HISTOMORFOLOGI TUBULUS SEMINIFERUS DAN KELENJAR PROSTAT TIKUS (Rattus norvegicus) SERTA KONSENTRASI HORMON ANDROGEN PASCA PEMBERIAN EKSTRAK PURWOCENG (Pimpinella alpina Molk.)
LAURA CHRONIKA HOSIANNA SIMANJUNTAK
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
HISTOMORFOLOGI TUBULUS SEMINIFERUS DAN KELENJAR PROSTAT TIKUS (Rattus norvegicus) SERTA KONSENTRASI HORMON ANDROGEN PASCA PEMBERIAN EKSTRAK PURWOCENG (Pimpinella alpina Molk.)
LAURA CHRONIKA HOSIANNA SIMANJUNTAK
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakaan bahwa tesis berjudul Histomorfologi Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat Tikus Jantan (Rattus Norvegicus) serta Konsentrasi Hormon Androgen Pasca Pemberian Ekstrak Purwoceng (Pimpinella Alpina Molk.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya orang lain yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian bogor. Jakarta, Januari 2013
Laura Chronika Hosianna Simanjuntak B352100011
RINGKASAN LAURA CHRONIKA HOSIANNA SIMAJUNTAK. Histomorfologi Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat Tikus (Rattus Norvegicus) Serta Konsentrasi Hormon Androgen Pasca Pemberian Ekstrak Purwoceng (Pimpinella Alpina Molk.). Dibimbing oleh BAMBANG PURWANTARA dan ADI WINARTO. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beragam jenis tanaman herbal. Pimpinella alpina Molk. atau yang dikenal sebagai purwoceng adalah salah satu tanaman herbal indonesia yang memiliki khasiat sebagai afrodisiaka yang mampu meningkatkan libido pada jantan. Selain itu, telah dilaporkan bahwa terjadi peningkatan kadar hormon LH (lutheinizing hormone) dan testosteron dalam serum darah tikus jantan yang diberikan ekstrak purwoceng. Pemberian ekstrak purwoceng diduga selain dapat meningkatkan hormon LH dan testosteron, berpengaruh terhadap organ primer dan sekunder pada jantan serta konsentrasi hormon androgen (testosteron dan dihidrotestosteron). Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari spermatogenesis, kelenjar prostat dan produksi hormon androgen yaitu testosteron dan DHT (dihidrotestosteron) tikus pasca pemberian ekstrak purwoceng serta menentukan dosis terbaik pada masing-masing kelompok umur tikus jantan. Perlakuan dilakukan selama 14 hari dengan mencekok tiga kelompok umur tikus jantan (pubertas, dewasa, dan tua) dengan dosis 25 mg dan 50 mg serta 0 mg sebagai kontrol. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan derajat spermatogenesis dalam tubulus seminiferus setelah semua kelompok umur menerima ekstrak purwoceng. Selain itu, penelitian ini membuktikan adanya peningkatan persentase aktivitas kelenjar prostat dalam memproduksi sekreta. Dosis 50 mg merupakan dosis yang memberikan respon tertinggi bagi semua kelompok umur. Pengaruh ekstrak purwoceng terhadap konsentrasi hormon androgen (testosteron dan DHT) cenderung memberikan peningkatan dan penurunan pada kelompok umur tertentu, namun belum menunjukkan pengaruh yang signifikan (p>0.05). Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini bahwa spermatogenesis, aktivitas kelenjar prostat dan produksi hormon androgen meningkat pada semua umur, sedangkan pada umur pubertas produksi hormon DHT menurun setelah pemberian ekstrak purwaceng. Kata kunci : androgen, kelenjar prostat, purwoceng, spermatogenesis,
i
SUMMARY LAURA CHRONIKA HOSIANNA SIMANJUNTAK. The Histomorphological Of Seminiferous Tubules and Prostat Gland Of Rats (Rattus Norvegicus) and Concentration Of Androgen Hormone After Given Purwoceng Extract (Pimpinella alpina Molk.). Supervised by BAMBANG PURWANTARA and ADI WINARTO. Indonesia is one of the countries which has many kinds of herbal plants. Pimpinella alpina Molk. well known as purwoceng is one of Indonesian herbal plants which have aphrodisiaca actions may enhance libido in males. Moreover, it has been reported that an increase the levels of LH (lutheinizing hormone) and testosterone in blood serum of male rats given the purwoceng extract. The increase of the LH and testosterone level thought to affect the primary and secondary organs in males and level of androgens hormones (testosterone and dihydrotestosterone or DHT). The objective of these experiment was to determine the spermatogenesis, prostate glands activity and the production of androgen hormone (testosterone and DHT) of rats after given of purwoceng extract and it influence of dose and age. The treatment were given orally for 14 days in three age groups (puberty, adult and old) of male rats by received the dose of 25 mg and 50 mg and 0 mg as control. The results shows an increase of the stage of spermatogenesis in the seminiferous tubules after all age groups received purwoceng extract with 50 mg dose of purwoceng was the best since it had the highest response. In addition, these experiment shows there has been an increase of the percentage of prostate glands activity producing prostate fluid. The animals who received the 50 mg purwoceng extract showed the highest response at any age. The effect of the purwoceng extract on the concentrations of androgens (testosterone and DHT) was higher and lower in some age group, but has not perfomed significant effects (p> 0.05). In conclusion of these experiment shows the stage of spermatogenesis, prostate glands activity and the production of androgen hormones increases at all ages, while at the age of puberty the DHT hormone production decreases after giving purwaceng extract. Keywords: androgen, Pimpinella alpina, prostat gland, spermatogenesis
ii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRAKATA Puji dan syukur penulis persembahkan pada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkatNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Histomorfologi Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat Tikus (Rattus Norvegicus) serta Konsentrasi Hormon Androgen Pasca Pemberian Ekstrak Purwoceng (Pimpinella Alpina Molk.)” yang telah dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Oktober 2012. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program Magister pada Program Studi Biologi Reproduksi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada drh. Bambang Purwantara, M.Sc., Ph.D selaku ketua komisi pembimbing dan drh. Adi Winarto, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing atas kontribusi dalam memberikan bimbingan, perhatian dan membina penulis sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr selaku dekan Pascasarjana IPB, Prof. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS., Ph.D. APVet selaku ketua Departemen KRP Fakultas Kedokteran Hewan, serta Prof. Dr. drh. Mohamad Agus Setiadi selaku ketua Program Studi BRP Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen Program Studi BRP. Penulis ucapkan terima kasih dengan rasa bangga kepada orang tua penulis Ayahanda terkasih Piter Markus Simanjuntak, S.H., M.Si, yang senantiasa mengiringi penulis dalam doa, dukungan dan kasih sayang dan kepada our Edelweis, Ibunda terkasih Dumaria Siahaan (Alm). Terima kasih juga kepada kakak, abang, dan adik tersayang Ezra Triyani Simanjuntak, SE. Ak., Mulia Hizki Hatorangan Simanjuntak, SH. MH., Putri Karolina Pitria Simanjuntak, serta my cher supérieurs Stefanus Jemianus Lepa, S.Pt atas doa dan dukungannya kepada penulis. Kepada drh. Nuryanto, M.Si, drh. Leni Maylina, M.Si, drh. Mawar Subangkit, M.Si serta Neneng Mardianah, M.Si, sebagai rekan ilmiah terdekat, penulis ucapkan terima kasih atas kebersamaan, kerjasamanya dan atas ide-ide ilmiah serta motivasi yang telah diberikan sampai saat ini. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada teknisi dan laboran lab. Histologi, lab. Mikrobiologi SPSS, lab. Patologi dan khususnya SEAMEO BIOTROP. Tak lupa juga penulis sampaikan terimakasih kepada rekan-rekan mayor BRP dan IBH angkatan 2010– 2012 serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu terima kasih atas dukungan yang senantiasa diberikan selama masa studi. Semoga tesis ini dapat bermanfaat. Terima kasih dan salam.
Jakarta, Januari 2013
Laura Chronika Hosianna Simanjuntak
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang
1 1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Kerangka Pemikiran
2
Hipotesis
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
5
Kandungan Bahan Aktif Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
6
Tikus (Rattus norvegicus)
7
Spermatogenesis
7
Kelenjar Prostat
10
Hormon Androgen (Testosteron dan Dihidrotestosteron)
13
METODE PENELITIAN
15
Waktu dan Lokasi Penelitian
15
Hewan Coba
15
Bahan Penelitian
15
Persiapan Hewan Coba
15
Protokol Kerja
15
Analisis Histomorfologis Tubulus Seminiferus
16
Analisis Histomorfologis Kelenjar Prostat
17
Prosedur Histomorofologis Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat 17 Analisis Hormon
18
Analisis Data
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
19
Hasil
19
Derajat Spermatogenesis
19
Aktivitas Kelenjar Prostat
22
Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron)
26
iv
Konsentrasi Hormon Androgen (Dihidrotestosteron)
27
Pembahasan
28
SIMPULAN DAN SARAN
37
Simpulan
37
Saran
37
DAFTAR PUSTAKA
38
LAMPIRAN
44
v
DAFTAR TABEL 1
Deskripsi Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
2
Kriteria Penilaian Derajat Spermatogenesis
16
3
Kriteria Histomorfologis Kelenjar Prostat Aktif dan Non Aktif
17
4
Derajat spermatogenesis
21
5
Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron) (ng/mL)
27
6
Hasil Uji Duncan Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron)
27
7
Konsentrasi Hormon Androgen (Dihidrotestosteron) (ng/mL)
28
8
Hasil Uji Duncan Konsentrasi Hormon Androgen (Dihidrotestosteron) 28
vi
6
DAFTAR GAMBAR 1
Bagan Kerangka Pemikiran
4
2
Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)
5
3
Histologi Tubulus Seminiferus “10x”
8
4
Histologi Umum Kelenjar Prostat “4x”
12
5
Histologi Ujung Kelenjar Prostat “40x”
12
6
Jalur Biosintesis Testosteron
13
7
Struktur Kimia Testosteron dan Dihidrotestosteron
14
8
Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Pubertas (HE)
19
9
Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Dewasa (HE)
20
10
Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Pubertas (HE)
20
11
Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat (HE) “10x”
23
12
Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat (HE) “40x”
24
13
Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (Aktif dan Non aktif) (Faktor Dosis Terhadap Aktivitas Kelenjar Prostat)
14
25
Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (Aktif dan Non aktif) (Faktor Umur Terhadap Aktivitas Kelenjar Prostat)
vii
26
DAFTAR LAMPIRAN 1
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (Dosis-umur pubertas)
2
44
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (Dosis-umur dewasa)
3
45
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (Dosis-umur tua)
4
46
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (Umur-dosis 0)
5
47
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (Umur-dosis 25 mg)
6
48
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (Umur-dosis 50 mg)
7
49
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (testosteron) (Dosis-umur pubertas)
8
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (testosteron) (Dosis-umur dewasa)
9
52
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (testosteron) (Umur-dosis 0)
11
53
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (testosteron) (Umur-dosis 25 mg)
12
54
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (testosteron) (Umur-dosis 50 mg)
13
55
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (DHT) (Dosis-umur pubertas)
14
56
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (DHT) (Dosis-umur dewasa)
15
57
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (DHT) (Dosis-umur tua)
16
51
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (testosteron) (Dosis-umur tua)
10
50
58
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (DHT) (Umur-dosis 0)
59 viii
17
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (DHT) (Umur-dosis 25 mg)
18
60
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (DHT) (Umur-dosis 50 mg)
61
ix
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu herbal di Indonesia yang telah dikenal sebagai tanaman afrodisiaka adalah purwoceng (Pimpinella alpina Molk.). Herbal dari genus Apiaceae ini terkenal karena khasiatnya yang dapat meningkatkan stamina dan meningkatkan libido. Purwoceng telah menjadi salah satu komoditasi tanaman obat komersial yang diolah sebagai obat tradisional (jamu) ataupun minuman khas masyarakat di daerah asalnya yaitu dataran tinggi Dieng. Pada saat ini purwoceng telah diperdagangkan dan dikonsumsi sebagai obat atau jamu diantaranya berupa bubuk dan kapsul atau dijadikan sebagai campuran kopi, teh, dan susu. Seluruh bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional. Menurut Heyne (1987), ekstrak purwoceng dapat digunakan sebagai obat diuretik, tonik, dan terutama sebagai afrodisiaka. Darmawati dan Roostika (2006) melaporkan bahwa beberapa aspek yang telah diteliti sampai tahun 2006 antara lain mengenai budidaya, kultur in vitro, fitokimia serta efek farmakologi sedangkan aspek reproduksi belum banyak dilaporkan. Sidik et al. (1975) melaporkan bahwa dalam akar purwoceng terkandung bergapten, isobergapten, dan spondin yang semuanya termasuk ke dalam kelompok furanokumarin. Caropeboka dan Lubis (1975) melaporkan pula bahwa purwoceng mengandung senyawa kumarin, saponin, sterol, alkaloid, dan beberapa macam senyawa gula (oligosakarida). Penelitian yang dilakukan oleh Suzery et al. (2004) menemukan adanya kandungan senyawa stigmasterol dalam akar purwoceng. Selain itu, aktivitas farmakologis dari ekstrak purwoceng memiliki daya kerja untuk meningkatkan aktifitas motorik, meningkatkan sensibilitas, merangsang susunan syaraf pusat serta dapat meningkatkan tingkah laku seksual pada jantan (Caropeboka 1980). Beberapa peneliti masih menduga bahwa mekanisme kerja senyawa aktif dari purwoceng berpengaruh langsung untuk merangsang syaraf pusat atau langsung diubah menjadi testosteron di dalam darah. Berbagai penelitian ekstrak purwoceng dalam bidang reproduksi yang telah dilakukan antara lain peningkatan level hormon LH (luteinizing hormone), FSH (follicle stimulating hormone), testosteron (Taufiqqurachman 1999), tingkat libido, spermatogenesis (Juniarto 2004), bobot ovarium dan uterus (Hapsari 2011), efek androgenik terhadap anak ayam jantan (Usmiati 2010) dan androgenik pada organ reproduksi betina dara (Achmadi 2011). Konsentrasi hormon testosteron akan meningkat secara normal ketika masa pubertas dicapai dan menurun seiring meningkatnya umur. Menurut Taufiqqurachman (1999) peningkatan level hormon LH dan testosteron yang terjadi sebagai akibat dari senyawa bioaktif yang terdapat pada purwoceng berhubungan dengan keadaan tubulus seminiferus dalam proses pembentukan spermatozoa. Selain itu, hormon androgen juga bertanggung jawab terhadap perkembangan kelenjar asesoris diantaranya kelenjar prostat. Pada manusia dengan adanya peningkatan hormon dihidrotestosteron (DHT) yang berlebihan dapat memicu hiperplasia kelenjar prostat dan menyebabkan benign prostatic hyperplasia (BPH).
2
Menurut Sjamsuhidayat dan De Jong (1998), adanya ketidaknormalan kelenjar prostat diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem endokrin khususnya golongan androgen yang berkorelasi dengan adanya pertambahan umur dan pola hidup. Informasi mengenai kelanjutan efek dari peningkatan level hormon testosteron terhadap organ reproduksi jantan dan hormon androgen lainnya yaitu DHT masih belum jelas. Hormon DHT diduga berpengaruh terhadap kelenjar prostat. Sampai saat ini penelitian yang menitikberatkan pengaruh pemberian ekstrak purwoceng terhadap organ reproduksi jantan khusunya pada kelenjar asesoris masih jarang dilaporkan. Kelenjar asesoris memiliki peran penting pada hewan jantan. Oleh karena itu diperlukan studi mengenai histomorfologi tubulus seminiferus dan kelenjar prostat tikus (Rattus novergicus) serta konsentrasi hormon androgen pasca pemberian ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina Molk.). Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari tahapan spermatogenesis dalam tubulus seminiferus dan aktifitas kelenjar prostat kelompok umur tikus jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng. Tujuan lainnya adalah untuk mempelajari tingkat produksi hormon androgen (testosteron dan DHT) setiap kelompok umur tikus jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng serta menentukan dosis yang memberikan pengaruh terbaik pada masing-masing kelompok umur. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai perubahan histomorfologik dan kinerja hormon androgen pada tikus jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng. Manfaat lainnya diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai pengaruh ekstrak purwoceng terhadap produksi semen. Kerangka Pemikiran Pimpinella alpina Molk. atau lebih dikenal sebagai tanaman purwoceng dilaporkan memiliki khasiat afrodisiaka yang mampu meningkatkan kadar hormon testosteron pada tikus jantan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa purwoceng memiliki kandungan beberapa senyawa kimia antara lain saponin, sterol, stigmasterol, bergapten, isobergapten, spondin, kumarin, sejumlah kecil alkaloid dan karbohidrat golongan oligosakarida. Efek dari beberapa kandungan senyawa bioaktif tersebut dapat meningkatkan sensibilitas, merangsang susunan syaraf pusat dan meningkatkan aktivitas motorik. Beberapa senyawa bioaktif yang terkandung di dalam purwoceng dapat memacu peningkatan hormon testosteron dan memberikan pengaruh terhadap tingkah laku seksual pada hewan jantan. Hormon testosteron digunakan sebagai substrat dasar dalam spermatogenesis di dalam tubulus seminiferus. Pada tubulus seminiferus terdapat beberapa kelompok sel-sel germinal yang menyusun beberapa lapisan dan setiap lapisan menunjukkan perbedaan generasi (Widotama 2008). Jumlah sel spermatogenik sangat tergantung pada aktivitas tubulus seminiferus yang dipengaruhi oleh sistem hormon, sehingga faktor endokrin mempunyai efek paling penting terhadap
3
spermatogenesis. Testosteron di produksi melalui rangsangan hipotalamus, hipofisis anterior dan sampai ke organ target yaitu testis. Tingginya konsentrasi testosteron akan memengaruhi stimulasi ke hipotalamus melalui mekanisme umpan balik negatif (negative feedback mechanism) dan secara otomatis menekan pengeluaran GnRH (Gonadothropin Releasing Hormone). Hormon testosteron kemudian direduksi menjadi hormon DHT melalui suatu mekanisme enzimatis. Enzim yang bertanggung jawab dalam proses tersebut adalah enzim 5α-reductase. DHT adalah metabolit sekunder dari hormon testosteron yang lebih kuat khususnya dalam perkembangan organ kelamin sekunder pada jantan. Hormon DHT memiliki peran yang penting dalam perkembangan kelenjar prostat. Adanya peningkatan level hormon testosteron diduga selain memengaruhi proses spermatogenesis, juga akan memberikan pengaruh terhadap konsentrasi metabolit sekundernya yaitu DHT dan dapat memberikan pengaruh terhadap aktivitas organ sekunder lainnya seperti kelenjar asesoris khususnya prostat dalam memproduksi cairan prostat. Secara alamiah, pada masa pubertas terjadi peningkatan level hormon testosteron yang optimum dan menurun pada umur tua. Pemilihan umur hewan coba juga menjadi salah satu pertimbangan. Pemilihan umur hewan coba juga menjadi salah satu pertimbangan, karena diketahui bahwa terdapat perbedaan konsentrasi hormonal ketika masa pubertas konsentrasi hormon androgen (testosteron) meningkat dan pada umur tua konsentrasi hormon akan secara alami menurun. Pemberian ekstrak purwoceng akan memengaruhi proses reproduksi pada tikus jantan, yaitu keberadaan hormon androgen dalam sirkulasi darah ataupun organ target dari masing-masing hormon (perubahan morfologi dan aktivitas dari jaringan dan organ reproduksi tertentu). Berdasarkan gagasan yang telah dijelaskan, terdapat beberapa pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini. Pertama, apakah pemberian ekstrak purwoceng dengan dosis bertingkat memengaruhi derajat spermatogenesis dalam tubulus seminiferus tikus jantan pada setiap kelompok umur. Kedua, adakah pengaruh dari pemberian ekstrak purwoceng terhadap kinerja kelenjar prostat. Ketiga, apakah purwoceng memengaruhi aktivitas kelenjar prostat. Keempat, bagaimanakah konsentrasi hormon androgen (testosteron dan DHT) tikus putih jantan pada setiap kelompok umur dan apakah terdapat perbedaan respon terkait dosis ekstrak purwoceng pada tingkatan umur tertentu. Melalui penelitian inilah diharapkan dapat dibuktikan, apakah pemberian herbal yang telah dikenal sebagai afrodisiaka yang berasal dari ekstrak purwoceng akan memengaruhi tubulus seminiferus, kelenjar prostat serta hormon androgen. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap tubulus semiferus untuk membuktikan derajat spermatogenesis dan aktivitas kelenjar prostat serta pengujian hormon androgen.
4
Ekstrak purwoceng Hipotalamus Hipofisa anterior FSH
LH Testis (sertoli&leydig)
Testosteron Organ seks primer
(testis : Spermatogenesis)
Enzim 5α-reduktase
Dihidrotestosteron Organ seks sekunder
(asesoris : prostat) Gambar 1
Bagan Kerangka Pemikiran
Hipotesis Berdasarkan uraian kerangka pemikiran maka dapat diambil hipotesis sebagai berikut, yaitu : (1) terjadi peningkatan derajat spermatogenesis dalam tubulus seminiferus pada setiap kelompok umur tikus putih jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng; (2) terjadi peningkatan aktivitas kelenjar prostat pada setiap kelompok umur tikus putih jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng; (3) terjadi peningkatan produksi hormon androgen (testosteron dan DHT) pada setiap kelompok umur tikus putih jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng.
5
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) Purwoceng memiliki nama latin Pimpinella pruatjan Molk. atau Pimpinella alpina Molk. Tanaman purwoceng (Gambar 2) merupakan salah satu tanaman yang termasuk dalam tanaman herba aromatik komersial endemik yang dapat digunakan sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik. Tanaman purwoceng memiliki berbagai nama daerah yaitu Gebangan Depok, Suripandak Abang, atau Antanan Gunung (Soenanto et al. 2009). Tanaman purwoceng termasuk jenis tanaman terna menahun. Tanaman ini dapat ditemukan di dataran tinggi Dieng. Purwoceng juga ditemukan di sekitar gunung Gede Pangrango (Jawa Barat) namun keadaannya sekarang tidak diketahui. Di Jawa Timur, purwoceng ditemukan di pegunungan Anjasmoro dalam keadaan genting (Heyne 1987). Menurut hasil penelitian Hidayat et al. (2007) di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru masih ditemukan 13 jenis tanaman obat langka salah satunya purwaceng, tetapi tanaman ini hanya ditemukan di daerah perkebunan penduduk.
Gambar 2
Tanaman purwoceng
Erosi genetik secara besar-besaran mengakibatkan populasi tanaman purwoceng di Gunung Pangrango Jawa Barat dan area pegunungan di Jawa Timur musnah karena pembabatan bagian akarnya yang dimanfaatkan sebagai viagra Jawa (Darwati dan Roostika 2006). Tahun 1990, Rifai melaporkan bahwa tanaman purwoceng digolongkan sebagai salah satu tumbuhan obat langka dengan kategori genting (endangered species). Daerah pengembangan budidaya purwoceng saat ini hanya di Dataran Tinggi Dieng dengan luasan terbatas, pada ketinggian 1.850 – 2.050m dpl, dan suhu antara 15 – 21°C (Rahardjo et al. 2006). Taksonomi tanaman purwoceng menurut Rahardjo (2003) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisio : Angiospermae Kelas : Dicotiledonae Subclass : Rosidae Ordo : Apiales (Umbelliflorae)
6
Family Genus Species Tabel 1 Spesifikasi
: Apiaceae (Umbelliferae) : Pimpinella : Pimpinella alpina Molk. Deskripsi Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) Deskripsi
Habitat Semak, menutup tanah, tinggi ± 25 cm Jenis akar Tunggang seperti gingseng Jenis batang Terlihat basah, semu (antara batang dan tangkai), bulat, lunak, hijau pucat atau keunguan, panjang ± 20 cm, jumlah tangkai per pohon ± 38-46 buah Jenis daun Majemuk dan menyirip, berbentuk seperti jantung atau payung (bulat), panjang ± 3 cm, lebar ± 2,5 cm, tepi daun bergerigi, ujung tumpul, pangkal bertoreh, tangkai panjang ± 5 cm, coklat kehijauan, hijau Bunga Majemuk, bentuk payung, tangkai silindris, panjang + 2 cm, kelopak bentuk tabung, hijau, benang sari putih, putik bulat, hijau, mahkota berambut, coklat Buah Lonjong, kecil, hijau Biji Lonjong, kecil, coklat Sumber: Darmawati dan Roostika (2006), Achmadi (2011), Hapsari (2011), Sunanto et al. (2009)
Kandungan Bahan Aktif Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) Penelitian mengenai kandungan bahan aktif dari tanaman purwoceng telah banyak dilakukan. Purwoceng mengandung metabolit sekunder yaitu turunan kumarin, sterol, saponin, alkaloid (Caropeboka dan Lubis 1975), kelompok furanokumarin seperti bergapten, isobergapten, dan sphondin (Sidik et al. 1975), saponin, alkaloid, glikosida, kumarin, triterpenoid-steroid, flavonoid, dan tanin (Rostiana et al. 2003). Menurut Suzery (2004) dan Henny (2002) terdapat adanya senyawa stigmasterol dalam tanaman purwoceng. Penelitian yang dilakukan oleh Hernani dan Rostiana (2004) menunjukkan bahwa yang teridentifikasi secara kualitatif adalah senyawa turunan kumarin, seperti bergapten, xanthotoksin, mermesin, dan 6,8 dimetoksi umbelliferon. Menurut Rahardjo et al. (2006) terdapat senyawa sitosterol dan antioksidan yaitu berupa vitamin E dalam tanaman purwoceng. Menurut Anwar (2001) hasil penelitian mengenai kandungan senyawa bahan aktif dari purwoceng yang diketahui memberi efek afrodisiaka diantaranya turunan steroid, saponin, alkaloid, dan tanin, dimana senyawa-senyawa tersebut dapat memicu dalam melancarkan sistem peredaran darah. Selain itu, menurut Rahardjo et al. (2006), zat yang berkhasiat pada tanaman purwoceng khususnya yang banyak terdapat pada bagian akar adalah senyawa golongan steroid yaitu sitosterol dan stigmasterol.
7
Tikus (Rattus norvegicus) Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah tikus. Strain tikus laboratorium yang paling umum digunakan khususnya dalam penelitian reproduksi diyakini strain albino hasil domestikasi dari tikus Norwegia yaitu Rattus norvegicus (Hrakiewicz 2007). Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna, mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara lain memiliki berat 150-600 g, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak lebih dari 20-23 mm. Tikus (Rattus norvegicus) sering digunakan pada berbagai macam penelitian karena tikus ini memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi, murah serta mudah untuk mendapatkannya (Ballenger 2000). Klasifikasi tikus (Rattus norvegicus) menurut Myers dan Armitage (2004) yaitu : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Sciurognathi Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan. Ketiga galur tersebut adalah Sprague Dawley yang berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya. Galur Wistar ialah jenis tikus yang ditandai dengan kepala agak besar dan ekor yang lebih pendek. Galur Long Evans ialah jenis tikus yang ukurannya lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989). Galur Sprague Dawley mempunyai daya tahan terhadap penyakit dan cukup sensitif dibandingkan dengan galur lainnya (Hrakiewicz 2007). Spermatogenesis Spermatogenesis merupakan proses pembelahan dan diferensiasi sel yang berlangsung di tubuli seminiferi testis dengan produk akhir spermatozoa. Proses tersebut melibatkan sel-sel germinal testis, yaitu spermatogonia, spermatosit dan spermatid serta didukung oleh sel somatis (sel Sertoli) dan sel Leydig di jaringan interstisial (Gambar 3). Spermatogenesis terbagai atas tiga proses penting, yaitu spermatositogenesis (pembelahan mitosis), meiosis, dan spermiogenesis (diferensiasi spermatid) (Johnson et al. 2000). Spermatogenesis adalah proses dimana spermatogonia berkembang menjadi spermatozoa matang. Spermatogenesis merupakan proses gametogenesis pada jantan. Spermatogenesis sangat tergantung pada kondisi tubulus seminiferus yang optimal, dimulai saat pubertas dan biasanya menurun pada umur tua.
8
Spermatozoa
Gambar 3 Histologi Tubulus Seminiferus “10x” (Ross et al. 2006)
Penurunan kuantitas dan kualitas sperma dipengaruhi oleh produksi hormon sesuai dengan peningkatan umur. Spermatogenesis dimulai dari membran basal tubulus seminiferus, dimana di sepanjang bagian tersebut terdapat spermatogonium yang diakhiri pada bentuk spermatozoa dan akan dilepaskan di lumen (saluran bagian tengah tubulus seminiferus) (Walker 2010). Proses spermatogenesis dibagi menjadi beberapa tahap yang berbeda, masing-masing sesuai jenis dari sel yang terbentuk. Tahapan-tahapan tersebut adalah : A. Spermatositogenesis Spermatositogenesis dimulai dengan berkumpulnya spermatogonia primordial pada tepi membran basal dari epitel germinativum dan diproses menuju lumen. Spermatositogenesis merupakan proses dimana spermatogonia yang merupakan struktur primitif mengalami mitosis berkali-kali. Selama proses spermatogenesis berlangsung, spermatogonia akan mengalami tahapan perkembangan selanjutnya menjadi spermatosit, spermatid dan spermatozoa dalam satu siklus. Lapisan sel terdalam dari sel-sel epitelium yang melekat pada membran basal disebut spermatogonium (Adyana 2008). Spermatogonium (jamak: spermatogonia) adalah gametogenium intermediate pada jantan (germ cell) dalam rangkaian proses pembentukan spermatozoa. Setiap pembelahan sel dari spermatogonium ke spermatid, sel-sel tetap terhubung satu sama lain melalui jembatan sitoplasma (Garner dan Hafez 2000). Spermatogonia ini mendapatkan nutrisi dari sel-sel sertoli dan berkembang menjadi spermatosit primer. Spermatogonia diaktivasi dalam bentuk aktif spermatogonia tipe A, terdapat beberapa generasi dari spermatogonia tipe A, tergantung dari spesiesnya. Sebagian besar spermatogonia tipe A dibagi dalam bentuk spermatogonia intermediate (Pineda dan Faulkner 2003). Spermatogonia tipe A ini akan membelah empat kali untuk berdiferensiasi menjadi spermatogonia tipe B. Spermatogonia tipe B akan bermigrasi ke arah sentral di antara sel-sel Sertoli. Setiap spermatogonia tipe B di dalam lapisan sel Sertoli akan mengalami modifikasi dan melakukan pembelahan mitosis terakhir untuk menjadi spermatosit primer (Guyton dan Hall 2005).
9
Deskripsi morfologi dari jenis-jenis spermatogoium yaitu : (a) sel tipe A dengan inti gelap dimana sel-sel ini akan memperbanyak diri untuk memberi pasokan spermatogonium yang konstan untuk kepentingan spermatogenesis ; (b) sel tipe antara (intermediate/In) dengan inti pucat, jenis sel ini akan mengalami pembelahan mitosis untuk menghasilkan sel tipe B; (c) sel tipe B, sel ini akan membelah diri untuk menghasilkan spermatosit primer. Morfologi dari spermatosit primer adalah sel pada lapis berikutnya setelah spermatogonium B yang lebih besar diameternya, intinya lebih besar serta lebih banyak mengandung khromatin. Umur sel tersebut pendek karena segera mengalami pembelahan kedua (mitosis) menjadi spermatid, dari satu sel spermatozoa menjadi empat spermatid yang secara morfologis identik, tetapi gen yang dikandung dapat berbeda. Ukuran sel yang kecil, sedikit kromatin pada inti dan sentriol masih terlihat. B. Meiosis Setiap spermatosit primer mengandung kromosom diploid (2n) pada inti selnya dan akan mengalami proses meiosis I. Spermatosit I (primer) akan menjauh dari lamina basalis dan sitoplasma akan semakin banyak Setiap spermatosit primer akan menghasilkan dua sel, yaitu spermatosit sekunder haploid. Masingmasing spermatosit sekunder selanjutnya akan menjalani proses meiosis II untuk menghasilkan 2 buah spermatid haploid (Garner dan Hafez 2000). Sitokinesis pada meiosis I dan II ternyata tidak membagi sel benih yang lengkap terpisah, tapi masih berhubungan lewat suatu jembatan (disebut juga sebagai interceluler bridge). Dibandingkan dengan spermatosit I, spermatosit II memiliki inti yang gelap. C. Spermiogenesis Merupakan transformasi spermatid menjadi spermatozoa oleh serangkaian perubahan morfologi yang berlangsung dengan cepat secara kolektif dimana setelah kehilangan sebagian dari sitoplasma, spermatid kemudian mengalami diferensiasi menjadi spermatozoa. Spermiogenesis menurut Garner dan Hafez (2000) meliputi 4 tahap yaitu tahap golgi (golgi phase), tahap tudung (cap phase), tahap akrosom (acrosomal phase) dan tahap pematangan (maturation phase). a. Tahap golgi akan terbentuk badan golgi, axonema dan terjadi kondensasi pada DNA. Tahap ini ditandai dengan pembentukan butiran proacrosomal dalam aparatus golgi, dari penggabungan butiran menjadi granul akrosom tunggal kemudian granul akrosom menjadi granul inti. Selain itu, sentriol proksimal akan bermigrasi dekat dengan inti yang diperkirakan membentuk dasar dari ekor ke kepala. b. Tahap tudung dimana saat akrosom makin besar kemudian membentuk lipatan tipis melingkupi bagian kutub yang akan menjadi bagian depan. Pada akhirnya terbentuk semacam tutup pada spermatozoon. c. Tahap akromosom, terjadi redistribusi bahan akrosom. Nukleoplasma berkondensasi, sementara itu spermatid memanjang. Bahan akrosom kemudian menyebar membentuk lapisan tipis meliputi kepala dan tudung, sampai akrosom dan tudung kepala membentuk tudung akrosom. Akrosom mengandung komponen karbohidrat dan enzim hidrolisa yaitu hyaluronidase, neuroaminidase, fosfatase, dan protease. Sementara itu inti spermatid memanjang dan menipis. Butiran nukleoplasma mengalami
10
transformasi menjadi filamen-filamen yang lebih pendek dan tebal serta kasar. d. Tahap pematangan merupakan transformasi akhir dari spermatid yang memanjang ke dalam sel yang akan dilepaskan ke dalam lumen tubulus seminiferus. Tahap ini melibatkan perubahan bentuk spermatid sesuai dengan ciri spesies. Ketika akrosom terbentuk sentriol pun bergerak kekutub yang bersebrangan. Sentriol terdepan membentuk flagellum, sentriol-sentriol membentuk di sekeliling pangkal ekor. Mitokondria membentuk cincin-cincin di bagian middle piece ekor, dan fibrosa pada bagian luar. Mikrotubul muncul dan berkumpul dibagian samping spermatid membentuk satu batang besar. Ketika ekor mengalami diferensiasi, sitoplasma sisa yang diselaputi membran melepaskan diri kesamping (reduksi sitoplasma difagosit oleh sel Sertoli). Kelenjar Prostat Organ reproduksi pada jantan dilengkapi dengan kelenjar-kelenjar asesoris yaitu kelenjar vasikularis, kelenjar prostat, dan kelenjar bulbouretralis. Kelenjar ini memiliki konsistensi kenyal, elastis dan banyak saluran berbentuk tubulo alveolar yang merupakan kelenjar-kelenjar submukosa dan kelenjar prostatis. Kelenjar prostat memiliki fungsi sebagai penghasil cairan semen yang menyumbang hingga 30 persen dari volume plasma semen. Kelenjar prostat memproduksi cairan seminal dan sekresi lain yang menjaga kelembaban saluran uretra. Saluran-saluran tersebut berhubungan dengan uretra. Lumen kelenjarkelenjar dan duktus-duktus dibatasi oleh epitelium silindris sederhana. Kelenjar prostat pada rodensia terdiri dari dua bagian yaitu bagian ventral dan prostat dorsalateral (Roth MY dan Page ST 2011). Menurut Jesik, et al 1982 dalam Mohamad et al. (2001) kelenjar prostat tikus dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu dorsal (DP), lateral (LP), dan ventral (VP). Masing-masing lobus prostat dikelilingi oleh stroma yang sangat tipis dan hanya terdiri dari beberapa lapis sel spindle yang diselingi oleh serat kolagen diantaranya (Harmelin et al. 2005). Prostat berupa kelenjar yang terletak di bawah kantung kemih dan mengelilingi saluran uretra (Gambar 4). Histologi kelenjar prostat terdiri dari stroma dan epitel glandular yang berbentuk kuboid (Gambar 5). Penyebaran prostat meluas sejauh saluran kelenjar bulbourethral. Ukuran prostat berbeda-beda, protat banteng lebih kecil jika dibanding babi hutan (Hafez 2000). Lapisan epitel pada kelenjar prostat berbentuk kuboid, dengan sitoplasma eosinofilik granular dan inti basal kecil yang seragam, lumen kelenjar yang relatif besar dan mengandung partikulat sekresi eosinofilik yang melimpah. Bagian lateral prostat memiliki permukaan luminal yang datar, dengan lipatan mukosa yang tersebar dimana-mana. Prostat bagian dorsal pada tikus terdiri dari saluran bercabang dan kelenjar dilapisi oleh epitel kolumnar sederhana dan terkadang agak berlapis dan berumbai. Prostat bagian ventral juga dilapisi oleh mukosa datar dengan rumbai lipatan sel-sel epitel (Słuczanowska 2006). Lapisan sel-sel sekretori memiliki sedikit sitoplasma eosinofilik granular ringan dan dari pusat sampai basal memiliki keseragaman inti, yang berisi nukleolus kecil. Lumena glandular mengandung sekresi eosinofilik yang homogen. Lobus umumnya dimanifestasikan oleh kapsul mesothelial berlapis
11
tipis yang memisahkan berbagai lobus dari satu sama lain (Harmelin et al. 2005 dan Santamari 2007). Fungsi kelenjar prostat adalah menambah cairan alkalis pada cairan seminalis untuk melindungi spermatozoa. Teori yang telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia ialah bahwa konsentrasi hormon DHT dalam tubuh merupakan hormon utama yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat (Roth MY dan Page ST 2011). Kelenjar ini merupakan kelenjar yang terletak di bawah vesika urinaria melekat pada dinding bawah vesika urinaria di sekitar uretra bagian atas. Letaknya di bawah kandung kemih mengelilingi uretra dan terdiri dari kelenjar majemuk, saluran dan otot polos. Berbeda dengan manusia, kelenjar prostat terbungkus oleh stroma dan kapsul ke dalam kelenjar tunggal tanpa jaringan adiposa. Prostat tikus dibagi menjadi empat lobus berbeda. Setiap lobus dikelilingi dan dipisahkan antar bagian oleh fibrosa dan jaringan ikat adiposa (Harmelin 2005). Kelenjar prostat berkembang dari invaginasi epitel dari sinus urogenital posterior di bawah pengaruh mesenkim. Pembentukan dari kelenjar prostat membutuhkan pengaruh 5α-dihydrotestosterone yang disintesa dari testosteron fetal oleh 5α-reductase (Nevalainen et al. 2000). Enzim ini dijumpai pada sinus urogenital dan genitalia ekternal. Defisiensi 5α-reductase akan menyebabkan prostat yang mengecil atau sama sekali tidak ada, walaupun epididimis, vasa deferentia dan vesika seminalis tetap normal. Sekresi prostat merupakan komponen utama dalam cairan seminal yang kaya akan fosfatase asam, yaitu enzim yang dihasilkan terutama oleh kelenjar prostat dan didapatkan dalam kadar tinggi di dalam semen (Wright et al. 2000). Pada rodensia, sebagian besar fruktosa yang terdapat dalam plasma ejakulat dihasilkan oleh kelenjar prostat dorsal. Sekreta kelenjar prostat berperan penting untuk meningkatkan motilitas spermatozoa. Semen beberapa spesies mamalia mengalami koagulasi sebelum ejakulasi tetapi kemudian mencair kembali. Hal ini diduga disebabkan oleh kerja enzim-enzim proteolitik kelenjar prostat. Kelenjar koagulasi juga terdapat pada rodensia seperti tikus dan mencit, yaitu merupakan derivat dari kelenjar prostat dan kadang-kadang tampak sebagai lobus anterior prostat (Tenzer 1996). Prostate spesific antigen (PSA) juga merupakan konstituen yang ditemukan dalam cairan prostat . Stroma atau sel otot polos, fibroblas dan sel endotel berada dalam stroma dan sel-sel epitel yang sekretori sel, sel basal dan sel neuroendokrin (Shappell 2004). Jaringan stroma dan kapsul dipenuhi dengan reseptor adrogenik-α1. Kelenjar-kelenjar seks asesoris jantan menyalurkan sekretanya ke dalam uretra. Pada waktu terjadi ejakulasi, ejakulat yang pertama kali memasuki uretra adalah ejakulat bebas sperma yang berasal dari kelenjar bulbouretra, kemudian disusul dengan ejakulat kedua yang kaya sperma serta mengandung sekresi vesikula seminalis dan kelenjar prostat (Garner dan Hafez 2000). Pada waktu lahir, kelenjar prostat berukuran kecil dan tumbuh bersamaan dengan peningkatan produksi androgen menjelang masa pubertas. Pada manusia, ketika umur manusia dewasa kelenjar prostat masih stabil sampai umur 50 tahun yang selanjutnya mulai terjadi pembesaran (Connell 1999). Cairan prostat adalah cairan yang mengandung asam sitrat, kalsium, seng, asam fosfatase dan fibrinolisin antara konstituen. Sifat yang sedikit basa dari cairan prostat penting dalam keberhasilan fertilisasi ovum. Hal ini penting karena cairan vas deverens
12
relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme. Apabila tidak terjadi penetralan akan berakibat penghambatan fertilisasi sperma. Pada manusia, sekreta vagina bersifat asam (pH 3,5 sampai 4,0), sedangkan sperma tidak akan bergerak secara optimal sampai pH sekitarnya meningkat antara 6 sampai 6,5. Cairan prostat diduga dapat menetralkan sifat asam dari cairan lainnya setelah ejakulasi dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma (Guyton 1997). Kelenjar prostat bekerja dibawah pengaruh hormon androgen. Sel-sel kelenjar prostat tikus yang dilaporkan oleh Tsukise dan Yamada (1981) dalam Desiani et al. (2000) mengandung karbohidrat netral dengan konsentrasi sedang dan karbohidrat asam dengan konsentrasi lemah. Tidak terdapatnya kandungan karbohidrat asam pada kelenjar prostat diperkirakan karena kelenjar tersebut tidak mengandung karbohidrat asam, telah kehilangan kemampuan mensintesis karbohidrat asam atau sel-sel kelenjar tersebut tidak dalam fase mensintesis karbohidrat (Mohamad et al. 2001). Uretha Smooth muscle Mucosa ephitelium
Prostat fluid
Vas deverens
Gambar 4
Histologi Umum Kelenjar Prostat “4x” (Smith 2006)
lumen
Mucosa ephitelium
Smooth muscle Prostat fluid
Gambar 5 Histologi Ujung Kelenjar Prostat “40x” (Smith 2006)
13
Hormon Androgen (Testosteron dan Dihidrotestosteron) Fisiologi reproduksi hewan jantan dikontrol secara endokrin oleh sekresi Gonadothropin Releasing Hormone (GnRH) pada tingkat paracrine di hipotalamus. Sintesa hormon steroid seks diproduksi terutama oleh gonad dan diatur oleh dua jenis hormon gonadotropik yang dihasilkan oleh hipofisa anterior. GnRH merangsang kelenjar hipofisa anterior untuk mengekskresikan dua hormon gonadotropin, yaitu Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). FSH dsn LH dari hipofisa membawa pengaruh baik pada ovarium maupun testis. Hipofisa anterior bertanggung jawab untuk berbagai hormon yang mengontrol banyak aspek dari aktivitas fisiologis. LH merupakan perangsang utama testosteron di dalam testis (Garner dan Hafez 2000). Salah satu hasil dari proses steroidogenesis pada kelenjar adrenal adalah prekursor androgen, dehidroepiandrosteron dan androstenedion (Murray 2003). Androgen adalah hormon penting untuk jantan karena memiliki peran karakteristik selama diferensiasi seksual jantan, tetapi juga selama pengembangan dan pemeliharaan karakteristik sekunder jantan serta pemeliharaan spermatogenesis. Prekursor langsung bagi hormon steroid adalah kolesterol, proses pembentukan hormon androgen yaitu testosteron yang diawali dengan pengangkutan kolesterol ke membran interna mitokondria oleh protein Steroidogenic acute regulatory (StAR) (Brinkmann 2009). Kolesterol kemudian mengalami proses oleh kerja enzim P450scc lalu terjadi konversi kolesterol menjadi pregnenolon. Pregnenolon akan dikonversi menjadi 17-OH pregnenolone dan progesteron yang kemudian akan terbentuk dehidroepiandrosteron dari 17-OH pregnenolon serta androstenedion dari progesteron melalui 17-OH progesteron yang selanjutnya kedua prekursor androgen ini akan dikonversi menjadi testosteron (Gambar 6). (Brinkmann 2009). Hormon testosteron 95% disintesis oleh sel Leydig dari kolesterol ester yang tersimpan pada lemak yang berada didalam sel Leydig, dan sisanya berasal dari dalam korteks adrenal serta hasil dari konversi prekusor dalam jaringan perifer. Apabila rangsangan awal testosteron yang terjadi hanya sedikit maka testosteron akan mempertahankan spermatogenesis untuk waktu yang lama (Guyton dan Hall 2005). Konsentrasi testosteron yang beredar dalam tubuh secara bertahap meningkat menjelang dewasa dan menurun secara bertahap ketika umur semakin menjelang umur tua (Roth MY dan Page ST 2011).
Gambar 6 Jalur biosintesis Testosteron (Flück et al. 2003)
14
Dua androgen yang paling penting dalam reproduksi jantan adalah testosteron dan dihidrotestosteron. Testosteron secara langsung terlibat dalam pengembangan dan diferensiasi struktur duktus wolfii, sedangkan dihidrotestosteron adalah metabolit sekunder dari testosteron (Shaw et al. 2005). Marks (2004) menyimpulkan bahwa testosteron adalah androgen utama yang bersirkulasi tetapi bukan nutrisi utama bagi perkembangan prostat, hormon yang bertanggung jawab adalah DHT yang merupakan turunan atau metabolit sekunder dari testosteron dalam sel prostat. Prinsip dari stimulasi hormon androgen di dalam kelenjar prostat yaitu ketika level testosteron normal atau terjadi sedikit peningkatan di dalam serum sebesar 10%-20% yang merupakan hasil dari pemblokan enzim. Androgen intraprostat yang utama adalah DHT bukan testosteron dan hanya produksi hormon DHT yang ditekan oleh enzim 5areductase (Wright et al.1999) Hormon DHT adalah androgen yang lebih kuat dibandingkan dengan hormon utamanya yaitu testosteron (Roth MY dan Page ST 2011). Testosteron bertanggung jawab dalam diferensiasi duktus wolfii dan turunannya (vesika seminalis, epididimis, dan saluran ejakulasi) setelah pubertas testosteron menyebabkan maskulinasi (pembentukan massa otot, perubahan suara, libido, pertumbuhan seks eksternal, dan spermatogenesis). Hormon DHT bertanggung jawab pada diferensiasi normal genitalia eksternal, sedangkan pada dewasa dan tua bertanggung jawab penuh dalam penyusutan kelenjar prostat, mengurangi LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) (Marks 2004). Testosteron dalam serum memiliki sekitar 10 kali lebih banyak dibanding konsentrasi DHT, tetapi di dalam kelenjar prostat afinitas DHT terhadap reseptor 10 kali lebih tinggi dibanding level testosteron (Marks 2004). Konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron direduksi oleh enzim 5α-reductase (5AR), yang ada dalam 2 bentuk: tipe 1 dan tipe 2, yang keduanya ditemukan dalam prostat. Testoteron diubah menjadi dihidrostestosteron di dalam target jarigan testosteron yang spesifik (Brinkmann 2009). Sebagian hormon dihidrostestosteron dibentuk di jaringan perifer. Adapun struktur dari kedua hormon tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Enzim 5 alfa reduktase menghilangkan ikatan rantai ganda C4-5 yang terdapat pada hormon utamanya dengan penambahan dua atom hidrogen pada struktur yang baru (Brinkmann 2009). Diduga hormon dihidrotestosteron memainkan peran penting dalam menjaga pemeliharaan perkembangan prostat.
Gambar 7
Struktur kimia Testosteron dan Dihidrotestosteron (Brinkmann 2009)
15
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Oktober 2012 yang dilakukan pada tiga tempat yaitu Laboratorium Hewan Percobaan SEAMEO BIOTROP, Laboratorium Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB dan Laboratorium Mikrobiologi PSSP-IPB. Hewan Coba Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus putih jantan Rattus norvegicus strain Sprague Dawley dengan tiga umur yaitu pubertas (7-9 minggu) (Mohamad 2001), dewasa (4-5 bulan), dan tua (16-18 bulan). Jumlah tikus putih jantan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 27 ekor. Hewan coba tersebut diperoleh dari Laboratorium Patologi FKH IPB. Bahan Penelitian Bahan utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tanaman purwoceng dengan umur panen 1 tahun. Bagian tanaman yang digunakan adalah keseluruhan tanaman (akar, batang dan daun). Tanaman purwoceng diproses dengan cara maserasi menjadi ekstrak kental dengan pelarut etanol 96% di Laboratorium Uji Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Bogor. Bahan-bahan lainnya adalah aquabidestilata, pakan tikus (pelet), paraformaldehida 4%, kertas tissue, masker, sarung tangan, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol absolute, xylol, paraffin, hematoksilin dan eosin. Analisis hormon menggunakan bahan-bahan antara lain washing solution (larutan pencuci), substrat solution (chromogen, enzim, buffer), stop solution (larutan penyetop reaksi) H 2 SO 4 , dan metanol 80%. Persiapan Hewan Coba Tempat pemeliharaan hewan coba yang meliputi kandang (bak plastik) berbentuk segi empat ukuran 30x12x10 yang ditutup dengan ram kawat yang berisi sekam, tempat pakan dan air minum tikus. Hewan coba diadaptasikan dalam kandang pemeliharaan selama 2 minggu sebelum diberi perlakuan ekstrak purwoceng. Pakan yang diberikan adalah pakan standar dan diberikan secara ad libittum. Protokol Kerja Hewan coba dikelompokan sesuai tiga kriteria umur yaitu satu kelompok kontrol dan dua kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor tikus jantan sebagai ulangan. Kelompok kontrol hanya mendapatkan air minum dan makanan yang sama dengan kelompok perlakuan. Kelompok dua dan tiga adalah kelompok yang diberi perlakuan dengan pemberian ekstrak purwoceng dosis 25mg/kg BB dan 50mg/kg BB yang dilarutkan dalam 1 ml aquadestilata dan diberikan secara cekok dengan menggunakan sonde lambung (kanul bengkok)
16
selama dua minggu. Pada akhir perlakuan, hewan coba dikorbankan dengan cara dianastesi menggunakan ketamine yang disuntikkan secara intraperitoneal (dosis 50-100 mg/kg BB). Kemudian dilakukan pengambilan darah melalui jantung sebanyak 3-6 cc menggunakan spuit (5 ml, 3 ml, dan 1ml), selanjutnya hewan dinekropsi dan diambil organ testis serta kelenjar prostat. Tahap selanjutnya dilakukan pemisahan darah untuk mendapatkan serum darah dengan cara mendiamkan selama satu malam. Kemudian dipisahkan untuk disentrifuse, setelah serum diperoleh dipindahkan ke vial eppendorf 1.5 ml dan di simpan di dalam freezer. Organ testis dan prostat disimpan dalam botol spesimen yang berisi paraformaldehida 4% pada suhu ruang. Tahap selanjutnya diproses di laboratorium untuk dilakukan analisis hormon dan histomorfologi. Analisis Histomorfologis Tubulus Seminiferus Analisis histomorfologi tubulus seminiferus dilakukan dengan menentukan tahapan sel-sel spermatogenik dalam proses perkembangan spermatogenesis (derajat spermatogenesis) sesuai dengan kriteria Jhonsen (Juniarto, 2004). Evaluasi histomorfologis dilakukan dengan pendekatan pewarnaan hematoksilin eosin (HE). Derajat spermatogenesis yg diamati meliputi spermatogonia, spermatosit, spermatid, dan spermatozoa dalam lumen tubulus seminiferus. Pengamatan derajat spermatogenesis ini diamati dari 25 tubuli seminiferi. Setiap perlakuan diamati dengan konsistensi posisi pengamatan yaitu bagian atas, tengah, bawah, kiri dan kanan masing-masing sebanyak lima kali. Metode pembacaan preparat yang sudah umum digunakan yaitu metode sesuai dengan kriteria Johnsen. Kriteria penilaian diamati secara deskriptif kuantitatif dengan nilai 1 sampai dengan 10 seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Kriteria Penilaian Derajat Spermatogenesis Nilai 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
Kriteria Spermatogenesis lengkap dan teratur ; spermatozoa banyak mengumpul ditengah lumen, epitel seminiferus normal, lumen tubulus terbuka Spermatozoa banyak mengumpul ditengah lumen, tampak sebagian epitel seminiferus yang lepas (sloughing), dan lumen tubulus tertutup Epitel seminiferus teratur dan lengkap, akan tetapi jumlah spermatozoa dalam tubulus kurang dari 10 Tidak tampak spermatozoa dalam tubulus seminiferus, tetapi jumlah spermatid banyak Tidak ada spermatozoa dan jumlah spermatid dalam tubulus seminiferus kurang dari 10 Tidak ada spermatozoa dan spermatid dalam tubulus seminiferus, tetapi spermatosit banyak Tidak ada spermatozoa dalam tubulus seminiferus dan jumlah spermatozit kurang dari 5 Germinal cell dalam tubulus seminiferus hanya teridiri dari spermatogonium Dalam tubulus seminiferus tidak terdapat germinal cell hanya sel sertoli Dalam tubulus seminiferus tidak terdapat sel
(Jhonsen 1998 dalam Juniarto 2004)
17
Analisis Histomorfologis Kelenjar Prostat Spesimen yang digunakan adalah kelenjar prostat bagian dorsolateral dan ventral (Harmelin et al. 2005, Heyns dan De Moor 1976). Kelenjar prostat di simpan dalam botol spesimen yang berisi paraformaldehida 4%. Tahap selanjutnya dilakukan pembuatan preparat histomorfologi di Laboratorium Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB. Parameter yang diamati pada pengamatan histomorfologis kelenjar prostat adalah aktivitas kelenjar prostat (aktif dan non aktif) dari setiap lapang pandang. Melalui pengamatan pendahuluan, maka kelenjar prostat aktif di indikasikan dengan adanya cairan prostat yang terwarnai, morfologi mukosa epitel yang meninggi serta lipatan mukosa pada dinding asinus. Hal tersebut menandakan bahwa sel sedang aktif memproduksi cairan prostat. Kelenjar prostat non aktif diindikasikan dengan ujung kelenjar yang tidak memproduksi cairan prostat (tidak terwarnai) dan mukosa epitel yang menipis atau memipih. Kriteria aktivitas kelenjar dapat dilihat pada Tabel 3. Kemudian diamati perbandingannya pada masing-masing kelompok umur setelah diberi perlakuan. Pengamatan dilakukan dengan konsistensi sebanyak lima lapang pandang secara acak untuk setiap preparat, kemudian rerata yang diperoleh dikonversi dalam satuan persen. Tabel 3 Kriteria Penilaian Histomorfologis Aktivitas Kelenjar Prostat (aktif dan non-aktif) Aktivitas Aktif
Nonaktif
a.
b.
e.
f.
Kriteria c.
d.
g.
Ket: a. Lumen ujung kelenjar terisi penuh cairan prostat (terwarnai), b. Lumen ujung kelenjar terdapat sedikit cairan dan mukosa sel tinggi, c. Lumen ujung kelenjar terdapat sedikit cairan dan mukosa sel tipis atau sel memipih, d. Lumen ujung kelenjar kosong namun mukosa sel tinggi (sel sekretori aktif), e-g. Lumen ujung kelenjar kosong dan mukosa sel tipis atau memipih.
Prosedur Histomorfologis Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat Organ testis dan kelenjar prostat dipotong secara melintang setebal 1-2 mm (10x10x3mm) difiksasi selama satu minggu. Tahapan selanjutnya adalah dehidrasi dengan rangkaian alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, dan absolute I, II, III). Kemudian melalui tahap Clearing, yaitu dengan serangkaian larutan xylol setelah itu infiltrasi parafinasi. Tahap selanjutnya organ dicetak atau dibekukan dalam wadah cetakan (embedding) dan di blok dengan parafin, lalu di
18
simpan dalam lemari pendingin selama beberapa hari. Pemotongan dengan alat rotary microtome (ketebalan 4-5 µm). Tahap terakhir yaitu deparafinasi clearing dan rehidrasi untuk pewarnaan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop Olympus CH-20 dengan perbesaran 10x, 20x dan 40x kemudian di foto sebagai data deskriptif. Analisis Hormon Spesimen yang digunakan adalah serum darah tikus. Analisis hormon testosteron dan DHT menggunakan metode ELISA. Analisis kedua hormon tersebut menggunakan analisis dan metode yang sama, hanya dibedakan pada kit dan reagen. Prosedur kerja analisis ELISA yaitu mempersiapkan masing-masing 25µL (kit testosteron) atau 50µL (kit DHT) untuk sampel, larutan standar, dan kontrol sesuai sumur (well) yang tepat dengan penggunaan tips yang berbedabeda. Kemudian menambahkan 200µL konjugat enzim ke dalam setiap sumur. Tahap selanjutnya dilakukan pencampuran selama 10 detik untuk mendapatkan campuran yang sempurna, setelah itu diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang tanpa diberi penutup. Inkubasi tersebut berfungsi agar sampel dan konjugat saling berikatan. Kemudian dilakukan pembilasan well sebanyak 3 kali dengan larutan pencuci (400µL/well) dan secara langsung dikeringkan dengan cara membalikkan microtitterplate, kemudian ditambahkan 100µL larutan substrat atau kromogen pada setiap sumur. Substrat rentan terhadap cahaya, maka larutan di simpan di dalam ruangan bebas cahaya. Reaksi tersebut disempurnakan dengan cara diinkubasi kembali selama 15 menit pada suhu ruang. Proses selanjutnya adalah penghentian reaksi enzimatik dengan menambahkan 100 µL larutan penyetop (stop solution) yaitu H 2 SO 4 . Selanjutnya, setelah penambahan stop solution, microtitterplate dimasukkan ke dalam ELISA reader dengan pembacaan panjang gelombang (OD) 450 nm selama 10 menit. Analisis Data Penelitian ini dilakukan secara eksperimental. Data histomorfologi tubulus seminiferus menggunakan analisis deskriptif dan kelenjar prostat dengan deskriptif kuantitatif. Konsentrasi hormon testosteron dan DHT dianalisis dengan statistik parametrik dengan menggunakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial 3x3 (umur dan dosis) masing-masing tiga ulangan. Program sotfware yang digunakan untuk Anova adalah SPSS 16.0 for windows. Apabila hasil analisis signifikan (p<0.05) maka dilanjutkan dengan uji lanjut.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Spermatogenesis Hasil pengamatan histomorfologis tubulus seminiferus disajikan secara deskriptif sesuai dengan penilaian kriteria Jhonsen (Gambar 8,9 dan 10) yang diwakilkan untuk masing-masing umur dan masing-masing dosis serta tabel rerata derajat spermatogenesis (Tabel 4).
4 3 2 1
A
60 µm
v
B
30 µm
3
4
3 2
2 1
1
4
C
30 µm
D
30 µm
Gambar 8 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Pubertas (HE) A. Gambaran umum tubulus seminiferus umum kontrol pubertas. Bar : 60 µm. B. Pubertas kontrol (P0) spermatosit dominan, C. Pubertas+ekstrak 25 mg (P25) spermatid dominan, D. Pubertas+ekstrak 50 mg (P50) spermatozoa dominan pada lumen. Bar : 30µm. (1) lumen tubulus seminiferus, (2) spermatid, (3) spermatosit, (4) spermatogonium.
20
4
3
1
A
60 µm
2
B
30 µm
4
4
3
3
2 2 1
1 C
30 µm
D
30 µm
Gambar 9 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Dewasa (HE) A.Gambaran umum tubulus seminiferus kontrol umur dewasa. Bar : 60 µm. B. Dewasa kontrol (D0), C. Dewasa+ekstrak 25 mg (D25), D. Dewasa+ekstrak 50 mg (D50), Tahapan spermatogenesis C dan D tidak terlihat begitu berbeda. Pada dewasa sel spermatid lebih dominan. (1) lumen tubulus seminiferus, (2) spermatid, (3) spermatosit, (4) spermatogonium.
3 4
2
1 A
60 µm
B
30 µm
4
3
3
2
4 1
C
2
1
30 µm
D
30 µm
Gambar 10 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Tua (HE) A.Gambaran umum tubulus seminiferus kontrol umur tua. Bar : 60 µm, B. Kelompok Tua kontrol (T0) perkembangan spermatogonium terlihat jarang, C.Tua+ekstrak 25 mg (T25) dan D. Tua+ekstrak 50 mg (T50). Gambar C dan D terlihat peningkatan spermatosit dan spermatozoa. Bar : 30µm. (1) lumen tubulus seminiferus, (2) spermatid, (3) spermatosit, (4) spermatogonium.
21
Pada Gambar 8 memperlihatkan perbedaan derajat spermatogenesis dalam tubulus seminiferus kelompok pubertas yaitu P0, P25, dan P50. Tubulus seminiferus kelompok P0 memperlihatkan derajat spermatogenesis dengan kriteria yang mendominasi yaitu epitel seminiferus teratur dan lengkap, akan tetapi belum terlihat spermatozoa dalam lumen tubulus seminiferus. Tahap spermatid dan spermatosit terlihat lebih banyak serta spermatogonium yang tersusun rapih di membran basalis. Pada kelompok P25 mulai terlihat spermatozoa di tengah lumen, dan lapisan tahap spermatosit lebih sedikit dan spermatid tetap banyak. Hal tersebut mengindikasikan lebih banyaknya bakal sel spermatozoa, sedangkan pada kelompok P50 terlihat spermatozoa lebih memadati sekeliling lumen dan tampak sebagian epitel seminiferus yang lepas (sloughing) serta lumen tubulus tertutup oleh sisa-sisa sitoplasma. Gambar 9 mewakili pengamatan pada umur dewasa, yang terlihat adalah keadaan bagian lumen tubulus seminiferus yang lebih banyak dipenuhi oleh spermatozoa. Pada kelompok D0, D25, dan D50 memperlihatkan peningkatan derajat spermatogenesis yang lebih baik antar dosis. Gambaran tubulus seminiferus dewasa kontrol terlihat berbeda dengan pubertas, pada dewasa sel epitel seminiferus telah mencapai tahapan sempurna mulai dari keberadaan spermatogonium, spermatosit, spermatid, sampai spermatozoa dalam lumen tubulus seminiferus. Peningkatan derajat spermatogenesis tertinggi yang diperlihatkan kelompok umur dewasa dengan nilai 9.2 ± 0.25 tidak berbeda jauh dengan hasil Juniarto (2004) yaitu nilai derajat spermatogenesis pada tikus jantan dewasa adalah 9.6 ± 0.5. Gambar 10 memperlihatkan derajat spermatogenesis pada tubulus seminiferus kelompok umur tua, menunjukan keberadaan epitel seminiferus yang berbeda dengan pubertas dan dewasa. Pada T0 spermatosit tidak teratur dan keberadaan spermatozoa (populasi) dalam lumen tubulus yang jarang atau tidak terlihat (Gambar 10B). Hal tersebut berkaitan dengan konsentrasi hormon yang cenderung rendah pada kelompok T0. Pada kelompok T25 dan T50 (Gambar 10C dan D) susunan epitel seminiferus terlihat lebih rapih jika dibandingkan dengan T0 dan perkembangan epitel seminiferus terjadi perbaikan yaitu adanya peningkatan spermatosit dan pada bagian lumen terdapat spermatozoa yang lebih banyak. Tabel 4 Umur P D T
Derajat Spermatogenesis
0 b 8.0 ± 0.05 a c 8.9 ± 0.26 a a 7.4 ± 0.32 a
Dosis (mg) 25 b 8.2 ± 0.26 a c 9.2 ± 0.25 ab a 7.7 ± 0.11 a
50 8.9 ± 0.05 b c 9.5 ± 0.10 b a 7.8 ± 0.25 a b
Keterangan: P: Umur Pubertas, D: Umur Dewasa, T: Umur Tua, 0: Tanpa perlakuan (kontrol), 25: Dosis purwoceng 25 mg/kg BB, 50: Dosis purwoceng 50 mg/kg BB. -Huruf yang berbeda dalam satu baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (p<0.05). Perbedaan menyatakan signifikansi faktor dosis dan umur terhadap derajat spermatogenesis. Huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Subskrip menyatakan signifikansi dosis terhadap derajat spermatogenesis. Superskrip menyatakan signifikansi umur terhadap derajat spermatogenesis.
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa pengaruh faktor dosis terhadap derajat spermatogenesis umur tua tidak signifikan yaitu
22
p=0.139 (p>0.05), sedangkan pengaruh tingkat dosis terhadap umur pubertas dan dewasa (Lampiran 1 dan 2) masing-masing yaitu p=0.01 membuktikan bahwa hasil yang diperoleh signifikan (p<0.05). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4,5, dan 6) menunjukkan bahwa pengaruh faktor umur (pubertas, dewasa, dan tua) terhadap tingkat dosis menunjukkan hasil yang signifikan (p<0.05). Dosis ekstrak purwoceng memberikan peningkatan derajat spermatogenesis yang signifikan terhadap umur pubertas dan umur dewasa. Kelompok kontrol merupakan kelompok yang memperlihatkan nilai terendah pada setiap umur. Kelompok umur yang memperlihatkan respon tertinggi ialah kelompok umur dewasa. Kelompok umur dewasa yang diberikan dosis 50 mg memperlihatkan pengaruh derajat spermatogenesis tertinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dan yang diberikan dosis 25 mg. Pemberian dosis 25 dan 50 mg terhadap kelompok dewasa memperlihatkan bahwa hasil yang berbeda nyata (p<0.05) terhadap D0 dan D25. Rerata terendah antar umur ataupun antar dosis diperlihatkan pada kelompok T0. Hasil uji lanjut membuktikan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) pada semua kelompok umur terhadap pemberian dosis, sedangkan hasil uji lanjut antara pemberian dosis terhadap umur, pada kelompok umur tua tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05). Kelompok umur tua merupakan kelompok umur yang memiliki derajat spermatogenesis terendah dibanding pubertas dan dewasa. Pasca pemberian ekstrak. Semua kelompok umur memberikan respon terbaik pada pemberian D50. Aktivitas Kelenjar Prostat Hasil pengamatan histomorfologi kelenjar prostat disajikan dalam bentuk gambaran histologis ujung kelenjar prostat (Gambar 11 dan 12) serta diagram persentase aktivitas ujung kelenjar prostat (Gambar 13 dan 14). Gambar 11 dan 12 memperlihatkan gambar irisan ujung kelenjar prostat pada satu lapang pandang. Pada kelompok pubertas yaitu P0, P25, dan P50 (Gambar 11A-11C) memperlihatkan aktivitas kelenjar prostat yang sedang memproduksi cairan prostat (lumen terisi penuh dan mukosa cenderung tinggi). Pada kelompok P0, ujung kelejar yang dominan terdapat pada lima lapang pandang ialah ujung kelenjar yang terwarnai penuh dan beberapa ujung kelenjar yang tidak terwarnai tetapi mukosa masih terlihat tinggi. Selain itu belum terlihat lipatan-lipatan mukosa pada ujung kelenjar prostat. Pada P25 dan P50, memperlihatkan ujung kelenjar prostat yang didominasi dengan ujung kelenjar aktif yang ditunjukan dengan adanya cairan prostat pada lumen serta adanya aktivitas kelenjar yang diindikasikan dengan adanya lipatan mukosa pada beberapa ujung kelenjar. Peningkatan dosis memberikan respon yang berbeda terhadap umur pubertas. Pada P0, morfologi bentuk ujung kelenjar prostat masih terlihat homogen dan jarang ditemukannya lipatan mukosa pada dinding asinus. Pada kelompok umur dewasa (Gambar 11 dan 12 D-F), D0 memperlihatkan keadaan ujung kelenjar yang aktif dan telah banyak ditemukan ujung kelenjar dengan lipatan mukosa. Secara alamiah menurut Pada kelompok D25 dan D50 ujung kelenjar didominasi dengan ujung kelenjar yang terisi cairan prostat, lipatan mukosa dan bertambah tingginya mukosa laminal sel. Mohamad et al. (2001) pada tikus berumur dewasa sudah terjadi lipatan mukosa pada dinding
23
asinus yang mengindikasikan kerja kelenjar lebih aktif dalam memproduksi sekretanya. Hasil yang dinyatakan oleh Mohamad et al. (2001) mendukung hasil penelitian yang telah diperoleh dalam penelitian ini. Bertambah banyaknya lipatan mukosa pada dinding asinus dapat dianalogikan bahwa sel kelenjar prostat sedang aktif memproduksi sekreta (pertambahan volume di dalam kelenjar) dengan keterbatasan ruang di sekelilingnya sehingga terjadi lipatan-lipatan mukosa (perubahan bentuk) pada dinding asinus. 2 1 1
A
120 µm
B
120 µm
1
C
120 µm
2 1
1
1
2 2
D
120 µm
E
120 µm
F
120 µm
2
1 G
2
Gambar 11
1 2 120 µm
1
2 H
120 µm
I
2 120 µm
Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat “10x” (HE) A. Ujung kelenjar prostat P0, B. Ujung kelenjar prostat P25 lebih memperlihatkan pelepasan sekreta ke dalam lumen, C. Ujung kelenjar prostat P50 memperlihatkan pelepasan sekreta dan bertambahnya lipatan mukosa, D. Ujung kelenjar prostat D0, E. Ujung kelenjar prostat D25, F. Ujung kelenjar prostat D50 memperlihatkan ujung kelenjar yang berukuran kecil didominasi oleh lipatan mukosa yang lebih banyak, G. Ujung kelenjar prostat T0 didominasi dengan ujung kelenjar yang tidak ada sekresi, H. Ujung kelenjar prostat T25 terlihat didominasi oleh ujung kelenjar yang terisi cairan prostat, I. Ujung kelenjar prostat T50 lebih didominasi dengan ujung kelenjar dengan lumen yang terisi penuh cairan prostat dan lipatan mukosa yang lebih banyak disetiap ujung kelenjar. (1). Lumen kelenjar prostat, (2). Lipatan mukosa dinding asinus. Bar 120 µm.
Peningkatan dosis menyebabkan peningkatan aktivitas terhadap ujung kelenjar prostat dalam meghasilkan sekretanya. Selain itu lipatan mukosa di dinding asinus ditemukan lebih banyak jika dibandingkan pada masing-masing umur ataupun dosis. Pada kelompok tua (Gambar 11 dan 12 G, H, I) juga memperlihatkan keadaan kelenjar prostat T0 didominasi oleh ujung kelenjar non aktif dengan semakin menipisnya bagian mukosa dan lumen ujung kelenjar yang
24
tidak terwarnai, hal ini mengindikasikan telah terjadi penurunan aktivitas sel atau ketidakmampuan sel kelenjar prostat dalam memproduksi cairan prostat. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh terhadap aktivitas kelenjar prostat pada umur dan dosis yang berbeda pula. Sistem hormonal merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan suatu target organ dalam menghasilkan produk. 1
1 2
2
2 A
30 µm
B
30 µm
2
C
30 µm
1 2 2
D
30 µm
E
1 30 µm
F
30 µm
1 1 2
2 G
Gambar 12
30 µm
H
30 µm
I
2 30 µm
Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat “40x” (HE) A. Ujung kelenjar prostat P0, B. Ujung kelenjar prostat P25, memperlihatkan mukosa sel dan sel lebih tinggi dibanding P0 dan lumen terisi penuh, C. Ujung kelenjar prostat P50 memperlihatkan aktivitas sel yang aktif memproduksi sekreta (mukosa sel tinggi) dan lumen yang juga terisi penuh dengan cairan prostat, D. Ujung kelenjar prostat D0, E. Ujung kelenjar prostat D25 memperlihatkan sel yang lebih tinggi dari D0 dan lipatan mukosa lebih banyak dibandingkan D0, F. Ujung kelenjar prostat D50 didominasi dengan mukosa sel yang tinggi dan lipatan mukosa pada dinding asinus lebih banyak disetiap ujung kelenjar, G. Ujung kelenjar prostat T0 didominasi dengan ujung kelenjar tidak terdapat sekreta, H. Ujung kelenjar prostat T25 terisi dengan cairan prostat, I. Ujung kelenjar prostat T50 memperlihatkan lipatan mukosa lebih banyak, sel lebih tinggi (sel sekretori aktif) dan lumen terisi cairan prostat. (1). Lumen kelenjar prostat, (2). Lipatan mukosa dinding asinus. Bar 30 µm.
Pemberian ekstrak purwoceng mampu meningkatkan proses aktivasi sel pada kelenjar prostat tua dengan pemberian dosis 25 mg dan 50 mg. Peningkatan dosis memberikan pengaruh peningkatan aktivitas yang diindikasikan dengan lebih banyaknya lumen yang terisi dengan cairan prostat dan peningkatan lipatan mukosa. Pemberian ekstrak purwoceng membuktikan adanya peningkatan aktivitas kelenjar prostat diperlihatkan dengan bertambah banyaknya mukosa
25
yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan secara deskriptif ini membuktikan bahwa adanya pengaruh terhadap produksi sekreta dalam lumen, selain itu juga memberikan informasi bahwa semakin tingginya dosis maka lipatan mukosa bertambah lebih banyak pada setiap ujung kelenjar. Pada bagian lumen kelompok hewan pubertas dan dewasa yang diberikan perlakuan ataupun kontrol terlihat terisi dengan cairan (sekreta), yang ditandai dengan terwarnainya bagian lumen. Akan tetapi terlihat perbedaan pada kontrol hewan tua yang didominasi dengan kosongnya lumen ujung kelenjar prostat. Hasil pengamatan pada Gambar 11 dan 12 khususnya pada kelompok umur tua (T), ukuran ujung kelenjar relatif tidak sama dalam satu lapang pandang dan keadaan sel yang berbeda jika dibanding kontrol. Selain itu, dapat dilihat ujung kelenjar yang tidak terdapat cairan prostat jika dibandingkan dengan pubertas dan dewasa. Pemberian ekstrak purwoceng pada umur tua membuktikan adanya perbaikan aktivitas kelenjar prostat, dimana gambaran histologis ujung kelenjar prostat T25 dan T50 menunjukkan adanya aktivitas sel sekretori dalam memproduksi sekreta ke dalam lumen. Gambar 13 dan 14 menunjukkan persentase kelenjar prostat aktif dan non aktif faktor dosis dan faktor umur. Secara umum pemberian dosis ekstrak purwoceng memberikan kecenderungan peningkatan persentase aktivitas kelenjar prostat, khususnya pada umur tua. Pada T0, T25, dan T50 memperlihatkan respon yang berbeda dibanding kelompok pubertas dan dewasa. Pada Gambar 13, terlihat persentase yang tinggi pada kelenjar prostat non aktif umur tua. Pemberian dosis 25 dan 50 mg terlihat mampu memberikan perbaikan terhadap aktivitas kelenjar prostat pada pubertas, dewasa, dan khususya pada umur tua. Pada Gambar 14, memperlihatkan bahwa aktivitas kelenjar prostat tertinggi diperlihatkan pada kelompok umur dewasa dan penurunan diperlihatkan pada umur tua. Hal tersebut berkaitan dengan penurunan fungsi fisiologis. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
75.6
75
Gambar 13
79.2
84.7
81.6
87.6 79.3
53.8 46.2 25
P0
24.4
P25
20.8
P50
15.3
D0
18.4
56.6 43.4
20.7 12.4
D25
D50
T0
T25
T50
Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (aktif dan non aktif) (faktor dosis terhadap aktivitas kelenjar prostat)
Keterangan : : Persentase prostat aktif kontrol, dosis 25 mg, dosis 50 mg pada umur pubertas : Persentase prostat aktif kontrol, dosis 25 mg, dosis 50 mg pada umur dewasa : Persentase prostat aktif kontrol, dosis 25 mg, dosis 50 mg pada umur tua : Persentase prostat non aktif
26
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
84.7 75
87.6 79.3
75.6
81.6
79.2 56.6
53.8 46.2 25
P0
Gambar 14
20.7 15.3
D0
T0
24.4
20.8
18.4
P25
D25
43.4
12.4
T25
P50
D50
T50
Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (aktif dan non aktif) (faktor umur terhadap aktivitas kelenjar prostat)
Keterangan : : Persentase prostat aktif pubertas, dewasa, tua kontrol : Persentase prostat aktif pubertas, dewasa, tua yang diberikan dosis 25 mg : Persentase prostat aktif pubertas, dewasa, tua yang diberikan dosis 50 mg : Persentase prostat non aktif
Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron) Data analisis hormon androgen (testosteron) disajikan pada Tabel 5 Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7-12) membuktikan bahwa pengaruh faktor dosis (0, 25, dan 50 mg) terhadap konsentrasi hormon testosteron pada umur pubertas (p=0.99), faktor dosis terhadap konsentrasi hormon testosteron pada umur dewasa (p=0.44), dan faktor dosis terhadap konsentrasi hormon testosteron pada umur tua (p=0.79). Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa hasil tidak signifikan (p>0.05). Sama seperti hasil analisis sidik ragam faktor umur terhadap konsentrasi hormon testosteron kelompok kontrol (p=0.38), faktor umur terhadap konsentrasi hormon testosteron pada kelompok dosis 25 mg (p=0.34), dan faktor umur terhadap konsentrasi hormon testosteron pada kelompok dosis 50 mg (p=0.74). Data-data tersebut membuktikan bahwa hasil yang diperoleh tidak signifikan (p>0.05). Uji lanjut pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa pengaruh ekstrak purwoceng baik faktor dosis ataupun umur terhadap konsentrasi hormon testosteron tidak berbeda nyata (p>0.05). Pada kelompok umur pubertas terjadi peningkatan tidak bermakna antar faktor (p>0.05). Kelompok umur dewasa yang diberikan dosis 50 mg memperlihatkan nilai rerata lebih rendah dibanding kelompok hewan yang diberikan dosis 25 mg, peningkatan yang terjadi antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05). Pada umur tua memperlihatkan peningkatan respon terhadap konsentrasi hormon testosteron seiring peningkatan dosis perlakuan, akan tetapi hasil analisis uji Duncan antar faktor juga tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna (p>0.05). Selain itu, Tabel 5 juga memperlihatkan variasi respon setelah diberikan perlakuan dosis 25 mg dan dosis 50 mg dan dengan meningkatnya umur hewan menunjukan penurunan konsentrasi hormon testosteron secara alami.
27
Tabel 5 Umur P
Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron) (ng/mL) 0 1.21 ± 0.50 (0.71-1.71) 1.05 ± 0.32 (0.86-1.42) 0.73 ± 0.34 (0.44-1.10)
D T
Dosis (mg) 25 1.21 ± 0.65 (0.46-1.49) 1.54 ± 0.59 (1.04-2.19) 0.83 ± 0.32 (0.52-1.16)
50 1.28 ± 0.84 (0.51-2.18) 1.46 ± 0.37 (1.04-1.75) 1.02 ± 0.76 (0.40-0.87)
Ket: Nilai rerata dan range faktor dosis (baris yang sama dari arah kiri ke kanan) dan umur (kolom yang sama dari atas ke bawah). P : Pubertas, D : Dewasa, T : Tua, 0: Tanpa perlakuan (kontrol), 25 : dosis ekstrak purwoceng 25 mg/kg BB, 50 : dosis ekstrak purwoceng 50 mg/kg BB.
Tabel 6 Hasil Uji Duncan Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron) Umur P D T
0 1.21 a a 1.05 a a 0.73 a a
Dosis 25 a 1.21 a a 1.54 a a 0.83 a
50 1.23 a a 1.46 a a 1.02 a a
Ket : Huruf yang berbeda dalam satu baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (p<0.05). Perbedaan menyatakan signifikansi faktor dosis dan umur terhadap konsentrasi hormon testosteron. Huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Subskrip menyatakan signifikansi dosis terhadap konsentrasi hormon testosteron. Superskrip menyatakan signifikansi umur terhadap konsentrasi hormon testosteron.
Konsentrasi Hormon Androgen (Dihidrotestosteron) Hasil analisis konsentrasi hormon DHT disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 13-18) membuktikan bahwa pengaruh faktor dosis terhadap konsentrasi hormon DHT pada umur pubertas p=0.52, faktor dosis terhadap konsentrasi hormon DHT pada dewasa p=0.16 dan faktor dosis terhadap konsentrasi hormon DHT pada kelompok tua p=0.990. Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa hasil yang diperoleh tidak signifikan (p>0.05). Pengaruh faktor umur terhadap konsentrasi hormon DHT pada kelompok kontrol dengan p=0.59, faktor umur terhadap konsentrasi hormon DHT kelompok dosis 25 mg dengan nilai p=0.21, dan faktor umur terhadap konsentrasi hormon DHT pada kelompok dosis 50 mg p=0.94, data tersebut membuktikan bahwa hasil yang diperoleh tidak signifikan (p>0.05). Uji lanjut pada Tabel 8 memerlihatkan bahwa hubungan antara faktor dosis dan umur terhadap konsentrasi hormon DHT tidak berbeda nyata (p>0.05). Secara umum antar kelompok umur (pubertas, dewasa, dan tua) yang menunjukkan konsentrasi tertinggi ialah umur dewasa dan terendah pada umur tua. Pada umur pubertas pemberian ekstrak purwoceng cenderung memberikan penurunan konsentrasi. Hasil tersebut membutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk membuktikan mekanisme yang terjadi. Pada umur dewasa nilai rerata konsentrasi hormon DHT yang diberikan dosis 50 mg cenderung memperlihatkan peningkatan. Sama seperti kelompok umur dewasa, pemberian dosis 50 mg memberikan peningkatan konsentrasi hormon DHT pada umur tua, akan tetapi
28
peningkatan tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil uji lanjut pada Tabel 8 membuktikan bahwa pengaruh faktor dosis terhadap umur ataupun umur terhadap dosis tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata pada p>0.05. Secara fisiologis pemberian ekstrak purwoceng memberikan dampak kecenderungan terhadap penurunan dan peningkatan konsentrasi seiring peningkatan umur dan dosis, akan tetapi sesuai analisis sidik ragam hal tersebut tidak signifikan. Faktor jumlah n diduga memengaruhi hasil analisis statistik. Tabel 7 Umur
Konsentrasi Hormon Androgen (DHT) (ng/mL) Dosis (mg) 25 0.42±0.08 (0.36-0.51) 0.68 ± 0.11 (0.58-0.80) 0.44 ± 0.27 (0.28-0.75)
0 0.62 ± 0.20 (0.42-0.82) 0.52 ± 0.15 (0.37-0.67) 0.43 ± 0.28 (0.15-0.71)
P D T
50 0.45 ± 0.30 (0.26-0.80) 0.74 ± 0.12 (0.60-0.79) 0.46 ± 0.24 (0.20-0.69)
Ket: Nilai rerata dan range faktor dosis (baris yang sama dari arah kiri ke kanan) dan umur (kolom yang sama dari atas ke bawah). P : Pubertas, D : Dewasa, T : Tua, 0: Tanpa perlakuan (kontrol), 25 : dosis ekstrak purwoceng 25 mg/kg BB, 50 : dosis ekstrak purwoceng 50 mg/kg BB.
Tabel 8
Hasil Uji Duncan Konsentrasi Hormon Androgen (DHT)
Umur P D T
0 0.62 a 0.52 a 0.43 a
a a a
Dosis 25 a 0.42 a a 0.68 a a 0.44 a
50 0.45 a a 0.74 a a 0.46 a a
Ket : Huruf yang berbeda dalam satu baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (p<0.05). Perbedaan menyatakan signifikansi faktor dosis dan umur terhadap konsentrasi hormon DHT. Huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Subskrip menyatakan signifikansi dosis terhadap konsentrasi hormon DHT. Superskrip menyatakan signifikansi umur terhadap konsentrasi hormon DHT.
Pembahasan Spermatogenesis melibatkan empat proses dasar yang dimulai dari pengembangan spermatogonium (sel germinal dan pembelahan sel mitosis berikutnya), meiosis (sintesis DNA dan dua kali pembelahan meiosis untuk menghasilkan spermatid haploid), spermiogenesis (pengembangan spermatid yang melibatkan diferensiasi kepala dan struktur ekor), dan spermiasi (proses pelepasan sperma matang ke dalam lumen tubulus). Pada umur pubertas meskipun individu hewan belum menunjukan perilaku bereproduksi, jaringan testisnya telah memproduksi spermatozoa walau masih banyak didapati lumen yang belum maksimal dipenuhi oleh spermatozoa. Jika dilihat pada foto hasil pengamatan, umur dewasa menunjukan spermatogenesis yang teratur dan terlihat dari banyaknya spermatozoa pada lumen tubulus seminiferus. Terbentuknya spermatid dan adanya spermatozoa yang memadati lumen tubulus seminiferus serta sel-sel
29
epitel tubuli seminiferus yang telah mengalami siklus menunjukan perbedaan derajat spermatogenesis antara pubertas dan dewasa. Spermatositogenesis dikendalikan atas pengaruh hormon-hormon yang berasal dari adenohipofisa (pituitari anterior), terutama FSH dan spermiogenesis berlangsung di bawah pengaruh LH dan testosteron. FSH dan androgen bertindak baik secara terpisah dan sinergis untuk mendukung tahapan spermatogenesis, dari pembelahan sel spermatogonium sampai akhir tahapan yaitu perilisan spermatozoa. Hal ini dikarenakan peran hormon LH, FSH dan testosteron dalam proses spermatogenesis. Mekanisme peningkatan hormon ini diduga dimediasi oleh GnRH like substance atau saponin yang berupa steroid yang terkandung dalam tanaman. Steroid mampu meningkatkan jumlah sel spermatogonia, spermatosit, dan spermatid tanpa meningkatkan sekresi FSH (Taufiqqurachman 1999). Penelitian-penelitian sebelumnya menyatakan bahwa adanya kandungan senyawa sterol pada tanaman purwoceng menjadi justifikasi terhadap peningkatan aktifitas hormon steroid yaitu dengan adanya stigmasterol dan golongan flavonoid (Sidik et al. 1975, Rostiana 2003, dan Suzery 2004). Pemberian ekstrak purwoceng yang dapat menstimulasi peningkatan hormon testosteron memberikan pengaruh yang paling berarti terhadap perkembangan sel-sel spermatogenik pada tubuli seminiferi. Diduga, hal ini terjadi akibat meningkatnya kadar hormon testosteron hasil konversi senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak purwoceng yang terdeteksi dalam darah sebagai substrat dasar yang dibutuhkan sebagai prekusor hormon steroid sehingga mampu mendukung berlangsungnya peningkatan derajat spermatogenesis. Senyawa-senyawa bioaktif yang terkandung dalam ekstrak purwoceng seperti keberadaan senyawa golongan sterol dan flavonoid dianggap sebagai pemacu gonadotropin eksogen yang akan merangsang gonadotropin endogen dari kelenjar hipofisa dan merangsang steroid secara alami serta senyawa-senyawa lain yang ada dalam gonad. Sekresi testosteron oleh sel Leydig memberikan konsentrasi testosteron yang tinggi di sekitar tubulus seminiferus yang sangat penting untuk spermatogenesis. Menurunnya konsentrasi testosteron atau ketidakseimbangan yang terjadi dapat mempengaruhi proses spermatogenesis. Selain itu, dapat menyebabkan spermatozoa tidak dapat mencapai pendewasaan, bahkan dapat menyebabkan azospermia (Jhonson, et al. 2008). Tingginya konsentrasi androgen juga akan mempengaruhi mekanisme yang terjadi pada target organ yang memiliki reseptor adrogen. Hormon yang bertanggung jawab dalam mempengaruhi proses spermatogenesis adalah hormon androgen, akan tetapi kerja hormon androgen tidak sendiri. Hormon FSH atau LH dengan FSH juga mempunyai peran dalam mempertahankan spermatogenesis. Ekstrak purwoceng mengandung beberapa senyawa yang dapat menjadi triger atau pemacu meningkatnya hormon testosteron. Kandungan senyawa bioaktif dari golongan steroid menjadi susbtrat utama yang mampu dikonversi menjadi hormon androgen (hormon steroid). Selain senyawa golongan steroid, senyawa golongan flavonoid yang terdapat dalam tanaman juga akan diserap oleh tubuh melalui pembuluh darah, senyawa tersebut mampu berikatan dengan reseptor estrogen alfa (REα) pada testis dan epididimis yang dapat menggantikan fungsi estrogenik dan bekerja sama dengan testosteron untuk pematangan spermatozoa (Akiles 2011).
30
Beberapa literatur menjelaskan bahwa periode pubertas dikaitkan dengan pertumbuhan testis yang cepat, perubahan pola sekresi LH yang meningkat secara bertahap dalam darah, dan inisiasi spermatogenesis. Hal tersebut mendukung hasil penelitian ini bahwa pada saat pubertas (kontrol), hormon testosteron lebih tinggi dibanding umur dewasa. Kesiapan hipotalamus sebagai poros pusat yang secara fisiologis telah memerlihatkan fungsinya, secara alami diikuti oleh peningkatan sirkulasi testosteron pada perubahan steroidogenesis di dalam testis, diferensiasi sel sertoli sampai terjadi spermatogenesis. Pada saat pubertas hewan menjadi kurang sensitif terhadap penghambatan umpan balik pada kompleks hipotalamushipofisis oleh steroid gonad. Diduga, bahwa hal ini memberikan informasi adanya peningkatan GnRH dan respon yang lebih besar oleh kelenjar pituitari. Faktor lingkungan (internal maupun eksternal) juga dapat menjadi pengaruh penting dalam sistem saraf pusat untuk memodulasi sistem endokrin. Hal tersebut dapat menjadi faktor yang mampu menganggu bahkan mengubah kesiapan hewan dalam mencapai pubertas. Pada saat mencapai dewasa morfologi dan spermatogenesis telah berlangsung dengan sempurna. Kondisi yang berbeda diperlihatkan pada umur tua, adanya faktor fisiologis seperti penuaan diduga menjadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya penurunan fungsi hypotalamus pituitary gonad axis yang menimbulkan ketidakteraturan hormononal dalam suatu siklus. Hal itu dapat memengaruhi pembentukan epitel germinal pada proses spermatogenesis. Terjadinya penuaan menjadi faktor penting dalam pengaruhnya terhadap reproduksi. Hal tersebut berkaitan dengan menurunnya fungsi sel, sekresi gonadotropin, dan sekresi steroid (Garner dan Hafez 2000). Spermatogenesis dipengaruhi oleh hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus, hipofisa anterior dan gonad. Oleh karena itu spermatogenesis dapat berlangsung dengan baik jika hubungan fungsional hipotalamus-pituitari-gonad berjalan normal. Pengaruh pemberian ekstrak purwoceng pada umur tua dapat terlihat pada kelompok kontrol (T0) yaitu adanya jarak lumen kosong antara spermatogonium dengan spermatosit dan berbeda dengan keadaan tubulus seminiferus pada kelompok T50. Hasil pengamatan histomorfologi memberikan informasi adanya stimulasi yang terjadi secara fisioloigis terhadap proses spermatogenesis dalam tubulus seminiferus yang memberikan perbaikan perkembangan sel epitel seminiferus. Berkurangnya sintesis GnRH dapat memengaruhi stimulasi hipofisis anterior dalam mensekresikan hormon gonadotropin, yang secara langsung dapat menyebabkan berkurangnya konsentrasi hormon testosteron sehingga menghambat proses spermatogenesis (Kaspul 2007). Hasil pengamatan aktivitas kelenjar prostat membuktikan bahwa antara kontrol, dosis 25 dan 50 mg pada masing-masing kelompok umur hewan, yang memerlihatkan persentase tertinggi dalam memproduksi sekreta adalah kelompok umur dewasa. Berdasarkan hasil pengamatan histomorfologi perbedaan morfologi sel pada ujung kelenjar terlihat antar umur dan antar dosis. Pada umur pubertas ukuran ujung kelenjar terlihat lebih kecil, bentuknya rapat dan homogen, sedangkan pada umur tua ukuran pada ujung kelenjar sudah bervariasi menyebar di seluruh lobus. Persentase kelompok umur dewasa yang menunjukan ujung kelenjar aktif yang tertinggi. Pada saat dewasa proses fisiologis yang terjadi dalam tubuh
31
memperlihatkan respon maksimal terhadap proses reproduksi, jika dibandingkan kelompok pubertas yang masih berada pada tingkat optimum dan masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan. Meskipun morfologi dan aktivitas kelenjar prostat pada umur pubertas sudah memerlihatkan sekresi kelenjar prostat dan menunjukkan perkembangan yang sempurna, akan tetapi persentase aktivitas kelenjar prostat tertinggi diperlihatkan pada umur dewasa. Keberadaan kelenjar aksesoris berperan penting pada proses reproduksi. Kelenjar prostat menghasilkan sekreta yang merupakan bagian dari plasma semen, berfungsi sebagai nutrisi dan media transpor bagi spermatozoa. Selain itu, menjadi perlindungan terhadap berbagai kuman infeksi, pembilas saluran uretra terhadap sisa-sisa urin, dan berperan dalam proses netralisasi pH saluran reproduksi jantan dan betina sebelum dilewati spermatozoa. Terwarnainya lumen ujung kelenjar prostat mengindikasikan bahwa cairan prostat telah disekresikan ke daerah lumen, (sel-sel epitel kelenjar dalam bentuk aktif). Selain itu, aktivitas sel kelenjar prostat juga dapat dikatakan aktif pada ujung kelenjar dengan mukosa laminal sel meninggi yang mengindikasikan bahwa sedang terjadi produksi cairan prostat namun belum disekresikan ke lumen kelenjar. Semakin tinggi pemberian dosis ekstrak purwoceng ternyata mampu meningkatkan aktivitas kelenjar prostat jika dibandingkan dengan masing-masing kontrol. Lipatan mukosa pada dinding asinus juga membuktikan adanya aktivitas yang ekstra pada pemberian dosis 50 mg. Kelenjar prostat tidak akan berkembang dan aktif dengan normal tanpa keberadaan hormon testikular androgen. Sesuai dengan Mohamad et al. (2001) morfologi dan aktifitas dari kelenjar aksesoris berbeda antara kelenjar dan antar umur, kelenjar prostat pada umur empat minggu sudah mulai memperlihatkan adanya aktivitas dalam memproduksi cairan prostat, akan tetapi sekreta yang dihasilkan kedalam lumen belum maksimal. Sebelum pubertas, kelenjar prostat tikus memperlihatkan baru sebagian lumennya yang telah menunjukan sekresi dengan adanya sekreta. Setelah pubertas, semua kelenjar asesoris menunjukan aktifitas sekresi yang sempurna. Setelah hewan mencapai pubertas atau dewasa, hampir semua lumen mengandung sekreta. Terlihat pada Gambar 11, kelenjar prostat dewasa banyak memperlihatkan dinding asinus yang mengalami lipatan mukosa. Harmelin (2005) menyimpulkan bahwa terjadinya lipatan mukosa berada pada permukaan datar luminal pada bagian dorsolateral dan ventral prostat. Peningkatan jumlah lipatan mukosa pada dinding asinus kelenjar dalam 5 lapang pandang, lebih banyak diperlihatkan pada prostat hewan yang diberikan dosis 50 mg. Hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Mohamad et al. (2001), ketika umur dewasa kelenjar prostat tikus memperlihatkan lipatan mukosa yang lebih banyak dibanding sebelum pubertas. Gambaran histomorfologis kelenjar prostat membuktikan terjadinya penebalan dan penipisan mukosa epitel luminal prostat pada dinding ujung kelenjar. Penebalan mukosa tersebut banyak diperlihatkan pada kelompok umur hewan yang diberikan dosis tertinggi yaitu dosis 50 mg. Hal tersebut diduga bahwa ketika hewan diberikan ekstrak purwoceng dengan dosis 50 mg, mampu memberikan pengaruh untuk mengaktifkan atau merangsang sel-sel sekretori kelenjar prostat untuk mensekresikan sekreta. Walaupun pada beberapa ujung kelenjar prostat memperlihatkan lumen yang tidak terwarnai, akan tetapi terjadi penebalan mukosa epitel laminal di sepanjang dinding asinus.
32
Penipisan sel epitel terlihat pada kelompok umur tua khususnya pada kelompok kontrol dimana tidak adanya rangsangan dalam meningkatkan kerja sel epitel. Metabolisme yang semakin menurun seiring bertambahnya umur memengaruhi fisiologis masing-masing individu. Sesuai dengan Harmelin (2005), histologi normal prostat tikus bagian ventral memperlihatkan mukosa laminal sel yang meninggi sepanjang dinding asinus yang diisi dengan sekresi secara homogen. Morfologi sel epitel pada kelompok tua memerlihatkan mulai menipis atau memipih dan tidak terlihat adanya cairan prostat dalam lumen, keadaan tersebut dapat dinyatakan bahwa tidak berfungsinya sel epitel dalam aktivitasnya memproduksi sekreta (Sluchzanowska 2006). Pada umur tua terlihat ujung kelenjar yang tidak menyerap pewarnaan HE dan memipihnya sel epitel serta mukosa di sepanjang dinding, hal tersebut menyatakan bahwa kontrol serta pemberian dosis 25 dan 50 mg, memengaruhi aktivitas kelenjar prostat untuk kembali menghasilkan cairan prostat. Informasi yang diperoleh dari penelitian Sluchzanowska (2006) adanya penurunan ekspresi AR pada sel epitel lobus dorsal prostat disebabkan oleh tingkat testosteron yang menurun. Hal ini dapat dianalogikan bahwa ketika umur tua, adanya penurunan fungsi fisiologis yang diindikasikan dengan adanya sel-sel epitel telah menjadi kurang sensitif bahkan tidak aktif dalam memproduksi sekreta. Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel bergantung pada faktor sensitif androgen yang dihasilkan oleh stroma-stroma mesenkim embriologis (Wright et al. 2000). Menurut Tenzer (1996), hasil penelitiannya membuktikan bahwa tidak adanya kelenjar prostat terutama pada rodensia, khususnya bagian dorsolateral menyebabkan berkurangnya viabilitas dan motilitas sperma yang berakibat pada infertilitas. Hal ini membuktikan bahwa kelenjar prostat merupakan kelenjar asesoris yang penting dalam menentukan fertilitas, tanpa sekreta dari kelenjarkelenjar aksesoris khususnya prostat dan sel-sel spermatozoa tidak dapat mempertahankan potensi fertilitasnya. Pemberian ekstrak purwoceng dapat meningkatkan serta memperbaiki aktivitas kelenjar prostat dan memberikan pengaruh yang baik terhadap kerja kelenjar prsotat dalam memproduksi cairan prostat khususnya kelompok umur tua. Pada kelompok umur tua sistem hormonal dan fungsional organ target telah menurun, dengan adanya pemberian ekstrak purwoceng dapat memberikan perbaikan produktifitas dalam menghasilkan sekreta. Hasil pengamatan yang diperoleh pada kelompok umur pubertas memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi hormon testosteron jika dibandingkan antara kontrol, dosis 25 dan 50 mg menunjukan peningkatan, yaitu semakin tingginya pemberian dosis maka respon yang terjadi terhadap produksi testosteron semakin meningkat. Hasil tersebut sesuai dengan teori hormonal pada saat pubertas sistem endokrin telah bekerja dan dikontrol oleh mekanisme– mekanisme fisiologik tertentu yang melibatkan gonad dan kelenjar adenohypophisa. Pada umur pubertas, neuron hipotalamus sudah mampu melepaskan GnRH dengan frekuensi dan amplitudo yang tinggi, karena pada saat memasuki usia puber hipotalamus menjadi semakin kurang sensitivitasnya terhadap umpan balik negatif. Hal itu memberikan respon terhadap tingginya stimulasi ke hipotalamus yang mampum mensekresikan GnRH yang tinggi dan mempengarui stimulasi terhadap hipofisa anterior dalam mensekresi hormon gonadotropin. Mekanisme yang terjadi mempengaruhi stimulasi terhadap sel-sel
33
intersisial (sel leydig) dalam memproduksi testosteron. Hasil penelitian konsentrawsi hormon testosteron mendukung hasil derajat spermatogenesis dimana kemampuan hipotalamus-putitari-gonad mempengaruhi peningkatan derajat spermatogenesis. Pengaruh pemberian ekstrak purwoceng terhadap hormon androgen yaitu testosteron terhadap umur dan dosis terbaik ialah pada kelompok umur dewasa yang diberikan dosis 25 mg. Pada kelompok umur dewasa, dosis 25 mg cenderung memberikan efek terhadap peningkatan dan penurunan pada kelompok hewan yang diberikan dosis 50 mg. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dengan adanya senyawa-senyawa bioaktif yang dapat dikonversi sebagai substrat dasar hormon testosteron, akan tetapi jika konsentrasi tinggi maka terjadi umpan balik negatif terhadap hipofisa anterior sehingga terjadi penekanan terhadap sekresi LH, hal tersebut akan memengaruhi sel leydig dalam mensekresi testosteron (El-tantawy 2007). Testosteron merupakan androgen yang secara langsung mempunyai aksi genomik dengan berikatan pada reseptor androgen (RA). Reseptor androgen memiliki reseptor inti yang bertindak sebagai ligand-responsive transcription factor. Pada testis RA ada pada sel leydig, sel peritubular, dan sel Sertoli. Mekanisme testosteron secara bebas berdifusi melalui membran plasma dan mengikat RA membentuk komplek yang kemudian berinteraksi dengan androgen reseptor element (ARE) pada bagian promotor gen target (Amalia 2007). Pendugaan menurunnya konsentrasi testosteron ketika diberikan dosis 50 mg adalah adanya mekanisme umpan balik negatif terhadap syaraf pusat yaitu pada kelenjar hipotalamus dan hipofisa anterior. Menurut McLachlan (2002), secara hormonal akan terjadi penekanan terhadap gonadotropin hormon dalam serum ketika produksi mencapai maksimum. Penekanan pada GnRH cenderung penting dalam memperbaiki jumlah sperma karena ketika produksi jumlah sperma yang terlalu cepat maka akan terjadi penekanan terhadap mekanisme spermatogenesis McLachlan (2002). Oleh karena itu, pada D50 tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan konsentrasi. Pada umur dewasa diketahui bahwa pemberian ekstrak purwoceng dengan dosis 25 mg cenderung memberikan efek tertinggi tapi jika dikaitkan dengan derajat spermatogenesis pada umur dewasa yang diberikan dosis 25 mg, tidak memperlihatkan respon tertinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa meskipun adanya peningkatan konsentrasi hormon androgen sebagai akibat rangsangan dari senyawa bioaktif yang sebagian dikonversi menjadi hormon androgen, namun belum cukup untuk meningkatkan fungsi reproduksi pada testis (spermatogenesis). Keadaan tersebut juga dapat disebabkan jika individu hewan memiliki reproduksi cukup rendah yang berkaitan dengan faktor herediter atau lingkungan. Kandungan saponin merupakan salah satu komponen tanaman di afrodisiak yang diketahui dapat meningkatkan hormon gonadotropin. Efek dari peningkatan tersebut mampu menstimulasi produksi androgen. Saponin sebagai agen bioaktif yang mungkin bertanggung jawab untuk efek afrodisiaka, yang berkontribusi terhadap peningkatan kadar testosteron endogen dengan meningkatkan LH seperti yang dilaporkan oleh Taufiqurrachman (1999). Hasil konsentrasi DHT pada kelompok umur kontrol memerlihatkan bahwa semakin meningkatnya umur berkolerasi dengan penurunan konsentrasi DHT. Pada pubertas pemberian ekstrak purwoceng tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan hormon DHT. Pada umur dewasa, pemberian ekstrak
34
purwoceng memberikan pengaruh peningkatan produksi hormon dalam sirkulasi darah. Hal tersebut juga terjadi pada kelompok umur tua, yaitu antara dosis memperlihatkan peningkatan konsentrasi hormon DHT. Hasil penelitian pada variabel konsentrasi androgen (DHT) pada kelompok hewan kontrol, terjadi penurunan konsentrasi hormon tersebut dalam sirkulasi darah sesuai dengan peningkatan umur. Menurut Santamaria et al. (2007) produksi estradiol meningkat perlahan pada pria usia lanjut ketika testis menjadi kurang responsif terhadap LH sehingga diperlukan lebih banyak LH untuk mempertahankan androgen. Menurut hasil penelitian Taufiqqachman (1999), pemberian ekstrak purwoceng lebih memberikan peningkatan yang berarti pada konsentrasi LH. Diduga, kadar LH yang tinggi secara tidak proporsional menstimulasi produksi estrogen. Peningkatan estrogen yang bersirkulasi meningkatkan sintesis globulin pengikat SHBG dan peningkatan SHBG menurunkan konsentrasi testosteron bebas dalam sirkulasi. Hal ini menurunkan jumlah testosteron yang siap dikonversi menjadi DHT pada plasma. Hal tersebut dapat mendukung hasil penelitian bahwa semua kelompok hewan antar umur baik kontrol ataupun yang diberikan perlakuan dosis 25 dan 50 mg memperlihatkan penurunan persentase kelenjar prostat non aktif. Menurut Mohler 2011, hormon DHT berperan penting dalam aktivitas kelenjar prostat, namun sejauh ini masih sangat jarang penelitian mengenai mekanisme yang terjadi di dalam kelenjar prostat selain keberadaan hormon androgen. Pada umur pubertas terlihat adanya penurunan konsentrasi DHT, diduga peningkatan testosteron yang terjadi disebabkan level yang berada dalam darah terlalu tinggi. Taufiqurachman (1999) menyatakan bahwa ekstrak purwoceng lebih meningkatkan kadar LH dalam darah jika dibandingkan dengan kadar testosteron. Selain itu faktor stress, pencekokan atau penimbangan bobot badan (teknis) yang dilakukan secara berkala dapat menjadi salah satu pemicu peningkatan hormon lain yang menjadi lebih tinggi dalam darah. Teori yang telah dikemukakan menurut Santamaria dan Taufiqurachman tersebut dapat dijadikan dasar sistem hormonal terhadap penurunan kadar hormon DHT pada umur pubertas. Secara hormonal ketika kadar LH tinggi dan testosteron dalam darah meningkat melebihi keadaan yang normal pada saat pubertas, akan memengaruhi ketidaknormalan keberadaan metabolit aktif dari hormon testosteron tersebut. Wright et al. (2000) menyatakan bahwa meskipun testosteron merupakan hormon androgen utama yang bersirkulasi, namun terlebih dahulu harus direduksi menjadi dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5a-reductase untuk aktivitas androgenik yang maksimal pada kelenjar prostat. Penelitian yang dilakukan oleh Wright et al. (1999) menyatakan pentingnya kemampuan DHT dalam prostat untuk merangsang terjadinya proliferasi sel. Walaupun testosteron dengan level yang lebih tinggi dibanding DHT, tetapi DHT tetap menjadi hormon androgen yang lebih poten dalam aktivitasnya menstimulasi sekresi (massa duktus), proliferasi sel (tingkat DNA/prostat) serta berat dari prostat. Hal ini menjelaskan bahwa 5a-reductase memperkuat sinyal androgen yang berada dalam prostat (Wright et al. 1999). Potensi hormon DHT bergantung pada afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor androgen inti prostat untuk DHT jika dibandingkan untuk testosteron. Diduga ketidakstabilan reseptor androgen terhadap peningkatan hormon testosteron dapat menyebabkan penurunan konsentrasi DHT pada pubertas.
35
DHT memiliki afinitas yang lebih tinggi atas reseptor androgen. Testosteron akan dianggap sebagai androgen aktif karena rendahnya aktivitas 5aR dan rendahnya konsentrasi DHT dalam jaringan, mekanisme tersebut dapat menjadi penyebabnya menurunnya konsentrasi pada hewan. Pada jalur akhir, DHT bertindak secara tidak langsung pada produksi estrogen oleh sinyal hipotalamus dan kelenjar hipofisis untuk mengurangi sekresi gonadotropin. Aktivitas reseptor androgen tergantung pada tingginya afinitas mengikat testosteron atau DHT, yang stabil pada saat reduktif dan oksidatif enzim. Peredaran androgen utama yaitu testosteron disintesis di testis dari androstenedion oleh reduksi 17b-HSD yang sifatnya reversibel dan dikonversi menjadi DHT oleh 5 alfa reduktase (Mohler 2011). Menurut Mclachlan (2012), penelitian yang dilakukan oleh Anderson et al. (1996) menunjukkan bahwa level DHT dalam plasma meningkat mencapai oligospermia secara signifikan lebih besar daripada pria azoospermia. Hal tersebut menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara metabolit hormon testosteron dengan spermatogenesis. Pada semua kelompok umur hewan yang tidak diberikan perlakuan (kontrol), terlihat penurunan konsentrasi hormon androgen baik testosteron ataupun DHT. Hal tersebut mendukung teori dasar yang menyatakan bahwa sesuai dengan meningkatkan umur maka akan terjadi penurunan hormon androgen. Kelompok hewan yang diberikan perlakuan menunjukan adanya variasi konsentrasi hormon androgen, oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa secara umum pengaruh pemberian ekstrak purwoceng baik dosis 25 mg/kg ataupun 50 mg/kg dapat mempengaruhi konsentrasi hormon androgen pada setiap kelompok umur. Selain adanya faktor penuaan diduga terjadinya disfungsi reproduksi dari individu tertentu yang dapat menyebabkan penurunan fungsional organ-organ reproduksi. Hal tersebut dianalogikan karena adanya perubahan faal reproduksi antara lain kerusakan saluran reproduksi, perubahan integritas gen, interaksi hipotalamus-hipofisa-testis (gonad) yang mempengaruhi spermatogenesis melalui disfungsi sertoli, sintesis dan aktivitas hormon-hormon seks yang berkaitan dengan libido dan potensi ejakulasi, perubahan fungsi kelenjar-kelenjar seks asesoris yang berkaitan dengan libido sampai menurunnya potensi ejakulasi. Akan tetapi dengan adanya penelitian ini dapat dikatakan bahwa ekstrak purwoceng khususnya dosis 50 mg mempunyai kecenderungan mampu meningkatkan fungsi poros hipotalamus-hipofisis-target organ (testis dan kelenjar prostat) bagi kelompok hewan pubertas dan dewasa dan sebagai tonik yang diduga dapat mengaktifkan poros hipotalamus-hipofisis-target organ hormon androgen bagi kelompok hewan tua.
36
37
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan derajat spermatogenesis dalam tubulus seminiferus dan aktivitas kelenjar prostat pada semua kelompok umur tikus pasca pemberian ekstrak purwoceng. Pemberian ekstrak purwoceng cenderung memberikan efek terhadap peningkatan terhadap produksi hormon androgen pada semua umur, sedangkan pada umur pubertas produksi hormon DHT cenderung menurun setelah pemberian ekstrak purwaceng. Secara umum, dosis 50 mg merupakan dosis yang memberikan respon tertinggi pada semua kelompok umur. Saran Hasil yang telah diperoleh dalam penelitian ini masih membuka peluang untuk dilakukannya penelitian yang lebih lanjut seperti pengujian pada saraf pusat untuk membuktikan keberadaan GnRH dan gonadotropin hormon baik menggunakan pewarnaan khusus ataupun keberadaan enzim menggunakan teknik PCR. Selain itu masih terdapat kemungkinan untuk meningkatkan dosis serta perpanjangan lama waktu perlakuan khususnya pada umur tua.
38
DAFTAR PUSTAKA Achmadi P. 2011. Kajian androgenik ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) terhadap kinerja reproduksi tikus putih (Rattus norvegicus). Tesis. Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Adyana KK. 2008. Dasar-dasar anatomi dan fisiologi tubuh manusia. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI. Bandung. Akiles AJ, Inara C. 2011. Potensi rumput Kebar (Biophytum petersianum klotzsch) dalam meningkatkan kinerja reproduksi. Prosiding Seminar Nasional : Pengembangan Pulau-Pulau Kecil. Amalia R. 2007. Faktor-faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak. Tesis. Program Pascasarjana Universitas diponegoro Semarang. Ballenger L. 2000. Rattus norvegicus. [internet]. [diacu 2012 September 24]. Tersediadari:http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/rattus/r._n orvegicus$narrative.html Brinkmann AO. 2009. Androgen Physiology: Receptor and Metabolic Disorders. Chapter 3. University Medical Center Rotterdam. [internet].[diacu 2012 Oktober 2]. http://www.endotext.org/male/male3/maleframe3.htm Caropeboka AM, Lubis I. 1975. Pemeriksaan pendahuluan kandungan kimia akar Pimpinella alpine (Purwoceng). Simposium Tanaman Obat I, 8-9 Desember, Bagian Farmakologi. FKH, Institut Pertanian Bogor. Caropeboka AM. 1980. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina Koord. terhadap sistem reproduksi tikus. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Desiani H et al. 2000. Studi morfologi kelenjar aksesoris kelamin jantan tupai (Tupaia glis) dengan tinjauan khusus pada sebaran karbohidrat. Media Veteriner. 7(4):6-10. El-Tantawy WH, Temraz A, El-Gindi OD. 2007. Free Serum Testosterone Level in Male Rats Treated with Tribulus Alatus Extracts. International Braz J Urol 33(4):554-559. Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma. In : Hafez ESE , B. Hafez (Ed). Reproduction in Farm Animal 7th Ed. Baltimore : Lippincot Williams & Wilkins. hlm 96-99. Guyton AC, Joh EH. 1997. Buku ajar fisiologi kedokteran ; editor edisi bahasa Indonesia, Irawati S. Edisi 9. EGC. Jakarta. hlm 1269. Hapsari S. 2011. Efektifitas pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan terhadap bobot ovarium dan uterus tikus putih (Rattus sp.). Skripsi. Fakultas Kedokteran IPB. Harmelin A, Danon T, Kela I, Brenner O. 2005. Biopsy of the mouse prostate. The Weizmann Institute of Science, Israel. Laboratory Animals 39:215– 220.
39
Hernani, Rostiana O. 2004. Analisis kimia akar purwoceng (Pimpinella pruatjan). Prosiding Fasilitasi Forum Kerjasama Pengembangan Biofarmaka. Yogyakarta: Ditjen Hortikultura, Departemen Pertanian. hlm 10. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Diterjemahkan oleh Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. 3:1550. Heyns W, De Moor P. 1976. Prostatic Binding Protein: A Steroid-Binding Protein Secreted By Rat Prostate. Eur J Biochemical 89:221-230. Hidayat S, Risna RA. 2007. Kajian ekologi tumbuhan obat langka di taman nasional Bromo Tengger Semeru. Biodiversitas. ISSN: 1412-033X 8 (3):169-173 Darmawati I, Roostika I. 2006. Status Penelitian Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah. 12(1):9-15 Juniarto AZ. 2004. Perbedaan Pengaruh Pemberian Ekstrak Eurycoma longifolia dan Pimpinella alpina Pada Spermatogenesis Tikus Sprague dawley. Tesis. Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas Diponegoro, Semarang. Johnson L, Donald L, Thompson Jr, Varner DD. 2008. Role of sertoli cell number and function on regulation of spermatogenesis. Animal Reproduction Science. 105:23–51. Johnson MH, Everitt BJ. 1995. Testicular Function in Essential Reproduction 4th ed. Chapter 3. Alden press. Oxford. hlm 45-60. Johnson L, Varner DD, Roberts ME, Smith TL, Keillor GE, Scrutchfield WL. 2000. Eficiency of spermatogenesis: a comparative approach. Elsevier Animal Reproduction Science 60-61. hlm 471-480. Kaspul. 2007. Kadar Testosteron Tikus Putih (Ratus norvegicus L) Setelah Mengkonsumsi Buah Terong Tukak (Solanum Torvum Sw). Bioscientiae. 4(1):1-8. Lindzey J, Korach KS. 1997. Developmental and physiological effects of estrogen receptor gene disruption in mice. Trends Endocrinol Metabolism. 8:137– 145. Marks LS. 2004. 5 alfa reductase : History and clinical importance. Review in Urology. 6 Suppl(9):S11-S21. McConnell JD. 1999. Etiology, Pathophisiology and Diagnosis of Benign Prostatic Hiperplasia. In : Campbell’s Urology, W.B. Saunders. hlm 1432-1433, 1437-1444. McLachlan RI, O’ Doonel L, Meachem SJ, Stanton PG, De Kretser{dagger} DM, Pratis K, Robertson DM. 2002. Identification of Specific Sites of Hormonal Regulation in Spermatogenesis in Rats, Monkeys, and Man. Journals of Endocrinology. 57(1):149-165. Mohamad K, Novelina S, Adnyane IKM, Agungpriyono S. 2001. Morfologi dan kandungan karbohidrat kelenjar aksesoris organ reproduksi tikus jantan
40
pada umur sebelum pubertas dan setelah pubertas. Jurnal Hayati IPB Bogor. Hal 91-97. Mohler JL, Titus MA, Suxia B. 2011. Bioconversion of Androstanediol to Dihydrotestosterone in Activation of the Androgen Receptor by Intratumoral Prostate Cancer Cancer Research. Page:1486-1496. Murray RK, Ganner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta EGC. hlm 547-566. Myers P, Armitage D. 2004. “Rattus norvegicus” animal diversity web. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/information/Rattus_nor vegicus.html [12 Juli 2012]. Nevalainen MT, Ahonen TJ, Yamashita H, Chandrashekar V, Bartke A, Grimley PM, Robinson GW, Hennighausen L, Rui H. 2000. Epithelial Defect in Prostates of Stat5a-Null Mice. Laboratory Investigation. 8(7):993-1006. Pineda MH, Faulkner LC. 1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Edited by Mc Donald. Lea and Febiger, Philadelphia. hlm 235. Rahardjo M. 2003. Purwoceng tanaman obat aprodisiak yang langka. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 9(2):4-7. Rahardjo MS, Wahyuni O, Trisilawati, Djauhariya E. 2006. Ciri agronomis, mutu dan lingkungan tumbuh tanaman obat langka purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII; Bogor: Balittro-POKJANAS TOI-Dir. Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. 62-71. Rifai MA, Rugayah, Widjaja EA. 1992. Tiga puluh tumbuhan obat langka Indonesia. Floribunda. hlm 2:15. Robertson DM, Pruysers E, Stephenson T, Pettersson K, Morton S, McLachlan R I. 2001. Sensitive LH dan FSH assays for monitoring low serum levels in men undergoing steroidal contraception. Clinic Endocrinology 55:331– 339. Ross MH, Kaye GI, Pawlina W. 2006. Histology a text and atlas. Rostiana O, Rosita SM, Muhammad H, Hernani, Syahid SF, Haryudin W, Miftakhurohmah, Seswita D, Surahman, Nasrun. 2003. Ekplorasi potensi purwoceng dan cabe jawa serta perbaikan potenis genetik menunjang industri obat tradisional afrodisiak. Laporan Teknis Penelitian Penguasaan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat Tahun 2003. Bogor: Balittro. Roth MY, Page ST. 2011. A Role For Dihydrotestosterone Treatment In Older Men. Asian Journal of Andrology. 13:199–200. Santamaria L, Ingelmo I, Alonso L, Pozuelo JM, Rodríguez R. 2007. Neuroendocrine Cells and Peptidergic Innervation in Human and Rat Prostrate. Adv Anatomy Embriology Cell Biology XII 80:31. Shappell Scott B et al. 2004. Prostate pathology of genetically engineered mice; definition ad classification. The consensus report from the bar harbor
41
meeting of the mouse models of human cancer consortium prostate pathology commitee. Cancer research 64:2270-2305. Shaw G, Fenelon J, Sichlau M, Auchus RJ, Wilson JD, Renfree MB. 2005. Role of the Alternate Pathway of Dihydrotestosterone Formation in Virilization of the Wolffian Ducts of the Tammar Wallaby, Macropus eugenii. Endocrinology 147(5):2368–2373. Sidik, Sasongko, Kurnia E, Ursula. 1975. Usaha Isolasi Turunan Kumarin dari Akar Purwoceng (Pimpinella alpina. Molk.) Asal Dataran Tinggi Dieng. Simposium Tanaman Obat I, 8-9 Desember, Bagian Farmakologi. FKH, Institut Pertanian Bogor. Smith MF. 2006. Reproductive Physiology Animal Science 304. [internet]. [diacu 2013 Januari 18]. Tersedia dari: http://animalsciences.missouri.edu/courses/4314/microscope_slides/prost ate_gland.htm. (18 Januari 2013) Słuczanowska S, Laszczyn´ska M, Głabowski W, Wylot M. 2006. Morphology of the epithelial cells and expression of androgen receptor in rat prostate dorsal lobe in experimental hyperprolactinemia. Folia histochemica Et cytobiologica. 44(1):25-30. Sunanto H, Kuncoro S. 2009. Obat tradisional untuk pasangan suami istri. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. hlm 56-57. Suzery MB, Cahyono, Ngadiwiyana, Nurhasnawati H. 2004. Senyawa stigmasterol dari Pimpinella alpina Molk. Suplemen. 39(1):39-41. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong, 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella alpina. Molk. (purwoceng) dan akar Eurycoma longifolia. Jack. (pasak bumi) terhadap peningkatan kadar testosteron, LH, dan FSH serta perbedaan peningkatannya pada tikus jantan Sprague Dawley. Tesis. Pascasarjana Ilmu Biomedik, Universitas Diponegoro, Semarang. Taufiqurrachman, Wibowo S. 2000. Pengaruh ekstrak akar Eurycoma longofolia Jack (Eurycoma longifolia) terhadap peningkatan kadar testosteron, LH dan FSH pada tikus jantan Sprague dawley. Media Medika Indonesiana. Hlm 35(2):81-86. Tenzer A. 1996. Peranan kelenjar seks asesoris dalam menentukan fertilitas mamalia. Chimera 1. No.2. Usmiati S, Yuliani S. 2010. Efek androgenik dan anabolik ekstrak akar Pimpinella alpina Molk. (Purwoceng) pada anak ayam jantan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. hlm 744-755. Walker WH. 2010. Non-classical actions of testosterone and spermatogenesis. Philosophycal transaction of the royal society. Biology science 365: 1557-1569.
42
Widotama, Gupta IGB. 2008. Pengaruh Isolat Herba Vernonia cinerea Terhadap Spermatogenesis Tikus Putih (Rattus Norwegicus). Jurnal Kimia. 2 (2):117-124. Wright AS et al. 2000. Androgen-Induced Regrowth in the Castrated Rat Ventral Prostate: Role of 5a-Reductase. Endocrynology. 140(10):4509-4515. Yuhono JT. 2004. Usaha tani purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk), potensi, peluang dan masalah pengembangannya. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 15(1):25-32.
43
LAMPIRAN
44
Lampiran 1
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (Dosis-umur pubertas)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Derajat Spermatogenesis Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.654 626.668 .654 .026
25.609 2.452E4 25.609
.001 .000 .001
Corrected Model 1.309a 2 Intercept 626.668 1 Dosis-Pubertas 1.309 2 Error .153 6 Total 628.130 9 Corrected Total 1.462 8 a. R Squared = ,895 (Adjusted R Squared = ,860) Descriptive Statistics Dosis – Pubertas
Mean
Std. Deviation
N
D0P D25P D50P Total
7.9667 8.2000 8.8667 8.3444
.05774 .26458 .05774 .42753
3 3 3 9
Post hoc Dosis – Pubertas
Subset N
1
2
D0P 3 7.9667 D25P 3 8.2000 D50P 3 8.8667 Sig. .124 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is mean square (Error) = ,026.
45
Lampiran 2
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (Dosis-umur dewasa)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Derajat_spematogenesis Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected Model .542a 2 .271 Intercept 763.601 1 763.601 Dosis - Dewasa .542 2 .271 Error .287 6 .048 Total 764.430 9 Corrected Total .829 8 a. R Squared = ,654 (Adjusted R Squared = ,539)
F
Sig.
5.674 .041 1.598E4 .000 5.674 .041
Descriptive statistics Dosis - Dewasa
Mean
Std. Deviation
N
D25D D50D D0D Total
9.2333 9.5000 8.9000 9.2111
.25166 .10000 .26458 .32189
3 3 3 9
Post hoc Dosis – Dewasa
N
Subset 1
2
D0D 3 8.9000 D25D 3 9.2333 9.2333 D50D 3 9.5000 Sig. .111 .186 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
46
Lampiran 3
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (Dosis-umur tua)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Derajat_spermatogenesis Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected .336a 2 .168 Model Intercept 522.884 1 522.884 Dosis - Tua .336 2 .168 Error .360 6 .060 Total 523.580 9 Corrected Total .696 8 a. R Squared = ,482 (Adjusted R Squared = ,310) Descriptive statistics Dosis - Tua
Mean
Std. Deviation
N
D0T D25T D50T Total
7.3667 7.6667 7.8333 7.6222
.32146 .11547 .25166 .29486
3 3 3 9
Post Hoc Dosis - Tua
N
Subset 1
D0T 3 7.3667 D25T 3 7.6667 D50T 3 7.8333 Sig. .065 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
F
Sig.
2.796
.139
8.715E3 2.796
.000 .139
47
Lampiran 4
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (UmurDosis 0)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Derajat_spermatogenesis Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
a
Corrected Model 3.582 2 1.791 Intercept 587.254 1 587.254 Umur - D0 3.582 2 1.791 Error .353 6 .059 Total 591.190 9 Corrected Total 3.936 8 a. R Squared = ,910 (Adjusted R Squared = ,880) Descriptive statistics Umur_-_D0
Mean
Std. Deviation
N
P0 D0 T0 Total
7.9667 8.9000 7.3667 8.0778
.05774 .26458 .32146 .70139
3 3 3 9
Post hoc Umur - D0
N
Subset 1
2
3
T0 3 7.3667 P0 3 7.9667 D0 3 8.9000 Sig. 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
F
Sig.
30.415 9.972E3 30.415
.001 .000 .001
48
Lampiran 5
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (Umur-dosis 25 mg)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Derajat_spermatogenesis Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected Model 3.807a 2 Intercept 630.010 1 Umur - D25 3.807 2 Error .293 6 Total 634.110 9 Corrected Total 4.100 8 a. R Squared = ,928 (Adjusted R Squared = ,905)
1.903 630.010 1.903 .049
Descriptive statistics Umur_-_D25
Mean
Std. Deviation
N
P25 D25 T25 Total
8.2000 9.2333 7.6667 8.3667
.26458 .25166 .11547 .71589
3 3 3 9
Post hoc Subset Umur - D25
N
1
2
3
T25 3 7.6667 P25 3 8.2000 D25 3 9.2333 Sig. 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
F
Sig.
38.932 .000 1.289E4 .000 38.932 .000
49
Lampiran 6
Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis (Umur-dosis 50 mg)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Derajat spermatogenesis Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected Model 4.247a 2 Intercept 686.440 1 Umur - D50 4.247 2 Error .153 6 Total 690.840 9 Corrected Total 4.400 8 a. R Squared = ,965 (Adjusted R Squared = ,954)
2.123 686.440 2.123 .026
F
83.087 .000 2.686E4 .000 83.087 .000
Descriptive statistics Umur - D50
Mean
Std. Deviation
N
P50 D50 T50 Total
8.8667 9.5000 7.8333 8.7333
.05774 .10000 .25166 .74162
3 3 3 9
Post hoc Umur - D50
N
Subset 1
2
Sig.
3
T50 3 7.8333 P50 3 8.8667 D50 3 9.5000 Sig. 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
50
Lampiran 7
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (testosteron) (Dosis-umur pubertas)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Konsentrasi_Testosteron Source
Type III Sum of Squares
df
Corrected Model .001a 2 Intercept 13.225 1 Dosis - Pubertas .001 2 Error 2.762 6 Total 15.988 9 Corrected Total 2.763 8 a. R Squared = ,000 (Adjusted R Squared = -,333)
Mean Square .000 13.225 .000 .460
.001 28.734 .001
Descriptive statistics Dosis - Pubertas
Mean
Std. Deviation
N
D0P D25P D50P Total
1.2033 1.2067 1.2267 1.2122
.50013 .65287 .83931 .58764
3 3 3 9
Post hoc Dosis – Pubertas
N
Subset 1
D0P 3 1.2033 D25P 3 1.2067 D50P 3 1.2267 Sig. .969 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
F
Sig. .999 .002 .999
51
Lampiran 8
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (testosteron) (Dosis-umur dewasa)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Konsentrasi Testosteron Type III Sum of Squares df
Source
a
Corrected Model .407 2 Intercept 16.430 1 Dosis - Dewasa .407 2 Error 1.180 6 Total 18.017 9 Corrected Total 1.587 8 a. R Squared = ,257 (Adjusted R Squared = ,009)
Mean Square F
Sig.
.204 16.430 .204 .197
.411 .000 .411
Descriptive statistics Dosis - Dewasa
Mean
Std. Deviation
N
D25D D50D D0D Total
1.5367 1.4633 1.0533 1.3511
.59079 .37421 .31770 .44541
3 3 3 9
Post Hoc Dosis - Dewasa
N
Subset 1
D0D 3 1.0533 D50D 3 1.4633 D25D 3 1.5367 Sig. .244 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
1.035 83.540 1.035
52
Lampiran 9
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (testosteron) (Dosis-umur tua)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Konsentrasi_Testosteron Type III Sum of Squares
Source
Mean Square
df
Corrected Model .131a 2 Intercept 6.639 1 Dosis - Tua .131 2 Error 1.593 6 Total 8.363 9 Corrected Total 1.724 8 a. R Squared = ,076 (Adjusted R Squared = -,232)
.065 6.639 .065 .266
Descriptive statistics Dosis - Tua
Mean
Std. Deviation
N
D0T D25T D50T Total
.7300 .8267 1.0200 .8589
.33719 .32083 .76151 .46420
3 3 3 9
Post hoc Dosis - Tua
N
Subset 1
D0T 3 .7300 D25T 3 .8267 D50T 3 1.0200 Sig. .529 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
F
Sig.
.246 25.005 .246
.789 .002 .789
53
Lampiran 10
Analisis varian dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (testosteron) (Umur-dosis 0)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Konsentrasi_Testosteron Source
Type III Sum of Squares df
Mean Square F
a
Corrected Model .351 2 .176 Intercept 8.920 1 8.920 Umur - D0 .351 2 .176 Error .930 6 .155 Total 10.201 9 Corrected Total 1.281 8 a. R Squared = ,274 (Adjusted R Squared = ,032) Descriptive statistics Umur - D0
Mean
Std. Deviation
N
P0 D0 T0 Total
1.2033 1.0533 .7300 .9956
.50013 .31770 .33719 .40010
3 3 3 9
Post hoc Umur - D0
N
Subset 1
T0 3 .7300 D0 3 1.0533 P0 3 1.2033 Sig. .204 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
1.133 57.578 1.133
Sig. .382 .000 .382
54
Lampiran 11
Analisis varian dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (testosteron) (Umur-dosis 25 mg)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Konsentrasi_Testosteron Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
Corrected Model .757a 2 Intercept 12.745 1 Umur – D25 .757 2 Error 1.756 6 Total 15.259 9 Corrected Total 2.514 8 a. R Squared = ,301 (Adjusted R Squared = ,068) Descriptive statistics Umur – D25
Mean
Std. Deviation
N
P25 D25 T25 Total
1.2067 1.5367 .8267 1.1900
.65287 .59079 .32083 .56056
3 3 3 9
Post hoc Umur - U25
N
T25 P25 D25 Sig.
3 3 3
Subset 1 .8267 1.2067 1.5367 .171
.379 12.745 .379 .293
F
Sig.
1.294 43.538 1.294
.341 .001 .341
55
Lampiran 12
Analisis varian dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (testosteron) (Umur-dosis 50 mg)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Konsentrasi_Testosteron Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected Model .295a 2 .148 Intercept 13.764 1 13.764 Umur – D50 .295 2 .148 Error 2.849 6 .475 Total 16.908 9 Corrected Total 3.144 8 a. R Squared = ,094 (Adjusted R Squared = -,208) Descriptive statistics Umur – D50
Mean
Std. Deviation
N
P50 D50 T50 Total
1.2267 1.4633 1.0200 1.2367
.83931 .37421 .76151 .62690
3 3 3 9
Post hoc Umur – D50
N
Subset 1
T50 3 1.0200 P50 3 1.2267 D50 3 1.4633 Sig. .474 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
F
Sig.
.311 28.990 .311
.744 .002 .744
56
Lampiran 13 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (DHT) (Dosis-umur pubertas) Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Konsentrasi_DHT Type III Sum of Squares df
Source
a
Corrected Model .065 2 Intercept 2.232 1 Dosis - Pubertas .065 2 Error .273 6 Total 2.570 9 Corrected Total .338 8 a. R Squared = ,193 (Adjusted R Squared = -,075)
Mean Square F
Sig.
.033 2.232 .033 .045
.525 .000 .525
Descriptive statistics Dosis - Pubertas
Mean
Std. Deviation
N
D0P D25P D50P Total
.6173 .4233 .4533 .4980
.19951 .07767 .30089 .20560
3 3 3 9
Post hoc Dosis - Pubertas
N
Subset 1
D25P 3 .4233 D50P 3 .4533 D0P 3 .6173 Sig. .322 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
.720 49.103 .720
57
Lampiran 14 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (DHT) (Dosis-umur dewasa) Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Konsentrasi_DHT Type III Sum of Squares df
Source
a
Corrected Model .082 2 Intercept 3.770 1 Dosis – Dewasa .082 2 Error .100 6 Total 3.952 9 Corrected Total .182 8 a. R Squared = ,452 (Adjusted R Squared = ,270)
Mean Square F .041 3.770 .041 .017
Descriptive statistics Dosis - Dewasa
Mean
Std. Deviation
N
D0D D25D D50D Total
.5173 .6797 .7447 .6472
.14760 .11337 .12322 .15079
3 3 3 9
Post hoc Dosis - Dewasa
N
Subset 1
D0D 3 .5173 D25D 3 .6797 D50D 3 .7447 Sig. .082 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
Sig.
2.477 .164 227.017 .000 2.477 .164
58
Lampiran 15
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (DHT) (Dosis-umur tua)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Konsentrasi_DHT Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected Model .002a 2 .001 Intercept 1.748 1 1.748 Dosis – Tua .002 2 .001 Error .428 6 .071 Total 2.177 9 Corrected Total .429 8 a. R Squared = ,004 (Adjusted R Squared = -,329) Descriptive statistics Dosis – Tua
Mean
Std. Deviation
N
D0T D25T D50T Total
.4263 .4380 .4577 .4407
.28251 .27109 .24598 .23160
3 3 3 9
Post hoc Dosis - Tua
N
Subset 1
D0T 3 .4263 D25T 3 .4380 D50T 3 .4577 Sig. .894 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
F
Sig.
.011 24.523 .011
.990 .003 .990
59
Lampiran 16
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (DHT) (Umur-dosis 0)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Konsentrasi_DHT Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
Corrected Model .055a 2 .027 Intercept 2.437 1 2.437 Umur - D0 .055 2 .027 Error .283 6 .047 Total 2.774 9 Corrected Total .338 8 a. R Squared = ,162 (Adjusted R Squared = -,117) Descriptive statistics Umur - D0
Mean
Std. Deviation
N
P0 D0 T0 Total
.6173 .5173 .4263 .5203
.19951 .14760 .28251 .20541
3 3 3 9
Post hoc Umur - D0
N
Subset 1
TD0 3 .4263 D0 3 .5173 P0 3 .6173 Sig. .337 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
F
Sig.
.581 51.699 .581
.588 .000 .588
60
Lampiran 17
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (DHT) (Umur-dosis 25 mg)
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Konsentrasi_DHT Type III Sum of Squares df
Source
a
Corrected Model .124 2 Intercept 2.375 1 Umur - D25 .124 2 Error .185 6 Total 2.684 9 Corrected Total .309 8 a. R Squared = ,402 (Adjusted R Squared = ,203)
Mean Square F
Sig.
.062 2.375 .062 .031
.214 .000 .214
2.019 77.121 2.019
Descriptive statistics Umur - D25
Mean
Std. Deviation
N
P25 D25 T25 Total
.4233 .6797 .4380 .5137
.07767 .11337 .27109 .19656
3 3 3 9
Post hoc Umur - D25
N
Subset 1
P25 3 .4233 T25 3 .4380 D25 3 .6797 Sig. .135 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
Lampiran 18
Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen (DHT) (Umur-dosis 50 mg)
61
Tests of Between-Subjects Effects Dependent variable : Konsentrasi_DHT Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
F
Sig.
.084 2.741 .084 .055
1.509 49.474 1.509
.294 .000 .294
Corrected Model .167a 2 Intercept 2.741 1 Umur - D50 .167 2 Error .332 6 Total 3.241 9 Corrected Total .500 8 a. R Squared = ,335 (Adjusted R Squared = ,113) Descriptive Statistics Umur – Dosis 50 mg
Mean
Std. Deviation
N
P50 D50 T50 Total
.4533 .7447 .4577 .5519
.30089 .12322 .24598 .24993
3 3 3 9
Umur – Dosis 50 mg
N
Post hoc Subset 1
P50 3 .4533 T50 3 .4577 D50 3 .7447 Sig. .193 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1987 dari Ayahanda Piter Markus Simanjuntak, SH., M.Si. dan Alm. Ibunda Dumaria Siahaan. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara. Pada tahun 1993, penulis tercatat sebagai siswi Sekolah Dasar Kristen (SDK) Pa Van Der STEUR, Bekasi. Penulis menyelesaikan pendidikannya di SD tersebut pada tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikannya ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 24 Jakarta Timur pada tahun 1999 dan menyelesaikan kewajibannya sebagai siswi SMP 24 Jakarta Timur pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Umum (SMU) Yadika 4 dan menyelesaikan kewajibannya pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Negeri, Universitas Padjadjaran. Penulis diterima sebagai mahasiswi Program Studi S1 (Reguler), Jurusan Ilmu Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, dan mengambil minat Produksi Ternak dengan fokus penelitian reproduksi ternak jantan. Penulis lulus sebagai Sarjana Peternakan Universitas Padjadjaran pada bulan Juli 2009. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan Program Pascasarjana Mayor Biologi Reproduksi Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan IPB dengan fokus penelitian yang sama yaitu reproduksi pada hewan jantan.