HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI): SEJARAH DAN PEMIKIRAN KEISLAMANNYA
Sukron Kamil* One of the salient shortcomings of early Islamic modernist movement in Indonesia is that they did not deal with the very essential world view (weltanschaung) concerning nature, man and God. This shortcoming was being remedied by latter movement, called by Greg Barton as Neo-modernism. One of such movements is Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) (The Islamic Student Association) whose former president, Nurcholish Madjid wrote Nilai Identitas Kader (The Value of Cadre’s Identity). In addition to the Statue and Rule of Association the booklet is being used as reference by its cadres. The pattern of movement and its Islamic thought are different from that of previous Islamic modernist movement. HMI no longer emphasized the ritual aspect and does not consider Islamic politics as being sacred. The Ijtihad of HMI concerns more with social cultural, economic and political issues. As grand Islamic ideas of HMI, NIK contains broad outline of Islamic thought concerning God, nature, man democracy and economic justice. The salient feature of NIK is its tendency to be eclectic in its thinking. It combines the ideas of Mu’tazilah, Asy’ariyah, Wahabisme, modernism and modern western socio-political and economic ideas.
Pendahuluan Sejarah Modernisme Islam di Indonesia, seperti dunia Islam lainnya, walaupun karakteristiknya ada sedikit perbedaan, dimulai sejak pertemuan Islam dengan Barat lewat kolonialisme yang ditandai dengan diadopsinya sistem klasikal oleh lembaga pendidikan Islam semisal Sekolah Adabiyah dan
Sumatera
Thawalib,
munculnya
SI
(Sarekat
Muhammadiyah 1912, al-Irsyad 1915, dan Persis 1923.
Islam)
1911,
Satu hal yang
menonjol dari gerakan ini adalah adanya semangat ijtihad untuk kembali pada Alqur’an dan Hadis di satu sisi dan di sisi yang lain menekankan relevansi Islam dengan konteks kemodernan dan bisa menerima modernitas sebagai produk Barat (seperti sistem pendidikan modern, pola organisasi modern, ide nasionalisme, demokrasi, dan mode/model pakaian ala barat *
Sukron Kamil, lahir di Bogor, 15 April 1969. Gelar Sarjana Sastra Arab dan Magister dalam pendidikan Islam dan Modernitas diperoleh di IAIN Jakarta. Di tempat yang sama pula saat ini sedang mengambil program doktoral untuk Pengkajian Islam Kontemporer. Selain sebagai koordinator bidang penelitian Pusat Bahasa dan Budaya IAIN, saat ini juga aktif sebagai dosen pada UIN Syarif Hidayatullah dan dosen luar biasa Universitas Paramadina.
Jurnal Universitas Paramadina Vol.4 No. 1, Juli 2005: 1-29
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
modern), sehingga bisa dikatakan dalam beberapa hal bersikap westernized dan tentu saja lewat justifikasi atau adaptasi Islam terlebih dahulu. Karena itu, seperti dikatakan Fazlurrahman, modernisme sesungguhnya merupakan kelanjutan revivalisme Wahabisme, yang di Indonesia diwakili Gerakan Padri pada abad 19 (Perang Padri 1822-1837). Namun demikian, kekurangan yang menonjol dari gerakan ini adalah karena diilhami oleh Gerakan Wahabi yang mengacu pada Ibn Taimiyah yang anti filsafat dan ijtihad-nya pun lebih difokuskan secara berlebihan pada fiqh yang terkesan kaku, maka gerakan tersebut mengalami inkonsistensi. Satu sisi menganjurkan ijtihad, tapi pada sisi lain tidak mengembangkan intelektualisme Islam secara baik. Gerakan ijtihad mereka, karena langsung kembali pada Alqur’an dan Hadis dengan perspektif Islam pertengahan Ibn Taimiyah dan Muhammad bin Abd al-Wahab, bersifat jump to conclusion. Mereka agak berfikir dari nol dan kurang punya wawasan khazanah intelektual Islam klasik. Mereka tidak menyentuh persoalan besar yang lebih esensial menyangkut weltanschaung tentang alam, manusia, dan Tuhan1. Persoalan itu baru dibicarakan kemudian oleh gerakan, yang disebut Greg Barton Neo-modernisme, sebuah gerakan yang ingin menguasai khazanah pemikiran Barat modern dan khazanah pemikiran Islam, khususnya klasik, secara kritis dan objektif. Tujuannya untuk membangun pemikiran Islam modern yang utuh, menyeluruh, dan sistematis, sehingga eksis dalam dunia modern sekaligus Islami (A’la, 2001). Salah satunya dilakukan oleh Nurcholish Madjid2 ketika ia memimpin Himpunan Mahasiswa Islam (selanjutnya dalam tulisan ini disebut HMI) dua periode; 1966-1969 dan 1969-1971 yang dikembangkan kemudian pada tahun-tahun berikutnya. 1
Untuk semua ini lihat misalnya Nurcholish Madjid, “Menegakkan Faham Ahlussunnah Waljama’ah”, Dalam Satu Islam Sebuah Dilema, Bandung: Mizan, 1986, hlm. 25-36, Deliar Noor, Gerakan Modern Islam Indonesia 1990-19942, Jakarta: LP3Es, Azyumardi Azra, “Tipologi dan Dimensi Gerakan Neo Revivalis di Indonesia”, Media Indoensia, Selasa 4 Mei 1993, dan Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1986 2
Selain Nurcholish Madjid yang bisa dimasukan ke dalam gerakan neo-modernisme Islam Indonesia adalah Abdurrahman Wahid, Johan Efendi, dan Ahmad Wahib (Lihat Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indoensia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Johan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Paramadina, 1999
2
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
Karena itu, sisi keislaman HMI bisa dikategorikan gerakan neomodernisme. Alasannya, pertama, karena dalam HMI telah terjadi pelembagaan pemikiran Nurcholish Madjid dalam NIK (Nilai Identitas Kader) atau sebelumnya disebut NDP (Nilai Dasar Perjuangan) yang ditulisnya sendiri. Di HMI, NIK hampir bisa dikatakan menempati posisi ketiga, paling tidak formalnya, sebagai rujukan kader HMI setelah Alqur’an dan Hadis. Kedua, dalam HMI terdapat kontinuitas gerakan modernisme seperti yang dilakukan Muhammadiyah, tetapi juga ada sisi perubahannya. Yaitu pendekatan pemikiran keislaman HMI yang tidak lagi berorientasi fiqh sebagaimana gerakan modernisme sebelumnya, tetapi pemikiran yang mengakomodasi hal-hal dinamis menyangkut weltanschaung tentang alam, sosial budaya, politik, ekonomi, manusia, dan Tuhan. Bahkan, HMI sejak kelahirannya pada tahun 1947 yang dimotivasi untuk mencetak intelektual ulama dan ulama intelektual memang tidak pernah tertarik pada persoalan fiqh. Sebagaimana terlihat pada tujuan pendiriannya, HMI lebih tertarik pada persoalan upaya sosialisasi dan penghayatan nilai agama bagi mahasiswa di samping concern-nya pada persoalan kebangsaan atau sosial budaya dan politik. Dalam setiap kongresnya, HMI, sebagai organisasi kader bukan keagamaan murni, tidak pernah membicarakan secara khusus mengenai persoalan-persoalan fiqh, apalagi dalam bentuk komisi. Ketiga, aktivis HMI tahun 70-an terutama, sebagaimana ditulis Victor Tanja dalam penelitian disertasinya, melihat gerakan modernisme Islam sebelumnya dan juga gerakan tradisionalisme tidak lagi mempunyai daya gerak psikologis yang besar, yang karenanya tidak lagi berdaya menanggapi kebutuhan zaman yang sedang beralih. HMI tahun 70-an khususnya merupakan kritik terhadap modernisme Islam sebelumnya (Tanja, 1991). Keempat, HMI telah berperan dalam memunculkan wacana pemikiran keislaman di Indonesia dalam setiap kongresnya yang merespon tema-tema seperti Islam dan negara dan lainnya yang agak
berbeda dengan gerakan modernisme yang cenderung pada
tema fiqh. Menurut catatan Agus Salim Sitompul, paling tidak ada 44 tema yang telah diangkat HMI dalam wacana keislamaan (Sitompul, 1986).
3
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
Kelima, meski HMI memiliki hubungan dekat dengan Masyumi sebagai sebuah gerakan modernisme Islam sebelumnya, tetapi dalam beberapa hal berbeda pandangan. Paling tidak, dalam tiga hal: yaitu persetujuannya dengan konstitusi sekuler pada tahun 1953, dukungannya pada keempat partai politik Islam (Masyumi, NU, PSII, dan Perti) pada tahun 1955, dan dukungannya pada Perjanjian Renville pada tahun 1947 (Barton, 1999). Mengingat karakteristik pemikiran HMI yang berbeda itulah, pengkajian terhadap pemikiran keislaman HMI di tengah-tengah gerakan modernisme Islam menjadi penting. Apalagi jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa: pertama, sebagai organisasi kemahasiswaan yang lahir dua tahun setelah
Indonesia
menyatakan
kemerdekaannya,
HMI
telah
banyak
melahirkan alumni yang memegang posisi strategis di berbagai sektor, baik politik, manajemen, intelektual, atau militer. Bahkan, pengaruhnya dinilai melebihi partai politik (Barton, 1999). Kedua, HMI merupakan organisasi ekstra universitas terbesar3 dan memiliki massa potensial yang sewaktuwaktu dapat digerakkan untuk melakukan pressure maupun dukungan politik. Ketiga, karakternya sebagai organisasi independen baik secara organisatoris atau etis, HMI, tidak seperti organisasi kemahasiswaan lain semisal PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) atau IMM (Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah), bukanlah underbow dari organisasi lain yang karenanya dapat bersikap bebas sesuai dengan kalkulasi etis dan kepentingannya. Keempat, langkanya tulisan atau buku yang membahas tentang HMI, apalagi pemikiran keislamannya.
Sejarah dan Perannya: dari Periode Revolusi Hingga Reformasi Seperti yang telah disinggung, HMI didirikan di Yogyakarta dua tahun setelah Indonesia Merdeka. Tepatnya tanggal 5 Februari 1947 M atau 14 Rabiul Awwal 1366 H. Menurut para pendirinya, antara lain Lafran Pene 3
Dalam tahun 90-an awal pada setiap kongresnya pengurus besarnya melaporkan bahwa jumlah anggota HMI rata-rata di atas 100 ribu orang (Lihat Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 3-4
4
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
dan Dahlan Ranuwihardjo, HMI didirikan karena dilatari oleh 4 hal: pertama, orientasi sekuler dan sosialis Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), satu-satunya organisasi ekstra universitas saat itu. Sebab itu PMY tidak memperhatikan kepentingan spiritual anggotanya dan telah menjadi sayap Partai Sosialis. Kedua, situasi perguruan tinggi saat itu yang tidak mengintegrasikan
ilmu
umum
dengan
agama
sehingga
melahirkan
mahasiswa yang mengalami krisis keseimbangan. Ketiga, situasi umat Islam yang terpecah belah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta kemiskinan dan kebodohan. Keempat, situasi
bangsa Indonesia yang
sedang mengalami masa revolusi untuk mempertahankan kemerdekaannya (Sitompul, 1986: 17-22; Karim, 1997: 98; Suharsono: 11-18). Tujuan pembentukannya dengan demikian adalah untuk menyiapkan kader-kader bangsa yang yang memiliki wawasan dan komitmen keislaman yang tinggi, yang memiliki keseimbangan dunia dan akhirat, akal dan kalbu, serta iman, ilmu, dan amal. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 4 Anggaran dasar HMI hasil kongres I di Yogyakarta tanggal 30 November 1947.
Dalam
Anggaran
Dasar
tersebut
dinyatakan
bahwa
tujuan
pembentukan HMI adalah untuk mempertegak dan mengembangkan agama Islam serta mempertinggi derajat rakyat dan Negara Republik Indonesia (Saleh, 1996: 36-37; Suharsono: 17). Perumusan tujuan itu berarti bahwa: (1) keseimbangan adalah konsep kunci dalam HMI. Ia tampaknya tidak ingin membawa anggotanya pada pola keislaman tradisional yang menekankan aspek mistik yang mementingkan akhirat, yang menyebabkan Islam dalam berhadapan dengan modernitas terkesan kolot. Bahkan, terutama sejak tahun 1970-an, HMI pun tidak ingin membawa anggotanya pada pola keislaman modernis awal yang lebih menekankan aspek fiqh secara berlebihan. Sebagai kritik terhadap dua pola keislaman tersebut, HMI, sejak 1970-an khususnya, ingin membawa anggotanya pada keseimbangan fiqh, kalam dan tashawwuf. Kecuali itu, sebagai kritik terhadap pola PMY yang sekuler dan sosialis, HMI juga tidak ingin membawa anggotanya pada pola modernis sekuler yang acuh terhadap
5
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
Islam dan ajarannya. Dalam hal ini HMI merupakan kelanjutan dari Jong Islameiten Bond yang didirikan 1925 yang ingin membentuk intelektual ulama dan ulama intelektual (Tanja, 1991: 52-64); (2) Dalam HMI, ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an adalah dua hal yang mesti seiring. Keduanya tidaklah dipertentangkan. Dalam pandangan Lafran Pane, sang pendiri, bahkan HMI adalah nasionalis dahulu baru kemudian Islam (Saleh, 1996: 8 dan 38). Kader HMI adalah anak umat sekaligus anak bangsa. Mungkin karena faktor ini dan juga tujuan menjaga keberlangsungan fungsi dan pengaruhnya, meskipun pernyataan politik HMI sering kritis, tetapi --kecuali tahun 85-an-akomodatif terhadap kekuasaan. Sampai usianya yang ke 53 sekarang, kini HMI telah melewati fasefase suka dan duka. Agussalim Sitompul dalam 3 buah bukunya membagi fase-fase tersebut secara berbeda-beda.
Dia membaginya pada enam
bagian, fase pengukuhan (5 Februari 1947-1947), fase perjuangan bersenjata (1947-1949), fase pertumbuhan dan pengembangan organisasi (1950-1963), fase tantangan (1964-1965), fase kebangkitan sebagai pemrakarsa Orde Baru (1966-1969), serta fase pergolakan pemikiran dan partisipasi dalam pembangunan (1969-sekarang)4. Meski hampir semua pengamat atau peneliti HMI seperti M. Rusli Karim sepakat dengan periodisasi Agussalim Sitompul tersebut, tetapi untuk fase terakhir ia membaginya pada dua bagian. Yaitu fase dinamika pemikiran (1969-1984) dan fase konflik intern (1985-sekarang) yang ditandai dengan terpecahnya HMI menjadi dua:
HMI MPO (Majlis Penyelemat Organisasi) yang tidak
menerima Pancasila sebagai asas organisasinya dan HMI Diponegoro yang menerimanya. Berdasarkan hasil kongres tahun 1999, upaya rekonsiliasi telah dilakukan dengan kembali menjadikan Islam sebagai asas organisasi sebagai langkah awal rekonsiliasi tersebut. Namun, tampaknya sulit untuk bisa terwujud mengingat telah mengkristalnya konflik tersebut dalam waktu yang lama. Agaknya --dengan tidak mendahului peristiwa yang akan datang4
Agussalim Sitompul, op. cit., hlm. 37-61. Lihat juga bukunya Sejarah Perjuangan HMI (tahun 1947-1975), Surabaya: Bina Ilmu, 1976 dan Histiografi HMI 1947-1993, Jakarta: Intermasa, 1995, hlm. 9-218
6
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
- tidak keliru jika sejak tahun 1999 kita sebut saja fase konsolidasi, kalau bukan fase wait and see. Hal ini mengingat sekarang kelihatannya sedang dilakukan penataan kembali organisasi, seiring dengan perubahan sosial dan politik nasional masa reformasi yang terkadang mengarah pada sayap bukan modernis. Pada fase pertama yang dilakukan para pendiri HMI adalah merintis jalan menuju konsolidasi spiritual anggota dan menghadapi reaksi yang tidak setuju dengan didirikannya HMI. Antara lain menghadapi reaksi yang datang dari PMY, GPII (Gerakan Pemuda Islam Indoensia), suatu organisasi underbow Masyumi, dan PII (Pelajar Islam Indonesia.) Fase ini berujung pada diakuinya HMI di PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia) dengan diangkatnya Ahmad Tirtosudiro dan kemudian dilanjutkan Dahlan Ranuwihardjo sebagai ketua PPMI serta berujung pada diselenggarakannya Kongres I HMI. Pada fase kedua, kader HMI ikut berjuang secara fisik dalam menghadapi agresi Belanda serta pemberontakan PKI di Madiun dengan menjadi anggota Compi Mahasiswa, setelah mengalami latihan. Sejumlah anggota HMI yang ikut dalam CM tersebut adalah Ahmad Tirtosudiro, Dahlan Ranuwihardjo, Amir Alamsyah, Mohmad Sanusi, Usman Abdullah dan lainlain. Mereka yang merupakan para pendiri dan pembina HMI itu adalah kalangan Islam pertama yang mengenyam pendidikan tinggi setelah kemerdekaan yang dibesarkan dalam kancah perjuangan. Karena perannya ini, dalam salah satu dies natalis HMI periode ini, Jenderal Soedirman memberikan singkatan HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia. Fase ketiga adalah fase yang paling gelap dan suram dalam perjalanan HMI. Setelah ditinggalkan beberapa anggotanya dalam revolusi fisik, HMI nyaris bubar. Adalah berkat pengabdian dan perjuangan Lafran Pane dan Dahlan Ranuwihardjo, HMI melakukan konsolidasi organisasi selama 13 tahun sehingga HMI tetap eksis. Kantor Pengurus besar dipindahkan ke Jakarta tahun 1951, kaderisasi sebagai kegiatannya yang utama terus dilakukan, berbagai komisariat, cabang, badan koordinasi, dan
7
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
lembaga otonom didirikan, lambang dan hymne HMI diciptakan, lembaga riset HMI dan yayasan pendidikan yang melahirkan beberapa sekolah dari sekolah dasar hingga menengah dibentuk. Pada periode ini, bahkan, HMI pun dipilih menjadi anggota sidang pada Sidang Pemuda sedunia (World Assembly of Youth), sebuah organisasi beraliran Barat dan kemudian menjadi juga anggota Persatuan Mahasiswa se-dunia (World Union of Student), sebuah organisasi yang berorientasi agak kiri (Tanja, 1991:71-72; Saleh, 1996:43-45). Berkat konsolidasi itulah, maka HMI pada waktu itu telah menjadi organisasi besar. Sebab itu, pada fase selanjutnya (fase keempat) tantangan pun datang terutama dari pihak PKI (Partai Komunis Indonesia), partai yang kala itu menguasai hampir berbagai bidang, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya bahkan hankam5. Pada periode ini (1963 akhir-1965) PKI berupaya untuk membubarkan HMI. DN Aidit misalnya menghasut massa CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) --organisasi sayap mahasiswa dari PNI (Partai Nasional Indonesia) Ali Surachman yang telah disusupi PKI-- agar meminta Bung Karno membubarkan HMI dengan mengatakan: “Kalau tidak bisa membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung”. PKI dengan tanpa perasaan mengkampanyekan ‘Ganyang HMI”. Tujuannya adalah ingin memotong kader bangsa yang memiliki komitmen keislaman dan kemodernan yang akan dilahirkan HMI. HMI dituduh anti Pancasila, anti Bung Karno, antek DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), anak 5
Dominasi PKI dalam kancah politik saat itu bisa dilihat dalam tulisan Djanuar. Dalam bidang ideologi, ia berusaha mengganti Pancasila dengan ideologi Marxisme/Leninisme/Komunisme. Langkah awal untuk mencapai itu diberlakukan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sebagai tahapan dasar menuju komunisme. Karenanya, pendangkalan ajaran agama dilakukan di mana-mana. Dalam bidang politik, menjerumuskan Presiden Soekarno pada penumbuhan lembaga-lembaga kenegaraan yang inkonstitusional, pelembagaan berbagai kebijakan kepresidenan, pengalihan politik luar negeri yang bebas dan aktif menjadi pro komunis (poros Jakarta-Peking-Pyongyang). Dalam bidang ekonomi, menciptakan sekaligus memanfaatkan situasi perekonomian yang parah untuk kepentingan ideologi dan rekrutmen masa. Dalam bidang sosial budaya, mengerakkan ormas-ormas dan anggotanya untuk melenyapkan aktivitas budaya yang non komunis. Disinilah Lekra begitu berfungsi. Dalam bidang hankam dan militer, dilakukanlah nasakomisasi ABRI, menuntut dibentuknya Angkatan V, infiltrasi dan penetrasi terhadap tubuh ABRI, isu Dewan Jenderal, adu domba antar angkatan, dan lain-lain (Lihat Djanuar, Mengungkap Pengkhianatan/Pemberontakan G 30 S/PKI, Bandung: CV Irama, 1986, hlm. 99-104)
8
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
kandung Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia)6 yang terlibat dalam pemberontakan PRRI7, antek nekolim (neo kolonialisme) dan CIA (Central Inteligency Agency/Dinas Rahasia Pusat Amerika Serikat), anti Manipol Usdek8, anti revolusi karena reaksionernya, terpengaruh cara berpikir Barat, pro Malaysia, dan lain-lain. Puncaknya adalah diputuskannya HMI sebagai organisasi terlarang di Fakultas Hukum Brawijaya oleh dekannya. Menghadapi situasi gawat seperti itu dalam sistem politik represif Soekarno, HMI, dalam
hal
ini
melakukan ideologi servival agar tidak dibubarkan. HMI memang
menyampingkan
hal-hal
penting
seperti
kesetiakawanan sesama organisasi Islam dengan antara lain ikut mengutuk Kasman Singodimejo serta mendukung Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) dan pengganyangan Malaysia betapa pun tidak masuk akal. Akan tetapi itu, sebagaimana diakui Eki Syachrudin salah seorang pengurus PB HMI waktu itu, dilakukan dengan terpaksa9. Pada awalnya Soekarno akan membubarkan HMI sebagaimana Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia), tetapi setelah mendengar saran dari Menteri Agama, Saepudin Zuhri, dan melihat perlindungan Let. Jend Ahmad Yani terhadap HMI, akhirnya HMI tidak dibubarkan.
6
HMI hubungannya dengan Masyumi bukanlah sebagai organisasi underbow-nya. HMI sebagaimana telah dijelaskan di muka adalah organisasi independen. Karena itu, terkadang ia seiring dengan Masyumi seperti dukungannya terhadap Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam dan penolakan terhadap hasil Perjanjian Renville dan acapkali berseberangan seperti dalam menyikapi Perjanjian Lingarjati. HMI mendukungnya sedang Masyumi tidak. Hubungannya dengan Masyumi dalam kesamaan wawasan keagamaan modern semata yang sebab itu sekalipun terdapat hubungan sifatnya emosional yang tidak mengikat. Dari sini bisa dipahami bila pada masa demokrasi terpimpin hubungan HMI dengan Masyumi secara politik retak (Lihat Victor Tanja, op. cit. hlm. 81-84).
7
Menurut suatu dokumen, peranan Masyumi dalam PRRI/Permesta hanyalah sebagai think thank, dan justru dalam pandangan MCT. Kahin, Masyumi telah berperan dalam mencegah PRRI menjadi gerakan sparatis total (Lihat Agus Edi Santoso (Ed.), Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Penerbit Djembatan, 1997, hlm. 34) 8
Manifesto Politik Soekarno mengenai UUD 45, sosilalisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia
9
Eki Syachrudin, “Idiologi Servival HMI”, Dalam Ramli HM. Yusuf (Ed.), Mengabdi Republik, Jakarta: LASPI, 1997, hlm. 65-67
50 Tahun HMI
9
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
Setelah terjadinya kudeta gagal yang dilakukan PKI lewat Gerakan 30 September 1965-nya, HMI pun kemudian tampil dalam upaya pembubaran dan penumpasan PKI lewat KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Dalam KAMI tersebut HMI menjadi pelopor sekaligus sebagai kekuatan intinya. Kepeloporan itu salah satunya ditunjukan oleh Abdul Gafur dan Mar’ie Muhammad yang menjabat presidium dan Fahmi Idris yang menjabat ketua Laskar Arif Rahman Hakim. Menurut Jendral Nasution, HMI merupakan golongan terbesar di dalam KAMI. Ini mengingat HMI di UI khususnya saat itu adalah organisasi yang memiliki anggota terbanyak. Dengan KAMI itulah, di halaman Fakultas Kedokteran UI, ribuan mahasiswa yang mayoritas HMI mengeluarkan TRITURA atau Tiga Tuntutan Rakyat (Bubarkan PKI, Turunkan Harga, dan Reshaffle Kabinet 100 Menteri)10. Pada
fase
selanjutnya,
HMI
melakukan
pembaharuan
atau
penyegaran pemikiran Islam. Pemain utama fase ini Nurcholish Madjid, yang saat itu menjadi Ketua Umum PB HMI, dan mereka yang tergabung dalam kelompok diskusi “Limitid Group” asuhan Mukti Ali di Yogyakarta.
Yaitu
antara lain Dawam Rahardjo, Djohan Efendi, dan Ahmad Wahib. Inti pembaharuan pemikiran mereka adalah desakralisasi terhadap hal-hal profan seperti politik, penolakan direduksinya Islam menjadi sebuah ideologi seperti yang dilakukan modernisme Islam awal seperti Masyumi, yang karenanya mereka memompakan gagasan Islam Inklusif. Gagasan mereka itu terangkum dalam jargon “Islam Yes, Partai Islam No”. Penyegaran gagasan Islam demikian oleh para pemrakarsa itu memberikan jalan bagi kader HMI berikutnya untuk bertahan pada jalur intelektualitas hingga tahun awal 80-an. Sebagai sebuah gerakan, konstribusi yang nyata dari HMI periode ini adalah pendewasaan cara berpikir sehat bagi umat Islam, di samping mengangkat citra Islam dan akhirnya memperkuat daya tawar umat Islam di mata pemerintahan Orde Baru. Penyegaran pemikiran Islam pada tahun 10
M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 105-106, Abdul Gafur, “ Andil HMI dalam Proses Berdirinya Orde Baru” dan Fahmi Idris, “ABRI, Angkatan 66, dan Kontribusi HMI dalam Setting Berdirinya Orde Baru”, Dalam Ramli, op. cit., hlm. 59-64, dan 69-77
10
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
1970-an agaknya berfungsi sebagai justifikasi teologis bagi masuknya kalangan, yang disebut Cliford Geert, “santri” pada birokrasi yang sejak lama didominasi para “priyayi” dan “abangan”. Mereka itu diantaranya adalah Mintaredja, Sulastomo, Hartono Mardjono, Akbar Tanjung, Ridwan Saidi, Bintoro Tjokroamidjojo, Bustanil Arifin, Omar Tusin, Sya’adilah Mursyid, dan Mar’ie Muhammad. Sayangnya, ketika mereka berada di dalamnya tidak berfungsi menjadi kekuatan moral, paling tidak berperan dalam praktik KKN Orde Baru, kecuali Mar’ie Muhammad yang dikenal Mr. Clean yang bergerak secara individual. Titik kulminasi dari pengaruh penyegaran pemikiran itu adalah lahirnya ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) pada tahun 1990-an. Fenomena ICMI tersebut menandai terjadinya Islamisasi birokrasi dan akomodasi negara, baik akomodasi struktural seperti lahirnya BMI, legislatif seperti lahirnya UU Pendidikan Nasional dan Peradilan Agama, infra struktur seperti pembangunan mesjid oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila atau akomodasi kultural seperti penyelenggaraan Festival Istiqlal.11 Adapun pada fase terakhir atau fase konflik intern pada tahun 80-an, HMI,
sebagaimana
telah
disinggung,
dalam
menghadapi
kebijakan
birokratisasi politik Orde Baru berupa isu Pancasila sebagai asas tunggal, terpecah dua: MPO (Majelis Penyelemat Organisasi) dan Dipo (Diponegoro). Yang pertama keluar dari mainstream akomodasionisme HMI berhadapan dengan kekuasaan dengan menolak Pancasila sebagai asas organisasi, sementara yang kedua tetap bertahan dengan sikap sebaliknya. Awal munculnya friksi itu adalah penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi lewat forum Rapat Majlis Pekerja Kongres II di Ciloto 2-6 April 1985 yang disiarkan kepada pers di Yogyakarta 10 April 1985. Bagi kader HMI yang kemudian mendirikan HMI MPO, penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi tidak lewat kongres itu merupakan tindakan inkonstitusional, bahkan agaknya dilihatnya telah keluar dari independensi HMI. Sedangkan 11
M. Rusli Karim op. cit., hlm. 116 dan Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Politik Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 133-144, 52-53, 175— 32
11
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
bagi PB HMI, hal itu merupakan amanat
Kongres
XV
di
Medan.
Berdasarkan itulah, PB HMI selanjutnya kemudian memecat dan menutup cabang-cabang yang tidak mendukung kebijakannya antara lain Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Ujung Pandang, yang kemudian menggantinya dengan pimpinan transitif. Sejak itulah di HMI, dalam hal ini MPO, terdapat kecenderungan
skripturalisme
yang
eksklusif,
tertutup,
dan
radikal,
sebagaimana kecenderungan keagamaan Usrah atau Halaqah yang memang menjamur pada tahun 80-an.12 Selain itu, pada periode ini juga ditandai dengan adanya dua kecenderungan gerakan kader HMI; yaitu model gerakan intelektual dan model gerakan demokrasi jalanan. Tampaknya dua kecenderungan tersebut mengikuti kecenderungan tahun 60-an dan kecenderungan tahun 70-an. Dua kecenderungan itu terus menjadi fenomena di HMI, hingga kader-kader HMI yang memilih pola gerakan agaknya banyak yang ikut terlibat dalam penggulingan Rezim Soeharto tahun 1999, meski tidak membawa bendera organisasi13. Paling tidak, itulah pengakuan para aktivisnya periode itu. Kini, tidak sebagaimana alumninya yang berkibar di beberapa partai, khususnya Partai Golkar dan dan Poros Tengah dalam lembaga legislatif hasil Pemilu 1999 dan alumninya yang memilih jalur intelektual, HMI sebagai sebuah organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi gerakan moral sebagaimana ditunjukannya pada tahun 1960-an atau menjadi gerakan intelektual sebagaimana pada tahun 1970-an, menjadi redup. Ini agaknya antara lain, karena sebagai sebuah organisasi gemuk dengan masa mahasiswa yang banyak, sekarang HMI menjadi berat untuk melakukan gerakan moral atas nama organisasi. Tampaknya, terdapat banyak hal yang dipertimbangkan HMI, khususnya ancaman pembubaran, untuk melakukan gerakan tersebut. Ini lebih sulit lagi ketika dihadapkan dengan berbagai isu yang menyeret alumninya, karena secara tradisional keuangan HMI sangat
12 13
M. Rusli Karim, op. cit. hlm. 124-165 dan Hasanudin, op. cit., hlm. 123-183 Masih perlu diteliti lebih lanjut
12
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
bertumpu kepada alumni. Hingga saat ini, belum ada upaya untuk menjadikannya sebagai sebuah organisasi yang benar-benar modern dengan kekuatan keuangan yang memadai dan independen. Karena itu, independensi HMI, jika dilihat dari sisi keuangan, tidak berjalan maksimal. Tentu saja dalam pengertian independensi organisasi yang tidak menjadi underbow organisasi manapun masih terjaga. Demikian juga dalam menjadikan
kadernya seorang individu independen, paling tidak secara
kapabilitas intelektual, sehingga telah membuat dinamika dan menjadi salah satu alat bagi mobilitas vertikal kadernya, juga masih tetap berfungsi. HMI juga pada awal-awal reformasi mendapatkan tantangan dari kekuatan tradisionalisme Islam NU yang secara konvensional lebih senang bergandengan tangan dengan sayap nasionalis, tantangan dari kekuatan organisasi kemahasiswaan keislaman lainnya, dan kelihatannya juga dari kalangan kiri. Beberapa gedung sekretariat
HMI di Jawa Timur sempat
dirusak dan HMI pun sempat menghadapi tuntutan dibubarkan, hampir sama dengan tahun 1960-an. HMI dituduh identik dengan GOLKAR, partai yang berkuasa masa Orde Baru. Paling tidak ada dua alasan. Pertama, cukup banyaknya kader HMI di Partai Golkar dan diamnya HMI dalam berbagai isuisu politik, khususnya KKN. Kondisi inilah yang membuat HMI kini tidak lagi dilirik oleh mahasiswa yang keislamannya cukup kental atau kecenderungan moral yang tinggi. Mereka justru lebih senang bergabung dengan LDK (Lembaga Dakwah Kampus) yang memiliki kedekatan dengan
Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) atau bergabung dengan HAMMAS (Himpunan Mahasiswa Muslim Antarkampus) yang belakangan aktif menjadi gerakan moral yang kuat. Kedua, bagi kalangan Islam tradisional, karena alumninya aktif menyuarakan tuntutan agar Presiden Abdurrahman Wahid mundur yang dinilainya bahwa rezim ini tidak berhasil menjadi clean governance, yang kemudian digantikan oleh Megawati Soekarno Putri.14
14
Dari hasil dialog “Mempertegas Indpendensi HMI” yang dilaksanakan HMI Komisariat Fak. Adab IAIN Jakarta di Ciputat, 27 Pebruari 2001
13
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
Keadaan sebagaimana dijelaskan di atas, ini agaknya terus berjalan hingga saat ini. HMI kini hanya menjadi organisasi dengan rutinitas pengkaderan semata.
Pemikiran Keislaman HMI Pola pemikiran keislaman HMI bisa dilihat dari motivasi dan tujuan pembentukkannya, mukaddimah anggaran dasar, identitas, asas, tujuan, usaha, dan sifat organisasi, seperti tertulis dalam Anggaran
Dasar HMI.
Yang tampak dari semua itu, seperti yang telah disinggung, adalah bahwa bagi HMI, Islam ideal adalah bentuk keislaman yang memadukan secara utuh aspek duniawi dan ukhrawi, aspek individu dan sosial, dan aspek iman, ilmu, dan amal. Lebih jelasnya, hal itu tampak dalam Nilai Dasar Perjuangan (NDP) --yang belakangan, agar tidak terkesan idiologis radikal, namanya diubah menjadi Nilai Identitas Kader (NIK)-- yang diterima Kongres IX HMI di Malang tahun 1969 yang masih diberlakukan hingga kini. Dinamakan Nilai Dasar Perjuangan (NDP), mengingat NDP tersebut ditulis Nurcholish Madjid tahun 1969 di tengah situasi idiologis saat itu. Tulisan yang disusun tidak lama setelah kembalinya Nurcholish Madjid dari lawatannya ke Amerika Serikat dan negara-negara Timur Tengah itu dilatari oleh
tiga
kenyataan.
Pertama,
tidak
adanya
bahan
bacaan yang
komprehensif dan sistematis tentang ideologi Islam. Buku Islam dan Sosialisme-nya Cokroaminoto saat itu dianggap tidak lagi memadai. Kedua, kecemburuan Nurcholish Madjid terhadap anak-anak muda komunis yang oleh partainya disediakan buku pedoman kecil berjudul Pustaka Kecil Marxis. Ketiga, keterpesonaan Nurcholish Madjid terhadap buku kecil yang ditulis Willi Eichler, Fundamental Values and Basic Demans of Democratic Socialism. Buku ini merupakan sebuah reformulasi idiologi bagi Partai Sosial Demokrat Jerman. Namun seperti yang diakuinya sendiri, yang banyak memberikan inspirasi terhadap sikap dan gagasannya pada NDP atau NIK
14
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
itu adalah kunjungannya ke Timur Tengah (Turki, Libanon, Syria, Irak, Kuwait, Saudi Arabia, Sudan, dan Mesir) setelah dari Amerika Serikat15. Mengingat NIK ini dibuat Nurcholish Madjid, dalam hal ini, memang menjadi sulit membedakan antara pemikiran keislaman HMI dengan pemikiran Nurcholish Madjid. Namun karena hingga saat ini NIK tersebut masih menjadi wawasan besar keislaman resmi HMI yang ditetapkan lewat kongres IX yang mesti menjadi perspektif keislaman semua kadernya yang dalam beberapa hal terlihat dalam
sikap alumninya yang berkiprah di
berbagai sektor, terutama politik, maka itu berarti absah dijadikan landasan untuk melihat pemikiran keislaman HMI. Mungkin sebab itulah, Nurcholish Madjid, acapkali dilihat seolah “nabi” II HMI setelah Nabi Muhammad. Sebagai wawasan besar tentang ke-Islam-an
HMI, secara garis
besar, NIK berisi tentang ketuhanan, alam, kemanusiaan, demokrasi, keadilan ekonomi dan ilmu pengetahuan. Tentang ketuhanan, pertama-tama dijelaskan bahwa kepercayaan melahirkan nilai-nilai dan nilai-nilai kemudian melembaga
dalam
tradisi-tradisi.
Karena
kecenderungan
tradisi
mempertahankan diri, maka dalam kenyataan, tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Oleh sebab itu, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai tradisional dan menganut kebenaran yang merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Sedang kebenaran yang mutlak adalah Tuhan (Allah). Pengetahuan tentang Tuhan dapat dicapai manusia dengan berbagai jalan seperti intuitif, ilmiah, atau historis, tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri pengertian tentang hakekat Tuhan yang sebenarnya. Di sinilah pentingnya wahyu yang merupakan pengajaran atau pemberitahuan langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia pilihan-Nya atau rasul-Nya, seorang yang diberi kemampuan menangkap pengetahuan sampai ke tingkat yang
15
Nurcholish Madjid, “The Issue of Modernization among Muslim in Indonesia: from a Participant`s Point of Vew”, Dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yasmin Husein (Ed.), Reading on Islam in Southeast Asia, Singapore: Institute of Southeas Asia Studies, 1985
15
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
tertinggi. Al-quran yang secara harafiah berarti bacaan atau kompilasi dari segala keterangan,
dalam hal ini, sebagai wahyu terakhir Tuhan yang
sempurna. Ia berfungsi sebagai pedoman yang meskipun singkat namun mengandung keterangan-keterangan mengenai segala sesuatu, dari sekitar alam dan manusia, hingga hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain. Semua itu dalam Islam terangkum dalam Syahadatain; dua kalimat persaksian, yaitu meniadakan Tuhan selain Allah (tauhid) dan meyakini Muhammad sebagai rasulnya. Tauhid berarti menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Tuhan adalah asal dan tujuan dari segala yang ada (ciptaan-Nya) yang diciptakan Tuhan dengan tiada henti-hentinya, yang karenanya selalu mengalami perubahan. Tauhid berarti juga meyakini hanya Tuhanlah yang tidak mengenal perubahan. Tauhid dengan demikian, membebaskan diri dari membuat tandingan terhadap Tuhan, baik seluruh atau sebagiannya. Tauhid tidak menghendaki penyerahan atau pengikatan diri kepada selain Tuhan atau menjadikan diri sebagai budak motif-motif yang bertentangan dengan kebenaran (Tuhan), atau menjadi budak dari diri sendiri, manusia lain, alam, atau
tradisi
yang
diangkat
setingkat
Tuhan.
Tauhid
mendorong
perkembangan dan kemajuan peradaban. Mengingat Tuhan yang menciptakan segala yang ada dengan sebenarnya dan mengaturnya dengan pasti, maka alam adalah eksistensi riil dan objektif yang berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Karena itu, untuk memahami hukum-hukum Tuhan tersebut perlu penyelidikan. Islam memandang alam berbeda dengan Hindu yang melihat alam sebagai sesuatu yang palsu atau maya, berbeda dengan agnostisme yang memandang alam tidak mungkin dimengerti manusia, dan berbeda juga dengan materialisme yang berpendapat alam sebagai eksistensi riil yang lahir dengan sendirinya.
Alam dan kehidupan harus
dilihat apa adanya
tanpa melekatkan kepadanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan.
16
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian dan keseluruhan tidak sama dengan alam. Selaku puncak ciptaan Tuhan, manusia hubungannya dengan alam itu adalah bahwa manusia berkedudukan sebagai khalifah Tuhan yang ditugaskan untuk mengurus dunia. Untuk itu, manusia mesti hidup sesuai dengan fitrah atau keseluruhan susunan (sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan)nya yang khusus dimiliki manusia saja. Fitrah manusia adalah berkeinginan suci dan berkecenderungan pada kebenaran (hanif). Manusia harus menjalani
hidup
secara
berarti
dan
sungguh-sungguh
mengembangkan kecakapannya untuk memenuhi
dengan
keperluannya, dengan
berperadaban, aktif, kreatif, kaya kebijaksanaan, yang kegiatan mental dan fisiknya merupakan suatu keseluruhan, tidak membedakan kehidupan individual dan komunal, ikhlas (tidak mengejar tujuan selain Tuhan, sang Kebenaran Mutlak, yang nilainya lebih rendah) dan hidup dengan iman dan ilmu. Kehidupan adalah kerja dan nilai-nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan amaliah yang kongkrit. Inti keimanan yang suci adalah iman dan kerja kemanusiaan (amal saleh). Kerja atau perbuatan manusia membentuk rentetan peristiwa yang disebut
sejarah.
Hukum
dasar
sejarah
adalah
perubahan
dan
perkembangan. Tuhanlah yang tidak mengenal perubahan. Manusia mesti sejalan dengan arus perkembangan menuju kebenaran mutlak (Tuhan). Sebagai khalifah Tuhan, manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas segala perbuatannya di dunia dan pertanggungjawaban yang terakhir adalah di akhirat sebagai hari agama (hari yang hanya diketahui lewat agama). Manusia memiliki kemerdekaan pribadi sebagai hak asasinya. Akan tetapi, karena manusia hidup di tengah alam dan posisinya sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah-tengah sesama, maka dalam kemerdekaannya itu terdapat batas-batas. Yakni hukum alam dan taqdir (keharusan universal) Tuhan. Namun, hubungan manusia dengan taqdir Tuhan tersebut bukanlah hubungan penyerahan, karena penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan. Manusia diperintahkan Tuhan untuk selalu ber-ikhtiar. Ia
17
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
tidaklah dapat berbicara tentang taqdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Seorang manusia merdeka adalah yang berketuhanan yang Maha Esa, karena menjadikan Tuhan (kebenaran Mutlak) sebagai tujuannya tidak diperbudak oleh sesamanya, atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya. Mereka adalah manusia Muslim yang hanya menyerahkan diri dan menyembah Allah serta melakukan amal saleh (pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan). Tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, karena syirk (menyekutukan Tuhan) akan mengakibatkan penyerahan dan pengikatan diri kepada selain Tuhan. Lahirnya bentuk kejahatan adalah karena syirk atau motif-motif yang bertentangan dengan kebenaran (Tuhan)
atau karena pamrih baik kepada diri sendiri seperti
kediktatoran, kepada manusia atau alam yang diangkat setingkat dengan Tuhan. Jadi, berperikemanusiaan berarti bersikap adil (proporsional). Manusia adalah makhluk individual sekaligus sosial. Kebebasan individu manusia mesti disandingkan dengan kesamaan haknya. Mereka diciptakan Tuhan secara berbeda dan perbedaan antar individu manusia adalah untuk kebaikannya mengingat keharusan pembagian kerja dalam masyarakat. Sebab itu, setiap orang mesti diberi kesempatan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja sesuai dengan kecenderungan dan bakatnya.
Persamaan hak antar sesama manusia
merupakan esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan dan keinginan atau kemerdekaan tanpa batas adalah hawa nafsu. Kemerdekaan, keadilan, dan gotong royong (kesetiakawanan dan kecintaan kepada sesama manusia) merupakan nilai-nilai yang saling menopang. Berdasarkan sudut pandang itu, negara ideal adalah negara yang didirikan untuk menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan dalam waktu yang sama setiap individu juga menghormati kemerdekaan individu lain. Negara memang didirikan untuk kepentingan itu. Dalam negara demikian, masing-masing pribadi memerintah dan memimpin dirinya sendiri yang karena itu pemerintah yang berkuasa pun adalah muncul dari kekuatan
18
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
pimpinan
yang
lahir
dari
masyarakat.
Itu
berarti
negara
dengan
pemerintahannya yang demokratis yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Mengingat rakyat sebagai pihak yang memiliki kekuatan yang sebenarnya, maka pemerintahan tersebut mengambil kebijakan atas persetujuan rakyat melalui musyawarah yang oleh karenanya pemerintahan itu adalah pemerintahan
yang bertanggung jawab kepada rakyatnya.
Negara yang benar dan harus ditaati ialah negara keadilan yang mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan. Namun demikian, di antara keadilan yang harus ditegakkan negara yang terpenting dan berpengaruh adalah di bidang ekonomi atau pembagian kekayaan di antara anggota masyarakat. Artinya setiap orang mesti memperoleh bagian yang wajar dari kekayaan atau rejeki. Individualisme ekstrim, seperti yang berlaku pada sistem kapitalisme, hanya akan melahirkan kezaliman oleh orang kaya terhadap orang miskin dan juga akan melahirkan kesenjangan ekonomi yang bisa mengakibatkan hancurnya sendi-sendi tatanan sosial, kemanusiaan dan peradaban. Dalam Islam, sesudah syirik, kejahatan terbesar adalah penumpukan kekayaan beserta penggunaannya yang tidak benar. Pembagian ekonomi yang tidak benar hanya akan ada pada masyarakat yang tidak menjalankan prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, baik pada masyarakat yang mengakui Tuhan atau tidak. Masyarakat begitu berarti telah diperbudak oleh kekayaan (harta benda). Di sinilah pentingnya salat sebagai pendidikan yang kontinyu dan sebagai bentuk formil mengingat Tuhan Yang Esa. Sembahyang yang benar akan sangat efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia, sebagaimana ia mencegah kekejian dan kemungkaran. Selain salat, agar terhindar dari masyarakat seperti di atas, maka mendesak diberlakukanya zakat untuk harta yang diperoleh secara benar dan untuk harta haram dijadikan milik umum (nasionalisasi). Zakat merupakan bentuk penyelesaian Islam terhadap perbedaan kaya dan miskin.
19
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
Penggunaan kekayaan tidak boleh kurang dan tidak boleh juga berlebihan. Karena, jika kurang dari rata-rata akan merusak diri dan jika berlebihan akan menjadi provokasi pertentangan golongan. Ini menunjukkan bahwa harta kekayaan sesungguhnya milik Tuhan dan kepemilikan seseorang bersifat relatif. Penggunaannya harus sejalan dengan yang dikehendaki Tuhan dan harus dengan membantu orang miskin. Tentang ilmu pengetahuan, NIK menjelaskannya sebagai alat bagi manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dalam hidup manusia, yaitu kebenaran mutlak akan dicapai, jika telah dipahami benar seluruh alam dan sejarah manusia. Ilmu pengetahuan dalam perspektif NIK juga merupakan prasyarat bagi amal saleh. Yang dimaksud ilmu pengetahuan tersebut adalah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia dan sekitar dirinya. Ilmu pengetahuan adalah hukum alam dan hukum sejarah, suatu hukum yang mengharuskan manusia setia pada kemanusiaan fitrinya, jika ingin jaya16. Selain NIK tersebut di atas, pemikiran keislaman HMI bisa dilihat dari rekaman Agussalim Sitompul terhadap wacana keislaman HMI pada setiap kongresnya. Yaitu tentang: agama sebagai pedoman dan pegangan hidup, agama sebagai sumber motivasi, inspirasi dan sumber aspirasi, pemimpin yang takwa, jihad (berjuang) untuk kebebasan dan kemerdekaan, cinta tanah air adalah sebagian dari iman, tertutupnya pintu ijtihad mematikan dinamika pemikiran Islam, animisme dan dinamisme menimbulkan aliran-aliran kebatinan, persatuan dan kesatuan umat adalah lambang kejayaan, perpecahan umat lambang kehancuran, organisasi sebagai alat untuk beramal dan tempat perjuangan, fitnah dan hasutan berbahaya, sekularisme bertentangan dengan agama, hidup yang seimbang, netral soal agama berbahaya, krisis keseimbangan suatu ancaman, syarat-syarat pemimpin menurut agama, adab sopan santun terhadap guru, sombong atau angkuh sebagai manifestasi kekerdilan jiwa dan pribadi, menepati janji, fungsi 16
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat, “Nilai Identitas Kader”, dalam Buku Panduan LK I HMI, Cetakan 1992, 1994, 1995
20
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
agama, komunisme bertentangan dengan agama Islam, dansa haram hukumnya, seruan kepada masyarakat untuk menolak dan menentang komunis, kerukunan hidup umat beragama, kode etik penyebaran agama, pemikiran tentang undang-undang perkawinan, Islam sebagai kekuatan rohani, insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab, ajaran dan cita-cita keadilan sosial dalam Islam, doktrin tentang halal dan haram, kefakiran mengakibatkan kekafiran, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal, iman sebagai dasar bertolak, keseimbangan antara rohani dan jasmani, mengabdi dengan amal perbuatan, berpikirlah tentang makluk Tuhan dan jangan berpikir tentang zat Tuhan,
memperkuat dasar rohani, mengisi pembangunan negara dan
bangsa dengan nilai-nilai agama, keharusan pembaharuan pemikiran dalam Islam, menuju integrasi umat Islam, keadilan sosial menurut Islam, dan beramal atas dasar niat. Semua tema ini berjumlah 44. Namun, satu hal yang menarik dari catatan Agussalim Sitompul terhadap pemikiran HMI kaitannya dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang dimunculkan dalam setiap kongresnya adalah bahwa HMI tidak concern pada pemikiran keislaman yang bersifat fiqh ibadah. Ia lebih tertarik pada persoalan sosial keagamaan, dan bahkan yang lebih banyak diijtihadi HMI adalah bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan.17
Apresiasi Terhadap NIK dan Isu Keislaman HMI Paparan NIK di atas memperlihatkan kepada kita bahwa konsep inti NIK adalah tauhid (monoteisme) radikal yang darinya lahir konsep-konsep lain. Tauhid berarti membebaskan manusia dari membuat tandingan Tuhan dalam bentuk apa pun. Tauhid membebaskan manusia dari berhala-berhala apa saja. Termasuk di dalamnya tradisi, kekuasaan, atau kekayaan, bila bertentangan dengan kebenaran mutlak (Tuhan). Manusia mesti bebas dari
17
Agussalim Sitompul, Pemikiran, op. cit hlm. 1-346 atau paling tidak hlm. 69-70
21
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
penyerahan dan pengikatan diri kepada selain Tuhan. Konsekuensi dari hal itu
adalah
bahwa
selain
Tuhan
tidak memiliki kualitas ketuhanan
(transendensi) dan hanya Tuhanlah yang tidak mengenal perubahan. Lewat pernyataan itu, Nurcholish Madjid, Sang perumus, tampaknya ingin memperlihatkan himbauannya untuk tidak berpegang sepenuhnya pada tradisi atau pemikiran manusia, karena cinta secara fanatik pada tradisi berarti syirk. Hanya Tuhanlah yang memiliki transendensi dan Tuhanlah sebagai kebenaran mutlak. Sedangkan dunia dan persoalan-persoalannya (sosio, kultural, dan politik) sebagai sesuatu yang temporal. Konsepsi NIK seperti itu sebagaimana kata Greg Barton mengandung gagasan yang secara substansial radikal18. Tidak aneh bila pada 2 Januari 1970, satu tahun setelah
perumusan
NIK,
Nurcholish
Madjid,
sang
perumus
NIK,
menyampaikan ide “sekularisasi”-nya yang menggemparkan. Apa yang ia maksud dengan “sekularisasi” bukanlah penerapan sekularisme dan mengubah
kaum
Muslimin
menjadi
sekuler.
Akan
tetapi,
yang
dimaksudkannya adalah menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan meng-ukhrawikannya (Madjid, 1997:207). Mengingat sebagian besar kritik yang muncul dipicu oleh penggunaan istilah itu, terlepas dari tujuannya untuk memberi terapi kejutan, istilah “sekularisasi” itu dengan lugas kemudian digantinya dengan “devaluasi radikal” atau “desakralisasi” (Effendi, 1998:142). Dari sini lahir jargon “Islam Yes Partai Islam No”. Lewat jargon itu Nurcholish yang waktu itu ketua PB HMI menyerukan agar Islam tidak direduksi hanya menjadi sebuah ideologi seperti pada waktu itu. Islam adalah agama yang mengajarkan Tauhid yang melarang adanya transendensi selain Tuhan. Oleh sebab itu, isu negara Islam bukan saja usang tetapi juga tidak Islami. Mengingat sifat transendensi atau kesakralannya, model negara Islam akan mengarah kepada perilaku syirk (Tanja, 1991:122-126).
18
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indfonesia, Terjemahan oleh Nanang Tahqiq dari The Emergence of Neo-Modernisme; a Progressive Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia, Jakarta: Pustaka Antara dan dan Paramadina, 1999, hlm. 166, 114-120, 432-441
22
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
Penekanan
pada
aspek
tauhid
dan
fungsi
wahyu
karena
keterbatasan akal itu memang menjadi ciri gerakan modernisme yang akarnya tentu saja mu’tazilah, mazhab rasional dalam kalam yang meniadakan adanya sifat bagi Tuhan karena akan melahirkan banyak yang qadim (kekal) (ta’adud al-qudama) dan terutama Wahabisme. Nurcholish Madjid sendiri mengakui bahwa yang memberi inspirasi penulisan NIK adalah lawatannya ke Timur Tengah, yang
salah satunya adalah Saudi
Arabia yang menganut monoteisme murni Wahabisme. Keterkaitan, kalau bukan keterpengaruhan, konsep-konsep NIK oleh Mu’tazilah juga adalah dalam penekanannya pada hukum alam (sunnatullah) yang ditetapkan Tuhan. Manusia kendati sebagai makhluk yang memiliki hak kebebasan, tetapi mesti hidup sejalan dengan sunnatullah sebagai kausalitas. Kendati demikian, dalam konteks taqdir, konsep NIK seiring dengan Asy`ariyah. Taqdir adalah keharusan universal yang ditentukan Tuhan kepada makhluknya. Taqdir tidak dipahami sebagai sunnatullah sendiri seperti yang dipahami Djohan Effendi, tokoh HMI Yogyakarta
seangkatan Nurcholish
Madjid yang kelihatannya berpendapat demikian setelah dirumuskan NIK (Effendi, 1991:4-9). Adapun paralelisme (keterkaitan) konsep NIK dengan filsafat Islam adalah pada pemikiran tentang rasul yang memiliki kemampuan di atas manusia yang lain dalam menerima pengetahuan dari Tuhan yang disebut al-Farabi daya mutakhayyilah yang tinggi atau disebut Ibn Sina hadas (intuisi) yang karenanya mampu berhubungan dengan akal ke-10 yang tidak lain adalah Malaikat Jibril. Pemikiran NIK lain yang terkait dengan filsafat Islam adalah soal ilmu atau filsafat yang mampu mengantarkan pada pengetahuan tentang Tuhan19. Namun demikian, hubungan NIK dengan tasawwuf hanyalah pentingnya penghayatan ibadah seperti salat. Bahkan dalam soal alam, bisa dikatakan konsep NIK berlawanan dengan konsep tashawwuf falsafi wahdat 19
Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang dan MM Syarif, Para Filosuf Muslim, Bandung: Mizan
23
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
al-wujud yang melihat alam adalah sesuatu yang maya karena hanya Tuhanlah wujud yang hakiki. Kecuali terdapat keterkaitan dengan ilmu-ilmu tradisional Islam, dalam konsep-konsep NIK juga terdapat keterkaitan dengan filsafat sosial politik modern.
Konsepnya tentang manusia sebagai individu sekaligus
sosial tampaknya merupakan penolakan terhadap konsep John Locke, pemikir sosial klasik Barat yang menekankan aspek individualisme yang melihat negara hanya berkedudukan sebagai penjaga malam yang tidak boleh mencampuri urusan warganya. Konsep sosial politik dan ekonomi NIK lebih dekat dengan konsep neo liberal, yang melihat manusia antara individualisme dan komunalisme, yang dalam ekonomi memunculkan model negara kesejahteraan. Artinya dalam model negara tersebut, individu sebagai seorang yang memiliki hak-hak kebebasan fundamental diakui, tetapi pada sisi lain negara berhak mencampuri urusan sosial dengan menentukan upah minimum dan pajak pendapatan untuk kepentingan sosial (Suseno, 1988; Budiarjo. 1981). Dalam soal ekonomi, NIK tampaknya mengambil jalan tengah antara kapitalime yang terlalu mementingkan aspek individu sehingga aspek sosial terabaikan dan sosialisme yang terlalu mementingkan aspek sosial sehingga aspek individu terabaikan. Konsep tersebut dekat dengan pemikiran ekonomi jalan tengah
Dawam Rahardjo (Rahardjo, 1991:12-13), tokoh HMI
seangkatan Nurcholish Madjid dan juga dengan pemikiran Ekonomi Tauhidi Bani Sadr. Baik NIK atau konsep ekonomi Bani Sadr, melihat kapitalisme telah menjadikan kekayaan sebagai berhala setingkat dengan Tuhan yang dari hal itu lahirlah eksploitasi. Hubungan antara majikan dan buruh dalam sistem tersebut adalah hubungan dominatif. Keduanya menawarkan sistem ekonomi yang memungkinkan pengembangan pribadi, tidak menghendaki pemusatan kekayaan di tangan orang tertentu saja dan sebaliknya menghendaki keadilan ekonomi, memandang semua manusia sama, dan memandang hak milik mutlak hanya milik Tuhan (Sadr, 1993:423-434).
24
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
Lebih dari itu, dalam beberapa hal sebenarnya konsep NIK pun ada keterkaitan, kalau bukan terpengaruh oleh pemikiran Karl Marx. Keduanya sama-sama melihat bahwa kapitalisme (awal) adalah sistem ekonomi eksploitatif yang melahirkan teralienasinya manusia dari dirinya karena telah menjadi objek orang lain dan teralienasi dari rumpunnya sebagai makhluk yang bebas berkreasi. Kapitalime juga dilihat akan melahirkan teralienasinya manusia
dari
sesama
kaum
pekerja
karena
persaingan
dalam
memperebutkan lapangan kerja. Sebab itu, wajar jika kemudian sistem itu berubah menjadi sistem ekonomi kapitalisme campuran atau neo liberal. Hanya saja perbedaannya, jika NIK berangkat dari kepercayaan terhadap Tuhan bahkan bersumber darinya, sementara Marx
berangkat dari
penolakan akan adanya Tuhan (Johnson, 1994:134-137). Berdasarkan penjelasan di atas dan juga isi NIK, bisa diakadkan bahwa dalam NIK atau NDP tampaknya cukup kuat arus pemikiran transformasi sosial. Karena itu, bisa dipahami jika sebagian alumninya pun pada akhir tahun 70-an dan 80-an ada yang memilih gerakan transformasi sosial yang agendanya bersifat populis dan mengarah pada terbentuknya masyarakat yang kuat hubungannya dengan negara. Mereka mewakili suatu segmen mazhab kritis, yang pada tahun 1979-an menggunakan kerangka teori
dependensian.
Perhatian
utamanya
terletak
pada
transformasi
masyarakat bawah agar berkembang menjadi masyarakat egaliter dan emansipatoris. Mereka mengajak umat Islam khususnya untuk memahami makna politik secara luas, yang mencakup program, strategi, dan wilayah perjuangan yang bervariasi daripada sekedar wacana yang bersifat partisan dengan parlemen sebagai satu-satunya medan perjuangan, di samping merumuskan kembali tujuan-tujuan politik Islam yang lebih bersifat inklusif. Gerakan ini dimotori oleh Sudjoko Prasodjo, Dawan Rahardjo, dan menyusul kemudian di belakangnya Adi Sasono. Mereka menyusun sejumlah agenda yang erat hubungannya dengan program pengembangan masyarakat. Dari sinilah timbul gagasan ekonomi kerakyatan (industri kecil dan koperasi pedesaan) dan ini dilakukan dengan bekerja sama dengan Departemen
25
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
Industri, Departemen Koperasi, dan Departemen Agama.
Hanya saja, jika
Sudjoko
pengembangan
dan
Dawam
perhatiannya
diarahkan
pada
masyarakat desa, maka preferensi Adi Sasono pada masyarakat urban20. Melihat tema yang dikembangkan NIK dan rekaman Agussalim Sitompul terhadap isu keagamaan dan keislaman HMI yang dimunculkan dalam setiap kongresnya di atas, HMI adalah bentuk baru dari modernisme Islam yang tidak berorientasi fiqh ibadah. Ia lebih memfokuskan diri pada persoalan kalam, filsafat, dan mua`malah (sosial, budaya, dan ekonomi) serta politik. Dalam pemikiran keislamannya, HMI secara tulus terbuka terhadap berbagai gagasan, dari Barat atau syi’ah sekalipun. Ia berbeda dengan organisasi keislaman sebelumnya yang berorientasi fiqh ibadah, memiliki psikologi protes terhadap Barat, bersifat eksklusif, dan apologetik. Suatu apologetika yang merupakan perlawanan akibat dari terpukulnya harga diri atau munculnya rasa rendah diri oleh invasi kultural Barat yang dahsyat. Pilihan pada bidang mu`amalah itu adalah tepat mengingat bidang fiqh ibadah telah hampir final dibicarakan para ahli klasik Islam. Yang kurang dalam ijtihad Islam adalah dalam bidang mu`amalah.
Padahal menurut
Abdul Wahab Khalaf seperti dikutip Harun Nasution, dari 6360 ayat Alquran, ayat-ayat tentang hukum hanya 5,8 persen (368 buah). Dari 368 itu pun, hanya 3 setengah persen saja yang merupakan ayat tentang mua`malah (sosial) (Nasution, 1985:7-8).
Penutup Dari paparan di atas bisa kita simpulkan. Pertama, HMI adalah organisasi mahasiswa terbesar dan tertua yang telah berperan dalam proses keindonesiaan. Ia adalah organisasi Islam yang tidak mempersoalkan kebangsaan. Kedua, sejak didirikannya, HMI memiliki komitmen pada Islam
20
Bahtiar Effendi, op. cit., hlm. 125-179, Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orba. Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 328-352, dan Budi Munawar Rahman, “Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan Masa Orba: Tiga Program Riset Kaum Neo Modernis”, Makalah, hlm. 5-40
26
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
modern. Karena itu, ia merupakan kelanjutan dari gerakan modernisme Islam. Ketiga, sebagai organisasi Islam yang lahir kemudian setelah organisasi modernis lainnya lahir, HMI telah memiliki pemikiran keislaman yang cukup mapan, yang memandang bahwa Islam ideal adalah yang dapat memadukan aspek duniawi dan ukhrawi, memadukan aspek iman ilmu dan amal, dan yang memadukan aspek individu dan sosial, sebagaimana terlihat dalam mukaddimah AD/ART-nya. Keempat, pola gerakan dan pemikiran keislaman HMI berbeda dengan pola gerakan keislaman
modernis
sebelumnya. Ia tidak lagi mementingkan aspek fiqh ibadah dan tidak melihat politik Islam sebagai sesuatu yang sakral. Concern ijtihad HMI lebih pada persoalan mu’amalah atau sosial, budaya, ekonomi dan politik dengan NIK sebagai pedomannya. Kelima, Sebagai wawasan besar keislaman HMI, NIK secara garis besar berisi tentang pemikiran Islam mengenai ketuhanan, alam, kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan ekonomi. Yang mencolok dari NIK adalah kecenderungan eklektis dalam pemikirannya. Ia memadukan kecenderungan pemikiran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Wahabisme, modernisme, dan pemikiran sosial politik dan ekonomi Barat modern. Wallahu a’lam bi alshawab.
27
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
Daftar Pustaka Ali, Fachry dan Bachtiar Effendy, 1986. Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, A’la, Abu, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, Jejak Fazlurrahman dalam Wacana Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2001, hlm 1-3 Azra, Azyumardi, 1993. “Tipologi dan Dimensi Gerakan Neo Revivalis di Indonesia”, Media Indoensia, Selasa 4 Mei 1993 Barton, Greg, 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Johan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, Terjemahan oleh Nanang Tahqiq dari The Emergence of Neo-Modernisme; a Progressive Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia, Jakarta: Pustaka Anatara dan dan Paramadina Budiardjo, Miriam, 1981. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Djanuar, 1986. Mengungkap Pengkhianatan/Pemberontakan G 30 S/PKI, Bandung: CV Irama Effendi, Bahtiar, 1998. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Politik Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina Effendi, Djohan, 1991. “Tasawwuf Alquran Tentang Perkembangan Jiwa Manusia”, Dalam Ulumul Qur’an, No. 8 Vol II/1991 Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ciputat, 1992, 1994, 1995. “Nilai Identitas Kader”, dalam Buku Panduan LK I HMI Karim, M. Rusli, 1997. MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung: Mizan Johnson, Doyle Paul, 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I, Jakarta, Gramedia Madjid, Nurcholish, 1986. “Menegakkan Faham Ahlussunnah Wal-jama’ah”, Dalam Satu Islam Sebuah Dilema, Bandung: Mizan
28
Sukron Kamil “HMI: Sejarah dan Pemikiran Keislamannya”
Madjid, Nurcholish, 1985. “The Issue of Modernization among Muslim in Indonesia: from a Participant`s Point of View”, Dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, Yasmin Husein (Ed.), Reading on Islam in Southeast Asia, Singapore: Institute of Southeast Asia Studies. Madjid, Nurcholish, 1997. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, Cet. IX Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang Nasution, Harun, 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II, Jakarta: UI Press Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam Indonesia 1990-19942, Jakarta: LP3ES Rahardjo, Dawam, 1991. Perspektif Deklarasi Mekah, Menuju Ekonomi Islam, Bandung Mizan Rahman, Budi Munawar, “Pemikiran Keislaman-Keindonesiaan Masa Orba: Tiga Program Riset Kaum Neo Modernis”, Makalah Sadr, Bani, 1993. “Ekonomi Tauhidi”, Dalam John Donohue dan John L Esposito, Islam dan Pembaharuan, Ensiklopedia Masalah-Masalah, Jakarta Rajawali Press, Cet. II Saleh, Hasanudin M. 1996. HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Santoso, Agus Edi (Ed.), 1997. Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem, Jakarta: Penerbit Djembatan Sitompul, Agussalim, 1986. Pemikiran HMI dan Relevansi dengan Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta: Integrita Dinamika Press. Sitompul, Agussalim, 1976. Sejarah Perjuangan HMI (Tahun 1947-1975), Surabaya: Bina Ilmu Sitompul, Agussalim, 1995. Histiografi HMI 1947-1993, Jakarta: Intermasa Suharsono, HMI, Pemikiran dan Masa Depan, Yogyakarta: CIIS Press Suseno, Franz Magnis, 1988. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral dalam dasar Kenegaraan Modern, Jakarta, Gramedia Syarif, MM, Para Filosuf Muslim, Bandung: Mizan Tanja, Victor, 1991. HMI Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu di Indoensia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Ed. II Thaba, Abdul Azis, 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orba, Jakarta: Gema Insani Press
29
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 4 No. 1, Juli 2005: 1-29
Yusuf, Ramli HM. (Ed.), 1997. 50 Tahun HMI Mengabdi Republik, Jakarta: LASPI,
30