BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Jihad merupakan istilah yang sangat mulia dalam Islam. Tidak tanggung-tanggung, Allah akan menganugerahi surga yang dimasuki tanpa
hisa>b bagi orang yang syahi>d dalam rangka berjihad di jalan Allah. Namun sayang, istilah jihad ini sering dimonopoli dan dipahami secara tekstual oleh sekelompok tertentu. Dari sinilah peristiwa-peristiwa kekerasan terjadi di dunia yang mengatasnamakan sebagai jihad dalam Islam demi tegaknya agama Allah. Tidak kalah familiar, pada tragedi 11 September 2001 yakni dengan runtuhnya gedung pencakar langit WTC menyebabkan Islam tertuduh sebagai agama yang menyebarkan kekerasan dan terorisme di dunia.1 Dan sebagai akibatnya muncullah citra buruk terhadap Islam, dibatasinya gerakan dakwah, dan kerusakan-kerusakan yang lainnya. Mereka (para teroris) seringkali mengaitkan tindakan mereka tersebut atas dasar landasan agama Islam, yaitu jihad. Semangat tekstualisme yang sangat kuat itulah maka boleh dikatakan, menjadikan maraknya gerakan yang sering disebut salafi wahabisme sekarang ini adalah pendekatan yang radikal. Radikalisme ini bersumber dari prinsip ketaatannya yang ketat pada teks al-Quran dan Hadits shahih serta hanya melihat praktik Islam murni pada cara yang digunakan para salaf al-sha>lih. 1
Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad, Alih Bahasa Irfan Maulana Hakim dkk Cet. Ke-1 (Bandung: Mizan, 2010), hal. xlvi.
1
2
Karena itu ketika mendapatkan fenomena yang berlawanan dengan teks dan tidak ada dalam praktik masa salaf al-sha>lih, mereka akan menentangnya dan tidak akan berkompromi.2 Paham ini menurut Abdurrahman Wahid, muncul pertama kali sejak abad 18 dengan kekerasan dan banjir darah.3 Pandangan ini pada awalnya hanya berkembang di Arab Saudi dan sebagian wilayah Timur Tengah, seperti Yaman dan Jordan. Bahkan paham radikal ini juga kurang berkembang di Palestina, tanah yang terus membutuhkan ideologi perlawanan yang kuat. Namun pada akhirnya gerakan salafi puritan ini menyebar luas di berbagai belahan dunia, awal dekade 1980an. Go international dari ajaran ini terutama didorong oleh konstelasi dalam negeri Arab Saudi serta panggung Afghanistan. Dua peristiwa tersebut menandai awal mula lahirnya gerakan salafi puritan pada level internasional.4 Di Indonesia, muncul gerakan-gerakan separatis yang mengatasnamakan doktrin agama Islam sebagai landasan perjuangan mereka. Kehidupan politik di negeri ini menjadi tidak stabil dan cenderung destruktif bahkan diskriminatif, yang hal-hal tersebut dapat mengancam jati diri bangsa Indonesia. Maraknya aksi tuntutan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia yang disertai dengan aksi teror bom juga ikut meramaikan ketegangan negeri ini. Ledakan demi ledakan terjadi di negeri ini, dan peledakan terakhir terjadi pada tanggal 17 Juli 2009 di Hotel JW Marriot. Pencarian jati diri rakyat aceh 2
As’ad Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca Reformasi, (Jakarta: LP3ES, 2012), hal.107
3
Abdurrahman Wahid, Ilusi Negara Islam, (Jakarta: Wahid Institut, 2009), hal. 131
4
As’ad Said Ali, Ideologi Gerakan Pasca Reformasi, hal.107.
3
juga tak kunjung ketemu, kasus Poso, konflik Maluku, persoalan Timor Leste, Papua dan sebagainya adalah beberapa di antara contoh yang ditimbulkan oleh ketegangan yang ditimbulkan sekelompok orang yang mengaku berjuang atas pemahaman ayat-ayat al-Quran. Bagi para pelakunya, juga bagi sebagian pengikut pemahaman mereka, melakukan tindakan kekerasan untuk membela agama bahkan juga bom bunuh diri adalah tindakan terpuji yang sesuai dan diperintahkan oleh agama. Bahkan kematian para pelaku bom bunuh diri akan membawa mereka ke pintu gerbang surga dengan status kematian paling mulia sebagai seorang syahid. Pengakuan pelaku peledakan bom Bali 1 beranggapan bahwa yang mereka lakukan adalah sebagai bentuk jihad yang ada legitimasinya dalam
nas}s} al-Qur‟an maupun Hadits guna melawan kaum penjajah Amerika Serikat dan sekutunya.5 Teks ayat-ayat al-Quran yang membicarakan tentang tema jihad, peperangan agama, pemberantasan syirik dan penegakan hukum syariat memang menjadi tema besar kelompok fundamentalis ini. Slogan kembali ke al-Quran dan Sunnah dan teriakan “Allahu Akbar” selalu menggema di setiap gerakan maupun demo massa yang mereka gelar. Beberapa ayat yang berbicara tentang jihad sering mereka sampaikan melalui khutbah dan media berita. Beberapa ayat tentang tema jihad dan peperangan itu seperti firman Allah S.W.T. dalam QS. al-Baqarah [2]: 190
5
Rico Setyo Nugroho, ‚Jihad Fi Sabilillah dalam Pemikiran Imam Samudra dalam Buku Aku Melawan Teroris; Ditinjau Dari Perspektif Dakwah,‛ Skripsi Sarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang 2006, hlm. 4.
4
ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ )091( ين َ ين يُ َقاتلُونَ ُكم َوَل تَعتَ ُدوا إ َّن اللَّوَ َل ُُيب ال ُمعتَد َ َوقَاتلُوا ف َسب ِيل اللَّو الذ ِ ِ واق ت لُوىم حي َشد ِم َن ال َقت ِل َوَل َ ث أَخَر ُجوُكم َوالفت نَةُ أ ُ وىم ِمن َحي ُ َ ُ ُ َ ُ وىم َوأَخ ِر ُج ُ ث ثَقفتُ ُم ِ ِِ ِِ ِ ِ ُتُ َقاتِل َ وىم َك َذل ُ ُوىم عن َد ال َمسجد اْلََرِام َح َّّت يُ َقاتلُوُكم فيو فَِإن قَاتَلُوُكم فَاق تُل ُ ُك َجَزاء ِ )090( ين َ ال َكاف ِر Artinya: “ Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya
Allah
tidak
menyukai
orang-orang
yang
melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekkah); dan fitnah itu lebih besar dari bahayanya pembunuhan. Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir “. Inilah ayat yang pertama turun tentang perang, menurut al-Rabi>’ dan Anas r.a.6 Ayat ini, yang berasal dari periode Madinah, juga merupakan ayat perang pertama yang akan dijumpai bila membuka kitab suci al-Quran dari muka.
6
Al-T}abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘fi>> Ta’wil al-Qur’an, juz III, Cet. Ke-2 (Beirut: Mu’assasah alRisa>lah, 2000), hal. 561
5
Teks ayat tersebut jelas sekali adalah perintah dari Allah S.W.T. untuk memerangi orang-orang kafir yang dengan sengaja telah melakukan tindakan pengusiran dan memerangi terhadap orang-orang mukmin. Menurut Quraish Shihab, ayat 190 surat al-Baqarah ini berbicara tentang waktu, kapan diizinkannya peperangan dimulai oleh kaum Muslimin. Ia dapat dimulai saat ada musuh yang menyerang.7 Namun tidak semua sarjana tafsir meyakini ayat di atas sebagai yang pertama. Rasyi>d Rid}a> dalam tafsir al-Mana>r menyatakan bahwa sebuah riwayat dari Abu> Bakr al-S}iddi>q r.a. menyatakan ayat yang mula-mula turun tentang perang adalah QS. al-Hajj (22): 39-408
ِ َّ ِ ِ ِ ِ ُ أ ُِذ َن لِلَّ ِذين ي َقاتَلُو َن بِأَن ين أُخ ِر ُجوا ُ َ َ ) الذ99( َّهم ظُل ُموا َوإ َّن اللَّوَ َعلَى نَص ِرىم لََقد ٌير ِ َّ ِ ِ ِِ ِ ِ َّ َِّ ٍ ض ُهم بِبَع ض َ َّاس بَع َ من ديَارىم بغَي َحق إل أَن يَ ُقولُوا َرب نَا اللوُ َولَوَل َدف ُع اللو الن ِ ِ ِ ِ ِ ََلدِّمت صَر َّن اللَّوُ َمن ٌ صلَ َو ُ ات َوَم َساج ُد يُذ َك ُر ف َيها اس ُم اللَّو َكث ًيا َولَيَ ن َ ص َوام ُع َوبِيَ ٌع َو َ َُ )01( ص ُرهُ إِ َّن اللَّوَ لََق ِوي َع ِز ٌيز ُ يَن Artinya: “ Diizinkan (berperang)
bagi mereka (kaum Muslimin) yang
diperangi, karena mereka teraniaya, dan bahwa Allah, untuk menolong mereka, Maha Kuasa. Mereka yang diusir dari kampung halaman sendiri tanpa alasan yang benar, kecuali 7
Quraish Shihab, Ayat-Ayat Fitna, (Tangerang: Lentera Hati, 2008), hal. 65
8
Rasyi>d Rid}a>, Al-Mana>r, (Beirut: Da>r al-Ma’rifah), jilid XI, hal.126
6
karena mereka berkata:”Tuhan kami (hanyalah) Allah...” dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biarabiara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesunggguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. Banyaknya tafsir yang menjelaskan tentang ayat-ayat perang seperti di atas adalah sebagai respon kaum Muslimin dan reaksi mereka terhadap tindakan semena-mena yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Semua sejarawan sepakat, dalam kehidupan Rasululla>h S.A.W. di Makkah, perang dilarang, dan itu dicerminkan oleh banyak ayat al-Quran masa itu, yang tidak sekalipun berbicara tentang perang melainkan justru pendekatan yang lunak.9 Seperti firman Allah S.W.T. dalam QS: Fus}s}ilat (41): 34
ِ ِ ٌك َوبَي نَوُ َع َد َاوة َّ َوَل تَستَ ِوي اْلَ َسنَةُ َوَل َ َالسيِّئَةُ ادفَع بِالَِّت ى َي أَح َس ُن فَِإ َذا الَّذي بَي ن ِ )90( يم ٌ َكأَنَّوُ َوِل ََح Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
9
Syu’bah Asa, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik, (Jakarta: GramediaPustaka,2000), hal. 119
7
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. Pokok masalah dalam ayat-ayat perang seperti di atas yang menjadi landasan berpikir ekstrim kaum fundamentalis –selain karena pemahaman tekstual- nampaknya juga dipengaruhi oleh tulisan beberapa mufasir. Sebutlah tafsir klasik karya Zamakhsyari>. Ia mengikuti sebuah pendapat dari Ibn Zaid yang menyatakan bahwa ayat perang dalam surat al-Baqarah:190 di atas terhitung sebagai ayat yang mansu>kh, dihapuskan hukumnya dengan ayat lain QS.al-Bara>’ah (9): 36
ِ ِ ِ َّ ي َكافَّةً َك َما يُ َقاتِلُونَ ُكم َكافَّةً َواعلَ ُموا أ )93( ي َ َن اللَّوَ َم َع ال ُمتَّق َ َوقَاتلُوا ال ُمش ِرك Artinya: “... Dan perangilah para musyrik keseluruhan sebagaimana mereka memerangi kamu keseluruhan. Ketahuilah bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertakwa”. Zamakhsyari>, karena teori na>sikh-mansu>kh
ini mengemukakan
beberapa pendapat, yang diantaranya adalah peperangan yang dilakukan oleh Rasu>lulla>h S.A.W. adalah peperangan terhadap semua orang kafir: “Karena mereka semuanya melawan umat Muslimin dan bermaksud memerangi. Jadi mereka berada dalam hukum berperang, baik mereka berperang maupun tidak.”10 Selain karena kontroversi na>sikh-mansu>kh dan perbedaan pandangan antara mufasir mengenai pemberlakuan perang melawan kafir, ayat perang
10
Zamakhsyari>, al-Kasysya>f, (Kairo: Da>r al-Hadi>s\, 2012), jilid I, hal.231
8
dalam QS. al-Baqarah: 190 di atas menyinggung kata “fitnah‛. Kata ini mempunyai beberapa pengertian yang tidak satupun menyangkut arti “tuduhan palsu” seperti yang sering dipahami, yang bahasa Arabnya adalah “buhta>nan” (QS.4; 20,112, 156; QS.24: 16, dan QS.60: 12). Asalnya kata “fitnah‛ bermakna tindakan mendekatkan emas ke api untuk mendapat kemurniannya.11 Kemudian berkembang menjadi semua yang merupakan sarana pengujian. Karena itu fitnah biasanya dimaknai sebagai cobaan, ujian, atau bencana apapun (termasuk kecamuk batin) yang hakikatnya ujian. Dalam ayat ini fitnah punya beberapa tafsiran. Pertama syirik, seperti pendapat Qata>dah, al-Rabi>’ dan al-D}ahha>k. Sedangkan Ibn Zaid mengartikan fitnah sebagai bencana kekafiran.12 Penggunaan makna-makna tersebut memicu pemahaman yang ekstrim bahwa memerangi orang-orang kafir merupakan perintah dari Allah S.W.T. untuk menghindarkan kemusyrikan dan kekufuran yang sejatinya kedua hal tersebut lebih besar bahayanya. Belum lagi kata “fitnah” itu disebut kembali dalam ayat berikutnya (QS.2: 193) yang memerintahkan umat Muslimin untuk melakukan peperangan sampai tidak ada fitnah lagi dan ketaatan hanya semata-mata untuk Allah S.W.T. Pandangan para mufassir tentang penafsiran ayat-ayat perang seperti di atas tentu tidak berlebihan jika melihat konteks di masa mereka hidup dan dimana mereka tinggal. Namun yang sering menjadi problem masyarakat
11
Al-Alu>si>, Tafsir Ru>h al-Ma’a>ni> (Kairo: Da>r al-Hadi>s\, 2005), hal. 160
12
Al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’an, Cet. Ke-2, juz III, hal. 565
9
Muslim adalah memahami penafsiran mereka tanpa mengesampingkan konteks yang meliputi pola pemikiran mereka yang tentunya juga sangat dipengaruhi oleh kultur, sosial budaya dan iklim politik. Karena kesulitan ini, sehingga memahami ayat al-Quran maupun tafsir lebih cenderung kepada pemahaman tekstual ayat dan redaksional tafsir semata. Maka tidak heran jika Islam yang sejatinya diproklamasikan sebagai agama “rahmatan li al-
‘alami>n” malah justru menghadirkan wajah menakutkan dari para pemeluknya. Islam yang hakikatnya bermakna damai, tentram, aman, berserah diri, dan lain-lain, namun sebagian para pemeluknya
justru
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, termasuk didalamnya melakukan tindakan kekerasan dan pengeboman yang mengakibatkan ribuan jiwa tak berdosa meninggal dunia dengan amat sadis. Kalau sekiranya agama Islam dikaji secara benar dan mendalam, maka tentulah tidak akan pernah ditemukan bahwa Islam mengajarkan doktrin-doktrin kekerasan seperti yang telah penulis paparkan sebelumnya. Islam adalah agama yang mencintai perdamaian, keamanan, dan kenyamanan. Hal ini tercermin dari makna etimologisnya sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas. Dari latar belakang singkat yang penulis sampaikan inilah, penulis merasa perlu untuk mengkaji lagi lebih jauh akan pemahaman jihad dalam pandangan Ibn Jari>r al-T}abari> dalam kitabnya Tafsir Jami’ al-Baya>n fi>> Ta’wil
al-Qur’a>n. Hal ini sudah menjadi sebuah keharusan sebagai upaya menghapus pemahaman yang radikal pada seputar ayat-ayat jihad. Upaya ini sering disebut dengan “deradikalisasi”.
10
Kata ini berasal dari kata “radical” (Latin: radix) yang bermakna akar, diawali awalan “de” yang dalam bahasa Inggris berarti melenyapkan, menghilangkan atau menghapus sesuatu. Arti kata radikal yang dimaksud dalam judul skripsi ini adalah bertindak radikal. Dengan demikian, deradikalisasi dapat diartikan sebagai upaya melenyapkan, menghilangkan atau menghapus tindakan maupun paham radikal.13 Dari
tinjauan
etimologis
ini,
secara
terminologis
sederhana
“Deradikalisasi Jihad” berarti upaya menghapuskan pemahaman yang radikal terhadap konsep jihad dan terutama perang melawan kafir. Dengan demikian, deradikalisasi bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk menyampaikan pemahaman baru tentang jihad ataupun mengkaburkan maknanya, melainkan sebagai upaya mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman tentang apa dan bagaimana jihad sebenarnya. Gagasan deradikalisasi sesungguhnya muncul setelah Islam, sebagai agama perdamaian, diberi stigma negatif oleh Dunia Barat. Stigma negatif ini muncul karena banyak faktor; salah paham terhadap Islam, informasi media yang memojokkan Islam, atau murni karena kebencian terhadap Islam yang diwarisi dari orientalisme klasik.14 Penulis sendiri lebih cenderung menilai stigma itu lebih banyak disebabkan oleh faktor internal Islam, yakni pemahaman pemeluk Islam yang sempit terhadap agamanya. Untuk itulah urgensi deradikalisasi diterapkan sebagai solusi untuk membangun kembali citra positif Islam sebagai agama yang damai. Termasuk penulisan skripsi ini 13
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi al-Qur’an dan Hadis (Jakarta: Gramedia, 2014), hal. 4
14
Ibid., hal 5
11
adalah langkah kecil upaya deradikalisasi melalui metode pemahaman agama yang fokusnya pada tema jihad. Lebih fokus lagi, penelitian ini menganalisa penafsiran ayat-ayat jihad dan ayat yang terkait dengan itu, dalam kitab tafsir al-T{abari>. Alasan penulis memilih tafsir al-T}abari> sebagai objek kajian lebih disebabkan karena Ibn Jari>r al-T}abari> adalah seorang yang moderat. Ini bisa dilihat dari banyak penafsiran ayat yang ia paparkan banyak sekali mengutip maz\hab-madz\ab dengan sikap toleran. Salah satu contohnya adalah seperti dalam QS. alBaqarah (2): 193
ِ ِ ِّين لِلَّ ِو فَِإ ِن ان تَ َهوا فَ َل عُد َوا َن إَِّل َعلَى ُ َُوقَاتل ُ وىم َح َّّت َل تَ ُكو َن فت نَةٌ َويَ ُكو َن الد ِِ )099( ي َ الظَّالم Artinya: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim” Tentang pengertian redaksi “al-Z}a>limi>n‛ di akhir ayat tersebut – sementara al-Kha>zin dalam tafsirnya lebih cenderung mengambil hanya satu kesimpulan bahwa orang-orang yang zalim adalah orang-orang yang kafir 15 al-T}abari> lebih moderat dengan menyebutkan dua pendapat alternatif yang disertai sumber-sumbernya secara berimbang. Pertama, mereka yang enggan 15
Al-Kha>zin, Luba>b al-Ta’wi>l Fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l, Cet. ke-1 (Beirut: Da>r al-Kutub al’Ilmiyyah, 1995), jilid I, hal. 223
12
mengucapkan kalimat tauhid. Atau kedua, mereka yang tidak berhenti memerangi orang-orang mukmin.16 Dengan sikap moderatnya itulah, al-T}abari> telah mampu menciptakan sebuah penafsiran yang objektif dalam melihat suatu permasalahan.17 Disamping itu, kitab Ja>mi’ al-Baya>n merupakan salah satu dari sekian kitab tafsir yang menggunakan metode bi al-ma’s\u>r. Dengan demikian dapat dikatakan penafsiran dengan corak ini lebih dekat dengan Nabi S.A.W.
B. Rumusan Masalah Dari hasil latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka penulis merumuskan pokok permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimanakah konsep jihad dalam al-Qur‟an menurut pandangan Ibn Jari>r al-T}abari> ? 2. Bagaimana makna kontekstual tafsir ayat-ayat tersebut?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang pemikiran jihad secara lebih komprehensif, sehingga dapat menambah khazanah keilmuan terkait konsep jihad bagi penulis secara khusus dan bagi para pencari ilmu secara umumnya. 16 17
Al-T}abari>, Ja>mi’ al-Baya>n fi> Ta’wil al-Qur’an, Cet. Ke-2, juz III, hal. 574
Muhammad Yusuf (dkk), Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks Bisu (Yogyakarta: Teras, 2004) hal. 30-31
13
2. Untuk merekonstruksi pemahaman yang moderat tentang pemaknaan jihad secara kontekstual dari pemikiran tafsir al-T}abari>. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara ilmiah penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu Ushuluddin pada umumnya dan tafsir hadis pada khususnya serta menjadi rujukan penelitian berikutnya 2. Penelitian ini diharapkan mendorong penelitian-penelitian lain tentang disiplin ilmu yang digali dari kedua sumber hukum Islam yakni al-Qur‟an al-Hadis.
D. Telaah Pustaka Kajian tentang jihad merupakan sebuah topik kajian yang saat ini sedang mengalami tenar-tenarnya. Topik jihad merupakan satu bagian dari berbagai wacana-wacana ke Islaman sejak tahun 90 an hingga saat ini dan bahkan sempat menjadi salah satu isu Islam yang sangat sensitif. Sehingga tidaklah heran kalau sekiranya isu tentang jihad ini sering menjadi perdebatan yang sangat menarik dikalangan para ulama‟, para intelektual Islam dan juga para intelektual Barat, baik dalam kaitannya dengan doktrin fiqh maupun dengan konteks politik Islam. Mereka telah banyak mengadakan kajian dan
14
analisa tehadap seluk beluk kata ini, baik kajiannya itu secara definisi, ruang lingkup, pembahasan maupun pro-kontra makna kata jihad.18 Perbincangan mengenai topik jihad beserta konsep-konsep yang dikemukakan sedikit banyak telah mengalami pergeseran dan perubahan seiring dengan konteks dan lingkungan masing-masing pemikir. Dari berbagai macam pergeseran dan perubahan yang terjadi secara kontekstual inilah akhirnya melahirkan berbagai studi tentang reformulasi konsep jihad yang tidak hanya dikungkung dan dikerangkeng dalam pemaknaan perang dan kekerasan. Dalam buku Dari Jihad Menuju Ijtihad yang ditulis oleh M. Guntur Romli dan Ahmad Fawaid Syadzali misalnya, ada upaya yang dilakukan oleh kedua penulis tersebut untuk mengendapkan jihad dan mengembalikannya pada makna yang paling fundamental, yaitu keseriusan dan kesungguhan dalam berpikir.19 Selain itu, ada juga artikel yang diulas oleh Rumadi yang menjadi bagian dari riset Jurnal Tas}wîrul Afka>r edisi Fundamentalisme Islam no. 13 yang berjudul Jihad: Mengapa Jadi Hantu Umat Islam. Sealur dengan judul yang dituliskan, Rumadi mencoba memberikan stereotype jihad yang menjadikannya seakan jauh dari praksis keberagamaan umat Islam.20 Selain dua karya di atas ada juga seorang intelektual Muslim yang meninggal di tiang gantungan, Mahmud Muhammad Toha, menyinggung 18
Nuim Hidayat, Sayyid Quthb: Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, Cet. Ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 53 19
Afroni, ‚Studi Reaktualisasi Konsep Jihad (Studi Analisis Pemikiran Kh. Hasyim Muzadi),‛Skripsi Sarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang 2005, hal. 11 20
Ibid., hal. 11
15
sedikit persoalan jihad dalam bukunya The Second Message yang diterjemahkan dan diberi judul Arus Balik Syari’ah. Hanya saja apa yang dilakukannya hanya menampilkan sedikit dari sisi jihad yang seharusnya dikupas dari berbagai perspektif.21 Adapun mengenai penelitian-penelitian ilmiah yang relevan dengan penelitian ini adalah: Irham Mahmudi (2001) menulis penelitian “Konsep Amar Ma’ru>f Nahi
Munkar Menurut Ibnu Taimiyah”. Penelitian ini berusaha melihat tindakan apa saja yang termasuk kategori amar ma’ru>f nahi munkar dengan melihat pemikiran tokoh Ibnu Taimiyah. Penulisan penelitian ini menggunakan metode komparatif dengan membandingkan pemikiran Ibnu Taimiyah dengan pemikir lainnya. Temuan penelitian ini mengungkapkan beberapa kategori amar ma’ru>f nahi munkar yang dipahami oleh Ibnu Taimiyah, yaitu momentum yang tepat dalam melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar ialah ketika melihat kezaliman penguasa (pemerintah) terhadap rakyatnya. Ibnu Taimiyah juga mengganggap bahwa amar ma’ruf nahi munkar akan lebih efektif jika dilakukan secara berjama‟ah (berkelompok).22 Dodi Dwi Angko (2008) menulis penelitian “Konsep Jihad Fi Sabilillah Menurut Abul A’la al-Maududi”. Konsep yang ditawarkan penelitian ini masih seputar jihad , namun lebih menitik beratkan kepada pemikiran al-Maudu>di. Berangkat dari usaha untuk meluruskan wacana yang 21 22
Ibid., hal.15
Rico Setyo Nugroho, ‚Jihad Fi Sabilillah dalam Pemikiran Imam Samudra dalam Buku Aku Melawan Teroris; Ditinjau Dari Perspektif Dakwah,‛, hal. 7
16
berkembang bahwa jihad bukanlah peperangan, penulisan penelitian ini menjabarkan bahwa jihad terbagi dalam lima bagian yaitu jihad harta (jiha>d
amwa>l), jihad jiwa (jiha>d anfus), jihad pendidikan (jiha>d ilmi), jihad politik (jiha>d siya>si>) dan jihad pengetahuan (jiha>d ma’rifah).23 Selain dua penelitian tersebut, ada juga skripsi yang berjudul: “Konsep Jihad Menurut Imam Samudra (Analisis terhadap Buku: “Aku Melawan Teroris”), karya Muchsinin (2011). Dalam skripsi ini pembahasan jihad fokus pada analisis buku, yang intinya bagaimana keadaan bisa dijalankannya suatu jihad (perlawanan secara fisik) dengan orang-orang kafir. Disebutkan bahwa tidak boleh setiap Muslim melakukan jihad sendiri-sendiri tanpa izin dari imam kecuali dalam kondisi diserang musuh, karena mereka sedang berhadapan dengan sesuatu yang membahayakan.24 Berdasarkan dari beberapa penelitian atau karya-karya ilmiah yang telah penulis sampaikan di atas, maka pada penelitian ini penulis hanya akan memfokuskan kajian terhadap ayat-ayat jihad dalam tafsir al-T}abari> dalam karya
masterpiece-nya,
Tafsîr
Ja>mi’
al-Baya>n
dengan
pendekatan
hermeneutik filosofis.
23
Dodi Dwi Angko, Skripsi: Konsep Jihad Fi Sabilillah Menurut Abul A’la al-Maududi (Pekalongan: STAIN, 2008), hal. 30 24
Muchsinin, Skripsi: Konsep Jihad Menurut Imam Samudra (Analisis terhadap Buku: ‚Aku Melawan Teroris‛), (Pekalongan: STAIN, 2011), hal. 22
17
E. Kerangka Teori Penelitian ini akan berupaya untuk mengungkapkan konsepsi jihad menurut al-T}abari> dalam Tafsīr Ja>mi’ al-Baya>n fi>> Ta’wi>li al-Qur’a>n dengan menggunakan pendekatan teori hermeneutika Gadamer. Perspektif hermeneutika Gadamerian menempatkan makna wacana bukan pada maksud
(intention) penutur
seperti
pada
hermenutika
intensionalisme (pragmatics), tetapi pada penerimaan (perception) pendengar atau pembaca. Walaupun wacana diproduksi oleh seseorang, sesuai dengan hakikat bahasa, wacana tidak ditujukan kepada diri penutur atau penulis sendiri. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang otonom, yang sudah terlepas dari penyampainya.25 Hermeneutika filosofis ini, mungkin lebih tepatnya: epistemologissebagai upaya “pemahaman terhadap sebuah pemahaman”. Ibarat cerita berbingkai dalam dunia sastra, maka hermeneutika jenis ini adalah suatu pemahaman terhadap pemahaman yang dilakukan seeseorang dengan menelaah proses dan asumsi-asumsi yang berlaku (pra-andaian) dalam pemahaman tersebut.26 Sehubungan dengan pendekatan hermeneutika modern terhadap alQuran ini, maka perlu diperhatikan tiga hal pokok yang menjadi asumsi dasar dalam membaca penafsiran yakni:27
25
Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa Dalam Wacana Politik Gus Dur, (Malang: UIN Malang Press, 2007), hal. 22 26
Fahrudin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, hal. 9
27
Fahrudin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, hal. 15
18
a. Para penafsir itu adalah manusia, siapapun orangnya yang menafsirkan teks kitab suci itu, ia tetaplah manusia biasa yang lengkap dengan segala kekurangan, kelebihan, dan kesementaraannya karena terikat oleh ruang dan waktu. Dengan asumsi ini diharapkan bisa dimengerti bahwasannya manusia itu tidak akan bisa melepaskan dari ikatan historis dan psikis kehidupan dan pengalamannya, dimana ikatan tersebut sedikit banyak akan membawa pengaruh dan mewarnai corak penfsirannya. Para penafsir adalah sosok manusia yang membawa muatan-muatan kemanusiaan masing-masing. Setiap generasi Muslim sejak zaman Nabi Muhammad S.A.W., sambil membawa “muatan”nya itu. b. Penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah, dan tradisi bahwa segala aktifitas penafsirian pada dasarnya merupakan satu partisipasi dalam historis-linguistik dan tradisi yang berlaku, dimana partisipasi itu terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Pergulatan umat Islam dengan alQuran juga berada dalam “kurungan” ini. Seseorang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari bahasa, budaya, dan tradisi dimana mereka hidup. Maka, penfsiran itu tidak bisa secara sepenuhnya mandiri berdasarkan teks, tetapi pasti terkait dengan muatan historisnya, baik muatan historis saat teks itu muncul dan saat teks itu ditafsirkan. c. Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri, bahwa nuansa sosio-historis dalam pewahyuan al-Quran itu nampak dalam isi, bentuk, tujuan dan bahasa yang dipakai al-Quran. Hal ini nampak pula misalnya dalam pembedaan antara ayat-ayat makkiyyah dan ayat-ayat madaniyyah.
19
Dalam hubungannya dengan proses pewahyuan, bahasa dan isi di satu sisi, serta dengan komunitas masyarakat yang menerimanya di sisi lain, alQuran tidaklah “unik”. Disamping teori hermeneutika Gadamer, dalam memahami maknamakna yang terkandung dalam al-Qur`an, sejumlah ulama menyusun ramburambu yang diharapkan dapat meminimalisir penyimpangan-penyimpangan atau kesalahan-kesalahan yang mungkin saja terjadi dalam upaya manusia dalam memahami al-Qur‟an. Sehubungan dengan itu, di kalangan ulama dikenal apa yang disebut sebagai kaidah-kaidah tafsir (qawa’id al-tafsīr), latar belakang turunnya suatu ayat (asba>b al-nuzu>l), pengetahuan tentang keragaman bacaan al-Qur`an (qira>’a>t al-Qura>n), hubungan atau keselarasan (muna>sabah) antara suatu ayat atau suatu surah al-Qur`an, dan sebagainya. Pembahasan tentang qawa>’id al-tafsīr, asba>b al-nuzu>l, qira>’a>t al-
Qur’a>n, dan muna>sabah itu merupakan pembahasan yang cukup panjang dalam disiplin „ulu>m al-Qur’a>n yang -karena keterbatasan ruang- tidak dapat dikemukakan secara rinci di sini. Namun secara garis besar, teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori tafsir dengan metode maud}u>’i, yakni metode penafsiran untuk menjelaskan konsep pada suatu tema tertentu dengan menghimpun seluruh ayat al-Qur‟an yang membicarakan tema tersebut, kemudian menganalisanya dari berbagai aspek yang meliputi asba>b
20
al-nuzu>l, muna>sabah, makna kosa kata, serta aspek-aspek lain yang dianggap penting.28 Teori-teori atau pengetahuan tentang semua itu juga layak digunakan sebagai kerangka teori dalam penelitian ini untuk lebih memahami makna ayat-ayat tentang jihad.
F. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Yakni metode (jalan) secara sistematis yang digunakan untuk mengkaji atau meneliti suatu objek pada latar alamiah tanpa ada manipulasi di dalamnya dan tanpa ada pengujian hipotesis dengan hasil penelitian bukanlah generalisasi berdasarkan ukuran kuantitas, namun makna dari fenomena yang diamati.29 2. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research), yaitu suatu penelitian yang dalam prosesnya menggunakan data-data atau bahan-bahan tertulis yang memiliki keterkaitan dengan tema permasalahan yang akan diteliti. 3. Sifat Penelitian
28
Nasiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal.151 29
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian , (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2011), hal. 24
21
Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitik, yaitu suatu bentuk penelitian yang meliputi proses pengumpulan dan penyusunan data yang pada tahap selanjutnya data-data yang sudah terkumpul dan tersusun tersebut dianalisis secara teliti dan mendalam. 4. Sumber Data Sumber data yang penulis gunakan berupa literatur yang terdiri dari hasil karya tulis kepustakaan, penelitian dan berbagai macam jenis dokumen yang biasanya terangkum dalam buku, jurnal, majalah, penelitian, tesis, dan karya-karya tulis lainnya. a. Sumber Data Primer Karena topik pembahasan pada penelitian ini adalah konsep jihad dalam pandangan al-T{abari>, maka yang menjadi sumber data primer penulis dalam penelitian ini adalah kitab tafsir karya al-T{abari> : Jami’ al-
Baya>n fi> Ta’wil al-Qur’a>n. b. Sumber Data Skunder Adapun yang menjadi data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku ataupun tulisan-tulisan orang lain yang memiliki keterkaitan dengan pembahasan yang akan dikaji oleh penulis. Di antaranya adalah buku Wawasan al-Qur’an dan Ayat-Ayat Fitna oleh Prof. Quraish Shihab, Fiqih Jihad oleh Yusuf Qardhawi, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik oleh Syu‟bah Asa, Teologi Politik oleh Muhamad Walid, M.A., kitabkitab tafsir klasik karya al-Kha>zin, Zamakhsyari, dan sumber-sumber
22
sekunder lainnya yang terkait dengan pembahasan yang akan penulis kaji. 5. Pendekatan Sebagai upaya deradikalisasi pemahaman jihad dengan menelaah teksteks jihad baik ayat maupun tafsirnya, pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan hermeneutik filosofis Gadamer. Karena seperti yang ditawarkan dalam buku Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an dan Hadits, upaya deradikalisasi pemahaman dapat melalui konteks yang dilakukan dengan cara mengaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam nass}{ dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis kultural ketika itu.30 Pandangan ini pada dasarnya sama dengan teori yang dibangun dalam hermeneutik filosofis Gadamer. Karena pendekatan ini fokus perhatiannya bukan lagi
bagaimana agar
bisa mendapatkan pemahaman
yang
komperehensif, tetapi lebih jauh mengupas seperti apa kondisi manusia yang memahami itu, dari berbagai aspek baik politik, sosiologis, historis dan lain sebagainya termasuk dalam aspek-aspek filosofis yang mendalam seperti kajian terhadap pemahaman dan penafsiran sebagai pra-syarat eksistensial manusia.31 Maka implementasi hermeneutika Gadamer dalam penelitian ini adalah menempatkan ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan tema jihad
30 31
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi al-Qur’an dan Hadis, hal. 53
Fahrudin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2011), hal. 8-9
23
sebagai teks yang dibaca atau dipahami oleh al-T}abari>. Dengan asumsiasumsi dasar (pra-andaian) berupa teori-teori jihad yang dipahami penulis serta kesadaran sosio-historis antara penulis dengan al-T}abari. Pendekatan hermeneutika ini bukan dengan maksud mencari kebenaran makna dari penutur teks al-Qur‟an (Allah S.W.T.) tetapi dengan menjadikan pemikiran al-T}abari> dalam kitab tafsirnya itu sebagai sache (subyek yang menjadi tema pembicaraan) atau dialog antara pemikiran al-T}abari> dengan teks-teks tersebut. Inilah yang menurut penulis perlu diungkap agar konteks penafsiran al-T}abari> serta pemahaman beliau tentang konsep jihad tidak menjadi bagian yang berdiri sendiri-sendiri, namun sebuah pemahaman yang utuh dan menyatu. Karena sebagaimana yang dinyatakan dalam buku Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi Dan Liberasi oleh Dr. H.M. Atho Mudzhar bahwa produk-produk pemikiran seorang tokoh itu merupakan hasil dari interaksinya dengan lingkungan yang meliputinya.32 Sehingga dapat diterapkan sebuah pemahaman konsep jihad dalam ayat-ayat perang secara kontekstual dan relevan. Disamping pendekatan hermeneutik, penelitian ini juga menggunakan pendekatan tafsir maud}u>’i yang terdapat dalam ulu>m al-Qur’a>n. Dengan pendekatan ini, penulis mengumpulkan ayat-ayat yang bertemakan jihad lalu menganalisanya dari aspek-aspek tertentu, seperti makna kebahasaan,
32
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi Dan Liberasi, Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hal. 105.
24
asba>b al-nuzu>l, naskh-mansu>kh, dan lain-lain termasuk bagaimana pandangan al-T}abari> terhadap ayat-ayat tersebut.
G. Sistematika Pembahasan Dalam penulisannya, penelitian ini dibagi ke dalam beberapa bab, di antaranya adalah: Bab pertama merupakan pendahuluan yang merangkum latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, tinjauan pustaka, metode penelitian, pendekatan, dan sistematika pembahasan yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang penelitian ini. Bab kedua, menjelaskan tentang teori-teori jihad yang berkembang dalam khazanah intelektual Islam dari beberapa disiplin ilmu. Penjelasan teori-teori ini dijadikan sebagai asumsi dasar dalam pendekatan hermeneutik filosofis Gadamer untuk memahami tafsir ayat-ayat jihad. Di dalamnya penulis akan membahas tentang defenisi jihad, hukum jihad dan macammacam jihad dalam Islam. Bab ketiga, membahas tentang riwayat hidup Imam Ibn Jari>r alT}abari>. Penulis akan terlebih dahulu menguraikan tentang latar belakang kehidupan beliau dari sisi sosial politik, budaya serta keagamaan yang terjadi pada masa kehidupan Ibn Jari>r al-T}abari>. Bab ini sebagai pijakan awal untuk membaca sejauh mana keterkaitan antara kondisi pada masa kehidupan alT}abari> dengan penafsirannya. Pada bab ini juga akan dijelaskan secara singkat metode penulisan yang dipilih al-T}abari> di dalam kitab tafsirnya.
25
Bab keempat, menjelaskan penafsiran ayat-ayat jihad dari kitab tafsir
al-Ja>mi’ al-Baya>n. Bab ini juga berisi komentar-komentar al-T}abari terhadap kata “jihad” dan “Qita>l” dalam al-Qur‟an, dan persoalan na>sikh-mansu>kh dalam ayat jihad. Sesuai konsep hermeneutika, penulis juga akan memberikan sekilas gambaran keterkaitan antara tafsir al-T}abari> dengan sosio-historis yang melingkupinya. Dan diakhiri dengan kajian kontekstual makna jihad. Kajian ini sebagai upaya memproduk pemahaman baru yang dalam teori hermeneutik Gadamer dikatakan sebagai pemahaman yang bersifat subjektif. Bab kelima, membahas bagian akhir dari penelitian ini yakni penulis akan memberikan penutup dari rangkaian penulisan penelitian yang telah penulis buat. Pada bab ini penulis akan menarik sebuah kesimpulan seputar penulisan penelitian yang telah penulis sajikan dalam penelitian ini dan saransaran untuk tema yang terkait.