Valid Cases
Lower
Upper
.003
.000
.024
.033
.005
.227
12.606
4.907
32.383
85
.000
10. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Asupan Seng asupan_seng * motorik_kasar Crosstabulation motorik_kasar sesuai asupan_seng
kurang
Count % within asupan_seng
cukup
Total
24
45
46.7%
53.3%
100.0%
28
12
40
70.0%
30.0%
100.0%
49
36
85
57.6%
42.4%
100.0%
Count % within asupan_seng
Total
21
Count % within asupan_seng
terlambat
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.030
3.815
1
.051
4.787
1
.029
4.722 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.047
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
4.667
b
1
.031
85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.94. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for asupan_seng (kurang / cukup) For cohort motorik_kasar = sesuai For cohort motorik_kasar = terlambat N of Valid Cases
Lower
Upper
.375
.153
.917
.667
.459
.968
1.778
1.029
3.071
85
11. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Stunting
.025
stunting * motorik_kasar Crosstabulation motorik_kasar sesuai Stunting
normal
Count % within stunting
stunting
Total
2
36
94.4%
5.6%
100.0%
15
34
49
30.6%
69.4%
100.0%
49
36
85
57.6%
42.4%
100.0%
Count % within stunting
Total
34
Count % within stunting
terlambat
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.000
32.069
1
.000
40.026
1
.000
34.634 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.000
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
34.226
b
1
.000
85
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.25. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for stunting (normal / stunting) For cohort motorik_kasar = sesuai For cohort motorik_kasar = terlambat N of Valid Cases
Lower
Upper
38.533
8.178
181.566
3.085
2.009
4.738
.080
.021
.312
85
.000
12. Hubungan Status Motorik Kasar dengan Stimulasi Psikososial stimulasi_PsiKlp * motorik_kasar Crosstabulation motorik_kasar sesuai stimulasi_PsiKlp
Stimulasi psikososial kurang Count Jika skor 0-29
% within stimulasi_PsiKlp
Stimulasi psikososial cukup Jika skor 30-45
Count % within stimulasi_PsiKlp
Stimulasi psikososial baik
Count
Jika skor 46-55
% within stimulasi_PsiKlp
Total
Count % within stimulasi_PsiKlp
Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
a
2
.003
Likelihood Ratio
11.976
2
.003
Linear-by-Linear Association
11.011
1
.001
Pearson Chi-Square
11.457
N of Valid Cases
85
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.39.
Risk Estimate Value Odds Ratio for stimulasi_PsiKlp (Stimulasi psikososial kurang Jika skor
a
0-29 / Stimulasi psikososial cukup Jika skor 30-45) a. Risk Estimate statistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells.
terlambat
Total
5
14
19
26.3%
73.7%
100.0%
37
21
58
63.8%
36.2%
100.0%
7
1
8
87.5%
12.5%
100.0%
49
36
85
57.6%
42.4%
100.0%