Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang memiliki prevalensi cukup tinggi di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 mengenai pengukuran tekanan darah pada usia 18 tahun ke atas menunjukkan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7%. DI negara maju, prevalensi hipertensi juga terus mengalami peningkatan dari 22,1 % pada tahun 1997 sampai dengan 24,1% pada tahun 2007 (Estoppey, Paccaud, Vollenweider, & Marques-Vidal, 2011). Melihat besarnya angka kasus hipertensi pada penduduk Indonesia, Kementrian Kesehatan membuat kebijakan meliputi tiga hal penting dalam upaya menangani peningkatan kasus yaitu mengembangkan kegiatan deteksi dini hipertensi, peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan deteksi dini dan peningkatan akses penderita terhadap pengobatan hipertensi melalui revitalisasi Puskesmas (Kesehatan, 2012). Point ketiga pada kebijakan ini menekankan pentingnya revitasliasi sistem penanganan pasien hipertensi di Puskesmas. Tjandra, Dirtektur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, mengungkapkan upaya yang dapat dilakukan untuk menangani pasien hipertensi adalah dengan meningkatkan kualitas hidupnya (Kesehatan, 2012). Psikolog dapat berperan serta dalam upaya peningkatan kualitas hidup pasien hipertensi dengan menyasar pada peningkatan manajemen diri pasien hipertensi. Gambaran klinis pasien hipertensi terbagi dalam dua keluhan utama yaitu keluhan insial seperti sakit kepala, pusing dan jantung berdebar, dan keluhan psikis yaitu ketegangan, dorongan bergerak yang tidak jelas dan tanpa tujuan (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata & Setiati, 2009), bermalas-malasan serta kurang bergerak diwaktu senggang (Wiehe, et.al, 2006). Walaupun tidak terdapat keterkaitan yang signifikan antara peningkatan tekanan darah dengan depresi 2
(Kibler, Joshi & Ma, 2010), gambaran klinis pasien hipertensi seperti bermalasmalasan dan kurang bergerak diwaktu senggang merupakan salah satu hal yang dapat meningkatkan risiko terjadinya depresi mayor (Wiehe, M., et.al., 2006). Kondisi ini menekankan pentingnya pengembangan penanganan dengan manajemen diri pasien hipertensi sebagai sasarannya. Beberapa perilaku yang merupakan bagian dari manajemen diri pasien hipertensi adalah mengurangi konsumsi garam, meminum obat antihipertensi, meningkatkan durasi dan intensitas olahraga (Han, Kim, Kang, Jeong, Kim & T.Kim, 2007), berjalan kaki selama 30 menit dan mencapai berat badan normal melalui diet (National Institutes of Health & National Heart, Lung and Blood institute, 2005). Kemampuan rawat diri pasien hipertensi akan berpengaruh terhadap penurunan tekanan darah systolic dan diastolic (Rujiwatthanakorn, Panpakdee,
Malathum
&
Tanomsup,
2011).
Diantara
beragam
pilihan
manajemen diri pasien hipertensi, dua manajemen diri yang paling utama adalah konsumsi obat hipertensi secara teratur (National Institutes of Health & National Heart, Lung and Blood institute, 2005) dan olahraga (Jennings, 2003). Adapun obat antihipertensi yang harus dikonsumsi berbeda-beda baik takaran dan jenisnya sesuai dengan Renin-angiotensin System (RAS) pada setiap pasien (Bakris, 2006). Untuk mendukung pengembangan model penanganan yang paling tepat dalam meningkatkan manajemen diri pasien hipertensi, dibutuhkan tritmen yang terbukti valid dapat meningkatkan perilaku. Behavioral Activation (BA) merupakan salah satu model evidence based treatment yang didasarkan pada pendekatan perilaku dari pemikiran B.F. Skinner sampai dengan pemikiran konteks fungsional dari Steve Hayes (Kanter, 2009). BA bertujuan mengaktivasi perilaku klien dengan cara-cara spesifik yang dapat 3
meningkatkan interaksi klien dengan pengalaman menyenangkan dalam hidupnya. BA juga berfokus pada proses yang menghalangi aktivasi, seperti perilaku melarikan diri atau menghindar (Martel, 2010). BA telah terbukti efektif digunakan untuk menurunkan simtom PTSD pada prajurit perang (Jakupcak, Wagner, Paulson, Varra dan McFall, 2010), depresi pada penderita depresi (Chartier, Soucy & Provencher, 2012; Gawrysiak, Nicholas & Hopko, 2009 ; Mazzucchelli, Kane & Rees, 2009 ; McClain, 2011 ; Spates, Pagoto & Kalata, 2006) dan juga pada pasien penyakit kronis seperti kanker (Hopko & Colman, 2012), kanker payudara (Hopko, Armento, Robertson, Ryba, Carvalho, Colman, Mullane, Gawrysiak, Bell, Nulty & Lejues, 2011), dan diabetes tipe 2 (Schneider, K., 2011). BA memiliki efektivitas yang sama dengan cognitive therapy dan bahkan lebih baik daripada penggunaan antidepresan pada individu yang mengalami depresi (Bottonari, Robert, Thomas & Read, 2008 ; Dimidjian, et.al., 2006). Penurunan depresi diakibatkan oleh peningkatan penguatan positif yang mereka peroleh setelah melakukan aktivasi perilaku (Manos, Kanter & Busch, 2010). Sebagian besar pasien yang menjalankan tritmen BA menuruti aktivasi yang
sudah
dirancang
dan
memunculkan
perilaku
yang
direncakanan
(Gawrysiak, M., Nicholas, C., & Hopko, D., 2009). BA juga dapat meningkatkan secara signifikan aktivitas fisik (aktivitas berupa perilaku gaya hidup ataupun olahraga fisik terstruktur) pada waktu luang bagi individu dengan obesitas (Pagoto, Bodenlos, Schneider, Olendzki, & Spates, 2008). Pada kasus penyakit kanker, BA terbukti efektif menurunkan depresi melalui dua fokus sasaran yaitu penurunan perilaku menghindar dan peningkatan perilaku penerimaan pada kondisi fisiknya (Hopko, et.al, 2011). Proses aktivasi dijelaskan dalam gambar 1. 4
Tiga Lingkaran depresi
2
Bosan,
2 merasa
3
sakit, tidak berdaya
Tiga Lingkaran Aktivasi
Bermalasmalasan, 3 tidak mau bergerak
66
Merasa segar, berdaya, senang
Sakit kronis (hipertensi)
Aktivasi perilaku 4 4 (olahraga, minum obat)
55
11
Pekerjaan selesai, tensi darah menurun
Gambar 1. Lingkaran depresi dan lingkaran aktivasi
BA
beranggapan
bahwa
suatu
kondisi
yang
bermasalah
dapat
memunculkan reaksi alami pada individu yang mengalaminya. Reaksi alami yang negatif, sebagaimana tertera dalam lingkaran nomor 2 pada gambar diatas, dapat memunculkan perilaku menghindar seperti bermalas-malasan dan tidak mau bergerak. Respon perilaku ini mengantarkan individu pada kondisi yang semakin bermasalah hingga akhirnya proses ini terus berlanjut dan menjadi lingkaran depresi. Tritmen BA berusaha memutus siklus ini dengan mengganti respon perilaku menghindar pada individu dengan aktivasi perilaku. Penguatan (lingkaran 5) yang diperoleh dari aktivasi yang dilakukan (lingkaran 4) akan menyebabkan munculnya reaksi alami yang positif (lingkaran 6). Beberapa teknik dalam BA meliputi providing rationale, monitoring aktivitas, asesmen nilai hidup, perencanaan aktivitas, pembahasan kesuksesan atau kegagalan aktivasi dan upaya mengatasinya (Kanter, Busch, & Rusch, 2009). Providing rationale ditujukan untuk memahami konseptualisasi perilaku klien 5
dalam menghadapi permasalahannya. Pemahaman ini dapat digunakan untuk merancang perilaku yang akan ditingkatkan (Kanter, Busch, & Rusch, 2009). Adanya target perilaku dan monitoring dalam intervensi yang dilakukan juga terbukti
dapat
merubah
pola
perilaku
mengontrol
tekanan
darah
dan
mengkonsumsi obat pada pasien hipertensi (Bosworth, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk memvalidasi modul BA dalam meningkatkan manajemen
diri
pasien
hipertensi
(jogging,
aerobik
dan
keteraturan
mengkonsumsi obat) di Puskesmas. Validitas merupakan perkiraan terbaik yang ada terhadap kebenaran atau kesalahan proposisi, termasuk proposisi mengenai sebab (Cook & Campbell, 1979). Dalam penelitian ini, peneliti memiliki hipotesa bahwa modul BA valid digunakan untuk meningkatkan manajemen diri (jogging, aerobik dan mengkonsumsi obat antihipertensi sesuai resep dokter) pasien hipertensi di Puskesmas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan tritmen intervensi yang dapat diterapkan oleh klinisi untuk membantu meningkatkan manajemen diri pasien hipertensi.
METODE PENELITIAN Sebelum melakukan studi utama, peneliti terlebih dahulu melakukan studi preliminari dengan tujuan untuk mempersiapkan dan memastikan bahwa para psikolog yang terlibat dalam studi utama benar-benar menguasai teknik-teknik dalam Modul BA. Persiapan dilakukan melalui pelatihan yang keabsahannya diuji secara eksperimen. Setelah para psikolog dinyatakan siap pada studi perliminari, peneltii akan melaksanakan studi utama (validasi modul BA). Berikut peneliti menjelaskan metode penelitian pada studi preliminari dan studi utama.
6